Anda di halaman 1dari 18

Makalah

Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan

Disusun untuk memenuhi tugas terstruktur


Mata Kuliah : Pancasila
Dosen : Prita Sari Dewi, P.hD

Disusun oleh:

1. Sania Saomi (A1D023036)


2. Indah Nur Azizah (A1D023070)
3. Ledy Yora Angela (A1D023080)
4. Romadhon (A1D023101)
5. Dimas Rosada Alfakih (A1D23109)
6. Ardhika Bhakti Putra (A1D023196)

KEMENTRIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN TEKNOLOGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Tuhan sekalian alam atas segala karunia dan
hidayahnya, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas Makalah yang berjudul
"Kekerasan Seksual dalam dunia Pendidikan”. Makalah ini disusun sebagai tugas pada
pertemuan pertama mata kuliah Pancasila. Penyusunan makalah ini tidaklah lepas dari
bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sehingga makalah ini dapat terselesaikan
dengan baik. Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sakhidin , M.P. selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Jendral Soedirman
2. Ibu Prita Sari Dewi, Ph.D selaku dosen mata kuliah Pancasila

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, penulis memohon kritik dan saran dari
pembaca guna menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi semua orang.

i
DAFTAR ISI

HALAMAN
KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................................................... ii
I. PENDAHULUAN ........................................................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah...................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................................................. 3
II. PEMBAHASAN.......................................................................................................................... 4
A. Definisi Kekerasan Seksual ................................................................................................. 4
B. Jenis- jenis Kekerasan Seksual ............................................................................................ 5
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi ...................................................................................... 10
D. Langkah-langkah pencegahan Kekerasan Seksual ........................................................... 12
III. PENUTUP ............................................................................................................................... 14
A. Kesimpulan ........................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................... 15

ii
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kasus pelecehan seksual telah banyak terjadi tanpa mengenal tempat dan waktu, bahkan
yang seharusnya merupakan tempat yang aman namun menjadi tempat yang mengerikan, hal
yang dimaksud ialah tempat para mahasiswa menimba ilmu yaitu lingkungan universitas.
Tindak pelecehan seksual tidak pandang bulu, baik siapa yang berisiko menjadi korban maupun
siapa yang menjadi pelaku. Tindakan pelecehan dan kekerasan seksual yang dikutuk semua
pihak ini tidak hanya terjadi di zona-zona rawan, tetapi juga kerap terjadi di lembaga
pendidikan, yang seharusnya sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan keadaban (Adawiyah,et
all., 2022).

Di institusi pendidikan tinggi, kasus pelecehan seksual bahkan ada indikasi belakangan
ini makin marak. Dalam rangka menangani makin maraknya kasus pelecehan seksual di
lembaga pendidikan tinggi, belum lama ini telah dikeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan,
Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021, tentang Pencegahan dan
Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Aturan yang diteken Menteri
Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021 itu berlaku mulai tanggal 3 September 2021 (Wibowo,
2018).

Namun, walaupun sudah ada peraturan mengenai pencegahan pelecehan seksual akan
tetapi belum ada efek jera bagi pelaku karena melakukan tindakan asusila tersebut dan pihak
pelaku cenderung "dilindungi" karena takut akan merusak nama baik pribadi maupun
instansinya sehingga masih banyak pelecehan seksual yang terjadi di lingkungan kampus yang
korbannya rata-rata merupakan mahasiswi sedangkan pelaku adalah orang yang terpandang
yabg seharusnya menjadi contoh yang baik namun menjadi orang yang ditakuti oleh korban
(Khafsoh, 2021).

Melalui hasil survey sebelumnya, ditemukan bahwa perempuan yang memiliki


pendidikan yang lebih tinggi cenderung menerima pelecehan seksual dibandingkan perempuan
yang tidak memiliki pendidikan yang terlalu tinggi.Banyak perempuan melaporkan terjadinya

1
pelecehan dalam dunia pendidikan tanpa memandang status, baik itu sebagai murid, staf
ataupun bagian dari tenaga pengajar (Effendi, 2021)

Banyak mahasiswa/i yang bersekolah di perguruan tinggi mengalami pelecehan seksual


selama masa belajarnya di institusi tersebut. Hal ini kemudian dapat mengakibatkan
menurunnya kualitas dari kesehatan mental, fisik dan hasil akademik(Reitanza,
2018).Beberapa bukti menunjukkan bahwa banyak mahasiswi yang belum menyelesaikan
studinya mengelami pelecehanseksual selama masa bersekolah.Para korban pelecehan seksual
ini dapat menerima pelecehan dari berbagai pelaku, seperti teman, staff atau bahkan pengajar
dari pihak sekolah (Febrianti, 2022).

Efek negatif sebagai akibat dari korban pelecehan seksual adalah depresi, post-
traumatic stress disorder (PTSD), rasa malu, penggunaan alcohol hingga menggangu proses
belajar selama bersekolah.Tentunya sekolah-sekolah yang menjadi tempat pelecehan seksual
harus segera melakukan investigasi mengenai insiden pelecehan tersebut serta mengatasi
permasalahan yang terjadi.

Ketika perguruan tinggi gagal dalam menangani permasalahan pelecehan seksual,


maka trauma yang dialami oleh korban pelecehan akan semakin memburuk dan parah.Dalam
berbagai penelitian yang dilakukan mengenai pelecehan seksual, terdapat adanya perhatian
kecil yang diberikan kepada hubungan gender, rasa tau etnis dan orientasi seksual dengan
pelecehan seksual.Melalui berbagai bukti dalam dunia pendidikan kampus, hal ini
mengindikasikan bahwa identitasyang dimiliki oleh mereka akan mempengaruhi risiko dan
hasil dari pelecehan seksual yang akan diterima (Dini, et all., 2022).

Oleh karena itu peneliti kemudian bertujuan untuk meneliti mengenai perbedaan
dari identitas yang dimiliki seperti ras, etnis, jenis kelamin dan orientasi seksual terhadap
risiko dari pelecehan seksual yang diterima oleh korban.

2
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana tingkat pemahaman anda tentang langkah langkah yang perlu di


ambil jika anda atau teman anda mengalami atau menyaksikan kekerasan
seksual di kampus?
2. Bagaimana anda mendefinisikan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan?
3. Menurut Anda, apakah korban kekerasan seksual merasa nyaman melaporkan
kasus tersebut kepada staf atau pihak berwenang di kampus?
4. Bagaimana pendapat Anda tentang peran media sosial dalam membantu
meningkatkan kesadaran tentang kekerasan seksual di dunia pendidikan?
5. Menurut anda,faktor apa yang mungkin mempengaruhi korban untuk tidak
melaporkan kasus kekerasan seksual yang mereka alami di kampus?
6. Apakah sekolah atau institusi pendidikan anda memiliki kebijakan yang jelas
dan efektif dalam menangani kasus kekerasan seksual?

3
II. PEMBAHASAN

A. Definisi Kekerasan Seksual

Pelecehan seksual merupakan bagian dari diskriminasi seksual. Berbagai negara telah
membuat peraturan agar tidak lagi terjadi seksisme dan diskriminasi gender dalam dunia
endidikan.Namun sayangnya masih banyak sekali laporan mengenai terjadi pelecehan
seksual dalam dunia pendidikan, khususnya di perguruan-perguruan tinggi (Khafsoh, 2021).

Pendidikan telah menghantui pikiran para pemikir dan filsuf dari waktu-waktu terdahulu
seperti Plato dan Socrates (Digdowiseiso, 2020). Walaupun telah muncul berbagai definisi
dan pengertian yang berbeda mengenai arti dari pendidikan, Matheson dan Wells
beranggapan bahwa kita tidak akan pernah berhasil memberikan definisi yang benar-benar
memuaskan mengenai pendidikan (Parma et al., 2018).Gregory berpendapat bahwa pendidikan
dapat diartikan berupa upaya penggunaan otak atau pikiran ketika mencoba memahami sosial,
fisik dan budaya (Effendi, 2022).

Sementara itu Peter menjelaskan bahwa penggunaan kata pendidikan merupakan


suatu implikasi ketika manusia mencoba mentransmisikan sesutu yang dianggap
penting atau bermanfaat dengan cara yang dapat diterima secara moral (Lobodally, 2014).
Salah satu kesulitan dalam mendefinisikan pengertian dari pendidikan adalah
berubahnya istilah pendidikan sesuai dengan berbagai hal yang berhubungan dengannya.
Beberapa ahli mengartikan bahwa istilah “sekolah” merupakan sinonim dengan istilah
pendidikan, sementara ahli-ahli lainnya berpendapat bahwa hubungan yang terjadi antara
belajar dan mengajar merupakan hal yang biasa dan dapat terjadi tanpa memerlukan kondisi
khusus, sehingga tidak memerlukan istilah pendidikan (Puspytasari, 2022).

Kemunculan argumen mengenai perbedaan istilah sekolah dan pendidikan kemudian


menimbulkan pertanyaan, apakah pendidikan merupakan suatu hasil produk, atau apakah
proses yang terjadi di dalam pendidikan merupakan bagian yang terpenting dalam pendidikan
itu sendiri. Pertanyaan-pertanyaan mengenai pendidikan ini kemudian menunjukkan bahwa
terdapat adanya sedikit konsensus mengenai arti yang paling tepat dalam pendidikan (Efferi,
2014). Tidak hanya istilah pendidikan dapat memiliki banyak sekali arti, namun pencarian
kriteria agar istilah pendidikan dapat relevan juga merupakan hal yang cukup sulit untuk
diperoleh (Qila, et all., 2021).

4
Suatu pendekatan yang berasal dari Wittgenstein dapat memberikan awal yang baik
untuk memahami pengertian dari pendidikan. Wittgenstein berpendapat bahwa sebagian besar
istilah memiliki arti tergantung dari asal konteks istilah tersebutdigunakan (Wahyudi &
Suyitno, 2018).Seringkali suatu istilah tidak memiliki pengertian yang sama dan pasti dalam
berbagai penggunaan, namun istilah memiliki sifat seperti alat di mana dapat berfungsi
tergantung dari tujuan penggunaannya (Rusyidi, et all., 2019).

Melalui pendekatan Wittgenstein, kita dapat menemukan banyak jawaban atas


pengertian pendidikan, tergantung dari konteks pertanyaan yang diberikan.Melalui pertanyaan
tersebut, maka kita memungkinkan untuk menerima berbagai jawaban dan definisi yang
berbeda mengenai pendidikan (Wahyuni, et all., 2022).

B. Jenis-jenis Kekerasan Seksual

Shopiani, et all (2019) menggolongkan kekerasan seksual sebagai berikut:


A) Verbal
Pengertian kekerasan verbal ialah kekerasan yang melibatkan emosional.
Kekerasan verbal misalnya ketika seseorang menggunakan ucapannya untuk
menyerang, mendominasi, mengejek, memanipulasi, dan menghina orang lain serta
mempengaruhi kesehatan mental orang tersebut.

Selain kekerasan berbentuk intimidasi, bisa dalam berbagai bentuk, termasuk


kata-kata, video, meme, atau gambar yang diposting di jejaring sosial .Kekerasan verbal
dapat mendahului kekerasan fisik. Namun, ini tidak selalu terjadi. Kekerasan verbal
dapat dilakukan tanpa kekerasan fisik. Efek kekerasan verbal sama berbahayanya
dengan kekerasan fisik.

Sedangkan kekerasan non-verbal adalah kekerasan pada kasus pelecehan di mana


komunikasi non-verbal digunakan sebagai sarana pelecehan. Di tempat kerja dan dalam
kehidupan sehari-hari, banyak orang mungkin mengalami berbagai jenis pelecehan.
Bahasa tubuh dan tindakan kita dapat menyebabkan pelecehan.

5
Contoh Bentuk kekerasan Verbal

Bentuk kekerasan verbal yaitu:

 Menyalahkan : Jenis ini melibatkan membuat korban percaya bahwa mereka


bertanggung jawab atas perilaku kasar atau bahwa mereka membawa pelecehan verbal
pada diri mereka sendiri.

 Merendahkan : Meskipun sering disamarkan sebagai humor, komentar sarkastik yang


dimaksudkan untuk meremehkan dan merendahkan orang lain dapat menjadi bentuk
pelecehan verbal.

 Kritik : Ini melibatkan komentar kasar dan terus-menerus yang dimaksudkan untuk
membuat orang tersebut merasa buruk tentang diri mereka sendiri dan tidak konstruktif
tetapi disengaja dan menyakitkan. Kritik bisa menyakitkan di depan umum atau pribadi,
terutama jika orang tersebut hanya bersikap jahat dan tidak berniat untuk menjadi
konstruktif.

 Gaslighting : Ini adalah jenis pelecehan emosional yang berbahaya, dan terkadang
terselubung, di mana pelaku membuat target mempertanyakan penilaian dan kenyataan
mereka.

 Penghinaan :dihina di depan umum oleh teman sebaya, teman, anggota keluarga, atau
pasangan kencan, ini bisa sangat menyakitkan. Penilaian : Jenis pelecehan verbal ini
melibatkan memandang rendah korban, tidak menerima mereka apa adanya, atau
menahan mereka pada harapan yang tidak realistis.

 Manipulasi : Menggunakan kata-kata untuk memanipulasi dan mengendalikan orang


lain juga merupakan jenis pelecehan verbal. Ini dapat mencakup pernyataan seperti,
“Jika kamu benar-benar mencintai saya, kamu tidak akan memberitahu siapapun
tentang hubungan kami,” atau menggunakan rasa bersalah untuk membuat kamu
melakukan hal-hal tertentu.

 Atribusi: Bahasa kasar, kasar, atau kasar yang merugikan diri subjek – harga diri, harga
diri, dan konsep diri. Terlibat dalam atribusi adalah bentuk pelecehan verbal. Itu bukan
perlakuan yang dapat diterima dari orang lain, bahkan jika mereka memanggil namaku
dengan suara netral.

 Menggoda: Orang yang melecehkan kamu secara verbal biasanya mengubah kamu
menjadi lelucon. Hal ini dapat dilakukan dengan tatap muka atau tatap muka. Tapi itu

6
bukan kesenangan yang tidak berbahaya jika kamu tidak menganggapnya lucu. Selain
itu, pelaku kekerasan verbal biasanya memilih lelucon yang menyerang area di mana
mereka merasa rentan atau rentang.

 Ancaman: Ini termasuk pernyataan yang dirancang untuk mengintimidasi,


mengendalikan, atau memanipulasi korban agar tunduk. Ancaman tidak boleh dianggap
enteng. Ketika orang mengancam korban, mereka mencoba mengendalikan dan
memanipulasi korban Ingat, tidak ada cara yang lebih baik untuk mengendalikan
seseorang selain menakut-nakuti mereka dengan cara tertentu.

 Menahan: Jenis pelecehan verbal ini melibatkan penolakan untuk memberikan kasih
sayang atau perhatian, seperti berbicara dengan calon korban, melihat , atau berada di
ruangan yang sama.

B) Non-Verbal

kekerasan non-verbal adalah kekerasan pada kasus pelecehan di mana


komunikasi non-verbal digunakan sebagai sarana pelecehan. Di tempat kerja dan
dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang mungkin mengalami berbagai jenis
pelecehan. Bahasa tubuh dan tindakan kita dapat menyebabkan pelecehan.

Bentuk kekerasan non-verbal yaitu :

 Posting foto tanpa persetujuan: Posting foto seseorang tanpa persetujuan

mereka adalah pelecehan verbal. Ini sama untuk pekerjaan dan cinta. Harap dicatat
bahwa gambar tidak harus bersifat pribadi. Memposting gambar tanpa persetujuan
sebelumnya tidak dianggap sebagai pelecehan verbal.

 Mengirim Foto yang Tidak Diminta: Di era media sosial, semua orang

terhubung dan memiliki akses, kemampuan, dan kebebasan untuk saling mengirim foto.
Namun, mengirim gambar yang tidak diminta tanpa pandang bulu adalah pelecehan
non-verbal.

 Kesenjangan atau Tatapan: Tatapan, tatapan, atau celah yang canggung adalah

pelecehan non-verbal.

7
 Hadiah yang Tidak Diinginkan: Menerima hadiah yang tidak diinginkan atau

menyinggung adalah pelecehan yang tidak diucapkan. Ini mungkin termasuk menerima
bantuan atau dukungan yang tidak diinginkan.

 Sentuhan Fisik yang Tidak Pantas: Semua bentuk sentuhan fisik yang tidak

pantas adalah bagian dari pelecehan non-verbal. Ini termasuk meletakkan tangan di
bahu, menggosok sesuatu saat berjalan, berdiri dekat dengan tidak nyaman, atau kontak
lain yang membuat orang tersebut tidak nyaman.

 Gerakan Wajah: Seringai kasar, bersiul, dan bersiul juga merupakan bentuk

pelecehan non-verbal.

 Gerakan Tangan yang Tidak Pantas: Gerakan tangan yang mempermalukan

orang lain adalah pelecehan non-verbal.

 Memposting pesan atau foto pribadi di forum publik: Memposting pesan atau

foto pribadi seseorang di forum publik adalah pelecehan verbal. Ini termasuk
memposting langsung di platform publik dan membagikan gambar dan pesan ini
melalui komunitas orang.

 Cyberstalking: Ini adalah bentuk baru pelecehan non-verbal yang


memungkinkan pengiriman pesan melalui platform online. Ini termasuk pelacakan
lokasi ponsel dan menggunakan data itu untuk mengintip seseorang di kehidupan nyata.

C) Daring atau melalui teknologi informasi dan komunikasi

Kekerasan berbasis gender online berdasar pada relasi kuasa yang timpang.
Tujuan pelaku biasanya untuk memperoleh keuntungan baik seksual maupun finansial
atau keduanya dengan menimbulkan perasaan tidak nyaman dan kerugian pada diri
korban. Karakter khas dari bentuk kekerasan ini adalah keterlibatan teknologi digital.

8
Setidaknya ada tiga bentuk kekerasan berbasis gender online di Indonesia yang
marak ditemukan:

1. Kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi

Dalam kasus ini pelaku melakukan kekerasan seksual (pencabulan, penyiksaan


seksual, perkosaan, eksploitasi tubuh seseorang) terhadap orang lain
melalui internet secara real time. Interaksi ini berbayar dan eksklusif.

Satu kasus terjadi di Aceh. Sekumpulan pelajar dijebak oleh jaringan pelaku
untuk mengirimkan gambar telanjang mereka melalui media sosial. Kemudian
dieksploitasi secara seksual lewat internet dan dipaksa melacur di dunia nyata. Di
Bojonegoro, Jawa Timur, seorang guru memotret para korban dalam keadaan telanjang,
lalu menjualnya di internet. Ia kemudian juga memaksa para korban untuk melakukan
kegiatan seks baik di internet maupun saat tatap muka.

2. Penyebaran konten seksual

Tindakan ini berupa penyebaran foto, video, dan tangkapan layar percakapan
antara pelaku dengan korban. Konten yang disebarkan mengandung unsur intim dan
pornografi korban. Contoh kasus ini adalah penyebaran foto telanjang 14 orang remaja
putri di Lampung Selatan. Mereka berkenalan dengan pelaku di media sosial dan
kemudian diancam dan dibujuk untuk berfoto telanjang. Ancaman dan tindakan
tersebut dilakukan dengan tujuan memperoleh keuntungan seksual dan finansial dari
korban.

3. Balas dendam dengan pornografi

Bentuk kekerasan ini melibatkan para pihak yang memiliki relasi intim. Pelaku
menyebarluaskan konten intimnya dengan korban dalam rangka mencemarkan nama
baik korban, membalas dendam, atau memperoleh keuntungan finansial. Salah satu
contoh kasusnya adalah penyebaran foto intim mantan pacar yang dilakukan
mahasiswa di Banyumas, Jawa Tengah.

9
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi

Menurut pandangan Febrianti (2022), kekerasan seksual dapat terjadi karena adanya
variabel penting, seperti kekuasaan, konstruksi sosial, dan target kekuasaan. Jika ketiga
variabel tersebut disatukan, maka dapat menimbulkan suatu intensi terjadinya kasus kekerasan
seksual. Apabila salah satu dari ketiganya ada yang tidak muncul, maka tindak kekerasan
seksual tidak akan terjadi. Oleh karena itu, terdapat beberapa penyebab terjadinya kasus
kekerasan seksual di kampus, yakni sebagai berikut:

1. Budaya patriarki yang mengakar kuat di Indonesia

Adanya budaya patriarki menciptakan stereotip tertentu terhadap perempuan yang


menyebabkan kekerasan seksual dapat terjadi. Dalam paradigma feminisme radikal, patriarki
dianggap sebagai bentuk penindasan laki-laki terhadap perempuan yang paling mendasar.
Perempuan dianggap sebagai properti milik laki-laki, yang harus dapat diatur sedemikian rupa,
baik dalam berperilaku maupun berpakaian (Soejoeti & Susanti, 2020). Ditambah lagi,
patriarki juga menempatkan perempuan tidak setara dalam struktur masyarakat. Pernyataan ini
didukung oleh Fushshilat dan Apsari (2020), bahwa sistem sosial patriarki menimbulkan
kerugian bagi perempuan karena dianggap menghalalkan pelecehan seksual. Dengan kata lain,
sudah menjadi tugas perempuan untuk dijadikan sebagai objek fantasi laki-laki.

2. Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban kekerasan seksual

Relasi kuasa antara korban dan pelaku kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi
menunjukkan bahwa pelaku memiliki kekuasaan yang lebih tinggi dibanding korban. Salah
satu kekerasan seksual di perguruan tinggi adalah kasus yang dialami Ritika, tentu bukan nama
sebenarnya, yang mendapat perbuatan tidak senonoh dosen pembimbingnya di
taksi online yang mereka tumpangi setelah membicarakan ujian susulan pada Desember
2019 (Ferdianto, 2021). Adanya relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban
kekerasan seksual membuat korban memiliki ketakutan untuk melapor.

3. Budaya victim-blaming yang banyak terjadi sebelumnya

Menurut Sophia Hage (DW, 2021), direktur kampanye di Lentera Sintas, ada stigma
sosial bahwa isu kekerasan seksual merupakan isu yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini
menjadi salah satu sinyal bahwa ketika korban berani melaporkan justru masyarakat

10
menyalahkan korban atas kejadian yang menimpanya (victim blaming). Anggapan tersebut
juga didukung oleh hasil survei yang dilakukan Statista pada tahun 2020 tentang faktor
penyebab terjadinya pelecehan seksual di Indonesia, yaitu perilaku genit yang dilakukan oleh
korban dan persepsi bahwa penggunaan baju yang cenderung terbuka oleh korban dapat
mendorong terjadinya perilaku pelecehan. Melalui data tersebut, terlihat bahwa masih adanya
budaya victim-blaming yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

4. Mahasiswa masih kurang memahami konsep kekerasan seksual.

Penelitian yang dilakukan oleh Fitri dkk. (2021) mengungkapkan bahwa sebagian besar
mahasiswa masih berada pada tahap awal dalam kesadaran dan pemikiran kritis akan isu
kekerasan seksual. Salah satu bentuk kekerasan seksual, seperti penggunaan istilah seksis yang
membuat tidak nyaman dan memberi komentar terhadap orang dengan istilah seksual yang
merendahkan, masih cenderung mudah diabaikan atau kurang dipahami oleh mahasiswa.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Rusyidi dkk. pada tahun 2019 (dalam Alpian
2022), terdapat lima bentuk perilaku pelecehan seksual yang masih kurang dipahami oleh
mahasiswa, yakni bergurau dengan menggunakan istilah-istilah seksis yang membuat tidak
nyaman, memaksa seseorang menonton tayangan pornografi, memberi komentar terhadap
seseorang dengan istilah seksual yang merendahkan, melakukan masturbasi di hadapan orang
lain, dan tatapan tidak diinginkan ke wilayah kelamin pria.

Hal ini mengakibatkan rendahnya potensi mahasiswa untuk melakukan critical


reflection, political efficacy, dan critical action untuk menghadapi isu kekerasan seksual.
Kasus yang lumrah terjadi adalah korban yang tidak menyadari atau bingung dengan kondisi
yang dialaminya tergolong dalam kasus kekerasan seksual atau bukan.

5. Minimnya laporan atas kekerasan seksual.

Fenomena ini akrab disebut dengan istilah fenomena gunung es (iceberg phenomenon),
yakni kasus yang ada di permukaan belum tentu mencerminkan jumlah kasus sebenarnya yang
terjadi karena dapat dipastikan masih banyak kasus yang tidak terlaporkan atau diadvokasi oleh
pihak kampus (BEM BIMA FIKOM UNPAD, 2020). Dengan demikian, data yang ada
cenderung terbatas pada data yang memang dilaporkan oleh korban pada pihak-pihak tertentu
yang menangani kasus kekerasan seksual.

11
6. Pihak kampus yang menutupi kasus kekerasan seksual.

Penelitian yang dilakukan Wibowo (2018) pun mengungkapkan beberapa kasus atau
kejadian kekerasan seksual di kampus, tetapi kasus yang ada cenderung ditutup-tutupi oleh
pihak kampus. Alasan utamanya adalah untuk mempertahankan reputasi yang dimiliki oleh
kampus. Di Indonesia, tendensi suatu institusi melakukan hal tersebut cenderung dipengaruhi
oleh aspek agama dan budaya.

Alhasil, institusi tersebut pun cenderung menunjukkan support yang terbatas dan
korban pun cenderung termotivasi untuk diam agar dapat melindungi dirinya dan institusinya.
Hal ini memunculkan kemungkinan terbentuknya kepercayaan atau pola pikir warga kampus
bahwa kekerasan seksual tidak mungkin terjadi di lingkungan kampus karena merasa bahwa
lingkungan tersebut sudah dinilai aman. Akan tetapi, lingkungan kampus yang justru menjadi
tempat rawan terjadinya kekerasan seksual.

D. Langkah-langkah Pencegahan Kekerasan Seksual

Bagaimana Cara Mencegah Terjadinya Kekerasan Seksual di dalam Kampus?


1. Kampus harus memiliki Satgas pelecehan seksual
Saat ini sebaiknya kampus memiliki Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan
Seksual (PPKS). Di mana ini bisa dibentuk berdasarkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun
2021 mengeani Pencegahan dan Penanganan Pelecehan Seksual di Lingkungan Perguruan
Tinggi.

2. Adakan pertemuan dan pendekatan antara dosen dan mahasiswa


Selanjutnya sebaiknya diadakan pertemuan antara dosen dan mahasiswa. Ini berguna
agar di lingkungan kampus bisa terbentuk kedekatan. Sehingga nantinya risiko pelecehan
seksual terutama yang melibatkan dosen dan mahasiswa bisa dihindari.

3. Buat kampanye pencegahan dan pelecehan seksual


Di lingkungan kampus juga diperlukan adanya kampanye terkait pencegahan dan
pelecehan seksual. Ini penting supaya nantinya ada sosialisasi terkait hal tersebut. Kalau perlu,
untuk menghindari risikonya, beri tahu juga apa-apa yang harus dilakukan mahasiswa jika
menerima tindakan pelecehan.

12
4. Hindari pertemuan hanya antara mahasiswa dan dosen
Untuk menghindari kekerasan seksual dalam kampus, kamu juga perlu menghindari
adanya pertemuan hanya berdua misalnya antara mahasiswa dan dosen. Jika pertemuan dirasa
urgent, kamu bisa ajak teman untuk mendampingi dan menemani selama pertemuann
berlangsung.

5. Simpan nomor telepon darurat


Ini penting untuk kamu berjaga-jaga. Siapkan nomor telepon atau kontak darurat, bisa
lembaga atau orang yang kamu percaya dan bisa memberi bantuan. Jadi saat terjadi kekerasan
seksual, kamu bisa dengan cepat melaporkannya.

6. Tanamkan sikap tegas dan berani menegur


Berikutnya sebagai mahasiswa, kamu juga perlu menanamkan sikap tegas dan berani
menegur. Ini penting dilakukan, terutama jika kamu mendapatkan indikasi catcalling seperti
kata-kata tidak senonoh yang dilontarkan seseorang.

7. Selalu waspada
Terakhir, bersikaplah waspada di mana pun kamu berada, termasuk lingkungan kampus.
Jika merasa ada hal mencurigakan dari seseorang, kamu harus segera berpikir untuk
meninggalkan lokasi tersebut. Jauhi orangnya dan laporkan jika memang dirasa perlu.

13
III. PENUTUP

A. Kesimpulan

Masalah pelecehan seksual seakan tak ada habisnya, ditambah dengan segala pro kontra
di dalamnya. Pelecehan seksual memang kerap terjadi pada perempuan, namun tidak menutup
kemungkinan bahwa lelaki juga ada yang mengalami pelecehan seksual. Beberapa dari korban
pelecehan seksual telah ada yang sadar untuk datang ke psikolog. Namun, banyak kasus
pelecehan seksual yang tidak terdeteksi karena korbannya terlanjur malu untuk menceritakan
hal tersebut kepada orang lain dan harus menanggung bebannya sendiri. Faktor lain yang
menyebabkan korban enggan untuk berkonsultasi adalah takut untuk mengungkapkan cerita
pada orang asing, biaya, waktu, atau tempat yang jauh dari jangkauan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah, R., Luayyin, R. H., & Ardli, M. N. 2022. Analisis Permendikbud Ristek No 30
Tahun 2021 dan konstruksi sosial kekerasan seksual di perguruan tinggi perspektif
sosiologis. Al Qodiri: Jurnal Pendidikan, Sosial dan Keagamaan, 19(3), 781-796.
Dini, A. M., Qomariyah, A. N., Ardiansyah, A. E. S., Harahap, A. P., Huda, A. T. F., &
Ramadhan, A. G. 2022. INTERNALISASI URGENSI PENCEGAHAN PELECEHAN
DAN KEKERASAN SEKSUAL BAGI SISWA. Jurnal Praksis dan Dedikasi Sosial
(JPDS), 5(2), 88-95.
Effendi, D. I. (2021). Upaya Preventif Kekerasan Seksual di Kampus.
Febrianti, E. 2022. Analisis Kebijakan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 dalam
Upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Universitas Muhammadiyah
Ponorogo. ANALISIS KEBIJAKAN PERMENDIKBUD RISTEK NOMOR 30 TAHUN
2021 DALAM UPAYA PENCEGAHAN DAN PENANGANAN KEKERASAN SEKSUAL
DI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PONOROGO, 7(01), 52-62.
Khafsoh, N. A. 2021. Pemahaman Mahasiswa Terhadap Bentuk, Proses, Dan Pandangan
Penanganan Kekerasan Seksual Di Kampus. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama Dan
Jender, 20(1), 61-75.
Puspytasari, H. H. 2022. Pemahaman Mahasiswa Terhadap Kekerasan Seksual di Perguruan
Tinggi. Paradigma: Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, Dan Sosial Budaya, 28(1), 123-
132
Qila, S. Z., Rahmadina, R. N., & Azizah, F. 2021. Catcalling sebagai Bentuk Pelecehan Seksual
Traumatis. Jurnal Mahasiswa Komunikasi Cantrik, 1(2).
Rusyidi, B., Bintari, A., & Wibowo, H. 2019. Pengalaman dan pengetahuan tentang pelecehan
seksual: studi awal di kalangan mahasiswa perguruan tinggi (experience and
knowledge on sexual harassment: a preliminary study among indonesian university
students). Share: Social Work Journal, 9(1), 75-85.
Shopiani, B. S., Wilodati, W., & Supriadi, U. 2021. Fenonema Victim Blaming pada Mahasiswa
terhadap Korban Pelecehan Seksual. Sosietas, 11(1), 940-955.
Wahyuni, S., Nurbayani, S., Kesumaningsih, I., & Hargono, D. 2022. Korban Dan/Atau
Pelaku: Atribusi Victim Blaming pada Korban Kekerasan Seksual Berbasis Gender di
Lingkungan Kampus. Brawijaya Journal of Social Science, 2(1), 1-17.
Wibowo, M. P. 2018. Jenis dan Korelasi Korban Dengan Pelaku Pada Kejahatan Pelecehan
Seksual Di Instagram. RECIDIVE, 10(2), 142-148.

15

Anda mungkin juga menyukai