Anda di halaman 1dari 41

KONFLIK DAN NEGOSIASI

Ditujukan kepada
Mata Kuliah : Perilaku Organisasi
Dosen : Dr.Hj.Heriyani Agustina,Dra.,M.M.,M.Si.

Oleh : Kelompok 5
Nia Madania (117090056)
Ziadatul Filda (117090101)
Alissa Baiduri H. N (117090070)
Eep Saepul Hayat (1170900

PRODI ILMU ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI
CIREBON
2018/2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
dengan ini kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini.

Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk
maupun pedoman dan berguna untuk menambah pengetahuan bagi para pembaca.

Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya
dengan bantuan dari banyak pihak, sehingga dapat memperlancar proses
pembuatan makalah ini.

Oleh sebab itu, kami juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam pembuatan
makalah ini.

Akhirnya penyusun mengharapkan semoga makalah ini dapat diambil manfaatnya


sehingga dapat memberikan inspirasi terhadap pembaca.Selain itu, kritik dan
saran kami tunggu untuk perbaikan makalah ini nantinya.

Cirebon, Juni 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................. ii-iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ...................................................................... 4


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 4
1.3 Tujuan Penulisan.................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konflik di Disney ................................................................................ 6

2.2 Definisi Konflik .....................................................................................

2.3 Perkembangan Pemikiran Tentang Konflik .........................................

2.4 Proses Konflik ......................................................................................

2.5 Negosiasi ..............................................................................................

2.6 Strategi Tawar-Menawar ......................................................................

2.7 Proses Negosiasi ....................................................................................

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ........................................................................................ 38

3.2 Saran .................................................................................................. 38

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 39


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

-Konflik

Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang
atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan
pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik
bertentangan dengan integrasi. Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah
siklus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Konflik menurut Stephen P. Robbins adalah sebuah proses yang dimulai ketika
satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah memengaruhi secara negatif,
atau akan memengaruhi secara negatif, sesuatu yang menjadi kepedulian atau
kepentingan pihak pertama. Definisi ini mencakup beragam konflik yang orang
alami dalam organisasi, ketidakselarasan tujuan, perbedaan interpretasi fakta,
ketidaksepahaman yang disebabkan oleh ekspetasi perilaku, dan sebagainya.

-Negosiasi

Negosiasi (negotiation) sebagai sebuah proses dimana dua pihak atau lebih
melakukan pertukaran barang atau jasa dan berupaya istilah negosiasi dan tawar
menawar secara saling menggantikan.
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud konflik di Disney?

2. Bagaimana penjelasan mengenai definisi konflik?

3. Bagaimana perkembangan pemikiran tentang konflik?

4. Baagaimana proses terjadinya konflik?

5. Apa yang dimaksud dengan negosiasi?

6. Bagaimana strategi tawar-menawar?

7. Bagaimana proses terjadnya negosiasi?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Agar mahasiswa lebih memahami teori konflik dan negosiasi


2. Untuk menambah wawasan mengenai hubungan konflik dan negosiasi
3. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan dari teori konflik dan
negosiasi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KONFLIK DI DISNEY

Berkat kepemimpinan Michael Eisner, Frank Wells, Jeffrey Katzenberg,


dan Roy Disney, Walt Disney Company maju dan menjadi perusahaan
kesayangan Wall Street, tetapi sebagaimana akan anda lihat, konflik di Disney
menyebabkan kekacauan bagi perusahaan tersebut dan para eksekutifnya.

Pada 1995, Eisner – CEO Disney – mengumumkan bahwa ia akan


merekrut teman lamanya dan salah seorang agen selebriti paling sukses di dunia,
Michael Ovitz, untuk menjadi presiden baru perusahaan tersebut. Keduanya
begitu akrab sehingga keluarga mereka sering berlibur bersama di Aspen.
Malahan, dalam salah satu liburan bersama, Eisner memberi Ovitz sebuah memo
yang menyebutkan “Kita akan menjadi tim hebat .... Saya bersyukur setiap hari
kita bisa bersama.” Tetapi, dalam rentang waktu 14 bulan kemudian, Eisner
memecat Ovitz, dan saking besarnya keinginan untuk mendepak Ovitz keluar dari
Disney Eisner rela membayarnya 140 juta dolar agar ia pergi. Akibatnya, para
pemegang saham Disney menuntut, menuduh bahwa Eisner telah
menyalahgunakan wewenang yang dipercayakan kepadanya. Pada bulan Oktober
2004, tuntutan hukum diajukan ke pengadilan, yang memaksa Eisner dan Ovitz
mengungkapkan detail kemitraan mereka.

Benih – benih konflik antara kedua orang itu sudah terlihat sejak awal.
Ovitz menerima jabatan presiden Disney tanpa mengetahui wilayah kewenangan
formalnya. Pada suatu ketika, ia berkata kepada Eisner, “Saya pasrahkan diri saya
di tangan anda.” Masalahnya? Bahkan ketika sedang berusaha merekrut Ovitz,
Eisner terus mendukung orang – orang yang ia tahu memusuhi perekrutan
tersebut. Malahan, sehari sebelum perekrutan Ovitz diumumkan, dua dari
eksekutif senior Disney memberi tahu Ovitz bahwa mereka tidak akan bekerja
untuknya karena ia relatif belum berpengalaman. Salah seorang dari mereka
mengatakan, “Selamat datang di perusahaan ini. Saya hanya ingin anda tahu
bahwa saya tidak akan pernah bekerja untuk anda.” Eisner duduk dan diam saja.
Secara pribadi, Ovitz meminta Eisner untuk mendukungnya. “Saya tidak bisa
melakukannya.” Jawab Eisner.

Eisner dan Ovitz juga memiliki gaya yang berlawanan. Ovitz suka bergaya
dan penuh glamor. Tak lama setelah memulai pekerjaan di Disney, Ovitz
mengadakan pesta dengan mengundang Tom Hanks, Steven Spielberg, dan para
selebriti lain sebagai tamu istimewa. Pesta itu menghabiskan uang Disney sebesar
90.000 dolar, yang oleh Ovitz dianggap kecil. Eisner sendiri menganggapnya
terlalu mewah. Ovits juga punya kebiasaan membatalkan pertemuan pada saat –
saat terakhir, yang lazim bagi para agen Hollywood tetapi merugikan banyak
pihak di Disney. Di pengadilan, Eisner mengaku bahwa ia sudah ingin memecat
Ovitz hanya lima minggu seteleh merekrutnya. Menurut salah satu sahabat Eisner,
satu – satunya alasan ia tidak memecatnya adalah keyakinannya bahwa Ovitz akan
melakukan bunuh diri. Tetapi beberapa bulan kemudian, Eisner secara aktif
mencoba menyingkirkan Ovitz. Ia menulis kepada dua orang anggota dewan
direksi Disney, “Saya benci mengatakan hal ini tetapi kepribadiannya yang terlalu
kuat ditambah perilakunya yang tidak konsisten dan berbagai masalah patologis
lain (sekali lagi saya benci mengatakannya) merupakan kombinasi yang akan
membawa bencana bagi perusahaan ini.” Minggu berikutnya, Eisner mengirim
seorang eksekutif Disney untuk memecat Ovitz, dengan mengirim Ovitz surat
bertuliskan, “Saya berkomitmen untuk membuat situasi ini menguntungkan bagi
kedua belah pihak, untuk menjaga persahabatan kita tetap berjalin, untuk bersikap
positif ... Andalah satu – satunya orang yang menjenguk saya sewaktu saya
dirawat di rumah sakit (ketika Eisner menjalani operasi darurat janjtung) – dan
saya ingat betul itu.”

Karier seorang yang pernah digambarkan sebagai orang yang paling


berkuasa di Hollywood itu runtuh. Pada suatu ketia, David Geffen, seorang
eksekutif dan produsen rekaman yang sukses, berkata kepada Ovitz, “Anda tidak
seperti dulu lagi. Dahulu, anda dapat mengatasi segala sesuatu. Dahulu, anda
dapat membuat segalanya terlaksana. Kini, anda tidak memiliki kredibilitas.”
Sementara itu, Eisner tidak pernah bisa pulih nama baiknya sejak kasus Ovitz
tersebut mencuat. Pada 2005, 45 persen pemegang saham Disney memberikan
suara “Tidak” kepada Eisner. Meskipun Disney memenangi tuntutan atas paket
kompensasi Ovitz sebesar 140 juta pada akhir 2005, Eisner terpaksa turun dari
jabatan preseden direktur, dan mundur dari dewan direksi, memutuskan semua
ikatan dengan perusahaan yang telah ia pimpin selama lebih dari dua dasawarsa.
Sebagaimana dinyatakan oleh seorang pengamat mengenai putusan pengadilan
pada 2005 itu, “Akhir kisahnya sama – sama tidak menguntungkan.” Apa yang
dimulai dengan persahabatan berakhir dengan pemecatan dan tuntutan ke
pengadilan, dan karier keduanya pun hancur lebur. Situasi di Disney
memperlihatkan kepada kita bagaimana konflik dapat menghancurkan karier dan
membahayakan perusahaan.

Sebagaimana kita lihat dalam contoh di Disney, konflik bisa menjadi


masalah serius dalam sebuah organisasi. Konflik dapat menciptakan kondisi kacau
dan membuat karyawan nyaris mustahil untuk bekerja bersama. Namun, konflik
juga memiliki sisi positif yang kurang begitu dipahami. Kami akan menjelaskan
perbedaan antara konflik negatif fan positif dalam bab ini serta memberikan
panduan untuk membantu nada memahami bagaimana konflik berkembang. Akan
kami sajikan pula sebuah topik yang terkait erat dengan konflik, yaitu negosiasi.
Tetapi, terlebih dulu mari kita perjelas apa yang dimaksud dengan konflik.

2.2 DEFINISI KONFLIK

Terdapat banyak definisi konflik. Meskipun makna yang diperoleh definisi


itu berbeda – beda, beberapa tema umum mendasari sebagian besar dari definisi
tersebut. Konflik harus dirasakan oleh pihak – pihak yang terlibat; apakah konflik
itu ada atau tidak ada merupakan persoalan persepsi. Jika tidak ada yang
menyadari adanya konflik, secara umum lalu disepakati konflik tidak ada.
Kesamaan lain dari definisi – definisi tersebut adalah adanya pertentangan atau
ketidakselarasan dan bentuk – bentuk interaksi. Beberapa faktor ini menjadi
kondisi yang merupakan titik awal proses konflik.

Jadi, kita dapat mendefinisikan Konfik (condlict) sebagai sebuah proses


yang dimulai ketika satu pihak memiliki persepsi bahwa pihak lain telah
memengaruhi secara negatif, atau akan memengaruhi secara negatif, sesuatu yang
menjadi kepedulian atau kepentingan pihak pertama. Definisi ini sengaja dibuat
luas. Hal ini menggambarkan satu titik dalam kegiatan yang sedang berlangsung
ketika sebuah interaksi “berubah” menjadi sebuah konflik antarpihak. Definisi ini
mencakup beragam konflik yang orang alami dalam organisasi – ketidakselarasan
tujuan, perbedaan interpretasi fakta, ketidaksepahaman yang disebabkan oleh
ekspektasi perilaku, dan sebagainya. Terakhir, definisi kami cukup fleksibel untuk
mencakup beragam tingkatan konflik – dari tindakan terang – terangan dan keras
sampai ke bentuk – bentuk ketidaksepakatan yang tidak terlihat.

Perkembangan Pemikiran Tentang Konflik

Sangan beralasan untuk mengatakan bahwa telah terjadi “konflik”


mengenai peran konflik dalam kelompok dan organisasi. Salah satu aliran
pemikiran berpendapat bahwa konflik harus dihindari – konflik menunjukkan
adanya sesuatu yang tidak berfungsi dalam kelompok. Kami menyebut pemikiran
ini pandangan tradisional. Aliran pemikiran lainnya, pandangan hubungan
manusia, berpendapat bahwa konflik adalah akibat alamiah dan tidak terhindarkan
dalam kelompok mana pun dan bahwa konflik tidak mesti atau tidak selalu jahat,
tetapi justru memendam potensi untuk menjadi day positif dalam mendorong
kinerja kelompok. Perspektif ketiga, dan terbaru, tidak hanya menyatakan bahwa
konflik dapat menjadi daya positif dalam sebuah kelompok tetapi juga secara
eksplisit berpendapat bahwa beberapa konflik mutlak diperlukan oleh sebuah
kelompok untuk dapat berkinerja secara efektif. Kami melabeli aliaran ketiga ini
pandangan interaksionis. Mari kita amati lebih dekat masing – masing pandangan
tersebut.
1. Pandangan Tradisional
Pendekatan paling awal mengenai konflik berpandangan bahwa semua
konflik itu buruk. Konflik dipandang secara negatif, dan digunakan sebagai
sinonim dari istilah – istilah seperti kekerasan, kerusakan, dan irasionalitas,
sekadar untuk memperkuat konotasi negatifnya. Konflik, dari definisnya saja,
sudah berbahaya dan harus dihindari. Pandangan tradisional (traditional) ini
sejalan dengan sikap yang dianut banyak orang menyangkut perilaku kelompok
pada tahun 1930-an dan 1940-an. Konflik dipandang sebagai akibat disfungsional
dari komunikasi ketidakmampuan para manajer untuk tanggap terhadap
kebutuhan dan aspirasi karyawan mereka.
Pandangan bahwa semua konflik buruk tentu saja merupakan sebuah
pendekatan sederhana dalam mengamati perilaku orang yang menciptakan
konflik. Karena semua konflik harus dihindari, kita hanya perlu mengarahkan
perhatian pada sebab – sebab konflik serta mengoreksi malfungsi ini untuk
memperbaiki kinerja kelompok dan organisasi. Meskipun saat ini studi – studi
penelitian memberikan bakti yang kuat untuk menolak bahwa pendekatan
terhadap berkurangnya konflik menghasilkan kinerja kelompok yang tinggi,
banyak di antara kita yang masih mengevaluasi situasi konflik menggunakan
standar yang sudah usang semacam ini.

2. Pandangan Hubungan Manusia


Pandangan hubungan manusia (human relations) berpendapat bahwa
konflik adalah kejadian alamiah dalam sebuah kelompok dan organisasi. Karena
konflik tak terhindarkan, mazhab hubungan manusia mendorong kita untuk
menerima keberadaan konflik. Para pengusungnya memberikan alasan dari
keberadaan konflik tersebut: Konflik tidak bisa dihapuskan, dan bahkan ada saat –
saat ketika konflik justru baik dan menguntungkan bagi kinerja kelompok.
Pandangan hubungan manusia ini mendominasi teori konflik dari akhir tahun
1940-an sampai pertengahan tahun 1970-an.
3. Pandangan Interaksionis
Sementara pandangan hubungan manusia menerima konflik, pandangan
interaksionis (interactionist) mendorong munculnya konflik dengan dasar
pemikiran bahwa sebuah kelompok yang harmonis, damai, tenang, dan kooperatif
biasanya menjadi statis, apatis, serta tidak tanggap terhadap perlunya perubahan
dan inovasi. Karena itu, sumbangan terbesar pandangan interaksionis adalah
mendorong para pemimpin kelompok untuk mempertahankan terjadinya tingkat
konflik minimum – cukup untuk menjaga kelompok tetap bisa bekerja, kritis
terhadap diri sendiri, sekaligus kreatif.
Pandangan interaksionis tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa semua
konflik adalah baik. Alih – alih, beberapa konflik memang bisa mendukung
pencapaian tujuan kelompok dan memperbaiki kinerjanya; yaitu bentuk – bentuk
konflik yang fungsional (fungtional) dan konstruktif. Selain itu, terdapat konflik –
konflik yang menghambat kinerja kelompok; yaitu bentuk – bentuk konflik yang
disfungsional (dysfungtional) dan destruktif. Apa yang membedakan konflik
fungsional dan konflik disfungsional? Bukti menunjukkan bahwa anda perlu
memperhatikan jenis konfliknya. Secara spesifik, ada tiga tipe konflik: tugas,
hubungan, dan proses.
Konflik tugas (task conflict) berhubungan dengan muatan dan tujuan
pekerjaan. Konflik hubungan (relationship conflict) berfokus pada hubungan
antarpersonal. Konflik proses (process conflict) berhubungan dengan bagaimana
suatu pekerjaan dilaksanakan. Kajian – kajian menunjukkan bahwa konflik
hubungan hampir selalu bersifat disfungsional. Mengapa? Gesekan dan
permusuhan antarpersonal yang melekat di dalam konflik hubungan mempertajam
pertentangan menghambat penyelesaian tugas – tugas organisasi. Namun, tingkat
konflik proses dan tingkat konflik tugas yang rendah sampai sedang bisa menjadi
konflik fungsional. Agar produktif, konflik proses harus dijaga tetap dalam tingkat
yang rendah. Perdebatan yang tajam dan panas mengenai siapa yang harus
melakukan apa menjadi disfungsional ketika hal itu justru menciptakan
ketidakpastian mengenai peran tugas masing-masing anggota, memperpanjang
waktu penyelesaiaan tugas, dan menyebabkan para anggota bekerja serampangan.
Tingkat konflik tugas yang rendah sampai sedang senantiasa memperlihatkan efek
positif pada kinerja kelompok karena merangsang munculnya ide – ide segar yang
membantu kelompok berkinerja lebih baik.

2.3 PROSES KONFLIK

Proses konflik (conflict process) dapat dipahami sebagai sebuah proses


yang terdiri atas lima tahapan: potensi pertentangan atau ketidakselarasan, kognisi
dan personalisasi, maksud, perilaku, dan akibat.

1) Tahap I : Potensi Pertentangan atau Ketidakselarasan


Tahap pertama dalam proses konflik adalah munculnya kondisi – kondisi
yang menciptakan peluang bagi pecahnya konflik. Kondisi – kondisi tersebut
tidak mesti mengarah langsung ke konflik, tetapi salah satu darinya diperlukan
jika konflik hendak muncul. Secara sederhana, kondisi – kondisi tersebut (yang
juga bisa dipandang sebagai sebab atau sumber konflik) dapat dipadatkan ke
dalam tiga kategori umum komunikasi, struktur, dan variabel – variabel pribadi.

Komunikasi. Susan telah bekerja dalam manajemen di Bristol – Myers


Squibb selama tiga tahun. Ia menikmati sebagaian besar pekerjaannya karena
atasannya, Tim McGuire, adalah orang yang nyaman diajak bekerja sama.
Namun, Tim dipromosikan enam bulan yang lalu dan Chuck Benson
menggantikan posisinya. Susan mengatakan pekerjaannya kini jauh lebih
membuatnya frustasi. “Tim dan saya dulu memiliki pandangan dan selera yang
sama. Tidak demikian halnya dengan Chuck. Ia mengatakan kepada saya sesuatu
dan saya melakukannya. Kemudian, ia memberi tahu bahwa saya salah
melakukannya. Saya pikir ia memaksudkan sesuatu tetapi mengatakan sesuatu
yang lain. Terus seperti ini yang terjadi sejak kedatangannya. Saya pikir tak ada
hari berlalu tanpa ia meneriaki atau memaki saya. Anda tahu, ada sebagian orang
yang anda temui dan mudah anda ajak berkomunikasi. Chuck jelas tidak termasuk
salah satunya bagi saya!”
Komentar Susan mengilustrasikan bagaimana komunikasi dapat menjadi
sumber konflik. Komentar tersebut merepresentasikan dua kekuatan berlawanan
yang muncul akibat kesulitan semantik, kesalahpahaman, dan “kegaduhan”
(hambatan yang disebabkan oleh faktor visual, auditorial, sentuhan, bau dan sikap,
penerj.) pada saluran komunikasi. Banyak dari pembahasan ini yang dapat
dihubungkan kembali dengan diskusi kita mengenai komunikasi dalam Bab 11.
Sebuah ulasan mengenai penelitian menunjukkan bahwa konotasi kata
yang menimbulkan makna berbeda, jargon, pertukaran informasi yang tidak
memadai, dan kegaduhan pada saluran komunikasi merupakan hambatan
komunikasi dan kondisi potential pendahulu yang menimbulkan konflik. Bukti
memperlihatkan bahwa kesulitan semantik muncul sebagai akibat dari perbedaan
dalam pelatihan, persepsi selektif, dan informasi yang tidak memadai mengenai
orang lain. Penelitian lebih jauh telah memperlihatkan temuan yang mengejutkan.
Potensi konflik meningkat ketika menjadi terlalu sedikit atau terlalu banyak
komunikasi, jelas, meningkatnya komunikasi menjadi fungsional sampai pada
suatu titik, dan di atasnya dengan terlalu banyak komunikasi, meningkat pula
potensi konflik. Terlalu banyak dan juga terlalu sedikit komunikasi dapat menjadi
dasar bagi timbulnya konflik.
Lebih jauh, saluran yang dipilih untuk komunikasi bagi memengaruhi
tingkat potensi pertentangan. Proses penyaringan atau filterisasi yang terjadi
ketika informasi disampaikan di antara para anggota dan penyimpangan
komunikasi atau distorsi dari saluran – saluran formal atau yang dibangun
sebelumnya juga membuka keran peluang munculnya konflik.

Struktur. Charlotte dan Teri bekerja di Portland Furniture Mart – sebuah peritel
mebel yang sering kali menawarkan diskon besar – besaran. Charlotte adalah
wiraniaga lapangan; Teri manajer kredit perusahaan. Kedua perempuan tersebut
telah saling mengenal selama bertahun – tahun dan memiliki banyak kesamanaa
tempat tinggal hanya berselisih dua blok, dan anak perempuan mereka yang
paling besar belajar di sekolah menengah yang sama, serta mereka pun berteman
akrab. Tetapi, meskipun Charlotte dan Teri memiliki pekerjaan ang berbeda dan
mereka sendiri mungkin berteman akrab, keduanya senantiasa saling bertengkar.
Pekerjaan Charlotte adalah menjual mebel dan ia melakukannya dengan baik.
Namun, sebagian besar penjualannya dalam bentuk kredit. Karena pekerjaan Teri
adalah memastikan perusahaan meminimalkan kerugian kredit, ia secara reguler
harus menolak permohonan kredit dari pelanggan yang baru saja melakukan
transaksi penjualan dengan Charlotte. Tidak ada yang bersifat pribadi salam
pertengkaran Charlotte dan Teri – ketentuan kerja merekalah yang
menjerumuskan keduanya ke dalam konflik.
Konflik antara Charlotte dan Teri bersifat struktual. Istilah struktur
digunakan dalam konteks ini untuk mencakup variabel – variabel seperti ukuran,
kadar spesialisasi dalam tugas – tugas yang diberikan kepada anggota kelompok,
kejelasan yurisdiksi, keserasian antara anggota dan tujuan, gaya kepemimpinan,
sistem imbalan, dan kadar ketergantungan antarkelompok.
Penelitian menunjukkan bahwa ukuran dan spesialisasi bertindak sebagai
daya yang merangsang konflik. Semakin besar kelompok dan semakin
terspesialisasi kegiatan – kegiatannya, semakin besar pula kemungkinan
terjasinya konflik. Masa kerja dan konflik fiketahui berkorelasi terbalik. Potensi
konflik cenderung paling tinggi jika anggota – anggota kelompok lebih muda dan
ketika tingkat perputaran karyawan tinggi.
Semakin besar ambiguitas dalam mendefinisikan secara tepat di mana
letak tanggung jawab atas tindakan, semakin besar potensi munculnya konfik.
Ambiguitas yurisdiksional semacam ini meningkatkan potensi pertikaian
antarkelompok untuk memperebutkan kendali atas sumber daya dan wilayah
teritorial.
Kelompok – kelompok dalam organisasi memiliki tujuan yang beragam.
Sebagai contoh, manajemen persediaan berkepentingan dengan perolehan input
secara tepat waktu dengan harga rendah, tujuan divisi pemasaran terkonsentrasi
pada penyediaan hasil (produk) dan meningkatkan pendapatan, perhatian kendali
mutu terfokus pada peningkatan mutu dan memastikan bahwa produk – produk
organisasinya memenuhi standar, dan unit produksi mencari efisiensi operasi
dengan menjaga aliran produksi tetap lancar. Beragamnya tujuan di antara
kelompok – kelompok ini merupakan salah satu sumber utama konflik. Ketika
kelompok – kelompok dalam sebuah organisasi mengejar tujuan yang beragam,
yang sebagian – seperti unit penjualan dan kredit di Portland Furniture Mart –
saling bertentangan, peluang terjadinya konflik pun akan meningkat.
Ada indikasi bahwa gaya kepemimpinan yang melekat – pengamatan
secara ketat dan terus – menerus dengan pengawasan umum terhadap perilaku
orang lain – meningkatkan potensi konflik, tetapi bukti pendukungnya tidak
terlalu kuat. Terlalu mengandalkan partisipasi juga dapat merangsang konflik.
Penelitian cenderung menemukan bahwa partisipasi dan konflik sangat
berkorelasi, tentu karena partisipasi mendorong dipromosikan perbedaan. Sistem
imbalan juga diketahui menciptakan konflik ketika perolehan salah seorang
anggota dipandang merugikan anggota lain. Terakhir, jika sebuah kelompok
bergantung pada kelompok lain (berlawanan dengan dua kelompok yang saling
mandiri) atau jika saling ketergantungan memungkinkan satu kelompok mendapat
hasil sembari merugikan kelompok lain, daya konflik pun akan terangsang.

Variabel – variabel Pribadi. Pernahkah anda bertemu dengan seseorang yang


serta – merta tidak anda sukai? Sebagian besar pendapat yang mereka kemukakan
tidak anda setujui. Bahkan, karakteriktik yang tidak signifikan – nada suara
mereka, seringai mereka ketika tersenyum, kepribadian mereka – membuat anda
jengkel dan muak. Kita semua pasti pernah bertemu dengan orang semacam itu.
Ketika anda harus bekerja sama dengan individu semacam ini, potensi timbulnya
konflik pun menyeruak lebar.
Kategori sumber potensial konflik kita yang terakhir adalah variabel –
variabel pribadi, yang meliputi kepribadian, emosi, dan nilai – nilai. Bukti
menunjukkan bahwa jenis kepribadian tertentu – misalnya, individu yang sangat
otoriter dan dogmatis – memiliki potensi menunculkan konflik. Emosi dapat juga
menyebabkan konflik. Misalnya, seorang karyawan yang datang kerja dengan
marah karena pejalanan paginya yang tidak mengenakkan mungkin membawa
marah itu ke rapat pada pukul 9 pagi. Masalahnya? Amarahnya dapat
menjengkelkan kolega – koleganya, yang kemudian menyebabkan ketegangan
dalam rapat.
Terakhir, nilai yang berbeda – beda yang dianut tiap – tiap anggota dapat
menjelaskan munculnya konflik. Perbedaan nilai, misalnya, merupakan
penjelasan terbaik menyangkut beragam isu seperti prasangka, ketidaksepakatan
atas kontribusi seseorang terhadap kelompok dan imbalan yang layak diterima
seseorang, dan penilaian apakah buku ini baik. Bahwa John tidak menyukai orang
Amerika keturunan Afrika dan Dana meyakini posisi John tersebut menunjukkan
kurangnya pengetahuannya, bahwa seorang karyawan berpikir ia layak mendapat
upah 55.000 dolar per tahun tetapi atasannya hanya mau membayar 50.000 dolar,
dan bahwa Ann berpikir buku ini menarik untuk dibaca sementara Jennifer
memandangnya sebagai sampah merupakan contoh perbedaan nilai. Dan,
perbedaan dalam sistem nilai merupakan sumber penting yang menciptakan
potensi konflik. Patut juga diperhatikan bahwa kultur dapat menjadi sumber nilai
yang bertentangan. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa orang Jepang
dan Amerika Serikat memang konflik secara berbeda. Dibandingkan dengan
negosiator Jepang, orang Amerika lebih mungkin untuk melihat tawaran dari
mitra lawan mereka tidak layak dan lalu menolak tawaran tersebut.

2) Tahap II : Kognisi dan Personalisasi


Jika kondisi – kondisi yang disebutkan dalam Tahap I berpengaruh
negatif terhadap sesuatu yang menjadi fokus perhatian atau kepedulian salah sayu
pihak, potensi perbedaan dan ketidaksesuaian tersebut memperoleh aktualisasinya
dalam tahap kedua.
Sebagaimana telah disinggung dalam definisi mengenai konflik,
disyaratkan adanya persepsi. Karena itu, salah satu pihak atau lebih harus
menyadari adanya kondisi – kondisi anteseden atau pendahulu. Namun, karena
suatu konflik yang dipersepsi (perceived), tidak berarti bahwa konflik itu
dipersonalisasi. Dengan kata lain, “A mungkin sadar bahwa B dan A benar – benar
tidak sejalan ... trtapi hal itu mungkin tidak membuat A merasa tegang atau cemas,
dan mungkin tidak berpengaruh apa pun terhadap perasaan A kepada B.” Baru
pada tingkat perasaan (felt), yaitu ketika orang mulai terlibat secara emosional,
para pihak tersebut merasakan kecemasan, ketegangan, frustasi, atau rasa
bermusuhan.
Ingat selalu dua hal. Pertama, Tahap II penting karena di sinilah isu – isu
konflik biasanya didefinisikan. Pada tahapan proses inilah, para pihak
memutuskan konflik itu tentang apa. Dan, pada gilirannya, “sense making” ini
sangat penting karena cara sebuah konflik didedinisikan akan menentukan jalan
panjang menuju akhir penyelesaian konflik. Sebagai contoh, jika saya
mendefinisikan ketidaksenagan saya menyangkut gaji saya sebagai suatu kondisi
zero-sum – yaitu, jika anda mendapatkan sejumlah kenaikan gaji yang anda
inginkan sedemikian rupa sehingga membuat gaji saya turun dalam jumlah yang
sama – saya akan lebih tidak bersedia untuk berkompromi darpda jika saya
membingkai konflik tersebut sebagai situasi yang memiliki potensi saling untung
(yaitu, jumlah uang gaji ditambah sehingga kita berdua bisa memperoleh
tambahan gaji yang kita inginkan). Jadi, definisi sebuah konflik penting karena
biasanya menentukan kemungkinan penyelesaiannya. Hal kedua adalah bahwa
emosi memainkan peranan utama dalam membangun persepsi. Sebagai contoh,
emosi yang negatif bisa menyebabkan peremehan persoalan, menurunnya tingkat
kepercayaan, dan interprestasi negatif atas perilaku pihak lain. Sebaliknya,
perasaan positif dapat meningkatkan kemampuan untuk melihat potensi hubungan
di antara elemen – elemen suatu masalah, memandang secara lebih luas suatu
situasi, dan mengembangkan berbagai solusi yang lebih inovatif.

3) Tahap III : Maksud


Maksud (intentions) mengintervensi antara persepsi serta emosi orang dan
perilaku luaran mereka. Maksud adalah keputusan untuk bertindak dengan cara
tertentu.
Mengapa maksud dipisahkan sebagai tahap tersendiri? Anda harus
menyimpulkan maksud orang lain untuk mengetahui bagaimana sebaiknya
menanggapi perilakunya itu. Banyak konflik bertambah parah semata – mata
karena salah satu pihak salam dalam memahami maksud pihak lain. Selain itu,
biasanya ada perbedaan yang besar antara maksud dan perilaku, sehingga perilaku
tidak selalu mencerminkan secara akurat maksud seseorang.
Tampilan 15-2 menggambarkan upaya salah seorang pengarang untuk
mengidentifikasi maksud utama penanganan konflik. Dengan menggunakan dua
dimensi – sifat kooperatif (kadar sampai mana salah satu pihak berupaya
memuaskan kepentingan pihak lain) dan sifat tegas (kadar sampai mana salah satu
pihak berupaya memperjuangkan kepentingannya sendiri) – lima maksud
penanganan konflik berhasil diidentifikasi: bersaing (tegas dan tidak kooperatif),
bekerja sama (tegas dan kooperatif), menghindar (tidak tegas dan tidak
kooperatif), akomodatif (tidak tegas dan kooperatif), dan kompromis (tengah –
tengah antara tegas dan kooperatif).

Bersaing. Ketika seseorang berusaha memperjuangkan kepentingannya


sendiri, tanpa memedulikan dampaknya atas pihak lain yang berkonflik, orang itu
dapat kita katakan sedang bersaing (competing). Contoh dari perilaku ini
mencakup maksud untuk mencapai tujuan anda dengan mengorbankan tujuan
oranglain, berupaya meyakinkan orang lain bahwa kesimpulan anda benar dan
kesimpulan ia salah, dan mencoba membuat orang lain dipersalahkan atas suatu
masalah.
Bekerja Sama. Ketika setiap pihak yang berkonflik berkeinginan untuk
bersama – sama memperjuangkan kepentingan kedua belah pihak, dapat dikatakan
mereka sedang bekerja sama dan mengupayakan hasil yang sama – sama
menguntungkan. Dalam bekerja sama (collaborating), maksud para pihak adalah
menyelesaikan masalah dengan memperjelas perbedaan ketimbang
mengakomodasi berbagai sudut pandang. Contoh adalah upaya untuk mencari
solusi menang menang yang memungkinkan tujuan kedua belah pihak
sepenuhnya tercapai dan pencarian kesimpulan yang menyertakan wawasan yang
valid dari kedua belah pihak .
Menghindar. Seseorang mungkin mengakui adanya konflik namun ia
ingin menarik diri atau menekannya,. Contoh-contoh dari perilaku menghindar
(avaiding) adalah mencoba mengabaikan suatu konflik dan menghindari orang
lain yang tidak bersepakat dengan anda.
Akomodatif. Ketika salah satu pihak berusaha menyenangkan hati
lawannya,pihak tersebut kiranya akan bersedia menempatkan kepentingan lawan
di atas kepentingannya sendiri. Dengan kata lain, agar hubungan tetap terpelihara,
salah satu pihak bersedia berkurban. Kita menyebut maksud ini sebagai
akomodatif (accommodating). Contohnya adalah kesediaan untuk mengurbankan
kepentingan anda sehingga tujuan pihak lain dapat tercapai, mendukung pendapat
orang lain meskipun anda sebenarnya enggan , serta memaafkan seseorang atas
suatu pelanggaran dan membuka pintu bagi pelanggaran selanjutnya.
Kompromis. Ketika masing-masing pihak yang berkonflik berusaha
mengalah dalam satu atau lain hal, terjadilah tindakan berbagi, yang
mendatangkan kompromi. Dalam maksud kompromis (compromising), tidak jelas
siapa yang menang dan siapa yang kalah. Alih-alih, muncul kesediaan dari pihak-
pihak yang berkonflik untuk membatasi objek konflik dan menerima solusi meski
sifatnya sementara. Karena itu, cirri khas maksud kompromis adalah bahwa
masing-masing pihak rela menyerahkan sesuatu atau mengalah. Contohnya bisa
berupa kesediaan untuk menerima kenaikan gaji 2 dolar perjam dan bukanya 3
dolar, untuk menerima kesepakatan parsial dengan sudut pandang tertentu, dan
untuk mengaku turut bertanggung jawab atas sebuah pelanggaran.
Maksud-maksud yang diuraikan di atas memberikan panduan umum bagi
para pihak yang berada dalam situasi konflik. Panduan tersebut menentukan
tujuan masing-masing pihak. Namun, maksud orang tidak selalu sama. Selama
berjalannya konflik, maksud itu bisa saja berubah karena rekonseptualisasi atau
reaksi emosional terhadap perilaku pihak lain. Namun, penelitiian menunjukan
bahwa orang memiliki sifat yang menjadi dasar untuk menangani konflik dengan
cara-cara tertentu. Tepatnya, mereka memiliki preferensi diantara lima maksud
penanganan konflik yang baru saja diuraikan, preferensi ini biasanya dipakai
secara sangat konsisten, serta maksud seseorang dapat diprediksi dengan cukup
baik melalui kombinasi karakteristik intelektual dan kepribadianya. Jadi, lebih
tepat memandang kelima maksud penanganan konflik itu relatif pasti daripada
memandangnya sebagai sekumpulan pilihan untuk menyesuaikan dengan situasi
yang semestinya. Artinya, ketika berhadapan dengan situasi konflik, sebagian
orang ingin memenanginya apa pun bayaranya, sebagian ingin mencari solusi
yang optimal, sebagian ingin “cuci tangan”, sebagian lainnya ingin membantu,
dan sebagian lainnya lagi ingin “berbagi perbedaan”.

4) Tahap IV: perilaku

Ketika berfikir tentang situasi konflik, sebagian besar orang cenderung


memusatkan perhatian mereka pada tahap IV ini. Mengapa? Karena di sinilah
konflik terlihat jelas. Tahap perilaku meliputi pernyataan, aksi, dan reaksi yang
dibuat oleh pihak-pihak yang berkonflik. Prilaku konflik ini biasanya merupakan
upaya kasat mata untuk mengoperasikan maksud dari masing-masing pihak.
tetapi, perilaku ini memiliki kualitas stimulus yang berbeda dari maksud. Sebagai
akibat dari salah perhitungan atau keterampilan operasional yang rendah, perilaku
yang tampak terkadang menyimapng dari maksudnya semula.

Akan membantu bila memandang tahap IV sebagai suatu proses interaksi


yang dinamis. Misalnya, anda mengajukan tuntutan kepada saya ; saya
menanggapinya dengan mendebat anda; anda mengancam saya; saya ganti
mengancam anda; dan seterusnya. Tampilan 15-3 menampilkan sebuah cara
memvisualisasikan perilaku konflik. Semua konflik berada di suatu titik di
sepanjang kontinum ini. Pada bagian bawah kontinum , kita memiliki konflik
yang dicirikan dengan bentuk-bentuk ketegangan yang tak kentara , tak langsung,
dan sangat terkendali. Sebagai ilustrasi, bisa saja seorang mahasiswa menanyakan
sesuatu yang baru saja dijelaskan oleh dosen di kelas. Intensitas konflik
meningkat ketika perdebatan bergerak naik di sepanjang kontinum hingga di titik
yang sangat destruktif. Pemogokan, huru-hara, dan perang termasuk dalam
rentang atas kontinum ini. Secara umum, anda boleh berasumsi bahwa konflik
yang mencapai rentang atas kontinum hampir selalu bersifat disfungsional.
Konflik yang fungsional biasanya terbatas pada kontinum bagian bawah.

Teknik-teknik penyelesaian konflik

Pemecahan masalah Pertemuan tatap muka pihak-pihak yang


berkonflik untuk mengidentifikasi masalah
dan menyelesaikannya melalui diskusi
terbuka
Tujuan superordinat Menetapkan tujuan bersama yang tidak
dapat dicapai tanpa kerja sama dari
setiap pihak yang berkonflik
Ekspansi sumber daya Ketika sebuah konflik timbul karena
kelangkaan sumber daya
(uang,promosi,kesempatan,ruang kantor)
ekspansi sumber daya dapat menciptakan
solusi yang saling menguntungkan
Penghindaran Penarikan diri dari, atau penyembunyian,
konflik
Memperhalus Meminimalkan perbedaan sembari
menekankan kepentingan bersama di
antara pihak-pihak yang berkonflik

Berkompromi Masih masing-masing pihak yang


berkonflik menyerahkan sesuatu yang
bernilai

Perintah otoratif Manajemen menggunakan wewenang


formalnya untuk menyelesaikan konflik
dan kemudian menyampaikan
keinginannya kepada pihak-pihak yang
terlibat
Mengubah variabel manusia Menggunakan teknik-teknik perbuahan
perilaku seperti pelatihan hubungan insani
untuk mengubah sikap dan perilaku yang
menyebabkan konflik
Mengubah variabel struktural Mengubah struktur organisasi formal
dan pola-pola interaksii dari pihak-
pihak yang berkonflik melalui rancang
ulang pekerjaan, pemindahanm
penciptaan posisi koordinasi, dan
sebagainya.

Teknik-teknik stimulasi konflik

Komunikasi Menggunakan pesan-pesan ambigu


atau yang sifatnya mengancam untuk
menaikkan tingkat konflik
Memasukkan orang luar Menambahkan karyawan ke suatu
kelompok dengan latar belakang, nilai-
nilai, sikap, atau gaya manajerialnya
berbeda dari anggota-anggota yang ada
sekarang
Restrukturisasi organisasi Menata ulang kelompok-kelompok
kerja, mengubah aturan dan ketentuan,
meningkatkan kesalingketergantungan,
dan membuat perubahan struktural
yang diperlukan untuk menggoyang
status quo
Membuat kambing hitam Menunjuk seorang pengkritik untuk
secara sengaja mendebat posisi
mayoritas yang digenggam oleh
kelompok

Jika suatu konflik bersifat disfungsional, apa yang dapat dilakukan oleh para
pihak untuk meredakannya? Atau, sebaliknya, pilihan apa yang tersedia jika
konflik rendah dan perlu dieskalasi? Hal ini menuntun kita kepada teknik-teknik
manajemen konflik (conflict management). Tampilan 15-4 mengilustrasikan
berbagai teknik penting resolusi dan dorongan dan dorongan yang memungkinkan
para manajer mengendalikan tingkat konflik. Perhatikan bahwa beberapa teknik
resolusi telah dijelaskan sebagai maksud penanganan konflik. Hal ini, tentu saja,
tidak mengejutkan. Pada kondisi ideal, maksud seseorang harus mewujud menjadi
perilaku.

5) Tahap V: Akibat
Konsekuensi ini dapat bersifat fungsional, dalam arti konsep tersebut
menghasilkan kinerja kelompok, atau juga bisa bersifat disfungsional karena
justru menghambat kinerja kelompok.

Akibat fungsional. Bagaimana konflik bisa menjadi suatu penggerak yang


meningkatkan kinerja kelompok? Sulit untuk membayangkan situasi dimana
agresi terbuka dan kasar dapat bersifat fungsional. Tetapi, ada beberapa contoh
kasusu dimana tingkat konflk yang rendah atau sedang dapat meningkatkan
efektivitas sebuah kelompok. Karena memang tidak mudah memikirkan contoh-
contoh dari konflik yang bersifat konstruktif, mari kita beberapa kasus berikut ini
dan kemudian mengulas berbagai bukti dari penelitian. Perhatikan bahwa semua
contoh ini berfokua pada konflik tugas dan konflik proses serta mencakup
perbedaan dalam hubungan.

Konflik bersifat konstruktif ketika hal tersebut memperbaiki kualitas


keputusan, merangsang kreatifitas dan inovasi, mendorong minat dan
keingintahuan di antara anggota-anggota kelompok, menyediakan media atau
sarana untuk mengungkapkan masalah dan menurunkan ketegangan, serta
menumbuhkan suasana yang mendorong evaluasi diri dan perubahan. Bukti-bukti
menunjukan bahwa konflik dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan
dengan cara membuka segala hal, terutama yang tidak lazim atau yang dimiliki
oleh kelompok minoritas, untuk dipertimbangkan dalam keputusan-keputusam
penting.23 Konflik merupakan antidot untuk diskusi kelompok. Konflik menutup
kemungkinan kelompok menjadi pasif dan sekedar "menjadi lembaga stempel"
berbagai keputusan yang di dasarkan atas asumsi yang lemah, pertimbangan yang
kurang memadai terhadap alternatif-alternatif yang relevan, atau kelemahan-
kelemahan lain. Konflik menatang status quo dan karena itu mendorong
diciptakan dan dikemukakannya ide ide baru, mempromosikan peninjauan ulang
atas tujuan dan kegiatan kelompok, serga meningkatkan kegiatan kelompok itu
untuk menanggapi perubahan.

Untuk menemukan contoh ini dari sebuah perusahaan yang menderita


karena mengalami terlalu sedikit konflik fungsional, anda tidak harus berpaling
jauh, cukup perhatikan perusahaan mobil raksasa, General Motors.24 Banyak
permasalahan GM, dari akhir tahun 1960-an, dapayt dilacak karena rendah nya
tingkat konflik fungsional dalam perusahaan. Perusahaan tersebut merekrut dan
mempromosikan individu-individu "yes men" , yang tunduk patuh pada GM
sampai-sampai tidak mau sedikitpun mempertanyakan tindakan perusahaan. Para
manager, sebagian besarnya, homogen: pria kulit putih yang konservatif yang
tumbuh besar di AS bagian Barat-Tengah dan tidak menyukai ide perubahan---
mereka lebih suka bernostalgia pada keberhasilan di waktu lampau daripada
menyongsong berbagai tantangan baru yang menghadang. Mereka begitu yakin
dengan "iman" mereka bahwa apa yang telah berjalan pada waktu lalu akan terus
berlaku pada masa mendatang. Hal 185

Selain itu, dengan melindungi para eksekutif di kantor perusahaan di Detroit dan
mendorong mereka untuk bersosialisasi dengan orang-orang yang berpangkat di
GM, perusahaan memisahkan lebih jauh mereka dari persfektif yang kiranya
saling bertentangan.

Lebih mutakhir, Yahoo! menyediakan sebuah ilustrasi lain dari suatu


perusahan yang menderita karena terlalu sedikit konflik fungsional.25 Dirintis
sejk tahun 1994, pada tahun 1999 Yahoo! telah berkembang menjadi salah satu
nama dagang yang paling terkenal di internet. Kemudian, terjadilah keruntuhan
saham dot.com. Hingga musim semi 2001 penjualan iklan Yahoo! merosot tajam
dan saham perusahaan turun 92 persen dari angka tertingginya. Pada titik inilah
masalah Yahoo! yang paling kritis terungkap: Perusahaan terlalu menutup diri dan
menolak adanya konflik fungsional. Perusahaan tersebut tidak bisa merespons
perubahan. Para manager dan staffnya terlalu nyaman untuk menantang status
quo. Hal ini membuat ide-ide baru tidak bisa sampai ke atas dan terus mendapat
penolakan sampai ke tingkat minimun. Sumber permasalahan tersebut adalah
CEO perusahaan, tim Koogle. Ia membangun suasana nonkonfrontatif. Ketika
Koogle diganti pada tahun 2001 oleh CEO baru yang secara terbuka menantang
suasana perusahaan yang bebas konflik itulah Yahoo! mulai berhasil memecahkan
berbagai masalahnya.

Beberapa penelitian dengan latar belakang yang menegaskan


fungsionalitas konflik ini. Perhatikan temuan-temuan berikut ini.

Perbandingan enak keputusan besar yang dibuat selama masa


pemerintahan empat presidenAS menemukan bahwa konflik menurunkan
pemikiran kelompok untuk menguasai keputusan kebijakan. Perbandingan itu
memperlihatkan bahwa kesepahaman pendapat diantara penasihan kepresidenan
terkait dengan keputusan yang buruk, sedangkan suasana konflik yang konstuktif
dan pemikiran harus kritis menghasilkan kebijakan yang lebih baik.26

Ada pula bukti yang menunjukan bahwa konflik juga terkait secara positif
terhadap produktivitas. Misalnya di perlihatkan bahwa diantara kelompok-
kelompok yang mapan, kinerja cenderung membaik ketika timbuk konflik antar
anggota daripada ketika ada kesalahpahaman yang tertutup. Para peneliti
mengamati bahwa ketika kelompok menganalisis berbagai keputusan yang telah
dibuat oleh para anggota individual dari kelompok itu, rata-rata perbaikan diantara
kelompok-kelompok dengan tingkat konflik tinggi 73 persen lebih besar daripada
rata-rata perbaikan dari kelompok yang dicirikan oleh tingkat konflik rendah.27
para peneliti hasil mendapat hasil yang serupa: kelompok-kelompok yang
tersusun atas anggota-anggota yang beragam kepentingan cenderung
menghasilkan solusi berkualitas lebih tinggi dari beragam masalah daripada
kelompok yang homogen.28
Hal-hal tadi membawa kita pada kesimpulan sementara bahwa meningkatnya
keragamankultur dari anggota dapat memberikan manfaat.

Lebih besar bagi organisasi. Dan, itulah yang ditunjukan oleh bukti-bukti.
Penelitian memperlihatkan bahwa heterogenitas antaranggota kelompok dan
organisasi dapat meningkatkan kreativitas, memperbaiki kualitas keputusan, san
memfasilitasi perubahan dengan cara meningkatkan fleksibilitas anghota.29
Sebagai contoh, ara peneliti membandingkan kelompok-kelompok pengambil
keputusan yang seluruhnya terdiri atas orang-orang Kaukasia dengan kelompok-
kelompok yang juga beranggotakan orang-orang dari kelompok etnik Asia,
Hispanik (keturunan Spanyol), dan kulit hitam. Kelompok-kelompok yang secara
etnis beragam ini menghasilkan ide yang lebih efektif dan bisa dijalankan serta ide
ide unik yang mereka munculkan tersebut cenderung berkualitas dibanding ide-
ide unik yang ihasilkan olej kelompol yang seluruh anggotanya berasal dari etnik
Kaukasia.

Demikian pula, studi para profesional---analisis sistem dan ilmuwan


litbang (penelitian dan pengembangan)---mempertegas nilai konstruktif dari
konflik. Sebuah penelitian terhadap 22 tim analisis sistem mendapati bahwa
kelompok-kelompok yang tidak harmonis bisa produktif.30 Para ilmuwan litbang
menjadi paling produktif ketika terdapat konflik intelektual dal tingkatam tertentu.

Akibat Disfungsional. Konsekuensi destruktif dari konflik terhadap kinerja


sebuah kelompok atau organisasi sudah banyak diketahui. Salah satu
rangkumannya bisa berbunyi: Pertengkaran yang tidak terkendali menumbuhkan
rasa tidak senang, yang menyebabkan ikatan bersama renggang, dan pada
akhirnya menuntun pada kehancuran kelompok. Dan, tentu saja, terdapat suatu
tubuh literatur yang sangat banyak untuk di dokumentasikan bagaimana konflik---
keragaman disfungsional---dapat mengurangi efektivitas kelompok.32 Diantara
konsekuensi-konsekuensi yang dihadapkan tersebut, terdapat lambannya
komunikasi, menurunnya kekompakan kelompok, dan subordinasi tujuan
kelompok oleh dominasi perselisihan antatanggota kelompok.
Bubarnya sebuah organisasi akibat terlalu banyak konflik internal tidak
terlalu aneh seperti kelihatannya. Sebagai contoh, salah satu lembaga hukum
paling terkenal di New York, Shea & Gould, gulung tikar hanya karena 80 mitra
kerjanya tidak memiliki kesepahaman.33 Sebagaimana dikatakan oleh salah satu
konsultam hukum yang familiar dengan organisasi: "perusahaan ini memiliki
perbedaan mendasar dan prinsip diantara para mitranya yang tidak dapat
diperdamaikan." Konsultan tersebut menyatakan kepada para mitra tersebut pada
pertemuan terakhir mereka: "Anda tidak memiliki masalah ekonomi," kata ia".
"Anda memiliki masalah kepribadian. Anda membenci satu sama lain!" Hal 187

Menciptakan konflik fungsional. Di bagian ini,kami bertanya: jika para


manajer menerima pandangan interaksionis mengenai konflik, apa yang dapat
mereka lakukan untuk memunculkan dan memelihara konflik, apa yang dapat
mereka lakukan untuk memunculkan dan memelihara konflik fungsional di dalam
organisasi mereka?

Tampaknya,ada kesepakatan umum bahwa menciptakan konflik


fungsional merupakan tugas yang berat, terutama di perusahaan-perusahaan
korporasi besar amerika. Sebagaimana dinyatakan oleh seorang konsultan,
"sebagian besar orang yang sampai ke posisi puncak adalah orang yang suka
menghindari konflik. Mereka tidak suka mendengar hal hal negatif; tidak suka
mengatakan atau memikirkan hal hal negatif. Mereka bisa menaiki tangga karier
mereka dengan nyaman karena tidak membuat orang lain marah ketika naik.
"konsultan lainya menunjukan bahwa paling tidak tujuh dari sepuluh orang yang
bergerak dalam bisnis di Amerika mencoba menyembunyikan perbedaan ketika
pendapat mereka bertentangan dengan pendapat atasan mereka, sehingga
memungkinkan para atasan tersebut membuat kesalahan.

Kultur-kultur antikonflik semacam ini mungkin dapat ditoleransi pada


masa lau, tetapi tidak dalam ekonomi global yang sangat kompetitif dewasa ini.
Organisasi-organisasi yang tidak mendorong dan mendukung perbedaan kiranya
akan terancam kelangsungan hidupnya. Mari kita amati beberapa pendekatan yang
digunakan oleh organisasi untuk mendorong anggota-anggota mereka menantang
sistem dan mengembangkan ide-ide baru nan segar.

Hewlett-Packard memberi penghargaan kepada dissenters (orang yang


memiliki pendapat berbeda) dengan cara mengakui keberadaan dan kontribusi
mereka, dan kepada orang yang bertahan pada ide-ide yang mereka yakini
sekalipun ide-ide tersebut telah berulang kali ditolak oleh manajemen. Herman
Miller Inc., sebuah perusahaan produsen mebel kantor, memiliki sebuah sistem
formal dimana para karyawan mengevaluasi dan mengkritik para atasan mereka.
IBM juga memiliki sistem formal yang mendorong perbedaan. Para karyawan
berkah menilai dan mengkritik atasan mereka tanpa takut bakal terkena hukuman.
Jika perbedaan tidak dapat diselesaikan, sistem tersebut memberi peluang bagi
pihak ketiga untuk meberikan nasihat atau saran. Royal Dutch Shell Group,
General Electric dan Anheuser-Busch memunculkan devil's advocates (semacam
lawan tanding yang tidak selalu mengiyakan apa yang diyakini bersama) di dalam
proses pengambilan keputusan mereka. Sebagai contoh, ketika komisi kebijakan
di Anheuser-Busch mempertimbangan sebuah langkah besar, seperti mau masuk
ke atau keluar dari sebuah bisnis atau melakukan membelanjaan modal besar-
besaran, perusahaan tersebut sering membentuk tim-tim untuk memperdebatkan
setiap kemungkinan. Proses ini tak jarang bisa menghasilkan keputusan dan
alternatif yang tidak di pertimbangkan sebelumnya.

Cara lain organisasi menciptakan konflik fungsional adalah dengan


memberi penghargaan kepada orang yang berbeda pendapat dan menghukum
mereka yang suka menghindari konflik. Namun, tantangan nyata bagi para
manajer adalah apakah mereka mau dan siap mendengar sesuatu yang tidak ingin
mereka dengar. Sesuatu tersebut mungkin membuat darah mereka mendidih atau
harapan mereka runtuh. Mereka tidak dapat memperlihatkannya. Mereka harus
belajar menerima sesuatu yang buruk tanpa menciptakan konfrontasi. Tidak ada
pidato panjang dengan nada marah, sarkasme, mata yang membelalak, dan
gemeruntuk gigi. Alih-alih, para manajer harus dengan tenang mengajukan
pertanyaan: "Bisakah anda katakan lagi apa yang harus dilakukan?" "Apa yang,
menurut anda, harus kita lakukan?" Ungkapan tulus "Terim kasih telah
menggugah perhatian saya" barangkali akan mengurangi kemungkinan para
manajer itu akan terputus dari komunikasi serupa dimasa mendatang.

Setelah mempertimbangkan konflik-sifatnya, sebab-sebabnya, dan


konsekuensi-kini kita beralih ke negosiasi. Negosiasi dan konflik terkait erat
karena negosiasi sering menyelesaikan konflik.

2.4 NEGOSIASI
Negosiasi merasuki setiap interaksi dari hampir semua orang dalam
kelompok dan organisasi. Anda yang jelas: para manajer bernegosiasi dengan
karyawan, rekan sejawat, dan atasan; wiraniaga bernegosiasi dengan pelanggan;
agen pembelian bernegosiasi dengan pemasok. Dan, adapula yang sangat
sederhana: seorang karyawan setuju menjawab telepon dari seorang kolegan nya.
Selama beberapa menit untuk saling berbagi keuntungan. Dalam
organisasi yang berstruktur renggang dewasa ini, dimana para anggotanya
semakin menyadari bahwa mereka harus bekerja dengan kolega yang tidak berada
di bawah wewenang langsungnya dan yang tidak nertanggung jawab pada atasan
yang sama dengannya, keterampilan negosiasi menjadi sangat penting.

Kita mendefinisikan negosiasi (negotiation) sebagai sebuah proses dimana


dua pihak atau lebih melakukan pertukaran barang atau jasa dan berupaya istilah
negosiasi dan tawar menawar secara saling menggantikan. Dalam bagian ini, kami
akan membandingkan dua stategi tawar-menawar memberikam sebuah model
proses negosiasi, memastikan peran suasana hati dan sifat-sifat kepribadian dalam
tawar-menawar, mengulas perbedaan jenis kelamin dan kultur dalam negosiasi,
dan sekilas mengamati negosiasi pihak ketiga.

Karakteristik Tawar- Tawar-menawar distributif Tawar-menawar integratif


menawar
Tujuan Mendapatkan potogan kue Memperbesar kue sehingga
sebanyak mungkin kedua belah pihak puas
Motivasi Menang-kalah Menang-menang
Fokus Posisi (“Saya tidak dapat Kepentingan (“Dapatkah
memberi lebih banyak Anda jelaskan mengapa
daripada ini”) isu ini begitu penting
bagi Anda?”)
Kepentingan Berlawanan Selaras
Tingkat berbagi informasi Rendah (berbagi informasi Tinggi (berbagi informasi
hanya akan memungkinkan akan memungkinkan
pihak lain mengambil masing-masing pihak untuk
keuntungan dari kita) menemukan cara yang
akan memuaskan
kepentingan kedua belah
pihak)
Lama hubungan Jangka pendek Jangka pendek

2.5 STRATEGI TAWAR-MENAWAR


Terdapat dua pendekatan umum terhadap negosiasi-twar-menawar
distributif dan tawar menawar integratif.36 kedua pendekatan ini dibandingkan
dalam tampilan 15-5. Sebagaimana terlihat disitu, tawar-menawar distributif dan
integratif berbeda dalam hal tujuan, motivasi, fokus, kepentingan, pembagian
informasi, dan durasi hubungan. Sekarang, kita akan mendefinisikan tawar-
menawar distributif dan integratif serta mengilustrasikan perbedaan antara kedua
pendekatan ini

Tawar-menawar Distributif. Anda meliht sebuah mobil bekas yang di iklankan


di surat kabar. Mobil itu persis seperti yang sedang anda cari. Anda pergi untuk
melihatnya. Mobil itu bagus dan anda menginginkannya. Dan pemilik memberi
hal 190

Tahu anda harga yang dimintanya. Anda tidak ingin membayar setinggi
itu. Anda berdua kemudian menegosiasikan harganya. Strategi negosiasi yang
anda teraplan disebit tawar-menawar distributif (distibutive bargaining). Cirinya
yang paling jelas adalah bahwa strategi ini berjalan dibawah kondisi zero-sum itu
artinya, perolehan apapun yang saya dapatkan adalah dengan mengorbankan anda,
dan sebaliknya. Kembali ke contoh mobil bekas tadi, setiap dolar yang bisa anda
peroleh dari turunnya harga mobil tersebut adalah satu dolar yang bisa anda
selamatkan dalam dompet anda. Sebaliknya, setiap tambahan dolar yang diperoleh
penjual dari anda merupakan pengeluaran anda. Jadi, hakikat tawar-menawar
distributif menegosiasikan siapa pendapat bagian apa dari sebuah kue yang
besarnya sama dan tetap (fixed pie). Dengan kue itu, yang kami maksukan adalah
bahwa pihak-pihak yang saling menawar meyakini hanya ada sejumlah barang
atau jasa untuk di bagi. Karna itu, kue tetap adalah permainan adalah zero-sum
dalam bahwa setiap dolar di saku salah satu pihak adalah satu dolar yang keluar
dari saku lawan tawar mereka. Ketika para pihak meyakini kuenya-tetap,mereka
cenderung melakukan penawaran ditributif.

Barangkali contoh tawat-menawar distributif yang paling banyak disebut


adalah negosiasi buruh-manajemen mengenai upah. Biasanya, perwakilan buruh
datang ke meja perundingan dengan tekad untuk mendapatkan uang sebanyak
mungkin dari manajer. Karena tambahan setiap sen yang dinegosiasikan buruh itu
akan meningkatkan biaya atau pengeluaran manajemen, masing-masing pihak
saling menawar secara agresif dan memperlakukan pihak lain sebagai lawan yang
harus di kalahkan

Esensi tawar-menawar distributif dilukiskan dalam Tampilan 15-6. Pihak


A dan B mewakili dua perunding. Msing-masing memiliki poin target yang
menentukan apa yang ingin dicapai. Masing-masing juga memiliki poin resisten,
yang menunjukan hasil terendah yang boleh dicapai-dibawah poin itu, mereka
akan menghentikan negosiasi daripada menerima solusi yang kurang
menguntungkan. Wilayah diantara dua titik ini merupakan tentang negoisasi
masing-masing pihak. Sepanjang ada titik temu antara rentang aspirasi A dan B,
disitu ada rentang solusi dimana aspirasi masing-masing pihak dapat di penuhi.

Ketika melakukan tawar-menawar distributif, taktik seorang terfokus pada


usaha untuk mencoba membuat lawan nya menyetujui poin target tertentu atau
sedekat mungkin dengan poin tersebut. Contoh taktik semacam ini adalah
membujuk lawan anda dengan poim tersebut. Contoh taktik semacam ini adalah
membujuk lawan anda dengan mengatakan bahwa ia tidak mungkin mendapatkan
poin target yang dipintanya dan lebih baik menerima solusi yang mendekati poin
target anda; mengutarakan bahwa poin target adalah sebagai nilai yang wajar,
sementara poin target lawan tawar anda bukan; dan berupaya membuat lawan
anda secara emosional merasa sedang berbaik hati kepada anda sehingg mau
menerima hasil yang mendekati poin target anda.
Tetapi, adalah contoh yang lebih "halus" dari taktik tawar-menawar
distributif? Salah satunya yang mungkin anda biasa anda dengar---barangkali dari
tayangan kriminal kesukaan anda---adalah kebiasaan polisi baik dan polisi jahat
dimana salah seorang perunding bersikap ramah dan akomodatif sementara yang
lain berpendirian sekeras baja. Penlitian menunjukan bahwa tim-tim negosiasi
yang tidak menggunakan taktik ini ketika melakukan tawa-menawar distributif
mendapat penyelesaian yang lebih baik daripada tim negosiasi yang tidak yang
menggunakan taktik polisi baik-polisi jahat. Namun kebiasaan polisi baik-polisi
jahat rupanya hanya berhasil ketika perunding yang negatif. Mengapa? Karena
perunding positif jauh kelihatan lebih akomodatif dan disukai bila mengikuti
syarat-syarat perunding yang negatif. Misalnya, katakanlah anda sedang
menegosiasikan sewa-beli ruang kantor dengan dua orang: Jim dan Susan. Ketika
anda meminta harga sewa yang lebih rendah, Jim bereaksi sangat negatif---
menuduh anda menipu, mengancam anda akan menyewakan ruang itu kepada
pihak lain, serta secara umum tampak jengkel dan sangat tersinggung. Jim pergi
dan masalah memahami posisi anda, selain juga ramah koperatif anda tetapi
dengan sopan ia mengatakan mereka telah memberikan penawaran terbaik yang
mereka mampu. Menurut anda, apakah anda akan menerima syarat-syarat yang
ditetapkan Susan? Menilai berdasarkan penelitian terdahulu, anda mungkin akan
menerimanya, karena kontras antara perilaku Susan dan Jim membuat anda yakin
bahwa anda telah membuat yang terbaik, serta anda membangun rasa suka
terhadap Susan dan ingin bekerja sama dengannya.

Taktik tawar-menawar distributif lainnya adalah dengan menyampaikan


tenggang waktu. Perhatikan contih berikut. Erin adalah seorang manajer sumber
daya manusia. Ia sedang bernegosiasi soal gaji dengan Ron, orang yang sangat
dicari-cari dalam usaha perekrutan karyawan baru. Karena tahu perusahaan
membutuhkannya, Ron memutuskan untuk mengambil keutungan dan meminta
gaji yang luar biasa lengkap dengan beragam tunjangan. Erin memberi tahu Ron
bahwa perusahaan tidak dapat memenuhi perintahnya.

Ron lalu memberi tahu Erin bahwa ia harus berfikir lagi. Khawatir
perusahaan akan melepaskan Ron ke pesaing. Erin memutuskan untuk memberi
tahu Ron bahwa ia sedang dikejar waktu dan perlu segera mencapai kesepakatan
dengannya atau akan menawarkan pekerjaan kepada calon lainnya. Apakah anda
berfikir Erin adalah seorang perunding yamg cerdik? Ya. Mengapa? Para
perunding yang menyanpaikan tenggat waktu mempercepat konsesi dari lawan
rundingnya, yang memaksa mereka untuk mempertimbangkan kembali posisi
mereka. Dan, meskipun para perunding tidak menganggap taknik ini berhasil,
pada kenyataan nya para perunding yang menyampikan tenggat waktu lebih
berhasil.
Tawar-Menawar Integratif. Seorang wiraniaga produsen pakaian olahraa
perempuan baru saja mendapatkan pesanan senilai 15.000 dolar dari sebuah
peritel kcil. Wiraniaga itu lalu menyahkan pesanan tersebut ke departemen kredit
di perusahaannya. Ia diberi tahu bahwa perusahaan tidak dapat menyetujui kredit
kepada pelanggan itu karena catatan pembayarannya pada masa lalu tidak terlalu
baik. Hari berikutnya wiraniaga dan manajer kredit perusahaan itu bertemu untuk
membahas masalah tersebut. Wiraniaga jelas tidak ingin kehilangan peluang.
Demikian pula si manajer kredit, ia tidak ingin terjebak pada utang yang tak
terbayar. Keduanya membahas pilihan-pilihan yang ada secra terbuka. Setelah
banyak diskusi, mereka menyepakatu satu solusi yang mewadahi kebutuhan
mereka berdua: manajer kredit mau menyetujui penjualan tersebut, asalkan
pemilik toko pakaian bersedia memberikan jaminan bank bahwa mereka akan
melakukan pembayaran ketika tagihan tidak dibayar dalam waktu 60 hari.
Negosiasi antara bagian penjualan dan bagian kredit ini merupakan contoh dari
tawar-menawar integratif (intergative bargaining). Berkebalikan dengan tawar-
menawar distributif, tawar-menawar intergratif dilakukan atas dasar asumsi bahwa
ada satu penyelesaian atau lebih yang dapat menciptakan solusi menang-menang
atau saling menguntungkan.

Dalam hal lingkungan itraorganisasi, segala hal yang merupakan tawat-


mwnawar integratif yang setara lebih dipilih daripada tawar-menawar distributif.
Mengapa? Karena tawar-menwar integratif memikat para perunding sekaligus
memungkinkan mereka untuk meninggalkan meja perudingan dengan perasaan
bahwa mereka telh mencapai kemenangan. Sebaliknya, tawar-menawar distributif
meninggalkan salah satu pihak sebagai pecundang. Tawar-menawar distributif
cenderung membangun kebencian dan memperdalam perpecahan ketika orang
harus bekerja bersama lagi di masa depan.

Lalu, mengapa kita tidak melihat lebih banyak tawar-menawar integratif


dalam organisasi? Jawabannya terletak pada syarat-syarat yang dibutuhkan agar
negosiasi semacam ini berjalan. Syarat-syarat tersebut meliputi pihak-pihak yang
terbuka pada informasi dan jujur pada kepentingan mereka, kepekaan kedua.

2.6 PROSES NEGOSIASI


Mengenai betapa pentingnya memprediksi pihak lain, dapat dilihat dalam
ilustrasi pengalaman Keith Rosenbaum, seorang mitra di sebuah lembaga hukum
terkemuka di Los Angeles. “Sekali waktu, ketika kami sedang bernegoisasi untuk
membeli sebuah bisnis, kami menemukan bahwa pemiliknya akan menghadapi
perceraian yang menyakitkan. Kami kenal baik dengan pengacara pihak istri dan
kamipun tahu kejayaan bersih si penjual. California merupakan negara bagian
yang memiliki undang-undang properti masyarakat, sehingga kami tahu ia harus
membayar istrinya separuh dari nilai keseluruhan tersebut. Kami tahu kerangka
waktunya. Kami tahu apa yang hendak ia bagi dengan istrinya dan apa yang tidak.
Kami tahu tentang dirinya jauh lebih banyak daripada yang ia inginkan kami
ketahui. Kami mampu sedikit menyetir ia, dan mendapatkan harga yang lebih
bagus.

Bila ada memiliki informasi, gunakanlah hal tersebut untuk menyusun


strategi. Sebagai contoh, pemain catur yang hebat pasti memiliki strategi. Mereka
sudah tahu bagaimana mereka akan merespon situasi yang ada. Sebagai bagian
dari strategi, Anda harus memprediksi Alternatif terbaik untuk kesepakatan
negoisasi. “BATNA Anda itu menentukan nilai terendah yang dapat diterima agar
negoisasi mencapai kesepakatan. Penawaran apapun yang Anda terima yang
lebih tinggi daripada BATNA anda itu lebih baik daripada negoisasi mencapai
kebuntuan. Sebaliknya Anda boleh mengharapkan kesuksesan dalam upaya
negoisasi Anda jika Anda tidak mampu memberikan penawaran kepada pihak lain
yang lebih menarik ketimbang BATNA mereka. Jika Anda memasuki
perundingan dengan mengetahui berapa BATNA pihak lain, sekalipun Anda tidak
mampu memenuhinya. Anda mungkin mampu membuat mereka mengubahnya.

Penentuan Aturan Dasar. Begitu selesai melakukan perencanaan dan


menyusun strategi, Anda mulai siap menentukan aturan-aturan dan prosedur dasar
dengan pihak lain untuk negoisasi itu sendiri. Siapa yang akan melakukan
perundingan ? Dimana perundingan akan dilangsungkan ? kendala waktu apa, jika
ada yang mungkin akan muncul? Pada persoalan-persoalan apa saja negoisasi
dibatasi ? Adakah prosedur khusus yang harus diikuti jika menemui jalan buntu ?
Dalam fase ini, para pihak juga akan bertukar proposal atau tuntutan awal mereka.

Klasifikasi san Justifikasi. Ketika posisi awal sudah saling dipertukarkan,


baik Anda maupun pihak lain akan memaparkan, menguatkan, mengklasifikasi,
mempertahankan, dan menjustifikasi tuntutan awal Anda. Tidak perlu
konfrontatif. Ini justru merupakan peluang untuk saling mendidik dan memberi
tahu mengenai persoalan yang dibahas, mengapa persoalan ini penting, dan
bagaimana masing-masing sampai pada tuntutan awal mereka. Inilah titik dimana
Anda mungkin perlu memberikan segala dokumentasi kepada pihak lain yang
kiranya akan membantu mendukung posisi anda.

Tawar-menawar dan Penyelesaian Masalah. Hakikat proses negoisasi


terletak pada tindakan memberi dan menerima yang sesungguhnya dalam rangka
mencari sesuatu kesepakatan. Disinilah konsesi tidak diragukan lagi perlu dibuat
oleh kedua belah pihak.
Penutupan dan Implementasi. Tahap akhir dalam proses negoisasi
adalah memformalkan kesepakatan yang telah dibuat serta menyusun prosedur
yang diperlukan untuk implementasi dan pengawasan pelaksanaan. Untuk
negoisasi-negoisasi besar yang mencakup segala sesuatu dari negoisasi buruh
manajemen sampai tawar menawar ketentuan sewa beli untuk pembelian real
estate sampai negoisasi penawaran kerja untuk posisi manajemen senior. Tahap
ini mensyaratkan kesepakatan mengenai hal-hal spesifik dalam kontrak formal.
Namun pada kebanyakan kasus, penutupan proses negoisasi tidak lebih formal
dari sekedar berjabat tangan.

Kita akan menutup pembahasan mengenai negoisasi ini dengan meninjau empat
isi kontemporer dalam negoisasi yaitu peran suasana hati dan sifat-sifat
kepribadian, perbedaan gender dalam bernegoisasi, efek perbedaan kultur
terhadap gaya bernegoisasi dan pemakaian pihak ketiga untuk membantu
menyelesaikan perbedaan.

Peran Suasana Hati dan Sifat Kepribadian dalam Negoisasi. Anda tentu tidak
terkejut mengetahui bahwa suasana hati penting dalam bernegoisasi. Para
perunding yang suasana hatinya positif memperoleh hasil yang lebih baik
daripada mereka yang suasana hatinya biasa-biasa saja. Mengapa? Para perunding
yang ceria atau gembira cenderung lebih mempercayai pihak lain dan dengan
demikian mencapai lebih banyak penyelesaian yang saling menguntungkan. Kita
asumsikan saja Carlos, seorang manajer sebagai perunding yang sangat efektif.
Salah satu hal yang membuat Carlos jadi seorang perunding ulung adalah karena
ia membuka perundingan dengan mencoba menempatkan lawannya dalam
suasana hati yang baik. Ia berkelakar, memberikan sesuatu yang menyegarkan
atau menekankan sisi positif dari apa yang hendak dipertaruhkan. Teknik ini
membuat lawannya mengajukan penawaran secara lebih integrative karena
mereka menyampaikan prioritas mereka, lebih akurat dalam mempersepsi
kepentingan pihak lain dan juga berfikir secara lebih kreatif.

Bagaimana dengan kepribadian? Dapatkah Anda memprediksi taktik


bernegoisasi lawan jika anda mengetahui sesuatu dengan kepribadiannya ?
Rasanya, dengan mudah kita akan tergoda untuk menjawab “Ya”, terhadap
pertanyaan ini. Misalnya, mungkin akan berasumsi bahwa orang yang berani
mengambil resiko tinggi merupakan penawar yang lebih agresif dan sedikit
membuat konsesi. Yang mengejutkan, bukti tidak selalu mendukung intuisi
seperti ini.

Hasil penilaian terhadap hubungan kepribadian negoisasi menunjukkan


bahwa sifat-sifat kepribadian tidak memiliki pengaruh langsung yang signifikan
terhadap proses tawar-menawar ataupun hasil negoisasi.Namun, penelitian terbaru
mulai mempertanyakan teori yang menyatakan bahwa kepribadian dan proses
negoisasi tidak berkaitan. Malah, tampak bahwa beberapa dari sifat model lima
besar terkait dengan hasil negoisasi. Sebagai contoh, para perunding yang
menyenangkan atau ekstrovert sering kali gagal total ketika harus melakukan
tawar menawar distributive. Mengapa? Karena orang-orang ektrovert suka
menyenangkan hati orang lain dan bersahabat, cenderung berbagi lebih banyak
informasi ketimbang yang semestinya. Dan, orang semacam ini akan lebih tertarik
untuk mencari cara-cara untuk mengembangkan kerjasama alih-alih berbentrokan
dengan orang lain. Sifat-sifat ini, walau agak membantu dalam negoisasi
integrative menjadi beban manakala kepentingan yang diperjuangkan
bertentangan. Jadi penawar distributive terbaik kiranya adalah orang introvert
yang tidak terlalu ramah yaitu seseorang yang lebih tertarik pada hasil negoisasi
ketimbang menyenangkan pihak lain dan mengutamakan pergaulan sosial yang
menyenangkan.

Ego yang besar juga dapat mempengaruhi negoisasi. Misalnya, Samantha


adalah seorang eksekutif pada produsen pakaian terkemuka. Ia yakin bahwa
segala sesuatu yang disentuhnya akan berubah menjadi emas, dan ia tidak suka
terlihat buruk. Sebuah kontrak penting dengan salahsatu pemasok untuk
perusahaannya baru akan dinegoisasikan. Merasa senang, Samantha berfikir
bahwa ia akan memegang kendali dalam proses negoisasi. Cerdaskah pilihan
atasannya itu untuk tidak memasukkan orang semenggebu ia dalam negoisasi ?
karena sebuah studi menemukan bahwa individu-individu yang sangat
memedulikan penampilan sebagai orang yang kompeten dan sukses dalam
negoisasi yaitu menyelamatkan muka yang dapat berpengaruh negative terhadap
hasil proses negoisasi. Individu-individu yang lebih berfikir untuk menyelamatkan
mukanya sendiri memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk mencapai
kesepakatan daripada mereka yang kurang peduli untuk sukses.

Ini dikarenakan mereka terlalu kompetitif dalam negoisasi melakukan


perundingan untuk membuat diri mereka tampak lebih baik, cerdas, atau apapun
daripada untuk mencapai kesepakatan terbaik bagi semua pihak yang terkait. Jadi,
orang yang mampu melepas ego mereka sendiri mampu menegoisasikan
kesepakatan secara lebih baik bagi mereka dan bagi pihak lain, baik situasi tawar
menawarnya distributive maupun integrative.

Perbedaan Gender dalam Negoisasi. Apakah laki-laki dan perempuan


berbeda dalam bernegoisasi ? Apakah gender mempengaruhi hasil negoisasi?
Jawaban atas pertanyaan pertama sepertinya Tidak. Jawaban atas pertanyaan
kedua adalah Ya, tapi terbatas.
Stereotip popular yang dianut banyak orang mengatakan bahwa kaum
perempuan lebih kooperatif dan menyenangkan dalam negoisasi daripada kaum
laki-laki. Bukti yang ada tidak mendukung keyakinan ini. Namun, laki-laki
ditemukan mampu menegoisasi hasil yang lebih baik daripada perempuan,
meskipun perbedaannya relative kecil. Diasumsikan bahwa perbedaan ini kiranya
dikarenakan laki-laki dan perempuan menempatkan nilai yang berbeda pada hasil
negoisasi. “Sangat mungkin bahwa tambahan gaji beberapa ratus dolar atau kantor
besar kalah penting bagi kaum perempuan daripada membangun dan
mempertahankan hubungan antarpersonal.

Keyakinan bahwa perempuan lebih menyenangkan daripada laki-laki


dalam negoisasi barangkali karena personal gender yang membingungkan dan
lebih rendahnya posisi yang dipegang kaum perempuan kebanyakan organisasi
besar. Penelitian menunjukkan bahwa para manajer yang memiliki kekuasaan
tidak banyak tanpa memandang jenis kelamin, cenderung berusaha
menyenangkan lawan mereka dan menggunakan taktik persuasive yang lembut
ketimbang konfrontasi langsung dan ancaman. Dalam situasi dimana perempuan
dan laki-laki memiliki basis kekuasaan yang sama, rasanya tidak akan ada
perbedaan yang signifikan dalam gaya negoisasi mereka. Menarik untuk dicatat
bahwa ketika stereotip yang tipikal ini diaktifkan yaitu bahwa perempuan lebih
menyenangkan dan laki-laki lebih alot yang terjadi adalah terpenuhinya ramalan
tersebut, yang semakin memperkuat perbedaan gender yang bersifat stereotip
antara perunding laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, Maria mungkin
menetapkan aspirasi yang lebih rendah dan siap kalah ketika bernegoisasi karena
menurutnya sekalipun dibawah sadar begitulah perempuan diharapkan berperan
dalam melakukan tawar-menawar. Sama halnya, Sunil mungkin berpikir ia harus
menawar secara agresif karena ia yakin begitulah laki-laki diharapkan bertindak
dalam negoisasi.

Bukti menunjukkan bahwa sikap perempuan terhadap negoisasi dan


terhadap diri mereka sendiri sebagai perunding tampaknya sangat berbeda dengan
sikap laki-laki. Manajer perempuan memperlihatkan rasa kurang percaya diri
dalam mengantisipasi negoisasi dan lebih tidak puas dengan kinerja mereka
setelah proses perundingan selesai, bahkan ketika kinerja mereka dan hasil yang
mereka capai sama dengan yang dicapai sama dengan yang dicapai perunding
laki-laki. Kesimpulan terakhir ini menunjukkan bahwa perempuan bisa jadi terlalu
menghukum diri sendiri karena tidak bisa ikut dalam megoisasi padahal ini
merupakan kepentingan terbesar mereka.

Perbedaan kultur dalam negoisasi. Gaya bernegoisasi beragam antara satu


kultur dengan kultur lain. Orang Prancis menyukai konflik. Mereka seringkali
mendapatkan pengakuan dan membangun reputasi dengan cara berpikir dan
bertindak berlawanan dengan orang lain. Alhasil, orang Prancis cenderung perlu
waktu lama dalam bernegoisasikan kesepakatan dan tidak terlalu peduli apakah
lawan mereka suka atau tidak dengan mereka. Bangsa Cina juga suka mengulur-
ulur perundingan, tetapi itu karena mereka percaya bahwa negoisasi tidak pernah
berakhir. Persis saat Anda berpikir sudah tahu setiap detail dan mencapai solusi
akhir dengan seorang eksekutif Cina, ia mungkin akan tersenyum dan memulai
proses itu lagi. Bangsa Cina dan juga Jepang bernegoisasi untuk membangun
hubungan dan komitmen bekerjasama alih-alih untuk menyelesaikan apa yang
belum disepakati. Dibanding para perunding Amerika, perunding Jepang
berkomunikasi secara tidak langsung dan menyesuaikan perilaku mereka dengan
situasi. Orang Amerika dikenal di seluruh dunia karena ketidaksabarannya mereka
dan keinginan mereka untuk disukai.

Para perunding berpengalaman dari negara-negara lain sering


memanfaatkan karakteristik-karakteristik ini demi keuntungan mereka dengan
cara mengulur negoisasi dan menjalin persahabatan yang bergantung pada
penyelesaian akhir.

Konteks kultur dalam negoisasi secara signifikan mempengaruhi jumlah dan jenis
persiapan untuk tawar menawar, penekanan relative pada tugas dibandingkan
hubungan antarpersonal, taktik yang digunakan dan bahkan dimana negoisasi
akan dilaksanakan. Untuk mengilustrasikan lebih lanjut sebagian dari perbedaan-
perbedaan ini, mari kita perhatikan dua studi yang membandingkan pengaruh
kultur terhadap negoisasi bisnis.

Studi pertama membandingkan orang-orang Amerika Utara, Arab dan


Rusia. Diantara faktor-faktor yang diperhatikan adalah gaya bernegoisasi mereka,
cara mereka menanggapi argumen lawan, pendekatan mereka untuk menghasilkan
konsesi, dan cara mereka menangani negoisasi dengan tenggat waktu yang
ditentukan. Orang Amerika Utara mencoba membujuk dengan mengandalkan
fakta dan menggunakan logika. Mereka menangkis argumen lawan dengan fakta-
fakta objektif. Mereka membuat konsesi lawan. Orang Amerika Utara
menganggap tenggat waktu sangat penting. Orang Arab mencoba membujuk
lawan dengan menggunakan emosi. Mereka menangkis argumen lawan dengan
perasaan subjektif. Mereka membuat konsesi sepanjang proses tawar-menawar
dan hampir selalu membalas konsesi lawan. Orang Arab memperlakukan tenggat
waktu dengan sangat santai. Orang Rusia mendasarkan argumen mereka pada
standar yang tegas. Mereka membuat sedikit bila ada konsesi. Konsesi apapun
yang ditawarkan oleh lawan dipandang sebagai suatu kelemahan dan hampir tidak
pernah dibalas. Terakhir, orang Rusia cenderung mengabaikan tenggat waktu.
Studi kedua mengamati taktik negoisasi verbal dan non verbal yang
ditampilkan oleh orang-orang Amerika Utara, Jepang, dan Brasil selama sesi
perundingan berdurasi setengah jam. Beberapa perbedaan yang ada sangat
menarik. Misalnya orang Brasil rata-rata mengatakan Tidak sebanyak 83 kali,
dibandingkan 5 kali orang Jepang dan 9 kali orang Amerika Utara. Orang Jepang
menampilkan sikap diam selama lebih dari 10 detik selama dari lima periode
dalam satu sesi perundingan 30 menit. Untuk periode yang sama, orang Amerika
Utara rata-rata 3,5 kali, orang Brasil tidak sama sekali. Orang Jepang dan Amerika
Utara menginterupsi lawan mereka dengan frekuensi yang kurang lebih sama,
tetapi orang Brasil menginterupsi 2,5 sampai 3 kali lebih sering dibandingkan
orang Amerika Utara dan Jepang. Terakhir, orang Jepang dan Amerika Utara
tidak punya kontak fisik dengan lawan mereka selama negoisasi kecuali untuk
berjabat tangan, tetapi orang Brasil saling menyentuh hampir lima kali setiap
setengah jam.

Kini setelah Anda mengerti lebih banyak tentang beragam jenis strategi
tawar menawar, proses negoisasi secara umum, dan isu-isu kontemporer dalam
negoisasi, apakah menurut anda dapat bernegoisasi dengan semua yang Anda
kenali ?

Menurut kami isu ini penting karena bagi banyak orang, berbohong itu
tidak diperbolehkan dalam melakukan perundingan. Diyakini luas bahwa seluruh
gagasan tentang negoisasi dibangun diatas pasir hisapan etika, agar berhasil Anda
harus berbohong. Benerkah demikian? Yang jelas, banyak orang berpendapat
demikian. Sebagai contoh, sebuah studi menemukan bahwa 28 persen perunding
berbohong mengenai isu kepentingan bersama dalam negoisasi, sementara studi
lainnya mendapati bahwa 100 persen perunding gagal mengutarakan suatu
permasalahan dan tidak bisa secara aktif berbohong tentang masalah itu dalam
negoisasi jika mereka tidak ditanya langsung tentang isu itu. Mengapa menurut
Anda angka-angka ini begitu tinggi? Penelitian mengenai negoisasi memberikan
banyak contoh tentang bagaimana berbohong memberikan keuntungan strategis
bagi si perunding.

Mungkinkah bagi seseorang untuk mempertahankan standar etika yang


tinggi dan pada saat yang sama, berhubungan dengan kebutuhan sehari-hari untuk
bernegoisasi dengan atasan, rekan sejawat, staf, orang-orang dari organisasi lain,
teman, dan bahkan sanak kerabat?

Barangkali dapat kita sepakati bahwa terang-terangan berbohong dalam


negoisasi itu salah. Paling tidak sebagian besar ahli etika mungkin akan sepakat.
Dilema universal mengelilingi kebohongan kecil menghilangkan, mengelak, dan
menutup-nutupi yang sering dibutuhkan untuk mengalahkan seorang lawan.
Dalam negoisasi, kapan suatu kebohongan itu merupakan kebohongan ?
Apakah melebih-lebihkan manfaat, meremehkan hal-hal negative, mengabaikan
cacat atau mengatakan “Saya tidak tahu”padahal kenyataannya berbeda akan
dianggap berbohong? Apakah menyatakan bahwa ini tawaran terakhir saya dan
tidak dapat ditawar lagi (bahkan ketika anda sering mengambil sikap) merupakan
kebohongan? Apakah berpura-pura menuekuk punggung ke belakang untuk
membuat konsesi yang bermakna termasuk berbohong? Alih-alih dianggap
sebagai praktik yang tidak etis, penggunaan kebohongan ini dianggap oleh banyak
orang sebagai indicator bahwa seorang perunding itu kuat, cerdas, dan cerdik.

Kapan ketidakterusterangan dan penipuan itu dilarang? Naifkah untuk


benar-benar jujur dan tedeng aling-aling dala negoisasi? Atau aturan negoisasi itu
unik ; Apakah taktik apapun yang akan meningkatkan peluang anda untuk
menang dapat diterima?
Schneider Nasional adalah sebuah perusahaan transportasi dan logistic
yang bermarkas di Green Bay, Wisconsin. Mulai berdiri tahun 1935, perusahaan
swasta ini kini mengoperasikan 14.000 truk dan 40.000 trailer yang mengangkut
muatan sejauh 5 juta mil per hari. Pendapatannya kurang lebih 2,4 miliar dolar per
tahun.

Perusahaan ini baru memiliki tiga orang pemimpin. Pertama adalah sang
pendiri; yang kedua putranya yaitu Donald dan pada bulan Agustus 2002, anggota
non keluarga pertama memimpin ketika Chris Lofgren diangkat menjadi CEO
menggantikan Schneider yang berusia 67 tahun. Tetapi, ini bukan seolah-olah
perusahaan itu tidak melakukan persiapan untuk kepemimpinan eksekutif. Don
Schenidel memberi tahu dewan direksinya pada tahun 1988 bahwa tugas
utamanya mereka adalah mencari seorang penerus. Lofgren bergabung dengan
perusahaan itu pada tahun 1994 sebagai seorang wakil presiden dan menjadi
direktur operasi pada tahun 2000. Setelah diangkat menjadi COO,Lofgren mulai
meletakkan kerangka kerja bagi kelompok eksekutifnya yang terdiri atas 6 orang
yang saat ini berbagi banyak tanggungjawabnya stategis perusahaan.

Setiap orang yang mengenal Don Schneider mengakui bahwa ia adalah


aturan yang kuat untuk diikuti. “Don adalah sebuah ikon, “kata seorang eksekutif
puncak Schneider lainnya. Barangkali ia mendominasi lebih banyak
penghormatan dalam transportasi dan logistic disbanding siapapun dalam industry
ini. “Kata Lofgren, Pendekatan kami adalah menyatu dalam sebuah tim eksekutif
yang memiliki sekumpulan keterampilan, perspektif, dan pengalaman yang ketika
anda kumpulkan tim itu lebih luas dan lebih besar disbanding Don Schneider.
Intinya menurut Lofgren adalah memiliki individu-individu dengan focus lini
produk atau fungsional dan sambil mempertahankan pengawasan mereka
terhadap bidang-bidang itu yang mengembangkan rasa tanggungjawab atas
kinerja keuangan dari seluruh perusahaan.

Jika Anda memiliki orang-orang yang tidak menerima solusi usaha, satu-
satunya peran mereka adalah fungsi mereka atau bisnis mereka, kemudian pada
akhirnya peran itu harus berpindah ke seseorang yang akan menengahi titik-titik
ketegangan, “Kata Lonfgren, dan Lofgren tidak memiliki maksud untuk
memainkan peran penengah itu.

Untuk menengahi titik-titik konflik, kelompok eksekutif itu harus belajar


bagaimana bekerja sama. Mereka bahkan telah memasukkan saran-saran dari luar
untuk membantu mendengarkan, secara lebih baik serta saling memahami dan
memfokuskan perdebatan pada isu-isu kritis. “Konflik antar orang atau antar
kelompok orang tidak positif. Konflik seputar isu-isu bisnis adalah hal yang
paling sehat dan bagus, “kata Lofgren. “Bisnis apapun tanpa ketegangan akan
jatuh ke tingkat kinerja yang paling bawah.”
BAB III
KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling
memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Konflik bertentangan dengan integrasi.
Konflik dan Integrasi berjalan sebagai sebuah siklus di masyarakat.
Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. sebaliknya, integrasi
yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Negosiasi adalah sesuatu yang kita lakukan setiap hari dan hampir
di setiap aspek kehidupan kita. Selain itu, negosiasi adalah cara yang
paling efektif untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik atau perbedaan
kepentingan.

3.2 Saran
Mengingat pentingnya peran konflik maka perlu kiranya konflik perlu di
pelihara karena individu-individu maupun kelompok-kelompok yang
saling tergantung harus menciptakan hubungan kerja yang melampaui
batasan-batasan organisasi agar setiap organisasi dapat menunjukan
kinerjanya yang efektif, baik antar individu maupun antar kelompok.
Individu maupun kelompok dapat saling tergantung satu sama lain dalam
hal informasi, bantuan, ataupun tindakan koordinasi. Tapi faktanya adalah
mereka saling membutuhkan. Ketergantungan seperti ini dapat
meningkatkan kerja sama maupun konflik.
DAFTAR PUSTAKA

Robbins, Stephen P. & Judge, Timothy A. 2008. Perilaku Organisasi. Jakarta:


Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai