Anda di halaman 1dari 15

Makalah tentang

Kekerasan seksual
Toleransi
membuli

DI SUSUN OLEH
YAKUB
NIM : 22114041555
DOSEN PENGAMPUH
RITA ZAHARA S.PD,M.PD

2023/2024
KATA PENGANTAR
lhamdulillah, puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang terus memberikan saya
nafas kehidupan hingga selesainya penulisan makalah pancasila semoga dengan ini kita
dapat menambah wawasan lebih luas lagi.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
DAFTAR ISI.............................................................................................................................................3
BAB I......................................................................................................................................................4
BULLYING..............................................................................................................................................4
BAB II.....................................................................................................................................................8
SEKSUAL................................................................................................................................................8
BAB III..................................................................................................................................................13
TOLERANSI..........................................................................................................................................13
BAB I

BULLYING
Bullying sering dikenal dengan istilah pemalakan, pengucilan, serta intimidasi.
Bullying merupakan perilaku dengan karakteristik melakukan tindakan yang merugikan
orang lain secara sadar dan dilakukan secara berulang-ulang dengan penyalahgunaan
kekuasaan secara sistematis. Perilaku ini meliputi tindakan secara fisik seperti
menendang dan menggigit, secara verbal seperti menyebarkan isu dan melalui
perangkat elektronik atau cyberbullying. Semua tindakan bullying, baik fisik maupun
verbal, akan menimbulkan dampak fisik maupun psikologis bagi korbannya.
Dampak bullying pada korban diantaranya kesehatan fisiknya menurun, dan sulit
tidur (Rigby dan Thomas dalam Sudibyo, 2012). Seorang korban juga cenderung
memiliki psychological well-being yang rendah (Rigby dalam Sudibyo, 2012), seperti
perasaan tidak bahagia secara umum, self-esteem rendah (Rigby dan Thomas dalam
Sudibyo, 2013), perasaan marah, sedih, tertekan dan terancam ketika berada pada
situasi tertentu (Rigby dan Thomas dalam Sudibyo, 2012). Secara psikologis, seseorang
korban akan mengalami psychological distress; misalnya adalah tingkat kecemasan
yang tinggi, depresi dan pikiran-pikiran untuk bunuh diri (Rigby dalam Sudibyo, 2012).
Secara akademis seorang korban akan mengalami poor results; prestasi akademis
menurun, kurangnya konsentrasi korban (Sullivan, Cleary dan Sullivan dalam Sudibyo,
2012). Oleh karena dampak bullying yang banyak dan
dua kali putaran yang disebabkan adanya kesenjangan antar capres pada masa itu.
Kasus yang terjadi dalam pilpres 2009 diantaranya money politik, kecurangan dalam
proses pemungutan suara, pemilih yang memilih lebih dari satu kali, sampai warga yang
tidak punya hak pilih memaksa untuk memilih. Beberapa kasus yang dilaporkan dari
berbagai daerah ditangani oleh Bawaslu, kasus yang paling banyak yaitu di Provinsi
Jawa Tengah (http://www.indosiar.com). Pilpres pada tahun 2009 juga mengalami
tindakan Bullying yang dirasakan oleh para calon Presiden, baik berupa kata-kata yang
tidak pantas sampai mengolok-olok. Hasil penelitian tentang prososial, menemukan
bahwa hubungan dekat dengan korban akan meningkatkan simpati dari bystander
(orang lain yang melihat pada saat bullying terjadi) dan akan meningkat bila korban
tersebut mengalami kesamaan pengalaman kemalangan. Bystander adalah peran
orang-orang yang berada pada situasi bullying dan menyaksikan situasi. Kesimpulan
dari penelitian tersebut adalah kedekatan dengan korban dan kesamaan kemalangan
meningkatkan tindakan prososial terhadap korban (Small dan Simonsohn dalam
Sudibyo, 2012). Penelitian lainnya menunjukkan bahwa partisipan yang memiliki sikap
positif terhadap peer yang melakukan secondary victimization (merendahkan korban,
menyalahkan korban, menghindari korban) akan melakukan secondary victimization
lebih banyak terhadap korban bullying yang termasuk outgroup daripada korban yang
berasal dari ingroup (Correia et. al. dalam Sudibyo, 2012). Berdasarkan beberapa hasil
penelitian di atas tersebut, dapat diasumsikan bahwa seseorang yang melihat kejadian
bullying (bystander) akan menentukan sikap 4 terhadap kejadian itu, selanjutnya akan
memilih peran yang sesuai menurut sikapnya membantu korban atau terlibat
melakukan bullying.

Karena itu penelitian mengenai bullying biasanya memfokuskan pada korban atau
pelaku bullying. Bisa pula memfokuskan pada bystander, apa saja yang menyebabkan
bystander tergerak untuk menolong pada situasi bullying. Fokus lainnya bisa pula ingin
mengetahui pengaruh kedekatan korban dan sikap terhadap bullying kepada perilaku
prososial bystander saat melihat teman ditindas. Dengan mengetahui hal-hal yang
mempengaruhi tindakan menolong bystander maka diharapkan fenomena bullying bisa
ditangani. Berdasarkan paparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang bullying mengenai calon Presiden pada Pemilihan Umum Presiden tahun 2014
khususnya bullying yang dilakukan oleh pengguna media internet. Tema tersebut
dipilih karena relevan dengan posisi peneliti sebagai mahasiswa PPKn dan calon guru
PPKn, karena hal tersebut terkait dengan PPKn.
Hakekat mata pelajaran PPKn secara sederhana adalah untuk membentuk sikap
dan karakter warga negara yang baik. Dalam mengembangkan dan melaksanakan
PPKn, harus berpikir secara integratif, yaitu kesatuan yang utuh dari hubungan antara
hubungan pengetahuan intraseptif (agama, nilai-nilai) dengan pengetahuan
ekstraseptif (ilmu), kebudayaan Indonesia, tujuan pendidikan nasional, Pancasila, UUD
1945, filsafat pendidikan, psikologi pendidikan, pengembangan kurikulum disiplin ilmu-
ilmu sosial dan humaniora, kemudian dibuat program pendidikannya yang terdiri atas
unsur tujuan pendidikan, bahan pendidikan, metode pendidikan, evaluasi. PPKn
menitikberatkan pada kemampuan dan keterampilan berpikir aktif 5 warga negara,
terutama generasi muda, dalam menginternalisasikan nilai-nilai warga negara yang
baik (good citizen) dalam berbagai masalah kemasyarakatan (civic affairs). Dalam
kepustakaan asing PPKn atau PKn sering disebut civic education, yang salah satu
batasannya ialah “seluruh kegiatan sekolah, rumah, dan masyarakat yang dapat
menumbuhkan demokrasi” (Somantri, 2001:161). Hakekat PPKn di atas selanjutnya
dituangkan dalam visi PPKn “menghindari sistem pemerintahan otoriter yang
memasung hak-hak warga negara untuk menjalankan prinsip-prinsip demokrasi dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” (Depdiknas dalam Abazizza,
2014). Selanjutnya visi tersebut dijabarkan dalam misi PPKn: Membentuk warga negara
yang mampu melaksanakan hak-hak dan kewajiban untuk menjadi warga negara
Indonesia yang cerdas, terampil, serta berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila
dan Undang-Undang Dasar 1945” (Depdiknas dalam Abazizza, 2014). Hakekat, visi, dan
misi tersebut semakin menegaskan bahwa PPKn untuk membentuk warga negara yang
baik. Tujuan PPKn berusaha untuk membentuk manusia seutuhnya sebagai perwujudan
kepribadian Pancasila, yang mampu melaksanakan pembangunan masyarakat Pancasila
(Daryono dkk, 2011:29).
Fungsi mata pelajaran PPKn antara lain: (a) membantu generasi muda memperoleh
pemahaman cita-cita nasional atau tujuan negara, (b) dapat mengambil keputusan-
keputusan yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah pribadi, masyarakat
dan negara, (c) dapat mengapresiasikan cita-cita nasional dan dapat membuat
keputusan-keputusan yang cerdas, dan (d) wahana untuk membentuk warga negara
yang cerdas, terampil, dan berkarakter yang setia kepada 6 bangsa dan negara
Indonesia dengan merefleksikan dirinya dalam kebiasaan berpikir dan bertindak sesuai
dengan amanat Pancasila dan UUD NKRI 1945 (Mubarokah, dkk. 2014). Selanjutnya
tujuan PPKn tersebut dirinci kembali dalam tujuan mata pelajaran PPKn yaitu (a)
berpikir secara kritis, rasional, dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan, (b)
berpartisipasi secara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas
dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, (c) berkembang secara
positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan pada karakter-karakter
masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain, dan (d)
berinteraksi dengan bangsa lain dalam peraturan dunia secara langsung dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Kurikulum KTSP dalam Abazizza,
2014). Rumusan visi, misi, serta tujuan PPKn tersebut jika dilaksanakan secara
konsisten maka akan menghasilkan generasi muda yang unggul serta akan
mempertimbangkan untuk menghindari perilaku negatif dalam lingkungan sosialnya.
Untuk mengimplementasikan visi, misi, tujuan yang sudah dipaparkan di atas,
selanjutnya dirumuskan ruang lingkup mata pelajaran PPKn sebagai berikut:
a. Globalisasi meliputi: Globalisasi di lingkungannya, Politik luar negeri Indonesia di
era globalisasi, Dampak globalisasi, Hubungan internasional dan organisasi
internasional, dan Mengevaluasi globalisasi (Abazizza, 2014).Ruang lingkup PPKn di
atas menegaskan bahwa siswa diharapkan memiliki pemahaman ketatanegaraan
yang berlaku, termasuk berpartisipasi secara demokratis dan beradab dalam semua
kegiatan kenegaraan, termasuk dalam Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden.
b. Hak asasi manusia meliputi: Hak dan kewajiban anak, Hak dan kewajiban anggota
masyarakat, Instrumen nasional dan internasional HAM, Pemajuan, penghormatan
dan perlindungan HAM.
c. Kebutuhan warga negara meliputi: Hidup gotong royong, Harga diri sebagai warga
masyarakat, Kebebasan berorganisasi, Kemerdekaan mengeluarkan pendapat,
Menghargai keputusan bersama, Prestasi diri, Persamaan kedudukan warga negara.
d. Kekuasan dan Politik, meliputi: Pemerintahan desa dan kecamatan, Pemerintahan
daerah dan otonomi, Pemerintah pusat, Demokrasi dan sistem politik, Budaya
politik, Budaya demokrasi menuju masyarakat madani, Sistem pemerintahan, Pers
dalam masyarakat demokrasi.
e. Konstitusi Negara meliputi: Proklamasi kemerdekaan dan konstitusi yang pertama,
Konstitusi-konstitusi yang pernah digunakan di Indonesia, Hubungan dasar negara
dengan konstitusi.
f. Norma, hukum dan peraturan, meliputi: Tertib dalam kehidupan keluarga, Tata
tertib di sekolah, Norma yang berlaku di masyarakat, Peraturanperaturan daerah,
Norma-norma dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, Sistem hukum dan
peradilan nasional, Hukum dan peradilan internasional.
g. Pancasila meliputi: kedudukan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi negara,
Proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara, Pengamalan nilainilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari, Pancasila sebagai ideologi terbuka.

BAB II
SEKSUAL
A. Seksualitas menurut Depkes RI adalah suatu kekuatan dan dorongan hidup yang ada
diantara laki-laki dan perempuan, dimana kedua makhluk ini merupakan suatu sistem
yang memungkinkan terjadinya keturunan yang sambung-menyambung sehingga
eksistensi manusia tidak punah (Abineno, 1999). Isu seksualitas yang dewasa ini sering
menjadi perbincangan ditengah masyarakat adalah kekerasan seksual. Kekerasan seksual
adalah praktek seksual yang dinilai menyimpang karna dilakukan dengan cara-cara
kekerasan, bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai agama serta melanggar hukum yang
berlaku (Abdul dan Irfan, 2001). Salah satu bentuk kekerasan seksual menurut komnas
perempuan adalah pelecehan seksual. Pelecehan seksual secara umum merupakan segala
macam bentuk perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang
dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran (Guntoro
Utamadi & Paramitha Utamadi (2001).

B. Pelecehan seksual adalah salah satu bentuk utama dari kekerasan yang berkontribusi
terhadap tingginya prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan merupakan isu utama
dalam wacana kesehatan perempuan secara global (Ogunfowokan, dkk, 2012). Sarwono
(2012) menyatakan bahwa masalah seksualitas pada remaja timbul karena faktor internal
yaitu hormon dan faktor eksternal seperti 2 pengalaman kencan, pengalaman masturbasi
dan pengetahuan yang berasal dari informasi mengenai seksualitas seperti dari orangtua,
sekolah, diskusi dengan teman, pengaruh orang dewasa serta pengaruh buku-buku bacaan
dan tontonan porno. Munculnya peluang tindakan pelecehan seksual dikarenakan
sebagian masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, tidak memperoleh pengetahuan
yang cukup sehingga berpendapat bahwa ucapan, gerakan, atau tindakan yang
berkonotasi seksual bukan merupakan tindakan tercela, melainkan merupakan hal yang
lumrah sebagai cara untuk meningkatkan keakraban di antara sesama individu.
Rendahnya pengetahuan dan pemahaman pelecehan mengakibatkan banyaknya kasus
pelecehan seks dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan tidak perlu dirisaukan Sumarni
(dalam Magdalena, 2010). Selain pengetahuan, sikap korban juga berperan dalam
memberikan impuls-impuls yang dianggap menimbulkan sugesti pelaku untuk melakukan
pelecehan seksual. Sesuai dengan pendapat Suryoputro, dkk (2007) bahwa perilaku
seksual dipengaruhi oleh beberapa faktor internal dan ekstrernal, dimana sikap
merupakan salah satu faktor eksternal terjadinya perilaku seksual. Notoatmodjo (2010)
menyatakan bahwa sikap adalah bentuk respons tertutup seseorang terhadap stimulus
atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang
bersangkutan seperti: senang/tidak senang, setuju/tidak setuju, baik/tidak baik. Sikap
seksual menurut Bungin (2001) adalah respon seksual yang diberikan seseorang setelah
melihat, mendengar atau membaca informasi serta 3 pemberitaan, gambar-gambar yang
berbau porno dalam wujud orientasi atau kecenderungan dalam bertindak. Sikap yang
dimaksud dalam hal ini adalah sikap remaja terhadap pelecehan seksual dimana dengan
adanya pengetahuan remaja mampu menghadapi dan mengantisipasi adanya pelecehan
seksual. Adanya hubungan pengetahuan dan sikap yaitu bahwa pengetahuan merupakan
faktor kekuatan terjadinya perubahan sikap (Baron, 2003). Pengetahuan dan sikap akan
menjadi landasan terhadap pembentukan moral remaja sehingga dalam diri seseorang
idealnya ada keselarasan yang terjadi antara pengetahuan dan sikap, dimana sikap
terbentuk setelah terjadi proses tahu terlebih dahulu (Suryani dkk, 2006). Hal ini diperkuat
oleh hasil penelitian Juliani, dkk (2014) dalam judul hubungan pengetahuan dengan sikap
remaja tentang perilaku seksual pranikah pada siswi kelas X di SMAN 1 Manado bahwa 56
responden yang berpengetahuan baik terdapat responden yang bersikap positif
(kecendrungan menghindari perilaku seksual pranikah) berjumlah 54 orang (96,4%) dan
responden yang bersikap negatif (kecendrungan mendekati perilaku seksual pranikah)
berjumlah 2 orang (3,6%). Sedangkan dari 12 responden yang berpengetahuan kurang
terdapat responden yang bersikap positif (kecendrungan menghindari perilaku seksual
pranikah) berjumlah 3 orang (25,0%) dan responden yang bersikap negatif (kecendrungan
mendekati perilaku seksual pranikah) berjumlah 9 orang (75,0%). Berdasarkan data yang
dikutip dari jurnal Impact of a school-based sexual abuse prevention education program
on the knowledge and attitude of high school girl oleh Ogunfowokan, dkk (2012), saat ini
telah banyak kasus pelecehan di beberapa negara, dan diperkirakan lebih dari 50%
korbannya 4 adalah gadis-gadis muda berusia remaja. Tahun 2014, UNICEF melaporkan
bahwa 1 dari 10 anak perempuan mengalami pelecehan seksual. Data ini mungkin belum
bisa diyakini sepenuhnya karna masih banyak pelecehan seksual tidak dilaporkan,
pelecehan seksual membuat orang yang dilecehkan tidak nyaman tanpa menimpa sakit
fisik yang berat. Oleh karna itu perilaku pelecehan seksual tidak terdata dengan baik, baik
itu dilembaga-lembaga hukum maupun lembaga sosial masyarakat (Syaiful Bahri dan
Fajriani, 2015). Data diatas menjadi alasan penulis dalam penelitian ini untuk mengukur
pengetahuan dengan sikap remaja putri dalam pelecehan seksual sebagai kelompok yang
sering menjadi korban, diperkuat oleh hasil penelitian bahwa wanita lebih mungkin
mengalami pelecehan seksual dari pada laki-laki dengan perbandingan 56% : 40% (Hill dan
Holly, 2011). Komnas Perempuan (2016) menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual
merupakan peringkat kedua dari kasus kekerasan terhadap perempuan di Indonesia dan
diantaranya termasuk kasus pelecehan seksual. Direktur Nurani Perempuan Women Crisis
Center (NP-WCC) Sumbar mengatakan sepanjang 2014 ada 88 kasus, 4 perempuan
mengalami kekerasan dan pelecehan seksual dalam seminggu, dan sampai November
tahun 2015 ada 74 kasus, sedangkan ribuan kasus lainnya didiamkan oleh korban
(MinangKabauNews, 2015). Data-data kejahatan seksual yang ditangani Polres Padang
Pariaman, kasus pencabulan yang dilakukan orang terdekat terhadap anak-anak di wilayah
hukum Polres Padang Pariaman terus meningkat setiap tahun. Sepanjang tahun 2014
sampai April 2015 kasus cabul terjadi sebanyak 5 35 kasus. Dalam 2 bulan dari April
sampai May 2015 dua anak menjadi korban pencabulan dan kekerasan seksual dari orang
terdekatnya (Padek.Com, 2015). Dari penjelasan diatas sesuai dengan pernyataan
Greenbeerg yang ditulis dalam tesis Prapto (2008) anak remaja mendapatkan informasi
mengenai seks 21% diperoleh dari rumah, 15% dari sekolah, 28% dari media seperti
internet, majalah dan film dan 40% dari teman sebaya. Bagi remaja SMA, lingkungan yang
setiap hari dimasukinya selain lingkungan rumah adalah sekolahnya dan anak remaja yang
sudah duduk di bangku SMA umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di
sekolahnya. Beberapa kasus pelecehan seksual terkait dengan remaja SMA telah peneliti
temukan baik itu yang telah masuk lembaga hukum maupun lembaga sosial masyarakat,
walaupun perilaku pelecehan seksual tidak terdata dengan baik karna tidak dilaporkan
oleh korban seperti yang telah peneliti bahas sebelumnya. Kasus-kasus tersebut
diantaranya yaitu, kasus mantan siswi kelas 3 SMA negeri di kabupaten Padang Pariaman
yang tidak disebutkan alamat jelasnya mengundurkan diri dari sekolah sebelum mengikuti
UN karna malu video mesumnya dengan sang pacar disebar ke akun facebook nya oleh
pacarnya sendiri sehingga masyarakat sekitar dan teman-temannya sering membicarakan
dirinya dan remaja putri ini pun melaporkan pacarnya ke pihak yang berwajib
(PosmetroPadang, 2016). Kasus kedua yaitu kasus seorang siswi MAN Padusunan
Pariaman kelas II yang tertangkap basah sedang melakukan hubungan intim dengan
seorang kepala KUA Kayutanam di dalam mobil saat terjadinya razia 6 kendaraan
bermotor oleh Polresta Padang (JPPN.com, 2012). Kasus berikutnya terjadi pada tahun
2011 beredarnya video yang memperlihatkan sepasang remaja putri dan putra sedang
melakukan hubungan suami istri dengan durasi kurang lebih 8 menit 47 detik. Salah satu
pemeran dalam video tersebut adalah siswa yang terdaftar di salah satu SMK di
Kabupaten Padang Pariaman berinisial R (TribunNews.com, 2011). Selanjutnya yaitu kasus
yang peneliti peroleh dari hasil wawancara warga sekolah SMA Negeri 1 Batang Anai yaitu
beberapa siswi, mengatakan bahwa setiap tahun selalu ada 1 atau 2 orang siswi yang tidak
dapat melanjutkan pendidikannya disebabkan perilaku yang dia lakukan dan
menyebabkan tidak datang lagi ke sekolah karna hamil (wawancara dengan siswi SMA
Negeri 1 Batang Anai). SMA Negeri 1 Batang Anai adalah SMA negeri yang cukup terkenal
di Kabupaten Padang Pariaman karna prestasinya. Berada di pinggir jalan raya Padang-
Bukittinggi dan merupakan pintu gerbang untuk memasuki wilayah Kabupaten Padang
Pariaman dari Kota Padang sebagai ibu kota propinsi Sumatra Barat, memunculkan
dampak positif untuk SMA Negeri 1 Batang Anai misalnya saja warga sekolah khususnya
siswa-siswi sangat mudah dalam mengakses tekhnologi dan informasi. Namun, selain
dampak positif juga ditemukan dampak negatif seperti adanya ditemukan beberapa
warung remangremang di sekitar jalan di lingkungan SMA Negeri 1 Batang Anai. Hasil
wawancara yang peneliti lakukan pada bulan april (2016) dengan beberapa warga
setempat, warung tersebut sudah ada sejak beberapa tahun yang lalu namun semakin
mengkhawatirkan semenjak setahun ini karna 7 terjadi peningkatan jumlah warung dan
jumlah pengunjung. Beberapa dari warga yang peneliti temui juga mengatakan bahwa
pernah melihat anak usia remaja disekitar warung remang-remang saat malam hari atau
saat warung tersebut beroperasi. Warung tersebut pernah menjadi sasaran demonstrasi
masyarakat sekitar pada bulan Desember tahun 2015, tapi belum ada tanggapan dari
kepolisian setempat. Padahal warung tersebut sangat meresahkan warga, salah satunya
karna di sekitar lingkungan tersebut banyak anak-anak dan remaja (wawancara dengan
warga Batang Anai, 2016). Selain karena berada di Kabupaten Padang Pariaman yang
merupakan salah satu daerah di Sumatra Barat yang banyak kejadian pelecehan seksual
yaitu terus meningkat setiap tahun seperti yang telah peneliti jelaskan diatas (Padek.com,
2015), dalam penelitian ini peneliti tidak membatasi pelaku pelecehan seksual, termasuk
didalamnya remaja putra siswa SMA Negeri 1 Batang Anai. Salah satu faktor yang
mempengaruhi seksualitas adalah lingkungan sebagai dimensi sosial (BKKBN, 2006). Dari
dimensi sosial dilihat bagaimana seksualitas muncul dalam hubungan antar manusia,
bagaimana pengaruh lingkungan dalam membentuk pandangan tentang seksualitas yang
akhirnya membentuk perilaku seks (BKKBN, 2006). Faktor lain yang mempengaruhi
perilaku seksual remaja adalah faktor pengalaman seksual, makin banyak pengalaman
melihat dan mendengar, semakin memperkuat stimulasi yang dapat mendorong
munculnya perilaku seksual (Imran, 1998). Alasan selanjutnya yang menjadi landasan
peneliti untuk melakukan penelitian di SMA Negeri 1 Batang Anai adalah faktor
pendidikan orang tua, 8 dimana orangtua berperan sebagai pemberi informasi dirumah
sebagaimana yang telah dijelaskan diatas sangat dipengaruhi oleh latar pendidikan orang
tua. Selanjutnya, Collier (1992) menyebutkan sosial ekonomi keluarga juga mempengaruhi
penyebab adanya pelecehan seksual. Data yang peneliti dapatkan bahwa sebagian besar
dari peserta didik berasal dari keluarga kurang mampu (72%) bahkan banyak (30% dari
72%) berasal dari keluarga sangat tidak mampu, 665 orang (77%) peserta didik berasal dari
keluarga petani, jualan, nelayan, buruh dan lain-lain. 199 orang (13%) berasal dari PNS,
ABRI, dan karyawan perusahaan swasta. Hanya 15% dari orangtua peserta didik yang
pernah belajar atau tamat, 25% tamat SLTA, 30% tamat SLTP dan 30% lainnya hanya tamat
SD dan bahkan lebih rendah (KTSP SMAN1 Batang Anai, 2015-2016). Hasil observasi
langsung dan wawancara dengan beberapa guru di SMA Negeri 1 Batang Anai,
menunjukkan bahwa banyak remaja putri yang bersikap negatif terhadap perilaku
pelecehan seksual. Beberapa guru yang peneliti wawancarai juga menunjukkan
kekhawatirannya terhadap beberapa remaja putri yang tinggal di lingkungan tersebut dan
sehari-hari dirumah hanya bersama nenek saja karna orang tuanya yang sudah meninggal
maupun merantau. Sehingga mereka tidak memperoleh pengetahuan seksualitas ataupun
pengawasan dari orangtua. (wawancara guru SMA 1 Batang Anai, April 2016). Upaya
dalam pencegahan terjadinya pelecehan seksual yang telah diberikan sekolah melalui
pengetahuan tentang seksualitas kepada siswa-siswi 9 tersebut yaitu pada pelajaran
biologi, pelajaran agama dan pihak puskesmas dalam unit program UKS (unit kesehatan
sekolah) dalam bidang kesehatan reproduksi, juga saat guru memberikan materi pelajaran
maupun saat ada pengarahan sewaktu-waktu (wawancara Kepsek SMAN 1 Batang Anai,
April 2016). Berdasarkan permasalahan yang digambarkan diatas, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai hubungan pengetahuan tentang seksualitas dengan sikap
remaja putri dalam pelecehan seksual di SMA Negeri 1 Batang Anai tahun 2016.

BAB III

TOLERANSI
Toleransi adalah Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya (Hasan, 2010: 9).
Dalam masyarakat berdasarkan pancasila terutama sila pertama, bertaqwa kepada tuhan
menurut agama dan kepercayaan masing-masing adalah mutlak. Semua agama
menghargai manusia maka dari itu semua umat beragama juga wajib saling menghargai.
Dengan demikian antar umat beragama yang berlainan akan terbina kerukunan hidup.
Pendidikan Agama termasuk Pendidikan Agama Islam di sekolah sesungguhnya memiliki
landasan filosofi-ideologis dan konstitusional yang sangat kuat. Pada pembukaan UUD
Negara RI Tahun 1945 dinyatakan “ Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan
dengan didorongkan oleh keinginan luhur Negara RI yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya dalam pasal 28E (1) dinukilkan
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan”. Tertera juga pada Pasal 28J (2) “Dalam menjalankan hak dan
kebebesannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undangundang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta 2
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama”. Semua yang tercantum dalam
Pembukaan dan Pasal 28E/J tersebut dikuatkan dalam Bab XI Agama Pasal 29 “(1) Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.” Terkait dengan pendidikan dan kebudayaan sangat
ditekankan komitmen konstitusionalnya dalam Bab XIII Pasal 31 a.l. butir“(3) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.(5) Pemerintah memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan
bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia” (UUD 1945 dan
Amandemennya:2005). Dalam menghadapi tuntutan kondisi zaman serta pembangunan
yang semakin pesat ini, pendidikan harus dapat secara tepat guna untuk dapat
menciptakan manusia-manusia yang berkualitas, dalam hal ini diharapkan yang tercipta
bukan hanya kualitas dari segi intelektual juga segi religiusnya. Pendidikan di sekolah
formal berlangsung secara formal, artinya baik kegiatan, tujuan pendidikan, materi, dan
bahan ajar, serta metode penyampaiannya telah diprogram secara jelas dan dituangkan
dalam seperangkat aturan atau pegangan yang disyahkan. Semua itu bertujuan agar
kegiatan pendidikan diselenggarakan di 3 sekolah dapat berjalan dengan lancar, tertib,
dan teratur serta dapat mencapai tujuan yang diharapkan. Ekstrakurikuler Rohis adalah
sekumpulan orang-orang atau kelompok orang atau wadah tertentu dan untuk mencapai
tujuan atau cita-cita yang sama dalam badan kerohanian, sehingga manusia yang
tergabung di dalamnya dapat mengembangkan diri berdasarkan konsep nilai-nilai
keislaman dan mendapatkan siraman kerohanian. Rohis umumnya memiliki kegiatan
yang terpisah antara anggota pria dan wanita hal ini dikarenakan perbedaan di antara
anggota. kebersamaan dapat juga terjalin antar anggota dengan rapat kegiatan serta
kegiatan-kegiatan di luar ruangan. (Hendri Firmansyah :2010). Dari uraian di atas, maka
perlu dilakukan penelitian tentang “Pengembangan Sikap Toleransi Antar Umat Beragama
di Kalangan Remaja (Study Kasus Kegiatan Rohis di SMA Negeri 3 Surakarta Tahun
Pelajaran 2012/2013)”.

Daftar pustaka

Anda mungkin juga menyukai