Anda di halaman 1dari 19

PROPOSAL PENELITIAN

PELECEHAN SEKSUAL DILIHAT DARI UNDANG – UNDANG NOMOR 12


TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL

DI SUSUN OLEH:

NAMA : RATI AWALIAH

NIM : D 101 22 498

DOSEN PENANGGUNG JAWAB :

DRS. IPTDAN M.PA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas taufik dan
Rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian Pelecehan Seksual
(Stusi Kasus Universitas Tadulako) Dilihat Dari Undang – Undang Nomor 12 Tahun
2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Shalawat serta salam senantiasa kita
sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta
semua umatnya hingga kini.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada


semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga
selesainya proposal ini. Harapan penulis semoga proposal yang telah tersusun ini
dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya penulis dapat memperbaiki
bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Penulis sadar bahwa penulis tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan,
baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang dipaparkan.
Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki penulis. Oleh sebab itu,
penulis membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat
membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Palu, 12 Desember 2022

Penulis

1
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN SAMPUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang.........................................................................................1
I.2 Rumusan Masalah....................................................................................3
I.3 Tujuan Penelitian......................................................................................3
I.4 Manfaat Penelitian....................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu.................................................................................4
2.2 Pengertian Pelecehan Seksual .................................................................5
2.3 Faktor Pendorong Tindak Pelecehan Seksual..........................................6
2.4 Dampak Tindak Pelecehan Seksual.........................................................6
2.5 Perlindungan Hukum Korban Pelecehan Seksual....................................7
2.6 Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pelecehan Seksual.............8
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu..................................................................................11
3.2 Metode Penelitian....................................................................................11
I.5 Pengumpulan Data..................................................................................11
BAB IV PENUTUP
3.3 Kesimpulan...............................................................................................13
3.4 Saran.........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekerasan seksual merupakan segala bentuk perbuatan merendahkan, menghina,


melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena
ketimpangan relasi kuasa dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan
reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman
dan optimal. Komnas Perempuan membagi bentuk kekerasan seksual ke dalam 15
macam, di antaranya yaitu bentuk tindakan seksual maupun tindakan untuk
mendapatkan seksual secara memaksa, pelecehan seksual baik secara fisik maupun
verbal, mengeksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan dan
aborsi, pemaksaan kontrasepsi, penyiksaan seksual, serta kontrol seksual yang
mendiskriminasikan perempuan.
Pelaku kekerasan seksual tidak terbatas oleh gender dan hubungan dengan
korban. Artinya, pelecehan seksual ini dapat dilakukan oleh laki-laki maupun
perempuan kepada siapa pun termasuk istri atau suami, pacar, orang tua, saudara
kandung, teman, kerabat dekat, hingga orang yang tak dikenal. Pada dasarnya
pelecehan seksual pada realita di masyarakat saat ini, tindak kekerasan seksual
terhadap perempuan banyak dan sering terjadi dimana-mana. Kekerasan seksual ini
dapat terjadi di mana saja, termasuk rumah, tempat kerja, sekolah, atau kampus, ini
berlaku untuk perkosaan/pelecehan khususnya pemerkosaan. Kekerasan terhadap
perempuan merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi, padahal perempuan
memiliki hak untuk menikmati dan memperoleh perlindungan hak asasi manusia dan
kebebasan dasar dalam segala bidang (Marcheyla Sumera, 2013).

3
Pelecehan seksual juga telah diatur dalam dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) yang tidak dikenal dengan istilah pelecehan seksual, melainkan
dikenal dengan istilah perbuatan cabul atau tindakan pencabulan. Yang dimaksud
dengan tindakan pencabulan dalam KUHP ini adalah semua tindakan kejahatan yang
bersangkutan dengan kesusilaan dan juga bersangkutan dengan perbuatan yang
melanggar sopan dan juga norma. Di Negara Republik Indonesia, tindakan pelecehan
seksual dapat dijerat menggunakan pasal pencabulan yang diatur di dalam Pasal 289
sampai dengan Pasal 296 KUHP. Kemudian, selain pada Pasal 289 sampai dengan
Pasal 296 KUHP, aturan mengenai kasus kejahatan pelecehan seksual juga baru –
baru ini secara resmi disahkan oleh ketua DPR Puan Maharani pada, Selasa
(12/04/2022). Di mana aturan mengenai kasus pelecehan seksual resmi diatur di
dalam Undang – Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2022 mengenai Tindak
Pidana Kekerasan Seksual. Undang – Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual ini
mengatur mengenai hukuman pidana tambahan bagi pelaku kekerasan seksual (Ni
Komang Arik Darmayanti, 2022)
Undang – Undang Nomor 12 tahun 2022 mengatur mengenai pencegahan segala
bentuk tindak pidana kekerasan seksual; penanganan, perlindungan, dan pemulihan
hak korban; koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan kerjasama
internasional agar pencegahan dan penanganan korban kekerasan seksual dapat
terlaksana dengan efektif. Di Universitas Tadulako sendiri, masalah pelecehan
seksual ini sudah seringkali terjadi, beberapa kasus yang terjadi di Universitas
Tadulako sungguh sangat tidak sepatutnya dilakukan oleh pelaku yang seharusnya
mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan tindakannya, apalagi banyak korban yang
memilih untuk tetap diam atas perilaku yang mereka dapatkan.

4
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan pelecehan seksual?


2. Apa saja yang menjadi factor pendorong terjadinya pelecehan seksual?
3. Bagaimana dampak dari tindak pelecehan seksual?
4. Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban pelecehan seksual?
5. Bagaimana penegakan hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual?

1.3 Tujuan Penelitian

Untuk lebih mengetahui apa itu pelecehan seksual, factor – factor pendorong
terjadinya pelecehan seksual, dan dampak yang terjadi dari tindakan pelecehan
seksual serta apa saja solusi yang dapat diberikan terhadap tindakan pelecehan
seksual.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan atau bahan informasi


bagi para pembaca tentang pelecehan seksual.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penelitian Terdahulu

Syaiful Bahri (2015). Penelitian ini bertujuan untuk menjadi dasar penelitian
kebijakan berikutnya guna merumuskan berbagai strategi penanggulangan tindakan
pelecehan seksual. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam
menangani permasalahan pelecehan seksual dengan menunjukkan perlakuan yang
tepat terhadap orang-orang yang mengalami pelecehan seksual, serta dapat membantu
meminimalisir dampak yang dialami oleh si korban. Hasil penelitian menunjukan
bahwa data yang diperoleh dari delapan kabupaten, sepanjang tahun 2012 hingga
2014 telah terjadi 224 kasus pelecehan seksual. Secara keseluruhan, jumlah kasus
pelecehan seksual yang terjadi mengalami peningkatan sebesar 95,7% dari tahun
2012 (47 kasus) ke tahun 2013 (92 kasus). Sementara pada tahun 2013 ke tahun 2014
(85 kasus) mengalami penurunan sebesar 7,6%. Jika ditinjau dari masing-masing
kabupaten, maka sepanjang tahun 2012 hingga 2014 di delapan kabupaten di Provinsi
Aceh kasus paling banyak terjadi adalah di kabupaten Aceh Timur (44 kasus), disusul
oleh Kabupaten Aceh Pidie (43 kasus), dan Kabupaten Aceh Tengah (37 kasus) serta
Kabupaten Aceh Utara (29 kasus).

Rosania Paradiaz (2022). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana


perlindungan hukum bagi korban. Kasus kekerasan seksual di Indonesia menjadi
problematika sosial di masyarakat. Namun sayangnya, hukum pidana yang dibuat
untuk melindungi korban kekerasan seksual masih terkesan serampangan dan tidak
menunjukkan adanya keberpihakan pada korban. Hal ini, membuat banyak korban
kekerasan seksual takut untuk memperjuangkan keadilan yang berhak didapatkannya.

6
Korban kekerasan seksual takut untuk mengajukan laporan terkait kasus kekerasan
seksual yang dialaminya, karena kurangnya perlindungan hukum di Indonesia yang
menjamin perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Aturan hukum pidana yang
telah dibuat, kurang menunjukkan keberpihakan pada korban kekerasan seksual.
Terdapatnya beberapa frasa yang rancu, membuat penegakan hukum terkait kasus
kekerasan seksual di Indonesia sulit untuk diterapkan. Selain itu, pada praktiknya
penerapan hukum kasus kekerasan seksual di Indonesia masih menemui beberapa
hambatan karena regulasi hukum yang ada beberapa kali tidak dijalankan secara
tepat.

2.2 Pengertian Pelecehan Seksual

Sekitar era tujuh puluhan, masyarakat Indonesia merasakan keprihatinan yang


mendalam terhadap kasus perkosaan Sum si penjual jamu di wilayah DI Yogyakarta.
Kasus yang dikenal sebagai peristiwa ”Sum Kuning” tersebut cukup menghentak
kesadaran masyarakat akan muramnya nasib perempuan korban perkosaan.14
Perkosaan cukup populer di kalangan masyarakat sebagai suatu bentuk kekerasan
seksual terhadap perempuan, meskipun cara pandang atas kejadian tersebut masih
bias patriarkhis, yaitu kecenderungan melihat korban sebagai pemicu kejadian.
Sesungguhnya rentang kekerasan seksual bukan hanya perkosaan saja melainkan
sangat bervariasi dan modus operandinya tidak sesederhana yang dibayangkan.
Kekerasan seksual mengacu pada suatu perlakuan negatif (menindas, memaksa,
menekan, dan sebagainya) yang berkonotasi seksual, sehingga menyebabkan
seseorang mengalami kerugian (Elli Nur Hayati, 2004).

Pelecehan seksual adalah terminologi yang paling tepat untuk memahami


pengertian kekerasan seksual. Pelecehan seksual memiliki rentang yang sangat luas,
mulai dari ungkapan verbal (komentar, gurauan dans ebagainya) yang jorok/tidak
senonoh, perilkau tidak senonoh (mencolek, meraba, mengeus, memeluk dan

7
sebagainya), mempertunjukkan gambar porno/jorok, serangan dan paksaan yang tidsk
senonoh seperti, memaksa untuk mencium atau memeluk, mengancam akan
menyulitkan si perempuan bila menolak memberikan pelayanan seksual, hingga
perkosaan (Marcheyla Sumera, 2013).

2.3 Faktor Pendorong Tindak Pelecehan Seksual

Berdasarkan hasil penelitian dari menganalisis dokumen mengenai kekerasan


yang terjadi pada perempuan, Sebagian laki-laki beranggapan bahwa kekuasaan dan
kekerasan merupakan suatu bentuk yang dilakukan untuk mengendalikan orang lain.
Menurut Michael Kaufman, seorang aktivis yang memimpin kampanye “Pita Putih”
mengatakan bahwa penyebab terjadinya kekerasan pada perempuan berkaitan dengan
tiga faktor yang merupakan cara laki-laki dalam menunjukan kekuasaannya, yaitu
kekuasaan patriarki (partriarki power), hak istimewa (privilege), dan sikap yang
permisif atau memperbolehkan (permission). Negara juga ikut andil dalam pelegalan
budaya ini, sebagai contoh nampak dalam undang- Jurnal Penelitian & undang
perkawinan yang melegalkan pernikahan poligami sekalipun dengan syarat tertentu.
Selain beberapa poin yang menjelaskan tentang faktor yang mendasari terjadinya
kekerasan pada perempuan, terdapat pula poinpoin lain yang mendasari seperti
karakteristik fisik dan reprodukasi yang dimiliki perempuan memang lebih mudah
menjadi korban kekerasan khususnya seksual, seperti pemerkosaan (Utami Zahirah
Noviani, 2018).

2.4 Dampak Tindak Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual yang dialami berdampak pada psikologis korban yaitu


mengalami shock dan trauma meski tidak membuat mereka berhenti bekerja sebagai
jurnalis. Terdapat gejala umum dimana para korban tidak mau membawa ke ranah
hukum tetapi melapor kepada atasan. Dengan demikian dukungan media tempat para

8
jurnalis perempuan bekerja berperan penting dalam dua hal yaitu dukungan
keberpihakan sikap adil gender bagi seluruh pekerja media dan pendampingan untuk
meminimalkan trauma dan kemungkinan peristiwa yang sama kembali terulang
(Suprihatin, 2020).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Pandu
Pranadita tahun 2012 dengan judul penelitian faktor psikososial yang terjadi pada
anak jalanan korban pelecehan seksual di lingkungan pondok sosial anak. Dari
analisa data yang dilakukan, maka diketahui bahwa subjek mengalami kecenderungan
emosi negatif seperti perasaan benci dan menyimpan dendam, keinginan untuk hidup
bebas, penilaian negatif pada diri sendiri dan kehidupan, perilaku seksual yang tidak
wajar, penggunaan obat-obatan terlarang dan konsumsi alkohol, serta relasi yang
buruk dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya (Reynald Dylan Immanuel, 2016).

2.5 Perlindungan Hukum Korban Pelecehan Seksual

Dalam proses pembuktian kekerasan seksual pun, diharapkan aparat penegak


hukum tidak bersifat diskriminatif. Terutama, diharapkan tidak menyalahkan korban
ataupun memberikan stigma buruk kepada korban tersebut. Hal ini dikarenakan
korban yang telah bersedia datang dengan kondisi yang masih merasa depresi, dan
takut,tentunya butuh perlindungan bukan malah mendapati tanggapan seseorang yang
menyalahkan korban (Victim Blaming) yang dapat memeprburuk keadaan korban
(Iqbal, Emilda, & Ferawati, 2020).

Sebaik mungkin aparat penegak hukum pun harus menangani dan


memberikan kepastian hukum pada korban, dan bukan malah melambatkan atau
malah menghentikan proses penyelesaian kasus kekerasan seksual. Pelaku kekerasan
seksual pun haruslah tetap mendapat konsekuensi hukum yang seadil-adilnya terlapas
dari apapun jabatan, keberadaan, dan kedudukan si pelaku. Sebab sejatinya, kejahatan

9
seksual ini kemungkinan bisa terjadi penurunan apabila proses dan produk hukum
benar-benar bisa menghukum pelaku kekerasan seksual dengan hukuman yang
sepadan, dan masyarakat memberikan dukungan sosial kepada korban (Rahmi, 2018).

Pengaturan yang lebih pasti dalam mengklasifikasikan hal apakah yang


termasuk menjadi kekerasan seksual menjadi amat sangat diperlukan, hal ini juga
membutuhkan komitmen dari aparat penegak hukum untuk memiliki pemikiran yang
terbuka dan perhatian lebih kepada korban. Karena kekerasan seksual tidak selalu
mengenai paksaan atau kekerasan dalam penetrasi penis ke vagina. Terdapat banyak
jenis kekerasan seksual di luar hal itu.

2.6 Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Pelecehan Seksual.

Perilaku pelecehan seksual merupakan sebuah perbuatan tercela yang dapat


diukur dengan adanya pelanggaran terhadap kaedah - kaedah atau norma norma yang
berakar pada nilai-nilai sosial- budaya sebagai suatu sistem tata kelakuan dan
pedoman tindakan-tindakan warga masyarakat, yang dapat menyangkut norma
keagamaan, kesusilaan dan hukum. Dalam sebuah artikel yang berjudul “Kekerasan
Seksual: Mitos dan Realitas”, Ratna Batara Munti menyatakan bahwasanya tindak
pidana pelecehan seksual tidak diatur secara jelas di Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana bahkan tidak satu pasal pun menyebutkan kata-kata pelecehan seksual ataupun
kekerasan seksual, hanya ada istilah perbuatan cabul yang diatur pada Pasal 289
sampai dengan Pasal 296 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sedangkan
perbuatan cabul sendiri dapat diartikan sebagai suatu perilaku yang tidak sesuai
dengan rasa kesusilaan atau perlaku keji yang dilakukan dikarenakan semata-mata
memenuhi nafsu yang tidak dapat dikendalikan (Rosania Paradiaz, 2022).

Rumusan yang dimuat dalam KUHP, secara garis besar klasifikasi kekerasan
seksual terbagi atas, perzinahan, persetubuhan, pencabulan, pornografi. Terkait

10
kekerasan seksual atau pelecehan seksual tidak diatur secara jelas dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, KUHP hanya mengatur Kejahatan Terhadap
Kesusilaan. Kejahatan Terhadap Kesusilaan ini diatur dalam BAB XVI Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu sebagai berikut.
a). kejahatan akibat pelanggaran secara terbuka kesusilaan umum (Pasal 281);
b). kejahatan pornografi (Pasal 282); c). kejahatan pornografi kepada anak (Pasal
283); d). kejahatab pornografi ketika melaksanakan pencahariannnya (Pasal 283b); e).
kejahatan zina (Pasal 284); f). kejahatan melaksanakan perkosaan untuk bersetubuh
(Pasal 285); g). kejahatan bersetubuh dalam kondisi tak sadarkan diri dan tak berdaya
tanpa melakukan perkawinan (Pasal 286); h). kejahatan bersetubuh dengan anak
perempuan (Pasal 287); i). kehajatan bersetubuh dengan perempuan yang belum
cukup umur untuk kawin sehingga menyebabkan luka ringan bahkan berat (Pasal
288);
j). kejahatan perkosaan berbuat percabulan atau perilaku yang menyerang
kehormatan kesusilaan (Pasal 289); k). kejahatan berbuat cabul terhadap orang yang
tak sadarkan diri dan belum cukup umur untuk kawin (Pasal 290); l). Apabila
kejahatan dalam pasal 286, 287, 289, dan 290 mengakibatkan luka berat (Pasal 291);
m). kejahatan berbuat cabul terhadap anak pada sesama kelamin (Pasal 292); n).
kejahatan mendorong orang berbuat cabul dengan orang yang belum cukup umur
(Pasal 293); o). kejahatan berbuat cabul dengan anak (Pasal 294); p). kejahatan
mempermudah berbuat cabul bagi anak (Pasal 295); q). kejahatan mempermudah
berbuat cabul sebagai mata pencaharian atau kebiasaan (Pasal 296); r). kejahatan
menjualbelikan baik perempuan atau lakilaki yang belum cukup umur (Pasal 297); s).
kejahatan menjadikan sebagai sumber pekerjaan dari aktivitas pencabulan yang
dilaksanakan oleh orang lain (Pasal 298) (Rosania Paradiaz, 2022).

Bukan hanya terkait dengan hukum pidana, terjadinya kekerasan seksual juga
melanggar hak asasi yang dimiliki oleh korban. Sistem hukum Indonesia menjamin
hak asasi manusia dari setiap masyarakatnya. Tercantum dalam Undang-Unang Dasar

11
Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945 pada Pasal 28A-28J. Pada Pasal 28A
dijelaskan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk
mempertahankan hidup dan kehidupannya. Selanjutnya pada Pasal 28B ayat (2)
dijelaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan
berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Seorang
anak seharusnya memperoleh perlindungan harkat dan martbat di lingkungan sekitar
supaya ia bisa tumbuh dan berkembang baik fisik maupun psikologisnya. Bahkan
Frans Magnis Suseno berpendapat bahwa melindungi hak anak merupakan bagian
dari membela HAM (Hak Asasi Manusia) (Antari, 2021).

12
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Universitas Tadulako pada bulan Desember


2022.

3.5 Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang merupakan


penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Adapun
data sekunder mencakup :

3.5.1 Bahan hukum primer, yang terdiri dari peraturan perundang-


undangan dalam hal ini berupa: UU No 12 Tahun 2022, Pasal 289 sampai
dengan Pasal 296 KUHP dan peraturan lain yang terkait.
3.5.2 Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti, karyakarya tulis dari kalangan
hukum, pendapat para pakar hukum. Bahan hukum yang terkumpul
kemudian diolah dan dianalisis secara normatif kualitatif.

3.6 Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi non-partisipan atau


peneliti mengamati partisipan tanpa berinteraksi langsung padanya. Pengumpulan

13
data dilakukan untuk mendapatkan data-data yang berhubungan dengan masalah yang
diteliti. Data-data tersebut berupa data primer dan data sekunder. Data primer berupa
peraturan perundang-undangan terkait dan data sekunder berupa karya-karya tulis
dari kalangan hukum, pendapat para pakar hukum.

14
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan sering dianggap hanya


berkaitan dengan faktor pribadi saja, tidak ada hubungannya dengan fenomena social
dan budaya, namun kenyataannya kekerasan seksual pada perempuan berkaitan
dengan banyak hal yang dapat memberikan dampak buruk bagi korban itu sendiri,
keluarga, masyarakat dan negara. Dampak buruk yang akan diterima oleh perempuan
korban kekerasan seksual secara langsung dan akan terjadi yaitu berkaitan dengan
kesehatan perempuan. Kekerasan terhadap perempuan dapat beradampak pada
kematian, upaya untuk bunuh diri, dan terinfeksi HIV/AIDS.

Selain itu, kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan dapat pula
berdampak pada gangguan kesehatan fisik, kondisi kronis, gangguan mental, perilaku
tidak sehat serta gangguan kesehatan reproduksi. Dapat dikatakan bahwa kondisi
kaum perempuan masih sangat rentan menjadi korban berbagai jenis tindak
kekerasan. Terlebih lagi, pada zaman modern tingkat kekerasan justru semakin tinggi
dan banyak orang yang menganggap bahwa kasus tersebut merupakan hal yang biasa.
Perempuan sebagai makhluk yang seharusnya dihargai dan dilindungi, justru menjadi
objek dari tindak kekerasan yang dilakukan oleh orang terdekatnya.

Dengan pelatihan asertif maka akan mengurangi kekerasan seksual pada


perempuan sebab perempuan dapat menunjukan ketidaksukaannya akan perbuatan
orang lain tetapi tidak membuat orang tersebut merasa sakit hati dan melakukan
tindakan di luar batas kewajaran. Pelatihan asertif pun membangun keberanian dalam
diri korban kekerasan seksual untuk menceritakan kronologis kejadian dengan
sejujurnya sehingga akan membuat kasus yang ada cepat terungkap.

4.2 Saran

15
Berdasarkan hasil penemuan dan analisis yang telah dirumuskan maka penulis
mengajukan beberapa saran yang dapat diterapkan untuk mengurangi kasus kekerasan
seksual, sebagai berikut :

4.2.1 Membangun sikap saling menghargai antara laki-laki dan perempuan


sehingga akan terhindar dari perilaku yang mengarah pada kekerasan seksual karena
menganggap bahwa setiap orang memiliki hak untuk dilindungi dan dihormati, •
Pembuat kebijakan pun harus segera menjadikan pendidikan seks sebagai suatu
pelajaran wajib karena dapat dilihat bahwa masih maraknya kasus kekerasan seksual
dengan adanya pendidikan seks ini maka akan membentuk suatu pemahaman sama
akan bahaya dan dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual,

4.2.2 Orang tua pun harus memerhatikan pergaulan anak agar terhindar dari
kemungkinan melakukan atau menjadi korban kekerasan seksual dan memberikan
pemahaman mengenai cara menghormati orang lain dan tidak melakukan tindakan
yang berkaitan dengan kekerasan seksual.

16
DAFTAR PUSTAKA

Paradiaz, Eko S. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual.


Jurnal Pembangun Hukum Indonesia. Vol. 4, no.1,pp. 61-72,
Jan.2022. https://doi.org/10.14710/jphi.v4i1.61-72

Sumera, M. (2013). Perbuatan Kekerasan/Pelecehan Seksual Terhadap Perbuatan.


Vol. 1 No. 2 (2013): Lex et Societatis.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexetsocietatis/article/view/
1748

Suprihatin S,. Abdul Muhaiminul A. (2020). Pelecehan Seksual Pada Jurnalis


Perempuan di Indonesia. Vol 13, No 2 (2020).
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Palastren/article/view/870
9
Syaiful, B., Fajriani. (2015). Suatu Kajian Awal Terhadap Tingkat Pelecehan Seksual
di Aceh. Vol 9 no 1 (2015).
https://jurnal.unsyiah.ac.id/JPP/article/view/2491
Dyilan, R. (2016). Dampak Psikososial Pada Individu Yang Mengalami Pelecehan
Seksual di Masa Kanak-Kanak. Psikoborneo, Vol 4, No 2, 2016:
299-304.http://ejournals.unmul.ac.id/index.php/psikoneo/article/vie
w/4016/2597
Albayhaqi, A., Alvina Z. (2020). Peranan Asas Teritorial Dalam Pelecehan Seksual.
garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article.

Maulida, D,. Nila, T. (2022). Peranan Kejaksaan dalam Penanganan Perkara


Pelecehan Seksual Anak Dibawah Umur Di Kabupaten Aceh

17
Barat. Vol 6, No 2 (2022).
http://jurnal.utu.ac.id/jcivile/article/view/5092
Zahra, U., Rifdah, A. (2018). Mengatasi Dan Mencegah Tindak Kekerasan Seksual
Pada Perempuan Dengan Pelatihan Asertif.  Vol 5, No 1 (2018).
http://journal.unpad.ac.id/prosiding/article/view/16035/pdf
Kurnianingsih, S. (2003). Pelecehan Seksual Pada Perempuan Di Tempat Kerja. Vol
11, No 2
(2003).https://journal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/view/7464/
5803

18

Anda mungkin juga menyukai