Anda di halaman 1dari 12

TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA

“Tindak Kekerasan Seksual Di Lingkungan Kampus”

DOSEN PENGAMPU :
Muhammad Akmal.N.,S.H.,M.H.

DI SUSUN OLEH :
1. Devi Dwi Yanti (2257201001)
2. Dina Mariati (2257201125)
3. Clarisa Nazwa (2257201108)
4. Andre Rizlian S (2257201002)
5. Rezi Kurniawan (2257201035)
6. Muhammad Riski Reyhan (2257201043)

SISTEM INFORMASI
FAKULTAS ILMU KOMPUTER
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
2022/2023
KATA PENGANTAR 

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayat-nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
yang berjudul “TINDAK KEKERASAN SEKSUAL DI LINGKUNGAN KAMPUS”.
Penyusunan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Pendidikan Pancasila. Saya berharap dapat merubah wawasan dan
pengetahuan khususnya dalam bidang Pendidikan Pancasila.

Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan,


baik dari penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini.
Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat menyempurnakan makalah ini.

Pekanbaru, 14 Desember 2022

Penulis 

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................1
DAFTAR ISI................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................3
1.1. Latar Belakang...............................................................................3
1.2. Rumusan Masalah..........................................................................4
1.3.Tujuan Masalah....................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................5
2.1. Pemahaman Mahasiswa Terhadap Bentuk, Proses, Dan
Penanganan Kekerasan Seksual.......................................................5
2.2. Merancang Visual Kampanye Melalui Vidio.......................................7
BAB III PENUTUP.......................................................................................9
3.1. KESIMPULAN.................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................10

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kekerasan seksual di kampus menjadi isu hangat di tengah masyarakat


setelah beberapa kasus pelecehan yang dilakukan oleh civitas akademika
perguruan tinggi terkuak di ranah publik. Seperti halnya kasus di Universitas Riau
(UNRI) Pekanbaru pada desember 2021. Kasus ini menjadi viral saat komahi
mengunggah vidio pengakuan korban di akun instagramnya pada tanggal 4
november 2021. Dalam video tersebut, si mahasiswi menceritakan pelecehan
terjadi pada tanggal 27 November 2021 ketika ia menemui Syafri Harto di ruangan
dekan FISIP UNRI untuk melakukan bimbingan proposal skripsi. Saat itu, tidak ada
siapa-siapa di dalam ruangan tersebut selain mereka berdua. Kejadian pertama
kali dialami oleh penyintas, pada saat bimbinga skripsi dengan SH, Ia dicium di
pipi kiri dan keningnya, kemudian SH meminta untuk mencium bibirnya.
Selama ini kasus kekerasan seksual selalu menjadi momok di indonesia,
namun penanganan akan kasus kekerasan seksual masih sangat minim, menurut
Komnas Perlindungan Perempuan tercatat ada 348.446 kasus kekerasan seksual
terhadap perempuan yang dlaporkan dan ditangani selama tahun 2017, yang
terdiri dari 335.062 kasus bersumber pada data kasus / perkara yang ditangani
oleh pengadilan agama, serta 13.348 kasus yang ditangani oleh 237 lembaga
mitra pengadalayanan, tersebar di 34 Provinsi, belum termasuk dark number atau
angka yang sebenarnya ada namun tidak tercatat karena tidak adanya pelaporan
secara resmi yang membuat angka tersebut belum mencatatat seluruh kasus dan
juga angka tersebut belum termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan
(Komnas Perlindungan Perempuan Tergerusnya Ruang Aman Perempuan dalam
Pusaran Politik Populisme, 2018). Definisi kekerasan seksual dapat dipengaruhi
oleh nilai-nilaI budaya, sosial, hak asasi, peran gender, inisiatif legal, dan kriminal
sehingga dapat berubah seiring berjalannya waktu. Definisi akan kekerasan
seksual dapat membantu usaha global dalam mengidentifikasi dan
mengeliminasinya, namun perlu disadari bahwa definisi-definisi akan kekerasan
seksual lahir dari lensa-lensa kultural, sosio-politik dan geografis. Dalam kehidupan
sehari-hari banyak ditemui pelecehan seksual yang terjadi di tempat umum,
dimulai dari tempat bekerja, institusi pendidikan, transportasi umum, fasilitas
publik, sampai di rumah sendiri. Menurut data dari Masyarakat Pemantau
Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FH UI)
menunjukan bahwa kekerasan seksual terbanyak terjadi di dalam rumah korban
yakni 37 persen dari seluruh kasus, kemudian 10 persen terjadi di hotel, 11 persen
terjadi di sekolahan, dan sisanya terjadi di ranah umum seperti pinggir jalan,
kantor, dan dunia maya.
Data yang terangkum ini didapat berdasarkan Indonesia menggunakan
google form kepada para mahasiswa dalam waktu yang singkat (kurang lebih
seminggu). Dalam laporan tersebut jenis-jenis kasus tersebut bervariasi antara
satu perguruan tinggi dengan peruguruan tinggi lainnya dan dibedakan
berdasarkan pelecehan seksual secara fisik, verbal, isyarat, tertulis atau gambar,
psikologis, perkosaan, intimidasi seksual, eksploitasi seksual, prostitusi paksa,

3
perbudakan seksual, pemaksaan perkawinan, pemaksaan kehamilan, pemaksaan
aborsi, pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi, dan penyiksaan seksual.
Seperti yang dikatakan dosen fakultas hukum Universitas Indonesia, Lidwina
Inge Nurtjahyo kepada Kumparan (Nurtjahyo, 2019) bahwa selama ini korban
kekerasan seksual cenderung tidak nyaman untuk melapor kepada dosen, bukan
karena mereka enggan, melainkan belum semua paham cara mencari
penyelesaian kasus tersebut. Jika pola “ketidak nyamanan” ini terus berlangsung
maka akan terbentuk kultur silent majority terhadap kasus kasus kekerasan
seksual di dalam institusi pendidikan yang akan berdampak pada semakin
tingginya angka kasus kekerasan seksual karena tidak adanya penanganan yang
benar. Mahasiswa harus mulai lebih menyadari dan memahami tentang kekerasan
seksual, bagaimana cara mencegahnya, dan apa yang seharusnya dilakukan jika
terjadi kekerasan seksual. Penulis akan menggunakan video kampanye sebagai
media penyampaian utama kepada target audiens dikarenakan media video yang
digunakan dalam proses belajar mengajar memiliki banyak manfaat dan 3
keuntungan, video dapat menggambarkan suatu proses secara tepat dan dapat
dilihat secara berulang-ulang, video juga mendorong dan meningkatkan motivasi
siswa untuk tetap melihatnya. (Arsyad, Media Pembelajaran, 2011) Dengan
diproduksinya video kampanye ini diharapkan mahasiswa dapat mempelajari
tentang pelecehan seksual dengan cara yang tidak membosankan, karena itu
penulis harus mampu membuat suatu video kampanye yang menarik dimulai dari
sisi sinematik pengambilan gambar, color grading, motion graphic, dan konten
yang terkandung di dalam video kampanye itu sendiri namun harus tetap
mengikuti kunci utama dalam pembuatannya yaitu penyajian fakta, video
kampanye ini diproduksi karena jika kita membiarkan pelecehan seksual terjadi
secara terus menerus tanpa melakukan pergerakan apapun maka sama saja
dengan kita membiarkan lebih banyak masyarakat yang menjadi korban baik
secara fisik maupun mental yang akan berakhir juga dengan penyakit fisik, karena
tidak sedikit para korban pelecehan seksual yang mengalami depresi atau trauma
yang menyebabkan mereka mengambil keputusan untuk mengakhiri hidupnya.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara meningkatkan awareness dan pemahaman mahasiswa


mengenai dampak dan upaya penyelesaian kasus kekerasan seksual ?
2. Bagaimana merancang visual kampanye yang tepat melalui media vidio ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Meningkatkan awareness dan pemahaman mahasiswa mengenai dampak dan


upaya penyelesaian kasus kekerasan seksual melalui vidio kampanye.
2. Membuat vidio kampanye sosial mengenai kasus kekerasan seksual yang
efektif.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pemahaman Mahasiswa terhadap Bentuk, Proses, dan Penanganan


Kekerasan Seksual

a. Pemahaman Mahasiswa terhadap Bentuk-bentuk Seksual

Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan,


menghina, menyerang, atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat
seksual seseorang, atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan
dengan dua kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak
mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena
ketimpangan relasi kuasa, relasi gender, yang berakibat kesengsaraan
secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, atau
politik.
Perempuan dianggap sebagai simbol kesucian dan kehormatan,
karenanya ia kemudian dipandang menjadi aib ketika mengalami kekerasan
seksual, misalnya pemerkosaan. Korban juga sering disalahkan sebagai
penyebab terjadinya kekerasan seksual. Ini membuat perempuan korban
seringkali bungkam. Korban sering merasa tidak berdaya, dengan
memberinya pelukan hangat diharapkan dapat menyadarkan korban bahwa
ia tidak sendirian. Dengan pelukan sedikit banyak dapat diartikan bahwa
kita menghargai korban, yang memiliki dampak besar terhadap pemulihan
perasaan pengandilian diri korban.  95% korban pemerkosaan mengalami
PTSD (Post Traumatic Disorder) Dukungan bagi korban sangat dibutuhkan
untuk melewati masa traumatiknya. Kekerasan Seksual menjadi lebih sulit
untuk diungkap dan ditangani dibanding kekerasan terhadap perempuan
lainnya karena sering dikaitkan dengan konsep moralitas masyarakat.
kekerasan seksual yang diklasifikasikan oleh Komisi Nasional
Perempuan (KOMNAS Perempuan) bahwa bentuk-bentuk kekerasan
memiliki banyak klasifikasi di antaranya adalah Pemerkosaan, Intimidasi
Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan, Pelecehan Seksual,
Eksploitasi Seksual, Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual,
Prostitusi Paksa, Perbudakan Seksual, Pemaksaan perkawinan, termasuk
cerai gantung, Pemaksaan Kehamilan, Pemaksaan Aborsi, Pemaksaan
kontrasepsi dan sterilisasi, Penyiksaan Seksual, Penghukuman tidak
manusiawi dan bernuansa seksual, Praktik tradisi bernuansa seksual yang
membahayakan atau mendiskriminasi perempuan, dan Kontrol seksual,
termasuk lewat aturan diskriminatif beralasan moralitas dan agama. Ada
sejumlah mahasiswa yang sama sekali tidak mengetahui bentuk-bentuk
kekerasan seksual mengindikasikan mahasiswa memiliki pengetahuan yang
sangat minim mengenai kekerasan seksual atau justru pengetahuan ini
dianggap tidak memiliki urgensi sehingga tidak merasa perlu untuk
mengetahui segala hal terkait dengan kekerasan seksual.

5
b. Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Beberapa waktu belakangan ini, isu kekrasan seksual menjadi


highlight yang ramai diperbincangkan di berbagai media. Tindak kekerasan
seksual dapat terjadi kepada siapa saja dan dimana saja. Kekerasan seksual
tidak hanya terjadi di zona-zona rawan, tetapi terjadi juga dilingkungan
pendidikan yang seharusnya menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan
norma yang berlaku. Menurut Komnas Perempuan pada kisaran waktu
2021-2022 tercatat sekitar 338.496 kasus kekerasan yang terjadi di
perguruan tinggi. Sangat kontras dengan pandangan umum bahwa kampus
merupakan lingkungan aman dari tindak kejahatan karena dipenuhi orang-
orang terdidik.
Berdasarkan hasil survei pada bagian pendahuluan, kita
mendapatkan pemahaman bahwa kasus kekerasan seksual di kampus
tentunya bukanlah sebuah permasalahan ringan. Kasus-kasus kekerasan
seksual di kampus tentu membutuhkan adanya “bantuan” dari pihak
rektorat, selaku institusi pengampu di mana kasus-kasus ini
terjadi. Sayangnya, berdasarkan penelitian yang kami lakukan dengan
melihat artikel-artikel media tentang kasus kekerasan seksual di kampus,
pihak kampus dari kasus-kasus terkait sering terlihat seolah berusaha
menutup-nutupi kasus tersebut, guna menjaga nama baik institusi.
Mengambil contoh dari kasus di Universitas Riau (UNRI), yang terjadi
pada 2021 tahun lalu dimana mahasiswi sedang melakukan bimbingan
diruangan dekan FISIP UNRI. Pada 5 November mahasiswi itu akhirnya
melaporkan kasus tersebut ke polresta pekanbaru.Proses persidangan
berlangsung hingga berbulan-bulan. Selama itu, Syafri membantah semua
kesaksian korban tentang pelecehan seksual. Pada 30 Maret, majelis hakim
menyatakan Syafri tidak bersalah dan menolak semua tuntutan. Sementara
itu, UNRI membentuk Satuan Tugas yang melakukan penyelidikan sejak
bulan Desember sampai Februari. Satgas merekomendasikan sanksi
administratif terhadap pelaku. Rekomendasi itu telah dikirim ke
Kemendikbudristek selaku lembaga pembina PTN untuk ditindaklanjuti.
 Mengingat kasus ini terjadi tidak lama setelah Permendikbudristek
no.30 tahun 2021 disahkan, pihak Unri "masih meraba-raba" dalam
menanganinya serta takut mengambil keputusan yang konkret. Pada hari
kamis korban datang kejakarta menemui menteri Nadiem serta sejumlah
pejabat Kemendikbudristek. Ia menagih implementasi Permendikbudristek
no.30 tahun 2021 tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual
di lingkungan perguruan tinggi. Kunjungan ini di lakukan setelah terdakwa
pelaku kekerasan seksual divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru
dengan alasan tidak cukup bukti. Vonis tersebut telah menuai gelombang
protes dari kalangan mahasiswa dan perempuan di Riau.
Selain diterbitkanya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset dan Teknlogi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang
Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Dilingkungan Perguruan
Tinggi (Permendikbudristek PPKS) sebagai solusi dari kasus kekerasan
seksual yang kerap terjadi di perguruan tinggi. Perlu diterapkan hal paling
mendasar dari keresahan tentang kekerasan seksual, yaitu menumbuhkan

6
kesadaran, baik itu mahasiswa, dosen maupun perangkat lainnya di
lingkungan kampus. Bagi sebagian masyarakat, isu kekerasan seksual
dianggap masih tabu untuk didiskusikan. Sudah selayaknya mahasiswa
sebagai bagian dari penerus bangsa untuk lebih membuka mata perihal isu
tersebut. Kekerasan seksual bukanlah tentang perempuan saja, bukan
permasalahan satu orang, melainkan seuah isu sosial yang menjadi
permasalahan bersama dalam masyarakat dan perlu kesadaran bersama
untuk menganinya.
Namun sangat disayangkan, betapa minim kesadaran muda-mudi tak
terkecuali mahasiswa yang merupakan kaum “intelektual”, dibuktikan
dengan masih banyaknya kekerasan seksual yang dilakukan mahasiswa
dilingkungan kampus hingga diruang publik. Cat calling misalnya, dianggap
biasa saja yang kerap dilakukan dan tidak banyak yang menyadari bahwa
tindakan tersebut merupakan pelecehan verbal atau kekerasan psikis. Hal
tersebut dapat menjadi pemicu tindakan kekerasan seksual yang lebih
berat.
Dengan adanya Kampus Merdeka Belajar melalui program sosialisasi
kampus merdeka dari kekerasan seksual bisa menjadi sarana untuk
menanamkan kesadaran dan pengetahuan tentang kekerasan seksual.
Sosialisasi juga diselenggarakan di luar agenda kampus, tetapi tidak semua
mahasiswa ikut berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Hanya sebagian
mahasiswa yang tertarik dengan topik kekerasan seksual yang berarti
bahwa upaya edukasi belum tersampaikan kepada sasaran yang
diharapkan. Perlu upaya lebih tegas mengenai sosialisasi anti kekerasan
seksual oleh pihak kampus. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran mahasiswa melalui edukasi tentang kekerasan
seksual sebagai upaya pencegahan, penanganan yang berpihak pada
korban, dan menumbuhkan moral demi terwujudnya lingkungan kampus
yang aman dari kekerasan seksual. Mahasiswa juga diharapka terus
memgang prinsip tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Mahasiswa
sangat diharapkan mengambil peran sebagai agent of change untuk
mencegah kekerasan seksual. Satu lagkah kecil yang dilakukan bersama
akan membawa perubahan yang sangat berarti.

2.2 Merancang Visual Kampanye Melalui Vidio

Pelecehan Seksual merupakan tindakan berkonotasi seksual yang dilakukan secara


sepihak dan tidak dikehendaki korbannya. Kasus pelecehan seksual dilingkungan
pendidikan sudah menjadi urgensi yang tinggi yang harus diperhatikan dan
dihentikan. Meskipun demikian, dalam waktu beberapa tahun kebelakang
penanganan kasus ini masih terbilang kurang maksimal karena beberapa faktor
seperti hukum tentang kekerasan dan pelecehan seksual yang bagi sebagian
kelompok dinilai belum komprehensif memberikan solusi atas kasus-kasus
tersebut, serta paradigma yang salah mengenai kasus pelecehan seksual yang
tumbuh dalam masyarakat. Kurangnya informasi yang membantu meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang fenomena pelecehan seksual ini juga menjadi
faktor utama terjadinya kasus-kasus tersebut. Ditambah lagi dari sedikit informasi
yang memberikan pengetahuan tentang masalah pelecehan seksual dan

7
pencegahannya, survei National Centre For Strategic and International Studies
(CSIS) menyatakan bahwa remaja khususnya milenial indonesia lebih memilih
menonoton televisi atau media lain yang berupa vidio untuk mencari informasi.
Sebanyak 79,3% remaja menonton siaran televisi setiap harinya. Google juga
telah melakukan riset terhadap orang Indonesia dimana ditemukan bahwa
ternyata 75% dari masyarakat Indonesia lebih suka menerima berita online
melalui platform seperti YouTube dan platform video online. Hal ini menunjukkan
bahwa lebih banyak pesan yang diterima melalui media dengan gambar bergerak
dengan dukungan latar suara seperti audio visual yang dapat berupa film, motion
graphic, animasi dan sebagainya. Jadi, disini kita dapat merancang visual
kampanye melalui film pendek atau dokumenter seperti contohnya film yang
berjudul “Lantangkan” yang ada di sebuah youtube.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Melihat maraknya kasus pelecehan seksual, kita harus berhati-hati dan


waspada. Kita dapat mencegah pelecehan seksual dengan menerapkan nilai
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sesuai dengan pengamalan sila
pertama Pancasila, pelecehan seksual merupakan perbuatan yang dikutuk di
dalam agama manapun. Kita sebagai manusia yang beradab juga harus
menghindari perbuatan pelecehan seksual karena perbuatan tersebut sangat
keji, sesuai dalam Pancasila sila kedua. Kita juga harus menerapkan sila
persatuan Indonesia guna melawan dan mencegah kejahatan seksual "Jika
Anda tidak dapat berbicara untuk diri sendiri, bicaralah untuk orang lain yang
menghilangkan perlakuan yang sama, atau orang-orang yang mungkin
meringankannya di masa depan." Kesimpulannya adalah kita harus berhati-
hati dan waspada terhadap kekerasan seksual yang mulai merembet ke
sasaran tidak hanya pada perempuan tetapi juga pada remaja dan anak-
anak. Kekerasan seksual harus kita cegah dan berani angkat bicara jika itu
terjadi pada kita, meski sangat sulit, terutama bagi perempuan, untuk
mencegah pelaku dan mencegah kejadian serupa terulang kembali.

9
DAFTAR PUSTAKA

http://ejournal.uin-suska.ac.id/article
https://jurnalkampus.ulm.ac.id/2022/03/18/upaya-meningkatkan-kesadaran-
akan-isu-kekerasan-seksual-di-lingkungan-kampus-bagaimana-peran-civitas-
academica/
https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/JDKV/

10
11

Anda mungkin juga menyukai