Disusun Oleh:
Dosen Pembimbing:
Rani Armalita, S.Psi., MA.
Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah swt yang telah
memberikan kemudahan dan kelancaran kepada penulis dan rekan-rekan
seperjuangan di tempat magang yang sama dalam penyusunan laporan magang
ini. Laporan ini dibuat sebagai hasil pertanggungjawaban praktik magang
dilakukan di Dinas Perberdayaan Perempuan dan Perlingungan anak,
Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Barat.
Praktik magang itu sendiri dilaksanakan dalam rangka memenuhi akhir mata
kuliah Magang di Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.
1. Ibu Rani Armalita, S.Psi., MA, selaku Dosen Pembimbing yang telah
mengawasi dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan laporan
magang
2. Bapak Dr. Rozi Sastra Purna, M.Psi., Psikolog, selaku Ketua Prodi
Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
3. Bapak Dr. dr. Afriwardi, SH, Sp. KO, MA selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas.
4. Dinas Perberdayaan Perempuan dan Perlingungan anak, Pengendalian
Penduduk dan Keluarga Berencana Provinsi Sumatera Barat dan seluruh
pegawai di dalamnya yang telah mau menerima peserta magang selama
1 bulan
ii
7. Bang Arif Putra Aprideyarsa dan rekan-rekan magang dari Universitas
PGRI Sumatera Barat dan SMK Nusatama Padang yang telah membantu
pekerjaan penulis selama proses magang berlangsung
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Surat Keterangan Magang ....................................................................................... i
Kata Pengantar ........................................................................................................ ii
Daftar Isi ................................................................................................................ iv
Daftar Tabel ............................................................................................................ v
Daftar Gambar ....................................................................................................... vi
Bab I Pendahuluan .................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Tujuan .................................................................................................... 6
1.3 Manfaat .................................................................................................. 6
1.4 Sistematika Penulisan ............................................................................ 7
Bab 2 Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
2.1 Tinjauan Umum tentang Anak .............................................................. 9
2.2 Tinjauan Umum tentang Kekerasan Seksual terhadap Anak .............. 12
2.3 Pendidikan Seks................................................................................... 17
2.4 Program Underwear Rules .................................................................. 20
2.5 Informasi Instansi Tempat Magang ..................................................... 22
Bab 3 Analisis Masalah & Pembahasan Perencanaan Tindakan .......................... 27
3.1 Analisis Masalah ................................................................................. 27
3.2 Perencanaan Tindakan ......................................................................... 31
Bab 4 Penutup ....................................................................................................... 35
4.1 Kesimpulan .......................................................................................... 35
4.2 Saran .................................................................................................... 35
Daftar pustaka ....................................................................................................... 37
Lampiran ............................................................................................................... 40
iv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perbandingan Jumlah Data Kasus Perlindungan Anak per-Tahun (2018-
2021) ....................................................................................................... 3
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bagan Struktur Organisasi ................................................................ 24
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara keempat terpadat di dunia dengan populasi
penduduk mencapai 279 juta jiwa pada 1 Januari 2022 lalu
(countrymeters.info, 2022). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 30,83 juta
diantaranya adalah golongan anak usia dini usia 0-6 tahun (BPS, 2021). Di
antara anak-anak ini, terdapat kurang lebih 44,3 juta anak yang hidup di
bawah garis kemiskinan (kurang dari $2 per hari) (UNICEF, 2014) dalam
Nahar, dkk (2019). Bagi negara berkembang seperti Indonesia, kemiskinan
menjadi salah satu faktor resiko anak mengalami kekerasan. Kekerasan
yang rentan dialami anak-anak bermacam-macam bentuknya, dapat berupa
eksploitasi, penelantaran, keterpisahan dengan orang tua, kekerasan fisik,
kekerasan emosional, hingga kekerasan seksual.
Di masa pandemi seperti sekarang, media massa tak henti-hentinya
mengungkapkan kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dan
anak-anak. Dalam buku yang didistibusikan oleh Kementrian Komunikasi
dan Informatika (Kemkominfo) dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) berjudul Anak adalah Anugerah:
Stop Kekerasan terhadap Anak, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan
pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial
dan/atau tujuan tertentu (Kekominfo & Kemen PPPA, 2015). Kekerasan
seksual terhadap anak sendiri menurut End Child Prostitution in Asian
Tourism (ECPAT, 2010) didefinisikan sebagai interaksi atau hubungan
antara anak dan orang dewasa atau orang yang memiliki penalaran lebih
jauh dibanding anak (saudara, orang tua, kerabat, ataupun orang dewasa
asing) dimana anak tersebut dipergunakan sebagai objek pemuas bagi
kebutuhan seksual pelaku.
Di Indonesia sendiri berdasarkan hasil Survei Nasional Pengalaman
Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2018, sebesar 61,7% anak laki-
laki dan 62% anak perempuan pada rentang usia 13-17 tahun telah
mengalami kekerasan fisik, emosional, dan seksual. Secara lebih detail, 1
dari 3 anak laki-laki dan 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan
1
fisik; 1 dari 2 anak laki-laki dan 3 dari 5 anak perempuan mengalami
kekerasan emosional; dan 1 dari 17 anak laki-laki dan 1 dari 11 anak
perempuan mengalami kekerasan seksual (SNPHAR, 2018). Angka tersebut
menunjukkan jenis kasus kekerasan tertinggi adalah kekerasan fisik, namun
Deputi Bidang Perlindungan Anak Kementrian Pemberdayaan Perempuan
dan Anak (KemenPPPA) mengatakan bahwa selama pandemi Covid-19
melanda angka kasus kekerasan seksual mengalami kenaikan yang
signifikan (cnnindonesia.com, 2021).
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI, 2021),
pada 2020 terdapat 419 kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH)
karena menjadi korban kekerasan seksual. Posisi kedua dan ketiga ditempati
oleh kasus anak yang mengalami kekerasan fisik dan psikis, yaitu 249 dan
119 kasus. Sementara itu menurut data sistem informasi online (Simfoni)
PPA, pada 2021 terdapat 10.832 kasus kekerasan terhadap anak yang
didominasi oleh kasus kekerasan seksual, yakni sebanyak 59.7% dari total
keseluruhan kasus (jakartautara.pikiran-rakyat.com, 2021). Meningkatnya
angka tersebut dapat dilihat dari kasus perlindungan anak yang juga ikut
meningkat, sebagainya data menurut KPAI berikut ini.
Tabel 1.1 Perbandingan Jumlah Data Kasus Perlindungan Anak
per-Tahun (2018-2021)
No Tahun Kasus
1 2018 4.885
2 2019 4.369
3 2020 4.734
4 2021 5.206
Sumber: kpai.go.id, 2018 -2021
2
sepanjang Januari sampai September 2021 telah menerima 5.206 laporan
kasus kekerasan terhadap anak yang dilaporkan secara langsung maupun
online (KPAI, 2021).
Di Sumatera Barat, rata-rata setiap tahunnya terjadi peningkatan kasus
kekerasan seksual seperti ini. Sebagaimana yang dilansir dari Gatra.com
(2020), kasus kekerasan seksual terhadap anak berdasarkan pencatatan Unit
Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Polresta Padang menyebutkan
bahwa tahun 2016 terdapat 109 kasus kekerasan. Untuk tahun 2017 terdapat
132 kasus dan bertambah menjadi 154 kasus pada 2018 (Marni, 2019)
dalam Sari & Suasti (2020). Kemudian dilansir dari regional.kompas.com
(2020), jumlah kasus kekerasan sepanjang tahun 2019 adalah 115 kasus
dimana kasus kekerasan seksual terhadap anak menempati urutan teratas
dengan 42 kasus. Pada 2020 kasus kekerasan terhadap anak juga mengalami
peningkatan dari tahun sebelumnya yakni sebanyak 48 kasus dengan
mayoritas pelaku berasal dari orang terdekat korban seperti kakek, ayah,
kakak, paman, sampai tetangga.
Anak-anak semakin rentan terhadap kekerasan seksual yang pada
umumnya dilakukan oleh orang-orang terdekat, misalnya orang-orang yang
tinggal di lingkungan dimana anak tinggal (saudara kandung, orang tua,
keluarga, dan kerabat) maupun lingkungan luar (teman sekolah, teman
sebaya, guru, tetangga, dan masyarakat). Kekerasan seksual yang terjadi di
lingkungan dimana anak tingga seringkali disebabkan ketidakharmonisan
keluarga, kurangnya komunikasi, kondisi finansial, sampai pada pola asuh
yang salah dan memaksa anak untuk “nurut” perintah orang tua sehingga
seringkali menggunakan cara kekerasan untuk mendidik. Sementara itu,
kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan luar disebabkan oleh
keterbatasan yang dimiliki anak (ABK), anak yang tidak memiliki kuasa,
kurangnya kontrol orang tua, hilangnya norma dalam masyarakat, hingga
tidak adanya layanan pengaduan tindak kekerasan seksual di sekitar tempat
tinggal (Cynthia, 2002).
3
Menurut data dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dalam Septiani
(2021), kekerasan seksual terhadap anak umumnya terjadi di tempat-tempat
sebagai berikut:
Tabel 1.2 Persentasi Kasus Terjadinya Kekerasan Seksual
Lokasi Persentasi
Rumah 48,7%
Sekolah 4,6%
Tempat umum 6,1%
Tempat kerja 3,0%
Tempat lainnya (hotel, motel, dll) 37,6%
Sumber: IDAI, 2021
Tabel 1.2 menunjukkan kasus kekerasan seksual pada anak paling sering
terjadi di dalam rumah. Padahal seperti yang diketahui, rumah harusnya
menjadi tempat paling aman untuk anak, tapi justru menjadi lokasi dengan
persentase tertinggi terjadinya kekerasan seksual.
Frekuensi dan durasi terjadinya pelecehan seksual berpengaruh
terhadap dampak yang ditimbulkan, ini berkaitan dengan kondisi tumbuh
kembang anak. Semakin sering frekuensi atau lama durasinya,
menyebabkan trauma yang timbul jugs semakin besar (Widya, 2015).
Semakin besar trauma anak, maka semakin panjang pula waktu pemulihan
yang dibutuhkan. Rafanello (2010) menambahkan bahwa side effect anak
akan mengalami gangguan paranoid, kecemasan, trauma berkepanjangan,
dan ketika dewasa mereka akan mengalami masalah yang berkaitan dengan
lawan jenis. Dampak kekerasan seksual pada anak juga memungkinkan
anak mengalami depresi tinggi, kelainan seksual, percobaan bunuh diri,
bahkan bukan tidak mungkin kelak anak melakukan tindakan yang
dialaminya saat kecil alias menjadi pelaku kekerasan seksual itu sendiri
(Corona et al., 2014).
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan, upaya pencegahan
adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk meminimaliris kasus
kekerasan pada anak, salah satunya yakni lewat sosialisasi seks aducation.
4
Seks education atau pendidikan seks atau psikoedukasi seks merupakan
upaya penerangan, penyadaran, dan pengajaran tentang pengetahuan seksual
terhadap pada anak, dalam usaha menjaga anak terbebas dari kebiasaan
yang tidak Islami serta menutup segala kemungkinan yang mengarah pada
penyimpangan seksual (Choirudin, 2014). Pada anak usia dini, pendidikan
seks diberikan untuk menjelaskan hal-hal terkait nama dan fungsi alat
kelamin, perbedaan alat kelamin laki-laki dan perempuan, identitas gender,
hingga cara menjaga diri sendiri dari orang lain yang berpotensi melakukan
kekerasan seksual.
Upaya pencegahan merupakan salah satu capaian kerja yang harus
dipenuhi dalam program perlindungan anak (LKPJ DP3AP2KB, 2021).
Penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual anak menjadi
tanggung jawab berbagai pihak, mulai dari orang tua, keluarga, masyarakat,
dan pemerintah Indonesia sendiri. Negara wajib menyediakan program
penanganan kekerasan untuk merespon kasus kekerasan seksual pada anak,
sebagaimana yang tercantum pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Pasal 20 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi:
“Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban
dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan dan perlindungan
anak”
Di sinilah peran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB)
Provinsi Sumatera Barat. Dinas P3AP2KB adalah salah satu instansi yang
turut berkontribusi dalam melakukan perlindungan terhadap anak, tak
terkecuali berkaitan dengan kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkup
daerah provinsi Sumatera Barat. DP3AP2KB merupakan instansi
pemerintah yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera
Barat Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat
Daerah Provinsi Sumatera Barat. Kantor dinas ini bertempat di Jalan Rasuna
Said Nomor 74, Padang.
5
Dinas P3AP2KB terdiri dari Kepala Dinas, Sekretariat, 4 Bidang, dan
UPTD yang dipimpin oleh Sekretaris, Kepala Bidang dan Kepala UPTD, 4
Sub Bagian yang dipimpin oleh Kepala Sub Bagian, dan 14 Seksi yang
dipimpin oleh Kepala Seksi. Program merupakan salah satu Sub Bagian
yang dibawahi oleh Sekretariat dengan fungsi sebagai berikut:
a. Penyelenggaraan koordinasi perencanaan dan program di lingkungan
dinas.
b. Penyelenggaraan pembinaan dan penataan organisasi dan tata laksana di
lingkungan dinas
c. Penyelenggaraan pengelolaan urusan keuangan, umum, dan
kepegawaian
Sementara tugas dari Sub Bagian Program adalah melakukan penyiapan
bahan perumusan kebijakan teknis, koordinasi dan pelaksanaan kebijakan,
evaluasi, serta pelaporan di bidang program dan keuangan.
Berkaitan dengan tugas pertama Sekretariat yakni penyelenggaraan
koordinas perencanaan dan program di lingkungan dinas, Sub Bagian
Program juga ikut serta dalam membantu perumusan, pelaksanaam, dan
pelaporan setiap kebijakan program kerja yang dilakukan oleh setiap
bidang, tak terkecuali Bidang Perlindungan Hak Perempuan dan Anak
(PHPA), yang mana salah satu program pada bidang PHPA adalah
Perlindungan Khusus Anak yang berkaitan dengan fenomena kekerasan
seksual terhadap anak.
1.2 Tujuan
Laporan pelaksanaan magang ini dibuat untuk mengusulkan program
alternatif bernama underware rules yang dapat dijalankan oleh Dinas
P3AP2KB Provinsi Sumatera Barat dalam upaya pencegahan kekerasan
seksual terhadap anak di Sumatera Barat.
1.3 Manfaat
Laporan pelaksanaan magang ini diharapkan dapat memberi manfaat,
baik ditinjau secara teoritis maupun praktis :
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat:
6
a. Memberikan informasi dari sudut pandang psikologi, khususnya
psikologi klinis dan perkembangan terkait dampak kekerasan seksual
yang dialami anak
b. Memperkaya khasanah keilmuan psikologi mengenai kondisi psikologis
anak korban kekerasan, mengingat laporan pelaksanaan magang yang
membahas Bidang PHPA di Dinas P3AP2KB Provinsi Sumatera Barat
masih jarang ditemukan.
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat:
a. Bagi Instansi Terkait
Sebagai informasi atau bahan masukkan dan dapat digunakan Dinas
P3AP2KB Provinsi Sumatera Barat dalam merancang, menjalankan,
dan mengevaluasi program-program kerja yang kedepannya akan
dijalankan, khususnya berkaitan dengan Bidang Perlindungan Hak
Perempuan dan Anak.
b. Bagi Masyarakat
Menjadi panduan masyarakat dalam memberikan pendidikan seks pada
anak. Program underwear rules ini dapat memudahkan para orang tua
membuka pembicaraan seks dengan anak-anaknya, sehingga anak
teredukasi dan mampu menjaga diri dari pelaku kejahatan seksual
sekaligus mencegah peningkatan kasus kejahatan seksual itu sendiri.
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam laporan kegiatan magang ini adalah
sebagai berikut:
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini berisi penjelasan mengenai latar belakang laporan, tujuan laporan,
manfaat laporan, dan sistematika penulisan laporan.
BAB II KERANGKA TEORITIS
Bab ini berisi teori yang digunakan untuk membahas
topik/fenomena/masalah yang diangkat di tempat Magang. Selain itu juga
berisi informasi instansi yang diperoleh dari hasil mempelajari dokumen
selama Magang, meliputi: sejarah, struktur, kegiatan, dan sistem yang
sedang berjalan di instansi tersebut.
7
BAB III ANALISIS MASALAH DAN PEMBAHASAN PERENCANAAN
TINDAKAN
Bab ini berisi analisis dari isu yang diangkat berdasarkan teori atau konsep
psikologi yang digunakan. Hal yang dikaji berupa masalah apa yang sedang
dihadapi, faktor penyebabnya, dan dampaknya jika tidak diatasi.
BAB IV PENUTUP
Bab ini menguraikan kesimpulan, diskusi, dan saran-saran praktis sesuai
hasil dan masalah-masalah penelitian, serta saran-sarat metodologis untuk
penyempurnaan penelitian lanjutan
8
BAB 2
TINJUAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum tentang Anak
2.1.1 Definisi Anak
Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI, 2022), anak
diartikan sebagai keturunan kedua. Ini sejalan dengan definisi
Wikipedia (2022) bahwa anak merupakan laki-laki atau perempuan
yang belum dewasa atau belum mengalamai masa pubertas. Anak juga
diartikan sebagai individu dengan ukuran tubuh lebih kecil. Pada
hakikatnya, anak merupakan individu yang tengah berada pada
tahapan perkembangan tertentu serta mempunyai potensi untuk
menjadi dewasa (Anton, 1988). Anak memiliki perbedaan sifat dan
karakteristik dengan orang dewasa. Anak merupakan generasi penerus
bangsa yang memiliki peran strategis dalam menjaga eksistensi dan
memajukan negara di masa depan.
Definisi anak secara internasional tertuang dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Hak Anak atau United
Nation Convention on The Right of Child tahun 1989. Dalam
Konvensi Hak Anak, dinyatakan bahwa:
“For the purpose of the convention, a child means every human
being below the age of 18 years unless, under the law applicable
to the child, majority is attained earlier”
Menurut konvensi ini, anak adalah individu yang berusia di bawah 18
tahun, kecuali berdasarkan undang-undang yang berlaku bahwa usia
dewasa anak dicapai lebih awal. Definisi itu sesuai dengan batasan
yang ada dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Indonesia bahwa
yang dimaksud dengan anak adalah individu yang belum mencapai
usia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan.
Anak dalam perspektif psikologi menurut John Locke adalah
individu yang masih bersih dan peka terhadap rangsangan dari luar.
Definisi oleh John Locke tersebut populer dikenal dengan teori
“Tabula Rasa”, yang mana mengungkapkan bahwa anak ibarat sebuah
kertas putih kosong yang membutuhkan orang dewasa untuk mengisi
9
dan mewarnainya (Papalia & Olds, 2004). Kriteria seorang anak
selain ditentukan atas batasan usia, juga dilihat dari pertumbuhan dan
perkembangan jiwa yang dialaminya.
10
Santrock (2010) juga menjelaskan periode perkembangan
individu terdiri atas tiga tahap, yaitu: anak (childhood), remaja
(adolescence), dan dewasa (adulthood). Menurut Hurlock (1999),
masa anak-anak (childhood) terbagi lagi ke dalam dua tahap
perkembangan, yaitu:
a. Masa anak-anak awal (early childhood)
Merupakan tahap perkembangan yang merentang dari usia 2-6
tahun. Periode ini disebut juga tahun-tahun pra sekolah “pre
school years”.
b. Masa anak-anak akhir (late childhood)
Berlangsung antara usia 6-11 tahun, kurang lebih bersaman
dengan masa sekolah dasar. Keterampilan seperti membaca,
menulis, dan berhitung telah dikuasai. Anak secara formal
berhubungan dengan dunia yang lebih luas.
Berdasarkan klasifikasi tersebut, Hurlock kemudian menggunakan
istilah anak usia dini untuk rentang usia 0-8 tahun, yang mana sering
dikatakan sebagai masa keemasan atau The Golden Age Moment
(Hurlock, 2006), yang diartikan sebagai masa saat sel-sel otak
berkembang sangat cepat hingga 80 persen. Hal ini sejalan dengan
pendapat pakar pendidikan anak, salah satunya Australia Marjorry
Ebbeck, bahwa anak usia dini berada pada rentang 0-8 tahun (dalam
Amalia, 2022). Pada usia tersebut, otak mampu menerima dan
menyerap berbagai macam informasi.
Berdasarkan beberapa penjelasan tersebut, dapat disimpulkan
bahwa anak usia dini adalah anak pada rentang usia 0-8 tahun dimana
mereka memiliki kemampuan menyerap informasi secara cepat, di
samping belum bisa membedakan hal baik dan buruk. Kemampuan
otak anak dalam mempelajari berbagai hal baru juga diiringi dengan
rasa ingin tahu yang tinggi. Rasa ingin tau yang tinggi tersebut salah
satunya berhubungan dengan seks.
11
2.2 Tinjauan Umum tentang Kekerasan Seksual terhadap Anak
2.2.1 Definisi Kekerasan Seksual
Istilah kekerasan seksual berasal dari bahasa Inggris: sexual
hardness, yang mana hardness mempunyai arti kekerasan, tidak
menyenangkan, dan tidak bebas (Echols & Shadily, 1997). Sementara
kata sexual mempunyai arti sesuatu yang berkaitan dengan
seksualitas. Sehingga istilah sexual hardness berarti perbuatan seksual
yang tidak diinginkan oleh si penerima, dimana di dalamnya terdapat
kekerasan, tekanan, tidak menyenangkan, dan tidak bebas. Menurut
Undang-undang, kekerasan dasarnya telah diatur dalam KUHP Pasal
89 yang didefinisikan sebagai perbuatan yang menggunakan tenaga
atau kekuatan jasmani tidak kecil secara sah, misalnya menendang,
memukul dengan tangan, memukul dengan senjata tumpul dan
sebagainya.
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan pemaksaan hubungan
seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu (Kekominfo & Kemen PPPA, 2015). Kekerasan seksual juga
dapat berbentuk paksaan agar korban melihat atau menonton
pornografi, candaan seksual, ucapan dan perbuatan merendahkan atau
melecehkan yang mengarah pada jenis kelamin, memaksa untuk
berhubungan badan baik dengan kekerasan fisik dan/atau tidak, dan
memaksa melakukan aktivitas seksual yang tidak disukai (Ligina et
al., 2018). Poerwandari (2000) (dalam Fuadi, 2011) menyatakan
kekerasan seksual sebagai tindakan yang mengarah pada aktivitas
seksual seperti mencium, meraba, menyentuh, atau tindakan-tindakan
lainnya yang membuat korban merasa tidak nyaman.
2.2.2 Kekerasan Seksual terhadap Anak
Undang-Undang Perlindungan Anak memberi batasan bahwa
yang dimaksud dengan anak adalah individu yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan (UU
Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002). Pengertian kekerasan
terhadap anak sangat terkait dengan kata abuse, yaitu kata yang
12
memiliki arti terjemahan kekerasan, penyiksaan, penganiayaan atau
perlakuan salah. Child abuse adalah istilah yang digunakan untuk
menyebut fenomena kekerasan terhadap anak (Hendry, 2003). World
Health Organization atau WHO turut menjelaskan bahwa kekerasan
seksual terhadap anak adalah keterlibatan anak dalam aktivitas seksual
dengan orang dewasa atau dengan anak kecil lainnya (anak kecil yang
memiliki kekuasaan dibanding korban) yang mana anak tidak
sepenuhnya paham, tidak memberikan persetujuan, dan kegiatan ini
melanggar hukum dan norma di masyarakat (WHO, 2022).
2.2.3 Bentuk Kekerasan Seksual terhadap Anak
Kekerasan seksual terhadap anak yang terjadi di lingkungan
masyarakat faktanya tidak hanya dalam bentuk berhubungan badan,
melainkan juga dalam bentuk kontak seksual lainnya, diantaranya
sebagai berikut:
a. Perkosaan, merupakan usaha yang dilakukan orang dewasa
terhadap anak untuk melakukan persetubuhan guna memenuhi
hasrat seksualnya dengan cara paksaan menggunakan kekerasan
fisik atau psikologis
b. Sodomi, merupakan perbuatan pencabulan yang mana pelaku
menyetubuhi korban melalui anal atau anus
c. Oral sex, terdiri dari dari cunnilingus (seks oral dilakukan pada
wanita) dan fellatio (seks oral dilakukan pada laki-laki)
d. Sexual gesture, merupakan serangan seksual secara visual
termasuk eksibisionisme, misalnya sengaja memperlihatkan alat
kelamin (penis) kepada korban
e. Sexual remark, misalnya: bersiual, menggoda, dan merayu
korban untuk kepuasan seksual
f. Sunat klentit (sunat klitoris pada anak perempuan)
g. Pelacuran anak
13
Selain itu, bentuk kekerasan seksual terhadap anak sebenarnya
juga terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak,
sebagaimana pemaparan berikut:
a. Kekerasan yang diatur dalam KUHP. Hal ini dapat ditafsirkan
dari ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak Pasal 64 ayat (3) yang berbunyi:
”Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak
pidana…”.
Ketentuan tindak pidana dalam Pasal ini dikaitkan dengan Pasal
91 yang menyatakan bahwa:
“Pada saat berlakunya undang-undang ini, semua peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan
anak yang sudah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan undang-undang ini”
b. Kekerasan seksual terhadap anak dalam bentuk eksploitasi
seksual
c. Kekerasan seksual terhadap anak yang didahului penculikan dan
perdagangan anak
d. Kekerasan seksual terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76D dan Pasal 76E Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 sebagai perubahan pertama atas Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tentang
Perlindungan Anak.
2.2.4 Faktor Penyebab Kekerasan Seksual terhadap Anak
Dalam buku yang didistibusikan oleh Kementrian Komunikasi
dan Informatika (Kemkominfo) dan Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) berjudul Anak
adalah Anugerah: Stop Kekerasan terhadap Anak, sejauh ini latar
belakang pelaku melakukan aksi kejahatannya pada korban adalah
sebagai berikut:
14
Tabel 2.1 Persentasi Latar Belakang Kekerasan Seksual
Faktor Persentasi
Pengaruh media pornografi 8%
Terangsang dengan korban 17%
Hasrat tidak tersalurkan 29%
Alasan lainnya 46%
Sumber: Kemen PPPA (2015)
15
c. Perilaku eksternalisasi seperti agresi, permusuhan,
penyalahgunaan zat, dan lain-lain
d. Defisit sosial seperti keterampilan sosial yang rendah, kesepian,
dan kesulitan dengan hubungan intim
e. Kelainan seksual, misalnya pedofil
f. Kognisi atau sikap toleran terhadap seks
2.2.5 Dampak Kekerasan Seksual terhadap Anak
Kekerasan terhadap anak menimbulkan berbagai dampak yang
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
a. Dampak jangka pendek
1) Fisik
Luka lecet pada daerah vagina atau anus, rasa gatal pada
alat kelamin, masalah saluran kencing, masalah ginekologis,
sulit duduk atau berjalan, patah tulang, terbakar, dan
infeksi.
2) Psikis
Perasaan takut korban untuk alasan yang tidak konket,
seperti: takut masuk ke kamar, takut tidur sendirian, dan
sebagainya. Selain itu korban juga cenderung mengalami
gangguan kecemasan, gangguan tidur, self esteem yang
rendah, sulit makan, sulit memfokuskan diri, sulit
berkonsentrasi, minder, cuek, pendendam, pemarah, mudah
membenci pada orang lain, menarik diri dari kehidupan
sosial, dan sikapnya menjadi lebih kekanak-kanakan.
b. Dampak jangka panjang
1) Pertumbuhan
Pertumbuhan badan korban menjadi terhambat, kurang gizi,
infeksi, dan cacat. Korban juga beresiko mengalami
keterlambatan kognitif, penyakit menular seksual, dan
kehamilan.
16
2) Perkembangan
Mengalami regresi, gangguan emosi, sulit membedakan hal
baik dan hal buruk, prestasi akademik rendah, tidak kreatif,
tidak produktif, menunjukkan perilaku seksual di usia dini
misalnya melakukan masturbasi berlebihan.
3) Sifat di masa depan
Depresif, agresif, psikopat, anarkis, dan kriminalis. Di masa
depan korban juga beresiko mengulangi kejadian yang
dialaminya saat kecil, yakni menjadi pelaku kejahatan
seksual itu sendiri.
Selain itu, buku yang didistibusikan oleh Kementrian Komunikasi
dan Informatika (Kemkominfo) dan Kementrian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) berjudul Anak
adalah Anugerah: Stop Kekerasan terhadap Anak juga menjabarkan
dampak kekerasan seksual pada anak yang mempengaruhi otak. Hal
ini dikarenakan otak anak masih dalam tahap perkembangan sehingga
mudah sekali terpengaruh lingkungan, termasuk jika anak mengalami
trauma kekerasan seksual.
Secara medis, kejahatan sosial yang dialami anak berdampak pada
otak anak yang mengalami penyusutan volume di area hypocampus
(bagian yang mempengaruhi navigasi dan ruangan), terutama
ventrolateral prefrontal dan daerah limbik-temporal. Penyusutan ini
menjadi salah satu penjelasan anak korban kekerasan seksual
cenderung berperilaku menyimpang psikogenik lanjutan. Contohnya
seperti depresi, ketergantungan obat, dan masalah kesehatan mental.
Selain itu penyusutan bagian tersebut juga mempengaruhi sifat anak
saat dewasa, terutama jika dilihat dari sisi afektif dan kognitifnya
(kemampuan berpikir).
18
f. Memunculkan keberanian anak untuk melapor ke pihak
berwajib bila menemukan atau menjadi korban kekerasan
seksual
Sulistiyowati dkk (2018) juga menjelaskan bahwa pendidikan
seks bertujuan mengedukasi anak tentang bahasan gender; memahami
tubuhnya sendiri dan kondisi tubuh lawan jenisnya; menjaga dan
merawat tubuh dari sisi kesehatan, keamanan, dan keselamatan; serta
menghindari anak dari kejahatan seksual. Pendidikan seks bukan
hanya bertujuan mencegah terjadinya kekerasan seksual, melainkan
juga mengajarkan anak menjaga kesehatan alat kelaminnya sehingga
terhindar dari penyimpangan seksual (Counterman & Kirkwood,
2013). Perlu diketahui bersama bahwa pembahasan seks tidak perlu
dianggap tabu, karena itu justru membuat anak semakin penasaran,
sebaliknya, perlu ada penjelasan secara gamblang akibat seks itu
sendiri dari para orang dewasa khsusunya orang tua.
2.3.3 Manfaat Pendidikan Seks
Maraknya kasus kekerasan seksual pada anak merupakan bukti
kurangnya pengetahuan anak mengenai pendidikan seks. Hal ini
sejalan dengan pandangan Erlinda dalam Sulistyowati dkk (2018)
bahwa faktor penyebab kekerasan dan pelecehan seksual umumnya
disebabkan oleh rendahnya kesadaran masyarakat terhadap hak anak,
pendidikan karakter di rumah, kemiskinan atau rendahnya
pengetahuan tentang pendidikan seks, penyebaran perilaku jahat antar
generasi, ketegangan sosial, serta lemahnya penegakan hukum. Kasus
kekerasan seksual tersebut dapat dihindari apabila orang tua
memberikan pendidikan seksual sejak dini sehingga tujuan pendidikan
seks dapat tercapai dan manfaatnya dapat dirasakan tidak hanya oleh
anak tetapi juga orang tua, masyarakat, bahkan negara.
Manfaat diberikannya pendidikan seks sejak dini yakni menjadi
bekal pengetahuan anak, membuka wawasan anak seputar masalah
seks secara benar sehingga memiliki kesadaran akan fungsi
reproduksi, serta paham tata tentang cara menjaga dan
19
memeliharanya. Dikutip dari Elisabeth Fransisca dkk (2019),
Dianawati menjelaskan bahwa manfaat diberikannya pendidikan seks
pada anak usia dini salah satunya adalah masyarakat yang mendapat
pandangan positif terkait informasi pendidikan seks. Kemudian anak
juga mengetahui bahaya perilaku penyimpangan seksual sehingga
menghindari hal-hal negatif yang diakibatkan dari pemahaman tentang
pendidikan seks yang salah dan keliru.
2.3.4 Cara Memberikan Pendidikan Seks
Berkenaan dengan pemberian pendidikan seks, Erni (2017)
menyebutkan beberapa cara yang bisa dilakukan, diantaranya:
a. Mengenalkan bagian-bagian intim anak. Bisa dilakukan ketika
anak mandi atau berganti pakaian
b. Memberitahu fungsi bagian intim atau organ reproduksi tersebut
c. Memberitahu perbedaan antara organ reproduksi laki-laki dan
perempuan
d. Mengajari anak merawat dan membersihkan alat kelaminnya
sendiri
e. Mengenalkan anak bagian tubuh mana yang boleh dan tidak
boleh disentuh orang lain
Pendapat lain mengatakan cara dilakukan untuk menghindarkan
anak usia dari rangsangan seksual (Ulwan, 2009) yaitu:
a. Memisahkan tempat tidur anak.
b. Mengajarkan tidur dengan posisi miring ke kanan atau miring ke
kiri.
c. Menjauhkan anak dari sesuatu yang dapat membangkitkan
seksual
21
d. Pencegahan dan penanggungan merupakan tanggung jawab orang tua
Jika ada kemungkinan anak merasakan sesuatu yang salah, maka orang
dewasa yang harus menjadi lebih peka dan perhatian, disamping harus
menerima perasaan dan perilaku mereka. Terdapat begitu banyak alasan
mengapa anak menolak kontak dengan orang dewasa lain, yang mana
ini harus dihormati namun juga diawasi. Anak-anak juga harus
diyakinkan bahwa mereka selalu bisa menceritakan masalahnya dengan
orang tua tentang ini.
e. Petunjuk bermanfaat lainnya, sebagai berikut:
1. Pelaporan yang pengungkapan
2. Pelaku yang dikenal
3. Pelaku yang tidak dikenal, dan
4. Pertolongan
23
a. Kepala UPTD
1) Sub Bagian Tata Usaha
2) Seksi Pelayanan Terpadu dan Rujukan
3) Seksi Informasi dan Kerjasama
KEPALA DINAS
KELOMPOK JABATAN
FUNGSIONAL
SEKRETARIAT
SEKSI
SEKSI HAK SIPIL, SEKSI SEKSI
PENGARUSUTAMAAN GENDER INFORMASI DAN PERLINDUNGAN PENGENDALIAN
DAN PEMBERDAYAAN PARTISIPASI PEREMPUAN PENDUDUK
PEREMPUAN
SEKSI
SEKSI PENGASUHAN
SEKSI SEKSI
ALTERNATIF
PELEMBAGAAN PUG DAN PERLINDUNGAN KELUARGA
PENDIDIKAN,
ADVOKASI ORGANISASI KHUSUS ANAK BERENCANA
KESEHATAN DAN
PEREMPUAN
KESEJAHTERAAN
SEKSI
KUALITAS KELUARGA
SEKSI DATA DAN SEKSI SEKSI
INFORMASI PENGUATAN SEKSI KETAHANAN
Sumber: DPPPA Prov. Sumbar
GENDER DAN LEMBAGA DAN
ANAK LAYANAN KESEJAHTERAAN
PEREMPUAN KELUARGA
DAN ANAK
UPT
24
2.5.3 Visi Misi dan Tujuan Instansi
a. Visi
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Provinsi Sumatera Barat selaku penyelenggara dua urusan wajib
pemerintahan, yaitu Urusan Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak dan Urusan Keluarga Berencana dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya mempunyai visi:
“Terwujudnya Kesetaraan Gender dan Perlindungan Anak
Menuju Keluarga Bahagia Sejahtera”
b. Misi
Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Barat
menetapkan 5 misi yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, yaitu:
1) Meningkatkan peran dan kontribusi perempuan dalam aspek
pembangunan
2) Meminimalisir kesenjangan perbedaan hak dan peranantara
laki-laki dan perempuan pada setiap sektor pembangunan
3) Meningkatkan perlindungan terhadap perempuan, anak,dan
keluarga dari segalabentuk tindak kekerasan
4) Meningkatkan partisipasi dan peran kelembagaan dalam
pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan dan
anak
5) Meningkatkan kualitas hidup perempuan dan anak menuju
keluarga kecil yang berkualitas.
2.5.4 Tugas Pokok dan Fungsi Instansi
Berdasarkan tugas pokok dan fungsi, Dinas Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Sumatera Barat
mempunyai tugas membantu gubernur dalam penyelenggaraan
pemerintah provinsi dalam melaksanakan penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan daerah di bidang Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak. Dalam menyelenggarakan tugas tersebut,
25
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mempunyai
fungsi:
a. Perumusan kebijakan teknis dibidang pemberdayaan perempuan
dan perlindungan anak
b. Pelayanan penunjang penyelenggaraan pemerintahan provinsi
dibidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
c. Pemberian dukungan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah
dibidang pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
d. Pelaksanaan tugas kedinasan lainnya yang diberikan oleh
gubernur.
26
BAB 3
ANALISIS MASALAH
DAN PEMBAHASAN PERENCANAAN TINDAKAN
27
Secara umum, jumlah kasus kekerasan terhadap anak di 19
kabupaten di Sumatera Barat pada tahun 2021 adalah sebagai berikut:
Tabel 3.1 Jumlah Kasus dan Korban Kekerasan terhadap Anak
di Provinsi Sumatera Barat Tahun 2021
Usia (tahun)
Jumlah
No Kabupaten/kota Kasus S 0-
6-12 13-17 Korban
5
L 3 19 12 34
1 Kabupaten Agam 50 P 0 34 26 60
T 3 53 38 94
L 0 4 3 7
Kabupaten
2 15 P 0 1 8 9
Dharmasraya
T 0 5 11 16
L 1 0 24 25
Kabupaten Lima
3 61 P 2 9 26 37
Puluh Kota
T 3 9 50 62
L 0 0 0 0
Kabupaten
4 10 P 1 5 4 10
Mentawai
T 1 5 4 10
L 0 0 7 7
Kabupaten
5 13 P 0 4 7 11
Padang Pariaman
T 0 4 14 18
L 2 1 3 6
Kabupaten
6 4 P 1 0 1 2
Pasaman
T 3 1 4 8
L 4 6 7 17
Kabupaten
7 35 P 5 4 17 26
Pasaman Barat
T 9 10 24 43
L 0 2 9 11
Kabupaten Pesisir
8 29 P 0 6 12 18
Selatan
T 0 8 21 29
L 0 2 3 5
Kabupaten
9 24 P 1 9 9 19
Sijunjung
T 1 11 12 24
L 0 4 6 10
10 Kabupaten Solok 35 P 2 7 19 28
T 2 11 25 38
L 1 0 1 2
Kabupaten Solok
11 9 P 0 3 4 7
Selatan
T 1 3 5 9
L 0 2 5 7
Kabupaten Tanah
12 34 P 2 12 13 27
Datar
T 2 14 18 34
28
L 2 16 4 22
Kota Bukit
13 39 P 4 10 5 19
Tinggi
T 6 26 9 41
L 2 8 22 32
14 Kota Padang 79 P 8 9 32 49
T 10 17 54 81
L 2 1 2 5
Kota Padang
15 6 P 0 2 0 2
Panjang
T 2 3 2 7
L 0 0 6 6
16 Kota Pariaman 13 P 0 1 6 7
T 0 1 12 13
L 1 3 5 9
Kota
17 17 P 1 4 5 10
Payakumbuh
T 2 7 10 19
L 2 3 2 7
Kota Sawah
18 23 P 0 2 14 16
Lunto
T 2 5 16 23
P 0 0 4 4
19 Kota Solok 8
T 1 1 6 8
L 21 72 123 216
Total 504 P 27 122 212 361
T 48 194 335 577
Sumber: Aplikasi SIMFONI PPA-KPPPA RI, Diakses Tanggal 4 Januari 2022
29
b. Pelaksanaan dan pembinaan kebijakan teknis di bidang
Perlindungan Khusus Anak
c. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang Perlindungan
Khusus Anak
Salah satu uraian tugas pokok dan fungsi Seksi Perlindungan Khusus
Anak adalah melaksanakan penyiapan fasilitasi, sosialisasi, dan
distribusi kebijakan di bidang Perlindungan Khusus Anak.
3.1.2 Persoalan dalam Dinas P3AP2KB
Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, salah satu
sasaran strategis yang menjadi indikator capaian kinerja dinas adalah
“Meningkatnya Perlindungan Anak”. Meningkatnya perlindungan
anak atau juga disebut “Sasaran Strategis V” menjadi Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2021 tentang Perlindungan Khusus
Bagi Anak yang merupakan turunan untuk melaksanakan ketentuan
pasal 71C UU 35/2014 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan
khusus bagi anak bertujuan untuk memberikan jaminan rasa aman
bagi anak yang memerlukan perlindungan khusus, memberikan
layanan yang dibutuhkan anak, serta mencegah terjadinya pelanggaran
hak-hak anak (LAKIP, 2021).
Mengingat besarnya dampak negatif yang timbul dari kasus
kekerasan seksual terhadap anak yang telah rinci dijelaskakn pada bab
dua, poin ketiga dari tujuan PP menjadi poin yang paling penting
yakni upaya pencegahan itu sendiri. Bidang PHPA sebenarnya telah
melakukan berbagai program pencegahan yang melibatkan pihak
lingkup daerah provinsi dan lintas daerah kabupaten/kota, misalnya:
mengadakan bimbingan teknis anak berkebutuhan khusus, sosialisasi
review gerakan sosial anti kejahatan seksual (Gn-Aksa) di
kabupaten/kota, pembinaan ke kabupaten/kota terkait pencegahan
kejahatan seksual anak, dan lain sebagainya. Namun sayangnya,
upaya pencegahan tersebut tidak memiliki aturan yang jelas dan
menyeluruh sebagai pedoman jalannya fungsi bidang.
30
Ali Hasan selaku Asisten Deputi Perumusan Kebijakan
Perlindungan Hak Perempuan (2021) juga pernah menyatakan bahwa
belum ada upaya pencegahan tindak kekerasan terhadap anak yang
diatur secara komprehensif. Hal tersebut menunjukkan bahwa
program pencegahan tindak kekerasan terhadap anak merupakan salah
satu urgensi yang harus diperhatikan yang menjadi bahan
pertimbangan berbagai pihak tak terkecuali Dinas P3AP2KB sendiri.
Salah satu usulan program yang bisa dipertimbangkan adalah
berkaitan dengan sosialisasi di kabupaten/kota yang mengangkat tema
sex aducation bernama underwear rules. Tema ini sejalan dengan
evaluasi capaian kinerja Sasaran Strategis V dinas (2021) bahwa
faktor tingginya angka kekerasan seksual terhadap anak disebabkan
oleh kondisi ekonomi orang tua korban/pelaku dan kurangnya
pengetahuan masyarakat tentang kekerasan seksual terhadap anak.
32
b. Always remember your body belongs to you (selalu ingat tubuhmu
hanya milikmu)
Anak harus mengetahui tubuh mereka adalah milik mereka dan orang
lain tidak memiliki hak melakukan sesuatu yang membuat anak tidak
nyaman. Jika ada yang mencoba, anak harus berlari dan memberitahu
orang dewasa yang dipercaya.
c. No means no (tidak berarti tidak)
Anak memiliki hak untuk mengatakan 'tidak', bahkan untuk anggota
keluarga atau seseorang yang mereka cintai. Jika ada orang yang
menyentuh bagian pribadi, atau meminta membuka pakaian di
depannya, atau menunjukkan foto telanjang bahkan menunjukkan
bagian tubuh pribadi orang tersebut, maka anak harus mengatakan
‘tidak’ dengan tegas.
d. Talk about secret that upset you (tanyakan rahasia yang membuat anak
gelisah)
Membantu anak merasa percaya diri ketika berbicara tentang rahasia
yang membuat anak khawatir mendapatkan masalah. Jelaskan kepada
anak perbedaan rahasia yang baik dan rahasia yang buruk.
e. Speak up, someone can help (bicaralah, seseorang akan membantu)
Jika anak merasa sedih, cemas, atau takut, anak dapat berbicara dengan
orang dewasa yang mereka percaya. Tidak harus anggota keluarga,
melainakn bisa guru, kakak, adik, atau orang tua dari temannya di
sekoah. Orang ini akan mendengarkan dan dapat membantu
menghentikan apa pun yang membuat mereka tidak nyaman atau
gelisah. Ingatkan anak bahwa apa pun masalahnya, hal itu bukan
kesalahan mereka dan mereka tidak akan mendapatkan kesulitan.
33
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sumatera Barat adalah salah satu provinsi yang selalu mengalami
lonjakan kasus kekerasan seksual terhadap anak setiap tahunnya. Dalam hal
ini Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian
Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Sumatera Barat
diharapkan menjadi salah satu organisasi pemerintah yang mampu
mencegah dan meminimalisir fenomena tersebut. Khususnya Bidang
Perlindungan Hak Perempuan dan Anak (PHPA) yang mana salah satu
uraian tugasnya adalah menjalankan upaya pencegahan dalam bentuk
sosialisasi kepada instansi serupa di tingkat kabupetaten/kota. Program
pencegahan yang dijalankan harapannya dapat lebih efektif mengingat
belum adanya aturan tertulis secara komprehensif terkait program
pencegahan ini.
Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan menggalakkan
sosialisasi sex education kepada instansi di kabupaten/kota. Pogram tersebut
bernama underwear rules yang sasarannya adalah orang tua, untuk
kemudian diteruskan kepada anak usia dini agar mereka memahami dan
mendapatkan edukasi. The Golden Ages Moment atau usia 0-8 tahun.
Underwear rules terdiri dari 5 aspek kegiatan yang disingkat menjadi
‘PANTS’, diantaranya adalah: private are private, always remember your
body belongs to you, no means no, talk about secret that upset you, dan
speak up, someone can help.
4.2 Saran
Berkaitan dengan saran untuk program magang selanjutnya, alangkah
lebih baik jika durasinya diperpanjang sedikit lebih lama. Hal tersebut
bertujuan agar mahasiswa mampu memahami tugas pokok dan fungsi divisi
tempat magang masing-masing dengan pemahaman yang komprehensif.
Selain itu, untuk program magang sekiranya dapat menyertakan surat
pengantar dari prodi sebagai permohonan kepada pihak instansi terkait, agar
34
melakukan rolling divisi atau bidang yang didapat sesuai dengan latar
belakang keilmuan yang dimiliki agar kedepannya tidak terjadi
kesalahpahaman dan mahasiswa dapat berkembang semaksimal mungkin di
divis atau bidang yang diharapkan.
35
DAFTAR PUSTAKA
Anton, M.M. (1988). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka
Erni, A. (2017). Komunikasi interpersonal keluarga tentang pendidikan seks pada
anak usia 1-5 tahun. Jurnal Dakwah dan Komunikasi, (Bengkulu: Magister
Universitas), 2(1), 2
CNN Indonesia. Kekerasan terhadap anak meningkat selama pandemi. (2021)
diakses melalui www.cnnindonesia.com pada 28 Februari 2022
Choirudin, M. (2014). Urgensi Pendidikan Seks Sejak Dini Dalam Belenggu
Kekerasan Seksual Terhadap Anak (Sebuah upaya preventif dan protektif).
Kediri : tidak diterbitkan
Corona, et al. (2014). Physical and Sexual Abuse (Impact in Children and Social
Minorities). Switzerland: Springer International Publishing
Countrymeters.info diakses melalui https://countrymeters.info pada 02 Maret
2022
Cynthia E. C. (2002). Child Abuse and Neglect : Fifth Edition. Unites States of
America
Echols, J. M. & Shadily, H. (1997). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Hasanah, U. & Raharjo, S. T. (tt). Penanganan kekerasan anak berbasis
masyarakat. Social Work Jurnal, 6(1): 1-153
Hendry, E.A.R. (2003). Monopoli Tafsir Kebenaran Wacana Keagamaan Kritis
dan Kekerasan Kemanusiaan. Kalimantan: Persadar Press
Hurlock, E. (2006). Perkembangan Anak, Jilid II. Alih Bahasa Media Meitasari
Tjandrasa. Jakarta: Erlangga
Justicia, R. (2016). Program underwear rulesuntuk mencegah kekerasan seksual
pada anak usia dini. Skripsi. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia
KBBI online (2022). Anak. diakses melalui http://kbbi.web.id pada 20 Februari
2022
Kekominfo & Kemen PPPA (2015). Anak adalah Anugerah: Stop Kekerasan
terhadap Anak. Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB Provinsi Sumatera
Barat
KPAI. (2021) diakses melalui https://www.kpai.go.id/ pada 28 Februari 2022
36
Ligina, N. L., Mardhiyah, A., & Nurhidayah, I. (2018). Peran orang tua dalam
pencegahan kekerasan seksual pada anak sekolah dasar di Kota Bandung.
Ejournal UMM, 9(2), 109-118
LKPJ DP3AP2KB (2021). Tidak dipublikasikan
Nahar, dkk. (2019). Panduan Penanganan Kasus Anak Multidisiplin yang
Berpusat pada Anak. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak
Papalia & Olds. (2004). Human Development. New York: McGraw-Hill Book Co
Permen PPPA No 14. (2021). Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus
Nonfisik Dana Pelayanan Perlindungan Perempuan dan Anak Tahun
Anggaran 2022. Sumbar: Tidak dipublikasikan
Rafanello, D. (2010). Child Sexual Abuse Prevention and Reporting: It’s
Everyone’s Responsibility. Child beginning workshop diakses melalui
www.ChildCareExchange.com pada 18 Februari 2022
Santrock. (2010). Child Development. New York : McGraw-Hill.
Septiani, R. D. (2021). Pentingnya komunikasi keluarga dalam pencegahan kasus
kekerasan seks pada anak usia dini. Jurnal Pendidikan Anak., 10(1), 50-58
Suhasmi, N. C. & Ismet, S. (2021). Materi pendidikan seks bagi anak usia dini.
Jurnal Golden Age, 5(2), 164-174
Survey Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR). (2018)
diakses melalui https://www.kemenpppa.go.id pada 28 Februari 2022
Ulwan, A. N. (2009). Pendidikan Seks untuk Anak Ala Nabi, Jakarta: Pustaka
Iltizam, 2009
United Nation Children’s Fund (UNICEF). (2014) diakses melalui
https://www.unicef.org/ pada 28 Februari 2022
Whitaker, D. J., Le, B., Hanson, K., Baker, C. K., McMahon, P. M., Ryan, G.,
Klein, A., & Rice, D. D. (2008). Risk factors for the perpetration of child
sexual abuse: Meta-analysis. Child Abuse & Neglect, 32, 529-548.
doi:10.1016/j.chiabu.2007.08.005
Widya, A. (2015). Inilah yang akan terjadi ketika anak mengalami pelecehan
seksual dan tindak kekerasan. Diakses melalui www.kompasiana.com pada
28 Februari 2022
37
Yuwono, I. D. (2015). Penerapan Hukum dalam Kasus Kekerasan Seksual
terhadap Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustisia
38
LAMPIRAN
39
Lampiran 1. Surat Ketarangan Magang dari Dinas
Lampiran 2. Form Penilaian Pelaksanaan Magang
Lampiran 3. Form Evaluasi Mahasiswa
Lampiran 4. Kartu Bimbingan dengan Dosen Pembimbing & Supervisor
Lampiran 5. Logbook Kegiatan Mahasiswa
Dokumentasi: