Anda di halaman 1dari 61

HUBUNGAN LINGKUNGAN DAN TRAUMA PSIKOLOGIS TERHADAP

PERILAKU PENYIMPANGAN SEKSUAL LGBT PADA


PEKERJA SALON DAN KARYAWAN CAFE
DI KABUPATEN PASAMAN BARAT

PROPOSAL PENELITIAN

Disusun Oleh :

GUSTIKA
NIM : 2013201059

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS FORT DE KOCK BUKIT TINGGI
TAHUN 2022
PERNYATAAN PERSETUJUAN

Judul Proposal : Hubungan Lingkungan Dan Trauma Psikologis Terhadap


Perilaku Penyimpangan Seksual LGBT Pada Pekerja Salon
Dan Karyawan Café di Kabupaten Pasaman Barat

Nama : Gustika

NIM : 2015302327

Proposal ini telah diperiksa oleh pembimbing proposal dan siap untuk

diseminarkan dihadapan penguji Proposal Program Studi Sarjana Kesehatan

Masyarakat Fakulktas Kesehatan Universitas Fort De Kock Bukittinggi.

Bukittinggi, Maret 2022

Komisi Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

(Nurhayati, SST, M.Biomed) (Abdi Iswahyudi Yasril, SKM, MKM)


KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan Proposal ini. Penulisan Proposal ini

dilakukan dalam rangka memenuhi salah-satu syarat untuk untuk mencapai gelar

Sarjana Kesehatan Masyarakat. Tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai

pihak, tidaklah mudah bagi peneliti dalam penyusunan Proposal ini. Oleh karena

itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu Dr. Hj. Evi Hasnita, S.Pd.,M.Kes selaku Rektor Universitas Fort De

Kock Bukittinggi.

2. Ibu Nurhayati, SST, M.Biomed selaku wakil Rektor Universitas Fort De

Kock Bukittinggi dan Pembimbing I yang telah memberikan masukan dan

saran demi perbaikan Proposal ini.

3. Ibu Oktavianis, S.ST,M.Biomed selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Universitas Fork De Kock Bukit tinggi yang telah banyak memberikan ilmu

kepada mahasiswa dalam perkuliahan.

4. Bapak Nurdin, SKM, MPH Selaku Ketua Prodi Sarjana Kesehatan

Masyarakat Universitas Fort de kock Bukittinggi.

5. Bapak Abdi Iswahyudi Yasril, SKM, MKM selaku Pembimbing II yang

telah memberikan masukan dan saran demi perbaikan Proposal ini.

6. Bapak dan ibu Dosen Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat

Universitas Fort De Kock Bukittinggi yang telah memberikan ilmu

pengetahuan, bimbingan serta nasehat selama menjalani pendidikan.

7. Teristimewah saya persembahkan untuk kedua orang tua, keluarga, sahabat,

dan teman- teman serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu
pesatu yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam

penyelesaian Proposal ini.

Semoga segala bantuan yang deberikan kepada peneliti mendapatkan

pahala dan ridho-Nya. Peneliti menyadari bahwa Proposal ini masih jauh

dari kesempurnaan dan masih banyak terdapat banyak kesalahan serta

kekurangan. Kritik dan saran yang membangun sangat peneliti harapkan dari

para pembaca.

Akhir kata, peneliti berharap Allah SWT berkenan membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa

manfaat bagi pengembangan ilmu.

Bukittinggi, Maret 2022

Peneliti
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ii
KATA PENGANTAR.........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................vi
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................vii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..............................................................................8
C. Tujuan Penelitian ...............................................................................8
D. Manfaat Penelitian .............................................................................9
E. Ruang Lingkup....................................................................................9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


A. LGBT.................................................................................................11
B. Perilaku..............................................................................................26
C. Lingkungan........................................................................................30
D. Trauma Psikologis.............................................................................34
E. Kerangka Teori..................................................................................39

BAB III KERANGKA KONSEP


A. Kerangka Konsep...............................................................................40
B. Definisi Operasional..........................................................................40
C. Hipotesa.............................................................................................41

BAB IV METODE PENELITIAN


A. Jenis Penelitian...................................................................................43
B. Waktu dan Tempat Penelitian............................................................43
C. Populasi dan Sampel..........................................................................43
D. Jenis Data...........................................................................................45
E. Instrumen Penelitian..........................................................................46
F. Uji Validitas dan Reliabilitas.............................................................46
G. Teknik Pengolahan Data....................................................................46
H. Teknik Analisa Data...........................................................................47

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR

Halaman
2.1 Kerangka Teori....................................................................................39
3.1 Kerangka Konsep.................................................................................40
DAFTAR TABEL

3.1 Definisi Operasional............................................................................40


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Permohonan Menjadi Responden

Lampiran 2 : Persetujuan Menjadi Responden

Lampiran 3 : Surat Izin Pengambilan Data Awal

Lampiran 4 : Lembar Bimbingan Proposal


1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perilaku merupakan seperangkat perbuatan atau tindakan seseorang

dalam melalukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan

karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah

tindakan atau aktivitas dari manusia baik yang diamati maupun tidak dapat

diamati oleh interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam

bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Perilaku secara lebih rasional dapat

diartikan sebagai respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari

luar subyek tersebut. Respon ini terbentuk dua macam yakni bentuk pasif dan

bentuk aktif dimana bentuk pasif adalah respon internal yaitu yang terjadi

dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat dilihat dari orang lain

sedangkan bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu dapat diobservasi secara

langsung (Adventus, dkk, 2019).

Perilaku penyimpangan seksual diantaranya lesbian, gay, biseksual

dan transgender atau dikenal dengan sebutan LGBT tidak asing lagi di telinga

masyarakat. Di Indonesia pelaku LGBT semakin bertambah jumlahnya,

dalam kurun waktu 3 tahun jumlah LGBT meningkat hingga 37%.

Peningkatan jumlah LGBT diikuti dengan peningkatan penggunaan narkoba,

internet semakin mudah diakses, maraknya pornografi, dan banyak

munculnya komunitas gerakan LGBT (Yudhiyanto, 2016).


2

Perilaku penyimpangan seksual disebabkan oleh orientasi atau kegiatan

seksual yang menyimpang. Orientasi seksual yaitu seseorang yang cenderung

mengarah ke ketertarikan seksual, emosional, romantisme kepada wanita, pria

ataupun kombinasi keduanya (Douglas, 2015). Perilaku penyimpangan

seksual dilakukan oleh kelompok orang–orang yang memiliki orientasi

penyimpangan seksual atau dikenal dengan sebutan LGBT (Putri, 2018).

Isu tentang Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) sedang

menjadi sorotan publik belakangan ini. Diawali dengan tanggapan Menteri

Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi atas pemberitaan perihal gerakan

Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di kampus

Universitas Indonesia yang menawarkan konseling bagi kelompok LGBT.

Menurut Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek) bahwa

“keberadaan kaum LGBT bisa merusak moral bangsa dan kampus sebagai

penjaga moral semestinya harus bisa menjaga betul nilai-nilai susila dan luhur

bangsa Indonesia” (Batubara, 2016). Tanggapan Menristek tersebut serentak

mendapat respon dari berbagai kalangan termasuk akademisi, psikolog, serta

Himpunan Psikiatri Indonesia. Kaum LGBT pun mendapat sorotan tajam dari

masyarakat (Jeanete, 2016).

LGBT merupakan singkatan Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender atau

Transeksual, Interseks dan Queer. Sebagai bagian dari ragam orentasi seksual

dan identitas gender (SOGIE) LGBTIQ hingga saat ini keberadaanya masih

menjadi masalah secara sosial, teologis dan psikologis. Sehingga pada


3

beberapa hal mereka mendapat perlakuan yang tidak baik. Anarkisme dan

pelecehan tak pernah alpa dalam hidupnya (Sunhiyah, 2014).

LGBT merupakan bagian dari ragam orentasi seksual dan identitas

gender (SOGIE) sehingga sampai saat ini keberadaannya masih menjadi

masalah secara sosial, teologis dan psikologis. Sehingga pada beberapa hal

mereka mendapat perlakuan yang tidak baik. Anarkisme dan pelecehan tak

pernah alpa dalam hidupnya (Sunhiyah, 2014). Di tahun 1990-an, istilah LGB

awalnya dipakai untuk menggantikan istilah kaum gay karena istilah gay

tidak mewakili orang-orang dengan orientasi seksual lain. Lesbian, gay, dan

biseksual adalah istilah terkait orientasi seksual. Orientasi seksual adalah

pilihan/preferensi untuk menjalin relasi dan ketertarikan secara fisik, seksual,

emosional, dan romantik, yang ada pada setiap manusia. Heteroseksual

merupakan penyuka lawan jenis, dimana laki-laki tertarik pada perempuan

dan sebaliknya. Seksualitas mencakup banyak sekali manusia, bukan hanya

dari yang berorientasi heteroseksual melainkan juga dari yang berorientasi

seksual lainnya seperti lesbian, gay, biseksual dan transgender, dikarenakan

eksistensi dari seksualitas itu sendiri adalah hasil dari konstruksi sosial

(Jeanete, 2016).

Selain dari ketiga istilah yang telah disebutkan, ada juga Transgender

yaitu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan orang yang melakukan,

merasa, berpikir atau terlihat berbeda dari jenis kelamin yang ditetapkan saat

mereka lahir namun keadaan ini tidak terkait dengan orientasi seksual.

(APA: American Psychological Association, 2015).


4

Isu tentang LGBT sangat marak diperbincangkan karena banyak pro

dan kontra. Tidak dapat dipungkiri bahwa hampir seluruh sistem sosial di

seluruh dunia menolak kehidupan homoseksualitas. Hukum dalam beberapa

negara sudah melegalkan hubungan dan pernikahan sejenis tersebut namun

tetap ditolak oleh sistem sosialnya. Homoseksual dianggap fenomena

menyimpang dan tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam kebanyakan

kelompok masyarakat (Jeanete, 2016).

Berdasarkan data kejadian penyimpangan seksual sekitar 5,6 persen

atau 18 juta orang dewasa Amerika Serikat (AS) mengidentifikasi diri sebagai

bagian dari komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Ini

merupakan data nasional baru dari lembaga survei Gallup. Berdasarkan data

historis yang dikumpulkan oleh lembaga tersebut, ini merupakan rekor

tertinggi sejak 2012. Ini merupakan lompatan besar dari angka tahun 2017,

yang menemukan 4,5 persen orang dewasa AS teridentifikasi sebagai bagian

dari spektrum LGBT. ( WE Online, Washington 2021)

Berdasarkan data penyimpangan seksual Indonesia mendapatkan

peringkat ke-5 yang memiliki jumlah LGBT terbanyak di dunia yang mana

negara Amerika memiliki jumlah LGBT terbanyak yaitu berjumlah 26 juta

jiwa, populasi jumlah LGBT di Indonesia mencapai 3%, dapat dikatakan dari

250 juta jiwa di Indonesia terdapat sekitar 7,5 juta jiwa pelaku LGBT (Onhit

dan Net, 2016). Jumlah gay atau lelaki seks dengan lelaki (LSL) mencapai

angka 348 ribu jiwa dari jumlah penduduk 6 juta jiwa di Jawa Timur (Siyoto,
5

2014), sedangkan data terakhir jumlah LGBT di forum Gubug sebaya

Jombang mencapai 1.465 jiwa (Gubug sebaya, 2020).

Sebanyak 3% atau sekitar 7.5 penduduk Indonesia dari 250 juta

penduduk Indonesia secara keseluruhan adalah LGBT. Secara statistik sulit

untuk menentukan berapa jumlah dari kelompok LGBT di Indonesia, karena

belum banyak dari mereka yang mau membuka diri ke khalayak ramai

(United Nations Programme on HIV/AIDS (UNDP &UNSAID), 2019).

Data dari Ketua Perhimpunan Konselor VCT HIV Indonesia (PKVHI)

kota Padang, jumlah LGBT di Padang dari hasil pemetaan lembaga swadaya

masyarakat (LSM) pada tahun 2015 di dapatkan jumlah transgender 133

orang dan gay sebanyak 861 orang. PKVHI Wilayah Sumbar,

mengungkapkan estimasi jumlah pelaku LGBT di Sumbar hingga april 2018

mencapai 14.469 orang (Putri, 2018).

Survei keberadaan LGBT yang digelar oleh Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah Sumatera Barat dan Lembaga Konseling Rekanan

sepanjang tahun 2019 ini Sumatera Barat yang jumlah LGBT nya paling

tinggi. Salah satunya di daerah Kabupaten Pasaman Barat dimana suatu

kampung saja komunitas gay bisa mencapai 10 orang. Berdasarkan data yang

di peroleh dari Dinas Kesatuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Pasaman

Barat pada tahun 2020 terdapat 30 orang yang masuk dalam pembinaan kasus

perilaku menyimpang LGBT yang sampai saat ini tetap di berikan pembinaan

dan arahan oleh Dinas Kesatuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Pasaman

Barat (Data Dinas Kesbangpol, 2020).


6

Faktor-faktor yang menyebabkan seseorang itu cenderung untuk

menjadi bagian dari LGBT diantaranya keluarga, pengalaman atau trauma

dimasa anak-anak misalnya dikasari oleh ibu/ayah hingga si anak

beranggapan semua laki-laki/perempuan bersikap kasar yang memungkinkan

si anak merasa benci pada orang itu. Penyimpangan faktor genetika dapat

diterapi secara moral dan religius. Moral dan akhlak, hal ini terjadi karena

adanya pergeseran norma-norma susila yang dianut oleh masyarakat, serta

semakin menipisnya kontrol sosial yang ada dalam masyarakat tersebut

(Sa’dan, 2016).

Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Arwinda

Dewi Saputri, Iva Milia Hani R, Ifa Novalia, tentang hubungan trauma

psikologis dengan perilaku penyimpangan seksual LGBT dI Forum Gubug

Sebaya Jombang tahun menyimpulkan bahwa ada hubungan trauma psikologis

dengan perilaku penyimpangan seksual LGBT pada forum Gubug sebaya

Jombang, penelitian ini menunjukkan bahwa hampir seluruh responden pada

forum Gubug sebaya Jombang mengalami trauma berat dengan perilaku

penyimpangan seksual yang megarah pada perilaku negatif yaitu sebanyak 80

orang (80%) dari 100 orang. hasil analisis dengan menggunakan uji rank

spearman didapatkan nilai signifikan p=0,000 (α<0,05).

Faktor lain yang dapat memicu terjadinya LGBT yaitu pergaulan dan

lingkungan. Kebiasaan pergaulan dan lingkungan menjadi faktor terbesar

menyumbang kepada kekacauan seksual. Pergaulan dan lingkungan anak

ketika berada dilingkungan sekolah yang berpisah antara laki-laki dan


7

perempuan turut mengundang terjadinya hubungan gay dan lesbian. Biologis,

seseorang memiliki kecenderungan untuk melakukan hubungan sesama jenis

karena mendapat dorongan dari dalam tubuh yang sifatnya menurun/genetik.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Weny Amelia,

Alfitri, Retno Jayenti Efendi, tentang hubungan lingkungan terhadap prilaku

LGBT di Yayasan Taratak Jiwa Hati Kota Padang tahun 2020 menyimpulkan

bahwa terdapat hubungan lingkungan terhadap perilaku LGBT pada

responden di Yayasan Taratak Jiwa Hati Kota Padang (p=0,001). Penelitian

menunjukkan lebih dari separoh (51,0%) responden tidak terpengaruh

lingkungan, lebih dari separoh (53,1%) responden berperilaku LGBT dan

terdapat hubungan lingkungan terhadap perilaku LGBT pada responden di

Yayasan Taratak Jiwa Hati Kota Padang (p=0,001).

Berdasarkan survey awal yang peneliti lakukan terhadap 10 orang

pekerja salon, terdapat 3 orang diantara mereka terjerumus kedalam perilaku

menyimpang seksual LGBT yang bekerja di salon kecantikan dimana 2 orang

Lesbia dan 1 orang Gay. Hasil wawancara yang peneliti lakukan mereka

mengatakan bahwa lingkungan sekitar mereka sudah terbiasa dengan hal

tersebut seperti saling suka dengan sesama jenis, jadi bagi mereka menyukai

pasangan sesama jenis merupakan hal yang wajar. Selain itu 2 orang yang

mengalami LGBT tersebut mengatakan pernah mengalami trauma psikologis

dimana mereka berasal dari keluarga yang broken home dan 1 orang

mengatakan ada pengalaman yang kurang baik dimasa lalu sehingga

menimbulkan trauma psikologis. Hal ini yang menimbulkan pola pikir


8

individu menjadi negatif dan berisiko mengalami perilaku menyimpang salah

satunya LGBT.

Berdasarkan data yang peneliti dapat di atas, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian tentang “Hubungan Lingkungan Dan Trauma

Psikologis Terhadap Perilaku Penyimpangan Seksual LGBT Pada Pekerja

Salon Dan Karyawan Café di Kabupaten Pasaman Barat”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan dari uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adakah “Hubungan Lingkungan Dan Trauma Psikologis

Terhadap Perilaku Penyimpangan Seksual LGBT Pada Pekerja Salon Dan

Karyawan Café di Kabupaten Pasaman Barat”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Hubungan Lingkungan Dan Trauma Psikologis

Terhadap Perilaku Penyimpangan Seksual LGBT Pada Pekerja Salon Dan

Karyawan Café di Kabupaten Pasaman Barat.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi perilaku penyimpangan seksual

LGBT pada pekerja salon dan karyawan café di Kabupaten Pasaman

Barat.

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan lingkungan pada

pekerja salon dan karyawan café di Kabupaten Pasaman Barat.


9

c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi berdasarkan Trauma Psikologis

pada pekerja salon dan karyawan café di Kabupaten Pasaman Barat.

d. Untuk mengetahui hubungan lingkungan dengan perilaku

penyimpangan seksual LGBT pada pekerja salon dan karyawan café di

Kabupaten Pasaman Barat.

e. Untuk mengetahui hubungan trauma psikologis dengan perilaku

penyimpangan seksual LGBT pada pekerja salon dan karyawan café di

Kabupaten Pasaman Barat.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Bagi Peneliti

Sebagai pengalaman baru peneliti dalam melakukan penelitian dan dapat

mengaplikasi ilmu pengetahuan yang diperoleh dari kampus dengan

keadaan di masyarakat

2. Manfaat Universitas Fort De Kock

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk pembuatan

proposal lebih lanjut dan dapat digunakan sebagai masukan bagi rekan-

rekan dan peneliti berikutnya untuk melakukan penelitian.

3. Bagi Dinas Satuan Pol.PP

Sebagai masukan dalam menetapkan kebijakan dalam upaya pnecegahan

dan penanggulangan perilaku LGBT di Kabupaten Pasaman Barat.

4. Bagi Dinas Sosial

Sebagai masukan dalam menetapkan kebijakan dalam upaya pnecegahan

dan penanggulangan perilaku LGBT di Kabupaten Pasaman Barat.


10

5. Bagi Peneliti Selanjutnya

Peneliti selanjutnya di harapkan mengkaji lebih banyak sumber maupun

referensi tentang perilaku LGBT ini agar hasil penelitian dapat lebih baik

dan lebih lengkap lagi.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini membahas tentang Hubungan Lingkungan Dan Trauma

Psikologis Terhadap Perilaku Penyimpangan Seksual LGBT Pada Pekerja

Salon Dan Karyawan Café di Kabupaten Pasaman Barat. Penelitian ini

bersifat kuantitatif dengan desain cross sectional. Penelitian dilakukan di

Kabupaten Pasaman Barat pada bulan April - Mei Tahun 2022. . Populasi

adalah semua pekerja salon dan karyawan café yang berjumlah 98 orang

dengan jumlah sampel 35 orang. Teknik pengambilan sampel yaitu purposive

sampling. Data yang digunakan pada penelitian ini yaitu data primer yang

didapatkan dengan membagikan kuesioner kepada responden. Instrumen

penelitian yaitu kuesioner. Data kemudian dianalisis secara univariat dan

bivariate dengan menggunakan uji chi square.


11

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. LGBT

1. Pengertian LGBT

LGBT merupakan bagian dari ragam orentasi seksual dan identitas

gender (SOGIE) sehingga sampai saat ini keberadaannya masih menjadi

masalah secara sosial, teologis dan psikologis. Sehingga pada beberapa hal

mereka mendapat perlakuan yang tidak baik. Anarkisme dan pelecehan tak

pernah alpa dalam hidupnya (Sunhiyah, 2014).

Lesbian dan Gay merupakan kata yang dikutip dalam bahasa Inggris

yang mempunyai makna homoseksual. Kata Gay sebenarnya berlaku untuk

semua jenis kelamin yaitu laki-laki dan wanita. Namun akhir-akhir ini

wanita mengidentifikasi dirinya sebagai gay dan lebih menyukai istilah

lesbian. Dengan kata lain lesbian adalah gay yang berjenis kelamin wanita

(Sinyo, 2014).

Biseksual digunakan kepada orang yang mempunyai orientasi

seksual, yaitu ketertarikan seks kepada sesama jenis dan lain jenis secara

bersamaan. Biseksual juga mewakili identitas seksual dalam kehidupan

masyarakat selain heteroseksual (Sinyo, 2014).

Transgender adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan

keinginan tampil berlawanan dengan jenis kelamin yang dimiliki. Seorang

transgender bisa saja memiliki identitas sosial heteroseksual, biseksual,

gay, atau bahkan aseksual (Sinyo, 2014).


12

2. Perkembangan LGBT di Dunia

Menurut Sinyo (2014) perkembangan dunia homoseksual

berkembang padaabad XI Masehi. Istilah Lesbian, Gay, Biseksual, dan

Transgender atau yang biasa dikenal dengan LGBT mulai tercatat sekitar

tahun 1990-an. Sebelum masa “Revolusi Seksual” pada tahun 60-an tidak

ada istilah khusus untuk menyatakan homoseksual. Kata yang paling

mendekati dengan orientasi selain heteroseksual adalah istilah “third

gender” sekitar tahun 1860-an.Kata revolusi seksual adalah istilah yang

digunakan untuk menggambarkan perubahan sosial politik (1960-1970)

mengenai seks. Dimulai dengan kebudayaan freelove, yaitu jutaan kaum

muda menganut gaya hidup sebagai hippie. Mereka menyerukan kekuatan

cinta dan keagungan seks sebagai bagian dari hidup yang alami atau

natural. Para hippie percaya bahwa seks adalah fenomena biologi yang

wajar sehingga tidak seharusnya dilarangdan ditekan (Sinyo, 2014).

Singkatan dari homoseksual dikenal dengan istilah LGB (Lesbian,

Gay, Biseksual). Kata gay dan lesbian berkembang secara luas

menggantikan istilah homoseksual sebagai identitas sosial dalam

masyarakat. Kata gay dan lesbianini lebih disukai dan dipilih oleh banyak

orang karena simpel dan tidak membawa kata seks. Istilah biseksual

muncul belakangansetelah diketahui bahwa ada orang yang mempunyai

orientasi seksual terhadap sesama jenis dan lawan jenis. Seiring

berkembangnyailmu pengetahuan dan psikologi munculistilah baru yang

tidak termasuk gay, lesbian, dan biseksual, yaitu transgender. Semakin


13

lengkap istilah sebelumnya menjadi LGBT. Istilah ini dipakai untuk

menerangkan orientasi seksual non-heteroseksual. Istilah LGBT sudah

dikenal dan atau diakui oleh banyak negara. Sebagian besar gerakan

mereka mengatas namakan HAM (Hak Asasi Manusia) (Sinyo, 2014).

Pada abad 18 dan 19 Masehi beberapa negara mengkategorikan

aktivitas homoseksual merupakan suatu tindak kriminalitas sebagai

kejahatan sodomi. Perilaku pada hubungan seks sesama jenis atau yang

disebut homoseksual initidak dapat diterima secara sosial dan masyarakat.

Situasi dan kondisi ini membuat komunitas dan kehidupan sosial

homoseksual hidup secara rahasia dan tertutup agar tidak diketahui oleh

orang lain dantidak dianggap dimasyarakat, beberapa orang kemudian

mulai memperjuangkan kaum homoseksual. Salah satunya adalah Thomas

Cannon Ia diperkirakan menjadi orang pertama yang memulai perjuangan

kaum tersebut dengan buku berjudul Ancient and Modern Pederasty

Investigated and Exemplify’d (Tahun 1749) di Inggris. Tulisannya yaitu

tentang gossip dan antologi lelucon yang membela kaum homoseksual.

Cannon dipenjara karena tulisan tersebut yang akhirnya Ia dibebaskan

dengan uang jaminan (Sinyo, 2014).

Jeremy Bentham (1785) seorang tokoh filsuf reformis dibidang

sosial juga membela kaum homoseksual. Bentham sering memberikan

masukan tentang hukum homoseksual di Inggris. Pemikiran Bentham

menyumbangkan inspirasi perubahan aturan hukum terhadap kaum

homoseksual mengenai homoseksual bukan suatu tindakan criminal di


14

Negara Eropa lainnya. Pada tahun 1791 Prancis adalah negara pertama

yang menerapkan hukum bahwa homoseksual bukan termasuk tindakan

criminal (Sinyo, 2014).

Gerakan Free Love yang membangkitkan kaum feminis dan

kebebasan hidup juga turut memperjuangkan kaum homoseksual kepada

publik. Gerakan ini kerap memandang budaya sucinya pernikahan yang

dianggap membatasi kebebasan hidup dan pilihan. Pada masa ini hampir

semua negara di Eropa dan Amerika melahirkan tokoh reformis yang

membela hak-hak kaum feminis, kehidupan bebas, dan komunitas

homoseksual (Sinyo,2014).

Beberapa gerakan sosial seperti The Black Power yaitu gerakan

untuk memperjuangkan hak kaum berkulit hitam dan Anti-Vietnam War

mempengaruhi komunitas gay untuk lebih terbuka. Masa ini dikenal

dengan Gay Liberation Movement atau gerakan kemerdekaan gay. Pada

masa ini terjadi huru-hara yang terkenal dengan sebutan Stone wall Riots,

yaitu keributan sporadis antara polisi dan para pendemo yang

memperjuangkan kebebasan kaum gay. Keributan ini terjadi di Stone well

Inn, Greenwich Village, Amerika Serikat pada 28 Juni 1969. Kejadian 28

Juni 1969 tersebut tercatat dalam sejarah sebagai pemicu gerakan

perjuangan hak asasi kaum gay di Amerika Serikat dan dunia, sehingga

muncul komunitas-komunitas gay baru seperti Gay Liberation Front

(GLF), The gay Activits’Allainace (GAA), dan Front Homosexsual

d’Action Revolution naire. Pada tanggal tersebut juga dijadikan hari


15

perayaan bagi kaum LGBT di seluruh dunia dan pada hari tersebut mereka

menggelar pawai di jalan utama untuk menunjukan eksistensi kaum gay

(Sinyo, 2014).

Tahun 1970 aktivis LGBT protes kepada American Psychiatric

Association (APA) karena menetapkan homoseksual sebagai bagian dari

gangguan jiwa. Hal tersebut tertuang dalam Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorders. Banyaknya akan protes karena rasa tidak

setuju tentang hal tersebut. APA secara resmi menghapus homoseksual

dari masalah mental disorders (gangguan jiwa) pada tahun 1974. Tindakan

ini kemudian disebarluaskan kepada hampir semua asosiasi psikiatri

didunia. Setelah itu dengan adanya perbedaan dalam berkarya dan

mendapatkan pekerjaan dalam hal identitas gender dimasyarakat luas,

muncul gerakan untuk memperjuangkan hak asasi kaum gay (Gay Rights

Movement).

Gerakan hak asasi kaum gay dimulai pada era tahun 1980-

an.penyakit AIDS dan kaum gay dianggap sebagai penyebar utamanya,

Kata “queer” dikenal sebagai istilah orang yang berorientasi seksual atau

gender minoritas dimasyarakat. Pada masa ini perjuangan kaum LGBT

sudah begitu meluas dengan banyaknya organisasi (legal atau ilegal)

disetiap negara. Salah satunya adalah hilangnya homo sexsuality dari

international Classification of Diseases yang dibuat oleh WHO pada

tanggal 17 Mei 1990, sehingga pada tanggal tersebut dijadikan sebagai

International Day Against Homophobia and Transphobia (IDAHO).


16

Komunitas LGBT mencari pengesahan hukum pernikahan di negara-

negara yang telah melegalkan nikah sesama jenis. Belanda merupakan

negara pertama yang melegalkan pernikahan pasangan sesama jenis tahun

2001. Pada tahun 2008 diikuti oleh Belgia, Kanada, Norwegia, Afrika

Selatan, dan Spanyol (untuk Amerika Serikat ada didua negara bagian

yaitu Massachusetts dan Connecticut) (Sinyo, 2014).

3. Faktor Yang Mempengaruhi LGBT

Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku LGBT berdasarkan

penelitian yang dilakukan Megasari dkk (2017), sesuai dengan faktor

pembentuk perilaku dalam teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo

(2010), yang ditentukan oleh 3 faktor yaitu:

a. Faktor Predisposisi

1) Pengetahuan LGBT Terhadap Perilaku Menyimpang Seksual

Menurut Hikmat, M (2017), cukup banyak para remaja

Indonesia yang terjerumus pada kasus penyimpangan perilaku.

Banyak factor penyebabnya, namun factor yang paling utama

sesungguhnya adalah pengetahuan mereka yang masih minim

tentang dampak penyimpangan perilaku seksual tersebut. Dengan

keadaan demikian, hasutan atau ajakan siapapun yang

menjerumuskannya ke dalam lembah hitam ini niscaya akan

terpengaruhi.
17

2) Sikap LGBT Terhadap Perilaku Penyimpangan Seksual

Menurut Notoatmodjo (2007), pembentukan sikap berawal

pada pengetahuan, jika pengetahuan seseorang baik terhadap

sesuatu hal maka sikap yang tercermin dari diri seseorang tersebut

juga baik, demikian pula sebaliknya.

3) Motivasi LGBT Terhadap Perilaku Menyimpang Seksual

Perilaku menyimpang seksual dilatar belakangi oleh proses

sosialisasi yang tidak sempurna karena seseorang mengalami

kesulitan mengadopsi perilaku yang semestinya. Penyimpangan ini

dapat terjadi apabila seseorang mengamati dan meniru perilaku

menyimpang yang dilakukan oleh orang lain. Terjadinya perilaku

menyimpang juga merupakan hasil sosialisasi dari nilai sub

kebudayaan yang menyimpang yang dipengaruhi adanya beberapa

faktor ekonomi dan agama.

Disamping itu hal yang memotivasi seseorang melakukan

penyimpangan seksual adalah ketidakharmonisan keluarga,

pergaulan dan lingkungan yang menyimpang, adanya

penyimpangan faktor genetik, kesalahan faktor moral dan akhlak

yang di anut serta pengetahuan agama yang lemah. Oleh karena itu

perlu penanganan yang serius untuk mencegah atau memulihkan

kembali kondisi yang telah jatuh pada perilaku menyimpang

seksual. Menanamkan nilai agama, memberikan kasih sayang

seutuhnya kepada anak dan menghindari lingkungan dari perilaku


18

yang menyimpang adalah upaya dasar untuk mengatasinya. Untuk

penyembuhannya, berkoordinasi dengan pihak terkait perlu

dilakukan jika seseorang tersebut membutuhkan terapi khusus

dalam penyembuhannya. (Hawari, 2012).

4) Kurangnya Ketaatan Terhadap Perintah Agama

Selain ilmu pengetahuan yang bermanfaat, anak harus

dibekali ilmu agama yang kuat agar kelak dia dapat menyaring

seluruh apa yang diterimanya dengan ilmu dan keimanan yang

dimilikinya sehingga si anak tersebut dapat membedakan mana

yang baik dan mana yang tidak bermanfaat bagi dirinya agar apa

yang dilakukannya tidak terjerumus pada tindakan yang salah.

Seseorang yang hanya memiliki sedikit ilmu agama keyakinannya

yang rendah pengetahuan yang dimilikinya maka menjadikan

seseorang tersebut akan cenderung bersikap negative terhadap

sesuatu hal karena pola pikir yang terbentuk keliru dalam

menanggapi sesuatu hal tersebut (Supardi. A, 2013).

Kurangnya ilmu agama dan kurangnya ketaatan informan

dalam melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaan dapat

disebabkan karena kurangnya peran orang tua dalam membimbing

anaknya untuk beribadah. Disamping itu tindakan orang tua yang

lalai menjalankan ibadah juga dapat menjadi contoh yang tidak

baik bagi anak dan kondisi lingkungan yang tidak baik juga dapat

mempengaruhi nya.
19

5) Persepsi LGBT Terhadap Perilaku Menyimpang Seksual

Persepsi disebut juga dengan anggapan oleh individu

terhadap sesuatu hal. Persepsi terbentuk dari pengetahuan yang

baik dari objek yang diketahui, dari pengalaman yang dialami dan

dari pengaruh yang terjadi dalam kehidupan. Persepsi membentuk

pola pikir seseorang menjadi satu kesatuan dalam sebuah opini.

(Yusuf, 2010).

b. Faktor Pendukung

Pengaruh Media Massa dan Tempat Hiburan Terhadap Perilaku

Menyimpang Seksual. Menurut Suyadi (2013), saat ini banyak tempat-

tempat persinggahan bagi pelaku perilaku menyimpang untuk

melakukan aksinya. Tempat hiburan sekelas diskotik, tempat karaoke

atau café merupakan tepat favorite bagi mereka. Suasana tempat

hiburan sangat memungkinkan bagi pelaku untuk melampiaskan hawa

nafsu. Biasanya pelaku adalah mereka yang mengalami masalah dalam

hidupnya. Untuk menghilangkan rasa resah karena masalah yang

dihadapinya tersebut, tak jarang mereka mengunjungi tempat hiburan

sambil mengkonsumsi narkoba sehingga mereka merasa nyaman

dengan kondisi yang ditimbulkan oleh efek menggunakannya.


20

c. Faktor Pendorong

1) Lemahnya Peran Orang Tua Dalam Mendidik Anak

Menurut Jehani. L, (2006), mereka yang terjerumus ke dalam

perilaku menyimpang seksual sesungguhnya dapat dicegah dari

awal dengan upaya pendekatan orang tua yang lebih baik terhadap

anak dan mengalami hal yang tengah dialaminya serta memberikan

masukan secara perlahan melalui nasehat yang masuk akal olehnya

sehingga apa yang diharapkan dapat terwujud.

Kurangnya/lemahnya peran orang tua dalam mendidik anak-

anaknya akan berpengaruh tidak baik dalam perkembangannya

karena kondisi dari luar sangat berpengaruh terhadap kehidupan

anak, orang tualah sebagai pengontrol dari keadaan yang tidak baik

tersebut.

2) Kekeliruan Dalam Memilih Teman Sebaya

Manusia adalah keadaan makhluk sosial. Kehidupan manusia

tidak terlepas dari interaksi seseorang dengan orang lain dan

keadaannya sekitarnya. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya

seseorang memerlukan keberadaan orang lain. Dengan hadirnya

orang lain tersebut diharapkan dapat menolongnya dapat

beraktifitas, sebagai teman bicara bahkan menjadikannya sebagai

teman hidupnya.
21

Dalam memilih teman seseorang lebih cenderung menyukai

dia yang karakternya hampir mirip dengan dirinya agar terjadi

kecocokan diantara mereka. Banyak tujuan pertemanan yang dijalin

oleh berbagai orang. Berteman hanya sekedar menolongnya di saat

sulit, berteman untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, berteman

hanya sekedar hura-hura atau berteman dengan tujuan

menjadikannya pasangan hidupnya. Perlu hati-hati dalam berteman

karena tidak selamanya teman menguntungkan atau bersifat baik

selama bersama kita. Banyak kasus yang sering terjadi yang

disebabkan karena keliru memilihteman atau salah bergaul (Fahmi,

dkk, 2010).

3) Lemahnya Peran Guru Dalam Mendidik Siswa

Peranan guru sangat penting dalam dunia pendidikan karena

selain berperan mentransfer ilmu pengetahuan ke peserta didik,

guru juga dituntut memberikan pendidikan karakter dan menjadi

contoh karakter yang baik bagi anak didiknya (Kemdiknas, 2012).

Lingkungan sekolah merupakan tempat siswa (remaja)

memperoleh ilmu termasuk pengetahuan tentang perilaku

menyimpang. Peserta didik memperoleh informasi yang valid dari

guru sebagai seorang yang berpendidikan sehingga diharapkan

adanya pemahaman yang benar terhadap siswa mengenai perilaku

menyimpang nantinya. Oleh karena itu untuk memenuhi

pengetahuan siswanya tentang hal tersebut, beberapa sekolah


22

biasanya bekerjasama dengan pihak terkait agar siswa mendapatkan

informasi secara langsung melalui pakarnya.

Disamping itu juga guru dan pihak sekolah diharapkan dapat

membangun iklim sekolah menjadi senyaman mungkin terutama

pada siswa korban Broken Home sehingga ketika anak berada di

sekolah mereka merasa nyaman sebagaimana di rumah.

Selanjutnya, para guru di sekolah seyogyanya dapat memberikan

kasih sayang kepada siswanya, sebagaimana orang tua pada

umumnya memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya (Suyadi,

2013).

4) Berada di Lingkungan yang Rawan Terhadap Perilaku

Menyimpang Seksual

Lingkungan masyarakat yang individualis seperti yang

terdapat di Kota besar cenderung kurang perduli terhadap

permasalahan yang dihadapi orang lain. Faktor lingkungan tempat

tinggal yang merupakan ruang interaksi paling intensif dalam

masyarakat di mana sangat mempengaruhi remaja dalam

menentukan teman bergaul dan figur yang patut dijadikan contoh

serta panutan. Jika lingkungan tempat tinggal mereka banyak

dihuni oleh para pelaku kenakalan tentu mereka juga mengadopsi

perilaku nakal akan menimbulkan keinginan untuk mencoba dan

merasakan bagaimana rasanya menjadi nakal (Handoyo, 2010).


23

5) Trauma Psikologis

Penyebab dari perilaku penyimpangan seksual LGBT yaitu salah

satunya dikarenakan trauma psikologis atau trauma yang terjadi di

masa lalu. Penelitian yang dilakukan oleh Sumadi dkk. (2016).

Terdapat beberapa faktor akibat seseorang mengalami perilaku

penyimpangan seksual, diantaranya ketidak efektifan komunikasi

keluarga seperti perceraian, orangtua bertengkar didepan anak,

peran keluarga yang kurang bersosialisasi dan rendahnya nilai

spiritual, hal tersebut memungkinkan seorang anak mudah masuk

ke dunia LGBT karena kurangnya peran keluarga untuk membetuk

karakter pada anak. Selain dari faktor biologis, ada beberapa yang

dikarenakan oleh trauma psikologis seperti trauma pelecehan

seksual masa lalu, patah hati, dan hubungan tidak baik dengan

keluarga. Beberapa pelaku LGBT yang bergabung pada organisasi

gerakan LGBT rata–rata dengan latar belakang berbeda diantaranya

pernah mengalami trauma pelecehan dan kekerasan seksual dimasa

lalu, status ekonomi yang kurang baik, dan bergaul dengan berbeda

lawan jenis (Afritayeni dan Anggraini, 2019). Adapun akibat

perilaku penyimpangan seksual atau LGBT yaitu dampak

kesehatan yang akan mengakibatkan penyakit menular seksual,

dampak sosial, dan dampak pada pendidikannya (Dacholfany dan

Koirurijal, 2016). Serta terdapat dampak dari trauma psikologis

yaitu terhambatnya proses tumbuh kembang pada individu,


24

kesulitan dalam pencapaian identitas dirinya, dan deskriminasi

(Sumadi dkk., 2016).

4. Dampak LGBT

Beberapa dampak negatif yang sering ditimbulkan oleh perilaku

LGBT antara lain :

a) Dampak Kesehatan

Perilaku seks homo dan lesbian lebih beresiko tejangkit virus

HIV/AIDS dan penyakit kelamin yang sulit diobati. Sekita 78% pelaku

homoseksual terjangkit penyakit kelamin menular. Selain penyakit

kelamin, LGBT juga menimbulkan penyakit AIDS yang belum

diketahui obatnya. Kecendrungan rata-rata umur kaum gay dan lesbian

relative lebih pendek (Yudiyanto, 2016).

b) Dampak Sosial

Penelitian menyatakan “seorang gay mempunyai pasangan antara

20-106 orang per tahunnya. Sedangkan pasangan zina seseorang tidak

lebih dari 8 orang seumur hidupnya.”13 43% dari golongan kaum gay

yang berhasil didata dan diteliti menyatakan bahwasanya selama

hidupnya mereka melakukan homo seksual dengan lebih dari 500 orang.

28% melakukannya dengan lebih dari 1000 orang. 79% dari mereka

mengatakan bahwa pasangan homonya tersebut berasal dari orang yang

tidak dikenalinya sama sekali. 70% dari mereka hanya merupakan

pasangan kencan satu malam atau beberapa menit saja. Hal itu jelas-

jelas melanggar nilai-nilai sosial masyarakat (Dacholfany, 2016).


25

c) Dampak Pendidikan

Adapun dampak pendidikan di antaranya yaitu siswa ataupun

siswi yang menganggap dirinya sebagai homo menghadapi

permasalahan putus sekolah 5 kali lebih besar daripada siswa normal

karena mereka merasakan ketidakamanan. Dan 28% dari mereka

dipaksa meninggalkan sekolahmasyarakat (Dacholfany, 2016).

d) Dampak Keamanan

Dalam komunitas LGBT sering terjadi tindak kekerasan seksual

dan pembunuhan. Hal ini terjadi karena pelaku LGBT yang mudah

berganti pasangan, kecendrungan pemaksaan kehendak domain

terhadap pasangan sejenis, kesenangan yang membabi buta, atau

sebaliknyaa kekecewaan berat yang berujung pembunuhan terhadap

pasangan sejenisnya. Dalam praktik pemenuhan hasrat seksualnya tidak

jarang mereka juga menempuh kekerasan terhadap anak-anak, dan

kaum wanita lemah lainnya yang diinginkannya (Yudiyanto, 2016).

5. Cara Mengatasi LGBT

Karena dampak LGBT sangat mengerikan, sebaiknya ada upaya

untuk mencegah timbulnya LGBT. Caranya antara lain sebagai berikut :

a. Menjaga pergaulan.

b. Menutup segala celah purnografi misalnya, dari gadget. Orang tua harus

aktif dalam hal ini.

c. Diadakan kajian atau seminar mengenai bahaya LGBT di sekolah-

sekolah.
26

d. Adanya undang-undang yang melarang adanya LGBT sehingga hal ini

tidak menyebar semakin parah.

e. Diadakan penyuluhan keagamaan mengenai LGBT yang menyimpang

dari aturan agama.

Dengan hal tersebut, diharapkan LGBT dapat dicegah dan

penyebarannya tidak semakin luas. LGBT merupakan suatu masalah

kejiwaan yang perlu ditangani oleh semua pihak baik dari pelaku maupun

lingkungan sekitar. Dengan adanya kerja sama yang baik, bukan tidak

mungkin masalah LGBT yang menjadi kontroversi ini bisa diatasi dengan

baik (Chaecyandini, 2018).

B. Perilaku

1. Definisi Perilaku

Perilaku merupakan seperangkat perbuatan atau tindakan seseorang

dalam melalukan respon terhadap sesuatu dan kemudian dijadikan kebiasaan

karena adanya nilai yang diyakini. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah

tindakan atau aktivitas dari manusia baik yang diamati maupun tidak dapat

diamati oleh interaksi manusia dengan lingungannya yang terwujud dalam

bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Perilaku secara lebih rasional dapat

diartikan sebagai respon organisme atau seseorang terhadap rangsangan dari

luar subyek tersebut. Respon ini terbentuk dua macam yakni bentuk pasif dan

bentuk aktif dimana bentuk pasif adalah respon internal yaitu yang terjadi

dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat dilihat dari orang lain
27

sedangkan bentuk aktif yaitu apabila perilaku itu dapat diobservas secara

langsung (Adventus, dkk, 2019).

Menurut Notoatmodjo (2017) perilaku dari segi biologis adalah suatu

kegiatan atau aktivitas organisme yang bersangkutan. Perilaku manusia dapat

diartikan sebagai suatu aktivitas yang sangat kompleks sifatnya, antara lain

perilaku dalam berbicara, berpakaian, berjalan, persepsi, emosi, pikiran dan

motivasi.

Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2014) merumuskan respon atau

reaksi seorang terhada stimulus atau rangsangan dari luar. Perilaku ini terjadi

melalui proses adanya stimulus terhadap organisme dan kemudian organisme

tersebut merespon, maka teori Skiner ini disebut “S-O-R” atau Stimulus

Organisme Respon.

Menurut Blum dalam Adventus, dkk (2019) seorang ahli psikologi

pendidikan membagi perilaku kedalam tiga kawasan yaitu kawasan tersebut

tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Pembagian kawasan ini

dilakukan untuk kepentingan tujuan pendidikannya itu mengembangkan atau

meningkatkan ketiga domain perilaku, yang terdiri dari : ranah kognitif

(cognitive domain) ranah afektif (affective domain), dan ranah psikomotor

(psychomotor domain). Skinner dalam Inten (2018) membedakan adanya

dua respon, yaitu:

a. Respondent response (reflexsive) yakni respon yang ditimbulkan oleh

rangsangan - rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus ini disebut

eleciting stimulation karena menimbulkan respon yang relatif tetap,


28

misalnya makanan yang lezat menimbulkan keinginan untuk makan,

cahaya terang menyebabkan mata tertutup, dan sebagainya. Responden

response ini juga mencangkup perilaku emosional, misalnya mendengar

berita musibah menjadi sedih dan menangis, lulus ujian meluapkan

kegembiraanya dengan mengadakan pesta dan sebagainya.

b. Operant response (instrumental response) yakni respon yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.

Perangsang ini disebut reinforcing stimulator dan reinforce, karena

memperkuat respon. Misalnya seorang petugas kesehatan melaksanakan

tugasnya dengan baik (respon terhadap uraian tugasnya) kemudian

memperoleh penghargan diri atasannya maka petugas kesehatan tersebut

akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya. Menurut Damayanti

(2017) dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini maka perilaku

dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) Perilaku tertutup (convert behavior) yakni respon seseorang terhadap

stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon

terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,

pengetahuan atau kesadaran dan sikap yang terjadi pada orang yang

menerima stimulus tersebut belum dapat diamati secara jelas oleh

orang lain.

2) Perilaku terbuka (overt behavior) yakni respon seseorang terhadap

stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap


29

stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik,

dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.

Perilaku menyimpang adalah setiap perilaku yang tidak sesuai

dengan norma-norma dalam masyarakat.Salah satu betuk perilaku

menyimpang adalah penyimpangan seksual yaitu semua tindakan yang

menyimpang dari norma-norma yang berlaku dalam suatu sistem sosial

dan menimbulkan usaha dari mereka untuk memperbaiki perilaku

tersebut.Bentuk dari perilaku penyimpangan seksual yaitu perilaku

LGBT (Siregar, 2015)

2. Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku


Menurut Lawrence Green dalam Damayanti (2017) kesehatan seseorang

atau masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yaitu: faktor perilaku

(behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non-behavior causes). Perilaku

itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari tiga faktor, yakni:

a. Faktor predisposisi (predisposing factors).

Faktor ini dipengaruhi oleh pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap

kesehatan, tradisi, dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat

pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya. Contohnya dapat

dijelaskan sebagai berikut, untuk berperilaku kesehatan misalnya

pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil, diperlukan pengetahuan dan

kesadaran ibu tersebut tentang manfaat pemeriksaan kehamilan baik bagi

kesehatan ibu sendiri maupun janinnya. Kepercayaan, tradisi dan sistem


30

nilai masyarakat juga kadang-kadang dapat mendorong atau menghambat

ibu untuk pemeriksaan kehamilan. Misalnya, orang hamil tidak boleh

disuntik (periksa kehamilan termasuk memperolah suntikan anti tetanus),

karena suntikan bisa menyebabkan anak cacat. Faktor-faktor ini terutama

yang positif mempermudah terwujudnya perilaku, maka sering disebut

faktor pemudah.

b. Faktor pendukung (enabling factors).

Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas

kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan tinja

ketersediaan makanan yang bergizi, dan sebagainya, termasuk juga

fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas, rumah sakit (RS),

poliklinik, pos pelayanan terpadu (Posyandu), pos poliklinik desa

(Polindes), pos obat desa, dokter atau bidan praktik swasta, dan

sebagainya. Masyarakat perlu sarana dan prasarana pendukung untuk

berperilaku sehat. Misalnya perilaku pemeriksaan kehamilan, ibu hamil

yang mau periksa kehamilan tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat

pemeriksaan kehamilan melainkan ibu tersebut dengan mudah harus dapat

memperoeh fasilitas atau tempat periksa kehamilan, misalnya Puskesmas,

Polides, bidan praktik, ataupun RS. Fasilitas ini pada hakikatnya

mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka

faktor faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.

Kemampuan ekonomi juga merupakan faktor pendukung untuk

berperilaku kesehatan.
31

c. Faktor penguat (reinforcing factors).

Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh

agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas

kesehatan, termasuk juga di sini Undang-undang, peraturan-peraturan,

baik dari pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan

(Jannah, 2018)

C. Konsep Lingkungan

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekeliling manusia

yang dapat mempengaruhi tingkah laku secara langsung maupun tidak

langsung. Kehidupan manusia selalu berhubungan dengan lingkungan yang

didalamnya diperlukan suatu interaksi dengan sesama manusia, baik

individual maupun kelompok (Sudardja Adiwikarta dkk, 2016).

Teori lain juga mengatatakan bahwa dalam lingkungan seseorang akan

memperoleh pengalaman yang akan berpengaruh pada cara berfikir seseorang

(Natution, dalam Hendra, 2012). Sikap individu memegang peran dalam

menentukan bagaimana perilaku seseorang dilingkunganya, lingkungan

secara timbal balik akan mempengaruhi sikap dan perilakunya, interaksi

antara situasi lingkungan dengan sikap, dengan berbagai faktor didalamnya

maupun di luar dari individu akan membentuk suatu proses kompleks yang

akhirnya menentukan bentuk perilaku seseorang. Lingkungan yang positif

dikarenakan adanya lingkungan keluarga yang utuh, teman sebaya,

lingkungan , dan lingkungan sekolah (Teoro Azwar, 2011).


32

Lingkungan dapat mempengaruhi seseorang, semakin buruk

lingkungan maka semakin berdampak buruk pula perkembangan seseorang.

Contohnya di lingkungan sekolah, jika seseorang memiliki teman yang

menyukai sesama jenis maka akan mereka ikut menyukai sesamajenis,

timbulnya perhatian dan kenyamanan seseorang terhadap teman sejenis

menguatkan dorongan untuk menjadi penyuka sesame jenis. Pengaruh

pertemanan atau pergaulan yang buruk juga dapat mengakibatkan seseorang

memiliki kecenderungan mengadopsi perilaku menyimpang kelompoknya,

karena perasaan kebersamaan dalam kelompoknya mudah terbentuk sehingga

ikatan dalam pergaulan begitu kuat dan demi kelompoknya mereka rela

mengorbankan banyak waktunya secara produktif (Elistiana, 2018).

Dalam kajian Counseling and Mental Health Care of Transgender

Adult and Loved One, fenomena transgender dinyatakan muncul tidak hanya

karena pengaruh lingkungan. Pengaruh dari budaya, fisik, seks, psikososial,

agama dan kesehatan juga turut andil dalam membentuk individu menjadi

LGBT.

Menurut Byrd, faktor genetik memang menjadi contributor

terbentuknya individu menjadi seorang lesbi, gay, biseksual atau transgender

sebagaimana yang digarisbawahi oleh kaum LGBT. Namun demikian, bukan

berarti otomatis membuatnya sebagai LGBT. Pola asuh orang tua menjadi

faktor terpenting dalam membentuk dan mewarnai sosok anak.

Bandura mengatakan, lingkungan dapat dibentuk oleh perilaku dan

sebaliknya perilaku dapat dibentuk oleh lingkungan. Dalam hubungan


33

resiprokal ini terjadi pembelajaran sosial yang mengarah pada transfer

informasi, kebiasaan atau perilaku. Anak yang selalu menonton tayangan

perilaku tak laras gender seperti laki-laki yang berperilaku gemulai membuka

peluang bagi anak untuk bersikap sama. Reaksi yang muncul pertama kali

adalah perasaan aneh, lucu, atau bahkan tidak memberikan reaksi apapun,

sebab anak belum memiliki skema pengetahuan tentang sosok maskulinitas

pada laki-laki.

Reaksi kedua, anak mulai memiliki pengetahuan bahwa laki-laki

bersifat seperti apa yang dilihatnya. Reaksi ketiga anak mengikuti gaya atau

perilaku laki-laki yang sering dilihatnya. Selanjutnya perasaan aneh atau lucu

di awal reaksi berubah menjadi perasaan yang understandable dan acceptable.

Dalam kondisi ini sudah terjadi internalisasi nilai tentang sosok laki-laki yang

lama kelamaan sangat mungkin berubah menjadi internalisasi pola perilaku.

Jika lingkungan dapat mempengaruhi perilaku dan sebaliknya

perilaku dapat dipengaruhi oleh lingkungan, maka saat mulai terjadi

internalisasi nilai, individu dapat membatasi diri untuk bersikap lebih bijak

dalam menyikapi fenomena LGBT. Individu dapat merubah persepsi

sekaligus pola fikir yang bersimpul pada pola perilaku untuk menolak atau

mengikuti suatu fenomena tertentu. (Khilman, 2015).


34

D. Konsep Trauma Psikologi


1. Pengertian trauma psikologi

Trauma merupakan terlukanya fisik maupun psikis yang

diakibatkan oleh situasi dan kondsi yang kurang menguntungkan

(Tarmizi, 2012).

Trauma psikologis atau PTSD (post traumatic stress disorder)

adalah kondisi yang diakibatkan oleh suatu peristiwa traumatik baik

bersifat spontan maupun mengancam fisik atau psikis sehingga dapat

menimbulkan kurangnya rasa nyaman, aman, mampu dan harga diri

renda pada penderita (Pitaloka, 2015).

Berdasarkan pengertian yang sudah dijabarkan dari beberapa para

ahli maka penulis dapat menarik kesimpulan bahwa trauma psikologis

adala suatu kondisi atau keadaan dari pengalaman masa lalu secara

spontan dan mengakibatkan trauma kejiwaan sehingga akan menghambat

proses tumbuh kembang individu.

2. Dampak trauma psikologis

Menurut Fuadi (2015) menjelaskan bahwa trauma psikologis

memiliki dampak sebagai berikut:

a. Segi emosional

1) Cenderung menarik diri dari lingkungan

2) Cemas

3) Mudah marah dan menabur kebencian

4) Depresi, mudah menangis dan putus asa


35

5) Cenderung berperilaku kompulsif dan obsesif

6) Sulit mengendalikan emosi

7) Sering merasa takut

8) Merasa selalu berada diluar kendali

9) Mudah panic

b. Segi perilaku

1) Sering merasakan sakit yang sulit dijelaskan

2) Disfungsi Seksual

3) Gangguan pola tidur

4) Gangguan Makan atau anoreksia

5) Tidak memiliki banyak energy

c. Segi kognisi

1) Gejala ADHD

2) Penurunan kemampuan konsentrasi

3) Kesulitan dalam membuat dan mengambil keputusan

4) Merasa selalu terganggu

5) Penyimpangan memori, terutama tentang trauma

3. Faktor yang mempengaruhi trauma psikologis

Menurut Brewin dari penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2016)

menjelaskan tentang faktor yang mempengaruhi trauma psikologis,

diantaranya sebagai berikut:

a. Pengalaman kurang menyenangkan


36

Seseorang yang pernah mengalami peristiwa yang kurang

menyenangkan, bahaya, dan mengancam selama hidupnya akan

menimbulkan trauma psikologis seperti melihat secara langsung

pembunuhan, kehilangan orang yang dincintai dan pelecehan seksual

b. Riwayat penyakit mental

Seseorang yang memiliki riwayat penyakit jiwa atau mental dapat

mempengaruhi orang tersebut mengalami trauma psikologis.

c. Minimnya dukungan social

Seseorang yang telah mengalami sesuatu yang buruk tetapi tidak

memiliki dukungan sosial yang cukup akan mengakibatkan

seseorang mengalami trauma psikologi.

4. Gejala trauma psikologis

Menurut American Psychiatric Association (APA) dalam jurnal

Pratiwi dkk. (2018) menjelaskan kriteria gejala trauma psikologi yang

harus dipenuhi dan sesuai dengan Diagnostic and Statistical Manual of

Mental Disorders IV (DSM IV), antara lain sebagai berikut:

a. Paparan dengan peristiwa traumatic

Seseorang yang memiliki pengalaman traumatik dan dialami secara

intens. Pengalaman tersebut berupa emosi negatif, cedera serius serta

ancaman kematian.
37

b. Merasa peristiwa trauma terulang kembali

Perasaan yang berulang-ulang (re-experiencing) dapat terjadi ketika

seseorang mengingat suatu peristiwa, memiliki emosi negatif dan

mimpi buruk terhadap pengalaman traumatis.

c. Keinginan untuk menghindar.

Seseorang akan menghindar dari kejadian yang mengingatkan tentang

pengalaman traumatis baik dari indivisu itu sendiri, perilaku, tempat

dan suasana. Selain itu individu akan memiliki perasaan seperti

mati rasa karena tidak dapat merasakan apapun setelah kejadian

traumatis berlangsung.

d. Waspada berlebihan

Seseorang akan meningkatkan kesiagaan atau kewaspadaan yang

berlebih terhadap segala sesuatu yang sebenarnya tidak berbahaya

bagi dirinya.
38

e. Penurunan fungsi psikologis

Penurunan fungsi psikologis terhadap seseorang yang mengalami

peristiwa trauma tidak hanya dari individu itu sendiri tetapi juga

pada kehidupan sosialnya. Individu lebih cenderung susah bergaul

atau menarik diri dari keramaian dan lingkungan sekitar sehingga

individu mengalami penurunan aktivitas.

f. Gejala timbul selama satu bulan atau lebih

Seseorang akan mengalami gejala-gejala yang sudah dijelaskan diatas

dan gejala tersebut akan berlangsung selama satu bulan atau lebih

setelah kejadian traumatis.


39

E. Kerangka Teori

Faktor Predisposisi Faktor Pendorong


Faktor Pemungkin
1. Pengetahuan 1. Orang Tua
2. Sikap 1. Akses Media 2. Teman Sebaya
3. Tindakan 2. Tempat hiburan 3. Guru
4. Motivasi 4. Lingkungan
5. Agama 5. Trauma
6. Persepsi Psikologis

Mempengaruhi LGBT

Bentuk LGBT Dampak LGBT

1. Lesbian 1. Dampak Kesehatan


2. Gay 2. Dampak Sosial
3. Bioseksual 3. Dampak Pendidikan
4. Transgender 4. Dampak Keamanan

Dapat menurunkan kualitas anak bangsa

Sumber : Teori Lawrence Green 1980) dalam Notoatmodjo, 2012)


Gambar 2.1 Kerangka Teori
40

BAB III
KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Notoatmodjo, (2012) menjelaskan, yang dimaksud kerangka konsep

adalah suatu uraian atau visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu

terhadap konsep yang lainnya, atau antara variabel yang satu dengan variabel

yang lain dari masalah yang ingin diteliti. Konsep adalah suatu abstraksi yang

dibentuk dengan menggeneralisasikan suatu pengertian, oleh karena itu,

konsep tidak dapat diukur dan diamati secara langsung.

Variabel Independen Variabel Dependent

Lingkungan
Perilaku penyimpangan
seksual LGBT

Trauma Psikologis

Gambar 3.1 Kerangka konsep

B. Defenisi Operasional

Definisi Operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek

atau fenomena. Definisi Operasional ditentukan berdasarkan parameter yang

dijadikan ukuran dalam penelitian. Sedangkan cara pengukuran merupakan

cara dimana variabel dapat diukur dan ditentukan karakteristiknya

(Notoadmodjo, 2012).
41

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Variabel Defenisi Cara ukur Alat Hasil ukur Skala Ukur


operasional ukur
Perilaku Bentuk perilaku Wawancara Kueision 1. Tidak baik jika skor Ordinal
penyimpanga penyimpangan er < 50%
n seksual dilapangan seperti
LGBT suka sesama jenis, 2. Baik jika skor ≥ 50%
melakukan (Azwar, 2008)
hubungan badan
dengan sesama
jenis dan juga laki
– laki
berpenampilan
seperti wanita serta
wanita
berpenampilan
seperti laki - laki

Lingkungan Lingkungan yang Wawancara Kuisoner 1. Tidak baik jika skor Ordinal
mempengaruhi < 50%
perilaku LGBT
seperti saling 2. Baik jika skor ≥ 50%
menyukai sesama (Azwar, 2008)
jenis ditempat kerja
serta banyaknya
lingkungan dengan
penampilan yang
berbeda dengan
jenis kelaminnya
dilingkungan
sekitar seperti
banci dan waria

Trauma Trauma psikologi Wawancara Kuisoner 1. Tidak baik jika skor Ordinal
Psikologis yang dapat < 50%
mempengaruhi
perilaku 2. Baik jika skor ≥ 50%
menyimpang pada (Azwar, 2008)
seseorang seperti
broken home,
trauma
dilingkungan, serta
trauma saat
menjalani
hubungan
sebelumnya
42

F. Hipotesa

Hipotesa adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah

penelitian yang bersifat praduga yang masih harus dibuktikan kebenarannya,

dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk

pertanyaan.

Hipotesa atau jawaban sementara dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

Ha :

a. Ada hubungan lingkungan dengan perilaku penyimpangan seksual

LGBT pada pekerja salon dan karyawan café di Kabupaten Pasaman

Barat.

b. Ada hubungan trauma psikologis dengan perilaku penyimpangan

seksual LGBT pada pekerja salon dan karyawan café di Kabupaten

Pasaman Barat.
43

BAB IV
METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis

kuantitatif dengan penelitian bersifat analitik dengan menggunakan

pendekatan cross sectional (Notoatmodjo, 2012).

B. Tempat dan waktu Penelitian

Pelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Pasaman Barat pada bulan

April - Mei tahun 2022.

C. Populasi dan sampel

1. Populasi

Menurut Nasir, dkk (2011), populasi adalah wilayah generalisasi yang

terdiri atas objek dan subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian

ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah semua

pekerja salon dan karyawan cafe di Kabupaten Pasaman Barat pada bulan

Maret – Mei yang berjumlah 98 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang

akan diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Bila populasi besar

dan tidak mungkin mempelajari semua yang ada pada populasi misalnya

karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu. Maka peneliti dapat

menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu. Kesimpulannya akan


44

diberlakukan untuk populasi. Untuk semua sampel yang diambil dari

populasi harus betul-betul mewakili (representative) (Dahlan, 2016).

Rumus besar sampel yang digunakan pada penelitian ini

menggunakan rumus korelatif sebagai berikut (Dahlan, 2016) :

( )
2
Za+ Zβ
n= 1+r +3
0,5 ln ⁡( )
1−r

Keterangan :

n = Besar sampel

Zα = Kesalahan tipe I (α) sebesar 5% (1,96)

Zβ = Kesalahan tipe II (β) sebesar 10% (1,282)

r = Kofesien korelasi minimal yang dianggap bermakna ditetapkan 0,5

Berdasarkan rumus diatas maka didapatkan jumlah subjek sebagai berikut :

( )
2
1,96+ 1,282
n= 0,5 ln ⁡(
1+0,5
) + 3 = 31,3 = 32
1−0,5

Untuk mengantisipasi terjadinya Drop Out dilakukan penambahan sejumlah

sampel sebagai cadangan agar dapat terpenuhi.

1
n = 1−f x n

Keterangan :

n : Besar sampel

f : perkiraan proporsi droup out 10% = 0,1% (ketetapan)

1
n= x 32 = 35
1−0,1

Berdasarkan perhitungan diatas maka besar sampel sebesar 35 orang.


45

Dalam penelitian ini sampel di ambil dengan teknik purposive

sampling artinya sampel diambil sesuai dengan kriteria yang telah

ditetapkan oleh peneliti. Jika sampel memenuhi syarat – syarat kriteria

insklusi maka dapat dijadikan sampel (Notoadmodjo, 2012).

Kriteria subjek penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Kiteria inklusi

1) Bersedia menjadi responden

2) Berada di Kabupaten Pasaman Barat

3) Sehat jasmani dan rohani

4) Dapat tulis baca

5) Bersedia diajak bekerja sama selama penelitian berlangsung

b. Kriteria Eksklusi

1) Tidak berada ditempat saat penelitian berlangsung

D. Jenis Data

1. Data Primer

Data primer yaitu data yang diambil dari wawancara secara langsung dari

responden dengan menggunakan kuesioner, pada pengumpulan data ini

sebelumnya peneliti menjelaskan tujuan dari penelitian kepada

responden, setelah itu peneliti memberikan lembaran persetujuan kepada

responden untuk ditandatangani sebagai bukti kesediaan responden dalam

penelitian ini.
46

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapatkan melalui pencatatan, pelaporan

atau lembar observasi yang dibutuhkan yang ada di tempat penelitian

(Notoadmodjo, 2012).

E. Intrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu kuesioner untuk melihat

hubungan lingkungan dan trauma psikologis dengan perilaku seksual

menyimpang LGBT.

F. Uji Validitas dan Reabilitas

Validitas adalah suatu indeks yang mununjukkan suatu alat itu benar

mengukur apa yang diukur. Untuk mengetahui validitas suatu instrmen atau

kuisioner dilakukan dengan cara melakukan korelasi antar skor masing-

masing variabel (pertanyaan). Dikatakan valid bila skor variabel tersebut

berkorelasi secara signifikan dengan skor totalnya. Tekhnik korelasi yang

digunakan korelasi pearson product moment. Keputusan ujinya adalah sebagai

berikut :

1) Bila r hitung > dari r tabel Ho ditolak, artinya variabel valid

2) Bila r hitung <dari r tabel Ho gagal ditolak, artinya variabel tidak valid

G. Teknik Pengolahan

Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan proses, data di

olah secara komputerisasi dengan tahapan pengolahan sebagai berikut :


47

a. Pemeriksaan Data (Editing)

Setelah kuisioner diisi dan dikembalikan oleh responden pada peneliti,

maka semua pertanyaan diperiksa kembali apakah semua pertanyaan

sudah dijawab dan memastikan tidak ada jawaban yang kosong pada

lembar kuisioner.

b. Pengkodean data ( Coding )

Memberikan kode pada kuesioner yang telah terkumpul sehingga lebih

mudah dalam pengolahan data.

c. Memasukkan data (Entry)

Memasukkan data yang telah dikoding, kedalam master tabel lalu

kedalam tabel distribusi frekuensi.

d. Tabulating (Mentabulasi data)

Setelah semua data berkumpul dengan baik, data tersebut

diklasifikasikan kedalam beberapa kelompok menurut sub variasi

penelitian, kemudian dimasukkan kedalam tabel distribusi frekuensi

dan dipersentasekan.

H. Analisa Data

1. Analisis Univariat

Untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dari variabel

independen dan dependen.

2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk menguji hipotesis hubungan

variabel dependen dengan variabel independent dengan menggunakan

uji chi square ( X2).


48

Nilai p alpha yang digunakan dalam penelitian ini adalah 0,05.

Hasil analisa dinyatakan bermakna apabila nilaip value = 0,05 dengan

kriteria:

a. Ha diterima jika p value ≤ 0,05 berarti ada hubungan antara variabel

independen dengan variabel dependen.

b. Ha ditolak jika p value > 0,05 berarti tidak ada hubungan antara

variabel independen dengan variabel dependen.


49

DAFTAR PUSTAKA

Abrori. 2017. Disimpang Jalan Aborsi. Pontianak : Universitas Muhammadiyah


Pontianaka

Abrori. 2017. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual. Pontianak : Universitas


Muhammadiyah Pontianaka

Ali, M, dan Mohammad Asrori. 2015. Psikologi Remaja Perkembangan Peserta


Didik. Jakarta: BumiAksara.

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Prakrik.


Jakarta :PT.Asdi Mahasatya

Ariyanti, D. N. 2018. Fenomena Globalisasi Terhadap Perkembangan Gerakan


LGBT Di Indonesia. Jom Fisip Vol. 5 No. 1.

Baliyah. 2016. Hubungan Sikap Teman Sebaya Tentang Lgbtdengan Stigma Lgbt
Pada Mahasiswasemester 4 Prodi DIV Kebidanandi Universitas
‘Aisyiyah Yogyakarta. Naskah Publikasi

Chaecyandini, R. L. 2018. Kantor Berita Politik, LGBT, FaktorPenyebab,


Dampak Dan Cara Mengatasinya.

Erwan, Setiyono. 2015. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tindakan


LGBT pada remaja” Di SMAN Bandung. Naskah Publikasi

Eko. 2013. Faktor Yang Mempengaruhi Seks Pra Nikah di SMAN Gunung Kidul.
Naskah Publikasi

Hafeez, Hudaisa, dkk. 2017. Health Care Disparities among Lesbian, Gay,
Bosexual, and Transgender Youth: A Literature Review. Americans.

Info DATIN. 2016. Situasi Penyakit HIV AIDS di Indonesia. Kementerian


Kesehatan RI Pusat Data dan Informasi: Jakarta Selatan.

Irianti, I, dan E. Nina Herlina. 2012. Buku Ajar Psikologi Untuk Mahasiswa
Kebidanan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC.

Istiqomah. 2017. Keberadaan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT)


di Indonesia Melalui Cermin Sosial dan Buday adalamPerspekif Hukum
dan HAM. Vol 17 No 1.

Jeaneta. 2016. Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT) dan Keadilan


Sosial. Naskah Publikasi
50

Kemenkes RI. 2020. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019. Kemenkes RI:
Jakarta.

Mahmuda. 2016. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tindakan Seksual


Remaja Di Kota Padang. Naskah Publikasi

Megasari, K, dkk. 2017. Fenomena Perilaku Penyimpangan Seksual Oleh


Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender (LGBT) di Kota Pekanbaru.
Vol. IX Jilid 1 N0. 78. Pekanbaru.

Muhammad, Rizky. 2018. Lesbian, Gay, Biseksual Dan Transgender:Tinjauan


Teori Psikoseksual, Psikologi Islamdan Biopsikologi. Naskah Publikasi

Ni Luh Putu. 2019. Gambaran Tingkat Pengetahuan Tentang LGBT di SMAN 4


Solok Selatan. Naskah Publikasi

Notoatmodjo.S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan,Jakarta :Rineka Cipta

Panji, Kumoro. 2017. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Dengan Sikap Remaja


Dalam Mencegah Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (Lgbt)(Studi Di
SMKN 2 Jombang). Naskah Publikasi

Pieter, H Z, dkk. 2011. Pengantar Psikopatologi Untuk Keperawatan. Jakarta:


Kencana.

Saam, Z, dan Sri Wahyuni. 2013. Psikologi Keperawatan. Jakarta: Rajawali.


Samadi. 2014. Bersahabat Dengan Putri Anda. Jakarta Pustaka Zahra

Sebayang. 2018. Perilaku Seksual Remaja. Yogyakarta: Deepublish

Sinyo. 2014. Anakku Bertanya Tentang LGBT. Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo
51

Lampiran

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth :

Calon Responden

Dengan Hormat,
Saya yang bertanda tangan dibawah ini adalah mahasiswa Universitas Fort
De Kock Bukittinggi Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat bermaksud
mengadakan penelitian:
Nama : Gustika
Nim : 2013201059
Alamat : Pasaman Barat
Melakukan penelitian dengan judul “Hubungan Lingkungan Dan Trauma

Psikologis Terhadap Perilaku Penyimpangan Seksual LGBT Pada Pekerja

Salon Dan Karyawan Café di Kabupaten Pasaman Barat”. Sehubungan dengan

hal tersebut diatas maka saya mohon kesediaan bapak/ibu untuk berpartisipasi

dalam penelitian ini. Saya akan menjamin kerahasiaan jawaban yang sudah

merupakan kode etik penelitian. Atas kesediaan dan bantuan bapak/ibu, saya

ucapkan terima kasih.

Pasaman Barat,........................2022
Peneliti

Gustika
52

Lampiran

LEMBARAN PERSETUJUAN
(INFORMED CONSENT)

Setelah membaca dan memahami maksud peneliti diatas, saya bersedia


menjadi responden dalam penelitian yang dilakukan oleh saudara :

Nama : Gustika
Nim : 2013201059
Akan mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Lingkungan Dan
Trauma Psikologis Terhadap Perilaku Penyimpangan Seksual LGBT Pada Pekerja
Salon Dan Karyawan Café di Kabupaten Pasaman Barat”. Informasi dan data
yang saya berikan adalah benar sesuai dengan kenyataan dari persetujuan
pengalaman saya.
Demikianlah persetujuan ini saya tangani dengan sukarela tanpa paksaan
dan tekanan dari siapapun.

Pasaman Barat,..........................2022
Responden

( )
53

Lembar Bimbingan Proposal


Universitas Fort De Kock Bukittinggi
Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat
T.A 2022

Nama Mahasiswa : Gustika


NIM : 2013201059
Prodi : Sarjana Kesehatan Masyarakat
Judul Proposal : Hubungan Lingkungan Dan Trauma Psikologis Terhadap
Perilaku Penyimpangan Seksual LGBT Pada Pekerja Salon
Dan Karyawan Café di Kabupaten Pasaman Barat
NO Hari/Tanggal Materi Bimbingan Tanda Tangan
Pembimbing
1

Anda mungkin juga menyukai