Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PERILAKU BERISIKO TERJADINYA

GANGGUAN KESEHATAN JIWA

DI SUSUN OLEH :

JENNY INA MISIRO


202013201039

YAYASAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT PAPUA (YPMP)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES) PAPUA SORONG

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala Limpahan rahmatnya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas ini dalam bentuk yang sangat sederhana. Semoga
tugas ini dapat dipergubnakan sebagai salah satu acuan petunjuk maupun bagi pembaca.

Harapan saya senoga tugas ini nembantu menambahkan pengetahuan dan pengalaman
bagi pembaca maupun saya sendiri tugas ini masih banyak kekurangan karena pengalaman
yang sata miliki masih sangat kurang oleh karena itu saya harapkan kepada pembaca untuk
memberikan masukan yang bersifat membangun untuk kesempuranaan ini

Sorong, 27 Februari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................... I

KATA PENGANTAR..................................................................................... II

DAFTAR ISI.................................................................................................... III

BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1

A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 1
C. Tujuan Penelitian.................................................................................. 1
D. Manfaat Penulisan ................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 2

A. Pengertian Kesehatan Jiwa................................................................... 2


B. Masalah Kesehatan Jiwa Masyarakat................................................... 5
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 6
A. Kesimpulan........................................................................................... 6
B. Saran...................................................................................................... 6
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 7

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keperawatan kesehatan mental dan psikiatrik adalah suatu bidang spesialisasi praktek
keperawatan yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan penggunaan diri
sendiri secara terapeutik sebagai kiatnya ( ANA ). Semuanya didasarkan pada diagnosis dan
intervensi dari adanya respons individu akan masalah kesehatan mental yang actual maupun
potensial. Ada empat karakteristik keperawatan :
Pelayanan yang menyeluruh difokuskan pada pencegahan penyakit mental, menjaga
kesehatan, pengelolaan atau merujuk dari masalah kesehatan phisik dan mental, diagnosis
dan intervensi dari gangguan mental dan akibatnya, dan rehabilitasi (Haber & Billing, 1993).
Keperawatan jiwa / mental diharapkan mampu mengkaji secara komprehensif, menggunakan
ketrampilan memecahkan masalah secara efektif dengan pengambilan keputusan klinik yang
komplek (advokasi), melakukan kolaborasi dengan profesi lain, peka terhadap issue yang
mencakup dilema etik, pekerjaan yang menyenangkan, tanggung jawab fiskal. Jadi peran
keperawatan jiwa profesional telah berkembang secara komplek dari elemen-elemen sejarah
aslinya.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana perilaku berisiko terjadinya gangguan kesehatan jiwa?

C. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui perilaku berisiko terjadinya gangguan kesehatan jiwa

D.    Manfaat
Manfaat yang diharapkan oleh penulis adalah sebagai berikut :
1.   Untuk masyarakat: sebagai bahan informasi untuk menambah pengetahuan kesehatan
2.   Untuk Mahasiswa: di harapkan makalah ini dapat bermanfaat sebagai bahan
pembanding tugas serupa.
3. Untuk tenaga kesehatan: makalah ini bisa di jadikan bahan acuan untuk melakukan
tindakan asuhan keperawatan pada kasus keperawatan kesehatan jiwa masyarakat.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kesehatan Jiwa

Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan
keseimbangan kejiwaan yang menceerminkan kedewasaan kepribadiannya. (WHO)

Kesehatan jiwa adalah kondisi seseorang yang terus tumbuh berkembang dan
mempertahankan keselarasan dalam pengendalian diri, serta terbebas dari stress yang serius.
(Rosdahi, 1999)

Kesehatan jiwa adalah kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual,


emosional secara optimal dari seseorang, dan perkembangan ini berjalan selaras dengan
orang lain. (UU Kesehatan Jiwa No. 3 Tahun 1966)

Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantanganhidup,
dapat menerima orang lainsebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri
sendiri dan orang lain.

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 220/MENKES/SK/III/1992


tentang pedoman umum Tim Pembina, Pengarah, Pelaksana kesehatan Jiwa Masyarakat.
Kesehatan jiwa masyarakat (Community Mental Health) merupakan suatu orientasi kesehatan
jiwa yang dilaksanakan di masyarakat. Kesehatan jiwa masyarakat ini dititik beratkan pada
upaya promotif dan preventif tanpa melupakan upaya kuratif dan rehabilitatif.

B. Masalah Kesehatan Jiwa Masyarakat


            Berbagai kondisi psikososial yang menjadi indikator taraf kesehatan jiwa masyarakat,
khususnya yang berkaitan dengan karakteristik kehidupan di perkotaan (urban mental health)
meliputi: kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kasus perceraian, anak remaja putus
sekolah, kasus kriminalitas anak remaja, masalah anak jalanan, promiskuitas,
penyalahgunaan Napza dan dampak nya (hepatitis C,HIV/AIDS dll), gelandangan psikotik
serta kasus bunuh diri.
1. Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
Kekerasan dalam rumah tangga adalah tiap perbuatan terhadap seseorang yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga
(definisi dalam UU No.23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT). Lingkup rumah
tangga adalah suami, istri dan anak, termasuk juga orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, pengasuhan, perwalian dengan
suami maupun istri yang menetap bersama dalam rumah tangga.

2
Dampak kekerasan dalam rumah tangga meliputi gangguan kesehatan fisik non-
reproduksi (luka fisik, kecacatan), gangguan kesehatan reproduksi (penularan penyakit
menular seksual, kehamilan yang tidak dikehendaki), gangguan kesehatan jiwa (trauma
mental), kematian atau bunuh diri. Kekerasan rumah tangga juga dapat menjadi salah satu
atau kontributor meningkatnya kasus perceraian, kasus penelantaran anak, kasus
kriminalitas anak remaja serta juga penyalahgunaan Napza.
2. Anak Putus Sekolah
             Berdasarkan data direktorat pendidikan kesetaraan depdiknas tahun 2005 lalu di
Indonesia tercatat jumlah pelajar SLTP yang putus sekolah adalah sebanyak 1.000.746
siswa/siswi, sedangkan pelajar SLTA yang putus sekolah adalah sebanyak 151.976.
jumlah lulusan SLTA yang tidak melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi pada tahun
tersebut tercatat sebanyak 691.361 siswa/ siswi. Laporan Organisai Buruh Internasional
(ILO) tahun 2005 menyatakan bahwa sebanyak 4,18 juta anak usia sekolah di Indonesia
tidak bersekolah dan sebagainya menjadi “pekerja anak” perwakilan ILO di Indonesia
menyatakan bahwa banyaknya anak putus sekolah dan menjadi pekerja anak disebabkan
karena biaya pendidikan di Indonesia masih dianggap terlalu mahal dan tak terjangkau
oleh sebagian kalangan masyarakat. Angka partisipasi kasar (APK) program wajib belajar
9 tahun yang dirilis Depdiknas menunjukan baru mencapai 88,68% dari target 95%
partisipasi anak usia sekolah yang diharapkan.
3. Masalah Anak Jalanan
                  Masalah anak jalan di Indonesia seperti kekerasan pada anak, masalah anak jalanan,
penelantaran anak dan sebagainya masih cukup tinggi. Berdasarkan data dari Departemen
Sosial tahun 2005, jumlah anak jalanan di Indonesia adalah sekitar 30.000 anak dan
sebagian besarnya berada di jalan-jalan di DKI Jakarta. Selain itu baru terdapat 12 daerah
di Indonesia yang memiliki perda tentang anak jalanan. Padahal para anak-anak jalanan
tersebut jelas rentan terhadap berbagai tindak kekerasan, penyimpangan perlakuan,
pelecehan seksual bahkan dilibatkan dalam berbagai tindak kriminal oleh orang dewasa
yang menguasainya.
4. Kasus Kriminalitas Anak Remaja
                   Data Direktorat Jenderal Kemasyarakatan Dephukham dan komnas pelindungan anak
(PA) menujukan bahwa pada tahun 2005 di Indonesia terdapat 2.179 tahanan anak dan
802 narapidana anak, 7 diantaranya anak perempuan. Tahun 2006 angkanya menjadi
4.130 tahanan anak serta 1.325 narapidana anak, dimana 34 diantaranya adalah anak
perempuan. Menurut survey Komnas PA penyebab anak masuk LP Anak adalah 40%
karena terlibat kasus Narkoba (Napza), 20% karena perjudian sedangkan sisanya karena
kasus lain-lain. Kira-kira 20% tindak kekerasan seksual pada tahun 2006 pelakunya
adalah anak remaja, 72% anak remaja pelaku kekerasan seksual mengaku terinspirasi
Tayangan TV, setelah membaca media cetak porno dan nonton film porno. Laporan
Komnas PA menyatakan bahwa 50-70% anak terlibat dalam tindak pidana kriminalitas
lalu di vonis penjara dan masuk LP Anak justru perilakunya menjadi lebih jelek dan
menjadi residivis dikemudian hari.
5. Masalah Narkoba, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) serta
dampaknya (Hepatitis C, HIV/AIDS, dll)

3
                   Narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya (Napza) tergolong dalam zat
psikoaktif yang bekerja mempengaruhi kerja sistem penghantar sinyal saraf (neuro-
transmiter) sel-sel susunan saraf pusat (otak) sehingga meyebabkan terganggunya fungsi
kognitif (pikiran), persepsi, daya nilai (judgment) dan perilaku serta dapat menyebabakan
efek ketergantungan, baik fisik maupun psikis. Penyalahgunaan Napza di Indonesia
sekarang sudah merupakan ancaman yang serius bagi kehidupan bangsa dan negara.
Pengungkapan kasusnya di Indonesia meningkat rata-rata 28,9 % per tahun. Tahun 2005
pabrik extasi terbesar ke 3 di dunia terbongkar di Tangerang, Banten. Di Indonesia
diprediksi terdapat sekitar 1.365.000 penyalahgunaan Napza aktif dan data perkiraan
estimasi terakhir menyebutkan bahwa pengguna Napza di Indonesia mencapai 5.000.000
jiwa. Mengikuti laju perkembangan kasus tersebut dijumpai pula peningkatan epidemi
penyakit hati lever hepatitis tipe-c dan kasus HIV (Human Immunodeficiency Virus)
AIDS (Acquired Immune-Deficiency Syndrome) yang modus penularan melalui
penggunaan jarum yang tidak steril secara bergantian pada “pengguna Napza suntik
(Penasus/injecting drug user/ IDU).
                  Pola epidemik HIV/AIDS di Indonesia tak jauh berbeda dengan negara-negara lain,
pada fase awal penyebarannya melalui kelompok homoseksual, kemudian tersebar
melalui perilaku seksual berisiko tinggi seperti pada pekerja seks komersial, namun
beberapa tahun belakangan ini dijumpai kecenderungan peningkatan secara cepat
penyebaran penyakit ini diantara para pengguna Napza suntik. Berbagai sember
memperkirakan orang dengan HIV/AIDS (ODHA) di Indonesia telah mencapai kurang
lebih 120.000 orang dan sekitar 80% dari jumlah tersebut terinfeksi karena pengunaan
jarum yang tidak steril secara bergantian pada para pengguna Napza suntik, jumlah
penderita HIV/AIDS dari tahun 2000 sampai 2005 meningkat dengan cepat menjadi 4
kali lipat atau 40%. Data pada akhir tahun 2005 menyatakan bahwa prevalensi penularan
HIV AIDS pada “penasun” adalah 80- 90% artinya , mencapai 90% dari total penasun
dipastikan terinfeksi HIV/AIDS.
6. Gangguan Psikotik Dan Gangguan Jiwa Skizofrenia
                  Ganguan jiwa berat ini merupakan bentuk gangguan dalam fungsi alam pikiran
berupa disorganisasi (kekacauan) dalam isi pikiran yang ditandai antara lain oleh gejala
gangguan pemahaman (delusi waham) gangguan persepsi berupa halusinasi atau ilusi
serta dijumpai daya nilai realitas yan terganggu yang ditunjukan dengan perilaku-perilaku
aneh (bizzare). Gangguan ini dijumpai rata-rata 1-2% dari jumlah seluruh penduduk di
suatu wilayah pada setiap waktu dan terbanyak mulai timbul (onset) nya pada usia 15-35
tahun. Bila angkanya 1 dari 1.000 penduduk saja yang menderita gangguan tersebut, di
Indonesia bisa mencapai 200-250 ribu orang penderita dari jumlah tersebut bila 10% nya
memerlukan rawat inap di rumah sakit jiwa berarti dibutuhkan setidaknya 20-25 ribu
tempat tidur (hospital bed) Rumah sakit jiwa yang ada saat ini hanya cukup merawat
penderita gangguan jiwa tidak lebih dari 8.000 orang. Jadi perlu dilakukan upaya
diantaranya porgram intervensi dan terapi yang implentasinya bukan di rumah sakit tetapi
dilingkungan masyarakat (community based psyciatric services) penambahan jumlah
rumah sakit jwa bukan lagi merupakan prioritas utama karena paradigma saat ini adalah
pengembangan program kesehatan jiwa masyarakat (deinstitutionalization). Terlebih saat
ini telah banyak ditemukan obat-obatan psikofarmaka yang efektif yang mampu

4
mengendalikan gejala ganggun penderitanya. Artinya dengan pemberian obat yang tepat
dan memadai penderita gangguan jiwa berat cukup berobat jalan.
                Sebenarnya kondisi di banyak negara berkembang termasuk Indonesia lebih
menguntungkan dibandingkan negara maju, karena dukungan keluarga (primary support
groups) yang diperlukan dalam penggobatan gangguan jiwa berat ini lebih baik
dibandingkan di negara maju. Stigma terhadap gangguan jiwa berat ini tidak hanya
menimbulkan konsekuensi negatif terhadap penderitanya tetapi bagi juga anggota
keluarga, meliputi sikap-sikap penolakan, penyangkalan, disisihkan, dan diisolasi.
Penderita gangguan jiwa mempunyai risiko tinggi terhadap pelanggaran hak asasi
manusia.

7. Kasus Bunuh Diri


                 Data WHO menunjukkan bahwa rata-rata sekitar 800.000 orang di seluruh dunia
melakukan tindakan bunuh diri setiap tahunnya. Laporan di India dan Sri Langka
menunjukkan angka sebesar 11-37 per 100 ribu orang, mungkin di Indonesia angkanya
tidak jauh dari itu. Menurut Dr. Benedetto Saraceno dari departemen kesehatan jiwa
WHO, lebih dari 90% kasus bunuh diri berhubungan dengan masalah gangguan jiwa
seperti depresi, psikotik dan akibat ketergantungan zat (Napza).
                 Yang mengkhawatirkan adalah dijumpainya pergeseran usia orang yang melakukan
tindak bunuh diri. Kalau dahulu sangat jarang anak yang usianya kurang dari 12 tahun
melakukan tindak bunuh diri, tetapi sekarang bunuh diri pada anak usia kurang dari 12
tahun semakin sering ditemukan. Ini menunjukkan kegagalan orang tua di rumah, guru di
sekolah dan tokoh panutan di asyarakat membekali keterampilan hidup (life skill) untuk
mengatasi tantangan maupun kesulitan hidupnya. Kasus bunuh diri sudah menjadi
masalah kesehatan masyarakat yang serius terutama bila dikaitkan dengan dampak
kehidupan moderen. Oleh karena itu WHO memandang bunuh diri sebagai peyebab
utama kematian dini yang dapat dicegah.
Kondisi lain yang perlu mendapat perhatian adalah altruistic suicide atau bunuh diri
karena loyalitas berlebihan yang antara lain bentuk “bom bunuh diri”. Banyak ahli
mengaitkan hal tersebut sebagi manifestasi dari akumulasi kekecewaan, perlakuan tidak
adil atau tersisihkan. Mengatasi altruistic suicide tidak mudah dan memerlukan
pendekatan multi disiplin antara berbagai pihak terkait seperti aspek kesehatan jiwa,
pendekatan agama, penegakan hukum dan sosial.

5
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan bahagia serta mampu mengatasi tantanganhidup,
dapat menerima orang lainsebagaimana adanya serta mempunyai sikap positif terhadap diri
sendiri dan orang lain.

Kesehatan jiwa masyarakat (Community Mental Health) merupakan suatu orientasi kesehatan
jiwa yang dilaksanakan di masyarakat. Kesehatan jiwa masyarakat ini dititik beratkan pada
upaya promotif dan preventif tanpa melupakan upaya kuratif dan rehabilitatif. (KepMenKes
No. 220)

Peran perawat kesehatan jiwa masyarakat adalah:

1. Mengidentifikasi, mengklasifikasi dan memetakan permasalahan kesehatan jiwa


2. Pendidikan kesehatan dalam upaya preventif danj promotif penemuan kasus dini,
skiring dan tindakan yang cepat.
3. Pemberi asuhan keperawatan pada intervensi kondisi “krisis”

B. Saran

Sehubungan dengan trend masalah kesehatan utama dan pelayanan kesehatan jiwa secara
global, maka fokus pelayanan keperawatan jiwa sudah saatnya berbasis pada komunitas
(Community Based Care) yang memberikan penekanan pada upaya preventif dan promotif.

Untuk para pembaca diharapkan memberi kritik dan saran terhadap isi makalah ini, dan

terima kasih pada pemabaca yagn telah meluangkan waktu membaca makalah ini.

6
DAFTAR PUSTAKA

Herman, Ade S. D. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Cetakan 1. Yogyakarta:

Nuha Medika

http://andiselvisulfiani.blogspot.com/2013/03/kesehatan-jiwa-komunitas.html

http://blogilmukeperawatan.blogspot.com/2012/06/asuhan-keperawatan-komunitas-jiwa.html

http://vhychocolatenurse.blogspot.com/2012/06/keperawatan-kesehatan-jiwa-keluarga-
dan.html

Anda mungkin juga menyukai