Disusun Oleh:
Farrel Anggara. (18311062)
Ichwan Mastito H. (18311064)
Gery Nova K. T. (18311065)
Studi Globe
Studi Globe adalah proyek transnasional, diprakarsai oleh Robert J. House pada tahun
1991. Tim peneliti saat ini terdiri dari 170 peneliti dari 62 negara. Proyek ini berkaitan
dengan efektivitas kepemimpinan dan perilaku dalam organisasi di tingkat global dengan
pertimbangan khusus diberikan kepada faktor-faktor pengaruh budaya. Tujuan dari studi
Globe dapat diilustrasikan dengan pertanyaan-pertanyaan berikut:
Apakah ada perilaku kepemimpinan, atribut, dan praktik organisasi yang diterima
secara umum dan efektif lintas budaya?
Apakah ada perilaku kepemimpinan, atribut, dan praktik organisasi yang diterima dan
efektif dalam beberapa budaya saja?
Seberapa besar pengaruh atribut kepemimpinan yang ditelusuri kembali ke konteks
sosial dan organisasi efektivitas perilaku kepemimpinan spesifik dan penerimaannya
oleh bawahan?
Berapa banyak perilaku dan atribut dalam budaya tertentu mempengaruhi ekonomi,
fisik dan kesejahteraan psikologis anggota masyarakat yang diteliti dalam penelitian
ini?
Apa hubungan antara variabel sosial-budaya ini dan persaingan internasional
kapasitas berbagai masyarakat?
Penelitian Globe mencoba untuk mempelajari hubungan yang kompleks antara budaya,
perilaku kepemimpinan, efektivitas organisasi, kondisi co-habitation sosial dan keberhasilan
ekonomi masyarakat.
Pengembangan budaya
Selama ini, membahas bagaimana budaya dapat didefinisikan dan
dikonseptualisasikan dan beberapa hasil penelitian manajemen lintas budaya telah dilaporkan.
Sebagian besar penjelasan dan konsep didasarkan pada pandangan yang agak statis.
CASE 2.1
Perusahaan baja karbon milik keluarga dari Jerman telah memperluas bisnisnya ke
Hong Kong. Para pemilik membeli sebuah perusahaan kecil tradisional Tiongkok dan
memutuskan untuk meniru struktur sukses yang telah mereka kembangkan di rumah. Struktur
ini dipimpin oleh tiga manajer umum yang sama-sama berbagi tanggung jawab untuk
kegiatan bisnis perusahaan. Konsekuensinya adalah sebagai berikut.
1 Sekarang karyawan China diberikan tugas oleh orang-orang yang belum pernah
mereka lihat sebelumnya dan yang tidak mereka pahami. Banyak kesalahpahaman terjadi
didalam perusahaan.
2 Karyawan di Eropa hanya peduli dengan tugas yang diberikan kepada mereka telah
terselasaikan dan tidak mempertimbangkan kewajiban lain kepada karyawan Cina, seperti
menjaga hubungan dengan pemerintah Cina, bank, dll.
3 Akhirnya, karyawan lokal menjadi frustrasi dan siap untuk meninggalkan
perusahaan.
Hasilnya adalah bahwa model manajemen diubah lagi dan satu direktur pelaksana
anak perusahaan bertanggung jawab atas semua kegiatan bisnis di Hong Kong.
Pertanyaan Diskusi:
1. Hubungkan situasi yang digambarkan dengan salah satu dimensi budaya yang
diidentifikasi oleh Hofstede. Jelaskan dengan argument anda!
2. Bagaimana situasi dalam kasus ini dibandingkan dengan situasi yang sebanding di negara
asal Anda? Apa saja penjelasan batasan budayanya?
Pembahasan :
1. Menurut kami situasi atau kondisi dalam kasus 2.1 sesuai dengan dimensi jarak kekuasaan
atau disebut juga power distance. Karena dalam dimensi jarak kekuasaaan terdapat
ketidaksetaraan kekuasaan antara atasan dengan bawahan yang bisa jadi disebabkan oleh
kurangnya komunikasi yang baik antara atasan dengan bawahan, karena para atasan merasa
tidak setara dengan posisi mereka sehingga enggan untuk berkomunikasi dan perbedaan
budaya menyebabkan komunikasi yang tidak sepaham antara atasan dan bawahan. Selain itu
bisa jadi para atasan merasa memiliki kekuatan yang lebih besar dan merasa paling benar
dibandingkan bawahannya sehingga mereka cenderung menghiraukan atau menolak pendapat
para bawahan tanpa mengevaluasi diri sendiri terlebih dahulu dan menghiraukan kewajiban
yang harus diberikan kepada bawahan. Hal ini yang mendasari asumsi kami karena
permasalahanyang terdapat pada kasus tersebut sesuai dengan dimensi jarak kekuasaan.
2. Menurut kami jika terdapat situasi yang serupa di negara asal kami yaitu Indonesia,
hasilnya tidak jauh berbeda dengan kondisi pada kasus tersebut. Karena di Indonesia para
pekerja cenderung bekerja secara berkelompok atau kolektiv yang berarti para pekerja
membutuhkan komunikasi yang baik antar pekerja baik atasan maupun bawahan berbeda
dengan para pekerja dari Eropa yang cenderung bekerja secara individualis dan kurang dalam
hal komunikasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ketidaksamaan budaya inilah yang
menyebabkan adanya jarak kekuasaan antara atasan dan bawahan.