Anda di halaman 1dari 30

Makalah

Keselamatan Pasien (Patient Safety)

Oleh : Kelompok 2
1. Mella Monicha 191211583
2. Muhammad Haikal 191211585
3. Rizka Septiani 191211594
4. Silvy Siskia Rinalda 191211599
5. Tania Dwiyandola 191211602
6. Tri Yuli Hestiana 191211603
7. Zul Abror 191211607

Dosen Pengampu : Ns. Dedi Adha,M.Kep

PRODI SI KEPERAWATAN
STIKes MERCUBAKTIJAYA PADANG
TAHUN AJARAN
2021 / 2022

Kata Pengantar

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmatNya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih
terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan
baik pikiran maupun materinya.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Padang , 03 Januari 2021

Penulis
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Keselamatan Pasien (Patient Safety)

2.1.1 Pengertian

Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu sistem yang diterapkan untuk mencegah terjadinya
cedera akibat perawatan medis dan kesalahan pengobatan melalui suatu sistem assesment resiko,
identifikasi dan pengelolaan faktor risiko, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dan
tindak lanjut dari insident serta implementasi solusi untuk meminimalkan timbulnya risiko (Dep
Kes RI, 2006). Keselamatan pasien merupakan suatu sistem untuk mencegah terjadinya cedera
yang disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil (TKPRS RSUP Sanglah Denpasar, 2011).

Taylor, et al. (1993) mengungkapkan bahwa keperawatan merupakan profesi yang berfokus
kepada pelayanan dan bertujuan membantu pasien mencapai kesehatannya secara optimal. Oleh
karena itu pada saat memberikan asuhan keperawatan kepada pasien, perawat harus mampu
memastikan bahwa pelayanan keperawatan yang diberikan mengedepankan keselamatan. Perawat
harus memiliki kesadaran akan adanya potensi bahaya yang terdapat di lingkungan pasien melalui
pengidentifikasian bahaya yang mungkin terjadi selama berinteraksi dengan pasien selama 24 jam
penuh, karena keselamatan pasien dan pencegahan terjadinya cedera merupakan salah satu
tanggung jawab perawat selama pemberian asuhan keperawatan berlangsung.

2.1.2 Tujuan Sistem Keselamatan Pasien

Tujuan penerapan sistem keselamatan pasien di rumah sakit antara lain:

1. Terciptanya budaya keselamatan pasien dirumah sakit


2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.

3. Menurunnya Kejadian Tak Diharapkan (KTD)

4. Terlaksananya program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD

Dalam upaya pencapaian tujuan keselamatan pasien ini, setiap rumah sakit

wajib melaksanakan sistem keselamatan pasien melalui upaya- upaya sebagai berikut:

1. Akselerasi program infeksion control prevention (ICP)

2. Penerapan standar keselamatan pasien dan pelaksanaan 7 langkah menuju

keselamatan pasien rumah sakit. Dan di evaluasi melalui akreditasi rumah

sakit

3. Peningkatan keselamatan penggunaan darah (blood safety).

4. Dievaluasi melalui akreditasi rumah sakit.

5. Peningkatan keselamatan pasien di kamar operasi cegah terjadinya wrong

person, wrong site, wrong prosedure (Draft SPM RS:100% tidak terjadi

kesalahan orang, tempat, dan prosedur di kamar operasi)

6. Peningkatan keselamatan pasien dari kesalahan obat.

7. Pelaksanaan pelaporan insiden di rumah sakit dan ke komite keselamatan

rumah sakit.

2.1.3 Manfaat Program Keselamatan Pasien

Program keselamatan pasien ini memberikan berbagai manfaat bagi rumah sakit antara lain:

a. Adanya kecenderungan “Green Product” produk yang aman di bidang industri lain seperti
halnya menjadi persyaratan dalam berbagai proses transaksi, sehingga suatu produk menjadi
semakin laris dan dicari masyarakat.

b. Rumah Sakit yang menerapkan keselamatan pasien akan lebih mendominasi pasar jasa bagi
Perusahaan-perusahaan dan Asuransi-asuransi dan menggunakan Rumah Sakit tersebut sebagai
provider kesehatan karyawan/klien mereka, dan kemudian di ikuti oleh masyarakat untuk mencari
Rumah Sakit yang aman.
c. Kegiatan Rumah Sakit akan lebih memukuskan diri dalam kawasan keselamatan pasien.

2.1.4 Indikator Keselamatan Pasien

Berdasarkan laporan IOM tahun 1999 tentang masalah keselamatan pasien yang menghebohkan
dunia kesehatan mendorong banyak pihak berupaya melakukan hal untuk memperbaiki kualitas
pelayanan terutama yang berhubungan dengan keselamatan pasien. Para peneliti dalam bidang
keperawatan berusaha mengembangkan indikator mutu pelayanan keperawatan yang potensial
bersifat sensitif terhadap kepegawaian. Needleman, et al. (2006) melakukan penelitian mengenai
staffing dan adverse outcomes. Pada penelitian tersebut dilakukan analisis regresi untuk
mengetahui hubungan variabel-variabelnya dan ditemukan adanya hubungan antara (1) lama
tinggal/ lengths-of-stay , infeksi saluran kemih,

pneumonia yang diperoleh di rumah sakit, perdarahan saluran pencernaan atas, renjatan, atau henti
jantung pada pasien-pasien penyakit dalam, dan (2) failure to rescue , yang didefinisikan sebagai
kematian pasien yang disebabkan oleh salah satu komplikasi yang mengancam kehidupan yaitu
pneumonia, renjatan atau henti jantung, perdarahan saluran pencernaan atas, sepsis atau
thrombosis vena dalam pada pasien-pasien bedah.

Penelitian yang dilakukan oleh Hickam, et al. (2003) terhadap 115 literatur mengenai pengaruh
kondisi beban kerja terhadap insiden keselamatan pasien menemukan bahwa kejadian merugikan
yang paling sering dialami oleh pasien adalah ulkus dekubitus, infeksi yang diperoleh di rumah
sakit dan pasien jatuh. Sedangkan Stanton dan Rutherford (2004) mengemukan beberapa kejadian
merugikan yang paling sering dialami oleh pasien sebagai akibat dari kurangnya peran perawat
(nurse sensitive patient outcomes) antara lain pneumonia, perdarahan saluran pencernaan atas,
shock/henti jantung, infeksi saluran kemih, ulkus dekubitus dan failure to rescue.

Indikator mutu layanan keperawatan yang sensitif terhadap staffing pada saat ini secara terus
menerus dikembangkan. Banyak lembaga yang berupaya membuat indikator mutu, namun banyak
dari indikator tersebut kurang mencerminkan pengaruh pelayanan keperawatan terhadap
keselamatan pasien, karena hanya dianggap sebagai indikator kualitas pelayanan kesehatan (ANA,
1995; Institute of Medicine , 1999, 2001, 2005; Joint Commision, 2007 dalam Montalvo, 2007).

Mulai tahun 2007, WHO Collaborating Center For Patient Safety berupaya menetapkan Sembilan
Solusi keselamatan pasien untuk mempermudah pendeteksian terjadinya masalah pada
keselamatan pasien diRumah Sakit, yaitu :
(1) Perhatikan nama obat, rupa dan ucapan mirip (look-alike, sound-alike medication names).

(2) Pastikan Identifikasi pasien,

(3) Komunikasi secara benar saat serah terima pasien,

(4) Pastikan tindakan yang benar pada sisi tubuh yang benar,

(5) Kendalikan cairan elektrolit pekat,

(6) Pastikan akurasi pemberian obat pada pengalihan pelayanan,

(7) Hindari salah cateter dan salah sambung gelamng,

(8) Gunakan alat injeksi sekali pakai, dan

(9) Tingkatkan kebersihan tangan unuk pencegahan infeksi nosokomial (WHO, 2007 dalam Tim
KP-RS RSUP Sanglah Denpasar, 2011).

2.1.5 Sasaran Keselamatan Pasien

Sasaran Keselamatan Pasien merupakan syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit yang
diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada Nine
Life-Saving Patient Safety Solutions dari WHO (2007) yang digunakan juga oleh Komite
Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commission International
(JCI). RSUP Sanglah Denpasar merupakan Rumah Sakit pendidikan Tipe A dengan sumber
manusia (dokter, perawat, dan lain-lain) yang cukup dan telah mempunyai berbagai peralatan
canggih yang memadai dan telah terakreditasi Joint Commission International (JCI) (TKPRS
RSUP Sanglah Denpasar, 2011)

Maksud dari Sasaran Keselamatan Pasien adalah mendorong perbaikan spesifik untuk menunjang
keselamatan pasien. Sasaran menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam pelayanan
kesehatan dan menjelaskan bukti serta solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian atas
permasalahan ini. Diakui bahwa desain sistem yang baik secara intrinsik adalah untuk
memberikan pelayanan kesehatan yang aman dan bermututinggi, sedapat mungkin sasaran secara
umum difokuskan pada solusi-solusi yang menyeluruh.

Menurut Tim KP-RS RSUP Sanglah Denpasar (2011) terdapat enam sasaran keselamatan pasien
yang menjadi prioritas gerakan keselamatan pasien. Enam sasaran keselamatan pasien adalah
tercapainya hal-hal sebagai berikut : a. Sasaran I : Mengidentifikasi Pasien dengan Tepat

Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk memperbaiki / meningkatkan ketelitian dalam


mengidentifikasi pasien. Kesalahan dalam mengidentifikasi pasien bisa terjadi pada pasien yang
dalam keadaan yang terbius/tersedasi, disorientasi, tidak sadar, bertukar tempat tidur / kamar /
lokasi di rumah sakit, adanya kelainan sensori, atau akibat situasi yang lain. Adapun maksud dari
sasaran ini adalah untuk melakukan dua kali pengecekan dalam setiap kegiatan pelayanan ke
pasien. Pertama untuk identifikasi pasien sebagai individu yang akan menerima pelayanan atau
pengobatan dan kedua untuk kesesuaian pelayanan atau pengobatan terhadap individu tersebut.
Kebijakan atau prosedur yang dilakukan secara kolaboratif dikembangkan untuk memperbaiki
proses identifikasi khususnya pada proses pengidentifikasian pasien ketika pemberian obat, darah,
atau produk dan spesimen lain untuk pemeriksaan klinis atau pemberian pengobatan serta tindakan
lain. Kebijakan atau prosedur tersebut memerlukan sedikitnya dua cara untuk mengidentifikasi
seorang pasien seperti nama pasien, nomor rekam medis, tanggal lahir, gelang identitas pasien
dengan bar-code, dan lain- lain. Suatu proses kolaboratif digunakan untuk mengembangkan
kebijakan atau prosedur agar dapat memastikan semua kemungkinan situasi untuk dapat
diidentifikasi dengan tepat da n cepat.

Adapun elemen penilaian untuk sasaran ini adalah sebagai berikut :

1. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan menggunakan gelang identitas

sedikitnya dua identitas pasien (nama, tanggal lahir atau nomor rekam

medik)

2. Pasien yang dirawat diidentifikasi dengan warna gelang yang ditentukan

dengan ketentuan biru untuk laki-laki dan merah muda untuk perempuan, merah untuk pasien
yang mengalami alergi dan kuning untuk pasien dengan risiko jatuh (risiko jatuh telah diskoring
dengan menggunakan protap penilaian skor jatuh yang sudah ada)

3. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian obat, darah, atau produk darah.

4. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum mengambil darah dan spesimen lain untuk
pemeriksaan klinis.

5. Pasien yang dirawat diidentifikasi sebelum pemberian pengobatan dan tindakan/prosedur.

b. Sasaran II: Meningkatkan Komunikasi yang Efektif

Rumah sakit mengembangkan pendekatan untuk meningkatkan komunikasi yang efektif antar para
pemberi layanan. Komunikasi yang dilakukan secara efektif, akurat , tepat waktu, lengkap, jelas,
dan yang mudah dipahami oleh pasien akan mengurangi kesalahan dan dapat meningkatkan
keselamatan pasien. Komunikasi yang mudah menimbulkan kesalahan persepsi kebanyakan
terjadi pada saat perintah diberikan secara lisan atau melalui telepon. Komunikasi yangmudah
terjadi kesalahan yang lain adalah pelaporan kembali hasil pemeriksaan kritis. Rumah sakit secara
kolaboratif mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur untuk perintah lisan dan telepon
termasuk mencatat perintah yang lengkap atau hasil pemeriksaan oleh penerima perintah,
kemudian penerima perintah membacakan kembali (read back) perintah atau hasil pemeriksaan
dan melakukan mengkonfirmasi bahwa apa yang sudah dituliskan dan dibaca ulang adalah akurat.
Kebijakan atau prosedur pengidentifikasian juga menjelaskan bahwa diperbolehkan tidak
melakukan pembacaan kembali (read back) bila tidak memungkinkan seperti di kamar operasi dan
situasi gawat darurat.

Selemen penilaian pada sasaran II ini terdiri dari beberapa hal sebagai berikut:

1. Melakukan kegiatan „READ BACK‟ pada saat menerima permintaan secara lisan atau
menerima intruksi lewat telepon dan pasang stiker ‟SIGN HERE‟ sebagai pengingat dokter harus
tanda tangan.

2. Menggunakan metode komunikasi yang tepat yaitu SBAR saat melaporkan keadaan pasien
kritis, melaksanakan serah terima pasien antara shift (hand off) dan melaksanakan serah terima
pasien antar ruangan dengan menggunakan singkatan yang telah ditentukan oleh manajemen.

c. Sasaran III: Peningkatan Keamanan Obat yang Membutuhkan Perhatian

Rumah sakit perlu mengembangkan suatu pendekatan untuk memperbaiki keamanan obat-obat
yang perlu diwaspadai (high-alert). Bila obat-obatan menjadi bagian dari rencana pengobatan
pasien, manajemen rumah sakit harus berperan secara kritis untuk memastikan keselamatan pasien
agar terhindar daririsiko kesalahan pemberian obat. Obat-obatan yang perlu diwaspadai (high-
alert medications) adalah obat yang sering menyebabkan terjadi kesalahan serius (sentinel event),
obat yang berisiko tinggi menyebabkan dampak yang tidak diinginkan (adverse outcome) seperti
obat-obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip. Rumah sakit secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur untuk membuat daftar obat-obat yang perlu
diwaspadai berdasarkan data yang ada di rumah sakit tersebut. Kebijakan atau prosedur juga dapat
mengidentifikasi area mana saja yang membutuhkan elektrolit konsentrat, seperti di IGD atau
kamar operasi, serta pemberian label secara benar pada elektrolit dan bagaimana penyimpanannya
di area tersebut, sehingga membatasi akses, untuk mencegah pemberian yang tidak sengaja/kurang
hati-hati.
Elemen yang merupakan standar penilaian sasaran III adalah sebagai berikut :

1. Melakukan sosialisasi dan mewaspadai obat Look Like dan Sound Alike (LASA) atau Nama
Obat Rupa Mirip (NORUM)

2. Menerapkan kegiatan DOUBLE CHECK dan COUNTER SIGN setiap distribusi obat dan
pemberian obat pada masing-masing instansi pelayanan.

3. Menerapkan agar Obat yang tergolong HIGH ALERT berada di tempat yang aman dan
diperlakukan dengan perlakuan khusus

4. Menjalankan Prinsip delapan Benar dalam pelaksanaan pendelegasian Obat (Benar Instruksi
Medikasi, Pasien, Obat, Masa Berlaku Obat, Dosis, Waktu, Cara, dan Dokumentasi).

d. Sasaran IV: Mengurangi Risiko Salah Lokasi, Salah Pasien dan Tindakan Operasi

Rumah sakit dapat mengembangkan suatu pendekatan untuk memastikan pemberian pelayanan
dilakukan dengan tepat lokasi, tepat-prosedur, dan tepat- pasien. Salah lokasi, salah pasien, salah
prosedur, pada operasi adalah sesuatu yang menkhawatirkan dan kemungkinan terjadi di rumah
sakit. Kesalahan ini merupakan akibat dari komunikasi yang tidak efektif atau yang tidak adekuat
antara anggota tim bedah, kurangnya melibatkan pasien di dalam penandaan lokasi (site marking),
dan tidak ada prosedur untuk verifikasi lokasi operasi. Di samping itu, pemeriksaan pasien yang
tidak adekuat, penelaahan ulang catatan medis yang kurang tepat, budaya yang tidak mendukung
komunikasi terbuka antar anggota tim bedah atau operasi, permasalahan yang berhubungan
dengan tulisan tangan yang tidak terbaca (illegible handwritting) dan pemakaian singkatan adalah
faktor-faktor yang dapat menyebabkan kesalahan. Rumah sakit perlu untuk secara kolaboratif
mengembangkan suatu kebijakan atau prosedur yang efektif di dalam mengeliminasi masalah
yang mengkhawatirkan ini. Digunakan juga keadaan yang berbasis bukti, seperti yang
digambarkan di Surgical Safety Checklist dari WHO Patient Safety (2009), juga di The Joint
Commission’s Universal Protocol for Preventing Wrong Site, Wrong Procedure, Wrong Person
Surgery. Penandaan lokasi operasi perlu melibatkan pasien dan dilakukan atas satu pada tanda
yang dapat dikenali. Tanda itu harus digunakan secara konsisten di rumah sakit dan harus dibuat
oleh operator yang akan melakukan tindakan, dilaksanakan saat pasien terjaga dan sadar jika
memungkinkan, danharus terlihat sampai saat akan disayat. Penandaan lokasi operasi dilakukan
pada semua kasus termasuk sisi (laterality), multipel struktur (jari tangan, jari kaki, lesi) atau
multipel level (bagian tulang belakang).Proses verifikasi praoperatif ditujukan untuk
memverifikasi lokasi, prosedur, dan pasien yang benar; memastikan bahwa semua dokumen, foto
(imaging), hasil pemeriksaan yang relevan tersedia dan diberi label dengan baik serta dipampang
dan melakukan verifikasi ketersediaan peralatan khusus dan/atau implant - implant yang
dibutuhkan. Tahapan “Sebelum insisi” (Time out) memungkinkan semua pertanyaan atau
kekeliruan diselesaikan dengan baik dan tepat. Time out dilakukan di tempat dimana tindakan
akan dilakukan, tepat sebelum tindakan dimulai, dan melibatkan seluruh tim operasi. Rumah sakit
menetapkan bagaimana proses itu didokumentasikan secara ringkas, misalnya menggunakan
checklist dan sebagainya.

Elemen yang menjadi penilaian pada sasaran IV ini adalah memberi tanda spidol skin marker pada
sisi operasi (Surgical Site Marking) yang tepat dengan cara yang jelas dimengerti dan melibatkan
pasien dalam hal ini (Informed Consent)

e. Sasaran V: Mengurangi Risiko Infeksi

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko infeksi yang terkait
pelayanan kesehatan yang diberikan. Pencegahan dan pengendalian infeksi merupakan tantangan
terbesar dalam tatanan pelayanan kesehatan dan peningkatan biaya untuk mengatasi infeksi yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan merupakan hal yang menjadi perhatian besar bagi
pasien maupun para profesional pelayanan kesehatan. Infeksi biasanyadijumpai dalam semua
bentuk pelayanan kesehatan termasuk infeksi saluran kemih, infeksi pada aliran darah dan
pneumonia. Pusat dari eliminasi infeksi ini maupun infeksi-infeksi lain adalah kegiatan cuci
tangan (hand hygiene) yang tepat. Pedoman hand hygiene bisa dibaca di kepustakaan WHO, dan
berbagai organisasi nasional dan internasional. Rumah sakit mempunyai proses kolaboratif untuk
mengembangkan kebijakan atau prosedur yang menyesuaikan atau mengadopsi petunjuk hand
hygiene yang diterima secara umum dan untuk implementasi petunjuk itu di rumah sakit.

Elemen yang menjadi penilaian sasaran V adalah sebagai berikut.

1. Rumah sakit mengadopsi atau mengadaptasi pedoman Five Moment Hand

Hygiene dan digunakan dalam tatanan kesehatan untuk pelayanan ke pasien.

2. Menggunakan Hand rub di ruang perawatan dan melakukan pelatihan cuci

tangan efektif.

3. Memberikan tanggal dengan menggunakan spidol atau tinta yang jelas setiap

melakukan prosedur invasif (infuse, dower cateter, CVC, WSD, dan lain-lain)
f. Sasaran VI: Pengurangan Risiko Pasien Jatuh

Rumah sakit mengembangkan suatu pendekatan untuk mengurangi risiko pasien dari cedera
karena jatuh. Jumlah kasus jatuh cukup bermakna sebagai penyebab cedera bagi pasien rawat
inap. Dalam konteks masyarakat yang dilayani, pelayanan yang disediakan, dan fasilitasnya rumah
sakit perlu mengevaluasi risiko pasien jatuh dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko
cedera bila sampai jatuh. Evaluasi bisa termasuk riwayat jatuh, obat dan telaah pasien yang
bermkemungkinan mengkonsumsi alkohol, gaya jalan dan keseimbangan, serta alat bantu berjalan
yang digunakan oleh pasien.

Elemen yang menjadi penilaian sasaran VI adalah sebagai berikut.

1. Melakukan pengkajian risiko jatuh pada pasien yang dirawat di rumah sakit.

2. Melakukan tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko jatuh.

3. Memberikan tanda bila pasien berisiko jatuh dengan gelang warna kuning

dan kode jatuh yang telah ditetapkan oleh manajemen

2.1.6 Langkah-Langkah Penerapan Sistem Keselamatan Pasien

Penerapan sistem keselamatan pasien membutuhkan dukungan dari berbagai bidang. Langkah-
langkah yang harus dilakukan antara lain:

a. Membangun budaya kerja yang mementingkan keselamatan dan keamanan

pasien dengan meningkatkan kewaspadaan secara terus-menerus; penyelidikan yang seimbang dan
terutama mempertanyakan mengapa, bukan siapa; keterbukaan dengan pasien untuk menciptakan
suasana kerjasama dan saling percaya antara petugas rumah sakit dan pasien.

b. Kepemimpinan dan dukungan terhadap seluruh petugas rumah sakit dalam menjaga
keselamatan dan keamanan pasien : keteladanan, evaluasi dan umpan balik, coaching dan
mentoring terhadap staf secara berkesinambungan untuk memberdayakan petugas rumah sakit,
dukungan terhadap upaya keselamatan pasien juga mencakup alokasi sumber daya manusia,
informasi, bahan dan peralatan.

c. Melakukan manajemen risiko secara terpadu. Makna manajemen risiko tidak hanya terbatas
pada litigasi oleh pasien maupun petugas kesehatan, tetapi lebih mendasar lagi khususnya
keselamatan pasien, petugas kesehatan dan pengunjung rumah sakit, manajemen, analisis
pemantauan, investigasi, danpelatihan mengendalikan risiko merupakan suatu kesatuan.
Pertimbangan risiko harus menjadi bagian strategi menajemen pelayanan kesehatan.

d. Menganjurkan dan memfasilitasi pelaporan semua kasus medical error yang dapat digabungkan
dari tingkat lokal sampai tingkat nasional dengan menjaga kerahasiaan pasien dan organisasi yang
melaporkan. Pelaporan harus menjadi pendorong pembelajaran yang harus dikembangkan dengan
budaya pelaporan yang tanpa dibayangi ketakutan akan hukuman.

e. Melibatkan pasien, keluarga dan seluruh masyarakat, menjelaskan dan bila perlu minta maaf,
menyelidiki penyebab secara terbuka. Mendukung pasien dan keluarga bagaimana mengatasi
dampak kesalahan medis, bekerjasama dalam pengobatan dan perawatan lebih lanjut, dan
melibatkan pasien dalam investigasi dan rekomendasi untuk perubahan.

f. Mempelajari dan menyebarluaskan temuan tentang penyebab kegagalan medis diantaranya


pendekatan root cause analysis, dinamika sistem, diagram tulang ikan, dan lain-lain.

g. Memberikan solusi-solusi untuk mencegah ”harm”, bukan hanya sebatas menganjurkan staf
untuk berhati-hati tetapi mengatasi permasalahan mendasar, merancang peralatan dan sistem serta
proses-proses lebih intuitif, mempersulit petugas untuk melakukan kesalahan dan mempermudah
petugas untuk menemukan kesalahan.

2.1.7 Standar Patient Safety

Menurut PERMENKES Nomor 1691/MENKES/PER/VIII/2011 Tentang

Keselamatan Pasien Rumah Sakit harus ada beberapa standar yang wajib dimiliki oleh Rumah
Sakit dalam menjalankan program keselamatan pasien.

Standar I. Ketentuan tentang hak pasien

Pasien dan keluarganya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi tentang rencana dan hasil
pelayanan termasuk kemungkinan terjadinya KTD.

Adapun kriteria dari standar ini adalah :

a. Harus terdapat dokter penanggung jawab pelayanan.

b. Dokter penanggung jawab pelayanan wajib membuat rencana pelayanan


kesehatan.

c. Dokter yang menjadi penanggung jawab pelayanan wajib memberikan

penjelasan secara jelas dan benar kepada pasien dan keluarganya tentang rencana dan hasil
pelayanan, pengobatan dan prosedur untuk pasien termasuk kemungkinan terjadinya KTD.

Standar II. Mendidik pasien dan keluarga.

Rumah sakit harus mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung pasien
dalam asuhan kesehatan pasien.

Adapun kriteria dari standar tersebut antara lain.

Keselamatan pasien dalam pemberian pelayanan dapat di tingkatkan dengan keterlibatan pasien
yang merupakan patner dalam proses pelayanan. Karena itu di rumah sakit harus ada sistem dan
mekanisme mendidik pasien dan keluarganya tentang kewajiban dan tanggung jawab pasien dalam
asuhan pasien. Dengan pendidikan tersebut di harapkan pasien dan keluarga dapat :

a. Memberi informasi yang tepat, benar, jelas, lengkap dan jujur.

b. Mengetahui kewajiban dan tanggung jawab pasien dan keluarga.

c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan untuk hal yang tidak dimengerti.

d. Memahami dan menerima konsekuensi pelayanan kesehatan.

e. Mematuhi instruksi dan menghormati peraturan rumah sakit.

f. Memperlihatkan sikap menghormati dan tenggang rasa.

g. Memenuhi kewajiban finansial yang disepakati.

Standar III. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan.

Rumah sakit menjamin kesinambungan pelayanan kesehatan dan menjamin koordinasi antar
tenaga dan antar unit pelayanan.

Kriteria:

a. Adanya koordinasi yang baik dari pelayanan kesehatan secara menyeluruh

mulai dari saat pasien masuk, pemeriksaan, diagnosis, perencanaan pelayanan, tindakan
pengobatan, rujukan dan saat pasien keluar dari rumah sakit.

b. Adanya koordinasi pelayanan kesehatan yang di sesuaikan dengan kebutuhan pasien dan
kelayakan sumber daya secara berkesinambungan sehingga pada seluruh tahap pelayanan
transaksi antar unit pelayanan dapat berjalan baik dan lancar.

c. Adanya koordinasi pelayanan yang mencakup peningkatan komunikasi untuk memfasilitasi


dukungan keluarga, pelayanan keperawatan, pelayanan sosial, konsultasi dan rujukan, pelayanan
kesehatan primer dan tindak lanjut lainnya.

d. Adanya komunikasi dan transfer informasi antar profesi kesehatan sehingga dapat tercapainya
proses koordinasi tanpa hambatan, aman dan efektif.

Standar IV. Rumah sakit mesti mendesain proses baru atau memperbaiki proses yang ada,
memonitor dan mengevaluasi kinerja melalui pengumpulan data, menganalisis secara intensif
KTD, dan melakukan perubahan untuk meningkatkan kinerja serta keselamatan pasien.

Kriteria dari standar IV adalah sebagai berikut:

a.Setiap rumah sakit melakukan proses perencanaan yang baik dengan mengacu pada visi, misi,
dan tujuan rumah sakit, kebutuhan pasien-petugas pelayanan kesehatan, kaidah klinis terkini,
praktik bisnis yang sehat dan faktor-faktor lain yang berpotensi resiko bagi pasien sesuai dengan
”b.Tujuh langkah menuju keselamatan pasien rumah sakit”

Setiap rumah sakit melakukan pengumpulan data kinerja antara lain yang terkait dengan pelaporan
insiden, akreditasi, manajemen risiko, utilisasi, mutu pelayanan dan keuangan.

c. Setiap rumah sakit melakukan evaluasi intensif terkait dengan semua KTD/KNC, dan secara
proaktif melakukan evaluasi suatu proses kasus resiko tinggi bagi pasien.

d. Setiap rumah sakit menggunakan semua data dan informasi hasil analisis untuk menentukan
perubahan sistem yang di perlukan agar kinerja dan keselamatan pasien terjamin.

Standar V. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien.

a. Pimpinan mendorong dan menjamin implementasi program keselamatan pasien secara


terintegrasi dalam organisasi melalui penerapan ”Tujuh langkah

menuju keselamatan pasien rumah sakit”

b. Pimpinan menjamin berlangsungnya program proaktif untuk mengidentifikasi risiko


keselamatan pasien dan program untuk menekan atau mengurangi KTD/KNC

c. Pimpinan mendorong dan menumbuhkan komunikasi dan koordinasi antar unit terkait dan
individu berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang keselamatan pasien.

d. Pimpinan mengalokasikan sumber daya yang adekuat untuk mengkaji, mengukur, dan
meningkatkan kinerja rumah rakit serta meningkatkan keselamatan pasien.

e. Pimpinan mengkaji dan mengukur efektifitas kontribusinya dalam meningkatkan kinerja Rumah
Sakit dan keselamatan pasien.

Kriteria dari standar ini adalah sebagai berikut.

a. Terdapat tim antar disiplin untuk mengelola program keselamatan pasien

guna meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit.

b. Tersedia program proaktif untuk mengidentifikasi risiko keselamatan dan

program meminimalkan insiden yang mencakup jenis kejadian yang memerlukan perhatian, mulai
dari KNC/Kejadian Nyaris Cedera (Near miss) sampai dengan KTD (Adverse event)

c. Tersedianya mekanisme kerja untuk menjamin bahwa semua komponen dari rumah sakit
terintegrasi serta berpartisipasi dalam program keselamatan pasien.

d. Tersedia prosedur yang cepat tanggap terhadap insiden, termasuk asuhan kepada pasien yang
terkena musibah, membatasi risiko pada orang lain dan penyampaian informasi yang benar dan
jelas untuk keperluan analisis

f. Tersedia mekanisme pelaporan baik internal dan eksternal yang berkaitan dengan insiden
termasuk penyediaan informasi yang benar dan jelas tentang analisis akar masalah (RCA) kejadian
pada saat program keselamatan pasien mulai di laksanakan.

g. Tersedia mekanisme untuk menangani berbagai jenis insiden atau kegiatan proaktif untuk
memperkecil resiko termasuk mekanisme untuk mendukung staf dalam kaitan dengan kejadian
yang tidak diinginkan.

h. Terdapat kolaborasi dan komunikasi terbuka secara sukarela antar unit dan antar pengelola
pelayanan di dalam Rumah Sakit dengan pendekatan antar disiplin.

i. Tersedia sumber daya dan sistem informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan perbaikan kinerja
rumah sakit dan perbaikan Keselamatan Pasien, termasuk evaluasi berkala terhadap kecukupan
sumber daya tersebut.

j. Tersedia sasaran terukur dan pengumpulan informasi menggunakan kriteria obyektif untuk
mengevaluasi efektifitas perbaikan kinerja rumah sakit dan keselamatan pasien, termasuk rencana
tindak lanjut dan implementasinya.

Standar VI. Mendidik staf tentang keselamatan pasien.

a. Rumah sakit memiliki proses pendidikan, pelatihan dan orientasi untuk setiap

jabatan mencakup keterkaiatan jabatan dengan keselamatan pasien secara

jelas dan transparan.

b. Rumah sakit menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan yang

berkelanjutan untuk meningkatkan dan memelihara kompetensi staf serta mendukung pendekatan
interdisiplin dalam pelayanan pasien.

Kriteria dari standar ini adalah sebagai berikut :

a. Setiap rumah sakit harus memiliki program pendidikan, pelatihan dan

orientasi bagi staf baru yang memuat topik tentang keselamatan paien sesuai

dangan tugasnya masing- masing.

b. Setiap rumah sakit harus mengintegrasikan topik keselamatan pasien dalam

setiap kegiatan inservice training dan memberi pedoman yang jelas tentang

pelaporan insiden.

c. Setiap rumah sakit harus menyelenggarakan training tentang kerjasama

kelompok guna mendukung pendekatan interdisiplin dan kolaboratif dalam

rangka melayani pasien.

Standar VII. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien.

a. Rumah sakit harus merencanakan dan mendesain proses manajemen informasi

keselamatan pasien untuk memenuhi kebutuhan informasi internal dan

eksternal

b. Transmisi data dan informasi harus tepat waktu dan akurat. Kriteria dari standar ini adalah :
a. Rumah sakit perlu menyediakan anggaran untuk merencanakan dan

mendesain proses manajemen untuk memperoleh data dan informasi tentang

hal-hal terkait dengan keselamatan pasien.

b. Tersedia mekanisme untuk mengidentifikasi masalah dan kendala komunikasi

untuk merevisi manajemen informasi yang ada.

2.2 Motivasi kerja

2.2.1 Pengertian

Motivasi berasal dari kata motif (motive) yang artinya adalah rangsangan dorongan dan
pembangkit tenaga yang dimiliki seseorang sehingga orang tersebut memperlihatkan perilaku
tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan motivasi ialah upaya untuk menimbulkan rangsangan,
dorongan kepada masyarakat atau kelompok untuk mau berbuat dan bekerjasama secara optimal
melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan
(Azwar, Azrul, 1996).

Motivasi mempunyai arti mendasar sebagai inisiatif penggerak perilaku seseorang secara optimal,
hal ini disebabkan karena motivasi merupakan kondisi internal, kejiwaan dan mental manusia
seperti keinginan, harapan, kebutuhan, dorongan dan kesukaan yang mendorong individu untuk
berperilaku kerja guna mencapai tujuan yang diinginkannya atau mendapatkan kepuasan atas
perbuatannya (Azwar, Azrul, 1996)

Motivasi merupakan konsep yang dipakai untuk menguraikan keadaan ekstrinsik yang
ditampilkan dalam perilaku yng terdiri dari respons instrinsik dan ekstrinsik. Respon instrinsik
disebut juga sebagai motif (pendorong) yang mengarahkan perilaku ke rumusan kebutuhan atau
pencapaian tujuan sedangkan stimulus ekstrinsik dapat berupa hadiah atau insentif, mendorong
individu melakukan atau mencapai sesuatu. Jadi motivasi adalah interaksi instrinsik dan ekstrinsik
yang dapat dilihat dengan adanya perilaku atau penampilan (Sadili, 2006). Mc Clelland antara lain
mengemukakan bahwa yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu atau bekerja adalah
berfokus pada tiga kebutuhan dasaryaitu:

a) Kebutuhan akan prestasi (achievement) dorongan untuk mengungguli atau berprestasi,


b) Kebutuhan akan afiliasi atau ikatan hasrat untuk berhubungan antar pribadi yang ramah dan
karib,

c) Kebutuhan akan kekuasaan (power) kebutuhan yang mendorong seseorang untuk menguasai
atau mendominasi orang lain (Sigit, 2003).

Berdasarkan beberapa difinisi diatas dapat di simpulkan bahwa motivasi merupakan sesuatu yang
dapat menimbulkan semangat atau dorongan bekerja individu atau kelompok untuk mencapai
tujuan dalam memuaskan kebutuhan- kebutuhan yang berasal dari stimulus instrinsik maupun
ekstrinsik.

2.2.2 Teori Motivasi

Berbagai teori dapat digunakan untuk menjelaskan tentnag motivasi. Adapun teori tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut.

1. Teori Abraham Maslow

Motivasi manusia timbul karena adanya kebutuhan- kebutuhan yang dikemukan oleh Maslow
yaitu : a) fisiologis (rasa lapar, haus, dan kebutuhan jasmani lainnya), b) keamanan (keselamatan
dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional) c) sosial (di terima baik, rasa memiliki,
kasih sayang) d) penghargaan (status, pengakuan dan perhatian), e) aktualisasi diri (pencapaian
potensi dan pemenuhan kebutuhan diri)

2. Teori Herzberg

Menurut Herzberg, tinggi rendahnya motivasi dan tingkat kepuasan kerja seseorang ditentukan
oleh faktor atau kondisi tertentu. Faktor-faktor tersebut antara lain motivator (prestasi, kemajuan,
keberhasilan dalam mencapai tujuan, peningkatan atas prestasi seseorang (penghargaan), faktor
higiene (kebijaksanaandan administrasi, pengawasan dan mutu pengawasan (supervisi), hubungan
pribadi sesama pegawai, atasan dan bawahan, kondisi lingkungan kerja dan keamanan kerja, gaji
dan insentif, status).

3. Teori Mc. Clelland


Menurut David Mc Clelland terdapat tiga macam teori motivasi yang terdiri dari motif berprestasi,
afiliasi dan motif berkausa. Adapun motif tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. a) motif
berprestasi, yaitu dorongan untuk mencapai sukses dalam berkompetensi dengan standar sendiri
selalu berusaha meningkatkan kemampuan dalam mewujudkan cita-citanya, b) motif affiliasi,
yaitu dorongan untuk diterima orang lain dan bersatu, pegawai yang bermotif affiliasinya diterima,
diakui dan dihargai orang lain, dan c) motif berkuasa, yaitu dorongan yang timbul dalam diri
seseorang untuk menguasai atau mempengaruhi orang lain.

2.2.3 Perangsang Motivasi

Agar seseorang dapat melakukan sesuatu yang diharapkan, maka harus ada perangsang yang dapat
menggerakkan seseorang tersebut untuk bertindak. Perangsang dibedakan atas dua macam yaitu:

1. Perangsang positif

Perangsang positif (positive insentive) adalah imbalan yang menyenangkan yang disediakan untuk
pegawai yang berprestasi. Rangsangan positif ini dapat berupa hadiah, pengakuan promosi, dan
atau melibatkan pegawai tersebut dalam kegiatan yang menarik dan memiliki nilai prestasi yang
tinggi.

2. Perangsang negatif.

Perangsang negatif (negative incentive) ialah imbalan yang tidak

menyenangkan berupa hukuman bagi pegawai yang berbuat kesalahan atau tidak seperti yang di
harapkan. Perangsang ini dapat berupa denda, teguran, pemindahan tempat kerja (mutasi) dan
pemberhentian.

2.3 Komitmen Kerja

2.3.1 Pengertian Komitmen Kerja


Faktor sumber daya manusia adalah faktor yang signifikan untuk meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit. Manajemen rumah sakit perlu mengembangkan perawat untuk melaksanakan Askep
secara efektif, akurat, dan konsisten. Bagi Perawat Komitmen kerja adalah identifikasi kekuatan
yang terkait dengan nilai-nilai dan tujuan untuk memelihara keanggotaan dalam rumah sakit
(Robbins, 2006). Komitmen kerja juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan, keterikatan
individu terhadap tujuan dan mempunyai keinginan untuk tetap berada dalam rumah sakit (Mathis
dan Jackson, 2001) Komitmen perawat dan bidan terhadap rumah sakit ditunjukkan dengan
prestasi yang lebih baik dengan terlibat aktif melaksanakan asuhan keperawatan (Wijaya, 2012).

Beberapa penelitian tentang komitmen kerja dilaksanakan oleh Nursyahfitri (2010). Dia mengkaji
“Pengaruh Komitmen Karyawan terhadap Kinerja Karyawan pada Divisi Produksi PT. Marumitsu
Indonesia”. Ternyata komitmen berpengaruh terhadap kinerja karyawan (t=3,037 dan p=0,000).
Penelitian yang dilakukan oleh Rois (2010) tentang “Pengaruh Komitmen Anggota dan Budaya
Kerja terhadap Kinerja Tim Koordinasi, Monitoring, danEvaluasi Nasional”. Menemukan
pengaruh yang signifikan antara komitmen anggota dengan kinerja Tim Kormonev Nasional
dengan nilai Uji t 2,300 dan Uji F 0,637. Penelitian Suparman (2007) tentang “Analisis Pengaruh
Peran Kepemimpinan, Motivasi dan Komitmen Organisasi terhadap Kepuasan Kerja dalam
Meningkatkan Kinerja Pegawai”. Menemukan bahwa terdapat pengaruh signifikan komitmen
kerja terhadap kinerja (nilai t 0,25 dan P=0,000). Semua hasil penelitian tersebut menyimpulkan
bahwa komitmen kerja secara nyata berpengaruh terhadap kinerja karyawan.

2.3.2 Peningkatan Komitmen Kerja

Komitmen kerja perawat dapat ditingkatkan untuk meningkatkan mutu asuhan keperawatan
dengan beberapa cara sebagai berikut.

1. Menciptakan rasa aman, suasana kerja yang kondusif serta lakukan promosi secara regular

2. Menempatkan perawat sesuai dengan kapasitas, minat, dan motivasi kerjanya agar memberikan
keuntungan bagi kedua belah pihak.

3. Meningkatkan keterampilan, kesempatan pengembangan diri, dan bimbingan perencanaan karir


agar perawat merasa mantap dalam pencapaian kariernya.

4. Mengembangkan fleksibilitas dan otonomi pelaksanaan tugas tetapi tetap memegang teguh
tanggung jawab.

5. Mengembangkan system monitoring peningkatan kinerja, dan pemahaman terhadap nilai dan
tujuan rumah sakit untuk menjaga kesesuaian antara visi dan misi (Wijaya, 2012).

2.3.3 Peranan Komitmen

Komitmen kerja memiliki peranan penting untuk peningkatan kinerja perawat. Komitmen kerja
perawat dapat meningkatkan kinerja mereka yang meliputi aspek motivasi, kejelasan tugas dan
kemampuan kerja. Dengan komitmen kerja yang tinggi, perawat menjadi lebih giat bekerja dan
mempunyai motivasi kuat untuk berprestasi. Komitmen kerja juga dapat menumbuhkan rasa
kepemilikan terhadap rumah sakit, karena ingin tetap bertahan menjadi anggota rumah sakit
(Wijaya, 2012).

2.3.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Komitmen Kerja

Komitmen merupakan kekuatan perawat secara menyeluruh terhadap tugas dan kondisi
lingkungan rumah sakit. Factor-faktor yang mempengaruhi komitmen kerja adalah keinginan kuat
untuk tetap menjadi anggota organisasi, kemauan berusaha dan bekerja keras untuk mencapai
tujuan organisasi, keyakinan dan kepercayaan terhadap nilai-nilai, serta tujuan organisasi. Pada
penelitian ini, komitmen kerja terdiri atas beberapa subvariabel seperti inisiatif, penghayatan
terhadap visi dan misi rumah sakit, peraturan rumah sakit, asuhan keperawatan, dan indikator
kinerja klinik.

Penjabaran masing-masing subvariabel sebagai berikut.

1. Inisiatif

Inisiatif merupakan kemampuan perawat dalam melaksanakan tugas tanpa menunggu perintah.
Hal ini terkait dengan peningkatan hasil pekerjaan, menciptakan peluang untuk menghindari
timbulnya masalah. Inisiatif juga menyangkut kreativitas perawat untuk mengembangkan potensi
diri dalam
melaksanakan Askep dan tugas lain yang diberikan oleh pimpinan. Dalam penelitian ini
subvariabel inisiatif diukur dengan indikator kesempatan menyampaikan pendapat untuk
mengembangkan askep, memiliki upaya untuk meningkatkan mutu pelayanan dan
mengembangkan kompetensi dalam melaksanakan Askep (Ubaydillah, 2009).

2. Penghayatan Terhadap Visi dan Misi Rumah Sakit

Visi merupakan suatu pernyataan ringkas tentang cita-cita pengembangan

organisasi di masa depan. Misi merupakan penetapan tujuan atau sasaran organisasi di masa
depan. Misi merupakan penetapan tujuan atau sasaran organisasi yang mencakup kegiatan jangka
panjang dan jangka pendek. Pernyataan visi dan misi harus sesuai dengan kebutuhan rumah sakit
dan kebutuhan pasien. Keduanya harus bias mengantarkan rumah sakit mencapai tujuan dengan
menumbuhkan semangat kerja, keharmonisan dalam melaksanakan Askep sesuai SOP.
Peningkatan komitmen kerja memerlukan penghayatan visi dan misi rumah sakit. Dalam
penelitian ini subvariabel visi dan misi rumah sakit diukur dengan indikator pemahaman terhadap
visi dan misi rumah sakit yang sudah disosialisasikan kepada perawat dengan dijabarkan visi dan
misi rumah sakit dalam tugas pokok dan fungsi (Mangku Prawira, 2009).

3. Peraturan Rumah Sakit

Peraturan membatasi segala kegiatan perawat. Mereka harus mematuhi karena ada sanksi bagi
yang melanggar. Peraturan dapat berupa tata tertib yang mengikat perawat melaksanakan askep
sehingga tidak menyimpang dari tujuan rumah sakit. Pada penelitian ini subvariabel peraturan
rumah sakit diukur dengan indikator kepatuhan terhadap peraturan rumah sakit yang diterapkan
secara adil.

4. Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan adalah kegiatan profesional perawat yang bersifat dinamis dan membutuhkan
kreativitas mereka memberikan pelayanan kepada pasien. Askep yang diberikan kepada pasien
merupakan pelayanan profesional untuk membantu pasien secara komprehensif melakukan
kegiatan rutinnya tanpa bantuan orang lain. Dalam penelitian ini subvariabel Askep diukur dengan
indikator melaksanakan askep sesuai dengan SOP dan menerapkan Askep sesuai dengan indikator
kinerja klinik.

5. Indikator Kinerja Klinik (IKK)

Indikator kinerja klinik adalah variabel yang diukur dengan prestasi kerja perawat dalam waktu
tertentu. Dalam penelitian ini IKK dirumuskan dalam bentuk kuantitas pelaksanaan SOP. Indikator
kinerja klinik diidentifikasi, dirumuskan, dan ditetapkan oleh kelompok perawat atas persetujuan
kepala ruangan, wakil kepala ruangan, dan koordinator/supervisor. Dalam penelitian ini
subvariabel diukur dengan indikator pengetahuan tentang indikator kinerja klinik dan penilaian
kinerja perawat yang dikaitkan dengan indikator kinerja klinik.

2.4 Instalasi Perawatan Intensif

2.4.1 Pengertian

Instalasi perawatan intensif adalah ruang perawatan terpisah yang berada dalam suatu rumah sakit
dan dikelola khusus untuk perawatan pasien dengan kegawatan yang mengancam nyawa akibat
penyakit, pembedahan atau trauma dengan harapan dapat disembuhkan (reversibel) dan menjalani
kehidupan sosial melalui terapi intensif yang menunjang (suport fungsi vital tubuh) pasien tersebut

selama situasi kritis. Terapi suportif dengan obat dan alat meliputi fungsi pernapasan, sirkulasi,
sistem syaraf pusat, sistem pencernaan, ginjal yang bertujuan agar ancaman kematian dapat
dikurangi dan harapan sembuh kembali normal dapat ditingkatkan (KARS, 2006).

Fasilitas pelayanan intensif dapaat berupa alat dan obat – obat emergensi, tempat tidur khusus
yaitu tempat tidur pasien yang dapat diatur ketinggian atau posisi kepala, kaki, dan kemiringan
secara mekanis atau elektris. Di atas tempat tidur dilengkapi beberapa peralatan yang dipasang di
dinding yaitu : suction, exmination lamp, sphygnomanometer, kotak kontak, out let gasdan bed
side monitor.

2.4.2 Tujuan perawatan di Instalasi perawatan intensif

Instalasi perawatan intensif digunakan untuk mengelola pasien dengan sakit berat dan kritis yang
mengancam jiwa dengan melibatkan tenaga terlatih serta didukung dengan kelengkapan peralatan
khusus. Instalasi Perawatan Intensif mempunyai tujuan yaitu :

a. Menyelamatkan kehidupan pasien yang mengalami penyakit kritis atau berat b. Mencegah
terjadinya kondisi yang memburuk dan terjadinya komplikasi dari
penyakit melalui observasi dan monitoring yang ketat disertai kemampuan untuk
menginterpretasikan setiap data yang didapat dan melaksanakan tindak lanjut perawatan pasien.

c. Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mempertahankan kehidupan pasien.

d. Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ pasien.

e. Mengurangi jumlah kematian pasien kritis dan mempercepat penyembuhan

pasien.

2.4.3 Indikasi Pasien Masuk dan Keluar Instalasi Perawatan Intensif

Indikasi pasien yang dirawat diruang intensif dibagi dalam beberapa prioritas yaitu :

1. Pasien prioritas 1 (satu)

Kelompok ini merupakan pasien sakit kritis, haemodinamik tidak stabil yang memerlukan terapi
intensif seperti dukungan/bantuan ventilasi, infus, obat- obatan vasoaktif kontinyu dan lain-lain.
Contoh pasien kelompok ini antara lain : pasien pasca bedah kardiotorakik, atau pasien shock
septic.

2. Pasien prioritas 2 (dua)

Kelompok ini memerlukan pelayanan pemantauan canggih karena pasien beresiko sehingga
memerlukan terapi intensif segera, pemantauan intensif menggunakan metode seperti pulmonary
chateter sangat menolong. Kelompok pasien ini adalah : pasien yang menderita penyakit dasar
jantung paru, atau ginjal akut dan berat atau yang telah mengalami pembedahan mayor, pasien
kelompok 2 umumnya tidak terbatas macam terapi yang diterimanya, mengingat kondisi
mediknya senantiasa berubah.

3. Pasien prioritas 3 (tiga)

Pasien yang termasuk prioritas ini adalah pasien dengan sakit kritis, dan tidak stabil dimana status
kesehatannya baik penyakit yang mendasari maupun penyakit akutnya sangat mengurangi
kemungkinan kesembuhan dan atau mendapat manfaat dari terapi yang diberikan. Contoh pasien
ini adalah pasien dengan keganasan metastasik disertai penyulit infeksi, pericardial tamponadeatau
sumbatan jalan nafas, atau pasien menderita penyakit jantung atau paru terminal disertai
komplikasi akut berat. Pasien-pasien prioritas ini mungkin mendapat terapi intensif untuk
mengatasi penyakit akut, tapi usaha terapi mungkin tidak sampai melakukan intubasi atau
resusitasi cardiopulmonal.
Indikasi pasien keluar dari ruang intensif juga dibagi dalam beberapa kriteria :

a. Pasien prioritas 1 (satu)

Pasien prioritas 1 (satu) dikeluarkan dari Instalasi perawatan intensif bila

kebutuhan untuk terapi intensif sudah tidak ada lagi atau bila terapi telah gagal dan prognosis
jangka pendek jelek dengan kemungkinan kesembuhan atau manfaat dari terapi intensif kontinyu
sangat kecil. Misalnya pasien dengan tiga atau lebih gagal sistem organ yang tidak berespon
terhadap pengelolaan agresif.

b. Pasien prioritas 2 (dua)

Pasien prioritas 2 (dua) dikeluarkan bila kemungkinan untuk mendadak

memerlukan terapi intensif telah berkurang. c. Pasien prioritas 3 (tiga)

Pasien prioritas 3 (tiga) dikeluarkan bila kebutuhan untuk terapi intensif sudah tidak ada lagi,
tetapi mereka mungkin dikeluarkan lebih dini bila kemungkinan kesembuhannya atau manfaat
dari terapi intensif kontinyu kecil. Misalnya pasien dengan penyakit lanjut (penyakit paru kronis,
penyakit jantung atau liver terminal, karsinoma yang telah menyebar luas, dan lain-lain yang telah
tidak berespon terhadap terapi intensif untuk penyakit akutnya, yang prognosis jangka pendek
secara statistik rendah, dan yang tidak ada terapi yang potensial untuk memperbaiki prognosisnya.

2.4.4 Persyaratan Ruang Instalasi Perawatan Intensif

Sebagai tempat untuk memberikan pelayan secara intensif Instalasi PErawatan Intensif harus
didukung dengan peralatan yang memiliki persyaratan sebagai berikut : kinerja akurat dan
terkendali, keselamatan kerja terjamin, aksesori lengkap dan baik, dan laik pakai. Dalam
memenuhi persyaratan tersebut peralatan harus dikelola dengan baik secara berkesinambungan
dan ditunjuk petugas yang bertanggung jawab penuh untuk mengelola peralatan.

Selain peralatan, ruang perawatan di instalasi perawatan intensif juga harus memenuhi persyaratan
yang ditentukan yaitu :

a. Ruang terbuka 12-16 M2/ per unit.

b. Jarak antara dua tempat tidur adalah 2 meter.

c. Tempat tidur pasiem mudah dirubah posisinya.


d. Peralatan medis mudah dijangkau.

e. Tercukupinya persediaan obat-obatan.

f. Ruangan perawat ditempatkan sedemikian rupa sehingga memudahkan perawat

mengawasi dan menolong pasien.

g. Ruang ber-AC

h. Berdekatan dengan ruang operasi, ruang pulih sadar. i. Cukup ruangan untuk peralatan dan
sterilisasi.

j. Adanya cadangan sumber tenaga listrik darurat.

k. Adanya sistem alarm.

l. Adanya ruangan konsultasi keluarga pasien.

2.4.5 SDM di Instalasi Perawatan Intensif

Ketenagaan yang ada di Instalasi Perawatan Intensif terdiri dari : Tim dokter spesialis dari
berbagai disiplin ilmu, tenaga keperawatan dan tenaga lain (pekerja kesehatan, tata usaha, tenaga
medis non perawatan, teknisi, analis).

a. Perawat di Instalasi Perawatan Intensif.

Perawat adalah seorang yang telah menyelesaikan pendidikan perawat tingkat dasar yakni perawat
dengan pendidikan SPK, Perawat tingkat I yakni perawat dengan pendidikan D III Keperawatan,
dan perawat tingkat II yakni perawat dengan pendidikan sarjana keperawatan S1 Keperawatan
adalah suatu bentuk pelayanan kesehatan profesional yang merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan berdasarkan ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan biopsiko-sosio-
spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, masyarakat, baik sakit maupun
sehat , yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

Asuhan keperawatan adalah suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang
langsung diberikan kepada pasien, pada berbagai tingkat pelayanan kesehatan dalam upaya
pemenuhan kebutuhan dasar manusia, dengan menggunakan metodologi proses keperawatan,
berpedoman pada keperawatan, dilandasi etik dan etika keperawatan dalam dalam lingkup
wewenang serta tanggungjawab keperawatan (PPNI, 1999)
b. Kualifikasi Tenaga Keperawatan di Instalasi Perawatan Intensif

Semua tenaga perawatan yang ditugaskan bekerja di pelayanan intensif harus memenuhi
persyaratan. Antara lain :

1. Mampu mengenal dan mencatat tanda dan gejala penyakit/kegawatan yang mengancam nyawa.

2. Mampu melakukan perawatan gawat darurat pendahuluan termasuk RJP dasar.

3. Mampu memasang infus intra vena.

4. Mampu melakukan pelayanan perawatan intensif sesuai kebutuhan pasien.

5. Mampu mencegah kontaminasi dan infeksi silang.

6. Mendapat pelatihan pencegahan kecelakaan akibat pemakaian alat-alat listrik/kecelakaan kerja


yang lain.

7. Mampu menggunakan peralatan secara benar, efektif dan aman.

8. Bersikap tanggap dan perhatian terhadap keluhan dan kabutuhan pasien serta

keluarga termasuk segi psikologi dan sosial.

Selain itu perawat di Instalasi Perawatan Intensif juga harus melaksanakan

uraian tugas lain sebagaimana perawat pada umumnya. Adapun uraian tugas tersebut sebagai
berikut :

1. Bersedia memelihara kebersihan ruangan dan lingkungan.

2. Menerima dan mengorientasikan pasien baru sesuai prosedur dan ketentuan

yang berlaku.

3. Memelihara dan merawat peralatan keperawatan dan alat-alat medis.

4. Melakukan observasi pasien (mengukur tanda-tanda vital) dan alat yang

digunakan.

5. Melakukan pengkajian keperawatan dan menentukan diagnosa keperawatan

sesuai batas kewenangan dan kemampuan.


6. Melakukan tindakan keperawatan pada pasien sesuai kebutuhan dan batas

kemampuannya

7. Melaksanakan tindakan pengobatan sesuai program.

8. Memberi penyuluhan kesehatan dan KIE pada pasien dan keluarga.

9. Membantu pasien untuk latihan gerak (mobilisasi) kepada semua pasien yang

berpeluang mengalami kontraktur atau mengalami imobilisasi.

10. Melaksanakan tugas pagi, sore, malam dan hari libur secara bergilir sesuai

daftar dinas.

11. Melaksanakan sistem pencatatan dan pelaporan asuhan keperawatan sesuai

dengan ketentuan.

12. Memindahkan pasien ke ruangan bila pasien sudah stabil atau sesuai indikasi.

13. Mendokumentasikan identitas klien, tindakan keperawatan, tindakan

pemeliharaan medis sesuai dengan konsep keselamatan pasien (patient safety).

14. Melaksanakan serah terima tugas saat pergantian dinas secara tertulis maupun

lisan.

15. Mengikuti pertemuan berkala yang diadakan oleh kepala ruang.

2.5 Hubungan Motivasi dan Komitmen Kerja Perawat dengan Penerapan Keselamatan Pasien

Keselamatan pasien adalah bebas dari cidera aksidental atau menghindarkan cidera pada pasien
akibat perawatan medis dan kesalahan pengobatan . Keselamatan pasien rumah sakit adalah suatu
sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman (Dep Kes RI, 2006). Keselamatan
pasien merupakan suatu sistem untuk mencegah terjadinya cedera yang disebabkan oleh kesalahan
akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil
(TKPRS RSUP Sanglah Denpasar, 2011). Taylor, et al.(1993) mengungkapkan bahwa
keperawatan merupakan profesi yang berfokus kepada pelayanan dan bertujuan membantu pasien
mencapai kesehatannya secara optimal. Oleh karena itu pada saat memberikan asuhan
keperawatan kepada pasien, perawat harus mampu memastikan bahwa pelayanan keperawatan
yang diberikan mengedepankan keselamatan. Perawat harus memiliki kesadaran akan adanya
potensi bahaya yang terdapat di lingkungan pasien melalui pengidentifikasian bahaya yang
mungkin terjadi selama berinteraksi dengan pasien selama 24 jam penuh, karena keselamatan
pasien dan pencegahan terjadinya cedera merupakan salah satu tanggung jawab perawat selama
pemberian asuhan keperawatan berlangsung.

Penelitian yang dilakukan oleh Hickam, et al. (2003) terhadap 115 literatur mengenai pengaruh
kondisi beban kerja terhadap insiden keselamatan pasien menemukan bahwa kejadian merugikan
yang paling sering dialami oleh pasien adalah ulkus dekubitus, infeksi yang diperoleh di rumah
sakit dan pasien jatuh. Sedangkan Stanton dan Rutherford (2004) mengemukan beberapa kejadian
merugikan yang paling sering dialami oleh pasien sebagai akibat dari kurangnya peran perawat
(nurse sensitive patient outcomes) antara lain pneumonia, perdarahan saluran pencernaan atas,
shock/henti jantung, infeksi saluran kemih, ulkus dekubitus dan failure to rescue.

Faktor sumber daya manusia adalah faktor yang signifikan untuk meningkatkan mutu pelayanan
rumah sakit. Manajemen rumah sakit perlu mengembangkan perawat untuk melaksanakan Askep
secara efektif, akurat, dan konsisten. Bagi Perawat Komitmen kerja adalah identifikasi kekuatan
yang terkait dengan nilai-nilai dan tujuan untuk memelihara keanggotaan dalam rumah sakit

(Robbins, 2006). Komitmen kerja juga didefinisikan sebagai tingkat kepercayaan, keterikatan
individu terhadap tujuan dan mempunyai keinginan untuk tetap berada dalam rumah sakit (Mathis
dan Jackson, 2001) Komitmen perawat dan bidan terhadap rumah sakit ditunjukkan dengan
prestasi yang lebih baik dengan terlibat aktif melaksanakan asuhan keperawatan (Wijaya, 2012).

Motivasi mempunyai arti mendasar sebagai inisiatif penggerak perilaku seseorang secara optimal,
hal ini di sebabkan karena motivasi merupakan kondisi internal, kejiwaan dan mental manusia
seperti aneka keinginan, harapan kebutuhan, dorongan dan kesukaan yang mendorong individu
untuk berperilaku kerja guna mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapatkan kepuasan
atas perbuatannya (Azwar, Azrul, 1996). Motivasi juga merupakan konsep yang dipakai untuk
menguraikan keadaan ekstrinsik yang ditampilkan dalam perilaku. Respon instrinsik disebut juga
sebagai motif (pendorong) yang mengarahkan perilaku ke rumusan kebutuhan atau pencapaian
tujuan. Stimulus ekstrinsik dapat berupa hadiah atau insentif, mendorong individu melakukan atau
mencapai sesuatu. Jadi motivasi adalah interaksi instrinsik dan ekstrinsik yang dapat dilihat
berupa perilaku atau penampilan (Sadili, 2006). Dalam perilaku organisasi motivasi merupakan
kemauan yang kuat untuk berusaha ke tingkat yang lebih tinggi atau lebih baik untuk mencapai
tujuan organisasi, tanpa mengabaikan kemampuan untuk memperoleh kepuasan dalam pemenuhan
kebutuhan pribadi. Mc Clelland antara lain mengemukakan bahwa yang mendorong seseorang
untuk melakukan sesuatu atau bekerja adalah berfokus pada tiga kebutuhan dasar yaitu:
a)kebutuhan akan prestasi (achievement) dorongan untuk mengungguli atau berprestasi,
b)kebutuhan akan afiliasi atau ikatan hasrat untuk berhubungan antar
pribadi yang ramah dan karib,

c) kebutuhan akan kekuasaan (power) kebutuhan yang mendorong seseorang untuk menguasai
atau mendominasi orang lain (Sigit, 2003). Komitmen kerja memiliki peranan penting untuk
peningkatan kinerja perawat. Komitmen kerja perawat dapat meningkatkan kinerja mereka yang
meliputi aspek motivasi, kejelasan tugas dan kemampuan kerja. Dengan komitmen kerja yang
tinggi, perawat menjadi lebih giat bekerja dan mempunyai motivasi kuat untuk melaksanakan atau
menerapkan program keselamatan pasien sehingga tercapai prestasi organisasi yang diharapkan.

Daftar pustaka

https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/5c73d18b3282a47bf1561050272e912b.
pdf

Anda mungkin juga menyukai