Anda di halaman 1dari 56

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK


JALANAN

OLEH:

ALFISASRA ARIF
DWI HERTI MARLIAH
KRISNA SUGIYATNO
PERI PIRNANDO
RAHMAT HIDAYYAH
RAHMI PUTRI SEPTIANI

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN (S1)

FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS

DEHASEN
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur selalu tercurahkan kehadirat Allah SWT, karena hanya kepada-
Nyalah kita persembahkan segala bentuk pujian. Dia telah memberikan kita beribu –
ribu nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Sehingga dengan iringan rahmat dan
hidayah Allah SWT lah, pembuatan makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat
waktu.
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW karena dari beliaulah kita semua bisa mengetahui hukum – hukum
Allah SWT, sehingga kita bisa membedakan diantara perkara yang hak dan yang batil
dan perkara yang halal dan haram serta bisa mengetahui perkara yang diridhoi dan
dimurkai Allah SWT.
Selain itu, ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan dan pembuatan makalah ini, baik kepada dosen,
orang tua, maupun teman–teman sekalian. Adapun tujuan penulisan makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Jalanan” untuk memenuhi tugas pada
mata kuliah Keperawatan Jiwa dan untuk menambah wawasan kita.
Penulis menyadari bahwa makalah ini memang jauh dari kesempurnaan, maka
sudilah kiranya siapa saja yang membaca makalah ini agar memaklumi akan
kekurangan dari makalah ini dan saran bagi para pembaca sangat terbuka lebar demi
kemajuan akan suatu karya sastra ini.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin

Bengkulu, Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................5
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................6
D. Manfaat Penulisan.....................................................................................6

BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Anak Jalanan..............................................................................................7
1. Definisi Anak Jalanan.........................................................................7
2. Ciri-Ciri Anak Jalanan .......................................................................8
3. Jenis Anak Jalanan..............................................................................9
4. Faktor Penyebab Anak Jalanan...........................................................10
5. Masalah Anak Jalanan.........................................................................12
2.2 Asuhan Keperawatan….............................................................................44
1. Diagnosa............................................................................................45
2. Intervensi ..........................................................................................45

BAB III : PENUTUP


A. Kesimpulan...............................................................................................50
B. Saran..........................................................................................................50

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................51
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, mencari
nafkah atau berkeliaran dijalan-jalan atau tempat umum lainnya (Sudarsono,
2009). Pengertian anak jalanan menurut dinas sosial propinsi DIY tahun 2010

ii
adalah anak yang melewatkan atau memanfaatkan waktunya dijalanan sampai
dengan umur 18 tahun. Anak jalanan adalah anak yang penampilannya
kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi Departemen
Sosial RI, 2005.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2008 menyebutkan


terdapat 154.861 jiwa anak jalanan, pada tahun 2009 terdapat 230.000 anak
jalanan, pada tahun 2010 jumlah anak jalanan di Indonesia diperkirakan mencapai
200.000 anak jalanan dan Menurut Menteri Sosial Salim Segaf Al-Jufri
menyatakan bahwa pada tahun 2014 jumlah anak jalanan secara nasional
230.000. Jumlah anak jalanan di wilayah Jawa Timur untuk tahun 2012 laki-laki
2.262 anak jalanan dan perempuan 608 anak jalanan, jumlah keseluruhan 2.870
anak jalanan. Data Seksi Rehabilitasi Sosial Dinas Sosial Kota Malang
menyebutkan, total anak jalanan di Kota Malang tahun 2014 berjumlah 548 anak.

Anak-anak jalanan sering melakukan tingkah laku yang meresahkan


masyarakat, salah satu tingkah lakunya yaitu tingkah laku agresi. Perilaku agresi
yang muncul ini disebabkan karena adanya tekanan-tekanan dari lingkungan dan
ketidak berdayaan serta ketidakmampuan anak untuk menangani permasalahan-
permasalahannya yang menimbulkan perasaan frustrasi di dalam diri anak, pada
anak yang memiliki tipe kepribadian tertentu yang tidak tahan terhadap
perubahan berpotensi dengan perilaku ngelem Moci (2013). Eysenck dalam teori
kepribadiannya membagi tipe keprbadian menjadi bagian-bagian yang bergerak
secara kontinum (dimensional) Nasution (2004).

Faktor pencetus kekambuhan yang utama adalah rendahnya komitmen


untuk pulih yang tergantung pada kondisi psikologis dan kepribadian tertentu
(BNN, 2009). seseorang yang telah berhenti menggunakan narkoba diharapkan
memiliki kondisi psikologis yang baik, diantaranya ditandai dengan
psychological well-being yang baik. maka tidak akan mudah untuk terjerumus
menggunakan narkoba kembali atau mengalami kekambuhan. Penelitian Marina,
dkk (2000) menyatakan bahwa disamping faktor teman sebaya, faktor lain yang
turut berperan dalam mekanisme penyalahgunaan NAPZA adalah faktor dari
dalam diri yaitu kepribadian. Kepribadian merupakan salah satu faktor etiologik
dan konsisten, kepribadian merupakan faktor predisposisi pada terjadinya

iii
penggunaan NAPZA. Kepribadian turut menentukan terjadinya penyalahgunaan
obat, sebagai contoh, kepribadian dapat menentukan apakah seseorang bergabung
dengan kelompok penyalahgunaan obat, apakah ikut mencoba obat tersebut dan
apakah seseorang menggunakan obat tersebut lebih lanjut Eysenck, 1997(dalam
Prawira, 2012).

Faktor kepribadian berasal dari diri seseorang, yang memiliki pengaruh


besar dalam menentukan seseorang untuk mencoba dan mengkonsumsi lem,
kepribadian merupakan bagaimana individu tampil dan menimbulkan kesan bagi
individu lain atau organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang
menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas sehingga mereka
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya Sunaryo (2004).

Kepribadian individu dapat dibedakan antara dua sisi yaitu introvert dan
extrovert. Kepribadian Extrovert adalah kecendrungan seseorang untuk
mengarahkan perhatian keluar dari dirinya, sehingga segala minat, sikap,
keputusan yang diambil lebih ditentukan oleh peristiwa yang terjadi di luar
dirinya. Tipe kepribadian introvert adalah seseorang yang cenderung untuk
menarik diri dari lingkungan sosialnya (Djaali, 2012). Nurul Fitrianti 2011 dalam
peneitiannya sebanyak 70 responden, 34% responden yang memiliki kematangan
emosi dan self-efficiency berperilaku relapse narkoba.

Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lain) adalah obat, jika
diminum, dihisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan, berpengaruh pada kerja otak.
Napza dapat menyebabkan rasa ketergantungan, jika mengurangi atau berhenti
menggunakan napza akan timbul gejala putus napza (sakau). Napza dapat
mengubah suasana hati dan perilaku pengguna, penyalahgunaan napza
berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang mengganggu
suasana tertib dan aman (Martono, 2006).

Berdasarkan data Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2013 jumlah


pengguna napza di Jawa Timur mencapai 3.202 orang. Jumlah pengguna napza di
Jawa Timur mendapat peringkat dua di bawah Jakarta sebanyak 5.086 orang.
Sedangkan peringkat ketiga adalah Sumatera Utara sebanyak 2.302 orang, lalu
disusul Banten 2.027 orang, dan Sumatera Selatan sebanyak 1.314 orang.

iv
Pengguna narkoba di Kabupaten Malang sesuai data statistik mencapai 2.000
orang, dan diprediksi terus bertambah setiap tahunnya.

Seiring dengan pengalaman Hernan Crispo, berdasarkan data KKSP dari


hasil survey terhadap kebiasaan anak jalanan ngelem, 68,7% anak jalanan ngelem
dan dilakukan hingga sekarang, dengan mengambil sampel pada tiga lokasi titik
dampingan yakni Terminal Amplas, Pasar Petisah/Jl. Gajah Mada dan Jl.
Juanda/Sp, Istana Plasa. Menurut penelitian YCAB (2008) tentang anak jalanan
di Jakarta bahwa 30,2% anak jalanan ngelem. 73% responden dalam penelitian di
Afrika Selatan tahun 2011 menunjukkan responden relapse ngelem, 13,6%
relapse dalam waktu 0-3 minggu, 6,8% relapse dalam waktu satu bulan, 34,1%
relapse dalam waktu 2-3 bulan, 15,9% relapse dalam waktu satu tahun dan
sisanya relapse dalam waktu dua tahun atau lebih, relapse ngelem dalam
penelitian ini disebabkan karena family support, teman sebaya, lingkungan dan
keluar dari tempat treathment. Usia ngelem termuda sekitar 7 tahun, hal ini terjadi
karena lem mudah didapat, dan lemahnya faktor pengawasan keluarga.
Berdasarkan studi pendahuluan relapse ngelem juga terjadi pada anak jalanan
dikota malang 43 anak jalanan. Kenakalan anak jalanan berperilaku ngelem
sering terjadi namun jarang disadari dan diketahui oleh orang tua. Efek yang
ditimbulkan pusing, halusinasi ringan, mual dan muntah (Suyanto, 2010).
Kembalinya ngelem pada seseorang sering disebabkan karena keluhan-keluhan
seperti, crafing, frustasi, susah konsentrasi atau cemas (Al’Absi, 2006).

Ngelem termasuk narkoba karena terdapat kandungan Toluene,


dalam Lampiran II Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU
Narkotika), merupakan salah satu jenis prekursor narkotika. Prekursor narkotika
adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam
pembuatan narkotika yang dibedakan dalam tabel sebagaimana terlampir dalam
UU Narkotika (Pasal 1 angka 1 UU Narkotika). Dalam lem terdapat berbagai
jenis bahan kimia diantaranya volatile hidrokarbon (toluene aceton, alifatik
acetat, benzine, petroleum naftat, perklorethylen, trikloretane,
karbontetraklorida). Selain berisi volatile hidrokarbon, juga mengandung
diethyleter, kloroform, nitrous oxyda, macam-macam aerosol, insektiside.

Bahan-bahan yang terdapat dalam lem bersifat menekan system susunan

v
saraf pusat (SSP depressant) yang sebanding dengan efek alkohol meskipun
gejalanya berbeda, dapat menimbulkan kehilangan kesadaran. Lamanya efek ini
sekitar 15 menit sampai beberapa jam. Jika dosisnya petroleum dan toluene besar,
akan menimbulkan kejang-kejang, koma, dan bahkan kematian. Kematian bisa
terjadi kerena kecelakaan, seperti kesulitan bernafas sewaktu menghirup lem yang
berada di kantong plastik, karene ketika menghirup telah kehilangan kesadaran.
Efek akut bahan ini serupa berupa euforia ringan, mabuk, pusing kepala dan
sesudah itu ia akan merasa seperti fly (melayang). Saat seperti inilah pengguna
akan melakukan tindakan antisosial dan tindakan impulsive dan agressif. Jika
berkelanjutan maka akan timbul gejala psikotik akut seperti eksitasi, dis-orientasi,
halusinasi dengan kesadaran berkabut, bahkan amnesia (Nirmala, 2012).

Ngelem adalah istilah untuk menghirup aroma dari bahan lem biasanya lem
untuk menempel ban sepeda atau untuk merekatkan bahan kayu Kompasiana
(2013). Kebanyakan anak-anak tidak mengetahui risiko menghirup gas yang
mudah menguap ini. Meskipun hanya dihirup dalam satu waktu pendek, ngelem
dapat mengganggu irama jantung dan menurunkan kadar oksigen, keduanya dapat
menyebabkan kematian. Penggunaan regular akan mengakibatkan gangguan pada
otak, jantung, ginjal dan hepar (Moci, 2013).

Hasil studi pendahuluan pada tanggal 02 Januari 2014 yang dilakukan


peneliti di Klayatan, fly over Gadang, Tanjung dan Kendalsari Kota Malang
dengan cara survey lapangan didapatkan jumlah anak jalanan yang berperilaku
ngelem yaitu 41 anak, 10 anak berhasil berhenti ngelem dan 31 anak relapse
ngelem, 9 anak jalanan ngelem karena lari dari masalah dan kebosanan, 4 anak
yang berperilaku ngelem dikarenakan ingin diterima dikelompok barunya. 5 anak
jalanan yang berperilaku ngelem diajarkan oleh anak-anak jalanan yang telah
lebih dahulu tinggal di jalanan. 4 anak jalanan ngelem karena menyenangkan, 4
anak jalanan ngelem karena ingin seperti temannya, 5 anak jalanan ngelem karena
coba-coba, 5 anak jalanan relapse ngelem dikarenakan faktor pengaruh dari
teman, 8 anak jalanan memiliki rasa keingintahuan yang besar untuk mencoba
lagi ngelem, tanpa sadar atau berpikir panjang mengenai akibatnya. Kesulitan 9
anak jalanan untuk berhenti karena temannya masih ngelem, setiap mereka
melihat temannya ngelem mereka tidak bisa menahan untuk memakai kembali, 5
anak jalanan relapse ngelem karena lari dari masalah, dan 4 anak jalanan relapse

vi
ngelem karena menghilangkan kebosanan, 5 anak jalanan berhasil berhenti
ngelem karena teman meninggal akibat dari kebiasaan ngelem. 3 anak jalanan
berhenti ngelem karena sesak napas dan 2 anak jalanan berhenti ngelem karena
jarang ikut berkumpul dengan teman yang masih memakai lem.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor munculnya anak jalanan?
2. Masihkah ada ruang bagi anak jalanan?
3. Apa saja solusi yang tepat untuk problem anak jalanan?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui faktor apa saja munculnya anak jalanan


2. Untuk mengetahui ruang bagi anak jalanan
3. Untuk mengetahui solusi yang tepat untuk problem anak jalanan

D. Manfaat Penulisan

Bagi Peneliti
Hasil penulisan ini dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai tipe kepribadian dan
relapse ngelem pada anak jalanan sekaligus sebagai pengalaman dalam bidang
pendidikan dan informasi bagi peneliti dalam melakukan penelitian selanjutnya.
Bagi Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai bahan informasi dan edukasi mengenai hubungan tipe
kepribadian dengan perilaku ngelem pada anak jalanan.
Bagi Perawat
Hasil penulisan ini dapat memberikan masukan dalam upaya peningkatan mutu
pelayanan keperawatan sehingga tim pemberi asuhan keperawatan dapat lebih
memahami usia anak sebagai usia yang sangat rentan terhadap perilaku menyimpang
salah satunya penyalahgunaan narkoba yang lebih spesifik pada perilaku ngelem.
Bagi Masyarakat
Hasil penulisan ini diharapkan mampu membuka wawasan masyarakat Malang akan
bahaya ngelem bagi kesehatan, selain itu, membarikan kesadaran bagi anak untuk

vii
berhenti ngelem.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ANAK JALANAN
1. Definisi Anak Jalanan
Anak jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah umum
yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di
jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya (Suyanto,
2010). Menurut Departemen Sosial RI (1999), pengertian tentang anak
jalanan adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun yang karena berbagai
faktor, seperti ekonomi, konflik keluarga hingga faktor budaya yang
membuat mereka turun ke jalan.
UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu Street child
are those who have abandoned their homes, school and immediate
communities before they are sixteen years of age, and have drifted into a
nomadic street life. Berdasarkan hal tersebut, maka anak jalanan adalah
anak-anak berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari
keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam
kehidupan berpindah-pindah di jalan raya (Soedijar, 1998).
Anak jalanan atau gelandangan adalah mereka yang tidak memiliki
tempat tinggal tetap, yang secara yuridis tidak berdomisili secara otentik.
Disamping itu mereka merupakan kelompok yang tidak memiliki pekerjaan
tetap dan layak, menurut ukuran masyarakat pada umumnya dan
sebagian besar dari mereka tidak mengenal nilai-nilai keluhuran
(Sudarsono, 2009). Anak jalanan, anak gelandangan, atau disebut juga
secara eufimistis sebagai anak mandiri, sesungguhnya mereka adalah anak

viii
yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang.
Kebanyakan dalam usia yang relatif dini mereka sudah harus berhadapan
dengan lingkungan kota yang keras, dan bahkan sangat tidak bersahabat. Di
berbagai sudut kota, sering terjadi anak jalanan harus bertahan hidup
dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat
diterima masyarakat umum (Suyanto, 2010). Marginal, rentan, dan
eksploitatif adalah istilah-istilah untuk menggambarkan kondisi dan
kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis
pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, kurang dihargai, dan
umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun di masa depan. Rentan
karena resiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang,
dari segi kesehatan maupun sosial. Adapun disebut eksploitatif karena
mereka biasanya memiliki posisi tawar menawar (bargaining position) yang
sangat lemah, tersubordinasi, dan cenderung menjadi objek perlakuan yang
sewenang-wenang dari keluarga, ulah preman atau oknum aparat yang tidak
bertanggung jawab (Suyanto, 2010).

2. Ciri-Ciri Anak Jalanan


Anak jalanan pada dasarnya adalah anak-anak marginal di perkotaan
yang mengalami proses dehumanisasi (Mulandar, 1996). Mereka bukan saja
harus mampu bertahan hidup dalam suasana kehidupan kota yang keras,
tidak bersahabat dan tidak kondusif bagi proses tumbuh kembang anak.
Tetapi, lebih dari itu mereka juga cenderung dikucilkan masyarakat,
menjadi objek pemerasan, sasaran eksploitasi, korban pemerkosaan dan
segala bentuk penindasan lainnya. Hal inilah yang membuat anak jalanan
memiliki ciri dan karakteristik khusus, yang membedakan anak jalanan
dengan masyarakat pada umumnya. Menurut Sadli (Sudarsono, 2009) anak
jalanan memiliki ciri khas baik secara psikologisnya maupun kreativitasnya,
sebagai berikut :
a. Mudah tersinggung perasaannya,
b. Mudah putus asa dan cepat murung.
c. Nekat tanpa dapat dipengaruhi secara mudah oleh orang lain yang ingin
membantunya,

ix
d. Tidak berbeda dengan anak-anak yang lainnya yang selalu
menginginkan kasih sayang,
e. Tidak mau bertatap muka dalam arti bila mereka diajak bicara, mereka
tidak mau melihat orang lain secara terbuka,
f. Sesuai dengan taraf perkembangannya yang masih kanak-kanak,
mereka sangatlah labil
g. Mereka memiliki suatu keterampilan, namun keterampilan ini tidak
selalu sesuai bila diukur dengan ukuran normatif masyarakat umumnya.
h. Berdasarkan hasil penelitian Yayasan Nanda Dian Nusantara yang
bergerak dalam bidang perlindungan anak pada tahun 1996, ada
beberapa ciri secara umum anak jalanan antara lain :
1) Berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-tempat
hiburan) selama 24 jam,
2) Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, serta sedikit
sekali yang lulus SD),
3) Berasal dari keluarga-keluarga tidak mampu (kebanyakan kaum
urban dan beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya),
4) Melakukan aktifitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada sektor
informal).
i. Keterlibatan anak jalanan dalam kegiatan ekonomi akan berdampak
kurang baik bagi perkembangan dan masa depan anak, kondisi ini jelas
tidak menguntungkan bahkan cenderung membutakan terhadap masa
depan mereka, mengingat anak adalah aset masa depan bangsa.

3. Jenis Anak Jalanan


Sebagai bagian dari pekerja anak (child labour), anak jalanan sendiri
sebenarnya bukanlah kelompok yang homogen. Mereka cukup beragam,
dan dapat dibedakan atas dasar pekerjaannya, hubungannya dengan orang
tua serta jenis kelaminnya (Farid, 1998). Berdasarkan kajian lapangan,
secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam tiga kelompok (Surbakti,
1997):
a. Children on the street, yakni anak-anak yang mempunyai kegiatan
ekonomi di jalan, namun masih mempunyai hubungan yang kuat dengan

x
orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan
kepada orang tuanya (Soedijar, 1984). Fungsi anak jalanan pada
kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi
keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti
ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.
b. Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di
jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara mereka
masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi
pertemuan mereka tidak menentu.
c. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari
keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai
hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka
terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala
risikonya.

4. Faktor Penyebab
Seiring dengan berkembangnya waktu, fenomena anak jalanan atau pekerja
anak banyak terkait dengan alasan ekonomi keluarga (kemiskinan) dan
kecilnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Pendapatan orang tua
yang sangat sedikit tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup
keluarga sehingga memaksa mereka untuk ikut bekerja. Menurut Mulandar
(1996), penyebab dari fenomena anak bekerja antara lain:
a. Dipaksa orang tua,
b. Tekanan ekonomi keluarga,
c. Diculik dan terpaksa bekerja oleh orang yang lebih dewasa,
d. Asumsi dengan bekerja bisa digunakan sebagai sarana bermain,
e. Pembenaran dari budaya bahwa sejak kecil anak harus bekerja.
Sesungguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak
terjerumus dalam kehidupan di jalanan antara lain:
a. Kesulitan keuangan
b. Tekanan kemiskinan
c. Ketidakharmonisan rumah tangga
d. Hubungan orang tua dan anak

xi
Kombinasi dari faktor ini sering kali memaksa anak-anak mengambil
inisiatif mencari nafkah atau hidup mandiri di jalanan. Kadang pengaruh
teman atau kerabat juga ikut menentukan keputusan hidup di jalanan. Studi
yang dilakukan Depsos Pusat dan Unika Atma Jaya Jakarta (1999) di
Surabaya yang mewawancarai 889 anak jalanan di berbagai sudut kota
menemukan bahwa faktor penyebab atau alasan anak memilih hidup di
jalanan adalah karena kurang biaya sekolah (28,2%) dan (28,6%) membantu
pekerjaan orang tua (Suyanto, 2010).
Pada batas-batas tertentu, memang tekanan kemiskinan merupakan
kondisi yang mendorong anak-anak hidup di jalanan. Namun, bukan berarti
kemiskinan merupakan satu-satunya faktor determinan yang menyebabkan
anak lari dari rumah dan terpaksa hidup di jalanan. Menurut penjelasan
Baharsjah, kebanyakan anak bekerja di jalanan bukanlah atas kemauan
mereka sendiri, melainkan sekitar 60% di antaranya karena dipaksa oleh
orang tua. Biasanya, anak-anak yang memiliki keluarga, orang tua penjudi
dan peminum alkohol, relatif lebih rawan untuk memperoleh perlakuan
yang salah. Pada kasus semacam ini, ibu sering kali menjadi objek perasaan
ganda yang membingungkan. Ia dibutuhkan kasih dan perlindungannya,
namun sekaligus dibenci karena perbuatannya (Farid, 1998).
Anak yang hidup dengan orang tua yang terbiasa menggunakan
bahasa kekerasan seperti, menampar anak karena kesalahan kecil,
melakukan pemukulan sampai dengan tindak penganiayaan. Apabila
semuanya sudah dirasa melampaui batas toleransi anak itu sendiri, maka
mereka akan cenderung memilih keluar dari rumah dan hidup di jalanan.
Bagi anak jalanan sendiri, sub-kultur kehidupan urban menawarkan
kebebasan, kesetiaan dan dalam taraf tertentu juga “perlindungan” kepada
anak-anak yang minggat dari rumah akibat diperlakukan salah, telah
menjadi daya tarik yang luar biasa. Menurut Farid (1998), makin lama anak
hidup di jalan, maka makin sulit mereka meninggalkan dunia dan kehidupan
jalanan itu.

5. Masalah Anak Jalanan


Anak jalanan biasanya melakukan berbagai pekerjaan di sektor

xii
informal, baik yang legal maupun yang ilegal di mata hukum untuk
bertahan hidup di tengah kehidupan kota yang keras. Ada yang bekerja
sebagai pedagang asongan di kereta api dan bus kota, menjajakan koran,
menyemir sepatu, mencari barang bekas atau sampah, mengamen di
perempatan lampu merah, tukang lap mobil, dan tidak jarang pula ada anak-
anak jalanan yang terlibat pada jenis pekerjaan berbau kriminal,
mengompas, mencuri, bahkan menjadi bagian dari komplotan perampok.
Tantangan kehidupan yang mereka hadapi pada umumnya memang
berbeda dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak
kasus, anak jalanan sering hidup dan berkembang di bawah tekanan dan
stigma atau cap sebagai pengganggu ketertiban. Perilaku mereka
sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari stigma sosial dan
keterasingan mereka dalam masyarakat. Tidak ada yang berpihak kepada
mereka, justru perilaku mereka sebenarnya mencerminkan cara masyarakat
memperlakukan mereka, serta harapan masyarakat terhadap perilaku
mereka (Suyanto, 2010). Studi Hadi Utomo (1998) menemukan, bahwa
anak-anak jalanan cenderung rawan terjerumus dalam tindakan salah. Salah
satu perilaku menyimpang yang populer di kalangan anak- anak jalanan
adalah ngelem, secara harafiah berarti menghisap lem. Di perkirakan 65-
70% anak yang seharian hidup dan mencari nafkah di jalanan pernah
menggunakan zat ini.

6. Tabel 2.1 Permasalahan Anak Jalanan


Aspek Permasalahan Yang Dihadapi
Pendidikan Sebagian besar putus sekolah karena waktunya tersita dijalanan
Intimidasi Menjadi sasaran tindak kekerasan anak jalanan yang lebih
dewasa, kelompok lain, petugas dan razia
Penyalahgunaan Ngelem, minuman keras, pil BK dan sejenisnya
obat dan zat adiktif
Kesehatan Rentan penyakit kulit, PMS, gonorhoe, paru-paru
Tempat Tinggal Umumnya disembarang tempat, dipemukiman kumuh, dan
rumah singgah.
Resiko Kerja Tertabrak, penculikan, dan lain-lain
Hubungan dengan Umumnya renggang, dan bahkan sama sekali tidak berhubungan
keluarga

xiii
Makanan Seadanya, kadang mengais dari tempat sampah

Sumber: Hadi Utomo (Suyanto, 2010))

2.2 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING

1. Definisi Psychological well being

Teori psychological well-being dikembangkan oleh Ryff pada tahun

1989. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang

mengenai aktivitas hidup sehari-hari. Segala aktifitas yang dilakukan oleh

individu yang berlangsung setiap hari dimana dalam proses tersebut

kemungkinan mengalami fluktuasi pikiran dan perasaan yang dimulai dari

kondisi mental negatif sampai pada kondisi mental positif, misalnya dari

trauma sampai penerimaan hidup dinamakan psychological well-being

(Bradburn dalam Ryff & Keyes,1995).

Ryff (dalam Allan Car, 2008) mendefinisikan psychological well-

being sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara

keseluruhan. Dorongan tersebut dapat menyebabkan seseorang menjadi

pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-being individu

xiv
menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidup yang

akan membuat psychological well-being individu tersebut menjadi tinggi

(Ryff & Keyes, 1995).

Individu yang memiliki psychological well-being yang tinggi

adalah individu yang merasa puas dengan hidupnya, kondisi emosional

yang positif, mampu melalui pengalaman-pengalaman buruk yang dapat

menghasilkan kondisi emosional negatif, memiliki hubungan yang

positif dengan orang lain, mampu menentukan nasibnya sendiri tanpa

bergantung dengan orang lain, mengontrol kondisi lingkungan sekitar,

memiliki tujuan hidup yang jelas, dan mampu mengembangkan dirinya

(Ryff, 1989).

Psychological well being dikenal sebagai salah satu kriteria

kesehatan mental, selain dua kriteria lainnya yaitu tidak adanya penyakit

mental atau normalitas (Jahoda, 1958). Ryff (1989:1070) mendefinisikan

psychological well being lewat beberapa perspektif seperti konsep self-

actualization (aktualisasi diri) dari Maslow (1968), pandangan Rogers

(1961) tentang fully functioning person, konsep (individuasi) dari Jung

(1933; Von Franz, 1964), dan konsep Allport (1961) tentang maturity

(kematangan). Teori lain yang digunakan oleh Ryff dalam menjelaskan

psychological well being adalah dari perspektif teori perkembangan seperti

tahapan psikososial dari Erikson, teori Buhler mengenai kecenderungan

hidup dan teori perubahan kepribadian dari Neugarten. Selain itu Ryff juga

merujuk pada konsep kriteria kesehatan mental positif dari Jahoda. Konsep

kesehatan mental positif yang dikemukakan oleh Jahoda (1958 dalam

15
Ryff, 1989:1070) adalah hasil dari mendefinisikan well being kembali

sebagai ketiadaan penyakit juga menjelaskan tentang pentingnya

memiliki kesehatan psikologis yang baik.

Penjelasan konsep aktualisasi diri dari Maslow yaitu bahwa

aktualisasi diri merupakan keinginan untuk memperoleh kepuasan

dengan dirinya sendiri (self fulfilment), untuk menyadari semua potensi

dirinya, untuk menjadi apa saja yang dapat ia lakukan, dan untuk

menjadi kreatif dan bebas mencapai puncak prestasi potensinya. Manusia

yang dapat mencapai tingkat aktualisasi diri ini menjadi manusia yang

utuh. Menurut Maslow orang yang sehat adalah orang yang

mengembangkan potensi positifnya mengikuti pekembangan yang sehat

(Alwisol, 2004:260-263).

Fully functioning person atau pribadi yang berfungsi utuh adalah

konsep yang dikemukakan oleh Rogers menggambarkan individu

memakai kapasitas bakatnya, merealisasikan potensinya, dan bergerak

menuju pemahaman yang lengkap mengenai dirinya sendiri dan seluruh

rentang pengalamannya (Alwisol, 2004:346). Schultz (1991, dalam

Notosoedirjo & Latipun, 2005:30) menambahkan bahwa fully

functioning juga sebagai bentuk kondisi mental yang sehat serta ditandai

dengan terbuka terhadap pengalaman, ada kehidupan pada dirinya,

kepercayaan kepada organismenya, kebebasan berpengalaman dan

kreativitas.

Psychological well being adalah konstrak yang relatif stabil yang

menggambarkan keseluruhan aspek human functioning untuk mendorong

16
ke arah manusia yang berfungsi lebih adaptif dan pengalaman positif

17
(Ryan dan Deci, 2001 dalam Burns & Machin, 2008). Ryff dan Keyes

(1995, dalam Hoyer, 2003: 132) mengidentifikasi enam dimensi dari

psychological well being yaitu hubungan positif dengan orang lain,

penerimaan diri, hidup bertujuan atau bermakna, otonomi, penguasaan

lingkungan, pertumbuhan pribadi. Menurut Ryff, orang yang sehat secara

psikologis memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang

lain. Mereka membuat keputusan sendiri dan mengatur perilaku mereka

sendiri, dan mereka memilih atau membentuk lingkungan yang kompatibel

dengan kebutuhan mereka. Mereka memiliki tujuan yang membuat hidup

mereka bermakna, dan mereka berusaha untuk mengeksplorasi dan

mengembangkan diri semaksimal mungkin.

2. Dimensi-Dimensi Psychological well being

Ryff dan rekan-rekannya (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995; Ryff &

Singer, 1996 dalam Sugianto, 2000: 68), merumuskan psychological well

being melalui teori psikologi klinis, perkembangan dan kesehatan

mental, dan mengembangkan sebuah model multidimensional yang

meliputi enam dimensi dari psychological well being dan skala self-

report untuk mengukurnya. Enam dimensi tersebut adalah:

1) Penerimaan Diri (Self-Acceptance)

Penerimaan diri yang dimaksud adalah kemampuan seseorang

menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa

lalunya. Seseorang yang menilai positif diri sendiri adalah individu

yang memahami dan menerima berbagai aspek diri termasuk di

18
dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan

diri, berfungsi optimal dan bersikap positif terhadap kehidupan yang

dijalaninya. (Ryff,1995).

Penerimaan diri didefinisikan sebagai fitur sentral mental

kesehatan serta merupakan karakteristik dari aktualisasi diri,

berfungsi optimal, dan kematangan (Ryff, 1989:1071). Penerimaan

diri merupakan sikap positif terhadap diri sendiri dan merupakan ciri

penting dari psychological well being. Individu yang memiliki sikap

positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek

diri termasuk yang baik maupun buruk, dan merasa positif tentang

kehidupan yang dijalani berarti individu tersebut memiliki

penerimaan diri yang positif. Sebaliknya, individu yang tidak puas

dengan dirinya, merasa kecewa terhadap kehidupan yang telah

dijalani, karena mengalami sejumlah kualitas pribadi dan ingin

menjadi orang yang berbeda dari dirinya saat ini merupakan individu

dengan penerimaan diri yang negatif (Sugianto, 2000: 69).

2) Hubungan Positif dengan Orang Lain (Positive Relation with

Others)

Hubungan positif yang dimaksud adalah kemampuan individu

menjalin hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya. (Ryff,

1995). Banyak teori-teori sebelumnya menekankan pentingnya

kehangatan, kepercayaan dalam hubungan interpersonal. Kemampuan

untuk mencintai dipandang sebagai komponen utama kesehatan

19
mental. Orang yang memiliki self-actualization digambarkan memiliki

perasaan empati dan kasih sayang untuk yang kuat semua umat

manusia dan orang dengan kasih sayang yang lebih besar,

persahabatan yang lebih dalam, dan identifikasi yang lebih lengkap

dengan orang lain. Kehangatan berhubungan dengan orang lain

adalah berpose sebagai kriteria kematangan. Teori tahap

perkembangan juga menekankan pencapaian hubungan dekat dengan

orang lain (intimacy) dan pedoman serta arah lain (generativity). Oleh

karena itu, pentingnya hubungan positif dengan orang lain dalam

konsep psychological well being (Ryff, 1989:1071).

Individu dengan hubungan yang hangat, memuaskan dan

saling percaya dengan orang lain, memperhatikan kesejahteraan

orang lain, mampu melakukan empati yang kuat, afeksi, dan

hubungan yang bersifat timbal balik menunjukkan individu tersebut

memiliki hubungan yang positif dengan orang lain. Sementara

individu yang hanya memiliki sedikit hubungan yang dekat dan

saling percaya dengan orang lain, merasa kesulitan untuk bersikap

hangat, terbuka dan memperhatikan orang lain, merasa terasing dan

frustasi dalam hubungan interpersonal, tidak bersedia menyesuaikan

diri untuk mempertahankan suatu hubungan yang penting dengan

orang lain, maka orang tersebut dikatakan tidak memiliki hubungan

yang positif dengan orang lain (Sugianto, 2000:69).

20
3) Otonomi (Autonomy)

Otonomi digambarkan sebagai kemampuan individu untuk

bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. (Ryff,

1995). Orang yang berfungsi penuh juga digambarkan sebagai

memiliki lokus internal terhadap evaluasi, dimana orang tidak

melihat ke orang lain untuk mendapatkan persetujuan, tetapi

mengevaluasi diri menurut standar pribadi (Ryff, 1989:1071).

Konsep otonomi berkaitan dengan kemampuan untuk mengarahkan

diri sendiri, kemandirian dan kemampuan mengatur tingkah laku.

Individu dengan otonomi tinggi jika mampu mengarahkan diri dan

mandiri, mampu menghadapi tekanan sosial, mengatur tingkah laku

sendiri dan mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sebaliknya

individu yang tidak otonom jika individu tersebut memperhatikan

pengharapan dan evaluasi orang lain, bergantung pada penilaian orang

lain dalam membuat keputusan, menyesuaikan diri terhadap tekanan

sosial dalam berpikir dan bertingkah laku (Sugianto, 2000:69).

4) Penguasaan Lingkungan (Environmental Mastery)

Penguasaan lingkungan digambarkan dengan kemampuan

individu untuk mengatur, memanfaatkan kesempatan yang ada di

lingkungan, menciptakan, dan mengontrol lingkungan sesuai

kebutuhan. (Ryff,1995). Individu yang memiliki kemampuan untuk

memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisi

psikisnya didefinisikan sebagai karakteristik dari kesehatan mental.

21
Kematangan dipandang membutuhkan partisipasi dalam ruang lingkup

yang signifikan dari aktivitas di luar diri. Perkembangan sepanjang

hidup juga membutuhkan kemampuan untuk memanipulasi dan

mengendalikan lingkungan yang kompleks. Teori-teori ini

menekankan kemampuan seseorang untuk menghadapi dunia dan

mengubahnya secara kreatif melalui kegiatan fisik atau mental (Ryff,

1989:1071).

Individu yang memiliki penguasaan lingkungan yang baik

adalah individu yang mempunyai sense of mastery dan mampu

mengatur lingkungan, mengontrol berbagai kegiatan eksternal yang

kompleks, menggunakan kesempatan-kesempatan yang ada secara

efektif, mampu memilih atau menciptakan konteks yang sesuai dengan

kebutuhan-kebutuhan pribadi. Sementara individu yang mengalami

kesulitan dalam mengatur aktivitas sehari-hari, merasa tidak mampu

untuk mengubah atau meningkatkan konteks sekitar, tidak waspada

akan kesempatan-kesempatan yang ada di lingkungan, dan kurang

mempunyai kontrol terhadap dunia luar menunjukkan individu yang

tidak memiliki penguasaan atas lingkungan (Sugianto, 2000:69).

5) Tujuan Hidup (Purpose in Life)

Tujuan hidup memiliki pengertian individu memiliki

pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang

keyakinan bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam hidupnya,

22
dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa

sekarang memiliki makna. (Ryff,1995).

Kesehatan mental didefinisikan untuk memasukkan keyakinan

yang memberikan perasaan adanya tujuan dan arti hidup. Definisi

kematangan juga menekankan pemahaman yang jelas tentang tujuan

hidup, merasa terarah dan disengaja. Teori perkembangan rentang

kehidupan melihat berbagai perubahan maksud atau tujuan dalam

hidup, seperti menjadi produktif dan kreatif atau mencapai integrasi

emosional di kemudian hari. Jadi, satu fungsi positif yang memiliki

tujuan, niat, dan rasa arah, semua yang memberikan kontribusi

perasaan bahwa hidup ini bermakna (Ryff, 1989:1071).

Individu yang memiliki arah dan tujuan dalam hidup mampu

merasakan adanya arti dalam hidup masa kini dan lampau.

Sebaliknya individu yang kurang memiliki tujuan hidup adalah

individu yang arti hidup, tujuan, arah hidup dan cita-cita yang tidak

jelas, serta tidak melihat adanya tujuan dari kehidupan masa lampau

(Sugianto, 2000).

6) Pertumbuhan Pribadi (Personal Growth)

Individu yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi

ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang

berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sebagai individu

yang selalu tumbuh dan berkembang (Ryff,1995). Berfungsi optimal

secara psikologis memerlukan tidak hanya mencapai satu

karakteristik sebelumnya, tetapi juga sesuatu yang terus

23
mengembangkan potensi seseorang, untuk tumbuh dan berkembang

sebagai manusia. Keterbukaan terhadap pengalaman, misalnya,

adalah karakteristik kunci dari orang yang berfungsi penuh. Teori

sepanjang hidup juga memberikan penekanan yang eksplisit untuk

pertumbuhan yang berlanjut dan menghadapi tantangan baru atau

tugas pada periode yang berbeda dari kehidupan. Jadi, pertumbuhan

pribadi merupakan kemampuan seseorang untuk mengembangkan

potensi diri secara berkelanjutan (Ryff, 1989:1071).

Individu yang memiliki pertumbuhan pribadi yang

berkelanjutan adalah individu yang mampu merasakan adanya

pengembangan potensi diri yang berkelanjutan, terbuka terhadap

pengalaman-pengalaman baru, menyadari potensi diri, dan melihat

kemajuan diri dari waktu ke waktu. Sebaliknya individu dikatakan

tidak kurang memiliki pertumbuhan pribadi jika individu tidak

merasakan adanya pengembangan potensi diri dari waktu ke waktu,

merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak

mampu mengembangkan tingkah laku baru (Sugianto, 2000).

3. Faktor-faktor yang Terkait dengan Psychological well being

Terdapat beberapa faktor yang terkait dengan psychological well being,:

1) Demografis

Ryff dan Singer (1996 dalam Sugianto, 2000:70) menyatakan bahwa

psychological well being berkaitan dengan faktor demografis yaitu usia,

jenis kelamin, kelas sosial dan latar belakang budaya.

24
a. Usia

Penelitian yang dilakukan oleh Ryff (1989) ditemukan adanya

perbedaan tingkat psychological well-being pada orang dari berbagai

kelompok usia (Ryff, 1989; Ryff & Keyes,1995; Ryff & Singer, 1998).

Individu dalam usia dewasa awal (young) memiliki skor tinggi dalam

dimensi pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, dan tujuan hidup

sementara pada dimensi hubungan positif dengan orang lain,

penguasaan lingkungan, dan otonomi skor rendah (Ryff dalam Ryan &

Deci, 2001).

Tiga kelompok umur, yaitu dewasa muda, dewasa menengah

dan dewasa akhir terdapat perbedaan psychological well being

khususnya pada penguasaan lingkungan, dimensi pertumbuhan pribadi,

dimensi tujuan hidup dan dimensi otonomi (Ryff & Singer, 1996 dalam

Sugianto, 2000: 70). Dewasa menengah menunjukkan well being yang

lebih besar daripada yang lebih tua dan orang dewasa muda di beberapa

area tetapi yang lain tidak. Orang dewasa menengah lebih otonom

daripada orang dewasa muda tetapi kurang bertujuan dan kurang

terfokus pada dimensi pertumbuhan pribadi yang berorientasi masa

depan mengalami penurunan. Penguasaan lingkungan, di sisi lain,

meningkat antara dewasa menengah dan dewasa akhir. Penerimaan diri

relatif stabil untuk semua kelompok umur (Ryff & Singer, 1989 dalam

Papalia, 2002).

b. Jenis Kelamin

Hasil penelitian Ryff (1989) menyatakan bahwa dalam dimensi

25
hubungan dengan orang lain atau interpersonal dan pertumbungan

26
pribadi, wanita memiliki nilai signifikan yang lebih tinggi dibanding

pria karena kemampuan wanita dalam berinteraksi dengan lingkungan

lebih baik dibanding pria.Keluarga sejak kecil telah menanamkan dalam

diri anak laki-laki sebagai sosok yang agresif, kuat, kasar dan mandiri,

sementara itu perempuan digambarkan sebagai sosok yang pasif dan

tergantung, tidak berdaya, serta sensitif terhadap perasaan orang lain

dan hal ini akan terbawa sampai anak beranjak dewasa.

Secara keseluruhan laki-laki dan perempuan memiliki well being

cukup mirip, tetapi perempuan memiliki hubungan sosial yang lebih

positif. Tetapi pada dimensi lain tidak menunjukkan perbedaan yang

signifikan antara wanita dan laki-laki dengan tingkat pendidikan yang

lebih tinggi dan pekerjaan yang lebih baik (Ryff & Singer, 1998 dalam

Papalia, 2002:436). Teori life-span menyatakan perbedaan jenis

kelamin, meskipun baru-baru ini kritik telah menekankan bahwa

perkembangan wanita kurang terikat pada individualisme dan otonomi dan

lebih fokus pada hubungan interpersonal daripada laki-laki (Gilligan,

1982 dalam Ryff, 1989:1075).

c. Tingkat Pendidikan

Pendidikan menjadi satu faktor yang dapat mempengaruhi

psychological well-being. Semakin tinggi pendidikan maka individu

tersebut akan lebih mudah mencari solusi atas permasalahan yang

dihadapinya dibanding individu berpendidikan rendah. Faktor

27
pendidikan ini juga berkaitan erat dengan dimensi tujan hidup individu

(Ryff, Magee, Kling & Wing, 1999).

Orang dengan pendidikan tinggi memiliki dimensi tujuan hidup

dan dimensi pertumbuhan pribadi yang lebih tinggi daripada orang

dengan tingkat pendidikan yang rendah (Ryff & Singer, 1996 dalam

Sugianto, 2000:70). Well being lebih besar pada pria dan wanita dengan

pendidikan lebih tinggi dan pekerjaan yang lebih baik (Ryff & Singer,

1998 dalam Papalia, 2002:436). Memang, menjalani kerja yang lama

dipandang sebagai pusat kesejahteraan bagi pria dan sekarang diakui

sebagai sumber penting well being bagi perempuan juga, memberikan

rasa independensi dan kompetensi selain dari tugas keluarga. Meskipun

berpotensi memunculkan stres, banyak wanita tengah baya berkembang

di peran ganda (Antonucci & Akiyama, 1997; Barnett, 1997 dalam

Papalia, 2002:436).

d. Status Sosial Ekonomi

Ryff mengemukakan bahwa status sosial ekonomi berhubungan

dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, relasi positif dan

pertumbuhan diri (dalam Ryan & Decci, 2001). Perbedaan status sosial

ekonomi dalam psychological well-being berkaitan erat dengan

kesejahteraan fisik maupun mental seseorang. Individu dari status sosial

rendah cenderung lebih mudah stress dibanding individu yang memiliki

status sosial yang tinggi (Adler, Marmot, McEwen, & Stewart, 1999).

28
e. Budaya

Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem nilai individualisme atau

kolektivisme memberi dampak terhadap psychological well-being yang

dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat memiliki nilai yang tinggi

dalam dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur yang

menjunjung tinggi nilai kolektivisme memiliki nilai yang tinggi pada

dimensi hubungan positif dengan orang lain.

Ryff dan Singer (1996 dalam Sugianto, 2000:70) menemukan

adanya perbedaan budaya Barat dan Timur yang memberikan pengaruh

pada psychological well being. Dimensi yang lebih berorientasi pada

diri (seperti penerimaan diri dan dimensi otonomi) lebih menonjol

dalam konteks budaya Barat. Sementara dimensi yang berorientasi pada

orang lain (seperti hubungan positif dengan orang lain) lebih menonjol

pada budaya Timur.

Secara umum, variabel-variabel demografis ini hanya berperan

sedikit dalam variasi keadaan well being seseorang (hanya sekitar 3-

24%) dari keseluruhan faktor-faktor yang menentukan keadaan well

being seseorang. Oleh karena itu, faktor-faktor demografis ini tidak

terlalu signifikan dalam menentukan psychological well being

seseorang (Ryff, 1989:1077). Ryff (1995) mengatakan bahwa sistem

nilai individualisme atau kolektivisme memberi dampak terhadap

psychological well-being yang dimiliki suatu masyarakat. Budaya barat

memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri dan

29
otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai

kolektivisme memiliki nilai yang tinggi pada dimensi hubungan positif

dengan orang lain.

2) Kepribadian

Schmutte dan Ryff (1997 dalam Ryan & Deci, 2001:149) telah

melakukan penelitian mengenai hubungan antara 5 tipe kepribadian (the

big five traits) dengan dimensi-dimensi psychological well being. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa individu yang termasuk dalam kategori

extraversion, conscientiousness dan low neuroticism mempunyai skor tinggi

pada dimensi penerimaan diri, penguasaan lingkungan dan keterarahan

hidup. Individu yang termasuk dalam kategori openess to experience

mempunyai skor tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi; individu yang

termasuk dalam kategori agreeableness dan extraversion mempunyai skor

tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan individu yang

termasuk kategori low neuroticism mempunyai skor tinggi pada dimensi

otonomi.

3) Religuisitas

Penelitian yang dilakukan oleh Koening, Kvale, dan Ferrel (1998)

menunjukkan bahwa individu yang memiliki tingkat religius tinggi akan

menunjukkan sikap yang lebih baik, lebih merasa puas dalam hidup dan

hanya sedikit mengalami rasa kesepian. Hal ini didukung oleh penelitian

Coke (1992); Walls & Zarit (1991) bahwa individu yang merasa

mendapatkan dukungan dari tempat peribadatan mereka cenderung

30
mempunyai tingkat psychological well being yang tinggi dan merasa lebih

puas terhadap hidupnya. Sehingga para ahli menyimpulkan bahwa

religiusitas mempunyai hubungan yang kuat dengan psychological well

being (Papalia et. al., 2002:419).

4) Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat membantu perkembangan pribadi lebih positif

maupun memberi support pada individu dalam menghadapi masalah hidup

sehari-hari. Individu dewasa, semakin tinggi tingkat interaksi sosialnya

semakin tinggi pula tingkat psychological well beingnya, sebaliknya

individu yang tidak mempunyai teman dekat cenderung mempunyai tingkat

psychological well being yang rendah. Ryff (1995, dalam Hoyer, 2003:132)

mengatakan bahwa pada enam dimensi psychological well being, wanita

memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang

lain daripada pria. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial merupakan

salah satu faktor yang penting terhadap psychological well being wanita.

3. EXPRESSIVE ARTS THERAPY

1) Pengertian Expressive Arts Therapy

Rogers (1993) mendefinisikan expressive arts therapy sebagai

pengunaan berbagai arts seperti Gerakan, Menggambar, Mewarnai,

Memahat, Musik, Menulis, Suara, dan Improvisasi dalam kondisi yang

mendukung untuk mengalami dan mengekspresikan Perasaan. Sebagai art

therapy, keindahan art tidaklah diutamakan, dan art digunakan untuk

mengekspresikan diri dan untuk memperoleh insight.

31
Expressive arts therapy berhubungan dengan tradisi dan budaya

pengobatan dunia karena mereka sering melibatkan integrasi dari semua

jenis seni (McNiff, 1981). Upacara yang merupakan penyembuhan asli

pribumi berupa bernyanyi, menari, membuat gambar, atau storytelling.

Contoh, di Yunani kuno, memainkan drama termasuk tari-tarian, musik dan

storytelling membuat orang mengalami pelepasan perasaan yang disimpan.

Expressive therapy didefinisikan sebagai penggunaan seni dan

produk seni lainnya untuk membantu menumbuhkan awareness, mendorong

pertumbuhan emosional, dan meningkatkan relationships dengan orang lain

menggunakan media imajinasi; termasuk seni sebagai terapi, arts

psychotherapy, dan menggunakan seni untuk penyembuhan tradisional dan

menekankan interaksi seni sebagai suatu bentuk terapi (Lesley College,

1995).

Natalie Rogers, putri dari Carl Rogers, mengusulkan lebih dari satu teori

dari expressive arts therapy dan intermodal dan integrasi pendekatan

“person-centered” dalam pekerjaannya. pendekatan “person-centered” atau

“client-centered” yang dikembangkan oleh Carl Rogers dan menekankan

peran terapis sebagai individu yang sensitif, reflektif, dan empati. Person-

centered expressive arts therapy memiliki ajaran yang sama, termasuk dasar

pikiran bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk mengarahkan diri

sendiri dan memiliki dorongan untuk mengarahkan diri kearah personal

growth dan memaksimalkan potensi.

32
Expressive Therapy adalah penggunaan terapeutik dari pembuatan seni,

dalam hubungan yang profesional, bagi orang-orang sakit, mengalami

trauma, atau tantangan dalam hidup, serta orang-orang yang mencari

perkembangan pribadi (American Art Therapy Association, 2003, dalam

Gussak, 2007). Menurut Pearson dan Wilson (2009) mengungkapkan bahwa

Expressive therapy adalah sebuah metode yang berdasar pada ekspresi

artisitik seperti, menggambar, tarian, lagu, tanah liat, sebagai objek media

dalam hubungan terapeutik. Liebmann (2005) mendefinisikan Expressive

Therapy yaitu penggunaan seni sebagai sarana pengekspresian pribadi untuk

mengkomunikasikan perasaan.

2. Komponen Expressive Therapy

Expressive Therapy menambahkan komponen yang unik untuk

psikoterapi dan konseling karena memiliki beberapa karakteristik khusus

tidak selalu ditemukan dalam terapi secara verbal. (1) self expression, (2)

Active Participation, (3) Imagination, dan (4) mind body connection.

1. Self Expression

Semua terapi, sifatnya dan tujuan mendorong individu untuk

terlibat dalam eksplorasi diri. Expressive therapy mendorong tidak hanya

self exploration, tetapi juga menggunakan self expression melalui satu

atau lebih modalitas sebagai bagian sentral dari proses terapi. Gladding

(1992) mencatat bahwa menggunakan seni dalam konseling sebenarnya

dapat mempercepat proses self exploration dan bahwa modalitas secara

ekpresif memungkinkan orang untuk mengalami sendiri dengan cara yang

berbeda.

33
Self Expression melalui lukisan, gerakan, atau puisi dapat

memunculkan pengalaman masa lalu dan bahkan menjadi katarsis bagi

sebagian orang, tapi ini hanya dua aspek peran self expression dalam

terapi. Bahkan, sebagian besar terapis menggunakan expressive therapy

dalam pekerjaan mereka dengan memanfaatkan kemampuan seni, musik,

bermain, dan bentuk-bentuk lain yang mengandung self expression

daripada untuk mendorong komunikasi katarsis emosi atau sekedar

pengulangan kenangan mengganggu. Self Expression digunakan sebagai

wadah bagi perasaan dan persepsi untuk memperdalam pemahaman diri

yang lebih besar, mengakibatkan reparasi emosional, resolusi konflik,

dan rasa well being.

Expressive therapy umumnya tidak berusaha untuk menafsirkan

gambar, gerakan, puisi, atau bermain yang dilakukan oleh seorang

individu. Melainkan mencoba untuk memfasilitasi mereka dalam

menemukan makna pribadi dan pemahaman diri. Untuk alasan itu, self

expression dalam sesi expressive therapy juga umumnya melibatkan

refleksi lisan untuk membantu individu untuk memahami pengalaman

mereka, perasaan, dan persepsi. Sementara kata-kata umumnya

digunakan untuk menceritakan kisah-kisah pribadi, expressive therapy

digunakan untuk membuka jalan pada perasaan sebagai sumber cerita

dan kenangan. Karena pikiran dan perasaan tidak semata-mata verbal

dan tidak terbatas sebagai bahasa lisan di otak, modalitas ekspresif sangat

berguna dalam membantu orang berkomunikasi tentang aspek kenangan

dan cerita yang mungkin tidak tersedia melalui percakapan.

34
Kenangan yang dimiliki khususnya muncul melalui sentuhan, citra,

atau secara hati-hati dipandu gerakan tubuh (Rothschild, 2000). Untuk

beberapa individu, menceritakan cerita melalui satu atau lebih modalitas

ekspresif lebih mudah ditoleransi dari verbalisasi. Individu dapat

"merasakan" kisah mereka, yang memungkinkan praktisi untuk

memanfaatkan penemuan klien dan menggunakan aktivitas untuk membantu

mereka memperluas pemahaman mereka.

Beberapa terapis percaya bahwa proses expressive therapy (yang

menceritakan sebuah cerita melalui modalitas ekspresif seperti seni, musik,

gerakan, dll) menawarkan nilai terapi sebanyak refleksi lisan tentang

pengalaman. Landreth (1991), mencatat bahwa ini berlaku terutama untuk

anak-anak yang tidak memiliki kemampuan verbal yang diperlukan untuk

refleksi melalui bahasa. Ekspresi melalui lukisan, aktivitas bermain,

imajinatif role play, atau gerakan dapat menjadi pengalaman untuk

memperbaiki dari dalam dirinya sendiri. Dalam kasus di mana self

expression berulang-ulang, kaku, atau noncorrective, seorang terapis yang

menggunakan teknik ekspresif akan secara aktif terlibat dengan klien untuk

membantu kemajuan terapi. Terapis Seni dan bermain Eliana Gil (1998)

mencatat bahwa ketika seorang anak yang telah mengalami trauma parah

mengulangi bermain atau kegiatan seni tanpa resolusi atau koreksi, terapis

memiliki keharusan memperkenalkan kegiatan atau arahan untuk membantu

anak mengubah alur cerita menjadi pengalaman yang lebih produktif dan

memuaskan. Terapis lainnya mendorong dialog klien yang melibatkan

"berbicara dengan lukisan" (McNiff, 1992) menggunakan modalitas ekspresif

sebagai refleksi dan eksplorasi.

35
2. Active Participation

Expressive Therapy didefinisikan dalam psikologi sebagai

"action therapy" (Weiner, 1999) karena metode mereka berorientasi

melalui aksi dimana klien mengeksplorasi masalah dan

mengkomunikasikan pikiran dan perasaan mereka. Seni dan

pembuatan musik, tari dan drama, menulis kreatif, dan segala bentuk

bermain yang partisipatif dan memerlukan individu untuk berinvestasi

energi di dalamnya. Misalnya, pembuatan seni, bahkan dalam arti

yang paling sederhana, dapat melibatkan mengatur, menyentuh,

mengelem, lukisan, membentuk, dan banyak lainnya. Semua

expressive therapy fokus pada mendorong klien untuk menjadi peserta

aktif dalam proses terapi. Pengalaman melakukan, membuat, dan

menciptakan benar-benar dapat memberikan energi individu,

mengarahkan perhatian dan fokus, dan mengurangi stres emosional,

yang memungkinkan klien untuk berkonsentrasi penuh pada isu-isu,

tujuan, dan perilaku. Banyak atau semua indera yang digunakan dalam

satu cara atau yang lain ketika orang terlibat dalam pembuatan seni,

bermain musik atau mendengarkan, menari atau bergerak,

memberlakukan, atau bermain. Jenis kegiatan dan pengalaman

mengarahkan kesadaran untuk visual, taktil, dan saluran pendengaran.

36
3. Imagination

Levine (1999) mengamati bahwa "imajinasi adalah konsep

sentral yang menginformasikan pemahaman penggunaan seni dan

bermain dalam terapi "(p. 259). McNiff (1981, 1992) percaya bahwa

imajinasi adalah agen penyembuhan yang melekat pada semua

bentuk self expression. Sementara beberapa mendukung penggunaan

bahwa kata "kreativitas" dalam menggambarkan expressive therapy,

sebenarnya penggunaan imajinasi yang menginformasikan teori dan

praktek. Berbeda dengan imajinasi, kreativitas terjadi ketika self

expression sepenuhnya terbentuk dan mencapai sebuah nilai estetika.

Dalam sesi expressive therapy klien mungkin tidak selalu membuat

gambar, musik, gerakan, atau puisi yang akan dianggap kreatif atau

sepenuhnya terbentuk, tetapi dalam banyak kasus berpikir imajinatif

digunakan untuk menghasilkan self expression, eksperimen, dan

refleksi lisan berikutnya.

berpikir imajinatif diperlukan untuk membuat gambar,

membuat gerakan, atau memanipulasi angka dalam sandtray juga

menawarkan kemungkinan untuk mencoba inventif solusi dan

transformasi. Klien yang dapat menyatakan terbatas dalam

kemampuan mereka untuk menggunakan imajinasi bagi pemecahan

masalah sering menemukan expressive therapy sangat bermanfaat.

Misalnya, seseorang yang telah sangat trauma mungkin merasa

emosional atau mungkin memiliki pikiran obsesif.

37
Penggunaan terapi seni, bermain, atau sandtray dapat meningkatkan

penggunaan produktif imajinasi, membantu individu menemukan

dan mengembangkan solusi korektif yang mengarah ke perubahan,

resolusi, dan reparasi.

4. Mind Body Connection

The National Center for Complementary and Alternative

Medicine (2004; selanjutnya disingkat sebagai NCCAM) telah

mendefinisikan intervensi pikiran-tubuh adalah orang-orang yang

dirancang untuk memfasilitasi kapasitas pikiran untuk

mempengaruhi fungsi dan gejala tubuh. Banyak expresive therapy

dianggap oleh NCCAM menjadi intervensi pikiran-tubuh karena

mereka berdua adalah bentuk psikoterapi dan terapi yang

memanfaatkan penggunaan indera untuk perubahan. Kemajuan yang

dibuat dalam bidang neuroscience dan perkembangan saraf juga

telah menarik perhatian pada potensi expressive therapy dalam hal

intervensi pikiran-tubuh, khususnya di bidang mood disorder, stres

disorder, dan penyakit fisik. Misalnya, seni, drama, dan terapi

bermain menunjukkan dalam ameliorasi stres pasca trauma dan

ekspresi kenangan traumatis. Musik, seni, dan tari atau gerakan

dapat membantu dalam meningkatkan

respon relaksasi tubuh, keadaan tenang dan yakin dikaitkan dengan

persepsi kesehatan, kesehatan, dan kebahagiaan (Benson, 1996).

38
Menulis telah terbukti efektif dalam perbaikan emosional dan

mengurangi gejala pada beberapa penyakit kronis (Pennebaker, 1997),

Kegiatan ekspresif dapat merangsang placebo effect melalui meniru

perasaan menenangkan diri pada pengalaman masa kanak-kanak dan

mendorong diri untuk berelaksasi (Malchiodi, 2003; Tinnin, 1994).

Penelitian tentang kasih sayang masa awal dan perkembangan otak

mulai untuk menginformasikan psikoterapi dari nilai expressive

therapy. Expressive therapy terutama tari, menggambar, dan terapi

bermain, mungkin berguna dalam membangun kembali dan

mendorong kesehatan melalui pengalaman sensorik, interaksi, dan

gerakan. Modalitas ini dapat membantu dalam memperbaiki dan

membentuk kembali kasih sayang melalui pengalaman dan sarana

sensorik dan memungkinkan otak untuk membangun pola baru yang

lebih produktif (Malchiodi, 2003; Riley, 2002).

3. Proses Dalam Expressive Therapy Ditinjau Dari Psikoanalisis

Malchiodi (2003) menyatakan bahwa ada beberapa konsep yang

terkait dalam hubungan antara art therapy dan psikoanalisis, yaitu :

a. Transferensi

Tranferensi merupakan bagian penting dari psikoanalisis dan

pemeriksaan akan tranferensi ditandai sebagai dasar penanganan.

Transferensi adalah proyeksi tidak sadar dari perasaan klien terhadap

39
terapis. Proyeksi ini berasal dari situasi yang di repres atau belum

terselesaikan pada kehidupan seseorang.

b. Ekspresi Spontan

Ekspresi seni yang spontan adalah pembuatan apapun yang

tidak direktif, yaotu individu diminta untuk membuat gambar, lukisan,

atau pahatanatau apapun yang ia inginkan. Tujuan dari ekspresi

spontan, seperti asosiasi bebas, adalah untuk membantu individu

klien mengekspresikan masalah mereka dengan bebas.

c. Aplifikasi dan imajinasi aktif

Aplifikasi sebenarnya merupakan metode interpretasi mimpi

yang dikembangkan oleh Jung di mana gambar memberikan konteks

yang berarti. Berdasarkan proses ini, gambar tidak bisa

diinterpretasikan melalui isi (content), melainkan juga pada simbol

yang memberikan konteks yang berarti. Imajinasi aktif merupakan cara

untuk melepaskan kreativitas pada individu dengan menggunakan

fantasi dan mimpi sebagai penyembuhan.

5. Tahapan Perkembangan Seni Menggambar pada Individu

Lovenfield (1982, dalam Malchiodi, 1998) mengemukakan bahwa

ada enam tahapan utama dari perkembangan artistik pada anak sampai

remaja. Yaitu :

a. Sribbling (usia dua sampai empat tahun), gambar seringkali berupa

coretan yang tidak teratur, longitudinal, dan sirkular

40
b. Preschematic ( usia empat sampai tujuh tahun), perkembangan awal

dari simbol representatif, penggambaran manusia yang belum

sempurna.

c. Schematic (Usia tujuh sampai sembilan tahun), melanjutkan

perkembangan simbol representatif, khususnya skema figur, objek,

komposisi, dan warna

d. Dawning realism (Usia sembilan sampai sebelas tahun), keterampilan

yang meningkat dalam menggambar kedalaman spasial dan warna, serta

meningkatnya ekspresi seni,

e. Pseudorealism (Usia sebelas sampai tiga belas tahun), kesadaran yang

lebih kritis akan figur manusia dan lingkungan, meningkatnya detail,

meningkatnya ekspresi seni, karikatur.

f. Period of decision (usia remaja), ekspresi lebih detail, sejumlah anak

tidak mencapai tahap ini kecuali diminta membuat seni.

Malchiodi (1998) menyatakan bahwa tahap perkembangan seni

menggambar ini sesuai dengan konsep Piaget dimana tahap I dan II

merupakan periode sensorimotor, tahap III merupakan periode pra-

operasional, tahap IV dan V merupakan periode operasional konkret, dan

tahap VI merupakan periode operasional formal. Malchiodi (1998)

menyatakan bahwa munkgin saja terjadi tumpang tindih dalam usia, gaya

menggambar, dan keterampilan yang bisa jadi tidak sesuai dengan ekspresi

normal pada tahap tersebut, individu juga sangat mungkin untuk mengalami

fluktuasi dan berpindah-pindah tahapan.

41
6. Dasar Teori Expressive Arts Therapy

Rogers (1993) menciptakan hubugan untuk menguatkan dan

meningkatkan keterkaitan antara arts pada terapi: hubungan kreatif. Dia

percaya bahwa satu bentuk art yang natural mampu menstimulasi yang

lain; contoh, tarian yang kreatif bisa mempengaruhi kita untuk

mengekspresikan diri melalui menggambar, dan menggambar mungkin

mengaktifkan apa yang kita rasakan atau yang kita pikirkan. Hubungan

yang kreatif ini bisa melibatkan berbagai rangkaian bentuk seni untuk

terapi; bagaimanapun, individu adalah pusat dari proses dan keputusan,

dengan panduan dan difasilitasi oleh terapis, arah dari proses yang diambil

dan bentuk seni yang digunakan.

Pendekatan Psikoterapi Humanistik yang lain sering

menggunakan expressive arts therapy dan teknik multimodal dalam

suatu treatmen. Contoh, penganut terapi Gestalt menggunakan sesuatu

yang bisa dipertimbangkan sebagai pendektakan multimodal,

mengkombinasikan melukis, tarian, dan produk seni yang lain (Rhyne,

1973/1995). Terapis pendekatan transpersonal mengkombinasikan

beberapa bentuk dari imagery, musik, tarian, dan creative writing ketika

menghadapi klien (Farelly, 2001).

Beberapa percaya bahwa expressive arts therapy dan pendekatan

intermodal berlandaskan interrelationship dari seni dan teori dari imajinasi

dan kreatifitas, daripada integrasi dengan psinsip psikologi. Knill (1978;

Knill et al., 1995) mengusulkan hubungan antara ekspresi diri melalui

seni

42
membuka jalan kearah kekuatan penyembuhan imajinasi dan ini adalah

fenomena fundamental dari eksistensi manusia, sebagai lawan dari teori

psikoterapi. McNiff (1992) juga mengusulkan filosofi yang hampir sama,

melihat seni sebagai obat bagi jiwa, didasari dari penggunaan secara

tradisional sepanjang sejarah untuk proses penyembuhan dan merubah

penderitaan manusia.

7. GROUP THERAPY

1) Definisi Group Therapy

Group Therapy adalah suatu kegiatan pada kelompok yang tujuan

utamanya untuk membantu anggota-anggota kelompok rnemperbaiki

penyesuaian sosial mereka (social adjustment), dan tujuan keduanya untuk

membantu kelompok mencapai tujuan-tujuan yang disepakati oleh masyarakat

(National Association of SociaI Works, 2010).

2) Tujuan Group Therapy dalam Expresive Arts Therapy

Menurut Liebmann (2005), group therapy yang diimplementasikan

dalam bentuk expressive arts therapy memiliki sejumlah tujuan pribadi bagi

anggotanya serta tujuan sosial bagi kelompok. tujuan pribadi bagi masing-

masing anggota secara umum menurut Liebmann (2005) adalah:

1. Kreativitas dan spontanitas.

2. Membangun rasa percaya diri, validasi diri, menyadari potensi diri.

3. Meningkatkan otonomi dan motivasi pribadi, berkembang sebagai

individu

43
4. Bebas untuk membuat keputusan, bereksperimen, dan menguji gagasan-

gagasan.

5. Mengekspresikan perasaan, emosi dan konflik.

6. Mengolah fantasi dan alam ketidaksadaran.

7. Insight, kesadaran akan diri, refleksi.

8. Menuangkan pengalaman secara visual dan verbal.

9. Relaksasi

Liebmann (2005) juga menyatakan bahwa selain memiliki tujuan

secara pribadi, Expressive Arts Therapy yang dilakukan dalam bentuk group

atau kelompok juga memiliki tujuan umum yang bermanfaat antar anggota

kelompok, yaitu :

1. Kesadaran, pengakuan, dan apresiasi bagi anggota lain.

2. Kerjasama, keterlibatan dalam aktivitas kelompok

3. Komunikasi.

4. Berbagi masalah, pengalaman dan insight.

5. Menemukan universalitas dari pengalaman atau keunikan individu.

6. Berelasi dengan anggota lain dalam kelompok, memahami efek dirinya

terhadap orang lain dan terhadap hubungannya dengan orang lain.

7. Dukungan sosial dan rasa percaya

8. Kohesi kelompok

9. Meninjau isu-isu kelompok

44
8. Manfaat Group Therapy

Group Therapy memiliki manfaat tersendiri jika dibandingkan

dengan terapi yang bersifat individual, yaitu :

a. Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan (reality testing)

melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.

Membentuk sosialisasi

b. Meningkatkan fungsi psikologis, yaitu meningkatkan kesadaran

tentang hubungan antara reaksi emosional diri sendiri dengan

perilaku defensive (bertahan terhadap stress) dan adaptasi.

c. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis

seperti kognitif dan afektif

d. Meningkatkan identitas diri.

e. Menyalurkan emosi secara konstruktif.

f. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial diterapkan sehari-hari.

g. Bersifat rehabilitatif, meningkatkan kemampuan ekspresi diri,

keterampilan sosial, kepercayaan diri, empati, dan kemampuan

tentang masalah kehidupan dan pemecahannya (Yosep, 2007).

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa apa bila

kegiatan expressive arts therapy dilakukan secara berkelompok, maka hal ini

membuat fokus utama dari kegiatan ini tidak harus selalu tentang hasil arts

seperti gambar dan tulisan ekspresif, melainkan terapis juga bisa fokus pada

proses sosial dan dinamika yang terjadi dalam kelompok selama kegiatan

berlangsung.

45
2.2 KERANGKA BERPIKIR
ANAK JALANAN

PERMASALAHAN

Resiko Kerja Pendidikan Makanan Intimidasi

Hubungan Keluarga Tempat tinggal Kesehatan

Psychological Well Being Rendah pada dimensi

Self Acceptance Purpose in Life

Positive
Personal Growth
Relationship

Expressive Arts Therapy

Active Self
Participation Expression

Imagination Mind Body


Connection

Dimensi Psychological Well Being Meningkat

Self acceptance Positive relatioship with others

Purpose in Life Personal Growth

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual

46
2.2 Asuhan keperawatan pada anak jalanan
1. Pengkajian
a) Faktor predisposisi

 Genetik

 Neurobiologis : penurunan volume otak dan perubahan sistem neurotransmiter.

 Teori virus dan infeksi


b) Faktor presipitasi

 Biologis

 Sosial kutural

 Psikologis
c) Penilaian terhadap stressor

Respon Adaptif Respon Maladaptif

- Berfikir logis - Pemikiran sesekali - Gangguan pemikiran


- Persepsi akurat - Terdistorsi - Waham/halusinasi
- Emosi konsisten denga - Ilusi - Kesulitan pengolahan
pengalaman
- Reaksi emosi berlebih - Emosi
- Perilaku sesuai dan tidak bereaksi
- Perilaku kacau dan isolasi
- Berhubungan sosial - Perilaku aneh social
- Penarikan tidak bisa
berhubungan sosial

d) Sumber koping

 Disonasi kognitif ( gangguan jiwa aktif )

 Pencapaian wawasan

 Kognitif yang konstan

 Bergerak menuju prestasi kerja


e) Mekanisme koping

 Regresi( berhubungan dengan masalah dalam proses informasi dan pengeluaran


sejumlah besar tenaga dalam upaya mengelola anxietas)

47
 Proyeksi ( upaya untuk menjelaskan presepsi yang membingungkan dengan
menetapkan tanggung jawab kepada orang lain)

 Menarik diri

 Pengingkaran

2. Diagnosa
1. Harga Diri Rendah
2. Resiko perilaku kekerasan/perilaku kekerasan
3. Defisit perawatan diri

3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1 : Harga Diri Rendah
Tujuan umum : klien tidak terjadi gangguan interaksi sosial, bisa berhubungan
dengan orang lain dan lingkungan.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri,
b. Jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang,
c. Buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan)
d. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
e. Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
f. Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Tindakan :
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien,
c. Utamakan memberi pujian yang realistis
d. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
48
Tindakan :
e. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
f. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien,
g. Utamakan memberi pujian yang realistis
h. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
4. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
a. Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
b. Beri pujian atas keberhasilan klien
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
5. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
b. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
d. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
Diagnosa 2: Perilaku kekerasan
TujuanUmum: Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat
dan jelaskan tujuan interaksi.

b. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.


c. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.

2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.


Tindakan:
a. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
b. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
49
c. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan klien dengan sikap
Tenang

3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.


Tindakan :
a. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan dirasakan saat
jengkel/kesal.
b. Observasi tanda perilaku kekerasan.
c. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/kesal yang dialami klien.
4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
Tindakan:
a. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
b. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan.
c. Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya selesai?"
5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Tindakan:
a. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
b. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang digunakan.
c. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.
6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon terhadap
kemarahan.
Tindakan :
a. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
b. Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas dalam jika sedang
kesal, berolah raga, memukul bantal / kasur.

c. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal / tersinggung
d. Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi
Kesabaran

7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku kekerasan.


Tindakan:
a. Bantu memilih cara yang paling tepat.

50
b. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
c. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
d. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
e. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui pertemuan
keluarga.
b. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga

9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).


Tindakan:
a. Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis, frekuensi, efek dan efek
samping).
b. Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar (nama klien, obat, dosis,
cara dan waktu).
c. Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan.
Diagnosa 3 : Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan,
BAB/BAK
Tujuan Umum : Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri kebersihan diri,
berdandan, makan, BAB/BAK.
Tujuan Khusus :
1. Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
2. Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
3. Pasien mampu melakukan makan dengan baik
4. Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri

1. Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri


a. Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
b. Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c. Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d. Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
2. Melatih pasien berdandan/berhias

51
a. Untuk pasien laki-laki latihan meliputi:
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Bercukur
b. Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Berhias
3. Melatih pasien makan secara mandiri
a. Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b. Menjelaskan cara makan yang tertib
c. Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d. Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
4. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
a. Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b. Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c. Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Anak jalanan adalah anak yang dalam kesehariannya hidup dijalanan.

52
Mereka bermain, bergaul dan mencari nafkah dijalanan. Anak jalanan adalah anak

bangsa juga, kehadiranya tidak perlu dikucilkan, dijauhi, ataupun ditelantarkan.

Pada hakikatnya mereka tidak ingin menjadi anak jalanan, namun kondisi sosial

dan ekonomi yang membuat mereka menjadi seperti itu. Mereka harus dibina,

dididik, dirangkul, dirawat dan dipelihara oleh negara. Anak jalanan memiliki

potensi-potensi seperti layaknya anak-anak lain. Mereka bisa berprestasi seperti

anakanak yang lain namun karena keterbatasan ekonomi mereka menjadi terlantar.

Potensi yang ada pada diri mereka harus diberdayakan. Dalam memberdayakan

anak jalanan yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini tidaklah mudah. Dengan

bertumpu pada peran pemerintah untuk memberdayakan potensi anak jalanan

tidaklah cukup . Untuk memberdayakan potensi anak jalanan diperlukan sinergitas

(penyatuan kekuatan berbagai pihak).

B. Saran

Pemerintah, masyarakat, LSM dan pihak-pihak lain harus bersatu untuk

membantu memberdayakan anak jalanan. LSM melalui para pendampingnya

memiliki peranan yang sangat vital. Para pedamping anak jalanan adalah ujung

tombak pemberdayaan anak jalanan. Sukses atau tidak proses pemberdayaan di

LSM bergantung pada para pendamping selaku aktor utama dalam proses

pemberdayaan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Kamil, 2008. Fauzan. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di

53
Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Arif Gosita. 1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta : Akademi Pressindo

Asrori dan Ali. 2009. Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi. Aksara.

Bambang Sukoco. 2008. Anak Jalanan Dan Hukum Pidana Sebuah Tinjauan terhadap

Fenomena Kriminalitas Anak Jalanan Di Kota Surakarta. Skripsi. UMS Tidak di

publikasikan

54
46

Anda mungkin juga menyukai