Anda di halaman 1dari 18

REPRESENTASI BENTUK KETIDAKADILAN GENDER DALAM

SERIAL DRAMA SPANYOL

Analisis Semiotika Representasi Bentuk Ketidakadilan Gender

dalam Serial Drama Spanyol Money Heist Karya Alex Pina

Galih Bayu Aji

Firdastin Ruthnia Yudiningrum

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik


Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract
This study aims to describe the representation of forms of gender
inequality in the Spanish drama series Money Heist. The drama series Money
Heist by director Alex Pina. The representation is a description of the reality that
occurs in the community from which the drama series originated, Spain. This
study uses a descriptive approach and the method used in this study is the
semiotic analysis of Roland Barthes.
The drama series Money Heist is the source of this research. The objects
in this study are several cut scenes from seasons one to three that contain visual
and audio signs in the drama series Money Heist which show the existence of a
form of gender inequality in Spanish society. The data analysis technique in this
research series begins by grouping several scenes in the Money Heist drama
series according to the research problem formulation. Then, the data collected
was analyzed using Roland Barthes' semiotic analysis to find the meaning of
denotation, connotation, and myth in each scene.
This study found that there are gender inequalities classified by Mansour
Fakih (2013:13) including: gender and marginalization, subordination,
stereotypes, violence, and workload. The five forms of gender inequality,
according to the expert, show the reality of gender issues that still occur in
Spanish society today.
Keywords: Gender, Gender Inequity, Semiotics, Roland Barthes
Pendahuluan

Menurut kaum kontruktivis (Eriyanto, 2006), media dipandang suatu hal


yang mampu mengkonstruksi realitas, pandangan bias, dan keberpihakannya.
Selain itu, media juga sebagai agen kontruksi sosial yang mendefinisikan realitas.
Melalui berbagai instrumen yang dimiliki, media membentuk realitas dalam
produk berita dan menyajikannya pada masyarakat. Media dapat dijadikan sebagai
jembatan informasi bagi masyarakat dalam menjelaskan pelaku dan peristiwa
yang terjadi. Selain itu, dalam pemberitaan yang dibuat, media juga diharapkan
dapat menjadi kacamata masyarakat dalam melihat peristiwa yang sengaja
dibingkai untuk kepentingan tertentu maupun terjadi secara natural.
Citra media dapat memberikan simbol, mitos, hingga stimulus yang
mampu menghasilkan budaya bersama. Media juga dapat menjadi jalan bagi
penyebaran ideologi penguasa, alat legitimasi, dan kontrol atas wacana publik.
Sobur (2009,127) mengatakan, media massa yang tepat digunakan untuk
mengaplikasikan ide dan gagasan ialah film atau serial drama televisi. Media yang
satu ini dapat dilihat sebagai sarana penyaluran ekspresi seni yang
mengungkapkan kreativitas dan merepresentasikan kehidupan manusia, serta
kepribadian suatu bangsa (Sobur, 2001).
Film atau karya audiovisual dijadikan media untuk mengkronstruksi
sebuah realitas sosial masyarakat melalui kode, simbol, konvensi, mitos, dan
ideologi dari kebudayaan masyarakat. Selayaknya jendela, film mampu membuat
sudut pandang baru dan wawasan akan realitas masyarakat tertentu melalui
bingkai atau alur cerita yang dibuat. Realitas sosial yang tersaji salah satunya
mengenai gender.
Persoalan mengenai gender masih kurang dipahami secara tepat oleh
masyarakat. Gender adalah sifat atau peran yang melekat pada manusia, di mana
penentuannya dibentuk secara sosial kultural. Menurut Bell dan Blaeure dalam
Sari (2010:174) gender didefinisikan sebagai harapan masyarakat mengenai pria
dan wanita yang telah dikonstruksikan. Kontruksi pembagian sifat manusia dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu maskulin dan feminim. Maskulin merupakan
karakteristik seorang laki-laki yang kuat, rasional, dan perkasa. Sedangkan
feminim identik dengan karakteristik kaum perempuan yang lemah lembut,
emosional, dan keibuan.
Dewasa ini persoalan mengenai gender sering disuguhkan dalam platform
layanan streaming online pada film dan serial drama televisi oleh Netflix.
Perusahaan yang didirikan oleh Reed Hastings dan Marc Randolph pada 29
Agustus 1997 ini mengawali kiprahnya sebagai pusat penjualan DVD dan rental
melalui layanan ekspedisi. Pada tahun 2007, Perusahaan asal Amerika Serikat ini
memperluas bisnisnya melalui streaming tanpa meninggalkan layanan penyewaan
DVD dan Blu-ray. Dilansir dari liputan6.com (24-01-2021) hingga saat ini Netflix
mampu merajai layanan streaming online dengan 130 juta pelanggan secara
Internasional sejak Juli 2018.
Berbicara mengenai gender atau peran antara laki-laki dan perempuan.
Saat ini kedudukan perempuan berada di posisi kedua yang berakibat selalu
adanya diskriminasi peran. Menurut Yuarsi (Abdullah, 2006:2004) perempuan
menjadi pekerja kelas dua karena anggapan-anggapan yang diberikan pada
pekerja perempuan membuat posisi perempuan menjadi terbelakang dan akan
terus menjadi pihak yang tergantung pada laki-laki. Keterbatasan peran dalam
ruang-ruang luas terbentur oleh kontruksi budaya yang bersifat turun-temurun.
Oleh karena itu peneliti memilih salah satu serial drama yang disiarkan
dalam layanan streaming online Netflix, Money Heist. Persoalan gender seperti
adanya ketidakadilan secara tersirat maupun tersurat menjadi bumbu sutradara,
Alex pina dalam membangun alur cerita Money Heist yang unik. Hal inilah yang
menarik perhatian peneliti dalam melihat lebih dalam dan mengetahui bagaimana
ketidakadilan gender dalam sebuah serial drama televisi tersebut. Fokus dalam
melihat dan memilah ketidakadilan gender dalam serial drama Money Heist
berdasar pada kategoriasi Mansour Fakih. peneliti menggunakan analisis
semiotika model Roland Barthes (1915 – 1980) sebagai pisau bedah untuk
merepresentasikan setiap adegan Money Heist yang mengandung unsur
ketidakadilan gender. Analisis semiotika model ini memiliki tiga level dalam
mengupas makna suatu fenoma, yaitu denotasi, konotasi, dan mitos.
Rumusan Masalah

Berdasarkan konteks penelitian di atas, maka dapat dikemukakan perumusan


masalah dalam penelitian ini adalah ‘Bagaimana analisis semiotika mengenai
representasi bentuk ketidakadilan gender pada serial drama Spanyol Money
Heist?”

Kajian Pustaka

1. Serial Drama
Menurut Morrisan (2008) dalam Rani (2013: 26) kata drama berasal dari
bahasa Yunani “dran” yang berarti bertindak atau berbuat. Program drama adalah
pertunjukkan yang menyajikan cerita mengenai kehidupan atau karakter
seseorang, bahkan beberapa orang (tokoh) yang melibatkan konflik dan emosi.
Dengan demikian program drama biasanya menampilkan sejumlah pemain yang
memerankan tokoh tertentu. Suatu drama akan mengikuti kehidupan atau
petualangan para tokohnya.
Alo Liliweri (2007) dalam Rani (2013: 26) menambahkan penjelasan
bahwasanya drama merupakan kegiatan seni untuk menceritakan sebuah tema,
apakah sebagai pernyataan dari diri atau kelompok budaya tertentu, atau alur
cerita yang dikarang untuk menyampaikan nilai, perasaan, fantasi, keinginan,
kebutuhan, peristiwa, dan kondisi tertentu dapat diulang kembali dalam suatu alur
cerita (Ayu 2013: 45). Program televisi yang termasuk dalam program drama
adalah sinetron atau serial drama dan film.

2. Serial Drama sebagai Media Komunikasi Massa


Salah satu pakar mengatakan bahwa, komunikasi massa adalah
komunikasi yang menggunakan media massa, baik cetak maupun media
elektronik. Sebab awal perkembangannya, komunikasi massa berasal dari
pengembangan kata media of mass communication atau media komunikasi massa
(Nurudin, 2001).
Media yang dimaksud di sini adalah alat yang digunakan untuk
memindahkan pesan dari pengirim kepada penerima. Dalam komunikasi massa,
media adalah alat penghubung antara sumber dan penerima yang sifatnya terbuka,
dimana setiap orang dapat melihat, membaca, dan mendengarnya. Media dalam
komunikasi massa dapat dibedakan menjadi dua, media cetak dan media
elektronik.
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa serial drama
merupakan media komunikasi yang bersifat audio visual guna menyampaikan
suatu pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu
(Effendy, 2003:134). Pesan yang dibingkai dalam alur cerita serial drama sebagai
media komunikasi massa dapat berbentuk apa saja tergantung dari misi karya
tersebut.

3. Serial Drama sebagai Representasi Relitas


Representasi dapat diartikan sebagai gambaran mengenai suatu hal yang
terdapat dalam kehidupan yang digambarkan melalui suatu media. Kata
representasi berasal dari bahasa Inggris, “representation”, yang memiliki arti
perwakilan, gambaran atau penggambaran.
Menurut Hall (2005), representasi adalah kemampuan untuk
menggambarkan atau membayangkan. Pentingnya representasi tertuju pada
budaya lantaran selalu dibentuk dengan bahasa dan makna. Bahasa merupakan
salah satu wujud simbol atau bentuk representasi, sedang makna merupakan
bagian dari kebudayaan yang dijembati oleh bahasa di setiap individu pada
lingkup kebudayaan. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan secara singkat bahwa
representasi merupakan salah satu cara untuk memproduksi makna, dan
dibutuhkan sebagai sarana komunikasi serta interaksi sosial.
Dalam buku Studying Culture: A Practical Introduction pada bab 3 (Giles &
Middleton, 1999), terdapat tiga definisi dari kata ‘to represent’, antara lain:
a. To stand in for. Contoh kasus seperti dalam bendera suatu negara. Dalam
suatu acara olahraga biasanya bendera masing-masing negara akan
dikibarkan. Bendera tersebut menandakan keberadaan negara yang
bersangkutan dalam acara tersebut.
b. To speak or act on behalf of. Contoh kasusnya seperti Paus menjadi orang
yang berbicara dan bertindak atas nama umat Katolik.
c. To re-present. Misalnya, tulisan sejarah atau biografi yang mampu
menghadirkan kembali peristiwa-peristiwa masa lampau.
Berbicara mengenai serial drama sebagai representasi suatu realitas, karya
audiovisual yang satu ini merupakan suatu media komunikasi massa yang vital
guna mengkomunikasikan tentang suatu realita dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, serial drama juga memiliki realitas yang kuat salah satunya
menceritakan tentang realitas masyarakat.
Sebagai salah satu piranti media massa menjadi sarana komunikasi yang paling
efektif. Serial drama sebagai salah satu kreasi budaya, banyak memberikan
gambaran-gambaran hidup dan pelajaran penting bagi penontonnya. Karya ini
juga menjadi salah satu media komunikasi yang sangat jitu. Dengan kualitas audio
dan visual yang disuguhkan, bukan tidak mungkin jika serial drama menjadi
media terpaan yang sangat ampuh bagi pola pikir kognitif masyarakat.

4. Gender
Gender merupakan istilah yang dianggap baru pada prinsipnya ialah proses
membahasakan atau memberi simbol terhadap perilaku dan fenomena yang
sesungguhnya telah lama ada dan berlaku dalam kehidupan manusia. Menurut
(Rasyidah, 2008: 9) gender merupakan pembedaan antara laki-laki dan perempuan
yang bukan didasari pada faktor biologis dan jenis kelamin (seks) sebagai kodrat
Tuhan yang secara permanen memang berbeda.
Pengertian seks sendiri dimaksukan sebagai biologi tubuh, sedangkan
gender tertuju pada asumsi dan praktik budaya yang mengatur konstruksi sosial
laki-laki dan perempuan, serta relasi sosial antara keduanya. Menurut Supartinah
(2010:7), gender ialah pembedaan antara bentuk nyata dan jenis kelamin yang
diberikan, sehingga membentuk kategori umum yaitu maskulin dan feminim.
Menurut Umar (Remiswal, 2013 : 12) mengenai pita merah teori gender
dikelompokkan dalam dua aliran, yaitu nature dan nurture. Bersumber dari dua
aliran besar inilah teori-teori gender dibangun. Dalam aliran nature bahwa
perbedaan peran laki-laki dan perempuan bersifat kodrati. Sedangkan aliran
nurture menyatakan bahwa, perbedaan relasi gender antara laki-laki dan
perempuan tidak ditentukan oleh faktor biologis, melainkan konstruksi
masyarakat.
Sederhananya gender merupakan sifat yang melekat pada kaum adam dan
hawa, kemudian dikontruksi oleh faktor-faktor sosial maupun budaya, sehingga
lahir beberapa anggapan tentang peran sosial antara laki-laki dan perempuan itu
antara lain: kalau perempuan itu dikenal sebagai makhluk yang lemah lembut,
cantik, emosional dan keibuan sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan,
dan perkasa. Sifat manusia tersebut dapat dipertukarkan dari waktu ke waktu
(Handayani dan Sugiharti, 2008: 5).

5. Bentuk-bentuk Ketidakadilan Gender


Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yeng menjadi
persoalan ialah perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan baik
laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender merupakan
sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban
dari sistem tersebut. Untuk memahami bagaimana perbedaan gender
menyebabkan ketidakadilan gender, dapat dilihat melalui pelbagai manifestasi
ketidakadilan gender yang ada.
Mansour Fakih telah mengklasifikasikan manifestasi ketidakadilan gender yang
terjadi di masyarakat. Bentuk ketidakadilan gender yang dialami perempuan di
antaranya:
a. Gender dana Marginalisasi
Marginalisasi adalah suatu proses peminggiran akibat perbedaan
jenis kelamin yang mengakibatkan kemiskinan. Permasalahan ini muncul
karena lantaran konsep gender dimaknai sama dengan seks. Anggapan ini
menempatkan perempuan yang mencari nafkah dianggap sebagai pencari
nafkah tambahan. Akibatnya perempuan mendapatkan gaji lebih rendah
dari laki-laki, apalagi jika tingkat pendidikan perempuan rendah.
Perempuan menjadi sasaran empuk untuk menerima PHK atau resign dari
pekerjaan karena alasan hamil dan melahirkan. Modernisasi tehnologi di
bidang pertanian memaksa perempuan hanya menjadi buruh petani dengan
gaji murah.

b. Gender dan Subordinasi


Subordinasi bermakna suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu
peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain.
Nilai-nilai sosial dan budaya di masyarakat telah memilah peran laki-laki
dan perempuan. Kaum hawa dianggap bertanggung jawab dan memiliki
peran dalam urusan domestik atau reproduksi, sementara laki-laki dalam
urusan publik atau produksi. Subordinasi juga dikenal sebagai tindakan
penomoduaan perempuan dalam kebijakan maupun keputusannya
menentukan perannya. Dede Wiliam de Vries dan Nurul Sutarti (2006)
mengatakan bahwa penomorduaan terhadap perempuan merupakan titik
pangkal terjadinya ketidakadilan gender. Penomorduaan terjadi karena
segala sesuatu dipandang dari sudut pandang laki-laki. Artinya,
menempatkan laki-laki sebagai nomor satu atau lebih penting daripada
perempuan.

c. Gender dan Stereotipe


Secara umum stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap
suatu kelompok tertentu. Nahasnya, tindakan ini selalu merugikan dan
menimbulkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotipe itu bersumber dari
pandangan mengenai gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis
kelamin tertentu, umumnya perempuan yang bersumber dari penandaan
yang dilekatkan pada mereka. Sebagai contoh asumsi bahwa perempuan
bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka
tiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan
stereotipe ini.
Pelabelan ini cenderung merendahkan posisi kaum perempuan,
seperti perempuan itu lemah, lebih emosional daripada menalar, cengeng,
tidak tahan banting, tidak patut hidup selain di dalam rumah, dan
sebagainya.

d. Gender dan Kekerasan


Kekerasan (violence) merupakan tindak kekerasan, baik fisik maupun non
fisik yang dilakukan oleh salah satu jenis kelamin atau sebuah institusi keluarga,
masyarakat atau negara terhadap jenis kelamin lainnya. Pemahaman gender yang
keliru menempat karakter perempuan dan laki-laki secara berbeda. Anggapan
bahwa perempuan feminism dan laki-laki maskulin mewujud dalam ciri-ciri
psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya.
Sebaliknya perempuan dianggap lemah, lembut, penurut dan sebagainya.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata
pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan
bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan
semena mena, berupa tindakan kekerasan.

e. Gender dan Beban Kerja


Beban ganda (double burden) artinya beban pekerjaan yang
diterima salah satu jenis kelamin lebih banyak dibandingkan jenis kelamin
lainnya. Peran reproduksi perempuan seringkali dianggap peran yang statis
dan permanen. Walaupun sudah ada peningkatan jumlah perempuan yang
bekerja di wilayah publik, namun tidak diiringi dengan berkurangnya
beban mereka di ranah domestik. Upaya maksimal yang dilakukan mereka
adalah mensubstitusikan pekerjaan tersebut kepada perempuan lain, seperti
pembantu rumah tangga atau anggota keluarga perempuan lainnya.
Namun, tanggung jawabnya masih tetap berada di pundak perempuan.
Akibatnya mereka mengalami beban yang berlipat ganda.
6. Analisis Semiotika Roland Barthes
Analisis semiotika Roland Barthes digunakan untuk mengidentifikasi
sistem penandaan dan peran dari tanda-tanda yang dapat memunculkan makna
tertentu. Analisis semiotika dari Barthes terususun atas dua tingkat atau tataran.
Sistem pemaknaan tataran pertama adalah makna denotatif (denotasi) yang
merupakan aspek material dari sebuah objek atau tanda. Kemudian, sistem
pemaknaan tataran kedua adalah makna konotatif (konotasi) yang merupakan
aspek mental dari sebuah objek atau tanda. Namun, makna konotatif menurut
barthes tidak hanya memahami proses penandaan, melainkan juga melihat aspek
lain dari penandaan, yakni mitos. Mitos biasanya diasumsikan sebagai apa yang
menjadi budaya yang dipercaya serta dilakukan dalam kegiatan sehari-hari oleh
masyarakat.
Roland Barthes menjelaskan signifikansi tahap pertama merupakan
hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas
eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi. Konotasi adalah istilah yang
digunakan Barthes untuk signifikansi tahap kedua. Hal ini menggambarkan
interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari
pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Pada signifikansi tahap kedua yang
berkaitan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (Sobur, 2009).

Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan pendekatan penelitian studi kualitatif dengan


metode analisis semiotika bertujuan untuk memahami secara mendalam dan
mendeskripsikan mengenai tanda-tanda yang terkait dengan karakteristik bentuk
ketidakadilan gender dalam serial drama Spanyol Money Heist. Teknik
pengumpulan data dalam penelitian ini dimulai dengan menyaksikan serial drama
Money Heist dari awal hingga season 3, di mana peneliti menetapkan ciri-ciri atau
kriteria khusus yang sesuai dan erat kaitannya dengan tujuan penelitian.
Pada penelitian ini, sumber data primer yang digunakan adalah beberapa
adegan-adegan dari season 1 sampai 3 dengan aspek audio dan visual dalam serial
drama Money Heist. Sementara, data sekunder yang digunakan adalah hasil
literasi dan referensi yang bersumber dari buku-buku ilmu komunikasi, website,
jurnal ilmiah penelitian mengenai komunikasi, film, dan semiotika. Untuk
menguji keabsahan data, peneliti menggunakan triangulasi data yang diuji dengan
intertekstualitas. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis
semiotika dari Roland Barthes.

Sajian dan Analisis Data

Berikut merupakan tabel analisis semiotika mengenai representasi bentuk


ketidakadilan gender dalam serial drama Spanyol Money Heist:

No Adegan Bentuk Ketidakadilan Analisis Data


Gender (Semiotika Roland Barthes)
1 Episode Gender a. Denotasi
2
dan Denver melarang Stockholm
Season
3 Marginalisasi untuk ikut serta dalam aksi
perampokan.
b. Konotasi
Pembatasan peran sebagai ibu

sekaligus wanita karir. Lantaran

jenis pekerjaan perempuan yang

mereka jalani sudah ditentukan

oleh laki-laki, mana pekerjaan

yang cocok untuk perempuan

dan mana yang tidak cocok

(Bhasin, 1996:6).

c. Mitos
Pada tahun 1939 – 1975 ketika
Francisco Franco Bahamonde
menjadi presiden Spanyol kala
itu, wanita dikecualikan dari area
publik dan forum diskusi, serta
kaum hawa menjadi subjek
suami ketika sudah berumah
tangga. Tanggung jawab
mendasar mereka adalah
melahirkan anak, menyebarkan
nilai-nilai moral tradisional dan
mendidik anak.
2 Episode Gender a. Denotasi
3
dan Berlin memberi perintah pada
Season
2 Subordinasi Nairobi untuk menjaga Rio yang
tengah pingsan.
b. Konotasi
Laki-laki berfikir perempuan
tidak mampu berfikir seperti
ukuran mereka (Muniarti,
2004:23). Hal tersebut diperkuat
oleh pendapat Pinem (2009:42)
yang mengatakan bahwa, stigma
mengenai posisi laki-laki lebih
tinggi dari pada perempuan
dalam segala aspek kehidupan
sosial, budaya dan ekonomi.
c. Mitos
Dalam studi ini yang didasarkan
pada British Athena Survey of
Science, Engineering and
Technology (ASSET 2016)
didistribusikan di antara para
peneliti yang bekerja di Spanyol.
Fakta bahwa laki-laki menempati
sebagian besar posisi senior dan
kurang ditemukan perempuan
yang menjabat pada posisi
tersebut, penting jika dapat
melihat kaum hawa dapat naik ke
jabatan tinggi dalam sistem
akademik dengan adil layaknya
kaum adam.
3 Episode Gender a. Denotasi
2
dan Berlin mengatakan kepada Rio
Season
1 Stereotipe bahwa perempuan diciptakan
hanya untuk memuaskan dan
menggoda laki-laki melalui lekuk
tubuhnya
b. Konotasi
Dilansir dari Tempo.co, terdapat
sebuah penelitian yang
diterbitkan dalam jurnal
Psychological Science
menunjukkan bahwa masyarakat
cenderung menilai perempuan
berdasarkan penampilan, dan
mengesampingkan hal lain
seperti kecerdasan dan
kepribadian, berbeda ketika
mereka memberikan penilaian
terhadap laki-laki.
c. Mitos
Saat Spanyol memasuki rezim
Franco, tahun pertama, terjadi
model diskriminatif di mana
perempuan jelas-jelas harus
tunduk pada laki-laki.
Episode Gender a. Denotasi
2 dan Palermo mengolok-olok anggota
Season Stereotipe perempuan dalam geng dengan
3 menyuruhnya diam dan lebih
baik mencuci piring.
b. Konotasi
Di masyarakat secara luas
menyatakan bahwa perempuan
identik dengan sektor domestik
sehingga sangat sedikit
perempuan yang turut andil
dalam dunia politik (Nimrah &
Sakaria, 2015:178).
c. Mitos
Kediktatoran Franco di Spanyol
melahirkan berbagai
permasalahan menyangkut
kesetaraan gender. Peran wanita
dikontruksi oleh sosial budaya
yang ada bahwa perannya hanya
sebatas lingkup keluarga saja
seperti mencuci, memasak,
merawat anak dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu,
pelabelan mencuci piring
melekat pada peran perempuan di
dunia, tidak hanya di Spanyol.
4 Episode Gender a. Denotasi
7
dan Ariana bercerita kepada Monica
Season
2 Kekerasan mengenai pengalamannya
diperkosa oleh Berlin.
b. Konotasi
Menurut Mansour Fakih
(2013:18) pemerkosaan didasari
atas paksaan untuk mendapatkan
pelayanan seksual tanpa kerelaan
yang bersangkutan.
Ketidakrelaan ini disebabkan
oleh pelbagai faktor, mislanya
ketakutan, malu, keterpaksaan
baik ekonomi, sosial maupun
kultural, dan tidak ada pilihan.
c. Mitos
Kekerasan seperti pemerkosaan
marak terjadi di negri matador
yang notabenenya merupakan
salah satu negara dengan tingkat
kesetaraan gender tinggi di
dunia. Pada Juli 2016, seorang
wanita berusia 18 tahun
dilecehkan secara seksual oleh
lima pria selama perayaan di
Pamplona, Spanyol.
5 Episode Gender a. Denotasi
8
dan Raquel mengalami banyak
Season
1 Beban Kerja tekanan, di antaranya dari harus
merawat anak seorang diri dan
tuntutan pekerjaan sebagai polisi
dalam menyelesaikan kasus
perampokan.
b. Konotasi
Keterlibatan perempuan
disektor publik tersebut tidak
menghilangkan beban tugasnya
di wilayah domestik (Sunardi,
2008: 68).
c. Mitos
Salah satu ahli dari Spanyol
Esplen (2009) menjelaskan jika
perempuan juga memikul beban
utama merawat kerabat dan
anggota rumah tangga yang sakit.
Hal ini dapat merusak hak-hak
mereka dan membatasi
kesempatan mereka, misalnya
ketika anak perempuan putus
sekolah untuk merawat anggota
keluarga.
Episode Gender a. Denotasi
2 dan Denver mempermasalhkan peran
Season Beban Kerja Stockholm sebagai Ibu.
3 Permasalahakn tersebut muncul
ketika Stockholm nekat
menjalankan misi perampokan.
Kemudian Denver bertanya
kepada Stockholm seandainya ia
tetap bersikukuh untuk
merampok, bagaimana dengan
pemberian ASI anak mereka.
b. Konotasi
Aldaraca menjelaskan jika
masyarakat abad ke-19 belas
mengidentifikasi wanita,
menghargai mereka, dan menilai
mereka dari kinerja mereka
sebagai putri, istri dan ibu (1992:
234).
c. Mitos
Di Spanyol untuk mengatasi
ketidakadilan gender dalam
beban kerja. Negeri Matador
telah memberlakukan cuti
bersama baik ayah atau ibu saat
dihadapkan dengan momen yang
bahagia, yaitu kelahiran bayi
Sumber: Peneliti (2021)

Kesimpulan

Melalui beberapa adegan dan dialog dalam serial drama Money Heist,
peneliti merepresentasikan suatu realitas melalui simbol-simbol yang didasarkan
pada kondisi dan peristiwa yang ada, serta dialami masyarakat Spanyol.
Klasifikasi ketidakadilan gender dari Mansour Fakih dapat ditemukan dalam serial
drama Money Heist dan sejalan dengan permasalahan yang terjadi di Spanyol..
Penelitian ini diperkuat dengan pendapat dari Sumarno (1996 : 12) yang
mengatakan bahwa dalam sebuah film, realitas yang ditampilkan bukanlah realitas
yang sesungguhnya, melainkan realitas yang telah direka sedemikian rupa. Oleh
karena itu, nilai-nilai yang yang didapat pembuat, serta pola-pola yan berkembang
dalam masyarakat tempat dibuatnya film atau serial drama disatukan untuk
menjadi satu kesatuan yang dinamakan realitas.
Sejalan dengan landasan teori yang dari salah satu tokoh di atas mengenai
karya audio visual, peneliti menelaah lebih lanjut mengenai realitas yang dikreasi
oleh Alex Pina lahir dari pola pikir dan pengalamannya sebagai masyarakat
Spanyol. Melalui karyanya, Alex Pina ingin memberikan pesan kepada khalayak
tentang suatu realitas berdasarkan pemikiran dan pengalaman yang ia miliki.

Daftar Pustaka

Abdullah, I. (2006). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:


Pustaka. Pelajar.
Aldaraca, B. A. (1992): El ángel del hogar: Galdós and the Ideology of
Domesticity in Spain. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
Barthes, R. (2011). Mitologi. Bantul: Kreasi Wacana.
Bhasin, K. (1996). Menggugat patriarki: pengantar tentang persoalan dominasi
terhadap kaum perempuan. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Browne, E. & Millington, K. A. (2015). Social development and human
development: Topic guide. Birmingham / Oxford: GSDRC, University of
Birmingham / HEART.
Effendy, Onong Uchajana. (2003). Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Eriyanto. (2002). Analisis Framing: Kontruksi, Ideologi, dan Politik Media.
Yogyakarta: LKis.
Fakih, M. (2013). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Giles, J & Middleton, T. (1999). Studying Culture: A Practical Introduction.
Oxford: Blackwell Publishers.
Muniarti & Nunuk A. (2004). Getar Gender. Magelang: Indonesia Raya.
Nimrah S. & Sakaria. (2015). Perempuan dan budaya patriarki dalam politik
(studi kasus kegagalan caleg perempuan dalam pemilu legislatif.
(2014). The Politics. 1(2). 173-182.
Nurudin. (2007). Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Pinem, Saroha. (2009). Kesehatan Reproduksi dan Kontrasepsi. Jakarta: Trans
Media.
Ramadhani, P. (2020). Netflix Rajai Layanan Streaming Berkat Work From
Home.https://www.liputan6.com/bisnis/read/4219685/netflix-rajai-
layananstreaming-berkat-work-from-home (Diakses 24 Januari 2020).
Sobur, Alex. (2001). Analisis Teks Wacana: Suatu Pengantar Untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. 2006. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai