BAB I
PENDAHLUAN
Keterkaitan Strategi organisasi dengan budaya organisasi pada perkembangan dewasa ini
menjadi sangat diperhatikan baik oleh kalangan akademisi maupun di kalangan organisasi dan
praktisi manajemen dalam organisasi. Di kalangan akademisi, persoalan strategi organisasi
dan budaya organisasi semakin menarik untuk dikaji dan bahkan lebih lanjut seringkali
dilakukan penelitian-penelitian dalam upaya mengoptimalkan implementasi strategi pada
suatu organisasi. Di kalangan organisasi, strategi organisasi dan budaya organisasi semakin
dilihat sebagai hal yang menarik dan penting untuk menjadi prioritas perhatian, keduanya
semakin diperkuat untuk mencapai tujuan organisasi dengan lebih baik dan optimal.
Diharapkan dengan paparan di dalam makalah ini, kita akan sama-sama dapat melihat dan
semakin memahami hubungan interdependensi antara strategi organisasi dengan budaya
organisasi dengan tidak mempersoalkan hubungan sebab akibat, seperti manakah yang
lebih awal muncul antara strategi organisasi atau budaya organisasi, manakah yang
menjadi penyebab dari yang lainnya, manakah yang menerima dampaknya, dan hal-hal
lainnya yang bersifat sebab akibat.Penelitian empiris terkini yang sudah dilakukan para ahli
dan para akademisi cenderung menunjukkan strategi organisasi dan budaya organisasi
memiliki hubungan interdependensi dan keduanya saling mempengaruhisecara timbal balik.
(Klein A, 2011).Budaya organisasi secara signifikan mempengaruhi proses perumusan
strategi organisasi dan penetapan strategi organisasi, termasuk didalamnya persoalan
implementasi strategi organisasi. Dengan kata lain, pemilihan strategi organisasi dan
implementasi.
Peran Budaya Organisasi dalam Mengoptimalkan Efektifitas dan Efisiensi strategi Budaya
Organisasi strategi organisasi dapat semakin menguatkan budaya organisasi atau merubah
budaya organisasi. Pada tahap perumusan strategi, di dalamnya akan terdapat kegiatan
untuk menganalisis lingkungan, menetapkan pilihan-pilihan strategi dan pemilihan strategi
yang paling sesuai dengan organisasi. Pada tahap ini, budaya organisasi akan berpengaruh
terhadap kerangka kerja yang akan dilakukan oleh para pimpinan atau para pengambil
keputusan dan kebijakan. Asumsi budaya, nilai-nilai yang dianut serta norma-norma yang
dipegang oleh seluruh orang yang ada di dalam organisasi akan diterapkan didalam
membangun kerangka pikir, kerangka persepsidan kerangka interpretasi serta pemahaman dari
setiap orang di dalam organisasi tersebut, terutama terhadap orang-orang yang terlibat langsung
di dalam tahap-tahap tersebut, yaitu dalam melakukan analisis lingkungan, memilih
pilihan-pilihan strategi, menentukan strategi yang paling sesuai untuk
diimplementasikan.Secara umum asumsi, nilai-nilai dan norma-norma yang di pegang
organisasi secara signifikan akan membentuk pola mental, termasuk pola mental para
pimpinan dan para pengambil keputusan dan kebijakan organisasi. Pola mental ini akan
berpengaruh pada persepsi dan interpretasi lingkungan organisasi yaitu intepretasi
organisasi terhadap factor-faktor lingkungan internal dan interpretasi organisasi terhadap
factor-faktor lingkungan eksternalnya.
Sejalan dengan pendapat di atas Abdullah dan Arisanti Herlin (2010) mengatakan bahwa
ikatan budaya tercipta oleh masyarakat baik dalam keluarga, organisasi, bisnis maupun bangsa.
Budaya membedakan masyarakat satu dengan yang lain dalam berinteraksi dan bertindak
menyelesaikan suatu pekerjaan. Budaya mengikat anggota kelompok masyarakat menjadi satu
kesatuan pandangan yang menciptakan keseragaman berperilaku atau bertindak. Edgar H. Schein
(Mangkunegara, 2008) mengatakan “an organization’s culture is a pattern of basic assumptions
invented, discovered or developed by a given group as it learns to cope with is problems of
external adaptation and internal integration that has worked well enough to be considered valid
and to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in relation to
these problems”. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian budaya
organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai dan norma yang
dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi anggota-anggotanya
untuk mengatasi masalah adapatasi eksternal dan integrasi internal.
Budaya organisasi memiliki tiga fungsi penting yaitu sebagai sistem pengawasan, perekat
hubungan sosial, dan saling memahami. Robbins (2008) mendefinisikan budaya organisasi
sebagai suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan
organisasi tersebut dengan organisasi yang lain. Lebih lanjut, Robbins menyatakan bahwa
sebuah sistem pemaknaan bersama dibentuk oleh warganya yang sekaligus menjadi pembeda
dengan organisasi lain. Sistem pemaknaan bersama merupakan seperangkat karakter kunci dari
nilai-nilai organisasi. Robbins (2008) berusaha memberikan karakteristik budaya organisasi
sebagai berikut :
1) Inovasi dan keberanian mengambil resiko (Inovation and Risk Taking) yaitu sejauh mana
organisasi mendorong para karyawan bersikap inovatif dan berani mengambil resiko.
Selain itu, bagaimana organisasi menghargai tindakan pengambilan resiko oleh karyawan
dan membangkitkan ide,
2) Perhatian pada hal-hal rinci atau perhatian terhadap detail (Attention to detail) yaitu
sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-
hal detail,
3) Orientasi Hasil (Outcome Orientation) yaitu sejauh mana manajemen berfokus lebih pada
hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut,
4) Orientasi Orang (People Orientation) yaitu sejauh mana keputusan-keputusan manajemen
mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di organisasi,
5) Orientasi Tim (Team Orientation) yaitu sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasi
pada tim ketimbang pada individu-individu,
6) Keagresifan (Aggressiveness) yaitu sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif
ketimbang santai,
7) Stabilitas (Stability) yaitu sejauh mana kegiatan-kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.
Masing-masing karakteristik ini berada pada di suatu kontinum mulai dari rendah sampai
tinggi. Karenanya, menilai organisasi berdasarkan ketujuh karakteristik ini akan menghasilkan
suatu gambaran utuh mengenai kultur (budaya) sebuah organisasi. Gambaran ini menjadi basis
bagi sikap pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana
segala sesuatu dilakukan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku. Sejalan
dengan pendapat Robbins di atas, Robert dan Angelo (Abdullah dan Arisanti Herlin, 2010)
menyebutkan tiga definisi karakteristik budaya organisasi yang Prosiding Seminar Nasional
Peran Budaya Organisasi Terhadap Efektivitas dan Efisiensi Organisasi 100 penting yaitu :
1. Budaya organisasi diberikan kepada para karyawan baru melalui proses sosialisasi,
2. Budaya organisasi mempengaruhi perilaku kita di tempat kerja,
3. Budaya organisasi berlaku pada dua tingkat yang berbeda.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi adalah sistem nilai
organisasi yang dianut oleh anggota organisasi yang kemudian mempengaruhi cara bekerja dan
perilaku para anggota organisasi. Dalam masyarakat, budaya organisasi mempengaruhi nilai-
nilai atau etika individu, sikap-sikap, asumsi- asumsi dan harapan-harapan individu. Perpaduan
budaya masyarakat dan budaya organisasional dapat menghasilkan dinamika di dalam suatu
organisasi.
Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja Karyawan Budaya organisasi tidak pernah
kekurangan definisi. Budaya organisasi dijelaskan misalnya sebagai : (1) nilai-nilai dominan
yang didukung oleh organisasi, (2) falsafah yang menuntun kebijaksanaan organisasi terhadap
pegawai dan pelanggan, (3) cara pekerjaan dilakukan di tempat itu, (4) asumsi dan kepercayaan
dasar yang terdapat diantara anggota organisasi (Robbins, 1994). Suatu peninjauan yang lebih
mendalam dari sederet definisi memperlihatkan sebuah tema sentral budaya organisasi merujuk
pada suatu sistem pengertian yang diterima secara bersama. Kesemua itu, pada gilirannya
menciptakan pemahaman yang sama di antara para anggota mengenai bagaimana sebenarnya
organisasi itu dan bagaimana anggotanya harus berperilaku.
Pada dasarnya, budaya organisasi adalah seperangkat nilai-nilai, keyakinan, sikap dan
tradisi bersama yang mengikat anggota organisasi sebagai acuan untuk bekerja dan berinteraksi
antar sesama anggota organisasi. Banyak definisi budaya organisasi yang dikemukakan para
pakar. Salah satu definisi dikemukakan oleh Amstrong (Ancok, 2012) adalah sebagai berikut :
“Organizational or corporate culture is the pattern of values, norms, beliefs, attitudes, and
assumptions that may not have been articulated but shape the way in which people behave and
things get done. Values refer to what is believed to be important about how people and the
organizations behave. Norms are the unwritten rules of behaviour”. Berdasarkan definisi di atas,
budaya organisasi atau budaya korporat dapat didefinisikan sebagai pola tata nilai, norma,
keyakinan, sikap dan asumsi tentang bagaimana cara berperilaku dan melakukan pekerjaan di
sebuah organisasi. Budaya ini terbentuk karena kebiasaan kerja yang terbangun dalam
organisasi, yang dibentuk oleh pendiri dan pemilik organisasi. Budaya yang berasal dari para
pendiri tersebut selanjutnya disosialisasikan kepada para karyawan dan karyawan generasi
berikutnya. Budaya ini kemudian dipelajari oleh kelompok untuk dijadikan sebagai acuan dalam
pemecahan masalah yang dihadapi oleh anggota organisasi (Ancok, 2012).
Perubahan lingkungan yang sangat cepat pada saat sekarang membutuhkan pemimpin
yang benar-benar tanggap dalam merespon keadaan yang dihadapi, bukan hanya sekedar
menanggapi, namun dapat menentukan kemana arah yang harus dilalui oleh organisasi dalam
mengarungi keadaan yang dihadapi, dengan adanya pemimpin yang baik, maka organisasi
tersebut dapat berjalan dengan baik. Kepemimpinan mempunyai fungsi untuk memandu,
menuntun, memberi atau membangkitkan komitmen dan motivasi kerja anggotanya. Peran
seorang pemimpin sangat dibutuhkan dalam memelihara komitmen organisasional, dan
kepemimpinan yang efektif menjadi syarat utama.
Tingkat interkoneksi dan interdependensi merupakan sesuatu yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Perubahan lingkungan global ini berskala luas, substansial, dan drastis yang bukan
saja akan merubah tatanan sektor bisnis saja tetapi juga struktur sosial. Perubahan ini akan
mepengaruhi lingkungan kerja di mana para pemimpin tersebut bekerja. Hal ini menunjukkan
bahwa tantangan yang dihadapi oleh sektor bisnis dan publik di masa mendatang bukan lagi
hanya sebuah tantangan kepemimpinan, namun telah berkembang menjadi sebuah tantangan
pengembangan (proses menumbuhkan pemikiran yang lebih besar lagi).
Tantangan kepemimpinan ini telah digambarkan oleh Nick Petrie (2014) sebagai berikut:
a. Kondisi lingkungan kerja lebih kompleks, mudah berubah, dan tidak dapat diprediksi.
b. Keterampilan kepemimpinan juga telah berubah, dibutuhkan kemampuanberpikir yang
lebih kompleks dan adaptif.
c. Metode yang saat ini digunakan untuk pengembangan kompetensi kepemimpinan belum
banyak berubah (banyak).
d. Mayoritas pemimpin dikembangkan dari hasil pengalaman kerja, Pelatihan, dan
Coaching/ Mentoring.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa lingkungan baru yang ditandai oleh peningkatan
tingkat kompleksitas dan keterkaitan ini harus diimbangi dengan peningkatan kemampuan
manajemen dari para pemimpin untuk menghadapinya.
Pada Peran teknologi di era revolusi industri 4.0 mengambil alih hampir sebagian besar
aktivitas perekonomian. Selain mendorong pertumbuhan ekonomi, tren ini telah mengubah
banyak bidang kehidupan manusia, termasuk dunia kerja dan bahkan gaya hidup manusia itu
sendiri. Pada dasarnya, revolusi industri 4.0 menggabungkan mesin, alur kerja dan sistem dengan
penerapan jaringan cerdas di sepanjang prosesnya. Revolusi industri 4.0 ini mampu melenyapkan
sejumlah jenis pekerjaan, namun di sisi lain juga menghadirkan jenis pekerjaan baru.
Kita berdiri di tepi revolusi industri 4.0 yang secara fundamental akan mengubah cara kita
hidup, bekerja, dan berhubungan satu sama lain. Dalam skala, cakupan, dan kerumitannya,
transformasi ini tidak akan seperti apa pun yang dialami manusia sebelumnya. Kita juga belum
mengetahui bagaimana hal itu akan terungkap, tetapi satu hal yang jelas: respons terhadapnya
harus terintegrasi dan komprehensif, melibatkan semua pemangku kepentingan dari
pemerintahan global, dari sektor publik dan swasta hingga akademisi dan masyarakat sipil.
Dalam Revolusi Industri yang pertama adalah menggunakan tenaga air dan uap untuk
memekanisasi produksi. Kedua menggunakan tenaga listrik untuk membuat produksi massal.
Yang ketiga menggunakan elektronik dan teknologi informasi untuk mengotomatisasi produksi.
Sekarang Revolusi Industri 4.0 sedang membangun di atas yang ketiga, revolusi digital yang
telah terjadi sejak pertengahan abad terakhir. Ini dicirikan oleh perpaduan teknologi yang
menghubungkan garis antara bidang fisik, digital, dan biologis. Terdapat tiga alasan mengapa
transformasi saat ini tidak hanya mewakili perpanjangan dari revolusi industri ketiga, akan tetapi
lebih kepada kedatangan revolusi industri 4.0 jauh berbeda dari kecepatan, ruang lingkup, dan
dampak system.
Industri 4.0 sudah jelas adalah kemajuan yang sangat membantu industri untuk dapat
mengoptimasi semua kebutuhan produksi sehingga mempermudah perekonomian untuk
berkembang. Tidak hanya itu, calon pelanggan juga akan merasakan banyaknya variasi sehingga
mudah untuk mencari dan memilih produk yang sesuai dengan kebutuhannya. Disamping itu
terdapat beberapa kaitannya antara Industri 4.0 dan tata kelola IT ini yakni Dengan ini Teknologi
sangat berpengaruh di era industri 4.0 karena di era industri 4.0 mengandalkan teknologi dalam
segala bidang, baik itu dari ekonomi, pendidikan, kesehatan, pemerintahan dan lain-lain. Karena
teknologi sangat memudahkan manusia dalam memproduksi, mengolah data dan menyebarkan
informasi. Sehingga teknologi di era saat ini sangat cepat perkembangannya dan perlu juga
menerapkan tata kelola IT untuk menyelaraskan sumberdaya TI dengan tujuan organisasi dapat
berfungsi sebagai enabler.
Peran sumber daya manusia (SDM) dalam organisasi sangat dominan, karena merupakan
motor penggerak paling utama di dalam suatu organisasi. Dengan demikian perhatian serius
terhadap pengelolaan SDM adalah salah satu faktor penentu keberhasilan organisasi yang mutlak
diperlukan. Pandangan terhadap SDM tidak hanya dapat dilihat secara individu saja, melainkan
juga secara kelompok dalam lingkungan organisasi. Hal tersebut dikarenakan sikap dan perilaku
manusia mempunyai sifat dan karakteristik yang berbeda, baik secara individu maupun antar
kelompok dalam unit organisasi. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat keberhasilan
suatu organisasi adalah kinerja karyawan. Kinerja karyawan merupakan suatu tindakan yang
dilakukan karyawan dalam melaksanakan pekerjaan yang diberikan perusahaan (Handoko,
2008:135).
Menurut Mathis dan Jackson (2006:78) kinerja karyawan adalah yang mempengaruhi
seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi antara lain termasuk:
kuantitas kerja, kualitas kerja, dan pemanfaatan waktu. Namun, sejalan dengan perkembangan
zaman yang semakin maju menuntut kita harus bisa beradaptasi dalam segala kondisi. Beban
kerja yang semakin berat, semakin banyaknya kebutuhan yang ingin dipenuhi, tingkat
pendapatan yang tak sejalan dengan biaya hidup, persaingan yang semakin ketat dan seterusnya
dapat menjadi ancaman untuk dapat tetap bertahan hidup. Apabila penyesuaian ini gagal atau
salah, maka akan mengakibatkan terjadinya stres di tempat kerja. Stres pada karyawan bisa
timbul karena adanya tuntutan dari perusahaan dalam menjalankan tugas. Perusahaan selalu
menginginkan agar karyawannya dapat bekerja secara maksimal. Para karyawan dituntut oleh
perusahaan untuk dapat bekerja dengan penuh disiplin dan tanggung jawab yang tinggi, selain itu
para karyawan juga dihadapkan dengan aktivitas kerja yang memiliki tugastugas yang cukup
besar, pekerjaan yang melampaui kemampuan individu, tekanan atau desakan waktu yang
dihadapi oleh karyawan ini juga menimbulkan stres kerja pada karyawan. Kondisi ini terjadi
dimana seseorang individu dihadapkan pada peluang, tuntutan, atau sumber daya yang terkait
dengan apa yang dihasratkan oleh individu itu dan yang hasilnya dipandang tidak pasti dan
penting (Robbins, 2008:368).
Stres dalam bekerja merupakan suatu gambaran keadaan nyata yang telah mengalami
berbagai tekanan dalam melaksanakan pekerjaannya. Beberapa konsekuensi dari stres yang juga
dapat digunakan sebagain indikator untuk mengukur tingkat stres dalam organisasi yaitu stres
fisiologis, stres psikologis, dan stres perilaku. Apabila karyawan tidak memiliki stres maka
tantangan-tantangan kerja tidak ada dan akibatnya kinerja karyawan juga rendah. Semakin tinggi
stres karena tuntutan kerja yang bertambah maka akan mengakibatkan kinerja karyawan juga
bertambah, tetapi jika stres sudah maksimal tantangan-tangan kerja jangan ditambah karena tidak
lagi akan dapat meningkatkan kinerja, tetapi malah akan menurunkan kinerja. Jadi stres kerja
tidak dapat dihilangkan sama sekali tetapi harus ditekan serendah mungkin, karena stres dalam
tingkat tertentu bisa menjadi motivator yang sangat penting dan berpengaruh. Dari titik pandang
organisasi, manajemen perusahaan mungkin tidak peduli bila karyawan mengalami tingkat stres
yang rendah sampai sedang. Alasannya adalah bahwa tingkat semacam itu dapat bersifat
fungsional yang mendorong ke kinerja karyawan yang lebih tinggi. Tetapi tingkat stres yang
tinggi atau bahkan tingkat stres rendah tetapi berkepanjangan dapat membuat karyawan tertekan,
tidak termotivasi dan frustasi, sehingga pada gilirannya akan menyebabkan karyawan tidak dapat
bekerja optimal dan prestasi kerjapun terpengaruh. Dalam jangka waktu lebih lama, jika
karyawan tidak mampu menahan stres pekerjaan, ia tidak mampu lagi bekerja di perusahaan.
Pada tahap yang demikian parah, stres bisa membuat karyawan jatuh sakit sehingga tidak mampu
masuk kerja, atau bahkan karyawan secara aktif harus mengundurkan diri.
Manajemen sumber daya manusia mempunyai tiga fungsi yaitu fungsi manajerial, fungsi
operasional, dan berfungsi mencapai tujuan organisasi secara terpadu. Sedangkan tugas dari
manajemen sumber daya manusia adalah pengadaan staff, pengembangan SDM nya, mengurus
kompensasi, mengurus keselamatan dan kesehatan kerja, mengurus hubungan pekrja dan
hubungan industrial. Tujuan utama manajemen sumber daya manusia adalah untuk
meningkatkan kontribusi sumberdaya manusia (karyawan)terhadap organisasi. Hal ini dapat
dipahami bahwa semua kegiatan organisasi dalam mencapai tujuannya tergantung pada manusia-
manusia yang mengeloal organisasi tersebut. Oleh karena itu karyawan harus dikelola dengan
baik sehingga dapat membantu organisasi dalam mencapai tujuan organisasi yang telah
ditentukan. Untuk mencapai tujuan dari manajemen sumber daya manusia dilakukan oleh
manajer SDM, manajer lini dan outsourching.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Budaya organisasi merupakan sistem penyebaran kepercayaan dan nilai-nilai yang
berkembang dalam suatu organisasi dan mengarahkan perilaku anggota-anggotanya. Budaya
organisasi dapat menjadi instrumen keunggulan kompetitif yang utama, yaitu bila budaya
organisasi mendukung strategi organisasi, dan bila budaya organisasi dapat menjawab atau
mengatasi tantangan lingkungan dengan cepat (Soedjono, 2005). Dalam kehidupan sehari-hari
seseorang tidak akan terlepas dari lingkungannya. Kepribadian seseorang akan dibentuk pula
oleh lingkungannya dan agar kepribadian tersebut mengarah kepada sikap dan perilaku yang
positif tentunya harus didukung oleh suatu norma yang diakui tentang kebenarannya dan dipatuhi
sebagai pedoman dalam bertindak.
Stres dalam bekerja merupakan suatu gambaran keadaan nyata yang telah mengalami
berbagai tekanan dalam melaksanakan pekerjaannya. Beberapa konsekuensi dari stres yang juga
dapat digunakan sebagain indikator untuk mengukur tingkat stres dalam organisasi yaitu stres
fisiologis, stres psikologis, dan stres perilaku. Apabila karyawan tidak memiliki stres maka
tantangan-tantangan kerja tidak ada dan akibatnya kinerja karyawan juga rendah. Semakin tinggi
stres karena tuntutan kerja yang bertambah maka akan mengakibatkan kinerja karyawan juga
bertambah, tetapi jika stres sudah maksimal tantangan-tangan kerja jangan ditambah karena tidak
lagi akan dapat meningkatkan kinerja, tetapi malah akan menurunkan kinerja. Jadi stres kerja
tidak dapat dihilangkan sama sekali tetapi harus ditekan serendah mungkin, karena stres dalam
tingkat tertentu bisa menjadi motivator yang sangat penting dan berpengaruh. Dari titik pandang
organisasi, manajemen perusahaan mungkin tidak peduli bila karyawan mengalami tingkat stres
yang rendah sampai sedang.
DAFTAR PUSTAKA
A Noe, Raymond. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia Mencapai Keunggulan Bersaing. Jakarta:
Salemba Empat
Schuler, Randals, dan E. Susan. Jackson. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia Menghadapi Abad
Ke-2. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Wibowo, P. Dr., SE, M. Phil. 2012. Manajemen Kinerja. Jakarta: Rajawali Pers