NIM : 11171110000043
Horton dan Chester L.Hunt (1984L 36) menyatakan bahwa mobilitas sosial (social mobility) dapat diartikan
sebagai suatu gerak perpindahahn dari suatu kelas sosial lainnya. Pendapat Horton memiliki kesamaan dengan
pendapat Huky (1982: 140), yang menyatakan bahwa istilah mobilitas sosial diartikan sebagai gerak orang
perorangan atau gurp dari suatu startum ke startum lainnya dalam masyarakat. 1 Robert M. Z. Lawang
berpendapat bahwa mobilitas sosial merupakan perpindahan posisi dari suatu lapisan ke lapisan sosial lain atau
dari dimensi satu ke dimensi lain. Sedangkan, Kimball Y. Dan Raymond W. M. mendefinisikan social mobility
sebagai suatu gerakan dalam struktur sosial yang mencakup hubungan antara individu dengan kelompok. 2
1
Didin Saripudin. 2010. Interpretasi Sosiologis dalam Pendidikan. Bandung : Karya Putra Darwati. Hal. 41
2
Dikutip dari (http://sosiologis.com/mobilitas-sosial) diakes pada 17 November 2019, pukul 03:31 PM
3
Didin Saripudin. Op.cit., hal. 41-65
NAMA : SHOFIANTI
NIM : 11171110000043
2. Faktor Individu
a. Kemampuan Individu
Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Orang yang cakap dan pandai
mempunyai kesempatan dalam mobilitas sosial. Tidak semua orang memiliki kemampuan yang
sama. Perbedaan kemampuan merupakan faktor penyebab penting yang menentukan
keberhasilan hidup dan mobilitas sosial.
b. Kebiasaan dan Sikap terhadap Mobilitas
Pendidikan merupakan anak tangga mobilitas yang penting. Seseorang yang mempunyai
pendidikan lebih baik atau lebih tinggi akan mempunyai prosepek mobilitas lebih baik
dibandingkan dengan seseorang yang tidak atau berpendidikan rendah.
Berbagai studi empiris menunjukkan hasil pro dan kontra terhadap hubungan antara level pendidikan dan
mobilitas sosial. Beberapa studi empiris terutama yang menggunakan perspektif human capital theory
menyimpulkan adanya korelasi yang positif antara jenjang pendidikan dan tingkat pendapatan (gaji). Semakin
tinggi tingkat pendidikan yang dimiliki seseorang maka semakin tinggi pula tingkat pendapatan yang diterima
sehingga mendorong terjadinya mobilitas sosial naik (upward social mobility) (Checchi 2004; Becker 1993;
Psacharopoulos, 1994; Psacharopoulos dan Patrinos, 2004). 5
Institusi pendidikan seperti sekolah dan perguruan tinggi memiliki peran yang semakin penting karena
telah mengambil alih peran-peran yang semula dijalankan oleh lembaga agama, keluarga dan lembaga- -
lembaga sosial lainya. Sejak 1950-an, peran perguruan tinggi sebagai kendaraan mobilitas sosial semakin
meningkat dan tidak terbantahkan. Sejak saat itu, perguruan tinggi menjadi sarana mobilitas sosial vertikal bagi
masyarakat dan secara khusus membuka pintu kelas sosial menengah bagi masyarakat lapisan bawah
(Burlutskaia 2014).6
John Goldthorpe (2002) mengungkapkan bahwa suatu sistem yang berbasis prestasi (a merit based system)
dapat menggantikan peran kelas sosial dalam menentukan pendapatan ekonomi. Goldthorpe (2002)
menambahkan bahwa pendidikan di level per-guruan tinggi dapat menjadi suatu filter bagi para orang tua untuk
4
S. Nasution. 2011. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Hal. 38
5
Husain Arifin. 2017. “Memahami Peran PendidikanTinggi terhadap Mobilitas Sosial di Indonesia, MASYARAKAT
Jurnal Sosiologi Vol. 22, No. 2, Juli 2017: 139-158. Hal. 140
6
Ibid, hal. 141
NAMA : SHOFIANTI
NIM : 11171110000043
mempertahankan posisi ekonomi keluarga, serta secara simultan dapat mendorong efisiensi ekonomi, keadilan
sosial, dan mobilitas sosial. Kenyataannya, efek pendidikan tinggi terhadap mobilitas sosial tergantung pada
dua efek, yakni efek pendapatan keluarga terhadap pendidikan dan efek pendidikan terhadap pendapatan para
keturunan dari keluarga tersebut. Dengan demikian, mobilitas sosial menjadi sangat tergantung pada posisi
ekonomi atau pendapatan keluarga. Sebagai contoh, anak -anak yang berasal dari keluarga yang mapan secara
ekonomi, pad umumnya, lebih memiliki karakteristik meritokratis (seperti: ability, motivation, and
preparedness) dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga miskin. Hasilnya, anak-anak dengan karakteristik
meritokratis tersebut cenderung punya kesempatan yang lebih besar untuk memperoleh mobilitas vertikal
(Shapiro & Willen 2005). Pada konteks ini bisa dikatakan terdapat hubungan antara status sosial ekonomi,
karakteristik meritokratis, dan mobilitas sosial. 7
Mobilitas sosial dalam suatu masyarakat tentu dipengaruhi oleh banyak faktor dan pendidikan merupakan
salah satu faktor penting dalam mendorong terjadinya mobilitas sosial (Ianneli & Peterson 2007; Haveman &
Smeeding 2006). Beberapa studi empiris tentang hubungan antara jenjang pendidikan dan gaji yang diperoleh
menunjukkan hasil bahwa tingkat pendidikan berkorelasi positif dengan tingkat pendapatan (Mok 2015).
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pendidikan menjadi faktor determinan terhadap mobilitas sosial.
Hubungan positif antara pendidikan dan mobilitas sosial ditegaskan pula oleh hasil penelitian yang dilakukan
oleh Pattinasarany (2012) di dua provinsi di Indonesia, yakni Jawa Barat dan Jawa Timur. Hasil penelitian
(estimasi mobilitas) menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar pula
ia memperoleh mobilitas ke atas (upward mobility). Meskipun begitu, di balik korelasi positif antara pendidikan
tinggi dan mobilitas sosial vertikal terdapat isu ketimpangan sosial (social inequality) yang seringkali diabaikan
dalam analisis penelitian mobilitas sosial.8
Rendahnya akses ke pendidikan tinggi tentu dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: tingkat status
sosial dan ekonomi, disparitas geografi, dan disparitas kultural (Moeliodihardjo 2013). Salah satu upaya untuk
meningkatkan akses ke pendidikan tinggi yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menawarkan bantuan
pendanaan dalam skema beasiswa, seperti BIDIK MISI. Beasiswa BIDIK MISI bertujuan untuk meningkatkan
akses siswa yang memiliki status sosial-ekonomi rendah tetapi berprestasi akademik di atas rata-rata ke
lembaga pendidikan tinggi yang bermutu.9
Kualitas pendidikan, bukan kuantitas, adalah perhatian utama sekarang di Indonesia dan juga untuk orang-
orang muda. Ini adalah masalah kompleks yang melibatkan kualifikasi guru, pendanaan, tata kelola sekolah,
kurikulum dan sejumlah faktor lain yang tidak dibahas di sini. Beberapa evaluasi siswa dari kualitas sekolah
mereka keluar di bawah, di bagian atas 'kurikulum tersembunyi' dari sekolah. Pertama meskipun, secara singkat
7
Ibid, hal. 141-142
8
Ibid, hal. 150
9
Ibid, hal. 151-152
10
Parker, Lyn & Pam Nilan. 2013. Adolescents in Contemporary Indonesia. London, New York: Routledge. Hal.
79
NAMA : SHOFIANTI
NIM : 11171110000043
cara siswa mengalami kualitas pendidikan sekolah dan beberapa kekhawatiran bagi mereka yang terkait dengan
kebijakan pendidikan, sebelum menganalisis pentingnya pendidikan bagi generasi muda. 11
Cerita-cerita ini semua menggambarkan mobilitas ke atas sosial melalui pendidikan, dengan beberapa
perjalanan mencolok dari terendah ke tingkat tertinggi pencapaian pendidikan di tiga generasi. Orang muda di
seluruh Indonesia telah menyerap etos dikodekan dalam cerita ini. Dengan demikian, mereka menghargai
pendidikan, mereka menghormati pengorbanan orang tua mereka dan sebagai akibat merasa berutang budi
kepada mereka.12
Tentunya hal ini termasuk kebijakan pendidikan yang bertujuan untuk menghasilkan manusia Indonesia
‘modern’ yang sesuai dengan definisi pembangunan yang sempit tersebut. Dengan indoktrinasi melalui
pendidikan yang terus berusaha mengabadikan ketaatan masyarakat terhadap struktur, meredam pengetahuan
alternatif akan pembangunan, dan minimnya pendidikan yang memupuk kesadaran kritis dan kesadaran kelas,
oposisi kritis akan keadaan saat ini akan tetap minim. Di mana sebagian besar masyarakat kita dengan butanya
percaya bahwa mobilitas kelas ke atas dapat dengan mudah diraih apabila kita kerja keras, mandiri dan disiplin;
kesuksesan bergantung kepada sistem meritokrasi. Tak paham akan hambatan-hambatan struktural yang
mematikan. Hal ini juga serupa dengan penemuman sosiolog Lyn Parker dan Pam Nilan (2013) dalam buku
‘Adolescents in Contemporary Indonesia’.13 Untuk pemuda Indonesia, ada hubungan antara kemandirian
(mandiri) dan disiplin (Disiplin) yang mungkin tampak aneh untuk orang Barat: disiplin mengajarkan satu
kemerdekaan.14
Analisis Film SUPER 30 (Proses Mobilitas Sosial dalam Film SUPER 30)
Film Super 30 ini menggambarkan adanya mobilitas sosial. Dimana seorang guru bernama Anand Kumar
berhasil mengantarkan anak didiknya ke jenjang perguruan yang lebih tinggi. Secara langsung Anand Kumar
ikut membantu peserta didiknya dalam perubahan status atau kedudukan masing-masing muridnya. Mereka
yang berasal dari kalangan tidak mampu dan dari berbagai latar belakang sosial yang beragam berkumpul dan
belajar bersama dengan Anand Kumar. Maka dengan begitu adanya pendidikan ini sebagai saluran terjadinya
mobilitas sosial naik.
Kisah film super 30 yang penuh inspiratif ini diangkat dari kisah nyata. Anand Kumar tidak dibayar apalagi
digaji oleh negara, hal ini ia lakukan murni atas dorongan moral serta hati nuraninya. Muridnya yang berjumlah
30 orang ini berhasil lulus dan masuk ke perguruan tinggi Indian Instititut of Teknologi (ITT). Dimana kampus ITT
tersebut adalah kampus paling pretisius di India. Dengan begitu, Anand Kumar berhasil membawa serta
membesakan anak-anak didiknya dari sebuah keterpurukan hidup melalui sebuah pendidikan. Salah satu contoh
murid lulusan ITT yang mengalami mobilitas naik terjadi oleh anak yang bernama Fugga Kumar. Seorang anak
yang berasal dari keluarga kurang mampu dimana orangtuanya dulu adalah penjual balon di jalanan. Namun
sekarang Fugga Kumar berhasil merubah nasib keluarganya. Dalam film itu digambarkan Fugga Kumar sedang
berada di podium, ia sedang berbicara dan menyampaikan kepada para hadirin yang ada disana tentang
bagaimana pendidikan bisa mengubah hidupnya seperti sekarang ini. Ia juga bercerita tentang gurunya yaitu
Anand Kumar yang sudah menjadi pahlawan dan memiliki jasa yang besar bagi dirinya, begitupuntuk semua
teman-temannya yang lain.
Berbicara tentang Anand Kumar, ia juga dulunya berasal dari keluarga yang tidak mampu. Anand Kumar
yang sangat gigih dan mencintai matematika pernah mengalami keterpurukan dalam hidupnya. Saat itu Anand
Kumar mendapatkan panggilan dan dinyatakan diterima di sekolah Cambridge. Namun, lagi-lagi karena masalah
ekonomi dirinya memutuskan untuk tidak pergi. Kesempatan emas itu akhirnya hanya tinggal kenangan. Tapi
11
Ibid, hal.
12
Ibid, hal. 86
13
Dikutip dari (https://indoprogress.com/2017/07/pendidikan-pembangunan-dan-kesadaran-kritis/) pada 17
November 2019, pukul 08:50 PM
14
Parker, Lyn & Pam Nilan. 2013. Op.cit., hal. 100
NAMA : SHOFIANTI
NIM : 11171110000043
karena ia memiliki prestasi dan pernah memenangkan bebrapa medali, seseorang yang mengenalnya yaitu
Lallan Singh seorang asisten pejabat lokal, langsung menawari uang dan mengajaknya untuk mengajar di tempat
kursus miliknya. Disini Anand Kumar mulai mengalami mobilitas vertikal naik. Status sosialnya juga ikut
meningkat sehingga orang lain pun banyak yang menghormatinya. Ketika Anand Kumar bekerja di tempat kursus
tersebut ia mengalami banyak perubahan dan hidupnya jauh lebih makmur daripada sebelumnya. Ia membeli
segala kebutuhan sekunder maupun primer dan hidup dengan penuh gaya dan modis dariapda sebelumnya.
Namun, kenikmatan tersebut tak bertahan lama ketika suatu hari Anand Kumar bertemu dengan seorang
anak miskin yang memiliki bakat di bidang matematika dan sayangnya ia tidak mendapat pendidikan yang layak.
Anand Kumar selama beberapa hari merenungkan dan menyadari sesuatu, dan dia pun memutuskan untuk
mendirikan bangunan dan membuka kelas untuk mereka yang tidak mampu. Menurut Anand Kumar orang
miskin harusnya juga memiliki kesempatan yang sama dalam pendidikan. Anand Kumar berhenti dari tempat
kursus tersebut dan pindah ke tempatnya sendiri dan mengajari ke tiga puluh siswanya itu secara gratis. Disini
Anand Kumar mengalami perpindahan kedududukan dalam hal profesi atau yang disebut dengan mobilitas
horizontal. Anand Kumar pindah mengajar namun kedudukan dia masih tetap sama sebagai seorang guru
matematika. Status dia masih sama yaitu sebagai guru matematika. Namun hidup Anand Kumar tidak semakmur
sebelumnya, kini ia kembali hidup pas-pasan. Semua uangnya sudah habis untuk membeli bangunan dan juga
untuk biaya makan peserta didiknya. Disini Anand Kumar kembali mengalami mobilitas sosial kebawah atau bisa
disebut mobilitas vertikal turun.