| 940
Sosietas 11 (2) (2021) 940-955
© 2021 Sosietas
Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...| 942
dan tidak berani untuk lapor hal ini terjadi dipahami oleh sebagian besar masyarakat
karena konstruksi victim blaming khususnya yang akan berdampak buruk pada korban
dilakukan oleh mahasiswa itu sendiri pelecehan seksual. Sehingga peneliti
ketidaksadaran akan hal ini menyebabkan memerlukan data yang mendalam untuk
ketidakadilan terus menerus dan wajarkan mengetahui sejauh mana fenomena victim
oleh sebagian masyarakat, dengan itu blaming mahasiswa terhadap korban
peneliti akan berusaha untuk mencari solusi pelecehan seksual dan dampak victim
atau penyelesaian dari masalah victim blaming terhadap korban pelecehan seksual.
blaming pada korban pelecehan seksual Untuk mendapat data tersebut peneliti
khususnya di Universitas Pendidikan menggunakan pendekatan kualitatif karena
Indonesia menurut data Reswara Universitas sangat relevan dan dapat memudahkan
Pendidikan Indonesia (2019) bahwa sebagian peneliti dalam menjawab permasalahan yang
besar mahasiswa mengalami pelecehan ada.
seksual dengan berbagai bentuk seperti
Yang menjadi subjek penelitian adalah
pelecehan seksual verbal 83.1%, pelecehan
mahasiswa selaku pelaku victim blaming,
non verbal 10.4%, pelecehan seksual fisik
korban pelecehan seksual dan Civitas
6.4% dengan jumlah angka korban pelecehan
Akademika Universitas Pendidikan
yang cukup tinggi namun jumlah korban yang
Indonesia. Tempat penelitian ini adalah di
melapor hanya 7%.
Bandung tepatnya di Universitas Pendidikan
2. METODE PENELITIAN Indonesia.
Desain penelitian yang digunakan dalam Peneliti mengumpulkan data dengan
penelitian ini menggunakan pendekatan teknik wawancara, observasi dan
kualitatif dengan metode studi kasus. Sejalan dokumentasi. Dalam wawancara, peneliti
dengan Creswell (2012, hlm. 20) memiliki informan primer yang diwawancara
mengemukakan bahwa studi kasus secara mendalam dan informan sekunder
merupakan bagian dari strategi penelitian, yang diwawancarai secara terarah.
dimana di dalamnya peneliti menyelidiki
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
secara cermat suatu program, peristiwa,
aktifitas, proses, atau sekelompok individu. Hasil dan pembahasan ini memaparkan
Menurut Sugiono (2012, hlm 17) Penelitian hasil temuan penelitian yang dideskripsikan
kualitatif memandang objek sebagai sesuatu dan dianalisis dengan metode studi kasus.
yang dinamis, hasil konstruksi pemikiran dan Penelitian ini mengenai “Fenomena victim
interpretasi terhadap gejala yang diamati, blaming pada mahasiswa terhadap korban
serta utuh karena setiap aspek dari objek itu pelecehan seksual “(studi kasus terhadap
mempunyai satu kesatuan yang tidak dapat Mahasiswa Universitas Pendidikan
dipisahkan. Indonesia).
Alasan penulis menggunakan metode Data penelitian diperoleh dengan
studi kasus karena pada penelitian ini penulis melakukan wawancara mendalam dan
ingin mencari tahu mengenai sesuai dengan observasi. Peneliti melakukan penelitian
permasalahan yang diangkat oleh peneliti, pada 9 informan yang terdiri dari 7 orang
permasalahan yang peneliti ambil mengenai informan kunci dan 2 pangkal. Observasi
fenomena victim blaming pada mahasiswa dilakukan peneliti seiring mengikuti kegiatan
terhadap korban pelecehan seksual, dimana kolektif perempuan reswara yang ada di
hal ini banyak terjadi di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia, dan juga
masyarakat dan khususnya di lingkungan melalui media sosial melalui akun-akun fest
perguruan tinggi hal ini tidak disadari dan UPI. Pembahasan akan dibahas dengan
Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...| 944
Pada informan mahasiswa yaitu pelaku bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang
victim blaming memandang bahwa sebagai dilakukan oleh setiap individu akan
perempuan memang sudah seharusnya mempertimbangkan sisi individu tersebut,
menjaga kehormatan diri dengan inilah salah satu ciri dari perspektif
menggunakan pakaian tertutup, tidak berada interaksional yang beraliran interaksionisme
ditempat yang sepi, bersikap lemah lembut simbolik (Siregar, 2011, hlm. 105). Menurut
dan tidak bergaul berlebihan dengan lawan Fisher (dalam Ahmadi, 2005, hlm.311)
jenis. Hal ini menyebabkan tindak victim mengemukakan bahwa interaksi simbolik
blaming karena ketika salah satu sikap atau adalah teori yang melihat realitas sosial
identitas gender yang melekat pada diciptakan manusia sedangkan manusia
perempuan hilang karena perbedaan konsep sendiri mempunyai kemampuan untuk
gender secara sosial ini telah melahirkan berinteraksi secara simbolik memiliki esensi
perbedaan peran perempuan dan laki-laki kebudayaan, saling berhubungan,
dalam masyarakat, serta menyebabkan bermasyarakat dan memiliki buah pikiran,
ketidakadilan terhadap perempuan dan laki- setiap interaksi sosial dimulai dan berakhir
laki. Laki-laki diberi beban yang sangat berat dengan mempertimbangkan diri manusia.
dalam tatanan sosial masyarakat dan
mendominasi seluruh kehidupan masyarakat Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa
sementara dampak ketidakadilan dari sikap setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan
dan identitas gender yang dilekatkan pada oleh setiap individu, akan
perempuan dalam masyarakat yang sangat mempertimbangkan sisi individu tersebut,
patriarkis ini akan lebih dirasakan oleh kaum inilah salah satu ciri dari perspektif
perempuan dibandingkan dengan laki-laki. interaksional yang beraliran interaksionisme
Akses perempuan dalam segala aspek simbolik. Ralph dan Donald (dalam Siregar,
terbatas dan menempatkan perempuan 2011, hlm. 103) menunjukan bahwa
pada posisi subordinat dan mau tidak mau “interaksi simbolik pada intinya menjelaskan
perbedaan sikap dan identitas gender tentang kerangka referensi untuk memahami
tersebut dapat membentuk perempuan bagaimana manusia bersama dengan orang
menjadi makhluk yang dilemahkan hal ini lain menciptakan dunia simbolik dan
yang mendasari seseorang melakukan bagaimana cara dunia membentuk perilaku
tindakan victim blaming. manusia”.
Pendidikan seks yang selaras dengan pelecehan seksual tidak mengetahui bahwa
kesetaraan gender akan berdampak tindakan victim blaming pada korban
hilangnya unsur gender akhirnya ketika pelecehan seksual merupakan hal yang salah.
berbicara tentang korban tindakan
pelecehan seksual yang kerap kali ● Asumsi budaya patriarki
diasosiasikan dengan perempuan ini
dipersalahkan. selain itu ketidaktersediaan Dalam penelitian mengemukakan
Pendidikan seks dan kesetaraan gender bahwa budaya patriarki memposisikan laki-
membuat masyarakat seakan tutup mata dan laki sebagai pihak yang gagah dan cenderung
abai terhadap kasus-kasus pelecehan seksual memiliki keleluasaan untuk melakukan
yang terjadi dalam lingkungan sekitar hal ini apapun terhadap perempuan hal ini yang
jelas menjadi sebuah dampak bagi terjadinya menyebabkan tingginya angka pelecehan
kasus pelecehan seksual yang disertai seksual di Indonesia. Budaya ini juga
dengan victim blaming pada korban memberikan konstruksi dan pola pikir apabila
pelecehan seksual. Sanday 1981 (dalam laki-laki berkaitan erat dengan ego
hidayana 2013) kekerasan seksual terhadap maskulinitas sementara femininitas sendiri
perempuan yang marak akhir-akhir ini tidak diabaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang
terlepas dari konteks budaya masyarakat lemah. Masyarakat seperti membiarkan jika
yang dimana studi secara lintas budaya (cross ada laki-laki bersiul dan menggoda kaum
cultural) menunjukan ada korelasi antara perempuan tindakan mereka seolah-olah
dominasi laki-laki dalam kehidupan sosial menjadi hal yang lumrah dan wajar sebab
dan kekerasan seksual, artinya kebudayaan sebagai laki-laki mereka harus berani
mengenai dominasi laki-laki yang sangat menghadapi perempuan, laki-laki dianggap
berpengaruh dalam kekerasan seksual ini sebagai kaum penggoda sementara kaum
harus diimbangi dengan adanya Pendidikan hawa adalah objek atau makhluk yang pantas
seks dan kesetaraan gender yang mumpuni digoda dan tubuh perempuan dijadikan
dalam kehidupan masyarakat apalagi dalam sebab dari tindakan kekerasan itu sendiri.
dunia kampus yang rentan terjadi tindakan
Victim blaming yaitu suatu kondisi
pelecehan seksual dan victim blaming yang
dimana pihak korban yang justru menjadi
dilakukan oleh mahasiswa maupun oleh
objek atau sasaran kesalahan dari sebuah
civitas akademika hal tersebut selaras
kejadian. Pada kasus pelecehan seksual,
dengan temuan wawancara mahasiswa
perempuan justru menjadi pihak yang
selaku pelaku victim blaming korban
disalahkan entah itu berkaitan dengan cara
pelecehan seksual Pendidikan seks dan
berpakaian, tingkah laku, waktu kejadian
kesetaraan gender yang tidak mumpuni di
pelecehan, atau justifikasi tersebut yang
Universitas Pendidikan Indonesia menjadi
tidak menempatkan laki-laki sebagai pelaku.
faktor pelaku victim blaming melakukan
Dasar dari justifikasi tersebut adalah sesuatu
tindakan victim blaming yang merugikan
yang normal untuk laki-laki melakukan
korban pelecehan seksual karena
pelecehan seksual karena mereka memiliki
menjadikan hal-hal yang menyangkut
libido atau syahwat yang tinggi namun letak
pelecehan seksual merupakan hal yang tabu
permasalahannya justru terdapat di
banyak orang yang tidak mengetahui do and
perempuan yang menurut moralitas
don’t dalam norma kehidupan yang berlaku
masyarakat tidak bisa menjaga dirinya
selain itu kurang mumpuni Pendidikan seks
dengan baik atau terhormat. Korban
dan kesetaraan gender menjadikan
pelecehan seksual kerap mendapatkan label
mahasiswa yang kurang mendalami isu-isu
DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v4i1.xxxx |
p- ISSN 2088-575X e- ISSN 2528-4657 |
11 no. 2 Issue 1, Juli 2021 Hal 940-55
jelek bahkan hina oleh lingkungan sosialnya. (dalam Ritzer 2013) yang memperhatikan
Hal ini selaras dengan hasil wawancara dosen bagaimana masyarakat memaksa seseorang
bahwasanya asumsi patriarki menghadirkan citra diri tertentu berkaitan
melanggengkan tindakan pelecehan seksual dengan bagaimana representasi sosial
yang berdampingan dengan sikap victim mengenai harta martabat terlebih pada
blaming bahwa budaya patriarki perempuan sebagai momok dan wajah
memandang laki-laki sebagai pusat dunia jadi moralitas dalam masyarakat.
ketika laki-laki dipandang sebagai pusat dari Ketidakseimbangan peranan gender akibat
dunia laki-laki akan dipandang sebagai orang Indonesia penganut budaya patriarki
yang harus dimaklumi jadi ketika laki-laki menjadikan korban pelecehan seksual yang
melakukan pelecehan seksual kepada sebagian besar merupakan seorang
perempuan yang harus dimaklumi itu adalah perempuan merasa tidak aman dan tidak
laki-laki bukan perempuan sebagai korban dapat melakukan apa-apa menjadi kaum
pelecehan seksual sehingga yang disalahkan yang dilemahkan dan disalahkan oleh pihak-
itu cenderung korbannya sampai ada pihak yang berasumsi patriarki. Hal serupa
anggapan seperti ini “ya iman sih kuat tapi diungkapkan oleh Informan mahasiswa
imin” jadi seakan-akan ketidakkuatan laki- dalam temuan wawancara bahwa perilaku
laki dalam menjaga hasrat seksualnya itu victim blaming yang merugikan korban
merupakan tanggung jawab perempuan pelecehan seksual adalah salah satu hasil dari
karena dunia ini diatur norma dan nilai yang budaya mengagungkan laki-laki menurutnya
pusatnya adalah laki-laki kalau pusatnya laki- bahwa perilaku tersebut sudah terkonstruksi
laki ya akan selalu diwajarkan dan sejak laki-laki lahir dan dewasa dimana
dinormalisasi bahwa karena laki-laki hasrat diajarkan bahwa laki-laki mempunyai
seksualnya tinggi jadi sebagai perempuan kewajiban yang lebih tinggi dari pada seorang
menjaga diri dari laki-laki ya jadi yang perempuan hal ini membuat kedudukan laki-
disalahkan bukan laki-laki melainkan laki lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuannya karena membangkitkan perempuan, berhubungan dengan victim
hasrat seksual laki-laki dan itu semua blaming karena anggapan masyarakat bahwa
interpretasi nilai dan norma yang kedudukan laki-laki lebih tinggi sehingga
dipengaruhi oleh budaya patriarki. Budaya ketika terjadi kasus pelecehan seksual yang
patriarki merupakan konstruksi yang berlaku disalahkan cenderung korbannya yang
dalam masyarakat. Dari pandangan para ahli sebagian besar adalah seorang perempuan.
interaksi simbolik bahwa normalis adalah
“fenomena level makro tidak memiliki efek c. Dampak-dampak victim blaming yang
yang independent dan menentukan atas terjadi pada korban pelecehan seksual.
kesadaran dan perilaku individu, secara
eksistensi bebas yang bisa menerima, Fenomena victim blaming pada
menolak, memodifikasi atau sebaliknya mahasiswa terhadap korban pelecehan
menegaskan norma dan peran kepercayaan seksual tentu memiliki dampak, berikut
masyarakat sesuai dengan kepentingan merupakan dampak yang dialami oleh
masyarakat itu sendiri. Sebaliknya korban pelecehan seksual :
pandangan realisme sosial, lebih menekan
● Korban pelecehan seksual malu dan
pada masyarakat dan bagaimana konstruksi
merasa menjadi aib
bisa membentuk dan mengendalikan proses
mental individu yang dimana mengendalikan Korban pelecehan seksual mengalami
proses mental individu dikendalikan oleh malu dan merasa kasus pelecehan seksual
komunitas. Seperti pernyataan Goffman yang dialami sebagai aib melalui temuan
Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...| 950
rentan mendapat victim blaming yang sangat dirugikan dan semakin tertekan tidak
akhirnya merasa takut untuk melaporkan bisa membela yang paling berbahaya korban
kasus pelecehan seksual yang dialami karena menyalahkan diri sendiri banyak sekali
mengancam statusnya sebagai mahasiswa korban-korban yang dosen tersebut advokasi
dalam kehidupan masyarakat pun victim korban menyalahkan dirinya sendiri seperti
blaming memberikan dampak korban takut “iya sih bu saya juga salah karena mau
melaporkan kasus pelecehan seksual yang datang ke kosan pelaku” akhirnya korban
dialaminya seperti yang ditemukan dalam merasa sendiri menyalahkan diri sendiri dan
penelitian Astuti (2019) bahwa 93% dari 1636 tidak memperjuangkan keadilan sedangkan
responden yang mengalami pelecehan pelaku get away with is crime dan pelaku
seksual tidak melapor kasusnya karena lepas tanggung jawab.
berbagai macam faktor yang ditemukan
bahwa korban tidak mau melapor pelecehan ● Trauma masa depan
seksual tersebut kepada penegak hukum
karena faktor takut disalahkan. Sebelum membahas dampak victim
blaming yang menyebabkan korban
● Memendam sendiri penderitaan yang pelecehan seksual trauma masa depan,
dialaminya bahwa dampak dari pelecehan seksual yang
menimpa korban dapat berbeda-beda,
Bukan rahasia umum jika keadilan dampak itu tergantung serius dan lamanya
seakan tidak berpihak pada korban pelecehan seksual. Pelecehan seksual sangat
pelecehan seksual. Bukannya mendapatkan berdampak pada psikologis korban, seperti
keadilan setelah memberanikan diri rasa malu, depresi, stres, trauma, tidak
menyuarakan penderitaan justru percaya diri, merasa ketakutan. Triwijati
mendapatkan victim blaming. Secara tidak (2007,hlm,3) menunjukan bahwa:
sadar perlakukan victim blaming membuat
sistem yang tidak berpihak pada korban, Pelecehan seksual dapat berdampak
terlepas dari banyaknya gerakan atau aksi pada perilaku sosial korban diantaranya
sosial mendukung korban tetap saja praktik seperti, kehancuran karakter/reputasi,
victim blaming masih langgeng hingga kini. menjadi objek pembicaraan, kehilangan rasa
Dengan tindakan victim blaming korban akan percaya pada orang dengan tipe/posisi yang
merasa bahwa tidak ada yang membela dan serupa dengan pelaku, mengalami stress luar
mendukung dalam memperjuangkan biasa dalam berelasi dengan partner, dan
keadilan atas kasus pelecehan seksual yang dikucilkan. Disamping itu juga terdapat
dialaminya yang akhirnya korban dampak psikologis, yaitu serangan panik,
memendam sendiri penderitaan yang depresi, kecemasan, kehilangan motivasi,
dialaminya. Selaras dengan temuan hasil lupa waktu, penyalahan diri, gangguan tidur,
wawancara kepada dosen dan mahasiswa, kesulitan konsentrasi, sakit kepala, merasa
dosen psikologi dan gender mengungkapkan dikhianati, kemarahan dan violent pada
bahwa victim blaming sudah menjadi pelaku, merasa powerless, helpless, hingga
anggapan umum orang yang mengalami pikiran bunuh diri. Tindak pelecehan seksual
pelecehan seksual pasti akan mengalami sangat berdampak pada kesehatan mental
victim blaming dengan adanya victim korban pelecehan seksual setelah
blaming korban-korban akan takut mendapatkan tindakan pelecehan seksual
melaporkan kasus pelecehan seksual yang harus dihadapkan dengan tindakan victim
dialaminya dan memendam sendiri blaming korban yang tidak bersalah menjadi
penderitaan yang dialaminya korban akan orang yang disudutkan hal tersebut
merasa sendiri tidak bisa melakukan apa-apa diungkapkan oleh informan bahwa
Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...| 952
pelecehan seksual dan victim blaming dirasakan korban dampak psikologi yang
menyebabkan trauma bagi kehidupan masa dialami mahasiswi korban pelecehan seksual
depan korban merasa takut ketika ada orang sampai korban tidak mau kuliah merasa
yang dekat-dekat lalu tidak mencintai dirinya takut dan malu insecure dengan apa yang
memandang buruk dirinya dan merendahkan dialaminya selain itu korban merasa sedih
diri sendiri sehingga korban kehilangan arah dan rendah titik terendah korban ingin
selain itu korban pelecehan seksual yang pindah kampus karena merasa di Universitas
mendapatkan victim blaming menjadi mudah Pendidikan Indonesia tingkat toleransi
insecure dan curigaan dengan orang jika terhadap orang-orang yang memakai
ingin bercerita lalu korban merasa takut kerudung sangat rendah dan kerap kali
memakai baju terbuka sedikit atau ngepas dipandang berbeda lalu korban victim
karena kerap kali disalahkan karena pakaian blaming mengalami depresi karena korban
yang dikenakan. Hal serupa dialami oleh Agni sampai membutuhkan berobat jalan ke
mahasiswa UGM (Universitas Gajah Mada) psikolog dan menghubungi kolektif-kolektif
dalam unggahan berita Tempo.com bahwa perempuan karena kobra takut untuk
korban mengalami tekanan akibat victim menceritakan kasus pelecehan seksual
blaming atau korban disalahkan oleh kepada teman-temannya apalagi
berbagai pihak sehingga korban tidak bisa melaporkan kasusnya selain itu korban
fokus dan terganggu selama menjalani masa merasa sendiri dan depresi sehingga
pengerjaan skripsi hal ini terjadi karena mengundurkan diri dari Universitas.
orang-orang menganggap bahwa Agni
merusak nama baik Universitas Gadjah Mada ● Percobaan bunuh diri
(UGM). Pada kasus ini korban trauma dan
depresi sehingga korban harus melakukan Dampak yang paling berbahaya ketika
konseling traumatik (Tempo,2019). korban pelecehan seksual mendapatkan
victim blaming atas kasus pelecehan seksual
● Depresi yang dialaminya adalah korban melakukan
percobaan bunuh diri hal ini diakibatkan
Depresi adalah kondisi emosional yang karena penderitaan yang korban alami
ditandai oleh adanya kesedihan, ketakutan, seolah semuanya lengkap dimana lingkungan
perasaan tak berguna, perasaan bersalah, yang seharusnya mendukung korban
penarikan dari orang lain, sulit tidur, pelecehan seksual melaporkan kasus yang
kehilangan nafsu makan dan seksual, dialaminya justru yang dilakukan oleh
kehilangan minat dan kesenangan terhadap mahasiswa menyalahkan korban (victim
aktivitas yang biasa dilakukan sehari hari blaming) seperti yang terjadi dalam temuan
Davidson & Neale 1993 (dalam dwiastuti wawancara bahwa bukan saja disalahkan
2015). Depresi yang dialami korban dan tidak mendapatkan dukungan namun
pelecehan seksual karena tidak semua juga mahasiswa merendahkan korban
korban pelecehan seksual berani untuk dengan berkomentar yang buruk pada
bicara dan melaporkan apa yang dialaminya. korban pelecehan seksual seperti yang
Korban yang memilih untuk diam akan diungkapkan salah satu informan korban
rentan untuk mengalami depresi. Dalam pelecehan seksual bahwasanya korban
temuan wawancara dengan dosen dan memendam semuanya sendiri karena tidak
mahasiswa bahwa victim blaming mendapatkan dukungan dari teman-teman
mengakibatkan korban depresi karena sekitarnya selama dua minggu tidak pergi
merasa tidak ada dukungan dari apa yang kemana-mana memilih berdiam di kosan
DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v4i1.xxxx |
p- ISSN 2088-575X e- ISSN 2528-4657 |
11 no. 2 Issue 1, Juli 2021 Hal 940-55
karena merasa ketakutan dan tidak aman sesuai dengan konstruksi yang ada sehingga
membuat beliau berpikir untuk melakukan ketika perempuan yang tidak memenuhi apa
percobaan bunuh diri karena merasa tidak yang diharapkan masyarakat dan mengalami
adil dengan semua yang terjadi pelaku pelecehan seksual maka akan dilihat sikap
pelecehan seksual bisa hidup dengan tenang dan identitas gender yang ditunjukan oleh
sedangkan beliau menanggung kesakitan korban pelecehan seksual, pengaruh
atas pelecehan seksual yang dialaminya. lingkungan pergaulan menjadikan seseorang
dapat melakukan victim blaming khususnya
4. KESIMPULAN hubungan pertemanan yang saling
Victim blaming merupakan tindakan mempengaruhi pola pikir satu sama lain ,
menyalahkan korban pelecehan seksual yang Pendidikan seks dan kesetaraan gender
dimana hal ini kerap dilakukan oleh kurangnya Pendidikan seks dan kesetaraan
mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia gender dapat membuat seseorang
kepada korban pelecehan seksual yang ada di melakukan victim blaming karena sulit
Universitas Pendidikan Indonesia. Bentuk membedakan konsep seks dan gender
victim blaming yang dilakukan mahasiswa sehingga nantinya dapat membongkar akar
kepada korban pelecehan seksual seperti permasalahan pelecehan seksual yang salah
menyalahkan korban karena cara satunya adalah victim blaming, asumsi
berpakaian, anggapan merespon pelaku budaya patriarki faktor tersebut peneliti
pelecehan seksual, cara bergaul korban, dapatkan berdasarkan temuan wawancara
situasi korban dilecehkan. selain itu kerap dengan informan mahasiswa pelaku victim
kali korban mendapatkan victim blaming blaming dan dosen Universitas Pendidikan
yang merendahkan korban seperti komentar Indonesia. Berdasarkan studi kasus kondisi
buruk “Aib ko di umbar-umbar”, “makanya lingkungan informan menyatakan bukti
jangan gatel ke cowo”, “da kamu mah cewek bahwa asumsi budaya patriarki sangat
binal atuh pantes juga dileceh” ada juga yang berpengaruh terjadinya kasus victim blaming
menganggap bahwa tubuh korban pelecehan pada korban pelecehan seksual yang telah
seksual di anggap sebagai pemicu pelaku terjadi dalam kurun waktu yang lama dan
pelecehan melakukan pelecehan seksual. telah lestari sejak dahulu. Hal ini berdampak
Melalui hasil penelitian dapat dilihat faktor buruk pada korban pelecehan seksual
yang mempengaruhi mahasiswa melakukan dimana kasus pelecehan seksual semakin
victim blaming adalah faktor sikap dan hari akan semakin marak karena korban
identitas gender hal ini terjadi karena adanya pelecehan tidak melaporkan kasus pelecehan
kekeliruan dan mendapat pemahaman yang seksual yang dialaminya, gangguan mental
salah mengenai sikap dan identitas gender akan cepat diderita korban pelecehan
terjadinya pembagian peranan dan seksual jika tidak segera ditangani oleh pihak
konstruksi sosial bahwa perempuan harus yang berwajib.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Abbott, M. R. (1992). Masculine and Feminie: gender role the life cycle. USA: McGraw Hill.
Collier, R (1998). Pelecehan Seksual: Hubungan Dominasi Mayoritas dan Minoritas.
Yogyakarta: Tiara Kencana.
Bugin, B. (2012). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
Creswell, J. W. (2012). Research design.Pendekatan kualitatif , kuanitatif dan Mixed; Cetakan
ke-2. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...| 954
Jurnal
Adheswary, Vitana.(2012). Pelecehan Seksual Pada Wanita Yang Berkerja Sebagai Sekertaris.
Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Ahmadi, Dadi. (2008). Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. Jurnal Mediator.Vol.9 ,No.2.
Amandasari,D. (2018). Persepsi Remaja Tentang Korban Kekerasan Dalam Pacaran Ditinjau
dari Seksisme Ambivalen dan atribusi kesalahan pada korban. Skripsi. Universitas
Airlangga
Aulya,E.2019. Alasan perempuan melakukan victim blaming pada korban pelecehan seksual.
Universitas Negeri Surabaya
Hidayana, Irwan.2013. Budaya seksual dan Dominasi Laki-laki dalam Perkehidupan seksual
perempuan. Yayasan Jurnal Perempuan
Indah, Maya. 2014. “Perlindungan Korban: suatu Perspektif Viksimologi dan Kriminologi.
Jakarta, Penerbit:Kencana.
Jauhariyah, Witriyatul 2016. Akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Jurnal
perempuan.Yayasan Jurnal Perempuan
Nabila.2017. Fenomena catcall pada mahasiswa. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia
N.K. Endah Triwijadi.2012. Pelecehan Seksual:Tinjauan Psikologis. Skripsi. Universitas
Surabaya
Novian,i.2015. Kekerasan Seksual terhadap anak : Dampak dan penanganannya.Jakarta
Santoso, B. A. & Bazaleel, M. (2018). Perancangan Komik 360 sebagai Media Informasi
Tentang Pelecehan Seksual Catcalling. Jurnal Andharupa. Vol.04, No. 01.
DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v4i1.xxxx |
p- ISSN 2528-1410 e- ISSN 2527-8045 |
11 no. 2 Issue 1, Juli 2021 Hal 940-55
Siregar, N. S.S. (2011). Kajian Tentang Interaksionisme Simbolik. Jurnal Perspektif. Vol.4,
No.2.
Setyawati, Melly. 2015. Blaming the victim dalam kasus perkosaan.Jurnal Kategori Hukum
Masa depam hukum di Indonesia.
Sulandjari, Rekno. Kekerasan gender dalam blaming the victim pada media. Jurnal Hubungan
masyarakat
Astuti.S dkk (2019). Penelitian victim blaming kasus pelecehan seksual.Jurnal promedia,Vol
ke-5, hlm 5-7.
Tomasello, Jena.(2013). Sexual Harassment and Objectivity: Why We Need Not Ask Women
If They Are Victim. Jurnal Stance. Vol.4.
Triwijati, N.K.E. (2007). Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis. Jurnal Fakultas Psikologis
Universitas Surabaya, dan Savy Amira Women’s Crisis Center, hlm. 1-4.
DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v3i2.12758 |
p- ISSN 2528-1410 e- ISSN 2527-8045 |