Anda di halaman 1dari 16

PENGERTIAN, PENGEMBANGAN, DAN URGENSI BUDAYA

ORGANISASI DI PERGURUAN TINGGI

Putri Meilani Sengadji, Muhamad Yunan Al-Faridzi, Muhammad Azis


Ramdhani
Jurusan Manajemen Pendidikan Islam
Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui budaya organisasi di


perguruan tinggi secara mendalam dengan beberapa pemabahasan mengenai
budaya organisasi di perguruan tinggi, meliputi pengertian, pembangunan, dan
ugrensi budaya organisasi di perguruan tinggi. Metode penelitian yang digunakan
yaitu metode kepustakaan (library research) dengan deskriptif kritis terhadap
sember-sember referensi yang digunakan. Hasil penelitian mengatakan bahwa
budaya organisasi merupakan suatu kebiasaan yang telah berlangsung lama dan
dipakai serta diterapkan dalam kehidupan aktivitas kerja sebagai salah satu
pendorong untuk meningkatkan kualitas kerja. Dalam implementasinya, budaya
organisasi harus terus dikembangkan agar bisa bersaing dengan perkembangan
jaman. Budaya organisasi ini menjadi penting supaya memberikan pengaruh
positif tehadap kinerja anggota.
Kata Kunci: budaya organisasi, perguruan tinggi

Abstract: This study aims to find out organizational culture in universities in


depth with several discussions about organizational culture in universities,
including the understanding, development, and urgency of organizational culture
in universities. The research method used is the library research method with
critical descriptive of the reference sources used. The results of the study said that
organizational culture is a habit that has lasted a long time and is used and applied
in the life of work activities as one of the drivers to improve the quality of work.
In its implementation, organizational culture must continue to be developed in
order to compete with the times. This organizational culture is important in order
to have a positive influence on the performance of members.
Keywords: organizational culture, university
PENDAHULUAN
Sebuah organisasi mempunyai budaya masing-masing. Hal ini menjadi
salah satu pembeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Budaya
sebuah organisasi ada yang sesuai dengan individu atau anggota baru, ada juga
yang tidak sesuai. Sehingga seorang individu atau anggota baru harus dapat
menyesuaikan diri dengan organisasi tersebut (Yusuf 2017:83). Budaya organisasi
merupakan kebiasaan, tradisi, dan tata cara umum dalam melakukan sesuatu dan
sebagian besar berasal dari pendiri organisasi. Secara tradisional pendiri
organisasi memiliki pengaruh yang besar terhadap budaya awal organisasi.
Mereka memiliki visi tentang akan menjadi apa organisasi itu nantinya. Mereka
juga tidak memiliki kendala karena kebiasaan atau ideologi sebelumnya. Ukuran
kecil organisasi yang merupakan ciri ketika organisasi baru pertama kali berdiri,
lebih memudahkan pendiri untuk memaksakan visi mereka kepada sesluruh
anggota organisasi (Rina dan Aditya Halim 2017:93).
Kolaborasi dan kesatuan masing-masing unsur manajemen dalam
organisasi atau lembaga pendidikan akan sulit untuk terwujudkan jika belum
terbiasa dan terlatih untuk menerapkannya. Harus ada pembiasaan agar nilai-nilai
tertentu, seperti kolaborasi, kerja sama atau teamwork, dan lainnya, yang ingin
dihadirkan dalam lingkungan organisasi bisa dipraktikkan oleh setiap orang.
Dengan kata lain, manajemen lembaga pendidikan harus bisa membangun suatu
budaya organisasi yang baik, yang sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan
yang diusungnya, agar setiap orang nantinya bisa menjalankan segenap tugas dan
fungsinya secara baik pula (Mahmud 2019:63).
Budaya organisasi penting untuk membangun budaya kerja masing-
masing unsur dalam organisasi. Budaya kerja atau budaya yang dibangun dalam
sebuah organisasi secara baik dapat membantu segenap unsur organisasi untuk
bisa membuat putusan-putusan mendesak yang diperlukan tanpa harus menunggu
kehadiran pimpinan yang tidak setiap saat ada di tengah masalah yang dihadapi.
Budaya kerja yang baik dapat membantu orang untuk mengeluarkan segenap
potensi yang dimilikinya, gagasan-gagasan kreatif yang dipikirkannya, sekaligus
mewujudkan hal tersebut dalam tindakan yang nyata. Budaya kerja yang baik
dapat membantu organisasi untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul karena
perbedaan dan batasan yang tidak berhubungan dengan pencapaian tujuannya,
apakah itu gender, agama, usia, dan lainnya. Tanpa budaya kerja yang baik, suatu
lembaga atau organisasi, hanya akan menjadi sekumpulan orang yang tidak saling
mengerti satu sama lain, tidak bisa berkolaborasi secara efektif, dan pada
ujungnya tidak akan bisa memberikan kontribusi terhadap pencapaian cita-cita
dan tujuan lembaga atau organisasi tersebut (Mahmud 2019:63).

METODE
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian kepustakaan
(library research). Library research adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta
mengolah bahan penelitiannya. Ia merupakan suatu penelitian yang memanfaatkan
sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya. Menurut Mardalis
penelitian kepustakaan merupakan suatu studi yang digunakan dalam
mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai macam material yang
ada di perpustakaan seperti dokumen, buku, majalah, kisah-kisah sejarah, dan
sebagainya (Sari dan Asmendri 2020:43).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian deskriptif kritis
dengan lebih menekankan pada kekuatan analisis sumber-sumber dan data-data
yang ada dengan mengandalkan teori-teori dan konsepkonsep yang ada untuk
diinterpretasikan berdasarkan tulisan-tulisan yang mengarah kepada pembahasan.
Sugiyono mengatakan penelitian kepustakaan merupakan kajian teoritis, referensi
serta literatur ilmiah lainnya yang berkaitan dengan budaya, nilai dan norma yang
berkembang pada situasi sosial yang diteliti (Sari dan Asmendri 2020:43).

PEMABAHASAN
A. Pengertian Budaya Organisasi
Kata “organisasi” berasal dari bahasa Inggris, yaitu organization, yang
berarti organisasi atau hal yang mengatur (Nata, 2012: 272). Kata “Organisasi”
secara etimologi berasal dari bahasa latin yaitu “organum” yang berati “alat”.
Sedangkan dalam bahasa Inggris “organize” “yaitu mengorganisasikan” dengan
menunjukan tindakan atau usaha untuk mencapai sebuah tujuan, (Machali dan
Hidayat, 2012: 88). Menurut Gibson at.all organisasi diartikan sebagai wadah
yang memungkinkan masyarakat dapat meraih hasil yang sebelumnya tidak dapat
dicapai oleh seseorang secara individual. Robbins dalam hal ini mendefinisikan
bahwa organisasi merupakan kesatuan (entity) sosial yang dikordinasikan secara
sadar, bekerja secara relatif terus- menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama.
Dimock menambahkan bahwa organisasi adalah perpaduan secara sistematis
daripada bagian-bagian yang saling berkaitan untuk membentuk suatu kesatuan
yang bulat mengenai kewenangan, koordinasi, dan pengawasan dalam usaha
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dari beberapa pengertian organisasi di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa organisasi meruapakan sebuah wadah,
pekumpulan orang yang terstruktur secara sistematis dan berfungsi untuk
mencapai suatu tujuan. (Yusuf, 2017)
Menurut Garet R. Jones dan Jennifer M. George (2003:348) bahwa budaya
organisasi merupakan seperangkat nilai, norma, standar perilaku dan harapan
bersama yang mengontrol cara-cara di mana individu dan kelompok di dalam
organisasi saling berinteraksi dan bekerja untuk mencapai tujuan organisasi.
Sementara menurut Edgar H. Schein (dalam Gibson dkk, 2006:31) bahwa budaya
organisasi adalah pola asumsi dasar yang diciptakan, ditemukan, atau
dikembangkan oleh kelompok tertentu sebagai pembelajaran untuk mengatasi
masalah integrasi internal dan adaptasi eksternal yang telah bekerja cukup baik
hingga menjadi sahih dipertimbangkan dan oleh karena itu perlu diajarkan kepada
anggota¬anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir, dan
mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan permasalahanpermasalahan
organisasi. (Muhammad, 2017)
Budaya organisasi telah banyak didefinisikan oleh para pakar manajemen
atau organisasi. Irham Fahmi mengemukakan bahwa budaya organisasi adalah
suatu kebiasaan yang telah berlangsung lama dan dipakai serta diterapkan dalam
kehidupan aktivitas kerja sebagai salah satu pendorong untuk meningkatkan
kualitas kerja para karyawan dan manager perusahaan. Lebih jauh Michael
Amstrong mendefinisikan bahwa budaya organisasi merupakan pola sikap,
keyakinan, asumsi, dan harapan yang dimiliki bersama, dan hal itu membentuk
cara bagaimana orang-orang bertindak dan berinteraksi dalam organisasi serta
mendukung hal-hal yang dilakukan (Fahmi, 2012: 95).
Budaya organisasi adalah sebuah karakteristik kunci yang dijunjung tinggi
oleh organisasi yang dianut oleh para anggotanya sehingga membedakan
organisasi satu dengan lainnya. Pola dasar budaya merupakan faktor yang
signifikan dalam menentukan efektivitas organisasi. Selain itu, misalnya budaya
suatu lembaga akan berpengaruh juga terhadap bentuk lembaga tersebut dan yang
paling penting adalah budaya berhubungan erat dengan kualitas (Hidayah, 2016:
28).

B. Pengembangan Budaya Organisasi


Suatu organisasi tidak akan dapat berkembang apabila tidak melakukan
suatu perubahan. Perkembangan organisasi berguna untuk adaptasi dengan
lingkungan dengan merubah nilai dan struktur organisasi, serta membuat cara
kerja suatu lembaga menjadi lebih sistematis dan efisien. Faktor yang
menyebabkan perkembangan suatau organisasi terdiri dari faktor internal dan
eksternal, dan dengan mengubah suatu budaya organisasi maka sumber daya
manusia yang ada akan menjadi lebih bermutu (Yusuf 2017:83).
Pengembangan budaya organisasi pada perguruan tinggi menjadi sangat
penting, karena semua orang akan bekerja berdasarkan nilai-nilai atau norma-
norma yang telah disepakati bersama. Dengan demikian, maka sistem informal
cepat atau lambat akan kehilangan efektivitasnya, karena tidak mendapat tempat
berkembang secara layak dalam organisasi perguruan tinggi (Muhammad
2017:193).
Handayani menjelaskan dalam (Yusuf 2017:83) bahwa budaya dalam
sebuah organisasi juga dapat dipengaruhi paling tidak oleh tiga hal, yaitu:
Pertama, strategi organisasi yang mencakup tujuan jangka pendek dan jangka
panjang yang dirumuskan oleh organisasi. Kedua, bagaimana tujuan organisasi
tersebut kemudian dikomunikasikan dan dipahami oleh semua anggota dan
bagaimana pelaksanaannya, dalam hal ini mencakup: kemampuan individu,
tingkah laku individu, dan hasil objektif yang diperoleh. Ketiga, situasi yang
melingkupi dan mempengaruhi kinerja sebuah organisasi, yaitu mencakup budaya
organisasi dan kondisi ekonomi. Dalam konteks lembaga pendidikan, situasi yang
melingkupi ini juga dipengaruhi oleh kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah.
Dalam pengembangan budaya organisasi perlu diperhatikan tiga unsur
penting dalam sebuah organisasi. Pertama, Asumsi Dasar; yaitu keyakinan
dasar/pendirian organisasi tentang cara bagaimana seharusnya bekerja dalam
organisasi. Posisi asumsi dasar adalah sebagai nilai inti budaya organisasi atau roh
organisasi yang mempengaruhi perilaku seluruh anggota organisasi. Kedua, Nilai-
Nilai Organisasi; yaitu keyakinan yang dipegang teguh seseorang atau
sekelompok orang mengenai tindakan dan tujuan yang “seharusnya” dan dijadikan
landasan atau identitas organisasi dalam menjalankan aktivitas usaha, menetapkan
tujuan tujuan organisasi atau memilih tindakan yang patut dijalankan di antara
beberapa alternatif yang ada. Ketiga, Norma-Norma Organisasi; adalah peraturan-
peraturan yang mengatur apaapa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan
berbagai implikasinya. Dalam batasbatas tertentu, norma juga dianggap sama
dengan nilainilai yang menjadi pedoman untuk berperilaku (Muhammad
2017:194). Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam strategi
pengembangan organisasi:
1. Pengamatan Eksternal yaitu dengan memperhatikan kesempatan dan
ancaman di segala aspek, baik ekonomi, politik, teknologi, budaya dan
lainnya yang semua variable itu akan membentuk karakter organisasi.
2. Pengamatan Internal terdiri dari eavaluasi SDM dan struktur
organisasi, dengan tujuan mengukur kesiapan SDM (inputs) strategi
sekarang (process), kinerja (outputs) dan potensi dalam yang akan
membentuk kedinamisan organisasi. Dalam internal terdapat dua
variable yang penting, yaitu, Struktur dan Budaya. Struktur berkenaan
dengan mekanisme, prosedural organisasi. Budaya adalah yang
berkenaan dengan pola keyakinan dan pemikiran, aspirasi dan nilai-
nilai yang diharapkan oleh semua anggota organisasi.
3. Perumusan Organisasi adalah pengembangan planning jangka panjang,
dari menejemen yang efektif dari kesempatan dan ancaman yang
disinergiskan dengan kondisi internal.
4. Misi Organisasi adalah tujuan atau alasan mengapa organisasi ada dan
mempertegas keberadaan organisasi. Konsep misi yang disusun
dengan sistemik dan general itu akan menjadikan ciri khas organisasi
dengan organisasi yang lain, dan berperan terhadap uniknya nilai
produk organisasi yang ditawarkan.
5. Tujuan adalah hasil akhir aktivitas perencanaan, dengan merumuskan
apa dan kapan yang akan diselasaikan dengan mengukur sasaran.
6. Kebijakan adalah pedoman luas yang menghubungkan strategi dan
implementasi. Kebijakan ini bersifat general yang nantinya akan
diikuti dan disepesifikan dan di interpretasikan dan di implementasikan
oleh devisi-devisi melalui strategi dan tujuan devisi masing-masing.
7. Implementasi Strategi adalah proses dimana manajemen mewujudkan
strategi dan kebijakan dalam tindakan melalui pengembangan
program, anggaran dan prosedur.
8. Program adalah pernyataan aktivitas-aktivitas yang diperlukan untuk
menyelesaikan pereencanaan sekali pakai.
9. Anggaran adalah program yang dinyatakan dalam satuan uang, setiap
program akan dinyatakan secara rinci dalam biaya, yang dapat
digunakan oleh SDM untuk mengelola organisasi.
10. Prosedur sering juga disebut dengan standar operating proscedures,
yaitu langkah-langkah yang berurutan yang menggambarkan dengan
rinci bagaimana suatu tugas atau pekerjaan diselesaikan.
11. Evaluasi dan Pengendalian adalah proses yang melalui aktivitas-
aktivitas dan hasil kerja dimonitor dan kinerja nyata dengan
kinerja/program yang diinginkan. Hasil yang diharapkan dalam sebuah
organisasi adalah bentuk peningkatan efektivitas organisasi: produk,
efesiensi, dan kepuasan dalam jangka pendek, adaptasi dan
pengembangan dalam jangka menengah, kemampuan bertahan dalam
jangka panjang (Yusuf 2017:92).
C. Urgensi Budaya Organisasi
Robbins dan Coutler (2010), dalam beberapa karyanya sering kali
menyatakan bahwa setiap organisasi atau perusahaan pada dasarnya akan
memiliki budayanya sendiri yang terbentuk melalui proses interaksi, komunikasi,
internalisasi, dan berbagai macam kegiatan manajemen lainnya. Meskipun
demikian, tidak semua organisasi memiliki tingkatan budaya yang sama kuatnya
dalam memengaruhi perilaku dan tindakan para karyawannya. Suatu budaya
organisasi dapat memiliki tingkatan budaya yang kuat ataupun sebaliknya, budaya
organisasi yang lemah. Perbedaan ini secara jelas diulas oleh keduanya seperti
tampak pada tabel berikut ini (Mahmud 2019).
Robbins dan Coutler menjelaskan lebih lanjut bahwa budaya yang kuat
(strong culture) dalam sebuah organisasi digambarkan sebagai budaya yang
menanamkan nilai-nilai utama organisasi secara kokoh dan diterima secara luas di
kalangan karyawan, serta memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan
dengan budaya yang lemah. Budaya yang kuat ini berarti budaya yang dipegang
secara intensif, mendasar dan kokoh, dianut secara luas, secara jelas
disosialisasikan dan diwariskan. Semakin kuat budaya organisasi, semakin kuat
pula pengaruh budaya tersebut terhadap lingkungan, ataupun terhadap perilaku
dan tindakan manusia dalam organisasi bersangkutan. Ketika suatu organisasi
memiliki budaya yang kuat, karyawan akan memberikan motivasi dan loyalitas
yang lebih besar dibandingkan dengan organisasi dengan budaya yang lemah.
Keberadaan budaya organisasi yang kuat ini juga akan berdampak besar pada
bagaimana eksistensi nilai-nilai personal atau budaya kerja pegawai atau anggota
organisasi yang ada. Budaya yang kuat di lingkungan organisasi akan
memudahkan manajemen organisasi bersangkutan untuk mentransfer budaya
tersebut ke tataran individu terutama karena mereka “dipaksa” untuk bertindak,
berpikir, meng ambil keputusan, bersikap sebagaimana lingkungan organisasi
membentuk mereka. Seperti pepatah lama menyatakan bahwa orang yang tinggal
di lingkungan maling, hanya persoalan waktu sampai dia menjadi maling juga;
maka transformasi budaya organisasi menjadi budaya kerja ini juga hanyalah
persoalan waktu, sejauh budaya yang dikembangkan kuat tertanam (Mahmud
2019).
Dalam konteks yang lain, kita sebenarnya bisa menyatakan bahwa budaya
kuat ataupun budaya lemah bisa saja berada dalam satu organisasi. Budaya yang
kuat pada suatu organisasi dalam hal ini merupakan gambaran dari core value
yang dianut dan juga merupakan kontribusi nilai-nilai dari sebagian besar anggota
organisasi, sedangkan budaya yang lemah adalah budaya-budaya lain yang
tumbuh dalam organisasi, terutama yang tumbuh dari perbedaan bagian atau
perbedaan geografi s, yang merupakan hasil kontribusi nilai dari golongan
minoritas anggota organisasi. Budaya yang kuat dalam praktiknya memang akan
lebih mudah dalam memengaruhi sikap dan perilaku anggota organisasi
dibandingkan budaya yang lemah. Akan tetapi, perlu diingat juga bahwa keadaan
bisa saja berubah yang membuat suatu budaya juga berubah. Apa yang tadinya
terlihat lemah bisa saja menjadi dominan di kemudian hari. Peran budaya lemah
adalah peran pendukung yang seiring waktu akan menjadi bagian dari dominasi
nilai-nilai tertentu. Dalam hal ini pihak manajemen sebuah organisasi harus bisa
mengelola berbagai varian budaya lemah tersebut, terutama agar ia juga
berkontribusi terhadap peningkatan kinerja individu dan organisasi secara
keseluruhan (Mahmud 2019).
Berbagai studi dan penelitian yang dilakukan oleh banyak akade misi,
khususnya para ahli di bidang manajemen, secara umum sudah banyak
menyatakan bahwa budaya organisasi ataupun budaya kerja, memiliki peran
signifi kan dalam kesuksesan organisasi secara keseluruhan. Secara lebih spesifik,
budaya organisasi yang baik, atau budaya kerja yang baik, akan berpengaruh atau
berdampak pada peningkatan kinerja, peningkatan loyalitas kerja, motivasi kerja,
produktivitas kerja, peningkatan kualitas produk dan layanan, serta kapabilitas
organisasi untuk menghadapi berbagai permasalahan. Dalam hal ini yang perlu
digaris bawahi adalah bahwa budaya organisasi ataupun budaya kerja, memiliki
kaitan yang erat dengan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia, sebagai aset
terpenting dari sebuah organisasi (Mahmud 2019).
Membangun budaya kerja berarti membangun manusianya. Membangun
budaya kerja berarti mengubah pola pikir, sikap, perilaku, dan berbagai kategori
penting lainnya dari fakultas kedirian manusia pelaksana. Mengubah budaya kerja
berarti menghancurkan tatanan keyakinan pada diri seseorang untuk kemudian
memberinya landasan yang baru. Karena itu, berbicara budaya kerja akan selalu
menjadi pembicaraan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia
secara keseluruhan. Keberhasilan pengembangan budaya, karena keterikatannya
yang erat dengan sumber daya manusia ini, akan sangat bergantung pada sosok
manusia atau individu yang berada dalam organisasi bersangkutan (Mahmud
2019).
Jika manajemen sebuah organisasi ingin membangun budaya kerja
tertentu, seperti fokus pada mutu produk dan layanan, maka individu-individu
yang terlibat dan menjadi penanggung jawab di dalamnya harus menjadi
pertimbangan dan aktor utama pengembangan budaya tersebut. Contoh sederhana
untuk hal ini, misalnya adalah: Jika organisasi menginginkan adanya peningkatan
kualitas produk yang dihasilkannya, maka ia harus menjadikan mutu sebagai
acuan untuk setiap langkah manajemen yang ada. Secara lebih spesifi k, budaya
mutu ini harus menjadi acuan dan kerangka pikir setiap individu yang terlibat
dalam organisasi. Ia misalnya harus dimulai dari komitmen pimpinan organisasi
bersangkutan pada mutu, yang dilanjutkan dengan perumusan rencana dan
rumusan langkah-langkah praktis yang menjadikan visi, misi, dan tujuan
manajemen terfokus pada mutu. Nilai-nilai yang dirancang dan dicanangkan ini
harus dibahasakan secara sederhana dan ditampilkan dalam bentuk yang nyata,
seperti slogan, moto, pernyataan visi, misi, tujuan, sasaran, strategi, metode, dan
sebagainya (Mahmud 2019).
Nilai yang sudah mewujud dalam artefak budaya ini kemudian
disosialisasikan dan ditanamkan kepada seluruh anggota organisasi baik melalui
proses indoktrinasi, pelatihan, brainstorming, ritual-ritual tertentu, dan
sebagainya. Budaya perusahaan yang dinyatakan secara eksplisit akan sangat
membantu dalam mengikat niat dan tindakan setiap anggota organisasi untuk
terfokus pada apa yang diharapkan organisasi bersangkutan. Ketika semua
anggota sebuah organisasi bisa memahami nilai-nilai yang ditampilkan secara
terus-menerus tersebut, maka ia nantinya akan menjadi acuan personal yang
menjadi bagian dari dirinya sehingga setiap tindakan yang dilakukan, putusan
yang diambil, ataupun sikap yang ditampilkan akan selalu selaras dengan nilai-
nilai dan budaya mutu yang sedang dibangun (Mahmud 2019).
Pemahaman akan nilai dan budaya sendiri penting agar anggota organisasi
mempunyai kesadaran bahwa implementasi butir-butir budaya dilakukan dengan
kesadaran otonom, yaitu mereka melakukan sesuatu tidak dengan paksaan tetapi
karena mereka sadar mengetahui hal tersebut adalah baik untuk kepentingan
dirinya maupun perusahaannya. Dengan demikian, otonomi individu akan sangat
membantu dalam mendukung dan mendorong pencapaian sasaran yang
diinginkan. Lebih dari itu, implementasi budaya organisasi harus dipahami secara
menyeluruh (holistik) sebab pemahaman yang parsial akan menjadi hambatan
dalam mengoptimalkan implementasi budaya itu sendiri. Terwujudnya komitmen,
kolaborasi positif, dan pemahaman tentang nilai yang sama, serta kesadaran
kultural akan nilai-nilai tersebut pada seluruh anggota organisasi, tidak saja
merupakan keberhasilan masing-masing bagian, tetapi meliputi keberhasilan
seluruh komponen yang ada dalam organisasi tersebut. Pengembangan budaya
organisasi di lembaga pendidikan adalah kebutuhan mendasar agar setiap elemen
lembaga pendidikan bisa melakukan segenap tugas dan fungsinya secara optimal
(Mahmud 2019).
Tuntutan akan budaya organisasi yang baik ini bahkan akan semakin besar
dalam konteks lembaga pendidikan tinggi. Berbeda dengan sekolah, lembaga
pendidikan tinggi atau perguruan tinggi akan memiliki cakupan organisasi yang
lebih besar dan kompleks. Selain itu, elemenelemen yang ada di dalamnya juga
lebih memiliki keleluasaan dalam bertindak dan atau melakukan inisiatif kerja
sesuai dengan konteks alamiah kebebasan intelektual yang diusung perguruan
tinggi. Lebih dari itu, tuntutan kemandirian dalam hal pengelolaan organisasi,
hingga penyelenggaraan pendidikan di dalamnya, juga lebih besar dibandingkan
sekolah (Mahmud 2019).
Karena alasan-alasan inilah, maka pengembangan budaya dalam konteks
pendidikan tinggi menjadi semakin mendesak. Lembaga pendidikan, khususnya
lembaga pendidikan tinggi, tidak cukup hanya berpuas dengan pengembangan
budaya akademik di lingkungannya. Ia justru harus menyempurnakan hal tersebut
dengan budaya kerja dan atau budaya organisasi yang sesuai dengan visi, misi,
dan tujuan yang ditetapkannya. Tanpa adanya bangunan budaya organisasi yang
kokoh, maka lembaga pendidikan tidak akan bisa menyelenggarakan praktik
pendidikan dan pembelajaran yang bermakna. Lulusan yang dihasilkan bisa saja
memiliki tingkat intelektual tertentu, namun sulit untuk memiliki karakteristik
sikap dan kepribadian yang mencerminkan nilai-nilai lembaga pendidikan
bersangkutan. Dengan kata lain, pembangunan budaya organisasi di lingkungan
pendidikan, akan berjalan seiring dengan integrasi nilainilai yang diharapkan
menjadi karakteristik lulusan lembaga pendidikan bersangkutan (Mahmud 2019).
Adapun upaya-upaya yang lebih teknis yang bisa dilakukan manajemen
lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan tinggi, untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusianya melalui penguatan dan pengembangan budaya
organisasi atau budaya kerja ini, misalnya dapat melalui kegiatan-kegiatan berikut
ini (Mahmud 2019).
1. Program-program pelatihan untuk peningkatan kinerja tenaga pendidik
dan kependidikan di lingkungan pendidikan tinggi.
2. Kegiatan-kegiatan sharing informasi dan wawasan baik formal maupun
informal melalui FGD, seminar, pengarahan, rapat, diskusi, dan
lainnya.
3. Pembentukan kelompok kerja untuk membangun kolaborasi dan
kesatuan yang berguna juga untuk membangun kesamaan pemahaman
akan visi, misi, dan tujuan lembaga pendidikan bersangkutan.
4. Program-program cultural recognition dan cultural rewards untuk
membantu proses pengenalan, penyebaran, dan integrasi nilai-nilai
serta kebiasaan baik yang diharapkan dapat menjadi budaya, dan
sebagainya. Berbagai kegiatan yang pada awalnya bisa saja ditujukan
untuk pengukuhan nilai-nilai kultural tersebut, sebenarnya sudah
memiliki manfaat yang besar untuk meningkatkan kualitas sumber
daya manusia lembaga pendidikan tinggi bersangkutan. Karena sekali
lagi, budaya hanya akan lahir dari manusia dan untuk manusia.
Membangun budaya yang baik berarti menyelamatkan banyak individu
dari hal-hal ataupun landasan sikap, perbuatan, putusan, dan pikiran
yang bisa saja berdampak buruk pada kehidupan bersama.
Menjadikan nilai-nilai tertentu sebagai budaya organisasi, atau membuat
lembaga pendidikan menjadi lembaga dengan budaya yang baik, pada dasarnya
adalah menanamkan nilai-nilai tertentu ke dalam lingkungan lembaga pendidikan
hingga ia bisa menjadi budaya kerja, norma perilaku, dan standar pencapaian bagi
lembaga bersangkutan. Dalam konteks ini, berbagai aspek prinsipiil dan
karakteristik umum dari manajemen yang baik, pada akhirnya harus menjadi hal
yang membudaya di kalangan pegawai dan unsur lembaga secara keseluruhan
(Mahmud 2019).
Upaya untuk membudayakan berbagai prinsip dan nilai-nilai tertentu yang
sesuai dengan visi dan misi lembaga ini, seperti dijelaskan oleh Orla O’Donnell
dan Richard Boyle mengharuskan jajaran manajemen puncak suatu lembaga, tidak
terkecuali lembaga pendidikan, untuk memerhatikan enam hal berikut ini.
1. Menciptakan Iklim Perubahan (Creating a Climate for Change) Dalam
hal penciptaan iklim untuk perubahan, perlu diingat bahwa budaya
tersebut hanya akan efektif jika ia diterapkan pada bidang atau area
yang relevan dan memang membutuhkan perubahan, terutama karena
ada permasalahan yang harus diselesaikan terkait area ter sebut.
Penerapan manajemen budaya dalam hal ini, sangat membutuhkan
adanya perubahan dalam tata cara organisasi menjalankan berbagai
fungsinya. Karena itu, setiap unsur yang terdapat dalam organisasi
dituntut untuk tidak lagi berpuas diri dengan pencapaian yang ada,
mengingat bahwa salah satu prinsip umum yang harus dipahami dari
manajemen kinerja adalah bahwa ia senantiasa bisa ditingkatkan.
2. Pemimpin sebagai Penanggung Jawab Utama (Leader as Man in
Charge) Penerapan budaya tertentu dalam sebuah organisasi, seperti
halnya penciptaan dan pembangunan budaya-budaya lainnya, akan
sangat bergantung pada keberadaan seorang pemimpin yang bisa
mengarahkan segenap unsur organisasi untuk bergerak selaras dengan
nilai-nilai yang diinginkan. Karena itu, dalam membangun budaya
organisasi, jajaran manajemen puncak, dan pimpinan dalam berbagai
levelnya, harus terlibat aktif pada setiap kegiatan organisasi, mulai dari
perencanaan hingga evaluasi atas kegiatan yang dij alankan. Pimpinan
organisasi juga harus memiliki pemahaman strategis tentang
bagaimana mengimplementasikan berbagai konsep manajemen secara
efektif, sehingga tujuan organisasi dapat dicapai dengan baik.
3. Pemberdayaan Pegawai (Employee Empowerment) Pemberdayaan
pegawai, baik melalui penugasan, pelatihan, pendidikan, dan berbagai
kegiatan yang mampu menumbuhkan kreativitas, pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan pegawai, menjadi salah satu hal penting
yang harus dilakukan dalam konteks penciptaan budaya pada sebuah
organisasi. Suatu nilai yang baik, yang ingin ditanamkan dan
membudaya dalam organisasi, membutuhkan penguasaan baik secara
teknis maupun strategis oleh setiap orang yang ada di lingkungan
organisasi bersangkutan. Karena itu, mereka harus diberdayakan
semaksimal mungkin agar mampu mencapai derajat dan standar
tertentu dari nilai-nilai ideal yang diharapkan.
4. Orientasi Tim (Team Orientation) Kerja sama kelompok atau tim
dalam menyelesaikan suatu tugas menjadi salah satu fi tur utama dari
berbagai organisasi yang ada hari ini. Keberadaan tim atau kelompok
kerja dalam sebuah organisasi, bukan saja berguna untuk memudahkan
penyelesaian suatu tugas atau permasalahan, tapi juga bisa membantu
sesama anggota organisasi untuk berkomunikasi dan bersosialisasi
secara efektif demi terciptanya suasana kerja yang harmonis. Hal ini
dalam gilirannya akan memudahkan organisasi untuk membangun
nilai-nilai yang diharapkan, selaras dengan tujuan organisasi itu
sendiri.
5. Menjajaki Perubahan Budaya (Tracking Cultural Change) Penjajakan
atas perubahan budaya yang ada ini juga menjadi perihal krusial dalam
membangun budaya organisasi. Hal ini umumnya dilakukan untuk
menganalisis apakah terdapat nilai-nilai yang belum berjalan seiring
visi organisasi pada subbagian tertentu dalam organisasi, atau hal-hal
lainnya yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diharapkan.
6. Pelatihan, Penghargaan, dan Pengakuan (Training, Rewards, and
Recognition) Pelatihan dalam konteks wawasan budaya sering kali
dilihat secara berbeda dalam berbagai bentuk organisasi. Budaya bisa
dilihat sebagai aspek pelatihan manajemen umum pada beberapa
organisasi. Pada organisasi lainnya, pelatihan justru menjadi sarana
untuk mengenalkan dan menginternalisasikan budaya. Berbagai hal di
atas tentu bukan semata tuntunan normatif dalam upaya organisasi
untuk membangun budayanya, melainkan hal-hal yang memang harus
diimplementasikan dengan perincian kegiatan yang disesuaikan
dengan perencanaan organisasi itu sendiri. Membangun budaya
organisasi, seperti halnya membangun budaya kerja yang baik, sering
kali tidak bisa dihasilkan secara mudah dan singkat. Ia membutuhkan
komitmen yang kuat, upaya yang keras, peran aktif semua pihak,
pemahaman akan nilai-nilai yang diinginkan, serta persistensi dalam
menjalankannya. Jika sebuah organisasi atau lembaga pendidikan bisa
menerapkan hal-hal tersebut dalam praktik manajemen dan
penyelenggaraan pendidikannya, maka secara perlahan, apa yang
diinginkan lembaga dari penerapan nilai-nilai tertentu akan terbentuk
dan menjadi budaya organisasi itu sendiri. Pada titik itu, nilai-nilai
yang terkandung dalam visi dan misi lembaga bukan lagi semata
harapan ideal, melainkan sebuah kebiasaan (Mahmud 2019).

SIMPULAN
Dijelaskan bahwa budaya organisasi merupakan sebuah karakteristik kunci
yang dijunjung tinggi oleh organisasi yang dianut oleh para anggotanya sehingga
membedakan organisasi satu dengan lainnya. Pola dasar budaya merupakan faktor
yang signifikan dalam menentukan efektivitas organisasi. Pengembangan budaya
organisasi pada perguruan tinggi menjadi sangat penting, karena semua orang
akan bekerja berdasarkan nilai-nilai atau normanorma yang telah disepakati
bersama. Dengan demikian, maka sistem informal cepat atau lambat akan
kehilangan efektivitasnya, karena tidak mendapat tempat berkembang secara
layak dalam organisasi perguruan tinggi. Budaya organisasi yang baik, atau
budaya kerja yang baik, akan berpengaruh atau berdampak pada peningkatan
kinerja, peningkatan loyalitas kerja, motivasi kerja, produktivitas kerja,
peningkatan kualitas produk dan layanan, serta kapabilitas organisasi untuk
menghadapi berbagai permasalahan.

REFERENSI
Mahmud. 2019. MANAJEMEN PENDIDIKAN TINGGI Berbasis Nilai-Nilai
Spiritualitas. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.

Muhammad, Syuaiban. 2017. “Pentingnya Pengembangan Budaya Organisasi


Pada Perguruan Tinggi.” Jurnal Ilmiah Widya 4(1):192–203.

Rina, dan Aditya Halim. 2017. “Pengaruh Kompetensi Budaya Organisasi dan
Motivasi Terhadap Kinerja Dosen Perguruan TInggi Swasta di Kota
Makassar.” Jurnal Riset Edisi XIX 3(8):88–100. doi: 10.31219/osf.io/67n8g.

Sari, Milya, dan Asmendri. 2020. “Penelitian Kepustakaan (Library Research)


dalam Penelitian Pendidikan IPA.” Jurnal Penelitian Kepustakaan (Library
Research) dalam Penelitian Bidang IPA dan Pendidikan IPA 6(1):41–53.

Yusuf, Muhammad Hidayat. 2017. “Pengembangan Budaya Organisasi Dalam


Lembaga Pendidikan.” Jurnal Pendidikan Islam (Tarbawi) 14(1):81–96.

Anda mungkin juga menyukai