Anda di halaman 1dari 32

Memanfaatkan Budaya Perusahaan

Budaya adalah satu set nilai, penuntun, kepercayaan, pengertian, norma,


falsafah, etika, dan cara berpikir. Budaya yang ada di suatu lingkungan, sangat
besar pengaruhnya terhadap pembentukan pribadi yang berada di dalam
lingkungan tersebut.

Setiap lingkungan tempat tinggal memiliki budaya yang dibuat oleh nenek
moyang dan diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi untuk
dianut dan dilestarikan bersama. Perusahaan adalah sebuah lembaga yang
terdiri dari banyak karyawan yang merupakan individu yang berasal dari latar
belakang yang berbeda, yaitu lingkungan, agama, pendidikan, dll. Oleh karena
itu dapat disimpulkan bahwa perusahaan terdiri dari individu dengan kultur
bawaan yang berbeda-beda.

Pertanyaannya sekarang adalah, mampukah mereka yang beragam tadi bersama


mencapai satu tujuan perusahaan dengan cara saling memahami, membantu,
dan mengerti satu sama lain? Dengan cara yang tepat, jawabannya pasti bisa.

Perusahaan seperti juga halnya lingkungan tempat tinggal pasti memiliki budaya
yang dirumuskan oleh para pendiri dan top management perusahaan dan dianut
oleh setiap komponen perusahaan.

Keahlian, kreativitas, kecerdasan maupun motivasi yang tinggi dari karyawan


memang merupakan unsur kredibilitas yang harus dimiliki oleh karyawan agar
perusahaan dapat mencapai sukses. Namun unsur-unsur tadi menjadi belum
maksimal manfaatnya bila setiap karyawan belum memiliki satu budaya yang
sama. Satu budaya yang sama maksudnya adalah sebuah pola pikir yang
membuat mereka memiliki persepsi yang sama tentang nilai, dan kepercayaan
yang dapat membantu mereka untuk memahami tentang bagaimana seharusnya
berperilaku kerja pada perusahaan dimana mereka bekerja sekarang.

Budaya perusahaan dapat membantu perusahaan mencapai sukses. Untuk dapat


memanfaatkan budaya perusahaan dengan maksimal, maka perusahaan perlu
menanamkan nilai-nilai yang sama pada setiap karyawannya. Kebersamaan
dalam menganut budaya atau nilai-nilai yang sama menciptakan rasa kesatuan
dan percaya dari masing-masing karyawan. Bila hal ini telah terjadi, maka akan
tercipta lingkungan kerja yang baik dan sehat. Lingkungan seperti ini dapat
membangun kreativitas dan komitmen yang tinggi dari para karyawan sehingga
pada akhirnya mereka mampu mengakomodasi perubahan dalam perusahaan ke
arah yang positif.

Pada umumnya perusahaan-perusahaan dunia yang sukses adalah perusahaan


yang memiliki budaya kerja yang kuat. Terlepas dari nilai-nilai positif dan luhur
yang terkandung dalam budaya yang berlaku, maksud budaya kerja yang kuat
adalah seluruh komponen perusahaan mengamalkan nilai atau norma yang telah
ditetapkan bersama sebagai sebuah budaya dengan komitmen yang tinggi,
tanpa terkecuali.
Namun ketiadaan kata atau kalimat yang menegaskan mengenai budaya yang
dianut perusahaan, menyulitkan para karyawan memahami budaya perusahaan.
Untuk itu perlu adanya sebuah pernyataan yang merupakan manifestasi dari
budaya perusahaan yang mengungkapkan secara garis besar dalam pengertian
spesifik mengenai tujuan perusahaan, dan cara-cara yang dilakukan untuk
mencapai tujuan tersebut.

Pengungkapan budaya perusahaan ke dalam sebuah pernyataan dapat dilakukan


melalui perumusan pernyataan visi dan misi. Hanya dengan kalimat singkat,
pernyataan visi dan misi dapat menyiratkan nilai, etika, prinsip, tujuan, dan
strategi perusahaan. Menuliskan pernyataan visi dan misi perusahaan adalah
cara yang paling efektif untuk memastikan bahwa semua karyawan dapat
memahami budaya perusahaan dan mengimplementasikannya ke dalam usaha-
usaha pencapaian tujuan perusahaan.

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh pakar Harvard Business School,
yaitu Prof. DR. John Kottler dan Prof. DR. Janes Heskett, ternyata terdapat
korelasi positif di antara penerapan budaya perusahaan dengan prestasi bisnis
yang dicapai oleh perusahaan dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Hal ini menunjukkan bahwa budaya perusahaan memiliki peranan penting dalam
membangun prestasi dan produktivitas kerja para karyawan sehingga
mengarahkan perusahaan kepada keberhasilan. Jadi sudah saatnya Anda
menetapkan komitmen terhadap penerapan budaya perusahaan. (IS)

BUDAYA ORGANISASI DAN BUDAYA KERJA (Studi Kasus : BALITBANG


Departemen Pertahana RI)
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Disiplin ilmu budaya sebenarnya berasal dari disiplin ilmu antropologi. Sekitar
tahun 1979 kata budaya seringkali dikaitkan dengan organisasi. Andrew
Pettigrew (dalam Sopiah, 2008) dalam tulisannya di Journal Science Quarterly
yang memuat istilah organizational corporate culture mendapat perhatian yang
cukup luas baik dari kalangan akademisi, praktisi bisnis maupun organization
theoritist.

Memahami konsep budaya organisasi bukanlah sesuatu hal yang mudah. Belum
adanya kesepakatan atas konsep budaya organisasi ini menyebabkan munculnya
pemahaman yang bervariasi dan kontroversi. Bidang study budaya organisasi
inipun dapat dikatakan masih berusia muda.

Linda Smircich (1983) dalam Sopiah (2008) mengatakan bahwa ada 2 kubu
berkaitan dengan budaya organisasi. Kubu pertama berpandangan bahwa,
Organization is a culture. dan kubu yang kedua berpandangan bahwa
Organization has culture. Kubu pertama menganggap bahwa budaya
organisasi adalah hasil budaya. Oleh karenanya aliran ini menekankan pada
pentingnya penjelasan deskriptif atas sebuah organisasi. Sebaliknya, aliran yang
kedua justru memberikan penekanan pada faktor penyebab terjadinya budaya
dalam organisasi dan implikasinya terhadap organisasi tersebut, misalnya
dengan melakukan pendekatan manajerial.

Dari sudut pandang karyawan, budaya memberi pedoman bagi karyawan akan
segala sesuatu yang penting untuk dilakukan. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Wheelen & Hunger (tanpa tahun) dalam Nimran (1997).
Sejumlah peran penting yang dimainkan oleh budaya perusahaan adalah; (a)
Membantu pengembangan rasa memiliki jati diri bagi karyawan, (b) Dipakai
untuk mengembangkan keterkaitan pribadi dengan organisasi, (c) Membantu
stabilitas organisasi sebagai suatu sistem sosial, (d) Menyajikan prilaku sebagai
hasil dari norma perilaku yang dibentuk.

Berbagai praktik di atas dapat memperkuat budaya organisasi dan memastikan


karyawan yang bekerja sesuai dengan organisasi, memberi imbalan sesuai
dukungan yang diberikan. Sosialisasi yang efektif akan menghasilkan kepuasan
kerja, komitmen organisasi, rasa percaya diri pada pekerjaan, mengurangi
tekanan serta kemungkinan keluar dari pekerjaan (Peters, 1997, dalam
Nurfarhati, 1999). Beberapa hal yang dapat dilakukan organisasi untuk
mempertahankan budaya organisasi adalah menyusun asumsi dasar,
menyatakan dan memperkuat nilai yang diinginkan dan menyosialisasikannya
melalui contoh (Hellregel, 1996, dalam Nurfarhati, 1999).

Secara konseptual, sesungguhnya bangsa Indonesia ini sudah memiliki budaya


kerja dalam pengertian sebagai pola bagi tindakan. Dalam relasinya dengan
dunia kerja masyarakat sudah memiliki dasar-dasar untuk bekerja keras. Teks
kerja keras tersebut dapat dilihat di dalam kaitannya dengan ajaran tentang
pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan duniawai dan ukhrowi.
Seseorang tidak saja harus sepenuhnya mencari kebahagiaan di akhirat tetapi
juga harus mencari kebahagiaan di dalam kehidupan duniawi. Nabi Muhammad
saw juga menyatakan: bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau akan
hidup selamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan
mati besok. Hadits ini mengandung makna bahwa Islam mengajarkan
keseimbangan agar seseorang tidak hanya memilih salah satu sebagai jalan
hidupnya tetapi juga menjaga keseimbangan di dalamnya. Kepentingan dunia
didahulukan bukan dinomorsatukan karena kita memang hidup di dunia dan
kepentingan akhirat juga didahulukan bukan dinomor duakan karena semua
akan kembali ke sana.

1.2 Rumusan Masalah

Mengetahui apa itu budaya organisasi dan budaya kerja beserta studi kasusnya.
Mahasiswa dituntut mengerti apa yang diperlukan dalam menciptakan budaya
organisasi dan budata kerja baik itu sumber daya manusia/sumber daya
perusahaan.

1.3 Tujuan
Memberikan informasi kepada kita mulai dari pengertian budaya dan
kebudayaan, pengertian budaya organisasi, pengertian budaya kerja, manfaat
budaya organisasi dan budaya kerja dan juga pengaruhnya terhadap
perusahaan.

1.4 Manfaat

Mahasiswa dapat menggunakan penjelasan ini untuk di


implementasikan/bekerja pada perusahaan.

Mahasiswa dapat mengetahui apa saja yang diperlukan dalam menciptakan


budaya organisasi dan budaya kerja.

Mengetahui manfaat dan karakteristik dalam budaya organisasi dan budaya


kerja.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Budaya Dan Kebudayaan

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal
yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah
atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani.
Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa
Indonesia.Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang
memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang (menurut
Soerjanto Poespowardojo 1993).

Menurut The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah


sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan
sosial, seni, agama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia
dari suatu kelompok manusia.

Menurut Koentjaraningrat budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan


dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
miliki diri manusia dengan cara belajar.

Dari berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai


kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan
meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia,
sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.
Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh
manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda
yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup,
organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

2.2 Pengertian Budaya Organisasi

Setiap organisasi tentunya memiliki definisi yang berbeda-beda mengenai


budaya organisasi. Menurut Robbins (1999) budaya organisasi adalah sistem
nilai bersama dalam suatu organisasi yang menentukan tingkat bagaimana para
karyawan melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan organisasi. Budaya
organisasi juga didefinisikan sebagai suatu nilai-nilai yang mempedomani
sumber daya manusia dalam menghadapi permasalahan eksternal dan usaha
memahami nilai-nilai yang ada serta mengerti bagaimana mereka harus
bertindak dan bertingkah laku (Susanto, 1997).

Semua sumber daya manusia harus dapat memahami dengan benar budaya
organisasinya, karena pemahaman ini sangat berkaitan dengan setiap langkah
ataupun kegiatan yang dilakukan, baik perencanaan yang bersifat strategis dan
taktikal maupun kegiatan impleentasi perencanaan, dimana setiap kegiatan
tersebut harus berdasar pada budaya organisasi.

2.3 Nilai-Nilai Yang Terkandung Dalam Budaya Organisasi

Hasil penelitian yang dilakukan OReilly, Chatman dan Cadwel (1991) dan
Sheridan (1992) menunjukan arti pentingnya nilai budaya organisasi dalam
mempengaruhi prilaku dan sikap individu. Hasil penelitian tersebut memberikan
indikasi bahwa terdapat hubungan antara person-organization fit dengan tingkat
kepuasaan kerja, komitmen dan turnover karyawan, dimana individu yang sesuai
dengan budaya organisasi memiliki kecendrungan untuk mempunyai kepuasan
kerja dan komitmen tinggi pada organisasi, dan juga memiliki intensitas tinggi
untuk tetaptinggal dan bekerja di organisasi, sebaliknya individu yang tidak
sesuai dengan budaya organisasi cenderung untuk mempunyai kepuasaan kerja
dan komitmen yang rendah, akibatnya kecendrungan untuk meninggalkan
organisai tentu saja lebih tinggi. Hasil penelitian juga menunjukan bahwa nilai
budaya secara signifikan mempengaruhi efektifitas organisasi melalui
peningkatan kualitas output dan mengurangi biaya pengadaantenaga kerja.

Dengan memahamidan menyadari arti penting budaya organisasi bagi setiap


individu, akan mendorong para manajer/ pimpinan menciptakan kultur yang
menekankan pada interpersonal relationship (yang lebih menarik lagi) di banding
dengan kultur yang menekankan pada work task. Menurut Robbins ( 1993 ) ada
sepuluh karateristik kunci yang merupakan inti budaya organisasi,yakni:

1. Member identity, yaitu identitas anggota dalam organisasi secara


keseluruhan, dibandingkan dengan identitas dalam kelompok kerja atau bidang
profesi masing-masing.
2. Group emphasis, yaitu seberapa besar aktivitas kerja bersama lebih
ditekankan dari pada kerja individual

3. People focus, yaitu seberapa jauh keputusan manajemen yang di ambil


digunakan untuk mempertimbangkan keputusan tersebut bagi anggota
organisasi.

4. Unit integration, yaitu seberapa jauh unit-unit di dalam organisasi dikondisikan


untuk beroperasi secara terkondisi.

5. control, yaitu banyaknya/jumlah peraturan dan pengawasan langsung


digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan prilaku karyawan.

6. Risk tolerance, yaitu besarnya dorongan terhadap karyawan untuk


menjadilebih agresif, inovatif, dan berani mengambil resiko.

7. Reward criteria, yaitu berapa besar imbalan di alokasikan sesuai dengan


kinerja karyawan di bandingkan alokasi berdasarkan senioritas, favoritism, atau
factor-faktor non kinerja lainya.

8. Conflict tolerance,yaitu besarnya dorongan yang diberikan kepada karyawan


untuk bersikap terbuka terhadap konfik dan kritik.

9. Means-endsorientation, yaitu intensitas manajeman dalam menekankan pada


penyabab atau hasil, dibandingkan pada teknik dan proses yang di gunakan
untuk mengembangkan hasil.

10. Open-system focus, yaitu besarnya pengawasan organisasidan respon yang


di berikan untuk mengubah lingkungan eksternal.

2.4 Manfaat Budaya Organisasi

Kesinambungan organisasi sangat tergantung pada budaya yang dimiliki.


Sutanto ( 1997 ) mengemukan bahwa budaya organisasi perusahaan dapat
dimanfaatkan sebagai daya pun dapat berfungsisebagai rantai pengikat dalam
proses menyamakan persepsi angota / karyawan terhadap suatu permasalahan,
sehingga akan menjadi suatu kekuatan dalampencapaian tujuan organisasi

Beberapa manfaat budaya organisasi yang dikemukakan oleh Robbins (1993),


yaitu:

1. membatasi peran yang membadakan antara organisasi yang satu dengan


organisasi yang lain karena setiap organisasi mempunyai peran yang berbeda

2. menimbulkan rasa memiliki identitas bagi anggota

3. mementingkan tujuan bersama dari pada mengutamakan kepentingan


individu

4. menjaga stabilitas organisasi.


2.5 Dimensi-dimensi Budaya Organisasi

Terdapat banyak dimensi yang membedakan budaya. Dimensi ni mempengaruhi


perilaku yang mengakibatkan kekeliruan pemahaman, ketidak sepakatan atau
bahkan konflik (Erly, 1993, dalam Gibson, 1996). Gibson (1996) menyebutkan 7
dimensi budaya, yaitu hubungan manusia dengan alam, individualisme versus
kolektivisme, orientasi waktu, orientasi aktivitas, informalitas, bahasa dan
kepercayaan.

Sedangkan dimensi-dimensi yang digunakan untuk membedakan budaya


organisasi, menurut Robbins (1996) ada tujuh karakteristik primer yang secara
bersama-sama menangkap hakikat budaya organisasi, yaitu: (1) Inovasi dan
pengambilan resiko. Sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan
berani mengambil resiko. (2) Perhatian ke hal yang rinci. Sejauh mana para
karyawan diharapkan mau memperlihatkan kecermatan, anaisis dan perhatian
kepada rincian. (3) Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen fokus pada hasil,
bukan pada teknik dan proses yang digunakan untuk mendapatkan hasil itu. (4)
Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek
hasil dari orang-orang di dalam organisasi itu. (5) Orientasi tim. Sejauh mana
kegiatan kerja diorganisasikan dalam tim-tim kerja, bukannya individu-individu.
(6) Keagresifan. Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif, bukan
bersantai. (7) Kemantapan. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan
dipertahankanya status quo sebagai lawan dari pertumbuhan atau inovasi.

Luthans (1998) menyebutkan sejumlah karakteristik yang penting dari budaya

organisasi, yang meliputi:

1. Aturan-aturan perilaku

Yaitu bahasa, terminologi dan ritual yang biasa dipergunakan oleh anggota
organisasi.

2. Norma

Adalah standar perilaku yang meliputi petunjuk bagaimana melakukan sesuatu.


Lebih jauh di masyarakat kita kenal adanya norma agama, norma sosial, norma
susila, norma adat, dll.

3. Nilai-nilai dominan

Adalah nilai utama yang diharapkan dari organisasi untuk dikerjakan oleh para
anggota, misalnya tingginya kualitas produk, rendahnya tingkat absensi,
tingginya produktivitas dan efisiensi, serta tingginya disiplin kerja.

4. Filosof
Adalah kebijakan yang dipercaya organisasi tentang hal-hal yang disukai para
keryawan dan pelanggannya, seperti Kepuasan Anda adalah harapan Kami,
Konsumen adalah Raja,dll.

5. Peraturan-p

Philosophy to be the Best


Adalah keyakinan dasar (basic belief) yang berisi filosofi dasar bagi setiap
insan TELKOMSEL untuk menjadi Insan Terbaik. Keyakinan dasar ini
merupakan esensi Budaya Perusahaan yang melandasi nilai-nilai dan
perilaku setiap insan TELKOMSEL dalam mencapai yang terbaik. Always
The Best menuntut setiap insan TELKOMSEL memiliki nilai-nilai GREAT,
yaitu: InteGrity, Respect, Enthusiasm, LoyAlty dan Totality.

Integrity
Integrity, yaitu satunya Keyakinan (belief) terhadap nilai-nilai yang dianut
dengan Pikiran (mind) dan Perbuatan (action).

Respect
Respect adalah menghargai dan menghormati orang lain dengan dilandasi
sikap empati, sopan dan tulus tanpa pamrih.

Enthusiasm
Enthusiasm adalah Keinginan (desire) yang melahirkan Kesungguhan
(passion) karena adanya sebuah Harapan (hope) tertinggi untuk menjadi
yang terbaik.

Loyalty
Loyalty adalah Kesetiaan (state of being loyal) dilandasi dengan adanya
Kepercayaan (faithfulness) yang berujung pada Ketaatan (obey) sehingga
menimbulkan komitmen secara penuh kepada Perusahaan, pimpinan,
norma, etika dan akal sehat.

Totality
Totality adalah mendedikasikan seluruh potensi dan kemampuan yang
dimiliki untuk mewujudkan yang terbaik.
2.Principles to be the Star
Adalah nilai-nilai inti (core values) atau Great Spirit yang berisi prinsip-
prinsip dasar untuk menjadi Insan Bintang. Nilai-nilai inti ini merupakan
panduan dasar yang membentuk pola pikir dan pola perilaku insan
TELKOMSEL dalam membangun dan mengembangkan diri menjadi Insan
Bintang.Principles to be the Star dari THE TELKOMSEL WAY adalah 3S
yakni Solid, Speed, Smart yang menjadi Great Spirit. Great Spirit 3S bagi
Insan TELKOMSEL menjadi panduan dalam memenangkan industri
dimana TELKOMSEL saat ini berada.

SOLID
SOLID adalah terwujudnya 1 Hati ,1 Pikiran, dan 1 Tindakan (Rasa, Rasio,
Raga).

SPEED
SPEED adalah bertindak secara cepat dalam setiap pekerjaan yang kita
lakukan (Awal, Arah, Aksi).

SMART
SMART adalah bersikap, berpikir dan bertindak secara cerdas dalam
pekerjaan yang kita lakukan (Intuisi, Inovasi, Impresif).

3.Practices to be the Winner


Adalah standar perilaku (standard behaviors) yang berisi praktek-praktek
luhur untuk menjadi Insan Pemenang. Standar perilaku ini membentuk
pola sikap dan pola tindak Insan TELKOMSEL dalam rangka menempa diri
menjadi pemenang.

GREAT People
GREAT People, praktek-praktek untuk menjadi pemenang selalu dimulai
dari pemilihan orang yang tepat sebelum menentukan strategi ("First
Who... Then What"), karena visi yang hebat untuk melanjutkan tradisi
kemenangan tanpa disertai pemilihan orang-orang yang tepat menjadi
tidak relevan (Great vision without GREAT People is irrelevant).

GREAT Strategy
GREAT Strategy, praktek-praktek untuk menjadi pemenang melalui
strategi yang tepat. Strategi yang efektif selalu berawal dari akhir
(starting from the end) dalam merencanakan dan menjalankan
aktivitasnya. Sebuah karya besar harus dimulai dari mimpi dan cita-cita
besar yang hendak dicapai. Praktek ini identik dengan Visi atau Mimpi
seorang pemimpin. Ia menggambarkan Desirability (keinginan)
bukan Feasibility (kebiasaan).

GREAT Innovation
GREAT Innovation, orang yang tepat disertai dengan strategi yang hebat
(GREAT People with great strategy) hanya bisa bermuara pada hasil yang
nyata jika dikerjakan (Action) atau diimplementasikan dan sekaligus
dikontrol. Tanpa praktek perilaku pemenang yang selalu menekankan
tindakan konkrit dalam mencapai sebuah hasil maka dapat dikatakan
bahwa Visi tanpa Aksi itu fantasi, Aksi tanpa Visi itu sensasi (sesaat).

Seluruh Karyawan TELKOMSEL wajib menerapkan Budaya Perusahaan


dengan menjadi GREAT People dan menerapkan Great Strategy, dan
untuk mewujudkan hasil yang nyata dan bermanfaat bagi Perusahaan,
insan TELKOMSEL mengedepankan inovasi sebagai wujud dari aplikasi
praktis dari ide dan konsep yang dapat diterima oleh pasar.

Insan TELKOMSEL dituntut mengubah penemuan-penemuan hebat


menjadi sesuatu yang memberikan nilai (value proposition) kepada
pelanggan melalui inovasi. Pada akhirnya seluruh karyawan akan mampu
mewujudkan TELKOMSEL sebagai Great Company yang akan
selalu continue to win.

Budaya kerja / Etos kerja

pada kesempatan kali ini saya akan memberikan postingan yang intinya
mengenai Budaya Kerja / Etos Kerja. Yang di dalamnya akan dibahas juga
beberapa hal mengenai budaya kerja. Seperti: apa pengertian budaya
kerja dan etos kerja serta tujuannya untuk apa, lalu budaya kerja dalam
suatu perusahaan, budaya kerja dalam Rumah Sakit, budaya kerja dalam
organisasi, pengertian pendapatan perkapita, dan perbedaan budaya
kerja / etos kerja bangsa Jepang dengan bangsa kita sendiri Indonesia.
Semoga postingan ini bisa bermanfaat bagi para pembaca, dan apabila
ada kata-kata yang salah harap di maklumi. Ok,, langsung ajah deh
masuk ke pembahasannya
Arti Definisi / Pengertian Budaya Kerj

Budaya Kerja adalah suatu falsafah dengan didasari pandangan hidup


sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan juga pendorong yang
dibudayakan dalam suatu kelompok dan tercermin dalam sikap menjadi
perilaku, cita-cita, pendapat, pandangan serta tindakan yang terwujud
sebagai kerja. (Sumber : Drs. Gering Supriyadi,MM dan Drs. Tri Guno,
LLM )

# Tujuan Atau Manfaat Budaya Kerja

Budaya kerja memiliki tujuan untuk mengubah sikap dan juga perilaku
SDM yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk
menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang.

Manfaat dari penerapan Budaya Kerja yang baik :

1. meningkatkan jiwa gotong royong

2. meningkatkan kebersamaan

3. saling terbuka satu sama lain

4. meningkatkan jiwa kekeluargaan

5. meningkatkan rasa kekeluargaan

6. membangun komunikasi yang lebih baik

7. meningkatkan produktivitas kerja

8. tanggap dengan perkembangan dunia luar, dll.

Keberhasilan pelaksanaan program budaya kerja antara lain dapat dilihat


dari peningkatan tanggung jawab, peningkatan kedisiplinan dan
kepatuhan pada norma/aturan, terjalinnya komunikasi dan hubungan
yang harmonis dengan semua tingkatan,peningkatan partisipasi dan
kepedulian, peningkatan kesempatan untuk pemecahan masalah serta
berkurangnya tingkat kemangkiran dan keluhan.
ETOS KERJA

A. Pengertian etos kerja

Etos berasal dari bahasa Yunani yang memberikan arti sikap, kepribadian,
watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki
oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat. Dalam
kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang
menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesuatu kelompok.

Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang


meluas. Digunakan dalam tiga pengertian berbeda yaitu:

Suatu aturan umum atau cara hidup.

Suatu tatanan aturan perilaku.

Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku.

Dalam pengertian lain, etos dapat diartikan sebagai thumuhat yang


berkehendak atau berkemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam
rangka mencapai cita cita yang positif.

Dari keterangan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kata etos


berarti watak atau karakter seorang individu atau kelompok manusia yang
berupa kehendak atau kemauan yang disertai dengan semangat yang
tinggi, guna mewujudkan sesuatu cita-cita.

Jadi kesimpulannya Etos kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang
mendasar maka etos kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari
pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang berdimensi
transenden.

B. Fungsi dan tujuan etos kerja

Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap


perbuatan dan kegiatan individu. Menurut A. Tabrani Rusyan, fungsi etos
kerja adalah :
Pendorong timbulnya perbuatan.

Penggairah dalam aktivitas.

Penggerak.

BUDAYA KERJA DALAM SUATU PERUSAHAAN

Budaya adalah satu set nilai, penuntun, kepercayaan, pengertian, norma,


falsafah, etika, dan cara berpikir. Budaya yang ada di suatu lingkungan,
sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan pribadi yang berada di
dalam lingkungan tersebut.

Setiap lingkungan tempat tinggal memiliki budaya yang dibuat oleh nenek
moyang dan diturunkan secara turun temurun dari generasi ke generasi
untuk dianut dan dilestarikan bersama. Perusahaan adalah sebuah
lembaga yang terdiri dari banyak karyawan yang merupakan individu
yang berasal dari latar belakang yang berbeda, yaitu lingkungan, agama,
pendidikan, dll. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa perusahaan
terdiri dari individu dengan kultur bawaan yang berbeda-beda.

Pertanyaannya sekarang adalah, mampukah mereka yang beragam tadi


bersama mencapai satu tujuan perusahaan dengan cara saling
memahami, membantu, dan mengerti satu sama lain?

Perusahaan seperti juga halnya lingkungan tempat tinggal pasti memiliki


budaya yang dirumuskan oleh para pendiri dan top management
perusahaan dan dianut oleh setiap komponen perusahaan.

Keahlian, kreativitas, kecerdasan maupun motivasi yang tinggi dari


karyawan memang merupakan unsur kredibilitas yang harus dimiliki oleh
karyawan agar perusahaan dapat mencapai sukses. Namun unsur-unsur
tadi menjadi belum maksimal manfaatnya bila setiap karyawan belum
memiliki satu budaya yang sama. Satu budaya yang sama maksudnya
adalah sebuah pola pikir yang membuat mereka memiliki persepsi yang
sama tentang nilai, dan kepercayaan yang dapat membantu mereka
untuk memahami tentang bagaimana seharusnya berperilaku kerja pada
perusahaan dimana mereka bekerja sekarang.

Budaya perusahaan dapat membantu perusahaan mencapai sukses.


Untuk dapat memanfaatkan budaya perusahaan dengan maksimal, maka
perusahaan perlu menanamkan nilai-nilai yang sama pada setiap
karyawannya. Kebersamaan dalam menganut budaya atau nilai-nilai yang
sama menciptakan rasa kesatuan dan percaya dari masing-masing
karyawan. Bila hal ini telah terjadi, maka akan tercipta lingkungan kerja
yang baik dan sehat. Lingkungan seperti ini dapat membangun kreativitas
dan komitmen yang tinggi dari para karyawan sehingga pada akhirnya
mereka mampu mengakomodasi perubahan dalam perusahaan ke arah
yang positif.

Pada umumnya perusahaan-perusahaan dunia yang sukses adalah


perusahaan yang memiliki budaya kerja yang kuat. Terlepas dari nilai-nilai
positif dan luhur yang terkandung dalam budaya yang berlaku, maksud
budaya kerja yang kuat adalah seluruh komponen perusahaan
mengamalkan nilai atau norma yang telah ditetapkan bersama sebagai
sebuah budaya dengan komitmen yang tinggi, tanpa terkecuali.

Namun ketiadaan kata atau kalimat yang menegaskan mengenai budaya


yang dianut perusahaan, menyulitkan para karyawan memahami budaya
perusahaan. Untuk itu perlu adanya sebuah pernyataan yang merupakan
manifestasi dari budaya perusahaan yang mengungkapkan secara garis
besar dalam pengertian spesifik mengenai tujuan perusahaan, dan cara-
cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut.

Pengungkapan budaya perusahaan ke dalam sebuah pernyataan dapat


dilakukan melalui perumusan pernyataan visi dan misi. Hanya dengan
kalimat singkat, pernyataan visi dan misi dapat menyiratkan nilai, etika,
prinsip, tujuan, dan strategi perusahaan. Menuliskan pernyataan visi dan
misi perusahaan adalah cara yang paling efektif untuk memastikan bahwa
semua karyawan dapat memahami budaya perusahaan dan
mengimplementasikannya ke dalam usaha-usaha pencapaian tujuan
perusahaan.

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh pakar Harvard Business


School, yaitu Prof. DR. John Kottler dan Prof. DR. Janes Heskett, ternyata
terdapat korelasi positif di antara penerapan budaya perusahaan dengan
prestasi bisnis yang dicapai oleh perusahaan dalam jangka waktu yang
cukup panjang.

Hal ini menunjukkan bahwa budaya perusahaan memiliki peranan penting


dalam membangun prestasi dan produktivitas kerja para karyawan
sehingga mengarahkan perusahaan kepada keberhasilan. Jadi sudah
saatnya Anda menetapkan komitmen terhadap penerapan budaya
perusahaan.

Budaya Kerja Rumah Sakit

Oleh: Rochmanadji Widajat

BUDAYA berasal dari kata buddhayah (bahasa Sansekerta), yang berarti


budi dan akal. Bangsa yang berbudaya dapat dilihat dari tingginya tingkat
budi dan akal serta keanekaragaman hasil budayanya.

Contohnya bangsa Jepang, India, Arab, Cina, juga Indonesia. Dalam hal
organisasi, misalnya rumah sakit, tinggi-rendahnya budaya organisasi
dapat dilihat dari tingkat komitmen anggota rumah sakit terhadap nilai-
nilai dan keyakinan, sejak pimpinan hingga ke semua lapisan
karyawannya.

Faktor nilai-nilai dan keyakinan dasar tersebut sangat berperan dalam


membentuk etika, sikap, perilaku anggota organisasi dan membentuk
cara pandang mereka terhadap masalah, baik internal maupun eksternal
yang dihadapi dalam kehidupan berorganisasi.

Di beberapa rumah sakit, suatu rencana strategik (renstra) yang telah


berhasil disusun oleh suatu tim khusus dan disahkan oleh pimpinan tidak
berjalan mulus dalam penerapannya.

Sebab hal itu terjadi karena ternyata tidak didukung oleh komitmen
karyawan terhadap nilai-nilai dan keyakinan dasar. Untuk membangun
komitmen tinggi itulah diperlukan dukungan suatu kultur atau budaya
organisasi rumah sakit yang positif.

Budaya adalah suatu dampak dari proses yang berkesinambungan. Proses


terjadinya suatu budaya dimulai dari tindakan misalnya bekerja hati-hati
yang terjadi berulang-ulang menjadi kebiasaan, yang apabila terus
berlangsung lama menjadi tabiat berhati-hati individu.

Apabila suatu kelompok individu mempunyai kesamaan tabiat berhati-hati


maka dapat disebut bahwa budaya kerja kelompok tersebut adalah
budaya berhati-hati. Jadi budaya kerja organisasi adalah bentuk etika,
sikap, perilaku dan cara pandang bersama dari kelompok yang tergabung
dalam organisasi tersebut terhadap setiap masalah atau perubahan
lingkungan yang bervariasi.

Ada empat macam fungsi budaya kerja yang sangat penting dalam
membawa organisasi menuju sukses.

1. identitas organisasi (simbol dan harapan), sehingga anggota organisasi


merasa bangga terhadap organisasinya dan pihak eksternal menaruh
respek.

2. kestabilan organisasi sehingga secara internal seluruh karyawan merasa


tenang dan yakin, demikian pula pihak eksternal yang berkepentingan.

3. alat pendorong organisasi, sehingga mampu menjadi dasar dan


pendorong untuk mencapai tujuan organisasi.

4. komitmen organisasi sehingga mampu sebagai katalisator dalam


membentuk komitmen untuk pelaksanaan berbagai ide atau suatu
rencana strategis.

Budaya Melayani

Bagaimana mengembangkan budaya kerja positif di rumah sakit?

Memahami arti dan fungsi budaya kerja, maka di lingkungan rumah sakit
perlu dikembangkan suatu budaya kerja ke arah positif, maksudnya
budaya kerja yang mendukung pencapaian visi, misi dan tujuan.
Sementara budaya organisasi timbul dari budaya kelompok individu yang
tergabung dalam organisasi tersebut.

Adanya perubahan positif, baik etika, sikap, perilaku maupun cara


pandang individu, yang berkembang menjadi tabiat kelompok individu
(dari atasan hingga bawahan), maka akan membentuk perubahan budaya
kerja baru yang positif pula.

Sesuai dengan perkembangan baru dalam paradigma pelayanan, budaya


kerja rumah sakit yang positif adalah budaya kerja melayani. Caranya
adalah dengan contoh membiasakan arah orientasi tindakan dan sikap
serta perilaku kepada kepentingan orang lain yang dilayani, bukan
kepentingan diri sendiri.

Namun, apabila orientasi tindakan ke arah kepentingan diri sendiri akan


bertentangan dengan budaya kerja melayani tersebut di atas. Contoh
tindakan yang negatif adalah karyawan rumah sakit yang suka membolos
atau terlambat datang. Kemudian perawat yang kurang perhatian
terhadap pasien orang miskin, dan dokter menyuruh pasien membeli obat
atau alat di apotik tertentu.

Apabila tindakan yang positif dari setiap individu dapat dilaksanakan


secara konsisten dan terus menerus akan menghasilkan tabiat positif.
Pada akhirnya secara kelompok akan menghasilkan budaya kerja positif.

Jadi budaya kerja positif apapun yang akan kita kembangkan, yang
penting pelaksanaannya harus secara konsisten, mulai dari pimpinan dan
terus menerus.

Rochmanadji Widajat, seorang dokter di RSU Dr Kariadi Semarang

Nilai-Nilai Budaya Kerja dalam organisasi

Budaya perusahaan merupakan nilai dan falsafah yang telah disepakati


dan diyakini oleh seluruh insan Bank DKI sebagai landasan dan acuan
bagi Bank DKI untuk mencapai tujuan. Bank DKI mendefinisikan budaya
perusahaan dalam tujuh nilai yang meresap ke dalam segenap karyawan
Bank DKI.

Komitmen

Menjunjung tinggi nilai-nilai yang disepakati dan bertanggung jawab


dengan sepenuh hati.

Panduan Perilaku:

Memegang teguh dan berupaya keras untuk mencapai target

Melaksanakan pekerjaan dengan penuh tanggung-jawab

Dapat dipercaya dalam mengemban setiap pekerjaan dengan benar

Menjalankan tugas mengikuti aturan yang berlaku


Menindaklanjuti setiap masalah yang menjadi tanggung-jawab saya dan
memastikan penyelesaiannya hingga tuntas

Teamwork

Kerjasama yang dilandasi semangat saling menghargai dan menghormati


untuk mencapai hasil yang terbaik.

Panduan Perilaku:

Bersedia mendengar dan menghargai pendapat orang lain

Tidak memaksakan kehendak atau pendapat pribadi

Aktif memberi saran, pendapat untuk keberhasilan tim

Berpikir positif

Bersedia bekerja dengan penuh keikhlasan, tanggung jawab dan dedikasi

professional

Menjalankan tugas sesuai dengan keahlian, keterampilan dan


pengetahuan di bidangnya untuk mencapai kinerja terbaik dengan tetap
menjunjung tinggi kode etik bankir.

Panduan Perilaku:

Bekerja efektif dan efisien

Inovatif dan kreatif

Selalu belajar untuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan dan


keahliannya

Positif thinking

Berwawasan luas dan pandangan jauh ke depan

Bekerja berdasarkan prinsip kehati-hatian (prudent)

Pelayanan

Memberikan layanan terbaik kepada seluruh nasabah dengan sikap


ramah, sopan, tulus dan rendah hati sehingga dapat memberikan
kepuasan.
Panduan Perilaku:

Senyum Salam Sapa

Mendengarkan dengan sepenuh hati untuk memahami kebutuhan nasabah

Memberikan layanan dengan sigap, cepat dan akurat

Siap menerima kritik dan saran untuk perbaikan layanan

Disiplin

Melaksanakan tugas secara tepat waktu, tepat guna, dan tepat manfaat.

Panduan Perilaku:

Tepat waktu

Bertindak sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang berlaku dengan


penuh tanggung jawab

Melaksanakan rencana yang telah ditetapkan

Menggunakan sarana dan prasarana kantor sebagaimana mestinya

Kerja Keras

Melaksanakan tugas dengan segala upaya untuk mencapai hasil yang


terbaik.

Panduan Perilaku:

Pantang menyerah untuk mencari solusi yang lebih baik

Menyelesaikan pekerjaan dengan kualitas yang terbaik

Selalu bersemangat untuk memberikan hasil yang lebih baik

Tidak cepat puas atas hasil yang dicapai

Rela mengorbankan kepentingan pribadi demi tercapainya kepentingan


perusahaan

Integritas

Membangun kepercayaan dengan kejujuran, tanggung jawab, moral,


serta satu kata dengan perbuatan
Panduan Perilaku:

Berani menyatakan fakta apa adanya secara transparan dan jujur dengan
tetap menjaga rahasia bank dan perusahaan

Menjunjung tinggi kebenaran sesuai dengan kode etik bankir

Melaksanakan tugas dengan ikhlas

Bersikap terbuka dalam mengungkap gagasan dan pendapat

Mencintai pekerjaan dan menjaga citra bank

DIAGNOSIS KINERJA BERMASALAH

Pada kasuistis diagnosis kinerja bermasalah ini, ternyata ditemukan 5


(lima) faktor penyebabnya yaitu :

a. Etos Kerja Menurun

Kenapa seorang pegawai etos kerjanya menurun ? hal ini bisa disebabkan
dua hal yaitu

Pengaruh Lingkungan Fisik dan Pengaruh Lingkungan Sosial Ekonomi.

1) Pengaruh Lingkungan Fisik,

Faktor lingkungan fisik juga sangat dominan mempengaruhi etos kerja


seorang pegawai, sebagai suatu contoh lingkungan fisik adalah Ruang
kerja, coba kita bayangkan bagaimana seandainya seorang pegawai
bekerja disuatu tempat dengan lingkungan fisik yang sempit, dan tidak
memadai, saranakurang, misalnya almari meja dan kursi berdesakan dan
berkas tidak tertata dengan rapi karena semuasudah penuh dengan
berkas-berkas yang bertumpuk dimana-mana, computer, mesin ketik
sering rusak,dan listrik sering mati, karena kurang daya, sedangkan fisik
ekternal misalnya tempat kerja kita berdekatan dengan fungsi yang tidak
sesuai dengan peruntukannya misalnya jika bidang pekerjaan
kitamembutuhkan suasana yang tenang, yaitu bidang administrasi dan
pembukuan, tetapi gedung kita berdekatan dengan bengkel yang ramai
dan bising, maka seorang pegawai tidak akan bisa bekerjadengan hasil
maksimal, karena merasa terganggu, begitu juga sebaliknya jika bidang
pekerjaan kita itu membutuhkan kebebasan untuk mengeluarkan suara
suara yang berisik tapi berdekatan dengan rumahsakit, atau tempat
bersalin maka seorang pegawai tidak akan bisa bebas melakukan
pekerjaannya karena takut ditegur oleh pihak rumah sakit dan di tuduh
menggangu ketertiban dan kepentinganumum.

2) Faktor Lingkungan Sosial ekonomi.

Faktor lingkungan sosial ekonomi bisa dari dua komponen internal dan
eksternal :

Komponen ekternal

yaiitu lingkungan sosial ekonomi keluarga (Pegawai). Komponen


lingkungan sosial ekonomi keluarga bisa mempengaruhi etos kerja
menurun, seperti kebutuhan rumah tangga yang semakin besar,
keperluan pendidikan anak-anak, membangun rumah, serta masalah
keluarga, rumah tangga hubungan suami istri, kenakalan anak anak yang
sudah semakin beranjak dewasa, sehingga menyita pikiran dan tenaga di
dalam jam kerja pegawai. Disisi lain insentif dari kantor tidak ada, gaji
sudah tidak mencukupi.

Komponen Internal

lingkungan sosial ekonomi di tempat kerja seorang pegawai akan


menurunkan etos kerja jika dari lingkungan kerja tidak ada kepastian
keberlangsungan kedepan, hubungan dengan teman sekerja ada masalah
persaingan tidak sehat, saling menjatuhkan dan memfitnah,
struktur organisasi, tupoksi, serta promosi jabatan tidak jelas, dan tidak
tertib administrasi.

b. Disiplin Kerja Terganggu

Disiplin kerja akan terganggu jika dimana suatu kondisi seorang


pemimpin tidak bisa mengendalikan pegawainya, sorang pegawai tidak
bisa dikendalikan jika kondisi di suatu perusahaan atau di suatu
lingkungan kerja tidak jelas aturan aturan yang dibuat, termasuk hak dan
kewajiban para pegawai.Pegawai hanya dituntut kewajibannya saja tanpa
diperhatikan hak-haknya, serta insentif dan jaminan kesejahteraan,
jaminan promosi bagi mereka yang berprestasi dan hukuman atau sanksi
bagi mereka yang mangkir atau melanggar dan melakukan kecerobohan-
kecerobohan.Sehingga disini jelaslah bahwa kenapa disiplin kerja
terganggu ?. Seperti yang telah tersebut dalam fenomena diatas,
tentunya hal ini disebabkan karena pada awalnya kesadaran seorang
pegawai atas tidak terpenuhinya suatu kebutuhan ( hak-haknya sebagai
seorang pegawai ) sehingga seorang pegawai mengambil suatu keputusan
untuk menentukan sikap sebagai suatu ungkapan terhadap
ketidak puasan akan kebutuhannya, hal ini tentunya akan semakin
menurunkan etos kerjanya, dengan sering melakukan kecerobohan-
kecerobohan, tidak mentaati peraturan yang telah disepakati bersama

c. Syarat-syarat pekerjaan tidak dipenuhi

Syarat pekerjaan tidak terpenuhi sangat erat hubungannya dengan etos


kerja yang menurun, sehinggafaktor-faktor yang mempengaruhi syarat
pekerjaan tidak terpenuhi yaitu:

1) Faktor internal, dimana pengaruh lingkungan fisik dan lingkungan


sosial ekonomi

2) Faktor Ekternal, Sumberdaya manusia yang kurang, sehingga perlu


beberapa pelatihan-pelatihan khusus serta pemilihanatau seleksi pegawai
yang mampu di bidangnya. Serta memiliki sumberdaya manusia yang
handal dibidangnya sehingga syarat pekerjaan bisa terpenuhi.

Pengertian Pendapatan Perkapita, apa sih?

Pendapatan perkapita adalah besarnya pendapatan rata-rata penduduk


di suatu negara, yang diperoleh dari hasil pembagian pendapatan nasional
suatu negara dengan jumlah penduduk negara tersebut. Biasanya,
pendapatan perkapita sering disebut dengan PDB (produk domestik
bruto) perkapita.

Pendapatan perkapita sering digunakan untuk mengukur kemakmuran


sebuah negara. Semakin besar pendapatan perkapita, negara tersebut
akan dinilai semakin makmur.
Bagi Indonesia, pendapatan perkapita sebesar US$3.716 pada akhir
tahun 2011, merujuk pengumuman Program Pembangunan
Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), mencerminkan tingkat
pendapatan yang mencapai Rp3 juta lebih sebulan bagi setiap penduduk
Indonesia.

Laporan UNDP tersebut menggunakan kombinasi data dari Dana


Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Divisi Statistik PBB
(UNSD). Perhitungan yang dipakai, pendapatan nasional bruto (GNI)
Indonesia naik dari US$1.318 pada 1980 menjadi US$2.007 pada 1990,
kemudian US$2.478 pada 2000, dan US$3.544 pada 2010.

Namun Indonesia masih tertinggal dari Malaysia, karena negara itu pada
1980 telah memiliki GNI US$4.722, sehingga saat ini pendapatan per
kapitanya mencapai US$13.685. Thailand kini memiliki pendapatan per
kapita US$7.694. Di Asia Tenggara, Indonesia masih lebih baik dari
Filipina dan Vietnam yang masing- masing memiliki pendapatan
perkapita US$3.478 dan US$2.805. Indonesia kalah dengan Malaysia dan
Thailand karena jumlah penduduk Indonesia jauh lebih besar dari kedua
negara tetangga tersebut.

SUMBER: Laporan UNDP dan sumber lain.

Perbedaan Etos Kerja Bangsa Jepang dengan Indonesia

untuk mengetahui seberapa jauh perbedaan etos kerja Negara kita yaitu
Indonesia dengan Negara jepang yang terkenal dengan etos kerjanya
yang sangat bagus terbukti negaranya kini menjadi Negara yang sangat
maju. Ok, langsung ajah di baca deh penjelasannya.

Etos kerja bangsa Jepang

Jepang selama ini kita kenal sebagai salah satu negara didunia yang
memiliki etos kerja yang hebat. Etos kerja yang baik ini menimbulkan
suatu dampak kemajuan teknologi dan penguasaan teknologi,serta
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi negara jepang itu sendiri.

Semangat dan pantang menyerah merupakan ciri orang jepang, dari


semboyan samurai yang menyatakan Lebih baik mati dari pada
berkalang malu, ada juga istilah MAKOTO yang artinya bekerja dengan
giat semangat,jujur serta ketulusan.belum lagi semangat dan semboyan
serta falsafah yang lain yang dapat memacu kerja dan membentuk etos
kerja para pekerja diluar negara jepang.

Sedangkan bila dilihat dari segi kebudayaannya, kepemimpinan Jepang


dikenal memiliki etos kerja yang sangat baik dalam memajukan negara
atau organisasi yang berada di dalamnya. Diambil dari sumber yang
ditulis oleh Ahmad Kurnia dari buku karya ANN WAN SENG, RAHASIA
BISNIS ORANG JEPANG (Langkah Raksasa Sang Nippon Menguasai
Dunia) diceritakan setelah bom atom Amerika menghunjam Hiroshima
dan Nagasaki yang merupakan jantung kota Jepang tahun 1945, semua
pakar ekonomi saat itu memastikan Jepang akan segera mengalami
kebangkrutan. Namun, dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun, Jepang
ternyata mampu bangkit dan bahkan menyaingi perekonomian negara
yang menyerangnya. Terbukti, pendapatan tahunan negara Jepang
bersaing ketat di belakang Amerika Serikat. Apalagi di bidang
perteknologian, Jepang menjelma menjadi raksasa di atas negaranegara
besar dan berkuasa lainnya. Dengan segala kekurangan secara fisik, tidak
fasih berbahasa Inggris, kekurangan sumber tenaga kerja, dan selalu
terancam bencana alam rupanya tidak menghalangi mereka menjadi
bangsa yang dihormati dunia.

Orang Jepang sanggup berkorban dengan bekerja lembur tanpa


mengharap bayaran. Mereka merasa lebih dihargai jika diberikan tugas
pekerjaan yang berat dan menantang. Bagi mereka, jika hasil produksi
meningkat dan perusahaan mendapat keuntungan besar, secara otomatis
mereka akan mendapatkan balasan yang setimpal. Dalam pikiran dan
jiwa mereka, hanya ada keinginan untuk melakukan pekerjaan sebaik
mungkin dan mencurahkan seluruh komitmen pada pekerjaan. Pada
tahun 1960, rata-rata jam kerja pekerja Jepang adalah 2.450 jam/tahun.
Pada tahun 1992 jumlah itu menurun menjadi 2.017 jam/tahun. Namun,
jam kerja itu masih lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata jam kerja
di negara lain, misalnya Amerika (1.957 jam/tahun), Inggris (1.911
jam/tahun), Jerman (1.870 jam/tahun), dan Prancis (1.680 jam/tahun).
Ukuran nilai dan status orang Jepang didasarkan pada disiplin kerja dan
jumlah waktu yang dihabiskannya di tempat kerja (hlm.70). Keadaan ini
tentu sangat berbeda dengan budaya kerja orang Indonesia yang
biasanya selalu ingin pulang lebih cepat. Di Jepang, orang yang pulang
kerja lebih cepat selalu diberi berbagai stigma negatif, dianggap sebagai
pekerja yang tidak penting, malas dan tidak produktif.

Sikap patriotisme bangsa Jepang juga menjadi salah satu faktor yang
membantu keberhasilan ekonomi negaranya. Bangsa Jepang bangga
dengan produk buatan negeri sendiri. Mereka juga menjadi pengguna
utama produk lokal dan pada saat yang sama juga mencoba
mempromosikan produk made in Japan ke seluruh dunia dari makanan,
teknologi sampai tradisi dan budaya. Dimana saja mereka berada bangsa
Jepang selalu mempertahankan identitas dan jatidiri mereka.Minat dan
kecintaan bangsa Jepang terhadap ilmu membuat mereka merendahkan
diri untuk belajar dan memanfaatkan apa yang telah mereka pelajari.
Mereka menggunakan ilmu yang diperoleh untuk memperbaiki
kelemahan-kelemahan produk Barat demi memenuhi kepentingan pasar
dan konsumen. Bangsa Jepang memang pintar meniru tetapi mereka
memiliki daya inovasi yang tinggi. Pihak Barat memakai proses logika,
rasional dan kajian empiris untuk menghasilkan sebuah inovasi. Namun
bangsa Jepang melibatkan aspek emosi dan intuisi untuk menghasilkan
inovasi yang sesuai dengan selera pasar.

Ciri-ciri etos kerja dan budaya kerja orang Jepang adalah,

Bekerja untuk kesenangan, bukan untuk gaji saja. Tentu saja orang
Jepang juga tidak bekerja tanpa gaji atau dengan gaji yang rendah. Tetapi
kalau gajinya lumayan, orang Jepang bekerja untuk kesenangan. Jika
ditanya Seandainya anda menjadi milyuner dan tidak usah bekerja, anda
berhenti bekerja ?, kebanyakan orang Jepang menjawab, Saya tidak
berhenti, terus bekerja. Bagi orang Jepang kerja itu seperti permainan
yang bermain bersama dengan kawan yang akrab. Biasanya di Jepang
kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini, dan
ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan kawan yang
saling mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu menarik,
dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah. Fenomena ini disebut work
holic oleh orang asing.

Mendewakan langganan. Memang melanggar ajaran Islam, etos kerja


orang Jepang mendewakan client/langganan sebagai Tuhan. Okyaku
sama ha kamisama desu. (Langganan adalah Tuhan.) Kata itu dikenal
semua orang Jepang. Kata ini sudah motto bisinis Jepang. Perusahaan
Jepang berusaha mewujudkan permintaan dari langganan sedapat
mungkin, dan berusaha berkembangkan hubungan erat dan panjang
dengan langganan.
Bisnis adalah perang. Orang Jepang yang di dunia bisnis menganggap
bisnis sebagai perang yang melawan dengan perusahaan lain. Untuk
menang perang, perlu strategis dan pandangan jangka panjang. Budaya
bisinis Jepang lebih mementingkan keuntungan jangka panjang. Supaya
menang perang seharusnya diadakan persiapan lengkap untuk bertempur
setenaga kuat. Semua orang Jepang tahu pribahasa Hara ga hette ha
ikusa ha dekinu. (Kalau lapar tidak bisa bertempur.) Oleh karena itu
orang Jepang tidak akan pernah menerima kebiasaan puasa. Bagi orang
Jepang, untuk bekerja harus makan dan mempersiapkan kondisi lengkap.

Untuk melancarkan urusan pekerjaanya, orang Jepang memegang teguh


prinsip tepat waktu dengan tertib dan disiplin, khususnya dalam sektor
perindustrian dan perdagangan.

Untuk itu, tidak ada alasan bagi Indonesia tidak bisa menjadi seperti
Jepang. Indonesia memiliki sumber alam melimpah dari pada Jepang,
tenaga manusia murah, infrastruktur yang baik, dan kedudukan geografis
yang strategis. Tergantung kemauan, komitmen dan langkah pasti
pemerintah serta masyarakatnya dalam mengaplikasikan formula
ekonomi yang ampuh tersebut. Jika bangsa Jepang bisa melakukannya,
maka tidak ada alasan untuk kita gagal melaksanakannya. Kekuasaan ada
ditangan kita dan bukan terletak pada negara.

Etos kerja bangsa Indonesia

Insititute for Management of Development, Swiss, World Competitiveness


Book (2007), memberitakan bahwa pada tahun 2005, peringkat
produktivitas kerja Indonesia berada pada posisi 59 dari 60 negara yang
disurvei. Atau semakin turun ketimbang tahun 2001 yang mencapai
urutan 46. Sementara itu negara-negara Asia lainnya berada di atas
Indonesia seperti Singapura (peringkat 1), Thailand (27), Malaysia (28),
Korea (29), Cina (31), India (39), dan Filipina (49). Urutan peringkat ini
berkaitan juga dengan kinerja pada dimensi lainnya yakni pada Economic
Performance pada tahun 2005 berada pada urutan buncit yakni ke 60,
Business Efficiency (59), dan Government Efficiency (55). Lagi-lagi diduga
kuat bahwa semuanya itu karena mutu sumberdaya manusia Indonesia
yang tidak mampu bersaing. Juga mungkin karena faktor budaya kerja
yang juga masih lemah dan tidak merata. Bisa dibayangkan dengan
kondisi krisis finansial global belakangan ini bisa-bisa posisi Indonesia
akan bertahan kalau tidak ada remedi yang tepat.
Produktivitas kerja jangan dipandang dari ukuran fisik saja. Dalam
pemahaman tentang produktifitas dan produktif disitu terkandung aspek
sistem nilai. Manusia produktif menilai produktivitas dan produktif adalah
sikap mental. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin; hari esok harus
lebih baik dari hari ini. Jadi kalau seseorang bekerja, dia akan selalu
berorientasi pada produktivitas kerja di atas atau minimal sama dengan
standar kerja dari waktu ke waktu. Bekerja produktif sudah sebagai
panggilan jiwa dan kental dengan amanah. Dengan kata lain sikap
tersebut sudah terinternalisasi. Tanpa diinstruksikan dia akan bertindak
produktif. Itulah yang disebut budaya kerja positif (produktif). Sementara
itu budaya bekerja produktif mengandung komponen-komponen: (1)
pemahaman substansi dasar tentang bekerja. (2) sikap terhadap
karyawanan. (3) perilaku ketika bekerja. (4) etos kerja. (5) sikap
terhadap waktu. Pertanyaannya apakah semua kita sudah berbudaya
kerja produktif?

Budaya kerja produktif di Indonesia, belum merata. Bekerja masih


dianggap sebagai sesuatu yang rutin. Bahkan di sebagian karyawan, bisa
jadi bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang
yang malas. Pemahaman karyawan tentang budaya kerja positif masih
lemah. Budaya organisasi atau budaya perusahaan masih belum banyak
dijumpai. Hal ini pulalah juga agaknya yang kurang mendukung
terciptanya budaya produktif. Perusahaan belum mengganggap sikap
produktif sebagai suatu sistem nilai. Seolah-olah karyawan tidak memiliki
sistem nilai apa yang harus dipegang dan dilaksanakan. Karena itu tidak
jarang prusahaan yang mengabaikan kesejahteraan karyawan termasuk
upah minimunya. Ditambah dengan rata-rata pendidikan karyawan yang
relatif masih rendah maka produktivitas pun rendah. Karena itu tidak
heran produktivitas kerja di Indonesia termasuk terendah dibanding
dengan negara-negara lain di Asia. Mengapa bisa seperti itu?

Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana.


Produktivitas kerja merupakan rasio dari keluaran/output dengan
inputnya. Bentuk output dapat berupa barang dan jasa. Sementara input
berupa jumlah waktu kerja, kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat
upah dan gaji, teknologi yang dipakai dsb. Jadi output yang dihasilkan
sangat dipengaruhi oleh faktor input yang digunakan. Dengan demikian
produktivitas kerja di Indonesia relatif rendah karena memang rendahnya
faktor-faktor kualitas fisik, tingkat pendidikan, etos kerja, dan tingkat
upah dari karyawan. Hal ini ditunjukkan pula oleh angka indeks
pembangunan manusia di Indonesia (gizi, pendidikan, kesehatan) yang
relatif lebih rendah dibanding di negara-negara tetangga.
Seharusnya faktor-faktor tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar
para karyawan mampu mencapai produktivitas yang standar. Pendidikan
dan pelatihan perlu terus dikembangkan disamping penyediaan akses
teknologi. Kompetensi (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) karyawan
menjadi tuntutan pasar kerja yang semakin mendesak. Dengan kata lain
suasana proses pembelajaran plus dukungan kesejahteraan karyawan
perlu terus dikembangkan. Etos kerja orang Indonesia adalah :

Munafik atau hipokrit. Suka berpura-pura, lain di mulut lain di hati.

Enggan bertanggung jawab. Suka mencari kambing hitam.

Berjiwa feodal. Gemar upacara, suka dihormati daripada menghormati


dan lebih mementingkan status daripada prestasi.

Percaya takhyul. Gemar hal keramat, mistis dan gaib.

Berwatak lemah. Kurang kuat mempertahankan keyakinan, plinplan, dan


gampang terintimidasi. Dari kesemuanya, hanya ada satu yang positif,
yaitu

Artistik; dekat dengan alam. Dengan melihat keadaan saat ini, ini
merupakan kenyataan pahit, yang memang tidak bisa kita pungkiri, dan
memang begitu adanya.

Namun lanjutnya, dari 220 juta jiwa rakyat Indonesia, tidak semua
memiliki etos kerja buruk seperti disebutkan diatas. Masih ada organisasi
yang peduli dan mau mengubah etos kerja yang disematkan ke bangsa
Indonesia saat ini.

Kita harapkan etos kerja yang diterapkan tersebut bisa diimplementasikan


dalam kerja nyata dan akan lebih baik lagi jika hal positif tersebut
menyebar kepada semua Organisasi kerja diseluruh Indonesia.

Lebih lanjut lagi beliau mengatakan, bangsa Indonesia adalah negara


yang kaya dan merupakan bangsa yang besar. Indonesia dikarunia
sumber daya alam yang melimpah ruah dan jumlah penduduk yang besar.
Dan itu merupakan modal untuk mewujudkan masyarakat yang makmur
dan sejahtera. Namun pada Kenyataannya rakyat miskin bertambah
banyak, pengangguran semakin meningkat, dan banyak anak yang tidak
mempunyai kesempatan untuk bersekolah. Data Penduduk miskin sampai
pada tahun 2009.

Salah satu faktor rendahnya etos kerja yang dimiliki oleh Indonesia yaitu
negatifnya keteladanan yang ditunjukkan oleh para pemimpin. Mereka
merupakan model bagi masyarakat yang bukan hanya memiliki
kekuasaan formal, namun juga kekuasaan nonformal yang justru sering
disalahgunakan.

Bukan bermaksud untuk membandingkan Negara kita dengan Negara


Jepang, tetapi saya berharap Dengan adanya perbandingan ini diharapkan
kita dapat mengambil kebaikan didalamnya. Agar Negara kita bisa
menjadi Negara yang memiliki etos kerja yang lebih baik lagi dari
sebelumnya. Dan bisa membuat Negara kita menjadi Negara yang maju
sama seperti Negara Jepang tersebut. Tentunya itu semua akan terjadi
apabila kita memiliki kesadaran dari diri kita masing-masing.

Taiichi Ohno adalah penggagas sistem produksi yang kini dikenal sebagai
The Toyota Way. Sistem ini terkenal karena sangat efisien. Penerapannya
membutuhkan disiplin tinggi.

Ohno lahir di Dalin, Cina, tahun 1912. Ia kuliah di Nagoya, kemudian


bergabung dengan perusahaan milik keluarga Toyoda, yang merupakan
teman ayahnya. Perusahaan itu membuat mesin pemintal benang.

Ya, bisnis pertama Toyota yang dirintis oleh Sakichi Toyoda adalah bisnis
pembuatan mesin pintal dan tenun, bukan otomotif. Toyota baru mulai
membuat mobil tahun 1938. Hingga saat ini Toyota masih membuat
mesin tenun, dan wujud sebagai pembuat mesin nomor satu di dunia.

Tahun 1948 Ohno pindah ke divisi otomotif. Dia kemudian menghasilkan


gagasan tentang lean manufacturing.

Konon ceritanya, gagasan itu ia dapat saat melihat supermarket di


Amerika. Di supermarket ini disimpan stok dalam jumlah terbatas, sesuai
debit penjualan barang. Ohno kemudian memakai prinsip itu untuk jalur
produksi di pabriknya. Ia yang memperkenalkan konsep 7 Kemubaziran
atau Nanatsu No Muda.

Berikut adalah 10 prinsip dalam bekerja yang diajarkan oleh Ohno.

1. Kamu adalah biaya. Dalam konteks perusahaan, setiap orang adalah


sumber biaya. Ia digaji, diberi ruang kerja, dan berbagai fasilitas untuk
kerja. Itu semua berbiaya. Setiap orang bertanggung jawab atas biaya
yang timbul. Logisnya, kita bekerja menghasilkan sesuatu, jauh melebihi
dari biaya yang dikeluarkan untuk kita. Bila tidak demikian maka kita
adalah beban perusahaan. Hal-hal yang sifatnya beban, harus dibuang.

2. Selalulah katakan,Saya bisa. Selalulah mencoba. Tidak ada hal yang


kita putuskan tidak bisa, sebelum kita mencobanya. Saya coba, dan saya
bisa. Saya coba banyak hal, membuat saya bisa banyak hal. Tidak ada
orang yang serba bisa. Kita tidak serba bisa. Tapi kita bisa mencoba, dan
menjadi bisa.

3. Tempat kerja adalah guru. Hanya di tempat kerjalah kamu bisa


menemukan jawaban. Dalam bahasa Jepang ini disebut genba shugi.
Keahlian diperoleh dari lapangan, tempat kita bekerja, bukan melalui
sederet buku teori. Juga bukan dari hasil perenungan di balik meja. Arti
sebaliknya adalah, belajarlah dari hal-hal yang kamu kerjakan. Bukan
sekedar melakukannya dengan pikiran kosong.

4. Lakukan segala sesuatu dengan segera. Memulai sesuatu sekarang


adalah satu-satunya cara untuk menang. Jangan biasakan menunda,
membuat pekerjaan menumpuk, sehingga kita tak sanggup lagi
mengatasinya. Jangan tunggu hingga terdesak baru mengerjakan. Jangan
baru memulai saat semangat kita sudah mulai luntur.

5. Sekali mulai, lakukan dengan gigih sampai tujuan tercapai. Tidak ada
tujuan yang tidak bisa dicapai. Tak ada mimpi yang bisa diraih. Tak ada
jalan buntu. Semua yang kita hadapi hanyalah tembok yang bisa kita
panjati, lompati, atau kalau perlu kita hancurkan. Tembok di depan kita
hanya akan jadi jalan buntu kalau kita memandangnya sebagai jalan
buntu.

6. Jelaskan hal-hal sulit dengan mudah. Puncak pemahaman seseorang


adalah saat ia mampu menjelaskan hal sulit dengan cara yang mudah
dipahami orang. Berempatilah pada orang yang belum paham. Itu hanya
bisa dimiliki oleh orang yang punya kemauan kuat untuk berbagi.

7. Kemubaziran itu selalu tersembunyi. Jangan sembunyikan. Jadikan ia


selalu terlihat, sehingga selalu disadari sebagai masalah. Biasakan untuk
berpikir, mencari sumber kemubaziran, dan memunculkannya ke
permukaan.

8. Gerakan sia-sia sama halnya dengan memperpendek umur. Hidup ini


terbatas waktunya. Hidup kita dinilai dari berapa banyak hal bermanfaat
yang kita lakukan selama hidup. Bila banyak amal sia-sia, amal
bermanfaat kita hanya sedikit. Mungkin kita akan kalah dari orang yang
pendek umur tapi banyak amal bermanfaat, padahal umur kita lebih
panjang dari dia.

9. Perbaiki yang sudah diperbaiki, untuk jadi lebih baik lagi. Tidak ada
kesempurnaan dalam hidup. Selalu ada ruang dan kesempatan untuk
meningkatkan kualitas. Tidak boleh ada kata berhenti atau selesai untuk
perbaikan.

10. Kebijasanaan ada pada setiap orang. Yang membedakannya adalah


yang mempraktekkannya. Kebijaksanaan bukan bawaan lahir. Ia
dihasilkan dari sikap yang terus menerus diasah dalam interksi kita
dengan orang lain. Orang bijak tidak hidup di gua, menghasilkan
kebijakan dari perenungan. Orang bijak hidup bersama manusia lain,
mengasah kebijakannya melalui interaksi.

Kebiasaan adalah hal-hal yang secara berulang kita lakukan, dan kita
melakukannya di bawah sadar. Kebiasaan juga menyangkut cara berpikir,
hasrat, dan perasaan kita, yang terbentuk oleh berbagai pengalaman kita
di masa lalu.

Berulang, itu adalah sifat penting pada kebiasaan, yang membuatnya


memiliki kekuatan yang hebat. Misalnya, kita punya kebiasaan
meletakkan 1 bata di halaman rumah kita. Maka dalam setahun kita akan
punya 365 bata. Bayangkan kalau kita bisa, misalnya, membaca 1 buku
sehari.

Karena kebiasaan adalah sesuatu yang berada di bawah sadar dan


cenderung menjadi semacam kebutuhan, maka ia sulit diubah. Proses
suatu perilaku atau tindakan menjadi kebiasaan disebut habit formation.
Menariknya, meski sulit, kebiasaan baru bisa dibangun dan ditumbuhkan.

Ada beberapa tindakan kita sehari-hari yang merupakan kebiasaan. Naik


sepeda, naik motor, atau menyetir mobil, adalah kebiasaan. Kita tidak lagi
berpikir saat mengayuh sepeda, atau menekan pedal-pedal di mobil.
Padahal yang kita lakukan tidak benar-benar perulangan. Syaraf-syaraf
kita merespon secara otomatis konteks atau situasi yang kita hadapi
secara cepat.

Keterampilan tangan pada umumnya adalah kebiasaan. Seseorang yang


mampu mengetik cepat mendapatkan keterampilannya dari latihan
berulang. Demikian pula seorang koki yang mampu memotong secara
cepat dengan memakai pisaunya.
Karena itu banyak pakar pengembangan pribadi yang membangun
konsep-konsep pengembangan melalui kebiasaan. Salah satunya adalah
Stephen Covey, yang terkenal dengan bukunya 7 Habits of the Highly
Effective People.

Ada ungkapan menarik,First we make our habits, then our habits make
us. Artinya, kita bisa membangun kebiasaan, kemudian kebiasaan-
kebiasaan itu yang membentuk diri kita. Itulah yang menjadi dasar
berpikir para ahli pengembangan diri dalam membangun metode yang
mereka tawarkan.

Kebiasaan bukan sekedar soal tindakan fisik saja. Kebiasaan juga


menyangkut soal berpikir. Kalau kita biasa berpikir, menganalisa, beraksi
terhadap suatu situasi dengan cara tertentu, maka ia akan membentuk
suatu pola pikir.

Pola pikir adalah kebiasaan dalam berpikir. Sama seperti kebiasaan fisik,
pola pikir sulit diubah. Tapi, sekali lagi, ia bisa diubah dengan latihan.
Orang-orang seperti Covey sebenarnya menawarkan konsep perubahan
dalam berpikir. Demikian pula saya, melalui suatu slogan,Melawan Miskin
Pikiran.

Kita adalah kebiasaan kita. Kita dibentuk oleh berbagai kebiasaan. Sukses
atau gagalnya kita, ditentukan oleh kebiasaan-kebiasaan tersebut. Bila
kita mau belajar dari orang sukses, cobalah menelisik pola kebiasaannya.
Ia pasti punya kebiasaan tertentu. Kalau kita ingin berubah dari diri kita
yang sekarang, tidak bisa tidak, kita harus mengubah kebiasaan-
kebiasaan kita.

Nah, apa kebiasaan positif yang kita bangun untuk membentuk diri kita?
Kita bisa mulai dari hal kecil seperti tepat waktu, tertib di jalan dan
tempat umum, menjaga kebersihan, jujur, dan menepati janji. Pada saat
yang sama kita bisa menghilangkan kebiasaan-kebiasan buruk, seperti
menunda, menghindar, menyangkal, dan sebagainya.

Pada level yang lebih tinggi kita bisa melatih diri dengan satu set pola
pikir, misalnya, meninggalkan pola pikir dengan sudut pandang korban,
menjadi pola pikir proaktif. Kita juga harus membiasakan untuk memilah
antara unsur emosional dan rasional dalam pikiran kita. Ada banyak lagi
kebiasaan-kebiasaan berpikir atau intelectual habit. Nanti akan saya
bahas dalam tulisan-tulisan saya selanjutnya.

Intinya, kita adalah kebiasaan kita. Kalau mau mengubah nasib, jalan
hidup, dan masa depan, tidak bisa tidak, kita harus mengubah kebiasaan-
kebiasaan kita.

Anda mungkin juga menyukai