Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MAKALAH TENTANG TERORISME

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


HUKUM PIDANA KHUSUS

Oleh:
MUHAMMAD ANDY
NIM 20.10.0001

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDY ILMU HUKUM
UNIVERSITAS IBA PALEMBANG
2023

1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-
Nya sehingga Makalah Terorisme ini dapat bisa diselesaikan dengan baik. Tidak lupa shalawat
dan salam semoga terlimpahkan kepada bagindah Rasulullah Muhammad SAW,serta
keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.

Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan yang
berjudul Makalah Terorisme ini. Dan kami juga menyadari pentingnya akan sumber bacaan dan
referensi internet yang telah membantu dalam memberikan informasi yang akan menjadi bahan
makalah. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
arahan serta bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-
baiknya. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah Terorisme ini
sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi penyempurnaan
makalah ini.

2
DAFTAR ISI

COVER …………………………………………………………………………….……..1

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….2

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………...3

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………………..4

A. Latar Belakang ………………………………………………………………………..5

B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………….....5

C. Tujuan ………………………………………………………………………………...6

D. Manfaat ……………………………………………………………………………….6

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………………………………...7

A. Sejarah Terorisme …………………………………………………………………….7

B. Definisi Terorisme ……………………………………………………………………9

C.Penyebab Terjadinya Terorisme ……………………………………………………...10

1. Tidak Adanya Keadilan ………………………………………………………………10

2. Teror Memang Diciptakan …………………………………………………………....11

3. Kekeliruan dalam Memahami Makna Perang dan Damai ……………………………11

D. Metode dan Tujuan Terorisme……………………………………………………..…11

E. Perang Melawan Terorisme…………………………………………………………...14

F. Strategi Penanggulangan Terorisme Di Indonesia…………………………………….15

1. Penerapan Strategi Militer……………………………………………………………..16

2. Strategi Politik ………………………………………………………………………...17

3. Strategi Budaya ……………………………………………………………………….17

3
BAB III PENUTUP …………………………………………………………………….18

A. Kesimpulan ……………………………………………………………………….....18

B. Saran ………………………………………………………………………………....18

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………..19

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan


perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak
tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban
jiwa yang acak serta sering kali merupakan warga sipil. Istilah teroris oleh para ahli kontra
terorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata
yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga
mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan
tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya (“teroris”) layak mendapatkan
pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan “teroris” dan “terorisme”,
para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, militan,
mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terorisme: “makna sebenarnya dari
jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak
terlibat dalam perang”. Padahal terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

B. Rumusan Masalah

1.Bagaimana sejarah terorisme?

2.Apa definisi terorisme?

3.Apa saja penyebab terjadinya terorisme?

4.Bagaimana metode dan tujuan terorisme?

5.Bagaimana upaya perang melawan terorisme?

6.Bagaimana strategi penanggulangan terorisme di Indonesia?

C. Tujuan

5
1.Agar mengetahui sejarah terorisme.

2.Agar mengetahui definisi terorisme.

3.Agar mengetahui penyebab terjadinya terorisme.

4.Agar mengetahui metode dan tujuan terorisme.

5.Agar mengetahui upaya perang melawan terorisme.

6.Agar mengetahui strategi penanggulangan terorisme di Indonesia.

6
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Terorisme

Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk
kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu.
Perkembangannya bermula dalam bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah
menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok
terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat
dikatakan sebagai bentuk murni dari terorisme dengan mengacu pada sejarah terorisme modern.
Meski istilah teror dan terorisme baru mulai populer abad ke-18, namun fenomena yang
ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982),
manifestasi terorisme sistematis muncul sebelum revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak
paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan akademi Perancis tahun 1798,
terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.

Kata terorisme berasal dari bahasa Perancis le terreur yang semula dipergunakan untuk
menyebut tindakan pemerintah hasil revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara
brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti
pemerintah. Selanjutnya kata terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti
pemerintah di Rusia. Dengan demikian kata terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut
tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah. Terorisme muncul
pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia I, terjadi hampir di seluruh belahan
dunia. Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia,
dan Amerika. Mereka percaya bahwa terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan
revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh. Sejarah
mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir
dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I.

Pada dekade tersebut, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri
yang berbasiskan ideologi. Bentuk pertama terorisme, terjadi sebelum Perang Dunia II, terorisme

7
dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme
dimulai di Aljazair pada tahun 50-an, dilakukan oleh FLN yang memopulerkan “serangan yang
bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa
yang disebut sebagai terorisme negara oleh Algerian Nationalist. Pembunuhan dilakukan dengan
tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk ketiga terorisme muncul pada tahun 60-an dan
terkenal dengan istilah “terorisme media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan
publisitas. Bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu:

Kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-


gerakan demokrasi serta HAM. Pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis
agama, radikalisme setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.Kemajuan
teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.Namun terorisme bentuk ini
dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu sebagian besar buta huruf dan apatis.
Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai dampak yang sangat kecil. Akan lebih efektif
menerapkan “the philosophy of the bomb” yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan.

Pasca Perang Dunia II, dunia tidak pernah mengenal “damai”. Berbagai pergolakan
berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas
menjadi konflik timur-barat dan menyeret beberapa negara dunia ketiga ke dalamnya
menyebabkan timbulnya konflik utara-selatan. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial,
konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian
banyak negara dunia ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa
frustrasi dari banyak negara berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap
fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya terorisme. Fenomena terorisme
meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an. Terorisme dan teror telah berkembang dalam
sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan
juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya. Terorisme gaya baru
mengandung beberapa karakteristik:

Ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.Keinginan untuk mendapatkan liputan


di media massa secara internasional secepat mungkin.Tidak pernah ada yang membuat klaim
terhadap terorisme yang sudah dilakukan.Serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena
sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.

8
B. Definisi Terorisme

Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan terorisme, satu di antaranya adalah


pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary
Provisions) Act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends
and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in
fear.” Kegiatan terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga
dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan
teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan
kehendaknya.

Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak
menentu serta menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan
memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk menaati kehendak pelaku teror. Terorisme
tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan di mana saja
dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror
adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih
sebagai psy-war. Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang
dimaksud dengan terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli hukum pidana internasional,
bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara
universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna terorisme tersebut. Sedangkan
menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., terorisme merupakan pandangan yang subjektif, hal mana
didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu. Belum tercapainya
kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan
lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas terorisme tersebut telah dilakukan sejak
menjelang pertengahan abad ke-20.

Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for
The Prevention and Suppression of Terrorism), di mana konvensi ini mengartikan terorisme
sebagai crimes against state. Melalui European Convention on The Suppression of Terrorism
(ECST) tahun 1977 di Eropa, makna terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan
paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai crimes against state

9
(termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan kepala negara atau anggota keluarganya),
menjadi crimes against humanity, di mana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Crimes
against humanity masuk kategori gross violation of human rights (pelanggaran HAM berat) yang
dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak
bersalah (public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali.

Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku,
tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode terorisme
kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk
kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian
dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind). Menurut Muladi,
tindak pidana terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se, tergolong
kejahatan terhadap hati nurani (crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan
karena diatur atau dilarang oleh undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong
sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong
kejahatan karena diatur demikian oleh undang-undang.Dalam rangka mencegah dan memerangi
terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai
bentuk terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara
telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara
sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme.

C. Penyebab Terjadinya Terorisme

1. Tidak Adanya Keadilan

Keadilan merupakan hal yang teramat sulit kita deskripsikan. Hal ini memang karena
bentuknya yang abstrak. Kebanyakan orang-orang yang kehidupannya karena tidak mendapatkan
keadilan yang seharusnya ia dapatkan. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab
terjadinya terorisme. Para pelaku teror menganggap banyak keadilan yang ia tidak dapatkan
sehingga ketika orang-orang yang tidak bertanggung jawab ingin mencuci otaknya (brain wash)
dengan amat mudahnya ia terpengaruhi. Dengan alih-alih akan dijanjikan keadilan yang akan ia
dapatkan sehingga para pelaku terorisme tidak berpikir panjang untuk melakukannya. Oleh karena

10
itu, marilah kita menciptakan keadilan tersebut. Setidaknya dimulai dari tempat kita berinteraksi.
Keadilan yang sesungguhnya adalah jika sesuai pada tempatnya.

2. Teror Memang Diciptakan

Poin kedua ini adalah fakta yang belakangan memang terbukti. Ternyata di kehidupan kita sehari-
hari memang ada teror-teror yang sengaja kita ciptakan. Misalnya saja dengan menakut-nakuti
teman kita. “awas ada bom?” hal ini marak ketika bom-bom yang lalu-lalu meledak. Sebenarnya
bukan malah menyugesti diri kita untuk takut kepada teror bom yang terjadi namun lebih kepada
mewaspadai setiap aktivitas yang kita lakukan dengan penuh kehati-hatian.

3. Kekeliruan dalam Memahami Makna Perang dan Damai

Belakangan ini memang banyak orang-orang yang salah menafsirkan makna peperangan dan
kedamaian. Peperangan zaman nabi dan rasul dahulu memang diperbolehkan. Namun saat ini idak
terdapat lagi perang seperti itu. Kedamaian yang saat ini ada belumlah optimal karena suatu saat
pasti teror-teror tersebut akan muncul. Oleh sebab itu janganlah cepat mengambil keputusan
sehingga dapat dibedakan mana perang dan mana damai.

D. Metode dan Tujuan Terorisme

Terorisme sesungguhnya bukanlah fenomena baru karena terorisme telah ada sejak abad
ke-19 dalam percaturan politik internasional. Terorisme pada awalnya bersifat kecil dan lokal
dengan sasaran terpilih dan berada dalam kerangka konflik berintensitas rendah yang pada
umumnya berkaitan erat dengan stabilitas politik suatu negara. Namun dewasa ini terorisme telah
berdimensi luas yang berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat dan kejahatan yang
bersifat lintas negara (transnasional crime) dan tidak lagi dikategorikan sebagai konflik
berintensitas rendah akan tetapi sudah termasuk kejahatan global dan menimbulkan dampak yang
sangat luas. Bentuk perkembangan dari terorisme itu sendiri kini terorisme tidak hanya menjadikan
kehidupan politik sebagai sasarannya seperti pada awal kemunculannya, tetapi kini mulai
merambah, merusak dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia yaitu menurunnya
kegiatan ekonomi dan terusiknya rasa kemanusiaan serta budaya masyarakat yang dinilai berbeda
dan bertentangan dengan ideologi, kepercayaan, dan haluan dari kelompok teroris.

11
Terorisme apalagi yang menggunakan bahan peledak merupakan kejahatan luar biasa
(extraordinary crime) dan kejahatan terhadap peradaban yang menjadi ancaman serius bagi
segenap bangsa serta musuh dari semua agama di seluruh belahan dunia ini. Terorisme dalam
perkembangannya membangun organisasi dan mempunyai jaringan global di mana kelompok-
kelompok terorisme yang beroperasi di berbagai negara telah terorganisir oleh suatu jaringan
terorisme internasional serta mempunyai hubungan dan mekanisme kerja sama satu dengan yang
lain. Tujuan teroris adalah guncangan terhadap pemerintah dan pemerintahan yang dianggaplawan
karena berseberangan dengan cita-cita dan haluan kelompok troris melalui bentuk-bentuk kegiatan
yang mengancam keamanan dan ketertiban yang akan berpengaruh terhadap stabilitas nasional
suatu bangsa di mana stabilitas nasional merupakan salah satu faktor utama/kunci stabilitas
ekonomi guna meningkatkan kualitas hidup suatu bangsa dan negara, sehingga bagi pelaku
terorisme adalah lumrah untuk selalu menggunakan segala upaya dalam mewujudkan
“perjuangan” yang diyakini oleh kelompoknya bahwa apa yang diperjuangkan adalah benar.

Sebagai contoh aktivitas teroris yang berkembang dan menggunakan Indonesia sebagai
basis gerakkan adalah pada peristiwa serangan bom di Bali, timbul pertanyaan mengapa Bali selalu
menjadi sasaran serangan teroris? Dari beberapa dokumen yang berhasil ditemukan atas
penyelidikan pihak kepolisian diperoleh gambaran bahwa mereka memilih Bali karena serangan
mereka di Bali adalah serangan yang berdampak global. Bali terkenal di seluruh dunia malah lebih
dikenal dari Indonesia sehingga serangan di Bali akan mendapat liputan media internasional,
dengan demikian dunia akan mendapat pesan bahwa serangan tersebut ditujukan kepada Amerika
dan sekutu-sekutunya sehingga dampak psikologis bagi dunia internasional lebih mudah tercapai.
Bahwa serangan yang dilakukan teroris di Bali lebih memungkinkan dilakukan untuk
menimbulkan korban yang bersifat masal dari tempat lain di Indonesia, karena mereka
menganggap para wisatawan asing yang berkunjung ke Bali adalah musuh mereka dan sering
berkumpul di restoran-restoran, tempat-tempat diskotek.

Secara garis besar dapat dijelaskan tempat-tempat yang berpotensi menjadi serangan
teroris khususnya di Indonesia sebagai contoh, adalah sasaran yang terdapat banyak aktivitas
warganegara asing dan mudah untuk dimasuki/diterobos serta pengamanannya tidak terlalu
ketat/longgar, seperti: tempat-tempat wisata, tempat-tempat makan/minum (Mc Donald, Pizza

12
Hut, KFC, restoran yang biasa dipenuhi orang asing, kafe makanan ringan dan minuman karena
orang lokal jarang ke sana dan mudah diterobos), tempat-tempat hiburan/olahraga (tempat
pementasan tarian, lapangan golf, diskotek, kebun binatang), tempat-tempat perbelanjaan, tempat-
tempat turun/naik kendaraan wisatawan, bandara, pelabuhan. Globalisasi yang dipacu oleh
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di bidang transportasi, komunikasi, dan
informasi merupakan suatu proses interaksi dan interelasi yang intensif antar negara-negara dan
masyarakatnya dalam berbagai kegiatan kehidupan, sehingga dunia seolah-olah menjadi tanpa
batas (transborder crimes) dan terasa lebih kecil serta lebih transparan, mengakibatkan kejadian di
suatu negara dengan cepat dapat diketahui oleh negara-negara lain.

Perkembangan lingkungan strategis di era globalisasi tersebut telah memberikan


pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan masyarakat dan membentuk nilai-nilai universal
yang kemudian menjadi tolok ukur penting peradaban bangsa-bangsa di dunia termasuk Indonesia,
yaitu demokratisasi, hak asasi manusia (HAM), lingkungan hidup, dan pasar global. Demikian
pula halnya pembangunan nasional dalam berbagai bidang yang dilaksanakan oleh pemerintah
Indonesia selama ini telah menunjukkan kemajuan yang cukup pesat dengan berbagai hasil
pembangunan yang telah dirasakan oleh bangsa Indonesia, yang mana semuanya tidak lepas dari
dampak positif perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketika peradaban umat manusia
semakin meningkat selanjutnya adalah ditemukan bahwa kejahatan sebagai bayang-bayang
darisebuah peradaban “crime is the shadow of civilaization” oleh Chairuddin Ismail ditegaskan
sebagai suatu fenomena yang menjelaskan perkembangan dari suatu kejahatan yang senantiasa
berkembang baik dari kualitas dan kuantitas, bentuk perkembangan kejahatan selanjutnya yang
memanfaatkan kecanggihan teknologi, kemudahan dan berkomunikasi menyebabkan seolah olah
batas fisik suatu negara menjadi pupus/borderless crime

Kejahatan yang dilakukan antar lintas negara memiliki keunikan tersendiri, di mana
adanya perbedaan sistem hukum dan pemerintahan, termasuk sikap dan persepsi negara dalam
menanggapi suatu fenomena kejahatan memberikan peluang semakin berkembang dan kuatnya
kejahatan lintas negara terjadi. Beberapa pendapat yang menyebutkan tentang kejahatan lintas
negara sebagai suatu kejahatan transnasional/transnational crime, adalah merupakan jawaban logis
atas tumpang tindih pemahaman terhadap suatu kejahatan sebagai kejahatan internasional ataukah
merupakan bentuk kejahatan transnasional.

13
Dalam ASEAN Declaration On Transnational Crime, tanggal 20 Desember 1997 dalam Meeting
ASEAN Minister of Interior In Manila, terorisme dimasukkan sebagai bentuk kejahatan
transnasional bersama dengan kegiatan perdagangan narkoba secara ilegal, pencucian uang hasil
kejahatan, perdagangan manusia, penyelundupan senjata api, dan perompakan di laut. Rumusan
kejahatan dalam deklarasi ASEAN dimaksudkan untuk memberikan panduan kepada negara-
negara ASEAN untuk menyelaraskan pandangan dan tindakan dari pemikiran bahwa terdapat
perbedaan sumber dan struktur hukum termasuk budaya hukum di masing-masing negara, bahwa

kejahatan transnasional yang mengandung pengertian utama sebagai suatu kejahatan yang
dilakukan oleh orang per orang maupun terorganisasi dengan melalui lintas batas teritorial suatu
bangsa dalam kawasan regional maupun global. Hal mendasar yang perlu diingat tentang terorisme
sebagai bagian dari kejahatan yang dikategorikan sebagai transnational crime dengan kejahatan
lainnya adalah bahwa tujuan dan metode yang digunakan dalam kejahatan terorisme sangat
spesifik dibandingkan dengan kejahatan lain dalam rumusan kejahatan transnasional.

E. Perang Melawan Terorisme

Perang melawan terorisme adalah istilah yang digunakan oleh media barat untuk
mereferensikan berbagai tindakan militer dan politik yang dilakukan oleh pemerintahan Amerika
Serikat dan negara-negara sekutunya (baik anggota NATO maupun partner non-NATO seperti
Swedia) dalam kaitannya dengan Serangan 11 September di kota New York. Pemerintah Amerika
mengklaim bahwa tujuan perang melawan terorisme adalah untuk melawan ancaman terorisme,
mencegah terorisme dan mengurangi pengaruh organisasi seperti al-Qaeda. Walaupun belum ada
definisi yang jelas mengenai apa itu terorisme dan sejauh apa sebuah tindakan dapat dikatakan
terorisme. Istilah ini menjadi bias dan metanaratif karena definisi terorisme yang ambigu dan tak
punya garis tepi yang pasti. Banyak kalangan yang menilai istilah perang melawan terorisme dapat
digunakan oleh Amerika Serikat untuk masuk ke dalam ranah yang berada di luar kapasitasnya
dengan alasan peperangan melawan “terorisme”.

Jika didefinisikan luas, perang melawan terorisme juga melibatkan negara-negara yang tidak
erlibat langsung dalam misi ekspedisi Amerika Serikat dan atau negara sekutu-sekutunya seperti
di Irak (baik saat Perang Irak 2003 maupun perang melawan ISIS), Afghanistan, Afrika Sub-

14
Sahara, yang memilih fokus terhadap tindakan pemberantasan tindak terorisme dan radikalisme di
dalam negerinya, yang kebanyakan di antaranya didukung sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan
barat, terutama AS, Inggris, Perancis, serta Australia. Salah satunya Rusia dan negara-negara
anggota CIS (kecuali Ukraina dan Georgia yang mengirim kontingen ke Irak dan Afghanistan),
Indonesia, Malaysia, Kolombia, Nigeria (melawan Boko Haram), dan sebagainya.

F. Strategi Penanggulangan Terorisme Di Indonesia

Terorisme merupakan tindakan yang sangat mematikan dan tertutup, membawa banyak
korban jiwa, termasuk orang yang tidak bersalah. Terorisme adalah sebuah madhab atau aliran
kepercayaan melalui pemaksaan kehendak, guna menyuarakan pesannya. Melakukan tindakan
ilegal yang menjurus ke arah kekerasan, kebrutalan bahkan pembunuhan. Aksi tersebut dimulai
dengan sistem konvensional hingga modern. Adjie S., dalam bukunya Terorisme menyebutkan di
berbagai kasus, beberapa kelompok melakukan “undeclared warfare” kepada suatu negara secara
tersembunyi. Di mana kawasan yang memiliki pengalaman konflik secara luas seperti Lebanon,
Afghanistan, dan El Savador terbukti secara efektif menggunakan taktik teror, bahkan dilakukan
oleh dua kelompok yang saling berhadapan. Saat ini, teroris memiliki kemampuan yang luar biasa,
yaitu mampu membentuk kader yang dalam sekejap mempersiapkan diri atau kelompoknya
menjadi mesin pembunuh yang potensial, menghancurkan gedung, sekaligus membunuh,
menimbulkan rasa takut, dan tidak aman.

Di Indonesia aksi terorisme ini sangat berbahaya dan telah menyebar hingga pelosok
tanah air. Aksi terorisme terbaru terjadi pada 31 Desember 2013 yang lalu. Di hari tersebut, Densus
88 menggerebek sebuah rumah kontrakan di Gang H. Hasan, Jalan K.H. Dewantoto, RT/RW 04/07
di Kelurahan Sawah, Ciputat, Tangerang Selatan. Rumah tersebut disewa oleh kelompok teroris
Nurul Haq alias Dirman. Hasil pengembangan atas penggerebekan tersebut, pada 1 Januari 2014,
Densus 88 kembali melakukan penggerebekan di Rempoa, Jalan Delima Setu RT 8 RW 2 Rempoa,
Ciputat. Pada penggerebekan tersebut, 6 terduga terorisme tewas dalam baku tembak. Para
teroristersebut merupakan kelompok Abu Roban. Di lokasi tersebut, polisi juga menemukan enam
bom rakitan, satu di antaranya telah meledak. Kepala Biro Penerangan Masyarakat Humas Polri,
Brigjen Pol. Roy Rafli mengatakan ada kesamaan bentuk bom rakitan yang ditemukan dengan
bom pipa rakitan yang di temukan di sebuah warteg di kawasan Tangerang, saat perayaan Natal

15
2013 lalu. Namun demikian, belum dapat dipastikan apakah kedua bom tersebut berasal dari
pelaku yang sama.

Terkait hal tersebut, pengamat terorisme, Noor Huda Ismail mengatakan sejumlah
pelaku teror masih akan muncul, baik dari Mujahidin Indonesia Barat (MIB) maupun Mujahidin
Indonesia Timur (MIT). Hal senada juga diungkapkan oleh pengamat terorisme Al Chaidar yang
menghitung bahwa ada sekitar 200 orang berpotensi menjadi terorisme di tanah air yang masih
belum terungkap. Sedangkan menurut Ansyaad Mbai, Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme bahwa ada sekitar 100 orang yang berpotensi menjadi teroris. Fakta tentang tindak
terorisme dan pernyataan dari berbagai narasumber terhadap perkembangan terorisme di Indonesia
tersebut menjelaskan bahwa Indonesia masuk kategori rawan aksi terorisme. Kefanatikan yang
berlebihan terhadap suatu agama, doktrinisasi yang salah terhadap pesan-pesan yang ada di dalam
akidah agama serta rendahnya pendidikan menjadi faktor penting keterlibatan seseorang dalam
berbagai aksi terorisme. Untuk itu, pemerintah melalui pihak terkait perlu membuat kebijakan
strategis guna menanggulangi tindak terorisme tersebut. Tindakan tersebut dapat di lakukan
dengan berbagai cara, antara lain seperti:

1. Penerapan Strategi Militer

Di sektor militer dilakukan operasi bawah tanah, dengan tekanan yang bertujuan
menghancurkan kelompok teroris. Setiap orang yang merencanakan dan membantu operasi teroris
harus mengerti bahwa dia akan diburu dan dihukum. Operasi mereka akan diganggu, keuangan
akan dikeringkan, tempat persembunyian akan terus diserbu. Jika ini berhasil, tidak ada lagi yang
jadi masalah di sektor militer. Operasi akan lebih efektif apabila tim merupakan gabungan antara
Densus 88/Anti Teror dari kepolisian dan satuan-satuan Anti Teror TNI. Hambatan ketentuan UU
dan SOP sebaiknya diatasi dengan pemikiran jangka panjang, karena ancaman teror jelas
mengganggu pembangunan dan kredibilitas kondisi keamanan Indonesia dimata negara lain.
Semua yang ditata oleh pemerintah akan bisa runtuh dalam sekejap mata dengan sebuah serangan
teror. Inilah nilai terpenting yang harus kita sadari bersama.

2. Strategi Politik

16
Sistem politik harus ditata ulang dalam kaitannya dengan bahaya teror. Pelibatan elite
politik agar satu suara dalam penanganan masalah teroris sangat dibutuhkan, tidak seperti masa
lalu. Dalam hal Bom Bali-I, masih terjadi perbedaan pendapat di antara elite politik. Tokoh-tokoh
parpol Islam sangat penting dilibatkan dalam penanganan kasus, agar tidak terjadi tekanan politis
bagi pemberantasan teror, bukan ditujukan kepada umat Islam tetapi kepada kelompok radikal
teror. Hal yang dibutuhkan adalah sebuah konsensus nasional yang luas. Aliansi politik menjadi
masalah penting bagi keamanan nasional kita. Persaingan sudah berlalu dan selesai, kini waktunya
bersatu padu menyelamatkan negara.

3. Strategi Budaya

Pemerintah bersama tokoh-tokoh agama wajib membantu dan menyadarkan generasi muda
di tempat-tempat pendidikan agama. Dari beberapa kasus, mereka ini yang dibina dan dijadikan
kader. Beberapa anggota kelompok bersedia dan sadar untuk mati lebih disebabkan karena mampu
diyakinkan bahwa “surga” akan didapatnya, dan mereka sudah berada di jalan yang benar. Menjadi
tugas kita bersama untuk kembali menyadarkan pemuda-pemuda yang demikian bersemangat,
agar kembali memahami pengertian baik dan buruk, pengertian haram dan halal, serta pengertian
jihad dan mati syahid.Di sisi inilah pemuda itu banyak digelincirkan. Umumnya serangan teror
hanya ramai dibicarakan saat kejadian, dan biasanya setelah beberapa lama akan dilupakan. Perang
dengan terorisme adalah perang yang sangat serius. Kalau dahulu hanya alumnus Ngruki yang
dibina, kini nampaknya pengaderan sudah merambah ke organisasi lain. Yang lebih berbahaya,
beberapa yang dikader adalah mereka yang tidak berafiliasi ke organisasi manapun. Strategi
budaya harus terus dilakukan pemerintah, kita tidak rela rasanya apabila para pemuda Islam kita
yang bersemangat dimanfaatkan dan dilibatkan dalam perang mereka.

Melalui kebijakan strategis yang tepat guna dan tepat sasaran, kiranya tindak terorisme
di tanah air akan dengan mudah ditanggulangi. Masyarakat menaruh harapan penuh kepada
pemerintah untuk dapat memberikan rasa tenang, aman, dan nyaman dalam beraktivitas sehari-
hari. Tidak pernah merasa khawatir keselamatannya terancam oleh aksi terorisme. Di samping itu,
penanggulangan terorisme ini juga berkaitan erat dengan tingginya angka kepercayaan masyarakat
dunia terhadap Indonesia yang berimplikasi terhadap iklim investasi secara global. Semoga
Indonesia terbebas dari terorisme

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan


perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak
tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban
jiwa yang acak serta sering kali merupakan warga sipil.Sejarah tentang terorisme berkembang
sejak berabad lampau, ditandai dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman
yang bertujuan untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk
fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik yang dilakukan
secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa yang dianggap sebagai tiran.
Pembunuhan terhadap individu ini sudah dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari terorisme
dengan mengacu pada sejarah terorisme modern.

Bentuk perkembangan dari terorisme itu sendiri kini terorisme tidak hanya menjadikan
kehidupan politik sebagai sasarannya seperti pada awal kemunculannya, tetapi kini mulai
merambah, merusak dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan manusia yaitu menurunnya
kegiatan ekonomi dan terusiknya rasa kemanusiaan, serta budaya masyarakat yang dinilai berbeda
dan bertentangan dengan ideologi, kepercayaan, dan haluan dari kelompok teroris.

B. Saran

Sebaiknya pemerintah dan rakyat Indonesia tetap waspada, jangan mudah terprovokasi oleh
pemberitaan yang menyesatkan dan tidak bertanggungjawab. Terorisme harus diusut tuntas
sampai ke akarnya, sehingga menimalisir terjadinya hal yang lebih buruk lagi. Jangan langsung
mempercayai orang asing yang tiba-tiba berlagak sudah akrab.

18
DAFTAR PUSTAKA

Adji, Indriyanto Seno. 2001. Terorisme, “Perpu No. 1 tahun 2002 dalam Perspektif
Hukum Pidana” dalam Terorisme: Tragedi Umat Manusia. Jakarta: O.C. Kaligis
& Associates.

Kusumah, Mulyana W. 2002. Terorisme dalam Perspektif Politik dan Hukum, Jurnal
Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol. 2 No. III. Jakarta: Terbit Terang.

Muryati, Sri. 2003. Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana


Terorisme, UU No. 15 Tahun 2003. Jakarta: Konsiderans.

Adji, Indriyanto Seno. 2001. Bali, “Terorisme dan HAM” dalam Terorisme: Tragedi
Umat Manusia. Jakarta: O.C. Kaligis & Associates.

Muladi. 2002. Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam


Kriminalisasi, Jurnal Kriminologi Indonesia FISIP UI, Vol. 2 No. III. Jakarta:
Terbit Terang.

https://doc.lalacomputer.com/makalah-terorisme/,diakses
tanggal 3 Mei 2023,Pukul 11.00

19

Anda mungkin juga menyukai