Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PANCASILA

TERORISME

Disusun oleh

Dosen Penanggung Jawab:

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas taufik dan
Rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah Terorisme ini. Shalawat serta
salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini.

Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada


semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga
selesainya makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini
dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya kami dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Kami sadar bahwa kami tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan,
baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang dipaparkan.
Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh sebab itu,
kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat
membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Palu, 22 oktober 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang.........................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah....................................................................................2
I.3 Tujuan.......................................................................................................2
/
2.1 Sejarah Terorisme......................................................................................3
2.2 Penyebab Terjadinya Terorisme ...............................................................6
2.3 Strategi Penanggulangan Terorisme di Indonesia.....................................7
2.4 Contoh Kasus Terorisme di Indonesia......................................................9

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan...............................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan

membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan

perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu

pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta sering

kali merupakan warga sipil. Istilah teroris oleh para ahli kontra terorisme

dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan

bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata

tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris

yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh

karena itu para pelakunya (“teroris”) layak mendapatkan pembalasan yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan “teroris” dan

“terorisme”, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis,

pejuang pembebasan, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran

dimata terorisme: “makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari

tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam

perang”. Padahal terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan

agama.

1
1.2 Rumusan Masalah

2 Bagaimana sejarah terorisme?

3 Apa saja penyebab terjadinya terorisme?

4 Bagaimana strategi penanggulangan terorisme di Indonesia?

5 Contoh kasus terorisme di Indonesia.

1.3 Tujuan

Agar mengetahui sejarah terorisme. Agar mengetahui penyebab terjadinya

terorisme.Agar mengetahui tujuan terorisme.Agar mengetahui strategi

penanggulangan terorisme di Indonesia.

2
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Terorisme

Sejarah tentang terorisme berkembang sejak berabad lampau, ditandai

dengan bentuk kejahatan murni berupa pembunuhan dan ancaman yang bertujuan

untuk mencapai tujuan tertentu. Perkembangannya bermula dalam bentuk

fanatisme aliran kepercayaan yang kemudian berubah menjadi pembunuhan, baik

yang dilakukan secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap

penguasa yang dianggap sebagai tiran. Pembunuhan terhadap individu ini sudah

dapat dikatakan sebagai bentuk murni dari terorisme dengan mengacu pada

sejarah terorisme modern. Meski istilah teror dan terorisme baru mulai populer

abad ke-18, namun fenomena yang ditujukannya bukanlah baru. Menurut Grant

Wardlaw dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi terorisme sistematis

muncul sebelum revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad

ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan akademi Perancis tahun 1798,

terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.

Kata terorisme berasal dari bahasa Perancis le terreur yang semula

dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil revolusi Perancis yang

mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal

40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata

3
terorisme dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di

Rusia. Dengan demikian kata terorisme sejak awal dipergunakan untuk menyebut

tindakan kekerasan oleh pemerintah maupun kegiatan yang anti pemerintah.

Terorisme muncul pada akhir abad 19 dan menjelang terjadinya Perang Dunia I,

terjadi hampir di seluruh belahan dunia. Pada pertengahan abad ke-19, Terorisme

mulai banyak dilakukan di Eropa Barat, Rusia, dan Amerika. Mereka percaya

bahwa terorisme adalah cara yang paling efektif untuk melakukan revolusi politik

maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh. Sejarah

mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki,

yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada

Perang Dunia I.

Pada dekade tersebut, aksi terorisme diidentikkan sebagai bagian dari

gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi. Bentuk pertama terorisme, terjadi

sebelum Perang Dunia II, terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik

terhadap pejabat pemerintah. Bentuk kedua terorisme dimulai di Aljazair pada

tahun 50-an, dilakukan oleh FLN yang memopulerkan “serangan yang bersifat

acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk

melawan apa yang disebut sebagai terorisme negara oleh Algerian Nationalist.

Pembunuhan dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keadilan. Bentuk

ketiga terorisme muncul pada tahun 60-an dan terkenal dengan istilah “terorisme

media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas. Bentuk

ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu:

4
Kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan

tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta HAM. Pergeseran ideologis yang

mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalisme setelah era perang

Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota. Kemajuan teknologi, penemuan

senjata canggih dan peningkatan lalu lintas. Namun terorisme bentuk ini dianggap

kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu sebagian besar buta huruf dan

apatis. Seruan atau perjuangan melalui tulisan mempunyai dampak yang sangat

kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the bomb” yang bersifat

eksplosif dan sulit diabaikan.

Pasca Perang Dunia II, dunia tidak pernah mengenal “damai”. Berbagai

pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi

negara adikuasa yang meluas menjadi konflik timur-barat dan menyeret beberapa

negara dunia ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik utara-selatan.

Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik

campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara

dunia ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa

frustrasi dari banyak negara berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak

yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya

terorisme. Fenomena terorisme meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an.

Terorisme dan teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama,

perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah

sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya. Terorisme gaya baru

mengandung beberapa karakteristik:

5
Ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan. Keinginan untuk

mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin. Tidak

pernah ada yang membuat klaim terhadap terorisme yang sudah dilakukan.

Serangan terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan

luasnya seluruh permukaan bumi.

2.2 Peyebab Terjadinya Terorisme

1. Tidak Adanya Keadilan

Keadilan merupakan hal yang teramat sulit kita deskripsikan. Hal ini

memang karena bentuknya yang abstrak. Kebanyakan orang-orang yang

kehidupannya karena tidak mendapatkan keadilan yang seharusnya ia dapatkan.

Hal inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya terorisme. Para

pelaku teror menganggap banyak keadilan yang ia tidak dapatkan sehingga ketika

orang-orang yang tidak bertanggung jawab ingin mencuci otaknya (brain wash)

dengan amat mudahnya ia terpengaruhi. Dengan alih-alih akan dijanjikan keadilan

yang akan ia dapatkan sehingga para pelaku terorisme tidak berpikir panjang

untuk melakukannya. Oleh karena itu, marilah kita menciptakan keadilan tersebut.

Setidaknya dimulai dari tempat kita berinteraksi. Keadilan yang sesungguhnya

adalah jika sesuai pada tempatnya.

2. Teror Memang Diciptakan

Poin kedua ini adalah fakta yang belakangan memang terbukti. Ternyata di

kehidupan kita sehari-hari memang ada teror-teror yang sengaja kita ciptakan.

6
Misalnya saja dengan menakut-nakuti teman kita. “awas ada bom?” hal ini marak

ketika bom-bom yang lalu-lalu meledak. Sebenarnya bukan malah menyugesti diri

kita untuk takut kepada teror bom yang terjadi namun lebih kepada mewaspadai

setiap aktivitas yang kita lakukan dengan penuh kehati-hatian.

3. Kekeliruan dalam Memahami Makna Perang dan Damai

Belakangan ini memang banyak orang-orang yang salah menafsirkan makna

peperangan dan kedamaian. Peperangan zaman nabi dan rasul dahulu memang

diperbolehkan. Namun saat ini tidak terdapat lagi perang seperti itu. Kedamaian

yang saat ini ada belumlah optimal karena suatu saat pasti teror-teror tersebut

akan muncul. Oleh sebab itu janganlah cepat mengambil keputusan sehingga

dapat dibedakan mana perang dan mana damai.

2.3 Strategi Penanggulangan Terorisme di Indonesia

1. Penerapan Strategi Militer

Di sektor militer dilakukan operasi bawah tanah, dengan tekanan yang

bertujuan menghancurkan kelompok teroris. Setiap orang yang merencanakan dan

membantu operasi teroris harus mengerti bahwa dia akan diburu dan dihukum.

Operasi mereka akan diganggu, keuangan akan dikeringkan, tempat

persembunyian akan terus diserbu. Jika ini berhasil, tidak ada lagi yang jadi

masalah di sektor militer. Operasi akan lebih efektif apabila tim merupakan

gabungan antara Densus 88/Anti Teror dari kepolisian dan satuan-satuan Anti

Teror TNI. Hambatan ketentuan UU dan SOP sebaiknya diatasi dengan pemikiran

jangka panjang, karena ancaman teror jelas mengganggu pembangunan dan

7
kredibilitas kondisi keamanan Indonesia dimata negara lain. Semua yang ditata

oleh pemerintah akan bisa runtuh dalam sekejap mata dengan sebuah serangan

teror. Inilah nilai terpenting yang harus kita sadari bersama.

2. Strategi Politik

Sistem politik harus ditata ulang dalam kaitannya dengan bahaya teror.

Pelibatan elite politik agar satu suara dalam penanganan masalah teroris sangat

dibutuhkan, tidak seperti masa lalu. Dalam hal Bom Bali-I, masih terjadi

perbedaan pendapat di antara elite politik. Tokoh-tokoh parpol Islam sangat

penting dilibatkan dalam penanganan kasus, agar tidak terjadi tekanan politis bagi

pemberantasan teror, bukan ditujukan kepada umat Islam tetapi kepada kelompok

radikal teror. Hal yang dibutuhkan adalah sebuah konsensus nasional yang luas.

Aliansi politik menjadi masalah penting bagi keamanan nasional kita. Persaingan

sudah berlalu dan selesai, kini waktunya bersatu padu menyelamatkan negara.

3. Strategi Budaya

Pemerintah bersama tokoh-tokoh agama wajib membantu dan menyadarkan

generasi muda di tempat-tempat pendidikan agama. Dari beberapa kasus, mereka

ini yang dibina dan dijadikan kader. Beberapa anggota kelompok bersedia dan

sadar untuk mati lebih disebabkan karena mampu diyakinkan bahwa “surga” akan

didapatnya, dan mereka sudah berada di jalan yang benar. Menjadi tugas kita

bersama untuk kembali menyadarkan pemuda-pemuda yang demikian

bersemangat, agar kembali memahami pengertian baik dan buruk, pengertian

haram dan halal, serta pengertian jihad dan mati syahid.

8
Di sisi inilah pemuda itu banyak digelincirkan. Umumnya serangan teror hanya

ramai dibicarakan saat kejadian, dan biasanya setelah beberapa lama akan

dilupakan. Perang dengan terorisme adalah perang yang sangat serius. Kalau

dahulu hanya alumnus Ngruki yang dibina, kini nampaknya pengaderan sudah

merambah ke organisasi lain. Yang lebih berbahaya, beberapa yang dikader

adalah mereka yang tidak berafiliasi ke organisasi manapun. Strategi budaya harus

terus dilakukan pemerintah, kita tidak rela rasanya apabila para pemuda Islam kita

yang bersemangat dimanfaatkan dan dilibatkan dalam perang mereka.

Melalui kebijakan strategis yang tepat guna dan tepat sasaran, kiranya

tindak terorisme di tanah air akan dengan mudah ditanggulangi. Masyarakat

menaruh harapan penuh kepada pemerintah untuk dapat memberikan rasa tenang,

aman, dan nyaman dalam beraktivitas sehari-hari. Tidak pernah merasa khawatir

keselamatannya terancam oleh aksi terorisme. Di samping itu, penanggulangan

terorisme ini juga berkaitan erat dengan tingginya angka kepercayaan masyarakat

dunia terhadap Indonesia yang berimplikasi terhadap iklim investasi secara global.

Semoga Indonesia terbebas dari terorisme.

2.4 Contoh Kasus Terorisme di Indonesia

1. Bom Thamrin

Setidaknya terdapat enam ledakan dan baku tembak antara teroris dan polisi di

kawasan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016. Ledakan terjadi di

dua tempat, yaitu di halaman parkir Menara Cakrawala dan di pos polisi di depan

gedung tersebut.

9
Delapan orang dinyatakan tewas, yang terdiri empat pelaku dan empat warga sipil.

Sementara 24 lainnya luka-luka akibat serangan tersebut.

2. Bom Mapolresta Solo, Jawa Tengah

Tepatnya pada Selasa 5 Juli 2016, terjadi serangan bom bunuh diri di halaman

Mapolresta Solo, Jawa Tengah. Akibatnya seorang anggota polisi mengalami luka

ringan karena mencegah pelaku memaksa masuk. Ledakan itu terjadi hanya satu

hari sebelum Idul Fitri yang jatuh pada Rabu, 6 Juli 2016.

3. Bom Molotov di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat

Tepatnya pada 13 November sekira pukul 10:10 Wita, terjadi ledakan bom

molotov di di depan Gereja Oikumene, Jalan Cipto Mangunkusumo, Kota

Samarinda, Kalimantan Timur. Satu orang meninggal dan empat orang anak

mengalami luka bakar di sekujur tubuhnya akibat peristiwa itu. Beberapa jam

setelahnya, pada 14 November 2016, sebuah bom molotov meledak di Vihara

Budi Dharma, Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Beruntung tidak ada korban

jiwa maupun korban luka-luka dalam peristiwa yang terjadi sekira 02:30 WIB dini

hari karena saat kejadian tidak ada kegiatan di vihara tersebut.

4. Bom Terminal Bus Kampung Melayu

Setidaknya ada dua ledakan terjadi di sekitar Terminal Bus Kampung Melayu,

Jakarta Timur, pada Rabu malam, 24 Mei 2017. Ledakan pertama terjadi sebelum

pukul 21:00 WIB, sementara ledakan kedua tepat pukul 21:00 WIB, dengan jarak

sekitar 10 meter dari lokasi pertama. Bom Kampung Melayu.Ledakan bom di

Kampung Melayu. Antara Ledakan itu menewaskan setidaknya 5 orang dan 10

10
orang lainnya luka-luka. Korban tewas juga termasuk tiga anggota polisi yang

sedang menjaga pawai obor menyambut bulan Ramadan pada malam itu.

Sementara dua orang lainnya adalah pelaku bom bunuh diri.

5. Tragedi Mako Brimob

Pada Selasa malam 8 Mei 2018 terjadi kericuhan antara narapidana teroris

(napiter) dengan polisi di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.

Ada lima polisi dibunuh secara sadis oleh para nepiter, mereka yakni Bripda

Wahyu Catur Pamungkas, Bripda Syukron Fadhli Idensos, Ipda Rospuji, Bripka

Denny Setiadi dan Briptu Fandi. Kemudian, satu napi juga tewas dalam peristiwa

itu.Peristiwa itu juga disertai penyanderaan terhadap satu anggota polisi atas nama

Bripka Irwan Sarjana. Butuh waktu 36 jam polisi membebaskan sandera hingga

akhirnya para napi teroris yang berjumlah 155 menyerah tanpa syarat.

11
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tindak Pidana Terorisme jelas merupakan kejahatan terorisme sebagai “Extra

Ordinary Crime”. Tapi tidak berarti sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku bersifat

tidak bermartbat. Sanksi pada hakikatnya merupakan elemen yang penting dalam

penegakan hukum pidana sebagai salah satu sarana di dalam pencegahan dan

pemberantasan kejahatan. Saksi yang pada hakikat demikian harus

diimplemantasikan secara proporsional terhadap pelaku tindak pidana terorisme.

Namun kemudian masalah yang muncul adalah tindak pidana terorisme

berdasarkan perbuatan, dampak dan niat banyak yang merugikan masyarakat dan

membawa kepada hal-hal kerugian yang besar. Hal ini yang kemudian membawa

pada ranah kesalahpahaman pengimplementasian sanksi yang tepat terhadap

pelaku tindak pidana terorisme, dimana karena dampak yang ditimbulkan sangat

besar ditengah-tengah dan merugikan masyarakat, maka terkesan sewenang-

wenang yang dijatuhkan yaitu tidak lagi memandang martabat pelaku terorisme.

Namun demikian penulis juga sadar jika bermartabat yang dimaksud tidak

hanya kepada pelaku saja namun juga kepada korban dan masyarakat yang

dirugikan. Maka penulis menyimpulkan penerapan sanksi pidana terhadap pelaku

tindak pidana terorisme haruslah berbasis keadilan bermartabat yang bertujuan

untuk memanusiakan manusia. Sanksi yang proporsional dalam arti tidak sebesar-

besarnya atau sekecil-kecilnya, melainkan proporsional yang dimaksud adalah

12
seimbang tidak berat Penerapan sanksi yang adil dilihat dari perbuatan, dampak

dan niat pelaku tindak pidana teroris

13

Anda mungkin juga menyukai