Anda di halaman 1dari 13

MANAJEMEN LINTAS BUDAYA

RMK SAP 3 dan SAP 4

DOSEN PENGAMPU :

Dr. Dra. Putu Saroyini Piartrini, M.M., Ak.

Di susun oleh :

Geldy Mahantara Kristindo Katu (1506205108)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS UDAYANA
TAHUN 2018
SAP 3

DEFINISI BUDAYA

Budaya merupakan cara hidup yang berkembang, serta dimiliki bersama oleh kelompok orang,
serta diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya ini terbentuk dari berbagai unsur yang rumit,
termasuk sitem agama dan politik, adat istiadat, perkakas, bahasa, bangunan, pakaian, serta karya
seni.

Bahasa sebagaimana juga sebuah budaya, adalah suatu bagian yang tidak terpisahkan dari manusia
sehingga kebanyakan manusia lebih cenderung menganggap sebagai sebuah warisan secara
genetis. Saat orang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya, serta lebih
menyesuaikan perbedaannya, dan membbuktikan bahwa budaya itu dapat dipelajari.

Budaya merupakan pola hidup yang menyeluruh. budaya memiliki sifat yang kompleks, abstrak,
serta luas. Bebagai budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur sosial-budaya ini
tersebar, serta meliputi banyak kegiatan sosial manusia.

VARIABEL BUDAYA

Pendekatan ini terdiri dari definisi budaya berdasarkan karakteristik yang menggambarkan atau
menyerupai budaya (misalnya nasionalitas atau tempat kelahiran) dan sudah umum dalam aplikasi
bisnis (Hoover dan rekan, 1978; Dawar dan Parker, 1994; Steenkamp dan rekan, 1999;
Lenartowitcz dan Roth, 2001). Hofstede (1984) dan Steenkamp (2001) mendukung metode ini.
Steenkamp (2001) mengatakan bahwa terdapat dukungan empiris terhadap perbedaan negara dan
perbedaan antar-negara yang membentuk nasionalitas diakui sebagai variabel yang mewakili
budaya. Selanjutnya, negara merupakan sumber yang memuat sejumlah pemrograman mental
umum untuk warga negara mereka” (Hofstede, 1991: 12), bila negara dengan riwayat yang panjang
memiliki pengaruh yang kuat terhadap integrasi selanjutnya. Pada kenyataannya, budaya, negara,
bangsa dan masyarakat sering digunakan secara saling bertukaran (Sekaran, 1983; Nasif dan rekan,
1991). Selanjutnya, berdasarkan hubungan yang tidak sempurna antara batasan politik dengan
budaya, begitu juga di negara yang memiliki budaya sama atau homogen (Sheth dan Sethi, 1977),
para sarjana seringkali melibatkan kelompok etnis rangkap dalam meneliti setiap negara.
Pendekatan Proxy digunakan pada tahap budaya yang berbeda. ”Budaya ditetapkan pada tahap
analisis yang berbeda, berkisar dari tahap kelompok hingga tahap organisasi atau tahap nasional”
(Erez dan Earley, 1993: 23) atau pada kelompok negara seperti Uni Eropa (Steenkamp, 2001).
Contoh, penelitian Mattila (1999) mengenai pengaruh budaya pada motivasi pembelian melalui
pemenuhan jasa memperlihatkan perbedaan antara budaya Asia dengan Budaya Barat. Pada waktu
yang sama, Dawar dan Parker (1994) mengajukan ”wilayah bisnis etno-geografis sebagai suatu
alternatif operasional untuk budaya, dan menetapkan empat kelompok budaya: Amerika Utara;
Masyarakat Ekonomi Eropa (EEC); negara Eropa Non-EEC, dan negara lainnya. Pada kutub yang
berlawanan, sub budaya juga diteliti (Lenartowitcz dan Roth, 2001).

Variabel wakil (proxy) lain juga digunakan, seperti tahap keterlibatan budaya pada sektor retail
(Dawar cdan Parker, 1994). Samli (1995) mengatakan bahwa perilaku konsumen dapat diprediksi
dengan menggunakan sistem skor pada variabel budaya yang relevant yang membutuhkan
identifikasi pola perilaku konsumen internasional tertentu Dia mengajukan seperangkat variabel
berikut: struktur kelas, bahasa, konteks (rendah/tinggi), hubungan antar personal, jenjang
kebutuhan, peran seks, peran anak, teritorialitas, temporalitas, pembelajaran, etika kerta,
kebutuhan untuk privacy (kebebasan), pemanfaatan sumber daya, penggunaan sumber daya, peran
keluarga dalam pengambilan keputusan, ukruan keluarga, keagamaan, orientasi tradisi, dan
pencapaian teknologi.

Selanjutnya, pendekatan ini merupakan metode klasifikasi dimana variabelnya kurang memadai
untuk menguji hubungan yang dihipotesis mengenai pengaruh budaya pada vaiabel terikat
(dependent variable).

DIMENSI BUDAYA

Dimensi budaya menurut Hofstede (2001) adalah: “Dimension of culture is The comparison of
cultures presupposes that there is something to be compared – that each culture is not so unique
that any parallel with another culture is meaningless.”

Pengertian di atas dapat dipahami bahwa perbandingan budaya mengandaikan bahwa ada sesuatu
yang harus dibandingkan – bahwa setiap budaya sebenarnya tidaklah begitu unik, bahwa setiap
budaya yang paralel dengan kebudayaan lain tidak memiliki makna yang begitu berarti. Berikut
ini adalah enam dimensi budaya yang dibangun oleh Hofstede dan beberapa peneliti lain:
1. Power Distance, terkait kepada solusi-solusi yang berbeda terhadap masalah dasar dari
ketidaksetaraan manusia;
2. Uncertainty Avoidance, terkait dengan tingkat dari stres dalam lingkungan sosial
menghadapi masa depan yang tidak diketahui;
3. Individualism versus Collectivism, terkait dengan integrasi dari individu ke dalam
kelompok-kelompok utama;
4. Masculinity versus Feminimity, terkait dengan pembagian dari peran emosi antara wanita
dan laki-laki
5. Long Term versus Short Term Orientation, terkait kepada pilihan dari fokus untuk usaha
manusia: masa depan, saat ini, atau masa lalu
6. Indulgence versus Restraint, terkait kepada gratifikasi dibandingkan kendali dari
kebutuhan dasar manusia untuk menikmati hidup

PENGARUH BUDAYA PADA ORGANISASI

Para ahli telah banyak mendefinisikan budaya diantaranya adalah E.B.taylor(1871,dalam


soekanto,1990 171-5) menurutnya kebudayaan adalah keseluruhan yang didalamnya terdapat
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan serta kebiasaan diri
masyarakat.Lain lagi dengan selo dkk(dalam soekanto, 1990 171-5)”kebudayaan adalah semua
hasil karya , rasa, dan cipta masyarakat”.Pengertian-pengertian diatas hanya mencakup budaya
dalam arti luas.

Adapun pengertian budaya pada organisasi menurut Daft(2002:106) adalah nilai-nilai yang dapat
dipelajari dalam organisasi.Budiyono(2003) dalam penelitiannya menyebutkan budaya pada
organisasi itu adalah nilai-nilai penting yang dimiliki anggota organisasi sebagai pegangan
organisasi .Dari kesemuanya dapat kita simpulakan bahwa budaya pada organisasi adalah segala
sesuatu yang dapat dipelajari berdasarkan kesepakatan bersama antar anggota yaitu nilai-nilai
dalam organisasi yang dipelajari dan dipahami sebagai pedoman sehari-hari untuk mencapai tujuan
organisasi.

Budaya organisasi muncul dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah struktur organisasi,
jenis organisasi, kebiasaan-kebiasaan dalam organisasi yang ada dikarenakan adanya sejarah
perusahaan, serta faktor kepemimpinan.Namun demikian, sebenarnya diawal berdirinya sebuah
perusahaan, sengaja atau tidak pendiri perusahaan sudah meletakkan dasar budaya
organisasi(firman,2004).Hal ini dikarenakan adanya aturan-aturan serta kewajiban-kewajiban
yang telah ditetapkan pendiri perusahaan pada saat perusahaan mulai berjalan.Tidak lain tujuan
dari aturan-aturan serta kewajiban-kewajiban itu adalah utuk menyarankan anggota organisasi agar
tetap terfokus pada tujuan organisasi.Tanpa adanya ketetapan itu, pelanggaran atau bahkan
kegagalan pencapaian tujuan organisasi akan terjadi sebagai akibatnya.

Budaya organisasi perlu beradaptasi terhadap laju pertumbuhan organisasi (firman, 2004). Tentu
saja, bayangkan bila perusahaan terus menerapkan budaya lama yang sudah usang dan tidak sesuai
jaman.contohnya penggunaan struktur organisasi atau bahkan pemberlakuan keputusan otoriter
yang mungkin saja kurang cocok dengan gaya berfikir para anggota perusahaan. Selain itu
perusahaan merugi karena ide-ide segar yang seharusnya dapat dikembangkan perusahaan jadi
tidak berguna bahkan dalam jangka panjang hal itu bisa mematikan kreatifitas.

Ada yang disebut dengan budaya positif. Budaya ini berisi nilai tantangan agar memiliki
keunggulan bersaing. Kriteria budaya positif diantaranya adalah bukan hanya berupa mission
statement jadi harus ada visi yang jelas. Kedua, nilai organisasi harus sesuai dengan tujuan
organisasi. Ketiga, setiap karyawan memiliki nilai yang sama tingginya. Keempat, budaya yang
berlaku bersifat adaptable sehingga mudah menyesuaikan diri(sadri&lees, 2001 dalam Irianto,
2006).

DEFINISI BUDAYA LOKAL

Budaya lokal adalah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang serta dimiliki dan diakui oleh
masyarakat suku bangsa setempat. Budaya lokal biasanya tumbuh dan berkembang dalam suatu
masyarakat suku atau daerah tertentu karena warisan turun-temurun yang dilestarikan. Budaya
daerah ini akan muncul pada saat penduduk suatu daerah telah memiliki pola pikir dan kehidupan
sosial yang sama, sehingga menjadi suatu kebiasaan yang membedakan mereka dengan penduduk-
penduduk yang lain.

DEFINISI GLOBALISASI DAN TRANSNASIONALISME

Definisi Globalisasi adalah suatu proses yang menyeluruh atau mendunia dimana setiap orang
tidak terikat oleh negara atau batas-batas wilayah, artinya setiap individu dapat terhubung dan
saling bertukar informasi dimanapun dan kapanpun melalui media elektronik maupun cetak.
Pengertian globalisasi menurut bahasa yaitu suatu proses yang mendunia. Globalisasi dapat
menjadikan suatu negara lebih kecil karena kemudahan komunikasi antarnegara dalam berbagai
bidang seperti pertukaran informasi dan perdagangan.

Transnasionalisme adalah sebuah gerakan sosial yang tumbuhkarena meningkatnya


interkonektifitas antar manusia di seluruh permukaan bumi dan semakin memudarnya batas-batas
negara.Transnasional bisa menimbulkan yang namanya Kejahatan Transnasional.Pengertian
Kejahatan Transnasional itu sendiri adalah kejahatan yangtidak hanya sifatnya lintas batas Negara,
tetapi termasuk juga kejahatanyang dilakukan di suatu Negara, tetapi berakibat fatal bagi Negara
lain.Beberapa Negara mengkategorikan kejahatan telematika sebagai kejahatantransnasional,
karena tindakannya bisa dilakukan di Negara B, oleh warga Negara A, tetapi korbannya ada di
Negara C.
SAP 4

DEFINISI NEGOSIASI

1. Menurut Hartman.

Negosiasi merupakan suatu proses komunikasi dimana dua pihak masing-masing dengan
tujuan dan sudut pandang mereka sendiri berusaha mencapai kesepakatan yang memuaskan
kedua belah pihak tersebut mengenai masalah yang sama.

2. Menurut Casse

Negosiasi adalah proses dimana paling sedikit ada dua pihak dengan persepsi, kebutuhan,
dan motivasi yang berbeda mencoba untuk bersepakat tentang suatu hal demi kepentingan
bersama.

PROSES NEGOSIASI

1. Persiapan dan perencanaan

Pada tahap ini kita diharapkan bisa memutuskan apa yang kita mau dan kenapa.
Pengumpulan data sangat diperlukan untuk mendukung posisi kita. Penyampaian argumen
dalam mendukung posisi kita haruslah dengan bijaksana. Selain itu kita juga harus
menentukan apa yang diinginkan pihak lain dan kenapa. Mengerti kemampuan kita dan
pihak lain serta mengatur dan mengembangkan strategi kita dalam bernegosiasi.

2. Definisi peraturan

Menentukan garis besar dan aturan untuk bernegosiasi, siapa yang akan menjadi bagian
dari negosiasi dan masalah apa yang akan kita negosiasikan. Waktu dan tempat negosiasi
juga perlu kita tentukan, kapan dilakukan, berapa lama dan lokasi negosiasi.

3. Penjelasan dan pembenaran

Dalam tahap ini masing-masing pihak mengutarakan apa yang diinginkan. Kita bisa
memberikan dokumentasi yang diperlukan untuk mendukung posisi kita.
4. Tawar menawar dan penyelesaian masalah

Pencarian solusi dilakukan dalam tahap ini. Kedua belah pihak diharapkan saling fokus
pada masalah dan kepentingan bukan pada orang atau posisi. Pandangan kedepan
diperlukan untuk mempercepat menemukan titik temu. Mengungkit-ungkit masa lalu akan
memperlambat proses penyelesaian masalah. Ide yang menarik dan bervariasi bisa muncul
dalam rangka menyelesaikan masalah.

5. Penutupan dan implementasi

Ini adalah tahap terakhir dari negosiasi. Segala sesuatu yang diputuskan bersama
hendaknya diformalkan. Hal-hal yang musti dipastikan adalah:

• Dokumen yang sudah disepakati


• Meneliti kembali pon-poin utama untuk menghindari salah pengertian
• Uraikan dengan jelas semua ketetapan dari persetujuan
• Buatlah secara tertulis
• Kedua pihak harus membaca dan menandatangani untuk memperoleh kesepakatan atas
apa yang dirundingkan.

BUDAYA DAN NEGOSIASI

Berkaitan dengan taktik atau strategi dalam bernegosiasi ini, seorang negosiator sifatnya wajib
untuk membaca situasi, memetakan keadaan, dan mengerti culture, sehingga dia tahu harus
menempatkan posisi seperti apa. Apalagi dalam suatu negosiasi bisnis yang berada dilevel
internasional, seorang negosiator seharusnya cukup mumpuni untuk membaca situasi crosscultural
maupun intercultural.

Dari sini bisa dilihat bahwa kemampuan seorang negosiator untuk membaca situasi
menentukan kebehasilannya dalam melakukan negosiasi.Kemampuan membaca budaya menjadi
faktor yang cukup penting bagi seorang negosiator. Untuk itu, dalam paparan ini kita akan
melihat dahulu dan memetakan, dalam kondisi negosiasi atau membincangkan kepentingan
antara dua pihak atau lebih, situasi seperti apakah yang akan muncul berdasarkan
dimensi komunikasi yang dikemukakan oleh Hosstede. Seperti yang dinyatakan oleh Hofstede
bahwa budaya adalah daerah konsep mental yang mempengaruhi cara berfikir dan perilaku
manusia, secara kolektif konsep mental sekelompok orang dalam suatu negara disebut dengan
kebudayaan nasional.

Berdasarkan analisis faktor budaya, Hofstede (1980) secara empiris menemukan ada empat
dimensi program mental yang dikembangkan dan mempengaruhi proses terjadinya negosiasi,yaitu:

a. Power Distance.

Merupakan dimensi budaya yang menunjukkan adanya ketidaksejajaran (inequality)


dari anggota yang tidak mempunyai kekuatan dalam suatu institusi (keluarga,
sekolah, dan masyarakat) atau organisasi (tempat bekerja). Perbedaan kekuasaan
ini berbeda-beda tergantung dari tingkatan sosial, tingkat pendidikan, dan jabatan.
Misalnya politisi dapat menyukai status dan kekuasaan, pebisnis menyukai
kesejahteraan dan kekuasaan, dan sebagainya. Ketidaksejajaran ini dapat terjadi
dalam masyarakat (perbedaan dalam karakteristik mental dan fisik, status sosial,
kesejahteraan, kekuasaan, aturan, hukum, dan hak), keluarga, sekolah, dan ditempat
kerja/organisasi (nampak pada struktur organisasi dan hubungan antara boss-
subordinate).

b. Uncertainty Avoidance

Merupakan salah satu dimensi dari Hofstede mengenai bagaimana budaya nasional
berkaitan dengan ketidakpastian dan ambiguitas, kemudian bagaimana mereka
beradaptasi terhadap perubahan. Pada negara-negara yang mempunyai uncertainty
avoidance yang besar,cenderung menjunjung tinggi konformitas dan keamanan,
menghindari risiko dan mengandalkan peraturan formal dan juga ritual. Kepercayaan
hanyalah diberikan kepadakeluarga dan teman yang terdekat. Akan sulit bagi
seorang negotiator dari luar untukmenjalin hubungan dan memperoleh
kepercayaan dari mereka. Pada negara dengan uncertainty avoidance yang
rendah, atau memiliki toleransi yang lebih tinggi untuk ketidakpastian, mereka
cenderung lebih bisa menerima resiko, dapat memecahkan masalah,memiliki struktur
organisasi yang flat, dan memilki toleransi terhadap ambiguitas. Bagi orang dari
masyarakat luar, akan lebih mudah untuk menjalin hubungan dan memperoleh
kepercayaan.Ketidak pastian dalam suatu organisasi berkaitan dengan konsep dari
lingkunganyang selalu dikaitkan dengan sesuatu yang diluar kendali perusahaan.

c. Individualitas vs kolektivitas

Merupakan dimensi kebudayaan yang menunjukkan adanya sikap yang


memandang kepentingan pribadi dan keluarga sebagai kepentingan utama ataukah
sebagai kepentingan bersama di dalam suatu kelompok. Dimensi ini juga dapat
terjadi di masyarakat danorganisasi. Dalam organisasi yang masyarakatnya
mempunyai dimensi Collectivism memerlukan ketergantungan emosional yang lebih
besar dibandingkan dengan masyarakat yang memiliki dimensi Individualism. Beberapa
faktor yang mempengaruhi tingkat individualisme diantaranya adalah: tingkat
pendidikan,sejarah organisasi, besarnya organisasi, teknologi yang digunakan dalam
organisasi, dan subkultur yang dianut oleh organisasi yang bersangkutan.

d. Maskulinitas vs femininitas

Merupakan dimensi kebudayaan yangmenunjukkan bahwa dalam tiap masyarakat


terdapatperan yangberbeda-beda tergantung jenis kelaminpara anggotanya.
Padamasyarakatmaskulin, menganggap pria harus lebih berambisi,suka bersaing, dan
berani menyatakanpendapatnya, dan cenderung berusaha mencapai keberhasilan
material. Dalam masyarakat feminin, kaum pria diharapkan untuk lebih
memperhatikan kualitas kehidupan dibandingkan dengan keberhasilan materialitas.
Lebihjauh dijelaskan bahwa masyarakat darisudut pandang maskulinitas adalah
masyarakat yang lebih menggambarkan sifat kelaki-lakian,sedangkan masyarakat
femininitas lebih menggambarkan sifat kewanitaan.

DEFINISI PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Definisi Pengambilan Keputusan Menurut Para Ahli :

• Menurut George R. Terry pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku


(kelakuan) tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada.
• Menurut Sondang P. Siagian pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang
sistematis terhadap hakikat alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut
perhitungan merupakan tindakan yang paling cepat.
• Horolddan Cyril O'Donnell (2005) juga berpendapat bahwa pengambilan keputusan
adalah pemilihan diantara alternatif mengenai suatu cara bertindak yaitu inti dari
perencanaan, suatu rencana tidak dapat dikatakan tidak ada jika tidak ada keputusan, suatu
sumber yang dapat dipercaya, petunjuk atau reputasi yang telah dibuat.

Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan itu adalah suatu cara
yang digunakan untuk memberikan suatu pendapat yang dapat menyelesaikan suatu masalah
dengan cara / teknik tertentu agar dapat lebih diterima oleh semua pihak.

PENDEKATAN-PENDEKATAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Pendekatan-pendekatan pengambilan keputusan etis ( Leonard J Brooks : 330 )

1. Pendekatan filosofi
a. Konsekuensialisme, Utilitarianisme, atau Teleologi

Pelaku Konsekuensialisme sungguh-sungguh dalam memaksimalkan manfaat yang


dihasilkan oleh keputusan. Paham ini berpegang pada prinsip bahwa suatu tindakan itu
benar secara moral jika dan hanya jika tindakan itu memaksimalkan manfaat bersih.
Dengan kata lain, suatu tindakan dan juga keputusan disebut etis jika konsekuensi yang
menguntungkan lebih besar daripada konsekuensi yang merugikan. Utilitarianisme
klasik berkaitan dengan utilitas keseluruhan, mencakup keseluruhan varian, dan
karenanya hal ini hanyalah sebagian manfaat dalam pengambilan keputusan etis dalam
konteks bisnis, profesional dan organisasi. Konsekuensialisme dan utilitarianisme
berfokus pada hasil atau akhir dari tindakan, maka disebut juga Teleological.

b. Deontologi

Berbeda dengan konsekuensialisme, deontologi berfokus pada kewajiban dan


tanggung jawab yang memotivasi suatu keputusan atau tindakan dan bukan pada
konsekuensi dari tindakan. Tindakan yang didasarkan pada pertimbangan kewajiban,
hak, dan keadilan sangat penting bagi professional, direktur, dan eksekutif yang
diharapkan memenuhi kewajibannya. Menambah konsekuensialisme dengan analisis
deontologi secara khusus termasuk perlakuan yang adil akan menjaga terhadap situasi
dimana untuk kepentingan apa pertimbangan konsekuensi yang menguntungkan akan
diperbolehkan untuk membenarkan tindakan ilegal atau tidak etis dalam mencapai
tujuan.

c. Virtue Ethics

Kalau kedua pendekatan tadi menekankan pada konsekuensi dari tindakan atau
tanggung jawab, hak dan prinsip-prinsip sebagai panduan untuk membenarkan
kebiasaan moral, etika kebajikan berkaitan dengan aspek motivasi dari karakter moral
yang ditunjukkan oleh pengambil keputusan.

2. Pendekatan 5 pertanyaan

Kerangka 5-pertanyaan adalah pendekatan berguna untuk pertimbangan tertib masalah


tanpa banyak eksternalitas dan di mana fokus khusus yang diinginkan oleh perancang proses
pengambilan untuk pengobatan yang diperluas dari pendekatan ini.

Pendekatan 5 pertanyaan opsional dirancang untuk memfokuskan proses pengambilan


keputusan pada relevansi isu tertentu untuk organisasi atau pengambil keputusan yang
terlibat.

3. Pendekatan standar moral.

Pendekatan standar moral untuk analisis dampak stakeholder yang dibangun langsung pada
tiga kepentingan mendasar dari stakeholder. Hal ini agak lebih umum dalam fokus dari
pendekatan 5-pertanyaan, dan memimpin pengambil keputusan untuk analisis yang lebih
luas berdasarkan keuntungan bersih bukan hanya profitabilitas sebagai tantangan pertama
dari keputusan yang diusulkan. Akibatnya, ia menawarkan sebuah kerangka yang lebih
cocok untuk pertimbangan keputusan yang memiliki dampak signifikan di luar korporasi
dari kerangka kerja 4-pertanyaan.

4. Pendekatan pastin

Pastin menggunakan konsep etika aturan dasar untuk apture gagasan bahwa individu dan
organisasi memiliki aturan-aturan dasar atau nilai-nilai fundamental yang mengatur perilaku
mereka atau perilaku yang diinginkan. Jika keputusan dipandang menyinggung nilai-nilai
ini, ada kemungkinan bahwa disenchamtment atau relatiation akan terjadi. Sayangnya, hal
ini dapat menyebabkan pemecatan seorang karyawan yang bertindak tanpa pemahaman
aturan dasar etika baik dari organisasi pengusaha yang terlibat. Dalam rangka untuk
memahami aturan dasar yang berlaku untuk benar mengukur komitmen organisasi untuk
proposal dan untuk melindungi pembuat keputusan., Pastin menunjukkan bahwa
pemeriksaan keputusan masa lalu atau tindakan dibuat. Ia menyebut ini pendekatan reverse
engineering keputusan, karena upaya ini dilakukan untuk mengambil keputusan masa lalu
terpisah untuk melihat bagaimana dan mengapa mereka dibuat. Pastin menunjukkan bahwa
orang sering dijaga (secara sukarela atau tanpa sadar) tentang mengekspresikan nilai-nilai
mereka, dan bahwa reverse engineering menawarkan cara untuk melihat, melalui tindakan
masa lalu, apa nilai-nilai mereka.

BUDAYA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Faktor budaya memberikan pengaruh paling luas dan dalam pada perilaku konsumen. Pengiklan
harus mengetahui peranan yang dimainkan oleh budaya, subbudaya dan kelas social pembeli.
Budaya adalah penyebab paling mendasar dari keinginan dan perilaku seseorang.

Budaya merupakan kumpulan nilai-nilai dasar, persepsi, keinginan dan perilaku yang dipelajari
oleh seorang anggota masyarakat dari keluarga dan lembaga penting lainnya. Setiap kebudayaan
terdiri dari sub-budaya – sub-budaya yang lebih kecil yang memberikan identifikasi dan sosialisasi
yang lebih spesifik untuk para anggotanya. Sub-budaya dapat dibedakan menjadi empat jenis:
kelompok nasionalisme, kelompok keagamaan, kelompok ras, area geografis. Banyak subbudaya
membentuk segmen pasar penting dan pemasar seringkali merancang produk dan program
pemasaran yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen.

Kelas-kelas sosial adalah masyarakat yang relatif permanen dan bertahan lama dalam suatu
masyarakat, yang tersusun secara hierarki dan keanggotaannya mempunyai nilai, minat dan
perilaku yang serupa. Kelas sosial bukan ditentukan oleh satu faktor tunggal, seperti pendapatan,
tetapi diukur dari kombinasi pendapatan, pekerjaan, pendidikan, kekayaan dan variable lain.

Anda mungkin juga menyukai