Anda di halaman 1dari 259

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

PEREMPUAN DAN PROFESI JURNALIS


(Studi Kasus Mengenai Persepsi Perempuan terhadap Profesi
Jurnalis di Kalangan Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu
Komunikasi FISIP UNS)

SKRIPSI

Disusun Oleh:
FRANCISKA ANISTIYATI
D0206054

Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi


Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi
pada Program Studi Ilmu Komunikasi

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012

commiti to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commitii to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commitiiito user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Motto:

If you can dream it, you can do it (Walt Disney)

commitivto user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Persembahan:

Untuk Bapak, Ibu dan Mas Ulik

commitv to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah Bapa Yang Maha Kasih, karena hanya dengan

kehendak-Nya, skripsi berjudul PEREMPUAN DAN PROFESI JURNALIS (Studi

Kasus mengenai Persepsi Perempuan terhadap Profesi Jurnalis di Kalangan

Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS) telah terselesaikan

dengan baik.

Skripsi ini dilatarbelakangi oleh minat Penulis pada kajian perempuan

khususnya di bidang media. Ada pun secara khusus, buku

telah menginspirasi Penulis untuk menyusun skripsi ini. Buku tersebut

memaparkan data bahwa jumlah jurnalis perempuan di Indonesia begitu sedikit. Dari

situ Penulis menjadi tertarik untuk mengetahui mengapa hanya sedikit perempuan

yang tertarik menjadi jurnalis. Sebagai penelitian komunikasi, Penulis kemudian

membatasi permasalahan ini dalam bingkai konsep persepsi.

Penyusunan skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan pertolongan baik moril

maupun material dari berbagai pihak. Atas selesainya skripsi ini, Penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah berbaik hati memberikan

dukungan:

1. Prof. Drs. H. Pawito, Ph.D, selaku Dekan FISIP UNS sekaligus Ketua Panitia

Ujian Skripsi Penulis. Terima kasih atas koreksi dan masukan yang

bermanfaat bagi penyempurnaan skripsi ini.

commitvito user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

2. Dra. Prahastiwi Utari, M.Si, Ph.D, selaku Ketua Program Studi Ilmu

Komunikasi FISIP UNS sekaligus pembimbing skripsi Penulis, terima kasih

untuk setiap diskusi yang mencerahkan. Terima kasih pula telah mengajari

Penulis tentang arti kesabaran dan ketekunan. Penulis yakin, kehadiran Ibu

dalam skripsi ini bukanlah sebuah kebetulan.

3. Mahfud Anshori, S.Sos, M.Si selaku Sekretaris Panitia Ujian Skripsi Penulis.

Terima kasih atas koreksi dan masukan yang membangun sehingga skripsi ini

menjadi lebih baik.

4. Drs. H. Dwi Tiyanto, SU selaku pembimbing Akademik Penulis. Terima

kasih untuk motivasi yang diberikan.

5. Teman-teman Informan: Annisa Fitri dkk, Dian Erika dkk dan Ema Yuliani

dkk, t berhenti

sebagai impian belaka.

6. Bapak Supriyono, Ibu MM. Suti Rahayu dan Mas Yoseph Kelik Prirahayanto,

terima kasih karena telah bersabar, terima kasih untuk doa dan semangat yang

terus mengalir. Semoga skripsi ini dapat menjadi alasan untuk tersenyum dan

menghirup nafas yang dalam

7. Cosmas Irmawan Henry Asmanto, terima kasih telah menjadi sahabat, kakak

dan partner yang setia.

8. Suki Family tercinta: Mutiara Oktaviani, Dara Narendra Dhuhita, Lopiana

Sita Hirlawati, Tri Setyo Ariyanti, Galuh Anindhita, Wahyu Aji Putranto,

Aditya Wisnu Wicaksana, Meggi Girbaldi, Freddy Kurniawan dan Yonatan

commitviito user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Satria Yudha. Terima kasih telah menjadi teman curhat mulai dari urusan

remeh temeh hingga impian masa depan.

9. Saudara-saudariku seibu: Candra, Mas Fijar, Mbak Dhita, Era, Dewi, Mbak

Elya, Aang, Asiska, Dinda. Kebersamaan dan perjuangan bersama kalian tak

pernah terlupa teman. Sukses untuk kita semua,

10. Teman-teman Komunikasi 2006 yang baik hati: Cesil, Duo Arum, Fika,

Nunung, Lalak dan semuanya saja, sukses untuk kita semua. Yang masih

berjuang semangat ya, kebersamaan dengan kalian akan menjadi kenangan

indah di masa depan.

11. Bapak Argyo Dewantoto, terima kasih atas pinjaman buku-buku gender yang

sangat bermanfaat.

12. Mas Budi, staff pendidikan, dan pihak-pihak yang tak dapat disebut satu per

satu, terima kasih atas kebaikannya

Penulis tak menutup mata bahwa sebagai pekerjaan manusia, skripsi ini

bukanlah pekerjaan yang sempurna. Oleh sebab itu Penulis membuka diri untuk

setiap kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, terima kasih.

Penulis

viii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRAK

FRANCISKA ANISTIYATI, D0206054, PEREMPUAN DAN PROFESI


JURNALIS (Studi Kasus mengenai Persepsi Perempuan terhadap Profesi
Jurnalis di Kalangan Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP
UNS) Skripsi, Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS) Surakarta, 2012.

Media massa disebut-sebut sebagai dunia maskulin. Bias gender yang


cenderung merugikan perempuan masih mewarnai media di berbagai aspek mulai
dari struktur organisasi, ritme kerja hingga berita yang dihasilkan. Rendahnya jumlah
jurnalis perempuan dituding sebagai salah satu faktor pelestari maskulinitas media.
Dengan tanpa mengurangi rasa hormat pada laki-laki penganut prinsip kesetaraan
gender, perjuangan keadilan bagi perempuan di media idealnya dipelopori oleh
perempuan itu sendiri. Sebagaimana termaktup dalam rumusan jurnalisme sensitif
gender, peningkatan jumlah jurnalis perempuan pun menjadi agenda mendesak dalam
rangka menciptakan media yang lebih adil gender.
Tingginya harapan akan peningkatan partisipasi perempuan sebagai jurnalis
pada perjalanannya harus terkendala oleh minat perempuan yang masih rendah.
Kondisi ini patut dipertanyakan karena jurusan Ilmu Komunikasi yang merupakan
pendidikan untuk mencetak praktisi media tengah dibanjiri peminat. Perlu pula untuk
digarisbawahi bahwa mayoritas peminat jurusan Ilmu Komunikasi adalah perempuan.
Disini Penulis melihat adanya kesenjangan antara perempuan yang berpotensi sebagai
jurnalis dengan mereka yang kemudian memutuskan menjadi jurnalis.
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang diangkat pada penelitian ini yaitu
bagaimana persepsi mahasiswi terhadap profesi jurnalis serta faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi. Ada pun subjek penelitian ini yaitu Mahasiswi S-1 Program
Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS dengan pertimbangan aksesbilitas.
Untuk menjawab persoalan tersebut, Penulis menggunakan metodologi
penelitian kualitatif dengan pendekatan postpositivistik rasionalistik. Adapun metode
penelitian yang digunakan adalah studi kasus. Untuk pengumpulan data digunakan
metode wawancara mendalam (indepth interview). Selanjutnya dengan menggunakan
teknik purpossive sampling diperoleh 18 orang informan penelitian. Untuk validitas
data diuji melalui teknik triangulasi sumber (data) dan analisa data menggunakan
model interaktif Miles dan Huberman.
Dari hasil penelitian diperoleh data bahwa terdapat dua tipe persepsi yang
muncul mengenai profesi jurnalis yaitu persepsi idealistis dan persepsi realistis.

commitixto user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Persepsi idealistis terjadi pada mahasiswi semester awal dimana jurnalis menjadi
pekerjaan ideal bagi mereka. Menurut mereka profesi ini menjanjikan berbagai
kesenangan diantaranya seperti jalan-jalan dan menyalurkan hobi menulis. Namun,
minat tersebut mengalami pergeseran dan munculkan persepsi realistis. Beberapa
mahasiswi menjadi kurang tertarik menjadi jurnalis karena menurut mereka pekerjaan
ini terlalu berat untuk perempuan, diantaranya dalam hal jam kerja yang tidak tentu,
lokasi kerja di lapangan dan juga sisi keamanan. Pergeseran minat tersebut terjadi
setelah mereka mengikuti mata kuliah profesi dan ada program Kuliah Kerja
Komunikasi (K3).
Terbentuknya persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP
UNS terhadap profesi jurnalis kiranya sesuai dengan teori Pembelajaran Sosial yang
disampaikan oleh Osgood. Secara terus menerus mahasiswi S-1 Prodi Ilmu
Komunikasi FISIP UNS menghimpun informasi mengenai profesi sebagai jurnalis
dan selanjutnya menunjukkan sikap/perilaku terhadap profesi tersebut. Penulis
melihat adanya pengaruh negatif yang kuat dari lingkungan dan kurangnya motivasi
pada diri perempuan untuk menjadi jurnalis. Secara umum budaya patriarki telah
menghambat perempuan untuk menjadi jurnalis.

commitx to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

ABSTRACT
FRANCISKA ANISTIYATI, D0206054, YOUNG WOMEN AND
JOURNALIST (Case Study about Young Women Perception toward Journalist
in Undergraduate Female Students on Communication Department of Social
and Political Faculty Sebelas Maret University Surakarta), Paper,
Communication Science Majors, Social and Political Science Faculty, Surakarta
Sebelas Maret University (FISIP UNS), 2012

Mass media is regarded as masculine world. Gender bias still colors the media
in many aspects such as the organization structure, work rhythm, and the presenting
of sensitive gender news. The low number of female journalist is regarded as one of
the supportive factor of media masculinity. Without decreasing the respect to men

must be started by women theirselves. The improvement of female journalist number


is expected can give more fair perspective dealing with gender in media, such as
formulated in sensitive gender journalism.

fact should face any obstacles because women have low interest to be a journalist.
This condition must be asked because people who are interested in Communication
Department Education increases recently and one thing that must be underlined is
woman have been the majority of people who are interested in this department. The
writter see that there was gap between women who are potential as journalist and
women who decide to be a journalist.
Based on the statement above, the problem raised in this research is how

of this research are Undergraduate Female Students of Communication Department


of Social and Political Faculty Sebelas Maret University Surakarta with the
accessibility consideration.
To answer that problem, researcher uses qualitative research methodology
with postpositivism-rasionalism approach. Meanwhile, the writter used case study as
a method research. Meanwhile the data collection uses in depth interview. Purposive
sampling technique is used to choose eighteen research informants. The validity of
the data is tested through source triangulation technique (data) and the data analysis
uses Miles and Huberman Interactive model.
From the result of research, the writer found that there was two type
perception of journalist, idealistic and realistic perception. Idealistic perception
happened in early time study of Undergraduate Female Students of Communication
Department of Social and Political Faculty Sebelas Maret University Surakarta.
Journalisr was their ideal work type. They thought that journalist was so interesting in
many thing such as a chance to have traveling and practice hobby of writting. But

commitxi to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

there is a change after that. This is the rising of realistic perception. Many student
became uninterested to be journalist because it feel too hard for woman such as
uncertain work time, outdoor place, and the safety. This change happen after they
follow profession class dan Kuliah Kerja Komunikasi (K3).
The perception of Female Students to journalist was happen through social
learning process by Osgood . They try to collect information about journalist to get
final evaluation that become the basic of their attitude exchange. The writer sees there
is a strong negative impact from the environment and the lack of motivation of

for women to be a journalist.

commitxiito user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL ........................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................... iv
PERSEMBAHAN ......................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
ABSTRAK ..................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. xiii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xvi
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xvii
DAFTAR BAGAN......................................................................................... xviii

BAB I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................... 14
C. Tujuan Penelitian ................................................................................ 14
D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 15
E. Telaah Pustaka .................................................................................... 16
F. Review Penelitian Terdahulu .............................................................. 53
G. Kerangka Berpikir ............................................................................... 57
H. Definisi Konseptual............................................................................. 58
1. Persepsi......................................................................................... 58
2. Perempuan .................................................................................... 59
3. Jurnalis ......................................................................................... 59
I. Metodologi Penelitian ......................................................................... 60
1. Paradigma Penelitian .................................................................... 60
2. Metode Penelitian ......................................................................... 63

xiii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

3. Subjek Penelitian .......................................................................... 65


4. Sumber Data ................................................................................. 65
5. Teknik Sampling........................................................................... 65
6. Teknik Pengumpulan Data ........................................................... 66
7. Validitas Data ............................................................................... 67
8. Teknik Analisis Data .................................................................... 68

BAB II. DESKRIPSI LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN.... ........... 72

A. Gambaran Umum Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS ...................... 72


1. Sejarah Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS ................................ 72
2. Struktur Organisasi Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS............. 73
3. Visi Program Studi ....................................................................... 74
4. Misi Program Studi ...................................................................... 74
5. Tujuan Program Studi .................................................................. 75
6. Kurikulum .................................................................................... 76
7. Substansi Mata Kuliah Spesialisasi.............................................. 80
8. Profil Dosen.................................................................................. 81
9. Kemahasiswaan ............................................................................ 82
10. Sarana dan Prasarana Pendidikan................................................. 82
11. Profil Lulusan ............................................................................... 84
B. Gambaran Umum Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS ... 84
C. Data Subjek Penelitian ........................................................................ 86

BAB III. PERSEPSI MAHASISWI S-1 PROGRAM STUDI ILMU


KOMUNIKASI FISIP UNS TERHADAP PROFESI
JURNALIS ................................................................................. 95

A. Pemilihan Jurusan Ilmu Komunikasi .................................................. 97


1. Faktor Personal ............................................................................... 98
1.1. Pengetahuan Mengenai Jurusan Ilmu Komunikasi ................. 94
1.2. Motif Kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi .............................. 112
2. Faktor Situasional ........................................................................... 130
2.1. Significant Others .................................................................... 131
2.2. Media Massa ............................................................................ 143

xiv
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

B. Pemilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi ........................................... 154


1. Ideal Type ....................................................................................... 155
2. Transition Type .............................................................................. 173
3. Real Type ........................................................................................ 181
C. Persepsi Mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP
UNS terhadap Profesi Jurnalis ........................................................... 195
1. Persepsi Idealistis ........................................................................... 196
2. Persepsi Realistis ............................................................................ 213
3. Pengaruh Significant Others ........................................................... 228

BAB IV. PENUTUP ...................................................................................... 235

A. Kesimpulan.......................................................................................... 235
B. Saran .................................................................................................... 240

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 242

LAMPIRAN

commitxvto user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel I.1 Desk dibawah Redaktur Perempuan di Sembilan Surat Kabar di
4
Tabel I.2 Komposisi Wartawan Laki-laki dan Perempuan dari Sembilan
6
Tabel I.3 Jumlah Reporte 7
Tabel I.4 Rekapitulasi Penerbitan Pers Berdasarkan bentuk/format 9
Tabel II.1 Daftar Mata Kuliah Semester 1 77
Tabel II.2 Daftar Mata Kuliah Semester 2 77
Tabel II.3 Daftar Mata Kuliah Semester 3 78
Tabel II.4 Daftar Mata Kuliah Semester 4 78
Tabel II.5 Daftar Mata Kuliah Semester 5 78
Tabel II.6 Daftar Mata Kuliah Semester 6 79
Tabel II.7 Daftar Mata Kuliah Semester 7 79
Tabel II.8 Daftar Mata Kuliah Semester 8 79
Tabel II.9 Daftar Mata Kuliah Pilihan 79
Tabel II.10Jumlah Mahasiswa S-1 Reguler Program Studi Ilmu Komunikasi
FISIP UNS Akademik 2010/2011 85
Tabel II.11Daftar Informan 86

xvi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar I.1 Model Komunikasi Riley 22
Gambar I.2 Analisis Data Model Interaktif Miles dan Huberman 71

xvii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

DAFTAR BAGAN

Halaman
Bagan I.1 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi menurut
Robbins dan Judge 32
Bagan I.2 Kerangka Berpikir 58
Bagan II.1 Struktur Organisasi Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS .... 73
Bagan III.1 Pemilihan Jurusan Ilmu Komunikasi 153
Bagan III.2 193
Bagan III.3 Pergeseran Pilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi 193

Bagan III.4 Pemilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi 194

xviii
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Media massa disebut-sebut sebagai dunia maskulin. Kepekaan media terhadap

persoalan-persoalan gender dianggap masih kurang dan cenderung merugikan

perempuan. Mengutip pernyataan Marwah Daud Ibrahim dalam Ibrahim dan Suranto,

sejauh ini media dianggap masih melanggengkan stereotip yang merugikan

perempuan. Perempuan disosialisasikan sebagai makhluk yang pasif, tergantung pada

pria, didominasi, menerima keputusan yang dibuat oleh pria dan terutama pasrah

melihat dirinya sebagai simbol seks1.

Bias gender di media pertama-tama dapat dilihat dari bagaimana surat kabar,

majalah, film, televisi, iklan, dan buku-buku menampilkan potret diri perempuan.

Mari kita sejenak melihat fenomena perempuan dalam berita kejahatan dan kriminal.

-
2
;
3
. Tanpa membaca berita lebih

lanjut, dari judul dapat ditangkap bahwa korban dari tindak pelecehan seksual adalah

1
Marwah Daud Ibrahim dalam Idi Subandy Ibrahim, dkk (ed), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi
gender dalam Ruang Publik Orde Baru. (Bandung:Remaja Rosdakarya, 1998), hlm.107
2
eptember 2010
3
Ahmad Tarmizi, -
12 Desember 2010

commit1 to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

perempuan dan laki-laki berperan sebagai pelaku. Tidak dapat disangkal bahwa kasus

pelecehan seksual selama ini begitu identik dengan keberadaan laki-laki sebagai

pelaku dan perempuan sebagai korban.

Selanjutnya, ada beberapa kata yang sering muncul dalam berita kriminal

khususnya berita perkosaan antara lain sebagai berikut:

dsb. Secara tidak langsung korban (perempuan) justru semakin dieksploitasi dengan

pilihan-pilihan kata di berita. Sebaliknya, sosok pelaku (laki-laki) yang semestinya

mereka lakukan. Dalam kasus ini lengkaplah sudah derita perempuan. Sudah jatuh

masih tertimpa tangga. Sudah menjadi korban yang menanggung beban psikologis

masih diberitakan tanpa rasa simpati yang semakin menambah luka.

Menjadikan berita kriminal sebagai bukti dari bias gender di media mungkin

terlalu ekstrim. Ada baiknya kita mencoba mengamati berita-berita regular tentang

perempuan yang dimuat dalam rubrik atau media khusus perempuan. Hasilnya,

menurut Debra H. Yatim selama ini media perempuan cenderung menyajikan berita

atau artikel yang bersifat domestik yaitu menyangkut rumah tangga, mode,

perawatan, keluarga dan anak, serta profil tokoh perempuan yang berhasil pada

bidang-bidang tersebut4. Disini dapat dirasakan bagaimana media mengkonstruksikan

peran perempuan sebagai penguasa wilayah domestik.

4
Debra H Yatim dalam Idi Subandy Ibrahim, dkk (ed), Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi gender
dalam Ruang Publik Orde Baru. (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1998), hlm. 137

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sekadar sebagai pembelaan terhadap media, kerap dikatakan bahwa media

tidak lebih, tidak kurang adalah cermin bagi realitas yang beredar di masyarakat.

Namun, pembelaan itu ditangkis oleh Debra H. Yatim dengan mengajukan sudut

pandang lain bahwa media memiliki hubungan dua arah dengan realitas sosial. Selain

menjadi cermin dari realitas, media sebenarnya juga menciptakan realitas (realitas

media)5. Saat sebuah berita dianggap kurang sensitif gender, melalui kaca mata Debra

H Yatim penyebabnya dapat dirunut dari dua sumber: pertama, kenyataan di

masyarakat memang demikian, atau kedua, subjektivitas wartawan dan editorlah yang

bermain.

Kiranya berita bias gender dapat diminimalisir jika didasari oleh kesadaran

akan kemungkinan kedua. Nursyahbani Katjasungkana dalam sebuah artikel pernah

menuliskan harapannya untuk gerakan kesetaraan gender, yang tentunya ini relevan

juga jika dihadapkan pada bias gender yang masih mewarnai media:

eputusan,
mungkin akan lebih cepat mewujudkan kesetaraan dan keadilan antara laki-laki
6
.

Pada kenyataannya, media masih sepi dari campur tangan perempuan. Jumlah

redaktur perempuan di media sejauh ini masih minim. Menurut hasil penelitian dari

Lembaga Penelitian Pendidikan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) dan Ford Foundation

tahun 1998, pada sembilan surat kabar di Jawa (Kompas, Republika, Suara

5
Ibid, hlm. 134
6
Tempo (18-24 Desember 2006) hlm.93

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Pembaharuan, Pos Kota, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat,

Surabaya Post, Jawa Pos) maksimal baru terdapat dua jurnalis perempuan yang

menduduki jabatan sebagai redaktur desk dan bidang7.

Ada pun desk-desk yang diampu oleh para redaktur perempuan di kesembilan

surat kabar itu antara lain Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek), Minggu dan

Feature. Sejauh ini belum ada perempuan yang pernah menduduki posisi puncak

sebagai redaktur desk metro, kriminal apalagi sebagai pemimpin redaksi. (Lihat Tabel

I.1).

Tabel I.1
Desk dibawah Redaktur Perempuan di Sembilan Surat Kabar di Jawa
No Media Redaktur Desk/ Bidang
Lunak Keras
1 Kompas 2 0
2 Suara Pembaharuan 1 0
3 Republika 2 0
4 Pos Kota 1 0
5 Pikiran Rakyat 0 0
6 Kedaulatan Rakyat 0 0
7 Suara Merderka 2 0
8 Jawa Pos 2 0
9 Surabaya Post 0 0
Jumlah 10 0
Sumber: Media & Gender, 1998

7
Ashadi Siregar dkk (ed), Media & Gender: Perspektif Gender atas Industri Suratkabar Indonesia.
(Yogyakarta: LP3Y, 1999), hlm. 45-61

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Di lingkup yang lebih sempit, Dalam struktur kepengurusan PWI Cabang

Surakarta masa bakti 2006-2010 hasil Konferensi Cabang 2 Desember 2006 terdapat

kenderungan sama. Dari 14 pengurus, hanya dua orang perempuan yang masuk dalam

struktur organisasi PWI Cabang Surakarta. Itu pun masih menjadi orang nomer dua,

masing-masing sebagai Wakil Sekretaris II dan Wakil Ketua Seksi Seni, Budaya dan

Pariwisata8.

Melalui stuktur keorganisasian, maskulinitas media begitu terasa melalui

pembagian kerjanya yang bersifat sex-line. Laki-laki ditempatkan pada bidang kerja

keras (hard) seperti bidang politik, ekonomi, hukum dan kriminal serta olahraga.

Sedangkan perempuan ditempatkan pada bidang yang lunak (soft) seperti pendidikan,

kesejahteraan masyarakat, pariwisata, budaya, dan hiburan serta ilmu pengetahuan

dan teknologi9. Terdapat sebuah kecenderungan bahwa perempuan masih dianggap

sebagai orang nomer dua di media.

Lemahnya bargaining position maupun peran strategis perempuan di media

menjadi tak mengherankan karena jumlah jurnalis yang ada di industri media selama

ini ternyata didominasi oleh laki-laki. Data tahun 1998 menunjukkan masih adanya

ketimpangan yang cukup jauh antara proporsi jurnalis perempuan dan laki-laki. Data

sembilan surat kabar harian besar yang terbit di Jawa yakni; harian Kompas, Suara

Pembaharuan, Republika, Pos Kota, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara

8
Sumber: Data PWI Cabang Surakarta
9
Siregar, Op.Cit. hal.45

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Merdeka, Jawa Pos dan Surabaya Pos menunjukkan bahwa rata-rata hanya terdapat

14 orang jurnalis perempuan dari total 129 orang jurnalis yang bekerja, atau sekitar

11 persen saja. (Lihat pada Tabel I. 2)10.

Tabel I. 2
Komposisi Wartawan Laki-laki dan Perempuan dari Sembilan Surat Kabar Harian
No Media Laki-laki Perempuan Jumlah Rasio (%)
1 Kompas 156 28 184 15,22
2 Suara Pembaharuan 82 15 97 15,46
3 Republika 108 21 129 16,27
4 Pos Kota 103 8 111 7,21
5 Pikiran Rakyat 69 12 81 14,81
6 Kedaulatan Rakyat 133 14 147 9,52
7 Suara Merdeka 121 12 133 9,02
8 Jawa Pos 119 8 127 6,30
9 Surabaya Pos 143 9 152 5,92
Jumlah 1.034 127 1.161 10,94
Sumber: Media dan Gender, 1999

Kondisi yang sama juga terjadi di industri televisi. Dari Lima stasiun televisi

swasta di Indonesia yaitu SCTV, RCTI, ANTV, IVM dan TPI (sekarang MNCTV),

rata-rata perbandingan reporter perempuan dan laki-laki adalah 1: 211. Perbandingan

itu akan berubah nilainya jika seluruh kameramen masuk hitungan. Angka

10
Ibid. hlm.14
11
Priyo Soemandoyo, Wacana Gender dan Layar Televisi: Studi Perempuan dalam Pemberitaan
Televisi Swasta, (Yogyakarta: LP3Y, 1999), hlm. 128

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

perbandingan bisa membengkak menjadi 1: 412 karena tidak ada kameramen

perempuan (Lihat Tabel I.3). Tak berbeda dari media cetak, industri televisi pun

membagi peran perempuan dan laki-laki dalam penugasan. Kebanyakan perempuan

berada di depan layar sedangkan laki-laki di balik layar dengan spesifikasi

mengoperasian alat.

Tabel I. 3
Jumlah Reporter dan Kameramen televisi Swasta
No Jenis Pekerjaan SCTV RCTI ANTV IVM TPI Jmlh
1 Reporter Laki-laki 38 42 34 16 22 152
2 Reporter perempuan 15 20 14 8 13 70
3 Kamrmn laki-laki 34 32 30 26 20 142
4 Kamrmn perempuan - - - - - -
5 Presenter laki-laki 6 8 2 2 4 24
6 Presenter perempuan 7 6 5 2 5 25
Jumlah 100 108 85 54 64 413
Sumber: Soemandoyo:1998

Dalam lingkup yang lebih luas, Data PWI tahun 1998 tentang data jumlah

wartawan di Indonesia menampilkan kecenderungan yang sama. Dari 4.687 orang

wartawan di Indonesia, diperoleh data bahwa jumlah wartawan perempuan hanya 461

orang atau sekitar 10 persen13.

12
ibid
13
Nur Iman Subono, , Jurnal Perempuan, Nomor. 28,
Maret (2003), hlm.57

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Adanya kecenderungan berita yang merugikan perempuan, sedikitnya

redaktur perempuan hingga rendahnya jumlah jurnalis perempuan, menjadi fakta dari

bias gender di media massa yang terjadi secara sistematis. Tak berlebihan jika Debra

H. Yatim kemudian menyebut media massa selama ini digarap, disunting, dan

diedarkan oleh pria untuk pria14.

Peningkatan jumlah jurnalis perempuan kemudian mengemuka sebagai salah

satu solusi untuk memutus mata rantai bias gender di media. Hal itu didukung oleh

Ana Nadhya Abrar yang menyatakan bahwa dengan tanpa mengurangi penghargaan

pada jurnalis laki-laki yang menganut prinsip kesetaraan gender, pelopor kesetaraan

gender di media tetaplah perempuan15. Masih rendahnya jumlah jurnalis perempuan

mengkondisikan peran perempuan yang masih terbatas dan untuk memperbesar

kekuatan perempuan di media maka dibutuhkah jumlah jurnalis perempuan yang

lebih banyak.

Harapan akan adanya peningkatan jumlah jurnalis perempuan di Indonesia

cukup terpupuk oleh pesatnya pertumbuhan industri media belakangan ini. Sejak era

booming pers16, Direktorat Pembinaan Pers tahun 1999 mencatat fenomena yang

14
Ibrahim, Op.Cit, hlm.139
15
Ana Nadhya Abrar ,
Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Volume 7 No.3, Maret 2004, hlm. 384
16
Mursito BM, Memahami Institusi Media:Sebuah Pengantar, (Surakarta:Lindu Pustaka &
Spikom,2006), hlm.190
Sekurang-kurangnya di Indonesia telah terjadi dua kali ledakan pertumbuhan industri pers (booming
pers). Pertama tahun 1980-an ketika TVRI dilarang beriklan, sementara televisi swasta belum
beroperasi. Akibatnya pers menjadi ladang utama untuk beriklan dan semakin banyaklah media baru
yang muncul. Kedua, terjadi ketika Orde Baru tumbang dan mulai memasuki babak baru kehidupan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

terjadi khusus pada penerbitan cetak rata-rata terjadi lonjakan hingga 3 kali lipat.

Lonjakan paling tinggi terjadi pada tabloid disusul oleh surat kabar dan majalah.

Satu-satunya media cetak yang pertumbuhannya kurang signifikan yaitu buletin. Ia

hanya bertumbuh 30 persen17 (Lihat Tabel I.4).

Tabel I.4
Rekapitulasi Penerbitan Pers Berdasarkan bentuk/format
No Jenis penerbitan pers Pra reformasi Era reformasi Jumlah
1 Surat Kabar 90 285 375
2 Tabloid 91 625 716
3 Majalah 100 334 434
4 Buletin 8 3 11
Jumlah 289 1.247 1.536
Sumber: Direktorat Pembinaan Pers 1999

Industri pertelevisian pun tak mau kalah. Menjelang tahun 2000 muncul

hampir secara serentak lima stasiun televisi nasional baru. Stasiun televisi tersebut

antara lain; Metro, Trans Tv, Tv 7 (sekarang Trans 7), Lativi (sekarang Tv One), dan

Global18. Pers semakin diramaikan pula oleh munculnya media-media lokal19.

Sampai dengan tahun 2005 tercatat pertumbuhan televisi lokal mencapai angka 86

stasiun, tersebar di lebih dari 50 kota besar dan di hampir semua provinsi di

Indonesia 20.

politik yang dikenal dengan era reformasi. Lonjakan pendirian penerbitan pers terjadi karena
pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
17
Ibid, hlm.192
18
www.jiastisipolcandradimuka.blogspot.com diakses pada 19 Maret 2012 pukul 10: 29 WIB
19
http://www.mercubuana.ac.id/file/modul/CIPTONOSETYOBUDI-TEKNOLOGIKOMUNIKASI diakses
pada 9 Desember 2011 pukul 06.53 WIB
20
www.atvli.com diakses pada 19 Maret 2012 pukul 10: 25 WIB

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

10

Fenomena pertumbuhan media cetak dan televisi di atas dapat menjadi pijakan

untuk membayangkan betapa industri media di Indonesia sejak reformasi 1998

mengalami pertumbuhan yang signifikan. Kondisi itu menyiratkan adanya peluang

kerja di industri media salah satunya sebagai jurnalis, baik itu untuk laki-laki maupun

perempuan.

Idealnya, booming pers dapat menjadi peluang bagi perempuan untuk tampil

sebagai jurnalis. Namun pada kenyataannya profesi ini belum cukup berhasil menarik

minat perempuan. Data tahun 2006 menunjukkan kondisi yang tak jauh berbeda dari

tahun 1998. Mengacu Laporan Kementerian Komunikasi dan Informasi RI tahun itu,

jumlah jurnalis laki-laki adalah 11.603 orang sedangkan jurnalis perempuan hanya

2.031 orang atau sekitar 15 persen21.

Permasalahan mengenai rendahnya jumlah jurnalis perempuan jika digali ke

akar pada akhirnya akan sampai pada institusi pendidikan tinggi. Hafied Cangara

dalam sebuah artikel mengatakan:

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kajian komunikasi yang selama ini

banyak dikaitkan dengan media, kebijakan komunikasi (communication policies), isi

(content), dan juga para pekerja komunikasi itu sendiri (wartawan, presenter, public

relations officer, dan juga para dosen komunikasi),22. Dengan kata lain saat kita

21
Laporan Kementrian Komunikasi dan Informasi RI 2006
22
Hafied Cangara, dalam Farid
Hamid dan Heri Budianto, Ilmu Komunikasi: Sekarang dan Tantangan Masa Depan, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), hlm. 30

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

11

membicarakan rendahnya jumlah jurnalis perempuan kita pun harus menelusuri

persoalan itu dari hulunya yaitu pendidikan Ilmu Komunikasi.

Di Indonesia, pendidikan Ilmu Komunikasi mengalami pertumbuhan yang

cukup bagus. Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, pada tahun

2011 jumlah pendidikan Ilmu Komunikasi di Indonesia telah mencapai 199

perguruan tinggi negeri maupun swasta, baik dalam bentuk fakultas,

jurusan/departemen, STIKOM, politeknik maupun dalam bentuk program studi

(prodi) yang dicangkokkan di bawah jurusan non-komunikasi. Besarnya jumlah

lembaga pendidikan komunikasi ini menempatkan ilmu komunikasi di Indonesia

pada posisi ketiga program studi yang paling banyak ditawarkan setelah program

studi Ilmu Komputer (sekitar 500-an) sebagai peringkat pertama, dan program studi

akuntansi (sekitar 300-an) sebagai peringkat kedua 23.

Pertumbuhan itu tak lepas dari tingginya minat calon mahasiswa baru untuk

kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Dari tahun ke tahun peminat jurusan Ilmu

Komunikasi meningkat sejalan dengan pertumbuhan media massa belakangan ini.

Katakanlah pada SNMPTN tahun 2010, Ilmu Komunikasi menempati urutan pertama

sebagai program studi dengan peminat tertinggi. Disusul kemudian prodi Pendidikan

Dokter sebagai peminat tertinggi kedua, dan prodi Manajemen dengan peminat

tertinggi ketiga24.

23
Ibid, hlm. 32
24
www.unpad.ac.id, dikases pada 13 Januari 2011 pukul 11:15 WIB

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

12

Tingginya minat untuk mendaftar di jurusan Ilmu Komunikasi sudah tak

terbantahkan. Lantas bagaimana dengan input mahasiswa Ilmu Komunikasi sendiri?

Jika dipilah berdasarkan jenis kelaminnya, ternyata diperoleh fakta bahwa komposisi

mahasiswa di jurusan Ilmu Komunikasi di Indonesia rata-rata di dominasi oleh

perempuan. Lock dalam Utari & Nilan menyebutkan bahwa perbandingan antara

perempuan dan laki-laki yang menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi di

Indonesia kurang lebih 7: 325.

Kondisi yang sama berlaku pula di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS.

Turun temurun jumlah mahasiswi lebih banyak dari mahasiswa. Sebagai contoh pada

tahun ajaran 2010/2011. Berdasarkan data yang diperoleh dari Bagian Pendidikan

FISIP UNS tahun 2010, mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS yang masih

aktif sampai saat itu sebanyak 410 orang, yang terdiri dari 260 orang mahasiswi dan

150 orang mahasiswa26.

Banyaknya perempuan yang menempuh pendidikan Ilmu Komunikasi dapat

dibaca pula sebagai peluang semakin banyaknya perempuan yang akan masuk dalam

industri komunikasi salah satunya sebagai jurnalis. Namun, input mahasiswi jurusan

Ilmu Komunikasi yang cukup besar ternyata tidak menjamin terpenuhinya pekerja di

bidang komunikasi. Sebagai contoh yang terjadi pada mahasiswa Prodi Ilmu

Komunikasi FISIP UNS angkatan 2005. Berdasarkan catatan alumni angkatan

25
The Lucky Few: Female Graduates of Communication Studies in the
Indonesian Media Industry
26
Data Sekunder Bagian Pendidikan FISIP UNS 2010

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

13

tersebut dari 51 alumni, 31 diantaranya adalah perempuan. Hanya ada dua alumni

perempuan yang bekerja sebagai jurnalis (1 di majalah dan datu di surat kabar lokal).

Alumni perempuan lainnya bekerja di instansi-instansi lain seperti perbankan,

pendidikan dan pemerintahan27.

Dari secuil data di atas nampak adanya keengganan alumni jurusan Ilmu

Komunikasi untuk menjadi jurnalis. Secara keilmuan tentunya mereka mampu,

namun mengapa mereka justru lebih tertarik pada bidang pekerjaan lain bahkan

sampai menyeberang ke bidang kerja disiplin lain. Kiranya keengganan ini menjadi

kondisi yang perlu digali lebih dalam, mengapa perempuan tidak ingin menjadi

jurnalis. Pengalaman subjektif perempuan menjadi kunci jawabannya.

Fenomena ini menarik untuk diteliti karena rendahnya jumlah jurnalis

perempuan akhir-akhir ini mulai diperbincangkan terkait dengan agenda jurnalisme

humanitarian khususnya jurnalisme sensitif gender. Kehadiran jurnalis perempuan

dirasa perlu untuk menciptakan iklim hubungan gender yang lebih seimbang dan adil

di media. Namun sayang sekali harapan yang digantungkan pada jurusan Ilmu

Komunikasi untuk memasok jurnalis-jurnalis perempuan yang handal tidak

membuahkan hasil yang signifikan. Penelitian ini kemudian difokuskan pada konsep

persepsi. Dalam konteks penelitian komunikasi, penelitian ini termasuk sebagai

27
Data Base Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP UNS Angkatan 2005

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

14

audience analysis atau studi khalayak yaitu penelitian yang fokus pada unsur

komunikan (perempuan)28.

Sebagai mahasiswa komunikasi, penelitian ini menarik karena dapat

mempelajari bagaimana sebuah pesan dimaknai sehingga berpengaruh terhadap

sikap/perilaku manusia. Penelitian ini melihat komunikasi sebagai sebuah proses

namun yang dilihat bukanlah keseluruhan prosesnya melainkan terfokus pada efek

yang ditimbulkan oleh pesan. Metodologi penelitian ini adalah kualitatif. Adapun

metode penelitian ini menerapkan studi kasus.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah di

atas, maka Penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP

UNS terhadap profesi jurnalis?

2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi mahasiswi S-1 Program

Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis?

C. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

28
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. (Bandung, Remaja Rosdakarya, 1990),
hlm.10

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

15

1. Persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap

profesi jurnalis

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu

Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis

D. MANFAAT PENELITIAN
Penulis berharap, penelitian ini dapat bermanfaat bagi :

1. Perempuan yang ingin berprofesi sebagai jurnalis,

Semoga penelitian ini dapat memberi gambaran mengenai realitas profesi

sebagai jurnalis sehingga para perempuan dapat mempersiapkan diri lebih

matang baik dalam hal pengetahuan, keterampilan maupun kesiapan mental.

2. Pengajar di Jurusan Ilmu Komunikasi

Semoga penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi bagi para pengajar di

jurusan Ilmu Komunikasi terkait salah satu tujuan akademis di jurusan Ilmu

Komunikasi yaitu mencetak praktisi di bidang media. Semoga penelitian ini

menjadi awal dari evaluasi kurikulum pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi

khususnya terkait dengan pendidikan jurnalistik.

3. Pemerhati media dan gender

Semoga penelitian ini dapat memberi gambaran kesadaran gender di kalangan

mahasiswi, untuk selanjutnya menyelenggarakan penelitian atau membuat

program-program yang semakin memperkaya kajian media dan gender

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

16

E. TELAAH PUSTAKA

1. Komunikasi

1.1. Definisi Komunikasi

Sebagai makhluk sosial, manusia akan terus berinteraksi dengan

sesamanya. Selama itu pula manusia akan berkomunikasi. Menurut Habermas

dalam Bungin, komunikasi adalah inti dari interaksi sosial29. Pemikiran itu

kemudian disempurnakan John Fiske dengan mendefinisikan komunikasi

sebagai interaksi sosial melalui pesan30. Berpijak pada definisinya, Fiske

kemudian mengelompokkan komunikasi ke dalam dua mazhab yaitu Mazhab

Proses dan Mazhab Semiotika.

Mazhab Proses melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Bagaimana

pengirim-penerima mengkonstruksi pesan (encode) kemudian

menerjemahkannya (decode) dan bagaimana transmiter menggunakan saluran

dan media komunikasi merupakan fokus dari mazhab ini. Mazhab ini menaruh

ketertarikan pada efisiensi dan akurasi komunikasi yaitu saat komunikasi

mampu mempengaruhi perilaku atau state of mind orang lain. Komunikasi akan

dianggap gagal, apabila efek yang terjadi berbeda dari atau lebih kecil daripada

yang diharapkan31.

29
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, Cet.ke-2 (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007)hlm.26
30
John Fiske, Cultural and Communication Studies, (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hlm. 8
31
Ibid, hlm.8-9

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

17

Di sisi lain, Mazhab Semiotika melihat komunikasi sebagai produksi

dan pertukaran makna. Mazhab ini berkenaan dengan bagaimana pesan atau

teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna. Bagi

mazhab ini, studi komunikasi adalah studi tentang teks dan kebudayaan.

Berbeda dengan Mazhab Proses, Mazhab Semiotika tidak memandang

kesalahpahaman sebagai bukti yang penting dari kegagalan komunikasi32.

Antara Mazhab Proses dan Semiotika terdapat beberapa perbedaan yang

signifikan. Pertama fokus studi: Mazhab Proses memusatkan diri pada perilaku

atau tindakan komunikasi, sedangkan Mazhab Semiotika lebih fokus pada

karya komunikasi33. Kedua pendekatan keilmuan: Mazhab Proses cenderung

mempergunakan ilmu-ilmu sosial seperti psikologi dan sosiologi sedangkan

Mazhab Semiotika cenderung mempergunakan linguistik dan subjek seni34.

Dan ketiga sifat pesan: menurut Mazhab Proses pesan bersifat statis. Artinya,

pesan yang disampaikan adalah sama, tidak berubah. Yang dinamis adalah cara

penyampaiannya. Sebaliknya menurut Mazhab Semiotika pesan bersifat

dinamis. Mazhab ini lebih fokus pada bagaimana pesan dimaknai berdasarkan

referensi setiap orang yang tentunya berubah-ubah sesuai dengan

perkembangan kerangka referensi.

Mengacu pada pemikiran Fiske di atas, kiranya penelitian ini termasuk

dalam kategori mazhab komunikasi yang pertama yaitu komunikasi sebagai

32
Ibid, hlm.9
33
Ibid
34
Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

18

proses. Hal itu karena fokus penelitian ini adalah mengamati perilaku

komunikasi yaitu bagaimana perempuan menanggapi profesi sebagai jurnalis.

Dan karena mengamati gejala perilaku maka penelitian ini tak luput dari

pengaruh disiplin ilmu sosiologi dan psikologi.

Harold Lasswell dalam karyanya yang berjudul The Structure and

Function of Communication in Society mengutarakan bahwa cara terbaik untuk

menjelaskan komunikasi sebagai proses adalah dengan menjawab pertanyaan:

Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect?35 Jawaban dari

pertanyaan itu tidak lain adalah komponen-komponen komunikasi yaitu:

komunikator (orang yang menyampaikan pesan), pesan (pernyataan yang

didukung oleh lambang), komunikan (orang yang menerima pesan), media

(sarana atau saluran yang mendukung pesan bila komunikan jauh tempatnya

atau banyak jumlahnya) dan efek (dampak sebagai pengaruh dari pesan). Jadi

berdasarkan Paradigma Lasswell, komunikasi adalah proses penyampaian

pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan

efek tertentu36.

Menurut Effendy, setidaknya terdapat tiga tingkatan efek yang

diharapkan dalam proses komunikasi yaitu: efek kognitif, efek afektif dan efek

behavioral. Efek kognitif yaitu saat komunikan menjadi tahu atau

intelektualitasnya meningkat; efek afektif yaitu saat komunikan tergerak hatinya

35
Effendy,Op.cit. hlm.10
36
Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

19

sehingga memiliki perasaan tertentu dan efek behavioral yaitu saat komunikan

tergerak untuk mengubah perilaku37.

Idealnya, komunikasi disebut efektif bilamana ia menghasilkan efek

behavioral. Hal itu seperti didefinisikan oleh Hovland, Janis dan Kelly dalam

Rakhmat bahwa komunikasi adalah proses dimana individu menyalurkan

rangsangan untuk mengubah perilaku orang lain (communication is the process

by which an individual transmits stimuli to modify the behavior of the other

individuals)38.

Sebagai proses, kelima komponen komunikasi yang terkandung dalam

paradigma Lasswell mutlak harus ada dalam setiap fenomena komunikasi.

Namun, penelitian ini tidak berniat mempelajari proses komunikasi dari awal

dan lebih fokus pada efek yang terjadi pada komunikan (perempuan). Menurut

Lasswell, penelitian ini disebut sebagai studi khalayak (audience analysis)39.

Ada pun berdasarkan jumlah dan karakter komunikannya, penelitian ini

termasuk dalam konteks komunikasi antarpribadi (interpersonal

communication). Menurut Ruesch dan Bateson dalam Littlejohn yang kemudian

dikutip oleh Liliweri, komunikasi antarpribadi yaitu relasi individual dengan

orang lain dalam konteks sosialnya. Melalui proses ini individu menyesuaikan

dirinya dengan orang lain lewat peran yang disebut transmitting dan

37
Onong Uchjana Effendy, Dinamika Komunikasi, Cet. ke-6, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
hlm.7
38
Marhaeni Fajar, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 31
39
Effendy. Loc.Cit

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

20

receiving40. Transmitting yaitu pemindahan pesan baik verbal maupun

nonverbal sebagaimana telah dipaparkan di muka, sedangkan receiving

merupakan proses penerimaan pesan-pesan41.

Messege reception merupakan proses aktif yang terdiri dari tiga elemen

yaitu: seleksi, interpretasi dan memori42. Seleksi yaitu bagaimana seseorang

memilih suatu pesan di antara banyaknya pesan yang ada di sekitarnya.

Interpretasi yaitu bagaimana seseorang memaknai pesan yang ia terima dan

memori adalah bagaimana seseorang mengorganisasikan pesan dalam sistem

ingatan43.

Menurut Littlejohn, proses messege reception mengarah pada tiga

aktivitas yang saling berhubungan yaitu interpretation, organization dan

judgement. Interpretation yaitu bagaimana individu memaknai suatu pesan,

mencoba mengetahui maksud dari pesan, mencari sebab akibat. Organization

yaitu internalisasi pesan dalam sistem kepercayaan dan sikap. Sedangkan

judgement adalah penilaian berdasarkan informasi44.

Penelitian ini sendiri lebih fokus pada aktivitas pertama yaitu

interpretation, sebagai dasar dari persepsi khalayak terhadap profesi sebagai

40
Alo Liliweri, Perspektif Teoritis Komunikasi Antarpribadi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994), hlm. 3
41
Ibid
42 th
Brent D. Ruben & Lea P. Stewart, Communication and Human Behavior, 4 ed. (MA: Viacom
Company, 1998), hlm. 85
43
Ibid, hlm. 88-92
44 th
Stephen W Littlejohn, Theories of Human Communication, 7 ed (NY: Wadsworth, 2001), hlm. 118

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

21

jurnalis. Menurut Deddy Mulyana, persepsi adalah inti dari komunikasi45.

Disebut sebagai inti komunikasi karena efektivitas komunikasi sangat

tergantung pada proses persepsi. Pembahasan persepsi lebih lanjut ada pada

point 2.

1.2. Teori Pembelajaran Sosial (Sosial Learning Theory)

Penelitian ini menggunakan Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning

Theory) yang disampaikan oleh Charles Osgood. Teori ini berpijak pada model

komunikasi paling sederhana yaitu Stimulus-Respon (S-R) yang berasumsi

bahwa individu akan memberi respon terhadap rangsangan yang ada di

sekitarnya46. Model komunikasi S-R kemudian dikoreksi oleh John W. Riley

dan Mathilda W. Riley dalam tulisannya yang berjudul Mass Communication

and the Social System. Menurut mereka, komunikan dalam menerima pesan

yang disampaikan oleh komunikator tidak langsung bereaksi begitu saja. Ada

faktor-faktor di luar dirinya yang turut mempengaruhi dan bahkan

mengendalikan aksi dan reaksinya terhadap suatu pesan yang diterimanya 47.

Faktor-faktor yang dimaksud terutama berkaitan dengan pesan dan

kelompok primer (misalnya keluarga) dan kelompok lainnya yang menjadi

rujukan (referensi) dari si komunikan. Nilai-nilai yang berlaku pada kelompok

primer dan kelompok rujukan ini lah yang lazimnya mempengaruhi komunikan

45
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi:Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003 ), hlm.
151
46
Littlejohn, Op.Cit, hlm. 118
47
Fajar, Op.Cit, hlm. 107-108

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

22

dalam menetukan sikap dan tindakan-tindakan. Hal ini terjadi karena umumnya

orang akan selalu berusaha agar sikap dan tindakannya tidak terlalu

menyimpang dari nilai-nilai kelompok lingkungannya48. Berikut adalah ilustrasi

dari model komunikasi Riley.

Gambar I. 1

Model Komunikasi Riley (1959)49

Teori Pembelajaran Sosial membicarakan tentang bagaimana faktor

lingkungan dan kognitif berinteraksi untuk mempengaruhi pemahaman dan

perilaku seseorang. Teori yang dicetuskan oleh Albert Bandura ini terfokus

pada pembelajaran dalam konteks sosial. Seseorang mempelajari suatu konsep

dari sesamanya melalui proses observasi, imitasi dan mengamati model50.

Teori ini menganggap media massa sebagai agen sosialisasi yang

pertama dalam komunikasi di samping keluarga, guru di sekolah dan sahabat

48
Ibid
49
http://extension.missouri.edu , Developing Effective Communications, diakses pada 28 april 2012
pukul 21:18
50
http://www.southalabama.edu/oll/mobile/theory_workbook/social_learning_theory.htm ,
diakses pada 2 Mei 2012 pukul 13.00 WIB

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

23

karib51. Menurut teori ini, media massa menjadi objek imitasi dan identifikasi

bagi setiap orang. Imitasi adalah replika atau peniruan secara langsung dari

perilaku yang diamati. Sedangkan identifikasi merupakan perilaku meniru yang

bersifat khusus dimana pengamat tidak meniru secara persis sama apa yang

dilihatnya. Meskipun lebih sulit untuk dilihat dan dipelajari, identifikasi dinilai

memberikan pengaruh terhadap perilaku individu52.

Teori Pembelajaran Sosial mengukur makna dengan menggunakan

semantic differential dimana makna dapat ditunjukkan dengan kata sifat.

Terdapat dua kata sifat yang saling berlawanan53. Kata sifat dipasangkan secara

berlawanan seperti baik-buruk, tinggi-rendah, lambat-cepat54.

Dalam proses belajar sosial terdapat empat tahapan yaitu perhatian

(attention process), retensi (retention process), reproduksi motor (motor

reproduction motor) dan motivasional (motivational process)55.

Perhatian. Seseorang pertama-tama perlu untuk melihat model yaitu

berupa perilaku atau tindakan orang lain yang ingin ditiru

Retensi. Hasil pengamatan kemudian akan disimpan dalam ingatan untuk

digunakan di kemudian hari saat menghadapi situasi yang sama

51
Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003),
hlm. 282
52
Morisan, Psikologi Komunikasi, (Bogor: Ghalia, 2010), hlm. 242
53
Littlejohn, Op.Cit, hlm. 120
54
Morisan, Op.Cit, hlm. 80
55
Effendy, Op.Cit. hlm. 282-283

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

24

Reproduksi tindakan. Pada tahap praktek, seseorang dituntut untuk bisa

mengaplikasikan pengetahuan yang didapat dalam tindakan nyata.

Motivasi. Perilaku meniru orang lain sangat ditentukan oleh faktor

motivasi yang dimiliki orang yang ingin meniru56.

Menurut teori ini, terbentuknya perilaku adalah perpaduan dari sejumlah

kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam diri khalayak yaitu faktor internal dan

faktor situasional atau faktor eksternal57.

1. Faktor Internal

Kemampuan memahami pesan sangat tergantung pada pengetahuan

atau pengalaman. Proses belajar tidak lepas dari kemampuan berpikir

(kognitif) seseorang. Berpikir berarti menganalisa, mengabstraksi dan

seterusnya atau merangkaikan tanggapan yang satu dengan tanggapan yang

lain. Hal itu disebut dengan field of experience 58.

Dr. Astrid Susanto menyebut lapangan pengalaman itu sebagai

pedoman individu yang dibuat atas dasar hal yang pernah dialaminya sendiri.

Segala sesuatu yang pernah dialami menjadi pedoman. Kemudian

pengalaman-pengalaman orang lain yang tidak dialaminya, tetapi menjadi

pedoman dalam lingkungan sosialnya atau masyarakat, dan diambil juga

sebagai pedomannya disebut frame of reference atau kerangka referensi59.

56
Morisan, Op.Cit, hlm. 246
57
Fajar, Op.Cit, hlm.170
58
Ibid, hlm. 171
59
Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

25

Dalam kerangka referensi ini segala hal-hal baru, ide baru, gagasan

baru atau pengalaman-pengalaman baru akan diletakkan, tiap kali

pengalaman-pengalaman baru itu datang. Seseorang melakukan penyesuaian

(enactive) dengan mengkonfrontasi lapangan pengalaman dan kerangka

referensi lama dengan baru. Bila sesuai, pesan itu akan diterima, dan bila

tidak, akan ditolaknya60.

Skinner menemukan bahwa komunikasi akan berlangsung selama

expectation of reward

harapan akan memperoleh keuntungan dari pelaksanaan komunikasi.

Keuntungan atau reward yang diharapkan bisa merupakan pemenuhan

kebutuhan orang dalam bentuk: personal need atau social needs 61.

expectation of reward

Motif adalah suatu pengertian mengenai keadaan mobilisasi energi dengan

suatu tujuan62. Motif menerangkan mengapa tingkah laku terarah kepada

suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain, motif merupakan dorongan dari

dalam diri yang menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu aktivitas

guna mewujudkan tujuan tertentu.

Motif-motif yang dikemukakan para tokoh seperti: W.I Thomas dan

Znaniecki, David McCelland, Abraham Maslow dan Melvin H. Marx tidak

60
Morisan, Op.Cit, hlm. 244
61
Fajar, hlm. 173
62
Theodore M. Newcomb dkk, Penerjemah Tim Fakultas Psikologi UI, Psikologi Sosial, (Bandung:
Diponegoro, 1978), hal.38

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

26

menunjukkan perbedaan yang tegas. Oleh karena itu Jalaluddin Rakhmat

kemudian merangkum motif-motif tersebut dan dihasilkan enam jenis motif,

yaitu:

Motif Ingin Tahu. Kecenderungan setiap orang untuk mengerti, menata

dan menduga.

Motif Kompetensi. Keinginan membuktikan kemampuan mengatasi

persoalan hidup.

Motif Cinta. Keinginan untuk memperoleh kehangatan persahabatan,

ketulusan kasih sayang dan penerimaan dari orang lain.

Motif harga diri dan kebutuhan untuk mencari identitas. Seseorang

berharap supaya keberadaannya tidak hanya dilihat sebagai bilangan

tetapi juga diperhitungkan.

Kebutuhan akan nilai, kedambaan dan makna kehidupan. Ini erat

kaitannya dengan kebidupan spiritual dimana setiap orang

membutuhkan nilai-nilai sebagai pegangan menghadapi realitas hidup

Kebutuhan akan pemenuhan diri. Setiap orang ingin mempertahankan

dan meningkatkan kualitas kehidupan dengan memenuhi potensi-potensi

yang dimiliki63.

63
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Cet. ke-17, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hlm.
37-39

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

27

2. Faktor eksternal

Seperti telah disinggung di awal, kehadiran media massa dan orang-

orang sekitar penting dalam proses belajar sosial. Jika media berperan dalam

modeling, maka orang-orang disekitar pengaruhnya jauh lebih kuat yaitu

persuatif.

Menurut George Herbert Mead, orang-orang yang berpengaruh dalam

proses belajar sosial atau orang-orang yang sangat penting bagi setiap orang

disebut dengan Siginificant others. Dalam perkembangannya, significant

others meliputi semua orang yang mempengaruhi perilaku, pikiran dan

perasaan kita64. Ada pun lebih lanjut menurut Mead, terdapat significant

others yang terhimpun dalam kelompok dan mereka disebut sebagai

kelompok rujukan (reference group)65.

Keberadaan significant others maupun reference group pada

prinsipnya menghasilkan dua efek yaitu efek larangan (inhibitory effect) dan

efek suruhan (disinhibitory effect). Efek larangan terjadi ketika significant

others menghalangi atau mencegah seseorang untuk melakukan sesuatu.

Sedangkan efek suruhan merupakan kebalikan dari efek larangan yang justru

mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan atau perilaku66.

64
Ibid, hlm. 103
65
Ibid, hlm. 104
66
Morisan, Op.Cit, hlm. 247-248

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

28

2. Persepsi

Persepsi menurut Joseph A. Devito didefinisikan sebagai proses dimana

kita menjadi sadar terhadap sebuah objek, peristiwa, khususnya manusia

melalui indera (Perception is the process by which you became aware of

objects, events, and especially people through your sense: sight, smell, taste,

touch and hearing)67.

Selanjutnya menurut Berelson dan Steiner dalam Severin dan Tankard,

persepsi didefinisikan sebagai proses yang kompleks dimana orang memilih,

mengorganisasikan dan menginterpretasikan respons terhadap suatu rangsangan

ke dalam situasi masyarakat dunia yang penuh arti dan logis68.

Dalam hal ini persepsi merupakan aktivitas belajar yang aktif dan

berkesinambungan sebagaimana disampaikan oleh Bennett, Hoffman dan

Prakash dalam Severin dan Tankard bahwa persepsi adalah aktivitas aktif yang

melibatkan pembelajaran, pembaharuan cara pandang, dan pengaruh timbal

balik dalam pengamatan69. Severin & Tankard kemudian merumuskan adanya

faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap persepsi. Terdapat lima

faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu asumsi (yang didasarkan pada

67 th
Joseph A. DeVito, The Interpersonal Communications, 9 ed, (New York: Addison Wesley Longman,
1986), hlm. 93
68
Werner J. Severin & James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di
Dalam Media Massa), Alih Bahasa; Sugeng Hariyanto, Cet. ke-4, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2009), hlm. 84
69
Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

29

pengalaman-pengalaman masa lalu), harapan-harapan budaya, motivasi

(kebutuhan), suasana hati (mood), serta sikap70.

Definisi persepsi pada perjalanannya mulai menyentuh pula aspek

fungsional. Deddy Mulyana yang mendefinisikan persepsi sebagai proses

internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan dan

menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut

mempengaruhi perilaku kita71. Hal ini sesuai dengan pemikiran Robbins dan

Judge yang menyatakan bahwa persepsi penting untuk mempengaruhi perilaku

manusia. Perilaku manusia tergantung dari persepsinya mengenai realitas bukan

realitas itu sendiri.

based on their perception of what reality is, not on reality itself. The world as

its perceived is the world that is behaviorally important)72. Pentingnya persepsi

dalam pembentukan perilaku kiranya dipertegas oleh pernyataan Toeti Heraty

Noerhadi yang menyatakan bahwa persepsi adalah suatu persiapan ke perilaku

konkret73.

Disini benang merah antara persepsi dan komunikasi mulai terlihat.

Komunikasi disebut efektif jika dapat mengubah perilaku manusia. Ada pun

persepsi disebut-sebut sebagai aktivitas penting yang menentukan perilaku

70
Ibid, hlm. 85
71
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm.
167
72
Stephen P Robbins & Timothy A Judge, Organizational Behavior. (New Jersey: Pearson Prentice
Hall, 2009), hlm. 173
73
Alfian, Persepsi Masyarakat tentang kebudayaan, (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 209

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

30

manusia. Menurut Deddy Mulyana, persepsi adalah inti dari komunikasi,

sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti dari persepsi yang identik

dengan penyandian balik (decoding) dalam proses komunikasi74.

Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi. Menurut Bimo

Walgito, terdapat dua faktor yang berpengaruh terhadap persepsi yaitu faktor

internal dan faktor eksternal. Faktor internal yaitu apa yang ada dalam diri

individu. Sedangkan faktor eksterrnal terdiri dari faktor stimulus itu sendiri dan

faktor lingkungan dimana persepsi itu berlangsung75.

Ada pun menurut Jalaluddin Rakhmat, terdapat tiga faktor yang

mempengaruhi persepsi yaitu perhatian, faktor fungsional dan faktor

struktural76. Kenneth A. Andersen dalam Rakhmat menyebut perhatian sebagai

proses mental ketika stimuli menjadi menonjol dalam kesadaran dan stimuli

lainnya melemah77. Menurut David Krech dan Richard S. Crutchfield dalam

Rakhmat, faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu,

pengetahuan dsb yang bersifat personal atau disebut juga sebagai kerangka

rujukan (frame of reference). Selanjutnya, faktor struktural memandang

persepsi semata-mata dipengaruhi oleh sifat stimuli fisik dan efek-efek saraf

yang ditimbulkannya pada sistem saraf individu78

74
Mulyana, Op.Cit, hlm. 180-181
75
Bimo Walgito, Psikologi sosial, Cetakan ke-4, (Yogyakarta: Andi Offset, 2003), hlm.46
76
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, Cetakan ke-17. (Bandung: Remaja Rosdakarya Rakhmat,
2001), hlm. 51
77
Ibid, hlm. 52
78
Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

31

Selanjutnya, Robbins dan Judge memberi perspektif lain dalam

merumuskan faktor-faktor pembentuk persepsi. Terdapat tiga faktor yaitu faktor

subjek, situasi dan objek. Faktor subjek meliputi: sikap, motif, ketertarikan,

pengalaman masa lalu dan dugaan. Faktor situasi terdiri dari: waktu, latar

belakang pekerjaan dan latar belakang sosial. Sedangkan faktor objek terdiri

dari: kebaruan, gerakan, suara, ukuran, latarbelakang, kedekatan dan

kemiripan79. (Lihat bagan I.1 )

Dari definisi-definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa persepsi

merupakan proses penafsiran terhadap informasi inderawi yang bersifat

internal, aktif dan vital bagi setiap orang dalam proses komunikasi.

Terbentuknya persepsi dipengaruhi oleh banyak faktor. Kiranya faktor-faktor

yang sampaikan oleh Robbins dan Judge dapat merangkum kompleksitas

faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi yang disampaikan oleh Bimo

Walgito, Jalaluddin Rakhmat serta Severin dan Tankard.

79
Robbins & Judge, Op.Cit, hlm. 174

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bagan I. 1

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi menurut Robbins dan Judge80

3. Jurnalis sebagai Pesan

Jurnalis merupakan kata serapan dari kata journal dalam bahasa Inggris

dan kata diurnal dalam bahasa Latin yang artinya orang yang melakukan

pekerjaan jurnalistik81. Jurnalistik atau jurnalisme sendiri diartikan sebagai

kegiatan menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa82.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

33

Dengan demikian secara sederhana jurnalis dapat diartikan sebagai seseorang

yang bertugas menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa.

Ada tiga sebutan yang berbeda untuk sebuah profesi yang sama, yaitu:

jurnalis, wartawan dan reporter. Ketiga sebutan tersebut sebenarnya mempunyai

makna yang sama yaitu sebuah profesi yang tugasnya mencari, mengumpulkan,

menyeleksi dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak melalui media

massa83. Yang membedakan adalah medianya. Di Indonesia, sebutan wartawan

identik dengan mereka yang bekerja di media massa cetak, reporter cenderung

digunakan untuk media massa televisi dan radio, sementara sebutan jurnalis

untuk wartawan asing84.

Wartawan adalah profesi. Disebut sebagai profesi karena ia memiliki

empat ciri yaitu: 1) Mempunyai kebebasan dalam melakukan pekerjaan, 2)

Didasari atas panggilan hati dan keterikatan dengan pekerjaan, 3) Dibutuhkan

keahlian dan 4) Bertanggung jawab dan terikat pada kode etik pekerjaan85. Oleh

karena itu, masyarakat memandang wartawan sebagai professional. Profesional

disini memuat tiga arti: pertama, professional adalah kebalikan dari amatir;

kedua, sifat pekerjaan wartawan menuntut pelatihan khusus; norma-norma yang

mengatur perilakunya dititik beratkan pada kepentingan khalayak pembaca 86.

83
Jani Yosef, To Be A Journalist, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 43
84
Ibid, hlm. 44
85
Ibid
86
Ibid.hlm. 115

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

34

Ada pun di China ternyata tidak setiap jurnalis bisa merasakan predikat

sebagai tenaga profesional. Berdasarkan wawancara yang dilakukan Lin

oleh golongan menengah ke atas. Mereka adalah redaktur dan pemimpin

umum. Di sisi lain, jurnalis yang jabatannya di bawah mereka merasa bahwa

pekerjaan mereka tak ubahnya pekerjaan lain yang membutuhkan kerja keras

dengan tanpa jaminan kerja yang memadai.

-level managing editors or directors of a


department are more likely to proudly label themselves as professionals. The
-mockery for most working journalists who
are at the bottom of the hierarchy in the organization, usually younger and
with less working experience, who have a contract-based employment
relationship with the organization. Some of the working journalists do not
have medical insurance, and they can be expected to change jobs relatively
more frequently. Some of them ev

journalism as a job87.

Secara umum, sebagai turunan dari kegiatan komunikasi, wartawan

adalah elemen yang berfungsi sebagai komunikator di tubuh pers. Wartawan

87
FEN J. LIN (City University of Hong Kong),
Liter International Journal of
Communication Vol. 4 (2010), hlm. 8

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

35

atau reporter adalah seseorang yang bertugas mencari, mengumpulkan dan

mengolah informasi menjadi berita, untuk disiarkan melalui media massa 88.

Kedudukan jurnalis sebagai komunikator professional dalam

komunikasi massa telah menjadi pesan tersendiri. Seperti disampaikan oleh

Marshal McLuhan bahwa media adalah pesan (The medium is the messege).

Bukan isi media yang mempengaruhi khalayak melainkan media itu sendiri89.

Dapat dipastikan tentunya bahwa media tak sungguh-sungguh berniat

mempengaruhi khalayak agar tertarik menjadi jurnalis tetapi diluar kontrol

media, justru jurnalis dapat menjadi pesan yang berdampak pada orang-orang

yang menerimanya.

4. Budaya Patriarki

Kata patriarki secara harafiah berarti kekuasaan bapak atau


90
patriarch . Melekat dalam sistem ini yaitu ideologi yang menyatakan bahwa

laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, bahwa perempuan harus dikontrol

oleh laki-laki dan bahwa perempuan adalah milik laki-laki91. Sebagaimana

disampaikan oleh Duru bahwa hakikat patriarki terletak pada adanya dominasi

laki-laki terhadap perempuan.

subordination (Hunnicutt, 2009). In patriarchal societies, men are in charge


88
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers,Cetakan Ketiga, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),
hlm.22
89
Rakhmat. Op.Cit, hlm. 220
90
Kamla Bhasin.Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum
Perempuan. (Yogyakarta: Bentang, 1996), hlm. 1
91
Ibid.hlm. 4

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

36

of establishing the social order, and they are situated in dominant position of
authority (Lawrence-Webb, Littlefield, & Okundaye, 2004)92.

Selama ini patriarki dianggap alamiah. Alasannya adalah bahwa laki-

laki karena kekuatan badannya yang lebih besar, menjadi pemburu dan pencari

nafkah, dan karena itu juga ksatria, sementara kaum perempuan, karena mereka

melahirkan dan mengasuh dan membesarkan anak, membutuhkan perlindungan

laki-laki. Penjelasan biologis deterministis ini, kata Lerner turun temurun terus

menerus dari zaman batu ke zaman sekarang dan diyakini bahwa kaum laki-laki

lahir superior93.

Patriarki pada prinsipnya berakar dari pemikiran bahwa manusia tercipta

dengan identitas seks yang berbeda yaitu laki-laki dan perempuan. Perbedaan

identitas seks kemudian memunculkan adanya perbedaan identitas gender.

Meskipun saling berkaitan namun pengertian antara seks dan gender

tidak bisa disamakan. Seks bersifat statis. Perempuan dianggap berbeda dari

laki-laki karena secara biologis mereka memiliki organ biologis yang tak dapat

dipertukarkan. Menjadi perempuan atau laki-laki bersifat permanen tidak

92
Annie N. Duru (Howard University, Washington DC, US) Ideological Criticism of a Nigerian Video
Film, August Meeting: A Feminist Perspectiv -journalist Vol.10.no2 (2010), hlm.75
93
Bhasin, Op.Cit, hlm.29

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

37

berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai

ketentuan Tuhan atau kodrat94.

Hal itu berbeda dengan gender yang merupakan suatu sifat yang melekat

pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial

maupun kultural dan dapat dipertukarkan95 dimana kemudian muncul konsep

feminim (kewanitaan) dan maskulin (kelelakian). Menurut Illich, gender

mengisyaratkan polaritas sosial yang sifatnya fundamental dan tak akan serupa

di dua tempat yang berlainan96. Lebih lanjut ia menyebut gender dengan istilah

dengan gender kedaerahan (vernacular)97.

Gender differences (perbedaan gender) sebenarnya bukan suatu masalah

sepanjang tidak menimbulkan gender inequalities (ketidakadilan gender).

Namun yang menjadi masalah ternyata adalah gender differences ini telah

menimbulkan berbagai ketidakadilan. Gender Inequalities merupakan sistem

dan struktur dimana kaum laki-laki atau perempuan menjadi korban dari sistem

tersebut98.

94
Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamanya di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm 21
95
Ibid, hlm. 18
96
Ivan Illich, Matinya Gender, Cetakan ke-5, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 45
97
Ibid, hlm.43
98
Nugroho, Op.Cit, hlm.9

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

38

Bayang-bayang ptriarki tak dapat lepas dari munculnya ketimpangan

gender. Hal itu seperti dipikirkan oleh Duru bahwa ideologi patriarki senantiasa

diasosiasikan dengan isu ketidakadilan gender.

inequality.99

Ada pun secara umum terdapat perdebatan mengenai asal-usul patriarki

yang berakar dari dua teori besar yaitu teori Nature dan Teori Nurture100.

Menurut Teori Nature, perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan

disebabkan oleh faktor-faktor biologis kedua insan. Disini, patriarki dianggap

bersifat alami sebagai kodrat hubungan laki-laki dan perempuan. Hal ini

didukung oleh kaum tradisional101.

Si sisi lain, penganut Teori Nurture beranggapan bahwa perbedaan itu

tercipta melalui proses belajar dari lingkungan percaya patriarki adalah

bentukan manusia. Patriarki diciptakan dan bisa untuk dihapuskan102. Diluar

mana yang benar dari perdebatan itu, faktanya adalah ideologi patriarki bisa

99
Duru, Op.Cit, hlm. 77
100
Dwi Ismi Astuti Nurhaeni, Kebijakan Publik Pro Gender, (Surakarta: UNS Press, 2009), hlm.19
101
Ibid, hlm. 28
102
Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

39

langgeng karena terus dipelihara secara sadar maupun tidak sadar hingga

kini103.

5. Perempuan

5.1. Definisi Perempuan

Konsep perempuan merujuk pada salah satu dari dua jenis kelamin

manusia selain laki-laki. Menurut Kamus Bahasa Indonesia disebutkan

bahwa perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat

menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui104. Sedangkan laki-laki

adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jakala (kala menjing) dan

memproduksi sperma105.

berarti gelar kehormatan yg berarti "tuan"106. Kata perempuan memiliki

konotassi positif. Ada pun dalam kamus, kata perempuan sering disinomkan

dengan kata wanita. Namun kedua kata tersebut ternyata tak sunguh-

sungguh sama.

Di Indonesia sendiri, terdapat upaya men-set sebuah mitos peran

elah terjebak dengan upaya tersebut. Kata

103
Julia I. Suryakusuma, Perempuan dan Konservatisme Media, dalam Idi Subandy Ibrahim, dkk (ed),
Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi gender dalam Ruang Publik Orde Baru. (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1998), hlm.150
104
www.KamusBahasaIndonesia.org
105
Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm.8
106
www.KamusBahasaIndonesia.org

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

40

(cenderung) dalam konteks perbedaan jenis kelamin (misalnya: jenis

konteks gender. Dengan demikian menjadi beralasanlah penggunaan kata

merupakan suatu pemberontakan gerakan perempuan dari tafsiran

patriarki107.

5.2. Perempuan dalam Budaya Patriarkhi

Mempertanyakan posisi kaum perempuan dalam budaya patriarki

pada dasarnya menggoncang struktur dan sistem status quo ketidakadilan

tertua dalam masyarakat108. Bagaimana tidak jika budaya yang telah

terbentuk lama, hampir sebagian besar peran yang ditempelkan pada

perempuan adalah peran yang sifatnya lemah, kurang menantang dan

bersifat kedalam atau ranah domestik.

Menurut Raharjo dalam Hermawati, citra, peran serta status

perempuan dan laki-laki khususnya di Jawa sangat lekat dengan budaya

patriarki. Citra bagi seorang perempuan seperti yang diidealkan oleh budaya,

laki-laki. Peran yang diidealkan seperti pengelola rumah tangga, sebagai

107
Ayu Utami dalam May Lan, Pers, Negara dan Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Sensitif
Gender pada Masa Orde Baru, (Yogyakarta: Kalika, 2002), hlm. 83
108
Fakih, Op. Cit, hlm. 5

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

41

pendukung karir suami, istri yang penurut dan ibu yang mrantasi109. Di sisi

lain, citra yang dibuat untuk laki-

-laki yang

ideal adalah sebagai pencari nafkah

sedangkan status idealnya adalah kepala keluarga110.

Kontrol patriarki terhdap kehidupan perempuan begitu kuat. Bidang-

bidang kehidupan perempuan yang dikontrol patriarki antara lain:

1. Daya produktif atau tenaga kerja perempuan

2. Reproduksi perempuan

3. Kontrol dan seksualitas perempuan

4. Gerak perempuan

5. Harta milik dan sumber daya ekonomi lainnya 111.

Berangkat dari kesimpangsiuran permasalahan gender, sebenarnya

secara nyata ketidakadilan gender telah terjadi di kebanyakan Negara di

dunia. Manifestasi ketidakadilan gender dikategorikan dalam 5 bidang yang

satu sama lain saling berkaitan dan saling mempengaruhi:

1. Gender dan Marginalisasi Perempuan (Marginalisasi atau proses

pemiskinan ekonomi)

109
Tanti Hermawati, Jurnal Komunikasi Massa. Vol. 1, nomor
1, Juli 2007, hlm.21
110
Ibid
111
Jane C. Ollenburger & Helen A. Moore, Sosiologi Wanita, Terj. (Jakarta: Rineka Cipta,1996), hlm.15

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

42

2. Gender dan Subordinasi: Subordinasi atau anggapan tidak penting

dalam keputusan politik

3. Gender dan Stereotipe: Pembentukan stereotype atau melalui pelabelan

negatif.

4. Gender dan Kekerasan: Kekerasan dapat terjadi baik secara fisik

maupun psikologis karena bias gender.

5. Gender dan Beban Kerja: Beban Kerja lebih panjang dan lebih banyak

serta sosialisasi idelogi nilai peran gender 112

Manifestasi ketidakadilan gender pertama adalah marginalisasi.

Marginalisasi adalah suatu proses penyisihan yang mengakibatkan

kemiskinan, baik pada laki-laki maupun perempuan. Marginalisasi dapat

terjadi karena adanya bencana alam, konflik bersenjata, penggusuran, proses

eksploitasi atau bahkan kebijakan pembangunan. Marginalisasi/ pemiskinan

bagi perempuan sering terjadi karena keyakinan gender113.

Manifestasi ketidakadilan gender yang kedua adalah subordinasi.

Subordinasi adalah sikap dan tindakan masyarakat yang menempatkan

perempuan pada posisi yang lebih rendah dari laki-laki. Subordinasi

didasarkan pada keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih

112
Ibid, hlm 12-24
113
Ibid. hlm.13-15

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

43

penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya 114. Sebagai contoh

domestik115.

Manifestasi ketidakadilan gender ketiga adalah stereotype.

Stereotipe/ pelabelan negatif merupakan suatu sikap negatif masyarakat

terhadap perempuan yang membuat posisi perempuan selalu pada pihak

yang dirugikan116. Sebagai contoh adalah ilustrasi sebuah profesi dengan

jenis kelamin tertentu semisal direktur digambarkan dengan sosok laki-laki

sedang perempuan sebagai sekertaris.

Manifestasi ketidakadilan gender yang keempat adalah kekerasan.

Kekerasan terhadap perempuan meliputi dua bidang yaitu fisik maupun

psikologis. Kategori kekerasan gender antara lain

a. Pemerkosaan

b. Kekerasan dalam rumah tangga

c. Penyiksaan organ alat kelamin

d. Prostitusi

e. Pornografi

f. Sterilisasi

114
Ibid. hlm.15-16
115
Ismi Astuti Nurhaeni. Op.Cit, hlm.28
116
Fakih. Op.Cit.hlm.16-17

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

44

g. Kekerasan terselubung

h. Pelecehan seksual

Secara fisik meliputi tindakan memukul, menampat, mencekik dsb

yang menyebabkan luka fisik. Sedangkan secara psikologis mencakup

tindakan membentak, menyumpahi, berkata-kata kotor, pelecehan dsb yang

menyebabkan rasa takut117.

Manifestasi ketidakadilan gender kelima yaitu beban ganda. Beban

ganda adalah pembagian tugas dan tanggung jawab yang selalu

memberatkan. Semisal anggapan perempuan yang berkarakter perawat dan

pemelihara sehingga pantasnya bekerja di ruang domestik saja118.

Kelima bentuk manifestasi ketidakadilan gender di atas pada

kenyataannya tak dapat dipisahkan sebagai bagian-bagian yang berdiri

sendiri, tetapi terintegrasi. Satu ketidakadilan gender menjadi pemicu

ketidakadilan gender yang lain. Seperti yang disampaikan Mansour Fakih

bahwa manifestasi ketidakadilan gender tak dapat dipisah-pisahkan, saling

berkaitan, saling berkaitan, berhubungan secara dialektis119. Namun, sebagai

acuan utama, penelitian ini lebih difokuskan pertama-tama pada persoalan

subordinasi dalam bidang pekerjaan.

117
Ibid. hlm.17-20
118
Ibid. hlm.21-23
119 .
Ollenburger & Moore Op.Cit. hlm 13

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

45

5.3. Perempuan dan Pendidikan


Betapa berharganya pendidikan. Dalam kisah klasik di negeri ini,

perempuan menjadi pihak

Sebut saja tokoh RA. Kartini dan Dewi Sartika. Mereka adalah tokoh

pelopor pendidikan bagi perempuan di Indonesia.

C.Lekkerker (1914) dalam Subadio dan Ihroni menuliskan arti

penting pendidikan bagi perempuan Indonesia. Menurutnya, pendidikan

ia kerjakan sepanjang hidupnya. Bagaimana ia dapat mengembangkan sifat-

sifat yang lebih hemat, rapi dan teratur dalam rumah tangga dan turut pula

membantu untuk mengurangi kecenderungan tingginya angka kelahiran yang

melekat pada rumah tangga kalangan bawah (miskin dan kurang

terpelajar)120.

Selain itu, pendidikan di kalangan perempuan dinilai dapat

merintangi poligami dan perkawinan yang disatu pihak tidak diingini.

Pendidikan di kalangan perempuan dapat meningkatkan harapan hidup

karena kesadaran akan kesehatan yang lebih tinggi121.

Kini, secara kuantitas terlihat semakin banyaknya perempuan yang

terlibat di dunia pendidikan mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD),

Taman Kanak-Kanak, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Bukan

120
Maria Ulfah Subadio & T.O Ihromi, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia: Bunga Rampai,
(Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1994), hlm. 267
121
Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

46

hal yang langka lagi jika di tingkatan pendidikan pasca sarjana begitu

banyak perempuan di situ dalam berbagai disiplin keilmuan. Dengan kata

lain, akses perempuan untuk masuk ke bidang pendidikan sudah tak

memiliki kendala berarti.

Namun, ternyata secara alami sekolah masih memisahkan perempuan

dalam pola-pola tertentu dimana terdapat feminisasi dan maskulinasi dalam

pembagian disiplin ilmu. Hal yang masih tampak yaitu dalam hal kurikulum.

Menjadi laki-laki atau perempuan digambarkan dalam konteks peran-peran,

naskah-naskah dan proses pendidikan. Di samping kurikulum formal,

sekolah menyediakan arena untuk menyampaikan gagasan-gagasan, nilai-

nilai dan kepercayaan-kepercayaan melalui interaksi dengan pendidik122.

Pengetahuan dan pendidikan disebut-sebut telah didominasi oleh laki-laki,

sehingga menciptakan dan melanggengkan ideologi patriarki123.

5.4. Perempuan dan Pekerjaan

Adanya sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi

kepala rumah tangga menjaddi tanggung jawab kamu perempuan.

Konsekwensinya banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dalam

122
Ibid, hlm.139
123
Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

47

waktu lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumah tangganya hingga

memelihara anak124.

Banyak perempuan masih belum menyadari bahwa peran mereka

sebagai istri tradisional, ibu dan pengurus rumah tangga telah meluas

menjadi pencari nafkah keluarga di samping peran asli tadi. Sebagian

beranggapan bahwa sekalipun berhasil mendapatkan penghasilan, itu pun

sifatnya membantu suami karena suami mereka tidak ingin peran ekonomi

mereka dinyatakan secara terbuka125.

Namun, kini perlahan tetapi pasti perempuan mulai mengembangkan

diri dengan berkarir. Irwan Abdullah dalam Buku Sangkan Paran Gender

menuliskan, gejala keterlibatan perempuan di luar rumah menandakan

bahwa kini perempuan telah berusaha merekonstruksi sejarah hidupnya

dengan membangun identitas baru bagi dirinya, tidak hanya sebagai ibu atau

istri tetapi juga sebagai pekerja dan wanita karir126.

Ekspansi perempuan ke dunia publik memposisikan mereka pada

peran ganda. Hal ini terasa cukup berat karena bagaimana pun pekerjaan

124
Fakih, Op.Cit, hlm. 22
125
Albert Hester L dan Wai Lan J.To, Pedoman untuk Wartawan, (Jakarta: United Nation Information
Service (USIS),1992), hlm. 127-129
126
Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender: Kumpulan Tulisan Pusat Penelitian Kependudukan
Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 13

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

48

olah menutup kemungkinan laki-laki ikut turun tangan dalam wilayah

domestik.

Meskipun hubungan antara kaum perempuan dengan pria di ranah

profesi semakin meluas, tetapi pada kenyataannya perempuan masih

dianggap sebagai orang kedua yang kurang mampu mengerjakan tugas-tugas

yang selama ini lazim dikerjakan laki-laki.

5.5. Perempuan dan Media

Marwah Daud Ibrahim pernah mengatakan bahwa media adalah

mikroskop yang dapat membantu kita mengintip keadaan perempuan dalam

masyarakat127. Selama ini realitas perempuan di masyarakat memang belum

menggembirakan. Media masih menjadi cermin dari realitas128.

Media dianggap masih kurang peka terhadap persoalan-persoalan

gender. Bias gender di media massa dapat dilihat dari bagaimana surat kabar,

majalah, film, televisi, iklan, dan buku-buku menampilkan potret diri

perempuan. Selama ini media masih memperlihatkan stereotip yang

merugikan bahwa perempuan itu pasif, tergantung pada pria, didominasi,

127
Ibrahim, Op.Cit, hlm. 108
128
Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

49

menerima keputusan yang dibuat oleh pria dan terutama pasrah melihat

dirinya sebagai simbol seks129.

Kemunculan jurnalisme baru yang bermuatan humanitarian130

menjadi angin segar bagi upaya pembenahan media agar lebih adil gender.

Adalah jurnalisme sensitif gender atau jurnalisme berperspektif gender yang

merupakan kegiatan atau praktik jurnalistik yang selalu menginformasikan

atau bahkan mempermasalahkan atau menggugat secara terus menerus, baik

dalam media cetak maupun media elektronik adanya hubungan yang tidak

setara atau ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan131.

Permasalahan bias gender yang ada di media massa selama ini

kurang lebih menyangkut posisi marginalisasi dan subordinasi perempuan

dalam berbagai bidang, yaitu:

1) Legitimasi Bias Gender oleh Media

2) Minimnya Keterlibatan Perempuan dalam Aktivitas jurnalisme

3) Dominasi kepentingan ekonomi-Politik

4) Regulasi Media tidak sensitive gender

5) Penggunaan bahasa di media massa masih sangat seksis

129
Ibid.107
130

Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Volume 7 No.3, Maret 2004, hlm.363
131
Subono, Op.Cit, hlm. 59

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

50

6) Kesenjangan jurnalisme konvensional dan jurnalisme sensitive

gender132

Melalui jurnalisme sensitif gender diharapkan akan ada sebuah media

dengan kekuatan baru untuk menciptakan tatanan dunia baru yang lebih adil

gender.

5.6. Perempuan sebagai Pekerja Media

Hubungan antara kaum perempuan dengan pria di ranah profesi

semakin meluas, salah satu bidang kerja yang dulu begitu identiik sebagai

wilayah laki-laki dan kini mulai dirambah oleh perempuan adalah media

khususnya sebagai jurnalis.

Dalam sejarah profesi kewartawanan di Indonesia, kehadiran

perempuan sebenarnya bukan perkara baru. Rohana Kudus133 sudah malang

melintang di zaman kebangkitan kebangsaan. Sebelum kemerdekaan RI,

penerbitan pers dihiasi pula oleh partisipasi perempuan seperti yang terjadi

tahun 1909, majalah pertama perempuan, Putri Hindia, terbit di Bandung

diprakarsai oleh R.A Tjikroadikusumo. Hingga tahun 1925 terbit beberapa

surat kabar yang diprakarsai kaum perempuan yaitu; Koran Sunting Melayu

di Padang(1912) dan Surat Kabar Wanito Sworo di Pacitan(1913).

132
Yusuf, Op.Cit. hlm.359-363
133
Rohana Kudus (1884-1972) hidup di Agam, Sumatera Barat. Ia menerbitkan surat kabar khusus
untuk perempuan dengan nama Sunting Melayu(1912), yang merupakan koran khusus wanita
pertama di Indonesia. Pada 25 Agustus 1974, Rohana Kudus diberi gelar pelopor wartawati Sumatera
Barat. (http://www.gatra.com/2008-02-18/artikel ) diakses pada 20 September 2010 pukul 18.00
WIB

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

51

Sedangkan beberapa penerbitan yang secara khusus menjadi media

pergerakan perempuan antara lain; Putri Mardika di Jakarta(1914), Penuntun

Istri di Bandung(1918), Istri Utomo di Semarang(1918), Suara Perempuan di

Padang(1920), Perempuan Bergerak di Medan(1920) dan Koran Suara

Aisyah(1925)134.

Menurut Naomi, Jurnalis adalah jurnalis memungkinkan wanita

memperluas wawasan, tanpa harus terikat pada aturan tertentu. Misalnya jam

kerja, penampilan dan sebagainya135. Namun dinamika kerja yang yang ketat

kembali mempertanyakan kehadiran perempuan sebagai jurnalis yang

dituntut siap setiap saat. Belum lagi jika pekerjaan itu ada di surat kabar

yang memiliki mitos sebagai pekerjaan dengan aktivitas professional dengan

mobilitas sangat tinggi, kerja keras, tekanan deadline yang amat ketat, tidak

ada batas waktu yang jelas, -bisa sampai 24 jam-. Serta banyaknya kendala

dan tantangan yang bersifat teknis maupun non teknis136.

Bagi wanita, pilihan profesi menjadi wartawan tentunya jauh lebih

berat posisinya dibandingkan laki-laki. Hal tersebut mengingat perempuan

selama ini diidentikkan saja dengan pekerjaan yang berisfat domestik.

Banyak wartawan pria masih meremehkan kegiatan wanita dengan

menepiskan tangan- menganggap mereka sebagai satu lagi forum dimana

134
Para Perempuan di Puncak Zaman -24 Desember 2006) hlm.63
135

Tulisan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003),
hlm 2003,. hlm.109
136
Siregar, Op.Cit, hlm. 13

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

52

perempuan berkumpul untuk mempergunjingkan orang, mode busana

terakhir dan berbagai obrolan yang masuk dan tidak masuk akal daripada

memperbincangkan persoalan dan gagasan sebagaimana dilakukan kaum

pria137.

Anggapan di atas ditepis oleh dua wartawati Nigeria yaitu Theresa

Oguibe dan Unaku Ekwegbalu. Mereka sama-sama menunjukkan bahwa

mereka mampu mengerjakan tugas jurnalistik sampai pada posisi redaktur.

-rekan dan Atasan Anda tidak bisa

mempermainkan Anda kalau mereka menyadari bahwa Anda tahu pekerjaan


138
.

Secara tradisional. Di Dunia Ketiga, wanita adalah untuk dilihat,

bukan didengarkan; tetapi sekarang wanita Dunia Ketiga sudah

menambahkan pada peran asli mereka beban untuk mencari nafkah

keluarga 139.

Bagi wartawan wanita Dunia Ketiga yang mempunyai peran penting

dalam jurnalisme pembangunan, falsafahnya haruslah selalu memenuhi cita-

cita jurnalisme, yaitu untuk mendidik, menghibur dan secara objektif

mengumpulkan dan menyiarkan berita. Dia juga harus memobilisasi wanita

untuk melaksanakan berbagai kebijakan pemerintah mengenai pembangunan

137
Albert L Hester dan Wai Lan J.To, Pedoman untuk Wartawan. (Jakarta: United Nation Information
Service, 1992), hlm.129
138
Ibid.hlm.131
139
Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

53

pedesaan bagi perbaikan hidup sebagian terbesar rakyat Negara-negara ini

yang tinggal di desa, dusun-dusun tanpa jalan, listrik, air dan lebih menderita

lagi, tanpa pangan140.

F. REVIEW PENELITIAN TERDAHULU

Sebagai ilmu yang bersifat multidisipliner, Ilmu Komunikasi tidak luput

dari pengaruh ilmu sosial lain, salah satunya sosiologi. Adalah kajian gender yaitu

sebuah kajian Ilmu sosiologi yang kini mulai meluas dan berpengaruh dalam Ilmu

Komunikasi. Menurut Abdullah, kajian mengenai komunikasi, gender dan seks

merupakan salah satu topik yang mencoba menganalisis data interaksi sosial,

seperti bahasa laki-laki dan perempuan, pornografi, jilbab, homoseksualitas,

tingkah laku seksual dan hubungan gender141. Ada pun kajian yang secara khusus

menjadi acuan bagi penelitian ini yaitu kajian media dan gender.

Belakangan ini kajian media dan gender menjadi isu yang cukup diminati

oleh para Peneliti. Tercatat sejak tahun 1997 hingga tahun 2004 terdapat dua

penelitian media gender yang bermanfaat bagi penelitian ini. Ada pun batasan

dari penelitian terdahulu yang tergolong bermanfaat yaitu penelitian yang

memiliki tema sama dan atau hampir sama dengan penelitian ini, yaitu mengenai

perempuan dan media khususnya profesi jurnalis.

140
Ibid, hlm.133
141
Irwan Abdullah, Jurnal Humaniora Vol. XV, No. 3, (2003), hlm.
271

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

54

Penelitian yang kemudian dibukukan dengan judul Media & Gender:

Perspektif Gender atas Industri Suratkabar Indonesia menjadi acuan pertama

penelitian ini. Penelitian yang dilaksanakan oleh Lembaga Penelitian Pendidikan

Penerbitan Yogyakarta (LP3Y) dan Ford Foundation pada tahun 1997 ini

bertujuan untuk mengetahui perspektif gender di media cetak mulai dari

organisasi keredaksian, kesadaran gender secara kolektif di kalangan jurnalis dan

pengalaman subjektif jurnalis perempuan seputar profesinya.

Disini peneliti adalah tim yang terdiri dari Akhmad Zaini Abar,

Amiruddin, Ismay Prihastuti, Rondang Pasaribu, S. Bayu Wahyono dan Sukaelan

Z. Wafa. Mereka menggunakan metode studi kasus dengan teknik riset

dokumentasi dan wawancara mendalam dalam upaya untuk menggali data para

wartawan di Sembilan surat kabar harian besar di Jawa yaitu Kompas, Republika,

Suara Pembaharuan, Pos Kota, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Suara

Merdeka, Jawa Pos dan Surabaya Post.

Penelitian ini memperoleh empat fakta serius yang sering dikritisi.

Pertama masalah jumlah jurnalis perempuan yang hingga penelitian tersebut

berlangsung hanya berkisat antara 5 s.d 15 persen dari seluruh wartawan

penerbitan pers harian terkemuka di Indonesia. Kedua, kebanyakan jurnalis

perempuan tersebut masih menduduki level bawah dalam struktur keredaksian

media. Rata-rata baru terdapat 2 redaktur perempuan. Ketiga, pembagian kerja

masih bersifat seksis dimana antara laki-laki dan perempuan ada perbedaaan. Dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

55

keempat, terdapat perbedaan tunjangan kesejahteraan antara jurnalis laki-laki dan

perempuan.

Ada pun sebuah penelitian yang menjadi titik tolak dari penelitian ini

sendiri dilakukan oleh Utari pada tahun 2004 sebagai disertasi untuk memperoleh

gelar doktor di The University of Newcastle Australia. Penelitian yang berjudul

The Gap Between Indonesian Media Training and the Profession: Factors

ini

mengangkat persoalan tentang adanya kesenjangan antara banyaknya perempuan

yang menempuh pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi dengan sedikitnya

perempuan yang bekerja di industri komunikasi.

Penelitian tersebut mengambil lokasi di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP

UNS. Dengan menggunakan metode studi kasus, penelitian tersebut

mengumpulkan banyak data dari berbagai pihak yaitu: mahasiswi Ilmu

Komunikasi, Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi yang telah bekerja di industri

komunikasi, orangtua mahasiswi, dosen dan praktisi media. Untuk meneliti

mahasiwi Ilmu Komunikasi (260 orang) digunakan teknik survei, untuk alumni,

dosen dan pekerja media menggunakan teknik Indepth Interview sedangkan pada

orangtua menggunakan teknik Focus Group Discussion (FGD).

Dari hasil penelitian dengan mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi FISIP

UNS diperoleh data bahwa mereka memiliki kebebasan penuh dari orangtua

untuk menentukan pendidikan. Dalam hal pendidikan, perempuan mendapatkan

kemerdekaan penuh untuk menjadi seperti apa yang mereka kehendaki.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

56

Keputusan mahasiswi untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dilatarbelakangi

oleh impian yang begitu ideal untuk bekerja di bidang komunikasi diantaranya

menjadi presenter, MC dan wartawan. Namun pada perjalanannya ada mahasiswi

yang merasa ragu untuk meneruskan cita-cita mereka. Selain karena pekerjaannya

yang dinilai berat, ada pula harapan-harapan dari orangtua yang cenderung

menghambat, salah satunya melalui anjuran agar mereka memilih tempat kerja

yang tidak terlalu jauh dari orangtua.

Di level alumni jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS, diperoleh data

bahwa masih sedikit dari mereka yang bekerja di media. Dalam proses mencari

pekerjaan sendiri terdapat kecenderungan adanya sikap mengandalkan informasi

dari jaringan alumni. Fenomena ini menarik karena ternyata masih adanya rasa

kurang percaya diri pada diri alumni Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS untuk

tampil secara pribadi mendapatkan pekerjaan yang diharapkan.

Di kalangan orangtua, meskipun mereka kurang mengetahui seperti apa

pendidikan Ilmu Komunikasi itu tetapi mereka memberi dukungan penuh pada

keputusan putri mereka untuk kuliah di jurusan tersebut. Bagi para orangtua yang

latar belakang pendidikannya tidak sampai ke perguruan tinggi, dapat

menyekolahkan putri mereka hingga perguruan tinggi merupakan kebanggaan

terseniri. Saat membicarakan tentang pekerjaan, para orangtua berharap agar putri

mereka mencari pekerjaan yang letak geografisnya dekat dengan orang tua,

menghindari pekerjaan yang terlalu menyita waktu dan mempertimbangkan pula

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

57

peran sebagai istri saat kelak menikah. Secara umum orangtua kurang mendukung

jika putrinya menjadi jurnalis.

Di kalangan para pengajar diperoleh data bahwa berdasarkan pengamatan

mereka selama menghadapi mahasiswa, mereka menemukan kecenderungan yang

khas pada mahasiswa (laki-laki) dan mahasiswi (perempuan). Perempuan lebih

dominan dalam hal teori sedangkan laki-laki lebih dominan dalam hal-hal bersifat

teknis.

Terakhir di level pengelola media diperoleh data bahwa kehadiran

perempuan di media masih terbatas baik dalam hal kuantitas maupun peran.

Secara umum lingkungan media dirasa menjadi dunia laki-laki dimana kehadiran

perempuan di situ harus mengikuti standart-standart yang lazim menurut pria.

G. KERANGKA BERPIKIR

Ada pun konsepsi kerangka berpikir Penulis rangkum dalam skema berikut

ini:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bagan I.2
Kerangka Berpikir

H. DEFINISI KONSEPTUAL

1. Persepsi

John R. Welburg dan William W Wilmot dalam Mulyana mendefinisikan

persepsi sebagai cara organisme memberi makna sedangkan Rudolph F.

Verderber mendefinisikannya sebagai proses menafsirkan informasi

inderawi142. Jika kedua definisi di atas dikaitkan, maka definisi itu dapat

ditemukan pada pemikiran Jalaluddin Rakhmat bahwa persepsi adalah sebagai

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

59

pengalaman tentang obyek, peristiwa, dan hubungan-hubungan yang diperoleh

dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan143. Dari definisi-

definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya persepsi adalah

pemaknaan (interpretasi) yang didahului oleh sensasi.

2. Perempuan

Konsep perempuan merujuk pada salah satu dari dua jenis kelamin

manusia selain laki-laki. Menurut definisi dalam Kamus Bahasa Indonesia

disebutkan bahwa perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai puki,

dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui144. Secara etimologis,

hormatan

berarti "tuan"145. Kata perempuan memiliki konotassi positif. Pada

pemberontakan gerakan perempuan dari tafsiran patriarki146.

3. Jurnalis

Jurnalis secara harafiah diartikan sebagai orang yang melakukan

pekerjaan jurnalistik147. Jurnalis dapat diartikan sebagai seseorang yang

bertugas menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa. Ada tiga

sebutan yang berbeda untuk sebuah profesi yang sama, yaitu: jurnalis,

143
Rahmat. Op.Cit, hlm 51
144
www.KamusBahasaIndonesia.org
145
www.KamusBahasaIndonesia.org
146
Ayu Utami dalam May Lan, Pers, Negara dan Perempuan: Refleksi atas Praktik Jurnalisme Sensitif
Gender pada Masa Orde Baru, (Yogyakarta: Kalika, 2002), hlm. 83
147
Apriansyah, Op.Cit, hlm. 32

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

60

wartawan dan reporter. Ketiga sebutan tersebut sebenarnya mempunyai makna

yang sama yaitu sebuah profesi yang tugasnya mencari, mengumpulkan,

menyeleksi dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak melalui media

massa148.

H. METODOLOGI PENELITIAN

1. Paradigma Penelitian

Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan

paradigma postpositivistik rasionalisme. Pengkategorian tersebut mengacu pada

pemaparan Muhajir yang membagi paradigma menjadi tiga yaitu paradigma

positivistik, postpositivistik dan postmodern. Ada pun untuk paradigma

postpostivistik terdiri dari empat jenis yaitu postpositivistik rasionalisme,

phenomenologi-interpretif, teori kritis dan pragmatisme meta-etik149.

Secara umum, pendekatan postpositivistik bertujuan untuk mencari

makna dibalik data. Ada pun secara khusus setidaknya terdapat tiga aksioma

yang melandasi paradigma postpositivistik rasionalisme yaitu: ontologi,

epistemologi dan aksiologi.

Pertama, ontologi (realitas). Realitas adalah tunggal tetapi mengakui

adanya perspektif realitas yaitu realitas dalam perspektif sensual, realitas dalam

148
Yosef, Op.Cit, hlm. 43
149
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. ke-4 (Yogyakarta: Rake Sarakin, 2000), hlm.
79

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

61

perspektif logik dan realitas dalam perspektif etik150. Dalam konteks penelitian

ini, yang menjadi realitas yaitu persepsi mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi

FISIP UNS mengenai profesi jurnalis. Penelitian tidak berhenti pada apa yang

dikatakan oleh para Informan secara eksplisit tetapi coba menemukan makna

yang tersirat dengan didukung oleh teori-teori argumentatif dengan

memasukkan pula nilai-nilai etik.

Kedua, epistemologi (cara memperoleh realitas). Dibutuhkan

pendekatan holistik, dimana objek yang diteliti tidak dilepaskan dari

konteksnya. Sifat holistik yang dituntut oleh pendekatan rasionalistik adalah

digunakannya konstruksi pemaknaan atas empiri sensual, logik dan etik.

Argumentasi dan pemaknaan atas empiri menjadi penting sebagai landasan

penelitian kualitatif berlandaskan pendekatan rasionalisme151.

Ketiga, aksiologi (nilai-nilai). Rasionalisme mengakui tentang

penghayatan manusia mengenai nilai baik-buruk/ mengakui kebenaran etik152.

Semua pengetahuan pada hakikatnya adalah pengetahuan atas kepentingan,

meskipun tidak bermaksud mengaitkan dengan kepentingan tertentu tetapi

adanya penelitian itu sendiri tidak lepas dari suatu kepentingan. Bagaimana pun

orang berupaya untuk tidak mempunyai kepentingan tetap saja ada kepentingan

yang masuk. Penelitian ini sendiri berhubungan dengan isu gender yang tidak

dapat lepas dari nilai-nilai kemanusiaan khususnya keadilan gender.

150
Ibid, hlm. 82
151
Ibid, hlm. 84
152
Ibid, hlm. 82

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong, metodologi penelitian

kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang dapat diamati153.

Selanjutnya menurut Pawito terdapat lima karakteristik metodologi

penelitian kualitatif yaitu:

Pertama orientasi. Penelitian kualitatif lebih berorientasi pada kasus dan

konteks, misalnya sifat unik, lain, urgen, menakjubkan atau mungkin

memilukan.

Kedua tujuan. Penelitian kualitatif lebih dimaksudkan untuk memberi

gambaran atau pemahaman mengenai gejala (dari perspektif subjek), atau

membuat teori.

Ketiga penggunaan bukti empirik. Penelitian kualitatif lebih menekankan

materi bersifat diskursif serta konversi ke dalam materi diskursif dari

materi-materi nondiskursif.

Keempat, sifat analisis. Kerapkali bersifat siklis dan fleksibel dan sangat

memperhatikan konteks yang berkenaan dengan kategori-kategori yang

digunakan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Kelima prosedur. Penelitian kualitatif kerap kali bersifat intersubjektif

dan cenderung bersifat interpretif namun ada prinsip triangulasi154.

2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu studi

kasus. Menurut Robert K. Yin, studi kasus adalah suatu inkuiri empiris yang

menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata bilamana batas-batas

antara fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan di mana multi

sumber bukti dimanfaatkan155.

Selanjutnya menurut Deddy Mulyana, studi kasus didefinisikan sebagai

uraian dan penjelasan komprehensif mengenai berbagai aspek seorang individu,

suatu kelompok, suatu organisasi (komunitas), suatu program, atau suatu situasi

sosial.156. Dari kedua definisi di atas, kiranya dapat disimpulkan bahwa esensi

studi kasus terletak pada kemampuannya untuk menangkap fenemona yang

unik, menggali data mengenai fenomena itu secara mendalam, kemudian

menyajikan data secara lengkap.

Penelitian ini sendiri dapat digolongkan sebagai studi kasus karena telah

memenuhi ciri-ciri studi kasus menurut Rachmat Kriyantono. Ciri-ciri yang

dimaksud yaitu:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

64

a. Partikularistik. Artinya studi kasus terfokus pada situasi, peristiwa, program

atau fenomena tertentu. Penelitian ini pun sudah terfokus pada sebuah

fenomena yaitu rendahnya partisipasi perempuan sebagai jurnalis yang

relatif konsisten dari masa ke masa.

b. Deskriptif. Hasil akhir metode ini adalah deskriptif detail dari topik yang

diteliti.

c. Heuristik. Metode studi kasus membantu khalayak memahami apa yang

sedang diteliti melalui interpretasi baru. Penelitian ini berniat untuk

menggali, memaparkan dan memberi wawasan bagi khalayak mengenai

fenomena perempuan khususnya terkait dengan profesi jurnalis.

d. Induktif. Studi kasus berangkat dari fakta-fakta di lapangan, kemudian

menyimpulkan ke dalam tataran teori dan konsep. Sebagaimana lazimnya

penelitian kualitatif, langkah pertama dalam penelitian ini adalah

mengumpulkan data di lapangan baru kemudian temuan data

digeneralisasikan dalam teori yang sesuai157.

Keempat ciri di atas merupakan indikator metode studi kasus yang

implisit. Di samping indikator implisit, studi kasus memiliki pula indikator

eksplisit yang dapat dilihat sekilas yaitu melalui tipe rumusan masalahnya.

how why

kata tanya itu dirasa dapat menjembatani keterbatasan peneliti dalam

157
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Cetakan ke-3, (Jakarta: Kencana Prenada
Media, 2008), hlm. 66

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

65

mengontrol peristiwa-peristiwa yang akan diselidiki, dan bilamana fokus

penelitiannya terletak pada fenomena kekinian di dalam konteks kehidupan

nyata158. Berdasarkan karakteristik tersebut, metode penelitian ini pun semakin

kuat disebut studi kasus karena tipe pertanyaan penelitian dalam rumusan

masalah penelitian ini adalah

perempuan terhadap profesi jurnalis.

3. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini yaitu mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu

Komunikasi FISIP UNS angkatan 2007 s.d 2010.

4. Sumber data

a. Data primer

Data primer dalam penelitian ini yaitu hasil wawancara mendalam (Indepth

Interview) dengan subjek penelitian.

b. Data Sekunder

Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui studi kepustakaan dan

artikel-artikel di situs internet yang berkaitan dengan tujuan penelitian ini.

5. Teknik Sampling

Sebagaimana lazimnya penelitian dengan metodologi kualitatif, penelitian

ini menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling lebih

158
Yin, Op.Cit, hlm. 1-4

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

66

mendasarkan diri pada alasan atau pertimbangan-pertimbangan tertentu

(purposeful selection) sesuai dengan tujuan penelitian159.

Teknik sampling yang termasuk dalam kategori nonprobabilitas (sampel

tidak melalui teknik random/acak) ini mencakup orang-orang yang diseleksi

atas dasar kriteria-kriteria tertentu yang dibuat periset berdasarkan tujuan

riset160. Purposive sampling tidak digunakan untuk melakukan generalisasi

statistik atau sekedar mewakili populasi melainkan lebih mengarah pada

generalisasi teoritis. Sumber data yang digunakan disini tidak sebagai yang

mewakili populasinya tetapi lebih cenderung mewakili informasinya161.

Untuk penelitian ini, yang dipilih sebagai subjek penelitian yaitu

mahasiswi (perempuan) saja karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui pengalaman subjektif perempuan.

6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik penumpulan data untuk penelitian ini adalah wawancara

mendalam (Indepth Interview). Wawancara mendalam adalah suatu cara

mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka

dengan informan agar mendapatkan data lengkap dan mendalam162.

159
Pawito, Op.Cit, hlm. 88
160
Kriyantono, Op.Cit, hlm156
161
H.B. Sutopo, Metode Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Penerapannya dalam Penelitian, (Solo:
UNS Press, 2002), hlm. 56
162
Kriyantono, Op.Cit. hlm.100

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

67

Teknik wawancara dilakukan den open

ended

yang tidak secara formal terstruktur, guna menggali informasi secara lebih jauh

dan mendalam163.

Wawancara ini bersifat luwes, susunan pertanyaannya dan susunan kata-

kata dalam setiap pertanyaan dapat diubah pada saat wawancara, disesuaikan

dengan kebutuhan dan kondisi saat wawancara, termasuk karakteristik sosial

budaya (agama, suku, gender, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan dsb.)

responden yang dihadapi164.

7. Validitas Data

Validitas (validity) data dalam penelitian ini menggunakan teknik

triangulasi. Triangulasi adalah upaya untuk menunjukkan bukti empirik untuk

meningkatkan pemahaman terhadap realitas atau gejala yang diteliti165. Dengan

cara menggali data dari sumber yang berbeda-beda dan juga teknik

pengumpulan data yang berbeda, data sejenis bisa teruji kemantapan dan

kebenarannya 166.

Menurut Patton dalam Sutopo, terdapat empat macam triangulasi

sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu: triangulasi data,

163
Sutopo, Op.Cit. hal.59
164
Mulyana. Op.Cit, hlm. 181
165
Ibid, hal.98
166
Sutopo, Op.Cit, hal.80

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

68

triangulasi metode, triangulasi peneliti dan triangulasi teori167. Ada pun

penelitian ini menggunakan triangulasi data untuk validitas data.

Triangulasi data menunjuk pada upaya peneliti untuk mengakses

sumber-sumber yang lebih bervariasi guna memperoleh data berkenaan dengan

persoalan yang sama. Dengan cara ini Peneliti dapat mengungkapkan gambaran

yang lebih memadai (beragam perspektif) mengenai gejala yang diteliti168.

Untuk penelitian ini, Penulis mempraktikkan triangulasi data dengan

melaksanakan wawancara mendalam secara bertahap pada setiap Informan.

Interpretasi data dari wawancara pertama coba Penulis verifikasi kepada

Informan bersangkutan. Setidaknya Penulis melakukan wawancara mendalam

dua kali untuk setiap informan.

8. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data untuk penelitian ini menggunakan model Interaktif

Miles dan Huberman atau lazim disebut sebagai model interaktif169.

Sebagaimana penelitian komunikasi kualitatif pada umumnya, analisis data ini

bermaksud hendak memberikan makna (making sense of) terhadap data,

167
Ibid, hlm. 79-83
168
Ibid
169
Pawito, Op.Cit, hlm. 104

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

69

menafsirkan (interpreting), dan akhirnya sampai pada kesimpulan-kesimpulan

final170.

a. Penyajian Data (Data display)

Setelah melakukan pengumpulan data dengan teknik wawancara

mendalam (Indepth Interview), Peneliti membuat transkip wawancara.

Setelah itu, Peneliti mengedit dan meringkas dengan mengacu pada

interview guide yang merupakan operasionalisasi dari rumusan masalah.

Proses ini menghasilkan data primer.

Data primer kemudian diolah lagi, diberi kode-kode dan catatan-

catatan (memo) untuk menemukan tema-tema, kelompok-kelompok, dan

pola-pola data. Proses ini lazim disebut dengan koding.

Selanjutnya, Peneliti membuat rancangan konsep-konsep

(mengupayakan konseptualisasi) dari hasil proses koding. Data yang tersaji

berupa kelompok-kelompok kemudian saling dikaitkan sesuai dengan

kerangka teori yang digunakan. Untuk memvisualisasikannya, dibuatkan

gambar-gambar dan diagram yang menunjukkan keterkaitan antara gejala

satu dengan yang lain. Pada tahap ini, Peneliti membangun jembatan untuk

memasuki teoritisasi.

170
Ibid. hal.101

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

70

b. Reduksi Data (Data Reduction)

Berdasarkan penyajian data, dapat dilihat adanya kemungkinan data-

data yang kurang relevan dan juga adanya data yang belum lengkap. Reduksi

data menjadi proses penting untuk memastikan penyajian data lengkap dan

menyeluruh sebelum memasuki tahap penarikan/pengujian kesimpulan.

Dalam proses analisis data yang Peneliti lakukan, terdapat kondisi

dimana data yang telah Peneliti terkumpul kurang relevan dengan rumusan

masalah. Oleh karena itu, hasil penelitian itu tidak peneliti gunakan.

Untuk data-data yang masih kurang lengkap, Peneliti melakukan lagi

wawancara mendalam (Indepth Interview). Terhitung maksimal wawancara

mendalam dilakukan dua kali pada setiap Informan untuk memenuhi

kelengkapan data. Hasil dari proses wawancara susulan ini diproses seperti

halnya tahap penyajian data yang telah disampaikan di muka.

c. Penarikan/pengujian kesimpulan (drawing and verifying conclusions)

Pada komponen terakhir ini, Peneliti pada dasarnya meng-

implementasikan prinsip induktif dengan mempertimbangkan pola-pola data

yang ada dan atau kecenderungan dari display data yang telah dibuat. Dalam

proses ini, ada kalanya kesimpulan telah tergambar sejak awal, namun

kesimpulan final tetaplah berada di akhir proses penelitian pernah.

Hubungan ketiga komponen analisis ini dapat digambarkan sebagai berikut :

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

71

Gambar I.1
Komponen-komponen Analisis Data : Model Interaktif
Miles dan Huberman171

Pengumpulan
data Penyajian
data

Reduksi
data
Kesimpulan-
kesimpulan:
Penarikan/Verifikasi

171
Ibid, hlm. 105

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB II

DESKRIPSI LOKASI DAN SUBJEK PENELITIAN

A. GAMBARAN UMUM PRODI ILMU KOMUNIKASI FISIP UNS

1. Sejarah Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS

Program Studi Ilmu Komunikasi berdiri bersamaan dengan berdirinya

Universitas Negeri Sebelas Maret, disingkat UNS, pada tanggal 11 Maret 1976

berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1976

tertanggal 8 Maret 1976.

Pada awal berdirinya Program Studi ini bernama Jurusan Publisistik yang

merupakan bagian dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Berdasarkan SK Dirjen

Dikti No.39/DIKTI/Kep/1984, Jurusan Publisistik berubah menjadi Jurusan Ilmu

Komunikasi dengan Program Studi Komunikasi Massa. Pada tahun 2007 keluar SK

Dirjen No.163/DIKTI/Kep/2007 tentang Penataan dan Koodifikasi Program Studi

pada Perguruan Tinggi, Jurusan Ilmu Komunikasi dan Program Studi Komunikasi

Massa berubah menjadi Program Studi Ilmu Komunikasi.

Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS pertama kali mendapatkan

Akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi tertanggal 11 Agustus

1998 dengan Nomor sertifikat: 00935/Ak-I.1/USFILM/VIII/1998, kemudian untuk

yang kedua kalinya Program Studi Ilmu Komunikasi memperoleh kembali Akreditasi

A tertanggal 17 Juni 2004 dengan No. 06556/Ak-VIII-S1-022/USFILM/VI/2004.

Sedangkan untuk yang ketiga Program Studi Ilmu Komunikasi lagi-lagi mendapat

commit72to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

73

Akreditasi A tertanggal 21 Agustus 2009 dengan nomor sertifikat 024/BAN-PT/AK-

XII/S1/VIII/2009.

2. Struktur Organisasi Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS


Struktur Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terdiri dari: Rektor yang

dibantu oleh Pembantu Rektor I, II, III dan IV; Dekan yang dibantu oleh Pembantu

Dekan I, II dan III; Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi. Untuk lebih

jelasnya struktur organisasi Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS dapat

dijelaskan melalui bagan dibawah ini:

Bagan II.1
Struktur Organisasi Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS
Rektor

PR I PR II PR III PR IV

Senat Dekan
PD I PD II PD III

Perpustakaan Kepala Bagian Tata Usaha

Kasub. Kasub. Kasub. Kasub.


Umum & Keu & Pendidi Kemaha
Perkap. Pegawai kan siswaan

Program Studi Ilmu Komunikasi

HMJ LAB

Dosen Prodi Ilmu Komunikasi

Sumber: Buku Pedoman FISIP UNS Tahun 2005/2006

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

74

3. Visi Program Studi


Menjadi pusat unggulan (center of excellence) dalam penyelenggaraan

pendidikan dan pengabdian masyarakat (professional services) di bidang Ilmu

Komunikasi yang secara manajerial, intelektual serta moral berlandaskan nilai-nilai

luhur budaya Nasional sehingga memiliki daya saing ditingkat nasional maupun

global.

4. Misi Program Studi

a. Menyelenggarakan proses pengajaran yang bermutu dalam rangka

menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi di tingkat nasional maupun

global, baik secara akademis maupun moral serta berperan dalam membangun

dan memelihara integritas bangsa

b. Meningkatkan kualitas pendidikan yang mendukung pendidikan dan kemajuan

ilmu teknologi dan pengkayaan budaya

c. Meningkatkan Pengabdian pada Masyarakat dengan penekanan pada

tema/bidang yang sesuai dengan kompetensi Program Studi Ilmu Komunikasi

d. Menjalin kerjasama dengam lembaga-lembaga dalam dan luar negeri untuk

meningkatkan Tri Dharma Perguruan Tinggi

e. Mengembangkan sumber daya manusia baik tenaga akademik maupun non

akademik yang professional (handal, beretika dan sejahtera) dalam rangka

peningkatan mutu pelayanan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

75

f. Menetapkan sistem manajemen professional berbasis transparansi dan

akuntabilitas dalam rangka menciptakan tata kerja yang baik, kinerja tinggi,

serta efisiensi dan efektivitas organisasi.

g. Menciptakan iklim kerja yang kondusif ditandai oleh berkembangnya semangat

kerja sama, saling percaya (mutual trust), dan terbentuknya nilai-nilai bersama

(shared value)

5. Tujuan Program Studi

a. Menghasilkan lulusan yang berdaya saing tinggi baik secara akademis maupun

secara moral sehingga dapat menjadi modal bagi pembangunan bangsa dan

negara. Diukur berdasarkan indikator lulusan yang memiliki indeks prestasi

kumulatif tinggi dengan masa studi yang tepat waktu, waktu tunggu

mendapatkan pekerjaan yang pendek, dan mampu berkarya di dalam dunia

komunikasi

b. Menghasilkan lulusan yang memiliki kompetensi di bidang Ilmu Komunikasi

meliputi: praktisi media, pengelola media massa, peneliti media massa dan

praktisi public relation dan periklanan

c. Menghasilkan karya-karya penelitian yang berkualitas dan berguna bagi

komunikasi akademik, mahasiswa, pemerintah, industri dan masyarakat. Ditandai

dengan publikasi dan jurnal-jurnal ilmiah lokal, nasional maupun internasional

terakreditasi.

d. Memberikan pengabdian terbaik kepada masyarakat di bidang yang sesuai

dengan kompetensi Program Studi Ilmu Komunikasi melalui upaya-upaya positif

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

76

yang menumbuhkan kesadaran dan kepercayaan diri masyarakat serta

menjadikan masyarakat sebagai kekuatan dan modal bagi pembangunan bangsa

dan negara.

6. Kurikulum
Kurikulum di Program Studi Ilmu Komunikasi disusun dengan mengacu pada

peraturan Dikti tentang penyelenggaraan Pendidikan Tinggi dan sesuai dengan Visi,

Misi dan Tujuan Program Studi.

Kurikulum ini juga dirancang dengan memberi aksentuasi sesuai karakteristik

dan kemampuan lokal prodi yang dimiliki. Kurikulum didesain selain untuk

kemampuan teoritik dan konseptual yang kuat, juga untuk mengakomodasi

kemampuan praktis dalam studi komunikasi. Perbandingan bobot kemampuan teoritis

dan praktis sebesar 60%:40%.

Relevan dengan tuntutan dan kebutuhan stakeholders, dalam ini industri

media. Kurikulum di Prodi Ilmu komunikasi memiliki aspek yang menonjol pada

pengelompokan mata kuliah spesialisasi profesi. Mata kuliah ini antara lain:

Jurnalistik, Video, Radio, Humas dan Periklanan dan Design Grafis.

Pemberlakuannya dijalani mahasiswa secara berkesinambungan dari semester 5 s.d

semester 8. Mahasiswa kemudian diwajibkan memilih 3 dari 5 mata kuliah yang

ditawarkan.

Ada pun pada perkembangannya, mulai tahun ajaran 2009/2010 mata kuliah

spesialisasi Humas dan Periklanan dipisah masing-masing sebagai mata kuliah PR

dan Periklanan, dan untuk mata kuliah Design Grafis akhirnya dihapus karena

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

77

kurangnya peminat. Selanjutnya terjadi pemadatan masa studi mata kuliah

spesialisasi yang sebelumnya selama 4 semester menjadi 3 semester sehingga hanya

berlaku sampai semester 7. Perubahan itu diikuti pula dengan pemadatan sks untuk

setiap mata kuliah spesialisasi dari 3 sks menjadi 4 sks per mata kuliah spesialisasi.

Berikut ini daftar mata kuliah sesuai kurikulum terbaru di program Studi Ilmu

Komunikasi FISIP UNS.

Tabel II.1
Daftar Mata Kuliah Semester 1
No Mata Kuliah Semester 1 Jumlah SKS Status
1 Pendidikan Agama 2 Wajib
2 Pengantar Ilmu Komunikasi 3 Wajib
3 General English 2 Wajib
4 Pengantar Psikologi (massa) 3 Wajib
5 Pengantar Sosiologi 3 Wajib
6 Pengantar Ilmu Politik 3 Wajib
7 Dasar-Dasar Logika 3 Wajib
8 Komposisi 2 Wajib
9 Pendidikan Kewarganegaraan 2 Wajib
Jumlah 22

Tabel II.2
Daftar Mata Kuliah Semester 2
No Mata Kuliah Semester 2 Jumlah SKS Status
1 Ilmu Kealaman Dasar 2 Wajib
2 English for Social Science 2 Wajib
3 Azas-Azas Manajemen 2 Wajib
4 Komunikasi Massa 3 Wajib
5 Sistem Sosial Budaya Indonesia 3 Wajib
6 Sistem Politik Indonesia 3 Wajib
7 Sistem Hukum Indonesia 3 Wajib
8 Kewirausahaan 3 Wajib
9 Filsafat Ilmu 2 Wajib
Jumlah 22

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

78

Tabel II.3
Daftar Mata Kuliah Semester 3
No Mata Kuliah Semester 3 Jumlah SKS Status
1 MPS 3 Wajib
2 Sosiologi Komunikasi 3 Wajib
3 Manajemen Media Massa 3 Wajib
4 Teknologi Komunikasi 3 Wajib
5 Teori Komunikasi 3 Wajib
6 Psikologi Komunikasi 3 Wajib
7 Hukum Media Massa 3 Wajib
8 Teori Sosial Politik 2 Wajib
Jumlah 23

Tabel II.4
Daftar Mata Kuliah Semester 4
No Mata Kuliah Semester 4 Jumlah SKS Status
1 Statistik Sosial 3 Wajib
2 Komunikasi Politik 3 Wajib
3 Fotografi 3 Wajib
4 Perencanaan Komunikasi 3 Wajib
5 Filsafat & Etika Komunikasi 3 Wajib
6 Komunikasi Antar Budaya 3 Wajib
7 MPK Kualitatif 3 Wajib
8 Komunikasi Sosial dan Pembangunan 3 Wajib
Jumlah 22

Tabel II.5
Daftar Mata Kuliah Semester 5
No Mata Kuliah Semester 5 Jumlah SKS Status
1 Jurnalistik 1 4 Pilihan Wajib
2 Radio 1 4 Pilihan Wajib
3 Video 1 4 Pilihan Wajib
4 Public Relations 1 4 Pilihan Wajib
5 Advertising 1 4 Pilihan Wajib
6 MPK Kuantitatif 3 Wajib
Jumlah 23

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

79

Tabel II.6
Daftar Mata Kuliah Semester 6
No Mata Kuliah Semester 6 Jumlah SKS Status
1 Jurnalistik 2 4 Pilihan Wajib
2 Radio 2 4 Pilihan Wajib
3 Video 2 4 Pilihan Wajib
4 Public Relations 2 4 Pilihan Wajib
5 Advertising 2 4 Pilihan Wajib
6 Isu-Isu Komtemporer 3 Wajib
Jumlah 23

Tabel II.7
Daftar Mata Kuliah Semester 7
No Mata Kuliah Semester 7 Jumlah SKS Status
1 Jurnalistik 3 4 Pilihan Wajib
2 Radio 3 4 Pilihan Wajib
3 Video 3 4 Pilihan Wajib
4 Public Relations 3 4 Pilihan Wajib
5 Advertising 3 4 Pilihan Wajib
6 Kapita Selekta 3 Wajib
Jumlah 23

Tabel II.8
Daftar Mata Kuliah Semester 8
No Mata Kuliah Semester 8 Jumlah SKS Status
1 Kuliah Kerja Komunikasi 3 Wajib
2 Skripsi/TA 6 Wajib
Jumlah 9

Tabel II.9
Daftar Mata Kuliah Mata Kuliah Pilihan
No Mata Kuliah Jumlah SKS Status
1 Komunikasi Organisasi 2 Smt. Ganjil
2 Penulisan Kreatif 2 Smt. Genap
3 Media dan Gender 2 Smt. Ganjil
4 Komunikasi Bisnis 2 Smt. Genap
5 Sistem Komunikasi Indonesia 2 Smt. Genap
Jumlah 10
Sumber: Company Profile Program Studi Ilmu Komunikasi 2010

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

80

7. Substansi Mata Kuliah Spesialisasi


a. Jurnalistik 1, 2 dan 3:

Meliputi pemahaman konsep jurnalistik, objektivitas, framing, format

jurnalistik, unsur dan nilai berita, karangan khas, anatomi karangan khas,

teknik penulisan karangan khas (profil, news, feature, catatan perjalanan,

iptek, berita mendalam), Junalistik foto, memahami UU Pers, Kode Etik,

pembagian kerja produksi media, SOP Majalah berita

b. Video 1, 2, dan 3

Fotografi meliputi: pengenalan instrument kamera, prinsip kerja kamera,

aplikasi kamera, komposisi, framing dan focus

Videografi meliputi: Teknik dasar reportase, Alphabetis, kerabat kerja,

SOP(Standart Operasional Procedur, Musical Show, Talk Show, Bulletin,

Features, Magazine, Berita, Live Broadcast, Lighting, Sound, Menyiapkan

berita, presenter dan pembacaan berita, reportase, sumber berita, pemahaman

UU Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran, Kode Etik, Organisasi Produksi,

Konsep Kreatif Iklan Televisi, SOP Program Iklan dan Karya Dokumenter

c. Radio 1,2 dan 3

Standart Operasional Procedure(SOP) siaran radio, Manajemen siaran Radio,

Simulasi Siaran Radio, segmentase pendengar radio, penulisan naskah siaran

radio, produksi program hiburan dan informasi, olah vocal, editing,

profesionalisme siaran, bahasa dan musik iklan radio, iklan adlib dan layanan

masyarakat, iklan komersial, basic cool edit pro, kompetensi broadcaster,

bulletin news, talkshow, UU Penyiaran, Struktur dan manajemen perusahaan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

81

penyiaran radio, pengaturan Program siaran, Kode Etik, Pemantauan dan

Evaluasi Program Siaran

d. Public Relations 1, 2 dan 3

Pemahaman konsep Public Relations, Coorporate Public Relations, Marketing

Public Relations, Citra dan Reputasi, Etika Public Relations, Press Relations,

Tool of Public Relations, Employee Relations, Investor Relations, Kapita

Selekta Public Relations, Perencanaan PR, Publisitas, Pameran, Special

Event, Konsep dan Penerapan Coorporate Social Responsibility, Crisis PR,

dan Riset Public Relations

e. Advertising 1, 2 dan 3

Pemahaman Iklan, perencanaan iklan, brand equity, image dan personality,

perilaku konsumen, proses dan model dalam komunikasi pemasaran,

Integrated Marketing Communications (IMC), Strategi Kreatif Iklan, Strategi

Media, Positioning, Etika dan Regulasi iklan, Biro Iklan, Profesi iklan,

pemahaman konsep grafis, aplikasi desain grafis iklan, karakteristik desain

efektif, software desain iklan.

8. Profil Dosen

Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS saat ini memiliki dosen tetap

sejumlah 31 orang, dengan kualifikasi 25 orang sarjana strata dua (S2), 3 orang

Doktor (S3) dan 3 orang Profesor Doktor. Selain dosen tetap, prodi juga dibantu oleh

dosen-dosen tidak tetap yang berasal dari lingkungan UNS dan kalangan luar UNS

terutama para praktisi professional seperti surat kabar, radio, humas, periklanan dan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

lain sebagainya. Perbandingan rasio dosen dan mahasiswa yang ada di Program Studi

Ilmu Komunikasi adalah 32:531 atau sekitar 1:16.

9. Kemahasiswaan

Penerimaan mahasiswa pada Program Studi Ilmu Komunikasi dilakukan

melalui SNMPTN, PMDK, SPMB Swadana dan SPMB Transfer S-1 Non

Pendidikan. Angka persaingan untuk memasuki Program Studi Ilmu Komunikasi

FISIP UNS relatif tinggi, hal ini tampak dari data pada lima tahun terakhir rata-rata

tingkat kompetisi mahasiswa baru melalui jalur SPMB/SNMPTN 24:1, dengan nilai

rata-rata 731 (informasi lebih lanjut dapat diakses melalui www.spmb.uns.ac.id).

10. Sarana dan Prasarana Pendidikan

Untuk menjamin tersenggaranya proses belajar mengajar yang nyaman, tersedia

beberapa fasilitas pendidikan yang memadai dan tempat berinteraksi yang rekreatif:

Laboratorium

Program Studi Ilmu Komunikasi memiliki Laboratorium Audiovisual,

Laboratorium Radio, Laboratorium Editing Digital, Laboratorium Fotografi

dan Laboratorium Komputer Multimedia. Laboratorium ini dimanfaatkan

untuk penyelenggaraan praktikum matakuliah spesialisasi: Jurnalistik, Video,

Radio, Public Relations dan Periklanan. Laboratorium Program Studi Ilmu

Komunikasi memiliki peralatan yang cukup memadai baik dari aspek

kuantitas maupun kualitas. Selain sebagai tempat praktikum mahasiswa,

laboratorium ini juga menyediakan berbagai layanan jasa produksi media

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

peraga sosialisasi dan dokumentasi, seperti peraga audio visual pengajaran

atau pun company profile.

Perpustakaan

Ketersediaan perpusatakaan bagi program studi, menyatu dengan

perpustakaan yang dikelola oleh Fakultas yaitu perpustakaan FISIP UNS yang

memiliki koleksi buku sekitar 10.099 judul dengan jumlah eksemplar

mencapai 11.391 buah. Khusus buku-buku yang berkaitan dengan bidang

komunikasi, perpustakaan memiliki 1.255 buku teks, 21 jurnal ilmiah

nasional, 10 jurnal ilmiah internasional, 19 buletin/majalah ilmiah local.

Perpustakaan FISIP ini melayani pengunjung mulai dari pukul 08.00 s,d pukul

16.00 WIB.

Hotspot Area

Kebutuhan civitas akademika untuk mengakses content internet baik berupa

informasi akademik maupun non akademik, nyata sekali sudah tidak bisa

dibendung oleh alasan apa pun, maka untuk memenuhi kebutuhan tersebut,

Program Studi Ilmu Komunikasi bersama-sama dengan fakultas

;menyediakan banyak titik hotspot sehingga mahasiswa dan dosen bisa

mengakses internet disegala sudut kampus sepanjang waktu.

Public Sphere

Dalam rangka mengembangkan minat dan bakatnya, mahasiswa

mengekspresikan hasil kreasinya ditempat terbuka yang mudah diakses oleh

civitas akademika yang lain. Oleh karena itu, prodi bersama fakultas juga

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

84

menyediakan fasilitas umum berupa ruang terbuka baik untuk berlatih teater,

bermain music, berdiskusi, memutar film, open talk, pameran foto atau poster,

atau sekedar untuk berbincang mengisi waktu luang.

11. Profil Lulusan

Kurikulum pembelajaran di Program Studi Ilmu Komunikasi didesan untuk

menghasilkan output yang memiliki kompetensi di bidang Ilmu Komunikasi meliputi:

praktisi media(jurnalis surat kabar atau majalah, jurnalis televisi, jurnalis radio,

jurnalis kantor berita), tenaga edukatif komunikasi, pengelola media massa, peneliti

media massa dan praktisi public relations serta praktisi periklanan.

B. GAMBARAN UMUM MAHASISWA PROGRAM STUDI ILMU

KOMUNIKASI FISIP UNS

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bagian Pendidikan FISIP UNS tahun

2010, mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS yang masih aktif sampai pada

tahun ajaran 2010/2011 tercatat sebanyak 410 orang, yang terdiri dari 260 orang

mahasiswi dan 150 orang mahasiswa. Berikut adalah data lengkap jumlah mahasiswa

S-1 Reguler Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2007 s.d 2010:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

85

Tabel II.10
Jumlah Mahasiswa S-1 Reguler Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS
Akademik 2010/2011
No Angkatan Laki-Laki Perempuan Jumlah
1 2007 32 70 102
2 2008 35 63 98
3 2009 38 47 85
4 2010 45 80 125
Jumlah 150 260 410
Sumber: Data Sekunder Bagian Pendidikan FISIP UNS 2010

Mahasiswa S-1 Reguler Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS diterima

melalui beberapa jalur yaitu: PMDK, SNMPTN dan Swadana. Mereka berasal dari

berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya dari Surakarta dan sekitarnya. Hal itu

karena UNS memiliki cakupan nasional sehingga tidak heran jika sebagian

mahasiswa merupakan pendatang dari berbagai kota di Indonesia seperti Jakarta,

Bandung, Semarang, Magelang, Blitar, Temanggung, Ngawi, Yogyakarta dan

beberapa kota lainnya.

Melihat hal tersebut patut dikedepankan bahwa informan dalam penelitian ini

memiliki latar belakang budaya, pergaulan, dan adat istiadat yang berbeda. Belum

lagi sebagai mahasiswa yang memiliki tolak ukur berpikir kritis dalam menghadapi

suatu fenomena sosial, sehingga diharapkan dalam penelitian ini Mahasiswi S-1

Regular Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS yang terpilih sebagai informan

dapat memberikan penilaian terhadap permasalah yang diajukan dalam peneltian ini.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

86

C. DATA SUBJEK PENELITIAN

Setelah menggunakan teknik purposive sampling dan triangulasi sumber,

Peneliti memperoleh 18 orang mahasiswi sebagai informan/ subjek penelitian.

Berikut ini adalah data selengkapnya:

Tabel II.11
Data Informan (berdasarkan NIM, Tahun Angkatan dan Usia)
No Nama NIM Tahun Usia (Tahun)
Angkt.
1 Annisa Fitri D0210014 2010 20
2 Ambar Kusuma Ningrum D0210008 2010 18
3 Triendah Fibriani D0209080 2009 20
4 Fauziah Nurlina D0210044 2010 19
5 Nabilla Noor Khudori D0209057 2009 20
6 Dian Erika D0208053 2008 22
7 Aviana Cahyaningsih D0208041 2008 21
8 Twinika Sativa D0208017 2008 21
Febriandini
9 Dhyanayu Lutfi Almitra D0208020 2008 21
10 Fannani Norrohmah D0208064 2008 22
11 Destriana K. D0208050 2008 21
12 Devi Anggrahini D0208003 2008 21
13 Agnes Amanda D0207001 2007 22
14 Veronika Juwita Hapsari D0207105 2007 22
15 Mia Ajeng Yulivia D0207015 2007 22
16 Rahajeng Kartikarani D0207130 2007 22
17 Putu Ayu Gayatri D0207083 2007 22
18 Ema Yuliani Utami D0207052 2007 21
Sumber: Diolah dari data penelitian

Profil Informan:

Informan 1: Annisa Fitri (20). Perempuan yang lahir dan dibesarkan di

Solo ini lulus dari SMA pada tahun 2009. Pada Seleksi Nasional Masuk

Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2009 ia memilih jurusan Ilmu

Komunikasi sebagai pilihan pertama namun belum berhasil lolos. Pada

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

87

tahun yang sama ia kemudian memutuskan untuk kuliah di D3

Broadcasting FISIP UNS. Satu tahun kemudian, perempuan yang memiliki

hobi fotografi ini mencoba peruntungan untuk kembali mengikuti

SNMPTN dengan pilihan yang sama dan akhirnya diterima. Sejak awal

kuliah hingga kini ia aktif bergabung dalam beberapa organisasi

diantaranya Solo International Ethnic Music (SIEM) Community, Solo

International Performing Art (SIPA) Community, Himpunan Foto Solo

Bengawan (HSB), Fisip Fotografi Club (FFC) FISIP UNS dan Kaskus

Regional Solo.

Informan 2: Ambar Kusuma Ningrum (18). Dara yang lahir dan dibesarkan

di Jakarta ini mengaku memiliki hobi travelling dan nonton film.

membawanya memilih Universitas Sebelas Maret Solo sebagai tempat

kuliah. Tahun pertamanya sebagai mahasiswi di UNS banyak diisi dengan

berkegiatan di Kine Club FISIP UNS dan Fisip Fotografi Club (FFC).

Informan 3: Triendah Fibriani (20). Perempuan berkacamata minus ini

lulus dari pendidikan SMA pada tahun 2009. Setelah tidak berhasil lolos

untuk jurusan kuliah Ilmu Komunikasi FISIP UNS melalui jalur PMDK

tahun 2009, perempuan asal Blitar Jawa Timur ini mencoba untuk masuk

di prodi dan universitas yang sama melalui jalur SNMPTN, dan diterima.

Di tahun kedua semenjak menjadi mahasiswa, waktunya banyak ia

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

88

gunakan untuk berkegiatan di Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP

UNS, Himakom FISIP UNS dan Sensor.

Informan 4: Fauziah Nurlina lahir di Magelang, 22 Mei pada 19 tahun

silam. Saat ini tercatat sebagai mahasiswi Prodi Ilmu Komunikasi FISIP

UNS angkatan 2010. Perempuan yang energik dan spontan ini termotivasi

kuliah di Prodi Ilmu Komunikasi karena tertarik dengan jurnalistik dan

politik. Saat ini ia sedang aktif berkegiatan di Unit Kegiatan Mahasiswa

(UKM) VISI dan BEM FISIP UNS.

Informan 5: Nabilla Noor Khudori lahir di Wonogiri bertepatan dengan

peringatan hari Kartini 20 tahun silam. Saat ini tercatat sebagai mahasiswi

Ilmu Komunikasi FISIP UNS angkatan 2009. Sebelum akhirnya kuliah di

Prodi Ilmu Komunikasi, ia sempat break satu tahun setelah keinginannya

kuliah di Hubungan Internasional gagal. Perempuan yang mengaku blank

sama sekali dengan Ilmu Komunikasi saat pertama kuliah ini memiliki

ketertarikan terhadap dunia tulis menulis. Saat ini ia tengah aktif

berkegiatan di Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) di bidang jurnalistik yaitu

Mediator dan VISI.

Informan 6: Dian Erika (22). Perempuan yang gemar mengoleksi barang-

barang antik ini lahir di Wonogiri pada 13 Juli 1989. Jurusan Ilmu

Komunikasi adalah pengalaman kuliahnya yang kedua setelah satu tahun

sebelumnya yaitu tahun 2007-2008 ia lewatkan dengan mengenyam

pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Negeri Semarang (Unnes).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

89

Keputusannya untuk beralih jurusan kuliah ke Jurusan Ilmu Komunikasi

diantaranya terdorong oleh keinginannya untuk merasakan pendidikan

yang memberi ruang aktualisasi diri di bidang kejurnalistikan. Untuk mata

kuliah spesialisasi ia mengikuti mata kuliah jurnalistik, Design Grafis dan

Video. Selain kegiatan kuliah, hingga kini ia masih aktif tergabung dalam

Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Kentingan UNS.

Informan 7: Aviana Cahyaningsih (21). Perempuan berjilbab ini lahir dan

dibesarkan di Sukoharjo. Lepas dari SMA pada tahun 2008 ia langsung

diterima di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS melalui jalur SNMPTN.

Sekalipun pilihannya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi sempat

termotivasi ingin menjadi wartawan. Menurutnya, sosok wartawan atau

jurnalis perempuan itu keren karena jumlahnya yang belum sebanyak laki-

laki. Untuk mata kuliah spesialisasi ia mengikuti mata kuliah jurnalistik,

PR/Advert dan Video. Selain kuliah, saat ini ia aktif pula di kegiatan ekstra

kampus Fisip Fotografi Club (FFC).

Informan 8: Twinika Sativa Febriandini (21). Perempuan yang memiliki

kegemaran menulis ini diterima di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS

pada tahun 2008 melalui jalur PMDK. Keputusannya untuk kuliah di

Jurusan Ilmu Komunikasi mendapat dukungan dari orangtua terlebih ibu.

Motivasinya memilih jurusan ini yaitu ingin meningkatkan softskill dalam

mencari relasi. Untuk mata kuliah spesialisasi ia mengikuti mata kuliah

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

90

jurnalistik, PR/Advert dan Video. Setelah memasuki mata kuliah

spesialisasi, kini ini telah memantapkan diri untuk fokus mempelajari

Public Relations.

Informan 9: Dhyanayu Lutfi Almitra (21). Keputusannya untuk kuliah di

jurusan Ilmu Komunikasi salah satunya berkat dorongan dari teman-

temannya SMA yang menilai bahwa ia pandai berbicara sehingga pantas

kuliah di jurusan tersebut. Melalui jalur penerimaan SNMPTN, ia berhasil

diterima di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS pada tahun 2008.

Perempuan yang memiliki hobi membaca dan nonton ini memilih mata

kuliah jurnalistik, video dan PR/Advert sebagai mata kuliah spesialisasi

profesinya. Setelah sempat mengikuti beberapa kegiatan ekstra kampus di

awal kuliah seperti Teater SOPO dan FFC, kini ia memutuskan untuk fokus

pada kuliah semenjak memasuki mata kuliah spesialisasi.

Informan 10: Fannani Norrohmahn (22). Perempuan berjilbab ini lahir dan

di besarkan di Klaten. Kegemarannya pada dunia penyiaran sempat

membawanya menjadi seorang penyiar di sebuah radio swasta di kota

kelahirannya. Setelah sempat berhenti berkecimpung selama 3 tahun dari

dunia penyiaran selama masa SMA, akhirnya ia memutuskan untuk

kembali menekuninya di perguruan tinggi dengan masuk jurusan Ilmu

Komunikasi. Untuk mata kuliah spesialisasi ia memilih Radio, Jurnalistik

dan PR/Advertising. Setelah memasuki mata kuliah spesialisasi, kini ia

lebih memfokuskan diri pada perkuliahan dan sedikit-demi sedikit

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

91

mengurangi kegiatan ekstra kampus seperti BEM dan Studi Ilmiah

Mahasiswa.

Informan 11: Destriana K. (21). Keputusan Destri, begitu ia disapa, untuk

kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dilatarbelakangi oleh keinginannya

mengikuti jejak kakak perempuannya yang pernah menjadi penyiar radio.

Perempuan yang lahir dan dibesarkan di Wonogiri ini akhirnya dapat

diterima di juruasan Ilmu Komunikasi melalui jalur SNMPTN tahun 2008.

Fokusnya untuk menekuni Radio memotivasinya untuk bergabung di UKM

al kuliah. Untuk mata kuliah spesialisasi ia

memilih Radio, Jurnalistik dan PR/Advertising. Selain kuliah, kini ia masih

aktif berkegiatan di Radio Fiesta FM.

Informan 12: Devi Anggrahini (21). Pemain basket di Tim Bhineka Solo

ini masuk di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS melalui jalur PMDK

prestasi pada tahun 2008. Bisa dibilang keputusan Devi untuk kuliah di

jurusan Ilmu Komunikasi bukan sepenuhnya keinginannya karena

keterbatasan pilihan jurusan sosial yang ditawarkan melalui jalur PMDK

prestasi. Selain kuliah, berlatih basket merupakan kegiatannya sehari-hari

sebagai atlet. Ia sempat tertarik untuk mengikuti mata kuliah video namun

akhirnya ia urunkan karena mata kuliah tersebut ia rasa terlalu padat dan

tidak sejalan dengan kegiatannya sebagai atlet. Akhirnya ia memilih Radio,

Jurnalistik dan Design Grafis sebagai mata kuliah spesialisasi karena ketiga

mata kuliah itu dirasa sebagai yang paling longgar.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

92

Informan 13: Agnes Amanda (22). Agnes terdaftar sebagai mahasiswi

Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS pada tahun 2007 melalui jalur

PMDK. Perempuan yang lahir dan dibesarkan di Kabupaten Karanganyar

ia memilih kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi karena tertarik pada dunia

pertelevisian. Pada saat penjurusan kuliah ia mengambil mata kuliah

spesialisasi video, jurnalistik dan PR/Advertising. Sedangkan pada

semester VI ia mengikuti K3 di televisi lokal JogjaTV sebagai crew Divisi

Produksi.

Informan 14: Veronika Juwita Hapsari (22). Prodi Ilmu Komunikasi

sebenarnya merupakan pilihan alternatif untuk Ita, begitu ia akrab disapa,

pada saat mengikuti SNMPTN tahun 2007. Meskipun demikian ia

memantapkan hati untuk menjalani kuliah di jurusan ini atas motivasi dari

temannya yang merupakan mahasiswa di jurusan yang sama. Perempuan

yang memiliki hobi menulis ini me

di jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS, yaitu Video, Jurnalistik dan

PR/Advert. Adapun untuk K3, ia diterima di stasiun TV Swasta Metro TV

Biro Jawa Timur.

Informan 15: Mia Ayu Yuliavia (22). Kisah mengapa Mia memutuskan

kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi berawal dari keputusannya saat

penjurusan SMA yang memilih masuk ke jurusan Bahasa. Keterbatasan

pengetahuan mengenai materi tes SNMPTN dari jurusan tersebut

membuatnya enggan mengikuti SNMPTN. Ia kemudian berjuang untuk

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

93

dapat diterima kuliah melalui jalur PMDK. Berkat dukungan dari beberapa

pihak akhirnya ia memantapkan diri untuk mendaftarkan diri ke jurusan

Ilmu Komunikasi guna mengembangkan minatnya di dunia broadcasting.

Untuk mata kuliah spesialisasi ia mengambil mata kuliah Radio, Jurnalistik

dan PR/Advertising. Sedangkan untuk K3 ia mengikuti magang di RSPD

Kabupaten Sukoharjo. Selain kuliah, saat ini ia bekerja sebagai penyiar di

radio tempatnya mengikuti K3.

Informan 16: Rahajeng Kartikarani (22). Berawal dari kegemaran

Fotografi, ia memutuskan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Perempuan

yang lahir dan dibesarkan di Solo ini memilih mata kuliah spesialisasi

video, jurnalistik dan PR/Advert saat penjurusan kuliah. Sedangkan untuk

rls di Semarang sebagai jurnalis.

Hingga kini ia masih memiliki ketertarikan untuk bekerja di industri media

khususnya majalah.

Informan 17: Putu Ayu Gayatri (22). Keputusan untuk kuliah di jurusan

Ilmu Komunikasi dilatarbelakangi oleh hasil test psikologi yang ia ikuti

saat SMA yang didalamnya mencantumkan rekomendasi pilihan kuliah ke

jurusan Ilmu Komunikasi. Berkat dukungan dari sang kakek yang

kebetulan mengidolakan sosok jurnalis perempuan, ia didukung untuk

kuliah di jurusan tersebut agar menjadi jurnalis. Sejak awal kuliah ia mulai

berkecimpung ke dunia penyiaran. Hingga kini ia masih bekerja sebagai

penyiar di stasiun radio swasta Solo Radio. Perempuan yang mengaku

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

94

tertarik terhadap budaya dan pariwisata ini memilih mata kuliah radio,

jurnalistik dan PR/Advert sebagai mata kuliah spesialisasi. Sedangkan

pilihannya untuk K3 jatuh di Suara Merdeka Biro Solo. Untuk angkatan

2007, ia adalah satu-satunya mahasiswa yang memutuskan magang di surat

kabar harian.

Informan 18: Ema Yuliani Utami (21). Perempuan yang lahir dan

dibesarkan di Solo ini sejak awal kuliah mulai menekuni dunia jurnalistik

hingga sekarang dengan bergabung di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)

Visi FISIP UNS. Konsentrasinya di dunia jurnalistik ia perkuat dengan

keputusan untuk mengambil mata kuliah jurnalitik sebagai spesialisasi

jurusan disamping mata kuliah video dan PR/Advert. Ia merupakan satu

dari dua mahasiswi angkatan 2007 yang mengikuti K3 di kantor berita.

Sejak Juli 2010 ia menjalani program magang sebagai jurnalis di Lembaga

Kantor Berita ANTARA Biro Jawa Tengah. Bersamaan dengan dibukanya

program perekrutan koresponden oleh LKBN Antara, ia akhirnya direkut

sebagai koresponden dengan daerah liputan di Kabupaten Klaten. Setelah

sempat break sekitar satu semester, kemudian ia melanjutkan karirnya di

ANTARA dengan daerah liputan di Kabupaten Sukoharjo.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB III
PERSEPSI MAHASISWI S-1 PROGRAM STUDI ILMU
KOMUNIKASI FISIP UNS TERHADAP PROFESI JURNALIS

Ada gula ada semut. Kiranya peribahasa tersebut cocok untuk

menggambarkan terjadinya lonjakan peminat pendidikan Ilmu Komunikasi di

Indonesia belakangan ini. Berdasarkan data SNMPTN tahun 2010, jurusan Ilmu

Komunikasi menempati urutan pertama sebagai program studi dengan peminat

tertinggi. Disusul kemudian prodi Pendidikan Dokter sebagai peminat tertinggi

kedua, dan prodi Manajemen dengan peminat tertinggi ketiga 172.

Pertumbuhan industri media menjadi salah satu faktor yang memicu dinamika

pendidikan Ilmu Komunikasi. Meski terkesan sebagai trend, minat calon mahasiswa

baru untuk menempuh pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi harus tetap

diapresiasi. Bagaimana pun juga, peningkatan jumlah mahasiswa Ilmu Komunikasi

dapat menjadi gerbang dari pemenuhan kebutuhan tenaga profesional di bidang

komunikasi baik itu sebagai wartawan, presenter, public relations officer, dan

sebagainya.

Di antara beragam jenis pekerjaan yang terdapat di media massa, profesi

sebagai jurnalis dapat menjadi alternatif pilihan karir bagi mahasiswi Ilmu

Komunikasi. Jurnalis merujuk pada pengertian orang yang melakukan pekerjaan

172
www.unpad.ac.id, dikases pada 13 Januari 2011 pukul 11:15 WIB

commit95to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

96

jurnalistik173. Mereka tinggal memilih media apa yang lebih sesuai. Meminjam

pernyataan Illich, pekerjaan ini terbilang bersifat unisex174 yaitu terbuka untuk laki-

laki maupun perempuan. Faktanya jurnalis ternyata kurang diminati oleh perempuan.

Data sejak tahun 1998 hingga 2006 telah menunjukkannya bahwa jumlah jurnalis

perempuan relatif konsisten di kisaran angka 10 s.d 20 persen dari keseluruhan

jurnalis. (Lihat Tabel I.2, I.3, data PWI dan Laporan Kementrian Komunikasi dan

Informasi RI 2006).

Fenomena yang telah berlangsung lama itu lah yang kemudian

melatarbelakangi penelitian ini. Penulis melihat arti penting pengalaman subjektif

atau yang menurut Siregar disebut dengan inner world175 perempuan mengenai

profesi jurnalis untuk membongkar sebab musabab mengapa hanya sedikit

perempuan yang tertarik menjadi jurnalis. Penelitian ini kemudian difokuskan pada

konsep persepsi. Sekedar mereview, menurut Deddy Mulyana persepsi adalah proses

internal yang memungkinkan individu memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan

rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku176.

Ada pun sebelum sampai pada pembahasan tentang persepsi, terlebih dahulu

Penulis mengetengahkan data tentang pemilihan pendidikan di jurusan Ilmu

Komunikasi dan juga pekerjaan bidang Komunikasi. Kedua data tersebut menjadi

173
Iwan Ogan Apriansyah, Karier Top sebagai Reporter, (Jakarta: PPM Managemen, 2011), hlm. 32
174
Ivan Illich, Matinya Gender, Cetakan ke-5, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 43
175
Ashadi Siregar dkk, Media & Gender: Perspektif Gender atas Industri Suratkabar
Indonesia,(Yogyakarta: LP3Y,1999), hlm 161
176
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hlm.
151Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

97

latar belakang yang dapat menjelaskan persepsi mahasiswi Ilmu Komunikasi terhadap

profesi sebagai jurnalis secara kronologis.

A. PEMILIHAN JURUSAN ILMU KOMUNIKASI

Membicarakan profesi jurnalis tak dapat dipisahkan dari pendidikan Ilmu

Komunikasi. Sebagaimana disampaikan oleh Cangara dalam Hamid: bagaimana

kita dapat membicarakan produk komunikasi jika tidak dikaitkan dengan ilmu

komunikasi, dan bagaimana kita dapat membicarakan ilmu kalau tidak

membicarakan institusi pendidikan komunikasi177.

Sadar atau tidak, keputusan para Informan untuk menempuh pendidikan di

jurusan Ilmu Komunikasi telah menjadi langkah awal mereka untuk mendekati

peluang kerja di bidang komunikasi, salah satunya sebagai jurnalis. Pendidikan

berperan sebagai konteks yang membingkai arah pencarian kerja. Idealnya

pemilihan pekerjaan memang berdasarkan disiplin Ilmu yang tengah dipelajari.

Pemilihan jurusan Ilmu komunikasi di kalangan para Informan

mengingatkan Penulis pada sosok RA. Kartini. Dari buku berjudul


178
, yang merupakan terjemahan dari surat-surat RA

Kartini kepada sahabat penanya yang bernama Stella Zeehandelaar 179. Dalam buku

177
Hafied Cangara, dalam Farid
Hamid dan Heri Budianto, Ilmu Komunikasi: Sekarang dan Tantangan Masa Depan, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2011), hlm 30
178
Vissia Ita Yulianto, Penj. Aku Mau: Feminisme dan Nasionalisme, Jakarta: Kompas, 2004
179
R.A Kartini adalah anak ke-4 (puteri ke-2) dari Bupati Jepara bernama R.M.A.A Sosroningrat. Hak
istimewa dari seorang anak pejabat memberinya akses untuk memperoleh pendidikan. Bersama
adiknya yang bernama Roekmini, ia bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda
melalui beasiswa. Lebih dari keinginan belajar, ia memiliki cita-cita untuk mendirikan sebuah sekolah
untuk warga Bumi Putera khususnya bagi kaumnya. Kartini memiliki beberapa sahabat pena di negeri

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

98

yang diterjemahkan oleh Vissia Ita Yulianto itu, Penulis berkenalan dengan sosok

Kartini sebagai perempuan muda yang hari-harinya dipenuhi oleh mimpi untuk

belajar ke negeri Belanda.

Antara Kartini dengan para Informan memang bukan perbandingan yang

sepadan karena mereka hidup pada masa, dinamika dan tantangan yang berbeda.

Namun dibalik perbedaan-perbedaan itu, Penulis menemukan adanya kesamaan

yang membuat mereka seperti hidup pada masa yang sama yaitu dalam hal

kepercayaan diri membangun mimpi. Karena kepercayaan diri itu mereka sama-

sama menjadi potret dari perempuan muda yang te

1. Faktor Personal

Faktor personal yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu sebab-sebab

pemilihan pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi yang berasal dari diri sendiri.

Oleh Edward E. Sampson dalam Rakhmat, faktor personal disebut juga sebagai

perspektif yang berpusat pada persona (person-centered perspective)180.

Berdasarkan data penelitian terdapat dua aspek dari dalam diri para

Informan yang mendasari keputusan mereka untuk kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi. Kedua aspek itu yaitu pengetahuan mengenai Jurusan Ilmu

Komunikasi dan motif kuliah di jurusan tersebut.

Belanda yang salah satunya adalah Stella Zeehandelaar. Stella adalah seorang perempuan muda biasa
di Negeri Belanda yang tahu sedikit-sedikit tentang Hindia Belanda.
Dalam surat-suratnya kepada Stella, Kartini banyak berkisah tentang keinginan-keinginannya di atas:
mendapat beasiswa, belajar dan mendirikan sekolah. Namun pada akhirnya hubungan mereka harus
terputus setelah Kartini menikah pada tahun 1903 dan akhirnya meninggal pada usia 23 tahun,
setahun setelah ia menikah.
Ibid, hlm. viii, 197-200
180
Jalaluddin Rahmat. Psikologi Komunikasi. Cetakan Ke-6 (Bandung: Remaja Rosdakarya), hal. 33

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

99

1.1. Pengetahuan Mengenai Jurusan Ilmu Komunikasi

Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui

tentang suatu objek tertentu181. Pengetahuan mengenai jurusan Ilmu Komunikasi

tidak lain adalah segala sesuatu yang kita ketahui tentang jurusan tersebut.

1.1.1. Pengetahuan Umum

Jurusan Favorit

Jurusan Ilmu Komunikasi dinilai secara positif sebagai program

studi yang bergengsi dengan banyak peminat. Penilaian itu diutarakan oleh

beberapa Informan seperti: Twinika S.F (2008), Mia Ayu Yulivia (2007),

Ema Yuliani Utami (2007) dan Veronika Juwita Hapsari (2007). Menurut

passing grade182.

Passing grade sendiri adalah nilai minimum yang harus didapatkan

untuk bisa lulus ujian masuk perguruan tinggi183. Semakin tinggi passing

grade suatu jurusan maka semakin tinggi pula tingkat kesukaran untuk

masuk ke jurusan itu.

Salah satu rujukan informasi mengenai kualitas jurusan Ilmu

Komunikasi adalah lembaga bimbingan belajar. Hal itu seperti dialami oleh

181
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Cetakan ke-18 (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2005), hal. 104
182
Rumus passing grade = (B x 4) - (S x 1) x 100
JS x 4
Keterangan :
B = Jumlah jawaban benar
S = Jumlah jawaban salah
JS = Jumlah soal
http://lembijarairlanggacollege.blogspot.com/p/snmptn.html diakses pada 16 Februari 2012 pukul
19:11 WIB
183
www.snmptn.or.id/passing grade/ di akses pada 1 Agustus 2011 pukul 11.55 WIB

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

100

Twinika. Melalui lembaga bimbingan belajar ia diajari menganalisa

kualitas jurusan kuliah dari skor passing grade-nya.

ada buku semacam kaya grade-


184

Penilaian senada disampaikan oleh Mia A.Y. Disini, sang kakak

yang menjadi sumber referensi.

apik banget lho Komunikasi UNS ki,


gradenya apik banget, percayalah padaku (dulu kakakku bilang,
bagus banget lho Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNS itu, gradenya
bagus banget, percayalah padaku),185

Ada pun sama-sama meyakini skor passing grade sebagai indikator

dari kualitas pendidikan, kiranya Ema Yuliani Utami menunjukkan sikap

yang lebih tegas. Iya memutuskan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi

karena yakin jurusan tersebut bagus.

saya milih komunikasi. Kenapa, karena passing gradenya


, soalnya
dari situ kan kita bisa tahu seberapa berkualitas prodi yang mau kita
masukin186.

Dalam kondisi lain, indikator kualitas pendidikan dilihat pula dari

animo peminatnya. Memilih jurusan kuliah seperti halnya saat kita akan

membeli makanan di sentra kuliner. Dengan pengalaman yang nol, insting

pertama yang akan dilakukan adalah mencari yang paling ramai.

184
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011
185
Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ayu Y. pada hari Rabu, 23 Februari 2011
186
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

101

Asumsinya, yang paling banyak diminati berarti berkualitas tinggi. Hal itu

seperti diutarakan oleh Veronika J.H.

cuman berdasarkan pendapat kalau itu lho, komunikasi UNS itu


bagus passing gradenya tinggi, yang mau masuk kesana juga
banyak. Cuman modal kaya gitu aja.187

Sejauh ini passing grade Jurusan Ilmu Komunikasi memang

tercatat relatif tinggi. Berdasarkan data Seleksi Nasional Masuk Perguruan

Tinggi Negeri (SNMPTN) 2010 kategori IPS, skor passing grade Jurusan

Ilmu Komunikasi di Indonesia rata-rata berada di angka 50 persen. Duduk

di posisi tertinggi yaitu jurusan Ilmu Komunikasi UI dengan skor 55,01

persen. Diikuti oleh UGM yaitu 54,71 persen, UNPAD persen 53,15 persen

UNAIR 53,05 persen dan UNDIP 52,05 persen. Ada pun UNS berada

tepat dibawah UNDIP dengan skor 51,43 persen 188.

Ada pun animo untuk memilih Jurusan Ilmu Komunikasi di

Indonesia akhir-akhir ini memang tinggi. Peningkatan jumlah pendaftar

prodi ilmu komunikasi terasa sekitar 1990-an, di mana saat itu, banyak

pembukaan perusahaan penerbitan media koran dan televisi189.

Berdasarkan data wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa

pengetahuan mengenai passing grade sangat berharga bagi para Informan

saat akan menentukan jurusan kuliah. Passing grade membantu mereka

mengukur kualitas pendidikan di suatu jurusan. Bagaimana pun aspek


187
Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011
188
http://www.ptn-online.com/passing-garde-snmptn-2010-ips-vers-z-e-r-o/ diakses pada 16 Februari
pukul 13:31 WIB
189
http://www.pendis.depag.go.id diakses pada 20 Februari 2012 pukul 09:51 WIB

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

102

kualitas menjadi pertimbangan bagi para Informan dalam pemilihan

jurusan kuliah. Lembaga pendidikan yang berkualitas diyakini akan

mencetak output yang berkualitas sehingga dimudahkan dalam proses

pencarian kerja.

Pendidikan Public Speaking

Beberapa Informan menilai bahwa Jurusan Ilmu Komunikasi

merupakan pendidikan yang mengajarkan teknik berbicara (public

speaking). Kira-kira pengertian itu diturunkan dari konsep komunikasi

yang secara sederhana disamakan dengan aktivitas percakapan. Para

Informan yang memiliki penilaian seperti itu di antaranya adalah Annisa

Fitri (2010) dan Dian Erika (2008).


190
Komunikasi itu kuliah buat orang yang suka ngomong .

dulu sih taunya komunikasi itu ngomong sih mbak jadi orang-
orang yang terkumpul di situ adalah kumpulan orang yang speak-
speak, ya orang yang dari sononya suka speak-speak gitu atau
berbakat speak-speak191

Menurut Annisa dan Dian, kriteria orang yang dianggap layak

kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi yaitu mereka yang memiliki bakat atau

talenta berbicara. Mereka beranggapan bahwa Jurusan Ilmu Komunikasi

merupakan pendidikan bagi seseorang untuk meningkatkan keterampilan

berbicara.

190
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Rabu, 2 Maret 2011
191
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

103

Jika kedua Informan di atas mencoba mendefinisikan komunikasi

secara objektif, maka hal itu sedikit berbeda dengan Fauziah Nurlina

(2010) dan Dyanayu L.F (2008). Mereka menempatkan diri sendiri sebagai

golongan orang yang pantas kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Mereka

merasa pandai berbicara.

.aku dibilangin mbakku, kamu kan pinter ngomong, yaudah kamu


masuk komunikasi aja.192

Kowe kuliah komunikasi wae. Ketoke kowe cocok mu yo gor neng

komunikasi adalah orang-orang yang pinter ngomong itu pasnya


masuk komunikasi (Kamu kuliah komunikasi saja, kamu kan cerewet.
Dari dulu itu sepertinya pencitraan komunikasi adalah orang-orang
yang pandai berbicara itu pasnya masuk komunikasi).193

Dalam hal ini terdapat pelaziman atau penyesuaian antara ciri suatu

kelompok dengan ciri anggotanya. Karena jurusan Ilmu Komunikasi

diyakini mempelajari teknik berbicara maka orang-orang yang

mempelajarinya adalah orang-orang yang pada dasarnya telah memiliki

bakat atau talenta berbicara.

Jurusan dengan Perkuliahan Menyenangkan

Sekalipun belum pernah mengalami sendiri, tetapi beberapa

Informan merasa yakin jika perkuliahan di Jurusan Ilmu Komunikasi

menyenangkan. Penilaian itu diutarakan oleh beberapa Informan seperti

Fauziah Nurlina (2010), Dian Erika (2008) dan Devi Anggrahini (2008),

192
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
193
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

104

Sisi menyenangkan dari Jurusan Ilmu Komunikasi pertama-tama

berkaitan dengan sifatnya pendidikan yang dinamis. Jurusan ilmu

Komunikasi dikenal sebagai pendidikan yang dekat dengan pemanfaatan

teknonogi baru. Di samping itu faktor perkuliahan yang tidak melulu

berada di lingkungan kampus membuat pendidikan di jurusan tersebut

diekspektasi secara positif. Hal itu seperti disampaikan oleh Fauziah

Nurlina (2010):

kayake itu kog lapangan banget, seru banget, ya kaya


berurusan sama gadget-gadget gitu, aku suka aja, kayaknya lucu
gitu.194

Untuk memperjelas kondisi itu, ia membandingkan Jurusan Ilmu

Komunikasi dengan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) yang

ia nilai lebih kaku.

kayaknya enak banget kuliahnya, gak berat, gak terlalu mikir.


Serunya itu, kalau dibandingin sama FKIP gitu kan beda banget.
Komunikasi lebih santai kuliahnya, terus bisa lebih
mengekspresikan diri gitu.195

Dalam kondisi lain, Dian Erika (2008) menilai jurusan Ilmu

Komunikasi menyenangkan karena memberi keleluasaan berkreatifitas.

Jurusan Ilmu Komunikasi merupakan pendidikan bagi mereka yang

memiliki pikiran alternatif dan kreatif.

194
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011
195
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

105

orang-orang di sastra apa komunikasi gitu ra ketang


sithik ana unsur seninya mbak dan pikirane rada alternatif.196

Ada pun selanjutnya, jurusan Ilmu Komunikasi menurut Devi

Anggrahini (2008) justru dinilai kurang menyenangkan meskipun oleh

beberapa orang disekitarnya dikatakan menyenangkan.

dia bilang santai gitu Malah


belibet ya. Itu nek menurutku. Kan kayak kuliah jadi reporter,aku
kepikirane nanti nek kuliah komunikasi itu reporternya itu. Aku
malah mikirnya susah gitu.197

Penilaian Devi yang negatif mengenai pendidikan di Jurusan Ilmu

Komunikasi berasal dari ketidaksukaannya pada pekerjaan wartawan atau

reporter yang ia tahu merupakan salah satu pekerjaan perpanjangan dari

pendidikan Ilmu Komunikasi. Ia menilai pekerjaan menjadi wartawan sulit,

sehingga akhirnya ia menilai bahwa pendidikan di jurusan Ilmu

Komunikasi merupakan jurusan yang sulit atau sukar juga.

Berdasarkan penilaian para Informan, dapat disimpulkan bahwa

mereka memiliki antusiasme pada jurusan Ilmu Komunikasi yang relatif

tinggi. Ungkapan: santai, dinamis dan juga bebas berekspresi menjadi label

positif bagi jurusan Ilmu Komunikasi yang menunjukkan besarnya

antusiasme itu. Jika ditelaah, antusiasme para Informan terhadap jurusan

Ilmu Komunikasi berkaitan dengan kefleksibelan pendidikan itu baik aspek

kognitif maupun praktis.

196
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
197
Hasil wawancara mendalam dengan Devi Anggrahini pada hari Selasa, 31 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

106

Materi pendidikan perpaduan antara teori dan praktek

Sebagai pendidikan srata satu (S-1), jurusan Ilmu Komunikasi

dipandang sebagai pendidikan yang memberikan dasar teori sebelum

praktek. Hal itu seperti disampaikan oleh beberapa Informan seperti Annisa

Fitri (2010), Twinika S.F (2008), Rahajeng Kartikarani (2007), Destriana K

(2008) dan Dhyanayu L.A (2008).

kuliahnya dikasih teori dulu, jadi gak langsung praktek.198

Menurut Annisa Fitri, perkuliahan di jurusan Ilmu Komunikasi

pertama-tama fokus pada teori. Teori menjadi dasar dari kuliah praktek

yang dipelajari selanjutnya.

Demikian juga disampaikan oleh Twinika. Setelah sempat

berbincang dengan kakak kelasnya yang kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi, ia mendapatkan pengetahuan bahwa jurusan Ilmu

Komunikasi didominasi oleh kegiatan lapangan. Berikut pernyataan

Twinika:

komunikasi yang aku tahu malah ini, cenderung ke


membuat film gitu lho video gitu ternyata enggak, disini ada

ternyata komunikasi itu luas gitu. Gak hanya teori prakteknya juga
ada.199

198
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011
199
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

107

Apa yang disampaikan oleh Twinika menyiratkan adanya

pengetahuan bahwa jurusan Ilmu Komunikasi memiliki kuliah praktek

yang lebih beragam dibandingkan dengan kuliah yang bersifat teoritis.

Selanjutnya, jurusan Ilmu Komunikasi oleh beberapa Informan

dipandang sebagai jurusan yang banyak memiliki kegiatan praktek.

Pengetahuan itu seperti dimiliki oleh Rahajeng Kartikarani (2007) berikut:

dulu sih gambarannya komunikasi itu banyak prakteknya,


kaya pegang kamera, terus pokoknya soal broadcast gitu lho200

Demikian juga disampaikan oleh Destriana K (2008) berikut:

gambaran masuk komunikasi itu pasti diajarin video gitu,


bisa mengoperasikan alat-alat kaya gitu sih dulu, ke praktek-
prakteknya. Cuman berarti yang kerja di TV-TV kaya gitu, gitu pasti
kuliahnya di komunikasi, bisa maen kamera, bisa apa, maen mixer,
gitu-gitu, hehehe, lebih ke teknis kaya gitu. 201

Ada pun pengetahuan yang lebih luas dimiliki oleh Dyanayu L.A

(2008) yaitu bahwa selain broadcasting, jurusan Ilmu Komunikasi juga

mempelajari PR, dan jurnalistik. Karena pengetahuan mengenai mata

kuliah praktek tersebut, ia akhirnya lebih memilih kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi FISIP UNS. Berikut kutipan wawancara dengan Dyanayu:

Komunikasi itu banyak prakteknya terutama yang di UNS nya


bakalan ana
praktekke dan aku ki kayake senang bangsa video, terus PR, dan
jurnalistik, nulis-nulis ngono barang (Aku lihat sepertinya lebih
menarik di UNS karena aka nada prakteknya, dan aku itu sepertinya

200
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011
201
Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

108

memang lebih tertarik dengan bidang video, lalu PR, dan jurnalitik,
nulis-nulis gitu juga).202

Dari data di atas, diperoleh gambaran bahwa jurusan Ilmu

Komunikasi tediri dari dua jenis materi kuliah yaitu teori dan praktek.

Teori dipandang sebagai pengetahuan dasar sedangkan praktek sebagai

aplikasi dari teori.

1.1.2. Gambaran Pekerjaan bagi lulusan Jurusan Ilmu Komunikasi

Peluang Kerja Luas

Hampir semua Informan berpikir bahwa peluang kerja bagi lulusan

jurusan Ilmu Komunikasi itu luas. Selain luas, kebutuhan akan tenaga kerja

dari lulusan jurusan Ilmu Komunikasi dianggap konstan dalam jangka

waktu yang lama.

Hal itu seperti disampaikan oleh Dyanayu L.A (2008). Menurutnya,

keberadaan media massa sebagai institusi penyedia dan penyampai berita

merupakan jaminan dari bagaimana profesi di bidang tersebut akan terus

dibutuhkan khususnya di era masyarakat informasi belakangan ini.

komunikasi kan malah berkembang, jaman sekarang gitu


lho, media kan juga berkembang. Berati kan nyari pekerjaan bisa di
bilang lebih mudah lah dari di banding kan dengan ekonomi atau
hukum203

Selanjutnya, luasnya lapangan pekerjaan bagi lulusan jurusan Ilmu

Komunikasi bahkan disebut-sebut melewati batas disiplin ilmu itu sendiri.

202
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
203
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

109

Hal itu disampaikan oleh Fauziah Nurlina (2010). Selain pekerjaan di

bidang media, ia perpandangan bahwa lulusan dari jurusan Ilmu

Komunikasi memiliki peluang untuk pekerja di instansi pemerintahan.

Kayaknya sih di TV, di Broadcast, terus jurnalistik, pers, majalah,


majalah gitu, terus departemen-departemen, ya ambil kesimpulan
departemen-departemen butuh juga lulusan komunikasi gitu.204

Ada pun luasnya peluang kerja bagi lulusan jurusan Ilmu

Komunikasi oleh Dian Erika (2008) dipandang dari perspektif lain.

Menurutnya, lulusan jurusan Ilmu Komunikasi memiliki kesempatan untuk

bekerja di bidang apapun karena memiliki bekal pengetahuan yang luas.

Berikut kutipan wawancaranya:

anak-anak sastra atau komunikasi kaya gitu, jadi apa


pun mungkin, maksudnya karena mikirnya alternatif kaya gitu ya,
mungkin karena wawasannya bisa di bilang luas jadi apa pun,205

Selanjutnya ia menyebutkan beberapa kemungkinan pekerjaan bagi

jurusan Ilmu Komunikasi yang ia pikirkan:

Jadi guru bisa, jadi admin bisa, apalagi di bidangnya sendiri yang
kaya video, terus jurnalistik atau pun PR. Terus di media elektronik
baik mereka yang teknis maupun ini yang menyajikan berita, terus
yang meliput dan jadi reporter segala macam. Terus jadi wartawan
kan pasti juga, design grafis juga bisa. Pokoknya dari tingkatan
paling bawah sampai atas.206

204
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011
205
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
206
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

110

Dari pernyataan Dian Erika di atas, luasnya peluang kerja bagi

lulusan jurusan Ilmu Komunikasi berdasarkan pada pandangan bahwa

mahasiswa Ilmu Komunikasi memiliki kemampuan berpikir kreatif yang

memungkinkan mereka mendapatkan pengetahuan yang luas. Oleh sebab

itu tak ada pekerjaan yang tak mungkin dikerjakan bagi lulusan Jurusan

Ilmu Komunikasi baik itu pekerjaan di bidang komunikasi maupun non

komunikasi. Baik itu pekerjaan tingkat rendah maupun atas.

Secara garis besar, luasnya peluang kerja bagi lulusan Program

Studi Ilmu Komunikasi jika dikategorikan akan terbagi menjadi dua

kelompok: 1). Pekerjaan Bidang Komunikasi dan 2). Pekerjaan Non

Komunikasi.

Dari data tersebut, peneliti menangkap kecenderungan bahwa para

Informan telah memiliki pengetahuan cukup mengenai bidang-bidang

pekerjaan yang akan menjadi peluang kerja selepas kuliah. Adanya

pemikiran bahwa lulusan Prodi Ilmu Komunikasi bisa bekerja lintas

disiplin menggambarkan semakin luasnya peluang kerja bagi lulusan Prodi

Ilmu Komunikasi. Bahkan untuk menonjolkan tingginya peluang kerja bagi

lulusan Prodi Ilmu Komunikasi Dhyanayu membandingkannya dengan

kemungkinan peluang pada fakultas lain yaitu fakultas Ekonomi dan

Hukum.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

111

Media Massa dan Public Relations (PR)

Seperti telah disebutkan di atas, peluang kerja untuk lulusan jurusan

Ilmu Komunikasi dianggap luas. Tak hanya terbatas pada disiplin ilmu,

lulusan jurusan Ilmu Komunikasi diperkirakan dapat menembus pekerjaan

dari displin ilmu lain.

Meskipun demikian pekerjaan bidang komunikasi tetap menjadi top

of mind para Informan. Pekerjaan-pekerjaan bidang komunikasi yang

disebutkan terkait dengan media massa dan PR. Hal itu seperti disampaikan

oleh Aviana Cahyaningsih (2008). Bayangannya kala itu jurusan Ilmu

Komunikasi adalah pendidikan untuk menjadi wartawan, khususnya di

media cetak.

-bener yang ini, menyiapkan orang menjadi


wartawan, cuma wartawan tok gitu lho, jadi bayangane komunikasi
yang dipelajari gimana jadi wartawan yang baik, piye kerja di
Itu pun aku mikire cuma yang media cetak207

Pada kesempatan lain Putu Ayu Gayatri (2007) mengungkapkan hal

yang senada.
208

Hal itu diamini pula oleh beberapa Informan seperti Mia Ayu

Yuliavia (2007) dan Ema Yuliani Utami (2007). Hanya saja Ema kemudian

menambahkan adanya profesi Public Relations Officer (PRO) dalam

gambarannya.

207
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
208
Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ajeng Yulivia pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

112

Ya ini sih, ya tadi, idem sama Ayu, ketika cari-cari pun kebanyakan
itu lebih ke media, sama PR kalau bayanganku dulu.209

Ada pun untuk beberapa Informan, Jurusan Ilmu Komunikasi

dipandang sebagai jurusan untuk belajar menjadi Public Relations (PR)

saja. Hal itu diutarakan oleh Ambar Kusuma Ningrum (2010) dan Nabila

N.K (2009).

Kan komunikasi itu PR ya, oh iya mbak, saya tahunya komunikasi


itu PR.210

komunikasi itu humas gitu.211

Kiranya berdasarkan data di atas, pendidikan di Jurusan Ilmu

Komunikasi dipandang sebagai pendidikan profesi yang pada ujungnya

mempersiapkan seseorang untuk berprofesi di bidang tertentu. Secara

umum para Informan memiliki pemikiran yang sama bahwa pekerjaan

utama di bidang komunikasi yaitu pekerjaan di industri media (cetak,

majalah, radio dan tv) dan PR.

1.2. Motif Kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi

Keputusan para Informan untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi

merupakan hal yang bersifat subjektif dan unik. Dibalik keputusan itu terdapat

motif-motif yang melatarbelakangi. Motif adalah suatu pengertian mengenai

209
Hasil wawancara mendalam dengan Ema yUliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011
210
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis, 10 Maret 2011
211
Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

113

keadaan mobilisasi energi dengan suatu tujuan212. Motif menerangkan

mengapa tingkah laku terarah kepada suatu tujuan tertentu. Dengan kata lain,

motif merupakan dorongan dari dalam diri yang menggerakkan seseorang

untuk melakukan suatu aktivitas guna mewujudkan tujuan tertentu.

1.2.1. Memperoleh Pengetahuan tentang Media Massa

Keputusan para Informan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi

ada sangkut pautnya dengan media massa. Citra Jurusan Ilmu Komunikasi

yang tertangkap oleh beberapa Informan ternyata lekat dengan keberadaan

media massa. Jurusan Ilmu Komunikasi duduk sebagai institusi pendidikan

dan media massa sebagai objek studi sekaligus aplikasi dalam dunia riil.

Beberapa Informan yang mengalaminya diantaranya adalah Dian Erika

(2008), Mia A.Y (2007) dan Fannany Noorohmah (2008). Pada Dian Erika,

keinginan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi secara tidak langsung

terkait dengan pengalaman masa kecilnya yang sudah familiar dengan

keberadaan media massa. Dari situ ia memiliki rasa penasaran dan tertarik

untuk mempelajarinya lebih dalam.

di rumah itu banyak koran, majalah, intine banyak


bacaan. Terus radio juga 24 jam
mengasyikkan...Awalnya itu aku gak ngerti itu jurusan apa. Pokoknya
saya pengen belajar itu (media massa),. 213

212
Theodore M. Newcomb dkk, Penerjemah Tim Fakultas Psikologi UI, Psikologi Sosial, (Bandung:
Diponegoro, 1978), hal.38
213
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

114

Sama-sama ingin belajar tentang media, namun yang terjadi pada Mia

A.Y (2007) dan Fannany Norrohmah (2008) sedikit berbeda dengan Dian

Erika. Mereka lebih fokus pada satu bidang media saja yaitu Broadcasting

atau penyiaran. Hal itu karena keduanya telah memiliki cita-cita untuk

menjadi penyiar.

Pada Mia, fokusnya untuk belajar Broadcasting telah membawanya

pada obsesi untuk kuliah di jurusan Broadcasting. Namun, karena

pengetahuannya yang masih terbatas, ia sedikit mengalami kebingungan saat

dihadapkan pada jurusan D3 dan S1.

dulu aku belum kenal sama ilmu komunikasi. Dulu aku tahunya itu
ada jurusan broadcast yang S1, aku ditanya sama guru BP, Mia mau
ambil apa? Aku ambil broadcast yang S1 pak. Adanya D3 katanya.
Padahal kan aku emang harus sekalian S1 mbak, pengen sekalian S1
gitu. Akhirnyalah memutuskan, yasudah aku berarti broadcastnya
langsung S1, Komunikasi214.

Keputusan Mia untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi program S-1

dilatarbelakangi oleh kesadaran akan pentingnya pengetahuan teoritis

khususnya mengenai penyiaran sebelum nantinya ia menekuni dunia

penyiaran. Pengetahuan teoritis menjadi prioritas kuliah karena dianggap

sebagai dasar atau pedoman sebelum terjun dalam kegiatan praktis.

Senada dengan Mia, Fananny pun lebih memilih S1 daripada D3.

Pernah terpikir olehnya untuk kuliah di Jurusan Brodcasting program D3,

tetapi atas saran dari beberapa orang ia kemudian lebih memilih untuk kuliah

di Jurusan Ilmu Komunikasi program S-1. Ia menyimpulkan bahwa kuliah di


214
Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ajeng Yulivia pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

115

ebih memilih program S-1 karena memberi

pengetahuan yang lebih luas. Berikut ini seperti disampaikan oleh Fannany:

Awalnya mau langsung ke Broadcastnya, cuma, banyak saran, eman-


eman kalo cuman ke Broadcastnya aja. Kenapa gak langsung
komunikasi aja. Yang langsung semuanya bisa dapat gitu lho, gak hanya
Terus akhire yaudah lah, akhire ambil komunikasi 215

Baik Mia maupun Fannany, keduanya lebih berorientasi untuk kuliah

di jurusan yang pertama-tama memberi bekal pengetahuan yang kuat (teori)

daripada praktek. Dalam hal ini, program S-1 menjadi pilihan yang dinilai

lebih pas dari pendidikan diploma.

1.2.2. Mendapat Keterampilan

Berdasarkan data di atas, terindikasi bahwa para Informan memutuskan

kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi karena memiliki tujuan untuk bekerja di

bidang komunikasi. Proyeksi masa depan untuk bekerja itu tidak hanya

ditanggapi dengan persiapan secara keilmuan tetapi juga dengan keterampilan.

Para Informan telah menyadari arti penting keterampilan di samping

penguasaan pengetahuan.

Keterampilan Tata Bahasa dan Penulisan

Menurut Goris Keraf, bahasa adalah alat komunikasi antara

anggota masyarakat berupa simbol bunyi, yang dihasilkan oleh alat ucap

manusia.216 Istilah komunikasi sendiri secara sederhana kerap dipahami

sebagai bentuk percakapan dimana bahasa menjadi intinya. Hal itu

215
Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011
216
www.wismasastra.wordpress.com/DefinisiBahasa, diakses pada 11 Agustus pukul 12.15 WIB

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

116

berdampak pada penilaian tentang jurusan Ilmu Komunikasi sebagai

jurusan yang mempelajari bahasa.

Pengalaman Nabilla N.K (2009) berikut dapat menjadi contohnya.

Ia ingin kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi lantaran ingin mengembangkan

potensinya di bidang bahasa.

karena aku menonjolnya di bidang bahasa, biar


berkembang saja, kalau di komunikasi kan cakupannya luas 217

Ada pun pengalaman Aviana Cahyaningsih (2008) sedikit berbeda

dalam hal fokus keterampilan. Keinginan kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi terkait dengan cita-cita untuk menjadi jurnalis. Dari situ ia

berpikir untuk meningkatkan keterampilannya di bidang tulis menulis

khususnya penulisan berita yang sejak SMA sudah mulai ia sukai. Berikut

ini kutipan wawancara dengan Aviana:

basiknya dari awal emang suka nulis di majalah sekolah


dan sudah ngerti piye senenge, yo istilahnya dasare udah tahu gitu
lho...browsing-browsing tentang komunikasi. Eh ternyata emang kog
ngarahnya ke kaya wartawan, nulis-nulis gitu. Terus akhirnya
memutuskan ya sudahlah ketoke jiwaku pilih neng komunikasi wae.
Akhirnya kuliah komunikasi itu218

Dari data di atas, baik Nabilla maupun Aviana keduanya

memutuskan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi diawali terlebih dahulu

oleh kesadaran akan bakat dan juga minat mereka. Jurusan Ilmu

217
Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011
218
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

117

Komunikasi dinilai sebagai jurusan yang dapat mewadahi potensi mereka

tersebut.

Keterampilan Fotografi

Fotografi merupakan salah satu bidang kajian di studi Ilmu

Komunikasi. Fotografi disebut sebagai media komunikasi visual. Secara

umum, fotografi dilihat sebagai sebuh teknik praktis untuk mengoperasikan

kamera guna menghasilkan gambar yang bagus.

Pada beberapa informan, dengan latar belakang hobi di bidang

fotografi, mereka kemudian memutuskan untuk kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi. Mereka adalah Rahajeng K (2007) dan Annisa Fitri (2010).

Menurutku sih komunikasi, ya, sesuailah sama aku, daripada


jurusan-jurusan lain gitu kan, komunikasi kan kalau aku lihat dulu
itu yang di UNS itu kaya kebanyakan praktek gitu, bisa sesuai sama
apa yang aku suka gitu, foto-foto kan, jadi aku gak mau masuk
jurusan yang aku sendiri gak suka.219

Pemikiran yang sama dimiliki juga oleh Annisa Fitri (2010).

Bahkan Annisa sudah berpikir untuk menekuni fotografi sebagai

profesinya kelak. Ia bercita-cita menjadi foto jurnalis.

Aku pengen jadi foto jurnalis sebenarnya, tapi setelah sudah mulai
berkenalan dengan banyak orang yang bekerja di bidang itu, aku
malah ngrasa, aku bisa gak nih, aku mampu ndak ya, ternyata masih
banyak ilmu yang perlu aku pelajari dari orang lain, untuk jadi foto
jurnalis masih butuh banyak belajar dari orang lain, masih butuh
banyak banget tahapannya untuk jadi foto jurnalis220

219
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada Rabu, 23 Februari 2011
220
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Rabu, 2 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

118

Annisa Fitri memutuskan kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi atas

keyakinan bahwa melalui pendidikan di jurusan tersebut ia akan memiliki

masa depan yang lebih baik dan lebih mapan. Menurutnya, kehidupan yang

lebih baik itu terwujud karena pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi

memiliki dasar teori tidak hanya praktek.

For better life...Kuliahnya dikasih teori dulu, jadi gak langsung


praktek, apa lagi ya, setauku lulusan komunikasi kalo kerja dapat
posisi yang lebih mapan, istilahnya seatle gitu221

Ada pun mapan yang ia maksud yaitu berkaitan dengan

kesejahteraan dan kesempatan untuk mendapatkan jaringan yang luas.

Mapan buat aku itu ya, e dia at less punya simpanan di bank yang
lumayan banyak, terus dia punya link yang bagus, having good
connection, terus apa ya, dia lebih gampang membaur sama orang,
terus dia punya pekerjaan yang bagus yang emang bener banyak
orang pengen. Buat aku lulusan komunikasi akan seatle dengan
pekerjaan semacam itu222

Dari data di atas, keputusan untuk kuliah di Jurusan Ilmu

Komunikasi dilandasi oleh keyakinan akan adanya masa depan yang cerah

setelah menyandang gelar sarjana Ilmu Komunikasi. Baik Rahajeng

maupun Annisa, fotografi merupakan kesenangan atau hobi. Dalam kondisi

ini, hobi telah menjadi penunjuk arah kemana fokus pendidikan tinggi akan

diputuskan.

221
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Rabu, 2 Maret 2011
222
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Rabu, 2 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

119

Keterampilan Menjalin Relasi

Secara sederhana, relasi diartikan sebagai hubungan223. Menjalin

hubungan merupakan bentuk komunikasi yang begitu mendasar bagi setiap

orang seperti halnya mencari teman dalam kehidupan sehari-hari. Dalam

dunia komunikasi, terdapat sebuah kajian yang secara khusus mempelajari

hal ini yaitu Public Relations (PR).

Adalah Twinika Sativa S.F (2008). Ia tertarik untuk kuliah di

jurusan Ilmu Komunikasi karena ingin memperoleh softskill dalam

mencari relasi. Hal itu terkait dengan cita-citanya yang ingin menekuni

dunia Public Relations (PR).

Masuknya di komunikasi karena alasannya yang pertama dari segi


soft skill, kan di situ dia gak hanya teori tapi ada praktek. Tapi kalau
aku, aku itu cenderung komunikasi karena mungkin dari tulisannya
ilmu komunikasi jadi itu lebih ke softskill kita untuk mencari relasi
kayak gitu224

Keputusan Twinika memilih jurusan kuliah telah dilandasi oleh

proyeksi masa depan nya untuk menjadi Public Relations Officer (PRO).

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa, proyeksi masa depan begitu kuat

mempengaruhi keputusan seseorang.

1.2.3. Menampilkan identitas diri

Pada beberapa informan, keputusan mereka untuk kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi ternyata tak luput pula dari keinginan untuk menampilkan identitas

223
Sulchan Yasyin, Kamus Pintar Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amanah, 1995)
224
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika pada hari Kamis, 12 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

120

dirinya. Disini jurusan Ilmu Komunikasi dilabeli secara positif oleh para

Informan.

Tampil beda

Identitas diri yang pertama yaitu tampil beda. Pemilihan Jurusan

Ilmu Komunikasi oleh Dian Erika (2008), salah satunya dilatarbelakangi

oleh keinginan untuk berbeda dari teman-teman sebaya di lingkungan

tempat tinggalnya.

Aku emoh podho karo liyane (Saya tidak mau sama dengan yang
lainnya)225

Ia memilih kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi di tengah

kecenderungan orang-orang di lingkungannya yang kuliah di fakultas

keguruan dan kesehatan. Menurutnya, tampil beda adalah membanggakan.

ehm karena gengsi, beneran. Soalnya gak ada yang kuliah


di komunikasi. Soalnya lingkunganku rata-rata jadi pegawai, kalau
ndak kesehatan ya jadi guru. Cuma kaya gitu kaya gitu. Terus yo,
walaupun rada-rada mentereng, tapi aku gak suka...Kan kalo
misalnya orang-orang di sastra apa komunikasi gitu ra ketang sithik
ana unsur seninya mbak dan pikirane rada alternatif. Lha aku
pengennya kaya gitu226

Dari pengalaman Dian Erika, keinginan untuk kuliah di Jurusan

Ilmu Komunikasi terdorong oleh keinginannya menentang arus. Yang

dimaksud arus yaitu kecenderungan pilihan pendidikan dan pekerjaan di

lingkungannya yang berlangsung turun temurun sebagai tenaga kesehatan

225
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
226
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

121

dan pendidikan. Peneliti menginterpretasikan bahwa ada semacam

kepuasan yang dirasakan oleh Dian Erika saat ia memberanikan diri

menantang arus. Kepuasaan itu kemudian meningkatkan gengsinya dan

secara tidak langsung membentuk identitas diri sebagai orang yang bebas

dengan keberaniannya membuat keputusan yang berbeda dari yang lain.

Pamer (Show Off)

Identitas diri yang kedua terkait dengan kebanggaan dapat masuk di

jurusan dengan passing grade tinggi. Seperti telah di sebutkan pada sub

bab terdahulu, passing grade adalah nilai minimum yang harus didapatkan

untuk bisa lulus ujian masuk perguruan tinggi227. Semakin tinggi passing

grade maka akan semakin tinggi pula tingkat kesukaran untuk masuk ke

suatu jurusan. Keberhasilan diterima di jurusan berpassing grade tinggi

dalam hal ini dianggap sebagai sebuah prestasi yang patut dibanggakan.

Hal itu seperti diungkap oleh Ema Yuliani Utami (2007).

kalo aku merasa bisa kuliah di jurusan yang passing


gradenya tinggi itu sepertinya bakal lebih kompetitif. Berarti kan
teman-temanku itu juga cerdas-cerdas dan lebih pentingnya buat
nanti ketika aku nglamar kerja, bisa jadi aku diperhitungkan karena
lulus dari prodi yang berpassing grade tinggi228

Formalitas peningkatan status pendidikan

Keputusan untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi oleh Devi

Anggrahini (2008) dan Veronika J.H (2007) dapat diartikan sebagai

formalitas. Formalitas disini kaitannya dengan keinginan mendapatkan

227
www.snmptn.or.id/passing grade/ di akses pada 1 Agustus 2011 pukul 11.55 WIB
228
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

122

pendidikan yang berkesinambungan dari sekolah menengah tingkat atas ke

perguruan tinggi.

Formalitas untuk kuliah oleh Devi berhubungan dengan latar

belakangnya sebagai siswa berprestasi yang mendapatkan beasiswa melalui

jalur PMDK. Sebenarnya ia lebih berminat untuk kuliah di Fakultas

Ekonomi, hanya saja jurusan yang ia inginkan tidak tercantum di daftar

penerima PMDK jalur prestasi dan yang ada hanya Ilmu Komunikasi.

Dalam kondisi tersebut mau tak mau dia akhirnya memilih jurusan Ilmu

Komunikasi.

Sebenare kalau dulu, gak pengen sih dulu. Pengennya malah


ekonomi ya. Terus, PMDK Ekonominya gak ada. Kan Cuma ada apa
ya kemarin, di IPS itu komunikasi sama apa gitu. Terus yowes aku
tertariknya sama itu 229

Hal senada juga terjadi pada Veronika JH (2007). Veronika

memiliki obsesi untuk menjadi dokter sehingga ia menempatkan Jurusan

Kedokteran Umum sebagai pilihan pertama saat SPMB. Pada saat itu, Ilmu

Komunikasi ia pilih sebagai pilihan kedua. Saat pengumuman test, ternyata

ia justru diterima di Jurusan Ilmu Komunikasi dan memutuskan untuk

mencobanya. Hal itu seperti ia ungkapkan berikut ini:

Sebenarnya aku masuk komunikasi itu nyasar... Jadi bukan, bukan


cita-
namanya, dulu itu pengen banget jadi dokter, ternyata kan gak
kesampaian, yasudah. Ya sekarang ternyata setelah masuk kesini ya
belajar mencintailah. 230

229
Hasil wawancara mendalam dengan Devi Anggrahini pada hari Selasa, 31 Mei 2011
230
Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Sekalipun para Informan menyadari bahwa Jurusan Ilmu

Komunikasi bukan jurusan yang mereka inginkan tetapi mereka

memutuskan untuk tetap mencoba menjalaninya. Keputusan tersebut

di Jurusan Ilmu Komunikasi karena hanya di jurusan itu mereka diterima.

Namun pada akhirnya mereka berusaha untuk bertahan karena lebih fokus

pada tujuan memperoleh pendidikan tinggi bukan jurusannya.

1.2.4. Meniru model

Seperti telah dikemukakan di muka, keputusan untuk kuliah di jurusan

Ilmu Komunikasi berkaitan dengan proyeksi masa depan untuk bekerja di

bidang komunikasi. Dalam hal ini, proses itu melibatkan beberapa pihak yang

menjadi model. Model yang menjadi inspirasi untuk belajar dan bekerja di

jurusan Ilmu Komunikasi yaitu orang-orang yang pernah atau sedang

berkecimpung di dunia Komunikasi.

Beberapa Informan yang tertarik kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi

lantaran tertarik meniru model di antaranya yaitu Agnes Amanda (2007),

Destriana K (2008), Triendah F (2009), Fannany N (2008) dan Ambar K.N

(2010). Berikut ini model-model yang ditiru oleh para Informan:

Keluarga

Model pertama dari kalangan keluarga. Hal itu seperti terjadi pada

Agnes Amanda (2007) dan Destriani K (2008). Status kedua model adalah

kakak.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

124

Pada Agnes Amanda (2007) sosok yang menginspirasinya untuk

kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi yaitu kakak sepupu. Kakaknya itu pernah

kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Dari kakaknya ia mengetahui gambaran

kuliah dan pekerjaan yang menjadi perpanjangan program studi tersebut. Ia

pun kemudian tertarik untuk mencoba mengikuti apa yang telah dilakukan

kakak sepupunya. Berikut pernyataan Agnes:

ada kakak
sepupu yang dulu kuliah di komunikasi juga, dan sekarang udah
nya saya lebih ke melihat dia, jadi saya melihat, oh
kalau komunikasi nanti kerjanya seperti ini, ini, ini. Jadi akhirnya ya
udah terus ambil komunikasi231

Seperti halnya Agnes, Destriana K (2008) merujuk kakaknya sebagai

model saat ia memutuskan jurusan kuliah. Ia menjadikan kakak

perempuannya sebagai model ideal yang ingin ia tiru. Saat kakaknya

menjadi penyiar dan ingin kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi, ia turut

tersuntik juga untuk melakukan hal yang sama. Hal itu seperti diungkapkan

oleh Destriana berikut ini:

roles modelnya kakakku Dia kan pengen kuliah komunikasi tapi gak
ketrima kaya gitu...Wah kanyaknya seru kalo jadi sosok penyiar kaya
gitu gitu. Kan dulu kakakku penyiar di Radio GIS (Radio Lokal di
232

231
Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011
232
Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Baik Agnes maupun Destriana, keduanya memperoleh pengetahuan

mengenai jurusan Ilmu Komunikasi dari pengalaman mengamati orang-

orang dekat mereka yang bekerja di bidang komunikasi. Berawal dari

pengamatan mereka kemudian tertarik untuk meniru. Dalam hal ini, daya

ikat ketertarikan mereka terhadap model dan yang dimodelkan relatif kuat

personal dan memungkinkan mereka untuk mengadakan komunikasi tatap

muka untuk bertanya mengenai banyak hal guna mengurangi ketidaktahuan

mereka mengenai pendidikan maupun pekerjaan.

Profesi

Kategori model yang kedua yaitu pekerja atau profesi di bidang

komunikasi.

i. Wartawan
Pada pengalaman Triendah Febriani (2009), yang menjadi roles

modelnya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi yaitu sosok wartawan

yang pernah kost di rumahnya. Berawal dari proses pengamatan, ia merasa

tertarik untuk bekerja sebagai wartawan seperti apa yang biasa ia lihat

dalam kehidupan sehari-hari.

Ehm, dulu itu kan ada wartawan sempat ngekost di rumahku. Jadi
aku tahu lah malam-malam ditelfon ke luar, pergi sampai sore, gak
di rumah, terus nanti udah pulang eh tengah malam keluar lagi
Pertamanya sih gara- tanya-
tanya sama guru BK (Bimbingan Konseling) terus aku dikasih buku

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

126

tentang penjelasan jurusan-jurusan di kampus-kampus. Ya udah


taunya komunikasi dari situ233

Berdasarkan data di atas, jika diurutkan secara kronologis maka

pertama-tama Triendah memperoleh kesempatan mengamati pekerjaan

sebagai wartawan secara langsung; kedua, ia kemudian tertarik pada

profesi tersebut; ketiga, ia ingin menjadi wartawan; keempat, ia mencari

informasi mengenai cara untuk menjadi wartawan dan kelima, akhirnya ia

memutuskan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi demi keingannya

itu.

Dalam hal ini, pengalaman mengamati profesi sebagai jurnalis

secara langsung telah memberi dampak yang cukup positif pada Triendah.

Hal itu karena informasi yang ia peroleh mengenai profesi sebagai jurnalis

jauh lebih jelas, berbeda dengan jika ia mendengarkan cerita atau melihat

gambar atau cara-cara lain yang melalui pihak lain terlebih dahulu.

ii. Pembaca Berita/ Anchor

Kesan pintar dan multitalenta untuk pekerja bidang komunikasi

dimiliki oleh Triendah Febriani (2009). Ia cukup tertarik dengan Tina

Talisa (TV One) dan Isyana Bagus Oka (RCTI). Menurutnya, kedua orang

itu pintar dan cantik.

orangnya
kelihatan pinter, kadang dia biasanya itu waktu mau siaran gitu dia
sempat nyanyi. Kayaknya multitalenta banget gitu. Bahasa
inggrisnya juga lancar banget gitu. Jadi kayaknya perfect gitu lho

233
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

127

orangnya. Siapa ya, yang di RCTI, Isyana Bagus Oka. Ya itu, dia
sebenarnya juga hampir sama kaya Tina Talisa. Kelihatan pinter
gitu. Kalau cewek pinter kaya gitu kan sepertinya gimana ya,
keihatannya eksklusif banget, cantik juga.234

Berdasarkan data di atas, sosok Tina Talisa dan Isyana Bagus Oka

dianggap sebagai model ideal oleh Triendah bukan hanya karena perannya

sebagai pembaca berita namun juga karena pencitraan mereka secara

personal. Hal itu berkaitan erat dengan kesamaan identitas jenis kelamin

-sama perempuan. Mereka dianggap

sebagai model ideal karena memiliki perpaduan antara penampilan yang

menarik dan juga kecerdasan intelektual yang tinggi atau yang lazim

disebut sebagai kecantikan luar dalam oleh kebanyakan orang. Melalui

kecantikan luar dalam itu, mereka kemudian dipandang sebagai sosok yang

pantas untuk ditiru.

Ada pun keputusan Fannany Norrohmah (2008) untuk kuliah di

Jurusan Ilmu Komunikasi secara spesifik telah dilatarbelakangi oleh

ketertarikannya untuk menjadi pembaca berita (Anchor) di TV.

Ketertarikannya itu ia dapat dari pengalaman melihat sebuah film Korea

yang mengisahkan kehidupan beberapa orang yang bekerja di televisi. Ia

mendapatkan pengetahuan mengenai kegiatan-kegiatan broadcasting

seperti liputan, editing dan menjadi pembaca berita. Dari film itu juga ia

mendapat pengetahuan bahwa pendidikan untuk menekuni dunia

234
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Fibriani pada hari Senin, 21 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

128

broadcasting yaitu Jurusan Ilmu Komunikasi. Berikut kutipan wawancara

dengan Fannany:

Aku sempat ada satu film Korea, aku lupa apa judulnya. Jadi itu tu
lebih ke TV, dia jadi jurnalis tapi lebih ke TV. Mereka jadi
anchornya, terus mereka liputan, terus mereka editing, mereka
kuliahnya juga di komunikasi massa. Asyik kayaknya gitu235

Dari data di atas, Fannany mendapat pengetahuan mengenai

pendidikan di Jurusan Ilmu Komunikasi Massa beserta pekerjaan-pekerjaan

yang menjadi perpanjangan dari pendidikan tersebut dari film. Dalam hal

ini model yang ingin ditiru sesungguhnya adalah para artis yang

memerankan profesi sebagai pekerja media, khususnya pembaca berita.

Terlepas dari latarbelakang cerita itu fiksi atau non fiksi tapi yang menjadi

menarik disini adalah film telah memberi pengetahuan bahkan sampai

mendorong penontonnya tertarik untuk menjadi sama dengan apa yang

dilihat.

iii. Presenter

Pengalaman terinspirasi oleh sosok yang familiar di televisi dialami

oleh Dian Erika (2008). Ia terinspirasi oleh beberapa presenter yaitu: Susan

Bachtiar, Sarah Sechan dan Nadia Hutagalung. Berikut kutipan

wawancaranya:

Kalau menginspirasi sih ada, Susan Bachtiar kan pintar sekali


kelihatannya. Terus waktu dulu kan jaman-jamannya MTV masih
bagus waktu itu, Sarah Sechan sama Nadia Hutagalung. Walau dia
gak pintar-pintar amat tapi dia sangat ini, good looking236

235
Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011
236
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

129

Berdasarkan data di atas, penempatan presenter sebagai roles model

pemilihan jurusan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi tidak berbeda jauh

dengan yang terjadi pada analisis sebelumnya mengenai penempatan

pembaca berita sebagai sosok roles model. Berawal dari kesamaan identitas

sebagai perempuan, mereka yang muncul di media dipandang sebagai

sosok ideal melalui penampilan mereka yang menarik dan juga penguasaan

keterampilan berbicara yang mereka miliki.

iv. Public Relations Officer (PRO)

Ada pun motivasi untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi pada

Ambar K.N (2010), berangkat dari ketertarikan pada sosok Public

Relations (PR) yang ia kenal dari televisi.

Waktu SMP kelas 3 itu, saya ini kan nonton acara di TV tentang
tempat-tempat gitu. Dan itu yang selalu ngomong itu PR nya. Terus
oh yaudah,
yaudah, tar gue kuliah komunikasi biar jadi PR gitu. Yaudah, jadi
awalnya gitu 237.

Saat ditanya mengenai alasan dibalik ketertarikannya itu ia

mengatakan bahwa PR memiliki penampilan yang menarik:

Penampilannya menarik, cewek-ceweknya cantik, ya semacam saya


lah, haha, terus enak dilihat gitu kanyaknya PR-PR itu238

237
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis, 10 Maret 2011
238
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

130

Berdasarkan pengalaman Ambar di atas maka ketertarikannya pada

sosok PR berawal dari kekaguman akan penampilan orang yang bekerja

sebagai PR bukan pada apa yang dikerjakan PR. Dalam hal ini ia terpesona

oleh penampilan PR yang menarik dan ia ingin mengalami pengalaman

yang sama dengan sosok PR yang ia lihat di televisi. Keputusannya kala itu

untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi lebih didasarkan pada keinginan

untuk memperoleh pengalaman yang sama dengan sosok yang ia jadikan

model.

Dari data di atas, baik keinginan untuk meniru keluarga atau pun

profesi, keduanya sama-sama berasal dari proses belajar: berkenalan,

mengamati dan memahami. Ada pun selanjutnya, proses belajar tak hanya

memberi pengetahuan (intelektual) tetapi juga memberi rasa kagum

(emosional) pada sosok-sosok tertentu. Saat emosi telah tersentuh maka

mereka kemudian terdorong untuk menjadi sama dengan sosok-sosok yang

mereka anggap ideal.

2. Faktor Situasional

Yang disebut dengan faktor situasional dalam penelitian ini yaitu hal-hal

dari luar diri Informan yang berpengaruh secara positif terhadap keputusan para

mereka untuk kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi. Faktor situasional oleh

Edward E. Sampson dalam Rakhmat disebut sebagai perspektif yang berpusat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

131

pada situasi (situation-centered perspective)239. Ada pun disebut pengaruh positif

karena keberadaan mereka mendukung para Informan untuk memutuskan kuliah

di jurusan Ilmu Komunikasi.

2.1. Significant Others

Siginificant others menurut George Herbert Mead dalam Rakhmat disebut

sebagai orang lain yang sangat penting 240. Dalam konteks penelitian ini,

significant others kemudian diterjemahkan sebagai orang-orang yang paling

berpengaruh terhadap pengambilan keputusan para Informan untuk kuliah di

jurusan Ilmu Komunikasi. Ada pun berikut ini adalah orang-orang yang secara

lugas menganjurkan Informan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi:

2.1.1. Orang tua

Orang tua adalah ayah dan ibu241. Dalam penelitian ini, sebutan orang

tua berkembang pula pada sosok orang tua dari orang tua kita (kakek dan

nenek) atau orang-orang yang kita hormati. Berikut ini alasan-alasan di balik

dukungan mereka:

Jurusan Ilmu Komunikasi meningkatkan kualitas diri

Pengalaman mendapatkan dorongan dari orang tua untuk memilih

kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi salah satunya dialami oleh Twinika S.F

(2009). Kedua orang tuanya, khususnya ibu, memberikan dukungan penuh agar

ia kuliah di jurusan tersebut. Berikut kutipan wawancaranya:

239
Rahmat. Op.Cit, hal. 33
240
Ibid, Hal. 103
241
Kamus Besar Bahasa Indonesia/ Orang tua

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

132

Kalau waktu pemilihan jurusan komunikasi, orang tua mengarahkan,


orang tua juga mendukung,242

Dukungan itu berdasarkan pada pemikiran bahwa jurusan Ilmu

Komunikasi akan memberi pengetahuan dan keterampilan yang luas sebagai

bekal memasuki dunia kerja. Bahkan orang tuanya secara spesifik telah

memberi dukungan untuknya menekuni Public Relations (PR).

karena adanya gambaran kuliah komunikasi akan memberi gak


hanya dari teori mbak, kita perlu relasi dan itu bisa di bentuk dari situ,
dari komunikas -sangat mendukung ketika saya
masuk di komunikasi malah mendukungnya lebih ke spesialisasi kok, dia
mengarahkan, kamu masuk ini aja, spesialisasi ini, dan aku akhirnya
fokus di PR 243

Dari kutipan wawancara di atas, dukungan orang tua agar anaknya

kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi dilatarbelakangi oleh pengetahuan orangtua

mengenai jurusan tersebut. Orang tua telah memperhitungkan perlunya kualitas

diri yang terbentuk dari pengetahuan secara intelektual dan juga keterampilan.

Dalam hal ini, orang tua Twinika menilai perlunya jaringan yang luas untuk

memasuki dunia kerja nanti, oleh sebab itu mereka mendukung agar anaknya

belajar menjalin relasi dan juga menekuni PR di Jurusan Ilmu Komunikasi.

Pengalaman senada dialami juga oleh Nabilla N.K (2009). Bertolak

pada bakat di bidang bahasa yang ia miliki, ayahnya menyarankan agar ia

kuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi. Menurut ayahnya, jurusan tersebut akan

mengakomodir kemampuannya berbahasa yang lebih luas.

242
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011
243
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

133

Masuk komunikasi ada saran gitulah dari bapak, kalau kamu nekunin
bahasa, bahasa tok nanti gak berkembang gitu. Sarannya kamu masuk
bahasa tapi yang lebih luas gitu.244

Dari kutipan wawancara di atas, jurusan Ilmu Komunikasi dinilai secara

sederhana sebagai pendidikan yang akan mempelajari kemampuan

berkomunikasi. Menurut ayah Nabilla, bahasa merupakan bagian dari studi

Ilmu Komunikasi sehingga ia menarik kesimpulan bahwa jurusan Ilmu

Komunikasi memiliki bidang kajian yang lebih luas dari jurusan sastra. Oleh

karena itu, ia lebih menyarankan anaknya untuk kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi untuk mengembangkan bakat/potensi.

Baik Twinika maupun Nabilla, keputusan mereka untuk kuliah di

Jurusan Ilmu Komunikasi salah satunya atas pengaruh dari orang tua mereka.

Mereka mendengarkan dan juga melaksanakan anjuran dari orang tua mereka,

karena apa yang dianjurkan cukup rasional untuk mereka terima yaitu berkaitan

dengan pengenalan potensi diri dan bagaimana dapat mengembangkan potensi

itu untuk kelak memiliki pekerjaan yang menjanjikan. Di samping itu rasa

hormat atau segan pada sosok orang tua sepertinya turut memperkuat

diterimanya dorongan itu.

Lapangan kerja luas

Adapun dorongan pada Ambar Kusuma Ningrum ia dapat dari ibunya.

Persetujuan dan juga dorongan dari ibunya saat ia mengemukakan rencana

244
Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

134

untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi berdasarkan pemikiran bahwa lulusan

jurusan Ilmu Komunikasi memiliki peluang kerja yang luas.

Mama mikirnya nanti pas kerja banyak lah, lulusan komunikasi itu
bisa diterima dimana-mana, PNS juga butuh kog, sarjana komunikasi
itu PNS butuh bisa jadi ini itu, mama sih gak tahu komunikasi itu belajar
apa-apa, pokoknya jadi pegawai negeri itu ada deh sarjana komunikasi,
udah kamu ambil aja komunikasi, nanti bisa kerja kemana-mana245

Berdasarkan data di atas, dorongan yang Ambar peroleh untuk kuliah di

jurusan Ilmu Komunikasi berasal dari harapan ibunya agar ia memiliki masa

depan yang cerah. Menurut ibunya, jurusan Ilmu Komunikasi adalah

jawabannya karena berdasarkan pengetahuan yang ia miliki, lapangan kerja

untuk lulusan jurusan Ilmu Komunikasi relatif luas, dengan lapangan kerja luas

maka peluang kerjanya pun luas dan semakin cepatnya mendapatkan pekerjaan.

Ibunya berharap agar pendidikan yang akan dijalani oleh Ambar mampu

menjanjikan kemapanan di masa depan.

Berdasarkan data di atas, pada prinsipnya orang tua menjadi pihak yang

potensial berpengaruh terhadap pengambilan keputusan Informan untuk kuliah

di jurusan Ilmu Komunikasi. Dalam hal ini, orang tua merekomendasikan

Program Studi Ilmu Komunikasi karena jurusan tersebut dipandang sebagai

pendidikan yang menjanjikan peningkatan kualitas diri dan juga lapangan

pekerjaan yang luas. Kedua pertimbangan itu menyiratkan adaya harapan

orangtua agar anak-anak mereka memiliki masa depan yang pasti.

245
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis, 10 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

135

Di lain pihak, anjuran atau dorongan orang tua ditanggapi secara positif

oleh Informan karena anjuran itu cukup rasional untuk mereka cerna. Hal itu

terkait keberadaan orangtua sebagai pihak yang paling dekat dan dihormati,

dimana setiap saran, masukan dan juga dorongan akan diperhatikan oleh anak

sebagai bentuk kepatuhan.

2.1.2. Bibi

Selain orang tua, terdapat anggota keluarga lain yang turut berpengaruh

terhadap keputusan para Informan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Di

antaranya anggota keluarga itu adalah sosok Bibi. Hal itu dialami oleh Annisa

Fitri (2010).

Ketika kecil ia sudah berkenalan dengan Ilmu Komunikasi dan

pengetahuan itu ia dapat dari bibinya yang saat itu kuliah di jurusan tersebut.

Dari bibinya ia mendapatkan gambaran bahwa kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi menyenangkan, sehingga ia akhirnya tertarik untuk kuliah di

jurusan itu juga.

dia cerita, sekolahnya enak dek, gini gini gini, terus nanti kamu
lapangan kerjanya ke depan kaya gini, nanti kalo kamu mau masuk
kuliah, begitu kamu selesai pasti laku banget tu komunikasi. Oh, berarti
harus masuk komunikasi ni246

Dari kutipan wawancara di atas, pengaruh untuk kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi telah Annisa dapat jauh sebelum ia harus menentukan jurusan

246
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Rabu, 2 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

136

kuliah. Namun demikian, pengaruh yang diberikan saat masih kecil itu bekerja

efektif saat besar karena pesan itu disampaikan oleh orang yang cukup dekat

secara emosional dan juga dilatarbelakangi oleh pengelaman pribadi sebagai

mahasiswa Ilmu Komunikasi saat itu.

2.1.3. Kakak

Pada beberapa Informan, keputusan untuk kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi mendapatkan suntikan pengaruh dari sosok kakak. Dorongan dari

kakak berdasarkan pada pertimbangan sebagai berikut:

Jurusan Ilmu Komunikasi mendukung pengembangan bakat

Pengaruh pemilihan jurusan kuliah dari sosok kakak salah satunya

dialami oleh Fauziah Nurlina (2010). Melalui kakak perempuannya ia

mendapatkan penilaian bahwa ia merupakan siswa yang berbakat di bidang

komunikasi, sehingga kakaknya menganjurkan agar ia mencoba kuliah di

Jurusan Ilmu Komunikasi.

aku dibilangin mbakku, kamu kan pinter ngomong, yaudah kamu


masuk komunikasi aja. Jadi dari kelas 2 SMA aku udah pengen masuk
komunikasi walaupun belum tahu tar ke depannya gimana247

Berdasarkan kutipan wawancara di atas, terdapat dukungan dari seorang

kakak kepada adiknya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Dorongan

tersebut berdasarkan pada pengetahuan yang dimiliki sang kakak bahwa jurusan

Ilmu Komunikasi merupakan jurusan untuk orang-orang yang pandai berbicara.

247
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

137

Saat ia melihat dalam diri adiknya terdapat bakat atau kemampuan di bidang

komunikasi maka ia menyarankan adiknya untuk kuliah di jurusan tersebut.

Sang adik kemudian menerima saran itu karena percaya bahwa saran kakaknya

pasti baik, meskipun belum ada gambaran sedikit pun mengenai jurusan Ilmu

Komunikasi.

Jurusan Ilmu Komunikasi: Jurusan Berkualitas

Informasi mengenai jurusan Ilmu Komunikasi sebagai jurusan yang

berkualitas pada Mia A.Y (2007) didapat dari kakaknya yang kuliah di jurusan

Public Relations FISIP UNS. Ia kemudian meyakinkan Mia bahwa Jurusan

Ilmu Komunikasi bagus karena memiliki passing grade yang tinggi.

dulu kakak PR, cuma dulu kakak ku bilang, apik banget lho UNS ki,
gradenya apik banget, percayalah padaku,248
Dari kutipan wawancara di atas, pengalaman kakak Mia yang telah

memiliki pengetahuan mengenai jurusan Ilmu Komunikasi ditularkan kepada

adiknya dengan tujuan agar adiknya mengindahkan sarannya untuk selanjutnya

Mia memutuskan kuliah di jurusan tersebut. Sebagai penguat informasi,

penilaian mengenai passing grade disertakan agar dapat lebih dipercaya.

Secara umum, peran kakak dalam pengambilan keputusan jurusan

kuliah relatif postif. Mereka mendukung adiknya untuk kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi dengan pertimbangannya masing-masing. Dengan latar belakang

pernah mengenyam pendidikan tinggi, maka pertimbangan mereka diperhatikan

248
Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ajeng Yulivia pada 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

138

dengan baik oleh para Informan yang pada saat itu masih saat awam terhadap

dunia perkuliahan. Longgarnya hubungan yang terjalin antara adik dan kakak

tetap menyiratkan adanya rasa hormat seorang adik kepada kakaknya karena

faktor pengalaman.

2.1.4. Guru

Guru adalah orang yang profesinya mengajar 249. Dalam pengambilan

keputusan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi, beberapa Informan

memiliki pengalaman mendapatkan pengaruh dari guru mereka. Ada pun sosok

guru disini yaitu tentor atau pengajar di lembaga bimbingan belajar.

Mengingat salah satu tujuan lembaga bimbingan belajar yaitu membantu

peserta didiknya untuk menentukan jurusan kuliah, maka terdapat kesempatan

bagi para peserta didik untuk berdiskusi dengan tentor-tentor mereka mengenai

rencana jurusan kuliah yang akan diambil.

Dalam proses ini, wawasan mengenai passing grade diberikan oleh

lembaga bimbingan belajar sebagai acuan untuk mengukur peluang dan tingkat

kesulitan suatu jurusan, sehingga pada akhirya para peserta didik dapat

menentukan pilihan jurusan yang sesuai dengan kemampuannya.

Demikian yang dialami oleh Fauziah Nurlina (2010), melalui bimbingan

belajar ia memperoleh kesempatan berdiskusi mengenai penjurusan kelas

sampai pemilihan jurusan kuliah. Ia bahkan diarahkan juga untuk kuliah di

jurusan Ilmu Komunikasi. Berikut kutipan wawancara dengannya:

249
Kamus Besar Bahasa Indonesia/ Guru

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

139

Tentorku bilang aja, kan aku langsung kelihatan dari caraku ngomong
bla bla bla, yaudah gini, kamu masuk IPS aja, Terus disaranin masalah
passing grade, habis itu universitasnya. Dia juga bilang kalau UNS
bagus lho komunikasinya. Ya secara dia anak UNS kan, tahu gimana
komunikasi UNS. Jadi dia tawar-tawar gitu ke aku. Oh iya ya, bagus bagus
bagus. Terus aku coba gitu deh250

Adapun pengalaman yang sama dialami oleh Ambar Kusuma Ningrum

(2009). Diskusi dengan salah satu tentor di lembaga bimbingan belajar

membuat dia yakin untuk mengambil jurusan Ilmu Komunikasi sebagai pilihan

kuliahnya.

kecil, kecil, bener-bener kecil, dalem banget. Yaudah, komunikasi aja,


ari dulu kan kamu sukanya
komunikasi, udah ambil aja komunikasi. Menurut aku kamu itu emang
pengennya komunikasi, dia bilang gitu, dia langsung jebret gitu,
251

Dari kutipan wawancara di atas, nampak adanya hubungan yang cukup

dekat antara Fauziah dan Ambar dengan tentornya. Hubungan yang dekat itu

terbentuk karena sistem belajar di lembaga bimbingan belajar yang jauh lebih

longgar daripada pendidikan formal di sekolah. Kedekatan hubungan itu

menjadi bekal penting bagi terciptanya komunikasi yang efektif hingga khirnya

ia cenderung mendengarkan dan menuruti apa yang disarankan oleh tentornya.

Pengalaman sang tentor yang pernah mengenyam pendidikan di perguruan

250
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada 23 Maret 2011
251
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis, 10 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

140

tinggi membuat saran-saran yang diberikannya semakin kuat potensinya untuk

diterima.

2.1.5. Teman

Pada beberapa Informan, keputusan untuk kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi dilatarbelakangi oleh masukan dari teman. Hal itu seperti dialami

oleh Dhyanayu Lutfi Almitra (2008), Devi Anggrahini (2008) dan Veronika

Juwita Hapsari (2007).

Ketika akan menentukan jurusan kuliah, Dhyanayu sempat berdiskusi

dengan teman-temannya SMA. Ia menjadi semakin diteguhkan untuk

mengambil jurusan Ilmu Komunikasi sebagai piihan kuliah. Berikut kutipan

wawancara dengannya:

Aku kan emang pengennya rono (komunikasi). Terus aku kan yo crita-
crita karo kanca-kancaku. Kowe kuliah komunikasi wae. Ketoke kowe
cocok mu yo gur neng kono. Ngono kuwi to mbak. Kowe kan crewet.
(Aku kan sebenarnya ingin komunikasi. Terus aku kan cerita sama teman-
temanku. Kamu kuliah komunikasi aja. Sepertinya kmau cocoknya ya cuma
disitu, gitu mbak, kamu kan cerewet.)252

Dari pengalaman Dhyanayu, dapat diketahui bahwa keberadaan teman-

teman dapat pula memberi pengaruh dalam pengambilan keputusan jurusan

kuliah. Dalam hal ini, pendapat teman-temannya berperan sebagai pemantap

keputusan mengingat sebelumnya ia sudah merrencanakan untuk kuliah di

Jurusan Ilmu Komunikasi.

252
Hasil wawancara mendalam dengan Dhyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

141

Adapun yang terjadi pada Devi, saat akan menentukan jurusan kuliah ia

sedikit mengalami kebingungan karena pilihan jurusan yang ia inginkan tidak

tercantum dalam daftar jurusan yang ditawarkan melalui jalur PMDK. Ia

kemudian bertanya kepada salah satu temannya yang kuliah di jurusan itu dan

kemudian terinspirasi untuk ikut kuliah di jurusan yang sama. Berikut

diceritakan oleh Devi:

Sebenare kalau dulu,gak pengen sih dulu. Pengennya malah ekonomi


ya. Terus PMDK Ekonominya gak ada. Kan cuma ada apa ya kemarin, di
IPS itu komunikasi sama apa gitu. Terus yowes aku tertariknya sama itu
(Komunikasi), dulu kan, si Lusi sama Dyah (mahasiswi komunikasi
angkatan 2006 dan 2007) kan di situ juga.253

Adapun pada Veronika J.H, secara langsung ia disarankan oleh salah

seorang temannya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komuniaksi untuk kuliah di

jurusan tersebut. Ia kemudian percaya dan mengikuti saran itu. Kepercayaan

Veronika pada saran itu berdasarkan pengalaman yang telah dialami oleh

temannya itu:

Ada yang nyaranin sih, katanya udah masuk komunikasi aja,


komunikasi UNS kan bagus. Yang nyaranin kan anak komunikasi UNS
juga, anak komunikasi angkatan 2006, jadi menurutku dia udah tahu
gitu.254

Baik pengalaman Devi maupun Veronika, keduanya sama-sama mantap

memutuskan Ilmu Komunikasi sebagai pilihan jurusan kuliah karena

rekomendasi yang diberikan oleh teman mereka yang kuliah di jurusan tersebut.

253
Hasil wawancara mendalam dengan Devi Anggrahini pada hari Selasa, 31 Mei 2011
254
Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

142

Mereka percaya pada saran yang diberikan karena saran itu berdasarkan pada

pengalaman mereka sendiri.

2.1.6. Psikolog

Psikolog merupakan praktisi psikologi yang mempelajari mengenai

perilaku manusia atau aktivitas-aktivitas individu. Perilaku atau aktivitas-

aktivitas tersebut dalam pengertian yang luas terdiri dari aktivitas emosional

dan kognitif255.

Kemampuan Psikolog membaca perilaku manusia membuat Putu Ayu

Gayatri (2007) yakin pada beberapa pertimbangan atau saran yang

diberikannya. Dalam hal ini, terkait pemilihan jurusan kuliah pertama-tama ia

mempertimbangkan saran jurusan kuliah berdasarkan hasil psikotest yang

pernah ia ikuti saat SMA. Berikut kutipan wawancaranya:

Dulu waktu SMA kan ada test psikologi, ada saran jurusan kuliah juga
kan, justru disitu aku malah disarananinnya masuk Komunikasi sama
matematika. Itu yang nyaranin Psikolog, itu berdasarkan psikotes. Yaudah
deh, akhirnya jadi bimbang, kog kayaknya emang gak berbakat gitu,
kerjanya itu juga lebih gampang komunikasi.256

Adapun selanjutnya ia berkonsultasi langsung dengan seorang psikolog

terkait keinginannya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi dan ia

disarankan untuk kuliah di UNS Solo.

Waktu itu juga konsultasi juga sama psikolog juga dosen, namanya Pak
Darsono. Dia ngajar juga di komunikasi juga, sempat dia bilang
mending komunikasi UNS gitu.257

255
Bimo Walgito, Psikologi Sosial: Suatu Pengantar (Edisi Revisi), (Yogyakarta: Andi Offset, 1994),
hal.15
256
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada 23 Februari 2011
257
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

143

Berdasarkan kutipan wawancara di atas, Putu Ayu Gayatri menjadikan

ilmu Psikologi sebagai acuan pemilihan jurusan. Ia ingin untuk kuliah di

jurusan yang benar-benar sesuai dengan minat dan kemampuannya. Melalui

bantuan Psikolog ia kemudian diarahkan untuk kuliah di Jurusan Ilmu

Komunikasi dan ia sungguh-sungguh menjalaninya.

2.2. Media Massa

Selain significant others, media massa turut berpengaruh terhadap

pengambilan keputusan para Informan untuk kuliah di juruan Ilmu Komunikasi.

Media massa adalah media yang digunakan dalam komunikasi massa. Media

massa diantaranya terdiri dari: surat kabar, majalah, radio, televisi dan film258.

Melalui media-media itu lah para Informan kemudian digiring untuk mengenai

jurusan Ilmu Komunikasi

2.2.1. Media Menyajikan Gambaran Pekerjaan Bidang Komunikasi yang

Serba Menyenangkan

Yang dimaksud dengan pekerjaan bidang komunikasi yaitu semua

pekerjaan yang menjadi perpanjangan dari disiplin ilmu Komunikasi mulai dari

Jurnalistik, Public Relations (PR) hingga Advertising. Meski tak semuanya

terpantau namun pekerjaan bidang komunikasi ada yang dapat diamati oleh

masyarakat. Pekerjaan-pekerjaan itu khususnya yang berhubungan dengan audio

visual. Menurut para Informan, pekerjaan bidang komunikasi itu menyenangkan.

258
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1990), hal.20

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

144

Banyak Kawan

Menurut Aviana Cahyaningsing (2008), pekerjaan bidang komunikasi

khususnya wartawan dinilai sebagai pekerjaan yang menyenangkan memiliki

pergaulan luas.

kog asik ya, bisa ketemu orang-orang setiap hari,


ketemu orang-orang yang beda, entah itu orang yang penting atau orang
yang biasa, tapi bisa nambah ilmu juga, dari apa sih, wawancara kaya gitu.
Seneng, kayaknya ada kepuasan tersendiri ketika bisa ngobrol sama
orang-orang, nambah teman.259

Berdasarkan data di atas, Aviana tertarik untuk kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi pertama-tama berangkat dari ketertarikan pada pergaulan. Baginya,

pergaulan adalah gerbang wawasan. Semakin luas pergaulan yang terjalin maka

akan semakin luas pula wawasan yang diperoleh.

Berpenampilan Menarik

Karena kelebihannya secara visual, media televisi dapat memunculkan

sosok pekerja media seperti reporter dan pembaca berita. Kemunculan itu

membuat mereka cukup dikenal oleh masyarakat, minimal bagi mereka yang

gemar menyaksikan siaran berita televisi.

Keputusan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi yang

dilatarbelakangi oleh ketertarikan pada kedua profesi itu salah satunya dialami

oleh Ambar Kusuma Ningrum (2010). Menurutnya, sosok reporter dan pembaca

berita menarik karena penampilan mereka yang anggun. Berikut kutipan

wawancaranya:

259
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

145

saya itu SMP memang pengen kuliah di


komunikasi, soalnya waktu itu pengen jadi apa ya, semacam reporter,
pembawa acara, ya gitu lah yang anggun-anggun gimana gitu,
hehehe.260

Berdasarkan data di atas, kehadiran sosok reporter dan pembaca berita

telah menjadi daya tarik tersendiri bagi para pirsawan televisi. Penampilan

reporter dan pembaca berita yang relatif menarik (cantik dan tampan) seolah-

olah sengaja ditampilkan oleh media sebagai daya jual tersendiri bagi stasiun

televisi itu. Tidak dapat dipungkiri bahwa guna menarik perhatian massa

beberapa pendekatan harus dilakukan, salah satunya dengan menyajikan

penampilan yang serba menarik. Karena faktanya memang manusia akan

cenderung lebih menyukai melihat gambar orang-orang berwajah cantik daripada

sebaliknya

Jalan-jalan

Pengalaman Dhyanayu Lutfi Almitra (2008) untuk kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi diawali oleh ketertarikannya pada pekerjaan sebagai reporter

televisi. Menurutnya bekerja di stasiun televisi akan menyenangkan karena

memungkinkannya traveling ke berbagai tempat. Berikut diungkapkan olehnya:

misale ke media sih elektronik misale jadi wartawane apa piye, tapi
sing bagian jalan-jalan ngono lho mbak, misale opo sing kuliner-kuliner
koyo ngono kuwi. Ya pokoknya lapangan gitu lah. (Aku misalnya media sih
elektronik, misalnya jadi reporternya gitu, tapi yang tugas jalan-jalan aja
lho mbak, misalnya apa yang kuliner-kuliner seperti itu. Ya pokoknya
lapangan gitu lah)261

260
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis, 10 Maret 2011
261
Hasil wawancara mendalam dengan Dhyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

146

Berdasarkan data di atas, media televisi hadir dengan sisi lainnya untuk

menghibur. Acara-acara seperti feature dan magazine sengaja dikemas santai

seperti: jalan-jalan dari satu kota ke kota lain, menikmati tempat-tempat

pariwisata dan kuliner-kuliner tertentu. Dan untuk beberapa orang, tampaknya

hal itu menimbulkan penilaian bahwa pekerjaan-pekerjaan di media merupakan

pekerjaan yang menyenangkan dengan segala pengalaman yang mungkin dapat

dirasakan.

2.2.2. Media Memunculkan sosok Roles Model

Pada beberapa Informan, roles model menjadi awal ketertarikan kuliah di

jurusan Ilmu Komunikasi. Dalam hal ini roles model yang dimaksud yaitu sosok

pekerja media maupun talent yang dikenal melalui layar telvisi. Berikut ini sosok

roles model yang muncul berdasarkan profesinya:

i. Presenter

Pengalaman terinspirasi oleh sosok presenter dialami oleh Dian Erika

(2008). Presenter-presenter yang menginspirasinya anatar lain Susan Bachtiar,

Sarah Sechan dan Nadia Hutagalung.

Kalau menginspirasi sih ada, Susan Bachtiar kan pintar sekali


kelihatannya. Terus waktu dulu kan jaman-jamannya MTV masih bagus
waktu itu, Sarah Sechan sama Nadia Hutagalung. Walau dia gak pintar-
pintar amat tapi dia sangat ini, good looking262

Dalam kondisi ini, televisi dengan keunggulannya di bidang audio visual

memberi keleluasaan bagi para Informan untuk menyaksikan sebuah program

acara . Program acara sendiri ibarat barang dagangan yang akan dikemas sebaik
262
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

147

mungkin untuk menarik perhatian pemirsa. Maka tak heran jika apa yang

disajikan pasti hal-hal yang bagus. Satu diantaranya terkait dengan para

presenter. Yang dipilih menjadi presenter adalah mereka yang berparas

menawan. Orang yang melihat Susan Bachtiar, Nadia Hutagalung atau Sarah

Sechan pastilah akan sepakat jika mereka cantik.

Secara tidak langsung, kehadiran para artis yang berparas cantik itu

mengarahkan persepsi pemirsanya bahwa bekerja di bidang tersebut

menyenangkan. Bekerja di media massa menjanjikan popularitas.

ii. Pembaca Berita

Hal yang terjadi dengan pekerjaan sebagai pembaca berita tak jauh

berbeda dari pekerjaan sebagai presenter. Mereka sama-sama muncul di televisi

tentunya dengan penampilan yang sempurna. Namun sama-sama terkenal label

untuk mereka sedikit berbeda terkait kemampuan secara intelektual. Pembaca

berita dikenal sebagai pribadi yang pintar dan multitalenta.

Hal itu seperti yang dialami oleh Triendah Febriani (2009). Ia cukup

tertarik dengan Tina Talisa (TV One) dan Isyana Bagus Oka (RCTI). Ia

mengidolakan kedua presenter itu karena kepandaiannya.

kelihatan pinter, kadang dia biasanya itu waktu mau siaran gitu dia
sempat nyanyi. Kayaknya multitalenta banget gitu. Bahasa inggrisnya
juga lancar banget gitu. Jadi kayaknya perfect gitu lho orangnya. Siapa
ya, yang di RCTI, Isyana Bagus Oka. Ya itu, dia sebenarnya juga hampir
sama kaya Tina Talisa. Kelihatan pinter gitu. Kalau cewek pinter kaya
gitu kan sepertinya gimana ya, keihatannya eksklusif banget, cantik
juga.263

263
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Fibriani pada hari Senin, 21 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

148

Keputusan para Informan untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi

merupakan hasil dari proses berpikir yang cukup panjang. Bagaimana pun juga saat

itu mereka dihadapkan pada pendidikan baru dengan karakter yang berbeda dari

pendidikan-pendidikan mereka sebelumnya. Jika dulu ukuran pemilihan sekolah

berdasarkan pada kualifikasi sekolah itu, maka yang terjadi saat menentukan jurusan

kuliah sedikit bergeser. Faktor universitas tetap penting namun tergantung pada

fokus studinya terlebih dahulu.

Sebagai proses internal, pengambilan keputusan untuk kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi melibatkan wawasan atau pengetahuan mengenai jurusan tersebut.

Pengetahuan mengenai jurusan Ilmu Komunikasi menjadi modal awal bagi para

Informan dalam memutuskan kuliah di jurusan tersebut. Pengetahuan itu ibarat peta.

Ia menunjukkan letak pendidikan Jurusan Ilmu Komunikasi di antara berbagai

kelebihan, kekurangan, peluang serta hambatannya.

Secara umum, pengetahuan para Informan mengenai jurusan Ilmu

Komunikasi relatif luas namun masih dangkal. Keterbatasan itu terjadi tidak lain

karena akses terhadap sumber pengetahuan masih melewati perantara (teman,

keluarga, media massa) yang tentunya tak luput dari distorsi-distorsi. Ada pun jika

dirangkum pengetahuan itu kurang lebih berkaitan dengan: kualitas pendidikan,

persaingan masuk, kualifikasi mahasiswa, materi pendidikan dan lapangan kerja.

Berbekal pengetahuan itu, Para Informan memiliki gambaran yang lebih

jelas mengenai jurusan Ilmu Komunikasi. Mereka pun kemudian tertarik untuk

belajar di jurusan tersebut. Berdasarkan data penelitian, Penulis menemukan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

149

hubungan antara pengetahuan para Informan dengan motif dibalik keputusan

mereka untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi. Sebagai contoh, keputusan kuliah

di juursan Ilmu Komunikasi karena ingin menjadi wartawan. Hal itu didasari oleh

pengetahuan mereka bahwa jurusan Ilmu Komunikasi merupakan pendidikan yang

memepelajari media massa. Selain itu motif ingin tampil beda, kali ini

dilatarbelakangi oleh pengetahuan bahwa jurusan Ilmu Komunikasi iklim kompetisi

tinggi. Hal itu berlaku pula pada kondisi lainnya.

Sebagai proses internal, keputusan para Informan sepenuhnya berada di

tangan para Informan, namun sebagai makhluk sosial mereka tak luput dari

pengaruh beberapa pihak di sekitar mereka. Pihak pertama yang berpengaruh adalah

orang-orang di sekitar Informan yang secara emosional memiliki kedekatan.

Berdasarkan data mengenai significant others, Penulis menarik kesimpulan bahwa

efektivitas dorongan yang diberikan oleh significant others pertama-tama terjadi

karena kepercayaan para Informan terhadap personality mereka baru kemudian

merembet pada informasi yang diberikan. Kepercayaan tersebut terjadi karena:

1) Familiarity

Kedekatan emosional erat kaitannya dengan familiarity. Seberapa sering

kita berinteraksi maka akan semakin akrab dan semakin dekat hubungan kita.

Kedekatan emosional dengan keluarga (ayah, ibu, bibi, dan kakak), selain terjadi

karena hubungan genetika, dipengaruhi pula oleh intensitas komunikasi dalam

kurun waktu yang relatif lama. Adapun selanjutnya, hubungan antar anggota

keluarga terjadi atas dasar kasih sayang sehingga menjadikan komunikasi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

150

didalamnya berjalan dengan begitu dekat. Jika terjadi pengaruh yang kuat dari

keluarga maka hal itu akan dimakhlumi karena keluarga pada prinsipnya

merupakan lingkungan terdekat bagi setiap orang sejak lahir dimana segala hal

tentang anggotanya akan menjadi kepentingan bersama.

Adapun kedekatan emosional dengan teman terjadi karena hubungan

yang telah terspesifik pada kesamaan identitas tertentu. Beberapa bentuk

hubungan pertemanan antara lain teman bermain, teman kuliah, teman komunitas

atau pun teman kerja. Kesamaan identitas itu yang kemudian membentuk rasa

percaya untuk berbagi pikiran dan juga membuka diri untuk adanya masukan

atau saran.

2) Kompetensi/keahlian

Dalam hal ini, guru dan psikolog dipercaya karena keahlian atau

kompetensi mereka. Guru dilihat sebagai sosok yang berkompeten dalam

pendidikan sehingga ia akan didengarkan saat memberikan masukan-masukan

mengenai pendidikan. Sedangkan psikolog dilihat sebagai sosok yang

berkompeten di bidang ilmu jiwa. Berkaitan dengan pilihan jurusan kuliah, ia

didengarkan karena kemampuannya menganalisis minat personal. Hal itu terjadi

karena kita akan cenderung menyenangi orang-orang yang memiliki kemampuan

lebih tinggi daripada kita, atau lebih berhasil dalam kehidupannya264.

264
Rakhmat, Op.Cit, hal.42

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

151

3) Pengalaman

Adapun selanjutnya, significant others dipercaya karena mereka memiliki

keunggulan dalam pengalaman. Saat para Informan belum mengalami sendiri apa

yang namanya kuliah, maka ia akan berusaha untuk mencari informasi mengenai

dunia perkuliahan dari orang-orang yang pernah mengalaminya. Meskipun

terbagi menjadi tiga komponen, pada kenyataannya kepercayaan personality

terbentuk oleh unsur kedekatan emosional, kompetensi dan pengalaman secara

bersamaan.

Selanjutnya, pengaruh kedua berasal dari media massa terkait dengan

informasi yang diproduksi dan ditampilkan. Hal yang tampak adalah munculnya

sosok roles model baik dari kalangan presenter maupun pembaca berita.

Uniknya, keduanya sama-sama berasal dari kalangan berjenis kelamin

perempuan. Secara umum, roles models itu muncul karena mampu menginspirasi

para Informan dalam dua hal yaitu: kecantikan dan kepandaian.

Dalam konteks ini, media massa khususnya televisi telah menghadirkan

sosok ideal untuk kaum perempuan yaitu sosok yang memiliki perpaduan antara

kecantikan secara fisik dan juga kepandaian secara intelektual. Konsep itu yang

kemudian dipercaya oleh para Informan dan kemudian memotivasi mereka untuk

menjadi sama dengan apa yang ia lihat.

Terkait dengan lapangan pekerjaan, sepengetahuan para Informan

pekerjaan-pekerjaan yang menjadi perpanjangan dari jurusan Ilmu Komunikasi

terdiri dari dua bidang yaitu Media Massa dan Public Relations (PR). Untuk

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

152

pekerjaan di media massa, sudah terdapat pengetahuan pekerjaan berdasarkan

medianya seperti: wartawan cetak, fotografer, penyiar, reporter dan juga anchor.

Untuk bidang PR, satu-satunya bekerjaan yang diketahui adalah Public Relations

Officer (PRO).

Di samping kedua bidang itu, para Informan menilai fleksibilitas lulusan

jurusan Ilmu Komunikasi dimana mereka dapat bekerja lintas disiplin ilmu

seperti sebagai admin, pengajar dan juga terfavorit yaitu Pegawai Negeri Sipil

(PNS).

Ada pun jika dikaji lebih dalam, dorongan dari sisi afektif (perasaan)

lebih mendominasi keputusan para Informan daripada dorongan dari sisi kognitif

(pikiran). Meskipun tidak dapat dipisahkan secara tegas, namun upaya para

Informan untuk mendapatkan informasi mengenai jurusan Ilmu Komunikasi

didahului terlebih dahulu oleh rasa suka. Atas dasar itulah, penilaian-penilaian

selanjutnya yang muncul berupa hal-hal positif yang mendukung rasa suka itu.

Dari situ bermuara pada sikap yang nyata yaitu keputusan pemilihan jurusan

Ilmu Komunikasi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

153

Bagan III.1

Pemilihan Jurusan Ilmu Komunikasi

Pendidikan Ilmu Komunikasi

Keinginan Keinginan Meniru Model


Memperoleh Pengetahuan
Keinginan Keinginan
Memperoleh Keterampilan Menampilkan Identitas diri

Jurusan Ilkom:
Jurusan Ilmu Komunikasi: Jurusan Ilmu Komunikasi:
- Menyenangkan
- Perpaduan teori dan praktek - Passing grade tinggi
- Dinamis
- Mempelajari Public speaking - Berkualitas
- Media dan PR
- Pekerjaan luas - Iklim kompetitif
- Rame Peminat

Media Massa Siginificant


Others
Ket: Menyebabkan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

154

B. PEMILIHAN PEKERJAAN BIDANG KOMUNIKASI

Seluk beluk pemilihan jurusan Ilmu Komunikasi telah dibahas pada sub

pertama. Dari situ dapat dilihat bahwa pekerjaan bidang komunikasi telah dipikirkan

oleh para Informan sejak mereka memutuskan kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi.

Memiliki pekerjaan di bidang komunikasi adalah impian dari setiap Informan pada

penelitian ini. Berdasarkan data penelitian, jenis-jenis pekerjaan yang mereka

inginkan cukup beragam, namun jika dipersempit terangkum dalam tiga bidang

pekerjaan komunikasi yaitu: industri media massa, Public Relations (PR) dan Design

Grafis.

Keinginan bekerja di bidang komunikasi bagi mahasiswa jurusan Ilmu

Komunikasi pada prinsipnya merupakan kewajaran jika hal itu berdasarkan pada

pandangan umum yang menilai bahwa pekerjaan ideal adalah pekerjaan yang sesuai

dengan disiplin ilmu yang tengah dipelajari.

Namun pada kenyataannya, terdapat fenomena menarik yang tak setiap orang

mengetahuinya. Dari hasil penelitian, diperoleh gambaran bahwa meskipun terlihat

mudah, pemilihan pekerjaan bidang komunikasi melibatkan pergumulan panjang

dalam diri para Informan. Mereka melakukan tawar menawar idealisme dengan diri

mereka sendiri dengan terus mempertanyakan kemantapan diri dalam dua

pertimbangan yaitu: keinginan dan kemampuan.

Dan jika pemilihan pekerjaan bidang komunikasi itu dikelompokkan

berdasarkan derajad idealismenya, maka dapat dipetakan adanya tiga tipe atau model

pemilihan pekerjaan bidang komunikasi pada pengalaman para Informan. Ketiga tipe

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

155

itu adalah: Ideal Type (Tipe Ideal), Transition Type (Tipe Transisi) dan Real Type

(Tipe Nyata).

1. Ideal type

Yang dimaksud dengan ideal type dalam penelitian ini yaitu pemilihan

pekerjaan bidang komunikasi berdasrkan pada gambaran-gambaran serba ideal

mengenai pekerjaan itu. Suatu pekerjaan lebih banyak dilihat sejauh atribut-atribut

yang tampak di luar saja. Umumnya hal-hal itu menyenangkan menurut ukuran

para Informan.

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data bahwa setiap Informan pernah

mengalami fase ini. Pemilihan pekerjaan tipe ini dihuni oleh paling banyak

Informan karena fase ini berlangsung di masa awal kuliah. Berikut ini adalah

jenis-jenis pekerjaan bidang komunikasi yang termasuk tipe ini.

1.1. Media Massa

1.1.1. Wartawan

Wartawan adalah sebuah profesi yang tugasnya mencari

mengumpulkan, menyeleksi dan menyebarluaskan informasi kepada khalayak

melalui media massa 265. Berdasarkan data penelitian, pekerjaan ini tergolong

populer di kalangan para Informan. Alasan-alasan yang melatarbelakanginya

yaitu:

265
Jani Yosef, To Be A Journalist, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 43

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

156

Jalan-jalan/traveling

Dalam hal ini, pekerjaan sebagai wartawan bisa diartikan sebagai

perantara cita-cita bukan cita-cita itu sendiri. Cita-cita yang sesungguhnya

adalah melakukan traveling sedangkan menjadi wartawan hanyalah cara untuk

mengakomodir cita-cita itu. Berikut seperti diutarakan oleh Nabilla Noor

Khudori (2009):

basiknya aku suka traveling, suka tempat baru, terus, terbiasa


beradaptasi, kalau di satu tempat yang udah di kenal terlalu lama rasanya
jadi gak berkembang, jadi selalu pengen sesuatu Kalau aku
sekarang ya dengan berbagai pengaruh gitu, sekarang itu pertama
pengen jadi wartawan, tapi jangan wartawan lokalan aja, yang jauh-
jauh gitu, dikirim kemana lah, Palestina atau mana gitu.266

Dari situ dapat dilihat bahwa pemilihan pekerjaan sebagai wartawan

lebih mengarah pada keinginan untuk memperoleh atribut-atribut yang

menyertai pekerjaan sebagai wartawan yaitu: traveling, berhadapan dengan hal-

hal yang selalu baru dan pergi ke luar negeri.

Jika masuk dalam konsep kewartawanan, keinginan Nabilla untuk

menjadi wartawan luar negeri mengarah pada posisi sebagai koresponden luar

negeri. Koresponden luar negeri adalah mereka yang ditugaskan secara

permanen di luar kota baik di dalam maupun luar negeri267.

Hal yang kemudian menarik adalah penyebutan Palestina sebagai daerah

yang ingin dijadikan sebagai wilayah penugasan. Palestina sendiri merupakan

266
Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011
267
Deddy Iskandar Muda, Jurnalistik Televisi: Menjadi Reporter Profesional, Cetakan ke-2 (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 14

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

157

wilayah konflik di Timur Tengah yang hingga kini masih sering bergejolak

sejak tahun 1948268

enunjukkan

keinginannya bekerja di tempat yang jauh, namun Penulis menangkap adanya

kecenderungan sebagai perempuan yang ingin menentang arus. Hal itu karena

selama ini pekerjaan sebagai wartawan pada umumnya dan wartawan di daerah

konflik pada khususnya lebih banyak diserahkan pada laki-laki269.

Keinginan untuk menjadi wartawan di daerah konflik bagi perempuan

menunjukkan adanya keinginan untuk melakukan pembuktian diri bahwa

perempuan mampu melakukan sebuah pekerjaan yang lazim dilakukan oleh

laki-laki.

Banyak Teman

Berteman adalah kebutuhan afiliasi yang bersifat alamiah. Setiap orang

pastilah senang jika memiliki banyak teman. Terkait kebutuhan itu, profesi

sebagai jurnalis dinilai sebagai pekerjaan yang mengkondisikan pelakunya

untuk memiliki banyak teman.

Berdasarkan pengakuan beberapa Informan, diperoleh kesimpulan

bahwa keinginan bergaul dengan banyak orang menjadi alasan untuk menekuni

pekerjaan sebagai wartawan. Hal itu seperti dialami oleh Mia Ayu Yulivia

(2007) dan Aviana Cahyaningsih (2008)

268
http://abisyakir.wordpress.com/2009/01/02/special-akar-konflik-palestina-israel/, diakses pada
Selasa, 13 Desember 2011 pukul 10:15 WIB
269
Bdk. Pengalaman Yuli Ismartono dalam Profil Jurnal Perempuan, Eko Bambang Subiyantoro
-107

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

158

jadi wartawan kayaknya enak, bisa kenal sama banyak orang


Berarti waktu itu yang terrpikirkan adalah jadi wartawan270

dulu sih mikirnya kog asik ya, bisa ketemu orang-orang setiap
hari, ketemu orang-orang yang beda, entah itu orang yang penting atau
orang yang biasa
ngobrol sama orang-orang, nambah teman.271

soalnya aku
orangnya bukan tipe orang yang milih untuk kerja di belakang meja,
tinggal duduk seharian dengan jadwal kerja yang terus menerus, monoton,
pagi sampai sore gitu, nanti bosen. Aku lebih suka pekerjaan yang
outdoor, lebih ke kaya wartawan itu 272.

Ada pun sama-sama ingin menjadi jurnalis agar memiliki pergaulan

yang luas, Triendah Febriani (2009) memiliki desk impian yaitu desk politik.

Wartawan politik keren aja kayaknya. Kayaknya itu kalau dunia politik
itu apa ya, kalau kita dengerin kata politik itu kan bayangannya elite,
terus orang-orang penting, hal-hal yang rumit, pastinya soal korupsi,
kolusi, banyak hal yang bisa kita kritisi banget di dunia politik.273

Jika ditilik dari definisinya, pekerjaan sebagai wartawan menuntut

seseorang untuk memiliki kemampuan menggali informasi dari berbagai

narasumber yang tentunya akan berbeda-beda setiap harinya. Tanggung jawab

itulah yang kemudian mengkondisikan para wartawan untuk memiliki

kecerdasan sosial untuk terus memperluas pergaulan.

Pergaulan bagi wartawan adalah modal yang mungkin sama pentingnya

dengan kemampuan tata bahasa dan menyusun berita dengan cepat. Bagaimana
270
Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ajeng Yulivia pada hari Rabu, 23 Februari 2011
271
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
272
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011
273
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

159

tidak kalau setiap harinya wartawan harus menghasilkan informasi yang update

dan akurat tanpa adanya kemampuan yang luwes dalam bergaul. Pergaulan

yang luas ibarat membangun pipa-pipa saluran air yang akan dengan mudah

memberikan suplai air. Pipa-pipa yang banyak dibutuhkan agar semakin cepat

air sampai.

Dengan demikian, tak berlebihan jika kemudian Mia Ayu Yulivia,

Aviana Cahyaningsih dan Triendah Febriani tertarik pada pekerjaan sebagai

wartawan karena memiliki jaringan yang luas memang bagian dari pekerjaan

seorang wartawan.

Hanya saja yang perlu digarisbawahi disini adalah, ketertarikan para

Informan terhadap pekerjaan sebagai wartawan di atas masih terfokus pada hal-

hal yang tampak menyenangkan dari pekerjaan itu. Memiliki jaringan yang luas

tentunya tak serta merta diperoleh oleh para wartawan. Mereka harus

melakukan pendekatan, terus memelihara hubungan baik dsb.

Wawasan Luas

Bekerja di bidang informasi mengkondisikan para wartawan untuk terus

meningkatkan wawasan demi penulisan berita yang berbobot. Kiranya tak

berlebihan jika wartawan disebut sebagai orang pandai karena pekerjaan lah

yang mengkondisikannya.

Terkait label untuk jurnalis sebagai pekerjaan intelek, beberapa

Informan menjadi termotivasi untuk menjadi jurnalis. Mereka ingin

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

160

meningkatkan kemampuan intelektualitasnya. Hal itu seperti dialami oleh Dian

Erika (2008) dan Fauziah Nurlina (2010).

Menurut Dian Erika, media cetak merupakan media dengan iklim

belajar paling tinggi yang dapat mengkondisikan wartawannya untuk cerdas.

Karena bisa mengkaji. Sama sih TV mungkin juga bisa mengkaji, semua
bisa mengkaji. Cuman lebih ini ya, kayaknya orang kerja di media cetak
walaupun kita gak ngerti apa-apa tapi kita terpacu buat ngerti apa-
apa.274

Pengennya kan jadi wartawan gitu kan, wartawan cetak gitu, Koran
Mereka itu pinter banget bikin pertanyaan, pinter banget
menyusun kata-kata. 275

Demikianlah ketertarikan Dian Erika dan Fauziah untuk menjadi

wartawan berasal dari penilaian mereka bahwa pekerjaan itu akan terus

mengkondisikan mereka untuk terus belajar melalui pola kerjanya sehari-hari.

Wartawan surat kabar dinilai sebagai pekerjaan ideal karena memacu mereka

untuk terus belajar meski pun sudah memasuki dunia kerja.

Gemar Menulis

Keinginan menjadi wartawan ternyata salah satunya berhubungan dari

hobi menulis. Hal itu dialami oleh Ema Yuliani Utami (2007):

Saya suka menulis. Saya suka bekerja di bawah tekanan deadline.


Karena ikut UKM itu (UKM VISI) jadi tertarik buat kerja di media, secara
khusus pengen di cetak.....276

274
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
275
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011
276
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

161

Oleh para Psikolog, hobi memang direkomendasikan sebagai salah satu

faktor penentu pilihan pekerjaan karena hal itu dapat mencegah rasa jenuh

dalam bekerja.277 Dari pengalaman Ema, suatu pekerjaan dicari tidak hanya

sebagai upaya untuk memperoleh penghasilan tetapi juga sebagai aktivitas yang

dapat memberikan kepuasan batin.

Tak berlebihan jika akhirnya Ema memilih bekerja sebagai wartawan di

media cetak karena melalui media itu ia akan memiliki kesempatan bekerja

dengan format penulisan mendalam. Sebuah pekerjaan yang tentunya

membutuhkan spesifikasi kemampuan menulis yang tinggi. Cita-cita yang

cukup ideal bagi mereka yang mengaku memiliki hobi menulis.

Disamping soal hobi, ketertarikan Ema terhadap pekerjaan sebagai

wartawan secara langsung atau pun tidak terkondisikan pula oleh

keikutsertaannya pada lembaga pers mahasiswa (LPM). Keberadaan Ema di

komunitas itu mengkondisikan ia untuk menyukai jurnalistik. Dalam hal ini,

LPM berperan sebagai kerangka rujukan praktek kerja sebagai wartawan.

Menarik untuk Perempuan

Menurut anggapan beberapa Informan, dunia wartawan merupakan

dunia yang menarik khususnya untuk perempuan. Mungkin kata menarik itu

lebih tepat jika diterjemahkan sebagai sebuah tantangan yang pantas dicoba

oleh perempuan.

277
http://www.tabloidnova.com/Nova/Karier/Pengembangan-Diri/Trik-Atasi-Jenuh-2, diakses pada
26 Oktober 2011 pukul 19.04 WIB

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

162

Sebagai contoh seperti apa yang dipikirkan oleh Aviana Cahyaningsih

(2008) berikut:

dulu pengen jadi wartawan itu karena kerennya, ya


embuh kenapa keren, keren aja, keren. Apalagi kalau wartawan cewek itu
patin kesini-kesini dan
biasanya itu cowok gitu lho, harus yang punya mental yang bagus,
ketahanan fisik yang bagus juga. Kalau cewek i ketoke jik jarang, jadi
keren gitu sih mikirnya dulu.278

Hal senada diutarakan oleh Destriana K (2008):

Apa ya, keren


Mungkin pas kerusuhan-kerusuhan nyari berita gitu kan, keren gitu aja
sih.279

Secara tidak langsung terdapat sebuah pemakluman bahwa dunia

wartawan adalah dunia laki-laki. Yang dimaksud dengan dunia laki-laki disini

adalah: pertama, mayoritas wartawan adalah laki-laki sehingga pekerjaan itu

menjadi identik sebagai pekerjaan laki-laki. Kedua, bidang pekerjaannya penuh

lebih lemah dari laki-laki.

Hal yang kemudian menarik adalah: dibalik pemakluman para Informan

akan dunia wartawan sebagai dunia laki-laki ternyata tak membuat mereka

mundur justru membuat mereka maju untuk mencoba. Tampaknya mereka

lebih tertarik pada sisi prestasi yang akan mereka peroleh dari keberanian

menantang arus itu.

278
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
279
Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

163

Ternyata pekerjaan yang ideal menurut para Informan adalah pekerjaan

yang mampu memberikan kebanggaan, khususnya berkaitan dengan status

sebagai perempuan yang berani tampil beda. Dan menjadi wartawan adalah

bentuk konkritnya.

1.1.2. Wartawan Foto

Menjadi wartawan foto atau lazim pula disebut fotografer jurnalistik

adalah keinginan dari Annisa Fitri (2010). Keinginan itu telah ia sadari sejak

duduk di bangku sekolah menengah tingkat pertama sekaligus menjadi sumber

motivasinya untuk kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi.

Aku pengen jadi foto jurnalis. Karena suka motret


beberapa majalah aku pengen jadi editor in chief di majalah fashion
gitu-gitu,280

Ia tertarik menjadi editor in chief karena ingin menyumbangkan ide-

idenya dalam konsep majalah perempuan.

sejauh aku tahu, di majalah-majalah fashion itu fashionnya


tidak bisa diaplikasikan ke semua orang, rata-rata cuma buat orang yang
tingginya 170 cm, ukuran breastnya 34B, ukuran bajunya supersmall
padahal gak semua orang Indonesia tingginya 170 cm, gak semua orang
Indonesia breastnya 34B, gak semua ukuran bajunya super small jadi gak
merakyat gitu. tidak bisa diaplikasikan ke semua orang, Kita harus punya
patokan sendiri, jangan terlalu berkiblat dengan yang di luar.281

Keinginan Annisa untuk menjadi editor termotivasi oleh idealismenya

yang ingin melakukan perubahan di dapur majalah fashion. Untuk bisa

mewujudkan idealisme itu, menjadi editor in chief adalah jawabannya. Editor

280
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011
281
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

164

adalah mereka yang bertanggung jawab penuh atas isi rubrik-rubrik yang

dipercayakan untuk dikelola. Selain itu mereka bertugas untuk menentukan,

menyeleksi, mengedit serta mengoreksi naskah, termasuk dalam pembuatan

judul dan tema naskah yang akan dimuat pada rubrik yang menjadi tanggung

jawabnya282.

Dalam hal ini, seorang pada prinsipnya adalah bagian dari pekerjaan

sebagai wartawan tetapi dengan jenjang kepangkatan yang lebih tinggi. Ia

sudah mulai jarang melakukan reportase ke lapangan dan lebih banyak bekerja

di belakang meja. Oleh karena itu pekerjaan ini menurutnya ideal karena

posisinya yang strategis sebagai pembuat kebijakan-kebijakan dalam media.

1.2. Televisi

Satu-satunya pekerjaan bidang komunikasi di media televisi yang muncul

dalam tipe ideal yaitu reporter. Reporter adalah salah satu sebutan untuk tiga

profesi yang sama selain jurnalis dan wartawan. Pekerjaan ini identik dengan

mereka yang bekerja di media massa televisi dan radio283. Disini, pengertian

reporter lebih mengarah kepada media televisi. Beberapa alasan menjadi reporter

yaitu:

Terkenal

Ketertarikan untuk menjadi reporter televisi diantaranya dimiliki oleh

Ambar Kusuma Ningrum (2010).

282
Fitriyan Dennis, Bekerja sebagai Wartawan, (Jakarta: Esensi, 2008), hlm. 51
283
Deddy Iskandar Muda, Jurnalistik Televisi: Menjadi Reporter Profesional, Cetakan ke-2(Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.44

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

165

saya itu SMP memang pengen kuliah di komunikasi, soalnya waktu


itu pengen jadi apa ya, semacam reporter, pembawa acara, ya gitu lah
yang anggun-anggun gimana gitu, hehehe.284

Ada pun selanjutnya ia mengutarakan keinginannya untuk menjadi

penyiar atau anchor. Anchor adalah crew televisi yang bertugas hanya

membacakan berita yang disusun oleh para reporter dan dirangkai oleh tim

redaksi285.

Pengen jadi penyiar. Penyiar kan penampilan menarik, berwawasan


luas, ya harus pintar ngomong lah.286

Sebagai pekerjaan dalam industri televisi, reporter memiliki kesempatan

lebih besar untuk dikenal masyarakat. Sebagai konsekwensinya unsur

penampilan menjadi aspek penting bagi para reporter. Lazimnya sosok penyiar

atau reporter memiliki daya tarik secara fisik dan juga intelektual. Pengelola

stasiun televisi sangat memperhatikan terpenuhinya unsur daya tarik karena dua

hal itu287.

Oleh sebab itu, untuk memenuhi posisi ini pada info-info rekuitmen

biasanya salah satu butir persyaratannya menyebutkan Excellent


288
communication skill and good looking yang kurang lebih artinya fasih

dalam berkomunikasi dan berpenampilan menarik.

284
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011
285
Muda, Op.Cit,hlm.149
286
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011
287
Muda, Op.Cit, hlm. 147
288
http://www.bumncpns.com/lowongan-kerja-reporter-presenter-trans-7-mei-2011-jakarta.html,
diakses pada Senin, 31 Oktober 2011 pukul 08.29 WIB

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

166

Dalam hal ini, ketertarikan Ambar pada profesi sebagai reporter dan

juga pembawa acara berkaitan dengan kesamaan identitas seksnya dengan figur

reporter yang ia lihat. Sebagai sesama perempuan, ada ketertarikan untuk

memiliki pengalaman yang sama yaitu: terkenal dan memiliki pesona yang

menarik. Pekerjaan yang ideal menurutnya adalah pekerjaan yang

memunculkan sisi femininitasnya sebagai perempuan dan juga memberi

kesempatan untuk terkenal.

Jalan-Jalan

Sama halnya dengan yang terjadi dengan profesi sebagai wartawan di

media cetak, reporter televisi memiliki kemungkinan juga untuk melakukan

tugas perjalanan. Bahkan bagi reporter televisi kondisinya mungkin akan jauh

lebih berkesan karena sifat dokumentasinya yang berupa audio visual.

Aku misale ke media sih elektronik, misale jadi wartawane tapi sing
bagian jalan-jalan ngono lho mbak, misale opo sing kuliner-kuliner koyo
ngono kuwi. Ya pokoknya lapangan gitu lah (Aku misalnya ke media sih
elektronik, misalnya jadi wartawannya tapi yang bagian jalan-jalan gitu
lho mbak, misalnya apa sih, kuliner-kuliner kaya gitu. Ya pokoknya
lapangan gitu lah).289

Pernyataan Dhyanayu Lutfi Almitra (2008) di atas kurang lebih senada

dengan pemikiran Fannany Norohmah (2008) berikut:

Sebagai wartawan secara umum ya, pertama menantang, dua bertemu


dengan orang-orang yang penting, terus, ehm gimana ya, bisa pergi ke
banyak tempat, kalau kita mau liputan dimana gitu290

289
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
290
Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

167

Dari kedua pernyataan di atas, pekerjaan sebagai reporter dipilih

karena dianggap sebagai alternatif pekerjaan selain pekerjaan kantoran yang

terkesan menjemukan.

Jika dicermati, para Informan masih melihat pekerjaan sebagai reporter

dari hasil kerjanya yang ditampilkan di layar televisi yang memang terlihat

sempurna. Mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai proses

kerja dari profesi itu secara seksama yang sesungguhnya membutuhkan kerja

keras karena seorang reporter televisi berperan juga sebagai produser. Selain

aktif dalam peliputan mulai dari mengumpulkan informasi, menyusun berita

dan melaporkannya ia harus mengarahkan tim agar melaksanakan tugas secara

bersinerrgi. Ia juga pengambil keputusan akhir tentang suatu hal yang perlu

dilakukan atau tidak291.

Dalam hal ini pekerjaan yang ideal menurut Dhyanayu dan Fannany

adalah pekerjaan lapangan dan secara konkrit pekerjaan itu adalah sebagai

reporter televisi.

1.3. Radio

Pekerjaan di bidang radio yang dimaksud disini adalah sebagai penyiar.

Hal itu dialami oleh Putu Ayu Gayatri (2007) berikut:

Aku kepikiran secara khusus aku pengen jadi penyiarnya,


karena untuk menjadi penyiar memang butuh kemampuan tentang
bagaimana caranya penyiar membuat skrip, tulisan kita bahasakan menjadi
bahasa lisan gitu, dan itu juga butuh keahlian khusus, ya supaya tidak

291
Muda, Op.Cit, hlm. 15

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

168

terdengar kaku supaya aku bisa membedakan mana yang bahasa lisan dan
tulis.292

Kesadaran diri yang cenderung menyukai bahasa telah mendorong Putu

Ayu untuk menjadi penyiar. Ia merasa memiliki modal untuk menekuni dunia itu.

Dalam hal ini, hobi dan juga kesadaran bakat kembali menjadi acuan dari

pemilihan pekerjaan bidang komunikasi.Pada perjalanannya, cita-citanya sebagai

penyiar itu sudah tercapai. Ia telah merintis karir di dunia ini sejak masa awal

kuliah.

1.4. Public Relations (PR)

Penampilan Menarik

Alasan pertama yang muncul terkait cita-cita bekerja sebagai PR Officer

yaitu mengenai penampilan yang menarik.

Pengen jadi PR, soale penampilannya menarik, cewek-ceweknya


cantik, ya semacam saya lah, haha.. Terus enak dilihat gitu kanyaknya PR-
PR itu.293

Sejauh ini, penampilan adalah unsur penting dalam pekerjaan di dunia

PR. Maka tak mengherankan jika sosok PR Officer selalu tampak cantik atau

tampan dalam segala kondisi. Hal tersebut terkait dengan upaya menciptakan

citra diri yang positif sebagai awal dari menciptaka citra positif untuk

perusahaan dimana PR Officer itu bekerja.

292
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011
293
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

169

Tampaknya upaya PR Officer menciptakan citra diri telah menarik

perhatian Ambar. Dari perhatian itu, ia kemudian membuat kesimpulan

sementara bahwa pekerjaan sebagai PR Officer merupakan pekerjaan yang

menarik karena mengondisikan seseorang untuk berpenampilan menarik.

Jika dikaji lebih dalam, keinginan untuk bekerja di bidang PR Officer

masih didasari oleh pengetahuan yang sangat terbatas. Pengetahuan itu belum

menyentuh sisi realistis dari pola kerja dan juga jenis-jenis pekerjaanya. Namun

demikian, dengan pengetahuan yang terbatas itu ternyata sudah cukup untuk

membuat Ambar tertarik pada pekerjaan itu.

Dalam hal ini, gambaran ideal Ambar terkait pekerjaan yang ingin ia

miliki yaitu sebuah pekerjaan yang memberinya ruang untuk menonjolkan sisi

femininitasnya sebagai perempuan: cantik dan menarik. Secara konkrit,

pekerjaan itu adalah sebagai PR Officer.

Pekerjaan Mudah

Pengalaman tertarik pada pekerjaan sebagai PR Officer juga dialami

oleh Nabilla Noor Khudori (2009). Namun, alasannya tertarik pada profesi ini

berbed. Ia hanya berpikir untuk mencoba sesuatu yang ekstrim disamping

keinginannya sebagai wartawan. Berikut disampaikan oleh Nabilla:

Kalau gak wartawan ya jadi humas lah, kerja di kantor. Sekalian aja
yang ekstrim gitu mbak, kalo gak yang susah ya gampang banget
gitu,hehe 294

294
Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

170

Dari pernyataan Nabilla di atas, terdapat kesan bahwa ketertarikannya

pada profesi sebagai PR Officer lebih karena pandangan bahwa pekerjaan itu

lebih ringan atau lebih mudah jika dibandingkan dengan pekejaan sebagai

wartawan. Alasan ia tertarik pada pekerjaan ini lebih karena dorongan untuk

mencoba sesuatu hal yang berbeda.

Banyak Teman

Public relations dinilai sebagai dunia kerja yang memungkinkan orang-

orang yang berkecimpung di dalamnya untuk memiliki akses yang luas. Hal itu

seperti disampaikan oleh Twinika S.F (2008)berikut:

suka yang keluar,yang bisa kemasyarakat.295

Berdasarkan pernyataan Twinika S.F (2008) di atas PR Officer

dibayangkan sebagai pekerjaan yang memberi kesempatan untuk

mengaplikasikan ilmu dalam kegiatan praktek, khususnya dalam hal menjalin

relasi.

untuk terus membina hubungan yang baik dengan para relasi. Tak berbeda

dengan soal pertemanan, keinginan memiliki relasi terkait dengan bagaimana

seseorang merasa membutuhkan kemampuan diterima oleh orang lain.

Dalam hal ini, Twinika merasa tertarik dengan PR karena memberi

sebuah harapan untuk memiliki pekerjaan yang memberi ruang untuk memiliki

295
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

171

pergaulan yang luas, untuk mendapatkan kesempatan diterima oleh lebih

banyak orang tak hanya dalam pekerjaan tetapi juga dalam pergaulan.

1.5. Design Grafis

Keinginan untuk bekerja sebagai designer grafis dimiliki oleh Devi

Anggrahini (2008).

-
design gitu.296

Keinginan Devi untuk menekuni usaha Design grafis senyatanya belum

cukup konkret. Baik design maupun usaha keduanya terdeskripsikan dengan

jelas. Faktor suka lah yang menjadi alasan di balik rencana itu. Dalam kondisi

ini, hobi telah menjadi jembatan untuk menemukan pilihan pekerjaan.

Jika dilihat berdasarkan bidang pekerjaannya, pemilihan pekerjaan tipe

ini terdiri dari lima bidang pekerjaan yaitu: media cetak, radio, televisi, Public

Relations dan Design Grafis. Sedangkan berdasarkan jenisnya tipe ini terdiri dari

8 jenis pekerjaan yaitu: wartawan, wartawan foto, editor majalah fashion,

penyiar, reporter, anchor, PR Officer dan Designer Grafis.

Pada prinsipnya. pemilihan pekerjaan pada tipe ini dilandasi oleh alasan

yang sama yaitu keinginan untuk memiliki pekerjaan yang menyenangkan.

Menurut penuturan para Informan, yang dimaksud pekerjaan menyenangkan

yaitu pekerjaan yang: memperluas pergaulan, dinamis, popular, dan memberi

kesempatan berpenampilan menarik sebagai perempuan.

296
Hasil wawancara mendalam dengan Devi Anggrahini pada hari Selasa, 31 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Ada pun dasar dari pemilihan pekerjaan tipe ini lebih banyak berdasarkan

pada hobi. Sebuah pekerjaan dipilih karena sesuai dengan kesenangan seperti:

menulis, membaca, menggambar dan jalan-jalan. Pemilihan pekerjaan tipe ini

mewujudkannya. Beberapa faktor yang telah mempengaruhi pemilihan pekerjaan

bidang komunikasi pada tipe ini yaitu:

Idealisme

Para Informan ingin memiliki pekerjaan yang sesuai dengan

keinginannya. Paling tidak pekerjaan-pekerjaan yang dipilih atas dasar

kesenangan dan tak jarang terkait dengan misi-misi pribadi untuk bisa berguna

bagi orang-orang disekitarnya. Hal itu dapat dilihat dari pengalaman Annisa

Fitri (2010) dan Triendah Febriani (2009) di atas.

Status Pendidikan

Status sebagai mahasiswi di jurusan Ilmu Komunikasi membuat para

Informan termotivasi untuk bisa bekerja di bidang yang sesuai dengan

pendidikan yang tengah mereka tempuh.

Keterbatasan Pengetahuan

Seperti telah disebutkan di awal, tipe ini lebih banyak terjadi saat para

Informan masih menjadi mahasiswi semester awal. Status baru sebagai

mahasiswi di jurusan Ilmu Komunikasi belum sepenuhnya mereka pahami.

Mereka masih mencoba meraba-raba dunia komunikasi. Masih terbatasnya

pengetahuan baik mengenai pendidikan di jurusan Ilmu Komunikasi maupun

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

pekerjaan di dunia komunikasi menyebabkan para Informan mencoba membuat

keputusan yang cepat berdasarkan pengetahuan yang terbatas itu. Pemilihan

pekerjaan pada tipe ini masih fokus pada sejauh mana keinginan diri berbicara.

Keanggotaan pada Unit Kegiatan Mahasiswa

Keikutsertaan pada suatu organisasi bakat dan minat membuat para

Informan terus berupaya menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang dimiliki

oleh organisasinya. Katakanlah bergabung dengan orang-orang yang menyukai

fotografi dan ingin menjadi fotografer membuat seseorang akan menerima

sebuah pesan bahwa menjadi fotografer adalah pekerjaan yang lazim di

lingkungannya dan juga akan mungkin juga untuknya.

Terpaan Media

Disamping keberadaan media itu sendiri yang sudah cukup menarik

perhatian khalayak, selama ini media massa telah menjadi etalase atau mungkin

showroom dari dunia komunikasi. Mulai dari media cetak hingga elektonik,

disana disajikan potret pekerjaan orang-orang di bidang komunikasi.

2. Transition Type

Yang dimaksud dengan transition type dalam penelitian ini yaitu pemilihan

pekerjaan bidang komunikasi yang sifatnya masih labil dan belum sepenuhnya

kokoh untuk terus diperjuangkan. Para Informan masih berada dalam upaya

meraba-raba bentuk pekerjaan yang paling sesuai untuk mereka.

Pengalaman mengalami situasi ini diantaranya dialami oleh Agnes Amanda

(2007) dan Mia Ayu Yuliavia (2007). Memasuki tahun-tahun terakhir di jurusan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

174

Ilmu Komunikasi, mereka mengaku merasa dilema untuk menentukan pilihan

pekerjaan bidang komunikasi.

aku malah jadi tambah wawasan ya mbak, oh ternyata luas ya, gak
hanya di media, kaya media massa doang, bisa jadi PR juga, di periklanan
juga, terus ya pokoknya banyak di design juga ada spesialisasi juga kan,
berarti kan designnya juga bisa. Dan saya malah semakin dilema karena
semakin banyak pilihan297

berhubung semakin banyak pilihan, kalo aku jadi tambah bingung,


hehe. Wah, luas ya, ilmu komunikasi bisa kemana-mana, terus jadi pengen
punya radio sendiri, hehe.298

Dilema muncul saat seseorang dihadapkan pada beberapa pilihan.

Munculnya pilihan-pilihan baru seperti yang dialami Agnes dan Mia di atas

berasal dari semakin luasnya konsep pekerjaan bidang komunikasi seiring

bertambahnya masa studi di Jurusan Ilmu Komunikasi. Berikut adalah pekerjaan-

pekerjaan yang dipilih dalam tipe ini:

2.1 Majalah

Menjadi jurnalis majalah adalah perkembangan proyeksi bidang

komunikasi pada Dian Erika (2008). Pada saat awal kuliah, Dian sempat

memiliki ketertarikan untuk menekuni pekerjaan sebagai wartawan di surat

kabar. Namun pada saat penelitian ini berlangsung ia mengatakan lebih tertarik

dengan majalah daripada surat kabat. Berikut disampaikan oleh Dian Erika:

Haduh, bukan serba salah, bukan rumit,tapi usah ngomongnya ...Kalau


aku sih pengennya semuanya beres, di keluarga beres, pekerjaan juga
beres tapi ternyata setelah di lakoni oh gak bisa beres, gak bisa semuanya

297
Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011
298
Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ayu Yulivia pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

175

seimbang, dan misalnya kalau jadi ibu dan punya anak gitu,ehm
pengennya anaknya diperhatikan dengan baik dan misalnya masih terus
seperti ini walau pengennya seimbang tapi jadinya gak seimbang agak
repot ya kaya gitu. Jadi mungkin nanti masih dalam dunia ini tapi lebih
ke hal-hal yang sedikit lunak aj
harian di majalah.299

Pemilihan pekerjaan tidak lagi satu melainkan dua. Terdapat sebuah

alternatif pilihan pekerjaan yang sedang dipersiapkan seandainya pilihan

pekerjaan pertama tidak bisa terwujud. Majalah dipilih sebagai alternatif pilihan

pekerjaan karena pekerjaan itu dinilai lebih longgar dan dapat sejalan dengan

tanggung jawabnya mengurus ibunya kelak.

kalo misalnya mau sih mau banget kalau jadi kaya gitu (wartawan).
Cuman nanti kan kerjanya lebih berat gimana dengan ibu. Ya cuman
Yo kalau majalah
kan waktunya mungkin lebih longgar ,terus e,bisa milih juga, maksude
bisa milih di majalah perempuan atau majalah seni dan lain-lain.300

Berdasarkan data di atas, pergantian orientasi pada Dian Erika terjadi

karena pertimbangan tanggung jawabnya pada keluarga. Oleh sebab itu ia

mencari pekerjaan yang dapat menjembatani idealismenya dan juga

tanggungjawabnya pada keluarga. Ia merasa majalah adalah jawabannya karena

pekerjaannya yang tak seberat di surat kabar. Fakta itulah yang kemudian

mendorongnya untuk coba mencari pekerjaan lain sebagai alternatif.

2.2 Televisi

299
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
300
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

176

Seiring dengan bertambahnya pengetahuan mengenai pekerjaan sebagai

wartawan, Aviana Cahyaningsih (2008) mulai tertarik untuk menjajagi pekerjaan

sebagai penyiar televisi. Sebelumnya ia sempat mengetakan tertarik untuk

menjadi jurnalis di media cetak. Berikut disampaikan oleh Aviana:

Kalo kepikirannya tetap wartawan, tapi yang TV itu


yang, jadi kaya pembawa berita atau pewawancara yang terkonsep yang
gak di lapangan.301

Menurutnya, pekerjaan sebagai penyiar lebih longgar daripada wartawan.

Kalau dulu tertariknya ke yang cetak, tapi setelah tahu kerjanya,


maksudnya sing em, menurutku kaya media TV itu lebih bisa apa sih,
lebih teratur, lebih terkonsep gitu lho. Kalo dulu lebih cenderung ke cetak
tapi kalo sekarang lebih pengen ke TV nya.302

Berdasarkan pengalaman Aviana di atas, keputusannya berganti orientasi

karir terjadi karena ia mulai meragukan kekuatannya untuk bekerja sebagai

wartawan media cetak. Menurutnya, pekerjaan wartawan media cetak lebih berat

karena harus berada di lapangan. Ia kemudian memilih pekerja di televisi sebagai

penyiar karena pekerjaannya terkesan lebih ringan dengan aktivitas yang lebih

banyak berada di ruangan.

Surat kabar sejauh ini memang dianggap sebagai media yang citra

maskulinnya paling kuat. Dinamika kerja di surat kabar dianggap sebagai

aktivitas profesional dengan mobilitas yang sangat tinggi, kerja keras, tekanan

deadline yang amat ketat, tidak ada batas waktu kerja yang jelas, -bisa sampai 24

301
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
302
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

177

jam-, serta banyaknya kendala dan tantangan yang bersifat teknis maupun

sosiologis303.

Pekerjaan awal dipilih lebih atas dorongan keinginan. Namun seiring

berjalannya waktu, dengan masa studi yang bertambah serta pengalaman yang

semakin bertambah pula, ia mulai menyadari bahwa gambaran pekerjaan sebagai

wartawan tidak sesuai dengan hati nuraninya yang menginginkan pekerjaan yang

lebih ringan. Dalam proses pencarian bentuk itulah untuk sementara televisi

menjadi jawabannya. Bidang pekerjaan itu dinilai lebih pas untuk perempuan.

2.3 PR

Ada pun setelah memasuki mata kuliah spesialisasi, Informan yang

tertarik menjadi PR semakin banyak. Beberapa pertimbangan yang bersifat

personal melatarbelakangi pergantian orientasi itu. Pengalaman berganti orientasi

diantaranya dimiliki oleh Fannany Norrohmah (2008) dan Aviana Cahyaningsih

(2008).

Berikut seperti disampaikan oleh Fannany. Ia yang dulunya tertarik pada

dunia broadcasting akhirnya mengaku mulai tertarik pada PR.

aku emang dari awal pengennya di radio, sekarang radionya


Pertimbangannya dari orangtua gitu.
Jujur aneh juga sih mereka nyuruh kuliah di komunikasi, tapi ketika nanti
kalau lulus mau kerja dimana Aku jawabnya, kepengennya kerja jadi

Nanti di daerah konflik perang atau gimana. Pengennya itu aku yang
kantoran aja, gitu. Kalau misalnya setidaknya menurut orangtua kan
kantoran yang emang dekat dengan kita kan ya jadi PR official kan.304

303
Siregar. Op.Cit, hlm.13
304
Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

178

Dalam hal ini, faktor keluarga begitu kuat berpengaruh dalam perubahan

orientasi pekerjaan. Keluarga menilai pekerjaan sebagai wartawan terlalu berat

untuk perempuan dengan aktivitasnya yang memiliki mobilitas tinggi sedangkan

pekerjaan sebagai PR officer dinilai lebih pantas karena aktivitasnya yang lebih

ringan dengan berada di kantor.

Pada kondisi yang hampir sama, pengalaman berganti orientasi dirasakan

pula oleh Aviana Cahyaningsih (2008). Menurutnya, PR Officer jauh lebih

ringan dari wartawan. Hal itu seperti ia ungkapkan berikut ini:

Em, gak tahu,


semakin jalan kesini kog rasanya berat ya wartawan. Ya kan ngliat dari
teman-teman juga, dari cerita-cerita juga. Apalagi cewek kan. Aku juga
melihat kemampuan diriku juga kan dari masalah fisik. Dapat tugas apa
baru kerja gini wes drop, baru kerja gini drop gitu. Melihat kemampuan
diri, wah to ketoke yo ra patut ya, gak apa ya, gak memenuhi syarat lah kalo
misalnya mau jadi wartawan yang harus kesana kesana kesana.305

Dari dua pengalaman pergantian orientasi karir ke bidang PR di atas,

diperoleh gambaran bahwa pekerjaan sebagai PR officer dinilai sebagai

pekerjaan yang relatif lebih aman untuk perempuan. Sisi aman itu antara lain

berupa: pekerjaan kantoran, pekerjaan yang minim resiko, pekerjaan yang tidak

menguras tenaga. Di lain pihak, para perempuan di atas mulai memasukkan

sebuah sugesti pada diri mereka sendiri baik itu yang berasal dari pernyataan

orang lain maupun dari hasil refleksi atas pengalaman orang lain, bahwasanya

perempuan adalah makhluk yang lemah dan kurang pantas jika bekerja di dunia

pekerjaan dengan mobilitas tinggi.

305
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Dalam proses internalisasi keyakinan itu, pilihan awal untuk menjadi

wartawan akhirnya menjadi goyah. Pekerjaan yang diketahui memiliki mobilitas

tinggi, lebih banyak berkutat di lapangan dinilai dengan ukuran baru sebagai

pekerjaan yang berat dan kurang pantas untuk perempuan. Di sini, pengetahuan

yang diperoleh baik tentang pekerjaan sebagai wartawan, sebagai PR officer

sedang bertambah. Namun di satu sisi terdapat pula nilai-nilai gender yang mulai

bertambah hanya saja belum sampai pada sebuah pemahaman yang utuh justru

menimbulkan ketakutan-ketakutan.

Dari keseluruhan data di atas dapat dilihat mulai adanya pergeseran konsep

pekerjaan di kalangan mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi. Hal itu terjadi karena

mereka dengan masa studi yang mulai bertambah mulai menyerap konsep-konsep

baru yang membuat mereka memiliki wawasan yang luas mengenai dunia

komunikasi. Bertambahnya wawasan itu pada beberapa Informan justru membuat

mereka mengalami kebingungan untuk memilih pekerjaan karena apa yang ia

bayangkan sebelumnya tentang pekerjaan tak seideal yang dibayangkan. Dari sini

dapat dilihat adanya tiga faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan pekerjaan

bidang komunikasi:

Kesadaran Kemampuan Diri

Jika sebelumnya faktor kesenangan telah menjadi pertimbangan dalam

pemilihan pekerjaan bidang komunikasi, pada tipe ini pertimbangan itu

mulai merembet pada sisi kemampuan diri. Disini. tingkat keidealan dalam

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

memilih pekerjaan sudah mulai berkurang dan mencoba untuk mencari

pekerjaan yang sesuai dengan bakat dan minat mereka.

Mata Kuliah Spesialisasi Profesi

Keinginan bekerja sesuai dengan bidang studi masih menjadi motivasi

utama dari para Informan. Hanya saja disini telah mengerucut pada

mahasiswi semester tengah dan akhir. Semakin bertambahnya pengetahuan

yang berasal dari mata kuliah spesialisasi telah membuka cakrawala para

Informan mengenai dunia komunikasi.

Masukan dari Orangtua

Pada tipe ini, beberapa Informan telah merasakan sikap aktif orangtua

untuk menanyakan prospek pekerjaan selepas para Informan lulus kuliah.

Sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung pada anak, para orangtua

mencoba untuk terus memonitor perkembangan anak-anaknya dan tak jarang

memberi masukan terkait pertimbangan-pertimbangan yang harus

diperhatikan dalam memilih pekerjaan. Pertimbangan itu antara lain berupa

identitas para Informan sebagai perempuan yang suatu saat akan menikah

sehingga seyogyanya mencari pekerjaan yang tetap memberi mereka ruang

untuk mengurus tumah tangga.

Dalam hal ini, para Informan mulai menyerap konsep gender sesuai

dengan yang diyakini oleh masyarakat di sekitarnya khususnya mengenai

pekerjaan. Mereka mencoba untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

181

dianut oleh orang-orang disekitarnya dimana kelaziman adalah sebuah

kebenaran

3. Real Type

Yang dimaksud dengan real type dalam penelitian ini yaitu pemilihan

pekerjaan bidang komunikasi yang berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan

logis/rasional mengenai kemampuan diri.

Jika dilihat dari jenis-jenis pekerjaannya, tidak terdapat perbedaan yang

signifikan antara jenis pekerjaan pada tipe ini dengan jenis pekerjaan pada kedua

tipe sebelumnya. Ketiganya masih berada pada bidang yang sama yaitu media

massa dan public relations (PR). Yang kemudian membedakan adalah alasannya

yang berdasarkan pengalaman yang semakin kaya. Ada pun dilihat dari sisi

kuantitas, pemilihan pekerjaan tipe ini dialami oleh paling sedikit Informan.

Berikut ini adalah data selengkapnya:

3.1 Majalah

Ketertarikan terhadap profesi sebagai wartawan khususnya sebagai

wartawan majalah dimiliki oleh Rahajeng Kartikarani (2007).

kalo aku suka jurnalis majalah, karena kalo majalah kan ini mbak,
setiap minggu itu ada topik, jadinya akan lebih terkonsep aja kerjanya,
terjadwal. Ngerti lah minggu ini mau bahas apa aja gitu.306

Berdasarkan data di atas, dapat ditangkap adanya kecenderungan bahwa

Rahajeng tidak menginginkan pekerjaan yang kurang terkonsep. Hal itu kontras

dengan pekerjaan sebagai jurnalis yang lebih membutuhkan improvisasi.

306
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

182

Sebagaimana kita tahu, pekerjaan di media massa bersifat dinamis dan

membutuhkan kejelian untuk mengikuti perkembangannya dari waktu ke waktu.

Sebelumnya, Rahajeng memiliki pengalaman magang/ Kuliah Kerja

Komunikasi (K3) di sebuah majalah remaja, Olga Girl. Melalui pengalamannya

itu ia mendapat pengetahuan yang cukup mengenai pola kerja di dunia majalah

pada khususnya dan dunia kewartawanan pada umumnya. Penilaiannya

mengenai majalah sebagai pekerjaan yang lebih longgar telah berdasarkan pada

pengalaman.

Pertimbangan jam kerja dalam profesi sebagai wartawan sejauh ini

memang masih dianggap sebagai pekerjaan yang tak mengenal jam kerja. Waktu

24 jam adalah waktu kerja wartawan yang juga tak memberi batasan yang jelas

kapan ia memiliki waktu libur yang lazim dimiliki oleh pekerjaan lainnya.

Karena itulah, pekerjaan sebagai wartawan kerap kali menyelipkan perasaan

angker untuk perempuan.

Dari keputusan Rahajeng di atas, secara tidak langsung ia memberikan

pengakuan bahwa wartawan adalah pekerjaan yang kurang pantas untuk

perempuan. Dan kalau pun akan tetap dicoba oleh perempuan maka majalah

adalah pilihan yang lebih tepat terkait waktu yang lebih leluasa.

Waktu yang longgar untuk perempuan dalam kehidupan sehari-hari

terkait dengan porsi untuk mengurus keluarga. Dalam masyarakat tradisional,

sekali pun perempuan bekerja, namun urusan domestic tetaplah menjadi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

183

tanggung jawab yang harus dikerjakan sehingga sebisa mungkin dapat membagi

waktu.

3.2 Kantor Berita

Keinginan untuk menjadi wartawan di kantor berita ada pada Ema

Yuliani Utami (2007). Berikut disampaikan oleh Ema:

Sebenere kalau ditanya, saya pengen kerja itu pengen jadi jurnalis.
Cuma kemarin sempat kepikiran pengen kerja di Kantor Berita aja, aku
mikirnya gak mungkin kita selamanya akan ada di lapangan ya mbak,
maksudnya, ya apa nantinya saya akan menikah dan punya anak dan
mendidik mereka, maksude ya apa ya, gak tahu kenapa mungkin nanti
ketika jadi wartawan dan ketika di kantor berita itu nanti kan ada jenjang
kariernya. Gak tahu jangka panjangnya, pengen jadi redaktur misalnya,
jadi kita gak harus kerja di lapangan dan kita punya waktu di rumah juga
gitu.307

Berdasarkan data di atas, keputusan Ema untuk bekerja di kantor berita

telah dilandasi oleh pertimbangan yang cukup kuat. Atas dasar suka ia ingin

untuk terus bertahan di industri media, tetapi ia mencoba mempertimbangkan

media yang tepat yang dapat memberinya keseimbangan hidup antara karier dan

juga keluarga. Pertimbangan itu salah satunya berasal dari pengalamannya yang

sebelumnya bergabung di UKM jurnalistik dan telah melakukan magang di

LKBN Antara Biro Jawa Tengah.

Pemilihan pekerjaan sebagai wartawan masih menunjukkan adanya

idealisme yang ingin diperjuangkan. Namun demikian, pekerjaan lapangan

menurut Ema memiliki batasan untuk perempuan yang menekuninya. Hal

tersebut terkait dengan kehidupan berumah tangga yang membuat perempuan

307
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

184

akan memiliki waktu yang kurang untuk bekerja. Mereka akan memiliki

tanggung jawab sebagai ibu di rumah yang tak kalah pentingnya.

Dalam hal ini, ia mengincar pekerjaan sebagai redaktur yang memiliki

pengurangan pekerjaan lapangan dan hanya berada di lapangan. Faktor

pengalaman telah memberikan pengetahuan yang lebih konkrit sebagai

pertimbangan pengambilan keputusan pilihan pekerjaan.

3.3 Televisi

Ketertarikan untuk menekuni dunia televisi dimiliki oleh Veronika Juwita

Hapsari (2007).

aku suka banget nonton TV, terus sekarang banyak nonton berita, jadi
aku pengen banget kerja di TV berita gitu, jadi wartawan TV lah. Plus
kemarin sempat magang di metro itu308

Hal senada disampikan oleh Agnes Amanda (2007). Hanya saja disini ia

menjadikan pekerjaan sebagai jurnalis televisi sebagai rencana jangka pendek

karena merasa pekerjaan itu tidak selamanya bisa ia tekuni.

Kalo aku ada jangka pendek ada jangka panjang mbak. Pendeknya di
TV, panjangnya gak ada hubungannya dengan jurnalistik, berwirausaha,
hehe -bagi dengan yang lain,
kan ada masanya kita akan mundur, kalo udah tua kan gak mungkin jadi
wartawan terus309

Baik Veronika dan Agnes, keduanya sama-sama memiliki pengalaman

magang K3 di stasiun televisi. Karena pengalaman itu, mereka memiliki

pengetahuan yang lebih konkrit mengenai dunia pertelevisian. Mereka memilih

308
Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011
309
Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

185

merancang karir di televisi karena mereka telah mengukur kemampuan mereka

disitu.

Khusus pada Agnes, ia meramalkan bahwa pekerjaan sebagai wartawan

tidak akan bisa ia jadikan sebagai mata pencaharian utama hingga hari tua. Ada

masa berlaku kehadiran perempuan di situ yang mendorongnya memikirkan

pekerjaan alternatif jika ia sudah tidak bekerja di media.

3.4 Humas/ Public Relations

Adapun keinginan menjadi PRO dialami Putu Ayu Gayatri (2007). Ia

memiliki impian untuk menjadi staff Dinas Pariwisata. Ia termotivasi untuk

memberikan kontribusi pada perkembangan pariwisata Indonesia melalui tulisan.

Menurutnya dinas pariwisata adalah pilihan yang tepat.

aku pengen kerja di Disbudpar, jadi pengennya menulis tentang


budaya dan pariwisata Indonesia gitu, hehe.310

Jika mengacu pada pilihan pekerjaan saat awal kuliah, Putu Ayu tidak

begitu mengalami pergeseran pilihan pekerjaan. Ia masih konsisten untuk

menekuni dunia tulis menulis hanya saja akhirnya ia memilih menjadi staff

Disbudpar karena dapat sekaligus mengakomodir ketertarikannya pada dunia

pariwisata.

Pada tipe ini, pemilihan pekerjaan telah terfokus pada dua bidang pekerjaan

yaitu industri media (majalah, kantor berita dan televisi) dan PR. Alasan

pemilihan pekerjaan tipe ini pun lebih konkrit, berbeda dengan alasan yang

310
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

muncul pada dua tipe terdahulu. Alasan-alasan yang muncul antara lain terkait:

jam kerja teratur, pekerjaan terkonsep, ada waktu luang yang cukup,

kelangsungannya hingga masa depan dan ada juga yang telah memikirkan rencana

pernikahan. Disini para Informan lebih selektif dalam menentukan pilihan

pekerjaan karena mereka dihadapkan pada masa akhir studi dan juga persiapan

untuk segera masuk ke dunia kerja.

Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa para Informan memiliki cita-cita

untuk menjadi wanita karier setelah mereka lulus dari Prodi Ilmu Komunikasi

suatu saat nanti. Pekerjaan bidang komunikasi masih menjadi prioritas pilihan

sebagai bentuk idealisme: bekerja sesuai dengan disiplin ilmu. Namun pada

perjalannya, terdapat beberapa pertimbangan rasional yang muncul berkaitan

dengan identitas mereka sebagai perempuan. Ada sebuah usaha untuk mencari

jalan tengah bagaimana supaya tetap bisa bekerja tetapi sekaligus dapat mengurus

rumah tangga saat mereka nanti menikah.

Disini dapat dipetakan beberapa faktor yang melatarbelakangi pemilihan

pekerjaan tipe ini:

Status Pendidikan

Memiliki pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmu masih menjadi

motivasi para Informan terkait pemilihan pekerjaan bidang komunikasi.

Kencederungan ini relatif konsisten pada ketiga tipe pemilihan pekerjaan

bidang komunikasi.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Magang K3

Pengalaman mengikuti magang K3 telah menjadi gerbang bagi para

Informan untuk memasuki dunia kerja. Paling tidak dengan magang para

Informan mendapatkan pengetahuan dari pengamatan dan juga praktek

langsung di dunia kerja.

Terkait pekerjaan di industri media, para Informan menilai bahwa

perempuan memiliki karir yang cenderung lebih pendek daripada laki-laki.

Keterbatasan perempuan berkaitan dengan tenaga dan juga beban ganda

sebagai ibu setelah mereka menikah.

Konsep Perempuan dan Pernikahan

Jika mengacu pada tradisi di Jawa pada khususnya dan kebiasaan

orang Indonesia pada umumnya, usia pernikahan yang tepat untuk

perempuan berkisar pada usia 20 tahun. Dalam hal ini, para Informan,

khususnya mahasiwi semester telah masuk dalam kriteria itu. Tampaknya

konsep pernikahan itu mulai dipikirkan oleh para Informan yang berdampak

pada upaya mereka mengaitkan konsep pekerjaan dengan pernikahan

sehingga harapannya keduanya dapat dijalani dengan seimbang

Berdasarkan data penelitian, sampai pada penelitian ini berlangsung para

Informan masih menikmati masa-masa pencarian konsep pekerjaan yang tepat.

Mereka berada dalam dua kutub yang saling berlawanan yaitu idealisme dan

realistis. Idealisme ada di awal masa kuliah dan realistis ada di akhir masa kuliah.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

188

Di antaranya terdapat ruang transisi yang relatif tidak stabil. Namun diproses

itulah inti dari keputusan akhir yang akan diambil.

Pekerjaan pertama yang diminati oleh para Informan yaitu jurnalis. Istilah

jurnalis, wartawan, atau reporter pada prinsipnya sama. Penggunaannya saja yang

akhir-akhir ini diidentikkan dengan media tertentu. Jurnalis dan wartawan bersifat

lebih universal, sedangkan reporter identik dengan radio dan televisi.

Profesi sebagai jurnalis sendiri telah muncul sejak awal masa kuliah. Bisa

dikatakan pekerjaan ini merupakan pekerjaan paling populer di kalangan para

Informan. Ada pun berdasarkan medianya, jurnalis surat kabar menjadi spesialisasi

yang paling diminati. Profesi ini dianggap sebagai pekerjaan paling ideal bagi

lulusan prodi Ilmu Komunikasi.

Meski masih cukup populer hingga akhir masa kuliah namun

kecenderungan minat untuk menjadi jurnalis mulai bergeser. Konsentrasi para

Informan telah terpecah pada profesi jurnalis di majalah, kantor berita dan televisi.

Belum lagi ada yang kemudian menyeberang ke profesi PRO.

Pekerjaan bidang komunikasi terpopuler kedua yaitu PRO. Sama halnya

dengan profesi sebagai jurnalis, dari awal kuliah profesi ini sudah dikenal oleh

mahasiswa jurusan Ilmu Komunikasi. Namun minat untuk berkecimpung di

bidang ini justru bertolak belakang dengan profesi sebagai jurnalis. Pencitraannya

-olah menjadi jalan

tengah antara keinginan para Informan untuk berkarier dan tetap memiliki waktu

luang untuk keluarga.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

189

Pekerjaan bidang komunikasi lain yang muncul dalam penelitian ini yaitu

anchor. Profesi ini merupakan bagian dari crew media massa khususnya televisi.

Secara umum para Informan berekspektasi bahwa sama-sama bekerja di media

pekerjaan ini relatif lebih ringan daripada jurnalis. Job desk nya yang lebih banyak

berada di studio menyebabkan profesi ini dianggap lebih ringan dari jurnalis yang

berada di lapangan. Saat profesi jurnalis goncang pada masa transisi, profesi

sebagai anchor turut diperhitungkan menjadi pekerjaan alternatif di samping PRO.

Ada pun terakhir adalah profesi sebagai penyiar radio dan designer grafis.

Masing-masing pekerjaan ini hanya diminati oleh segelintir Informan. Latar

belakang pemilihan ketiga pekerjaan itu kurang begitu kuat hanya berdasarkan

hobi. Oleh karena itu dalam penelitian ini kedua profesi ini kurang mendapat

perhatian khusus.

Seperti telah disebutkan dimuka, pemilihan pekerjaan bidang komunikasi

disisipi oleh pergeseran-pergeseran konsep. Hal ini mulai terasa sejak

pertengahan masa kuliah dimana pengetahuan dan pengalaman mulai bertambah.

Pergeseran konsep pekerjaan bidang komunikasi pada prinsipnya

berhubungan dengan upaya para Informan meredefinisi identitas mereka sebagai

perempuan. Mereka mencoba memetakan potensi, kekuatan fisik, tak terkecuali

peran-peran sebagai perempuan dewasa. Berikut adalah pergeseran konsep

pekerjaan bidang komunikasi selengkapnya:

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

190

4.1. Surat Kabar Mengerikan untuk perempuan

Awalnya profesi sebagai jurnalis surat kabar diidolakan para

Informan di awal kuliah. Namun perlahan mereka mundur secara teratur dari

Jurnalis surat kabar perlahan tetapi pasti mereka nilai sebagai pekerjaan yang

berat.

Pekerjaan sebagai jurnalis dinilai berat terkait dengan identitas para

Informan sebagai perempuan. Ada ketakutan tidak bisa membagi waktu dan

jika kelak berkeluarga. Ada ketidaknyamanan untuk bekerja di malam hari

dan masih banyak lagi. Belum lagi ada stereotip yang diyakini oleh para

perempuan mengenai dirinya sendiri sebagai makhluk lemah yang kurang

pantas mengerjakan pekerjaan berat seperti di media massa khususnya surat

kabar.

4.2. Majalah lebih berpihak pada Perempuan

Sama-sama sebagai media cetak, karakter majalah dinilai lebih lunak

daripada surat kabar. Hal itu lantaran majalah terbit tidak setiap hari

melainkan memiliki jangka waktu yang lebih jarang, ada yang seminggu

sekali, atau sebulan dua kali. Longgarnya penerbitan majalah sesungguhnya

memiliki konsekwensi terhadap konsep berita dan kedalaman yang lebih

daripada surat kabar, namun hal tersebut tidak dipersoalkan oleh para

Informan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

191

Disini, majalah menjadi sebuah media yang lebih bersahabat dengan

perempuan karena kelonggaran jam kerjanya. Majalah menjadi alternatif

bagi perempuan yang masih ingin berkecimpung di industri media dengan

tanpa terlalu kehilangan banyak waktu dengan keluarga.

4.3. Kesejahteraan Kantor Berita lebih terjamin

Wacana berprofesi di Kantor Berita baru muncul pada masa akhir

kuliah. Kantor berita sendiri merupakan media dengan tingkat sirkulasi

berita tinggi karena tidak dibatasi oleh deadline seperti halnya media

lainnya. Namun memang untuk status kepegawaian disini dinilai lebih jelas

kepangkatannya. Secara khusus yang dimaksud disini adalah Kantor berita

Antara. Sebagai media milik pemerintah menjadikan para stafnya dalam

jangka waktu tertentu akan diangkat sebagai pegawai negeri. Dalam hal ini

kantor berita dinilai aman untuk perempuan karena status kepegawaiannya.

4.4. Televisi lebih tolerir untuk perempuan

Seperti halnya majalah dan kantor berita, televisi dinilai lebih

kooperatif untuk perempuan karena jam kerjanya yang menurut mereka

relatif lebih longgar dan juga berada dalam sebuah tim yang memastikan

seorang reporter televisi tidak sendiri dalam menjalankan tugas.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

192

Dan untuk televisi sendiri dipilih dengan alasan tambahan berkaitan

dengan sifat audio visual yang dia miliki sehingga memungkinkan mereka

menjadi orang terkenal jika berkecimpung di dalamnya.

4.5. PRO: pekerjaan yang tepat untuk perempuan

Pekerjaan di bidang PR nampaknya menjadi bidang yang dinilai

paling pas untuk perempuan. Berdasarkan data penelitian, pada masa

pertengahan kuliah para Informan mulai berpikir bahwa pekerjaan itu lebih

ringan daripada media sehingga mereka memutuskan beralih atau paling

tidak mulai membuka ruang untuk kemungkinan berkecimpung di dunia PR.

PR dinilai lebih ringan karena pekerjaannya yang bersifat kantoran yang

notabene dilihat sebagai bentuk pekerjaan yang lebih terkonsep/terstruktur

mulai dari jam kerja dan juga bentuk pekerjaan.

Dari keseluruhan data di atas, dapat dilihat bahwa pergeseran konsep

pekerjaan Ilmu Komunikasi yang paling jauh ada pada profesi sebagai jurnalis

surat kabar. Untuk pekerjaan yang lainnya penilaiannya cenderung tetap hanya

ada perspektif gender sebagai perempuan. Selangkapnya dapat dilihat dalam

bagan berikut ini. Pertama berkaitan dengan kriteris pekerjaan dan kedua berupa

jenis-jenis pekerjaan konkritnya.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bagan III.2
Pergeseran Kriteria Pekerjaan Bidang Komunikasi

Bagan III.3
Pergeseran Pilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi

Ada pun pada akhirnya berikut Penulis petakan proses terbentuknya

pemilihan pekerjaan bidang komunikasi. Terdapat dua faktor yang berpengaruh

yaitu dirinya sendiri dan juga pihak-pihak yang ada di luar dirinya. Faktor dari

dalam dirinya meliputi latar belakang bakat dan juga pengetahuan yang mereka

dapat di jurusan Ilmu Komunikasi. Sedangkan faktor-faktor dari sekitar berupa

kelompok significant, orangtua, media masa dan nilai-nilai budaya di sekitar.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

Bagan III.4
Pemilihan Pekerjaan Bidang Komunikasi

Faktor Internal:

Bakat/Talenta
Pendidikan Ilmu Komunikasi
Pemilihan
Pekerjaan Bidang
Komunikasi
Faktor Eksternal:

Keanggotaan dalam UKM


Pengaruh Orangtua
Ket:
Pengaruh Media
Nilai-nilai budaya

= mempengaruhi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

195

C. PERSEPSI MAHASISWI S-1 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FISIP UNS TERHADAP PROFESI JURNALIS

Pada sub bab A telah dipaparkan bagaimana jurnalis begitu identik dengan

pendidikan Ilmu Komunikasi. Para Informan berpikir bahwa pendidikan Ilmu

Komunikasi adalah pendidikan untuk orang-orang yang ingin menjadi jurnalis.

Beberapa Informan pun mengakui bahwa keputusan mereka kuliah di jurusan Ilmu

Komunikasi dilatarbelakangi oleh dita-citanya untuk menjadi jurnalis.

Selanjutnya pada sub bab B diketahui bahwa profesi jurnalis menjadi tipe

pekerjaan yang ideal bagi para Informan, setidaknya pada awal masa kuliah.

Hebatnya keyakinan bahwa pendidikan Ilmu Komunikasi merupakan pendidikan

untuk mencetak jurnalis tak hanya berhenti pada mereka yang sebelum kuliah telah

tertarik menjadi jurnalis. Beberapa Informan yang sebelumnya bersikap netral,

setelah resmi menjadi mahasiswi Ilmu Komunikasi menjadi ikut tertarik pada profesi

jurnalis.

Sayang sekali pada perjalanannya kisah para Informan dalam membangun

mimpi menjadi jurnalis bergerak antiklimaks. Dari waktu ke waktu mereka justru

merasa ragu bahkan ada yang kemudian memutuskan untuk tidak melanjutkan mimpi

menjadi jurnalis. Apa yang terjadi dengan para Informan sehingga mereka lebih

memilih mundur daripada melanjutkan rencananya untuk menjadi jurnalis?

Kiranya disinilah arti penting mengetahui persepsi mahasiswi S-1 Prodi Ilmu

Komunikasi FISIP UNS mengenai profesi jurnalis. Menurut Berelson dan Steiner

dalam Severin dan Tankard, persepsi didefinisikan sebagai proses yang kompleks

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

196

dimana orang memilih, mengorganisasikan dan menginterpretasikan respons terhadap

suatu rangsangan ke dalam situasi masyarakat dunia yang penuh arti dan logis 311. Ada

pun menurut Bennett, Hoffman dan Prakash dalam Severin dan Tankard, persepsi

adalah aktivitas aktif yang melibatkan pembelajaran, pembaharuan cara pandang, dan

pengaruh timbal balik dalam pengamatan312.

Persepsi mahasiswi S-1 Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi

jurnalis tidak lain adalah bagaimana mahasiswi S-1 Prodi Ilmu Komunikasi FISIP

UNS menyadari adanya profesi jurnalis melalui indera mereka dan dari situ berusaha

memberikan makna mengenai profesi tersebut secara berkelanjutan.

Dari hasil penelitian, Penulis menemukan adanya keragaman data yang

dilatarbelakangi oleh pengalaman personal setiap Informan. Adapun jika ditelaah,

kiranya terdapat dua kategori persepsi Informan terhadap profesi jurnalis yaitu

persepsi yang bersifat ideal dan persepsi yang bersifat realistis. Berikut Penulis

paparkan persepsi mahasiswi S-1 Prodi Ilmu Komunikasi FISIP UNS selengkapnya.

1. Persepsi Idealistis

Yang dimaksud dengan persepsi idealistis yaitu persepsi mengenai profesi

jurnalis yang bersifat serba ideal, sempurna dan utopis. Jurnalis dibayangkan

sebagai profesi yang menjanjikan beragam kesenangan dan kebanggaan.

311
Werner J. Severin & James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di
Dalam Media Massa), Alih Bahasa; Sugeng Hariyanto, Cet. ke-4, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup, 2009), hlm. 84
312
Ibid

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

197

1.1. Jurnalis secara Umum

Penampilan Santai

Jurnalis memiliki kantor tetapi pekerjaannya tidak melulu berada di

kantor. Bahkan bisa dibilang sebagian besar waktunya adalah di lapangan

untuk melakukan peliputan ke berbagai tempat. Konsekwensi sebagai

pekerjaan lapangan yaitu penampilan yang tidak terikat pada aturan kaku dan

Dalam hal ini, penampilan jurnalis sebagai pekerja lapangan cukup

disoroti oleh beberapa Informan seperti Dhyanayu Luthfia Almitra (2008),

dan Annisa Fitri (2010). Menurut mereka jurnalis memiliki penampilan yang

santai atau informal bahkan cenderung acak-acakan.

orang lapangan gitu sih, penampilane sing yo sak-sake, mlaku-


mlaku sak-sake (jalan-jalan suka-suka). 313

Lebih casual, nyantai, asal rapi, asal bersih, walaupun ada beberapa
wartawan juga yang awut-awutan.hehehe314

Tak begitu jauh dengan apa yang disampaikan oleh Dhyanayu dan

Annisa, Aviana Cahyaningsih (2008) dan Twinika SF (2008) memiliki

pemikiran yang hampir sama tetapi lebih menekankan sisi fleksibilitas:

Wartawan itu cuek, namanya juga diburu waktu kan, kesana sini ya,
menurutku ala kadarnya. Kecuali kalau wartawan yang kerja memang
kerja di TV yang harus wawancara siapa, dengan persiapan gini gini gini
ya beda ya315

313
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
314
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011
315
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

198

wartawan sih secara penampilan its ok penampilannya rapi,


Cuman gini, kadang-kadang e, kalau kita terlalu rapi-rapi malah kita
gak bisa masuk ke berbagai kalangan. Kan kalangan kan ada yang
menengah dan ke atas. Ya dia harus bisa menyesuaikan,tapi ya jangan
terlalu rapi gitu lho soalnya emang wartawan itu kerjaannya berat gitu
jadi biar lebih fleksibel gitu316

Penilaian di atas berdasarkan pengalaman para Informan saat berjumpa

dengan para wartawan. Dari penilaian di atas, ada kesan jurnalis sebagai

pekerjaan yang maskulin. Kurang memperhatikan penampilan dan pencitraan

itu lebih dekat dengan sosok laki-laki daripada perempuan.

Hal ini berbeda dengan pandangan Fauziah Nurlina (2010). Ia justru

membayangkan wartawan sebagai sosok perempuan. Hanya saja disini ia

mengasosiasikan jurnalis sebagai pekerja televisi yang secara fisik terlihat saat

sedang bertugas.

ik, langsing,
hehehe. Oke, cantik gak harus langsing sih, yang penting cantik, yang
317
penting good looking .

jurnalisnya. Seperti diungkap oleh Fauziah di atas, ini ada kaitannya dengan

sifat media televisi yang menampilkan si jurnalis di layar kaca maka

penampilan cukup diperhatikan. Televisi biasanya memberi seragam untuk

para wartawannya. Seragam yang dipakai oleh para jurnalis televisi

merupakan pakaian lapangan yang menonjolkan sisi sporty untuk memberi

316
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011
317
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

199

keleluasaan bagi si pemakai yang pekerjaannya lebih banyak berada di

lapangan. Hal ini yang ditangkap oleh Fannany Norohmah (2008) dan

Destriana K (2008) hanya saja pendapat mereka ini lebih universal, tidak

mengarah pada identitas seks tertentu.

penampilannya, kalau aku biasanya lihat wartawan itu pakaiannya itu


rapi, harus pakai kartu pers, yah, something like that lah318

wartawan itu gak harus dituntut pakai seragam ya, kecuali


wartawan TV, kan emang harus pakai seragam, kaya MetroTV kaya
gitu. Ya, gambarannya biasa sih, pakai pakaian rapi, sepatu, dengan
cocard dikalungin, bawa alat perekam, bawa apa, bawa notes kecil,
nulis-nulis gitu sih.319

Kiranya pengalaman mengamati menjadi faktor penting yang

mempengaruhi persepsi Informan mengenai penampilan jurnalis. Ada di

antaranya yang melihat secara langsung ada pula yang melihatnya dari media

televisi. Jurnalis secara umum dipersepsikan memiliki penampilan yang lebih

santai cenderung asal. Sedangkan jurnalis televisi dinilai lebih rapi.

Banyak Teman

Dalam hal ini, profesi sebagai jurnalis dinilai menyenangkan karena

membuka akses pertemanan yang luas. Berikut seperti diutarakan oleh Dian

Erika (2008) dan Aviana Cahyaningsih (2008):

318
Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011
319
Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

200

menyenangkan karena banyak kenalan orang kenal orang-orang


penting, orang biasa belum tentu kenal orang itu, kita bisa kenal 320

kog asik ya, bisa ketemu orang-orang setiap


hari, ketemu orang-orang yang beda, entah itu orang yang penting atau

bisa ngobrol sama orang-orang, nambah teman.321

jadi wartawan kayaknya enak, bisa kenal sama banyak


322
orang.

Dari ketiga kutipan wawancara di atas, profesi sebagai jurnalis dinilai

sebagai pekerjaan yang menyenangkan karena memberi kesempatan untuk

memperluas pergaulan. Pergaulan yang luas telah menjadi daya tarik

tersendiri dari pekerjaan ini sebagai pekerjaan lapangan. Dibalik penilaian

tersebut, tersirat sebuah kebutuhan mendasar dari manusia untuk

mengaktualisasikan dirinya untuk memiliki teman.

Sebagai pekerjaan lapangan, profesi wartawan mengkondisikan

pelakunya untuk terus membina hubungan baik dengan masyarakat. Tanggung

jawab itulah yang kemudian mengkondisikan para wartawan untuk memiliki

kecerdasan sosial untuk terus memperluas pergaulan. Pergaulan yang luas

ibarat membangun pipa-pipa saluran air yang akan dengan mudah

memberikan suplai air. Pipa-pipa yang banyak dibutuhkan agar semakin cepat

air sampai.

320
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
321
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
322
Hasil wawancara mendalam dengan Mia Ayu Yulivia pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

201

Gaji Sedikit yang Penting Senang

Saat ditanya mengenai gaji, para Informan berpikir hampir seragam

bahwa gaji jurnalis kecil. Hal itu seperti disampaikan olehDevi Anggrahini

(2008) dan Dhyanayu Lutfia Almitra (2008) berikut.

Sedikit ya sepertinya.323

sithik mbak, ketoke sithik.(Sepertinya sedikit mbak, sepertinya


sedikit)324

Selanjutnya, pemikiran bahwa pekerjaan sebagai wartawan memiliki

upah sedikit juga ada pada Destriana K (2008) dan Aviana Cahyaningsih

(2008). Haya saja mereka mencoba menyikapinya lebih positif dengan melihat

sisi kesenangan yaitu sesuai dengan hobi sebagai penghapus masalah gaji

yang kecil.

Pas-pasan gitu. Kalau menurutku sih, kan hobi, karena suka, kayake
capek juga gak terasa gitu. Lebih kesitu sih, ya kalau gaji sih pengennya
dapat banyak ya, ada uang makan gitu.325

denger-dengernya masih yang di bawah, gak gitu


terjamin. Tapi dulu ya itu, mikirnya masih pendek, masih yang sing
penting kan seneng, sing penting jenenge kerjo wes seneng, mbok ameh
digaji piro wae yowes, seneng-seneng aja.326.

Dari pernyataan Destriana dan Aviana di atas, dapat ditangkap bahwa

penilaian mereka terkait pekerjaan sebagai wartawan masih begitu subjektif

323
Hasil wawancara mendalam dengan Devi Anggrahini pada hari Selasa, 31 Mei 2011
324
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
325
Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011
326
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

202

berdasarkan suka semata. Dalam hal penghasilan yang merupakan tujuan dari

digelutinya sebuah pekerjaan belum begitu tersentuh.

Tak banyak Informan yang memiliki wawasan mengenai penghasilan

jurnalis. Adalah Annisa Fitri (2010) menilai gaji seorang wartawan besar.

Namun yang ia maksud disini adalah pengasuh sebuah rubrik di majalah.

Misalnya pengasuh rubrik di suatu majalah. Pengasuh rubrik itu kan


salarynya lumayan, itu kan sekitar 15an juta per bulan kan
ternyata.327

Dari data di atas, pekerjaan sebagai jurnalis seolah-olah menjanjikan

kesejahteraan yang cukup tinggi. Namun disini yang dimaksud adalah jurnalis

yang telah menduduki posisi sebagai editor dimana mereka memang secara

penghasilan lebih tinggi karena jam kerja dan senioritas yang lebih tinggi. Hal

tersebut masih bersifat idealis dan belum menyentuh pekerjaan sebagai

jurnalis lapangan. Pengetahuan yang masih kurang menyebabkan Annisa

mengeneralkan penghasilan editor dengan jurnalis kebanyakan.

Pekerjaan Intelek

Sebagai pekerja media dimana informasi menjadi teman sehari-

harinya, jurnalis dicitrakan sebagai pribadi yang memiliki kemampuan

intelektual tinggi. Hal itu seperti dipikirkan oleh Devi Anggrahini (2008) dan

Dian Erika (2008) berikut:

beritane harus update-update terus.328

327
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011
328
Hasil wawancara mendalam dengan Devi Anggrahini pada hari Selasa, 31 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

203

Wartawan adalah orang yang pertama kali tahu hal-hal yang luar
biasa yang tidak di alami orang biasa. Terus selalu harus dituntut
pintar kan, maksudnya harus membaca apa pun, kalau gak pintar ya
wawasannya luas, jadi ya mungkin dia mikirnya agak beda, rada-rada
329
.

Kemampuan intelektual yang tinggi memang tidak bisa dipisahkan dari

profesi sebagai jurnalis. Lihat saja pada info perekrutan jurnalis yang

karena pekerjaan seorang jurnalis membutuhkan kemampuan analisis yang

tinggi, tanpa intelektualitas tinggi dan wawasan yang luas maka akan berat

bagi seorang wartawan dalam bertugas.

Selain sebagai modal dasar sebelum masuk, pekerjaan ini secara tidak

langsung memang terus mengkondisikan para pelakunya untuk cerdas. Hal itu

karena sebagai pekerja komunikasi, setiap harinya ia akan bergelut dengan

informasi yang baru dari setiap pengalaman demi pengalaman yang mereka

hadapi. Profesi jurnalis dinilai sebagai pekerjaan intelek karena para Informan

sudah memiliki gambaran yang cukup jelas mengenai tugas jurnalis.

Pembentuk Opini Publik

Pekerjaan sebagai wartawan oleh seorang Informan yaitu Annisa Fitri

(2010), diinilai sebagai pekerjaan yang memiliki kekuasaan, khususnya dalam

membentuk opini publik.

di majalah-majalah fashion itu fashionnya tidak bisa diaplikasikan


ke semua orang, rata-rata cuma buat orang yang tingginya 170 cm,
ukuran breastnya 34B, ukuran bajunya supersmall padahal gak semua
Kita harus punya patokan sendiri,
329
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

204

jangan terlalu berkiblat dengan yang di luar Dan itu tugas seorang
editor in chief buat mastiin, oh oke tulisannya sudah beres, terus fotonya
juga bagus, jadi bisa next naik cetak gitu.330

Dengan tugas utama untuk mencari, mengumpulkan, menyeleksi dan

menyebarluaskan informasi kepada khalayak melalui media massa 331, seorang

wartawan memiliki peran yang besar untuk mengatur pemikiran masyarakat

melalui berita yang ia tulis.

Ada pun peran yang lebih besar berada ditangan seorang editor karena

ia berperan sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas isi rubrik-rubrik

yang dipercayakan untuk dikelola. Seorang editor akan menentukan,

menyeleksi, mengedit serta mengoreksi naskah, termasuk dalam pembuatan

judul dan tema naskah yang akan dimuat pada rubrik yang menjadi tanggung

jawabnya 332. Annisa melihat kekuasaan seorang editor sebagai pembentuk

opini publik. Ia menangkap adanya peran yang cukup vital pada pekerjaan

wartawan.

Pada umumnya apa yang dilakukan oleh wartawan dan editor pada

khususnya dalam kondisi ini dalam konsep kejurnalistikan lazim disebut

dengan fungsi penjawa gawang atau gate keeper. Gate keeper adalah orang

yang memilih, mengubah dan menolak pesan, dapat mempengaruhi aliran

informasi kepada seseorang atau sekelompok penerima333.

330
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011
331
Jani Yosef, To Be A Journalist, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hlm. 43
332
Fitriyan Dennis, Bekerja sebagai Wartawan. (Jakarta: Esensi 2008), hlm. 51
333
Mursito BM, Memahami Institusi Media, (Karanganyar: Lindu Pustaka dan SPIKOM Solo, 2006),
hlm.33

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

205

Pekerjaan Mulia

Merujuk pada pernyataan Jacob Oetama dalam Mursito, selain berita

tentang: keberhasilan, kegagalan, kesuksesan, seks, kriminalitas dan glamour,

konflik dan perang adalah peristiwa dengan nilai berita yang tinggi 334. Oleh

karena itu, perang selalu menjadi peristiwa penting yang dikawal oleh media

massa. Hal itu menuntut konsekwensi bagi para jurnalis untuk selalu siap

dengan kemungkinan penugasan di wilayah konflik.

Telah banyak kejadian dimana para jurnalis mengalami luka bahkan

terenggut nyawanya saat bertugas di daerah perang. Tengok saja pengalaman

reporter Metro TV, Meutia Hafidz serta juru kamera Budiyanto yang sempat

beberapa hari ditahan teroris di Irak saat bertugas 335, dan juga pengalaman

Alm. Ersa Siregar, reporter RCTI yang meninggal di penghujung tahun 2003,

setelah lebih dari setengah tahun ditahan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

dalam sebuah pertempuran antara TNI dan GAM336.

Tugas para jurnalis yang relatif berat, khususnya saat bertugas di

wilayah konflik mengundang simpati Triendah Febriani (2009). Menurutnya,

karena pengorbanannya yang besar wartawan pantas disebut sebagai

pahlawan.

bagiku wartawan itu juga seorang pahlawan. Mereka mau ditaruh di


daerah perang kaya di Jalur Gaza cuma buat menyampaikan informasi
k Jadi menurutku wartawan itu sudah
pahlawan337
334
Ibid. hlm. 180
335
Dennis, Op.Cit, hlm. 6
336
Ibid
337
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

206

Hal senada seperti disampaikan oleh Dian Erika (2008). Ia

mencontohkannya dengan kisah seorang wartawan perang yang harus menulis

berita di tengah situasi mencekam yang sewaktu-waktu dapat merenggut

keselamatan jiwa.

Luar biasa itu bukan dalam artian wah kaya artis, luar biasanya
mungkin karena gak banyak yang melirik ya, pada gak mau juga kan,
ngapain. Karena aku suka nonton TV, kaya wartawan CNN yang
hidupnya kayak begitu-begitu, dia bisa bertahan hidup walau di
belakangnya ada berbagai macam bom meledak dan sebagainya seperti
itu, kaya gitu kan, dia masih hidup dan dia mau terus, baik itu pria
maupun wanita itu luar biasa. Siapa sih yang mau-mau nya karena dia
punya anak juga punya keluarga,suami juga.338

Bagi pihak di luar lingkaran media, entah itu sebagai penonton,

pendengar atau pembaca media, seperti halnya pengalaman Triendah dan Dian

Erika di atas, jurnalis yang berada di daerah perang memberi kesan mendalam

bagi mereka yang menyiratkan rasa bangga pada profesi itu. Mereka adalah

sosok yang dengan sadar mengabdi bagi kebenaran melalui berita yang

mereka buat sekali pun harus menantang maut. Citra kepahlawanan semacam

itulah yang sekiranya muncul dalam benak Triendah

Pekerjaan Keren untuk Perempuan

Jumlah jurnalis yang masih sedikit menimbulkan keterterikan Aviana

Cahyaningsih (2008) dan Destriana K (2008) pada sosok jurnalis perempuan.

Menurut mereka jurnalis perempuan adalah sosok keren atau hebat

338
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

207

kalo dulu ngrasane wartawan keren, ya embuh kenapa keren, keren


aja, keren. Apalagi kalau wartawan cewek itu masih jarang...Padahal
wartawan kan nanti ditempatin kesini-kesini dan biasanya itu cowok gitu
lho, harus yang punya mental yang bagus, ketahanan fisik yang bagus
juga. Kalau cewek i ketoke jik jarang, jadi keren gitu sih mikirnya
dulu.339

keren aja. Kaya, wah, cewek, apa, dia berani gitu kan cari
berita. Mungkin pas kerusuhan-kerusuhan nyari berita gitu kan, keren
gitu aja sih kaya gitu. Dengan ada cocard dikalungin kaya gitu, bawa
alat perekam kaya gitu, apa, jadi kaya lebih kalo dikejar deadline kan
kaya lebih menghargai waktu gitu.340
Ada pengakuan dari Aviana maupun Destriana bahwa jurnalis adalah

pekerjaan berat, khususnya bagi perempuan. Penilaian jurnalis sebagai

pekerjaan berat bukannya membuat mereka ngeri justru membuat mereka

kagum Ada empati yang mereka bangun sebagai sesama perempuan.

Keberanian perempuan masuk dalam dunia laki-laki dinilai sebagai prestasi

yang membanggakan.

Jam Kerja Abu-Abu

Menurut Triendah Febriani profesi jurnalis memiliki aktivitas yang

padat tetapi tidak memiliki patokan jam kerja yang jelas. Penilaian itu ia dapat

dari pengamatan terhadap seorang wartawan yang pernah ia kenal dekat.

rus sempat
ngekost di rumahku. Jadi aku tahu lah malam-malam ditelfon ke luar,
pergi sampai sore, gak di rumah, terus nanti udah pulang eh tengah
malam keluar lagi soalnya kita kan gak tahu suatu kejadian itu
datangnya jam berapa, jadi kita harus siap. Jadi ya taunya gitu, harus
siap sedia setiap saat gitu lho.341

Hal senada diungkapkan oleh Nabilla Nur Khudori (2009berikut:

339
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
340
Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011
341
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

208

Ya gak jelas, karena begitu ada tugas mereka kan langsung berangkat.
Kalau gak ada apa-apa ya udah, tidur seharian, kaya gitu bayanganku,
hehe.342

Ada pun selanjutnya menurut Annisa Fitri (2010) dan Fauziah Nurlina

(2010), ketidakjelasan jam kerja pada profesi sebagai wartawan membuat

pekerjaan ini ia nilai berat.

Wartawan, ngejar berita, ngejar narasumber, benar-benar gak ada


istirahatnya, mereka bikin tulisannya malam, paginya kerja lagi343

Kayaknya wartawan itu capek ya, kayaknya gitu, kalau pagi, siang,
sore gitu kayaknya itu masih gak ada jadwalnya gitu, kalau ada berita ya
diuber-uber.344

Dalam sebuah pekerjaan, jam kerja menjadi unsur penting untuk

menentukan batasan tanggung jawab pekerja terhadap instansi dimana ia

bekerja. Untuk itu, hampir semua instansi membuat aturan kapan seorang

pekerja memulai dan mengakhiri pekerjaannya. Pengaturan jam kerja dapat

dilihat dengan jelas pada instansi-instansi pemerintahan yang memulai jam

dinasnya sekitar pukul tujuh atau delapan pagi dan berakhir maksimal pada

pukul lima sore. Itu pun berlaku lima hari saja dari tujuh hari yang ada.

Namun gambaran jam kerja seperti di atas seperti termentahkan saat

menyelami pekerjaan sebagai wartawan pada khususnya dan pekerjaan di

media pada umumnya. Sebagai pekerjaan lapangan, wartawan memiliki dua

sifat pekerjaan yang kontras namun menyatu yaitu: sibuk dan fleksibel.

342
Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011
343
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011
344
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

209

Ketidakjelasan jam kerja wartawan itu berkaitan erat dengan produksi berita

yang menekankan sisi kekinian (update) dimana sebuah peristiwa tidak dapat

begitu saja diramalkan. Meskipun ada kesan pekerjaan wartawan itu fleksibel

tetapi kondisi itu justru membuat beberapa Informan menilainya sebagai

pekerjaan yang berat dan melelahkan.

Pekerjaan sebagai wartawan oleh Aviana Cahyaningsih (2008) dan

Dhyanayu Lutfia Almitra (2008) dinilai sebagai pekerjaan dengan jam kerja

abu-abu dimana tidak ada batasan yang jelas.

Sampai sekarang mikirnya wartawan itu pekerjaan yang sangat tidak


teratur, gak terduga gitu lho, maksudnya e, jam kerja gak jelas, terus
serba tidak teratur, emang kalau malam ada kejadian harus standby,
harus siap kaya gitu, harus siap ditempatin dimana pun juga345

toke ya hampir 24jam, dari pagi sampai sore. Terus


dia masih nulis beritanya sebelum sampai ke meja redaksinya,ya gitu lah.
Pokoknya hampir 24 jam.346

Dalam kondisi ini, pekerjaan sebagai jurnalis dipandang sebagai

pekerjaan yang tidak memiliki patokan pasti dalam hal jam kerja. Jam kerja

wartawan dalam rentang waktu dari pagi hingga pagi lagi, yang ditegaskan

adalah meskipun mereka tahu bahwa pekerjaan ini berat mereka masih begitu

antusias menjadikannya sebagai cita-cita di kemudian hari.

1.2. Jurnalis berdasarkan Jenis Media

Jurnalis Surat Kabar


345
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
346
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

210

Sebagai salah satu bentuk dari media cetak, suratkabar identik

dengan berita dalam format tertulis, berupa tulisan panjang dan mendalam.

Oleh karena itu, seorang jurnalis suratkabar diidentikkan dengan seseorang

yang memiliki keterampilan menulis di atas rata-rata. Hal itu seperti

diungkapkan oleh Fauziah Nurlina (2010) berikut:

Dulu sih aku mikirnya seru yang di cetak gitu kan


serunya sih itu kadang bisa menbangun kata-kata gitu lho, menciptakan
suasana dalam satu berita gitu347

Dalam hal ini, pekerjaan sebagai wartawan surat kabar dinilai tepat

bagi mereka yang ingin memiliki hobi atau kelebihan di bidang tulis menulis

untuk dapat mengaktualisasi diri mereka.

Jurnalis Radio

Sebagai media massa, radio memiliki program berita yang

membutuhkan peran jurnalis. Untuk praktek jurnalistik di radio, beberapa

Informan cenderung menilai negatif.

Radio itu gak menantang aja soalnya kan, gimana ya, kita gak usah
nulis, terus kita gak usah cari-cari gambar, kita cuma siaran gitu kan,
kayaknya gak menantang gitu lho, jadi aku gak suka aja sama proses
kerjanya.348

kalau buat ke depann


ngomong sendiri, kecuali kalau ada narasumbernya.349

347
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011
348
Hasil wawancara mendalam dengan Nabila Nur Khudori pada hari Rabu 23 Maret 2011
349
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

211

Baik Nabilla Nur Khudori (2009) maupun Annisa Fitri (2010),

keduanya menilai aktivitas di radio kurang menantang dan membosankan.

Penilaian itu jika ditelisik terkait dengan karakteristik radio yang menjadikan

audio sebagai materi pemberitaan. Audio atau suara dinilai sebagai hal yang

yang lebih mudah daripada merangkai berita tertulis atau juga menangkap

berita visual dalam bentuk rekaman gambar.

Jurnalis Televisi

Adapun media televisi menjadi potret dari dunia yang lebih dinamis

dan menyenangkan. Hal itu seperti disampaikan oleh Aviana Cahyaningsih

(2008) dan Destriani K (2008) berikut:

ketoke lebih menyenangkan bekerja dengan dunia yang


bergerak gitu..kalau di TV kan aku ngrekam video gitu, merekam gambar
gitu lho, enggak harus menulis gitu lho. Bisa di sampaikan lewat, iki lho,
ana gambare iki lho. Ngono-ngono kui lah mbak.350

aku lebih suka di TV atau radio itu gimana ya, gak terlalu
banyak apa ya istilahnya, saringan mungkin ya, kaya di media cetak kan
kita ngetik misalnya 9 berita, kan gak semuanya bisa naik cetak. Kalau di
TV atau radio kan emang tetap ada sih filter, tapi gak seketat di media
cetak gitu.351

Reporter televisi secara keseluruhan dinilai sebagai pekerjaan

menyenangkan karena memberi kesempatan untuk memiliki pengalaman baru

dan mengasah kreativitas. Hal itu seperti diutarakan oleh Fauziah Nurlina

(2010) berikut:

350
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
351
Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

212

Kalau di TV kan juga bisa selain program berita, bisa nyoba program
TV lainnya. Jadi mikirnya mereka kreatif gitu lho, bikin program-
program kaya gitu yang menarik, kaya Kick Andy gitu, kan mendidik tapi
juga menghibur.352

Hal senada diutarakan oleh Triendah Febriani (2009) berikut:

kayaknya seru di TV gi
kayaknya kalau di TV itu lebih seru aja gitu, kita gak terfokus pada satu
pekerjaan, kita lebih bisa pelajari soal videonya juga, jadi kayake lebih
aktif di TV gitu.353

Tingkat kerumitan media televisi dalam merancang, memproduksi dan

menampilkan informasi kepada masyarakat membuat pekerjaan di dunia

televisi dinilai sebagai pekerjaan yang membutuhkan kreativitas tinggi.

Bergelut dalam dunia yang menekankan kreativitas tinggi seperti televisi,

dinilai oleh Informan sebagai dunia yang menyenangkan.

Ada pun penilaian yang berbeda disampaikan oleh Annisa Fitri (2010).

Menurutnya menjadi jurnalis televisi justru kurang menyenangkan karena

deadline pemberitaan yang dirasa lebih ketat.

sebenarnya tergantung posisinya juga, tapi misalnya


sama-sama mungkin nanti jadi wartawan lebih enak di majalah, kalau
TV deadlinenya apa ya, lebih strigh, lebih ketat354

Penilaian para Informan begitu lekat dengan pengetahuan mereka

mengenai karakteristik media. Televisi sebagai media massa berbasis audio

352
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011
353
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011
354
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

213

visual dinilai sebagai media yang canggih. Kecanggihan itu disikapi beragam,

di satu sisi menyenangkan, di satu sisi dinilai berat harus terus menampilkan

informasi yang terkini sesaat setelah sebuah peristiwa terja

2. Persepsi Realistis

Yang dimaksud dengan persepsi realistis yaitu persepsi mengenai profesi

jurnalis yang lebih cermat berdasarkan fakta-fakta yang rasional.

2.1. Jurnalis secara Umum

Fleksibilitas Tinggi

Profesi jurnalis sebagai pekerjaan lapangan dilihat sebagai pekerjaan

yang menyenangkan karena memiliki fleksibilitas yang tinggi. Hal ini seperti

diungkapkan oleh Ema Yuliani Utami dan Putu Ayu Gayatri.

saya merasa senang dengan apa yang saya kerjakan.


Jadi mikirnya, pekerjaan aku itu menyenangkan. Aku mikirnya
wartawan itu pekerjaan jalan-jalan, ngobrol sama orang, nulis, dapat
duit kan kasarane kaya gitu.355

seneng-seneng aja sih karena aku gak di dalam kantor dengan


ritme kerjanya misalnya besok kita liputan jam segini, disini, bisa
keluar, selesai liputan yang harus ngerjain gitu, terserah sih, jadi boleh
fleksibel gitu.356

Baik Ema maupun Ayu keduanya memberi penilaian berdasarkan

pengalaman mereka yang pernah mengikuti program magang di media. Ema

di LKBN Antara Biro Jawa Tengah sedangkan Ayu di Suara Merdeka Biro

355
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011
356
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gyatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

214

Solo. Menurut mereka profesi jurnalis menyenangkan karena tidak monoton,

begitu dinamis dengan kesempatan untuk melakukan perjalanan ke berbagai

tempat, memperluas relasi, mengasah keterampilan menulis dan memiliki

kelonggaran kerja yang tidak ada pada pekerjaan kantoran. Dalam hal ini,

pengalaman menjadi sumber pengetahuan yang berharga untuk memberi

penilaian yang lebih tepat mengenai profesi sebagai jurnalis.

Pengabdian untuk Masyarakat

Dalam menjalankan tugasnya, sosok jurnalis dinilai positif karena

pekerjaannya yang berhubungan dengan masyarakat. Hal itu seperti

diutarakan oleh Ema Yuliani Utami berikut:

ada kesenangan tersendiri saat kita bisa menyampaikan


informasi itu ke orang dan tadi sih aku ngrasanya mungkin karena aku
magangnya di kantor berita yang mana kan itu Kantor Beritanya
pemerintah kan mbak, ya mungkin ada sedikit mindset bahwa goodnews
is a goodnews gitu, bukan lagi badnews is a goodnews gitu lho....keluar
dengan berita yang manis dan membuat orang itu lega ketika membaca
ditengah ketakutan dengan media. Itu disitu ada kepuasan tersendiri
gitu lho mbak 357

Dalam kondisi ini, penilaian Ema merangkap sebagai pengalaman

subjektifnya sebagai seorang jurnalis perempuan. Ia merasa senang dengan

pengalaman yang telah ia lewati. Bahkan dari proses itu ia merasa semakin

mencintai profesi sebagai jurnalis. Ada dorongan untuk mengabdi kepada

masyarakat. Ia merasa terpanggil untuk memberi pencerahan kepada

357
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

215

masyarakat melalui berita yang ia tulis di tengah pemberitaan yang selama ini

cenderung lebih suka mengambil sudut pandang negatif .

Terkait jurnalis sebagai pengabdi masyarakat, Rahajeng Kartikarani

dan Agnes Amanda juga memiliki pemikiran senada:

wartawan itu meliput acara-acara, buat


berita, dan apa ya, jadi dia menulis berita yang dia dapat sama liputan
dan menulis itu, dia gak hanya untuk diri sendiri tapi nulis untuk
orang lain.358

sebagai wartawan, gak cuma menulis berita


aja, tapi dia benar-benar memberikan informasi kepada pembaca, jadi
lebih bisa menghargai wartawan359

Dalam kondisi ini, pekerjaan sebagai jurnalis yaitu meliput dan

menulis berita dinilai begitu penting bagi kehidupan banyak orang sehingga

membawanya sebagai pekerjaan yang berjasa.

Pekerjaan Laki-laki

Saat profesi sebagai jurnalis dihadapkan dengan identitas seks sebagai

perempuan, beberapa Informan merasa ngeri. Untuk beberapa Informan yang

lain, mereka mulai memikirkan beban ganda yang harus mereka panggul

setelah menikah. Dalam kondisi ini para Informan mulai merasa diri sebagai

orang yang ditakdirkan berbeda dari laki-laki baik secara fisik maupun

tanggung jawab.

semakin jalan kesini kog rasanya berat ya wartawan.


Apalagi cewek kan jadi wartawan kan emang

358
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011
359
Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

216

butuh ketahanan fisik yang betul-betul kuat gitu. Terus yang benar-
benar bisa bagi waktu. Yang namanya cewek kan gak secuek cowok.
Maksudnya banyak yang harus dipikirkan, lebih banyak yang harus
dipikirkan cewek daripada cowok gitu. Kaya misalnya, ya gitu lah, loh,
kalo nanti pun akhirnya nikah kaya gitu kan mikirin anak juga,
mikirin keluarga. Kalau cowok kan udah dasarnya dia harus jadi kepala
keluarga, kalau cewek kan gimana pun ada tanggung jawab dia sebagai
ibu, ya ngurusin suami juga, jadi ya banyak pertimbangan lah. Kalau
cewek gak bisa bagi waktu ya matia wae, hehehe.360

kayaknya susah nya di kejar deadline, untuk seorang wanita dan


juga masalah fisik kalau yang namanya cowok kan mungkin bisa untuk
misalnya ada suatu paspampers gitu ya, dorong-dorong atau apa, kalau
cowok kan masih punya ketahanan fisik dan mental yang bagus, kalau
wanita kan susah mungkin secara niat dia baik, tapi secara apa namanya
ya, mental juga, mentalnya juga cenderung lebih baik yang pria dari
awar, kerjanya itu malam tapi pagi
malah enggak. Jadi dia kerjanya muter, meres otak banget nanti
sementara kalau wanita kan gak baik kerja sampai tengah malam kayak
gitu.361

Dari pernyataan keempat Informan di atas, jurnalisme mulai dipahami

sebagai dunia yang keras yang membutuhkan totalitas dalam hal pikiran dan

tenaga. Saat kesadaran akan diri dan juga kesadaran mengenai profesi sebagai

jurnalis beradu, terjadi ketimpangan yang membuat para perempuan itu

mendefinisikan ulang minat mereka terhadap profesi sebagai jurnalis. Dan

sampailah mereka pada kesimpulan bahwa jurnalis adalah pekerjaan yang

berat dan kurang pantas untuk perempuan.

Kalau pun mereka masih ingin tetap bertahan maka mereka harus

mencari alternatif pekerjaan dengan jobdesk dan juga jam kerja yang lebih

360
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
361
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

217

longgar agar memungkinkan mereka tetap bisa menjalankan peran sebagai ibu

rumah tangga.

Seperti halnya kejadian pada dua sub bab terdahulu, profesi sebagai

jurnalis lagi-lagi dinilai berat, khususnya untuk perempuan. Seperti halnya

persepsi pada dua kelompok sebelumnya, jurnalis dinilai sebagai pekerjaan

yang tidak memiliki jam kerja pasti.

alo jam kerjanya jam 8 sampai jam 5. Kadang jam 9-4 sore, senin
sampai jumat. Tapi kalau ada liputan mendadak ya harus mau kerja
walaupun itu libur cara umum kerja jadi wartawan itu menurutku
kerja di bawah tekanan.362

Adapun pemikiran berbeda ada pada Putu Ayu Gayatri yang lebih

melihat beratnya pekerjaan jurnalis pada peran yang mereka emban sebagai

pembentuk opini publik yang harus jeli, objektif dan berimbang.

karena tahu pekerjaannya berat salah ambil


angle, salah menyebut nama orang, tulis nama salah, ini ini ini,
bebannya berat gitu. Jadi berat aja membentuk opini masyarakat.
Beratnya adalah bagaimana kita memfilter ini, informasi yang penting
atau tidak untuk diangkat. Terus bagaimana kita memberikan angle
berita yang menarik, tapi juga memiliki pesan ke masyarakat gitu. 363

Ema Yuliani Utami juga menilai berat. Namun ia memakai sudut

pandang mobilitas jurnalis yang cukup tinggi.

Masalah geografis kali ya. Kalau soal geografis itu lebih pada setiap
hari harus ada di lapangan dan belum pernah lihat itu sebelumnya.364

362
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011
363
Hasil wawancara mendalam dengan pada hari Rabu, 23 Februari 2011
364
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

218

Lingkungan kerja jurnalis oleh Putu Ayu Gayatri dinilai kurang

nyaman untuk perempuan. Hal itu terkait posisinya sebai perempuan di tengah

lingkungan yang mayoritas terdiri dari laki-laki.

nyaman sih nyaman ya, cuman aku tidak nyaman menulis berita
disana karena mayoritas cowok dan mereka ngegangguin gitu kan. Eh,
facebook kamu apa tanya gitu-gitu. Terus mereka mayoritas ngrokok
semua, jadi ruangannya itu penuh dengan asap rokok. Ceweknya dikit
banget365

Dalam hal ini, sisi kenyamanan untuk perempuan terganggu karena

laki-laki yang secara kuantitas mendominasi sehingga pola kerjanya pun

mengikuti mereka dengan adanya selingan rokok yang sejauh ini kurang

disukai oleh perempuan kebanyakan.

Terdapat Diskriminasi Gender

Pekerjaan sebagai jurnalis secara umum dinilai menganak bawangkan

perempuan.

Pokoknya maksimal ngumpulin berita jam 5 sore, itu udah harus jadi
dan teredit. Udah siap. Cuma kadang yang cewek di Suara Merdeka
kebagian liputan yang mudah dan jam 7 paling sampai jam 12 itu udah
selesai gak terlalu berat ya karena terasa dibedakan
kalo kamu wartawan cewek apa cowok.366

Lebih lanjut Ayu mengungkapkan pembagian desk liputan yang

berjalan di Harian Suara Merdeka yang membedakan tugas antara laki-laki

dan perempuan.

365
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011
366
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

219

Biasanya kalo cewek ditempatkan di bagian pendidikan karena


biasanya kan event-event pendidikan biasanya hanya terjadi di pagi hari
sampai siang gitu. Kalau ekonomi kan kadang bisa terjadi malam,
apalagi criminal itu gak mungkin cewek ditaruh disitu, hehe. 367

Namun demikian, apa yang disampaikan oleh Ayu itu coba ditepis

oleh Ema Yuliani Utami yang merasakan pengalaman berbeda selama magang

di Kantor Berita Antara.

Ayu bilang ada perbedaan antara pekerjaan wartawan cewek dan cowok.
Kalo aku kurang sepakat ya. Karena aku jujur gak ngalamin itu selama
aku magang. Aku ngrasane mungkin ketika kemarin itu magang juga
sempat ditaruh di desknya itu satu kota, dan dari kantor pun gak ada
perbedaan kamu cewek apa kamu cowok kaya gitu. Yo liputan liputan
gitu 368

Dalam kondisi ini, perempuan ditempatkan di posisi kelas dua

(periferal). Mereka dinilai kurang pantas untuk mengampu desk-desk utama

dan diberi tugas yang dinilai lebih ringan. Dari satu sisi, penempatan

perempuan pada desk yang relative ringan dapat dilihat sebagai penghargaan

pada perempuan untuk tidak terlalu sibuk namun di satu sisi dapat pula dilihat

bahwa penempatan perempuan pada desk yang lunak adalah bukti bahwa

media masih kurang percaya pada kemampuan perempuan. Maka tak

berlebihan jika perempuan disini hanya bersifat sebagai pelengkap saja.

367
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011
368
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

220

Lebih pantas menjadi sebagai pekerjaan Sementara

Beberapa Informan menilai pekerjaan sebagai jurnalis sebagai

pekerjaan sementara.

ada jangka pendek ada jangka panjang mbak. Pendeknya di


TV, panjangnya gak ada hubungannya dengan jurnalistik,
berwirausaha, -bagi
dengan yang lain, kan ada masanya kita akan mundur, kalo udah tua kan
gak mungkin jadi wartawan terus.369

Kayake pasnya jadi pekerjaan sampingan aja deh. Soalnya melihat


jobdesknya, pekerjaannya ngapain aja, butuh bensin dan tenaga untuk
sampai ke lokasi, untuk makan, belum lagi nyari narasumbernya
kesulitan untuk mencari narasumber, butuh pulsa dan ada juga kesulitan-
kesulitan lain secara teknis, seperti framing berita dan lain-
dibayanganku emang tidak sebanding370

Masih seputar pengidentikan jurnalis sebagai pekerjaan kaum lelaki,

profesi sebagai jurnalis dinilai kurang pas untuk perempuan karena

perempuan terlebih saat ia sudah menikah maka ia akan memiliki tanggung

jawab utama sebagai ibu rumah tangga. Dengan demikian jika sebelumnya

sudah bekerja maka saat sudah menikah pekerjaan itu harus dipikirkan

ulang.Hal itulah yang kemuadian dipikirkan oleh beberapa Informan dimana

mereka mulai memikirkan jangka waktu profesi sebagai jurnalis untuk

perempuan yang kurang memungkinkan untuk tetap dijalani saat telah

memasuki pernikahan.

369
Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011
370
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

221

Penghasilan Kecil

Ada pun mengenai penghasilan, para Informan memiliki pemikiran

bahwa gaji wartawan itu sedikit. Hal itu seperti disampaikan oleh Fannany

Norrohmah (2008). Ia mencoba menjadikan Upah Minimum Regional (UMR)

sebagai indikator. Disini UMR menjadi ukurannya dalam menilai gaji yang

sedikit tetapi relatif cukup.

memenuhi UMR kali ya, hehehe 371

Ada pun pada Dian Erika (2008), ia lebih melihat sisi gaji tergantung

pada instansi dimana wartawan itu bekerja. Namun pada prinsipnya masih

sejalan dengan pemikiran Informan lainnya bahwa gaji jurnalis itu sedikit:

sebenare gak tahu spesifikasinya cuman kayaknya yo gak


mulyo to mbak tergantung ininya, instansinya. Jadi kadang ada yang
pesen kalau misalnya jadi wartawan pilihlah media yang bisa
menggajimu dengan seimbang kaya gitu. Ada teman jadi potografer,
gajinya itu 1 juta berapa gitu/bulan, pasnya gak tahu.372

Dan selanjutnya Twinika S.F (2008) mencoba membandingkan

pekerjaan wartawan dengan pekerjaan kantoran untuk memperkuat

penilaiannya bahwa gaji wartawan rendah.

kog gajinya maaf bisa di


bilang sedikit dibandingkan kerja yang di kantor meskipun dia jadi
373

gak gedhe gak pernah lihat juga kan, orang


kaya gara-gara jadi wartawan, hehehe.374

371
Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011
372
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
373
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

222

karena kemarin yang aku rasakan adalah


ketika menjadi kontributor itu kan ketika kamu bekerja keras, maka
akan ada hasil yang dianggap setimpal sama kantor lah
emang beda media mungkin beda ya mbak, kalau aku ngrasa untuk
menghargai pekerjaan jurnalis yang bertanggung jawab pada orang
banyak itu kurang.375

Profesi sebagia jurnalis khususnya sebagai pewarta tulis dinilai sebagai

pekerjaan yang kurang menghasilkan. Sebagai pekerjaan berbasis idealisme,

pekerjaan ini telah disadari sebagai pekerjaan yang tak mudah untuk

menjadikan orang kaya.

Pekerjaan Berat

Pola kerja jurnalis dinilai sebagai pekerjaan yang berat penuh resiko.

Hal itu seperti disampaikan oleh Ambar Kusuma Ningrum (2010), Ia

membayangkan pekerjaan jurnalis sebagai pekerjaan yang keras karena

menguras tenaga dan pikiran.

Reporter, reporter itu cari berita, kesana-kesini, kepanasan terus,


kalau gak dapat berita nanti dimarahin sama atasannya, kalau
beritanya standart dimarahin lagi sama atasannya, ini, apa ya, penuh
resiko gitu lah kerjanya. Kan lihat aja di TV-TV kan, reporter yang
ditampolin sama massa lah, yang di dorong sama polisi lah, belum lagi
masalah Metro (MetroTV) waktu itu yang ditawan lah.376

Apa yang disampaikan oleh Ambar di atas baru menyinggung pola

kerja seorang wartawan khususnya reporter dalam kondisi-kondisi umum

yang dapat terjadi sehari-hari. Ada pun pada Triendah Febriani (2009) secara

374
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011
375
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011
376
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

223

spesifik ia telah membayangkan beratnya pola kerja seorang wartawan dalam

penugasan di wilayah konflik.

kalau masalah gaji ya tetep nerima lah, tapi


susah gitu lho cari orang yang yang mau dikirim ke tempat-tempat
bencana atau yang lagi perang padahal itu kan resikonya tinggi
banget 377.

Dari kedua kutipan wawancara di atas, beratnya pekerjaan sebagai

jurnalis terbagi dalam dua kategori. Pertama, iklim kerja di media sendiri

sudah cukup berat, disini diilustrasikan pada hubungan atasan dan bawahan

dalam jabatan struktural. Sedangkan kategori kedua terkait dengan ladang

kerja jurnalis yang tak jarang akan berhadapan dengan konflik.

Terkait dengan hubungan dalam jabatan struktural, penugasan

peliputan memang membutuhkan tanggung jawab yang besar dalam

menjalankannya. Terlambat atau salah dalam mengambil sudut pandang

pemberitaan akan berakibat fatal maka seorang jurnalis harus benar-benar jeli

dalam bertugas.

2.2. Jurnalis berdasarkan jenis media

Jurnalis Surat Kabar

Secara umum, profesi sebagai jurnalis di surat kabar dinilai memiliki

prestis yang lebih tinggi daripada jurnalis di media lainnya. Penempatan

jurnalis surat kabar di posisi tinggi ini terkait dengan karakteristik surat kabar

itu sendiri.

377
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

224

Pertama, surat kabar dianggap sebagai pekerjaan yang membutuhkan

spesifikasi lebih ketat dalam memilih jurnalis terkait hal kemampuan

intelektual. Hal itu seperti disampaikan oleh Dian Erika (2008) berikut:

kayaknya orang kerja di media cetak walaupun


kita gak ngerti apa-apa tapi terpacu buat ngerti apa-apa. Kayak misalnya
mengkaji masalah atau mungkin pemikiran apa atau mungkin info apa,
terpacu istilahnya untuk lebih aware begitu.378

Kedua, pola kerja jurnalis surat kabar dinilai lebih berat karena

deadline yang lebih ketat. Hal itu seperti diutarakan oleh Dhyanayu Lutfia

Almitra (2008) berikut:

Wartawan itu terutama wartawan media massa deadline nya ketoke tick
banget i lho. Dalam satu hari itu harus ngejar berapa orang,berapa
berita yang harus,ya mondar-mandir sana-sini,kayake ki kok ya rodo
kabotan. Nek buat aku sendiri lho ya, Yo mungkin aku pikirkan dulu
lah.379

Sejauh ini, surat kabar dinilai sebagai media yang paling ketat dalam

hal penulisan dan juga deadline. Kedua hal itu membuat jurnalis surat kabar

dinilai sebagai pekerjaan yang lebih berat dari jurnalis di media lain.

Secara umum, jurnalis surat kabar dinilai negatif. Hal itu terlihat dari

kurang antusiasnya mereka mengenai profesi sebagai jurnalis ini.

kalo cetak dia terbit tiap hari,


deadlinenya tiap hari. Kalau cetak itu di bawah tekanan sekali, 24 jam
harus siap gitu sih, saya tidak suka, hehe 380

378
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
379
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
380
Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

225

engen jadi wartawan iya, di cetak, tapi mungkin e, yang di


sekitar Solo-Solo aja. Mungkin karena, geografisnya gitu, gak tahu, gak
ngerti lokasi kerjanya gitu kayake gimana gitu ya.381

Dari kedua pernyataan di atas, pekerjaan sebagai jurnalis surat kabar

dinilai berat karena sifat kerjanya yang lebih individual dan juga dengan

deadline yang lebih ketat. Namun pemikiran yang berbeda coba disampaikan

oleh Ema Yuliani Utami dan Putu Ayu Gayatri berikut:

Aku suka atau paling tertariknya cetak ya


mbak
sama kantor berita kayake lebih ada nama, ketika kowe ngomong, kamu
dari Solopos dengan dari Antara, Antara gak dikenal, hehehe. Jadi
mungkin lebih ini sih, ke masalah prestige, identitasnya kantor berita itu
belum gitu banyak orang tahu. Lagian kalau di cetak juga ada tantangan
untuk belajar terus, soalnya kan kalo setiap hari mencari berita,
berproses, ya aka nada masukan dan kritik setiap hari yang menantang
ya382

paling suka cetak nulis dan fokus gitu, aku kan


suka sosial budaya atau pendidikan. Jadi mungkin yang paling cocok di
cetak.383

Untuk Ayu, ia menilai positif jurnalis surat kabar karena ia merasa

tertarik dengan dunia tulis menulis dimana surat kabar dinilai menjadi media

yang secara total dapat mewadahi hasratnya untuk menulis. Adapun pada

Ema, penilaian positifnya pada jurnalis surat kabar terkait popularitas media

tersebut dimana dalam kehidupan sehari-hari surat kabar adalah media yang

381
Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011
382
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011
383
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

226

paling akrab dengan masyarakat. Menurutnya menjadi kebanggaan tersendiri

saat ia bisa bekerja di institusi yang sudah dikenal luas oleh masyarakat.

Jurnalis Majalah

Jurnalis majalah mendapat penilaian yang lebih positif daripada

jurnalis suratkabar. Berikut seperti diungkapkan oleh Rahajeng Kartikarani:

kemarin kan aku magangnya di majalah ya mbak, kalo yang


dari aku lihat itu di majalah mungkin ini sih mbak, ya mungkin gak
seketat Koran harian yang deadline setiap hari kaya gitu
kan ini mbak, setiap minggu edisi itu ada topik, jadinya akan lebih

cetak soalnya, kerja di bawah tekanan dan harus kerja full seminggu
Mungkin majalah yang lebih pas buatku
karena apa ya, lebih fun aja sih mbak, deadlinenya juga lebih longgar.384

Penilaian Rahajeng dalam hal ini dilatarbelakangi oleh

pengalamannya mengikuti magang di majalah. Ia merasa pekerjaan jurnalis

majalah jauh lebih ringan daripada suratkabar. Jangka waktu penerbitan

yang lebih lama menjadi dasar kenapa pekerjaan di majalah dianggap lebih

ringan.

Jurnalis Kantor Berita

Penilaian profesi sebagai jurnalis di kantor berita dinilai positif

terkait jenjang kepangkatan yang lebih jelas dan lebih menjamin untuk

ditekuni dalam jangka panjang. Hal itu disampaikan oleh Ema Yuliani Utami

berikut:

384
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

227

gak mungkin kita selamanya akan ada di lapangan ya


mbak, maksudnya, ya apa nantinya saya akan menikah dan punya anak
dan mendidik mereka, maksude ya apa ya, gak tahu kenapa mungkin
nanti ketika jadi wartawan dan ketika di kantor berita itu nanti kan ada
jenjang kariernya. Gak tahu jangka panjangnya, pengen jadi redaktur
misalnya, jadi kita gak harus kerja di lapangan dan kita punya waktu di
385

Dari pernyataan Ema, termuat harapan bahwa ia ingin berkarir

sebagai jurnalis. Namun masih ada kekhawatiran tentang fase hidup

berumahtangga yang kedepannya akan ia hadapi. Terkait dengan proyeksi

hidup masa depan tersebut, ia berharap dapat menyeimbangkan karir dan

keluarga. Dan berdasarkan pengetahuan serta pengalamannya, bekerja di

kantor berita dianggap sebagai jalan keluar. Kantor berita dianggap lebih

aman baik itu dilihat dari jejang kepangkatan dan ujungnya adalah status

sebagai pegawai negeri yang dianggap lebih aman daripada pegawai swasta

atau kontrak.

Jurnalis Televisi

Jurnalis televisi mendapat penilaian yang positif karena sifat kerjanya

yang bekerja dalam tim dan juga jam kerja yang dinilai lebih longgar.

tim, jadi ada


temannya.386

Ritme kerjanya menurutku TV lebih teratur, terjadwal gitu lho, kalau


dengan cara kerja yang 24 jam harus siap kaya gitu kayake harus ada
387
pertimbangan khusus sih,

385
Hasil wawancara mendalam dengan Ema Yuliani Utami pada hari Rabu, 23 Februari 2011
386
Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011
387
Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

228

Baik Veronika maupun Agnes keduanya pernah mengikuti magang di

stasiun televisi. Mereka merasa nyaman dengan pekerjaan tim dan juga lebih

terjadwal seperti yang terjadi di televisi.

3. Pengaruh Significant Others

Terbentuknya persepsi selain dari dalam diri sendiri ternyata

dipengaruhi juga oleh beberapa pihak di sekitar Informan. Significant others

justru membuat para Informan merasa ngeri untuk masuk lebih jauh di media

massa.Terdapat dua pihak yang menjadi figur significant others yaitu orangtua

dan jurnalis.

a. Orangtua

Significant others yang pertama dan paling dominan dalam kondisi ini

adalah orangtua. Dari penuturan para Informan, hampir setiap orangtua

memberi penilaian negatif dan juga melarang para putrinya untuk menjadi

jurnalis. Alasan persepsi yang muncul dari para orangtua antara lain:

Jurnalis tidak menjanjikan kesejahteraan

Minat Annisa Fitri (2010) untuk menjadi jurnalis terbentur oleh

penilaian kedua orangtuanya yang kurang yakin akan kesejahteraan

pekerjaan sebagai fotografer jurnalistik.

amu ngapain sih motret


emang motret bisa everlasting sampai kamu tua. Karena mama
papaku itu nganggep foto itu lebih gampang dijiplak daripada
lukisan gitu lho, udah gitu kita kan cuma mengabadikan sesuatu,

Ada pun ia lebih disarankan untuk menjadi dosen.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

229

Pertimbangannya kalo dosen kan waktunya lebih luang, duitnya


lebih banyak dari foto jurnalis, terus kerjaan lebih enak, jadi ya
memang mempertimbangkan realistisnya ke depan gitu lho. Kamu
mau jadi foto jurnalis jempalitan cari duit, kalo jadi dosen kamu
punya ilmu, masuk kelas, dingin, ketemu mahasiswa, ngasih ujian,
dapat duit, hehehe.388

Dalam hal ini, selain sisi kesejahteraan secara finansial, pola kerja

sebagai dosen dinilai jauh lebih ringan daripada sebagai jurnalis.

Orangtua Annisa mencoba mengarahkan putrinya untuk

mempertimbangankan pilihannya sebagai jurnalis secara lebih matang.

Jurnalis kurang pantas untuk perempuan

Dalam kondisi ini, secara umum para orangtua menilai bahwa

jurnalis lebih pantas untuk laki-laki karena pekerjaan ini berat dalam

beberapa aspek. Penilaian tersebut berujung pada pelarangan anak

menjadi jurnalis. Pelarangan itu terbentang dari yang tanpa rasionalitas

sampai dengan yang rasional.

Pelarangan yang tanpa didukung oleh rasionalitas yang kuat

dialami oleh Ambar Kusuma Ningrum (2010) dan Aviana Cahyaningsih

(2008).

mama gak setuju saya jadi reporter, gak boleh, pokoknya gak
boleh. Tapi adek pengen jadi pembaca berita mah, kata mama,
pembaca berita kan awalnya reporter dulu dek.389

Yaampun, cewek, wartawan, kowe mengko masa bengi-bengi


ditelp enek kebakaran terus kowe lunga, terus bar kuwi mengko
jam kerjane yo ra jelas, gini gini kaya gitu lah.390

388
Hasil wawancara mendalam dengan Annisa Fitri pada hari Kamis, 2 Maret 2011
389
Hasil wawancara mendalam dengan Ambar Kusuma Ningrum pada hari Kamis 10 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

230

Ada pun kondisi yang lebih rasional dialami oleh Triendah

Febriani (2009) karena orangtuanya pernah memiliki pengelaman

mengamati pekerjaan jurnalis secara langsung.

yang kost itu, gimana kerjanya, malam harus keluar, jadinya agak
khawatir juga. Terus cewek juga. Masa ta mau keluar malam-
391

Kekhawatiran yang sama dialami oleh orangtua Fannany

Norrohmah (2008), Twinika S.F (2008) dan Destriana K (2008)

Menganjurkannya itu tadi, kerja kantoran itu tadi, udah kamu itu
diem aja, kalau wartawan kan pencilakan kemana-kemana, sampai
malam, sampai apa gitu kan. Malah kemarin sempat nambahi
kemarin kan ada kenalan juga, wartawan yang datang kerumah,
cewek mbak, kan kaya gitu. Terus cerita-cerita gitu, cerita kalau ya
kemarin liputan bola-bali nunggu di Ngruki itu dari jam 2 malam
sampai pagi. Yaudah, bapak ibu, apalagi ibu kan, jadi udah gak
usah jadi wartawan gitu-gitu-gitu. Gitulah, pokonya
menganjurkannya ya perempuan diem aja di kantor 392

gak usah
kerja yang susah-susah di kejar deadline gitu banget. Boleh jadi itu
apa namanya,jurnalis,misalnya di bagian editing atau apa tapi kalau
kerja di praktek lapangannya kegiatan aku kurang begitu
maksimal. 393

ka ya,
tapi lebih ntar gimana kasian kerja di lapangan gitu. Ya mungkin
karena dia lihat di TV kerjanya kaya gitu, apa, ketemu sama
pejabat,apa, nyodorin alat perekam, itu-itu kerjanya, kaya gitu,
390
Hasil wawancara mendalam dengan Aviana Cahyaningsih pada hari Rabu, 11 Mei 2011
391
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011
392
Hasil wawancara mendalam dengan Fannany Norohmah pada hari Senin, 16 Mei 2011
393
Hasil wawancara mendalam dengan Twinika Sativa pada hari Kamis, 12 Mei 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

231

cewek, terus paling kerja sampai malam gitu-gitu kan. Ibu ya lebih
ke ibu, udah kerjanya di kantor aja, apalagi nanti apalagi kalau
udah punya anak. Masa anakmu masih kecil-kecil gitu mbok
tinggal kemana-mana nyari berita kaya gitu.394

Dalam kondisi ini, pekerjaan sebagai jurnalis tidak dianjurkan

oleh para orangtua karena jam kerja yang tidak teratur. Secara tidak

langsung, para orangtua menganut keyakinan bahwa perempuan

semestinya mencari pekerjaan yang memiliki jam kerja jelas dan juga

tidak menyita waktu terlalu banyak. Perempuan diantaranya dianggap

tabu jika keluar malam hari apalagi untuk bekerja. Secara konkrit,

pekerjaan yang dianjurkan oleh para orangtua yaitu pekerjaan kantoran.

Perempuan lebih pantas jadi Pegawai Kantoran

Seperti telah dibahas pada point di depan, jurnalis sebagai

lapangan dinilai kurang tepat untuk perempun. Sebaliknya pekerjaan

kantoran dinilai menjadi pekerjaan yang tepat. Secara umum, pekerjaan

kantoran yang disarankan para orangtua adalah untuk menjadi PNS.

Hal itu seperti dialami oleh Triendah Febriani (2009), Fauziah

Nurlina (2010) dan Dhyanayu Lutfia Almitra (2008).

Jadi PNS mbak, tapi akunya yang gak minat. Dulu ibu pernah
nyaranin jadi guru aja tinggal duduk, terus ngajar, kasih PR
(Pekerjaan Rumah), udah selesai Kalau orangtua pesannya, cari
kerja yang bisa bikin seneng, santai, rileks, tapi jangan sampai
lupa kondisi tubuh gitu395

394
Hasil wawancara mendalam dengan Destriana K. pada hari Senin, 16 Mei 2011
395
Hasil wawancara mendalam dengan Triendah Febriani pada hari Senin, 21 Maret 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

232

kalau PNS kan lebih tertata


gitu lho waktunya. Terus tar masih bisa kuliah, masih ada waktu
sabtu minggu buat kuliah. Waktunya lebih tertata gitu. Gajinya kan
PNS kan lebih
menjamin aja, lagian kita cewek, jadi kalau wartawan itu, apa
namanya, nanti capek gitu.396

Jadi PNS, Asal PNS lah, kamu PNS wae malah penak, gari
lungguh, nampa gaji tiap bulan gak perlu rekasa. Kalo orangtua
menginginkannya untuk menjadi pegawai negeri. Katanya kalau
cewek itu lebih aman disitu. Aman dalam artian cewek bisa kerja
jadi pegawai negeri gajinya cukup, terus bisa ngurusin keluarga
gitu sih..397

Untuk beberapa orangtua, saran mereka kepada putrinya untuk

menjadi pekerja kantoran berlatarbelakang keingin agar mereka dapat

meneruskan pekerjaannya. Hal itu seperti dialami oleh Agnes Amanda

(2007) dan Rahajeng Kartikarani (2007) berikut:

Kalau meruntut ke background bapak ibu yang PNS, guru


kerja apa aja gak papa, tapi pernah diskusi sama bapak, bapak
pengennya ya standart, PNS. Bapak sih usulnya jadi dosen aja
gitu. Mungkin pertimbangannya kan soal gaji, gaji tetap. Terus kalau
dosen itu kalau dipandang orang juga pintar, gitu. Jadi kamu boleh
kerja apa aja yang penting ada pegangan pasti.398

Karena background orangtua itu kerja di bank, jadi mereka juga


punya kepenginan kalau aku bisa kerja di bank399

396
Hasil wawancara mendalam dengan Fauziah Nurlina pada hari Rabu, 23 Maret 2011
397
Hasil wawancara mendalam dengan Dyanayu Lutfi Almitra pada hari Jumat, 13 Mei 2011
398
Hasil wawancara mendalam dengan Agnes Amanda pada hari Rabu, 23 Februari 2011
399
Hasil wawancara mendalam dengan Rahajeng Kartikarani pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

233

Ungkapan yang lebih ekstrim dialami oleh Dian Erika (2008).

Menurut orangtuanya, seyogyanya ia memilih pekerjaannya yang normal.

Dalam kondisi ini, jurnalis dinilai sebagai pekerjaan yang tidak normal.

disaranin kenapa enggak pekerjaan-pekerjaan yang normal-


normal saja kaya misalnya pegawai, pegawai bank, guru kaya gitu
dan semacam yang lain.400

Lokasi kerja dekat dengan orangtua

Orangtua dari Putu Ayu Gayatri (2009) mencoba membahasakan

ketidaksetujuannya jika putrinya akan menjadi jurnalis dalam topik

tempat kerja.

kerjanya dimana gak masaah, Cuma geografisnya


orangtua menyarankan aku gak boleh kerja di Jakarta. Karena
katanya waktu bakal habis di jalan, orang-orangnya disana kan
gitu. Pengennya sih aku kerja di Bali entah ngapain. Nah, jadi
misalnya akan kerja di Bali, kalau jadi wartawan ya mungkin jadi
waratwan di Bali itu, atau kerja di hotel, kan Bali yang bagus
hotel.401

b. Jurnalis

Selain dari pihak orangtua, stereotype diberikan pula oleh para

jurnalis. Hal itu seperti dialami oleh Putu Ayu Gayatri (2007) saat ia magang

sebagai pewarta di harian Suara Merdeka tahun 2009.

kamu kenapa sih


pengen jadi wartawan, banyak banget yang ngomong gitu mbak.
Ngapain lah, janganlah jadi wartawan. Bahkan wartawannya sendiri itu

400
Hasil wawancara mendalam dengan Dian Erika pada hari Minggu, 8 Mei 2011
401
Hasil wawancara mendalam dengan pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

234

ngomong ke aku, ngapain daftar magang jadi wartawan, tar jadi jelek
lho, tar jadi item gini-gini gini, kumal, jadi jelek gitu pokoknya.402

Pengalaman Ayu menyiratkan adanya rasa sanksi pada wartawan saat

ada seorang perempuan mencoba masuk dalam dunia media. Perempuan

mereka pandang sebagai makhluk pesolek dan menurut mereka media tidak

tepat bagi mereka.

Pengalaman yang berbeda di alami oleh Veronika Juwita Hapsari

(2007). Sama-sama dalam pengalaman selama magang, namun ia merasakan

adanya pembedaan pekerjaan yang diberikan antara perempuan dan laki-laki.

Jadi disana itu cewek kayaknya lebih diistimewakan , jadi dikasih


kerjanya kaya yang ringan-ringan aja, jadi apa, disana
mengoperasikan kaya audiomixer, terus edit script. Untuk pegang
kamera disana susah, em, bukan susah sih, lebih seringnya kalo
kamera itu yang pegang cowok, tapi sebenarnya yang cewek juga punya
kesempatan sih buat pegang alat.403

Dari pernyataan Veronika di atas, perempuan dinilai kurang menguasai

hal-hal teknis dan juga secara fisik lemah sehingga mendapat tugas yang

relatif lebih ringan dari laki-laki

402
Hasil wawancara mendalam dengan Putu Ayu Gayatri pada hari Rabu, 23 Februari 2011
403
Hasil wawancara mendalam dengan Veronika Juwita Hapsari pada hari Rabu, 23 Februari 2011

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

BAB IV

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari serangkaian analisa data pada Bab III dapat ditarik kesimpulan sebagai

berikut:

1. Persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS

terhadap profesi jurnalis

Persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS

terhadap profesi jurnalis terdiri dari dua tipe yaitu tipe idealistis dan tipe

rasionalistis.

Persepsi idealistis melihat jurnalis sebagai profesi ideal. Menurut tipe ini,

jurnalis adalah profesi yang menjanjikan beragam kesenangan seperti: jalan-

jalan, banyak teman, dan menambah wawasan. Disamping itu jurnalis dilihat

pula sebagai pekerjaan mulia yang dicontohkan dengan peliputan di wilayah

konflik. Jurnalis surat kabar dianggap sebagai bentuk pekerjaan jurnalis yang

paling ideal. Ada kesadaran bahwa jurnalis surat kabar memiliki ritme kerja yang

lebih ketat, namun mereka justru tertarik pada hal itu dan membayangkan akan

sangat bangga jika bisa menjadi seorang jurnalis surat kabar. Adapun jika dilihat

berdasarkan latarbelakang masa studi, persepsi tipe ini muncul pada mahasiswa

semester awal.

235
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

236

Selanjutnya, persepsi realistis yaitu persepsi terhadap profesi jurnalis

yang didasari oleh fakta-fakta yang lebih realistis. Muatan persepsi tidak hanya

melulu soal suka atau tidak suka melainkan mampu atau tidak mampu. Ada

proses berpikir reflektif dibalik munculnya persepsi realistis ini. Format kerja

sebagai kerja lapangan, kesempatan bertemu dengan banyak orang dan juga

kesempatan mengabdi bagi masyarakat masih menjadi topik yang mewarnai tipe

ini. Bedanya, persepsi ini sudah lebih jelas dalam menggambarkan profesi

jurnalis. Jenis profesi jurnalis yang diaggap ideal bagi perempuan yaitu jurnalis

televisi dan majalah. Pertimbangannya adalah faktor jam kerja dan keamanan

yang lebihy terjamin. Jurnalis surat kabar tidak lagi disukai. Jika dilihat

berdasarkan latar belakang masa studi, persepsi tipe ini muncul pada mahasiswi

semester tengah dan akhir.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi mahasiswi S-1 Program Studi

Ilmu Komunikasi FISIP UNS terhadap profesi jurnalis

Persepsi mahasiswi S-1 Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNS

terhadap profesi jurnalis baik itu tipe idealistis maupun realistis pada prinsipnya

sama-sama dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor pesan (jurnalis), penerima

(perempuan) dan faktor stuasional. Hanya saja pada masing-masing tipe tersebut

terdapat kecenderungan faktor dominan yang berbeda.

Persepsi Idealistis

Persepsi tipe idealistis didominasi oleh pengaruh dari faktor pesan

dan personal. Sebagaimana telah disampaikan di awal bahwa persepsi ini

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

237

muncul pada masa awal kuliah, munculnya persepsi masih berada pada

suasana euphoria setelah berhasil diterima di jurusan Ilmu Komunikasi.

Mahasiswi Ilmu Komunikasi menyadari bahwa mereka belajar di lembaga

pendidikan yang salah satu tujuannya yaitu mencetak praktisi di bidang

media. Idealisme untuk memiliki pekerjaan sesuai disiplin ilmu telah

mendorong mahasiswi semester awal merancang karir sebagai jurnalis.

Pengetahuan Informan mengenai pendidikan Ilmu Komunikasi dan profesi

jurnalis masih sangat terbatas sehingga persepsi yang muncul pun belum

akurat sebatas pengetahuan mereka.

Dalam kondisi ini media massa cukup berpengaruh dalam

pembentukan persepsi. Media ibarat aquarium. Secara tidak langsung media

telah menjadi objek observasi para Informan untuk memahami dan menilai

profesi sebagai jurnalis. Media tidak memiliki maksud untuk mempengaruhi

persepsi mahasiswi mengenai profesi sebagai jurnalis, namun kehadiran

mereka secara tidak langsung telah menjadi daya tarik bagi para Informan.

Persepsi Realistis

Pada tipe realistis, terbentuknya persepsi sangat dipengaruhi oleh

faktor personal dan situasional. Mahsiswi masih memiliki ketertarikan untuk

menjadi jurnalis, namun dibalik ketertarikan itu terselip keraguan apakah

jurnalis sungguh-sungguh pantas untuk dirinya yang beridentitas seks

sebagai perempuan.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

238

Keraguan itu muncul karena pengalaman belajar dan

mempraktekkannya jurnalistik secara langsung. Hal itu ditambah lagi dengan

pengalaman melaksanakan magang di media sehingga gambaran konkrit

praktek kerja jurnalis semakin jelas. Bagi yang serius ingin menjadi jurnalis

mereka dibantu untuk mendefinisikan ulang media apa yang mereka pilih.

Namun bagi yang kurang berminat ada yang memilih mundur karena merasa

tidak yakin dapat bertahan.

Seperti halnya yang terjadi pada mahasiswi semester tengah, konsep

femininitas mulai aktif pada mahasiswi semester akhir. Bahkan untuk

kelompok ini jauh lebih serius. Mereka semakin dekat dengan kelulusan,

dunia kerja dan rencana pernikahan. Pernikahan menjadi agenda mendesak

yang perlu untuk mereka pikirkan. Jurnalis dinilai kurang sejalan dengan

beran ibu rumah tangga yang mereka anggap mutlak sebagai tugas

perempuan.

Significant others menjadi manifestasi budaya patriarkhi yang

merongrong mahasiswi untuk melepas mimpi menjadi jurnalis. Saran-saran

mereka membuat persepsi mengenai jurnalis semakin negatif. Sosok ayah,

ibu menjadi peletak nilai-nilai femininitas bagi perempuan. Sedangkan

adanya stereotipe jurnalis laki-laki bagi para perempuan yang akan

berprofesi sebagai jurnalis mewakili iklim media yang maskulin. Significant

others telah berhasil mengurunkan niat perempuan untuk menyeberang

terlampau jauh ke ranah publik.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

239

Secara umum, baik itu tipe idealistis maupun realistis, terjadinya persepsi

menunjukkan adanya proses pengamatan dan pembelajaran secara terus menerus.

Persepsi yang muncul pada awal masa kuliah berbeda dengan persepsi yang muncul

pada pertengahan masa kuliah dan akhir masa kuliah. Pengalaman dan pengetahuan

membuka pikiran para Informan untuk memperbaiki penilaian mereka mengenai

profesi jurnalis. Idealisme yang mereka bangun perlahan mengalami pergeseran

karena adanya harapan yang ternyata kurang sesuai dengan pola kerja jurnalis.

Disamping pergulatan secara kognitif, pergeseran persepsi terjadi berkat

pengaruh pihak-pihak lain yang secara emosional dekat seperti orangtua, guru dan

teman. Masukan dari para significant others itu justru semakin menguatkan mereka

untuk melihat jurnalis secara lebih rasional.

Penulis melihat, fenomena ini sesuai dengan teori pembelajaran sosial yang

disampaikan oleh Charles Osgood dimana media massa sebagai agen sosialisasi yang

pertama dalam komunikasi di samping keluarga, guru di sekolah dan sahabat karib.

Menurut teori ini, media massa menjadi objek imitasi dan identifikasi bagi setiap

orang. Imitasi adalah replika atau peniruan secara langsung dari perilaku yang

diamati. Sedangkan identifikasi merupakan perilaku meniru yang bersifat khusus

dimana pengamat tidak meniru secara persis sama apa yang dilihatnya. Meskipun

lebih sulit untuk dilihat dan dipelajari, identifikasi dinilai memberikan pengaruh

terhadap perilaku individu.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

240

B. SARAN

Setelah Penulis melakukan analisa, maka Penulis dapat memberikan saran

sebagai berikut :

1. Bagi Perempuan yang berminat menjadi Jurnalis

Secara umum, budaya patriarkhi telah menjadi belenggu bagi

perempuan untuk menjadi jurnalis. Meskipun masyarakat mulai menerima

peran perempuan di pekerjaan ini, namun beberapa orangtua ada yang tidak

setuju jika anak perempuannya menjadi jurnalis. Alasannya berkaitan dengan

sisi keamanan dan kepantasan sebagai perempuan.

Jika perempuan sungguh-sungguh ingin menjadi jurnalis maka mereka

harus membekali diri dengan wawasan dan keterampilan yang memadai untuk

bisa terjun sebagai jurnalis. Di samping itu, perempuan perlu memiliki

memotivasi tinggi agar siap menghadapi segala tantangan sebagai jurnalis yang

identik dengan pekerjaan laki-laki. Alangkah lebih baik jika perempuan mampu

memberi pencerahan bagi praktek jurnalisme konvensional melalui pemikiran

jurnalisme berprespektif gender.

2. Bagi Pengajar Jurusan Ilmu Komunikasi

Dari temuan data di lapangan, jurusan Ilmu Komunikasi dipercaya oleh

para Informan dapat menghantarkan mereka menjadi jurnalis. Sayangnya,

proses yang mereka alami di jurusan Ilmu Komunikasi tak seperti yang mereka

bayangkan. Pendidikan profesi media dan kuliah kerja komunikasi bukannya

membuat mereka semakin siap menjadi jurnalis justru sebaliknya, mereka takut.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

241

Kiranya hasil penelitian ini menjadi perhatian para pengajar di Jurusan

Ilmu Komunikasi sebagai pijakan untuk meninjau kembali kurikulum yang

telah diterapkan di Jurusan Ilmu Komunikasi. Bagaimana pun juga salah satu

tujuan jurusan Ilmu Komunikasi adalah mencetak jurnalis. Jurusan Ilmu

Komunikasi seyogyanya tak hanya fokus pada pemberian materi jurnalistik

secara teori dan praktek. Lebih dari itu kiranya pengajar dapat memotivasi

mahasiswa supaya mengembangkan karir di industri media.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai