Anda di halaman 1dari 12

CANDI BOROBUDUR

SEJARAH DAN FILOSOFINYA


Oleh: Haidlor Ali Ahmad

Pendahuluan
Candi Borobudur merupakan candi Buddha, terletak di Desa Borobudur Kabupaten
Magelang Jawa Tengah. Meski Candi Borobudur merupakan candi terbesar kedua setelah
Candi Ankor Wat di Kamboja (Jeffry, 2012). Tetapi karena banyak keistimewaan yang
dimilikinya, maka tidak sedikit pula para ahli yang mengatakan, bahwa Candi Borobudur
adalah candi atau vihara, sekaligus salah satu monument Buddha terbesar di dunia. Selain itu,
candi ini juga memiliki koleksi relief Buddha terlengkap di dunia (Pratama, 2014). Bahkan
ada yang mengatakan, Candi Borobudur adalah sebuah mahakarya agung, sebuah monumen
Buddha terbesar di dunia yang telah diakui UNESCO. Candi ini merupakan contoh puncak
pencapaian keselarasan teknik arsitektur dan estetika senirupa warisan kejayaan Dinasti
Buddha di Indonesia (Putro, 2014).
Candi Borobudur merupakan bentuk bangunan yang tiada duanya di dunia.
Borobudur mirip bangunan piramida Cheops di Gizeh Mesir. Dari kejauhan, Borobudur
tampak seperti susunan bangunan berundak atau semacam piramida dan sebuah stupa.
Namun berbeda dengan piramida raksasa Mesir dan Piramida Teotihuacan Meksiko, piramida
Borobudur berupa punden berundak yang tidak ditemukan di daerah dan belahan dunia
manapun, termasuk India tempat kelahiran agama Buddha. Inilah salah satu kelebihan Candi
Borobudur yang merupakan kekhasan arsitektur Buddhis di Indonesia (Jeffry, 2012).
Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci
untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat
Buddha berlatih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran
Buddha (Pratama, 2014).
Candi Borobudur merupakan ‘puzzle’ atau ‘lego’ dari sekitar dua juta balok batu
vulkanik raksasa yang dipahat sedemikian rupa sehingga dapat saling mengunci (interlock)
meski tanpa menggunakan semen atau perekat apapun. Borobudur yang dibangun memakan
waktu sekitar 75 tahun ini bukanlah hanya sekedar tumpukan ‘puzzle’ batu raksasa, meski
teknik menyusun batu-batu ini pun adalah sebuah pekerjaan yang luar biasa. Borobudur juga
menyimpan pesona keindahan karya seni bernilai tinggi bermuatan sejarah, budaya, dan
agama. Kesepuluh pelataran Borobudur adalah sebagai representasi filsafat Buddha
Mahayana, yang menggambarkan sepuluh tingkatan Boddhisatwa yang harus dilalui untuk
mencapai kesempurnaan menjadi Buddha. Borobudur serupa dengan kitab Buddha yang
dipahat di batuan dengan kualitas dan kuantitas pahatan relief dan jenis cerita yang sarat
dengan makna, serta dilengkapi dengan rapang dan stupa yang tak kalah mengagumkan
(http://www.indonesia.travel/id/destination/233/borobudur). Para pendiri Borobudur bermak-
sud melalui Candi Borobudur ajaran-ajaran Buddha dapat tersajikan secara visual.
Oleh karena kelebihan-kelebihan yang dimiliki Borobudur – baik yang bersifat fisik
(materi), arsitektur, estetika, maupun yang bersifat non materi, yakni filosofi ajaran Buddha
yang terkandung di dalamnya – inilah yang mendorong peneliti untuk menyusun makalah ini.
Dengan harapan, mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat bagi pengembangan pengetahuan
tentang hazanah budaya warisan nenek moyang. Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk mengungkap sejarah, nama, arsitektur, filosofi dan sesuatu yang
telah hilang dari warisan budaya yang adiluhung ini.

Nama Borobudur
Menurut Prof. Dr. Poerbotjaroko, nama Borobudur berasal dari kata ‘boro’ dan
‘budur’. Boro berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti kompleks ‘candi, biara atau
asrama’. Sedangkan kata budur merujuk pada bahasa Bali, ‘beduhur’ yang berarti ‘di atas’.
Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr, Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti
‘biara di atas sebuah bukit’. Sedangkan menurut Prof. J.G. De Casparis, berdasarkan prasasti
Karang Tengah, nama Borobudur berasal dari bahasa Sansekerta, Bhumi Sambhara Bhudhara
yang berarti ‘Bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan Boddhisattwa’ (Soediman, 1968:
10-11).
Berdasarkan prasati Kayumwungan, Borobudur adalah sebuah biara yang
mengandung berlipat-lipat kebijakan Sugata atau Buddha. Namun istilah biara ini terasa
janggal bila difahami mengikuti pengertian tentang sebuah biara sebagaimana dikenal umum
sekarang. Menurut Hudaya Kandahjaya dalam desertasinya istilah biara ini merujuk ke istilah
teknis lainnya yang memungkinkan orang memahami rancangan arsitektur Borobudur. Istilah
yang dimaksud adalah sebuah bentuk biara khusus yang dikenal sebagai sebuah bangunan
atap (kumagara), yang punya sejarah panjang dan mengalami banyak perubahan makna
sepanjang sejarah agama Buddha. Borobudur, tegasnya, adalah sebuah struktur tempat
Buddha Sakyamuni tinggal selama berada di dalam Rahim ibunya. Struktur itu berbentuk
sebagai hasil dari berlipat-lipat kebijakan Buddha Sakyamuni (Gunawan, 2004).

Sejarah Berdiri
Ada beberapa versi berkenaan dengan waktu pembangunan candi Borobudur,
sebagian berpendapat, masa pembangunan candi Borobudur diperkirakan memakan waktu
sekitar satu abad, antara 750-847 M dalam tiga generasi kerajaan Buddha Wangsa Syailendra.
Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maharaja Dananjaya yang bergelar Sri
Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samarattungga, dan diselesaikan oleh cucu
perempuannya, Sang Dyah Pramodhawardhani.
Sedangkan menurut Prof. J. G. De Casparis, berdasarkan prasasti Karang Tengah,
dengan sengkala: rasa sagara kstidhara atau tahun Caka 746 (824 M), dibangun oleh raja
Samaratungga dari dinasti Syailendra. Sedangkan berdasarkan prasti Klurak (784M)
pembangunan candi itu selesai pada tahun 847 M, yaitu pada masa kekuasaan Dyah
Pramodhawardhani.

Penemuan Kembali dan Restorasi


Pada permulaan abad ke 18, disebutkan dalam Babad Tanah Jawa bahwa Mas Dana
yang memberontak kepada Pakubuwana I (1709-1710). Ia ditangkap di ‘Redi Borobudur’
(Gunung Borobudur). Lima puluh tahun kemudian (1757-1758) seorang Sultan dari
Yogyakarta melakukan perjalanan ke Borobudur untuk melihat 1000 patung (Soediman,
1968: 14).
Selama pereode pemerintahan Thomas Stamford Raffles (1814), Gubernur jenderal
itu demikian tertarik kepada peninggalan Candi Borobudur, sehingga ia memerintahkan
kepada H.C. Cornelius seorang military engineer, untuk membersihkan Candi Borobudur
yang sebagian telah runtuh dan terkubur tanah, serta ditumbuhi belukar dan tertimbun
sampah (ibid). Hartmann, Residen Kedu, seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda,
meneruskan pekerjaan Cornelius. Atas upaya Hartmann akhirnya pada tahun 1835 seluruh
bagian bangunan telah tergali dan terlihat. Minat Hartmann terhadap Borobudur lebih bersifat
pribadi dari pada tugas sebagai pejabat pemerintah. Hartmann tidak menulis laporan atas
kerjanya. Dari pekerjaan Hartmann itu beredar kabar bahwa ia telah menemukan rapang
Buddha yang belum selesai (unfinished Buddha) dalam dagoba. Meski yang ditemukan
Hartmann hingga sekarang tetap menjadi misteri (lihat: http://id.wikipedia.org/wiki/boro-
budur).
Upaya restorasi selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda menugaskan F.C. Wilsen,
seorang insinyur pejabat Belanda bidang teknik, untuk mempelajari monumen ini dan
menggambar ratusan relief. Disamping Wilsen, J.F.G. Brumund juga ditunjuk untuk
melakukan penelitian lebih rinci. Brumund dapat merampungkan tugasnya pada tahun 1859.
Karena Brumund tidak bersedia bekerjasama dengan Wilsen, sehingga pemerintah Hindia
Belanda kemudian menugaskan C. Leemans yang mengkompilasi monografi berdasarkan
sumber dari Brumund dan Wilsen. Monografi pertama dan penelitian lebih detail tentang
Borobudur diterbitkan dalam tahun 1873, dilanjutkan dengan terjemahannya dalam bahasa
Perancis setahun kemudian. Sedangkan foto pertama diambil dalam tahun yang sama (1873)
oleh ahli engrafi Belanda, Isidore van Kinsbergen (ibid).
Borobudur kembali menarik perhatian ketika Yzerman dalam tahun 1885 menemukan
kaki candi yang tersembunyi. Foto-foto tentang relief pada kaki tersembunyi itu dibuat antara
tahun 1890-1891. Penemuan ini mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk menjaga
kelestarian Borobudur, sehingga membentuk tim terdiri atas tiga ahli, yaitu Brandes
(sejarawan seni), Theodoorus van Erp (insinyur ahli teknik bangunan genie militer), dan Van
de Kamer (Insinyur ahli konstruksi bangunan). Dalam tahun 1902, tim ini mengajukan
proposal untuk pemugaran dengan biaya sekitar 48.800 Gulden. Pemugaran dilaksanakan
antara tahun 1907-1911 dipimpin oleh Theodoorus van Erp.
Setelah jaman kemerdekaan, pada akhir tahun 1960-an, Pemerintah RI mengajukan
permintaan dana pemugaran kepada masyarakat dunia untuk menyelamatkan Borobudur.
Dalam tahun 1973 Pemerintah RI dan UNESCO merencanakan pemugaran menyeluruh
terhadap Candi Borobudur. Rencana tersebut dilaksanakan antara tahun 1975-1982.

Arsitektur
Theodoorus van Erp tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi
Borobudur. Untuk itu ia melakukan studi banding selama beberapa tahun di India. Ia juga
pergi ke Sri Langka untuk melihat susunan bangunan puncak Stupa Sanchi di Kandy, sampai
akhirnya Van Erp menemukan bentuk Candi Borobudur (Afrianti, 2008). Denah candi
Borobudur membentuk mandala (Sansekerta: lingkaran, kesempurnaan), yaitu pola geometris
yang melambangkan alam semesta dalam kosmologi Buddha. Ajaran Buddha membagi alam
semesta menjadi tiga unsur yang disebut ‘dhatu’ (Gunawan, 204).
Menurut hasil penelitian Robert von Heine Geldern dari Austria, bahwasannya nenek
moyang bangsa Indonesia sudah mengenal tata budaya pada jaman neolitik dan megalitik
yang berasal dari Vietnam Selatan dan Kamboja, yang dikenal dengan kebudayaan Dongson.
Oleh karena itu, arsitektur Borobudur merupakan kombinasi dari unsur-unsur lokal, yaitu
unsur-unsur arsitektur megalitik punden berundak atau piramida bertingkat warisan budaya
prasejarah di Indonesia, seperti piramida bertingkat Gunung Padang di Jawa Barat dengan
konstruksi stupa dan mandala (ajaran Buddha).
Arsitektur Borobudur memiliki dasar berupa bujur sangkar berukuran 123 m (400
kaki) pada setiap sisinya. Bangunan ini memiliki 9 teras, terdiri dari 6 teras berbentuk bujur
sangkar dan 3 teras di atasnya berbentuk lingkaran. Tingkatan tertinggi berupa stupa besar
yang disebut dhatugarba (dhagoba). Di atas dhagoba dulu terdapat catra (tiga buah payung
bertingkat), yang runtuh karena disambar petir.
Menurut prasati Klurak (784 M), pembangunan candi ini dibantu oleh seorang guru
dari Ghandadwipa (Bengalore) bernama Kamaragacya dan seorang pangeran dari Kasmir
bernama Visvawarman yang bertindak sebagai penasehat ahli dalam ajaran Tantra Vajrayana
Buddhis (Putra, 2012).
W.O.J. Nieuwenkamp (1931) mengajukan teori bahwa dataran Kedu dulunya adalah
sebuah danau, dan Borobudur dibangun melambangkan bunga teratai yang mengapung di
atas permukaan danau. Bentuk arsitektur Borobudur sendiri menyerupai bunga teratai, dan
postur Buddha di Borobudur melambangkan ‘sutra teratai’ yang kebanyakan ditemui dalam
naskah keagamaan Buddha Mahayana. Tiga pelataran melingkar di puncak Borobudur juga
diduga melambangkan kelopak bunga teratai. Akan tetapi teori Nieuwenkamp ini banyak
menemui bantahan para arkeolog, yang mengatakan bahwa daratan di sekitar Borobudur pada
masa pembangunannya merupakan daratan kering, bukan dasar danau purba. Sementara para
pakar geologi justru mendukung teori Nieuwenkamp dengan menunjukkan bukti adanya
sendimen lumpur di dekat situs ini. Sebuah penelitian stratigrafi, sendimen tahun 2000
mendukung keberadaan danau purba di lingkungan sekitar Borobudur (http://id.wikipedia.
org/wiki/Borobudur).
Menurut legenda setempat arsitek Candi Borobudur bernama Gunadharma. Legenda
tentang Gunadharma ini oleh penduduk setempat sering dikaitkan dengan Bukit Menoreh,
yang berada tidak jauh dari Borobudur. Bukit itu jika dilihat dari Borobudur mirip dengan
seorang raksasa yang sedang tidur telentang. Dalam legenda tersebut diceritakan, setelah
Gunadharma berhasil membangun Candi Borobudur, ia beristirahat tidur telentang dan karena
kelelahan sehingga menemui ajalnya. Jasadnya kemudian berubah menjadi Bukit Menoreh.

Teknik Pembangunan
Banyak orang ketika melihat candi apapun, terutama candi-candi yang dibangun
menjulang tinggi seperti Candi Prambanan (47 m), dan Candi Borobudur (42 m),
menanyakan bagaimana cara mengangkat dan meletakkan batu sebesar dan seberat itu ke atas
puncak candi yang setinggi itu, padahal waktu itu belum ada alat berat (misal crane) untuk
mengangkat dan meletakkan barang-barang yang berat di tempat yang tinggi. Untuk itu, para
ahli menyamakan teknik pembangunan candi-candi di Indonesia termasuk Candi Borobudur
dengan pembangunan piramida di Mesir. Teknik tersebut adalah teknik ‘timbun, tarik dan
dorong’. Setiap satu deret batu secara horizontal telah selesai disusun, kemudian bagian
luarnya ditimbun dengan tanah atau pasir sampai sejajar dengan permukaannya. Dengan
demikian batu-batu berikutnya tidak perlu diangkat melainkan cukup ditarik dengan tali yang
kuat dan didorong sehingga dapat disusun secara horisontal pada posisinya. Demikian dan
seterusnya hingga selesai pembangunannya. Setelah selesai tanahnya digali kembali dan
disingkirkan, meski teknik ini sulit untuk dibayangkan.
Batu-batu candi Borobudur disusun dengan menggunakan teknik interlocking stone,
saling kait mengkait. Sebagian batu ada pasaknya dan sebagian yang lain ada lubangnya, dan
batu-batu itu disusun secara kait mengkait. Keterkaitan antara batu yang satu dengan batu
yang lain tidak menggunakan perekat semisal adukan semen.
Setelah candi yang terbuat dari batu andesit ini selesai dibangun kemudian dilapisi
vajra lepa, yaitu adukan dari tujuh unsur yang sudah tidak diketahui unsur-unsurnya. Vajra
lepa ini berwarna kuning keemasan dan tidak bisa ditumbuhi lumut. Fungsi lapisan vajra
lepa ini selain agar sela-sela atarbatu tidak bisa kemasukan air hujan dan tidak ditumbuhi
lumut. Sehingga, sebelum Candi Borobudur runtuh, candi ini selain megah dan indah juga
sangat memukau karena vajra lepa yang membukusnya memancarkan warna kuning
keemasan1.

Filosofi Ajaran Buddha


Stutterheim dan N.J. Krom, mengemukakan landasan falsafah dan agama yang
melatarbelakangi berdirinya Candi Borobudur adalah ajaran Buddha Dharma aliran
Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana.
Menurut Prof. Dr. W.F. Stutterheim (1929), bahwa Candi Borobudur itu merupakan
‘replika’ dari alam semesta yang menurut ajaran Buddha terdiri atas 3 unsur, yaitu: 1)
Kamadhatu (unsur nafsu); 2) Rupadhatu (unsur wujud); dan 3) Arupadhatu (unsur tak
berwujud). Sedangkan menurut Prof. J. G. De Casparis (1950) bahwa Borobudur bertingkat
10 menggambarkan secara jelas filsafat agama Buddha Mahayana yang disebut
‘Dasabodhisatwabhumi’. Filsafat itu mengajarkan, bahwa setiap orang yang ingin mencapai
tingkat kedudukan sebagai Buddha harus melampaui 10 tingkat Bodhisatwa. Apabila telah

1 Disampaikan oleh Tjoek Kertasari (salah seorang instruktur di Brahman’s Cakti Cultural Guide Course,
Yogyakarta) dalam praktek guiding di Candi Borobudur (1974). Kertasari juga menunjukkan kepada para
peserta kursus sisa-sisa serpihan vajra lepa yang masih menempel di salah satu batu candi.
melampaui 10 tingkat itu, maka manusia akan mencapai kesempurnaan dan akan menjadi
Buddha.
Kamadhatu yaitu bagian kaki candi, yang menggambarkan kehidupan awam yang masih
dikuasai oleh kama atau nafsu (seksual) yang rendah. Pada tingat ini dipenuhi dengan 160
panel relief Karmawibhangga. Relief ini menggambarkan tentang hukum karma, hukum
sebab akibat dari suatu perbuatan baik dan buruk. Bahkan relief ini secara jelas
menggambarkan tentang nafsu dan kenikmatan, perbuatan dosa serta hukuman yang diterima,
dan sebaliknya tentang perbuatan baik dan pahalanya. Karena oleh pemerintah Hindia
Belanda relief Karmawibhangga dianggap tabu, sehingga relief tersebut ditutup oleh J.W.
Yzerman dengan sekitar 12.750 m2 batu penutup.2
Rupadhatu, menggambarkan tingkatan hidup manusia yang sudah terlepas dari kama, tetapi
masih terikat dari rupa (materi), atau kehidupan yang masih mengejar kekayaan duniawi.
Bagian ini terdiri dari empat lorong yang dihiasi 1300 panel relief yang panjang seluruhnya
mencapai 2,5 km.
Arupadhatu, denah lantai berbentuk lingkaran, dan dindingnya polos tidak ada relief. Ini
menggambarkan tingkatan dimana manusia sudah terbebas dari rupa (nafsu terhadap materi).
Tetapi manusia belum mencapai tingkat nirwana. Rapang-rapang Buddha ditempatkan di
dalam stupa yang berlubang-lubang seperti kurungan. Di tingkat ini, rapang Buddha berada
dalam stupa dengan lubang berbentuk layang-layang (diamond shape) yang melambangkan
bahwa pada tingkatan ini manusia meskipun sudah berupaya meninggalkan nafsu duniawi
tapi masih belum stabil, dan kadang-kadang masih goyah tergoda oleh indahnya nafsu
duniawi; Di atas tingkat arupadhatu, ada tiga tingkatan lagi, yaitu:
a. Nirwana yang paling bawah, ditandai dengan lubang stupa berbentuk layang-layang
(diamond shape) yang melambangkan bahwa meskipun sudah berada di nirwana tapi
masih belum stabil dan kadang-kadang masih goyah.
b. Parinirwana, tingkat kedua, ditandai dengan lubang stupa berbentuk persegi (square
shape) yang melambangkan bahwa pada tingkatan ini manusia sudah stabil
keyakinannya untuk meninggalkan sepenuhnya nafsu duniawi;
c. Mahaparinirwana, tingkatan tertinggi, dilambangkan dengan stupa yang terbesar,
stupa polos tanpa lubang, yang disebut Dhatugharba (Dhagoba), dimana manusia sudah
mencapai tingkatan ketiadaan wujud yang sempurna. Dengan stupa tanpa lubang, tidak

2 Pada waktu rencana pemugaran Candi Borobudur pada tahun 1975, berkenaan dengan keberadaan batu
Yzerman ada dua wacana yang berkembang, pertama batu Yzerman akan dibuka, tetapi karena batu itu juga
berfungsi sebagai penahan dinding bawah candi, sehingga wacana itu tidak mungkin diwujudkan. Kedua, batu
Yzerman tetap dipertahankan keberadaannya, tapi dibuat terowongan, sehingga para pengunjung bisa
membaca relief Karmawibhangga. Tapi wacana yang kedua ini juga tidak dapat diwujudkan.
membatasi pandangan sama sekali, karena pada tingkatan ini manusia melihat bukan
dengan mata kepala, melainkan dengan mata hati. Atau sebagai lambang kasunyatan,
kesunyian dan ketiadaan sempurna, dimana jiwa manusia sudah tidak terikat hasrat,
keinginan, dan bentuk serta terbebas dari lingkaran samsara.

Rapang Buddha
Di Candi Borobudur terdapat banyak rapang Buddha duduk bersila dalam posisi
teratai dan mudra atau sikap tangan tertentu. Rapang Buddha dalam relung-relung di tingkat
Rupadhatu ditata berdasarkan deretan di sisi luar pagar langkan, jumlahnya semakin
berkurang pada tingkat atasnya. Pada deretan pagar langkan pertama terdapat 104 rapang,
deret kedua 104 rapang, deret ketiga 88 rapang, deret keempat 72 rapang, deret kelima 64
rapang. Jumlah keseluruhan rapang Buddha di tingkat Rupadhatu sebanyak 432 rapang.
Pada tingkat Arupadhatu (tiga pelataran melingkar), rapang Buddha diletakkan dalam
stupa-stupa berlubang. Pada pelataran melingkar pertama terdapat 32 rapang, pelataran kedua
24 rapang, dan pelataran ketiga 16 rapang. Semuanya berjumlah 72 rapang. Secara
keseluruhan jumlah rapang di tingkat Rupadhatu dan Arupadhatu seharusnya (sesuai dengan
aslinya) terdapat 504 rapang Buddha, namun 43 rapang telah hilang, dan 300 rapang dalam
kondisi rusak, kebanyakan tanpa kepala. Kepala rapang Buddha banyak diburu para pencuri
dan dijual kepada para kolektor, kebanyakan dibeli oleh museum luar negeri.
Di tingkat paling tinggi, dalam dhagoba pernah diketemukan rapang Buddha yang
belum selesai (unfinished Buddha), yang semula diduga sebagai rapang Adibuddha. Setelah
diadakan penelitian, tidak pernah ada patung dalam dhagoba. Rapang yang tidak selesai itu
merupakan kesalahan pamahatnya pada zaman dulu. Menurut kepercayaan, rapang yang
salah dalam pembuatannya tidak boleh dirusak (Jeffry, 2012).
Tjoek Kertosari3 mengatakan, bahwa pada waktu Ratu Sirikit – dari Thailand –
berkunjung ke Indonesia, Sirikit mengatakan kepada Presiden Soekarno, bahwa kakeknya,
Raja Chulolongkorn memiliki rapang Buddha terbuat dari emas yang ada hubungannya
dengan peninggalan jaman kejayaan Buddha di Jawa. Kertosari menghubungkan rapang emas
itu dengan apa yang dilakukan Hartmann, Residen Kedu yang membersihkan Candi
Borobudur (1842), hanyalah sebuah kedok dari pencurian rapang emas yang ada dalam
dhagoba dan Hartmann yang memasukkan patung yang tidak selesai itu ke dalam dhagoba.

3 Tjoek Kertosari, adalah seorang guide senior yang biasa mendampingi tamu-tamu negara sejak tahun 1950-
an.
Kepemilikan Raja Chulolongkorn atas rapang emas tersebut juga bisa dikaitkan
dengan tindakan penjarahan situs bersejarah yang direstui oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Raja Chulolongkorn ketika mengunjungi Jawa (1896) menyatakan minatnya untuk memiliki
beberapa bagian dari Borobudur. Pemerintahn Hindia Belanda mengizinkan dan
menghadiahkan delapan gerobak penuh rapang dan bagian bangunan candi. Artefak yang
diboyong ke Thailand antara lain, 5 rapang Buddha dan 30 potong batu relief, dua patung
singa, relief kala, tangga dan gerbang, dan arca dwaraphala (Soediman, 1968: 14-15).
Beberapa artefak ini, arca singa dan dwaraphala dipajang di Museum Nasional Bangkok
(http;//id.wikipedia.org/wiki/ Borobudur).
Sekilas rapang-rapang Buddha terlihat serupa, akan tetapi jika dilihat berdasarkan
ikonografi, rapang Buddha mudah dibedakan berdasakan mudra (sikap tangan). Ada lima
jenis mudra, kesemuanya berdasarkan empat arah mata angin ditambah satu di tengah.
Rapang Buddha yang terdapat pada keempat pagar langkan memiliki empat mudra yang
berbeda, sesuai dengan arah rapang itu menghadap, yakni: timur, selatan, barat, dan utara.
Sedangkan rapang Buddha pada pagar langkan kelima dan rapang Buddha dalam 72 stupa
berlubang menampilkan mudra tengah atau sentral.
Mudra rapang Buddha di Candi Borobudur dilihat dengan mengikuti arah pradaksina
yaitu mengelilingi candi mengikuti arah putaran jarum jam, dapat disimak dalam table
berikut:
Tabel: 1
Mudra Rapang Budda Candi Borobudur
Dhyani Buddha Arah Mudra Makna/Lambang Letak Rapang
Mata
Angin
Aksobhya Timur Bumisparsa Bersumpah kepada bumi PagarLangkan ba-
ris 1-4 Rupadhatu
Ratnasambawa Selatan Wara Kedermawanan PagarLangkan ba-
ris 1-4 Rupadhatu
Amitabha Barat Dhyana Meditasi PagarLangkan Ba-
ris 1-4 Rupadhatu
Amoghasiddhi Utara Abhaya Menangkal Bahaya PagarLangkan ba-
ris 1-4 Rupadhatu
Wairocana Tengah Witarka Akal Budi PagarLangkan ba-
ris ke 5 Rupadhatu
Wairocana Tengah Dharmacakra Pemutaran roda dharma Di dalam 72 stupa
berlubang Arupa-
dhatu

Relief Borobudur
Candi Borobudur dihiasi dengan relief terpanjang di dunia (2,5 km). Relief tersebut
terdiri dari beberapa judul cerita. Susunan dan judul cerita relief pada dinding dan pagar
langkan candi dapat disimak pada bagan atau tabel berikut ini:
Tabel: 2
Relief Candi Borobudur
Tikat Letak Judul Cerita Jumlah
Panel
Kamadhatu Dinding kaki (tertutup batu Karmawibhangga 160
(kaki candi asli) Yzerman)

Rupadhatu Tingkat 1 Dinding a. Lalitavistara 120

b. Buddhacarita 120
Langkan a. Jatakamala/avadana 372
b. Jatakamala/avadana 128
Tingkat 2 Dinding Gandaviyuha 128
Langkan Jatakamala/avadana 100
Tingkat 3 Dinding Gandaviyuha 88
Langkan Gandaviyuha 88
Tingkat 4 Diding Gandaviyuha 84
Langkan Gandaviyuha 72
Jumlah 1.460

a. Karmawibhangga
Adalah relief yang menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat
(hukum karma). Di ranah Kamadhatu, beberapa relief Karmawibhangga menggambarkan
hawa nafsu manusia, seperti perampokan, pembunuhan, penyiksaan dan penistaan. Relief
Karmawibhangga ini tidak hanya menggambarkan perbuatan jahat tetapi juga
menggambarkan ajaran sebab akibat dari perbuatan baik.
Setiap panel Karmawibhangga bukan merukan suatu rangkaian cerita (berseri), melainkan
merukan potongan-potongan cerita yang berisi kisah-kisah yang di antaranya
menggambarkan perilaku masyarakat Jawa pada masa lalu, meliputi perilaku keagamaan,
mata pencaharian, struktur sosial, tata busana, peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna
dan sebagainya.
Relief Karmawibhangga ini terdiri dari 160 panel, namun relief tersebut tersembunyi
karena ditutup struktur batu. Batu penutup ini kemudian dikenal dengan nama batu
Yzerman.
b. Lalitavistara
Berisi riwayat Sang Buddha yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari surga Tusita,
yakni lahirnya Sang Buddha di dunia sebagai Pangeran Sidharta Gautama, putra Raja
Sudhodana dan permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Riwayat tersebut berakhir
dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat Kota Benares, yang secara simbolis
dinyatakan sebagai pemutaran Roda Dharma.
c. Buddhacarita
Adalah berbagai cerita tentang sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai pageran Sidharta.
Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan-perbuatan baik, seperti sikap rela
berkorban dan suka menolong yang membedakan Sang Bodhisattwa dengan makhluk lain.
d. Jatakamala
Merupakan cerita fable yaitu kisah yang melibatkan tokoh satwa yang bersikap dan
berfikir sebagai manusia.
e. Avadhana
Pada dasarnya hampir sama dengan Buddhacarita akan tetapi tokohnya bukan Sang
Buddha, melainkan orang lain. Cerita ini terhimpun dalam kitab Diwyawadana yang
berarti perbuatan mulia kedewaan dan kitab Avadanasataka atau seratus cerita Avadana.
f. Gandawyuha
Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke 2, adalah cerita Sudhana yang
berkelana tanpa mengenal lelah dalam usaha mencari ‘pengetahuan tertinggi’ tentang
‘kebenaran sejati’. Penggambarannya dalam 460 panel didasarkan pada kitab suci Buddha
Mahayana yaitu kitab Gandavyuha dan pada bagian terakhir (penutup) diambil dari cerita
dari kitab Bhadracari.

Yang Tersembunyi dan Yang Hilang


Di ranah Kamadhatu, beberapa relief Karmawibhangga menggambarkan hawa nafsu
manusia, seperti perampokan, pembunuhan, penyiksaan dan penistaan. Relief
Karmawibhangga ini tidak hanya menggambarkan perbuatan jahat tetapi juga
menggambarkan ajaran sebab akibat dari perbuatan baik. Pengunjung Borobudur tidak dapat
menyaksikan relief ini kecuali hanya sebagian kecil di salah satu sudut, karena relief ini
tertutup oleh batu Yzerman.
Pemerintah Hindia Belanda mempertahankan batu penutup ini karena memandang
relief Karmawibhangga sebagai tabu, meskipun relief ini sebenarnya merupakan suatu ajaran
yang memiliki nilai tinggi, karena tidak hanya menggambarkan perbuatan jahat tetapi juga
menggambarkan ajaran sebab akibat dari perbuatan baik, serta potongan-potongan cerita
yang berisi kisah-kisah yang di antaranya menggambarkan perilaku masyarakat Jawa pada
masa lalu, meliputi perilaku keagamaan, mata pencaharian, struktur sosial, tata busana,
peralatan hidup, jenis-jenis flora dan fauna dan sebagainya.
Jika pengunjung bisa menyaksikan relief Karmawibhangga ini mereka akan dapat
mempelajari dan mengambil nilai-nilai serta pesan-pesan dari Karmawibhangga, bahkan
dapat membandingkannya dengan relief-relief yang terdapat di Candi Kajuraho di India yang
mendapat julukan sebagai the most erotis temple in the world.
Masih banyak misteri yang menyelimuti Candi Borobudur, antara lain tentang danau
purba yang mengitarinya, dan bagaimana teknik pembangunannya, terutama tentang teknik
pengangkatan bungkahan-bungkahan batu besar ke puncak candi setinggi 42 m. Selain itu, di
dalam dhagoba juga ada misteri yang masih belum tersingkap jelas hingga sekarang. Apakah
benar dalam dhagoba terdapat rapang Adhibuddha yang belum selesai (unfinished Buddha),
atau rapang emas yang kemudian berada di Thailand, atau kosong sama sekali?
Banyak pula yang telah hilang dari Candi Borobudur, dari 504 rapang Buddha, 43
rapang telah hilang, dan 300 rapang dalam kondisi rusak, kebanyakan tanpa kepala. Yang
sangat memprihatikan adalah hilangnya pengetahuan dan teknik pembuatan vajra lepa. Dari
unsur-unsur apa vajra lepa dibuat dan bagaimana teknik pembuatannya?

Daftar Bacaan
Afrianti, Dwi, Hal Ihwal Candi Borobudur; Filosofi, Sejarah, dll.
Gunawan, Irwan, ‘Desertasi Mengungkap Asal-usul dan Pembangunan Borobudur’, Kompas,
http://print.kompas.com/baca/2015/06/02/Desertasi-Mengungkap-Asal-usul-dan-
Pembangun-Borob.
http://id.wikipedia.org/wiki/Borobudur (diunduh, 15/06/2015: 14.32).
http://www.indonesia.travel/id/destination/233/borobudur/article/202/membaca-ribuan-panil-
relief-pada-candi-borobudur.
Jeffry, Handoyo El, Borobudur: Folosofi dan Sejarah yang Terkubur. 20 Juli 2012.
Pratama, Ganang Nur, Candi Borobudur Yogyakarta. 5 Oktober 2014.
Putra, Resha Permana, Kisah Borobudur. Blog, 08 November 2012.
Siputro, Relief Borobudur; Buku Kehidupan Manusia Jawa Kuno, 12-08-2014.
Soediman, Drs., Glimpses of The Borobudur. Jogjakarta: Kanisius, 1968.

-o0o-

Anda mungkin juga menyukai