Anda di halaman 1dari 15

CRITICAL BOOK REPORT MK. PEND.

AGAMA KRISTEN PROTESTAN

PRODI S-1 PEND.MATEMATIKA

NILAI :

KEKERASAN SEKSUAL PADA ERA DIGITAL

Oleh Kelompok VI

Kelas : PSPM 20 A dan PSPM 21 A

Delia Situmorang 4213111096

Icha Novalia Purba 4203111066

Irene Karolina Samosir 4203311003

Lyly Alinta Paulina Sembiring 4203111031

Tarulia Simanjuntak 4203311017

Dosen Pengampu : Pdt.Dr.Sampitmo Habeahan,M.Th.,M.Pd.,K.D.Th.

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan Berkat,
Karunia, serta Kemurahan-Nya lah penulis dapat menyelesaikan tugas Critical Book Report ini.
Dan juga tidak lupa saya berterima kasih kepada Dosen mata kuliah Pendidikan Agama Kristen
Protestan.

Penulis sangat berharap tugas Critical Book Report ini dapat berguna dalam rangka
menambah wawasan serta pengetahuan kita. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang penulis harapkan. Untuk itu,
penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga tugas sederhana ini dapat dipahami bagi siapa pun yang membacanya.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis sendiri maupun bagi orang
yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan penulis memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan
dimasa depan.

Medan,April 2022

Kelompok VI

ii
DAFTAR ISI

Cover……………………………………………………………………………………………….i

Kata Pengantar…………………………………………………………………………………….ii

Daftar Isi………………………………………………………………………………………….iii

Bab I (Pendahuluan)………………………………………………………………………………1

A. Latar Belakang………………………………………………………………………….....1
B. Tujuan……………………………………………………………………………………..1
C. Manfaat…………………………………………………………………………………....1

Bab II (Ringkasan Buku)………………..………………………………………………………..2

A. Buku Utama……………………………………………………………………………….2
B. Buku Pembanding…………………………………………………………………………6

Bab III (Pembahasan)……………………………………………………………………………..8

A. Pembahasan Isi Buku……………………………………………………………………...8


B. Kelebihan dan Kekurangan kedua buku…………………………………………………..9

Bab IV (Penutup)………………………………………………………………………………...10

I. Kesimpulan…………………………………………………………………………..10
II. Saran…………………………………………………………………………………10

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………11

Lampiran…………………………………………………………………………………………12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Critical Book Report adalah deskripsi dan evaluasi dari sebuah buku,yaitu
menjelaskan isi buku secara keseluruhan dan mengevaluasi apakah buku tersebut berhasil
mencapai tujuan penulisan buku itu sendiri. Critical Book Report adalah penilaian terhadap
buku yang dikritik. Memang secara mudah,kritik tentu ada diutarakan apa kelemahan dan
kelebihan. Pada Critical Book Report setiap buku akan diberi komentar mengenai apa
kelebihannya dibandingkan dengan buku lain serta apa kekurangannya. Dengan mengkritik
buku kita dapat memahami bacaan dengan lebih mendalam. Kemampuan berpikir
analistiskita akan lebih terasah dengan mengkritik sebuah buku dan melatih kemampuan
menyampaikan pendapat secara sistematis. Critical Book Report sangat penting bagi
mahasiswa. Dengan Critical Book Report akan membantu mempersiapkan mahasiswadalam
menulis skripsi/esai/tesis. Critical Book Report juga sangat berguna terutama ketika
mahasiswa menyiapkan kajian pustaka untuk kebutuhan skripsi/tesis.

B. Tujuan
- Untuk memnuhi tugas Critical Book Report mata kuliah Pendidikan Agama Kriten
Protestan.
- Untuk menambah wawasan dan pemahaman tentang Pendidikan Agama Kriten Protestan.
- Untuk meningkatkan pola pikir yang kritis.

C. Manfaat
Manfaat penulisan CBR ini adalah untuk informasi tentang Pendidikan Agama
Kriten Protestan dan memperluas wawasan tentang Pendidikan Agama Kriten Protestan.
Disamping memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama Kriten Protestan, penulisan
CBR ini dapat meningkatkan pola pikir agar lebih kritis dan juga membantu mahasiswa
kependidikan untuk mengetahui cara menanggapi kekerasan seksual pada era digital.

1
BAB II

RINGKASAN BUKU

A. BUKU UTAMA
Bicara mengenai kekerasan seksual, psikoanalis Sigmund Freud menjelaskan
bahwa seksualitas adalah naluri manusia, yang satu sisi dapat dikontrol dan di satu sisi
lepas kendali. Seksualitas ini ada pada diri setiap individu. Seksualitas sendiri merupakan
aspek kehidupan yang mencakup seks, gender, orientasi seksual, erotisme, kesenangan
(pleasure), keintiman dan reproduksi. Seksualitas pada umumnya diekspresikan melalui
interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin yang berbeda maupun sesama
jenis kelamin dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, fantasi, dan
emosi. Oleh karena itu seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang merasakan
diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada lawan
jenis atau sesama jenis kelamin melalui tindakan yang dilakukannya, seperti sentuhan,
ciuman, pelukan, dan senggama seksual, dan melalui perilaku yang lebih halus, seperti
isyarat gerakan tubuh, etiket, berpakaian, dan perbendaharaan kata (Weeks, 2003).
Seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor-faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi,
politik, sejarah, agama dan spiritual (Correa, Petchesky, and Parker, 2008).
Seksualitas yang dapat dikontrol melahirkan aktivitas sosial positif. Namun
seksualitas yang tidak dapat dikendalikan memproduksi kekerasan seksual. Tentunya,
seksualitas pada setiap individu akan berbeda satu sama lain tergantung pengaruh
interaksi yang terjadi pada dirinya.
Kekerasan seksual saat ini semakin tumbuh subur dengan berkembangnya akses
media teknologi berbasis internet. Kemajuan teknologi-internet terlihat jelas dalam
kehidupan masyarakat saat ini, salah satunya dengan diperkenalkannya berbagai macam
produk teknologi yang terhubung dalam jaringan internet, seperti smartphone, laptop atau
komputer, tablet, dan PDA atau Personal Digital Assistant. Dengan internet, produk
teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial, kini masyarakat diilustrasikan seperti
tidak lagi berjarak, tidak ada lagi sekat informasi yang selama ini terpisah oleh jarak.
Masyarakat dibuat tidak hanya mudah dalam mengakses informasi, bahkan mudah dalam
menjalani rutinitas. Jika dulu bentuk kekerasan seksual dilakukan secara fisik, di era
masyarakat digital dengan berbagai kemajuan teknologi berbasis internet sudah tidak lagi
dalam rupa konvensional.
Kekerasan seksual kini tampil dalam balutan akses dan manfaat kemajuan
internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial. Tahu atau tidak tahu,
banyak korban kekerasan seksual yang mengalami hal ini. Bentuk kekerasan seksual
yang sering terjadi saat ini menjelma dalam bentuk digital yang termanifestasikan dalam
bahasa komunikasi pada rutinitas interaksi sosial. Bentuk kekerasan seksual ini dikenal
dengan istilah sexting.

2
Judith Davidson dalam bukunya Sexting Gender and Teens (2014), menjelaskan
bahwa sexting merupakan aktifitas mengirim pesan atau gambar seksual secara eksplisit,
atau menonjolkan materi seksual melalui produk teknologi yang terhubung jaringan
internet (dalam hal ini smartphone). Gawai smartphone ini tentu harus didukung dengan
berbagai aplikasi pesan dan media sosial, seperti WhatsApp, Line, Telegram, Instagram,
Facebook, Tinder, Whisper, dan lain sebagainya. Pada aktifitas sexting terdapat dua
bentuk pesan, yaitu pesan verbal dan nonverbal. Sebagai pesan verbal, aktifitas sexting
diwujudkan dalam bentuk kata-kata atau kalimat yang bernada seksual (kalimat
menggoda, merayu, bahkan tidak senonoh). Sementara sexting dalam bentuk nonverbal
diwujudkan dalam bentuk emoticon, video, foto, dan gambar atau stiker yang juga
bernada seksual.
Aktifitas sexting juga dapat dilihat dari sudut pandang produksi media dan
ekspresi diri. Sebagai sebuah produksi media, produksi konten seks dan seksualitas
menyoroti aspek privasi pada pembuatan konten seksual, baik pada media sosial maupun
smartphone. Namun, sebagai ekspresi diri, sexting merupakan aktivitas yang sifatnya
“selalu bisa terjadi” pada semua individu, mulai dari anak, remaja, dewasa, masyarakat
biasa, pejabat, pendidik, tokoh publik, hingga tokoh agama. Pelaku dari sexting sendiri
disebut dengan sexter. Di era digital saat ini, mayoritas masyarakat berkomunikasi
menggunakan internet dan produk teknologi yang didukung dengan berbagai aplikasi dan
media sosial yang ada. Dan tidak sedikit yang tanpa sadar melakukan kekerasan seksual
melalui bentuk sexting. Misalnya saja ini terjadi dalam kehidupan para remaja yang
sedang menjalani hubungan pacaran, yang tanpa sadar apa yang ia lakukan merupakan
bentuk sexting. Ini juga terjadi dalam kehidupan relasi antara atasan dan bawaan, begitu
juga dalam relasi pertemanan, dan relasi perselingkuhan.
Untuk itulah, kekerasan seksual akan terus tampil lebih masif jika tidak ada
kesadaran untuk memanfaatkan kemajuan internet, produk teknologi, dan berbagai
aplikasi dan media sosial secara sehat. Sebab kendali seksualitas ada pada diri individu,
begitupun kendali atas internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial
yang kini mewarnai realitas hidup masyarakat. Kekerasan Seksual di Era Post Truth.
Kekerasan seksual di era digital satu sisi melahirkan kontrol sosial, namun di sisi lain
dapat menjadi senjata untuk membunuh karakter personal individu (character
assassination). Kita sering menyaksikan banyak berita viral yang mengungkap berbagai
praktik kekerasan seksual dalam bentuk sexting. Fenomena ini kemudian menjadi kontrol
sosial bagi setiap individu untuk lebih sehat mengendalikan seksualitasnya dan akses
internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial.

3
Sebab di era masyarakat digital saat ini, kekuatan media sosial mampu
mempercepat akses informasi pada kasus kekerasan seksual yang “tertutup” dan
“ditutupi”. Dengan menyebarnya arus informasi, maka ini melahirkan tekanan publik
kepada negara atau suatu institusi untuk menyelesaikan persoalan kekerasan seksual
dengan waktu cepat kepada oknum pelaku kekerasan seksual.
Namun di satu sisi dengan berkembangnya kemajuan internet, produk teknologi,
dan berbagai aplikasi dan media sosial, kekerasan seksual dalam bentuk sexting dapat
menjadi senjata bagi pihak tertentu untuk membunuh karakter seseorang. Hal ini dapat
tergambarkan pada kasus membuat tampilan palsu atau hoax pada suatu rekayasa pesan
yang dapat dibuat dengan bantuan aplikasi tertentu, misalnya Photoshop atau fake
WhatsApp. Rekayasa pesan sexting ini kemudian disebarluaskan ke media, dan kemudian
secara tidak langsung dapat membunuh karakter individu.
Secara sosiologis, berkembangnya masyarakat digital melahirkan anak peradaban
yang bernama “post truth”. Tidak bisa dipungkiri bahwa era masyarakat digital membuat
informasi menjadi jauh lebih riuh. Setiap detik ada foto atau status baru yang di-update,
dan beredar berbagai berita. Satu menit kita sign out dari dunia internet, dan sewaktu kita
sign in di dunia internet langsung dipenuhi dengan berbagai informasi. Kondisi inilah
yang kemudian dimanfaatkan oleh kebohongan-kebohongan buatan (hoax) yang
menggiring publik untuk berasumsi bahwa kebohongan tadi adalah kebenaran.
Untuk itulah, dalam menanggapi persoalan kekerasan seksual berbentuk sexting
yang kemudian viral di media sosial perlu kecermatan dan kehati-hatian masyarakat.
Agar respon tadi tidak terjebak dalam agenda setting untuk membunuh karakter
seseorang. Kecerdasan masyarakat dalam membaca dan memahami berbagai informasi di
media sangat penting. Sehingga kita sebagai penikmat arus informasi di era masyarakat
digital, dapat menikmati informasi yang sehat dan pikiran yang jernih.
Komitmen Negara Atas Persoalan Kekerasan Seksual. Kekerasan seksual yang
terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat harus diperangi. Sebab ini menyangkut
persoalan menumbuhkan kehidupan yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, dan
tanpa penindasan. Persoalan kekerasan seksual bukan hanya persoalan tubuh perempuan
dan laki-lakian, namun berkaitan dengan relasi kekuasaan, relasi kepentingan, dan relasi
kapitalisme. Dengan terbitnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan
dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi, menjadi
senjata untuk memerangi kekerasan seksual yang terjadi, khususnya dalam kehidupan
kampus. Dan tentunya kehidupan sosial masyarakat juga harus dijamin oleh Negara
untuk bebas dari kekerasan seksual, baik dalam kehidupan masyarakat, dan kehidupan
pekerjaan.

4
Pada konteks kekerasan seksual dalam kehidupan kampus, pelaku-pelaku
kekerasan seksual bisa berbagai aktor, dari pimpinan, dosen, pegawai, hingga mahasiswa.
Sebab bicara mengenai kekerasan seksual, tidak lepas dari mengendalikan seksualitas dan
kompleksitas interaksi individu dengan teknologi-internet, aplikasi dan media sosial
dalam kehidupannya sebagaimana yang sudah dijelaskan penulis. Kekerasan seksual
dalam kehidupan kampus dimulai dari sexting, dan dapat saja berujung pada tindakan
fisik. Untuk itu negara tidak hanya semata-mata melahirkan produk kebijakan
(Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021), tetapi juga mensosialisasikan dan menerapkan
produk kebijakan tersebut dengan serius. Sosialisasi, pengawasan, dan koordinasi antara
pemerintah dengan setiap elemen perguruan tinggi menjadi kunci berhasil atau tidaknya
produk kebijakan ini. Jangan sampai, Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 hanya gagah
dalam panggung wacana, namun lesu dalam realitas. Sehingga kekerasan seksual tumbuh
subur dalam jelaga produsen ilmu pengetahuan dan moralitas. Oleh karena itu pemerintah
harus memiliki komitmen atas pelaksanaan kebijakan ini agar tidak terjadi kekerasan
seksual yang terus menerus. Dan hal ini tidak hanya untuk kehidupan kampus saja, tetapi
juga dalam institusi pendidikan dasar dan menengah. Sebab persoalan kekerasan seksual
juga sering terjadi dalam institusi pendidikan dasar dan menengah.
Di satu sisi, peran orang tua juga sangat penting dalam mendidik anak di era
digital saat ini dengan segala kompleksitasnya. Agar kelak kehidupan anak-anak di masa
depan dapat hidup dalam kehidupan internet, teknologi, aplikasi dan media sosial yang
sehat dan tidak melakukan atau menjadi korban kekerasan seksual yang terbalut oleh
kemajuan peradaban.Salah satu dari berbagai bidang kehidupan yang dijalani masyarakat
dengan menggunakan akses internet, produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media
sosial, adalah bidang kehidupan seksualitas. Seksualitas tentu bukan lagi menjadi sesuatu
yang tabu saat ini. Hal ini karena mereka dapat dengan mudah mengaksesnya di aplikasi
dan media sosial, baik menggunakan perangkat komputer atau laptop, atau dengan
smartphone yang mereka miliki. Tentu dengan kemudahan dalam mengakses aplikasi dan
media sosial inilah, konsekuensi sosial atas seksualitas dalam kehidupan masyarakat
dapat bisa menjadi sesuatu yang berdampak positif, namun bisa juga berdampak negatif.
Terlepas dari dampak positif, dampak negatif dari kehidupan seksualitas masyarakat dan
kemajuan dunia produk teknologi, dan berbagai aplikasi dan media sosial justru
mengonstruksi kecanduan atas sesuatu yang berkaitan dengan pornografi. Kecanduan
kemudian menjadi suatu pornoaksi yang mengarah kepada sesuatu kekerasan seksual.
Misalnya saja kasus yang terjadi tahun 2014 lalu, seorang pemuda yang berusia 19 tahun
di Kampung Peundeuy, Desa Mandalagiri, Kecamatan Leuwisari, Kabupaten
Tasikmalaya memperkosa seorang nenek berusia 59 tahun yang merupakan tetangganya
sendiri. Pemuda tersebut memperkosa nenek tersebut karena terpengaruh dengan video
porno yang ia tonton setiap hari di aplikasi dan media sosial. Tentunya, masih banyak
kasus-kasus yang terjadi lantas berujung kekerasan seksual.

5
B. BUKU PEMBANDING
Terdapat defenisi lengkap kekerasan seksual yaitu setiap perbuatan merendahkan,
menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual
seseorang, dan/fungsi reproduksi, secara paksa,bertentangan dengan kehendak seseorang,
yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan
bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan
secara fisik,psikis,seksual,kerugian, secara ekonomi,sosial,budaya,dan/politik.
Tindakan yang merupakan pelecehan seksual yaitu : melirik dengan terus
menerus, komunikasi seksual yang cabul di media sosial, , undangan dan panggilan
telepon secara terus-menerus, mengirim email dan pesan teks yang mengandung eksplisit
sosial, dan banyak lainnya. Kekerasan seksual sebagai contoh dari penyerangan seksual
dan ancaman sosial. Kekerasan seksual dapat dialami oleh semua orang tanpa terkecuali.
Kekerasan seksual menimbulkan kerugian bersifat fisik,psikologis,dan sosial. Berbagai
bentuk kekerasan seksual dapat terjadi kepada perempuan dari segala usia, kalangan,
tingkat pendidikan, latar belakang, di desa maupun di kota. Hampir di semua tingkatan
masyarakat, perempuan sangat rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan seksual. Di
ruang publik atau di ruang privat, dalam relasi personal seperti perkawinan atau pacaran;
apakah dilakukan oleh orang terdekat, pasangan, maupun oleh orang asing. Kita tentu
masih ingat pada saat angin reformasi berhembus di Indonesia, salah satu isu yang
mendapat sorotan tajam dari masyarakat inernasional adalah adanya kasus perkosaan
massal pada kerusuhan Mei 1998. Kasus itu pula yang menjadi embrio lahirnya Komisi
Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Perempuan
Indonesia, khususnya mayoritas Etnis Tionghoa pada saat itu (13 – 15 Mei 1998) telah
menjadi korban eksploitasi seksual. Tindakan perkosaan dilakukan secara sistematis dan
terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dari barat hingga timur, khususnya
Palembang, Solo, Surabaya, Lampung, Medan, dan Jakarta.Kekerasan seksual merupakan
bagian dari kejahatan seksual secara umum.
Meningkatnya tindak kekerasan seksual pada beberapa tahunterakhir ini
menyebabkan banyak pihak mengusulkan perlunya sebuah undang-undang yang
mengatur tentang penghapusan kekerasan seksual. Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berdasarkan hasil pemantauan selama 8 tahun
terakhir di seluruh wilayah Indonesia telah mengidentifikasi adanya 15 jenis atau bentuk
kekerasan seksual. Kalangan pegiat hak-hak asasi perempuan mulai merintis upaya
penyusunan RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sejak tahun
2014. RUU PKS menjadi salah satu RUU inisiatif dari DPR yang masuk ke dalam
Prioritas Prolegnas Tahun 2017. Namun hingga berakhirnya masa bakti DPR RI Periode
2014-2019, RUU PKS belum juga selesai dibahas.

6
Hal ini tentu saja ironis, karena keberadaan sebuah undang-undang yang
mengatur tentang penghapusan kekerasan seksual diharapkan dapat menjadi salah satu
upaya konkrit negara dalam memenuhi kewajibannya untuk menyelenggarakan
pemenuhan dan perlindungan hak asasi warga
negara atas rasa aman dari kekerasan seksual, terutama bagi perempuan dan anak.
Undang-undang ini juga merupakan wujud pertanggungjawaban negara untuk mencegah
terjadinya kekerasan seksual dan menciptakan lingkungan bebas dari kekerasan seksual.
Upaya penghapusan kekerasan seksual meliputi setiap bentuk pencegahan dan
penanganan terhadap tindak kekerasan seksual. Oleh karena itu, sasaran yang akan
diwujudkan dalam penghapusan kekerasan seksual adalah, pertama, mencegah segala
bentuk kekerasan seksual; kedua, menangani, melindungi, dan memulihkan korban;
ketiga, menindak pelaku; dan keempat, menjamin terlaksananya kewajiban negara, peran
keluarga, partisipasi masyarakat, dan tanggung jawab korporasi dalam mewujudkan
lingkungan bebas kekerasan seksual.

7
BAB III

PEMBAHASAN

A. PEMBAHASAN ISI BUKU


1. Buku Utama
Buku ini merupakan buku kedua dari Bidang Kesejahteraan Sosial, Pusat Penelitian,
Badan Keahlian DPR RI yang mengupas mengenai isu kekerasan seksual. Hal ini
bukannya tanpa alasan. Apabila dalam buku yang pertama kekerasan seksual dibahas
dari perspektif sosiologis dan feminisme, maka buku kedua ini fokus pada dinamika
kekerasan seksual yang mengalami perubahan bentuk sesuai dengan perkembangan
teknologi informasi pada era digital ini. Lima tulisan dalam buku ini, meskipun ditulis
sesuai pendekatan dan perspektif para penulisnya yang berasal dari kepakaran yang
berbedabeda, namun kelimanya memiliki benang merah yang sama, yaitu kekerasan
seksual yang terjadi pada era digital. Tulisan pertama dari Sali Susiana menyoroti
tentang “Kekerasan Seksual di Dunia Maya pada Era Digital”, yang ditulis dari
perspektif feminisme. Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya kekerasan
seksual. Dengan mengetahui faktor penyebabnya, diharapkan kekerasan seksual
dapat dicegah dan diminimalisasi. Inilah yang menjadi fokus Achmad Muchaddam
Fahham yang dituangkan dalam tulisan kedua dalam buku ini yang berjudul “Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi Lahirnya Kekerasan Seksual terhadap Perempuan”.
Faktor penyebab kekerasan seksual juga dapat dilihat dari perspektif psikologis, salah
satunya sikap permisif. Hal ini dapat dilihat dari tulisan Lukman Nul Hakim berjudul
“Pembentukan Sikap Permisif terhadap Pelecehan Seksual pada Generasi Z”.
2. Buku Pembanding
Kekerasan seksual adalah segala kegiatan yang terdiri dari aktivitas seksual yang
dilakukan secara paksa oleh orang dewasa pada anak atau oleh anak kepada anak
lainnya. Kekerasasan seksual meliputi penggunaaan atau pelibatan anak secara
komersial dalam kegiatan seksual, bujukan ajakan atau paksaan terhadap anak untuk
terlibat dalam kegiatan seksual, pelibatan anak dalam media audio visual dan
pelacuraran anakPelecehan seksual dapat terjadi dimana saja dan kapan saja serta
dapat menimpa siapa saja (UNESCO, 2012). Anak - anak merupakan salah satu
kelompok rentan menjadi korban kekerasan seksual (Wilkins ,2014). Kekerasan
seksual tidak hanya dalam bentuk kekerasan seksual fisik, namun dapat berupa
pelecehan yang berkonteks seksual melalui media sosial dan internet (Komisi
Perlindungan Anak, 2016).

8
B. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KEDUA BUKU
 Kelebihan kedua buku
1. Buku Utama
~ Buku Utama menjelaskan tentang kekerasan seksual pada era digital dengan
sangat jelas.
~Dari segi penulisan terlihat sangat rapid an mudah dibaca serta dipahami setiap
penjelasannya.
2. Buku Pembanding
~Buku Pembanding memiliki cover yang menarik
~Menjelaskan dengan baik dan sangat rinci serta singkat sehingga menarik dibaca
dan di mengerti.
 Kekurangan kedua buku
1. Buku Utama
~Buku Utama di coveri dengan latar putih hitam sehingga terlihat kurang menarik
~Terdapat beberapa sub bab yang tidak jelas penjelasannya sehingga harus
ditelaah lebih lagi.
2. Buku Pembanding
~ Tidak ada karena semuanya jelas dan mudah dipahami.

9
BAB IV

PENUTUP

I. Kesimpulan
Dari pembahasan buku ini dapat disimpulkan bahwa bagaimana pentingnya
kesadaran tentang kekerasan sesksual pada era digital dalam kehidupan mahasiswa
terlebih kepada seluruh masyarakat Indonesia. Jangan berhenti sampai di sini. Para
mahasiswa harus terus melanjutkan mengembangkan ketrampilan dalam mempengaruhi
pemerintah dalam membuat kebijakan publik. Ketrampilan ini penting sekali karena
kemungkinan besar para mahasiswa akan menggunakannya setelah dewasa. Yang perlu
diingat adalah bahwa setiap kebijakan akan memerlukan revisi, dan setiap waktu akan
bermunculanlah masalah-masalah baru yang ada dalam masyarakat yang tentunya akan
memerlukan kebijakan baru. Membantu membuat kebijakan publik dan ikut mengambil
langkah-langkah yang diperlukan merupakan tanggung jawab warga negara seumur
hidup dalam pemerintahan yang berdaulat.

II. Saran

Didalam kelebihan dari buku tersebut agar lebih dipertahankan dan diperkuat lagi,
dan mengenai kekurangan buku agar lebih diteliti lagi untuk mencapai hasil yang lebih
maksimal.

10
DAFTAR PUSTAKA

Achmad Muchaddam Fahham,dkk.2019. Kekerasan Seksual pada Era Digital.Medan:


Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI

Dr.Lidwina Inge Nurtjahyo,SH.,M.Si,dkk -.Buku Saku Standar Operasional Penanganan


Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Kampus Universitas Indonesia Salemba dan Depok: UI

11
LAMPIRAN

A. BUKU UTAMA

B. BUKU PEMBANDING

12

Anda mungkin juga menyukai