1
Ruth Blakeley, State Terrorism and Neoliberalism: The North in the South. Routledge, 2009, hlm. 30.
2
Ibid., hlm. 31.
1
keberlangsungan hidupnya, negara juga harus melindungi kombatan musuh yang mereka tahan
dari perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
State terrorism menekankan pada pentingnya target audience dalam memperoleh tujuan
yang diinginkan.3 Kehadiran target audience ini mempermudah untuk menentukan suatu
tindakan kekerasan merupakan terorisme atau hanya kegiatan kriminal biasa saja. Selanjutnya,
Blakeley juga memaparkan mengenai fungsi terorisme bagi suatu negara yaitu untuk: menjaga
ketertiban dan memadamkan oposisi politik, mengejar tujuan kebijakan luar negeri tertentu, serta
menjadi alat bagi entitas lain dalam memperoleh kepentingannya.4 Di sisi lain, terdapat kesulitan
dalam menentukan suatu tindakan dapat disebut sebagai state terrorism atau sebaliknya. Hal ini
dikarenakan oleh tidak diketahuinya waktu yang jelas mengenai kapan perwakilan negara
bertindak atas nama negara, banyaknya motif yang melatarbelakangi adanya terorisme yang
dilakukan oleh negara, dan anggapan bahwa state terrorism adalah hasil dari konsekuensi yang
tidak diinginkan.
State terrorism terbagi ke dalam dua bentuk, yaitu limited state terrorism dan whole state
terrorism.5 Limited state terrorism melibatkan operasi skala kecil yang ditujukan pada target
yang lebih spesifik. Sedangkan, whole state terrorism merujuk pada penggunaan yang luas untuk
menanamkan rasa takut sebagai sarana pemerintahan atau perang.
Religious Terrorists
Peristiwa 9/11 telah menimbulkan peningkatan upaya melawan terorisme dari sebagian besar
dunia, khususnya AS. Tidak dapat dipungkiri bahwa pasca kejadian 11 September tersebut,
tingkat kematian dari aksi terorisme bertambah hingga 45%.6 Hal ini disebabkan tidak hanya
oleh Al Qaeda yang merupakan pelopor kejadian 9/11 tetapi juga ancaman dari teroris yang lebih
lokal diantaranya Hizbullah, Hamas, Taliban, dan milisi Muqtada al-Sadr.7 Keempat organisasi
keagamaan yang bersifat radikal ini merupakan ancaman bagi pemerintah negara mereka yang
terus mengejutkan pasukan militer dengan ketahanan serta aksi bunuh diri mereka. Motivasi dari
tindakan terorisme berupa bunuh diri oleh organisasi keagamaan yang radikal pada kenyataanya
3
Ibid., hlm. 34.
4
Ibid., hlm. 35
5
Ibid. , hlm. 45.
6
Eli Berman. “Radical, Religious, and Violent: The New Economics of Terrorism.” The MIT Press (2009) hlm. 1.
7
Ibid., hlm. 2.
2
bukan disebabkan oleh teologi, ideologi, rasa marah, maupun psikis aktor teroris. Ariel Merari
melalui penelitiannya menyimpulkan bahwa alasan utama terjadinya aksi bunuh diri oleh teroris
adalah altruisme, yaitu kepercayaan bahwa tindakan radikal akan membawa manfaat besar untuk
keluarga, komunitas, atau negara teroris.8
Meskipun menimbulkan banyak korban, faktanya jumlah organisasi teroris hanya sedikit
yang masih aktif di seluruh dunia, padahal jumlah orang yang dapat bergabung pada organisasi
tersebut serta kemajuan teknologi untuk merakit senjata cukup tinggi. Berman melihat bahwa
keberhasilan dari organisasi radikal tersebut disebabkan oleh kerentanan organisasi terhadap
pembelotan yaitu pembocoran informasi mengenai aksi penyerangan oleh anggota organisasi
tersebut kepada pihak lawan.9 Oleh sebab itu, agar kegiatan terorisme dari organisasi tersebut
berjalan dengan efektif dan rentan maka dilaksanakan mutual aid. Setiap pengikut diwajibkan
memberikan kontribusi pada komunitas dengan meningkatkan penyediaan layanan sosial sebagai
tanda bahwa anggota tidak akan berkhianat kedepannya.
Kekerasan atas dasar agama sebenarnya berkaitan erat dengan politik. Dewasa ini,
golongan radikal agama yang melakukan aktivitas kejahatan terorisme sejatinya berakar dari
perkembangan radikal sejak zaman dulu. Sekitar abad ke-16, kelompok radikal yang kemudian
disebut sebagai ‘anabaptist’ menyebar di Jerman, Swiss, Austria.10 Biasanya golongan tersebut
menekankan pada community of goods, communal property, hingga mutual aid. Hal ini biasanya
didorong oleh kredibilitas pemimpin agama yang dinilai baik yang mampu meyakinkan pengikut
untuk meyakini agama atau keyakinan yang dianut. Kemunculan denominasi radikal berkaitan
dengan perkembangan ekonomi pada abad ke-16.
Constructive Counterterrorism
Penanganan terorisme pada kasus penanganan pembunuhan Perdana Menteri Jordan oleh the
Black September serta tahanan Irlandia Utara menggunakan sistem incentive-based
menghasilkan perubahan perilaku para pelaku menjadi lebih kooperatif. Hal ini merupakan
perubahan strategi sebagai respon terorisme yang umumnya menekankan perlawanan secara
8
Ibid.,hlm. 11.
9
Ibid., h lm. 14.
10
Ibid. , hlm 215.
3
militer, menjadi fokus terhadap penyuluhan serta taktik pemanfaatan kondisi non-militer guna
meningkatkan potensi informasi guna penumpasan lebih jauh serta penguatan penduduk.11
Terorisme menyebar berdasarkan enam faktor. Pertama, kelompok tersebut memberikan
kesempatan individu untuk berkembang dengan pendidikan atau bekerja. Kedua, merekrut
anggota dari lembaga sosial masyarakat. Ketiga, menggunakan lembaga sosial sebagai leverage
dalam hal jaringan terhadap pemerintah dan NGOs. Keempat, menggunakan jaringan tersebut
sebagai jalur aktivitas penyedia layanan baik legal seperti kesehatan dan pendidikan, serta
layanan illegal seperti perdagangan narkoba dan manusia. Kelima, kelompok tersebut
memonopoli representasi politik dari pemerintah dan lingkungan politik dengan menggunakan
kekerasan guna intimidasi serta eliminasi organisasi lainnya. Keenam, dengan menjauhkan
anggota terhadap budaya dan norma yang ada.12
Berman memfokuskan beberapa pendekatan konstruktif untuk mencegah penyebaran
terorisme dan meningkatkan defection. Mempererat keamanan terhadap transaksi dan
penyelundupan ilegal sebagai sumber dana terorisme, serta meningkatkan pentingnya civil
society sebagai landasan berekspresi masyarakat sipil guna representasinya terhadap negara.13
Pendekatan konstruktif mempunyai dua keuntungan utama. Pertama dengan tidak adanya
landasan ideologis sehingga dapat didukung oleh masyarakat lokal, pemerintah, serta NGOs.
Kedua dengan menunjukkan kekuatan demokrasi barat yang mengusung kekuatan pemerintah
dan pertumbuhan ekonomi.14
Praktik counterterrorism t idak hanya terjadi pada wilayah Barat, negara Timur seperti
Indonesia dan Malaysia juga mempunyai landasan historis mengenai bagaimana terorisme
berkembang serta penanganan yang dilakukan terhadap terorisme tersebut. Respon yang timbul
dari negara Asia Tenggara tersebut ialah menerapkan undang-undang anti-terorisme, tindakan
preventif umum seperti membuat badan khusus untuk mengatasi aksi terorisme, serta
memperkuat keamanan pada sarana publik. Aksi solutif menurut Tan yaitu dengan adanya soft
approach dalam mencegah terorisme, yaitu melakukan rehabilitasi serta pengaturan sudut
11
Ibid., h lm. 183-185.
12
Ibid., hlm. 185.
13
Ibid.,. 187-196.
14
Ibid., hlm. 208.
4
pandang para penganut agama.15 Tan berpendapat, dengan soft approach, cikal bakal terorisme
yaitu landasan ideologis kuat mengenai faham yang ada dalam para individu yang telah
mengakar dapat diubah menjadi hal yang bersifat kenegaraan dan keagamaan. Hal ini diperlukan
adanya kolaborasi antara masyarakat setempat dan pencegahan pemerintah sebagai pemenang
pikiran, hati, serta penolak terorisme.
Efektivitas Terorisme
Dalam paparan Abrahams, kelompok-kelompok teroris memiliki dua jenis tujuan, yaitu tujuan
proses dan tujuan hasil.16 Tujuan proses dimaksudkan untuk mempertahankan kelompok dengan
mendapatkan dukungan keuangan, menarik perhatian media, menghambat proses perdamaian
yang mengancam organisasi, atau meningkatkan keanggotaan dan moral sering dengan
memprovokasi reaksi berlebihan pemerintah. Sebaliknya, tujuan hasil akhir para teroris adalah
tujuan politik mereka, seperti realisasi tanah air Kurdi, pemindahan pangkalan asing dari Yunani,
atau pendirian Islamisme di India.
Abrahms menguji apakah kampanye teroris adalah taktik yang efektif untuk mencapai
tujuan hasil, tidak hanya apakah kelompok yang menggunakan terorisme cenderung
mencapainya. Terorisme adalah taktik pemaksaan yang efektif bahkan jika para praktisi tidak
berhasil dalam mendorong kepatuhan pemerintah. Dalam coercion literature, kesuksesan diukur
dengan sejauh mana pemerintah menyesuaikan perilakunya agar sesuai dengan preferensi yang
diberikan oleh para teroris. Dalam kampanye teroris, tingkat paksaan yang rendah bukan sekadar
artefak kelemahan pelaku, sifat tuntutan mereka, atau kekuatan oposisi pemerintah. Sebaliknya,
bukti menunjukkan bahwa pemerintah menolak kepatuhan ketika warga sipil mereka menjadi
fokus serangan substrat.
Kesimpulan
Setelah pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa terdapat beberapa jenis terorisme, yang di
antaranya state terrorism, religious terrorism, d an constructive counterterrorism. Setiap dari
jenis tersebut memiliki alasan, tujuan, serta cara masing-masing. Di sisi lain praktik terorisme
sendiri masih diperdebatkan efektivitasnya. Meskipun kampanye teroris adalah taktik yang
15
Ibid., hlm. 222
16
ax Abrahams, “The Political Effectiveness of Terrorism Revisited”, Comparative Political Studies 45, No. 3 (2012), hlm.
M
367
5
efektif untuk mencapai tujuan proses, namun analisis-analisis pada literatur sebelumnya
memberikan bukti empiris terkuat bahwa kampanye teroris adalah taktik yang tidak efektif untuk
mencapai tujuan hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Abrahams, Max. “The Political Effectiveness of Terrorism Revisited” Comparative Political
Studies 45, No. 3 (2012).
Andrew T. H. Tan, “Counter-Terrorism: Lessons from the Malay Archipelago,” Defence Studies
11, no. 2 (2011).
Berman, Eli. “Radical, Religious, and Violent: The New Economics of Terrorism”. The MIT
Press (2009).
Blakeley, Ruth. State Terrorism and Neoliberalism: The North in the South. Routledge (2009).