Anda di halaman 1dari 16

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror

terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada
tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang
acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Pengertian terorisme[sunting | sunting sumber]


Artikel atau bagian artikel ini tidak memiliki referensi atau sumber
tepercaya sehingga isinya tidak bisa dipastikan. Bantu perbaiki
artikel ini dengan menambahkan referensi yang layak. Artikel ini akan
dihapus pada bagian bila tidak tersedia referensi ke sumber
tepercaya dalam bentuk catatan kaki atau pranala luar.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak
tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan
bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang
dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya
("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan "teroris" dan "terorisme", para teroris
umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan
lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya
dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal
tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan
agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme
negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika
Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang
awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap
berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat
melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.

Terorisme di dunia[sunting | sunting sumber]


Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya
peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September
2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan
melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik
perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat
komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin
Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban
utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu
mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh,
terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal
yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan
1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para
penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman
Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center
merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun, gedung yang mereka serang tak lain
merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana
terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi,
sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tetapi juga dunia[1]. Amerika Serikat
menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di
dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh
internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme
Internasional[2]. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang
merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia[3], yaitu menewaskan 184
orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika,
mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang
pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001, diikuti tindakan-
tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme
di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill[4].

Definisi Terorisme[sunting | sunting sumber]


Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian
yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act,
1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use
of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear[5].” Kegiatan
Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan
demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror
digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya.
Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu
serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa
masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror[6]. Terorisme tidak
ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan di mana saja dan
terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror
adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih
sebagai psy-war.
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah
untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga
sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian
Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[7], hal mana didasarkan atas siapa
yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan
terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah
dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan
dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), di
mana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European
Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme
mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula
dikategorikan sebagai Crimes against State(termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan
Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, di mana yang menjadi
korban adalah masyarakat sipil[8]. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of
Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik
yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih
diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali[9].
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan
strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini
semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk
kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian
dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind)[10]. Menurut Muladi,
Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se[11] , tergolong
kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan
karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong
sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan
karena diatur demikian oleh Undang-Undang[12].
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya
kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat
internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan
kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap
perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme[13].
Pemberantasan Terorisme di Indonesia[sunting | sunting
sumber]
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta
dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali,
merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu
dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas
utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang
mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan
yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara
khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme[14], Pemerintah
Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan
nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini
memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat
tercipta karena[15]:

1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena


pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat.
Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan
pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam
suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan
perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-
undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus
untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus di mana apabila dipergunakan proses yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam
pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara
materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) ''(lex specialis derogat lex generalis)''. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis,
harus memenuhi kriteria[16]:

1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh


peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut,
sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan
bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana
dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti[17]:

1. Melalui sistem evolusi berupa amendemen terhadap pasal-pasal KUHP.


2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan
hukum acaranya.
3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan
terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap
keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas
semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan
terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan
kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula
susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang
utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
tersebut tidak mengatur lain[18].
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga
hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap
memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk
hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP)[19].
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15
tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-
kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-
Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan
asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya,
terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan
penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut
mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus
dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat
dengan Hak Asasi Manusia[20]. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus,
maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang
sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum
masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan
penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan
terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti
Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini
belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan
pendapat di antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam
pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, pasal 26 berbunyi[21]:

1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan


setiap Laporan Intelijen.
2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua
Pengadilan Negeri.
3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup
dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti
Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan
dilaksanakan Penyidikan.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu
sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan,
termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut
pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh
Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme
pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar
hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan
suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun.
Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti
perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat
diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan
adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan
Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana
sebenarnya hakikat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan.
Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas
kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang
yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut
sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan
dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas
yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu
dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan
pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan terormelalui suatu pengaturan khusus yang
bersifat darurat, di mana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang
terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah
memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap
perbuatan teror[22].
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan
Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights,
yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun[23]. Undang-
Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-
wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru
dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi
terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat[24]. Hal seperti inilah yang harus
dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia,
sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia.
Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang
mengatur soal Terorisme, tetapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi
Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan
sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak
memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan[25].

https://id.wikipedia.org/wiki/Terorisme
Definisi terorisme
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas]

Teror atau Terorisme selalu identik dengan kekerasan. Terorisme adalah puncak aksi


kekerasan, terrorism is the apex of violence. Bisa saja kekerasan terjadi tanpa teror,
tetapi tidak ada teror tanpa kekerasan. Terorisme tidak sama dengan intimidasi atau
sabotase. Sasaran intimidasi dan sabotase umumnya langsung, sedangkan terorisme
tidak. Korban tindakan Terorisme seringkali adalah orang yang tidak bersalah. Kaum
teroris bermaksud ingin menciptakan sensasi agar masyarakat luas memperhatikan
apa yang mereka perjuangkan. Tindakan teror tidaklah sama dengan vandalisme, yang
motifnya merusak benda-benda fisik. Teror berbeda pula dengan mafia. Tindakan
mafia menekankan omerta, tutup mulut, sebagai sumpah. Omerta merupakan bentuk
ekstrem loyalitas dan solidaritas kelompok dalam menghadapi pihak lain, terutama
penguasa. Berbeda dengan Yakuza atau mafia Cosa Nostra yang menekankan kode
omerta, kaum teroris modern justru seringkali mengeluarkan pernyataan dan tuntutan.
Mereka ingin menarik perhatian masyarakat luas dan memanfaatkan media massa
untuk menyuarakan pesan perjuangannya.
Namun, belakangan, kaum teroris semakin membutuhkan dana besar dalam kegiatan
globalnya, sehingga mereka tidak suka mengklaim tindakannya, agar dapat melakukan
upaya mengumpulkan dana bagi kegiatannya[1].
Mengenai pengertian yang baku dan definitive dari apa yang disebut dengan Tindak
Pidana Terorisme itu, sampai saat ini belum ada keseragaman. Menurut Prof. M.
Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk
mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal
sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Oleh karena
itu menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang
subjektif[2]. Tidak mudahnya merumuskan definisi Terorisme, tampak dari usaha
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan membentuk Ad Hoc Committee on
Terrorism tahun 1972 yang bersidang selama tujuh tahun tanpa menghasilkan
rumusan definisi[3]. Pengertian paling otentik adalah pengertian yang diambil secara
etimologis dari kamus dan ensiklopedia. Dari pengertian etimologis itu dapat
diintepretasikan pengembangannya yang biasanya tidak jauh dari pengertian dasar
tersebut[4].
Menurut Black’s Law Dictionary,
Terorisme adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan
efek bahaya bagi kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana (Amerika atau
negara bagian Amerika), yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi penduduk
sipil. b. memengaruhi kebijakan pemerintah. c. memengaruhi penyelenggaraan negara
dengan cara penculikan atau pembunuhan .
Muladi memberi catatan atas definisi ini, bahwa hakikat perbuatan Terorisme
mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang berkarakter politik.
Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan.
Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang
diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik,
tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah
serta kepuasan tuntutan politik lain[5].
Menurut Webster’s New World College Dictionary (1996), definisi Terorisme adalah
“the use of force or threats to demoralize, intimidate, and subjugate[6].” Doktrin
membedakan Terorisme kedalam dua macam definisi, yaitu definisi tindakan teroris
(terrorism act) dan pelaku terorisme (terrorism actor). Disepakati oleh kebanyakan ahli
bahwa tindakan yang tergolong kedalam tindakan Terorisme adalah tindakan-tindakan
yang memiliki elemen[7]:

1. kekerasan
2. tujuan politik
3. teror/intended audience.
Definisi akademis tentang Terorisme tidak dapat diselaraskan menjadi definisi yuridis.
Bahkan Amerika Serikat yang memiliki banyak act yang menyebut kata terrorism atau
terrorist didalamnya, sampai saat ini pun masih belum dapat memberikan standar
definisi tentang Terorisme, baik secara akademis maupun yuridis. Sejauh ini,
Terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional
bila memenuhi kriteria yang disebutkan dalam 12 konvensi multilateral yang
berhubungan dengan Terorisme yaitu[8]:

1. Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft


(“Tokyo Convention”, 1963).
2. Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (“Hague
Convention”, 1970).
3. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil
Aviation (“Montreal Convention”, 1971).
4. Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against
Internationally Protecred Persons, 1973.
5. International Convention Against the Taking og Hostages (“Hostages
Convention”, 1979).
6. Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (“Nuclear Materials
Convention”, 1980).
7. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving
International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the
Suppression of Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988.
8. Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of
Maritime Navigation, 1988.
9. Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed
Platforms Located on the Continental Shelf, 1988.
10. Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection,
1991.
11. International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997,
United Nations General Assembly Resolution).
12. International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism,
1999.
Definisi yang dikemukakan oleh beberapa lembaga maupun penulis, antara lain:[9]
Menurut Brian Jenkins[10], Terrorism is the use or threatened use of force designed to
bring about political change.
Menurut Walter Laqueur[10], Terrorism consitutes the illegitimate use of force to
achieve a political objective when innocent people are targeted.
Menurut James M. Poland[10]. Terrorism is the premeditated, deliberate, systematic
murder, mayhem and threatening of the innocent to create fear and intimidation, in
order to gain a political or tactical advantage, usually to influence audience.
Menurut Vice President’s Task Force, 1986[10]. Terrorism is the unlawful use or
threat of violence against persons or property to further political or social objectives. It
is usually intended to intimidate or coerce a government, individuals or groups, or to
modify their behavior or politics.
Menurut US Central Intelligence Agency (CIA)[11]. Terorisme Internasional adalah
Terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan
atau diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintahan asing .
Menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI)[12]. Terorisme adalah penggunaan
kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi
sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-
tujuan sosial atau politik .
Menurut The U.S. by the Code of Federal Regulations[13], Terorisme adalah: "..the
unlawful use of force and violence against persons or property to intimidate or coerce a
government, the civilian population, or any segment thereof, in furtherance of political
or social objectives." (28 C.F.R. Section 0.85) .
Academic Consensus Definition (1988)[14] “Terrorism is an anxiety-inspiring method
of repeated violent action, employed by (semi-) clandestine individual, group, or state
actors, for idiosyncratic, criminal or political reasons, whereby—in contrast to
assassination—the direct targets of attacks are not the main targets. The immediate
human victims of violence are generally chosen randomly (targets of opportunity) or
selectively (representative or symbolic targets) from a target population, and serve as
message generators. Threat—and violence—based communication processes
between terrorist (organization), (imperiled) victims, and main targets are used to
manipulate the main target (audience(s)), turning it into a target of terror, a target of
demands, or a target of attention, depending on whether intimidation, coercion, or
propaganda is primarily sought” (Schmid) . Tiga unsur definisi di atas, yaitu motif
politik, rencana atau niat dan penggunaan kekerasan.
Menurut US Departements of State and Defense [12]. Terorisme adalah kekerasan
yang bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional
terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk
memengaruhi audien. Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan
warga negara atau wilayah lebih dari satu negara .
Menurut States of the South Asian Association for Regional Cooperation
(SAARC) Regional Convention on Suppression of Terrorism[15]. Terorisme meliputi:

1. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak


Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Hague, 16
Desember 1970.
2. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak
Sah atas Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Montreal, 23
September 1970.
3. Kejahatan dalam lingkup “Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman
atas Tindak Pidana Terhadap Orang-Orang yang secara Internasional
Dilindungi, termasuk Agen-Agen Diplomatik”, ditandatangai di New York, 14
Desember 1973.
4. Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun dimana negara-negara anggota
SAARC adalah pihak-pihak yang mengharuskan anggotanya untuk menuntut
atau melakukan ekstradisi.
5. Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan, penculikan,
kejahatan yang berhubungan dengan senjata api, senjata, bahan peledak dan
bahan-bahan lain yang jika digunakan untuk melakukan kejahatan dapat
berakibat kematian atau luka yang serius atau kerusakan berat pada harta
milik.
Menurut The Arab Convention on the Suppression of Terrorism , senada dengan
Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International
Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan apapun motif
dan tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau
kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai
mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan atau bertujuan
untuk menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau
menguasai dan merampasnya atau bertujuan untuk mengancam sumber daya
nasional. Disebut juga bahwa tindak pidana terorisme adalah tindakan kejahatan
dalam rangka mencapai tujuan teroris di negara-negara yang menjalin kontak atau
melawan warga negara, harta milik atau kepentingannya yang diancam hukuman
dengan hukuman domestik. Tindak kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi-
konvensi sebagai berikut, kecuali yang belum diratifikasi oleh negara-negara yang
menjalin kontak atau dimana kejahatan-kejahatan tersebut dikecualikan oleh
perundang-undangan mereka.
Juga dianggap sebagai tindak kejahatan teroris, adalah tindakan yang melanggar
antara lain ke 12 konvensi multilateral yang telah disebutkan di atas.
Menurut Treaty on Cooperation among the States Members of the
Commonwealth of Independent States in Combating Terrorism, 1999. Terorisme
adalah tindakan illegal yang diancam dengan hukuman dibawah hukum pidana yang
dilakukan dengan tujuan merusak keselamatan publik, memengaruhi pengambilan
kebijakan oleh penguasa atau menteror penduduk dan mengambil bentuk:

1. Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang
dilindungi hukum.
2. Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan
objek materi lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain.
3. Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang
membahayakan bagi masyarakat.
4. Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan
mengakhiri aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap
aktivitas tersebut.
5. Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi internasional
yang dilindungi secara internasional begitu juga tempat-tempat bisnis atau
kendaraan orang-orang yang dilindungi secara internasional.
6. Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris dibawah perundang-
undangan nasional atau instrumen legal yang diakui secara internasional yang
bertujuan memerangi terorisme.
Menurut Konvensi ini, bahwa perjuangan dengan cara apapun juga untuk melawan
pendudukan dan agresi asing untuk kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri,
seduai dengan asas-asas hukum internasional, tidak merupakan Tindak Pidana
Terorisme .
Menurut Organisation of African Unity (OAU), 1999. Tindakan teroris merupakan
tindakan pelanggaran terhadap hukum pidana “negara anggota” dan bisa
membahayakan kehidupan, integritas fisik atau kebebasan atau menyebabkan luka
serius atau kematian bagi seseorang, sejumlah orang atau sekelompok orang, atau
menyebabkan atau dapat menyebabkan kerugian bagi harta, sumber alam atau
lingkungan atau warisan budaya seseorang atau publik dan diperhitungkan atau
dimaksudkan untuk:

1. mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menekan, atau memengaruhi


pemerintah, badan, institusi, publik secara umum atau lapisan masyarakat
untuk melakukan atau abstain dari melakukan sebuah tindakan atau untuk
mengadopsi atau meninggalkan pendirian tertentu atau untuk bertindak
menurut prinsip-prinsip tertentu, atau
2. mengganggu pelayanan publik, pemberian pelayanan esensial kepada publik
atau untuk menciptakan darurat publik, atau
3. menciptakan pemberontakan umum di sebuah negara.
4. promosi, sponsor, kontribusi, perintah, bantuan, gerakan, dorongan, usaha,
ancaman, konspirasi, pengorganisasian atau perekrutan seseorang dengan
niat untuk melakukan tindakan yang disebutkan pada paragraph 1) sampai 3).
Sebagaimana The Arab Convention on the Suppression of Terrorism 1998 dan
Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International
Terrorism, 1999, menurut Konvensi ini, perjuangan bersenjata melawan penduduk,
agresi, kolonialisme dan hegemoni asing dengan tujuan kemerdekaan dan
menentukan nasib sendiri sesuai dengan prinsip hukum internasional tidak dianggap
sebagai kejahatan Terorisme .
Menurut Terrorism Act 2000, UK. Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan
atau ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1. aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat


pada harta benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan
orang yang melakukan tindakan, menciptakan risiko serius bagi kesehatan
atau keselamatan publik atau bagian tertentu dari publik atau didesain secara
serius untuk campur tangan atau mengganggu sistem elektronik.
2. penggunaan atau ancaman didesain untuk memengaruhi pemerintah atau
untuk mengintimidasi publik atau bagian tertentu publik.
3. penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik,
agama atau ideologi.
4. penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi 1) yang melibatkan
penggunaan senjata api atau bahan peledak.
Menurut European Convention on the Suppression of Terrorism, 1977.

1. kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah


atas Pesawat Terbang, ditandatangani di Hague, Desember 1970.
2. kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Tindakan Tidak Sah
atas Keselamatan Penerbangan Sipil, ditandatangani di Montreal 23
September 1971.
3. kejahatan berat yang melibatkan serangan atas integritas fisik dan kehidupan
atau kebebasan orang-orang yang dilindungi secara internasional, termasuk
agen-agen diplomatic.
4. kejahatan yang melibatkan penculikan, penyanderaan atau penahanan berat
yang tidak sah.
5. kejahatan yang melibatkan penggunaan bom, granat, roket, senjata otomatis,
atau surat atau paket bom jika penggunaannya membahayakan orang lain.
6. usaha untuk melakukan kejahatan atau berpartisipasi sebagai kaki tangan
seseornag yang melakukan atau berusaha melakukan kejahatan tersebut.
7. kejahatan serius yang melibatkan tindakan kekerasan, selain dari yang
tercakup dalam artikel 1) sampai 6) jika tindakan tersebut menimbulkan
bahaya kolektif bagi orang lain.
8. usaha untuk melakukan kejahatan yang tersebut sebelumnya atau
berpartisipasi sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan kejahatan
tersebut.
Menurut konvensi ini, percobaan melakukan Terorisme disamakan dengan delik
selesai dan pembantuan disamakan kualifikasinya dengan si pelaku .
Menurut Muhammad Mustofa[16]. Terorisme adalah tindakan kekerasan atau
ancaman kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan
langsung dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan,
ketidakpastian dan keputusasaan massal .
Menurut Charles Kegley dan Eugene Witkoff (The Global Agendas Issues and
Perspectives), mengemukakan sebanyak 109 definisi tentang terorisme, namun para
ahli setuju bahwa Terorisme adalah suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan
menggunakan ancaman kekerasan guna menimbulkan rasa takut dan korban
sebanyak-banyaknya secara tidak beraturan[17].
Menurut Conway Henderson (International Relations Cobflict and Cooperaion at
the turn of 21th Century), menyatakan bahwa[18]: Terorisme adalah suatu aksi
kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau jaringan,
dimaksudkan untuk menciptakan suasana atau keadaan berbahaya serta penuh
ketakutan dan bisa muncul tanpa motif apapun .
Menurut Konvensi PBB tahun 1937[19], Terorisme adalah segala bentuk tindak
kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud menciptakan
bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau masyarakat
luas .
Menurut US Department of Defense tahun 1990, Terorisme adalah perbuatan
melawan hukum atau tindakan yang mengan-dung ancaman dengan kekerasan atau
paksaan terhadap individu atau hak milik untuk memaksa atau mengintimidasi
pemerintah atau masyarakat dengan tujuan politik, agama atau ideologi .
Menurut Hukum Amerika Serikat, rumusan terorisme dalam United States Code,
Section 2656f(d): premeditated, politically motivated violence perpetuated against
noncombatant targets, usually intended to influence an audience.
Definisi ini memberi tekanan pada motivasi politik, namun mengenai sasaran
Terorisme, hanya memperhatikan sasaran sipil .
Menurut TNI - AD, berdasarkan Bujuknik tentang Anti Teror tahun 2000, terorisme
adalah cara berfikir dan bertindak yang menggunakan teror sebagai tehnik untuk
mencapai tujuan[20].
Menurut A.C Manullang[21]. Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan
dari kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan
etnis serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan
pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme .
Menurut The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, Pasal 14
ayat 1 sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and
includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the
public in fear.”
Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana tidak
menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan
pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati
kehendak pelaku teror. Kegiatan Terorisme dilakukan umumnya dengan sasaran acak,
bukan langsung kepada lawan, sehingga dengan dilakukan teror tersebut, diharapkan
akan didapatkan perhatian dari pihak yang dituju[22].
Menurut Laqueur (1999)[23], setelah mengkaji lebih dari seratus definisi Terorisme,
menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut yaitu
bahwa ciri utama dari Terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman
kekerasan. Sementara motivasi politis dalam Terorisme sangant bervariasi, karena
selain bermotif politis, Terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan
fanatisme agama .
Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme
adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang
dikategorikan ke dalam Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III
(Tindak Pidana Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan
Tindak Pidana Terorisme, jika:

1. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan


menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas
atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas
kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang
strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional
(Pasal 6)[24].
2. Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
bermaksud untuk menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang
secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang
lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek
vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional (Pasal 7)[25].
Dan seseorang juga dianggap melakukan Tindak Pidana Terorisme, berdasarkan
ketentuan pasal 8, 9, 10, 11 dan 12 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dari banyak definisi yang dikemukakan oleh
banyak pihak, yang menjadi ciri dari suatu Tindak Pidana Terorisme adalah:

1. Adanya rencana untuk melaksanakan tindakan tersebut.


2. Dilakukan oleh suatu kelompok tertentu.
3. Menggunakan kekerasan.
4. Mengambil korban dari masyarakat sipil, dengan maksud mengintimidasi
pemerintah.
5. Dilakukan untuk mencapai pemenuhan atas tujuan tertentu dari pelaku, yang
dapat berupa motif sosial, politik ataupun agama.

https://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme
Pengertian Terorisme
A. Pengertian Menurut Etimologi
Secara bahasa, kata “terorisme” berasal dari kata “to terror” dalam bahasa Inggris,
dalam bahasa Latin kata ini disebut Terrere, yang berarti “gemetar” atau
“menggetarkan”. Kata terrere adalah bentuk kata kerja (verb) dari kata terrorem yang
berarti rasa takut yang luar biasa.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan teror sebagai usaha untuk
menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan
tertentu (Depdikbud, 2013). Pengertian yang tidak jauh berbeda diungkap
dalam Webster’s New School and Office Dictionary, yaitu membuat ketakutan atau
kengerian dengan melakukan intimidasi atau ancaman untuk menakut-nakuti (Meriam
Webster, 1996).
Telah banyak usaha yang dilakukan oleh para ahli untuk menjelaskan perbedaan
antara teror dan terorisme, sebagian berpendapat bahwa “teror” merupakan bentuk
pemikiran, sedangkan “terorisme” adalah aksi atau tindakan teror yang terorganisir
sedemikian rupa. Dari sekian banyak pendapat tentang perbedaan dari keduanya,
kebanyakan bersepakat bahwa teror bisa terjadi tanpa adanya terorisme, karena teror
adalah unsur asli yang melekat pada terorisme.

B. Pengertian menurut terminologi


Definisi terorisme, baik menurut para ahli maupun berdasarkan peraturan Undang-
Undang memiliki kesamaan, yakni bahwa teror adalah perbuatan yang menimbulkan
ketakutan atau kengerian pada masyarakat. Dengan kata lain, seluruh definisi tentang
teror selalu mengandung unsur ketakutan atau kengerian.

Dalam The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) Act, 1984, pasal 14 ayat 1 


dijelaskan bahwa terorisme adalah: “Terrorism means the use of violence for political
ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section
of the public in fear (terorisme adalah penggunaan kekerasan untuk tujuan-tujuan
politis, termasuk menggunakan kekerasan untuk membuat masyarakat atau anggota
masyarakat ketakutan) (The Prevention of Terrorism, 1984).
Berikut adalah beberapa definisi terorisme menurut para ahli, hukum internasional, dan
ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.

1. Definisi terorisme menurut para ahli


Dari sekian banyak ahli yang menyumbangkan pemikirannya tentang pengertian
terorisme, berikut adalah beberapa di antaranya yang paling populer dan banyak
digunakan sebagai rujukan.
 a. Walter Laqueur (Laqueur, 1977): terorisme adalah penggunaan kekuatan
secara tidak sah untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Target terorisme adalah
masyarakat sipil yang tidak bersalah/berdosa. Unsur utama terorisme adalah
penggunaan kekerasan
 James H. Wolfe menjelaskan beberapa karakteristik yang bisa dikategorikan
sebagai terorisme, yaitu (Wolfe, 1987):
 Tindakan terorisme tidak selamanya harus bermotif politis
 Sasaran terorisme dapat berupa sipil (masyarakat, fasilitas umum) maupun
non-sipil (pejabat dan petugas negara, fasilitas negara)
 Aksi terorisme ditujukan untuk mengintimidasi dan mempengaruhi kebijakan
pemerintahan
 Aksi terorisme dilakukan melalui tindakan-tindakan yang tidak menghormati
hukum dan etika internasional
 C. Manullang: Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari
kelompok lain, dipicu oleh banyak hal, seperti; pertentangan (pemahaman) agama,
ideologi dan etnis, kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi
masyarakat dengan pemerintah, atau karena adanya paham separatisme dan
ideologi fanatisme.
2. Definisi Terorisme menurut Hukum Internasional
Dari sekian banyak definisi tentang terorisme yang tercantum dalam hukum
internasional, kesemuanya mengerucut pada penggunaan kekerasan dalam mencapai
tujuan utamanya. Berikut adalah definisi tentang terorisme yang terangkum dalam
hukum internasional:

 Departement of justice pada Federal Bureu of Investigasion (FBI) Amerika


Serikat menyatakan bahwa sesuai dengan The Code of Federal Regulation,
terorisme diartikan sebagai penggunaan kekuatan atau kekerasan secara tidak sah
terhadap perseorangan atau harta kekayaan untuk mengintimidasi atau memaksa
sebuah pemerintahan, masyarakat sipil, atau elemen-elemen lain untuk mencapai
tujuan politik maupun sosial (FBI, 2015)
 Menurut Terorism Act 2000 (Inggris), terorisme berarti penggunaan ancaman
untuk menimbulkan ketakutan dengan ciri-ciri sebagai berikut (Terorism Act, 2000):
 Penggunaan kekerasan terhadap seseorang (atau kelompok) dan menimbulkan
kerugian baik berupa harta maupun nyawa. Didesain khusus untuk menciptakan
gangguan serius pada sistem elektronik.
 Target atau tujuan terorisme dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah
atau organisasi internasional, publik atau bagian tertentu dari publik.
 Terorisme dibuat dengan alasan politis, agama, rasial, atau ideologi.
 Organisasi Konferensi Islam (OKI) berpendapat bahwa terorisme mencakup
segala tindakan kekerasan atau intimidasi –terlepas dari maksud dan tujuan
pelakunya—dengan tujuan untuk menjalankan rencana kriminal (makar) secara
personal atau kelompok dengan cara menciptakan rasa takut, mengancam,
merugikan atau membahayakan kehidupan, kehormatan, kebebasan, keamanan dan
hak-hak masyarakat, atau ancaman perusakan lingkungan dan hak milik, baik umum
maupun pribadi.
3. Definisi Terorisme Menurut Hukum yang Berlaku di Indonesia
Menurut ketentuan hukum Indonesia, aksi terorisme dikenal dengan istilah Tindak
Pidana Terorisme (Asshiddiqie, 2003). Indonesia memasukkan terorisme sebagai
tindak pidana, sehingga cara penanggulangannya pun menggunakan hukum pidana
sebagaimana tertuang dalam peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang
(PERPU) Republik Indonesia Nomor 1 tahun 2002 yang kemudian diperkuat menjadi
Undang-Undang (UU) Nomor 15 tahun 15 tahun 2003. Judul Perpu atau Undang-
Undang tersebut adalah Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Pasal 1 ayat 1 Perpu No. 1 Tahun 2002 menyatakan bahwa tindak pidana terorisme
adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur pidana sesuai dengan ketentuan
Perpu. Perbuatan tersebut termasuk yang sudah dilakukan ataupun yang akan
dilakukan. Dua hal ini termaktub dalam pasal 6 dan pasal 7 (Perpu, 2002)

Terkait dengan unsur-unsur tindak pidana terorisme, ada perbedaan antara pasal 6
dan 7. Pasal 6 menyatakan;

Pelaku tindak pidana terorisme adalah setiap orang yang dengan sengaja
menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror
atau rasa takut terhadap orang secara meluas, atau menimbulkan korban yang bersifat
massal. dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda
orang lain. mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital
yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

Dari pasal 6 di atas, dapat disarikan bahwa suatau aksi atau tindakan dapat
digolongkan sebagai tindak pidana terorisme bila mengandung unsur berikut;

1. Dilakukan dengan sengaja


2. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
3. Menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara luas
4. Menimbulkan korban massal, baik dengan cara marampas kemerdekaan atau
dengan menghilangkan nyawa atau harta benda orang lain
5. Mengakibatkan kerusakan pada obyek-obyek vital
Sementara pasal 7 menyebutkan:

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau tindakan ancaman
kekerasan yang dimaksudkan untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut
terhaddap orang secara luas atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran
terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik,
atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.
Pasal 7 di atas menyebutkan bajwa suatu aksi atau tindakan dpaat digolongkan
sebagai tindak pidana terorisme bila mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Dilakukan dengan sengaja


2. Menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan
3. Dimaksudkan untuk menimbulkan korban massal
4. mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang
strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

https://damailahindonesiaku.com/terorisme/penegertian-terorisme

http://digilib.unila.ac.id/583/7/BAB%20II.pdf

Anda mungkin juga menyukai