OLEH:
ALFISASRA ARIF
DWI HERTI MARLIAH
KRISNA SUGIYATNO
PERI PIRNANDO
RAHMAT HIDAYYAH
RAHMI PUTRI SEPTIANI
DEHASEN
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur selalu tercurahkan kehadirat Allah SWT, karena hanya kepada-
Nyalah kita persembahkan segala bentuk pujian. Dia telah memberikan kita beribu –
ribu nikmat yang tak terhitung jumlahnya. Sehingga dengan iringan rahmat dan
hidayah Allah SWT lah, pembuatan makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat
waktu.
Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW karena dari beliaulah kita semua bisa mengetahui hukum – hukum
Allah SWT, sehingga kita bisa membedakan diantara perkara yang hak dan yang batil
dan perkara yang halal dan haram serta bisa mengetahui perkara yang diridhoi dan
dimurkai Allah SWT.
Selain itu, ucapan terimakasih juga penulis haturkan kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan dan pembuatan makalah ini, baik kepada dosen,
orang tua, maupun teman–teman sekalian. Adapun tujuan penulisan makalah yang
berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Anak Jalanan” untuk memenuhi tugas pada
mata kuliah Keperawatan Jiwa dan untuk menambah wawasan kita.
Penulis menyadari bahwa makalah ini memang jauh dari kesempurnaan, maka
sudilah kiranya siapa saja yang membaca makalah ini agar memaklumi akan
kekurangan dari makalah ini dan saran bagi para pembaca sangat terbuka lebar demi
kemajuan akan suatu karya sastra ini.
Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..........................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................5
C. Tujuan Penulisan.......................................................................................6
D. Manfaat Penulisan.....................................................................................6
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Anak Jalanan..............................................................................................7
1. Definisi Anak Jalanan.........................................................................7
2. Ciri-Ciri Anak Jalanan .......................................................................8
3. Jenis Anak Jalanan..............................................................................9
4. Faktor Penyebab Anak Jalanan...........................................................10
5. Masalah Anak Jalanan.........................................................................12
2.2 Asuhan Keperawatan….............................................................................44
1. Diagnosa............................................................................................45
2. Intervensi ..........................................................................................45
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................51
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak jalanan adalah anak yang sebagian besar menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk melakukan kegiatan hidup sehari-hari di jalanan, mencari
nafkah atau berkeliaran dijalan-jalan atau tempat umum lainnya (Sudarsono,
2009). Pengertian anak jalanan menurut dinas sosial propinsi DIY tahun 2010
ii
adalah anak yang melewatkan atau memanfaatkan waktunya dijalanan sampai
dengan umur 18 tahun. Anak jalanan adalah anak yang penampilannya
kebanyakan kusam dan pakaian tidak terurus, mobilitasnya tinggi Departemen
Sosial RI, 2005.
iii
penggunaan NAPZA. Kepribadian turut menentukan terjadinya penyalahgunaan
obat, sebagai contoh, kepribadian dapat menentukan apakah seseorang bergabung
dengan kelompok penyalahgunaan obat, apakah ikut mencoba obat tersebut dan
apakah seseorang menggunakan obat tersebut lebih lanjut Eysenck, 1997(dalam
Prawira, 2012).
Kepribadian individu dapat dibedakan antara dua sisi yaitu introvert dan
extrovert. Kepribadian Extrovert adalah kecendrungan seseorang untuk
mengarahkan perhatian keluar dari dirinya, sehingga segala minat, sikap,
keputusan yang diambil lebih ditentukan oleh peristiwa yang terjadi di luar
dirinya. Tipe kepribadian introvert adalah seseorang yang cenderung untuk
menarik diri dari lingkungan sosialnya (Djaali, 2012). Nurul Fitrianti 2011 dalam
peneitiannya sebanyak 70 responden, 34% responden yang memiliki kematangan
emosi dan self-efficiency berperilaku relapse narkoba.
Napza (Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lain) adalah obat, jika
diminum, dihisap, dihirup, ditelan, atau disuntikkan, berpengaruh pada kerja otak.
Napza dapat menyebabkan rasa ketergantungan, jika mengurangi atau berhenti
menggunakan napza akan timbul gejala putus napza (sakau). Napza dapat
mengubah suasana hati dan perilaku pengguna, penyalahgunaan napza
berhubungan dengan kejahatan dan perilaku asosial lain yang mengganggu
suasana tertib dan aman (Martono, 2006).
iv
Pengguna narkoba di Kabupaten Malang sesuai data statistik mencapai 2.000
orang, dan diprediksi terus bertambah setiap tahunnya.
v
saraf pusat (SSP depressant) yang sebanding dengan efek alkohol meskipun
gejalanya berbeda, dapat menimbulkan kehilangan kesadaran. Lamanya efek ini
sekitar 15 menit sampai beberapa jam. Jika dosisnya petroleum dan toluene besar,
akan menimbulkan kejang-kejang, koma, dan bahkan kematian. Kematian bisa
terjadi kerena kecelakaan, seperti kesulitan bernafas sewaktu menghirup lem yang
berada di kantong plastik, karene ketika menghirup telah kehilangan kesadaran.
Efek akut bahan ini serupa berupa euforia ringan, mabuk, pusing kepala dan
sesudah itu ia akan merasa seperti fly (melayang). Saat seperti inilah pengguna
akan melakukan tindakan antisosial dan tindakan impulsive dan agressif. Jika
berkelanjutan maka akan timbul gejala psikotik akut seperti eksitasi, dis-orientasi,
halusinasi dengan kesadaran berkabut, bahkan amnesia (Nirmala, 2012).
Ngelem adalah istilah untuk menghirup aroma dari bahan lem biasanya lem
untuk menempel ban sepeda atau untuk merekatkan bahan kayu Kompasiana
(2013). Kebanyakan anak-anak tidak mengetahui risiko menghirup gas yang
mudah menguap ini. Meskipun hanya dihirup dalam satu waktu pendek, ngelem
dapat mengganggu irama jantung dan menurunkan kadar oksigen, keduanya dapat
menyebabkan kematian. Penggunaan regular akan mengakibatkan gangguan pada
otak, jantung, ginjal dan hepar (Moci, 2013).
vi
ngelem karena menghilangkan kebosanan, 5 anak jalanan berhasil berhenti
ngelem karena teman meninggal akibat dari kebiasaan ngelem. 3 anak jalanan
berhenti ngelem karena sesak napas dan 2 anak jalanan berhenti ngelem karena
jarang ikut berkumpul dengan teman yang masih memakai lem.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja faktor munculnya anak jalanan?
2. Masihkah ada ruang bagi anak jalanan?
3. Apa saja solusi yang tepat untuk problem anak jalanan?
C. Tujuan Penulisan
D. Manfaat Penulisan
Bagi Peneliti
Hasil penulisan ini dapat menambah ilmu pengetahuan mengenai tipe kepribadian dan
relapse ngelem pada anak jalanan sekaligus sebagai pengalaman dalam bidang
pendidikan dan informasi bagi peneliti dalam melakukan penelitian selanjutnya.
Bagi Institusi Pendidikan
Dapat digunakan sebagai bahan informasi dan edukasi mengenai hubungan tipe
kepribadian dengan perilaku ngelem pada anak jalanan.
Bagi Perawat
Hasil penulisan ini dapat memberikan masukan dalam upaya peningkatan mutu
pelayanan keperawatan sehingga tim pemberi asuhan keperawatan dapat lebih
memahami usia anak sebagai usia yang sangat rentan terhadap perilaku menyimpang
salah satunya penyalahgunaan narkoba yang lebih spesifik pada perilaku ngelem.
Bagi Masyarakat
Hasil penulisan ini diharapkan mampu membuka wawasan masyarakat Malang akan
bahaya ngelem bagi kesehatan, selain itu, membarikan kesadaran bagi anak untuk
vii
berhenti ngelem.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 ANAK JALANAN
1. Definisi Anak Jalanan
Anak jalanan atau sering disingkat anjal adalah sebuah istilah umum
yang mengacu pada anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di
jalanan, namun masih memiliki hubungan dengan keluarganya (Suyanto,
2010). Menurut Departemen Sosial RI (1999), pengertian tentang anak
jalanan adalah anak-anak di bawah usia 18 tahun yang karena berbagai
faktor, seperti ekonomi, konflik keluarga hingga faktor budaya yang
membuat mereka turun ke jalan.
UNICEF memberikan batasan tentang anak jalanan, yaitu Street child
are those who have abandoned their homes, school and immediate
communities before they are sixteen years of age, and have drifted into a
nomadic street life. Berdasarkan hal tersebut, maka anak jalanan adalah
anak-anak berumur di bawah 16 tahun yang sudah melepaskan diri dari
keluarga, sekolah dan lingkungan masyarakat terdekatnya, larut dalam
kehidupan berpindah-pindah di jalan raya (Soedijar, 1998).
Anak jalanan atau gelandangan adalah mereka yang tidak memiliki
tempat tinggal tetap, yang secara yuridis tidak berdomisili secara otentik.
Disamping itu mereka merupakan kelompok yang tidak memiliki pekerjaan
tetap dan layak, menurut ukuran masyarakat pada umumnya dan
sebagian besar dari mereka tidak mengenal nilai-nilai keluhuran
(Sudarsono, 2009). Anak jalanan, anak gelandangan, atau disebut juga
secara eufimistis sebagai anak mandiri, sesungguhnya mereka adalah anak
viii
yang tersisih, marginal, dan teralienasi dari perlakuan kasih sayang.
Kebanyakan dalam usia yang relatif dini mereka sudah harus berhadapan
dengan lingkungan kota yang keras, dan bahkan sangat tidak bersahabat. Di
berbagai sudut kota, sering terjadi anak jalanan harus bertahan hidup
dengan cara-cara yang secara sosial kurang atau bahkan tidak dapat
diterima masyarakat umum (Suyanto, 2010). Marginal, rentan, dan
eksploitatif adalah istilah-istilah untuk menggambarkan kondisi dan
kehidupan anak jalanan. Marginal karena mereka melakukan jenis
pekerjaan yang tidak jelas jenjang kariernya, kurang dihargai, dan
umumnya juga tidak menjanjikan prospek apapun di masa depan. Rentan
karena resiko yang harus ditanggung akibat jam kerja yang sangat panjang,
dari segi kesehatan maupun sosial. Adapun disebut eksploitatif karena
mereka biasanya memiliki posisi tawar menawar (bargaining position) yang
sangat lemah, tersubordinasi, dan cenderung menjadi objek perlakuan yang
sewenang-wenang dari keluarga, ulah preman atau oknum aparat yang tidak
bertanggung jawab (Suyanto, 2010).
ix
d. Tidak berbeda dengan anak-anak yang lainnya yang selalu
menginginkan kasih sayang,
e. Tidak mau bertatap muka dalam arti bila mereka diajak bicara, mereka
tidak mau melihat orang lain secara terbuka,
f. Sesuai dengan taraf perkembangannya yang masih kanak-kanak,
mereka sangatlah labil
g. Mereka memiliki suatu keterampilan, namun keterampilan ini tidak
selalu sesuai bila diukur dengan ukuran normatif masyarakat umumnya.
h. Berdasarkan hasil penelitian Yayasan Nanda Dian Nusantara yang
bergerak dalam bidang perlindungan anak pada tahun 1996, ada
beberapa ciri secara umum anak jalanan antara lain :
1) Berada di tempat umum (jalanan, pasar, pertokoan, tempat-tempat
hiburan) selama 24 jam,
2) Berpendidikan rendah (kebanyakan putus sekolah, serta sedikit
sekali yang lulus SD),
3) Berasal dari keluarga-keluarga tidak mampu (kebanyakan kaum
urban dan beberapa diantaranya tidak jelas keluarganya),
4) Melakukan aktifitas ekonomi (melakukan pekerjaan pada sektor
informal).
i. Keterlibatan anak jalanan dalam kegiatan ekonomi akan berdampak
kurang baik bagi perkembangan dan masa depan anak, kondisi ini jelas
tidak menguntungkan bahkan cenderung membutakan terhadap masa
depan mereka, mengingat anak adalah aset masa depan bangsa.
x
orang tua mereka. Sebagian penghasilan mereka di jalan diberikan
kepada orang tuanya (Soedijar, 1984). Fungsi anak jalanan pada
kategori ini adalah untuk membantu memperkuat penyangga ekonomi
keluarganya karena beban atau tekanan kemiskinan yang mesti
ditanggung tidak dapat diselesaikan sendiri oleh kedua orang tuanya.
b. Children of the street, yakni anak-anak yang berpartisipasi penuh di
jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa di antara mereka
masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi
pertemuan mereka tidak menentu.
c. Children from families of the street, yakni anak-anak yang berasal dari
keluarga yang hidup di jalanan. Walaupun anak-anak ini mempunyai
hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka
terombang-ambing dari satu tempat ke tempat yang lain dengan segala
risikonya.
4. Faktor Penyebab
Seiring dengan berkembangnya waktu, fenomena anak jalanan atau pekerja
anak banyak terkait dengan alasan ekonomi keluarga (kemiskinan) dan
kecilnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan. Pendapatan orang tua
yang sangat sedikit tidak mampu lagi untuk mencukupi kebutuhan hidup
keluarga sehingga memaksa mereka untuk ikut bekerja. Menurut Mulandar
(1996), penyebab dari fenomena anak bekerja antara lain:
a. Dipaksa orang tua,
b. Tekanan ekonomi keluarga,
c. Diculik dan terpaksa bekerja oleh orang yang lebih dewasa,
d. Asumsi dengan bekerja bisa digunakan sebagai sarana bermain,
e. Pembenaran dari budaya bahwa sejak kecil anak harus bekerja.
Sesungguhnya ada banyak faktor yang menyebabkan anak-anak
terjerumus dalam kehidupan di jalanan antara lain:
a. Kesulitan keuangan
b. Tekanan kemiskinan
c. Ketidakharmonisan rumah tangga
d. Hubungan orang tua dan anak
xi
Kombinasi dari faktor ini sering kali memaksa anak-anak mengambil
inisiatif mencari nafkah atau hidup mandiri di jalanan. Kadang pengaruh
teman atau kerabat juga ikut menentukan keputusan hidup di jalanan. Studi
yang dilakukan Depsos Pusat dan Unika Atma Jaya Jakarta (1999) di
Surabaya yang mewawancarai 889 anak jalanan di berbagai sudut kota
menemukan bahwa faktor penyebab atau alasan anak memilih hidup di
jalanan adalah karena kurang biaya sekolah (28,2%) dan (28,6%) membantu
pekerjaan orang tua (Suyanto, 2010).
Pada batas-batas tertentu, memang tekanan kemiskinan merupakan
kondisi yang mendorong anak-anak hidup di jalanan. Namun, bukan berarti
kemiskinan merupakan satu-satunya faktor determinan yang menyebabkan
anak lari dari rumah dan terpaksa hidup di jalanan. Menurut penjelasan
Baharsjah, kebanyakan anak bekerja di jalanan bukanlah atas kemauan
mereka sendiri, melainkan sekitar 60% di antaranya karena dipaksa oleh
orang tua. Biasanya, anak-anak yang memiliki keluarga, orang tua penjudi
dan peminum alkohol, relatif lebih rawan untuk memperoleh perlakuan
yang salah. Pada kasus semacam ini, ibu sering kali menjadi objek perasaan
ganda yang membingungkan. Ia dibutuhkan kasih dan perlindungannya,
namun sekaligus dibenci karena perbuatannya (Farid, 1998).
Anak yang hidup dengan orang tua yang terbiasa menggunakan
bahasa kekerasan seperti, menampar anak karena kesalahan kecil,
melakukan pemukulan sampai dengan tindak penganiayaan. Apabila
semuanya sudah dirasa melampaui batas toleransi anak itu sendiri, maka
mereka akan cenderung memilih keluar dari rumah dan hidup di jalanan.
Bagi anak jalanan sendiri, sub-kultur kehidupan urban menawarkan
kebebasan, kesetiaan dan dalam taraf tertentu juga “perlindungan” kepada
anak-anak yang minggat dari rumah akibat diperlakukan salah, telah
menjadi daya tarik yang luar biasa. Menurut Farid (1998), makin lama anak
hidup di jalan, maka makin sulit mereka meninggalkan dunia dan kehidupan
jalanan itu.
xii
informal, baik yang legal maupun yang ilegal di mata hukum untuk
bertahan hidup di tengah kehidupan kota yang keras. Ada yang bekerja
sebagai pedagang asongan di kereta api dan bus kota, menjajakan koran,
menyemir sepatu, mencari barang bekas atau sampah, mengamen di
perempatan lampu merah, tukang lap mobil, dan tidak jarang pula ada anak-
anak jalanan yang terlibat pada jenis pekerjaan berbau kriminal,
mengompas, mencuri, bahkan menjadi bagian dari komplotan perampok.
Tantangan kehidupan yang mereka hadapi pada umumnya memang
berbeda dengan kehidupan normatif yang ada di masyarakat. Dalam banyak
kasus, anak jalanan sering hidup dan berkembang di bawah tekanan dan
stigma atau cap sebagai pengganggu ketertiban. Perilaku mereka
sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari stigma sosial dan
keterasingan mereka dalam masyarakat. Tidak ada yang berpihak kepada
mereka, justru perilaku mereka sebenarnya mencerminkan cara masyarakat
memperlakukan mereka, serta harapan masyarakat terhadap perilaku
mereka (Suyanto, 2010). Studi Hadi Utomo (1998) menemukan, bahwa
anak-anak jalanan cenderung rawan terjerumus dalam tindakan salah. Salah
satu perilaku menyimpang yang populer di kalangan anak- anak jalanan
adalah ngelem, secara harafiah berarti menghisap lem. Di perkirakan 65-
70% anak yang seharian hidup dan mencari nafkah di jalanan pernah
menggunakan zat ini.
xiii
Makanan Seadanya, kadang mengais dari tempat sampah
kondisi mental negatif sampai pada kondisi mental positif, misalnya dari
being sebagai suatu dorongan untuk menggali potensi diri individu secara
xiv
menjadi rendah atau berusaha untuk memperbaiki keadaan hidup yang
(Ryff, 1989).
kesehatan mental, selain dua kriteria lainnya yaitu tidak adanya penyakit
(1933; Von Franz, 1964), dan konsep Allport (1961) tentang maturity
hidup dan teori perubahan kepribadian dari Neugarten. Selain itu Ryff juga
merujuk pada konsep kriteria kesehatan mental positif dari Jahoda. Konsep
15
Ryff, 1989:1070) adalah hasil dari mendefinisikan well being kembali
dirinya, untuk menjadi apa saja yang dapat ia lakukan, dan untuk
yang dapat mencapai tingkat aktualisasi diri ini menjadi manusia yang
(Alwisol, 2004:260-263).
functioning juga sebagai bentuk kondisi mental yang sehat serta ditandai
kreativitas.
16
ke arah manusia yang berfungsi lebih adaptif dan pengalaman positif
17
(Ryan dan Deci, 2001 dalam Burns & Machin, 2008). Ryff dan Keyes
psikologis memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang
Ryff dan rekan-rekannya (Ryff, 1989; Ryff & Keyes, 1995; Ryff &
meliputi enam dimensi dari psychological well being dan skala self-
menerima dirinya secara keseluruhan baik pada masa kini dan masa
18
dalamnya kualitas baik maupun buruk, dapat mengaktualisasikan
dijalaninya. (Ryff,1995).
diri merupakan sikap positif terhadap diri sendiri dan merupakan ciri
diri termasuk yang baik maupun buruk, dan merasa positif tentang
menjadi orang yang berbeda dari dirinya saat ini merupakan individu
Others)
19
mental. Orang yang memiliki self-actualization digambarkan memiliki
perasaan empati dan kasih sayang untuk yang kuat semua umat
orang lain (intimacy) dan pedoman serta arah lain (generativity). Oleh
20
3) Otonomi (Autonomy)
bebas namun tetap mampu mengatur hidup dan tingkah lakunya. (Ryff,
21
Kematangan dipandang membutuhkan partisipasi dalam ruang lingkup
1989:1071).
22
dan merasa bahwa pengalaman hidup di masa lampau dan masa
individu yang arti hidup, tujuan, arah hidup dan cita-cita yang tidak
jelas, serta tidak melihat adanya tujuan dari kehidupan masa lampau
(Sugianto, 2000).
23
mengembangkan potensi seseorang, untuk tumbuh dan berkembang
merasa jenuh dan tidak tertarik dengan kehidupan, serta merasa tidak
1) Demografis
24
a. Usia
kelompok usia (Ryff, 1989; Ryff & Keyes,1995; Ryff & Singer, 1998).
Individu dalam usia dewasa awal (young) memiliki skor tinggi dalam
penguasaan lingkungan, dan otonomi skor rendah (Ryff dalam Ryan &
Deci, 2001).
dimensi tujuan hidup dan dimensi otonomi (Ryff & Singer, 1996 dalam
lebih besar daripada yang lebih tua dan orang dewasa muda di beberapa
area tetapi yang lain tidak. Orang dewasa menengah lebih otonom
relatif stabil untuk semua kelompok umur (Ryff & Singer, 1989 dalam
Papalia, 2002).
b. Jenis Kelamin
25
hubungan dengan orang lain atau interpersonal dan pertumbungan
26
pribadi, wanita memiliki nilai signifikan yang lebih tinggi dibanding
diri anak laki-laki sebagai sosok yang agresif, kuat, kasar dan mandiri,
lebih tinggi dan pekerjaan yang lebih baik (Ryff & Singer, 1998 dalam
c. Tingkat Pendidikan
27
pendidikan ini juga berkaitan erat dengan dimensi tujan hidup individu
dengan tingkat pendidikan yang rendah (Ryff & Singer, 1996 dalam
Sugianto, 2000:70). Well being lebih besar pada pria dan wanita dengan
pendidikan lebih tinggi dan pekerjaan yang lebih baik (Ryff & Singer,
Papalia, 2002:436).
pertumbuhan diri (dalam Ryan & Decci, 2001). Perbedaan status sosial
status sosial yang tinggi (Adler, Marmot, McEwen, & Stewart, 1999).
28
e. Budaya
dalam dimensi penerimaan diri dan otonomi, sedangkan budaya timur yang
orang lain (seperti hubungan positif dengan orang lain) lebih menonjol
29
otonomi, sedangkan budaya timur yang menjunjung tinggi nilai
2) Kepribadian
Schmutte dan Ryff (1997 dalam Ryan & Deci, 2001:149) telah
tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan individu yang
otonomi.
3) Religuisitas
menunjukkan sikap yang lebih baik, lebih merasa puas dalam hidup dan
hanya sedikit mengalami rasa kesepian. Hal ini didukung oleh penelitian
Coke (1992); Walls & Zarit (1991) bahwa individu yang merasa
30
mempunyai tingkat psychological well being yang tinggi dan merasa lebih
4) Dukungan Sosial
psychological well being yang rendah. Ryff (1995, dalam Hoyer, 2003:132)
memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang
lain daripada pria. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan sosial merupakan
salah satu faktor yang penting terhadap psychological well being wanita.
31
Expressive arts therapy berhubungan dengan tradisi dan budaya
1995).
Natalie Rogers, putri dari Carl Rogers, mengusulkan lebih dari satu teori
peran terapis sebagai individu yang sensitif, reflektif, dan empati. Person-
centered expressive arts therapy memiliki ajaran yang sama, termasuk dasar
32
Expressive Therapy adalah penggunaan terapeutik dari pembuatan seni,
artisitik seperti, menggambar, tarian, lagu, tanah liat, sebagai objek media
mengkomunikasikan perasaan.
tidak selalu ditemukan dalam terapi secara verbal. (1) self expression, (2)
1. Self Expression
atau lebih modalitas sebagai bagian sentral dari proses terapi. Gladding
berbeda.
33
Self Expression melalui lukisan, gerakan, atau puisi dapat
sebagian orang, tapi ini hanya dua aspek peran self expression dalam
menemukan makna pribadi dan pemahaman diri. Untuk alasan itu, self
dan tidak terbatas sebagai bahasa lisan di otak, modalitas ekspresif sangat
34
Kenangan yang dimiliki khususnya muncul melalui sentuhan, citra,
menggunakan teknik ekspresif akan secara aktif terlibat dengan klien untuk
membantu kemajuan terapi. Terapis Seni dan bermain Eliana Gil (1998)
mencatat bahwa ketika seorang anak yang telah mengalami trauma parah
mengulangi bermain atau kegiatan seni tanpa resolusi atau koreksi, terapis
anak mengubah alur cerita menjadi pengalaman yang lebih produktif dan
35
2. Active Participation
pembuatan musik, tari dan drama, menulis kreatif, dan segala bentuk
tujuan, dan perilaku. Banyak atau semua indera yang digunakan dalam
satu cara atau yang lain ketika orang terlibat dalam pembuatan seni,
36
3. Imagination
bermain dalam terapi "(p. 259). McNiff (1981, 1992) percaya bahwa
gambar, musik, gerakan, atau puisi yang akan dianggap kreatif atau
37
Penggunaan terapi seni, bermain, atau sandtray dapat meningkatkan
38
Menulis telah terbukti efektif dalam perbaikan emosional dan
a. Transferensi
39
terapis. Proyeksi ini berasal dari situasi yang di repres atau belum
b. Ekspresi Spontan
ada enam tahapan utama dari perkembangan artistik pada anak sampai
remaja. Yaitu :
40
b. Preschematic ( usia empat sampai tujuh tahun), perkembangan awal
sempurna.
menyatakan bahwa munkgin saja terjadi tumpang tindih dalam usia, gaya
menggambar, dan keterampilan yang bisa jadi tidak sesuai dengan ekspresi
normal pada tahap tersebut, individu juga sangat mungkin untuk mengalami
41
6. Dasar Teori Expressive Arts Therapy
percaya bahwa satu bentuk art yang natural mampu menstimulasi yang
mengaktifkan apa yang kita rasakan atau yang kita pikirkan. Hubungan
yang kreatif ini bisa melibatkan berbagai rangkaian bentuk seni untuk
dengan panduan dan difasilitasi oleh terapis, arah dari proses yang diambil
beberapa bentuk dari imagery, musik, tarian, dan creative writing ketika
seni
42
membuka jalan kearah kekuatan penyembuhan imajinasi dan ini adalah
melihat seni sebagai obat bagi jiwa, didasari dari penggunaan secara
penderitaan manusia.
7. GROUP THERAPY
dalam bentuk expressive arts therapy memiliki sejumlah tujuan pribadi bagi
anggotanya serta tujuan sosial bagi kelompok. tujuan pribadi bagi masing-
individu
43
4. Bebas untuk membuat keputusan, bereksperimen, dan menguji gagasan-
gagasan.
9. Relaksasi
secara pribadi, Expressive Arts Therapy yang dilakukan dalam bentuk group
atau kelompok juga memiliki tujuan umum yang bermanfaat antar anggota
kelompok, yaitu :
3. Komunikasi.
8. Kohesi kelompok
44
8. Manfaat Group Therapy
melalui komunikasi dan umpan balik dengan atau dari orang lain.
Membentuk sosialisasi
kegiatan expressive arts therapy dilakukan secara berkelompok, maka hal ini
membuat fokus utama dari kegiatan ini tidak harus selalu tentang hasil arts
seperti gambar dan tulisan ekspresif, melainkan terapis juga bisa fokus pada
proses sosial dan dinamika yang terjadi dalam kelompok selama kegiatan
berlangsung.
45
2.2 KERANGKA BERPIKIR
ANAK JALANAN
PERMASALAHAN
Positive
Personal Growth
Relationship
Active Self
Participation Expression
46
2.2 Asuhan keperawatan pada anak jalanan
1. Pengkajian
a) Faktor predisposisi
Genetik
Biologis
Sosial kutural
Psikologis
c) Penilaian terhadap stressor
d) Sumber koping
Pencapaian wawasan
47
Proyeksi ( upaya untuk menjelaskan presepsi yang membingungkan dengan
menetapkan tanggung jawab kepada orang lain)
Menarik diri
Pengingkaran
2. Diagnosa
1. Harga Diri Rendah
2. Resiko perilaku kekerasan/perilaku kekerasan
3. Defisit perawatan diri
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa 1 : Harga Diri Rendah
Tujuan umum : klien tidak terjadi gangguan interaksi sosial, bisa berhubungan
dengan orang lain dan lingkungan.
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri,
b. Jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang,
c. Buat kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan)
d. Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
e. Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
f. Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya sendiri
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Tindakan :
a. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
b. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien,
c. Utamakan memberi pujian yang realistis
d. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
48
Tindakan :
e. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
f. Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien,
g. Utamakan memberi pujian yang realistis
h. Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
4. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan
Tindakan :
a. Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan
b. Beri pujian atas keberhasilan klien
c. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
5. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien
b. Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
c. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
d. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
Diagnosa 2: Perilaku kekerasan
TujuanUmum: Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
a. Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati, sebut nama perawat
dan jelaskan tujuan interaksi.
c. Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal / tersinggung
d. Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada Tuhan untuk diberi
Kesabaran
50
b. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
c. Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
d. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai dalam simulasi.
e. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel / marah.
8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.
Tindakan :
a. Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien melalui pertemuan
keluarga.
b. Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
51
a. Untuk pasien laki-laki latihan meliputi:
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Bercukur
b. Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :
1) Berpakaian
2) Menyisir rambut
3) Berhias
3. Melatih pasien makan secara mandiri
a. Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b. Menjelaskan cara makan yang tertib
c. Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d. Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
4. Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
a. Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b. Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c. Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
52
Mereka bermain, bergaul dan mencari nafkah dijalanan. Anak jalanan adalah anak
Pada hakikatnya mereka tidak ingin menjadi anak jalanan, namun kondisi sosial
dan ekonomi yang membuat mereka menjadi seperti itu. Mereka harus dibina,
dididik, dirangkul, dirawat dan dipelihara oleh negara. Anak jalanan memiliki
anakanak yang lain namun karena keterbatasan ekonomi mereka menjadi terlantar.
Potensi yang ada pada diri mereka harus diberdayakan. Dalam memberdayakan
anak jalanan yang tersebar di seluruh penjuru negeri ini tidaklah mudah. Dengan
B. Saran
memiliki peranan yang sangat vital. Para pedamping anak jalanan adalah ujung
LSM bergantung pada para pendamping selaku aktor utama dalam proses
pemberdayaan.
DAFTAR PUSTAKA
53
Indonesia. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Bambang Sukoco. 2008. Anak Jalanan Dan Hukum Pidana Sebuah Tinjauan terhadap
publikasikan
54
46