Disusun Oleh :
1801030019
6A JURNALISTIK
JL. Maulan Yusuf no.10, Babakan, Kecamatan Tangerang, Kota Tangerang, Banten,
15118
i
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT dengan
Rahmat dan Ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan Tugas Teori Komunikasi yang
berjudul “DIFUSI INOVASI” Sebelumnya penulis ingin berterima kasih kepada :
1. Prof. Dr. H. Mustofa Kamil, Dipl,. RSL., M.Pd, Selaku rektor UNIS
TANGERANG
2. Yusmedi Yusuf, SH.,M.Si. Selaku dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
3. Lina Wati, S.Sos.I.,M.Ikom Selaku kaprodi Ilmu Komunikasi
4. Aulian Khairani, S.I.Kom.., M.I.Kom. Selaku Dosen Sosiologi Komunikasi
5. Keluarga dan teman-teman yang telah membantu berupa moral maupun materil.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan kita semua dan dapat memenuhi
kriteria tugas yang bapak berikan serta dapat menjadi nilai tambah untuk penulis.
Tak ada yang sempurna, begitu pula dengan penulisan makalah ini. Oleh sebab
itu penulis menerima kritik dan saran positif dari pembaca sebagai perbaikan bagi penulis
dimasa yang akan datang. Semoga makalah ini bermanfaat.
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ironisnya, akhir-akhir ini kasus kekerasan yang dialami oleh anak semakin marak,
salah satunya yaitu kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual pada anak di
Indonesia relatif meningkat dari tahun ke tahun. Data yang diungkapkan oleh
Komisi Perlindungan Anak (diakses melalui http://bankdata.kpai.go.id pada
tanggal 27 Februari 2017) menunjukkan bahwa menyatakan bahwa terdapat lebih
dari 100 kasus kekerasan seksual pada anak yang tercatat setiap tahunnya. Pada
tahun 2011 kasus kekerasan seksual mencapai angka 216, tahun 2012 sebanyak
412 kasus, tahun 2013 sebanyak 343 kasus, tahun 2014 sebanyak 656 kasus, tahun
2015 sebanyak 218 kasus, dan tahun 2016 terdapat 120 kasus. Namun jumlah
kasus yang tercatat Komisi Perlindungan Anak Indonesia tersebut jauh melebihi
kenyataannya karena masih banyak keluarga korban yang enggan melaporkan,
sehingga masih dimungkinkan adanya kenaikan jumlah kasus kekerasan seksual
pada anak setiap tahunnya.
1
Kekerasan seksual anak (child sexual abuse) memiliki dampak secara fisik
maupun psikologis bagi anak. Dampak secara fisik dapat meliputi kesulitan dalam
berjalan maupun duduk, rasa sakit pada bagian atau organ genital, sedangkan
dampak secara psikologis mencakup perubahan perilaku atau mood, depresi,
kesulitan konsentrasi, penurunan prestasi (performance) di sekolah, agresif,
kesulitan tidur, dan perubahan pola makan (Brilleslijper-Kater, Friedrich, &
Corwin, 2004; Goldman, 2007). Hornor (2010) menambahkan dampak psikologis
berupa post-traumatic stress disorder, bunuh diri, kecenderungan reviktimisasi
ketika dewasa, dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang ketika dewasa.
Kekerasan seksual yang menimpa anak tidak terjadi begitu saja. Terdapat faktor-
faktor penyebab mengapa hal tersebut dapat terjadi. Menurut Syarifah Fauzi’ah
(2016), terdapat tiga faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak,
antara lain :
Di sisi lain, banyak kasus kekerasan seksual pada anak dilakukan oleh orang
dewasa di sekitar anak termasuk anggota keluarga. Kekerasan seksual yang
dilakukan oleh anggota keluarga atau orang dewasa yang dikenal anak jauh lebih
sering terjadi dibandingkan kekerasan yang dilakukan oleh orang asing
(Finkelhor, 1986; MiltenBerger & Thiesse-Duffy, 1988). Anggota keluarga
maupun orang dewasa yang dikenal anak dalam kesehariannya memiliki akses
lebih dengan anak. Mereka memiliki waktu lebih lama dengan anak dan interaksi
lebih dekat dengan anak.
2
usia dini. Orangtua diharapkan dapat menjadi sumber informasi utama anak
tentang seksualitas dan peran orangtua sangat penting (Morawska, Walsh,
Grabski, & Fletcher, 2015). Apabila orangtua dapat menjadi sumber informasi
utama bagi anak, anak akan memperoleh informasi yang tepat dan bukan melalui
media dan internet yang semakin hari aksesnya semakin mudah dan cepat.
Pendidikan seks untuk anak usia dini kemudian akan dibahas lebih lanjut dalam
makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep pendidikan seks?
2. Mengapa pendidikan seks penting diajarkan sejak usia dini?
3. Bagaimana strategi orangtua dalam memberikan pendidikan seks untuk
anak usia dini?
C. Tujuan
1. Untuk memperoleh informasi mengenai konsep pendidikan seks.
2. Untuk memperoleh informasi mengenai pentingnya pendidikan seks untuk
anak usia dini.
3. Untuk memperoleh informasi mengenai strategi orangtua dalam
memberikan pendidikan seks untuk anak usia dini.
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pendidikan merupakan suatu proses mengubah sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya
pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2001). Seks secara
umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang
berhubungan dengan perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan.
Diskusi mengenai seks dan topik yang berkaitan dengan seks seringkali
dianggap tabu karena kepercayaan umum bahwa mengajarkan anak mengenai
seks adalah bertujuan untuk mendorong aktivitas seksual (Asekun-Olarinmoye,
Dairo, & Adeomi, 2011). Hal tersebut menyebabkan banyak orangtua tidak
mendukung pendidikan seks untuk anak karena ketakutan bahwa anak akan
melakukan hubungan seks dan adanya kepercayaan bahwa pendidikan seks hanya
ditujukan kepada orang dewasa. Faktor lainnya adalah pengalaman orangtua
ketika masa kecil juga tidak mendiskusikan masalah seks dengan orangtua
4
mereka, sehingga pendidikan seks untuk anak belum dilakukan orangtua secara
maksimal.
Pendidikan seks perlu dilakukan sejak usia dini dengan cara yang benar dan
sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Anak yang secara naluriah memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi, lambat laun akan bertanya tentang bagian-bagian
tubuhnya. Tidak mungkin, seorang anak tidak ingin mengetahui tentang beberapa
organ vital tersebut sejak dini, padahal anak telah melalui proses-proses seksual
tersebut secara alami sesuai dengan tahapan dari Sigmund Freud.
Anak usia dini berada pada tiga fase psikoseksual yaitu fase oral, fase anal
dan tahap phalik (William Crain, 2014: 389). Fase oral adalah fase di mana bayi
mulai menghisap untuk bertahan hidup dan menimbulkan kesenangan. Fase anal
berkisar antara 1,5 sampai 2 tahun, adalah fase di mana anus dan fases menjadi
bagian terpenting untuk menjadi perhatian. Fase uretral, sekitar usia 3-6 tahun,
anak mulai dapat memperhatikan keadaan alat kelaminnya sendiri,
mempermainkannya, bahkan terkadang membanding-bandingkan dengan teman
sebayanya.
Secara edukatif, anak dapat diberikan pendidikan seks sesuai dengan tahapan
perkembangan yang telah ia capai. Pendidikan seks dapat diberikan sejak anak
mulai bertanya tentang seks. Misalnya ketika bertanya tentang perbedaan alat
kelaminnya dengan alat kelamin milik adik.
Secara garis besar, terdapat beberapa alasan dan tujuan mengapa pendidikan
seks penting diajarkan sejak usia dini. Penelitian yang dilakukan oleh Kakavoulis
(1998) menyatakan bahwa melalui pendidikan seks, anak akan memiliki
pengetahuan mengenai tubuhnya, kesadaran yang baik, dan hubungan
interpersonal yang tepat, mampu membedakan identitas diri dan peran seks,
pengetahuan tentang fungsi generatif, dapat melindungi diri dari kekerasan,
meningkatkan stabilitas emosi dan kesehatan, dan kepribadian yang saling
menghormati. Pendidikan seks juga membantu anak untuk memahami struktur
tubuh dari laki-laki dan perempuan serta memperoleh pengetahuan mengenai
kelahiran. Selain itu, pendidikan seks mengajarkan anak untuk membangun dan
menerima peran serta tanggungjawab dari gender dirinya. Hal tersebut
dikarenakan perbedaan dan persamaan antara dua gender jika dilihat dari tubuh
dan pemikiran akan mendorong perkembangan ke depannya ketika berkenalan
dengan teman dan hubungan interpersonal. Pendidikan seks merupakan sebuah
pendidikan holistik, di mana mengajarkan individu mengenai penerimaan diri,
sikap, dan keterampilan.
5
Di sisi lain, mengacu pendapat Roqib (2008) bahwa tujuan diberikannya
pendidikan seks sejak usia dini, yaitu sebagai berikut
1. Menanamkan rasa malu pada anak. Rasa malu harus ditanamkan kepada
anak sejak dini. Jangan biasakan anak-anak, meskipun mereka masih kecil,
dibiarkan untuk bertelanjang di depan orang lain; misalnya, ketika keluar
kamar mandi, berganti pakaian, dan sebagainya.
2. Menanamkan jiwa maskulinitas pada anak laki-laki dan jiwa feminitas
pada anak perempuan. Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan
perempuan mempunyai perbedaan mendasar. Anak dapat diajak mengenali
6
perbedaan yang ada pada tubuhnya secara fisik. Dengan demikian anak
akan mengetahui identitas dirinya dengan tepat.
3. Memisahkan tempat tidur anak dari tempat tidur orang dewasa. Masa usia
dini merupakan masa dimana anak mengalami perkembangan yang pesat.
Anak mu- lai melakukan eksplorasi ke dunia luar. Anak tidak hanya
berpikir tentang dirinya, tetapi juga mengenai sesuatu yang ada di luar
dirinya. Pemisahan tempat tidur merupakan upaya untuk menanamkan
kesadaran pada anak tentang eksistensi dirinya. Jika pemisahan tempat
tidur tersebut terjadi antara dirinya dan orang tuanya, setidaknya anak
telah dilatih untuk berani mandiri. Anak juga dicoba untuk belajar
melepaskan perilaku lekatnya (attachment behavior) dengan orang tuanya.
Jika pemisahan tempat tidur dilakukan terhadap anak dengan saudaranya
yang berbeda jenis kelamin, secara langsung anak akan memiliki
kesadaran tentang eksistensi perbedaan jenis kelamin.
4. Mengenalkan waktu berkunjung. Anak tidak diperbolehkan untuk
memasuki kamar (ruangan) orang dewasa pada waktu tertentu (misalnya
pada malam hari) kecuali meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik
kamar.
5. Mendorong anak agar menjaga kebersihan tubuhnya. Mengajari anak
untuk menjaga kebersihan alat kelamin selain agar bersih dan sehat
sekaligus juga mengajari anak tentang najis. Anak juga harus dibiasakan
untuk buang air pada tempatnya (toilet training). Segera setelah anak siap,
pada usia 3-6 tahun, orang tua mulai melatih anaknya tentang toilet
training (William Crain, 2014:395). Toilet training sebaiknya diajarkan
ketika anak sudah dapat mengungkapkan dan memahami apa yang sedang
diperintahkan kepada dirinya, sehingga tidak akan menimbulkan
ketegangan dan kecemasan pada anak.
7
aman. Pada dasarnya, anak juga memerlukan perhatian, sentuhan yang
pantas dari sanak famili, guru, dan teman-teman. Mereka memerlukan
ketenangan hati yang diperoleh melalui sentuhan yang pantas.
3. Membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan yang tidak
boleh dilakukan di depan umum seperti anak selesai mandi harus
mengenakan baju kembali di dalam kamar mandi atau di dalam kamar.
Anak diberi tahu tentang hal-hal pribadi, mana bagian tubuh yang tidak
boleh disentuh, dan dilihat oleh orang lain.
4. Mengajar anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh laki-laki dan
perempuan. Hal tersebut dapat diawali dengan identifikasi bagian tubuh
anak itu sendiri. Orangtua dapat memulai dengan mengajarkan ke anak
mengenai jari-jari tangan, jari-jari kaki, lutut, dan hidung ketika anak
berumur beberapa bulan (National Chatolic Services, 2004). Ketika anak
sudah berumur mendekati 18 bulan, anak sebaiknya juga mulai belajar
mengenai nama-nama bagian tubuh privatnya dan perbedaan antara tubuh
anak laki-laki dan anak perempuan.
5. Memberikan penjelasan tentang proses perkembangan tubuh seperti hamil
dan melahirkan dalam kalimat yang sederhana, bagaimana bayi bisa dalam
kandungan ibu sesuai tingkat kognitif anak. Tidak diperkenankan
berbohong kepada anak seperti “adik datang dari langit atau dibawa
burung”. Penjelasan disesuaikan dengan keingintahuan atau pertanyaan
anak misalnya dengan contoh yang terjadi pada binatang.
6. Memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh secara wajar yang
mampu menghindarkan diri dari perasaan malu dan bersalah atas bentuk
serta fungsi tubuhnya sendiri.
7. Mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar pada setiap
bagian tubuh dan fungsinya. Vagina adalah nama alat kelamin perempuan
dan penis adalah alat kelamin pria, daripada mengatakan dompet atau
burung.
8. Membantu anak memahami konsep pribadi dan mengajarkan kepada
mereka kalau pembicaraan seks adalah pribadi.
9. Memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau berkonsultasi
kepada orangtua untuk setiap pertanyaan tentang seks.
8
a) membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan yang tidak
boleh dilakukan di depan umum
b) mendorong anak mengetahui identitas diri (laki-laki dan perempuan)
c) memisahkan tempat tidur anak dari tempat tidur orang dewasa
d) mengenalkan waktu berkunjung
e) mendorong anak agar menjaga kebersihan tubuhnya (toilet training)
f) memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan
kasih sayang dari orangtuanya secara tulus serta mendorong anak untuk
dapat membedakan sentuhan boleh dan tidak boleh yang dilakukan oleh
orang lain
g) memberikan penjelasan tentang proses perkembangan secara sederhana
h) memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh secara wajar
i) mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar
j) membantu anak memahami konsep pribadi dan mengajarkan kepada
mereka kalau pembicaraan seks adalah pribadi
k) memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau berkonsultasi
kepada orangtua untuk setiap pertanyaan tentang seks.
9
membantu anak mengganti kebiasaan anak dengan perilaku sosial yang
mudah diterima. Misalnya: “ apakah kamu mau memeluk boneka ketika
akan tidur untuk membantumu untuk tidak menggosokkan pantatmu?”
atau “kamu harus ke kamar mandi jika perlu untuk menyentuh pantatmu”.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
2. Meskipun diskusi mengenai seks dan topik yang berkaitan dengan seks
seringkali dianggap tabu, akan tetapi pendidikan seks perlu dilakukan
sejak usia dini dengan cara yang benar dan sesuai dengan tahapan
perkembangan anak. Pendidikan seks dapat diberikan sejak anak mulai
bertanya tentang seks. Misalnya ketika bertanya tentang perbedaan alat
kelaminnya dengan alat kelamin milik adik. Ada beberapa alasan dan
tujuan mengapa pendidikan seks penting diajarkan sejak usia dini, di
antaranya melalui pendidikan seks, anak akan :
memiliki pengetahuan mengenai tubuhnya,
memiliki kesadaran yang baik,
memiliki hubungan interpersonal yang tepat,
mampu membedakan identitas diri dan peran seks,
pengetahuan tentang fungsi generatif,
dapat melindungi diri dari kekerasan,
meningkatkan stabilitas emosi dan kesehatan,
kepribadian yang saling menghormati.
3. Strategi pendidikan seks oleh orangtua kepada anak usia dini sebaiknya
dilakukan dengan mempertimbangkan dan menyesuaikan kemampuan
serta pemahaman anak sehingga bahasa dan penyampaian juga perlu
dipertimbangkan. Terdapat beberapa strategi yang dapat digunakan
orangtua dalam memberikan pendidikan seks pada anak usia dini antara
lain :
membantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan yang tidak
boleh dilakukan di depan umum,
mendorong anak mengetahui identitas diri (laki-laki dan perempuan),
11
memisahkan tempat tidur anak dari tempat tidur orang dewasa, (d)
mengenalkan waktu berkunjung,
mendorong anak agar menjaga kebersihan tubuhnya (toilet training),
memberikan sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan
kasih sayang dari orangtuanya secara tulus serta mendorong anak untuk
dapat membedakan sentuhan boleh dan tidak boleh yang dilakukan oleh
orang lain,
memberikan penjelasan tentang proses perkembangan secara sederhana,
memberikan pemahaman tentang fungsi anggota tubuh secara wajar,
mengajarkan anak untuk mengetahui nama-nama yang benar,
membantu anak memahami konsep pribadi dan mengajarkan kepada
mereka kalau pembicaraan seks adalah pribadi,
memberi dukungan dan suasana kondusif agar anak mau berkonsultasi
kepada orangtua untuk setiap pertanyaan tentang seks.
Strategi khusus jika anak beberapa waktu berada di kamar mandi untuk
membandingkan, menyentuh, mengeksplor, atau bercerita mengenai area, maka
orangtua bersikap hati-hati akan tetapi tidak perlu berlebihan karena perilaku anak
merupakan ekspresi wajar rasa ingin tahu yang sehat.
Apabila anak juga menghisap ibu jari dan mastrubasi yang bertujuan untuk
menurunkan stressnya, maka hanya sedikit yang perlu dilakukan orangtua yaitu
tetap fokus pada penghilangan sumber stress anak.
B. Saran
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman memberikan kritik dan
saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan
penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini
berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca.
12