Anda di halaman 1dari 14

Vo l. 03 No.

01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

BUDAYA LOKAL MALUKU “PELA GANDONG” DALAM KONTEKS PERILAKU


ORGANISASI

Elsina Huberta Aponno


Politeknik Negeri Ambon, Jurusan Administrasi Niaga
E_Mail: elslatumaerissaponno@yahoo.com

Abstrak: Penelitian ini bertjuan untuk memaknai budaya lokal Maluku “Pela gandong” dalam konteks perilaku
organisasi. Budaya sebagai program mental pada sekelompok orang menjadi dasar bagi pembentukan
kepribadian dari orang-orang dalam kelompok tersebut. Proses budaya mempengaruhi perilaku organisasi
antara lain dengan cara karyawan membawa budaya mereka ke tempat kerja dalam bentuk kebiasaan dan
bahasa yang juga mempengaruhi nilai-nilai individu, etika, sikap, anggapan, dan harapan. “Pela gandong”
merupakan proses budaya sehingga dapat mempengaruhi kepribadian dan nilai -nilai individu seseorang di
tempat kerjanya. Sistim kekerabatan yang dibangun berdasarkan nilai-nilai pela gandong diharapkan mampu
mempengaruhi perilaku individu di tempat kerjanya.,

Abstract: This study aims to interpret the local culture of Maluku "Pela gandong" in the context of organizational
behavior. Culture as a mental program to a group of people form the basis of the personality of the people in the
group. The process of organizational culture influences behavior among others by employees bringing their culture
into the workplace in the form of customs and language also affects the individual values, ethics, attitudes,
assumptions, and expectations. "Pela gandong" is a cultural process that can affect the personality and values of
the individual person in the workplace. Kinship system which is built upon the values itself reportedly expected to
affect the behavior of individuals in the workplace.

PENDAHULUAN karyawan menjadi proaktif dan

Saat ini bidang manajemen sumber daya menunjukkan inisiatif, berkolaborasi dengan lancar

manusia mengalami banyak tekanan untuk dengan orang lain, mengambil tanggung jawab

melakukan perubahan. Pergeseran dalam ekonomi, untuk pengembangan profesional mereka sendiri,

globalisasi, keragaman tenaga kerja, dan teknologi dan harus berkomitmen untuk mencapai kualitas

telah menciptakan tuntutan baru untuk organisasi tinggi dari standar kinerja yang ditetapkan (Bakker

dan mendorong penelitian lapangan dalam dan Schaufeli, 2008).

beberapa arah yang benar-benar baru (Stone dan Perilaku organisasi merupakan sebuah

Deadrick, 2015). Tantangan mendesak bagi bidang interdisipliner yang ditujukan untuk

organisasi dengan karyawan berbeda latar memahami dan mengelola pegawai dengan lebih

belakang budaya adalah tenaga kerja yang beragam baik. Artinya, perilaku organisasi berorientasi pada

dalam mengahadapi globalisasi (White, 1999). penelitian dan penerapan. Tiga tingkat dasar

Alih-alih struktur organisasi tradisional yang analisis dalam perilaku organisasi adalah individu,

sangat bergantung pada pengendalian manajemen kelompok, dan organisasi (Kreitner dan Knicki,

dan prinsip-prinsip ekonomi seperti pengurangan 2014). Kajian-kajian perilaku organisasi

biaya, efisiensi, dan aliran uang tunai, fokus dalam menunjukan bahwa ada interaksi timbal balik dari

organisasi modern adalah pada manajemen sumber setiap tingkatan. Reaksi yang diberikan individu

daya manusia. Saat ini, organisasi mengharapkan ternyata tidak selalu sama walaupun diberikan

12 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

stimulus yang sama dari dinamika kelompok yang sudah ada (yang sebagian besar adalah model
ataupun sistim organisasi karena adanya Amerika Serikat) dan dianalisis dengan negara lain
perbedaan-perbedaan individu. Dua individu sering yang mungkin berbeda dari Amerika pada
bertindak dengan sangat berbeda dalam situasi fenomena yang sama. Amerika Utara dan Eropa
yang sama, dan perilaku individu yang sama mendominasi literatur manajemen global sehingga
mengalami perubahan dalam situasi yang berbeda- Tsui, et al., (2007) mendorong penelitian lebih
beda (Robbins dan Judge, 2014). Hal ini membuat spesifik terutama dari negara-negara di Asia,
perilaku organisasi terus menjadi topik yang Amerika Selatan, dan negara berkembang lainnya
menarik untuk dikaji karena semakin banyak untuk mengisi kesenjangan dalam pengetahuan
referensi yang dimiliki tentang bagaimana individu manajemen global. Hal ini sejalan dengan yang
berperilaku akan mengembangkan teori-teori dikemukakan oleh Hosftede (1991), bahwa
perilaku organisasi dan menjadi dasar pengambilan berdasarkan tingkat individualisme, Amerika yang
kebijakan oleh pihak manajemen. berada pada peringkat satu dari 50 negara dengan
Budaya menjadi salah satu hal yang menarik skor IDV (individualism index) 91 memiliki
untuk ditelusuri lebih jauh dalam kajian perilaku karyawan dengan perilaku yang berbeda dengan
organisasi. Tsui, et al., (2007) dalam meta karyawan Indonesia dan Pakistan yang berada pada
analisisnya tentang perkembangan penelitian peringkat 47 atau 48 dengan skor IDV 14.
perilaku organisasi dengan budaya nasional Peringkat tersebut menunjukan Amerika sebagai
sebagai variabel utama mengungkapkan sejumlah negara yang berkarakter individualism sedangkan
perkembangan paradigma dan metode penelitian Indonesia dikategorikan negara dengan nilai
yang digunakan, namun hal tersebut juga yang kolektifisme sehingga penelitian dengan
menjadi kesenjangan karena terjadi terutama di menggunakan model budaya individualis Amerika
Amerika Utara dan Eropa, padahal abad 21 tentu tidak akan cocok diterapkan di negara dengan
mestinya merupakan abad penelitian manajemen nilai kolektif seperti Indonesia. Saat ini juga telah
internasional. Tantangan unik dari penelitian terjadi pergeseran dalam organisasi yang dinamis
perilaku organisasi dalam konteks lintas-nasional dari individu yang bekerja dalam tim kerja.
adalah untuk memastikan validitas konstruk Robbins (2006) menunjukkan bahwa kerja tim sulit
konsep budaya, menyertakan pembeda nasional kesulitan diterapkan oleh banyak karyawan di
lainnya untuk meningkatkan validitas internal negara-negara Barat, karena mereka memiliki
temuan, dan memperkuat desain penelitian dengan budaya individualistik dan lingkungan kerja di
memanfaatkan kolaborasi antar negara sehingga negara-negara Barat memiliki sifat kompetitif yang
mampu meningkatkan validitas eksternal. menghargai prestasi individu. Kerja tim
Tsui, et al (2007) kemudian diperkirakan lebih mungkin berkembang di negara-
merekomendasikan agar lebih banyak penelitian negara dengan nilai kolektivitas tinggi.
dengan karakteristik negara lain dengan budaya Dalam mempelajari budaya, dikenal juga
yang berbeda dengan preferensi berdasarkan model konsep etnis yang sering digunakan bergantian

13 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

dengan budaya dan ras. Biasanya, etnis digunakan membuktikan hipotesis penelitiannya dengan
dalam referensi untuk kelompok dengan responden karyawan etnis China bahwa responden
kebangsaan, budaya, atau bahasa yang sama. Etnis dengan tingkat verticalism yang tinggi mempunyai
mengacu pada kualitas etnis atau afiliasi dari persepsi yang lebih baik tentang keadilan
kelompok, yang biasanya dicirikan dari segi distributif dibandingkan dengan karyawan dengan
budaya (Betancourt dan Lopez, 1993). Kelompok tingkat verticalism yang lebih rendah. Ang, et. al.
etnis cenderung berinteraksi dengan kelompok (2003) menemukan tidak ada perbedaan bagi
etnis lain, interaksi tersebut tidak boleh diabaikan karyawan etnis China yang tinggal di Singapura
karena mungkin merupakan sumber pengaruh (karyawan lokal) dan yang hanya datang untuk
budaya. Oleh karena itu, adalah penting bahwa bekerja (karyawan lokal) dalam persoalan keadilan
studi banding dari kelompok etnis mengidentifikasi prosedural, namun kayawan asing merasa
dan mengukur variabel budaya yang diasumsikan mendapat perlakuan berbeda untuk keadilan
bertanggung jawab dalam perbedaan yang diamati distributif. Hubungan etnis dengan kinerja
dalam fenomena psikologis sebelum perbedaan dibuktikan dalam penelitian Marimuthu dan
tersebut dikaitkan dengan budaya atas dasar Kolandaisamy (2009) tentang pengaruh etnis dan
keanggotaan kelompok (Betancourt dan Lopez, gender terhadap kinerja keuangan pada perusahaan
1993). di Malaysia. Hasil penelitian menunjukan
Etnis banyak digunakan dalam variabel keragaman etnis dari dewan pimpinan mempunyai
penelitian perilaku dan hasilnya menunjukan korelasi yang signifikan dengan kinerja keuangan
bahwa etnis tertentu akan menunjukan perilaku dan konsisten pada periode yang berbeda. Ang, et.
yang berbeda dari etnis lainnya (Jean, 2013; Lam, al. (2003) juga menemukan bahwa karyawan asing
et. al. 2002; Ngo, et. al. 2006; Ang, et. al, 2003). mempunyai kinerja yang lebih rendah dari
Pengaruh etnis terhadap gaya kepemimpinan karyawan lokal di Singapura.
ditemukan pada penelitian Jean (2013), yaitu Indonesia sebaiknya juga banyak melakukan
bahwa gaya kepemimpinan pemimpin keturunan kajian-kajian perilaku dengan melibatkan etnis
Amerika lebih konsisten dan tegas, sedangkan mengingat keragaman budaya dan etnis yang
pemimpinan keturunan Amerika Asia lebih dimilikinya. Menurut Hofstede (1991), Indonesia
menekankan kesederhanaan, kerjasama, dikategorikan sebagai negara dengan nilai-nilai
harmonisasi dengan lingkungan. Persepsi kolektif. Walaupun beragam budaya dan etnis,
karyawan terhadap keadilan organisasi pada secara umum memang nilai-nilai yang terkandung
karyawan yang nilai individualisme tinggi maupun dalam budaya lokal di Indonesia mengandung nilai
rendah cenderung tidak ada perbedaan (Lam et al. kolektifisme. Kambu et. al, (2012) dalam
2002), namun persepsi tentang keadilan bagi penelitiannya di Papua menunjukan bahwa budaya
karyawan dengan jarak kekuasaan yang rendah Papua dengan indikator etos kerja, gotong royong,
lebih baik dibandingkan dengan yang jarak keterbukaan, pelestarian budaya, dan pola
kekuasaannya tinggi. Ngo, et. al. (2006)

14 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

konsumtif mampu meningkatkan kinerja melalui Kearifan lokal lainnya yang turut
OCB. mempengaruhi perilaku yaitu Siri’na Pacce yang
Nilai-nilai kearifan budaya lokal Jawa juga merupakan pandangan hidup masyarakat Bugis
telah digunakan untuk meneliti perilaku. Siswanto Makassar. Konsep siri’ memiliki dua kandungan
dan Najih (2015) mengemukakan bahwa budaya nilai, yaitu nilai malu dan harga diri. Sementara
Jawa memiliki kearifan lokal yang sangat kaya pacce bermakna solidaritas sosial yang tinggi.
dalam semua aspek kehidupan. Gotong royong, Dalam studi kualitatif yang dilakukan Azis, et al
urun rembug, ataupun tepo seliro merupakan (2015) nilai-nilai Siri’na Pacce digunakan untuk
contoh kearifan lokal dari Jawa yang memiliki memaknai independensi auditor.
pengaruh moderat dalam berbagi pengetahuan Dalam konteks budaya lokal, masyarakat
sehingga kearifan lokal memiliki cukup pengaruh Maluku khususnya di Maluku Tengah mempunyai
dalam keinginan berbagi pengetahuan sebagai tradisi “pela gandong” yang juga cukup kental
dasar keberhasilan implementasi manajemen mempengaruhi perilaku masyarakatnya. Pela
pengetahuan dalam masyarakat. Hudaya dan sebagai pranata sosial masyarakat Maluku dapat
Nugroho (2013) menawarkan gaya kepemimpinan memperlihatkan bagaimana leluhur masyarakat
Hasta Brata sebagai pandangan baru terhadap Maluku tanpa memandang atau
pembelajaran kepemimpinan yang filosofis mempertimbangkan perbedaan-perbedaan yang
terhadap lingkungan internal dan eksternal ada diantara mereka baik berupa perbedaan
organisasi yang bersifat dinamis. kultural, sosial maupun perbedaan religi dan
Tri Hita Karana yang diartikan sebagai tiga agama (Uneputty, 1996). “Pela gandong” (Lokollo
penyebab kebahagiaan, kesejahteraan ataupun et al, 1997) merupakan perserikatan antara satu
kemakmuran hidup manusia (Wirawan 2011 dalam negeri di Pulau Ambon dengan satu atau beberapa
Putera dan Supartha, 2013) yang merupakan unsur negeri lain di Pulau Ambon, Lease dan Pulau
kebudayaan di Bali yang bersifat universal dan Seram, perserikatan mana didasarkan pada
dinamis juga mampu mempengaruhi perilaku hubungan sejati dengan isi dan tata laku
seseorang. Konsep Tri Hita Karana menurut Riana perserikatan yang diatur dalam perjanjian baik
(2011) merupakan konsep harmonisasi hubungan lisan maupun tulisan, dimana para pihak berjanji
manusia dengan Tuhan (parahyangan), hubungan untuk tunduk kepada perjanjian dimaksud sebagai
antar manusia (pawongan), dan hubungan manusia dasar hukum bagi implementasinya dari waktu ke
dengan lingkungan (palemahan). Tri Hita Karana waktu.
berpengaruh terhadap budaya organisasi (Putera Hubungan “pela gandong” ini mempunyai
dan Supartha, 2013), orientasi kewirausahaan dan efek yang sangat penting dimana semua
orientasi pasar (Riana, 2011), keyakinan diri, masyarakat turut serta menjunjung kebersamaan
keinovatifan personal, penggunaan sistim dan menjaga hubungan tersebut. Banyak kajian
informasi akuntansi (Suardikha, 2012 dalam Putera yang dilakukan mengenai “pela gandong” namun
dan Supartha, 2013). kebanyakan mengkaji dari aspek sosiologi

15 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

antroplogi (Sahusilawane, 2004; Uneputty, 1996; yang berpola pikiran (thinking), perasaan (feeling),
Lokollo et al, 1997; Huwae, 1995; Pattiselano, dan tindakan (action) atau disebut dengan
1999). “Pela gandong” juga banyak digunakan “software of the mind”. Pemrograman mental atau
dalam kajian ilmiah namun lebih ditekankan pada budaya ini dikembangkan melalui suatu sistem
fungsinya untuk mencegah ataupun menangani nilai yang berkembang dalam masyarakat,
konflik (Ralahallo, 2009; Kadir, 2012; Manuhuttu, kemudian sistem nilai ini akan menjadi norma-
2015; Frost, 2004; Mualim et al, 2014; Hoedodo et norma sosial yang mempengaruhi perilaku sosial.
al, 2013), pembinaan masyarakat pasca konflik Defenisi tersebut mengekspresikan bahwa budaya
(Tuhuteru, 2014; Sholeh, 2013), pengembangan termasuk budaya lokal pela gandong turut
pembangunan (Piris dan Tilaar, 2014), ataupun mempengaruhi perilaku pelaku organisasi.
pengintegrasiannya dalam metode pendidikan
(Tuhuteru, 2014; Matitaputty, 2013). Pela gandong BUDAYA DALAM PELAKU ORGANISASI
juga terbukti telah menjadi bidang kajian yang
Budaya telah diidentifikasi sebagai salah
menarik tidak hanya bagi peneliti lokal
satu bidang kajian perilaku organisasi. Ilmu
(Sahusilawane, 2004; Uneputty, 1996; Lokollo et
antropologi yang memberikan kontribusi terhadap
al, 1997; Ralahallo, 2009; Manuhuttu, 2015;
hal ini (Robbins dan Judge, 2014). Analisis lintas
Huwae, 1995, Pattiselanno, 1999) namun juga
budaya pun menjadi penting dilakukan untuk lebih
menjadi perhatian peneliti nasional (Hoedodo et al,
memahami perilaku dalam organisasi.
2013; Sholeh, 2013) dan internasional (Bartels,
Budaya merupakan seperangkat kepercayaan
1977 dalam Uneputty, 1996; Frost, 2004; Mualim
dan nilai tentang apa yang disukai dan tidak
et al, 2014).
disukai dalam satu komunitas orang, serta
Walaupun demikian, belum ada kajian
seperangkat praktek formal dan informal untuk
manajerial pada aspek ini, padahal nilai-nilai yang
mendukung nilai-nilai. Budaya memiliki elemen
terkandung dalam budaya (tentunya termasuk pela
preskriptif dan deskriptif serta melibatkan asumsi
gandong sebagai budaya lokal) menurut Hosftede
spontan tentang bagaimana berpikir, bertindak, dan
(1991) mampu mempengaruhi perilaku organisasi.
merasakan. Budaya mengesampingkan ikatan
Budaya memiliki elemen preskriptif dan deskriptif
nasional. Aspek-aspek kunci dari budaya
serta melibatkan asumsi spontan tentang
masyarakat, seperti kebiasaan dan bahasa dibawa
bagaimana berpikir, bertindak, dan merasakan.
ke tempat kerja oleh individu. Budaya masyarakat
Para karyawan membawa budaya mereka ke
dan budaya organisasi bekerja sama
tempat kerja dalam bentuk kebiasaan dan bahasa.
mempengaruhi nilai-nilai yang dianut seseorang,
Budaya masyarakat dan budaya organisasi bekerja
etika, sikap-sikap, dan harapan-harapan (Kreitner
sama mempengaruhi nilai-nilai yang dianut
dan Kinicki, 2014). Hosftede (1991),
seseorang, etika, sikap-sikap, dan harapan-harapan
mendefenisikan budaya sebagai program mental
(Kreitner dan Kinicki, 2014). Hosftede (1991),
yang berpola pikiran (thinking), perasaan (feeling),
mendefenisikan budaya sebagai program mental
dan tindakan (action) atau disebut dengan

16 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

“software of the mind”. Pemrograman mental atau Gambar di atas menunjukan bagaimana
budaya ini dikembangkan melalui suatu sistem budaya sebagai program mental pada sekelompok
nilai yang berkembang dalam masyarakat, orang menjadi dasar bagi pembentukan personality
kemudian sistem nilai ini akan menjadi norma- dari orang-orang dalam kelompok tersebut.
norma sosial yang mempengaruhi perilaku sosial. Kreitner dan Kinicki (2014)
Definisi tersebut mengekspresikan bahwa budaya mendeskripsikan proses budaya mempengaruhi
turut mempengaruhi perilaku pelaku organisasi. perilaku organisasi dengan dua cara. Para
Hofstede (1991) mendefinisikan budaya karyawan membawa budaya mereka ke tempat
sebagai pola pikiran, perasaan dan tindakan untuk kerja dalam bentuk kebiasaan dan bahasa. Budaya
kelompok-kelompok sosial, yang membedakannya organisasi yang merupakan produk dari budaya
dengan kelompok sosial lainnya. Konsep budaya masyarakat mempengaruhi nilai-nilai individu,
diturunkan dari program mental yang dibedakan etika, sikap, anggapan, dan harapan. Budaya
dalam tiga tingkatan, yaitu ; 1) Tingkat universal, masyarakat dibentuk oleh faktor lingkungan yang
yaitu program mental dimiliki seluruh manusia dan beragam yang diurut di sebelah kiri pada gambar 2.
melekat pada diri manusia, 2) Tingkat kolektif, Gambar 2.
Pengaruh Budaya Terhadap Perilaku Organisasi
yaitu program mental dimiliki oleh beberapa, tidak
seluruh manusia. Pada tingkat ini program mental
khusus pada kelompok atau kategori dan dapat
dipelajari. 3) Tingkat individual, yaitu program
mental unik dimiliki oleh hanya seorang atau dua
orang yang tidak akan memiliki program mental
yang sama. Pada tingkatan ini program mental
Sumber : Kreitner dan Kinicki (2014)
sebagian kecil melekat pada diri manusia, dan
lainnya dapat dipelajari dari masyarakat, organisasi Indikator budaya yang sering digunakan
atau kelompok lain. Ketiga tingkatan ini dapat dalam penelitian ilmiah dikembangkan oleh
digambarkan sebagai berikut : Hosftede (1991) sebagai hasil penelitian yang
Gambar 1. merupakan hasil perbandingan lintas budaya yang
Tingkatan Program Mental Manusia
unik dari 116.000 karyawan IBM dari 53 negara
(Kreitner dan Kinicki, 2014) yaitu:
1. Individualism-Collectivism. Individualisme
merefleksikan sejauh mana individu
mengharapkan kebebasan pribadi. Ini berlawan
dengan kollektivisme (kelompok) yang
didefinisikan menerima tanggungjawab dari
keluarga, kelompok masyarakat (suku dll).
Sumber : Hosftede, 1991.

17 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

2. Power distance. Didefinisikan sebagai jarak mengelola karyawan dengan nilai-nilai individu
kekuasan antara pimpinan dan bawahan dalam yang berbeda karena perbedaan latar belakang
hirarki organisasi adalah berbeda antara sejauh budaya yang dianutnya. Nilai-nilai budaya ini
mana pimpinan dapat menentukan perilaku diidentifikasikan Robbins dan Judge (2014)
bawahan dan sebaliknya. Pada masyarakat yang sebagai variabel independen pada tingkat individu
power distance besar, adanya pengakuan dalam pendekatan perilaku organisasi yang dapat
tingkatan didalam masyarakat dan tidak mempengaruhi perilaku karyawan.
memerlukan persamaan tingkatan. Sedangkan Konsep etnis sering dikaitkan dengan
pada masyarakat yang power distance kecil, budaya dan sering digunakan bergantian dengan
tidak mengakui adanya perbedaan dan budaya dan ras. Biasanya, etnis digunakan dalam
membutuhkan persamaan tingkatan didalam referensi untuk kelompok dengan kebangsaan,
masyarakat. budaya, atau bahasa yang sama. Konsep etnisitas
3. Uncertainty avoidance. Ketidakpastian terkait dengan konsep Yunani yakni ethnos, yang
mengenai masa depan adalah sebagai dasar mengacu kepada orang-orang suatu bangsa atau
kehidupan masyarakat. Masyarakat yang suku, dan ethnikos, yang berarti nasional. Oleh
tingkat ketidakpastiannya tinggi akan karena itu, etnis mengacu pada kualitas etnis atau
mengurangi dampak ketidakpastian dengan afiliasi dari kelompok, yang biasanya dicirikan dari
teknologi, peraturan dan ritual. Sedangkan segi budaya (Betancourt dan Lopez, 1993).
masyarakat dengan tingkat menghindari ketidak Kelompok etnis cenderung berinteraksi
pastian yang rendah akan lebih santai sehingga dengan kelompok etnis lain, interaksi tersebut
praktik lebih tergantung prinsip dan tidak boleh diabaikan karena mungkin merupakan
penyimpangan akan lebih bisa ditoleransi. sumber pengaruh budaya. Oleh karena itu, adalah
4. Masculinity-femininity. Nilai maskulin penting bahwa studi banding dari kelompok etnis
menekankan pada nilai kinerja dan pencapaian mengidentifikasi dan mengukur variabel budaya
yang nampak, sedangkan feminim lebih pada yang diasumsikan bertanggung jawab dalam
preferensi pada kualitas hidup, hubungan perbedaan yang diamati dalam fenomena
persaudaraan, modis dan peduli pada yang psikologis sebelum perbedaan tersebut dikaitkan
lemah. dengan budaya atas dasar keanggotaan kelompok
Luthans (2005) mengungkapkan bahwa (Betancourt dan Lopez, 1993). Upaya studi
terdapat juga perbedaan dalam berbagai budaya banding ini telah dilakukan dan ditemukan bahwa
nasional dan membuat generalisasi atau ada perilaku berbeda dari kelompok etnis tertentu
kesimpulan stereotip tidak hanya dapat menjadi walaupun diberi perlakuan yang sama (Cohen,
suatu kesalahan, tapi juga dapat menjadi masalah. 2006; Moorman dan Blakely, 2005; Ying Liu dan
Indonesia sebagai negara dengan beragam budaya Cohen, 2010; Kwantes, et al., 2008).
juga menjadi tantangan tersendiri dalam konteks
perilaku organisasi. Pemimpin harus mampu

18 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

negeri-negeri Islam dan Kristen (Dr. Piet


BUDAYA MALUKU “PELA GANDONG”
Tanamal), 4) pela adalah akronim dari pela, laha,
dan luia artinya suatu perjanjian untuk kasih
Pela gandong adalah pranata sosial bagi
mengasihi karena sekandung atau seperti saudara
orang-orang di Maluku Tengah khususnya Pulau
kandung (J. E. Lokollo), 5) pela berasal dari kata
Seram, Ambon, dan Lease (Lokollo, et. al., 1997;
pelania yang arinya sudah atau selsai, maksudnya
Uneputty,1996). Sejak dahulu kala pranata sosial
sudah terjadi hubungan antara dua negeri yang
ini telah hidup dan berkembang sebagai suatu
terjadi karena yang satu membantu yang lain
perekat hubungan-hubungan sosial di antara satu
dalam peperangan atau dalam kepentingan negeri
negeri dan negeri-negeri lain baik negeri yang
atau desa secara menyeluruh (Tomasoa Jokomina).
beragama Islam maupun negeri yang beragama
Kutipan di atas menunjukan bahwa pela tidak
Kristen (Sahusilawane, 2004) dan berfungsi
dapat dipahami secara harafiah karena aspeknya
mengatur interaksi sosial masyarakat desa berpela
cukup kompleks.
dalam berbagai bidang (Uneputty, 1996).
Kata gandong dalam bahasa Ambon dapat
Pengertian Pela Gandong
dibandingkan dengan kata kadung dalam bahsa
Secara sederhana pela dirumuskan sebagai
Indonesia (Sahusilawane, 2004). Gandong atau
ikatan persaudaraan antara dua desa atau lebih
kandung adalah Rahim atau satu pangkuan, suatu
sedangkan gandong adalah hubungan persaudaraan
pusat dan awal dari pada segala sesuatu yang
antara dua desa atau lebih didasarkan atau
hidup. Jadi maksudnya adik dan kakak kandung
dilatarbelakangi oleh adanya hubungan-hubungan
mengikat perjanjian untuk kasih mengasihi.
genealogia antara desa-desa yang bersangkutan,
Dengan demikian pela dan gandong
dimana para leluhur dari desa-desa tersebut berasal
mempunyai makna yang territorial dan makna
dari keturunan yang sama, (Uneputty, 1996). Itulah
yang geneologis. Dari sisi territorial pela dan
sebabnya lasim pada desa-desa yang memiliki
gandong itu merupakan suatu perserikatan antara
hubungan gandong, perkawinan antar warganya
negeri-negeri sedangkan dari sisi geneologis pela
sangat terlarang.
dan gandong merupakan suatu persaudaraan sejati
Sahusilawane (2004) mengemukakan
(Sahusilawane, 2004).
pendapat dari beberapa pakar budaya dan tokoh
Sejarah umum budaya Pela Gandong
masyarakat tentang pengertian pela sebagai berikut
Asal mula pela baik bentuk, sifat, isi dan
; 1) suatu ikatan atau hubungan persaudaraan atara
tatalaku ialah dari adanya kehidupan sosial yang
seluruh penduduk dari dua desa atau lebih
berkembang di masyarakat Nunusaku di Pulau
berdasarkan adat (Dr. Frank L. Cooley), 2) suatu
Seram (Lokollo et al, 1997). Perkembangan sosial
perserikatan atau system persahabatan antara
masyarakat saat itu baik akibat pertambahan
beberapa kampong atau negeri (Dr. Dieter Bartels),
jumlah penduduk, dasar dan cara rumpun Patasiwa
3) ikatan kesatuan dan persaudaraan antara dua
dan Patalima berpenampilan ataupun berbahasa
atau lebih negeri baik itu antar negeri-negeri
mengakibatkan perpecahan masyarakat Nunusaku
Kristen atau negeri-negeri Islam maupun antar

19 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

dan mendorong terjadinya eksodus, selain ke arah pela dengan pihak-pihak yang membantunya, yaitu
timur dan barat Pulau Nusa Ina itu sendiri (Pulau dengan negeri Tuhaha di pulau Saparua, Oma di
Seram), juga ke arah Pulau Ambon dan Pulau- pulau Haruku dan Tihulale di pulau Seram. Suatu
Pulau Lease. Dieter Bartels (dalam Uneputty, hal yang menarik di sini adalah pihak-pihak yang
1996) mengemukakan bahwa eksodus ini juga membantu Hatuhaha adalah negeri-negeri yang
didorong oleh invasi orang-orang Barat khususnya penduduknya bergama Kristen.
Belanda yang berhasil melakukan politik devide at Kadang-kadang insiden atau akibat suatu
impera. bencana tertentu dapat pula membuat orang atau
Selanjutnya peristiwa yang terjadi selama negeri membuat ikatan pela . Ketika terjadi
invasi Belanda (Uneputy, 1996) dimana ada bencana gempa bumi atau dikenal dengan istilah
bantuan yang diberikan satu negeri kepada negeri tanah goyang di negeri Elpaputih di Seram Selatan,
lainnya menjadi dasar dari suatu ikatan banyak orang Ihamahu dari Pulau Saparua yang
persekutuan pela, misalnya; bantuan yang sedang mengusahakan kayu untuk membangun
diberikan dari berbagi negeri kepada Pattimura gereja yang menjadi korban di laut. Ada sebagian
pada saat perang Pattimura ataupun kisah tentang yang selamat dan ditolong oleh orang-orang di
hongi tochten (pelayaran hongi) dimana VOC negeri Amahai yang kemudian membantu
mengerahkan armada kora-kora Bumi Putera yang menyelesaikan pembangunan gedung gereja.
diambil dari desa-desa tertentu di Pulau Ambon Sebagai tanda adanya pertolongan dari negeri
yang banyak ditolong warga desa Pulau Seram Amahai maka diadakanlah ikatan pela antara
pada saat kehilangan arah. Sejalan dengan yang negeri Ihamahu di Pulau Saparua dan negeri
diungkapkan Sahusilawane (2004) bahwa pada Amahai di Pulau Seram (Sahusilawane, 2004).
masa penjajahan terutama di abad 17 dan 18
Latar Belakang terjadinya Pela Gandong
banyak negeri saling angkat pela dengan tujuan
Ada beberapa alasan terjadinya hubungan
untuk saling membantu menghadapi perang
pela sebagai sebuah tradisi sebagaimana
melawan Belanda.
disebutkan oleh para ahli (Uneputy, 1996; Bartels,
Sebagai contoh (Sahusilawane, 2004) Uli
1977 dalam Ralahallo 2012; Sahusilawane, 2004),
Hatuhaha di Pulau Haruku yang terdiri dari lima
antara lain: pertama, hubungan pela sebagai balas
negeri masing-masing Pelau, kabau, Rohomoni,
jasa dari negeri yang satu kepada negeri yang lain
Kailolo, dan Hulaliu yang penduduknya beragama
yang pernah membantunya pada saat ada
Islam (kecuali Hulaliu) bersama-sama dengan
peperangan ataupun bencana alam. Kedua,
Kimelaha Leliato penguasa Ternate di jazirah
hubungan pela sebab ada hubungan persaudaraan
Huamoal Seram Barat berperang melawan Belanda
antara negeri yang bersangkutan menurut cerita
tahun 1637. Uli Hatuhaha mendapat bantuan dari dari datuk‐datuk mereka, bahwa mereka adalah
negeri-negeri yang lain. Walaupun pada akhirnya
saudara kandung. Ketiga, hubungan pela sebab
perang itu dimenangkan oleh Belanda, tetapi
terjadinya hal-hal yang luar biasa. Adapun
setelah perang Uli Hatuhaha membuat atau angkat
kekuatan mengikat perjanjian pela (Hukum Pela)

20 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

didasarkan pada asas “sei hale hatu, hatu hale sei”. yang berpela itu, menganggap diri sebagai satu
Dapat diterjemahkan “sapa bale batu, batu bale turunan. Upaya mempertahankan tradisi pela
dia” yang bermakna “apa yang tua‐tua bikin, harus dilakukan melalui ritual panas pela yang bertujuan
dipelihara”. untuk menjaga kelestarian hubungan persaudaraan
Ada empat hal pokok yang mendasari pela sebagai nilai dasar pela.
gandong yaitu: negeri-negeri yang berpela
PELA GANDONG SEBAGAI PROSES BUDAYA
berkewajiban untuk saling membantu pada
kejadian genting (perang, bencana alam). Apabila Kreitner dan Kinicki (2014a)
diminta, maka negeri yang satu wajib memberikan mengungkapkan bahwa proses budaya
bantuan kepada negeri lain, misalnya hendak mempengaruhi perilaku organisasi antara lain
melaksanakan proyek kepentingan umum seperti dengan cara karyawan membawa budaya mereka
pembangunan sekolah, masjid, atau gereja. Apabila ke tempat kerja dalam bentuk kebiasaan dan
seseorang sedang mengunjungi negeri yang bahasa yang juga mempengaruhi nilai-nilai
berpela itu, maka orang-orang di negeri itu wajib individu, etika, sikap, anggapan, dan harapan.
untuk memberi makanan kepadanya dan tamu yang Sejalan dengan pendapat Hofstede (1991) yang
sepela itu tidak perlu meminta izin untuk menunjukan bahwa budaya sebagai program
membawa pulang hasil bumi atau buah-buahan mental pada sekelompok orang menjadi dasar bagi
yang menjadi kesukaannya, karena penduduk pembentukan kepribadian dari orang-orang dalam
negeri-negeri yang berhubungan pela itu dianggap kelompok tersebut.
sedarah, maka dua orang yang sepela tersebut “Pela gandong” merupakan proses budaya
dilarang untuk menikah. Bagi orang-orang yang sehingga dapat mempengaruhi kepribadian dan
melanggar segala ketentuan tersebut, konon nilai-nilai individu seseorang di tempat kerjanya.
katanya akan mendapatkan hukuman dari nenek Sistim kekerabatan yang dibangun berdasarkan
moyang yang mengikrarkan pela. nilai-nilai pela gandong menurut Uneputty (1996)
Macam-macam pela telah mampu membentuk jati diri manusia Maluku

Menurut Cooley (1987 dalam Ralahallo apa yang disebut common sence of belonging (rasa
2012), pela dibagi dalam dua kategori yaitu 1) pela kebersamaan), common sence of unity (rasa
keras/pela tuni/pela tulen/pela batu karang/pela persatuan dan kesatuan), common sense of
darah terjadi oleh karena dibentuk atas dasar responsibility (rasa tanggung jawab). Nilai-nilai
„minum darah‟ sebagai pengesahan hubungan pela inilah yang diharapkan mampu mempengaruhi
tersebut. 2) pela tempat sirih dibentuk dengan perilaku individu di tempat kerjanya.
menyuguhkan sirih pinang sebagai suatu tradisi
dalam masyarakat Alifuru. Bartels (1977 dalam SIMPULAN
Ralahallo 2012) menambahkan pela gandong (atau Budaya berdasarkan pemaparan di atas
bungso) berdasarkan ikatan turunan artinya satu merupakan faktor ekternal yang mampu
atau lebih banyak mata rumah dalam negeri‐negeri mempengaruhi perilaku organisasi. Budaya lokal

21 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

Maluku “Pela Gandong” sebagai salah satu Hofstede, G. 1991. Cultures and Organisations,
Software of the Mind. Intercultural
bentuk budaya yang dijunjung penganutnya dalam cooperation and its importance for survival.
pendekatan tersebut juga diduga mampu London:McGraw-Hill Book Company.
mempengaruhi perilaku organisasi. Mengingat saat
Hudaya, Z. A., dan Nugroho, S. W. D., 2013.
ini belum ada kajian manajerial yang melibatkan Kearifan Lokal Budaya Jawa Sebagai Basis
Model Kepemimpinan Yang Efektif.
Pela Gandong, maka diharapkan tulisan ini dapat
Journal & Proceeding Fakultas Ekonomi
menjadi awal bagi pengembangan penelitian di dan Bisnis Unsoed, volume 3, nomor 1.
masa mendatang. Huwae, S., 1995. Divided Opinions About Adat
Pela: A Study Og Pela Tamilouw-SiriSori-
DAFTAR PUSTAKA Hutumuri. Cakalele, 6:77-92

Jean, L. C. 2013. Diversity eadership: Influence of


Ang, S., Van Dyne, L. dan Begley, T. M. 2003. Etnicity, Gender, and Minority Status. Open
The Employment Relationship of Foreign Journal of Leadership. 2(1):1-10
Workers versus Local Employees: a Field
Study of Organizational Justice, Job Kadir H. A. 2012. Sapa Bale Batu, Batu Bale Dia;
Satisfaction, Performance, and OCB. Politik Revivalisme; Tradisi Siwalima
Journal of Organizational Behavior, 24:561- Orang Ambon Pasca Konflik. Lakon, Jurnal
583. Kajian Sastra dan Budaya, 1(1):61-75.
Azis, N. A., Mangoting, Y., dan Lutfillah, N. Q., Kambu, A., Troena, E.A., Surachman dan
2015. Memaknai Independensi Auditor Setiawan,M. 2012. Influence of Leader-
Denan Keindahan Nilai-Nilai Kearifan Member Exchange, Perceived
Lokal Siri‟na Pacce. Jurnal Akuntansi Organizational Support, Papua Etnic Culture
Multiparadigma, 6(1)145-156 and Organizational Citizenship Behavior
toward Employee Performances of Workers
Bakker, A. B., dan Schaufei, W. B., 2008. Positive in Papua Provincial Secretary Office.
organizational behavior: Engaged employees Journal of Business and Management,
in flourishing organization. Journal of 5(4):31-38.
Organizational Behavior, 29:147-154.
Kreitner, R. dan Kinicki, A. 2014. Perilaku
Betancourt, H. dan Lopez, R. 1993. The study of Organisasi – Organizational Behaviour.
Culture, Etnicity, and Race in American Edisi 9, Buku 1. Jakarta : Salemba Empat.
Psychology. American Psychologist,
48(6):629-637. Kwantes, C.T., Karam C.M., Kuo B.C.H. dan
Towson S. 2008. Culture‟s influences on the
Cohen, A. 2006. The Relationship Between perception of OCB as in-role or extra-role.
Multiple Commitments and Organizational International Journal of Intercultural
Citizenship Behavior in Arab and Jewish Relations, 32:229-243
Culture. Journal of Vocational Behavior,
69:105-1118 Lam, S.S.K., Schaubroech, J. dan Aryee, S. 2002.
Relationship between Organizational Justice
Frost, N., 2004. Adat di Maluku: Nilai Baru atau and Employee Work Outcome: A Crosss-
Eksklusivisme Lama?. Antropologi National Study. Journal of Organizational
Indonesia, 74:1-11 Behavior, 23(1):1-18
Hoedodo, T.S.B., Surjo, J., Qodir, Z., 2013. Local Lokollo, J. E., Pattiruhu, C. M., Lestaluhu, M.,
Political Conflict and Pela Gandong Admist Timisela, Iz., Limahelu, D., Limahelu, L.,
the Religious Conflict. Journal of Leatemia, J., Leasa G., 1997. Seri Budaya
Government and Politics, 4(2):336-349

22 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

Pela Gandong dari Pulau Ambon. Ambon : Di rektorat Unud. E-Jurnal Manajemen
Lembaga Kebudayaan daerah Maluku. universitas Udayana, 3(7):1999-2014.

Luthans, F. 2005. Perilaku Organisasi. Edisi Ralahallo, R.N. 2009. Kultur Damai Berbasis
sepuluh. New York: McGraw-hill. Tradisi Pela Dalam Perspektif Psikologis
Sosial. Jurnal Psikologi, 36(2):177-188
Manuhutu, R., Purwiyastuti, W., dan Widiarto, T.,
2015. Budaya Pela Gandong Di Negeri Riana, I. G., 2011. Dampak Penerapan Kultur
Haria Sebagai Alat Pemersatu Dan Lokal Tri Hita Karana Terhadap Orientasi
Perdamaian Orang Maluku Tengah. Kewirausahaan dan Orientasi Pasar. Jurnal
Widyasari, 17(2):100-105 Teknik Industri, 13(1)37-44

Marimuthu, M. dan Kolandaisamy I. 2009. Ethnic Robbins, Stephen P., 2006. Perilaku Organisasi,
and Gender Diversity in Boards of Directors PT Indeks, Kelompok Gramedia, Jakarta.
and Their Relevance to Financial
Performance of Malaysian Companies. Robbins, S.P. dan Judge, T. A. 2014. Perilaku
Journal of Sustainable Development, Organisasi – Organizational Behaviour.
2(3):139-148. Buku 1, Edisi 12. Jakarta : Salemba Empat.

Matitaputty, J. K., 2013. Pendidikan Karakter Sahusilawane, F. 2004. Sejarah Lahirnya Pela dan
Melalui Penggalian Nilai-Nilai Kearifan Gandong Antar Negeri-negeri Di Pulau
Lokal budaya Pela Gandong Di Maluku. Ambon. Laporan Penelitian Sejarah dan
Jurnal Pendidikan “Jendela Pengetahuan”, Nilai Tradisional Ambon. Ambon : Balai
6(15):73-80. Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional
Ambon.
Moorman, R. H. dan Blakely, G. L. 1995.
Individualism-collectivism as an Individual Sholeh, B., 2013. The Dynamics of Muslim and
Difference Predictor of Organizational Christian Relatioins in Ambon, Easter
Citizenship Behavior. Journal of Indonesia. International Journal of Bussines
Organizational Behavior, 16:127-142. and School Sciences, 4(3):303-311.

Mualim, Awang, J., dan Abu Bakar, I., 2014. Pela Siswanto, T., dan Najih, M., 2015. Pengaruh
Gandong Sebagai Pemangkin Toleransi Kearifan Lokal Dalam Berbagi Pengetahuan
Antara Muslim dan Kristian di Ambon. di Perusahaan Jawa Tengah. Prosiding
Jurnal Hadjari, 6(1):43-55. Seminar Nasional Sistim Informasi
Indonesia, 2-3 November 2015.
Ngo, Hang-yue, Foley, S. dan Loi, R. 2006. The
Effect of Culutral Types on Perceptions of Stone, D. L., dan Deadrick, D. L., 2015.
Justice and Gender Inequity in the Challenges and Opprtunity Affecting the
Workplace. International Journal of Human Human Resource Management. Human
Resources Management, 17:983-998 Resource Management Review, 25:139-145

Pattiselanno, J.Th.F., 1999. Tradisi Uli, Pela dan Tuhuteru, L., 2014. Pembinaan Nilai-Nilai
Gandong Pada Masyarakat Seram, Ambon, Demokrasi Dalam Budaya Lokal Pada
dan Uliase. Antropologi Indonesia, 58:58-69 Masyarakat Pasca Konflik Sosial Ambon.
Jurnal Pendidikan “Jendela Pengetahuan”,
Piris, S. dan Tilaar, S. 2014. Graha Wisata Adat 7(17):29-39
Pela Gandong di Maluku (Simbiosis
Mutualisme). Tsui, A. S., Nifadkar, S. S., dan Amy Yi Ou.,
2007. Cross-National, Cross- Cultural
Putera, I. D. G. W., dan Supartha, W. G., 2014. Organizational Behavior Research :
Penerapan Konsep Tri Hita Karana Dalam Advances, Gaps, and Recommendations.
Hubungannya Dengan Budaya Organisasi Journal of Management, 33:426-478.

23 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017
Vo l. 03 No. 01 Februari Jurnal Manajemen ISSN 2339-1502

Uneputty, T. J. A. 1996. Perwujudan Pela Dalam


Kehidupan Sosial Masyarakat Maluku.
Ambon: Bagian Proyek Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-nilai Budaya Maluku.

White, R. D., 1999. Managing the Diverse


Organization: The Imperative for a New
Multiculture Paradigm. Public
Administration & Management: An
Interactive Journal, 4 (4):469-493

Ying, Liu. Dan Cohen, A. 2010. Values,


commitment, and OCB among Chinese
employees. International Journal of
Intercultural Relations, 34:493-506

24 | J u r n a l M a n a j e m e n , V o l . 0 3 N o . 0 1 F e b r u a r i 2017

Anda mungkin juga menyukai