Anda di halaman 1dari 16

Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...

| 940
Sosietas 11 (2) (2021) 940-955

Sosietas Jurnal Pendidikan Sosiologi


Journal homepage: http://ejournal.upi.edu/index.php/sosietas/

Fenonema Victim Blaming pada Mahasiswa terhadap


Korban Pelecehan Seksual
Bunga Suci Shopiani 1*, Wilodati2, Udin Supriadi3
1
Program Studi Pendidikan Sosiologi, Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial,
Universitas Pendidikan Indonesia.
Correspondence: E-mail: bungaasucis@gmail.com

ABSTRAK ARTIKEL INFO


Revised 20 Aug 2018
Budaya nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat Accepted 25 Aug 2018
bahwa perempuan harus menjaga harta martabatnya Available online 09 Sep 2018
dengan tidak tampil bersolek, berdandan berlebihan dan
tidak menggunakan pakaian yang ketat dan seksi atau ___________________
Keywords:
perempuan diharapkan dapat berpakaian tertutup dan Victim blaming, Mahasiswa,
menghindari tempat-tempat sepi agar tidak terjadi Korban pelecehan seksual
pelecehan, Konstruksi tersebut membentuk pandangan
bahwa korban yang menjadi korban pelecehan seksual yaitu
mereka yang tidak menjalankan nilai dan norma yang ada
dalam masyarakat hal tersebut membuat korban pelecehan
seksual disalahkan atas kasus pelecehan seksual yang
menimpanya. Namun pada kenyataannya bahwa pelecehan
seksual terjadi karena adanya ketidakmampuan pelaku
mengendalikan diri. Tujuan penelitian ini mendeskripsikan
bentuk-bentuk victim blaming, faktor yang melatarbelakangi
terjadinya victim blaming dan dampak victim blaming pada
korban pelecehan seksual. Desain penelitian yang digunakan
adalah pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus,
dengan subjek penelitian Mahasiswa korban pelecehan
seksual, Mahasiswa pelaku Victim blaming dan Civitas
Akademic Universitas Pendidikan Indonesia, teknik
pengumpulan data dilakukan melalui metode wawancara,
dan dokumentasi. Hasil penelitian ini ditemukan adanya
victim blaming yang berbentuk korban disalahkan cara
berpakaian, cara bergaul dan situasi korban dilecehkan
selain itu kerap kali korban direndahkan dengan komentar
buruk seperti “Da kamu mah cewek binal pantes juga
dilecehkan”, terdapat faktor yang mempengaruhi victim
blaming kurangnya Pendidikan seks dan kesetaraan gender,
DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v4i1.xxxx |
p- ISSN 2088-575X e- ISSN 2528-4657 |
11 no. 2 Issue 1, Juli 2021 Hal 940-55

sikap dan identitas gender, pengaruh lingkungan dan asumsi


patriarki. Victim blaming berdampak buruk terhadap korban
terutama pada kesehatan mental korban pelecehan seksual.

© 2021 Sosietas
Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...| 942

1. PENDAHULUAN memberikan ruang aman bagi kaum


perempuan yang menjadi korban pelecehan
Konsep penting yang perlu dipahami seksual. Permasalahan pelecehan seksual
dalam rangka membahas masalah kaum dimana tidak ada satu Lembaga pun yang
perempuan adalah membedakan antara memiliki data akurat tentang jumlah kasus
konsep seks (jenis kelamin) dan konsep pelecehan seksual di perguruan tinggi.
gender. Pemahaman dan perbedaan Informasi tentang kasus pelecehan seksual di
terhadap kedua konsep tersebut diperlukan perguruan tinggi menyebar secara sporadis,
karena pemahaman dan pembedaan antara muncul saat kasus tersebut menjadi sorotan
konsep seks dan gender sangatlah diperlukan media. Dalam kasus di lingkungan perguruan
dalam melakukan analisis untuk memahami tinggi, tak semua korban mempunyai kuasa
persoalan-persoalan ketidakadilan sosial mengumpulkan tekad untuk melapor kepada
yang menimpa kaum perempuan. Namun teman, pihak kampus, ke polisi, ke Lembaga
yang terjadi dalam masyarakat kurangnya mitra Komnas Perempuan, atau ke Lembaga
pengetahuan kesetaraan gender dan pendampingan korban kekerasan seksual.
keadilan gender yang disebabkan oleh Indonesia (Tirto.id,2016).
kuatnya tradisi dan budaya masyarakat yang
masih melanggengkan stereotip gender Semakin banyak kasus pelecehan
(Fakih 2016, hlm. 3). Masyarakat Indonesia seksual sehingga menurut Ketua Sub
sebagian besar menganut sistem patriarki, Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan
dimana meletakkan posisi dan kekuasaan bahwa kondisi menyalahkan korban ini
laki-laki lebih dominan dibandingkan seolah diperkuat oleh budaya patriarki yang
perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari, masih dianut bangsa ini dimana posisi
masyarakat memandang perempuan sebagai perempuan berada di bawah laki-laki. Banyak
seorang yang dianggap lemah dan tidak kasus pelecehan seksual adalah bukti
berdaya. keseriusan masalah ketidakadilan gender
dalam hal ini seluruh pihak wajib untuk
Budaya ketidakadilan gender dalam meminimalisir terjadinya kasus pelecehan
masyarakat membuat perempuan kerap kali seksual dengan tidak bersikap menyalahkan
mendapat label negatif di dalam masyarakat korban pelecehan seksual namun harapan
yaitu perempuan yang tampil bersolek dan seperti itu tidak mudah untuk diterapkan di
berdandan dengan menggunakan pakaian Indonesia. Seperti yang ditemukan dalam
yang agak ketat dan seksi yang selalu penelitian Astuti (2019) bahwa 93% dari 1636
dianggap sebagai mengundang lawan jenis responden yang mengalami pelecehan
untuk melakukan pelecehan seksual, hal ini seksual tidak melapor kasusnya karena
kemudian selalu dijadikan dan dikaitkan berbagai macam faktor survei yang
dengan pelabelan terhadap korban ditemukan bahwa korban tidak mau melapor
pelecehan seksual dimana masyarakat pelecehan seksual tersebut kepada penegak
cenderung menyalahkan korban pelecehan hukum karena faktor takut disalahkan.
seksual atau melakukan victim blaming.
Hal ini menarik untuk diteliti karena
Permasalahan mengenai persoalan korban digambarkan dengan tidak seimbang
victim blaming menjadi hal yang sangat oleh masyarakat khususnya lingkungan
penting untuk dikaji, mengingat perbedaan kampus pelecehan seksual di perguruan
pandangan masyarakat yang melanggengkan tinggi sebenarnya bukan hal baru, termasuk
ketidakadilan gender melalui tindakan victim di Indonesia beberapa kasus yang terjadi di
blaming yang harus diminimalisir dan perguruan tinggi berujung korban tertekan
DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v4i1.xxxx |
p- ISSN 2088-575X e- ISSN 2528-4657 |
11 no. 2 Issue 1, Juli 2021 Hal 940-55

dan tidak berani untuk lapor hal ini terjadi dipahami oleh sebagian besar masyarakat
karena konstruksi victim blaming khususnya yang akan berdampak buruk pada korban
dilakukan oleh mahasiswa itu sendiri pelecehan seksual. Sehingga peneliti
ketidaksadaran akan hal ini menyebabkan memerlukan data yang mendalam untuk
ketidakadilan terus menerus dan wajarkan mengetahui sejauh mana fenomena victim
oleh sebagian masyarakat, dengan itu blaming mahasiswa terhadap korban
peneliti akan berusaha untuk mencari solusi pelecehan seksual dan dampak victim
atau penyelesaian dari masalah victim blaming terhadap korban pelecehan seksual.
blaming pada korban pelecehan seksual Untuk mendapat data tersebut peneliti
khususnya di Universitas Pendidikan menggunakan pendekatan kualitatif karena
Indonesia menurut data Reswara Universitas sangat relevan dan dapat memudahkan
Pendidikan Indonesia (2019) bahwa sebagian peneliti dalam menjawab permasalahan yang
besar mahasiswa mengalami pelecehan ada.
seksual dengan berbagai bentuk seperti
Yang menjadi subjek penelitian adalah
pelecehan seksual verbal 83.1%, pelecehan
mahasiswa selaku pelaku victim blaming,
non verbal 10.4%, pelecehan seksual fisik
korban pelecehan seksual dan Civitas
6.4% dengan jumlah angka korban pelecehan
Akademika Universitas Pendidikan
yang cukup tinggi namun jumlah korban yang
Indonesia. Tempat penelitian ini adalah di
melapor hanya 7%.
Bandung tepatnya di Universitas Pendidikan
2. METODE PENELITIAN Indonesia.
Desain penelitian yang digunakan dalam Peneliti mengumpulkan data dengan
penelitian ini menggunakan pendekatan teknik wawancara, observasi dan
kualitatif dengan metode studi kasus. Sejalan dokumentasi. Dalam wawancara, peneliti
dengan Creswell (2012, hlm. 20) memiliki informan primer yang diwawancara
mengemukakan bahwa studi kasus secara mendalam dan informan sekunder
merupakan bagian dari strategi penelitian, yang diwawancarai secara terarah.
dimana di dalamnya peneliti menyelidiki
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
secara cermat suatu program, peristiwa,
aktifitas, proses, atau sekelompok individu. Hasil dan pembahasan ini memaparkan
Menurut Sugiono (2012, hlm 17) Penelitian hasil temuan penelitian yang dideskripsikan
kualitatif memandang objek sebagai sesuatu dan dianalisis dengan metode studi kasus.
yang dinamis, hasil konstruksi pemikiran dan Penelitian ini mengenai “Fenomena victim
interpretasi terhadap gejala yang diamati, blaming pada mahasiswa terhadap korban
serta utuh karena setiap aspek dari objek itu pelecehan seksual “(studi kasus terhadap
mempunyai satu kesatuan yang tidak dapat Mahasiswa Universitas Pendidikan
dipisahkan. Indonesia).
Alasan penulis menggunakan metode Data penelitian diperoleh dengan
studi kasus karena pada penelitian ini penulis melakukan wawancara mendalam dan
ingin mencari tahu mengenai sesuai dengan observasi. Peneliti melakukan penelitian
permasalahan yang diangkat oleh peneliti, pada 9 informan yang terdiri dari 7 orang
permasalahan yang peneliti ambil mengenai informan kunci dan 2 pangkal. Observasi
fenomena victim blaming pada mahasiswa dilakukan peneliti seiring mengikuti kegiatan
terhadap korban pelecehan seksual, dimana kolektif perempuan reswara yang ada di
hal ini banyak terjadi di lingkungan Universitas Pendidikan Indonesia, dan juga
masyarakat dan khususnya di lingkungan melalui media sosial melalui akun-akun fest
perguruan tinggi hal ini tidak disadari dan UPI. Pembahasan akan dibahas dengan
Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...| 944

menggunakan teori pendukung yang relevan, Bentuk-bentuk victim blaming menurut


hasil penelitian tersebut dapat dilihat dalam Aulya (2019) terdapat beberapa bentuk
pembahasan di bawah ini. victim blaming pada korban pelecehan
seksual diantaranya:
a. Bentuk-bentuk victim blaming
mahasiswa pada korban pelecehan ● Tidak adanya sikap simpati dan empati,
seksual masyarakat dalam menyikapi sebuah
kejadian yang menyangkut seksualitas
Bentuk-bentuk victim blaming pada
menganggap segala sesuatu yang
mahasiswa terhadap korban pelecehan
berhubungan dengan seks hal yang tabu
seksual umumnya victim blaming ini adalah
hal ini mengakibatkan kurangnya rasa
upaya tindakan menyalahkan korban
simpati dan empati antar masyarakat
pelecehan seksual. Sejalan dengan
khususnya dengan orang-orang yang
pandangan menurut Ryan (1976.12) bahwa
mengalami tindak pelecehan seksual.
victim blaming adalah menyalahkan korban
Informan mengungkapkan bahwa
istilah yang digunakan pelaku yang tidak
terjadi bentuk victim blaming tidak
bertanggung jawab. Blaming the victim
adanya sikap simpati dan empati pada
merupakan permasalahan sosial kemiskinan
korban pelecehan seksual pada saat
akibat rasisme dan ketidaktahuan kaum
korban pelecehan seksual mencoba
lemah (orang miskin) menjadi objek
untuk menceritakan kasus pelecehan
kesalahan atas permasalahan yang terjadi.
yang dialaminya sebagian besar
Sedangkan menurut Putri dan Aria (2012)
mahasiswa atau orang yang di sekitar
menjelaskan bahwa “Konsep Blaming the
korban pelecehan seksual bukan
victim adalah pembenaran atas ketidakadilan
menolong dan memberikan
dengan menemukan cacat atau kesalahan
pendampingan atau munculnya sikap
pada korban ketidakadilan, dalam konsep
simpati dan empati pada korban
Blaming the victim perempuan sebagai
pelecehan seksual namun yang korban
korban yang dipersalahkan melalui kata-kata
dapatkan adalah tindakan victim
dan kalimat yang ada dalam pemberitaan
blaming menyalahkan korban atas kasus
media, perempuan dalam satu waktu
yang menimpa korban pelecehan
digambarkan sebagai korban sekaligus
seksual.
pemicu terjadinya pemerkosaan yang
menimpa dirinya. Hal serupa diungkapkan ● Menganggap rendah korban pelecehan
oleh informan korban pelecehan seksual seksual, perilaku masyarakat yang
bahwasanya korban pelecehan seksual menganggap rendah korban pelecehan
mendapatkan victim blaming kerap kali seksual merupakan bentuk victim
disalahkan oleh orang-orang di sekitarnya blaming. Membenarkan rasisme dan
dan digunakan pelaku yang tidak ketidakadilan sosial dengan menemukan
bertanggung jawab sehingga korban celah kesalahan pada korban pelecehan
pelecehan tidak bisa melakukan pembenaran seksual. Hal ini pun serupa diungkapkan
atas keadilan korban dipersalahkan melalui oleh informan korban pelecehan seksual
kata-kata dimana korban dalam satu waktu maupun pelaku victim blaming korban
digambarkan sebagai korban sekaligus pelecehan seksual dianggap rendah
pemicu terjadinya pelecehan seksual yang karena mahasiswa yang melakukan
menimpanya. victim blaming kepada korban
pelecehan seksual menganggap bahwa
kasus pelecehan yang dialami korban
DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v4i1.xxxx |
p- ISSN 2088-575X e- ISSN 2528-4657 |
11 no. 2 Issue 1, Juli 2021 Hal 940-55

pelecehan seksual akibat tubuh, cara penyebab mahasiswa melakukan tindakan


berpakaian yang dianggap mengundang victim blaming pada korban pelecehan
pelaku pelecehan seksual melakukan seksual dan juga beberapa faktor lain yang
tindakan pelecehan seksual anggapan ikut andil dalam melahirkan ketidakadilan
rendah mahasiswa yang terjadi pada gender yang terjadi pada lingkungan
korban pelecehan seksual di Universitas mahasiswa Universitas Pendidikan
Pendidikan Indonesia berikut ungkapan Indonesia. Berikut merupakan faktor-faktor
yang merendahkan korban pelecehan yang mendasari timbulnya perilaku victim
seksual “tubuh yang berisi yang blaming pada korban pelecehan seksual:
dianggap sebagai pemicu dosen
melakukan pelecehan seksual” , ● Sikap dan Identitas gender
“makanya jangan gatel ke cowo” “da
kamu mah cewek binal atuh pantes juga Sikap dan identitas gender merupakan
dilecehkan” , “Lebay gak punya malu unsur paling penting dalam mempengaruhi
ngubar-ngumbar aib” “murahan”. tindakan victim blaming yang dilakukan oleh
seseorang, sikap dan identitas gender
● Menyalahkan korban pelecehan seksual, diciptakan oleh manusia untuk adanya
tentang pelecehan seksual yang dialami pembatasan berekspresi seorang laki-laki
seseorang adalah munculnya berbagai maupun perempuan dalam menjalankan
hinaan yang ditujukan. Hal tersebut nilai dan norma kehidupan. Identitas gender
seperti yang diungkapkan oleh informan merupakan interpretasi sosio-kultural
bahwasanya korban disalahkan tentang seperangkat peran yang telah dikonstruksi
kasus pelecehan yang dialami. Seperti oleh masyarakat bagaimana laku-laki atau
ungkapan informan dosen yang perempuan bersikap yang meliputi
mendampingi korban pelecehan seksual perangkat perilaku mencakup penampilan,
bahwa kerap kali korban mendapatkan perilaku, pakaian, sikap, kepribadian,
victim blaming dari mahasiswa maupun seksualitas, tanggung jawab keluarga dan
dari dosen seperti masyarakat tentang sebagainya. Perempuan yang baik adalah
pelecehan seksual yang dialami perempuan yang tidak mengekspresikan
seseorang adalah munculnya berbagai hasrat seksual nya perempuan yang jauh dari
hinaan yang ditujukan kepada korban, aktivitas seksual perempuan yang menjaga
masyarakat cenderung menyalahkan keperawanan. Tidak hanya cukup dengan
korban pelecehan seksual (blaming the sekedar menunjukan sikap dan perilaku di
victim). atas, cara berpakaian pun harus sopan,
menutup ‘aurat’, anggun dan feminine. Kalau
Selain itu korban-korban pelecehan
ada perempuan baik-baik maka perlu ada
seksual disalahkan karena cara berpakaian,
kategori dengan perempuan tidak baik
cara bergaul dengan lawan jenis, cara
sebagai oposisi (Hidayana, 2013). selaras
menggunakan media sosial, dan cara
dengan penjelasan dalam temuan
berkenalan dengan seseorang melalui dunia
wawancara Bersama informan mahasiswa
maya.
dan dosen bahwa hal tersebut menjadi
b. Faktor-faktor yang dapat memicu sebuah dasar seseorang melakukan victim
victim blaming pada mahasiswa blaming pada korban pelecehan seksual
terhadap korban pelecehan seksual. bahwa perempuan kerap kali disalahkan
karena sikap dan identitas gender yang
Terjadinya victim blaming pada dimilikinya masyarakat menkonstruksi
mahasiswa terhadap korban pelecehan bahwa perempuan harus menjaga dirinya
seksual tidak terlepas dari beberapa faktor agar tidak mendapatkan pelecehan seksual.
Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...| 946

Pada informan mahasiswa yaitu pelaku bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang
victim blaming memandang bahwa sebagai dilakukan oleh setiap individu akan
perempuan memang sudah seharusnya mempertimbangkan sisi individu tersebut,
menjaga kehormatan diri dengan inilah salah satu ciri dari perspektif
menggunakan pakaian tertutup, tidak berada interaksional yang beraliran interaksionisme
ditempat yang sepi, bersikap lemah lembut simbolik (Siregar, 2011, hlm. 105). Menurut
dan tidak bergaul berlebihan dengan lawan Fisher (dalam Ahmadi, 2005, hlm.311)
jenis. Hal ini menyebabkan tindak victim mengemukakan bahwa interaksi simbolik
blaming karena ketika salah satu sikap atau adalah teori yang melihat realitas sosial
identitas gender yang melekat pada diciptakan manusia sedangkan manusia
perempuan hilang karena perbedaan konsep sendiri mempunyai kemampuan untuk
gender secara sosial ini telah melahirkan berinteraksi secara simbolik memiliki esensi
perbedaan peran perempuan dan laki-laki kebudayaan, saling berhubungan,
dalam masyarakat, serta menyebabkan bermasyarakat dan memiliki buah pikiran,
ketidakadilan terhadap perempuan dan laki- setiap interaksi sosial dimulai dan berakhir
laki. Laki-laki diberi beban yang sangat berat dengan mempertimbangkan diri manusia.
dalam tatanan sosial masyarakat dan
mendominasi seluruh kehidupan masyarakat Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa
sementara dampak ketidakadilan dari sikap setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan
dan identitas gender yang dilekatkan pada oleh setiap individu, akan
perempuan dalam masyarakat yang sangat mempertimbangkan sisi individu tersebut,
patriarkis ini akan lebih dirasakan oleh kaum inilah salah satu ciri dari perspektif
perempuan dibandingkan dengan laki-laki. interaksional yang beraliran interaksionisme
Akses perempuan dalam segala aspek simbolik. Ralph dan Donald (dalam Siregar,
terbatas dan menempatkan perempuan 2011, hlm. 103) menunjukan bahwa
pada posisi subordinat dan mau tidak mau “interaksi simbolik pada intinya menjelaskan
perbedaan sikap dan identitas gender tentang kerangka referensi untuk memahami
tersebut dapat membentuk perempuan bagaimana manusia bersama dengan orang
menjadi makhluk yang dilemahkan hal ini lain menciptakan dunia simbolik dan
yang mendasari seseorang melakukan bagaimana cara dunia membentuk perilaku
tindakan victim blaming. manusia”.

● Pengaruh Lingkungan Melalui penjelasan tersebut tidak hanya


manusia yang mengubah diri mereka melalui
Berdasarkan pengalaman informan interaksi tetapi juga manusia dapat turut
mengenai fenomena victim blaming yang membawa perubahan dalam masyarakat
terjadi dalam lingkungannya menjelaskan karena sebuah bentuk interaksi atau
bahwa umumnya individu memiliki persepsi tindakan dalam perspektif ini sengaja diulang
yang selaras dengan kesepakatan bersama serta tindakan membentuk persetujuan
mengenai victim blaming yang membahas secara diam-diam makna dan simbol
mengenai penggunaan simbol dalam memberikan karakteristik yang khas pada
interaksi. Setiap individu di dalam dirinya tindakan sosial dan interaksi sosial manusia.
memiliki esensi kebudayaan berinteraksi Menurut Blumer (dalam Ahmadi, 2008, hlm
dalam masyarakat dan menghasilkan makna 310) “Kekhasannya bahwa manusia saling
“buah pikiran” yang disepakati secara menerjemahkan mendefinisikan
bersama. Pada akhirnya dapat dikatakan tindakannya bukan hanya reaksi dari
DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v4i1.xxxx |
p- ISSN 2088-575X e- ISSN 2528-4657 |
11 no. 2 Issue 1, Juli 2021 Hal 940-55

tindakan seseorang terhadap orang lain, tersebut karena memandang korban


tanggapan seseorang tidak dibuat secara pelecehan seksual yang salah dan
langsung atas tindakan itu, tetapi didasarkan merendahkan korban pelecehan seksual atas
“makna” yang diberikan oleh karena itu kasus yang menimpanya anggapan tersebut
interaksi dijembatani oleh penggunaan mudah menyebar dan menjadikan hal yang
simbol penafsiran dan penemuan makna wajar tidak berpikir dampak yang akan
tindakan orang lain. Menurut informan terjadi kepada korban pelecehan seksual.
mahasiswa disebutkan bahwa dalam
lingkunganya hal yang mempengaruhi ● Pendidikan seks dan kesetaraan gender
mereka melakukan victim blaming salah
satunya adalah pengaruh lingkungan dimana Pendidikan seks dan kesetaraan gender
menurut Kenanga selaku pelaku pelecehan merupakan unsur penting dalam
seksual mengaku bahwa lingkungan teman mempengaruhi seseorang melakukan victim
sebaya memberikan pengaruh terhadap blaming pada korban pelecehan seksual,
perilakunya dalam sikap melakukan victim Pendidikan seks dan kesetaraan gender
blaming pada korban pelecehan seksual penting diterapkan selaras dengan temuan
khususnya dalam keberpihakan kepada wawancara bersama dengan kedua dosen
pelaku pelecehan seksual karena lingkungan bahwa hal tersebut menjadi sebuah urgensi
pergaulan isu pelecehan seksual mudah yang belum berjalan sempurna di Universitas
menyebar saling membicarakan tentang Pendidikan Indonesia karena Pendidikan seks
kasus tersebut dan yang disalahkan yaitu dan kesetaraan gender harus membahas
korban pelecehannya sehingga dalam satu tentang struktur budaya yang mengakar dari
angkatan sebagian besar menyalahkan kekerasan itu sendiri yang membongkar
korban pelecehan seksual karena anggapan victim blaming karena perilaku victim
yang sama dalam kasus tersebut. Pengaruh blaming ini bukan hanya dilakukan oleh laki-
positif dan negatif yang dipengaruhi oleh laki namun perempuan pun melakukan
lingkungan pergaulan khususnya victim blaming pada korban pelecehan
pertemanan dapat membawa dalam perilaku seksual karena patriarki tidak hanya
victim blaming. Contoh lain diri Bintang menguntungkan kaum laki-laki tapi juga
selaku pelaku victim blaming pada korban menguntungkan perempuan-perempuan
pelecehan seksual dimana pergaulan yang mengikuti ideologi patriarki Pendidikan
lingkungan teman sebaya menjadi salah satu seks dan kesetaraan gender nantinya harus
faktor beliau melakukan victim blaming pada mengandung informasi di atas dan informasi
korban pelecehan seksual menurut beliau consent yang paling penting, apa itu consent?
lingkungan pertemanan mempengaruhi pola Mengapa consent itu penting dalam berelasi.
pikir individu di dalamnya yang semakin lama Hasil penelitian milik Trifiana (2020)
dimaklumi makin saja berpikir memaklumi Kurangnya Pendidikan seks dan kesetaraan
dan menganggap hal yang biasa tentang gender menjadikan mahasiswa kerap kali
victim blaming dan hal itu dimaklumi melakukan victim blaming pada korban
bersama-sama dalam lingkungan pelecehan seksual karena Pendidikan
pertemanan. Ungkapan lain dari Anggrek penting guna membahas jangan ada bias
bahwa salah satu yang mempengaruhi beliau gender dalam menjalani kehidupan dalam
melakukan victim blaming adalah pergaulan dunia kampus dan masyarakat yang rentan
lingkungan teman sebaya perilaku victim akan pelecehan seksual karena
blaming yang dilakukan akibat ikut-ikutan ketidakpahaman mengenai konsep seks dan
teman sebayanya atau lingkungan pergaulan gender membuat seseorang bisa melakukan
yang mendukung sikap victim blaming victim blaming tanpa disadari jadi dampak
dari ketidakpahaman mahasiswa terhadap
Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...| 948

Pendidikan seks yang selaras dengan pelecehan seksual tidak mengetahui bahwa
kesetaraan gender akan berdampak tindakan victim blaming pada korban
hilangnya unsur gender akhirnya ketika pelecehan seksual merupakan hal yang salah.
berbicara tentang korban tindakan
pelecehan seksual yang kerap kali ● Asumsi budaya patriarki
diasosiasikan dengan perempuan ini
dipersalahkan. selain itu ketidaktersediaan Dalam penelitian mengemukakan
Pendidikan seks dan kesetaraan gender bahwa budaya patriarki memposisikan laki-
membuat masyarakat seakan tutup mata dan laki sebagai pihak yang gagah dan cenderung
abai terhadap kasus-kasus pelecehan seksual memiliki keleluasaan untuk melakukan
yang terjadi dalam lingkungan sekitar hal ini apapun terhadap perempuan hal ini yang
jelas menjadi sebuah dampak bagi terjadinya menyebabkan tingginya angka pelecehan
kasus pelecehan seksual yang disertai seksual di Indonesia. Budaya ini juga
dengan victim blaming pada korban memberikan konstruksi dan pola pikir apabila
pelecehan seksual. Sanday 1981 (dalam laki-laki berkaitan erat dengan ego
hidayana 2013) kekerasan seksual terhadap maskulinitas sementara femininitas sendiri
perempuan yang marak akhir-akhir ini tidak diabaikan dan dianggap sebagai sesuatu yang
terlepas dari konteks budaya masyarakat lemah. Masyarakat seperti membiarkan jika
yang dimana studi secara lintas budaya (cross ada laki-laki bersiul dan menggoda kaum
cultural) menunjukan ada korelasi antara perempuan tindakan mereka seolah-olah
dominasi laki-laki dalam kehidupan sosial menjadi hal yang lumrah dan wajar sebab
dan kekerasan seksual, artinya kebudayaan sebagai laki-laki mereka harus berani
mengenai dominasi laki-laki yang sangat menghadapi perempuan, laki-laki dianggap
berpengaruh dalam kekerasan seksual ini sebagai kaum penggoda sementara kaum
harus diimbangi dengan adanya Pendidikan hawa adalah objek atau makhluk yang pantas
seks dan kesetaraan gender yang mumpuni digoda dan tubuh perempuan dijadikan
dalam kehidupan masyarakat apalagi dalam sebab dari tindakan kekerasan itu sendiri.
dunia kampus yang rentan terjadi tindakan
Victim blaming yaitu suatu kondisi
pelecehan seksual dan victim blaming yang
dimana pihak korban yang justru menjadi
dilakukan oleh mahasiswa maupun oleh
objek atau sasaran kesalahan dari sebuah
civitas akademika hal tersebut selaras
kejadian. Pada kasus pelecehan seksual,
dengan temuan wawancara mahasiswa
perempuan justru menjadi pihak yang
selaku pelaku victim blaming korban
disalahkan entah itu berkaitan dengan cara
pelecehan seksual Pendidikan seks dan
berpakaian, tingkah laku, waktu kejadian
kesetaraan gender yang tidak mumpuni di
pelecehan, atau justifikasi tersebut yang
Universitas Pendidikan Indonesia menjadi
tidak menempatkan laki-laki sebagai pelaku.
faktor pelaku victim blaming melakukan
Dasar dari justifikasi tersebut adalah sesuatu
tindakan victim blaming yang merugikan
yang normal untuk laki-laki melakukan
korban pelecehan seksual karena
pelecehan seksual karena mereka memiliki
menjadikan hal-hal yang menyangkut
libido atau syahwat yang tinggi namun letak
pelecehan seksual merupakan hal yang tabu
permasalahannya justru terdapat di
banyak orang yang tidak mengetahui do and
perempuan yang menurut moralitas
don’t dalam norma kehidupan yang berlaku
masyarakat tidak bisa menjaga dirinya
selain itu kurang mumpuni Pendidikan seks
dengan baik atau terhormat. Korban
dan kesetaraan gender menjadikan
pelecehan seksual kerap mendapatkan label
mahasiswa yang kurang mendalami isu-isu
DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v4i1.xxxx |
p- ISSN 2088-575X e- ISSN 2528-4657 |
11 no. 2 Issue 1, Juli 2021 Hal 940-55

jelek bahkan hina oleh lingkungan sosialnya. (dalam Ritzer 2013) yang memperhatikan
Hal ini selaras dengan hasil wawancara dosen bagaimana masyarakat memaksa seseorang
bahwasanya asumsi patriarki menghadirkan citra diri tertentu berkaitan
melanggengkan tindakan pelecehan seksual dengan bagaimana representasi sosial
yang berdampingan dengan sikap victim mengenai harta martabat terlebih pada
blaming bahwa budaya patriarki perempuan sebagai momok dan wajah
memandang laki-laki sebagai pusat dunia jadi moralitas dalam masyarakat.
ketika laki-laki dipandang sebagai pusat dari Ketidakseimbangan peranan gender akibat
dunia laki-laki akan dipandang sebagai orang Indonesia penganut budaya patriarki
yang harus dimaklumi jadi ketika laki-laki menjadikan korban pelecehan seksual yang
melakukan pelecehan seksual kepada sebagian besar merupakan seorang
perempuan yang harus dimaklumi itu adalah perempuan merasa tidak aman dan tidak
laki-laki bukan perempuan sebagai korban dapat melakukan apa-apa menjadi kaum
pelecehan seksual sehingga yang disalahkan yang dilemahkan dan disalahkan oleh pihak-
itu cenderung korbannya sampai ada pihak yang berasumsi patriarki. Hal serupa
anggapan seperti ini “ya iman sih kuat tapi diungkapkan oleh Informan mahasiswa
imin” jadi seakan-akan ketidakkuatan laki- dalam temuan wawancara bahwa perilaku
laki dalam menjaga hasrat seksualnya itu victim blaming yang merugikan korban
merupakan tanggung jawab perempuan pelecehan seksual adalah salah satu hasil dari
karena dunia ini diatur norma dan nilai yang budaya mengagungkan laki-laki menurutnya
pusatnya adalah laki-laki kalau pusatnya laki- bahwa perilaku tersebut sudah terkonstruksi
laki ya akan selalu diwajarkan dan sejak laki-laki lahir dan dewasa dimana
dinormalisasi bahwa karena laki-laki hasrat diajarkan bahwa laki-laki mempunyai
seksualnya tinggi jadi sebagai perempuan kewajiban yang lebih tinggi dari pada seorang
menjaga diri dari laki-laki ya jadi yang perempuan hal ini membuat kedudukan laki-
disalahkan bukan laki-laki melainkan laki lebih tinggi dibandingkan dengan
perempuannya karena membangkitkan perempuan, berhubungan dengan victim
hasrat seksual laki-laki dan itu semua blaming karena anggapan masyarakat bahwa
interpretasi nilai dan norma yang kedudukan laki-laki lebih tinggi sehingga
dipengaruhi oleh budaya patriarki. Budaya ketika terjadi kasus pelecehan seksual yang
patriarki merupakan konstruksi yang berlaku disalahkan cenderung korbannya yang
dalam masyarakat. Dari pandangan para ahli sebagian besar adalah seorang perempuan.
interaksi simbolik bahwa normalis adalah
“fenomena level makro tidak memiliki efek c. Dampak-dampak victim blaming yang
yang independent dan menentukan atas terjadi pada korban pelecehan seksual.
kesadaran dan perilaku individu, secara
eksistensi bebas yang bisa menerima, Fenomena victim blaming pada
menolak, memodifikasi atau sebaliknya mahasiswa terhadap korban pelecehan
menegaskan norma dan peran kepercayaan seksual tentu memiliki dampak, berikut
masyarakat sesuai dengan kepentingan merupakan dampak yang dialami oleh
masyarakat itu sendiri. Sebaliknya korban pelecehan seksual :
pandangan realisme sosial, lebih menekan
● Korban pelecehan seksual malu dan
pada masyarakat dan bagaimana konstruksi
merasa menjadi aib
bisa membentuk dan mengendalikan proses
mental individu yang dimana mengendalikan Korban pelecehan seksual mengalami
proses mental individu dikendalikan oleh malu dan merasa kasus pelecehan seksual
komunitas. Seperti pernyataan Goffman yang dialami sebagai aib melalui temuan
Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...| 950

wawancara dengan mahasiswa korban ● Takut melaporkan kasus pelecehan


pelecehan seksual kerap kali merasa malu seksual
dan kasus pelecehan seksual yang dialaminya
sebagai aib bermacam-macam alasan yang Dampak dari victim blaming salah
diungkapkan oleh informan namun korban satunya adalah korban takut melaporkan
pelecehan seksual merasa malu dan merasa kasus pelecehan seksual yang dialaminya.
aib setelah mendapatkan victim blaming Banyak korban yang takut untuk melaporkan
karena kerap kali korban disalahkan dan kasus pelecehan seksual yang menimpanya
direndahkan atas kasus pelecehan yang karena khawatir menerima stigma negatif di
dialaminya mereka menjadi memandang lingkungan tempat menimba ilmu yaitu
dirinya sendiri buruk dan tidak berani untuk kampus sampai sekarang korban pelecehan
melaporkan atau menceritakan kasus seksual yang bersedia untuk menjadi
pelecehan seksual yang dialaminya. Menurut informan dalam penelitian ini dengan untuk
penelitian Soraya (2019) yang berjudul “Aku di ungkap identitasnya dan berkali-kali
malu, ini aib” ungkapan yang sering dilihat mengingatkan agar peneliti menjadi ruang
dalam akun Instagram atau dalam kehidupan aman untuk korban pelecehan seksual. Hal
masyarakat ketika perempuan tidak berani tersebut selaras dengan temuan wawancara
untuk menceritakan kasus pelecehan seksual dosen maupun mahasiswa dampak victim
yang dialaminya karena merasa malu dan aib blaming yang dirasakan sebagian besar
dalam penelitiannya yang mencoba korban pelecehan seksual adalah takut untuk
membuka opini tentang kasus pelecehan melaporkan kasus pelecehan yang
seksual dan meminta tanggapan pembaca menimpanya menurut informan dosen yang
dengan tujuan mengedukasi namun sebagian menangani kasus pelecehan seksual korban
besar yang mengomentari di kolom pelecehan seksual yang sebagian besar
komentar menyatakan hal seperti ini “maaf mahasiswi ini karena ketika korban takut
ya sist, tapi bukannya cerita pelecehan yang melaporkan kasusnya lalu mendapatkan
kamu alami itu aib diri sendiri ya? Kenapa di victim blaming seperti sudah jatuh lalu
umbar, sis? Sekali lagi maaf ya sekedar ketiban tangga tentunya korban akan merasa
mengingatkan.”. seperti yang kita ketahui sendiri tidak bisa melakukan apa-apa
bersama bahwa masyarakat Indonesia sehingga takut untuk melaporkan kasusnya
menganggap kejadian yang dialami korban dan tidak memperjuangkan keadilan untuk
pelecehan itu adalah sebuah aib selaras dirinya. Selain itu menurut informan
dengan temuan wawancara dengan salah mahasiswa yaitu korban pelecehan seksual
satu mahasiswi Universitas Pendidikan dan pelaku victim blaming korban takut
Indonesia yang mencoba untuk mengungkap melaporkan kasus pelecehan seksual yang
kasus pelecehan seksual yang dialami dan alaminya karena takut mendapatkan label
memperjuangkan keadilan dirinya melalui negatif, selain itu takut mendapatkan victim
bercerita kepada teman-teman terdekatnya blaming dari pihak dosen dan
dan menceritakan di media sosial namun membahayakan statusnya sebagai
yang didapatkan oleh korban tersebut bukan mahasiswa lalu kerap kali menganggap
sebuah dukungan melainkan disalahkan bahwa dirinya lemah dalam menanggapi
dengan komentar “Lebay gapunya malu pelaku pelecehan seksual dan menjadi
ngumbar-ngumbar aib sendiri” akhirnya mudah insecure curiga dengan orang lain
beliau merasa bahwa pelecehan seksual yang ketika ingin melaporkan kasus pelecehan
dialaminya sebagai aib. seksual yang dialaminya. Bukan hanya dalam
dunia kampus korban pelecehan seksual
DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v4i1.xxxx |
p- ISSN 2088-575X e- ISSN 2528-4657 |
11 no. 2 Issue 1, Juli 2021 Hal 940-55

rentan mendapat victim blaming yang sangat dirugikan dan semakin tertekan tidak
akhirnya merasa takut untuk melaporkan bisa membela yang paling berbahaya korban
kasus pelecehan seksual yang dialami karena menyalahkan diri sendiri banyak sekali
mengancam statusnya sebagai mahasiswa korban-korban yang dosen tersebut advokasi
dalam kehidupan masyarakat pun victim korban menyalahkan dirinya sendiri seperti
blaming memberikan dampak korban takut “iya sih bu saya juga salah karena mau
melaporkan kasus pelecehan seksual yang datang ke kosan pelaku” akhirnya korban
dialaminya seperti yang ditemukan dalam merasa sendiri menyalahkan diri sendiri dan
penelitian Astuti (2019) bahwa 93% dari 1636 tidak memperjuangkan keadilan sedangkan
responden yang mengalami pelecehan pelaku get away with is crime dan pelaku
seksual tidak melapor kasusnya karena lepas tanggung jawab.
berbagai macam faktor yang ditemukan
bahwa korban tidak mau melapor pelecehan ● Trauma masa depan
seksual tersebut kepada penegak hukum
karena faktor takut disalahkan. Sebelum membahas dampak victim
blaming yang menyebabkan korban
● Memendam sendiri penderitaan yang pelecehan seksual trauma masa depan,
dialaminya bahwa dampak dari pelecehan seksual yang
menimpa korban dapat berbeda-beda,
Bukan rahasia umum jika keadilan dampak itu tergantung serius dan lamanya
seakan tidak berpihak pada korban pelecehan seksual. Pelecehan seksual sangat
pelecehan seksual. Bukannya mendapatkan berdampak pada psikologis korban, seperti
keadilan setelah memberanikan diri rasa malu, depresi, stres, trauma, tidak
menyuarakan penderitaan justru percaya diri, merasa ketakutan. Triwijati
mendapatkan victim blaming. Secara tidak (2007,hlm,3) menunjukan bahwa:
sadar perlakukan victim blaming membuat
sistem yang tidak berpihak pada korban, Pelecehan seksual dapat berdampak
terlepas dari banyaknya gerakan atau aksi pada perilaku sosial korban diantaranya
sosial mendukung korban tetap saja praktik seperti, kehancuran karakter/reputasi,
victim blaming masih langgeng hingga kini. menjadi objek pembicaraan, kehilangan rasa
Dengan tindakan victim blaming korban akan percaya pada orang dengan tipe/posisi yang
merasa bahwa tidak ada yang membela dan serupa dengan pelaku, mengalami stress luar
mendukung dalam memperjuangkan biasa dalam berelasi dengan partner, dan
keadilan atas kasus pelecehan seksual yang dikucilkan. Disamping itu juga terdapat
dialaminya yang akhirnya korban dampak psikologis, yaitu serangan panik,
memendam sendiri penderitaan yang depresi, kecemasan, kehilangan motivasi,
dialaminya. Selaras dengan temuan hasil lupa waktu, penyalahan diri, gangguan tidur,
wawancara kepada dosen dan mahasiswa, kesulitan konsentrasi, sakit kepala, merasa
dosen psikologi dan gender mengungkapkan dikhianati, kemarahan dan violent pada
bahwa victim blaming sudah menjadi pelaku, merasa powerless, helpless, hingga
anggapan umum orang yang mengalami pikiran bunuh diri. Tindak pelecehan seksual
pelecehan seksual pasti akan mengalami sangat berdampak pada kesehatan mental
victim blaming dengan adanya victim korban pelecehan seksual setelah
blaming korban-korban akan takut mendapatkan tindakan pelecehan seksual
melaporkan kasus pelecehan seksual yang harus dihadapkan dengan tindakan victim
dialaminya dan memendam sendiri blaming korban yang tidak bersalah menjadi
penderitaan yang dialaminya korban akan orang yang disudutkan hal tersebut
merasa sendiri tidak bisa melakukan apa-apa diungkapkan oleh informan bahwa
Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...| 952

pelecehan seksual dan victim blaming dirasakan korban dampak psikologi yang
menyebabkan trauma bagi kehidupan masa dialami mahasiswi korban pelecehan seksual
depan korban merasa takut ketika ada orang sampai korban tidak mau kuliah merasa
yang dekat-dekat lalu tidak mencintai dirinya takut dan malu insecure dengan apa yang
memandang buruk dirinya dan merendahkan dialaminya selain itu korban merasa sedih
diri sendiri sehingga korban kehilangan arah dan rendah titik terendah korban ingin
selain itu korban pelecehan seksual yang pindah kampus karena merasa di Universitas
mendapatkan victim blaming menjadi mudah Pendidikan Indonesia tingkat toleransi
insecure dan curigaan dengan orang jika terhadap orang-orang yang memakai
ingin bercerita lalu korban merasa takut kerudung sangat rendah dan kerap kali
memakai baju terbuka sedikit atau ngepas dipandang berbeda lalu korban victim
karena kerap kali disalahkan karena pakaian blaming mengalami depresi karena korban
yang dikenakan. Hal serupa dialami oleh Agni sampai membutuhkan berobat jalan ke
mahasiswa UGM (Universitas Gajah Mada) psikolog dan menghubungi kolektif-kolektif
dalam unggahan berita Tempo.com bahwa perempuan karena kobra takut untuk
korban mengalami tekanan akibat victim menceritakan kasus pelecehan seksual
blaming atau korban disalahkan oleh kepada teman-temannya apalagi
berbagai pihak sehingga korban tidak bisa melaporkan kasusnya selain itu korban
fokus dan terganggu selama menjalani masa merasa sendiri dan depresi sehingga
pengerjaan skripsi hal ini terjadi karena mengundurkan diri dari Universitas.
orang-orang menganggap bahwa Agni
merusak nama baik Universitas Gadjah Mada ● Percobaan bunuh diri
(UGM). Pada kasus ini korban trauma dan
depresi sehingga korban harus melakukan Dampak yang paling berbahaya ketika
konseling traumatik (Tempo,2019). korban pelecehan seksual mendapatkan
victim blaming atas kasus pelecehan seksual
● Depresi yang dialaminya adalah korban melakukan
percobaan bunuh diri hal ini diakibatkan
Depresi adalah kondisi emosional yang karena penderitaan yang korban alami
ditandai oleh adanya kesedihan, ketakutan, seolah semuanya lengkap dimana lingkungan
perasaan tak berguna, perasaan bersalah, yang seharusnya mendukung korban
penarikan dari orang lain, sulit tidur, pelecehan seksual melaporkan kasus yang
kehilangan nafsu makan dan seksual, dialaminya justru yang dilakukan oleh
kehilangan minat dan kesenangan terhadap mahasiswa menyalahkan korban (victim
aktivitas yang biasa dilakukan sehari hari blaming) seperti yang terjadi dalam temuan
Davidson & Neale 1993 (dalam dwiastuti wawancara bahwa bukan saja disalahkan
2015). Depresi yang dialami korban dan tidak mendapatkan dukungan namun
pelecehan seksual karena tidak semua juga mahasiswa merendahkan korban
korban pelecehan seksual berani untuk dengan berkomentar yang buruk pada
bicara dan melaporkan apa yang dialaminya. korban pelecehan seksual seperti yang
Korban yang memilih untuk diam akan diungkapkan salah satu informan korban
rentan untuk mengalami depresi. Dalam pelecehan seksual bahwasanya korban
temuan wawancara dengan dosen dan memendam semuanya sendiri karena tidak
mahasiswa bahwa victim blaming mendapatkan dukungan dari teman-teman
mengakibatkan korban depresi karena sekitarnya selama dua minggu tidak pergi
merasa tidak ada dukungan dari apa yang kemana-mana memilih berdiam di kosan
DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v4i1.xxxx |
p- ISSN 2088-575X e- ISSN 2528-4657 |
11 no. 2 Issue 1, Juli 2021 Hal 940-55

karena merasa ketakutan dan tidak aman sesuai dengan konstruksi yang ada sehingga
membuat beliau berpikir untuk melakukan ketika perempuan yang tidak memenuhi apa
percobaan bunuh diri karena merasa tidak yang diharapkan masyarakat dan mengalami
adil dengan semua yang terjadi pelaku pelecehan seksual maka akan dilihat sikap
pelecehan seksual bisa hidup dengan tenang dan identitas gender yang ditunjukan oleh
sedangkan beliau menanggung kesakitan korban pelecehan seksual, pengaruh
atas pelecehan seksual yang dialaminya. lingkungan pergaulan menjadikan seseorang
dapat melakukan victim blaming khususnya
4. KESIMPULAN hubungan pertemanan yang saling
Victim blaming merupakan tindakan mempengaruhi pola pikir satu sama lain ,
menyalahkan korban pelecehan seksual yang Pendidikan seks dan kesetaraan gender
dimana hal ini kerap dilakukan oleh kurangnya Pendidikan seks dan kesetaraan
mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia gender dapat membuat seseorang
kepada korban pelecehan seksual yang ada di melakukan victim blaming karena sulit
Universitas Pendidikan Indonesia. Bentuk membedakan konsep seks dan gender
victim blaming yang dilakukan mahasiswa sehingga nantinya dapat membongkar akar
kepada korban pelecehan seksual seperti permasalahan pelecehan seksual yang salah
menyalahkan korban karena cara satunya adalah victim blaming, asumsi
berpakaian, anggapan merespon pelaku budaya patriarki faktor tersebut peneliti
pelecehan seksual, cara bergaul korban, dapatkan berdasarkan temuan wawancara
situasi korban dilecehkan. selain itu kerap dengan informan mahasiswa pelaku victim
kali korban mendapatkan victim blaming blaming dan dosen Universitas Pendidikan
yang merendahkan korban seperti komentar Indonesia. Berdasarkan studi kasus kondisi
buruk “Aib ko di umbar-umbar”, “makanya lingkungan informan menyatakan bukti
jangan gatel ke cowo”, “da kamu mah cewek bahwa asumsi budaya patriarki sangat
binal atuh pantes juga dileceh” ada juga yang berpengaruh terjadinya kasus victim blaming
menganggap bahwa tubuh korban pelecehan pada korban pelecehan seksual yang telah
seksual di anggap sebagai pemicu pelaku terjadi dalam kurun waktu yang lama dan
pelecehan melakukan pelecehan seksual. telah lestari sejak dahulu. Hal ini berdampak
Melalui hasil penelitian dapat dilihat faktor buruk pada korban pelecehan seksual
yang mempengaruhi mahasiswa melakukan dimana kasus pelecehan seksual semakin
victim blaming adalah faktor sikap dan hari akan semakin marak karena korban
identitas gender hal ini terjadi karena adanya pelecehan tidak melaporkan kasus pelecehan
kekeliruan dan mendapat pemahaman yang seksual yang dialaminya, gangguan mental
salah mengenai sikap dan identitas gender akan cepat diderita korban pelecehan
terjadinya pembagian peranan dan seksual jika tidak segera ditangani oleh pihak
konstruksi sosial bahwa perempuan harus yang berwajib.

DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Abbott, M. R. (1992). Masculine and Feminie: gender role the life cycle. USA: McGraw Hill.
Collier, R (1998). Pelecehan Seksual: Hubungan Dominasi Mayoritas dan Minoritas.
Yogyakarta: Tiara Kencana.
Bugin, B. (2012). Penelitian Kualitatif. Jakarta: Prenada Media Group.
Creswell, J. W. (2012). Research design.Pendekatan kualitatif , kuanitatif dan Mixed; Cetakan
ke-2. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Bunga Suci Shopiani, et al. Fenonema Victim blaming pada Mahasiswa ...| 954

Cressweel W. John. (2013). Research Design Pendekatan Kualitatif, kuantitatif, dan


mixed.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Data Reswara.2019. Penelitian Pelecehan Seksual Di Universitas Pendidikan Indonesia.
Bandung
Fakih, M. (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta:Pustaka pelajar.
Gunarsa, D. Singgih. Y. Ny, Gunarsa D. Singgih. 1995. Psikologi Perkembangan Anak dan
Remaja, Jakarta: Gunung Mulia
Kartono, (1996). Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju
Lilliweri, I. (2018). Paradigma Penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Martono, Nanang. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT Raya Grafindo Persada.
Miles, M. & Huberman, A.M. (2007). Analisis data kualitatif : Buku sumber tentang metode-
metode baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Moleong, Lexy. J. (1989). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Santrock (2003) John W. Adolescence. Perkembangan Remaja. Edisi Keenam. Jakarta:
Erlangga.
Siregar, N. (2011). Kajian Tentang Interaksionisme Simbolik. ISSN (Jurnal Ilmu Sosial), 4 (2),
100-110
Siswoyo. Dkk. (2007). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY press
Sugiyono, (2010). Metodologi Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D,Cetakan Ke-3,
Jakarta: Balai Pustaka.
Sugiyono, (2014). Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Raco. (2010), Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya,
Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Ritzer, George. Pasaribu, Saut dkk (Pent). (2012). Sociology theory: teori sosiologi dari klasik
sampai perkembangan terakhir postmodern. Yogyakarta:Pustaka Pelajar
Ryan william .(1971). Blaming the victim Volume 762 .Pentheon book

Jurnal
Adheswary, Vitana.(2012). Pelecehan Seksual Pada Wanita Yang Berkerja Sebagai Sekertaris.
Jurnal Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma.
Ahmadi, Dadi. (2008). Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. Jurnal Mediator.Vol.9 ,No.2.
Amandasari,D. (2018). Persepsi Remaja Tentang Korban Kekerasan Dalam Pacaran Ditinjau
dari Seksisme Ambivalen dan atribusi kesalahan pada korban. Skripsi. Universitas
Airlangga
Aulya,E.2019. Alasan perempuan melakukan victim blaming pada korban pelecehan seksual.
Universitas Negeri Surabaya
Hidayana, Irwan.2013. Budaya seksual dan Dominasi Laki-laki dalam Perkehidupan seksual
perempuan. Yayasan Jurnal Perempuan
Indah, Maya. 2014. “Perlindungan Korban: suatu Perspektif Viksimologi dan Kriminologi.
Jakarta, Penerbit:Kencana.
Jauhariyah, Witriyatul 2016. Akar kekerasan seksual terhadap perempuan. Jurnal
perempuan.Yayasan Jurnal Perempuan
Nabila.2017. Fenomena catcall pada mahasiswa. Skripsi. Universitas Pendidikan Indonesia
N.K. Endah Triwijadi.2012. Pelecehan Seksual:Tinjauan Psikologis. Skripsi. Universitas
Surabaya
Novian,i.2015. Kekerasan Seksual terhadap anak : Dampak dan penanganannya.Jakarta
Santoso, B. A. & Bazaleel, M. (2018). Perancangan Komik 360 sebagai Media Informasi
Tentang Pelecehan Seksual Catcalling. Jurnal Andharupa. Vol.04, No. 01.

DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v4i1.xxxx |
p- ISSN 2528-1410 e- ISSN 2527-8045 |
11 no. 2 Issue 1, Juli 2021 Hal 940-55

Siregar, N. S.S. (2011). Kajian Tentang Interaksionisme Simbolik. Jurnal Perspektif. Vol.4,
No.2.
Setyawati, Melly. 2015. Blaming the victim dalam kasus perkosaan.Jurnal Kategori Hukum
Masa depam hukum di Indonesia.
Sulandjari, Rekno. Kekerasan gender dalam blaming the victim pada media. Jurnal Hubungan
masyarakat
Astuti.S dkk (2019). Penelitian victim blaming kasus pelecehan seksual.Jurnal promedia,Vol
ke-5, hlm 5-7.
Tomasello, Jena.(2013). Sexual Harassment and Objectivity: Why We Need Not Ask Women
If They Are Victim. Jurnal Stance. Vol.4.
Triwijati, N.K.E. (2007). Pelecehan Seksual: Tinjauan Psikologis. Jurnal Fakultas Psikologis
Universitas Surabaya, dan Savy Amira Women’s Crisis Center, hlm. 1-4.

Sumber Lain – Lain


Adam, A ( 2018, 8 Novemver). “Victim blaming” pelecehan seksual dan respons masyarakat
yang harus musnah.
https://www.kompasiana.com/adamafrixal/5be3a25312ae947a7470b573/victim-
blaming-pelecehan-seksual-dan-respon-masyarakat-yang-harus-musnah.
Admin, MaPPI (2018, 23 November). Ketidakadilan Gender&kekerasan terhadap perempuan
Vol. II
Dr.Theresia Rina Yunita.2019. Dampak Victim blaming Bagi Kesehatan Mental.
https://www.klikdokter.com/info-sehat/read/3635694/dampak-victim-blaming-bagi-
kesehatan-mental.12-01-2020
Komnas perempuan (2019, 6 maret) Catatan kekerasan seksual pada perempuan tahun 2018.
https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-catatan-tahunan-kekerasan-
terhadap-perempuan-2019
Maharani,S. (2019, 10 Februari). Kasus Agni UGM, Korban disalahkan hingga depresi.
https://nasional.tempo.co/read/1174054/kasus-agni-ugm-korban-disalahkan-hingga-
depresi
Mahmada,N. (2016, 12 Mei). Keadilan untuk korban kekerasan seksual.
http://www.satuharapan.com/read-detail/read/keadilan-untuk-korban-kekerasan-
seksual
Soray, atik. (2019, 31 mei 2029). Perempuan dan segala aib yang melekat pada kami.
Zuhra, W & Adam,A (2019, 23 April). Testimoni Kekerasan Seksual:174 Penyintas, 79
kampus,29 kota.

DOI: http://dx.doi.org/10.17509/ijost.v3i2.12758 |
p- ISSN 2528-1410 e- ISSN 2527-8045 |

Anda mungkin juga menyukai