Anda di halaman 1dari 4

Terorisme Dan Hak Asasi Manusia

Melawan Terorisme dalam negara hukum dengan mengedepankan hak asasi manusia

Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 menyatakan negara


Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas dan
tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai dan sejahtera serta ikut aktif
dalam memelihara perdamaian dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah wajib
memelihara, menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari setiap
ancaman atau tindakan destruktif baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi Negara Indonesia adalah
negara hukum. Negara yang mengaku sebagai negara hukum diharuskan untuk menjalani segala
sisi kehidupan negara dengan proses penegakan hukum yang baik maka nilai keadilan serta
kebenaran akan terwujud dan juga harus senantiasa melindungi seluruh warga negaranya.

Perang melawan terorisme merupakan tantangan besar bagi negara Indonesia. Terorisme
belakangan ini menjadi fenomena modern dan telah menjadi fokus perhatian berbagai kalangan
organisasi internasional serta negara lain dan termasuk negara Indonesia. Secara terminologis
terorisme adalah pengggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam rangka mencapai
tujuan politik, sedangkan pelakunya disebut teroris adalah orang yang menggunakan kekerasan
untuk menimbulkan rasa takut, biasanya dilakukan untuk mencapai tujuan politik.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak


Pidana Terorisme pada Bab III Pasal 6, bahwa tindak pidana terorisme adalah setiap orang yang
sengaja menggunakan kekerasan menimbulkan susasana teror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan
atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas
publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati; atau penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Jaringan teroris di Indonesia ternyata lebih besar dan lebih berpengalaman dari yang
selama ini dipikirkan oleh banyak pihak. Perekrutan anggota baru dalam jaringan teroris ternyata
dilakukan sangat mudah. Jaringannya pun terus berkembang dan semakin meluas ditanah air.
Meningkatkan kewaspadaan secara fisik semata tidak cukup untuk menghadapi organisasi
terorisme karena secara organisatoris kelompok tersebut sudah memiliki perencanaan dan
persiapan yang sangat diperhitungkan baik dari segi operasional, personil, dukungan
insfrastruktur dan pendanaan.

Data kasus aksi terorisme di Indonesia dari tahun 2000 hingga 2016 ada 260 kasus
teroris, selain menimbulkan korban jiwa, serangan teroris juga menimbulkan kerugian materi,
ekonomi dan sosial terutama hubungan antar umat beragama. Terorisme mempunyai tujuan
untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian
orang, kelompok atau bangsa.

Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan keadaan tidak


menentu, panik dan menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan
pemerintah. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, namun perbuatan tersebut justru
dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja tanpa memikirkan apakah orang yang menjadi
korban teror itu baik atau tidak.

Mengatasi dan pemberantasan terorisme memerlukan kecermatan pengamatan atas kultur


dan kondisi masyarakat yang dilandaskan masyarakat Indonesia yang memiliki keberagaman
yang mendiami ribuan pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara dan juga berbatasan
dengan negara lain. Dengan demikian, negara wajib melakukan upaya efektif dalam menjawab
permasalahan terorisme dan negara juga melaksanakan kewajibannya dalam memfasilitasi
terciptanya kondisi dimana menikmati keadilan dan keamanan.

Indonesia membentuk Detasemen Khusus (Densus) 88 dari Kepolisian Republik


Indonesia dan dalam hal yang lebih luas dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Teroris
(BNPT) di koordinasikan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan bertanggung
jawab kepada Presiden. Pedoman dalam melaksanakan tugas dan wewenang sudah terlihat dalam
berbagai aturan yang ada yaitu KUHAP, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Peraturan Presiden Nomor 46 tahun 2010 tentang
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme dan Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang
Implementasi Prinsip dan Standar HAM Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Republik
Indonesia.

Indonesia sebagai negara hukum berkewajiban menghormati, menjunjung tinggi dan


melindungi Hak Asasi Manusia (HAM) yang dijamin oleh konstitusi dengan semua perangkat
negara yang dimiliki. Namun dalam prakteknya seringkali upaya penegakan hukum justru
disertai dengan pelanggaran HAM. Kinerja kepolisian terutama Densus 88 patut diberi apresiasi
positif karena mampu mengungkap sebagian besar peristiwa aksi terorisme yang terjadi,di
Indonesia walaupun banyak kendala dalam penerapannya.

Dugaan pelanggaran dalam menjalankan tugasnya menjadi permasalahan kompleks,


dilandaskan berhadapan dengan teroris yang memang membutuhkan kewenangan lebih karena
teroris dilengkapi dengan senjata, bom dan kemampuan militer sehingga dapat membahayakan
masyarakat. Aksi memberantas teorisme ini rentan melakukan tindakan pelanggaran hak asasi
manusia, oleh karena itu perlu pengawasan dan evaluasi yang ketat agar tidak mengabaikan hak
asasi manusia. Upaya penegakan hukum pemberantasan terorisme berpotensi terjadinya
pelanggaran hak asasi manusia, mengingat penggunaan senjata api akan diutamakan pada saat
terjadi baku tembak dan saat melakukan interogasi guna mendapatkan informasi mengenai
terorisme dilakukan dengan tindakan kekerasan.

Apa yang tengah menjadi masalah mengenai terorisme adalah lebih dari perlindungan
hak asasi manusia dan pada dasarnya penting merupakan masalah prinsip. Tetapi, selama ini
Indonesia masih menggunakan pendeketan kekerasan dalam menanggapi terorisme misalnya
dengan penyergapan, pembunuhan, pengejaran dan penangkapan serta memperlakukan
penyiksaan yang sangat jauh dari manusiawi dilakukan oleh aparat keamanan.

Beberapa dugaaan dalam gerakan kontra terorisme yang sering mengabaikan nilai-nilai
hak asasi manusia. Berbeda dengan penangkapan para koruptor, padahal teroris dan koruptor
merupakan dua penjahat kelas kakap yang tidak hanya menjadi musuh negara, tetapi menjadi
musuh seluruh rakyat Indonesia bahkan dunia. Bagaimanapun dampak rusaknya negara akibat
teroris tidak sebesar yang dilakukan oleh para koruptor, rakyat lebih merasakan penderitaan
akibat dampak korupsi daripada teroris, dampak korupsi lebih dahsyat disbanding teror.
Para koruptor masih bisa tersenyum, ketawa bebas dan melambaikan tangan didepan
kamera walaupun perbuatan yang dilakukannya merugikan negara, sesungguhnya mereka adalah
penjahat dan maling uang rakyat. Tetapi para koruptor selalu kelihatan rapi dan dibentengi
dengan puluhan pengacara. Jika kita mengamati kinerja Polisi ketika menangkap teroris,
sungguh berbeda dengan diperlakukan kepada koruptor. Para tersangka teroris ditangkap dengan
pengawalan sangat ketat, tangan diborgol dan muka ditutup dengan penutup kepala, hal ini
sangat kontras dengan perlakuan terhadap para koruptor, seharusnya diperlakukan dengan hal
yang serupa namun kenyataannya tidak pernah dilakukan, dimana letak keadilannya.

Meningkatkan efektivitas pengawasan penerapan hak asasi manusia di lingkungan tugas


Polri, melakukan kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait, akademisi dan lembaga
swadaya masyarakat, dalam hal terjadi tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan oleh para anggota Densus 88 pada saat melaksanakan tugas.

Perlu diingat kebijakan pemerintah dalam menyusun undang-undang terorisme bukan


dilandaskan tekanan dari negara maju tetapi didasarkan pada paradigma, yakni melindungi
bangsa dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, melindungi hak korban dan saksi-
saksi serta melindungi hak asasi pelaku terorisme.

Anda mungkin juga menyukai