Anda di halaman 1dari 34

PROPOSAL

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN ORIENTASI SEKSUAL PADA

REMAJA DENGAN PERILAKU MENYIMPANG SEKSUAL

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas praktikum “Metodologi Penelitian”

Dosen Pengampu : Nelwati, S.Kp, MN, PhD

Azzizah Aulia Wadini

1911311006

A3 2019

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya yang selalu
diberikan kepada suluruh makhluk Nya. Berkat rahmat dan karunia Nya penulis dapat
menyelesaikan Proposal “HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN ORIENTASI
SEKSUAL PADA REMAJA DENGAN PERILAKU MENYIMPANG SEKSUAL” ini.
Shalawat serta salam tidak lupa pula penulis kirimkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu tim dosen Metodologi Penelitian yang
telah membimbing penulis dengan penuh kesabaran hingga penulis dapat
menyelesaikan Proposal ini.
Dalam penulisan proposal ini, penulis menyadari bahwa proposal ini jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan adanya kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak demi penyempurnaan proposal ini, sehingga
proposal ini dapat menjadi lebih baik dan bermanfaat bagi para pembaca.

Padang, 4 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI ................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1

1.2 Masalah Penelitian .................................................................................................. 3

1.3 Tujuan Penelitian .................................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................... 5

2.1 Konsep Remaja ....................................................................................................... 5

2.2 Konsep Orientasi Seksual ....................................................................................... 8

2.3 Konsep Pemahaman .............................................................................................. 14

BAB III KERANGKA KONSEP ................................................................................ 16

3.1 Kerangka Konsep .................................................................................................. 16

3.2 Hipotesis Penelitian .............................................................................................. 16

3.3 Variabel Penelitian ................................................................................................ 16

3.4 Definisi Operasional ............................................................................................. 17

BAB IV METODE PENELITIAN .............................................................................. 18

4.1 Jenis Penelitian .................................................................................................... 18

4.2 Populasi dan Sampel ............................................................................................. 18

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................................... 19

4.4 Variabel Penelitian ................................................................................................ 19

4.5 Alat / Instrumen Penelitian ................................................................................... 20

4.6 Etika Penelitian ..................................................................................................... 21

4.7 Metode Pengumpulan Data ................................................................................... 22

ii
4.8 Teknik Analisa Data ............................................................................................. 23

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 29

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Fenomena LGBT semakin mengkhawatirkan dikarenakan meningkat setiap
tahunnya dan juga pelaku LGBT banyak berkisar umur 15-28 tahun (Annisa &
Indrawadi, 2020). Sebanyak 155 juta lebih laki-laki dan wanita terlibat dalam praktik
homoseksualitas dalam setiap budaya dan negara di seluruh dunia (Idris, 2016).
Sejumlah lembaga survei independen dalam dan luar negeri menyebutkan Indonesia
memiliki populasi LGBT 3% dari jumlah seluruh penduduk Indonesia, dengan kata lain
dari 250 juta penduduk Indonesia, sekitar 7,5 jutanya adalah LGBT (Onhit, 2016 dikutip
dalam Hasnah & Alang, 2019). Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit
mengungkapkan angka LGBT di Sumatera Barat yang di kutip dari data hasil tim
konselor penelitian perkembangan penyakit Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan
Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) tercatat sampai 18.000 orang
(Sumbarprov.go.id, 2019). Kota Padang sendiri menjadi penyumbang kelompok LGBT
tertinggi di Sumatera Barat, berdasarkan perkiraan pada tahun 2016 jumlah lelaki
penyuka sesama jenis di Padang sebanyak 5.267 orang (Wahyudi, 2018).

Periode masa remaja biasanya dimulai dengan munculnya ciri-ciri seks sekunder
secara bertahap pada usia sekitar 11 atau 12 tahun dan diakhiri dengan penghentian
pertumbuhan tubuh pada usia 18 hingga 20 tahun. Remaja di bagi menjadi 3 fase yaitu
remaja awal (usia 11 hingga 14), remaja pertengahan (usia 15 hingga 17), dan remaja
akhir (usia 18 hingga 20) (Burns et al., 2017). Masa remaja adalah periode dimana
individu mulai mengidentifikasi orientasi seksual mereka sebagai bagian dari identitas
seksual mereka yang sedang berkembang (Perry et al., 2010). Di fase remaja awal
hormon-hormon seks mulai bekerja dan berfungsi, sehingga mereka sudah mulai
mempunyai rasa ketertarikan dengan jenis kelamin tertentu (Diananda, 2018).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bailey (2016) subjek mengingat
pertama kali muncul perasaan ketertarikan seksual adalah pada saat usia rata-rata adalah
10 tahun. Pada saat ini remaja mengembangan persahabatan dengan sesama jenis yang
kuat dan dapat menyebabkan eksperimen perilaku seksual sesama jenis saat sekilas
perasaan seksual muncul (Burns et al., 2017).

1
Orientasi seksual adalah tingkat ketertarikan individu dengan jenis kelamin
tertentu, mencakup ketertarikan emosional, fantasi seksual, perilaku seksual, identitas
seksual, dan peran sosial (Kliegman, Stanton, Geme, Schor, & Behrman, 2016). Ada
tiga jenis orientasi seksualpada saat ini, yang pertama yaitu ketertarikan terhadap lawan
jenis (heteroseksual), sesame jenis (homoseksual, atau sering disebut dengan gay atau
lesbian), dan kedua jenis kelamin (biseksual) (Perry et al., 2010). Dari ketiga jenis
orientasi seksual tersebut yang lazim di masyarakat dan sesuai dengan fitrah manusia
adalah heteroseksual (Sinyo, 2016). Homoseksual dan biseksual dianggap sebagai
orientasi seksual yang menyimpang, artinya tidak wajar dan tidak sesuai dengan norma
agama, hukum dan susila sehingga tidak dapat diterima oleh masyarakat (Abidin, 2017).

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual,
baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Abrori & Qurbaniah, 2017).
Artinya perilaku seksual terjadi apabila seseorang memiliki orientasi seksual. Hal ini
sangat penting karena dapat terjadi perilaku seksual menyimpang atau beresiko
(Romero-Estudillo, GarcíaGarcía, Luna-del Castillo, Mesa-Franco, & González-
Jiménez, 2017). Perilaku seksual menyimpang itu sendiri muncul atas dasar orientasi
seksual yang menyimpang (Yansyah & Rahayu, 2018). Banyak hal yang berkontribusi
dalam kepercayaan dan perilaku seksual saat ini, salah satunya yaitu media seperti
televisi, majalah dan smart phone banyak memuat konten seksual yang akan berdampak
pada perubahan sikap tentang seks dan gender serta memicuaktivitas seksual secara
dini(Collins et al., 2017). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan Yanti,
Firman, dan Rusdinal (2020), dimana didapatkan hasil dua tema yang mendorong
terjadinya perubahan perilaku dan orientasi seksual pada anak yaitu yang pertama
perubahan peran keluarga dan yang ke dua perubahan dan penyalahgunaan teknologi.

Peran keluarga menjadi sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan


remaja, karena dari keluargalah akan terbentuk berbagai karakteristik individu dan
keluarga merupakan tempat pertama bagi individu mengenal berbagai peran sosial.
Namun pada saat sekarang ini, perubahan zaman mengakibatkan terjadinya perubahan
dalam keluarga (Yanti et al., 2020). Misalnya saja kedua orang tua yang terlalu sibuk
bekerja akan tidak memiliki waktu untuk bersama anak-anak mereka, jadi mereka tidak
dapat memberikan perhatian dan kasih sayang untuk anak-anaknya. Banyak orang tua

2
hanya memberikan kebutuhan materi saja kepada anak-anaknya dan memberikan
kebebasan tanpa adanya pengontrolan dari orang tua sehingga menyebabkan anak-anak
mereka salah dalam pergaulan. Hal ini menyebabkan remaja memiliki potensi orientasi
homoseksual. Penelitian membuktikan bahwa pekerjaan orang tua (ayah dan ibu)
mempunyai hubungan yang bermakna dengan orientasi seksual pada remaja.

Banyak kasus penyimpangan seksual pada anak dan remaja tersebar di situs
berita online, diantaranya yaitu kasus yang terjadi di Tanah Datar pada tanggal 31
Oktober 2016 silam yang dilansir dari TribunnewsBogor.com, dimana 14 orang anak
berusia 7-10 tahun yang bermain rumah-rumahan yang mensimulasikan peran ayah dan
ibu tetapi hingga melakukan adegan malam pertama, yang lebih mengejutkan bahwa 4
diantara anak tersebut pernah melakukan hubungan seksual 4 kali dengan pasangan
yang berbeda (Sanjaya, 2016). Kasus lain juga terjadi di Padang pada tanggal 8 Mei
2018 yang dilansir dari merdeka.com yaitu remaja berusia 13 tahun yang melakukan
tindakan sodomi kepada 2 temannya yang masih berusia 10 dan 6 tahun di bawah
kolong jembatan Purus, Kecamatan Padang Barat (Chania, 2018). Hal ini
mengambarkan bahwa saat ini anak-anak mengalami krisis perkembangan seksual, dan
mereka dapat melakukan tindakan yang bahkan orang dewasa tidak pernah terpikir
bahwa anak-anak usia tersebut dapat melakukannya diusianya.

1.2 Masalah Penelitian


Berdasarkan uraian diatas, maka penting untuk dilakukan eksplorasi bagaimana
hubungan antara tingkat pengetahuan orientasi seksual pada remaja dengan perilaku
menyimpang seksual. Sehingga pertanyaan penelitian dalam studi ini adalah: Apakah
ada hubungan antara tingkat pengetahuan orientasi seksual pada remaja dengan perilaku
menyimpang seksual?

1.3 Tujuan Penelitian


Menganalisa hubungan antara tingkat pengetahuan orientasi seksual pada remaja
dengan perilaku menyimpang seksual.

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi tingkat pengetahuan orientasi seksual pada remaja


2. Mengidentifikasi perilaku menyimpang seksual pada remaja

3
3. Menganalisis hubungan antara tingkat pengetahuan orientasi seksual pada
remaja dengan perilaku menyimpang seksual.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Remaja


1. Definisi
Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa
(dimana di masa remaja terjad kematangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional
yang cepat). Batasan yang tepat dari masa remaja sulit untuk didefinisikan,
tetapi periode ini biasanya dianggap dimulai dengan munculnya ciri-ciri seks
sekunder secara bertahap pada usia sekitar 11 atau 12 tahun dan diakhiri dengan
penghentian pertumbuhan tubuh pada usia 18 hingga 20 tahun (Burns et al.,
2017).
2. Fase-Fase Remaja
Fase remaja dalam Burns et al. (2017) dibagi menjadi 3 fase yaitu :
a) Remaja Awal (Usia 11-14 tahun)
Masa remaja awal merupakan masa penyesuaian yang paling sulit bagi kaum
muda.Perubahan yang cepat terjadi secara bersamaan di semua bagian
kehidupan remaja; keterampilan kognitif mungkin tidak mengikuti perubahan
fisik..Remaja awal seringkali bingung, bahkan ketakutan dengan perubahan
yang dialaminya. Tanggapan yang ditimbulkan oleh perilaku remaja awal dari
orang tua dan orang dewasa lainnya mungkin benar-benar kebalikan dari
dukungan, perhatian, dan pengertian yang sangat mereka butuhkan (Burns et al.,
2017).
b) Remaja Pertengahan (Usia 15-17 Tahun)
Masa remaja pertengahan adalah inti dari masa remaja dan subkulturnya.
Bayangkan dalam benak Anda seperti apa penampilan remaja pada umumnya
dan bagaimana mereka berperilaku. Apa yang mereka kenakan? bagaimana
mereka bertindak? bahasa apa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi
dengan orang dewasa dan satu sama lain? Gambaran yang mungkin muncul di
benak adalah tentang seorang remaja menengah. Remaja menengah menonjol
karena penampilannya yang unik (Burns et al., 2017).
c) Remaja Akhir (Usia 18-20 tahun) Masa remaja akhir adalah masa ketika
individu memiliki konsep diri yang lebih jelas, kehidupan ditentukan pilihan,

5
dan keputusan tentang bagaimana berkontribusi kepada masyarakat sebagai
orang dewasa yang bertanggung jawab (Burns et al., 2017).
3. Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja
Dalam perkembangannya remaja mengalami banyak perubahan, diantaranya
sebagai berikut :
a) Perubahan fisik
Perubahan fisik terjadi dengan cepat pada remaja.Pematangan seksual terjadi
dengan perkembangan karakteristik seksual primer dan sekunder. Empat
perubahan fisik utama adalah:
1) Meningkatkatnya pertumbuhan dari kerangka, otot, dan organ viscera.
2) Perubahan seksual khusus pada jenis kelamin tertentu seperti perubahan
bahu dan pinggul
3) Perubahan pada otot dan distribusinya
4) Berkembangnya sistem reproduksi dan karakteristik seksual sekunder
Anak perempuan umunya mengalami perubahan prepubertas 1 sampai 2
tahun lebih cepat dari anak laki-laki. Perubahan hormonal di dalam tubuh
membuat perubahan saat hipotalamus mulai memproduksi hormon
gonadotropin-releasing yang merangsang sel ovarium untuk
menghasilkan sel estrogen dan testis untuk memproduksi testosterone.
Hormone ini berkontribusi pada perkembangan karakteristik seksual
sekunder (Novieastari, Ibrahim, Deswani, & Ramdaniati, 2019).
Berikut perubahan fisik yang terjadi pada masa remaja di setiap tahap usianya
(Kyle & Carman, 2013) :
 Remaja Awal
Perempuan : rambut kemaluan mulai tumbuh pada bagian atas mons
pubis, pigmentasi genitalia meningkat, payudara dan aerola mulai
membesar dan melebar, terjadinya periode menstruasi pertama.
Laki-laki : rambut kemaluan mulai tumbuh dan menyebar, pigmentasi
genitalia meningkat, terjadi pertumbuhan dan pembesaran testis dan
penis, ekstermitas tumbuh dengan cepat.
 Remaja Tengah

6
Perempuan : jumlah rambut kemaluan meningkat, aerola dan papilla
memisah dari kontur payudara yang terus membesar.
Laki-laki : tekstur rambut kemaluan menjadi kasar dan distribusinya
seperti pada orang dewasa, pertumbuhan testis dan skrotum masih
berlanjut, dada dan bahu mulai membidang dan melebar, suara memberat.
 Remaja Akhir
Perempuan : distribusi rambut kemaluan sudah matur dan kasar.
Laki-laki : distribusi rambut kemaluan sudah matur dan kasar, testis dan
penis sudah mencapai ukuran orang dewasa, pembesaran dada dan bahu
sudah berhenti, skrotum bewarna kegelapan.
b) Perubahan kognitif
Perubahan berpikir pada remaja bersifat egosentris, realistis dan bersedia
menentang sesuatu agar dapat menjadikan mereka berkuasa. (Kyle & Carman,
2013). Dalam usahanya mencapai penalaran yang formal memungkinkan remaja
untuk membangung situasi imajiner dan pemikiran abstrak.
Remaja mengembangkan kemampuan untuk menentukan dan memprioritaskan,
memecahkan masalah, dan membuat keputusan melalui tindakan yang logis
(Novieastari et al., 2019). Pada fase remaja awal seraya kemampuan berpikir
mereka berkembang, remaja awal sering melamun. Remaja awal harus diberi
kesempatan untuk menggunakan keterampilan penalaran mereka yang
berkembang secara aktif memecahkan masalah, mengeksplorasi nilai-nilai dan
memeriksa nilai-nilai yang menjadi dasar pengambilan keputusan (Burns et al.,
2017). Untuk pertama kalinya remaja bergerak melampaui sifat fisikal dan
konkret dari situasi dan menggunakan kekuatan penalaran untuk memahami hal
abstrak. (Novieastari et al., 2019). Remaja awal menetapkan tujuan secara
idealis yang sering berubah (Burns et al., 2017). Pada fase remaja tengah,
kecanggihan intelektual dan kreativitas meningkat (Burns et al., 2017). Remaja
mempraktikkan berpikir secara abstrak dan menangani kemungkinan masalah
secara efektif. Ketika dihadapkan dengan masalah, remaja mempertimbangkan
berbagai penyebab dan solusinya, memperkirakan suatu kemungkinan,
mengurutkannya, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan secara logis
(Novieastari et al., 2019).

7
c) Perubahan psikososial
Pencarian identitas pribadi adalah tugas utama perkembangan psikososial
remaja.Remaja membangun hubungan dengan teman dekat secara moral.
Erickson (1963) melihat keragu-raguan identitas (atau peran) merupakan bahaya
utama pada tahap ini dan menunjukkan bahwa perilaku dan intolerasnsi yang
tidak tepat terhadap perbedaan yang terlihat pada perilaku remaja adalah
pertahanan terhadap ketidakjelasan identitas. Merekasering digambarkan sebagai
ambivalen. Mereka mencintai dan membenci orang tua mereka mereka. Selain
ini, mereka perlu mengembangkan sistem etika mereka sendiri berdasarkan
nilai-nilai pribadi.
d) Perkembangan Emosional
Pada masa remaja awal terjadi perubahan suasana hati yang luas dari euphoria
ke kesedihan, hal ini dapat terjadi dalam hitungan menit. Fluktuasi emosional ini
dapat harus dibedakan dari perubahan suasana hati dan perilaku gangguan
depresi yang serius. Pakaian dan penampilan menjadi sangat penting bagi semua
remaja Timbulnya karakteristik seks sekunder meningkatkan kecemasan tentang
menstruasi, mimpi basah, ukuran payudara atau penis (Burns et al., 2017).
e) Perkembangan Seksual
Salah satu tugas penting masa remaja adalah berhasil memasukkan seksualitas
ke dalam hubungan yang dekat dan intim. Perilaku seksual remaja awal
diantaranya adalah masturbasi, menceritakan lelucon kotor, membuat komentar
cabul pada orang lain, menunjukkan minat menonton adegan seksual eksplisit di
media, atau melihat majalah dewasa dengan individu telanjang. Jenis
eksperimen seksual ini bervariasi tergantung dengan budaya remaja (Burns et al.,
2017). Di antara remaja yang telah memulai hubungan seksual pada usia di
bawah 14 tahun, sekitar setengah dari remaja pernah melakukan hubungan
seksual setidaknya sekali (Perry et al., 2010).

2.2 Konsep Orientasi Seksual


1. Definisi
Orientasi seksual adalah bagian dari identitas individu yang mencakup
ketertarikan seksual dan emosional kepada orang lainyang mungkin
menghasilkan perilaku atau afiliasi sosial dimana seseorang tertarik kepada laki-

8
laki, perempuan, keduanya atau bahkan bukan keduanya (Aseksual) (APA,
2015). Orientasi seksual adalah tingkat ketertarikan individu dengan jenis
kelamin tertentu mencakup hasrat emosional, fantasi seksual, perilaku seksual,
identitas seksual, dan peran sosial.Seiring berkembangnya seksualitas remaja,
mereka dapat memiliki ketertarikan dengan laki-laki, perempuan atau
keduanya.Ketertarikan romantis pada lawan jenis adalah heteroseksualitas,
sesama jenis adalah homoseksualitas, dan keduanya adalah biseksualitas
(Kliegman et al., 2016). Sedangkan menurut Bailey et al (2016) menyebutkan
bahwa orientasi seksual adalah ketertarikan dengan jenis kelamin yang sama,
berbeda, atau keduanya. Terdapat empat fenomena yang terkait dengan orientasi
seksual, yang pertama yaitu perilaku seksual, yang ke dua yaitu identitas seksual,
yang ke tiga yaitu derajat ketertarikan seseorang dengan jenis kelamin tertentu,
dan yang ke empat adalah gairah seksual fisiologis.
Meskipun orientasi seksual sebagian dijelaskan oleh proses biologis yang
terjadi sebelum lahir (Bailey et al., 2016; Rosario & Schrimshaw, 2013), namun
individu tidak menyadari orientasi seksualnya sampai di kemudian hari. Proses
kesadaran, eksperimentasi dan penerimaan orientasi seksual yang sedang
berlangsung membutuhkan waktu. Ini umumnya dimulai pada masa remaja,
berlanjut hingga masa dewasa awal, dan dapat terus berkembang setelah masa
dewasa awal (Mock & Eibach, 2012 dikutip dalam Rosario, 2019).
2. Macam-Macam Orientasi Seksual
Orientasi seksual dibedakan menjadi 4 macam yaitu :
a) Heteroseksual : seseorang yang secara emosional dan atau seksual tertarik
pada jenis kelamin yang berbeda
b) Homoseksual : seseorang yang secara emosional dan atau seksual tertarik
pada jenis kelamin yang sama atau sejenis
c) Biseksual :seseorang yang secara emosional dan atau seksual tertarik pada
kedua jenis kelamin (laki-laki dan wanita) baik dalam waktu bersamaan
maupun tidak bersamaan
d) Aseksual : seseorang yang tidak memiliki ketertarikan secara emosional
maupun seksual kepada jenis kelamin atau gender apapun(GWL-INA, 2016)

9
3. Pembentukan Orientasi Seksual
Perkembangan orientasi seksual dimulai sebelum lahir dan berlanjut dari masa
kanak-kanak dan remaja hingga dewasa. Orientasi seksual gay atau lesbian
biasanya dalam perkembangannya diawali dengan ditemukannya
ketidaksesuaian gender di masa kanak-kanak, atau memiliki perilaku peran
gender yang berbeda dengan anak-anak yang berjenis kelamin sama dengannya.
Hal ini berkaitan dengan aktivitas, minat, gaya, dan atribut lain yang dikenal
sebagai maskulin atau feminin, seperti preferensi mainan dan preferensi untuk
teman bermain(Kliegman et al., 2016) Ketidaksesuaian gender biasanya terjadi
di masa pra sekolah yang terjadi terus menerus bukan satu kali. Meskipun
ketidaksesuaian gender di masa kanak-kanak tidak dialami oleh semua orang
gay (dan tidak semua anak-anak yang tidak sesuai gender tumbuh menjadi gay)
(Kliegman et al., 2016). Setelah mengalami ketidaksesuaian gender maka anak-
anak tersebut akan mulai timbul ketertarikan seksual. Hasil penelitian telah
menunjukkan bahwa subjek mengingat pertama kali perasaan ketertarikan
seksual rata-rata pada usia 10. Subjek pria dan wanita melaporkan usia yang
sama begitu pula subjek homoseksual dan heteroseksual (Bailey et al., 2016)
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Orientasi Seksual
Etiologi orientasi seksual tidak diketahui secara pasti, dan masih diperdebatkan
(Bidwell, 2009 dikutip dalam Burns et al., 2017). Seperti yang telah disebutkan
sebelumnya, perkembangan orientasi seksual kemungkinan memiliki banyak
aspek dan hasil dari kombinasi faktor genetik, biologis, dan lingkungan yang
dapat mempengaruhi laki-laki dan perempuan secara berbeda (Remafedi, 2011
dikutip dalam Burns et al., 2017). Geme, Schor, dan Behrman (2016) juga
menyebutkan perilaku peran gender di masa kanak-kanak maupun orientasi
seksual di masa pubertas dan remaja sebagian dipengaruhi oleh faktor genetik
dan neuroendokrin prenatal. Faktor sosial budaya dan psikologis juga
mempengaruhi perkembangan seksual.
a) Genetik
Genetik meskipun hanya beberapa persen namun hal ini juga mempengaruhi
perkembangan orientasi seksual. Studi yang dilakukan pada kembar monozigot
(MZ) atau disebut dengan kembar identik yang dipisahkan segera setelah lahir

10
dan tidak saling berhubungan didapatkan bahwa anak kembar MZ memiliki
ketidaksesuaian gender yang tinggi di masa kana-kanak (Bailey et al., 2016). Hal
ini sebagai bukti tingginya kesesuaian homoseksualitas di antara kembar
monozigot (terutama pada lakilaki)(Burns et al., 2017). Namun penelitian ini
juga tidak terlepas bahwa faktor lingkungan juga mempengaruhi individu
menjadi homoseksual (Bailey et al., 2016)
b) Prenatal endokrin
Perkembangan perbedaan jenis kelamin secara fisik sebagian besar bergantung
pada hormon.Studi awal tentang kemungkinan pengaruh hormonal pada
orientasi seksual difokuskan pada tingkat sirkulasi hormon seks testosterone dan
estrogen.Secara umun, lakilaki homoseksual dan heteroseksual tidak berbeda
dalam tingkat hormone ini. Sebaliknya penelitian cendrung menemukan kadar
testosteron yang lebih tinggi pada wanita homoseksual dibandingkan dengan
wanita heteroseksual. Diduga perbedaan testosteron ini adalah hasil dari
perbedaan ukuran otak yang menyebabkan perbedaan orientasi seksual.
Kemungkinan bahwa orientasi seksual mencerminkan organisasional dari
hormonhormon awal, terutama testosteron jauh lebih berpengaruh (Bailey et al.,
2016).
c) Psikologis
Gangguan psikologis memicu seseorang untuk memiliki kecendrungan
homoseksual seperti peganiayaan atau pelecehan seksual. Dalam sebuah studi
kualitatif tentang persepsi gay terhadap penyebab terjadinya homoseksual
didapatkan bahwa 3 dari 6 partisipan mengatakan bahwa dirinya pernah
mengalami pelecehan seksual yang akan berdampak pada psikologisnya.
Parahnya, pelecehan seksual yang dialami oleh partisipan ke 3 dan ke 4 terjadi
ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) antara usia 6 hingga 7
tahun(Azhari et al., 2019).
d) Sosial dan Budaya
Gagasan bahwa homoseksualitas disebabkan oleh “perekrutan”, atau rayuan
seksual dari seseorang lebih tua yang telah menjadi homoseksual kepada remaja
atau anak-anak muda yang masih polos (Bailey et al., 2016). Perubahan dan
penyalahgunaan teknologi menyebabkan perubahan perilaku dan orientasi

11
seksual pada anak atau remaja. Hal ini juga berkaitan dengan hipotesis
“perekrutan” dimana seorang homoseksual menyatakan bahwa awal mula
mendapatkan pasangan gay adalah lewat teknologi yaitu media sosial seperti we
chat, dan aplikasi yang dibuat khusus untuk LGBT untuk mempermudah dalam
mencari pasangan sesama jenis. Dengan adanya teknologi segela informasi dapat
diakses namun tidak semua hal dapat disaring dengan benar, sehingga nilai-nilai
budaya yang ada di masyarakat mulai terabaikan dengan banyaknya kasus
LGBT(Yanti, Firman, & Rusdinal, 2020).
5. Perilaku Orientasi Seksual Menyimpang (LGBT)
Orientasi seksual menyimpang merupakan tingkahlaku seksual yang
dilakukan seseorang dengan cara tidak wajar dan tidak sesuai dengan norma
agama, hukum dan susila sehingga tidak dapat diterima oleh masyarakat (Abidin,
2017). Persoalan penyimpangan seksual telah menjadi perdebatan dan
pembicaraan hangat di umat manusia sejak munculnya kampanye yang
dilakukan oleh gerakan LGBT (Lesbian, gay, biseksual dan
transgender).Pelegalan pernikahan sesama jenis di Indonesia masih menemukan
jalan buntu dikarenakan masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama
yang memegang teguh nilai moral dan norma yang ada. Nilai-nilai agama juga
di masukkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Sinyo,
2016).
Istilah lain LGBT dalam buku yang ditulis oleh Sinyo adalah SSA (Same
Sex Attraction) yang berarti seseorang mempunyai ketertarikan seksual sesama
jenis, tetapi apabila ada seseorang yang mempunyai SSA namun tidak
mengidentifikasikan dirinya sebagai gay, maka dia tidak dapat disebut sebagai
seorang gay, sebaliknya seorang gay sudah pasti mempunyai SSA (Sinyo, 2014).
Berikut adalah penjelasan penyimpangan seksual LGBT:
a) Lesbian
Lesbian berasal dari kata Lesbos yaitu pulau di tengah lautan Egis yang pada
zaman kuno dihuni oleh para wanita. Menurut mitologi Yunani, hubungan
percintaan sejenis terjadi di pulau itu antara putri Shappo dan Athis. Lesbian
mengacu pada wanita homoseksual. Lesbian yang dapat diartikan sebagai
golongan indvidu yang dilahirkan secara biologis sebagai wanita, namun tertarik

12
kepada wanita yang lain dari segi kecenderungan perasaannya maupun
keinginan seksualnya (Nugraha, 2016). Dengan kata lain lesbian adalah wanita
yang memiliki ketertarikan terhadap jenis kelamin yang samadengan dirinya
(wanita) (Kliegman et al., 2016).
b) Gay
Pada mulanya kata gay digunakan untuk menunjukkan arti bahagiaatau senang.
Namun di Negara inggris pada tahun sekitar 1800-an kata “Gay” memiliki
makna “homoseksual”. Sekarang istilah gay lebih spesifik digunakan untuk
menunjukkan bahwa seseorang mempunyai SSA, kemudian menjadikan sebagai
identitas diri dalam kehidupan sosial.Jadi istilah ini bukan sematamata
menunjukkan rasa ketertarikan seks sesama jenis, namun juga pencitraan dan
penerimaan secara keseluruhan tentang kehidupan dirinya sebagai seseorang
yang mempunyai orientasi seksual ke sasama jenis.Kata “gay” hanya
diperuntukkan kepada laki-laki yang homoseksual (Sinyo, 2014).
c) Biseksual
Istilah biseks atau biseksual digunakan kepada orang yang mempunyai biseksual
merupakan sebutan untuk orang yang mempunyai ketertarikan seksual kepada
kedua jenis kelamin secara bersamaan. Biseksual juga mewakili identitas seksual
dalam kehidupan masyarakat selain heteroseksual, gay dan lesbian (Sinyo, 2014).
d) Transgender
Individu transgender mengidentifikasi diri mereka sebagai lawan jenis dari jenis
kelamin biologis mereka. Orientasi seksual mereka mungkin heteroseksual,
homoseksual, biseksual (Burns et al., 2017). Transgender berbeda dengan
golongan gay, lesbian dan biseksual karena golongan transgender tidak
berorientasi pada dominasi kecenderungan perasaan maupun seksual pada
sesama jenis, melainkan lebih kepada aspek identitas diri (Nugraha, 2016).
Golongan transgender biasanya mengindentifikasi dirinya dengan identitas sejati
yang dianggap bertentangan sejak lahir. Dimana seorang yang lahir sebagai laki-
laki namun nalurinya dan perwataknnya justru sebagai seorang perempuan dan
berkeinginan merubah penampilan fisik mereka menjadi perempuan yang
biasanya ditempuh dengan mendandani diri (makeup) layaknya perempuan
ataupun yang terekstrim dengan jalan melakukan operasi pelastik. Hal ini begitu

13
juga sebaliknya bagi perempuan yang naluri ilmiahnya cenderung adalah laki-
laki. Mereka juga akan melakukan hal yang sama. Hanya saja, testis yang
dikembangakan dalam teknologi ilmu kedokteran bedah plastik saat ini tidak
dapat berfungsi sebagaimana mestinya (Nugraha, 2016).

2.3 Konsep Pemahaman


a. Definisi
Berdasarkan taksonomi Bloom yang direvisi oleh Anderson dan
Krathwohl (2010) yang dikutip dalam Darmawan & Sujoko(2013), pemahaman
merupakan dimensi proses kognitif C2, pada dimensi ini kemampuan
pemahaman meliputi translasi (kemampuan mengubah simbol dari satu ke
bentuk lain), interpretasi (kemampuan menjelaskan materi), dan ekstrapolasi
(kemampuan memperluas arti). Pengertian pemahaman menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sebuah proses, cara, perbuatan memahami atau
memahamkan sesuatu. Person, Hinson, dan Sardo Brown (2001) dikutip
Ramelan (2008) menjelaskan bahwa dalam domain kognitif taksonomi bloom,
pemahaman adalah keterampilan intelektual yang menunjukkan pengetahuan
tentang apa yang dikatakan oleh bentuk verbal, gambar, atau simbol.
Pengetahuan memperlihatkan bagaimana pengertian tentang fakta dan gagasan
dengan cara mengorganisasi, membandingkan, menerjemahkan, menafsirkan,
memberikan deskripsi, dan menayakan ide tau gagasan utama. Didalamnya
terdapatproses memahami informasi, menangkap makna, menerjemahkan
pengetahuan kedalam konteks baru, menafsirkan fakta, menarik hubungan
sebab-akibat, dan konsekuensi.

Pemahaman bersifat abstrak dan ada pada wilayah psikologi karena ada
berhubungan dengan fungsi kognitif dalam memahami informasi, menagkap
esensi dan makna, dan menarik hubungan kausal(Ramelan, 2008). Pemahaman
merupakan suatu fase dalam kegiatan belajar. Pada fase ini individu mendapat
stimulus, stimulus ini masuk kedalam peristiwa belajar dan akhirnya stimulus
tersebut menjadi sebuah informasi yang akan disimpan didalam memori otaknya
(Susanto, 2015) Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa pemahaman
adalah suatu kemampuan seseorang memaknai sesuatu informasi yang

14
didapatkan dari sebuah stimulus berdasarkan pengetahuan dasar yang
dimilikinya dan dapat menyampaikan informasi tersebut dengan katakatanya
sendiri.

b. Kategori Pemahaman
Merujuk pada taksonomi Bloom menyebutkan ada 3 kategori pemahaman,
yaitu :
a) Pemahaman Terjemahan (Translation)
Translasi adalah menerjemahkan suatu konsep kedalam bahasa lain atau istilah
lain yang dikomunikasikan dengan menggunakan bahasa sendiri (Bloom,
Engelhart, Furst, Hill, & Krathwohl, 1956). Pemahaman translasi menurut
Kaharu (2017) meliputi dua kemampuan yaitu menerjemahkan sesuatu dari
bentuk abstrak ke bentuk yang lebih konkret dan menerjemahkan suatu simbol
kedalam bentuk lainnya
b) Pemahaman Penafsiran (Interpretation)
Interpretasi melibatkan komunikasi sebagai konfigurasi ide-ide yang
mungkin memerlukan penataan ulang kedalam konfigurasi baru dalam
pikiran individu.Bukti pemahaman interpretasi dapat ditemukan dalam
sebuah kesimpulan, generalisasi, atau ringkasan yang dihasilkan oleh
individu (Bloom et al., 1956) . Pemahan penafsiran meilputi kemampuan
membedakan antara kesimpulan-kesimpulan yang diperlukan dan yang tidak
diperlukan, serta memahami dan menafsirkan isi berbagai macam bacaan
(Kaharu, 2017).
c) Pemahaman Perluasan (Extrapolation)
Yaitu pemahaman dengan kemampuan untuk meramalkan (menduga)
ataumemberikan gambaran akan sesuatu hal berdasarkan informasi atau data
tren yang muncul untuk menentukan implikasi, konsekuesi atau aturan-
aturan yang wajar, dampak dan sebagainya sesuai dengan kondisi yang asli
(Bloom et al., 1956). Pemahaman ekstrapolasi meliputi tiga kemampuan
yaitu menyimpulkan lebih eksplisit, memprediksi konsekuensikonsekuensi
dari tindakan yang digambarkan dari sebuah komunikasi, dan sensitif atau
peka terhadap faktor-faktor yang mungkin dapat membuat prediksi menjadi
akurat (Kaharu, 2017).

15
BAB III
KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Konsep


Sesuai dengan judul penelitian, maka dapat dijabarkan kerangka konsep
penelitian sebagai berikut:

(Variabel Independen) (Variabel Dependen)


Perilaku Menyimpang Seksual:

Tingkat Pengetahuan  Lesbian


 Gay
Orientasi Seksual
 Biseksual
 Transgender

Sesuai dengan teori diatas, ada banyak faktor yang memicu timbulnya perilaku
menyimpang sesksual. Salah satunya adalah pengetahuan remaja tentang orientasi
seksual. Banyak hal yang berkontribusi dalam kepercayaan dan perilaku seksual saat ini,
salah satunya yaitu media seperti televisi, majalah dan smart phone banyak memuat
konten seksual yang akan berdampak pada perubahan sikap tentang seks dan gender
serta memicu aktivitas seksual secara dini. Hal ini lah yang membuat remaja terjerumus
ke dalam perilaku menyimpang seksual, baik itu di usianya maupun saat ia beranjak
dewasa.

3.2 Hipotesis Penelitian


Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah “Terdapat hubungan yang
bermakna antara tingkat pengetahuan orientasi seksual pada remaja dengan perilaku
menyimpang seksual.”

3.3 Variabel Penelitian


a. Variabel Independen
Variabel independen (independent variable) atau variable bebas adalah variabel
yang mempengaruhi variable dependen (terikat), baik yang pengaruhnya positif
maupun yang pengaruhnya negatif.

16
Variabel independen dalam penelitian ini adalah tingkat pengetahuan orientasi
seksual.
b. Variabel Dependen
Variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel yang nilainya tergantung
dari variabel lain, dimana nilainya dapat berubah. Variabel dependen sering juga
disebut variabel respon yang dilambangkan dengan Y. Variabel dependen dalam
penelitian ini adalah perilaku menyimpang seksual

3.4 Definisi Operasional


a. Tingkat pengetahuan orientasi seksual
Pengetahuan adalah sebuah proses, cara, perbuatan memahami atau
memahamkan sesuatu. Dalam domain kognitif taksonomi bloom, pemahaman
adalah keterampilan intelektual yang menunjukkan pengetahuan tentang apa
yang dikatakan oleh bentuk verbal, gambar, atau simbol.
Orientasi seksual adalah bagian dari identitas individu yang mencakup
ketertarikan seksual dan emosional kepada orang lainyang mungkin
menghasilkan perilaku atau afiliasi sosial dimana seseorang tertarik kepada laki-
laki, perempuan, keduanya atau bahkan bukan keduanya (Aseksual) (APA,
2015).
b. Orientasi seksual menyimpang merupakan tingkahlaku seksual yang dilakukan
seseorang dengan cara tidak wajar dan tidak sesuai dengan norma agama, hukum
dan susila sehingga tidak dapat diterima oleh masyarakat (Abidin, 2017). LGBT
dalam buku yang ditulis oleh Sinyo adalah SSA (Same Sex Attraction) yang
berarti seseorang mempunyai ketertarikan seksual sesama jenis, tetapi apabila
ada seseorang yang mempunyai SSA namun tidak mengidentifikasikan dirinya
sebagai gay, maka dia tidak dapat disebut sebagai seorang gay, sebaliknya
seorang gay sudah pasti mempunyai SSA.

17
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan desain
penelitian korelasi dengan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian
untuk mempelajari korelasi atau hubungan antara faktor-faktor resiko dengan
efek, dengan pendekatan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu
saat (Notoadmodjo, 2012). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara tingkat pengetahuan orientasi seksual pada remaja dengan perilaku
menyimpang seksual.

4.2 Populasi dan Sampel


1. Populasi
Populasi merupakan subjek yang memenuhi kriteria yang telah
ditetapkan dalam penelitian (Nursalam, 2013). Populasi dalam penelitian ini
adalah siswa SMA Negeri 9 Padang.
2. Sampel
Sampel merupakan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh
populasi (Notoadmodjo, 2012). Karena jumlah populasi yang besar serta
peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi maka
peneliti akan mengambil sampel dari populasi tersebut (Notoadmodjo, 2012).
Sampel pada penelitian ini adalah siswa SMA Negeri 9 Padang yang
diambil dengan menggunakan teknik stratified rondom sampling merupakan
pengambilan sampel yang mempunyai karakteristik yang berbeda yang
berbeda pada setiap kelompok populasi, dimana setiap subjek dalam setiap
strata populasi mempunyai kesempatan untuk terpilih menjadi sampel.
Jumlah populasi <10.000, maka perhitungan menggunakan rumus Slovin
(Dahlan, 2013).
Rumus slovin adalah sebagai berikut:
n= N
1+N(d)2
Keterangan :
N=jumlah populasi

18
n=besar sampel
d=tingkat kepercayaan (0,05)
Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah
a. Kriteria inklusi
1) Siswa SMA Negeri 9 Padang
2) Responden bersedia untuk diteliti
b. Kriteria eksklusi
1) Memiliki kecenderungan menonton video pornografi, game, dan lain-lain

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 9 Padang dan waktunya
kondidional.

4.4 Variabel Penelitian

Variabel Definisi Alat Ukur Cara Ukur Skala Hasil Ukur


Operasional Ukur
Variabel Proses, cara, Kuesioner Mengisi Ordinal Kategori:
idependen perbuatan Tingkat kuesioner - Baik jika
Tingkat memahami Pengetahua nilainya
Pengetahuan atau n Remaja ≥ 76-100
Orientasi memahamkan mengenai %
Seksual sesuatu terkait Orientasi - Cukup
dangan Seksual jika
identitas nilainya
individu yang 60 – 75
mencakup %
ketertarikan - Kurang
seksual dan jika
emosional nilainya
kepada orang ≤ 60 %

19
lainyang
mungkin
menghasilkan
perilaku atau
afiliasi sosial
dimana
seseorang
tertarik kepada
laki-laki,
perempuan,
keduanya atau
bahkan bukan
keduanya
(Aseksual)
Variabel Tingkah laku Dengan Mengisi Ordinal Kategori:
dependen seksual yang menggunak kuesioner - Baik jika
Orientasi dilakukan an nilainya
seksual seseorang kuesioner ≥ 76-100
menyimpang dengan cara %
tidak wajar dan - Cukup
tidak sesuai jika
dengan norma nilainya
agama, hukum 60 – 75
dan susila %
sehingga tidak - Kurang
dapat diterima jika
oleh nilainya
masyarakat ≤ 60 %

4.5 Alat / Instrumen Penelitian


Instrumen penelitian adalah alat-alat yang akan digunakan untuk pengumpulan
data (Notoatmodjo, 2012). Dalam penelitian ini variabel pengetahuan, sikap dan

20
perilaku beresiko seksual menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner
(daftar pertanyaan). Pertanyaan yang digunakan adalah kuisoner tertutup atau
berstruktur dimana kuisoner tersebut dibuat sedemikian rupa sehingga responden
hanya tinggal memilih atau menjawab pertanyaan yang sudah ada.

4.5.1 Uji Validitas


Suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau
kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid apabila mampu
mengukur apa yang kita inginkan, dan apabila dapat mengungkapkan data dari
variabel yang diteliti secara tepat (Arikunto, 2010). Dalam hal ini peneliti
menggunakan kuesioner yang disusun untuk menyusun secara tepat maka perlu
diuji. Untuk menghitung r atau korelasi dan tingkat signifikannya dapat
digunakan program komputer. Rumus korelasi yang dapat digunakan adalah
rumus yang digunakan oleh person yaitu korelasi product moment person.
Adapun ≤ 0,05 maka pertanyaan valid atau didasarkan pada nilai r dimana
pertanyaan yang dinyatakan valid apabila r hitung > r table pada taraf signifikan
5% sehingga pertanyaan dapat digunakan untuk mengumpulkan data penelitian
(Arikunto, 2010).

4.5.2 Uji Reliabilitas


Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh mana suatu alat
pengukur dapat dipercaya atau dapat diandalkan (Notoatmodjo, 2012).
Instrumen yang sudah dipercaya, yang reliabel akan menghasilkan data yang
dapat dipercaya juga. Apabila data sesuai dengan kenyataannya, maka berapa
kalipun diambil tetap akan sama (Arikunto, 2010). Setelah pertanyaan
dinyatakan valid maka proses selanjutnya adalah uji reliabilitas kuesioner
tersebut dengan cara komputerisasi menggunakan Alpha Cronbach

4.6 Etika Penelitian


Penelitian ini hanya melibatkan responden yang mau terlibat secara sadar
dan tanpa paksaan, peneliti menerapkan prinsip-prinsip etik dalam melakukan
penelitian ini guna melindungi responden dari berbagai kekhawatiran dan
dampak yang mungkin timbul selama kegiatan penelitian yaitu (Nursalam,
2013):

21
a. Self determination
Yaitu responden mempunyai hak memutuskan keterlibatannya
dalam kegiatan penelitian termasuk mengundurkan diri ketika penelitian
sedang berlangsung. Peneilitian ini dilakukan secara sukarela dan tanpa
paksaan. Calon responden yang memenuhi kriteria diberi kebebasan untuk
berpartisipasi atau menolak untuk berpartisipasi pada penelitian ini.
b. Informed concent
Yaitu responden mempunyai hak mendapat informasi secara lengkap
tentang tujuan kegiatan penelitian. Peneliti menjelaskan informed concent
terkait penelitian ini kepada respnden. Ketersediaan responden dibuktikan
dengan menandatangani persetujuan menjadi responden.
c. Fair treatment
Yaitu responden berhak mendapat perlakuan adil baik sebelum,
selama dan setelah berpartisipasi dalam penelitian, tanpa adanya
diskriminasi.
d. Privacy
Responden mempunyai hak supaya data yang diberikan harus
dirahasiakan, untuk perlu adanya tanpa nama (anomity) dan bersifat
rahasia (convidentiality). Semua data yang dikumpulkan selama penelitian
disimpan dan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk
kepentingan penelitian. Identitas responden berupa nama ganti dengan
inisial.

4.7 Metode Pengumpulan Data


a. Data Primer
Data yang didapatkan langsung dari responden melalui kuesioner dengan
cara membagi kuesioner yang terlebih dahulu dijelaskan tentang cara mengisi
kuesioner. Data yang didapatkandari responden yaitu berupa data tingkat
pengetahuan remaja, yaitu siswa SMA Negeri 9 Padang mengenai orientasi
seksual.
Prosedure pengumpulan data primer adalah

22
1. Sebelum dilakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu meminta izin
pegambilan data dari kepala sekolah SMA Negeri 9 Padang
2. Peneliti mendapatkan data tentang jumlah siswa
3. Peneliti melakukan koordinasi dengan bagian wakil kesiswaan.
4. Peneliti memberiakan kuesioner melalui ketua kelas dengan tautan
formulir online, peneliti juga menyebutkan kepada ketua kelas jumlah
responden yang dibutuhkan agar tidak terjadi kekurangan atau kelebihan
responden
5. Selanjutnya ketua kelas menyebarkan tautan kepada masing masing kelas
di SMA Negeri 9 Padang
6. Peneliti memantau perkembangan pengisian kuesioner secara online, jika
kuota belum terpenuhi maka peneliti menghubungi ketua kelas kembali
untuk menghimbau siswa yang belum mengisi kuesioner untuk mengisi
kuesioner.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh peneliti dari wakil kesiswaan, guru BK, serta
ketua OSIS di bawah koordinasi kepala sekolah untuk memperoleh literatur
mengenai masalah yang diteliti.

4.8 Teknik Analisa Data


a. Analisa Univariat
Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian (Notoajmodjo, 2014). Analisa
univariat pada penelitian ini digunakan untuk melihat distribusi frekwensi
karakteristik sampel baik variabel dependen maupun independen (Dahlan,
2014).

b. Analisa Bivariat
Data diolah secara computerisasi dengan menggunakan Uji Fisher
bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Hasil analisis jika p value ≤0,05
berarti Ho ditolak, ini berarti ada hubungan yang bermakna antar variabel.

23
Jika p value ≥0,05 berarti Ho gagal ditolak, ini berarti tidak ada hubungan
yang bermakna antara variabel dependen dan variabel independen.

24
INSTRUMEN PENELITIAN

Kuesioner Pengetahuan tentang Perilaku seksual

No Pernyataan Benar Salah


1 Pemberian rangsangan pada diri sendiri merupakan bagian dari
aktivitas seksual
2 Bergandengan tangan bukan bentuk aktivitas seksual *
3 Berpelukan merupakan bentuk aktivitas seksual

4 Aktivitas seksual yang dilakukan sendirian tanpa ada pasangan,


tidak berdampak
negatif*
5 Berciuman merupakan aktivitas yang dilarang dalam pergaulan
remaja*
6 Aktivitas berpelukan di kalangan remaja dapat pemicu perilaku
seks bebas

7 Aktivitas berciuman dengan mulut yang terdapat luka, berisiko


menularkan penyakit
seksual

8 Rangsangan mulut pada pasangan pra nikah adalah bagian dari


aktivitas seksual
berisiko

9 Rangsangan dengan mulut pada tubuh pasangan dengan


penggunaan alat kontrasepsi,
tidak berisiko sama sekali menularkan HIV*
10 Berhubungan badan dengan alat kontrasepsi tidak menjamin
mencegah kehamilan*

11 Berhubungan badan tanpa melibatkan alat kelamin bukan


merupakan aktivitas
berisiko*
12 Berhubungan badan tanpa melibatkan alat kelamin dapat
menularkan HIV
13 Berhubungan badan hanya sekali tidak memiliki kemungkinan

25
hamil*
14 Berhubungan badan setelah bertunangan adalah bukan aktivitas
seks pra nikah*

15 Berhubungan seks pra nikah dapat menyebabkan masalah


penurunan prestasi
akademik di sekolah

Kuesioner Sikap tentang Perilaku seksual

Sangat Setuju Tidak Sangat


No Pernyataan Setuju Setuju Tidak
Setuju
Menurut saya, :
1 Saya akan bangga jika dapat menjaga kehormatan
diri dari rayuan pasangan
2 Masalah seksual adalah hal pribadi yang tidak
perlu didiskusikan*
3 Bergandengan tangan dengan pasangan adalah
aktivitas yang wajar*
4 Memberikan rangsangan pada tubuh sendiri
adalah tindakan yang dilarang
5 Mau diajak bericiuman adalah bukti cinta kepada
pasangan*
6 Aktivitas berciuman saat berpacaran tidak
diperbolehkan bagi remaja
7 Menyentuhbagian tubuh yang bukan muhrim
adalah hal yang dilarang
8 Berpelukan sebelum menikah boleh dilakukan
untuk mempererat rasa kasih
sayang *
9 Dilarang menggunakan mulut pada tubuh

26
pasangan sebelum menikah
10 Berhubungan badan boleh dilakukan asal tidak
melibatkan bagian alat
kelamin*
11 Norma agama melarang hubungan badan pra
nikah
12 Berhubungan badan boleh dilakukan apabila
telah bertunangan*
13 Berhubungan badan boleh dilakukan apabila
menggunakan alat kontrasepsi*
14 Seks bebas berdampak pada masa depan
pendidikan remaja
15 Perilaku seks bebas tidak dapat dicegah dengan
pendidikan kesehatan
seksual*

Kuesioner Aktivitas tentang Perilaku seksual

Berilah tanda checklist (√) pada jawaban yang sesuai dengan pengalaman
saudara yang sebenarnya sampai saat ini
No Pernyataan Pernah Tidak
Pernah
Saya pernah :
1 Memberikan rangsangan dengan tangan pada alat kelamin
sendiri
2 Memberikan rangsangan dengan tangan pada alat kelamin
pasangan
3 Berpegangan tangan dengan pasangan
4 Bergandengan lengan dengan pasangan
5 Mengecup wajah pasangan
6 Mengecup pipi pasangan

27
7 Berciuman dengan pasangan
8 Meraba tubuh pasangan
9 Berpelukan dengan pasangan
10 Merangkul tubuh pasangan
11 Menggunakan mulut pada tubuh pasangan
12 Berhubungan seksual hanya menyentuhkan genetalia saja
13 Berhubungan seksual tanpa alat kontrasepsi
14 Berhubungan seksual dengan menggunakan alat kontrasepsi
15 Berhubungan seksual lebih dari satu pasangan

28
DAFTAR PUSTAKA

Abrori, & Qurbaniah, M. (2017). Buku ajar infeksi menular. Pontianak: UM Pontianak
Pers.

ALODOKTER. (n.d.). Mengenal Jenis-Jenis Orientasi Seksual. Retrieved March 13,


2022, from https://www.alodokter.com/mengenal-jenis-jenis-orientasi-seksual

Annisa, O., & Indrawadi, J. (2020). Peran Pemerintah dalam Menanggulangi LGBT di
Kota Payakumbuh. Journal of Civic Education, 3(1), 110–118.
https://doi.org/10.24036/jce.v3i1.341

Bailey, J. M., Vasey, P. L., Diamond, L. M., Breedlove, S. M., Vilain, E., & Epprecht,
M. (2016). Sexual orientation, controversy, and science. Psychological Science in
the Public Interest, 17(2), 45–101. https://doi.org/10.1177/1529100616637616

Darmayanti, R., & Fadhillah, L. (2019). HUBUNGAN PENGETAHUAN DENGAN


SIKAP SISWA SMK KELAS XI JURUSAN TEKNIK PEMESINAN TENTANG
HOMOSEKSUAL (Di SMK Negeri 1 Kota Kediri). Jurnal Kebidanan, 6(2), 86–
93. https://doi.org/10.35890/jkdh.v6i2.35

GWL-INA. (2016). Buku kesehatan dan hak seksual serta reproduksi


remajaGWLmuda: Jaringan Gaya Warna LEntera Indonesia.

Hellosehat. (n.d.). Bukan Hanya Gay dan Lesbian, Kenali 10 Jenis Orientasi Seksual.
Retrieved March 13, 2022, from https://hellosehat.com/seks/tips-seks/orientasi-
seksual/

Hutauruk, R. I. (2018). Studi Deskriptif Terhadap Penerimaan Diri Pada Descriptive


Study of Self-Acceptance in Homosexual Male ( Gay ) [UNIVERSITAS SANATA
DHARMA]. http://repository.usd.ac.id/32885/2/119114161_full.pdf

Rosario, M. (2019). Sexual Orientation Development of Heterosexual, Bisexual,


Lesbian, and Gay Individuals: Questions and Hypotheses Based on Kaestle’s
(2019) Research. Journal of Sex Research, 56(7), 827–831.
https://doi.org/10.1080/00224499.2019.1590796

29
Untuk, D., Persyaratan, M., & Psikologi, U. S. (2018). Gambaran orientasi seksual
pada remaja yang orang tuanya bercerai skripsi [UNIVERSITAS SUMATERA
UTARA]. https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/10352?show=full

30

Anda mungkin juga menyukai