Anda di halaman 1dari 223

Sosialisasi Penggunaan Internet Sebagai Upaya

Penanaman Literasi Digital Bagi Remaja

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Syifa Aulia Ramadhanis


11181110000007

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH


JAKARTA

2022
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

Sosialisasi Penggunaan Internet Sebagai Upaya Penanaman Literasi Digital

Bagi Remaja

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu

persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya saya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 05 Desember 2022

Syifa Aulia Ramadhanis

i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Syifa Aulia Ramadhanis


NIM : 11181110000007
Program Studi : Sosiologi

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

Sosialisasi Penggunaan Internet Sebagai Upaya Penanaman Literasi Digital


Bagi Remaja

Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Jakarta, 05 Desember 2022

Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing

Dr. Cucu Nurhayati, M.Si. Dr. Ida Rosyidah, MA


NIP. 197609182003122003 NIP. 196306161990032002

ii
iii
ABSTRAK

Penelitian ini menganalisa sosialisasi penggunaan internet sebagai upaya


penanaman literasi digital bagi remaja. Tujuan penelitian ini untuk
mendeskripsikan pemahaman orang tua dalam penggunaan internet serta
menjelaskan dan menganalisis bentuk atau cara sosialisasi penggunaan internet
yang dilakukan orang tua. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan studi literatur seperti
buku, jurnal, dan artikel yang ada di internet. Teori yang digunakan adalah teori
sosialisasi yang dirumuskan oleh Roberta M. Berns. Subjek penelitian ini terdiri
dari agen sosialisasi yaitu orang tua dan target sosialisasi yaitu remaja.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum orang tua sudah mampu
memahami penggunaan internet yang dirasa efektif untuk dijalankan pada masing-
masing keluarganya, meskipun ditemukan keterbatasan yang disebabkan oleh
beberapa faktor. Kemudian, terdapat empat bentuk sosialisasi yang ditemukan pada
beberapa keluarga, yaitu sosialisasi afeksi, sosialisasi operan, sosialisasi observasi,
dan sosialisasi kognitif, yang mana keempat bentuk sosialisasi tersebut saling
berkaitan.
Kata Kunci: Sosialisasi, Keluarga, Internet, Literasi Digital

iv
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT

atas segala Rahmat dan Karunia-Nya yang telah diberikan, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sosialisasi Penggunaan Internet Sebagai

Upaya Penanaman Literasi Digital Bagi Remaja”. Shalawat serta salam semoga

selalu tercurah dan terlimpah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, para

sahabat, beserta keluarganya yang telah senantiasa memberikan petunjuk yang

benar dan menjadi teladan terbaik untuk umatnya.

Penulisan ini diajukan sebagai salah satu syarat dalam menempuh gelar

Sarjana Sosial pada Program Studi Sosiologi. Tidak bisa disangkal, penulisan ini

membutuhkan perjuangan yang keras, kesabaran, keuletan, kekonsistenan, dan

derai air mata yang selalu menemani penulis hingga akhir penyusunan ini. Maka

dari itu, penulis ingin berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada diri sendiri

yang mampu keluar dari zona nyaman. Berhasil melewati perjalanan yang berliku

nan menanjam. Jila lelah, istirahatlah sejenak. Kurangi ego dan gengsimu, tata

kembali impianmu, raih dan perjuangkanlah. Selalu ingat Allah SWT dimanapun

berada dan bagaimanapun kondisinya.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis juga menyadari bahwa

penulisan ini tidak terlepas dari dorongan, bimbingan, bantuan dan doa dari

berbagai pihak serta Ridho dari Allah SWT. Sehingga pada kesempatan ini, penulis

ingin mengucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya sebagai bentuk apresiasi

kepada:

v
1. Bapak Prof. Dr. Ali Munhanif, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik.

2. Ibu Dr. Ida Rosyidah, MA selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

bersedia mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan

bimbingan, masukan, serta motivasi kepada penulis selama penyusunan

skripsi ini.

3. Ibu Dr. Cucu Nurhayati, M.Si selaku Ketua Program Studi Sosiologi FISIP

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ibu Dr. Joharotul Jamilah, M.Si selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi

FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Dr. Hendro Prasetyo M.A. selaku Dosen Pembimbing Akademik.

6. Segenap Dosen Program Studi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang

telah senantiasa memberikan motivasi dan ilmu pengetahuan dengan baik

selama masa perkuliahan.

7. Orang tua yang sangat penulis cintai, Ayahanda Rubai Sarseh dan Ibunda

Hilda Fauzia yang tidak pernah lelah menguatkan penulis, memberikan

motivasi, doa dan dukungan baik moral maupun materil selama penyusunan

skripsi ini. Semoga ayah dan mama sehat selalu.

8. Saudara kandung dan kakak terbaik penulis, Fauzan Agustiar yang banyak

mengajarkan penulis tentang makna hidup, arti mimpi, menghibur penulis

dan selalu memberikan dukungan yang tiada henti.

vi
9. Para informan yang telah bersedia meluangkan waktunya kepada penulis.

Terima kasih telah membantu penulis dalam mengumpulkan data untuk

menyelesaikan skripsi ini.

10. Kintan Faldani, Fibria Indah, dan Lina Sofia, sahabat penulis sedari kecil

yang menjadi saksi hidup penulis, tempat berbagi cerita dan selalu menemani

penulis di kala suka maupun duka. Terima kasih sudah meyakinkan dan

mempercayai penulis untuk menyelesaikan skripsi ini, semoga persahabatan

kita tetap terjaga hingga masa tua nanti.

11. Sahabat Putih Abu-Abu, Jetrus. Novia Ridha Aulia, Atania Salsabila,

Fathimah Zahra Kamila, De Nada Majeny dan Laili Salma Lathifah yang

senantiasa memberikan doa dan motivasi kepada penulis. Semoga

pertemanan kita abadi seperti kepanjangan dari nama grup kita.

12. Tiara Shafira, Shifa Ramadinia, Hariansyah Ade, Helmy Akbar, dan Amira

Laila. Terima kasih atas doa, waktu, masukan, canda dan tawa yang kalian

berikan kepada penulis. Terima kasih sudah menemani penulis selama

menjalani masa perkuliahan. Tanpa kalian, masa perkuliahan penulis

mungkin akan terasa hambar. Tetap kawal zoom dua minggu sekali!

13. Teman-teman Sosiologi A Angkatan 2018, Kevina, Nirmala, Samsul, Daffa,

Ridho, Nanda, Wulan, Nabila, Dito dan teman-teman lainnya yang tidak bisa

penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih sudah menjadi teman yang baik

selama masa perkuliahan. Terutama untuk Andinda Azzahra, Wanda

Aprilianita, dan Alfira Nurjayanti yang tidak pernah lelah mendengar kisah

pasang-surut penulis, semoga kebahagiaan menyertai kalian.

vii
14. Grup No Name yang mendadak didekatkan karena intern, Hanifiya Ay Ninda

dan Alfiyyah Nurdin yang senantiasa menemani hari-hari penulis dalam

menyusun skripsi ini. Terima kasih atas waktu, canda, tawa, dukungan dan

pengalaman bersama yang tentunya tak akan penulis lupakan. Sehingga di

masa terpuruk, penulis bisa bangkit kembali untuk menyelesaikan skripsi ini

hingga akhir.

15. Grup Jalan-Jalan Ke Bogor, Anisa Melani dan Siti Rohmah yang didekatkan

karena satu kelompok penelitian mata kuliah Sosiologi Pendidikan. Terima

kasih atas suka dan duka, pembelajaran, waktu, dan dukungan yang kalian

berikan kepada penulis. Nanti di waktu luang, kita harus bertemu dan

berkumpul lagi ya!

Demikian ungkapan rasa terima kasih penulis sampaikan. Semoga semua

yang senantiasa membantu penulis selama proses penulisan skripsi ini mendapatkan

balasan kebaikan yang berlimpah dari Allah SWT. Semoga skripsi ini dapat

bermanfaat bagi pembacanya dan memberikan kontribusi untuk penelitian

selanjutnya.

Jakarta, 05 Desember 2022

Syifa Aulia Ramadhanis

viii
DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................................................... i


PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI .................................................................. ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... v
DAFTAR ISI..................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
A. Pernyataan Masalah ............................................................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian .......................................................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ................................................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 9
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................................... 10
F. Kerangka Teoritis.............................................................................................. 18
1. Definisi Konsep ................................................................................................ 18
2. Kajian Teori ...................................................................................................... 21
G. Metode Penelitian ............................................................................................. 27
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ....................................................................... 27
2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data........................................................ 28
3. Subjek Penelitian dan Penetapan Informan ...................................................... 30
4. Proses Penelitian ............................................................................................... 33
5. Teknik Analisis Data ........................................................................................ 36
H. Sistematika Penulisan ....................................................................................... 38
BAB II GAMBARAN UMUM ...................................................................................... 39
A. Trend Penggunaan Internet di Indonesia .......................................................... 39
B. Penggunaan Internet di Depok .......................................................................... 41
C. Perkembangan Literasi Digital di Indonesia ..................................................... 44
D. Relasi Orang Tua dan Remaja di Era Digital .................................................... 46
E. Karakteristik Generasi Z dalam Menggunakan Internet ................................... 48
BAB III TEMUAN DAN PEMBAHASAN ................................................................... 51

ix
A. Pemahaman Orang Tua Terkait Penggunaan Internet dan Urgensi Literasi Digital
Bagi Remaja .................................................................................................................. 52
A.1. Pemahaman Terkait Situs, Website atau Aplikasi yang Aman .......................... 58
A.2. Pemahaman Terkait Situs, Website atau Aplikasi yang Berbahaya di Internet . 62
A.3. Pemahaman Terkait Keamanan dalam Menggunakan Internet ......................... 64
A.4. Pemahaman Terkait Komitmen dalam Memahami Waktu Penggunaan Ponsel dan
Internet yang Tepat .................................................................................................... 67
A.5. Memberikan Pengawasan maupun Pengecekan ................................................ 69
A.6. Memberikan Pendampingan Digital .................................................................. 70
B. Sosialisasi Penggunaan Internet dalam Keluarga ............................................. 74
B.1. Affective of Socialization (Effect Emerges from Feeling) .................................. 75
B.2. Operant of Socialization (Effect Emerges from Acting)..................................... 81
B.3. Observational of Socialization (Effect Emerges from Imitating) ....................... 92
B.4. Cognitive of Socialization (Effect Emerges from Thinking)............................... 94
B.5. Keterkaitan Ke-Empat Bentuk Sosialisasi ....................................................... 100
BAB IV PENUTUP ....................................................................................................... 108
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 108
B. Saran ............................................................................................................... 110
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... xii
Lampiran ........................................................................................................................ xix

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Tabel Tinjauan Pustaka................................................................................ 14

Tabel 1.2. Tabel Waktu Wawancara Informan ........................................................... 29

Tabel 1.3. Tabel Klasifikasi Pemahaman Orang Tua Terkait Literasi Digital ......... 31

Tabel 1.4. Tabel Gambaran Umum Informan ............................................................. 32

Tabel 3.1. Tabel Pemahaman Orang Tua dalam Penggunaan Internet .................... 58

Tabel 3.2. Tabel Gambaran Bentuk Sosialisasi Penggunaan Internet (Berns) ....... 105

xi
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Proses globalisasi telah membawa kemajuan terhadap teknologi

informasi dan komunikasi yang terus berkembang semakin pesat dari tahun ke

tahun, membuat dunia semakin tidak terbatas yang berdampak munculnya ruang

disrupsi pada berbagai sektor dalam kehidupan manusia. Fenomena ini membuat

jutaan masyarakat tidak bisa terlepas dari elektronik, khususnya ponsel dan

internet yang didasari oleh manfaat yang dirasakan bagi sejumlah pengguna

internet yaitu kemudahan dalam mengakses informasi secara cepat dan mampu

terhubung dengan siapapun, kapanpun, tanpa batas jarak dan waktu. Seiring

dengan perkembangannya, tanpa sadar telah membawa peradaban sekarang

menuju masyarakat modern yang mau tidak mau harus akrab dengan digital. Di

era yang serba digital, tanpa disadari telah mendorong generasi sekarang

memasuki dunia literasi digital (Indriani dan Yemmardotillah 2021).

Literasi digital merupakan salah satu agenda kegiatan yang sedang

digiatkan oleh Pemerintah, di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan

Informatika (Kominfo) yang bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan (Kemendikbud) untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia

dan pemahaman literasi digital agar masyarakat dapat menggunakan media

sosial secara benar, bijak dan bermartabat selaras dengan prinsip literasi digital

(Kurnia dan Astuti 2017). Oleh karena itu, literasi digital sudah bukan hal yang

1
asing lagi di mata publik. Kemampuan literasi digital penting dibutuhkan dalam

berpartisipasi di dunia modern saat ini (Amanda 2021). Sebab di era digital,

setiap individu diharapkan mampu bertanggung jawab dan beretika yang baik

dalam menggunakan internet ketika berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya.

Melalui laporan Sensus Penduduk tahun 2020 yang dirilis oleh Badan

Pusat Statistik (BPS) menunjukkan hasil bahwa “komposisi penduduk Indonesia

sebagian besar berasal dari Generasi Z/Gen Z (27,94%) yaitu generasi yang lahir

pada tahun 1997 sampai dengan 2012” (Rakhmah 2021). Karakteristik Gen Z di

antaranya adalah terbiasa dalam menggunakan ponsel dan internet, umumnya

mempunyai orang tua dari Generasi X, dan mempunyai pemikiran yang terbuka

(Aeni 2022). Akan tetapi, Gen Z juga mempunyai kelemahan, di antaranya

seperti lebih individualis dan terlalu bergantung pada teknologi (Aeni 2022).

Kemudian, menurut survei penetrasi internet dan perilaku pengguna internet

yang dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun

2022 menunjukkan bahwa berdasarkan usia, kelompok usia 13-18 tahun

merupakan kelompok pengakses internet terbanyak sebesar 99,16%, selanjutnya

disusul dengan kelompok usia 19-34 tahun sebesar 98,64% persen, kelompok

usia 35-54 sebesar 87,3%, kelompok usia 5-12 tahun sebesar 62,43%, dan

kelompok usia > 55 tahun sebesar 51,73% (Pahlevi 2022). Dengan demikian

dapat diasumsikan, saat ini kelompok pengguna internet terbesar berada di

kelompok usia 13-18 tahun.

Seiring dengan melesatnya kemajuan teknologi dan pengguna internet

tersebut, masyarakat sebagai sasaran utama dalam penyediaan informasi

2
tentunya sangat diuntungkan dalam perkembangan teknologi komunikasi saat

ini (Munawar et al. 2019). Terlihat, kini berbagai perusahaan berbasis media

digital sedang gencar mempublikasikan informasi (Munawar et al. 2019). Hal

ini ditandai dengan beralihnya bahan bacaan fisik menjadi digital, namun di lain

sisi kurang diimbangi dengan edukasi dalam mengolah dan menerima suatu

informasi.

Hal ini menandakan bahwa kemampuan literasi digital yang baik akan

berdampak baik dan positif terhadap informasi yang diperoleh dan begitupun

sebaliknya (Munawar et al. 2019). Sementara literasi adalah bekal untuk

kehidupan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya sebagaimana harapan serta

penerus bangsa. Sehingga di era digital ini perlu adanya sosialisasi penggunaan

internet yang dilakukan oleh agen sosialisasi kepada kelompok remaja yang saat

ini menempati populasi terbanyak di Indonesia maupun dalam penggunaan

internet (Kurnia et al. 2020).

Keluarga sebagai salah satu agen sosial merupakan unit sosial terkecil

yang meletakkan fondasi primer bagi tumbuh kembangnya anak. Keluarga

terbentuk dari pernikahan yang sah secara agama, adat, dan pemerintah. Menurut

Goode (2004) keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terbagi

menjadi dua tipe, yaitu keluarga batih yang merupakan satuan keluarga terkecil

yang terdiri atas ayah, ibu, serta anak (nuclear family) dan keluarga luas

(extended family). Sumaatmadja menegaskan “di dalam keluarga terjadi proses

“sosialisasi” yaitu proses pengintegrasian individu ke dalam suatu kelompok

sebagai anggota yang dapat memberikan landasan sebagai makhluk sosial”

3
(Purwaningsih 2010: 47). Menurut Iver dan Page (1952) ciri-ciri umum keluarga,

di antaranya adalah (1) hubungan yang didasari oleh perkawinan, (2) terdapat

suatu sistem tata-nama, termasuk bentuk perhitungan garis keturunan, (3)

mempunyai ketentuan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk

mempunyai keturunan dan membesarkan anak, dan (4) mempunyai tempat

tinggal bersama.

Keluarga sebagai lembaga sosial mempunyai fungsi untuk mengawasi,

melindungi, memberikan sosialisasi dan menjaga semua anggota keluarganya

tanpa terkecuali (Goode 2004). Setiap anggota keluarga mempunyai status dan

perannya masing-masing yang tujuannya untuk menciptakan suasana dalam

kehidupan keluarga tersebut. Orang tua mempunyai tanggung jawab yang besar

dalam memberikan perlindungan anak sebagaimana yang tercantum dalam UU

Nomor 4 Tahun 1979 Pasal 9 tentang Kesejahteraan Anak pada halaman 4 yang

berbunyi “Orang tua adalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas

terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani, maupun sosial”.

Meskipun dalam implementasinya masih sering kali ditemukan orang tua yang

terkadang tidak menjalankan peran sebagaimana mestinya, hal ini dikarenakan

keterbatasan yang dimilikinya baik secara finansial, sosial, maupun pengetahuan

(Goode 2004). Alhasil, sebagai orang tua perannya tidak berjalan dengan

maksimal karena adanya keterbatasan tersebut.

Di era digital dewasa ini, internet hadir bagaikan hal yang tidak dapat

terpisahkan dalam keluarga sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari di rumah

(Kurnia et al. 2020). Di samping itu, internet juga berpotensi membawa dampak

4
negatif terhadap anak, misalnya anak jadi cenderung berperilaku agresif sebagai

dampak dari akses konten yang mengandung kekerasan melalui internet atau

dapat dikatakan lebih mudah terpapar dengan dampak negatif dalam berinternet

(Jr. dan Hans 2004). Seperti yang diungkapkan oleh Christensen yang dikutip

dari Kurnia (2020) bahwa dampak negatif menggunakan internet sangat

potensial dialami oleh remaja. Masa remaja adalah masa transisi perkembangan

dari masa kanak-kanak menuju dewasa, yang terbagi menjadi 2 fase yang pada

umumnya dimulai dari usia 12-13 tahun dan berakhir pada akhir belasan tahun.

Fase remaja awal di mulai dari usia 12-16 tahun dan remaja akhir di mulai dari

16-18 tahun (Hurlock 2011).

Kekhawatiran terhadap dampak negatif dari penggunaan internet yang

dikonsumsi oleh remaja merupakan hal yang wajar dan perlu ada tindakan

preventif agar gen z terhindar dari beberapa resiko seperti bertemu dengan orang

yang bisa membahayakan dirinya, adiktif dengan gawai yang membuatnya

tertutup dengan dunia luar, konten penyimpangan sosial, penyebaran hoaks,

terpapar dengan konten pornografi, kekerasan, dan terganggunya data privasi di

ruang digital (Kurnia et al. 2020). Kekhawatiran tersebut juga sesuai dengan riset

yang dilakukan oleh KOMINFO, UNICEF, dan Harvard University yang

menemukan bahwa terdapat sebesar 80% remaja di Indonesia yang mengalami

kecanduan berinternet (Hakim et al. 2017). Sebagian besar remaja tersebut

mengakses internet untuk hal yang tidak semestinya. Terdapat sebesar 24% yang

mengaku menggunakan internet untuk berinteraksi dengan stranger, terdapat

5
sebesar 14% untuk mengakses konten dewasa, dan sisanya untuk mengakses

game online dan kepentingan lainnya (Hakim et al. 2017).

Walaupun secara aturan untuk membuat akun di media sosial minimal

adalah 13 tahun, tetapi tetap saja kondisi konten-konten di media sosial kini sulit

terkurasi (Yulianti 2022). Hal ini dapat terlihat dari semakin banyak berita yang

viral, maka semakin banyaklah adsense yang didapatkan oleh si pemilik akun

tersebut. Kondisi tersebut telah menjadikan status popularitas menjadi suatu hal

yang ingin dikejar oleh sebagian orang (Nazahah 2022). Tidak jarang banyak

pengguna yang berlomba untuk memproduksi konten yang dapat menjadi viral.

Suatu konten dapat dikatakan sebagai konten viral, jika konten tersebut telah

dibagikan berulang kali oleh pengguna media sosial, memiliki banyak jumlah

pengguna media sosial yang menyukai konten tersebut, serta menyebar di

jejaring pengguna media sosial (Agustina 2020). Perilaku untuk mencapai

popularitas itu lah yang bisa membahayakan, karena dapat mendorong seseorang

untuk melakukan apa saja hanya semata-mata untuk viral. Kondisi itu pula yang

membuat media sosial bagi anak, khususnya kelompok usia remaja menjadi

berbahaya karena mereka hanya mengejar sensasi viral, tanpa memikirkan esensi

konten tersebut sehingga menjadi konten yang tidak bermanfaat (Yulianti 2022).

Salah satu langkah preventif yang dapat dilakukan adalah dengan

memberikan sosialisasi penggunaan internet yang dapat menanamkan literasi

digital remaja melalui unit terkecil yaitu keluarga inti (Kurnia et al. 2020).

Davidson (2011) mengungkapkan bahwa untuk bisa menggunakan internet

secara positif, anak-anak membutuhkan bimbingan dari orang tua. Orang tua

6
mempunyai peran yang besar dalam memberikan sosialisasi, mengawasi dan

mengarahkan anak-anak, khususnya remaja yang masih dalam masa

perkembangannya tersebut (Davidson 2011). Oleh karena itu, untuk mendapat

hasil yang maksimal dalam proses pembimbingan, orang tua juga dituntut

mempunyai kecakapan berinternet yang meliputi teknis, pengetahuan, maupun

emosi dalam mengakses informasi maupun hiburan melalui internet sebagai

wujud nyata dari literasi digital (Kurnia et al. 2020).

Penelitian sebelumnya cenderung membahas pola asuh yang efektif

dilakukan orang tua di era digital dan bentuk pengendalian yang memiliki

dampak pada perkembangan literasi digital anak. Penelitian yang dilakukan oleh

Fatmawati (2019) menyebutkan bahwa pola asuh yang dianggap paling ideal dan

efektif dilakukan orang tua di era digital adalah pola asuh authoritative dan

demokratis. Selain itu, studi dari Santoso dan Rakhmad (2020) memaparkan

bahwa bentuk pengendalian berupa dialog dan mediasi, baik mediasi aktif dan

mediasi terbatas berhasil diterapkan oleh dua keluarga dan menunjukkan hasil

yang positif.

Berdasarkan kajian dari penelitian terdahulu, sebagian besar penelitian

seputar keluarga dan penggunaan internet lebih banyak menekankan pada aspek

ilmu pendidikan dan teknologi informasi, dan belum banyak yang mengkaji

dengan menggunakan perspektif sosiologis, khususnya yang fokus pada bentuk

atau cara sosialisasi yang dilakukan oleh orang tua kepada remaja. Sehingga

peneliti tertarik melihat kekosongan tersebut sebagai peluang untuk dikaji lebih

mendalam serta ingin berkontribusi dalam menambah dan melengkapi penelitian

7
sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji “Sosialisasi Penggunaan

Internet Sebagai Upaya Penanaman Literasi Digital Bagi Remaja”.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan pernyataan masalah yang telah diuraikan di atas, maka

pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pemahaman orang tua dalam menggunakan internet?

2. Bagaimana bentuk atau cara sosialisasi penggunaan internet yang

dilakukan orang tua di dalam keluarga sebagai upaya penanaman literasi

digital bagi remaja?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini dengan melihat pernyataan masalah dan

pertanyaan penelitian di atas adalah sebagai berikut:

1. Untuk mendeskripsikan pemahaman orang tua dalam menggunakan

internet.

2. Untuk menjelaskan dan menganalisis bentuk sosialisasi penggunaan

internet yang dilakukan orang tua di dalam keluarga sebagai upaya

penanaman literasi digital remaja.

8
D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua, diantaranya adalah:

1. Manfaat Akademis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan dan informasi

pustaka untuk para peneliti selanjutnya yang juga mengkaji

permasalahan yang relevan terkait sosialisasi penggunaan internet di

dalam keluarga.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap

mata kuliah Sosiologi Keluarga. Selama ini pembahasan mengenai

sosialisasi penggunaan internet sebagai upaya penanaman literasi

digital lebih banyak dibahas oleh para peneliti dari ilmu pendidikan,

teknologi informasi dan komunikasi. Penelitian dengan menggunakan

perspektif sosiologis yang belum banyak dikaji.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat membantu keluarga dalam

menanamkan literasi digital dengan sosialisasi penggunaan internet,

memberikan saran kepada orang tua untuk mengontrol kegiatan anaknya

agar tidak menyalahgunakan penggunaan internet, dan memberikan

informasi bagi remaja untuk lebih bijak dan cakap maupun beretika dalam

berinternet.

9
E. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang berkaitan dengan penggunaan internet ataupun literasi

digital bukanlah hal yang baru. Ada beberapa penelitian yang sudah

dipublikasikan oleh para peneliti sebelumnya, antara lain penelitian yang

dilakukan oleh Fatmawati (2019), Santoso dan Rakhmad (2020), Salehudin

(2020), Inten (2017), Indriani dan Yemmardotillah (2021), Hanika et al. (2020),

dan Kumpulainen et al. (2020).

Beberapa penelitian yang ditemukan sebelumnya cenderung fokus pada

aspek yang berbeda-beda, seperti penelitian yang dilakukan oleh Fatmawati

(2019) dan Indriani dan Yemmardotillah (2021). Kedua penelitian ini sama-

sama melihat bahwa orang tua mengalami reorientasi peran baru di era digital

dewasa ini. Penelitian yang dilakukan oleh Fatmawati (2019) menunjukkan

bahwa orang tua memerlukan pola pengasuhan yang sesuai dengan kehidupan

anak untuk menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal dalam keluarga.

Fatmawati (2019) menganggap pola asuh yang dianggap paling ideal dan efektif

dilakukan orang tua di era digital adalah pola asuh authoritative dan demokratis.

Penelitian yang dilakukan oleh Indriani dan Yemmardotillah (2021) juga

menunjukkan bahwa orang tua harus mampu membimbing anak dalam

menggunakan media digital melalui pola asuh yang baik agar tidak menyimpang

dari nilai pendidikan. Namun, penelitian ini banyak mengaitkan ajaran nilai-nilai

agama khususnya pada keluarga muslim dengan pola asuh orang tua.

Penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti berbeda dengan

penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Santoso dan Rakhmad (2020), Inten

10
(2017), dan Kumpulainen et al. (2020). Pada umumnya, peneliti tersebut fokus

pada bentuk pengendalian yang dilakukan orang tua yang memiliki dampak pada

perkembangan literasi digital anak. Penelitian yang dilakukan oleh Santoso dan

Rakhmad (2020) memaparkan bahwa terdapat dua bentuk pengendalian dan

pengawasan orang tua terhadap penggunaan ponsel dan internet yang dilakukan

anak yang belum memasuki usia remaja yaitu dialog dan mediasi, baik mediasi

aktif maupun mediasi terbatas. Kedua cara tersebut diterapkan oleh dua keluarga

dan menunjukkan hasil yang positif (Santoso dan Rakhmad 2020).

Penelitian yang dilakukan oleh Inten (2017) menemukan bahwa sebagian

besar orang tua di Kabupaten Bandung khususnya “Ibu” lebih banyak

menghabiskan waktu di rumah bersama anaknya dan kesempatan tersebut

dimanfaatkan untuk memberikan pengawasan dan memotivasi anak dengan turut

menyediakan fasilitas penunjang kegiatan literasi di rumah. Akan tetapi, hal

tersebut tidak diiringi dengan keteladanan. Sehingga berdampak pada rendahnya

minat literasi anak di era digital ini (Inten 2017). Sementara itu, penelitian

Kumpulainen et al. (2020) yang mengambil lokus di Finlandia Selatan

menemukan bahwa praktik literasi digital anak-anak terbentuk dalam aktivitas

kesehariannya yang dimediasi oleh konteks sosiokultural di rumahnya.

Penelitian tersebut dilakukan pada dua keluarga yang mempunyai latar belakang

ekonomi kelas atas. Di kedua keluarga tersebut, orang tua memberikan kontrol

dengan membuat aturan yang telah disepakati bersama antara orang tua dan anak

dalam penggunaan media digital atau internet (Kumpulainen et al. 2020).

11
Beberapa penelitian di atas lebih menekankan pada peran baru orang tua

di era digital dewasa ini. Untuk itu, pola asuh dan pengawasan dilakukan oleh

orang tua sebagai bentuk pengendalian. Sebagaimana yang dipaparkan oleh

Hanika et al. (2020) bahwa terdapat pengaruh sosialisasi terhadap peningkatan

kemampuan literasi media digital anak. Hanika et al. (2020) menyebutkan bahwa

sekolah dinilai mempunyai peran untuk mengembangkan keterampilan anak

pada media digital, walaupun hanya sebatas pada sosialisasi. Kemudian

penggunaan media digital yaitu YouTube dinilai cukup efektif dalam

menyampaikan pesan terkait sosialisasi literasi media (Hanika et al. 2020).

Selain itu, Salehudin (2020) menemukan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan antara fasilitas yang disediakan oleh orang tua di rumah seperti

internet, smartphone, laptop, dan komputer dengan literasi digital anak. Namun,

orang tua tetap tidak boleh menyerahkan fasilitas dan media digital secara

sepenuhnya kepada anak tanpa adanya kontrol (Salehudin 2020).

Berdasarkan penelitian-penelitian di atas, perbedaan penelitian ini

dengan penelitian terdahulu terletak pada fokus, teori dan subjek penelitian.

Penelitian terdahulu lebih fokus pada aspek pola asuh yang efektif dilakukan

orang tua, hubungan fasilitas penunjang literasi digital dengan tingkat

kemampuan literasi digital, dan bentuk pengawasan orang tua. Penelitian ini

mempunyai sedikit kesamaan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanika et

al. (2020), yang sama-sama fokus dengan aspek sosialisasi. Namun, penelitian

Hanika et al. (2020) tidak menggunakan teori sosialisasi yang dirumuskan oleh

Berns dan metode penelitian yang digunakan pun berbeda. Selain itu, belum ada

12
penelitian yang mengeksplorasi lebih mendalam mengenai bentuk atau cara

sosialisasi penggunaan internet yang dilakukan orang tua sebagai upaya

penanaman literasi digital bagi remaja. Di samping itu, penelitian terdahulu lebih

banyak melibatkan anak-anak, guru, dan orang tua yang mempunyai anak usia

dini. Sedangkan subjek penelitian ini adalah orang tua yang mempunyai anak

usia remaja dan remaja yang terdiri dari laki-laki maupun perempuan.

13
Tabel 1.1. Tinjauan Pustaka

No. Data Peneliti Teori Persamaan Perbedaan


1. Peneliti: Nur Ika Teori Pola Menjelaskan - Penelitian ini
Fatmawati Asuh (Diana peran orang tua hanya
Baumrind) dalam mendidik berdasarkan
Judul: “Literasi dan memberikan data sekunder.
Digital, Mendidik sosialisasi terkait - Fokus dan
Anak Di Era literasi digital. teori yang
Digital Bagi digunakan
Orang Tua berbeda.
Milenial”

Metode
Penelitian:
Kualitatif
2. Peneliti: Ixnatius Teori Menjelaskan - Cara
Nugroho Adhi Dialektika peran orang tua pengendalian
Santoso dan Relasional dalam yang
Wiwid Noor (Baxter) dan mengendalikan dilakukan
Rakhmad Teori Mediasi penggunaan orang tua
Parental ponsel agar anak berbeda.
Judul: (Valkenburg) dapat - Teori yang
“Pengawasan memanfaatkannya digunakan
Orangtua dan dengan baik. berbeda.
Literasi Digital
Keluarga Melalui
Dialog Serta
Mediasi Terhadap
Anak-Anak
Mereka”

14
Metode
Penelitian:
Kualitatif
3. Peneliti: Teori Menjelaskan - Metode
Mohammad Interaksionisme fasilitas digital penelitian
Salehudin Simbolik yang disediakan berbeda.
orang tua tidak - Lebih
Judul: “Literasi boleh sepenuhnya menjelaskan
Digital Media diberikan secara hubungan
Sosial Youtube cuma-cuma fasilitas yang
Anak Usia Dini” kepada anak, disediakan
melainkan orang tua
Metode diperlukan pula dengan
Penelitian: kontrol dan meningkatnya
Kuantitatif sosialisasi. literasi digital
anak.
4. Peneliti: Dinar Tidak ada, Menjelaskan - Subjek
Nur Inten hanya keteladanan orang penelitian
menjelaskan tua yang hanya fokus
Judul: “Peran konsep peran mempunyai kepada orang
Keluarga dalam keluarga dampak pada tua.
Menanamkan minat literasi - Tidak
Literasi Dini pada anak. menjelaskan
Anak” cara
sosialisasi
Metode secara
Penelitian: eksplisit yang
Kualitatif dilakukan
orang tua.

15
- Teori yang
digunakan
berbeda.
5. Peneliti: Rini Tidak ada, Menjelaskan Penelitian ini
Indriani dan M. hanya peran penting lebih
Yemmardotillah menjelaskan keluarga milenial menekankan
konsep pola dalam kehidupan pola asuh anak
Judul: “Literasi asuh dalam anak. yang efektif
Digital Bagi islam dilakukan
Keluarga Milenial orang tua.
Dalam Mendidik Sedangkan
Anak Di Era penelitian
Digital” peneliti tidak
fokus pada
Metode pola asuh.
Penelitian:
Kualitatif
6. Peneliti: Ita Tidak ada, Menjelaskan - Agen
Musfirowati hanya pengaruh sosialisasi dan
Hanika, Melisa menjelaskan sosialisasi literasi target
Indriana Putri, dan konsep literasi media digital yang sosialisasi
Alyza Asha media digital terbukti dapat berbeda.
Witjaksono (Potter) mengembangkan - Metode
literasi digital. penelitian
Judul: “Sosialisasi berbeda.
Literasi Media - Cara
Digital Di Jakarta sosialisasi
(Studi yang
Eksperimen dilakukan
Penggunaan berbeda.

16
YouTube
terhadap Siswa
Sekolah Dasar di
Jakarta)”

Metode
Penelitian:
Kuantitatif
7. Peneliti: Kristiina Tidak ada, Menjelaskan - Penelitian ini
Kumpulainen, hanya praktik literasi lebih
Heidi Sairanen, menjelaskan digital yang menunjukkan
dan Alexandra konsep praktik dibangun melalui aktivitas
Nordstrom literasi digital kesepakatan keseharian
bersama antara antara anak
Judul: “Young orang tua dan usia dini dan
Children’s Digital anak dalam orang tua yang
Literacy Practices penggunaan selalu
In The internet mengontrol
Sociocultural dan
Contexts of Their memberikan
Homes” sosialisasi saat
anak sedang
Metode menggunakan
Penelitian: internet.
Kualitatif - Latar
belakang
keluarga yang
diteliti
berstatus
ekonomi kelas
atas.

17
F. Kerangka Teoritis

1. Definisi Konsep

1.1. Literasi Digital

Konsep literasi digital pertama kali diperkenalkan oleh Paul Gilster

dalam bukunya yang berjudul Digital Literacy (1997). Literasi digital ialah

kemampuan, pengetahuan, dan kontribusi yang diperlukan oleh tiap individu

di era digital dewasa ini dalam menggunakan media dan perangkat digital,

termasuk di dalamnya internet (Kurnia et al. 2020). UNESCO juga

mengungkapkan bahwa literasi digital ialah kecakapan (life skills) yang tidak

hanya melibatkan kemampuan menggunakan perangkat teknologi, informasi,

dan komunikasi saja, tetapi juga kemampuan dalam bersosialisasi,

kemampuan dalam pembelajaran, mengomunikasikan konten atau informasi,

dan etika (Kurnia et al. 2020).

1.2. Remaja

Sarwono (2013) mendefinisikan remaja sebagai tahap dimana individu

mengalami krisis identitas yang cenderung mempunyai rasa keingintahuan

yang tinggi, mudah penasaran untuk mencoba hal baru, dan mudah

terpengaruh dengan lingkungan sekitar khususnya teman sebaya (peer

groups). Masa remaja adalah masa transisi perkembangan dari masa kanak-

kanak menuju dewasa yang terbagi menjadi 2 fase yang pada umumnya

dimulai dari usia 12-13 tahun dan berakhir pada akhir belasan tahun. Fase

18
remaja awal di mulai dari usia 12-16 tahun dan remaja akhir di mulai dari 16-

18 tahun (Hurlock 2011).

Pada fase remaja awal, remaja mengalami culture shock dan merasa

heran dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada dirinya (Hakim et al.

2017). Pada fase ini pula, mereka mulai mengembangkan pikiran-pikiran

baru, mulai tertarik dengan lawan jenis dan secara seksual mudah terangsang.

Walaupun pada tahap ini remaja sulit untuk mengendalikan egonya, tetapi

pada fase ini kebanyakan remaja masih nurut dengan orang tua (Hakim et al.

2017).

Selanjutnya fase remaja akhir. Tahap ini ditandai dengan pencapaian

lima hal untuk menuju periode dewasa, yaitu (1) mempunyai minat yang

besar terhadap fungsi-fungsi intelek; (2) mempunyai keinginan yang besar

dan terbuka untuk pengalaman-pengalaman baru; (3) terbentuk identitas

seksual yang tidak akan berubah lagi; (4) mempunyai balance antara

kepentingan diri sendiri dengan orang lain; (5) mampu membuat benteng

untuk memisahkan kebutuhan pribadinya dan masyarakat umum (Hakim et

al. 2017). Dalam menunjang perkembangannya, remaja juga dihadapkan pada

tugas-tugas baru yang harus dipenuhinya. Hal ini untuk mencapai suatu

kepuasan, kebahagiaan dan penerimaan dari lingkungan sekitar (Sari et al.

2017).

19
1.3. Sosialisasi

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sosialisasi

merupakan proses belajar seorang anggota masyarakat untuk mengenal dan

menghayati kebudayaan masyarakat yang berada dalam lingkungannya.

Selaras dengan yang dikemukakan Setiadi bahwa sosialisasi merupakan

proses belajar seorang individu ataupun kelompok untuk mengenali pola-pola

hidup, nilai-nilai, dan norma sosial agar individu atau kelompok tersebut

dapat berkembang dan berfungsi dalam kelompoknya (Kolip 2011). Tujuan

sosialisasi diantaranya adalah sebagai berikut:

 Untuk memberi pengetahuan yang diperlukan dalam kehidupan

masyarakat (Kastori 2022);

 Untuk mengembangkan kemampuan seseorang (Kastori 2022);

 Untuk menanamkan nilai dan norma bertingkah laku sesuai

peraturan yang telah disepakati bersama dan kepercayaan

masyarakat (Kastori 2022);

 Untuk memahami peran dan status sosial masing-masing individu

(Kastori 2022).

Sosialisasi memerlukan proses komunikasi yang begitu intens, hal ini

disebabkan sosialisasi dapat berlangsung selama setiap hari. Maka, pada

proses komunikasi tersebut proses penyampaian pesan menjadi unsur

terpenting, sebab keberhasilan dalam sosialisasi bergantung pada proses

penyampaian pesan antara komunikator (agen sosialisasi) kepada komunikan

20
(target sosialisasi). Apabila aspek tersebut berjalan dengan lancar, maka

hasilnya akan memuaskan.

Aspek tersebut nantinya akan menghasilkan perubahan-perubahan yang

terjadi di dalam diri komunikan (target sosialisasi). Terdapat tiga dimensi

efek yang dapat terjadi diantaranya adalah efek kognitif, efek afektif, dan efek

behavioral (Sukendar 2017). Aspek kognitif mencakup penjelasan mengenai

pengetahuan, informasi yang bermanfaat dan peningkatan kesadaran

(Sukendar 2017). Aspek afektif berkaitan dengan perasaan atau emosi

(Sukendar 2017). Kemudian, aspek behavioral berkaitan dengan perilaku,

tindakan, dan kegiatan (Sukendar 2017).

2. Kajian Teori

2.1 Teori Sosialisasi

Dalam disiplin ilmu sosiologi, pandangan mengenai sosialisasi sudah

banyak dipaparkan oleh para sosiolog, seperti Peter L. Berger, Herbert Mead,

Robert M.Z Lawang, Soerjono Soekanto dan Horton dan Hunt. Robert M.Z

Lawang (1986) mendefinisikan sosialisasi sebagai proses mempelajari nilai,

norma, peran, dan persyaratan lainnya yang diperlukan untuk memungkinkan

seseorang dapat berpatisipasi secara efektif dalam kehidupan sosial.

Sementara Horton dan Hunt mengartikan sosialisasi sebagai suatu proses

seorang individu belajar memahami nilai dan norma dan membiasakan

tindakan dan perilaku sesuai dengan nilai dan norma yang sudah dipelajari

(Subadi 2008).

21
Teori sosialisasi memandang bahwa sebuah proses penanaman nilai dan

aturan berlangsung dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah

kelompok atau masyarakat (Subadi 2008). Dalam teori ini, fungsi sosialisasi

terbagi menjadi 2 (dua) (Subadi 2008). Bagi individu, dengan adanya

sosialisasi individu dapat hidup secara wajar dalam kelompoknya sehingga

dapat berpartisipasi aktif sebagai anggota masyarakat. Adapun bagi

masyarakat, sosialisasi dapat menciptakan keteraturan sosial. Hal ini

dikarenakan pewarisan nilai dan norma merupakan salah satu bentuk

pengendalian sosial (Subadi 2008).

Proses sosialisasi berkaitan dengan tiga hal (Musyarofah 2017).

Pertama, proses sosialisasi merupakan proses belajar, yaitu proses akomodasi

yang mana individu menahan, mengubah impus-impuls dalam dirinya dan

mengambil cara hidup atau kebudayaan masyarakatnya. Kedua, setelah

melalui proses tersebut individu mempelajari suatu kebiasaan, sikap, ide-ide,

pola-pola nilai dan tingkah dalam masyarakat di mana ia berada. Ketiga,

semua sikap dan kecakapan yang telah terserap dalam dirinya kemudian

dipelajari dan dikembangkan sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri

pribadinya (Musyarofah 2017). Dengan demikian, melalui proses sosialisasi,

individu memperoleh pengetahuan, sikap, sifat, dan kemampuan terkait apa

yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan.

Dalam menjalani prosesnya, pelaksanaan sosialisasi melibatkan dua

pihak, yaitu (1) pihak yang melakukan sosialisasi (agen sosialisasi) dan (2)

pihak yang di sosialisasi (target sosialisasi) (Setiadi dan Kolip 2011). Agen

22
sosialisasi dapat berupa keluarga, teman sebaya, lingkungan pendidikan,

keagamaan, lingkungan sosial, dan media massa (Setiadi dan Kolip 2011).

Agen sosialisasi dianggap dapat mempengaruhi internalisasi nilai. Nilai yang

dimaksud ialah keyakinan yang dipandang penting mengenai suatu hal baik

patut atau tidak patut, maupun baik atau tidak baik (Berns 2013).

Dalam penelitian ini, peneliti memfokuskan agen sosialisasi kepada

keluarga. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Berns (2013) bahwa keluarga

merupakan lingkungan pertama anak yang mempunyai tanggung jawab besar

dalam mensosialisasikan anak juga sekaligus menjadi referensi bagi anak. Hal

ini juga didasari karena salah satu fungsi keluarga adalah sosialisasi. Keluarga

berfungsi sebagai miniatur masyarakat yang mensosialisasikan nilai-nilai dan

peran dalam masyarakat yang harus dilaksanakan oleh para anggotanya

(Subadi 2008). Oleh karena itu, pihak yang melakukan sosialisasi

penggunaan internet dalam penelitian ini adalah orang tua. Adapun pihak

yang disosialisasi adalah remaja.

2.2 Bentuk Sosialisasi dalam Keluarga

Seiring berjalannya waktu, terdapat perkembangan pada teori

sosialisasi, khususnya yang fokus pada sosialisasi dalam keluarga. Adapun

teori yang digunakan peneliti sebagai acuan untuk mengkaji penelitian ini

adalah teori sosialisasi menurut Berns. Berns (2013) dalam karyanya yang

berjudul “Child, Family, School, Community: Socialization and Support”

23
menyatakan bahwa terdapat enam bentuk sosialisasi yang dapat dilakukan

orang tua terhadap anak, antara lain:

a. Affective of Socialization (Effect Emerges from Feeling)

Sosialisasi afeksi ialah sosialisasi yang digunakan orang tua

mengacu pada perasaan atau emosi, baik dilakukan secara sengaja maupun

tidak disengaja melalui interaksi (Berns 2013). Sehingga menghasilkan

keterikatan dan interaksi berlangsung secara dua arah atau terjadi timbal

balik.

b. Operant of Socialization (Effect Emerges from Acting)

Sosialisasi operan ialah sosialisasi yang digunakan orang tua

mengacu pada tindakan orang tua yang memberikan dampak terhadap

perilaku anak melalui penguatan (reinforcement), hukuman (punishment),

dan pemberian masukan (feedback) (Berns 2013). Penguatan diberikan

apabila anak berperilaku sesuai dengan yang diinginkan orang tua seperti

pemberian imbalan, pujian, dan konsekuensi menyenangkan lainnya.

Hukuman dapat berupa rangsangan yang menyakitkan secara fisik,

psikologis, atau penarikan sementara stimulus yang menyenangkan.

Tindakan ini dilakukan untuk mencegah perilaku yang tidak diinginkan.

Selanjutnya, pemberian masukan dapat berupa informasi evaluatif yang

berkaitan dengan perilaku. Hal ini mencakup instruksi lebih lanjut sebagai

pengingat.

24
c. Observational of Socialization (Effect Emerges from Imitating)

Sosialisasi observasi ialah sosialisasi yang digunakan orang tua

dengan memberikan contoh nyata pada anak, yang kemudian diamati oleh

anak dan anak melakukan imitasi sesuai dengan perilaku atau tindakan

orang lain (Berns 2013). Pada bentuk ini, orang tua dapat menjadi role

model bagi anak.

d. Cognitive of Socialization (Effect Emerges from Thinking)

Sosialisasi kognitif ialah sosialisasi yang digunakan orang tua yang

fokus pada proses berpikir anak. Pada bentuk ini, mekanisme yang

dilakukan oleh orang tua yaitu menyampaikan suatu aturan pada anak

melalui pemberian instruksi (instruction), menetapkan standar (setting

standards), serta memberikan penjelasan terhadap suatu perilaku

(reasoning) (Berns 2013). Instruksi berkaitan dengan pengetahuan dan

informasi yang disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh

anak. Standar yang ditetapkan orang tua berkaitan dengan apa yang

mereka harapkan dan tujuannya agar anak dapat melakukan apa yang

orang tua sudah sampaikan. Reasoning dilakukan dengan penyampaian

suatu perilaku dan konsekuensi dari perilaku tersebut. Hal ini bertujuan

untuk memampukan anak dalam menarik kesimpulan ketika dihadapi

situasi yang serupa.

e. Sociocultural of Socialization (Effect Emerges from Conforming)

Sosialisasi sosiokultural mengacu pada ekspektasi dari lingkungan

sosial di mana individu tumbuh terhadap suatu perilaku anak (Berns 2013).

25
Ekspektasi tersebut mempengaruhi perilaku individu dan pada bentuk ini

sosialisasi yang dilakukan melibatkan tekanan grup, tradisi, ritual dan

rutinitas (Berns 2013). Tekanan grup (group pressure) terdiri dari

kelompok sosial, termasuk di dalamnya keluarga, lingkungan, komunitas

agama, dan teman sebaya. Teknik ini dilakukan untuk mendorong anak

agar sikap dan perilaku anak dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.

Tradisi dapat berupa kepercayaan yang diyakini, pewarisan adat atau

kebiasaan yang dilakukan secara turun temurun. Tradisi yang terus

berjalan di dalam keluarga ialah dengan mewarisi nilai-nilai dan kebiasaan

yang dianggap benar oleh orang tua kepada anak. Ritual dan rutinitas

berkaitan dengan tindakan yang dilakukan secara berulang untuk

mengajarkan nilai-nilai dan kebiasaan kepada anak.

f. Apprenticeship of Socialization (Effect Emerges from Guided

Participation)

Sosialisasi pendampingan adalah sosialisasi yang digunakan orang

tua dengan melibatkan pembimbingan secara mendalam agar dalam

menjalani aktivitasnya, anak dapat berpartisipasi (Berns 2013). Pada

bentuk ini, kolaborasi antara agen sosialisasi dan target sosialisasi

diperlukan untuk mendapat dukungan, sampai pada akhirnya hal tersebut

diinternalisasi dan berhasil dikuasai oleh anak.

26
G. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan

jenis yang digunakan adalah studi kasus, sebab peneliti ingin mengungkapkan

pemahaman yang lebih mendalam, intensif, dan naturalistik dengan kasus

yang diteliti berupa keluarga (Nurdin dan Hartati 2019). Creswell (2008)

mendefinisikan pendekatan kualitatif sebagai suatu pendekatan untuk

mengeksplorasi dan memahami suatu gejala sentral. Kemudian menurut

Saryono dalam Nurdin dan Hartati (2019), penelitian kualitatif adalah

penelitian yang digunakan untuk menyelidiki, menemukan, menggambarkan,

dan menjelaskan kualitas dari pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan,

diukur atau digambarkan melalui pendekatan kuantitatif.

Peneliti menggunakan pendekatan ini karena ingin menemukan

pemahaman yang mendalam mengenai pemahaman orang tua terkait

penggunaan internet dan urgensi literasi digital bagi remaja. Selain itu,

peneliti juga ingin menggambarkan bentuk sosialisasi penggunaan internet

sebagai upaya penanaman literasi digital bagi remaja yang dilakukan orang

tua. Oleh karena itu, peneliti merasa pendekatan kualitatif lebih tepat untuk

menggambarkan topik penelitian yang ingin diteliti karena subjek dalam

penelitian ini memerlukan informan yang tepat dan data yang dipenuhi makna

yang mana tidak bisa dituangkan dalam bentuk statistik atau bilangan.

27
2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah langkah yang paling strategis, terdiri

dari berbagai teknik untuk mendapatkan, mengumpulkan dan menghimpun

data penelitian (Sugiyono 2013). Tanpa mengetahui metode pengumpulan

data, maka yang terjadi adalah penelitian tidak akan mendapat dan memenuhi

standar data yang telah ditetapkan (Sugiyono 2013). Penelitian ini

menggunakan jenis data primer dan data sekunder. Data primer adalah data

yang diperoleh peneliti secara langsung (dari tangan pertama) (Nurdin dan

Hartati 2019). Data primer yang peneliti gunakan adalah wawancara. Data

sekunder yang penulis gunakan diperoleh dari buku, jurnal, dan artikel yang

ada di internet.

Wawancara merupakan proses interaksi yang melibatkan pewawancara

(interviewer) dan orang yang diwawancarai (interviewee) melalui

komunikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang digunakan

untuk memperoleh informasi secara mendalam (Sugiyono 2013). Sebelum

melaksanakan wawancara, peneliti menyiapkan instrument panduan

wawancara terlebih dahulu untuk memudahkan peneliti dalam proses

wawancara.

Wawancara dilakukan satu kali untuk setiap informan dengan jumlah

informan yang diwawancarai adalah sebanyak 6 informan orang tua sebagai

agen sosialisasi dan 6 informan yang mencakup remaja perempuan dan laki-

laki sebagai target sosialisasi. Berikut adalah waktu wawancara informan.

28
Tabel 1.2. Waktu Wawancara Informan Agen dan Target Sosialisasi

No. Inisial Informan Tanggal Wawancara


1. D Selasa, 19 Juli 2022
2. J Selasa, 19 Juli 2022
3. C Kamis, 21 Juli 2022
4. RN Sabtu, 23 Juli 2022
5. PH Senin, 1 Agustus 2022
6. O Sabtu, 6 Agustus 2022
7. ID Sabtu, 24 Desember 2022
8. N Sabtu, 24 Desember 2022
9. RR Rabu, 20 Juli 2022
10. AB Sabtu, 23 Juli 2022
11. U Senin, 1 Agustus 2022
12. A Senin, 1 Agutus 2022

Pada informan jenis pertama yaitu agen sosialisasi, wawancara yang

dilakukan rata-rata berlangsung selama kurang lebih 60-100 menit. Dari 6

informan agen sosialisasi tersebut, hanya terdapat 3 informan yang

melakukan wawancara secara langsung (face-to-face), selebihnya adalah

wawancara tidak langsung. Wawancara 2 informan dilakukan melalui fitur

telepon dari aplikasi Whatsapp, dan 1 informan melalui aplikasi Zoom

Meeting.

Pada informan jenis kedua yaitu target sosialisasi, wawancara yang

dilakukan rata-rata berlangsung selama kurang lebih 60-90 menit. Adapun

proses wawancara yang dilakukan tidak jauh berbeda dengan wawancara

kepada agen sosialisasi, yaitu wawancara yang dilakukan ada yang bersifat

29
langsung (face-to-face) dan tidak langsung melalui daring, karena

keterbatasan waktu.

3. Subjek Penelitian dan Penetapan Informan

Informan dalam penelitian ini adalah orang tua yang mempunyai remaja

berusia 13 – 15 tahun dan remaja berusia 13 – 15 tahun. Informan dalam

penelitian ini dipilih berdasarkan pertimbangan atau kriteria tertentu yang

mencakup kesesuaian informasi yang dibutuhkan dan keterkaitan informan

dengan objek yang ingin diteliti (Sugiyono 2013). Kriteria-kriteria informan

yang peneliti tentukan adalah sebagai berikut:

a. Orang tua yang menempuh pendidikan di bawah SLTA dan tamat

SLTA ke atas;

b. Anak (remaja) yang tinggal bersama orang tua (lengkap) dan aktif

menggunakan internet maupun media sosial (digital natives);

c. Terkait jenis kelamin anak (remaja), peneliti mengambil informan

baik dari laki-laki maupun perempuan;

d. Mempunyai ponsel.

Jumlah subjek penelitian ini terdapat sebanyak 12 informan dengan

klasifikasi dan gambaran umum sebagai berikut.

30
Tabel 1.3. Klasifikasi Pemahaman Orang Tua Terkait Literasi Digital

Nama Informan Pendidikan Pemahaman


No.
(Inisial) Terakhir Literasi Digital

1. Bapak D SLTA Tinggi

2. Ibu J SLTP Rendah

3. Ibu C S1 Tinggi

4. Ibu RN SLTA Rendah

5. Ibu PH S2 Tinggi

6. Ibu O S1 Rendah

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari 3 informan orang tua yang

menempuh pendidikan tamat SLTA ke atas hanya terdapat dua orang tua yang

mempunyai pemahaman literasi digital dengan kategori tinggi. Sebaliknya,

dari 3 informan orang tua yang menempuh pendidikan di bawah SLTA hanya

terdapat satu orang tua yang mempunyai pemahaman literasi digital dengan

kategori tinggi dan didominasi oleh orang tua dengan pemahaman literasi

digital yang rendah. Namun, fakta diatas secara tersirat menandakan bahwa

tidak dapat dipungkiri, baik orang tua yang menempuh pendidikan rendah

maupun tinggi mempunyai kesempatan yang sama untuk meningkatkan

pemahaman literasi digitalnya.

31
Tabel 1.4. Gambaran Umum Informan

Inisial Jenis Domisil Usia Pendidikan Pemasukan/


No. Pekerjaan Agama
Informan Kelamin i (Tahun) Terakhir bulan
1. D Laki-laki Depok 51 Wiraswasta Islam SLTA ± 4.000.000

Asisten
2. J Perempuan Depok 46 Rumah Islam SMP ± 950.000

Tangga

Pegawai
3. C Perempuan Depok 40 Negeri Islam S1 ± 4.500.000

Sipil
Ibu Rumah
4. RN Perempuan Depok 50 Islam SMA ± 2.000.000
Tangga
5. PH Perempuan Depok 38 Dosen Islam S2 ± 15.000.000

6. O Perempuan Depok 51 Guru TPA Islam S1 ± 1.000.000


7. ID Laki-laki Depok 13 Pelajar Islam SMP 300.000
8. N Perempuan Depok 14 Pelajar Islam SMP 450.000
9. RR Perempuan Depok 14 Pelajar Islam SMP 50.000
10. AB Laki-laki Depok 14 Pelajar Islam SMP 450.000
11. U Laki-laki Depok 13 Pelajar Islam SMP 180.000
12. A Perempuan Depok 15 Pelajar Islam SMP 300.000

Berdasarkan tabel 1.4 di atas, total informan berjumlah sebanyak 12

orang yang terdiri dari 6 orang agen sosialisasi sebagai informan utama dan

6 orang target sosialisasi baik dari remaja laki-laki maupun perempuan

sebagai informan pendukung dan konfirmasi. Hubungan agen sosialisasi dan

target sosialisasi adalah satu anggota keluarga yaitu orang tua dan anak.

Mayoritas informan berdomisili di Depok. Peneliti menyamarkan identitas

32
nama informan dan menggantinya menjadi inisial untuk menjaga dan

melindungi identitas pribadi. Para informan agen sosialisasi memiliki rentang

usia dari 38-51 tahun, sedangkan informan target sosialisasi dengan usia 13-

15 tahun. Bidang pekerjaan yang ditekuni masing-masing informan agen

sosialisasi juga beragam, mulai dari asisten rumah tangga, guru TPA,

wiraswasta, pegawai negeri sipil, dan dosen. Terdapat satu informan agen

sosialisasi yang menjadi ibu rumah tangga. Sementara mayoritas latar

pendidikan target sosialisasi adalah pelajar yang masih mengenyam

pendidikan sekolah mengengah pertama.

Mayoritas agama yang dianut oleh informan adalah agama Islam. Latar

belakang pendidikan informan juga beragam. Pendidikan terakhir agen

sosialisasi ada yang berlatar pendidikan rendah mulai dari dari SMP, SMA,

S1, dan tingkat tertinggi S2. Sementara dari sisi penghasilan informan agen

sosialisasi mulai dari 950 ribu – 15 juta perbulannya. Adapun pemasukan

target sosialisasi sebagai anak mulai dari 50 ribu – 450 ribu perbulannya.

Dengan penghasilan yang dimiliki oleh agen sosialisasi, beberapa keluarga

mampu memberikan fasilitas penunjang literasi digital kepada anaknya,

seperti ponsel, kuota internet, wifi, hingga kebutuhan tersier seperti laptop.

4. Proses Penelitian

Proses penelitian ini berlangsung selama kurang lebih satu tahun,

terhitung sejak penulisan seminar proposal skripsi yaitu mulai dari Februari

33
2022 hingga Januari 2023. Sementara proses dalam memperoleh informan

dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:

a. Tahap Pertama

Pada tahap awal penelitian, peneliti mulai dengan mengingat beberapa

kenalan yang memenuhi kriteria informan. Pada tahap ini, peneliti

memperoleh tiga orang informan agen sosialisasi dan tiga informan target

sosialisasi. Lalu, peneliti menghubungi keenam informan tersebut melalui

Whatsapp, dan keenam informan tersebut akhirnya bersedia menjadi

informan pada penelitian ini. Kemudian, peneliti membuat kesepakatan untuk

menentukan waktu wawancara dengan para informan.

b. Tahap Kedua

Pada tahap ini, peneliti berusaha untuk mencari informan lain yang

sesuai dengan kriteria informan dengan membuat poster dan meminta

bantuan kepada teman-teman maupun keluarga peneliti untuk menyebarkan

poster tersebut. Selain itu, ada juga teman peneliti yang menawarkan

keluarganya untuk dijadikan informan, karena orang tua dan adiknya

memenuhi kriteria informan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, informan pada

penelitian ini berkembang menjadi empat orang informan.

c. Tahap Ketiga

Sembari menyelesaikan wawancara dengan keenam informan awal,

peneliti juga menghubungi keempat informan lainnya untuk menanyakan

ketersediaan dan waktu wawancara. Terdapat dua orang informan yang

berhasil peneliti wawancarai pada hari yang sama yaitu tanggal 23 Juli 2022

34
dan tiga orang informan lainnya pada tanggal 1 Agustus 2022. Proses

wawancara dilakukan secara daring sebab beberapa informan menolak untuk

ditemui secara langsung karena alasan malu dan ada juga informan yang

sedang berada di luar rumah. Pada keesokan harinya, peneliti melakukan

transkrip wawancara.

d. Tahap Keempat

Pada tahap ini, peneliti mengalami kendala baru yaitu masih kurangnya

jumlah informan. Oleh karena itu, peneliti kembali meminta bantuan keluarga

peneliti untuk direkomendasikan orang yang sesuai dengan kriteria yang

peneliti butuhkan. Kemudian, keluarga peneliti merekomendasikan satu

keluarga yang terdiri satu informan orang tua dan satu informan anak. Setelah

peneliti mendapatkan kontaknya, peneliti langsung menghubungi keluarga

tersebut dan menanyakan ketersediaannya.

e. Tahap Kelima

Di tahap ini, peneliti menyesuaikan jadwal dengan informan kesebelas

dan dua belas. Sambil menunggu tanggapan dari informan tersebut, peneliti

melanjutkan transkrip wawancara informan sebelumnya. Setelah transkrip

wawancara sudah selesai, peneliti melanjutkan proses wawancara dengan

informan kesebelas dan dua belas melalui daring.

f. Tahap Keenam

Pasca sidang skripsi, peneliti mengalami kendala lainnya, sehingga

terdapat perubahan yang mengharuskan peneliti untuk turun ke lapangan lagi

dan melakukan wawancara. Alhasil, peneliti melakukan wawancara kepada

35
dua informan remaja awal yang sedang menempuh bangku sekolah menengah

pertama. Kemudian, peneliti menghubungi kembali informan sebelumnya

untuk mengganti informan yang sesuai dengan kriteria peneliti. Setelah

menyelesaikan proses wawancara, peneliti melakukan transkrip wawancara

pada hari yang sama.

Dalam prosesnya, penelitian ini masih jauh dari kata sempurna dan

masih terdapat hambatan yang peneliti temui saat proses pengumpulan data.

Hambatan tersebut antara lain: (1) kesulitan peneliti dalam mencari informan

yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, (2) Sulitnya menentukan

jadwal wawancara karena kesibukkan informan, dan (3) Kurangnya akses

dengan informan agen sosialisasi laki-laki, dikarenakan kesibukkan informan

yang bekerja, sehingga jumlah informan agen sosialisasi laki-laki dan

perempuan kurang seimbang.

5. Teknik Analisis Data

Moleong (2010) mendefinisikan analisis data sebagai proses mengatur

urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan

uruaian dasar. Analisis data kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini

adalah analisis data model Miles dan Huberman yang terbagi ke dalam 3

tahap, yaitu:

1) Reduksi Data

Tahap pertama adalah reduksi data. Silalahi (2010) mendefinisikan

reduksi data sebagai proses pemisahan antara data-data yang dibutuhkan

dengan data-data yang tidak dibutuhkan dari berbagai pertanyaan yang ada

36
dalam instrumen panduan wawancara maupun catatan lapangan yang

masih tertulis secara acak.

Karena data yang diperoleh cukup banyak dan luas, maka dalam

tahap ini peneliti melakukan pemisahan data dengan membuat konsep

kunci pada panduan wawancara terlebih dahulu. Konsep kunci tersebut

memuat pertanyaan-pertanyaan yang merujuk pada enam bentuk

sosialisasi yang dirumuskan oleh Berns. Setelah membuat konsep kunci

dan data wawancara telah terkumpul, peneliti membuat ringkasan data dan

memusatkannya pada empat bentuk sosialisasi.

2) Penyajian Data

Tahap kedua adalah penyajian data. Miles dan Huberman dalam

(Sugiyono 2013) mengatakan bahwa dalam melakukan penyajian data,

data tersebut dapat diolah menjadi narasi maupun tabel untuk

mempermudah peneliti dalam memahami informasi sehingga menjadi

informasi yang memiliki makna dan dapat disimpulkan.

Analisis data yang peneliti sajikan mengenai pemahaman orang tua

dalam penggunaan internet dan bentuk sosialisasi penggunaan internet

yang dianalisis dengan teori sosialisasi menurut Berns.

3) Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Tahap ketiga adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Pada

tahap ini peneliti mulai mengaitkan data-data temuan dengan mengambil

poin-poin inti untuk memudahkan peneliti dalam menarik kesimpulan.

37
Hasilnya adalah peneliti menemukan empat bentuk sosialisasi yang

dilakukan orang tua kepada anak.

H. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, peneliti menyusun dan

mengelompokkannya ke dalam empat bab untuk mempermudah pembaca dalam

memahami isi dari penelitian ini. Berikut adalah sistematika

pengelompokkannya:

BAB I Pendahuluan. Bab ini terdiri dari Pernyataan Masalah,

Pertanyaan Penelitian, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka,

Kerangka Teoritis, Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian.

BAB II Gambaran Umum. Bab ini menjelaskan tentang Trend

Penggunaan Internet di Indonesia, Penggunaan Internet di Depok,

Perkembangan Literasi Digital di Indonesia, Relasi Orang Tua dan Remaja di

Era Digital, dan Karakteristik Generasi Z dalam Menggunakan Internet.

BAB III Temuan dan Pembahasan. Bab ini menjelaskan hasil

penelitian yang terdiri dari dua subbab yaitu (1) Pemahaman Orang Tua Terkait

Penggunaan Internet dan Urgensi Literasi Digital Bagi Remaja dan (2) Bentuk

Sosialisasi Penggunaan Internet dalam Keluarga. Pembahasan ini dianalisis

menggunakan teori sosialisasi oleh Berns.

BAB IV Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir yang mencakup

kesimpulan dari hasil penelitian ini dan saran serta masukan untuk pihak yang

terkait dalam penelitian ini.

38
BAB II

GAMBARAN UMUM

A. Trend Penggunaan Internet di Indonesia

Internet atau Interconnection-networking merupakan ruang komunikasi

baru yang saling menghubungkan antara satu dengan yang lainnya melalui suatu

jaringan komputer. Pada awalnya, internet diciptakan oleh Advanced Research

Projects Agency untuk mendukung militer Amerika Serikat (AS) dalam perang

dingin tahun 1969 (Gani 2014). Proyek tersebut dinamakan Advanced Research

Project Agency Network. Lambat laun, internet menunjukkan perkembangan

yang signifikan. Kemudian, pada tahun 1980an internet mulai tersebar ke

lembaga-lembaga akademik maupun pusat-pusat riset di AS, hingga pada

akhirnya tersebar ke seluruh penjuru dunia (Gani 2014). Sementara di Indonesia,

internet mulai masuk pada tahun 1990an dan semakin populer pada tahun

2000an.

Jumlah pengguna internet di Indonesia sendiri saat ini menduduki

peringkat enam dunia yang setiap tahunnya pertumbuhan tersebut bisa mencapai

dua digit (Kominfo 2014). Pada tahun 2017, komposisi pengguna internet di

Indonesia berdasarkan pulau masih terpusat di Pulau Jawa yaitu sebesar 58,08%,

Pulau Sumatera sebesar 19,09%, Pulau Sulawesi sebesar 6,73%, Pulau Bali dan

Nusa Tenggara sebesar 5,73%, Maluku dan Papua sebesar 2,49% (Akmala

2019). Menurut survei penetrasi internet dan perilaku pengguna internet yang

dirilis oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2022

39
menunjukkan bahwa berdasarkan usia, kelompok usia 13-18 tahun merupakan

kelompok pengakses internet terbanyak sebesar 99,16%, selanjutnya disusul

dengan kelompok usia 19-34 tahun sebesar 98,64% persen, kelompok usia 35-

54 sebesar 87,3%, kelompok usia 5-12 tahun sebesar 62,43%, dan kelompok usia

> 55 tahun sebesar 51,73% (Pahlevi 2022).

Internet semakin eksis digunakan semenjak pandemi Covid-19

(Andarningtyas 2022). Internet digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk

membantu aktivitas sehari-hari yang pada saat itu berbagai kegiatan luar jaringan

banyak dibatasi oleh pemerintah. APJII juga menyebutkan bahwa alasan

masyarakat Indonesia mengakses internet diantaranya untuk berkomunikasi dan

media sosial, keperluan sekolah atau kerja dari rumah, dan untuk mencari

informasi atau berita (Andarningtyas 2022).

Fungsi internet itu sendiri beragam. Internet dapat berfungsi sebagai

penyedia informasi, media komunikasi, sarana bisnis, sebagai media hiburan,

maupun sebagai sarana penunjang pendidikan. Menurut Quarterman dan

Mitchell, kegunaan internet dapat dikategorikan menjadi empat, yaitu:

1. Internet sebagai media komnikasi yang dapat menghubungkan pengguna

dengan pengguna lainnya dari seluruh dunia (Gani 2014);

2. Sebagai media pertukaran data sehingga para pengguna internet dapat

mendapatkan informasi dengan cepat (Gani 2014);

3. Sebagai media untuk mencari informasi, hal ini berguna dan bermanfaat

dalam proses belajar (Gani 2014); dan

4. Sebagai fungsi komunitas (Gani 2014).

40
Meskipun internet mempunyai manfaat dan dampak yang positif, namun

tidak menutup kemungkinan timbulnya dampak negatif. Terlebih saat ini

penggunaan internet di Indonesia mengalami peningkatan, tentu dapat

menimbulkan permasalahan baru (Kristiyono 2015). Misalnya adalah

berkurangnya interaksi antar personal, mengalami kecanduan dalam berinternet

hingga lupa waktu, permasalahan kesehatan, tersebarnya data pribadi, penipuan,

perjudian, munculnya permasalahan social isolation dan neurosis yang

menyebabkan perubahan perilaku pada anak dan remaja akibat terpengaruh dari

penggunaan internet devices dan games online, seperti sikap yang kasar dan

agresif (Kristiyono 2015). Terakhir ialah kejahatan cyber crime maupun cyber

bullying yang rentan dialami kalangan anak muda atau remaja di ruang digital

(Kristiyono 2015). Hal ini diperkuat karena dampak negatif penggunaan internet

banyak terjadi dan lebih beresiko pada kategori usia anak sekolah. Selaras

dengan riset yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)

menunjukkan bahwa jumlah kasus pengaduan anak terkait pornografi dan

kejahatan online mencapai angka 1.940 anak pada tahun 2017-2019.

B. Penggunaan Internet di Depok

Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Kota Depok, mengungkapkan

bahwa saat ini terdapat sebesar 65,17% penduduk Kota Depok adalah pengguna

internet. Dari sejumlah kota-kota yang ada di Indonesia, Kota Depok termasuk

ke dalam kota dengan peringkat pengguna internet terbanyak se-Indonesia. Data

terakhir menyebutkan bahwa Kota Depok berada di posisi peringkat lima dalam

41
kategori pengguna internet terbanyak se-Indonesia yaitu mencapai 25% dari

populasi penduduk, dengan posisi peringkat pertama adalah Jakarta (Hamdi

2016).

Melihat banyaknya pengguna internet di Depok tersebut dinilai dapat

menjadi potensi untuk mengembangkan ekonomi digital (Depokrayanews,

2018). Selain itu, hal ini tentu menjadi perhatian bagi Pemerintah setempat untuk

menumbuhkan pengetahuan mengenai literasi digital di masyarakat, mengingat

urgensi digitalisasi pada masa sekarang dan tingginya komposisi penduduk

remaja di Depok yang sudah menggunakan internet akan rentan terbawa dampak

negatif jika tidak dibekali literasi digital yang mumpuni sejak dini, baik dari

keluarga maupun aktor lainnya.

Seperti yang belum lama terjadi di Kota Depok terdapat beberapa kasus

terkait permasalahan digital, salah satunya adalah kasus pornografi. Kasus

tersebut dilakukan oleh beberapa murid Sekolah Menengah Pertama di salah satu

sekolah negeri yang berada di kawasan Depok. Berawal dari razia yang

dilakukan oleh guru di sekolah tersebut dan setelah ditelusuri ditemukan terdapat

20 ponsel murid yang menyimpan konten berisi pornografi (Rajaguguk 2022).

Selain kasus tersebut juga banyak kasus-kasus lainnya di Depok yang turut

menimpa remaja sebagai korban karena minimnya literasi dan kurangnya

pengawasan dan bimbingan dari orang tua.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh Dinas Komunikasi dan Informatika

(Diskominfo) Kota Depok untuk mencegah hal tersebut agar tidak terulang

kembali adalah dengan mendukung dan menjalin kerja sama dengan Lembaga

42
Generasi Digital Indonesia (Gradasi). Ketua Dewan Perwakilan Cabang Gradasi

Kota Depok, Warno mengatakan bahwa pihaknya akan membantu masyarakat

Depok untuk mengenal pentingnya digitalisasi pada masa kini (Depok 2021).

Selain itu, disebutkan juga bahwa sosialisasi tersebut akan fokus pada

penggunaan internet yang dimulai di lokasi program Peningkatan Peranan

Wanita menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera yang nantinya seluruh keluarga

seperti ibu, ayah, dan anak akan diberikan pengetahuan mengenai literasi digital

(Depok 2021). Hal tersebut dilakukan karena digitalisasi dianggap dapat

memberikan berbagai manfaat untuk berbagai sektor, mulai dari pendidikan,

ekonomi, kesehatan, perdagangan, dan sektor lainnya.

Misalnya dalam sektor pendidikan, pemanfaatan internet sangat terlihat

dan terasa semenjak meningkatnya kasus pandemi covid-19, sehingga

pemerintah menetapkan kebijakan pembatasan sosial yang membuat perubahan

dalam kegiatan pembelajaran. Perubahan yang terjadi adalah perubahan yang

awalnya pembelajaran dilakukan secara luring (luar jaringan) menjadi

pembelajaran daring (dalam jaringan) atau biasa disebut sebagai kebijakan

belajar online, dimana pembelajaran berbasis student center untuk menjadikan

murid yang kreatif dan inovatif.

Walaupun pada kenyataannya, kegiatan pembelajaran e-learning

tersebut menuai kontroversi bagi sebagian masyarakat karena kurangnya

persiapan, tidak efektif, dan masih banyaknya murid kelas menengah ke bawah.

Namun, faktanya hal tersebut memberikan tantangan tersendiri untuk dunia

pendidikan di Kota Depok. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Wali Kota

43
Depok Muhammad Idris bahwa sistem digitalisasi khususnya internet perlu

diterapkan di seluruh sekolah yang berada di Depok karena sistem tersebut

dinilai dapat mempermudah cara kerja tenaga pendidik dan orang tua siswa

dalam mengurus tata administrasi di sekolah, sekaligus menyesuaikan

keseimbangan zaman (Depok 2021).

C. Perkembangan Literasi Digital di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah pengguna

internet terbesar di dunia, itu artinya masyarakat Indonesia akan semakin intensif

dalam menggunakan ruang digital yang tersedia. Inisiasi perkembangan literasi

digital di Indonesia sudah dimulai sejak kemajuan teknologi semakin pesat yaitu

sekitar awal tahun 2000-an yang ditandai dengan hadirnya internet sebagai

media dalam pertukaran informasi dalam ruang lingkup masyarakat dan salah

satu aktor yang berperan penting dalam perkembangan ini adalah ICT Watch

dengan programnya yang berjudul “Internet Sehat” (Pamungkas 2018). Melalui

program yang diluncurkan pada tahun 2002 tersebut, ICT Watch hadir untuk

melayani masyarakat dan berusaha membuat ruang internet di Indonesia menjadi

lebih positif. Selain gerakan yang dilakukan oleh ICT Watch, pada tahun 2017,

Pemerintah Indonesia juga turut mendukung gerakan literasi digital berskala

nasional yang disebut dengan Siberkreasi.

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center

(KIC) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan

bahwa indeks literasi digital di Indonesia berada di level 3,49 pada tahun 2021,

44
yang artinya indeks literasi digital di Indonesia masih berada dalam kategori

sedang (Kusnandar 2022). Dirujuk dari penelitian yang dilakukan oleh

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam bukunya yang berjudul

Gerakan Literasi Nasional (2017), salah satu kekhawatiran yang ditakuti seiring

dengan perkembangan di era digital ialah generasi muda yang minim akan

pemahaman literasi digital.

Rendahnya pemahaman literasi digital akan melahirkan serangkaian

dampak negatif, seperti menjamurnya hoaks di masyarakat, melambungnya

akses pornografi, penyalahgunaan konten privasi, hingga penyebaran terorisme.

Untuk menghadapi hal tersebut, berbagai upaya telah dilakukan dari tahun-tahun

sebelumnya untuk meningkatkan literasi digital di Indonesia dengan

menggunakan beberapa pendekatan yang terkait dengan permasalahan digital

yaitu pendekatan general dan pendekatan tematik. Pendekatan general dilakukan

dengan pembekalan literasi digital secara umum atau general, sementara

pendekatan tematik dilakukan dengan membidik konten tertentu seperti “anti-

hoax” atau yang fokus pada cohort tertentu seperti “remaja” dan “anak-anak”,

atau tertuju pada segmen tertentu seperti “guru” dan “ibu rumah tangga” (Kurnia

dan Astuti 2017).

Tak hanya itu saja, berbagai pertimbangan kebijakan untuk menghadapi

tantangan tersebut juga dibuat seperti (1) mendorong Kominfo untuk berupaya

dalam meratakan akses internet masyarakat luas pada daerah-daerah yang ada di

Indonesia, (2) memberikan literasi digital yang mumpuni kepada masyarakat di

setiap daerah yang diwakili oleh para pemangku adat dengan menyediakan

45
layanan internet di sekitar masyarakat, seperti ruang membaca, dan (3)

meningkatkan akses internet dan teknologi, khususnya di pemukiman pedesaan

Indonesia untuk menutup kesenjangan digital serta membantu bagi keluarga

kurang mampu (Kurnia dan Astuti 2017).

D. Relasi Orang Tua dan Remaja di Era Digital

Goode (2004) mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dalam

masyarakat yang terbagi menjadi dua tipe, yaitu keluarga batih yang merupakan

satuan keluarga terkecil yang terdiri atas ayah, ibu, serta anak atau nuclear family

dan keluarga luas atau extended family. Keluarga merupakan lembaga sosial

yang menjadi pembentuk karakter pertama dan utama bagi anak, khususnya

anak-anaknya yang masih belajar di sekolah. Maka dari itu, penting bagi orang

tua untuk mempunyai fungsi edukatif. Fungsi edukatif itu sendiri dapat diperoleh

dengan cara mengetahui dan memahami pola asuh efektif yang bersifat terarah

untuk diberikan kepada anak (Hakim 2020). Hal ini dikarenakan kebiasaan

orang tua atau keluarga yang tinggal bersama anak dalam satu rumah memiliki

pengaruh kepada anak. Pengaruh tersebut ialah peniruan perilaku yang

dilakukan anak (Hakim 2020).

Era digital memberikan kemudahan akses informasi bagi remaja, hal ini

berkaitan dengan rasa keingitahuan mereka yang tinggi (Sari et al. 2017). Usia

remaja itu sendiri ditandai dengan masa-masa pencarian jati diri dan mencoba

hal-hal yang baru menjadikan kelompok usia ini sangat aktif memanfaatkan

perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang terjadi (Sari et al.

46
2017). Terlebih, jumlah pengguna media sosial di Indonesia kini didominasi oleh

kalangan remaja, sehingga dampaknya banyak pula dirasakan oleh remaja.

Dalam kaitan dengan era digital ini, orang tua perlu menyadari bahwa

anak-anak masa kini sedang dihadapakan pada tantangan zaman yang memiliki

karakteristik yang berbeda dengan zaman para orang tua di masa lalu (Wahyudi

2019). Oleh karena itu, penting dilakukan penyesuaian terhadap pola dan

pendekatan pendidikan yang digunakan karena setiap zaman memiliki

problematika pendidikan, khususnya dalam hal sosialisasi yang berbeda

(Wahyudi 2019). Hal ini penting dikarenakan pola asuh orang tua dalam

lingkungan keluarga sangat menentukan nilai-nilai yang didapatkan oleh anak

nantinya. Namun, terdapat beberapa kendala baru yang dialami oleh orang tua

di antaranya seperti inisiatif belajar belum tumbuh pada seluruh orang tua,

keterbatasan atau tidak memiliki dana untuk membeli buku yang dapat

menunjang dirinya dan sang anak dalam bermedia digital, kemalasan untuk

membaca buku karena merasa banyak pekerjaan rumah yang harus lebih

diutamakan, dan tidak memiliki motivasi tinggi untuk menambah pengetahuan

berkaitan dengan penggunaan internet (Hakim 2020).

Meskipun saat ini hampir setiap orang tua sudah memiliki ponsel tetapi

masih ditemukan juga orang tua yang belum memahami bahwa ponsel atau

smartphone dapat menghasilkan informasi yang relevan dan valid (Wahyudi

2019). Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri dewasa ini konektivitas antara

dunia digital dengan dunia anak dewasa semakin hari kian semakin kuat.

Pesatnya teknologi informasi dan meluasnya penggunaan media digital, tak

47
terkecuali oleh anak-anak hingga usia remaja ialah gambaran yang menunjukan

besarnya pengaruh dunia digital terhadap anak-anak maupun remaja (Wahyudi

2019). Kondisi tersebut memperlihatkan terdapat suatu perbedaan antara

generasi sekarang atau gen z dengan generasi dulu, yaitu generasi sekarang atau

gen z lebih mampu dalam penggunaan beragam teknologi informasi. Kelincahan

dalam menggunakan berbagai fasilitas teknologi yang menyajikan beragam fitur

menarik menjadi ciri khas mereka.

Oleh karena itu, hal ini tentunya menjadi perhatian penting untuk orang

tua. Perhatian yang dimaksud ialah orang tua perlu memberikan bimbingan dan

pengawasan kepada anak di era digital (Wahyudi 2019). Dengan pendekatan

yang mengacu pada perkembangan zaman inilah diharapakan orang tua dapat

mendidik anak dengan pendekatan pendidikan yang dirasa olehnya tepat

(Wahyudi 2019).

E. Karakteristik Generasi Z dalam Menggunakan Internet

Generasi Z ialah generasi yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012

(Rakhmah 2021). Maka dari itu, Generasi Z dikenal juga sebagai digital natives

atau generasi internet. Bahkan saat ini, Generasi Z dianggap sebagai generasi

yang paling aktif dalam menggunakan media sosial ataupun internet (Pujiono

2021). Berdasarkan usia, kelompok pengakses internet terbesar berasal dari

kelompok usia 15 sampai 19 tahun (Rakhmah 2021). Kelompok tersebut

merupakan kelompok yang terhitung masuk ke dalam Generasi Z. Pada

umumnya, orang yang lahir pada tahun tersebut ialah generasi yang sejak kecil

48
sudah akrab dengan teknologi, khususnya dalam menggunakan internet di

kehidupan sehari-harinya. Maka, tidak heran apabila individu Generasi Z

cenderung individualistik.

Ciri khas lain dari Generasi Z ialah tidak memiliki kecapakan yang

memadai dalam bersosialisasi secara langsung atau personal, yang salah satunya

disebabkan oleh pengaruh keseringan menggunakan internet (Aeni 2022). Hal

ini membuat Generasi Z cenderung menjadi individu yang kurang sopan dan anti

sosial. Hampir tiap waktu, Generasi Z selalu lekat dan tak bisa lepas dengan

perangkat teknologi. Hal ini semakin diperkuat dengan studi yang menyebutkan

bahwa hampir setengah dari Generasi Z mampu mengakses internet atau online

selama kurang lebih 10 jam dalam sehari (Fitriyani 2018). Adapun perilaku dan

kebiasaan Generasi Z ialah sebagai berikut:

a. Terdapat sebesar 35,2% Generasi Z yang mengakses internet untuk

mencari informasi atau sebagai sumber edukasi (Adam 2017).

b. Hampir 90% Generasi Z mengakses media sosial maupun internet

melalui ponsel pintar (Adam 2017).

c. Media sosial yang paling sering digunakan oleh Generasi Z ialah

Instagram, Twitter, Youtube dan Whatsapp (Adam 2017).

d. Terkait fashion, umumnya Generasi Z membeli suatu produk secara

online. Produk yang umum dipilih oleh Generasi Z ialah Adidas, Nike

dan Zara (Adam 2017).

e. Terkait kuliner, fastfood ialah makanan yang digemari oleh Generasi

Z (Adam 2017).

49
f. Terkait hiburan, umumnya Generasi Z mengakses internet untuk

menonton streaming film dan musik, mengunduh film, dan bermain

game online (Adam 2017).

Meskipun demikian, Generasi Z dianggap mampu mengerjakan kegiatan

dalam satu waktu yang sama, seperti mengakses media sosial melalui ponsel,

browsing menggunakan perangkat komputer atau laptop, sambil mendengarkan

musik menggunakan earphone atau headset (Pujiono 2021). Kegiatan tersebut

bukanlah hal yang sulit dilakukan bagi Generasi Z, lantaran informasi dan

teknologi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Kondisi

internet yang sudah menjadi budaya global tersebut tanpa disadari telah

mempengaruhi Generasi Z dalam memberikan nilai-nilai, tujuan maupun

pandangan hidup mereka (Pujiono 2021).

50
BAB III

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori sosialisasi dari Berns untuk

menggambarkan bentuk sosialisasi penggunaan internet guna menanamkan literasi

digital remaja dalam keluarga. Peneliti membatasi agen sosialisasi pada keluarga

yang tertuju untuk remaja. Mengingat setiap keluarga mempunyai latar belakang,

baik ekonomi, pendidikan, maupun budaya yang berbeda-beda dalam memberikan

sosialisasi kepada anaknya. Oleh karena itu, tentu pengalaman dan bentuk

sosialisasi yang dilakukan dapat berbeda.

Remaja di era digital ini dikenal sebagai digital native yang sudah tidak asing

dengan teknologi dan internet. Namun, kerap kali ditemukan remaja yang masih

terbawa arus negatif dari penggunaan internet. Salah satu langkah preventif yang

dapat dilakukan keluarga adalah dengan memberikan sosialisasi penggunaan

internet. Di samping menjadi bentuk pengendalian agar remaja tidak terbawa arus

negatif, hal ini juga diupayakan untuk penanaman literasi digital yaitu cakap dan

mempunyai etika dalam berinternet.

Penjelasan lebih rinci mengenai hasil penelitian ini akan peneliti paparkan

menjadi dua subbab besar yaitu pemahaman orang tua mengenai penggunaan

internet dan urgensi literasi digital bagi remaja serta bentuk sosialisasi penggunaan

internet dalam keluarga.

51
A. Pemahaman Orang Tua Terkait Penggunaan Internet dan Urgensi Literasi

Digital Bagi Remaja

Kemajuan teknologi di era digital saat ini menjadikan manusia kian

bergantung dan tidak bisa lepas dengan media digital dalam kehidupan sehari-

harinya. Salah satunya adalah ketergantungan dalam menggunakan internet yang

dapat dijangkau mulai dari usia anak-anak, remaja hingga usia dewasa dengan

segala keberagaman fitur, praktis, kemudahan, dan manfaat lainnya yang

ditawarkan di dalamnya. Salah satu bentuk antisipasi dan meminimalisir risiko,

lingkungan terkecil seperti keluarga inti mempunyai andil dalam mengarahkan,

membimbing, dan mendidik anak-anaknya khususnya dalam menggunakan

internet.

Oleh karena itu, sosialisasi penggunaan internet penting untuk dilakukan

dan sebisa mungkin mulai digencarkan dari lingkup keluarga, melalui orang tua

agar anak dan remaja dapat terhindar dari bentuk-bentuk viktimisasi yang berada

di dunia maya dan kecanduan dalam pemakaiannya (Iskandar dan Isnaeni 2019).

Pernyataan di atas sejalan dengan temuan yang peneliti dapatkan, yang mana

mayoritas orang tua di Kelurahan Cipayung Jaya menganggap bahwa kehadiran

internet ialah penting. Hal ini terungkap dalam pernyataan dari beberapa

informan seperti berikut:

“Penting mbak, sangat penting. Kalau dulu sebelum ada


internet itu serba terbatas, sekarang kan alhamdulillahnya jadi
serba cepat dan mudah. Untuk komunikasi juga kan sekarang apa-
apa internet gitu ya, kayak anak saya pun semenjak pandemi ini kan
pembelajarannya terbantu karena adanya internet. Ya walaupun
memang, ga selamanya hal yang di internet itu positif ya.”
(Wawancara pribadi dengan Bapak D, Agen Sosialisasi, 19 Juli
2022)

52
“Sangat penting ya bagi saya, saya dan keluarga saya merasa terbantu
dengan adanya internet ini. Mau ngapain pun serba praktis, jadi kan
memudahkan gitu ya.” (Wawancara pribadi dengan Ibu J, Agen Sosialisasi,
19 Juli 2022)

“Penting, sangat penting. Kalau kita butuh cari tau informasi, kan
gampang tinggal buka internet aja. Komunikasi juga terbantu banget
apalagi kayak kemaren ppkm tuh, sosialisasi kan jadi terbatas, tapi dengan
adanya internet jadi tetap terjaga.”(Wawancara pribadi dengan Ibu O,
Agen Sosialisasi, 06 Agustus 2022)

Kutipan wawancara di atas menunjukkan bahwa kehadiran internet

dianggap penting oleh para agen sosialisasi, hal itu disebabkan oleh kepraktisan

dan kemudahan yang dapat diperoleh dari internet, misalnya yaitu memudahkan

dalam berkomunikasi maupun dalam menempuh pendidikan. Hal senada juga

turut dirasakan oleh informan Ibu C yang diwawancarai pada 21 Juli 2022. Ia

mengatakan bahwa internet penting untuk memudahkannya dalam

berkomunikasi. Ia juga mengungkapkan bila tidak ada internet, rasanya hidup

terasa hampa. Lantaran baginya, aktivitas manusia di era digital saat ini tak bisa

terlepas dari internet.

Adanya sosialisasi penggunaan internet juga sebagai upaya dalam

penanaman literasi digital pada anggota keluarganya, sehingga dapat

menyadarkan masyarakat khususnya remaja dalam mengolah, menggunakan,

dan memanfaatkan informasi yang baik untuk dirinya dan orang di sekitarnya

sebagaimana remaja adalah generasi penerus bangsa di era digital ini. Dalam

penelitian ini juga ditemukan bahwa terdapat empat dari enam informan orang

tua sudah tidak asing lagi dengan istilah literasi digital. Mayoritas dari mereka

yang sudah mengetahui literasi digital adalah orang tua yang mengenyam tingkat

53
pendidikan tinggi. Seperti pernyataan yang disampaikan oleh beberapa informan

berikut:

“Pemahaman digital itu ya satu alat ini membantu, membantu dalam


artian komunikasi secara luas ya. Namun dampak buruknya ya ada yang
menyesatkan, misal berita-berita yang sebenarnya tidak sesuai misalkan
ya maap-maap kita ngomong soal agama, kalau kita ga hati-hati ada yang
menyesatkan. Itulah pentingnya literasi digital, supaya orang tuh paham
dalam menggunakan internet jadi outputnya positif, gitu sih mbak.”
(Wawancara pribadi dengan Ibu J, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

“Literasi digital itu apa ya sesuatu yang memang sedang dioptimalkan


sama pihak pemerintah untuk mengedukasi masyarakat biar mereka tuh
punya kemampuan dalam mengakses informasi atau internet.”
(Wawancara pribadi dengan Ibu C, Agen Sosialisasi, 21 Juli 2022)

“Yang ibu tahu kurang lebih itu kecakapan seseorang dalam


menggunakan internet atau media digital dengan bijak dan tepat supaya
dia bisa memanfaatkan ketersediaan media digital itu dengan baik neng.”
(Wawancara pribadi dengan Ibu O, Agen Sosialisasi, 06 Agustus 2022)

Berdasarkan kutipan pernyataan di atas, para orang tua umumnya

mengartikan literasi digital sebagai suatu kecakapan yang penting dimiliki oleh

individu dalam mengonsumsi internet supaya informasi yang diperoleh tidak

menyebabkan missleading dan individu dapat memanfaatkannya sebagai hal

yang positif. Selain itu, orang tua juga memahami dampak negatifnya bila

penggunaan internet tidak digunakan sebagaimana mestinya, yang mana hal itu

dapat merugikan individu. Lebih dari itu, bahkan orang tua juga menyebutkan

bahwa kecakapan tersebut penting dimiliki oleh remaja. Bagi mereka, tuntutan

zaman yang mengharuskan segala sesuatu dialihkan dengan “serba digital” yang

mendorong remaja mau tidak mau harus mempunyai kecakapan dalam

menggunakan media digital atau internet. Anggapan lainnya, disebabkan juga

54
oleh minimnya pengetahuan keamanan dalam berinternet, yang mengharuskan

remaja saat ini untuk mempunyai kecakapan tersebut.

“Sangat penting ya karena tuntuan zaman ini. Kita kan apa-apa emang
serba digital, dia harus paham, harus ngerti, bahkan kalau bisa harus lebih
paham dari orang tuanya hahaha.” (Wawancara pribadi dengan Pak D,
Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

“Kalau pentingnya iya, harus. Karena sekarang gini, kalau kita liat kan
banyak ada yang kita gatau nih apalagi kalau orang kayak C (inisial
informan) ya, yang ga paham tentang apa tuh website atau link segala
macem, terus tiba-tiba mereka ngeretas akun kita yakan terus dia pake
akun kita untuk segala macem yang tidak senonoh kadang atau yang
merugikan diri kita sampe terjerembab ke dalam hukum yakan, jadi harus."
(Wawancara pribadi dengan Ibu C, Agen Sosialisasi, 21 Juli 2022)

Hal serupa juga turut disampaikan oleh informan PH. Menurutnya,

keberagaman konten di internet tidak selamanya bersifat positif, tetapi juga ada

yang bersifat negatif. Ia juga menambahkan bahwa urgensi literasi digital tidak

hanya untuk remaja saja, tapi sudah harus dipahami mulai dari usia anak-anak

agar mereka dapat memanfaatkan internet secara positif sehingga dapat

menumbuhkan sikap berpikir kritis sedari kecil.

“Iya, penting. Karena kan gini di internet itu ada namanya-ada sesuatu
hal yang berharga gitu, kita bisa belajar darisitu ya. Ada ribuan tutorial,
ada ribuan pembelajaran disitu, tapi ada juga yang garbagenya, sampah-
sampahnya. Tergantung kita, nah kemampuan untuk memilah itu. Nah itu
yang harus kita tanamankan. Jadi, internet itu kan ga selamanya negatif.
Jadi kadang-kadang anak-anak tuh bisa ooh ngerti tentang ini ngerti
tentang itu, itu ga dipelajari di sekolah. Tapi mereka udah bisa dapatkan
tutorial-tutorial itu dari internet, itu kan berarti adalah suatu hal yang
positif. Nah jadi ga cuma remajanya aja, jadi mulai dari anak-anak sampe
remaja pun harus paham. Bagaimana kemudian memanfaatkan internet ini
dengan positif, jadi maksudnya jangan kemudian garbage in garbage out,
jadi masuknya sampah keluarnya sampah, tapi bagaimana kemudian anak-
anak ini tuh ada di posisi critical thinking lah, berpikir kritis bahwa apa
yang mau diambil dari internet.” (Wawancara pribadi dengan informan
PH, Agen Sosialisasi, 01 Agustus 2022)

55
Dengan demikian, orang tua memahami bahwa keduanya yaitu

penggunaan internet dan literasi digital adalah penting dan untuk mencapai

penanaman literasi digital remaja yang baik di era digital dewasa ini, orang tua

turut mempunyai andil dalam membimbing dan mengarahkan sang anak dalam

menggunakan internet. Hal ini selaras dengan temuan peneliti yang mana orang

tua juga memahami bahwa dirinya sebagai orang tua mempunyai peran penting

dalam menanamkan literasi digital kepada anak-anaknya dengan membimbing.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan Ibu C bahwa orang tua jika

diibaratkan dalam sebuah kendaraan adalah sebagai kemudi dan anak sebagai

mesin.

“..Istilahnya orang tua itu kan jadi kemudi, ni anakku mau dibawa
kemana, anakku nanti bakal jadi apa. Itu kan istilahnya, anak ini yang jadi
mesinnya, dia yang bergerak. Dia harus bilang sama kemudinya, aku mau
kesini ma gitu, kapalnya mau kesono. Nah otomatis pengemudinya harus
melihat kalau disitu ada bahaya, kita coba untuk arahkan, jangan lewat
sini, agak minggir kesini. Jadi harus tetep kita bimbing, bagaimanapun,
seusia berapapun, kalau yang namanya anak tuh harus dibimbing.”
(Wawancara pribadi dengan Ibu C, Agen Sosialisasi, 21 Juli 2022)

Penyataan di atas menyiratkan bahwa orang tua memahami bahwa

dirinya mempunyai andil dalam membimbing dan mengarahkan sang anak

dalam menggunakan internet, mau di usia anak menginjak berapapun, peran

orang tua kepada anak pada hakikatnya tetaplah membimbing. Namun, untuk

dapat mengoperasikan penggunaan internet secara efektif yang dapat

menghasilkan output yang positif diperlukan suatu pemahaman yang berkaitan

dengan sikap dan pengetahuan. Oleh karena itu, peneliti juga mengulik lebih

jauh akan pemahaman orang tua terkait penggunaan internet.

56
Pemahaman dalam menggunakan internet juga termasuk langkah-

langkah yang menjadi bagian penting dari literasi digital (Munawar et al. 2019).

Menurut Palupi, Y & Wates, P. P. I. P. dalam (Munawar et al. 2019) pemahaman

penggunaan internet dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain adalah (1)

mengetahui situs, website atau aplikasi yang dapat memberikan manfaat; (2)

mengetahui situs, website atau aplikasi yang berbahaya di internet; (3)

mengetahui keamanan dalam menggunakan internet; (4) komitmen dalam

memahami waktu penggunaan ponsel dan internet yang tepat; (5) memberikan

pengawasan maupun pengecekan ketika anak mengakses internet di rumah; dan

(6) memberikan pendampingan digital.

57
Tabel 3.1. Pemahaman Orang Tua dalam Penggunaan Internet

Pemahaman Dalam Informan


No.
Menggunakan Internet D J C RN PH O
Situs, aplikasi atau
1.      ×
website yang aman
Situs, aplikasi, atau
2.      
website yang berbahaya
Keamanan dalam
3.    ×  
menggunakan internet
Komitmen dalam
memahami waktu
4.  ×    
penggunaan ponsel dan
internet yang tepat
Memberikan
5.  ×    ×
pengawasan, pengecekan
Memberikan
6. × × × × × ×
pendampingan
Sumber: Hasil Wawancara Peneliti

A.1. Pemahaman Terkait Situs, Website atau Aplikasi yang Aman

Para informan agen sosialisasi mengetahui situs-situs apa saja yang

dapat bermanfaat dan aman untuk diakses. Walaupun situs-situs tersebut

tidak disebutkan secara eksplisit, tetapi mayoritas orang tua menyepakati

bahwa aplikasi media sosial seperti TikTok dan Instagram aman digunakan

selama sang anak mengakses internet sesuai dengan usianya dan untuk

tujuan yang positif seperti mencari informasi terkait pengetahuan,

membaca kajian agama untuk memperdalam wawasan, mengetahui berita

terkini, membuat konten yang bermanfaat, dan tidak menggunakan media

58
sosial tersebut untuk menebar kebencian. Hal ini seperti yang diungkapkan

oleh beberapa informan berikut.

“Kalau konten-konten kayak tiktok si boleh. Tapi diliat juga ya yang


diliat apa aja, selama itu bermanfaat kayak cari pengetahuan, baca atau
nonton kajian agama, dia buat konten yang bermanfaat sih bagus banget.
Yang penting mah dia ga komen yang jelek-jelek ke orang. Boleh juga sih
main game, tapi saya pantau main gamenya yang kayak gimana, kalo main
game onlinenya yang berbau judi sampe taruhan gitu jelas saya larang dia.
Saya juga suka cekin hpnya dan sejauh ini gaada yg dia tutupin juga.
Youtube juga boleh lah sesekali anak perlu liat yang hiburan juga kan, tapi
saya sih bilang jangan dah nontonin video yang influencernya suka
ngomong kasar.” (Wawancara pribadi dengan Ibu RN, Agen Sosialisasi,
23 Juli 2022)

“Aplikasi medsos kayak tiktok atau instagram sih C (inisial informan)


membolehkan ya, emang sih di dalem aplikasi itu beragam. Tapi kan apa
yang kita liat yang kita cari nantinya akan jadi preference kita. Jadi yang
terus saya ingetin, selama pemakaian kita untuk hal yang berguna, pasti
algoritma media sosialnya pun mengikuti..” (Wawancara pribadi dengan
Ibu C, Agen Sosialisasi, 21 Juli 2022)

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa apabila konsumsi

penggunaan media sosial baik dan positif, maka algoritma yang

ditawarkan oleh media sosial seperti Instagram dan TikTok akan mengikuti

para penggunanya. Artinya adalah jika setiap pengguna media sosial

seperti Instagram atau TikTok sudah terbiasa mengonsumsi konten

bermanfaat, maka tampilan ke depan yang akan ditawarkan dari media

sosial tersebut mengikuti preferensi konten kesukaan pengguna. Oleh

karena itu, dapat dikatakan orang tua sudah mampu mengetahui alur

algoritma media sosial yang aman dan positif.

Informan PH mengatakan selain aplikasi media sosial yang sudah

disebutkan, aplikasi lainnya yang aman dan bermanfaat untuk dikonsumsi

59
oleh segala kalangan pengguna internet ialah aplikasi Canva dan

Photoshop. Berangkat dari pengalaman kolega salah satu orang tua yang

sebelumnya dapat dibilang pemula dalam hal mengedit atau merancang

sebuah video atau foto, namun kini menjadi handal semenjak banyak

mengeksplor aplikasi Canva dan Photoshop. Melihat perubahan positif

dari teman koleganya, informan menganggap bahwa aplikasi tersebut

sangat bermanfaat untuk digunakan dan dapat menjadi peluang untuk

mengembangkan skill, terlebih untuk orang yang gemar akan hal yang

berkaitan dengan design.

Informan PH juga merekomendasikan aplikasi tersebut kepada

anaknya yang sudah remaja karena anaknya mempunyai keinginan

menjadi YouTuber Gaming, baginya aplikasi tersebut worth it untuk para

pemula yang ingin terjun ke dunia design. Terlebih aplikasi tersebut

menyediakan fitur yang beragam seperti template-template yang menarik,

ukuran design yang bisa diatur sendiri, hingga pengguna dapat

mengkreasikan template sendiri.

“Kalau yang aman dan tentunya bermanfaat yang kak PH tau sih
misalnya kayak canva, adobe photoshop gitu ya. Canva itu aman dan
bermanfaat kan soalnya di dalem aplikasi itu kita disediain banyak
template yang menarik yaa terus juga beberapa templatenya banyak yang
gratis, lumayan lah kalau abang U mau coba belajar untuk design, soalnya
temen-temen kerja kak ph juga kalo design foto gitu banyak pake aplikasi
itu, yang tadinya pemula gabisa ngedit apa-apa, lama-lama jadi jago
ngedit. Jadi kenapa Kak PH sebut itu karena abang U tuh akhir-akhir lagi
seneng ngedit foto atau video gitu, dia kan katanya pengen jadi youtuber
game online, makanya lagi belajar-belajar design foto video gitu dan
karna itu kak ph rekomendasiin ke anaknya juga soal aplikasi itu.”
(Wawancara Pribadi dengan Ibu PH, Agen Sosialisasi, 01 Agustus 2022)

60
Selain aplikasi, terdapat situs yang dianggap orang tua aman untuk

diakses seperti misalnya adalah situs grammarly untuk membantu

siapapun dalam memahami bahasa inggris dan situs YouTube Downloader

untuk mengunduh video yang sekiranya bermanfaat secara gratis. Kedua

situs tersebut dapat dijangkau dari google chrome atau web browser

lainnya dan pastinya akan sangat membantu para pemula. Berikut adalah

pemaparannya.

“Aplikasi medsos kayak tiktok atau instagram sih C (inisial informan)


membolehkan ya, terus kemaren-kemaren C juga nyaranin website
semacem grammarly tuh, karena anaknya katanya pengen belajar bahasa
inggris juga jadi C kasih tau.” (Wawancara pribadi dengan Ibu C, Agen
Sosialisasi, 21 Juli 2022)

“..Kalau kayak nontonin informasi kayak tutorial-tutorial atau


pengetahuan misalnya abang U (inisial anak informan) mau cari tau
tentang sejarah atau fakta yang mengedukasi buat nambah wawasan dia
gapapa gitu. Kak PH juga ngasih tau sih kalo nemu video yang bermanfaat
terus pengen disimpen di hp bisa di download dari Youtube Downloader”
(Wawancara pribadi dengan Ibu PH, Agen Sosialisasi, 01 Agustus 2022)

Dengan demikian, pernyataan di atas menandakan bahwa pada

umumnya orang tua sudah mampu mengetahui aplikasi, situs, atau website

yang sekiranya aman dan bermanfaat untuk digunakan. Walaupun latar

pendidikan orang tua pada penelitian ini ada yang rendah, namun bukan

berarti dirinya tidak mengetahui aplikasi atau website yang sekiranya

bermanfaat atau tidak mempunyai keinginan untuk mencari tahu. Biarpun

dirinya tidak mendalami detail istilah yang ada di dalam dunia digital,

tetapi dirinya masih tahu hal yang aman untuk diakses. Aplikasi yang

aman tersebut pun sangat direkomendasikan oleh para orang tua.

61
A.2. Pemahaman Terkait Situs, Website atau Aplikasi yang Berbahaya di

Internet

Internet tidak hanya menjadi ladang yang menyajikan koten atau

website yang positif saja, melainkan di dalamnya banyak ditemukan pula

sajian konten yang negatif. Sebuah studi mengemukakan bahwa sebagian

besar anak dan remaja di era digital ini telah terekspos konten negatif

berupa konten pornografi yang muncul secara tidak sengaja yang dikemas

dalam bentuk iklan pada sebuah website maupun aplikasi.

Menyiasati permasalahan itu, tentu saja orang tua mempunyai andil

dalam mengembangkan literasi digital anak. Meskipun saat ini orang tua

mengalami ketertinggalan dari Generasi Z dalam menguasai penggunaan

teknologi, namun bukan suatu hal yang mustahil apabila orang tua mampu

beradaptasi dengan teknologi dan mempunyai pengetahuan tersebut.

Temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa orang tua

mampu membedakan aplikasi game online yang sekiranya berbahaya

untuk digunakan.

Cara orang tua mengetahui bahwa aplikasi tersebut berbahaya

dengan melihat bagaimana alur game itu bekerja. Jika dalam aplikasi game

tersebut pengguna diminta untuk bayar terlebih dahulu seperti booking

slot, maka besar kemungkinan orang tua menandakan game tersebut

mengandung unsur perjudian. Maka, apabila sudah seperti itu orang tua

tentu akan melarang sang anak mengunduh dan bermain game tersebut.

62
“..Kalo ada game yang kak ph gatau, kadang tanya ini gamenya kayak
gimana, kalo gamenya bukan yang menjurus kayak judi gitu kak ph
biasanya ngebolehin. Cara tau game itu ngandung unsur judinya jadi kak
ph cek dulu tuh gamenya semacem kartu gitu apa bukan, terus sebelum
main harus booking dulu atau engga. Kalau iya harus booking, besar
kemungkinannya itu game judi.” (Wawancara Pribadi dengan Ibu PH,
Agen Sosialisasi, 01 Agustus 2022)

Orang tua juga mengetahui situs-situs apa saja yang sekiranya

berbahaya untuk diakses oleh anak maupun remaja. Semua orang tua

menyetujui bahwa konten dewasa merupakan konten atau situs yang

berbahaya untuk diakses. Hal itu disebabkan oleh dampaknya yang dapat

menganggu pikiran dan konsentrasi seseorang.

“Kalau saya sih selama dia masih istilah kata ee apa masih
konten-konten bagus gitu, saya kasih. Tapi kalau konten-konten
berbau pornografi, gimana ya saya pengen marahin aja hahaha.”
(Wawancara Pribadi dengan Ibu RN, Agen Sosialisasi, 21 Juli 2022)

“Terus juga soal konten yang beredar di internet, ibu tau kalo
itu belum waktunya diakses oleh anak. Kadang misal orang ga buka
situs atau nonton yang aneh-aneh kan suka muncul tiba-tiba juga ya
entah iklan lah apa lah, kalo udah begitu langsung skip aja deh, itu
di luar kendali kita kan soalnya, emang pemerintah yang belum
sanggup nutupin semua akses konten yang begitu.” (Wawancara
Pribadi dengan Ibu O, Agen Sosialisasi, 06 Agustus 2022)

Petikan wawancara di atas secara tersirat sedikit menyinggung peran

pemerintah, yang seharusnya anak dan remaja bisa terbebas dari konten

pornografi tersebut, namun yang terjadi malah sebaliknya yaitu masih

terdapatnya kalangan muda yang mudah terekspos oleh konten pornografi

akibat belum meratanya akses konten negatif yang ditutup oleh

pemerintah, khususnya Kominfo.

63
Pemahaman lainnya yang dikuasai oleh orang tua mengenai spam

iklan yang mempunyai modus jahat di belakangnya. Tindakan tersebut

kerap kali terjadi di ruang digital yang dikenal dengan sebutan scam. Cara

orang tua mencegah hal itu adalah dengan tidak mudah percaya dengan

iming-iming yang menggiurkan dan menghapus chat spam tersebut. Hal

ini terungkap dalam pernyataan informan sebagai berikut.

“Gausah ikut-ikutan kalau ada berita ini, ada suprise selamat atau apa
lah gitu yang biasanya suka ada di sms-sms, gausah dipercaya dan lebih
baik dihapus lah karena spam juga kan.” (Wawancara Pribadi dengan Ibu
J, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

“Terus juga ibu suka bilangin kalo dapet chat tawaran yang
menggiurkan itu jangan langsung ditelen mentah-mentah. Kadang yang
begitu tuh suka nipu, modusnya kita bakal dapet bonus gede lah apa lah,
nyatanya malah duit kita yang di scam. Yang begitu neng yang ibu suka
bilangin ke anak mah.” (Wawancara Pribadi dengan Ibu O, Agen
Sosialisasi, 06 Agustus 2022)

Maka, berdasarkan pernyataan di atas secara umum orang tua

mampu memahami konten, aplikasi, maupun situs yang berbahaya di

ruang digital.

A.3. Pemahaman Terkait Keamanan dalam Menggunakan Internet

Keamanan digital merupakan kemampuan yang penting dimiliki

oleh tiap individu untuk melindungi dan mengamankan data pribadi dari

berbagai ancaman digital yang membahayakan (Adikara et al. 2021).

Internet yang bersifat global mampu menghubungkan berbagai perangkat

dari seluruh penjuru dunia tanpa mengenal batas ruang dan waktu telah

menjadi salah satu perhatian yang cukup serius bagi para kritisi. Hal ini

64
mengingat persoalan keamanan digital sampai saat ini masih terus mencuat

yang penyebabnya dipicu oleh belum adanya kesadaran masyarakat untuk

memahami pentingnya melindungi data pribadi di era derasnya

perkembangan teknologi dan internet (Adikara et al. 2021).

Persoalan mengenai keamanan digital kini semakin kompleks ketika

interaksi digital tidak hanya melibatkan kelompok usia dewasa saja,

melainkan sudah mulai melibatkan kelompok usia anak-anak hingga

remaja yang mana tergolong ke dalam kelompok pengguna internet yang

rentan (Adikara et al. 2021). Oleh karena itu, sudah seharusnya agen

sosialisasi terdekat seperti keluarga mampu menguasai bentuk keamanan

digital agar nantinya orang tua mampu mewariskan pengetahuannya

kepada anak-anaknya, khususnya remaja. Hal ini dikarenakan masing-

masing pengguna internet menjadi kontrol utama keamanan data (Adikara

et al. 2021).

Bentuk proteksi keamanan digital yang ditemukan pada penelitian

ini adalah beberapa orang tua sudah mampu memahami pencegahan agar

perangkat digital tidak rentan terserang virus malware atau virus siber

lainnya. Menurut orang tua, salah satu langkah preventif yang dapat

dilakukan adalah dengan tidak mengunduh dokumen atau aplikasi dari

situs yang tidak bisa dipercaya atau kredibel. Alangkah lebih baik

mengunduhnya dari situs resmi atau terpercaya saja, hal ini untuk

mencegah masuknya virus malware ke perangkat digital, seperti ponsel,

laptop, komputer, maupun perangkat digital lainnya. Terdapatnya latar

65
pendidikan orang tua yang rendah tidak lantas menjadikannya gagap

dalam teknologi. Hal ini menjadi menarik karena orang tua yang

memahami keamanan digital ini ternyata ada juga yang berlatar

pendidikan rendah. Temuan ini bertolak belakang dengan adanya

anggapan yang beredar di masyarakat bahwa orang yang berpendidikan

rendah, akan rendah pula pengetahuannya dalam memahami sesuatu hal.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh beberapa informan seperti berikut.

“Ya seperti di internet itu kan suka banyak iklan-iklan yang gajelas ya
mbak, saya juga suka ingetin ke anak lah kalau ada iklan-iklan yang
muncul gausah di klik karena takutnya mengandung serangan siber
malware atau apa sih itu istilahnya ee virus komputer yang bahaya buat
komputer, soalnya di rumah kan ada komputer juga.”(Wawancara pribadi
dengan Bapak D, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

“..Saya juga suka ingetin, aplikasi di hp tuh jangan download dari situs
yang ga resmi karna bisa nimbulin virus di hp.” (Wawancara pribadi
dengan Ibu J, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

Orang tua juga memahami cara untuk mengamankan data pribadi

agar tidak disalahgunakan oleh pihak yang berniat buruk. Cara ideal yang

dianggap aman untuk melindungi data pribadi adalah dengan tidak

mengunggah atau menyebarluaskan informasi pribadi ke orang yang tidak

dikenal seperti nomor handphone, nomor induk, tempat tanggal lahir, dan

nama lengkap. Menurut orang tua, informasi tersebut bisa diserahkan

kalau punya kepentingan tertentu saja. Selebihnya, data pribadi tersebut

lebih baik disimpan untuk diri sendiri.

“Kalau kak PH (inisial informan) sih selalu ingetin ke abang U (inisial


nama anak) kalau data pribadi kayak nomor induk terus nomor hp, tempat
tanggal lahir, itu tetep keep in private, jangan disebarluaskan kemana-

66
mana, kecuali kalau itu memang dibutuhkan untuk keperluan penting ya
itu beda lagi.” (Wawancara pribadi dengan Ibu PH, Agen Sosialisasi, 01
Agustus 2022)

Informan lain mengatakan bahwa cara mengamankan data pribadi

dapat juga berupa mengaktifkan kata sandi pada setiap perangkat digital.

Cara ini dianggap sebagai cara praktis agar orang lain tidak bisa seenaknya

membuka perangkat digital seperti ponsel. Hal ini juga mencegah niat

buruk orang lain untuk membocorkan data pribadi. Sebagaimana yang

dikatakan oleh Informan O, yang diwawancarai pada 06 Agustus 2022,

“Yang saya tahu sih paling kalo hp tuh usahain harus dipasang pin atau

kata sandi ya. Jadi kalo kita lagi lengah ga megang hp terus ada orang

yang tiba-tiba minjem tuh, dia ga bisa akses hp kita karna kan gatau

passwordnya” (Agen Sosialisasi).

Hal ini menandakan bahwa umumnya para orang tua mempunyai

pemahaman dalam menjaga dan mengamankan data pribadi. Cara yang

sudah dipaparkan di atas disinyalir sebagai cara ideal untuk mencegah

orang yang mempunyai niat buruk dalam membocorkan data pribadi

maupun melindungi data pribadi.

A.4. Pemahaman Terkait Komitmen dalam Memahami Waktu

Penggunaan Ponsel dan Internet yang Tepat

Media sosial bukanlah suatu istilah yang asing lagi di mata publik.

Istilah yang sudah populer ini diartikan sebagai suatu platform yang

digemari para pengguna internet untuk memuaskan hasrat jiwa sosialnya.

67
Pada umumnya, para pengguna internet ataupun media sosial mampu

menghabiskan waktu berjam-jam dalam sehari hanya untuk online dan

mengeksplor jejaring sosialnya. Menurut laporan yang dirilis oleh We Are

Social menyebutkan bahwa para pengguna internet mampu menghabiskan

waktu selama 60 hingga 180 menit dalam sehari. Lebih lanjut, disebutkan

bahwa semakin muda usia pengguna media sosial, maka semakin lama

pula durasi yang digunakannya dalam mengakses media sosial. Lantas,

semakin banyak jenis media sosial yang digunakan juga memungkinkan

para penggunanya mengalami risiko lain.

Kondisi tersebut apabila dibiarkan selama terus menerus tentu akan

mengkhawatirkan, terutama untuk para kalangan muda seperti anak-anak

dan remaja, sebab anak yang sudah mengalami adiksi tidak akan mudah

untuk berhenti menggunakan gadget atau ponsel sampai ia merasa puas.

Pun, dari segi fisik apabila penggunaan media sosial dilakukan hingga

larut malam, secara kesehatan dapat menganggu konsentrasi dan siklus

tidur.

Oleh karena itu, dibutuhkan komitmen tegas yang telah disepakati

bersama antara orang tua dan anak. Pada indikator ini, secara umum orang

tua memahami waktu penggunaan internet yang tepat untuk sang anak.

Dari data yang peneliti temukan, mayoritas orang tua membatasi waktu

penggunaan ponsel maupun internet pada saat waktu beribadah tiba, waktu

makan dan jam paling malam menggunakan ponsel. Komitmen itu

dianggap oleh mayoritas orang tua sebagai waktu yang ideal, agar baik

68
orang tua dan anak tidak terlalu terlena dalam kegiatan non produktif yang

mengakibatkannya lupa dengan tanggung jawab dan kewajibannya.

A.5. Memberikan Pengawasan maupun Pengecekan

Beberapa orang tua juga memberikan pengawasan maupun

pengecekan ponsel ketika anak sedang mengakses internet. Hal ini

terungkap dalam pernyataan sebagai berikut.

“Aturan tegas sih gaada, cuma pengawasan. Saya sesekali juga hpnya
saya kontrol. Kalau ada yang dikunci-kunci atau disandi, berarti kan sudah
ada hal yang ga benar disitu. Wa atau apapun saya buka. Supaya tidak
disalahgunakan.” (Wawancara pribadi dengan Bapak D, Agen Sosialisasi,
19 Juli 2022)

“Iya pernah, kadang memang dicek walaupun kita ada sedikit-sedikit


ga ngerti. Paling kita nanya, ini apaan sih? Ini maksudnya gimana?..”
(Wawancara pribadi dengan Ibu C, Agen Sosialisasi, 21 Juli 2022)

“Iya, takutnya kan tau sendiri anak-anak sekarang suka kadang-


kadang dikirim gambar-gambar yang gimana ya kan sebagai orang tua
kita takut juga ya, was-was juga.” (Wawancara pribadi dengan Ibu RN,
Agen Sosialisasi, 23 Juli 2022)

Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa terkadang orang tua

merasa curiga apabila pada satu waktu ponsel sang anak dalam suatu

media sosialnya diberikan password. Apabila menemukan keanehan

tersebut, orang tua menganggap ada yang disembunyikan oleh sang anak.

Oleh karena itu, pengawasan dan pengecekan diberlakukan. Walaupun

sebagian orang tua memberikan rasa percaya kepada sang anak,

bagaimanapun ia merasa hal itu tetap perlu dikontrol.

69
Alasan orang tua memberikan pengawasan tersebut untuk

memastikan sang anak tidak menyalahgunakan penggunaan media sosial

dan semata-mata untuk memastikan apakah sang anak dapat

memaksimalkan penggunaan internet atau tidak. Ketika dalam pengecekan

orang tua menemukan hal yang dianggapnya tabu, orang tua tidak segan

untuk bertanya kepada anak dan meminta penjelasan akan maksud dari apa

yang dilihatnya. Dengan demikian, terdapat hubungan yang dua arah

antara orang tua dengan anak. Lantaran sang anak pun tidak merasa

keberatan apabila orang tuanya melakukan pengecekan ponselnya, seperti

yang dikatakan oleh Informan ID selaku anaknya, “Aku sih biasa aja,

terima-terima aja kak kalau hp udah diambil karena gaada apa-apa juga

hahaha” (Target Sosialisasi).

A.6. Memberikan Pendampingan Digital

Di era digital yang seharusnya orang tua berperan aktif terhadap

aktivitas anak dalam menggunakan internet, justru yang terjadi malah

sebaliknya. Orang tua merasa tanggungannya dalam memberikan

pendampingan digital kepada anak menjadi suatu tantangan yang berat.

Tidak jarang dari mereka merasa anaknya lah yang lebih paham dalam

mengakses internet dibanding orang tuanya itu sendiri. Pernyataan ini

dipertegas oleh informan berikut:

“..Soalnya perasaan pinteran dia daripada kita dah hahaha. Anak


jaman sekarang pinter-pinter dibanding orang tuanya.” (Wawancara
pribadi dengan Ibu RN, Agen Sosialisasi, 23 Juli 2022)

70
“..Soalnya kan mohon maaf banget lebih paham dan lebih ngerti dia
(anak).” (Wawancara pribadi dengan Pak D, Agen Sosialisasi, 19 Juli
2022)

Pernyataan di atas secara tidak langsung menunjukkan bahwa di era

digital yang seharusnya orang tua lebih memahami dan menguasai

penggunaan internet agar dapat memberikan pengarahan dan bimbingan

kepada anak, namun yang ditemukan adalah tidak jarang orang tua di

sekitar kita yang masih gagap teknologi. Ketertinggalannya dalam

mengoperasikan penggunaan internet justru menjadi faktor penghambat

bagi anak untuk mendapatkan pengarahan yang mumpuni. Akibat dari

ketertinggalan itu membuat orang tua yang acap kali bertanya kepada

anaknya akan permasalahan dalam internet, bukan sebaliknya.

Sebagaimana yang disampaikan oleh informan C dan D.

“Saya juga kan termasuk orang yang kudet ya ga begitu paham banget
soal internet karena disini kalau dibilang banyak banget kan.. Kalaupun
nanti kita ga paham, anak kita paham, kita bisa bertanya gitu”(Wawancara
Pribadi dengan Ibu C, Agen Sosialisasi, 21 Juli 2022)

“Iyaa, soalnya contoh lah kita ini kan termasuk sudah ketinggalan jadi
ya hanya sebatas aware aja. Malah justru anak sendiri yang harus kita
arahkan.” (Wawancara Pribadi dengan Pak D, Agen Sosialisasi, 19 Juli
2022)

Salah satu penyebab orang tua mengalami ketertinggalan dalam

penggunaan internet ialah belum meratanya sosialisasi literasi digital yang

dilaksanakan oleh pihak setempat. Sebab mayoritas orang tua yang

menjadi informan pada penelitian ini mengaku bahwa mereka belum

pernah mendapatkan sosialisasi seputar literasi digital, baik yang

71
diselenggarakan dari pemerintah, komunitas PKK, maupun lembaga

Gerakan Literasi Digital Nasional. Berdasarkan hasil wawancara, lima dari

enam orang tua informan ini memaparkan bahwa sebelumnya sosialisasi

terkait literasi digital keluarga sempat diisukan akan terselenggarakan di

lingkungan setempatnya, namun pada perwujudannya masih menjadi

wacana belaka hingga saat ini. Sebagaimana pernyataan yang dilontarkan

oleh informan D dan J:

“Belum ada sih seinget saya, cuma pernah denger rumor-rumornya


aja. Mungkin dalam waktu dekat akan direalisasiin ya.” (Wawancara
pribadi dengan Pak D, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

“Waktu itu sih rumornya pernah ada, tapi belum ada


agendanya.”(Wawancara pribadi dengan Ibu J, Agen Sosialisasi, 19 Juli
2022)

Dari keenam informan agen sosialisasi yang telah peneliti

wawancarai, hanya satu informan yang sudah mendapatkan sosialisasi dari

pihak setempat yaitu informan O, seorang IRT yang juga mempunyai

sampingan menjadi guru ngaji dan aktif di lingkungannya. Sosialisasi yang

ia ikuti didapatkan dari kelurahan dan diperuntukkan untuk ibu-ibu agar

para orang tua dapat lebih memahami penggunaan internet yang benar dan

tidak lain untuk menanamkan literasi digital keluarga. Seperti yang

disampaikan oleh informan O, “pernah, di kelurahan kan pernah ada

waktu itu. Ibu dulu juga pernah ikutin sekali, udah dari lama sih itu

sosialisasinya, dari beberapa tahun yang lalu” (Ibu O, Agen Sosialisasi,

06 Agustus 2022).

72
Pernyataan di atas menandakan bahwa meskipun gerakan literasi

digital sudah digaungkan di Depok, namun pada kenyataannya sosialisasi

tersebut belum merata hingga ke seluruh wilayah Depok. Sosialisasi

literasi digital yang dilakukan oleh pihak kelurahan setempat masih belum

merata ke seluruh RW. Padahal sosialisasi tersebut perlu dilakukan secara

merata, mengingat saat ini penggunaan internet telah menjadi perhatian

yang serius khususnya bagi remaja (Hakim et al. 2017). Oleh karena itu,

sudah seharusnya orang tua mendapatkan sosialisasi literasi digital yang

juga diiringi dari pihak setempat agar mereka lebih memahami

penggunaan internet atau media digital sehingga dapat memberikan

bimbingan, pengawasan maupun pendampingan yang lebih efektif kepada

anak-anaknya.

Hal ini mengingat dampak negatif penggunaan internet sudah turut

dirasakan oleh salah satu informan peneliti yaitu informan M yang

diwawancarai pada 19 Juli 2022, “..Aku pernah ngalamin dampak

negatifnya juga, waktu itu aku pernah ketipu kak pas mau beli barang

online gitu di instagram. Ketipunya emang ga gede sih tapi tetep nyesek

banget kak pas tau ketipu, uang tabungan aku soalnya.” Kejadian yang

tidak diharapkan tersebut tentu sangat merugikannya, walaupun nominal

yang dikeluarkan tidak terlalu besar, tetapi effort yang dibutuhkan untuk

mencapai target harga barang yang diinginkan agar dapat membeli dan

mewujudkannya seakan menjadi upaya yang sia-sia setelah penantian

yang panjang.

73
Maka dari itu, untuk menindaklanjuti kejadian tersebut agar tidak

terulang, orang tua juga memerlukan pemahaman yang baik dalam

menggunakan internet. Walaupun, dalam penelitian ini ditemukan

keterbatasan yang dialami oleh sebagian orang tua, tetapi secara umum

orang tua sudah memahami penggunaan internet yang cukup efektif.

B. Sosialisasi Penggunaan Internet dalam Keluarga

Sosialisasi didefinisikan sebagai sebuah proses penanaman nilai dan

aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau

masyarakat (Subadi 2008). Maccoby dalam Shin (2013) mengatakan bahwa

orang tua menerima perhatian yang paling banyak di antara berbagai agen

sosialisasi yaitu sebagai agen utama sosialisasi anak. Hal ini disebabkan karena

dalam prosesnya, diperlukan agen sosialisasi yasng diharapkan dapat

mentransmisikan aturan atau norma, sikap dan nilai-nilai tertentu, baik

dilakukan secara langsung maupun tidak langsung kepada individu yang

bersangkutan.

Pada penelitian ini, hanya terdapat empat bentuk sosialisasi penggunaan

internet di dalam keluarga, yaitu sosialisasi afeksi, sosialisasi operan, sosialisasi

observasi, dan sosialisasi kognitif yang mana keempat sosialisasi tersebut tidak

berdiri sendiri, melainkan keempatnya saling berkaitan.

Meskipun, secara tidak langsung tujuan sosialisasi yang dilakukan oleh

orang tua pada penelitian ini mempunyai kesamaan yaitu untuk menanamkan

74
literasi digital. Namun, terdapat perbedaan pada nilai yang ditanamkan oleh

masing-masing agen sosialisasi.

B.1. Affective of Socialization (Effect Emerges from Feeling)

Sosialisasi afeksi ialah sosialisasi yang digunakan orang tua mengarah

pada keterikatan, baik dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja melalui

interaksi (Berns 2013). Melalui sebuah interaksi antara anak dengan orang tua,

akan membentuk gambaran-gambaran tertentu pada masing-masing pihak

sebagai hasil dari komunikasi (Maimunah 2016). Dari data yang didapat melalui

wawancara, kedekatan antara orang tua dan anak dapat terlihat dari frekuensi

komunikasi yang dibangun melalui interaksi yang cukup intens.

Informan Bapak D mengungkap bahwa saat sedang berada di rumah,

dirinya mengaku sering berinteraksi dengan anak-anaknya, persoalan yang

dibahas bersama anaknya pun cukup beragam. Tidak jarang Bapak D turut

berdiskusi, mengarahkan dan sharing mengenai persoalan internet bersama

anaknya. Terdapat kesamaan yang dilakukan oleh Informan Ibu RN.

Kedekatannya bersama sang anak dapat terlihat dari keterbukaan dalam

berinteraksi antara agen sosialisasi dan target sosialisasi. Hal ini dipertegas oleh

pernyataan Informan sebagai berikut:

“Yang jelas kita sering komunikasi ya, itu satu.. Hal-hal yang negatif
atau apa harus kita terangkan juga dan diarahin.” (Wawancara pribadi
dengan Bapak D, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

“Kalau kita tuh di keluarga tuh istilahnye saling terbuka jadi si anak
nih kalau ada masalah di rumah, “ma ini dosen-dosennya begini, ma ini
belajar gurunya begini” gitu, kite jadi saling sharing aja kalo di rumah.”
(Wawancara pribadi dengan Ibu RN, Agen Sosialisasi, 23 Juli 2022)

75
Pernyataan di atas secara tersirat menunjukkan bahwa frekuensi interaksi

yang dilakukan oleh orang tua dan anak dapat dikatakan sering. Orang tua

menyadari interaksi tersebut penting dilakukan karena melalui interaksi, ia

berharap hubungannya dengan sang anak dapat menjadi harmonis. Sehingga,

nantinya orang tua dapat leluasa untuk membicarakan atau mengarahkan anak

dalam bermain internet atau menggunakan media digital. Terlebih, bagi

beberapa orang tua hal-hal negatif dalam berinternet sudah seharusnya

disosialisasikan kepada sang anak. Bahkan, beberapa informanya lainnya

mengungkapkan bahwa keterbukaan merupakan elemen penting untuk

membangun keluarga yang harmonis dan juga bahagia.

“Penting, penting banget. Kalau orang tua sama anak sama-sama


terbuka, justru kan bakal saling ngebantu. Adanya keterbukaan ini kan
bikin anggota keluarga jadi bisa saling percaya dan ga nimbulin rasa
curiga. Jadi bisa dibilang kuncinya itu. Terbuka itu bukan soal di dalam
percintaan aja, tapi juga dalam keluarga sangat dibutuhkan.”
(Wawancara pribadi dengan Ibu PH, Agen Sosialisasi, 01 Agustus 2022)

“Perlu dong yang pasti. Kan kalo ada keterbukaan kejujuran,


kedepannya jadinya enak. Kita sama-sama bisa saling ngertiin dan kunci
keharmonisan keluarga juga begitu.” (Wawancara pribadi dengan Ibu RN,
Agen Sosialisasi, 23 Juli 2022)

Kutipan wawancara di atas menegaskan bahwa keterbukaan tidak hanya

diperlukan dalam sebuah hubungan percintaan antara dua orang saja, melainkan

juga diperlukan dalam sebuah keluarga. Hal tersebut diperlukan untuk

menciptakan keharmonisan di dalam rumah tangga. Adanya suatu keterbukaan

akan menumbuhkan rasa saling percaya dan menghindari rasa saling curiga

76
antara anggota keluarga lainnya. Orang tua tentu saja mempunyai peran penting

dalam menumbuhkan keterbukaan antara anak dengan orang tua, sebab

komunikasi dan setiap tindakan yang dilakukan orang tua dapat mempengaruhi

kehidupan sang anak kelak.

Setiap keluarga tentu mempunyai cara yang berbeda-beda dalam

membangun membangun keterikatan ataupun keterbukaan dengan sang anak.

Pada beberapa keluarga, cara yang dilakukan orang tua adalah sebelum memulai

topik pembicaraan atau bertanya terlebih dahulu, hal pertama yang ia lakukan

ialah mengamati kondisi sang anak. Apabila sang anak terlihat sedang luang,

maka orang tua akan menghampirinya dan bertanya mengenai kondisinya seperti

bagaimana kesehariannya, bagaimana perasaannya, hal apa saja yang sudah

dilakukan anak, atau sekedar pertanyaan sudah makan atau sholat sebagai bentuk

perhatiannya. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara sebagai berikut.

“Saya sih kalau di rumah lagi senggang terus anak juga lagi ga ngapa-
ngapain, biasanya suka nanyain mbak tadi dia ngapain aja, ketemu siapa
aja, ingetin udah makan sama sholat apa belum. Sekedar itu aja sih mbak,
terus obrolannya nanti ngalir sendiri.” (Wawancara pribadi dengan Bapak
D, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

“Saya biasanya liat dulu anaknya lagi ngapain mbak. Misal anaknya
lagi main game terus, nah itu cara saya buka topik nanya dulu itu dia main
game apa, lagi main sama siapa, sholatnya udah atau belum, tugasnya
udah dikerjain apa belum. Kadang soalnya kalo udah main hp lah atau
internet lah, anak tuh suka lupa waktu sampe tugas di ntar-ntarin. Terus
misal kalo anak mukanya keliatan lagi seneng, itu saya suka tanya abis
ngapain seneng kayak gitu, terus nanti anaknya cerita sendiri.”
(Wawancara pribadi dengan Ibu J, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

“Hal yang biasa saya lakuin kalau mau mulai interaksi sama anak itu
basa basi dulu tanyain kondisi dia. Kalau anak baru pulang sekolah, udah
ganti baju, terus lagi istirahat duduk di sofa, saya suka tanyain tadi di
sekolah gimana aja, gurunya gimana, temen-temennya gimana, biar anak

77
tuh peka sama perasaannya juga. Jadi karena udah dibiasain begitu, anak
jadi suka cerita ke saya. Tentang a lah b lah c lah.” (Wawancara pribadi
dengan Ibu RN, Agen Sosialisasi, 23 Juli 2022)

Berdasarkan kutipan wawancara tersebut terlihat bahwa pertanyaan yang

dilontarkan oleh orang tua dalam berkomunikasi dengan anak merupakan bagian

dari bentuk perhatiannya. Bahkan, ada juga orang tua yang selalu mengingatkan

anaknya bahwa dirinya siap mencurahkan waktu dan pikirannya untuk

mendengarkan cerita anak-anaknya, baik itu cerita baik ataupun buruk seperti

yang dilakukan oleh Informan Ibu PH. Berikut adalah penuturannya.

“Kak ph juga sejauh ini selalu berusaha untuk tau kondisi anak-anak,
makanya kak ph selalu ingetin ke dia kalau ngerasa ada yang ganjel atau
butuh cerita, bunda selalu ada ya, jangan dipendem sendiri” (Wawancara
Pribadi dengan Ibu PH, Agen Sosialisasi, 01 Agustus 2022)

Namun, tidak semua orang tua dapat menunjukkan ekspresi tersebut,

lantaran aktivitas atau kesibukkan orang tua yang terkadang membuatnya jarang

bertemu atau berkomunikasi secara langsung dengan anak. Hal ini sebagaimana

yang dirasakan oleh Informan Ibu C.

“Terus terang aja ya karena caca orangnya ga bisa stand by di rumah


terus, jadi kadang merasa kurang deket juga sama anak. Paling bisa
quality time kalau lagi libur aja sabtu minggu. Makanya rara tuh lebih
deket sama neneknya, karena kalau caca kerja kan, dia di rumah sama
neneknya.” (Wawancara Pribadi dengan Ibu C, Agen Sosialisasi, 21 Juli
2022)

Meskipun Ibu C mengalami kendala dalam berkomunikasi secara

langsung dengan anaknya, tetapi ia juga tetap memikirkan alternatif lainnya

untuk dilakukan demi menjaga keharmonisannya dengan sang anak. Saat Ibu C

78
sedang bekerja, ia akan berusaha untuk menjaga komunikasi dengan anaknya

melalui Whatsapp. Hal tersebut ia lakukan agar sang anak tetap merasakan kasih

sayangnya walaupun terpisah oleh ruang dan waktu. Sama halnya dengan

keluarga lainnya, saat berkomunikasi melalui daring Ibu C kerap kali

menanyakan aktivitas sang anak, makanan yang sedang diinginkan oleh sang

anak, hingga kegiatan yang ingin dilakukan anak. Terkait penggunaan internet,

terkadang ia juga suka menanyakan sang anak apabila ekspresi sang anak dalam

bermain hp terlihat berbeda. Misalnya, saat bermain hp sang anak menunjukkan

ekspresi tertawa, Ibu C tidak segan untuk langsung bertanya seperti sedang

melihat apa, dan anak menanggapinya dengan keterbukaan yaitu menunjukkan

apa yang dilihatnya saat bermain internet maupun tanpa ditanyakan terlebih

dahulu, anak dengan sendirinya akan terbuka kepada orang tua. Sebagaimana

yang dituturkan oleh informan Ibu C.

“..Kayak soal internet atau media sosial juga sama, caca suka tanya
tuh kalau misal dia waktu lagi main hp keliatan senyam senyum terus, caca
tanyain lagi chatan sama siapa terus dia jawab temen, pas dikasih liat
emang bener temennya. Terus kadang dia cerita juga temennya ngirimin
video lucu ke dia, terus videonya ditunjukkin ke caca. Dia pun ke caca
sikapnya santai, kadang anaknya juga suka cerita. Kayak misal di medsos
lagi rame apa, terus dia suka nunjukkin ke caca dan ceritain tentang yang
lagi viral.” (Wawancara pribadi dengan Ibu C, Agen Sosialisasi, 21 Juli
2022)

Kutipan wawancara di atas menunjukkan bahwa anak akan terbuka dengan

orang tua apabila pada kondisi tertentu orang tua dapat memposisikan dirinya

sebagai figur yang bersedia untuk mendengarkan segala keluh kesah anak dan

juga tidak terlalu menghakiminya. Namun, beberapa orang tua juga merasa sang

79
anak membutuhkan privacy. Privacy tersebut menyangkut beberapa hal yang

sangat dihargai oleh orang tua yang membuatnya merasa tidak pantas untuk ikut

campur, seperti mengenai pasangan, pertemanan, atau hal lainnya yang lebih

sepadan untuk diceritakan kepada teman sebaya. Bagi orang tua, selama anak

mau untuk cerita, maka ia akan berusaha untuk menjadi sosok terdepan yang

selalu ada untuk mendengar dan memberi dukungan. Namun, bila sebaliknya,

orang tua juga tidak akan memaksa. Seperti yang diungkapkan oleh informan

Ibu J, “Tapi saya ke anak mah kalo masalah pribadi ga yang ikut campur ya.

Kalau dia mau cerita ya, saya tanggepin, kalau engga ya udah. Yang penting

saya udah ingetin dia harus gini gini.” (Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hubungan yang terjalin antara

agen sosialisasi dengan target sosialisasi sangat intens. Frekuensi interaksi sering

dan berlangsung secara dua arah atau timbal balik. Orang tua berusaha untuk

mengerti kondisi anak, sebaliknya sang anak juga berusaha untuk menjaga

kepercayaan yang sudah diberikan oleh orang tua. Selain itu, topik pembicaraan

antara keduanya juga beragam, anak tidak segan untuk menceritakan apa yang

sedang dialaminya, beberapa orang tua juga berusaha menunjukkan rasa

kepeduliannya, sehingga tumbuh keterikatan di dalam keluarga. Maka, hal ini

sesuai dengan bentuk sosialisasi afeksi yang dikemukakan oleh Berns.

Dengan keterikatan yang terjalin antara orang tua dan anak akan

memanifestasikan pikiran bahwa hal tersebut merupkan suatu bentuk perhatian

dan kasih sayang. Sehingga dengan keterikatan tersebut, ke depan orang tua

dapat leluasa mengarahkan dan memberikan sosialisasi mengenai penggunaan

80
internet yang sehat untuk menanamkan literasi digital kepada sang anak,

khususnya remaja yang sedang di fase memiliki rasa keingintahuan yang tinggi.

B.2. Operant of Socialization (Effect Emerges from Acting)

Sosialisasi operan ialah sosialisasi yang digunakan orang tua mengacu

pada tindakan orang tua yang memberikan dampak terhadap perilaku anak

melalui pemberian masukan (feedback), hukuman (punishment), dan penguatan

(reinforcement) (Berns 2013). Mayoritas keluarga pada penelitian ini

mengetahui konten atau informasi yang biasa dilihat anak ketika bermain

internet.

Informan Ibu O mengatakan aktivitas yang biasa diakses anak di internet

ialah membuka media sosial dan mencari materi yang berkaitan dengan

pelajaran, “Yang ibu liat sih dia seringnya ngobrol sama temen-temennya, sama

tugas sekolah, media sosial juga sering” (Ibu O, Agen Sosialisasi, Agustus

2022). Hal ini diperkuat oleh pernyataan yang disampaikan oleh A selaku anak

dari Ibu O yang diwawancarai pada 01 Agustus 2022, “Biasanya liat ee itu apa

sih kayak mau cari tau berita yang baru di sosmed terus liat video-video lucu

aja”. Keluarga Ibu RN juga mengetahui kebiasaan yang dilihat anak ketika

bermain internet. Dari hasil wawancara ia mengatakan, “Paling tentang hiburan

si terus game, tiktokan, kalau kakaknya makeup” (Ibu RN, Agen Sosialisasi, Juli

2022). Pernyataan Ibu RN dipertegas oleh anaknya yaitu Informan AB yang

menyatakan “Main game, liat tiktok, atau scroll-scroll media sosial aja sih kak”

(AB, Target Sosialisasi, Juli 2022).

81
Sementara pada keluarga Ibu PH, hal yang biasa diliat oleh anaknya lebih

cenderung kepada game online dan aplikasi streaming seperti Youtube. Menurut

penuturan Ibu PH, ketika bermain internet sang anak jarang membuka media

sosial, “Yang sering kak PH (inisial informan) liat sih anak bukanya games,

youtube, atau nonton film animasi aja sih. Kalau buka sosmed semacem

instagram, tiktok, gitu gitu jarang, karena anaknya juga ga aktif aktif banget di

sosmed”. Hal tersebut juga dibenarkan oleh U selaku anaknya, “..kayak main

game aja terus nonton, udah gitu doang. Nontonnya kayak konten game gitu

yang ada di youtube terus kadang juga ee tentang agama” (U, Target Sosialisasi,

01 Agustus 2022).

Berdasarkan penjabaran di atas, terlihat bahwa anak-anak lebih banyak

menggunakan internet untuk mengakses media sosial, melihat konten hiburan,

bermain game online, dan membuka aplikasi streaming video. Melalui media

digital kita dapat melihat, mencari dan mengonsumsi puluhan hingga ratusan

informasi. Tidak hanya informasi bersifat positif saja yang tersaji di internet,

melainkan terdapat juga informasi atau konten yang bersifat negatif. Pernyataan

ini dipertegas oleh informan Ibu C,

“Kalau konten itu pasti ada plus minus ya dan juga ga semuanya itu
pasti kayak misalnya maaf disebutkan tiktok gitu kontennya buruk semua,
engga juga. Kadang disitu ada pesan-pesan agama religi yang bisa kita
liat disitu atau nasihat segala macam, ya it’s okay kalau sejauh itu yang
positif, gapapa.” (Wawancara pribadi dengan Ibu C, Agen Sosialisasi,
Juli 2022)

82
Pernyataan yang dimaksud oleh informan Ibu C adalah setiap media sosial

kaya akan informasi, namun masing-masing media selalu mempunyai

kekurangan dan kelebihannya. Kita tidak bisa melabeli suatu media sosial

bersifat negatif hanya karena kita melihat satu konten negatif di dalam salah satu

aplikasi media sosial tersebut, sebab di dalamnya masih terdapat informasi

positif lainnya. Para orang tua sangat sadar akan hal itu, oleh karenanya dengan

pengetahuan yang ia miliki tentang situs-situs maupun konten-konten yang dapat

memberikan manfaat dan merugikan, telah ia tanamkan kepada anak-anaknya

sebagai pengingat.

Masukan yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya berkaitan

dengan apa saja yang boleh dan tidak boleh diaksesnya di internet. Masukan

tersebut diberikan setelah orang tua sudah mengetahui hal atau aplikasi apa saja

yang diunduh anaknya di dalam ponsel tersebut. Orang tua memberikan

sosialisasi melalui masukan mulai dari pemilihan game online yang dapat

diunduh anak hingga bacaan dan tontonan dari suatu media sosial. Seperti

informan Ibu PH yang hanya memperbolehkan anaknya untuk melihat konten

yang berkaitan dengan pelajaran, agama, dan game online yang tidak

mengandung unsur pornografi. Hal ini diungkapkan oleh informan U selaku

anaknya yang diwawancarai pada 01 Agustus 2022, “yang dibolehin kayak game

gitu, terus pelajaran, agama. Yang ga dibolehin susah ngejelasinnya, tapi yang

jelas konten yang mengandung pornografi dan kekerasan”. Ia juga tidak

mengizinkan anaknya melihat konten kekerasan yang tersebar di internet,

khususnya Youtube. Alasannya tidak memperbolehkan sang anak melihat konten

83
tersebut karena takut tindakan tersebut akan ditiru oleh anak atau anak nantinya

mengalami rasa trauma akibat melihat sesuatu yang mengerikan.

“..Jadi memang harus ditekankan yang pertama ee dari materi games


kalau misalnya dia make games apa yang boleh dan apa yang ga boleh.
Terus kalau misalnya pake youtube juga sudah ditekankan yang
dibolehkan youtube yang apa saja, yang ga boleh yang berbau kekerasan,
karena kan takutnya dia bakal niru atau trauma terus juga ga etis kan,
terus juga suka ngecek misalnya dari history terus gamenya yang di
download apa aja.” (Wawancara pribadi dengan Ibu PH, Agen
Sosialisasi, 01 Agustus 2022)

Serupa dengan jawaban Ibu PH, Ibu J juga mengizinkan anaknya melihat

konten-konten edukatif dan mengikuti berita terkini. Baginya, anak juga perlu

mengetahui informasi terbaru ataupun informasi yang sedang hangat

diperbincangkan agar wawasannya semakin luas, dengan catatan tidak

melampaui batas. Sementara yang tidak diizinkan ialah konten ilegal berupa

situs dewasa dan bermain dating apps seperti di Tinder atau Bumble.

Pengalaman yang datang dari lingkungan sekitar Ibu J, membuatnya takut dan

khawatir apabila sang anak juga turut bermain dating apps. Kekhawatiran

tersebut tidak lain karena Ibu J tak ingin anaknya juga dimanfaatkan dan

mengalami modus dengan kedok “rasa cinta” hingga ditipu oleh orang tak

dikenal. Berikut adalah pendapatnya.

“Ada yang saya ijinkan karena itu kan perlu ya kayak konten-konten
edukatif sama yang positif aja. Anak juga harus tau dunia luar tuh seperti
apa, tapi ada juga terbatas yang kira-kira sifatnya negatif seperti berbau
porno saya ga ijinkan. Misalnya ada berita-berita viral ini ini, saya
membiarkan aja mereka mengikuti itu asal tidak melampaui batas,
sekedar untuk pengetahuan dia ya untuk istilahnya apa sih penilaian dia
tentang apa yang dilihat. Oh iya sama main-main dating apps gitu juga
aduh saya larang. Karena pernah ada dulu tetangga anaknya masih kecil
terus penasaran main gituan, eh malah ditipu sama orang. Jadi saya
ingetin, udah mending main internet buat cari informasi yang bermanfaat
aja untuk belajar lah istilahnya.. Dating apps kayak apasih itu tinder ya

84
sama yang kemaren rame bumble” (Wawancara pribadi dengan Ibu J,
Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

Dengan demikian, apa yang disampaikan oleh Berns mengenai masukan

(feedback) terbukti pada penelitian ini. Masukan ialah informasi evaluatif yang

bersifat positif maupun negatif tentang perilaku seseorang yang mencakup

anggukan persetujuan, pandangan bertanya, komentar, dan instruksi lebih lanjut,

atau pengingat (Berns 2013). Dalam hal ini, masukan yang telah diberikan orang

tua berkaitan dengan penggunaan internet yaitu orang tua memberikan instruksi

tentang batasan konten yang dapat diakses anaknya di internet. Hal itu orang tua

lakukan agar anak tidak menyalahgunakan penggunaan internet. Masukan

tersebut juga ada yang berasal dari pengalaman lingkungan sekitar agen

sosialisasi.

Temuan lainnya dalam penelitian ini, terdapat beberapa keluarga yang

menerapkan hukuman apabila anak melakukan kesalahan ataupun melanggar

aturan yang sudah disepakati yang berkaitan dengan penggunaan internet. Dari

hasil wawancara, terlihat bahwa penerapan hukuman dilakukan oleh orang tua

agar anak dapat lebih patuh dan menyesal untuk mengulangi kesalahannya

sehingga terjadi efek jera. Hal ini dipertegas oleh pernyataan informan Ibu J

dan Ibu C.

“Iya, alhamdulillah bikin. Kalau ga kayak gini, saya butuh buat ini
kemana nanti kalau ga ke orang tuanya.” (Wawancara pribadi dengan Ibu
J, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

“Menurut saya iya, karena darisitu nanti anak akan berpikir untuk
lebih nurut sama orang tua dan kapok untuk mengulangi hal yang serupa
karena udah merasakan gimana kalau kena sanksi.” (Wawancara pribadi
dengan Ibu C, Agen Sosialisasi, 21 Juli 2022)

85
Kutipan wawancara di atas sejalan dengan yang diungkapkan oleh Berns

bahwa hukuman digunakan oleh agen sosialisasi sebagai teknik intervensi

untuk mencegah perilaku yang tidak diinginkan. Walaupun terkadang hukuman

ini hanya berlaku sebentar, namun orang tua menganggap tindakan ini

merupakan tindakan awal yang mampu membuat anak jera. Hal ini dikarenakan

terlepas dari masalah penggunaan internet, hukuman yang dilayangkan oleh

orang tua justru menyita ponsel anak. Beberapa orang tua menilai hukuman

tersebut termasuk berat untuk diterima oleh anak. Berikut adalah

pernyataannya.

“Perlu ditanyakan kepada anaknya sih, maksudnya kan ini udah


dibikin perjanjian terus lama-lama nanti ga ditepati. Jadi mungkin nanti
butuh suatu punishment tersendiri, kalau dibilang patuh juga ga selalu sih.
Karena kita bingung juga mau punishmentnya apa, ga diberi uang jajan,
tapi dia juga ga rutin diberi uang jajan. Jadi bingung juga sih apa, apa ga
boleh main atau nonton, apa sih yang kira-kira bikin dia jera. Ga boleh
keluar rumah kan ga mungkin juga hahaha, jadi bingung kalau dia
punishmentnya apa. Malah justru untuk hal-hal yang lain misal dia ga
ngerjain pr gitu kan, punishmentnya adalah hp disita. Jadi hp malah
punishment yang bener hahaha”. (Wawancara pribadi dengan Ibu PH,
Agen Sosialisasi, 01 Agustus 2022)

Terdapat dua jenis hukuman yang peneliti temukan yaitu hukuman non

fisik dan hukuman fisik. Sanksi atau hukuman non fisik yang diberikan oleh

tiap keluarga pun bervariasi, diantaranya adalah menyita ponsel, mematikan

koneksi wifi, tidak memberikan kuota internet, dan mengganti password ponsel

anak. Pada keluarga RR dan AB, orang tua cenderung memberikan sanksi non

fisik. Berikut adalah penuturan dari Informan RR dan AB.

86
“Iya kak itu, hp disita kalau melanggar sama wifi pernah dimatiin
juga biar aku ga main internet.” (Wawancara pribadi dengan RR, Target
Sosialisasi, Juli 2022)

“Ya gitu, ada sanksi, hpnya diambil.” (Wawancara pribadi dengan


AB, Target Sosialisasi, Juli 2022)

Berbeda dengan keluarga N dan U, sanksi yang diberikan oleh orang tua

adalah kombinasi antara sanksi non fisik dan sanksi fisik. Hal ini diungkapkan

oleh Informan N yang diwawancarai pada 24 Desember 2022, “Pernah kak

waktu itu karena aku main hpnya lumayan lama juga terus hp aku diambil,

pernah juga sampe dicubit kak sama mama hahaha kayaknya karena mama

juga udah terlalu kesel sama aku pas itu. Hal serupa juga disampaikan oleh

informan lain yaitu U, “Paling hp disita sama password hpnya diganti sama

bunda kak hahaha. Sama pernah juga sih dicubit” (U, Target Sosialisasi, 01

Agustus 2022).

Pernyataan yang disampaikan oleh N dan U, semakin dipertegas oleh

kedua orang tuanya. Dari hasil wawancara, orang tuanya mengakui akan sanksi

yang ia berikan kepada anaknya.

“Pernah hahaha. Soalnya kak PH (inisial informan) itu orangnya


agak lumayan galak yaa, jadi kalau anak udah kelewatan ya kadang cubit
pelan aja hahaha.” (Wawancara pribadi dengan Ibu PH, Agen Sosialisasi,
01 Agustus 2022)

“Saya kalau udah kesel, sudah melampaui batas, ya cubit yang anak
remaja sama yang kecil. Kalau yang dewasa, cowok, saya ga berani.”
(Wawancara pribadi dengan Ibu J, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

87
Pemaparan dari 2 agen sosialisasi tersebut menunjukkan bahwa tidak

hanya sanksi non fisik saja yang diberikan, melainkan jika anak sudah

melampaui batas, orang tua juga tidak segan untuk memberikan hukuman fisik.

Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Berns bahwa hukuman yang

diberikan oleh orang tua dapat menyakitkan secara fisik atau psikologis, juga

dapat berupa penarikan stimulus yang menyenangkan. Dalam hal ini, hukuman

dalam bentuk penarikan stimulus yang menyenangkan berupa menyita ponsel,

mematikan koneksi wifi, tidak membelikan kuota internet, dan mengganti

password ponsel anak. Namun, seperti yang disampaikan Informan Ibu J di

atas, hukuman fisik tersebut hanya berlaku untuk anak perempuannya, ia tidak

memberikan hukuman yang sama kepada anak laki-lakinya. Dengan demikian

terdapat pemberian hukuman yang berbeda.

Pun, beberapa anak menganggap bahwa hukuman yang diberikan oleh

para orang tuanya itu cukup efektif. Anak akan merasa takut apabila orang tua

sudah menunjukkan ekspresi marah ataupun kecewa. Ketakutan tersebut yang

membuatnya merasa bersalah hingga takut untuk mengulangi perbuatan yang

sama. Walaupun terkadang ketakutan untuk mengulanginya hanya bersifat

temporer, tetapi cukup membuat anak jera dan sadar akan kesalahannya.

Bahkan, salah satu informan ada yang menyadari efek positif dari hukuman

tersebut dimana ia menyadari akan pentingnya quality time dengan orang

terdekat tanpa adanya gangguan dari ponsel ataupun internet. Efek yang ia

rasakan ialah merasa lebih lepas untuk mengobrol bersama teman-temannya

maupun keluarganya. Berikut adalah beberapa penuturan dari target sosialisasi.

88
“Kalau buat aku sih iya kak cukup efektif. Soalnya ayah kan orangnya
tegas dan berpegang teguh sama omongannya ya, jadi kalau udah bilang
a bakal a. Pernah waktu itu gara-gara aku masih main internet di komputer
padahal besoknya ada ujian, orang tua bener-bener sita ponsel aku selama
5 hari dan itu buat aku jadi jera sih.” (Wawancara pribadi dengan ID,
Target Sosialisasi, 24 Desember 2022).

“Efektif sih buat aku. Aku kan masih ngandelin uang jajan, kuota juga
masih dibeliin sama orang tua, jadi kalau beneran ga dikasih kuota aku
beneran takut. Makanya kadang kalo lagi asik main hp terus dipanggil
orang tua buat ini buat itu yaudah aku jalanin aja daripada ntar ga dibeliin
kuota.” (Wawancara pribadi dengan N, Target Sosialisasi, 24 Desember
2022)

“Efektif kak. Karena mama ayah galak, hp aku beneran pernah disita
waktu itu. Waktu disita sebenernya enak sih karna aku bisa enjoy pas main
sama temen, biasanya kan kalo main suka cek hp terus, tapi pas itu engga,
lepas aja gitu mainnya. Di rumah juga jadi lebih banyak ngobrol sama
kakak sama mama. Tapi pas hpnya dibalikin, yaudah aku tetep seneng juga
dan jadi takut buat macem-macem juga.” (Wawancara pribadi dengan AB,
Target Sosialisasi, Juli 2022)

Namun, beberapa anak ada juga yang merasa bahwa hukuman tersebut

tidak terlalu efektif untuknya. Alasannya ada yang disebabkan oleh koordinasi

yang baik antara kakak dan adik, seperti misalnya saat password ponsel sang

kakak diganti oleh orang tuanya, sang adik akan memberi tahu password

terbaru kepada kakaknya. Hal itu tentu menjadi celah yang tidak akan disia-

siakan oleh sang kakak untuk mengakses internet saat sedang di waktu luang.

Tetapi ada kalanya juga dimana sang kakak merasa jera. Kemudian ada juga

yang disebabkan oleh kurang beratnya hukuman yang dikasih oleh orang tua,

sehingga anak menganggapnya sebagai angin lalu saja. Meskipun tujuan dari

penerapan hukuman tidak selamanya membuat anak menjadi jera, namun

tindakan ini dianggap cukup efektif oleh para orang tua dan beberapa anak.

89
Selain melalui hukuman, beberapa keluarga pada penelitian ini juga turut

memberikan imbalan apabila anak mematuhi aturannya dan membanggakan

kedua orang tua. Pada penelitian ini, peneliti tidak menemukan perbedaan

imbalan berdasarkan jenis kelamin anak. Akan tetapi, perbedaan tersebut

bertumpu pada usia dan kebutuhan sang anak. Bentuk imbalan yang ditemukan

ada yang bersifat non materi dan materi. Pada keluarga ID, orang tua tidak

membiasakan imbalan yang bersifat materi, “Engga sih kak, cuma dipuji doang

biasanya” (ID, Target Sosialisasi, 24 Desember 2022). Menurut orang tuanya,

jika dibiasakan dengan materi akan membuat anak menjadi terbiasa, sehingga

tujuan akhir yang diharapkan anak semata-mata hanya untuk materi, bukan

karena kesadarannya. Kendati pun seperti itu, ia tetap memberikan imbalan lain

berupa pujian (compliment) sebagai bentuk apresiasinya.

“Saya nuntut ini jangan dibiasakan apa-apa materi. Nanti takutnya


larinya malah kebiasaan kayak mau lakuin apa-apa karena sebatas
materi misal saya mau sholat ah biar dapet uang jajan lebih kan jatohnya
bukan semata-mata untuk beribadah. Tapi ya syukur-syukur karena
kesadaran sendiri. Pujiannya ya pengganti imbalan itu dan hanya sebatas
apresiasi aja.” (Wawancara pribadi dengan Bapak D, Agen Sosialisasi,
19 Juli 2022)

Informan Ibu C menyatakan bahwa imbalan yang ia berikan merupakan

bagian dari pengasuhan agar hubungannya dengan sang anak tidak kaku.

Menurutnya, di luar sosialisasi yang sudah ia tanamkan kepada anaknya, orang

tua juga perlu bertanya mengenai keinginan anak, maka dengan ini diperlukan

sebuah imbalan bersifat materi. Hal serupa juga disampaikan oleh Ibu PH

melalui pernyataan di bawah.

90
“Pertama, pertama sekali anak jangan terlalu ee boring ya, bosen gitu
penuh dengan penekanan-penekanan atau apa gitu. Terus juga usia-usia
segitu kan, istilahnya usia kita harus rajin bertanya tentang dia. Dalam
artian, kita gatau kalau nanti dia lebih sering curhat sama orang di luar,
kan itu berbahaya. Nah jadi alangkah baiknya, kalau dibilang bukan apa
ya-baik-baikin, engga, kita memang harus baik, wajib lah sebagai orang
tua itu kan tanggung jawab kita. Tapi disitu kita harus ee ini anak saya
alhamdulillah apa yang kita kasih gitu kan, ni ni batasan ini, dia patuhi,
dia ga langgar, kan alangkah baiknya kita kasih reward supaya dia nanti
“oh iya saya begini saya bisa, saya mau deh besok-besok mematuhi lagi”,
untuk memotivasi dan ya dia teringat itu-itu terus dan melupakan untuk
melakukan pelanggaran.” (Wawancara pribadi dengan Ibu C, Agen
Sosialisasi, 21 Juli 2022)

“Engga sih, maksudnya bukan supaya dia jadi patuh ya. Tapi itu lebih
kepada bahwa orang tuanya menghargai usaha dia. Jadi bukan untuk
supaya oh iya kalau bunda kasih ini sebagai reward, bukan sesuatu harus
patuh. Maksudnya reward itu karna bunda menghargai perjuangan dia
gitu.” (Wawancara pribadi dengan Ibu PH, Agen Sosialisasi, 01 Agustus
2022)

Berdasarkan kutipan wawancara di atas, imbalan yang diberikan orang tua

yaitu imbalan bersifat materi. Adapun bentuk-bentuk imbalan yang peneliti

temukan seperti berekreasi bersama anak di luar rumah, membelikan makanan

yang diinginkan anak, membelikan kuota internet, dan membelikan laptop.

Mayoritas anak juga menilai bahwa penguatan positif tersebut sangat efektif

untuknya. Jarangnya quality time bersama orang tua di luar rumah membuat

apresiasi tersebut menjadi berharga. Apresiasi lainnya seperti memberikan

pujian juga berharga untuk sang anak apalagi bila apresiasi tersebut jarang

dilontarkan oleh orang tua. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa target

sosialisasi sebagai berikut.

“Lumayan efektif kak. Aku seneng kalo di apresiasi, merasa berharga


dan nambah semangat aja gitu. Apalagi jarang juga kan di apresiasi, jadi
pas digituin rasanya pengen terbang gitu kak haha.” (Wawancara pribadi
dengan ID, Target Sosialisasi, 24 Desember 2022)

91
“Pastinya iya kak. Apa ya karna aku anaknya seneng jalan-jalan sih,
jadi tambah seneng aja kalo ditawarin ayah mama buat pergi keluar. Terus
seneng juga kalo dibeliin sesuatu yang aku pengen, kayak tiba-tiba pengen
buat orang tua seneng lagi biar akunya tambah seneng juga hahaha.”
(Wawancara pribadi dengan RR, Target Sosialisasi, 20 Juli 2022)

“Banget kak. Aku jadi tambah semangat juga buat nyenengin orang
tua. Soalnya itu kan juga hal kecil ya, tapi impactnya bisa buat aku dan
bunda ayah sama-sama seneng.” (Wawancara pribadi dengan U, Target
Sosialisasi, 01 Agustus 2022)

Dengan demikian, pernyataan tersebut sejalan dengan penguatan positif

yang disebutkan oleh Berns bahwa penguatan (reinforcement) dapat digunakan

dalam sosialisasi untuk meningkatkan perilaku yang diinginkan. Pada konteks

ini, orang tua turut memberikan penguatan positif sebagai bentuk apresiasi

kepada anak dan juga untuk memotivasi anak melalui pemberian imbalan yang

diinginkan anak ataupun pujian. Anak pun menanggapinya dengan respon yang

positif.

B.3. Observational of Socialization (Effect Emerges from Imitating)

Sosialisasi observasi ialah sosialisasi yang digunakan orang tua dengan

memberikan contoh pada anak. Dari data yang didapatkan, bentuk sosialisasi ini

juga ditemukan ketika orang tua melakukan sosialisasi penggunaan internet.

Pada keluarga AD, orang tua memberikan teladan bagi anak-anak mereka sesuai

dengan nilai yang diyakini serta ingin mereka tanamkan. Seperti yang

diungkapkan oleh Bapak D, menurutnya yang perlu dilakukan sebagai orang tua

ialah dengan langsung memberikan contoh nyata kepada anak, bukan hanya

sekedar menjelaskan teori secara lisan tentang apa yang boleh dan tidak boleh

92
diakses anak di internet. Adapun contoh yang ia lakukan sebagai agen sosialisasi

adalah menonton kajian agama seperti ceramah di depan anak. Hal tersebut ia

lakukan dengan harapan anak dapat meniru kebiasaan positif tersebut ketika

mengakses internet. Berikut adalah penuturannya.

“Kita tinggal mengarahkan saja. Kalau yang ditonton kira-kira hal-


hal itu aja misalkan banyak main game atau nonton yang tidak
bermanfaat, kita arahkan lah misalkan nonton kajian agama ceramah di
youtube atau dengerin ngaji. Selain itu, kita pun mencontohkan, kita
sendiri buka itu, nanti kan mereka ikut dengerin juga.” (Wawancara
pribadi dengan Bapak D, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

Hal ini semakin diperkuat ketika peneliti bertanya mengenai konten apa

saja yang biasa dilihat oleh informan ID selaku target sosialisasi juga anak dari

Bapak D dan mengatakan, “Biasanya aku di sosmed liat berita-berita, lihat

update bola di instagram, terus video ceramah ustad abdul somad dan video

komedi kak” (ID, Target Sosialisasi). Keteladanan lainnya yang ditiru oleh sang

anak ialah kebiasaan orang tua seperti misalnya saat sedang makan bersama

anggota keluarga, orang tua membiasakan diri untuk tidak sambil memainkan

ponsel atau mengakses internet. Kebiasaan tersebut dilakukan supaya anak

mampu menerapkan hal yang serupa.

Hal tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa orang tua selaku

agen sosialisasi terbukti dapat menjadi teladan bagi anaknya. Kebiasaan yang

diterapkan di keluarganya diamati oleh sang anak dan kemudian ditiru sehingga

terjadi pembelajaran. Konsep ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Berns

bahwa dalam sosialisasi observasi, orang tua dapat menjadi role model yang

baik bagi anak, yang nantinya perilaku tersebut akan anak amati dan kemudian

anak melakukan tindakan sesuai apa yang diamati.

93
B.4. Cognitive of Socialization (Effect Emerges from Thinking)

Sosialisasi kognitif ialah sosialisasi yang digunakan orang tua yang fokus

pada proses berpikir anak. Pada sosialisasi ini, orang tua menyampaikan suatu

aturan pada anak melalui pemberian instruksi (instruction), menetapkan standar

(setting standards), serta memberikan penjelasan terhadap suatu perilaku

(reasoning) (Berns 2013). Kurangnya pengetahuan terkait penggunaan internet

yang baik tentu dapat merugikan penggunanya. Terlebih saat ini remaja

mendapat perhatian yang khusus, mengingat kontrol diri remaja yang masih labil

membuatnya lebih berpotensi terpapar oleh pengaruh negatif yang tersaji di

internet (Iskandar dan Isnaeni 2019). Oleh karena itu, keluarga mempunyai

peran penting. Melalui pewarisan nilai-nilai sosial yang diberikan oleh keluarga,

sang anak dapat memperoleh dasar-dasar pola pergaulan hidup.

Adapun pewarisan nilai yang diberikan oleh setiap keluarga tentunya dapat

berbeda. Nilai yang diwariskan oleh agen sosialisasi tersebut dipandang sebagai

sesuatu yang penting. Pada keluarga AD, orang tua menyadari akan ancaman

digital yang marak terjadi di internet yaitu kejahatan siber. Maka dari itu, orang

tua memberikan pemahamannya kepada anak.

“Ya seperti di internet itu kan suka banyak spam iklan-iklan yang
gajelas ya mbak, saya juga suka ingetin ke anak lah kalau ada iklan-iklan
yang muncul gausah di klik karena takutnya mengandung serangan siber
malware atau apa sih itu istilahnya ee virus komputer yang bahaya buat
komputer, soalnya di rumah kan ada komputer juga. Terus kalau mau
download aplikasi atau file apa itu di situs yang terpercaya aja, jangan
di link yang tidak dipercaya ya kurang lebih begitu mbak. Sama jaman
sekarang kan lagi banyak phising ya mbak, saya jelasin itu ke anak kalau

94
dapet link-link dari orang ga dikenal yang harus masukin password lah,
apa lah, nomor rekening lah, itu gausah diikutin langsung apus aja saya
bilang.” (Wawancara pribadi dengan Bapak D, 19 Juli 2022)

Dari kutipan wawancara di atas terlihat bahwa Informan Bapak D sangat

aware dengan serangan siber seperti malware dan phising. Oleh karena itu, yang

ia lakukan sebagai agen sosialisasi ialah memberikan instruksi kepada anak-

anaknya apabila mereka menemukan spam iklan yang tidak pantas ketika sedang

berselancar di internet, lebih baik diabaikan saja. Ia juga memberitahukan

kepada anaknya untuk tidak mengunduh aplikasi dari situs yang tidak resmi dan

jangan mudah percaya dengan segala sesuatu yang menggiurkan di internet. Hal

serupa juga disampaikan oleh informan Ibu J seperti berikut.

“Iya. Saya bilang hati-hati dengan dunia digital karena itu tadi sangat
membantu dan bisa sangat menyesatkan. Karena sekarang kan banyak
penipuan ya melaui digital seperti online lah. Kalau kita ga jeli, gabisa
teliti, memilih berita atau semacem kayak iklan atau penawaran-
penawaran apa lah, itu kita bisa terjerumus. Gausah ikut-ikutan kalau ada
berita ini, ada suprise selamat atau apa lah gitu yang biasanya suka ada
di sms-sms, gausah dipercaya dan langsung hapus aja.” (Wawancara
pribadi dengan Ibu J, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

Tidak hanya yang berkaitan dengan ancaman siber dan ancaman penipuan

saja, keluarga lain juga memberikan instruksi kepada sang anak untuk tidak

mudah percaya dengan orang yang baru dikenal dari internet. Seperti yang

dilakukan oleh Informan Ibu C. Sosialisasi tersebut ia lakukan untuk

menghindari kejadian yang tidak diinginkan seperti pelecehan ataupun hipnotis

yang kerap terjadi di internet.

“Kalau sosialisasiin anak, otomatis kita sebagai orang tua, kita


memahami walaupun tidak semengerti anak-anak dalam penggunaan
aplikasinya. Tapi kita kan paham tentang berita-berita di luar sana ya,
ada yang hanya karena melalui gadget terus dia dilecehkan atau apa gitu,

95
nah itu disampaikan. Jangan sampai nanti dia bertemu atau berkenalan
via medsos atau virtual dengan orang yang ga dikenal, ya naudzubillah
mindzalik, jangan sampe terperangah atau seperti di hipnotis seperti itu,
ya kita kan jaga. Terutama sekarang banyak penipuan-penipuan ataupun
banyak pelecehan seperti itu dari orang-orang ga bertanggung jawab,
jadi itu aja selalu dikasih tau. Dan kalau ada yang memang apa-kasus
atau apa diberi tahu supaya ya anak tuh ngerti oiyaya kayak gini yang
kejadian sekarang-sekarang ini, tapi kalau untuk komunikasi sejauh sama
teman kayak mereka tanya-tanya kabar atau membahas pelajaran sih, ga
masalah ya.” (Wawancara pribadi dengan Ibu C, Agen Sosialisasi, Juli
2022)

Sementara pada keluarga U, instruksi yang diberikan oleh orang tua

mengenai pentingnya menjaga data pribadi ketika bermain internet, mengingat

banyaknya kejahatan digital yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertangung

jawab untuk menyalahgunakan data pribadi.

“Kalau kak puti sih selalu ingetin ke abang U (inisial nama anak)
kalau data pribadi kayak nomor induk terus nomor hp, tempat tanggal
lahir, itu tetep keep in private, jangan disebarluaskan kemana-mana,
kecuali kalau itu memang dibutuhkan untuk keperluan penting ya itu beda
lagi. Kayak sebelumnya kan pernah rame tuh berita challenge di ig yang
sebutin nama panggilan tapi malah itu disalahgunakan oleh oknum ga
bertanggung jawab dan akhirnya dia malah ditipu, nah hal-hal kayak gitu
tuh yang kak puti tekanin..” (Wawancara pribadi dengan Ibu PH, Agen
Sosialisasi, 01 Agustus 2022)

Orang tua juga memberikan standar kepada anak yang pada umumnya

beberapa keluarga yang peneliti temukan tidak membedakan standar baik untuk

anak laki-laki maupun perempuan. Hal ini terungkap dalam kutipan wawancara

berikut.

“Engga neng sama aja. Mau laki sama perempuan sama aja.”
(Wawancara pribadi dengan Ibu O, Agen Sosialisasi, 06 Agustus 2022)

“Kalau saya, gaada perbedaan sosialisasi sama anak. Mau laki laki
sama perempuan sama aja. Paling ya beda dalam beri hukuman sama
imbalannya aja. Karena keduanya kan perlu dibimbing itu, walaupun
ibarat kata saya kaga paham-paham banget sama internet, tapi dalam hal

96
yang baik dan buruk mah saya masih ngerti diki-dikit.”(Wawancara
pribadi dengan Ibu RN, Agen Sosialisasi, 23 Juli 2022)

Adapun pemberian standar yang ditemui adalah orang tua meminta sang

anak untuk tetap menjaga etika dalam berinternet dengan bertutur kata yang

sopan dan tidak menyakiti orang. Hal ini diungkapkan oleh sang anak yaitu U

yang diwawancarai pada 01 Agustus 2022, “..Bunda ayah juga pernah ngasih

tau kalau udah main internet ketikannya harus yang sopan dan jangan sampe

nyakitin orang. Semacem itu sih kak”. Serupa dengan yang dinyatakan oleh N,

orang tuanya juga selalu mengingatkannya untuk tidak meniru orang lain yang

berucap tidak sopan maupun kasar, “Anak jaman sekarang kan perilakunya

banyak yang ga sopan, nah yang kayak gitu suka diwanti-wanti dan dibilangin

juga sama orang tua untuk jangan ditiru” (N, Target Sosialisasi). Standar

lainnya yang diberikan oleh orang tua ialah memberikan edukasi untuk tidak

menyebar foto atau video kecelakaan di internet. Mengingat ketergantungan

yang berlebihan saat bermain internet dapat membahayakan sang anak dari segi

sensitivitas dan empati terhadap lingkungan sekitarnya (Suryatni 2021).

Informan D mengungkapkan bahwa sebagai makhluk sosial jika dihadapi berita

duka seperti kecelakaan, maka hal utama yang harus dilakukan adalah berempati

kepada korban ataupun keluarga korban, bukan turut menyebarluaskan.

“Jangankan hanya hoaks aja ya, kalau ada hal yang menyedihkan
kayak kecelakaan atau apa saya pun juga melarang anak untuk
menyebarluaskan. Saya tekankan kita itu harus simpati harus empati.”
(Wawancara pribadi dengan Bapak D, Agen Sosialisasi, 19 Juli 2022)

97
Penekanan melalui interaksi yang diterapkan oleh Bapak D di atas, tanpa

disadari juga menanamkan literasi digital pada remaja, khususnya pada digital

ethics. Digital ethics disebutkan oleh Shina dalam (UPI 2022) sebagai salah satu

nilai dan norma dalam kehidupan digital yang difokuskan pada etika berinternet.

Tidak hanya dengan memberikan standar, beberapa agen sosialisasi juga

menggunakan strategi proaktif berupa memberikan penjelasan terhadap suatu

perilaku atau reasoning.

Keluarga memberikan reasoning dengan tujuan ketika anak menghadapi

situasi serupa, mereka mampu menarik suatu kesimpulan dari proses sosialisasi

yang sudah dilakukan orang tua. Pada konteks ini, keluarga memberikan

penalaran kepada anak-anaknya untuk tidak mengakses konten yang bukan

seusianya ketika menggunakan internet dan menjelaskan akibat yang

ditimbulkan jika sang anak melihat konten tersebut atau berperilaku seperti itu.

Hal ini ditemui pada keluarga AB, orang tua sudah memberikan himbauan

kepada anak-anaknya untuk tidak melihat konten yang mengandung unsur

dewasa,“Saya bilang gitu, kamu ni masi remaja belum boleh liat-liat yang

begitu (pornografi)” (Ibu RN, Agen Sosialisasi, Juli 2022). Pernyataan ibu RN

juga dipertegas oleh Informan Ibu PH. Ia mengatakan di usia anak yang sudah

menginjak remaja pastinya anak sudah mengetahui sendiri konten pornografi

secara umum seperti apa. Lebih jauh, sosialisasi yang ia lakukan adalah

memberikan penalaran secara eksplisit bahaya dari pornografi terhadap

kesehatan dan pikiran anak. Melalui penalaran tersebut, sebagai orang tua ia

berharap jika nanti sang anak ditawari ajakan melakukan hal menyimpang

98
seperti menonton video dewasa oleh teman-temannya, anak dapat berpikir lebih

jauh mengenai dampak yang sebelumnya sudah disosialisasikan oleh orang

tuanya hingga akhirnya menolak ajakan temannya. Hal tersebut dibuktikan pada

pernyataan berikut:

“Terutama ini menerapkannya ke U (inisial nama anak), U (inisial


nama anak) kan usianya udah menginjak masa remaja yaa jadi udah
harus dikasih pemahaman bahwa ada yang namanya konten-konten
pornografi dan itu ga boleh diakses, itu harus udah dijelaskan. Kenapa
kak PH (inisial informan) jelaskan itu secara gamblang? Karena di usia
segini, untuk anak di umur segini, mereka udah tau apa itu konten
pornografi dan sebagainya. Dan kak PH (inisial informan) itu harus udah
menjelaskan apa sih kalau misalnya kamu coba-coba pornografi terus
misalnya dia dapet dari temen-temennya atau apa. Kan kita gabisa gitu.
Terus kita bilang kamu jangan begini ya, dari kita berusaha memblokade,
tapi kan dia bisa dapet itu dari mana aja kalau anak umur segini, nah jadi
kita lebih menjelaskan bahwa apa efek dari pornografi itu ke tubuh dia,
ke pikiran dia, terus kemudian ke psikologis dia. Jadi dia paham bahwa
kalau misalnya ada ajakan tentang pornografi dari temen-temennya,
pasti lah umur segitu penasaran yaa, nah dia gamau coba-coba karena
dia tau oh kalau misalnya dia coba ke arah situ, akibatnya apa, dan itu
bisa sampe ke tahap kecanduan, nah itu kalau udah sampe kecanduan
bakal bahaya banget.” (Wawancara pribadi dengan Ibu PH, Agen
Sosialisasi, 01 Agustus 2022)

Jadi, dapat dikatakan proses sosialisasi yang digunakan agen sosialisasi

kepada target sosialisasi sesuai dengan konsep sosialisasi kognitif. Pada bentuk

ini, proses sosialisasi yang dilakukan orang tua terkait penggunaan internet

melibatkan pemberian intruksi (instruction), menetapkan standar (setting

standards), dan memberikan penjelasan terhadap suatu perilaku (reasoning).

dengan dampak negatif bila anak mengakses konten dewasa di internet.

Sosialisasi yang sudah disampaikan oleh para agen sosialisasi tanpa disadari juga

telah menanamkan literasi digital kepada target sosialisasi. Orang tua

memberikan pembekalan terkait penggunaan internet yang baik dan pengawasan

99
penggunaan internet tersebut sebagai upaya untuk menghindari dampak negatif

berinternet.

B.5. Keterkaitan Ke-Empat Bentuk Sosialisasi

Berdasarkan pemaparan di atas terlihat bahwa terdapat empat bentuk

sosialisasi penggunaan internet yang dilakukan oleh orang tua, yaitu sosialisasi

afeksi, sosialisasi operan, sosialisasi observasi, dan sosialisasi kognitif. Pada

umumnya, keempat sosialisasi tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang

lainnya. Artinya adalah setiap keluarga juga menerapkan sosialisasi lainnya,

bukan hanya mengandalkan satu sosialisasi dari keempat sosialisasi tersebut.

Pada sosialisasi afeksi terlihat bahwa hubungan yang terjalin antara orang tua

dan anak sangat intens. Kedalaman hubungan tersebut dapat terlihat dari

frekuensi interaksi, keberagaman topik pembicaraan, kerap kali anak terbuka

kepada orang tua baik dalam permasalahan digital atau di luar permasalahan

digital, dan orang tua sebagai fondasi primer anak bersedia untuk selalu ada pada

bagaimanapun kondisi anak. Dengan adanya keterikatan emosional antara orang

tua dengan anak akan mempermudah orang tua dalam memberikan sosialisasi

secara mendalam kepada anak.

Pada sosialisasi operan, cara yang dilakukan oleh orang tua ialah dengan

menerapkan batasan konten yang boleh diakses anak hingga tidak boleh diakses

anak. Konten-konten yang diperbolehkan tersebut diantaranya seperti

membiarkan anak untuk update dengan berita terkini, mencari informasi

pengetahuan maupun menonton video bermanfaat seperti tips dan triks, bermain

100
game online dengan waktu tertentu, mengetahui sejarah, dan membaca konten

mengedukatif di media sosial. Sementara yang tidak diperbolehkan seperti

menonton konten dewasa, bermain game online yang mengandung unsur

pornografi dan perjudian, dan bermain dating apps. Di samping itu, orang tua

juga turut memberikan hukuman (punishment) dan penguatan positif

(reinforcement). Hukuman tersebut diberikan apabila anak melanggar aturan

yang sudah ditetapkan bersama dan tujuannya agar anak mengalami efek jera.

Hukuman yang ditemukan diantaranya ialah hukuman fisik dan hukuman non

fisik. Beberapa anak merasa bahwa hukuman tersebut kurang efektif. Lantaran

sang anak dapat memperoleh alternatif lainnya untuk mengakses internet.

Namun, beberapa anak lainnya merasa hukuman tersebut cukup efektif karena

membuatnya merasa bersalah dan tidak ingin mengecewakan orang tuanya

kembali. Adapun penguatan positif yang diberikan orang tua berupa pujian,

mengajak anak berekreasi di luar rumah, membelikan barang atau makanan yang

diinginkan anak, hingga membelikan laptop. Maka, hal ini sesuai dengan yang

diungkapkan oleh Berns bahwa penguatan diberikan apabila anak berperilaku

sesuai dengan yang diinginkan orang tua seperti pemberian imbalan, pujian, dan

konsekuensi menyenangkan lainnya. Kemudian, hukuman dapat berupa

rangsangan yang menyakitkan secara fisik, psikologis, atau penarikan sementara

stimulus yang menyenangkan.

Selanjutnya, pada sosialisasi observasi cara yang dilakukan orang tua

adalah dengan memberikan contoh berupa menonton kajian ceramah yang

positif ketika bermain internet, tujuannya agar anak dapat meniru apa yang orang

101
tua lakukan saat mengakses internet. Keteladanan lainnya seperti tidak

menggunakan ponsel atau mengakses internet saat sedang makan. Hal itu

dilakukan agar anak dapat menerapkan hal yang serupa. Tindakan tersebut juga

memberikan pengaruh yang positif kepada anak dimana pada akhirnya anak

meniru keteladanan yang orang tua lakukan. Sesuai dengan apa yang

diungkapkan oleh Berns bahwa pada bentuk ini, orang tua dapat menjadi role

model bagi anak. Tindakannya dalam membiasakan anak untuk menonton kajian

agama yang lebih bermanfaat dan melatih untuk tidak menggunakan ponsel

ketika waktu makan akan membentuk kebiasaan anak dalam berbuat baik.

Kemudian pada bentuk sosialisasi kognitif, cara yang dilakukan orang tua

ialah memberikan instruksi, menetapkan standar, dan memberikan penjelasan

terhadap suatu perilaku. Instruksi yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya

adalah menyampaikan informasi yang bermanfaat seperti informasi ancaman

siber, ancaman penipuan dan bagaimana menghindarinya, serta bagaimana

melindungi data pribadi di internet. Adapun standar yang diberikan orang tua

yaitu memberitahukan anak untuk tetap bertutur kata yang sopan di internet,

tidak meniru orang lain yang bertutur kasar ataupun hate speech, dan tidak ikut

menyerbarluaskan foto atau video kecelakaan yang beredar di internet.

Penjelasan terhadap suatu perilaku yang diberikan orang tua berkaitan dengan

dampak negatif apabila anak mengakses konten dewasa di internet.

Bentuk sosialisasi sosiokultural tidak ditemukan dalam penelitian ini,

lantaran mayoritas orang tua menyetujui bahwa sosialisasi tersebut dilakukan

bukanlah berangkat dari suatu tekanan yang mewajibkan, tradisi yang turun

102
temurun, ataupun ritual dan rutinitas yang berulang. Melainkan memang sudah

sepantasnya anak mendapat sosialisasi tersebut, mengingat penggunaan internet

dewasa ini sudah banyak memberikan dampak negatif kepada remaja dan

menjadikan remaja saat ini banyak yang kurang berempati. Kondisi ini tentu

dapat menjadi sebuah ancaman, sebab nilai etika dan sopan santun cenderung

mudah untuk luntur.

Sosialisasi tersebut tidak dapat dikatakan sebagai suatu tradisi, karena hal

yang disampaikan oleh informan orang tua tidak mempunyai kesamaan dengan

pengalamannya dahulu, hal ini dikarenakan kondisi zaman yang sudah berbeda.

Kondisi ini juga tanpa disadari telah menjadi permasalahan umum bagi tiap

keluarga yaitu mulai melemahnya nilai-nilai dan kontrol keluarga. Keluarga

yang seharusnya menjadi fondasi primer bagi anak, kini malah lebih banyak

mengandalkan agen sosialisasi lain seperti sekolah. Perkembangan digital

dewasa ini telah membuat jurang pemisah antara orang tua dan anak. Adanya

krisis kontrol dalam keluarga tersebut disebabkan oleh beberapa kesalahan

dalam penerapan pola asuh antara lain terlalu banyak memberikan anak pilihan,

terlalu memanjakan anak sehingga menimbulkan sifat sulit untuk bersyukur,

terlalu sering mengkritik sehingga anak menjadi kurang percaya diri, dan terlalu

membebaskan anak dalam bermain internet hingga akhirnya anak sulit untuk

lepas dari gadget.

Bentuk sosialisasi pendampingan juga tidak ditemukan dalam penelitian

ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor seperti terbentuknya kepercayaan

antara orang tua dan anak, kesibukkan orang tua yang membuatnya sulit

103
menyisihkan waktu untuk mendampingi anak saat bermain internet, dan

kurangnya pemahaman orang tua dalam memberikan pendampingan digital yang

efektif.

Pada bentuk ini, kontrol keluarga dalam kaitannya memberikan

pendampingan masih belum terlihat. Peran utama ayah sebagai mencari nafkah

tanpa disadari membuat waktunya bersama anak dalam mendampingi menjadi

sulit dan terbatas. Sama halnya dengan peran ibu. Melihat kondisi zaman yang

semakin maju dan berkembangnya emansipasi wanita, sang ibu juga turut

berperan dalam mencari nafkah tambahan dan penopang ekonomi keluarga,

tidak lagi sekedar menjadi pekerja sampingan. Di samping itu, orang tua juga

tidak mempunyai pemahaman dalam memberikan pendampingan digital yang

ideal dan efektif. Salah satu faktor yang membuat orang tua mengalami

ketertinggalan dalam memberikan pendampingan digital adalah belum

meratanya sosialisasi literasi digital yang dilaksanakan oleh pihak kelurahan

setempat. Padahal sosialisasi tersebut perlu dilakukan secara merata, mengingat

saat ini penggunaan internet telah menjadi perhatian yang serius khususnya bagi

remaja (Hakim et al. 2017).

104
Tabel 3.2. Gambaran Bentuk Sosialisasi Penggunaan Internet (Berns)

Teori Sosialisasi
No. Aspek Bentuk
(Berns)

1. Frekuensi
interaksi orang tua
dan anak sering.
2. Anak terbuka
kepada orang tua
dan tidak sungkan
untuk
membicarakan baik
1. Afeksi Afektive permasalahan
digital atau hal
lainnya.
3. Orang tua sangat
perhatian dan
bersedia untuk
selalu ada pada
bagaimanapun
kondisi anak.
1. Orang tua
memperbolehkan
anaknya untuk
update dengan
2. Operan Behavioral berita terkini,
menonton video
bermanfaat seperti
tips dan triks,
bermain game

105
online dengan
waktu tertentu, dan
membaca konten
mengedukatif di
media sosial.
2. Orang tua tidak
memperbolehkan
anaknya menonton
konten dewasa,
bermain game
online yang
mengandung unsur
pornografi dan
perjudian serta
bermain dating
apps.
3. Hukuman yang
diberikan bersifat
non fisik dan fisik.
4. Penguatan positif
yang diberikan
bersifat materil dan
non materil.
1. Menonton kajian
ceramah yang
positif ketika
3. Observasi Behavioral bermain internet.
2. Tidak mengakses
internet atau
menggunakan

106
ponsel ketika waktu
makan.
1. menyampaikan
informasi seperti
ancaman siber,
ancaman penipuan
dan bagaimana
menghindarinya
serta bagaimana
melindungi data
pribadi di internet.
2. Memberitahukan
anak untuk tetap
4. Kognitif Kognitif bertutur kata yang
sopan di internet
dan tidak ikut
menyerbarluaskan
foto atau video
kecelakaan yang
beredar di internet.
3. Menyampaikan
dampak negatif
apabila anak
mengakses konten
dewasa di internet.

107
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mayoritas orang tua menganggap bahwa kehadiran internet dan literasi

digital ialah penting, khususnya bagi remaja. Tidak hanya untuk remaja saja,

bahkan orang tua merasa bahwa kecakapan tersebut sudah harus ditanamkan

sedari dini. Karena hal tersebut menjadi penting, mereka menyadari akan

perannya sebagai orang tua yaitu mengarahkan dan membimbing anak-anaknya

atau memberikan sosialisasi yang mumpuni. Untuk dapat memberikan

sosialisasi tersebut diperlukan suatu pemahaman terkait penggunaan internet.

Oleh karena itu, peneliti deskripsikan pemahaman tersebut ke dalam tujuh

indikator yaitu (1) pemahaman terkait situs, website atau aplikasi yang aman, (2)

pemahaman terkait situs, website, atau aplkasi yang berbahaya, (3) pemahaman

terkait keamanan dalam menggunakan internet, (4) pemahaman terkait

komitmen dalam memahami waktu penggunaan ponsel dan internet yang tepat,

(5) memberikan pengawasan dan pengecekan, dan (6) memberikan

pendampingan digital. Dari ke-tujuh indikator tersebut, pemahaman yang tidak

dimiliki oleh orang tua ialah memberikan pendampingan digital. Beberapa faktor

yang menyebabkan orang tua sulit memberikan pendampingan digital kepada

anaknya diantaranya adalah orang tua menganggap pendampingan digital

menjadi suatu tantangan yang berat, masih ditemukannya orang tua yang gagap

teknologi, dan kurang meratanya sosialisasi literasi digital yang dilakukan oleh

108
pihak setempat. Meskipun masih ditemukan keterbatasan yang disebabkan oleh

beberapa faktor yang sudah disebutkan, tetapi secara umum orang tua sudah

mampu memahami penggunaan internet yang dirasa efektif untuk dijalankan

pada masing-masing keluarganya.

Selanjutnya adalah bentuk sosialisasi penggunaan internet dalam

keluarga. Pada penelitian ini, terdapat empat bentuk sosialisasi yang dilakukan

oleh orang tua yang mana keempat bentuk sosialisasi tersebut saling berkaitan

antara satu dengan yang lainnya, yaitu sosialisasi afeksi, sosialisasi operan,

sosialisasi observasi, dan sosialisasi kognitif. Adapun bentuk sosialisasi yang

tidak ditemukan pada penelitian ini adalah sosialisasi sosiokultural dan

sosialisasi pendampingan. Hal tersebut disebabkan karena sosialisasi yang

diterapkan orang tua tidak berangkat dari suatu tekanan yang mewajibkan,

tradisi yang turun temurun, ataupun ritual dan rutinitas yang berulang. Lantaran

sosialisasi tersebut masih belum konsisten untuk diterapkan. Selain itu, faktor

lainnya disebabkan oleh terbentuknya kepercayaan antara orang tua dan anak

serta kesibukkan orang tua yang membuatnya sulit menyisihkan waktu untuk

mendampingi anak saat bermain internet.

109
B. Saran

Berdasarkan hasil pengamatan penulis, terdapat beberapa saran yang

dapat penulis berikan, yaitu:

1. Orang Tua

Di era digital dewasa ini orang tua seharusnya memiliki pengetahuan

yang memadai terkait penggunaan internet ataupun literasi digital, sehingga

dapat memberikan sosialisasi dan pengawasan yang baik kepada sang anak.

Maka dari itu, diharapkan orang tua mampu beradaptasi dan aktif mencari

tahu terkait penggunaan internet ataupun literasi digital. Orang tua juga perlu

mendampingi atau memberi pengawasan kepada anak secara adil.

2. Remaja

Remaja diharapkan dapat lebih bijak dalam menggunakan internet.

Nilai-nilai, aturan, maupun sikap terkait baik atau tidak baik yang sudah

ditanamkan oleh orang tua perlu diperhatikan dan ambil yang baik.

Manfaatkan internet untuk hal yang positif dan tetaplah menjaga etika yang

sopan walaupun sekedar di dunia virtual.

3. Pemerintah Pusat

Pemerintah diharapkan dapat lebih bersikap tegas dalam menyeleksi

konten-konten yang buruk seperti iklan yang bernuansa vulgar dan menutup

akses konten tersebut, sehingga anak-anak maupun remaja tidak terpapar oleh

konten negatif yang beredar di internet.

110
4. Lembaga Generasi Digital Indonesia

Diharapkan dapat memberikan sosialisasi terkait pengetahuan literasi

digital secara merata ke tiap kelurahan, khususnya keluarga di Kelurahan

Cipayung Jaya. Tidah hanya secara offline, melainkan perlu dipertimbangkan

untuk mengadakan sosialisasi secara online agar cakupan audiens yang

mengikuti dapat lebih banyak, melalui platform seperti Zoom Meeting

ataupun Google Meet. Hal ini penting agar pengetahuan tersebut dapat

dirasakan oleh banyak orang tua, sehingga orang tua dapat meneruskannya

kepada anak-anaknya.

5. Akademis

Penulis sangat menyadari ketidaksempurnaan pada skripsi ini. Oleh

karena itu, kepada penulis selanjutnya diharapkan dapat memperkaya dan

mengembangkan penelitian ini, seperti misalnya fokus kepada anak remaja di

sekolah agama tertentu untuk melihat pengaruh dari sosialisasi yang sudah

diberikan oleh guru ataupun agen sosialisasi lainnya. Tidak hanya

menggunakan metode kualitatif, melainkan menggunakan metode kuantitatif.

111
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku, E-book, Jurnal, Berita, dan Artikel

Adam, Aulia. 2017. “Selamat Tinggal Generasi Milenial, Selamat Datang


Generasi Z.” tirto.id.

Adikara, Gilang Jiwana, Novi Kurnia, Lisa Adhrianti, Sri Astuty, Xenia Angelica
Wijayanto, Fransiska Desiana, dan Santi Indra Astuti. 2021. Aman Bermedia
Digital.

Aeni, Siti Nur. 2022. “Memahami Karakteristik dan Ciri-ciri Generasi Z.”
Katadata Media Network. Diambil 20 Desember 2022
(https://katadata.co.id/sitinuraeni/berita/6226d6df12cfc/memahami-
karakteristik-dan-ciri-ciri-generasi-z).

Agustina, Lidya. 2020. “Viralitas Konten di Media Sosial.” MAJALAH ILMIAH


SEMI POPULER KOMUNIKASI MASSA 1(2):149–60.

Akmala, Said. 2019. “Perkembangan Internet Pada Generasi Muda Di Indonesia


Dengan Kaitan Undang-Undang Ite Yang Berlaku.” Cyber Security dan
Forensik Digital 1(2):45–49. doi: 10.14421/csecurity.2018.1.2.1371.

Amanda, Septiany. 2021. “Apa itu Literasi Digital, Prinsip Dasar, Manfaat, dan
Contohnya.” tirto.id, Maret 18.

Andarningtyas, Natisha. 2022. “Pengguna internet Indonesia naik dari tahun ke


tahun.” ANTARA News.

Anon. 2018. “Pengguna Internet di Kota Depok Mencapai 65 Persen.”


Depokrayanews. Diambil 20 Januari 2023
(https://depokrayanews.com/pengguna-internet-di-kota-depok-mencapai-65-
persen/).

Berns, Roberta M. 2013. Child, Family, School, Community: Socialization and

xii
Support. 9th ed. USA: Wadsworth Cengage Learning.

Creswell, John W. 2008. Educational Research: Planning, Conducting, and


Evaluating Quantitative and Qualitative Research. Pearson.

Davidson, Christina. 2011. “Seeking the Green Basilisk Lizard: Acquiring Digital
Literacy Practices in the Home.” Journal of Early Childhood Literacy 12:24–
45. doi: https://doi.org/10.1177/1468798411416788.

Depok, Berita. 2021. “Gradasi Depok Gandeng Diskominfo Sosialisasikan


Literasi Digital ke Masyarakat.” Portal Berita Resmi Pemerintah Kota
Depok. Diambil 15 April 2022
(https://berita.depok.go.id/pemerintahan/gradasi-depok-gandeng-diskominfo-
sosialisasikan-literasi-digital-ke-masyarakat-6542).

Fatmawati, Nur Ika. 2019. “LITERASI DIGITAL, MENDIDIK ANAK DI ERA


DIGITAL BAGI ORANG TUA MILENIAL.” Jurnal Politik dan Sosial
Kemasyarakatan 11:119–38. doi:
https://doi.org/10.52166/madani.v11i2.1602.

Fitriyani, Pipit. 2018. “PENDIDIKAN KARAKTER BAGI GENERASI Z.”


Prosiding Konferensi Nasional Ke- 7 307–14.

Gani, Alcianno G. 2014. “Pengenalan Teknologi Internet Serta Dampaknya.”


Jurnal Sistem Informasi Universitas Suryadarma 2(2). doi:
10.35968/jsi.v2i2.49.

Goode, William J. 2004. Sosiologi Keluarga. Jakarta: Bumi Aksara.

Hakim, Fatwa Nurul. 2020. “Pola Relasi Anak dan Orangtua di Masa Pandemi
Covid 19.” PSISULA: Prosiding Berkala Psikologi 2(1):124–34.

Hakim, Siti Nurina, Aliffatullah Alyu Raj, dan Dara Febrian Chita Prastiwi. 2017.
“REMAJA DAN INTERNET.” Prosiding SEMNAS Penguatan Individu di
Era Revolusi Informasi 311–19.

Hamdi, Imam. 2016. “Pengguna Internet di Depok Baru 25 Persen.” Tempo.co.

xiii
Diambil 10 Juli 2022 (https://metro.tempo.co/read/733868/pengguna-
internet-di-depok-baru-25-persen).

Hanika, Ita Musfirowati, Melisa Indriana Putri, dan Alyza Asha Witjaksono.
2020. “Sosialisasi Literasi Media Digital di Jakarta (Studi Eksperimen
Penggunaan YouTube terhadap Siswa Sekolah Dasar di Jakarta).” Jurnal
Komunikasi dan Kajian Media 4(2):153–72.

Hurlock, Elizabeth. 2011. Developmental Psychology. New York: McGraw-Hill.

Indriani, Rini, dan M. Yemmardotillah. 2021. “Literasi Digital Bagi Keluarga


Milenial Dalam Mendidik Anak Di Era Digital.” Journal of Science and
Research 2(2):1–13. doi: https://doi.org/10.51178/ce.v2i2.223.

Inten, Dinar Nur. 2017. “Peran Keluarga dalam Menanamkan Literasi Dini pada
Anak.” Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini 1:23–32.

Iskandar, Dudi, dan Muhamad Isnaeni. 2019. “Penggunaan Internet Di Kalangan


Remaja Di Jakarta.” Communicare: Journal of Communication Studies
6(1):57–72. doi: 10.37535/101006120194.

Iver, R. M. Mac, dan Charles H. Page. 1952. Society On Introductory Analysis.


London: Mac Milan & Co. LTD.

Jr., Robert Hughes, dan Jason D. Hans. 2004. Handbook of Contemporary


Families: Considering the Past, Contemplating the Future. SAGE
Publications, Inc.

Kastori, Rina. 2022. “Sosialisasi: Pengertian, Tujuan, Fungsi, dan Jenisnya.”


Kompas.com, September 1.

Kolip, Elly M. Setiadi Usman. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana


Prenada Group.

Kominfo. 2014. “Pengguna Internet Indonesia Nomor Enam Dunia.” Kementerian


Komunikasi dan Informatika. Diambil 14 Januari 2023
(https://www.kominfo.go.id/content/detail/4286/pengguna-internet-

xiv
indonesia-nomor-enam-dunia/0/sorotan_media).

Kristiyono, Jokhanan. 2015. “Budaya Internet: Perkembangan Teknologi


Informasi Dan Komunikasi Dalam Mendukung Penggunaan Media Di
Masyarakat.” Scriptura 5(1):23–30. doi: 10.9744/scriptura.5.1.23-30.

Kumpulainen, Kristiina, Heidi Sairanen, dan Alexandra Nordström. 2020. “Young


children’s digital literacy practices in the sociocultural contexts of their
homes.” Journal of Early Childhood Literacy 20(3):472–99. doi:
10.1177/1468798420925116.

Kurnia, Novi, dan Santi Indra Astuti. 2017. “Peta Gerakan Literasi Digital Di
Indonesia: Studi Tentang Pelaku, Ragam Kegiatan, Kelompok Sasaran Dan
Mitra.” Informasi 47(2):149–66. doi: 10.21831/informasi.v47i2.16079.

Kusnandar, Viva Budy. 2022. “Indeks Literasi Digital Indonesia Masuk Kategori
Sedang pada 2021.” Katadata Media Network. Diambil 23 Juni 2022
(https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/20/indeks-literasi-
digital-indonesia-masuk-kategori-sedang-pada-2021).

Lawang, Robert M. Z. 1986. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Karunika.

Maimunah, Binti. 2016. Interaksi Sosial Anak di Dalam Keluarga. 1 ed.


Surabaya: Jenggala Pustaka Utama.

Moleong, Lexy J. 2010. METODOLOGI PENELITIAN KUALITATIF. Bandung:


PT Remaja Rosdakarya.

Muniroh Munawar, Fakhrudin, Achmad Rifai RC, Titi Prihatin. 2019.


“Keterlibatan Orangtua dalam Pendidikan Literasi Digital.” Seminar
Nasional Pascasarjana 2019 UNNES 193–97.

Musyarofah. 2017. “PENGEMBANGAN ASPEK SOSIAL ANAK USIA DINI


DI TAMAN KANAK-KANAK ABA IV MANGLI JEMBER TAHUN
2016.” INJECT: Interdisciplinary Journal of Communication 2(1):99–122.

Nazahah, Ana. 2022. “Konten Vulgar Kian Viral, Negara Darurat Moral.”

xv
NarasiPost.com.

Novi Kurnia, Engelbertus Wendratama, Wisnu Martha Adiputra, dan Intania


Poerwaningtias. 2020. Literasi Digital Keluarga Teori dan Praktik
Pendampingan Orangtua terhadap Anak dalam Berinternet. 2 ed. diedit oleh
Novi Kurnia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nurdin, Ismail, dan Sri Hartati. 2019. Metodologi Penelitian Sosial. diedit oleh
Lutfiah. Surabaya: Media Sahabat Cendekia.

Pahlevi, Reza. 2022. “Penetrasi Internet di Kalangan Remaja Tertinggi di


Indonesia.” Katadata Media Network. Diambil 6 November 2022
(https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/06/10/penetrasi-internet-di-
kalangan-remaja-tertinggi-di-indonesia).

Pamungkas, Ridho Bima. 2018. Siberkreasi & Literasi Digital Indonesia. diedit
oleh M. S. Dirgayuza Setiawan dan Nabeel Khawarizmy Muna. Yogyakarta:
Faculty of Social and Political Sciences Universitas Gadjah Mada.

Pujiono, Andrias. 2021. “Media Sosial Sebagai Media Pembelajaran Bagi


Generasi Z.” Didache: Journal of Christian Education 2(1):1. doi:
10.46445/djce.v2i1.396.

Purwaningsih, Endang. 2010. “Keluarga dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai


Sebagai Upaya Mengatasi Degradasi Nilai Moral.” Jurnal Pendidikan
Sosiologi dan Humaniora 1:47. doi: http://dx.doi.org/10.26418/j-
psh.v1i1.379.

Rajaguguk, Kisar. 2022. “20 HP Siswa SMPN 7 Kota Depok Ditemukan Konten
Pornografi.” Med, April 12.

Rakhmah, Diyan Nur. 2021. “Gen Z Dominan, Apa Maknanya bagi Pendidikan
Kita?” Pusat Penelitian Kebijakan Badan Penelitian dan Pengembangan dan
Perbukuan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi,
Februari 4.

xvi
Salehudin, Mohammad. 2020. “Literasi Digital Media Sosial Youtube Anak Usia
Dini.” Jurnal Ilmiah Potensia 5(2):106–15.

Santoso, Ixnatius Nugroho Adhi, dan Wiwid Noor Rakhmad. 2020. “Pengawasan
Orangtua Dan Literasi Digital Keluarga Melalui Dialog Serta Mediasi
Terhadap Anak-Anak Mereka.” Interaksi Online 8(2):1–11.

Sari, Ayu Permata, Asmidir Ilyas, dan Ifdil Ifdil. 2017. “Tingkat Kecanduan
Internet pada Remaja Awal.” Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia 3(2).

Sarwono, S. W. 2013. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Shin, Wonsun. 2013. “Parental socialization of children’s Internet use: A


qualitative approach.” New Media and Society 17(5):649–65. doi:
10.1177/1461444813516833.

Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Refika Aditama.

Subadi, Tjipto. 2008. Sosiologi. Surakarta: FKIP UMS.

Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. 19 ed.


Bandung: Alfabeta.

Sukendar, Markus Utomo. 2017. Psikologi Komunikasi: Teori dan Praktek.


Yogyakarta: CV Budi Utama.

Suryatni, Luh. 2021. LITERASI MEDIA DIGITAL DALAM KELUARGA DI


MASA PANDEMI CORONA VIRUS DISEASE 2019.

UPI, Humas. 2022. “Etika Digital.” berita.upi.edu, Maret 31.

Wahyudi, Tian. 2019. “Paradigma Pendidikan Anak dalam Keluarga di Era


Digital (Perspektif Pendidikan Islam).” RI’AYAH 4(1).

Yulianti, Tya Eka. 2022. “Bahaya Anak Bermain Medsos: Kejar Sensasi dan
Viral!” detikcom.

xvii
xviii
Lampiran

Lampiran 1 : Panduan Wawancara

A. Jadwal Wawancara
1. Hari dan Tanggal Wawancara
3. Tempat dan Waktu Wawancara

B. Identitas Informan
1. Nama/Inisial Informan
2. Jenis Kelamin
3. Usia
4. Pekerjaan
4. Pendidikan Terakhir
5. Pendapatan

C. Pertanyaan Penelitian
Tabel C.1. Sosialisasi Menurut Roberta M. Berns

Teori Berns Mekanisme Pertanyaan

1. Bagaimana cara bapak/ibu


menjalin interaksi yang baik
dengan anak?
Sosialisasi Afeksi 2. Apakah di keluarga bapak/ibu
Mengacu pada
(Effect Emerges terdapat aturan tegas terkait
perasaan atau
from Feeling) larangan atau batasan
emosi.
menggunakan ponsel untuk
anak?
3. Aturan tersebut bersifat tertulis
atau tidak tertulis?

xix
4. Jika iya, apa yang melatar
belakangi bapak/ibu dalam
membuat aturan tersebut?
5. Apakah dalam menerapkan
aturan, bapak/ibu turut
melibatkan anak atau atas dasar
kesepakatan bersama antara
orang tua dan anak?
6. Jika iya, siapa yang dilibatkan
dalam pembuatan aturan? (Misal:
hanya anak laki-laki atau anak
perempuan saja)
7. Lanjutan dari pertanyaan nomor
5, mengapa bapak/ibu lebih
melibatkan anak laki-laki atau
anak perempuan?
8. Jika aturan tersebut dibuat tanpa
ada diskusi dengan anak,
bagaimana tanggapan anak saat
bapak/ibu menetapkan aturan
tersebut? (Misal: anak menerima
atau anak menolak)
9. Apakah agama membawa
pengaruh terhadap keputusan
bapak/ibu dalam menetapkan
aturan tersebut?
10. Adakah sosok yang
menginspirasi bapak/ibu dalam
menerapkan aturan tersebut pada
gaya parenting anda?

xx
11. Sejak kapan aturan tersebut
mulai berlaku di keluarga anda?
12. Siapa yang paling berperan atau
dominan dalam memberikn
sosialisasi atau pengawasan
aturan tersebut? (Misal:
bapak/ibu)
13. Jika bapak/ibu, mengapa suami
atau istri anda menyerahkan
aturan tersebut sepenuhnya
diawasi oleh anda? (Misal: suami
sibuk bekerja, suami cuek, istri
cuek, atau anak lebih mudah
nurut dengan suami)
14. Apakah aturan tersebut masih
konsisten diterapkan hingga saat
ini?
15. Apakah bapak/ibu memberikan
perlakuan yang berbeda
berdasarkan jenis kelamin anak
dalam mensosialisasikan aturan
tersebut? Jika iya, mengapa?
(Misal: anak perempuan hanya
boleh menggunakan gadget saat
tugas rumah sudah selesai
dikerjakan, orang tua lebih aware
dengan anak perempuan karena
sifat kepolosannya, dll)
16. Apakah aturan tersebut pernah
dilanggar oleh anak anda?

xxi
1. Apakah bapak/ibu membatasi
konten tertentu yang boleh dan
tidak boleh di lihat oleh anak
ketika bermain internet?
2. Konten seperti yang bapak/ibu
bolehkan dan tidak bolehkan
untuk diakses anak?
3. Apakah bapak/ibu dalam
memberikan sosialisasi tersebut
membedakan konten berdasarkan
jenis kelamin anak?
4. Apakah bapak/ibu pernah
melakukan pengecekan gadget
anak?
Mengacu pada
5. Bagaimana tanggapan bapak/ibu
Sosialisasi Operan tindakan orang
jika anak anda tidak patuh
tua.
dengan aturan yang telah
ditetapkan?
6. Apakah terdapat sanksi yang
bapak/ibu berikan?
7. Apakah menurut bapak/ibu
dengan adanya sanksi, anak akan
menjadi lebih patuh dengan
orang tua? Mengapa?
8. Bentuk sanksi seperti apa saja
yang bapak/ibu pernah berikan
kepada anak? Apakah sanksi
tersebut bersifat edukatif atau
tidak? (Misal: tidak memberi
anak uang jajan dsb)

xxii
9. Apakah bapak/ibu pernah
memukul/mencubit/menjewer
anak laki-laki atau perempuan
ketika anak melanggar aturan
yang anda buat?
10. Siapa yang biasanya memberikan
sanksi tersebut? (Misal:
bapak/ibu)
11. Bagaimana tanggapan bapak/ibu
jika anak diam-diam melanggar
aturan yang telah disepakati
bersama dan bapak/ibu tahu dari
orang lain?
12. Bagaimana tanggapan bapak/ibu
jika anak patuh dengan aturan
tersebut?
13. Apakah bapak/ibu memberikan
imbalan sebagai bentuk apresiasi
kepatuhan anak atas aturan
tersebut? Mengapa?
14. Jika iya, bentuk imbalan seperti
apa yang bapak/ibu pernah
berikan kepada anak? (Misal:
memeluk anak, memberi uang
jajan lebih, membelikan hadiah
yang disukai anak, dsb)
15. Apakah menurut bapak/ibu
dengan pemberian imbalan, anak
akan menjadi patuh dengan
aturan tersebut? Mengapa?

xxiii
16. Apakah terdapat perbedaan
dalam pemberian imbalan
berdasarkan jenis kelamin?
17. Jika iya, mengapa bapak/ibu
memberikan perlakuan imbalan
yang berbeda?
1. Apakah bapak/ibu pernah
memberikan contoh yang baik
dalam menggunakan internet?
Sosialisasi Mengacu pada 2. Jika iya, contoh seperti apa yang
Observasi peniruan. bapak/ibu lakukan?
3. Apakah bapak/ibu pernah melihat
anak anda meniru tindakan baik
tersebut?
1. Apakah bapak/ibu pernah
berdiskusi dengan anak terkait
permasalahan dalam berinternet?
2. Bagaimana upaya yang dilakukan
bapak atau ibu sejauh ini dalam
menerapkan aturan tersebut?
Nilai-nilai sosialisasi seperti apa
Mengacu pada
yang bapak atau ibu tekankan pada
Sosialisasi Kognitif proses berpikir
anak untuk proses berpikir anak?
anak.
3. Bagaimana bapak/ibu memberikan
pemahaman yang benar kepada
anak dalam menggunkan internet?
4. Apakah bapak/ibu memberikan
proteksi situs-situs internet yang
berbahaya bagi perkembangan
anak?

xxiv
5. Apa yang bapak/ibu harapkan
kepada anak dalam mengakses
internet?
1. Apakah bapak/ibu memberikan
tekanan kepada anak dalam
menggunakan internet?
Mengacu pada
2. Adakah tradisi tertentu yang
Sosialisasi ekspektasi dari
bapak/ibu berikan kepada anak
Sosiokultural lingkungan
dalam menggunakan internet atau
sosial.
ponsel?
3. Jika, iya bagaimana tradisi tersebut
dilakukan?
1. Apakah bapak/ibu memberikan
pendampingan ketika anak
Melibatkan menggunakan internet?
pendampingan 2. Siapa yang biasanya memberikan
Sosialisasi antara agen pendampingan? (Misal: ayah.ibu)
Pendampingan sosialisasi dan 3. Mengapa bapak/ibu memberikan
target pendampingan?
sosialisasi 4. Apakah bapak/ibu memberikan
pendampingan berdasarkan jenis
kelamin anak tertentu?

xxv
Tabel C.2. Pertanyaan Pendukung
Agen Sosialisasi (Orang Tua) Target Sosialisasi (Anak)
1. Apakah anak bapak/ibu 1. Pemahaman yang diketahui
memiliki gadget atau komputer mengenai literasi digital
sendiri yang bisa mengakses 2. Sudah aktif menggunakan
internet? internet sejak kapan?
2. Pemahaman yang diketahui 3. Apakah di rumah disediakan wifi
mengenai literasi digital oleh orang tua atau masih
3. Apakah menurut bapak/ibu, menggunakan kuota pribadi?
saat ini literasi digital penting 4. Alasan disediakannya kenapa?
untuk dipahami oleh anak usia 5. Berapa lama waktu yang anda
remaja? habiskan untuk bermain internet?
4. Apakah menurut bapak/ibu, 6. Apa saja yang anda lihat ketika
orang tua mempunyai peran bermain internet?
penting dalam pemahaman 7. Apakah orang tua menetapkan
literasi digital anak? Mengapa? aturan seperti batasan atau
5. Apakah di lingkungan larangan menggunakan gadget?
bapak/ibu setempat pernah 8. Jika iya, aturannya bagaimana?
diadakan sosialisasi terkait 9. Apakah orang tua anda pernah
panduan literasi digital memberikan sosialisasi terkait
keluarga? literasi digital?
6. Pernahkah bapak/ibu mencari 10. Jika iya, sosialisasi seperti apa
tahu informasi terkait literasi yang pernah diberikan oleh orang
digital? (Misal: cara tua kepada anda?
membedakan informasi hoax, 11. Apakah orang tua pernah
cara terhindar dari penipuan, mendampingi anda saat
cyber bullying, dsb) menggunakan internet?
7. Jika iya, biasanya bapak/ibu 12. Apakah orang tua anda pernah
mencari informasi tersebut melakukan pengecekan gadget?
melalui apa? (Misal: televisi, 13. Jika iya, biasanya ibu atau bapak
yang melakukan pengecekan?

xxvi
portal berita online, whatsapp 14. Apakah anda sering berdiskusi
group, sosial media, dsb) dengan orang tua terkait
8. Apakah bapak/ibu mempunyai penggunaan internet?
kekhawatiran tersendiri akan 15. Apakah orang tua anda pernah
bahaya atau dampak negatif mengajarkan terkait konten yang
dari internet yang dapat boleh dan tidak boleh diakses saat
menjerumuskan anak anda? berinternet?
9. Apa yang dilihat anak ketika 16. Konten-konten seperti apa yang
sedang mengakses internet? dibolehkan dan tidak dibolehkan
10. Pernah kah bapak/ibu oleh orang tua?
mendorong anak untuk 17. Sejauh ini dampak positif dan
mengikuti seminar atau negatif seperti apa saja yang anda
pengetahuan mengenai literasi rasakan ketika berinternet?
digital? 18. Apakah anda pernah mengakses
hal yang sudah dilarang orang tua
secara diam-diam?
19. Apa yang orang tua lakukan jika
anda tidak patuh dengan aturan
tersebut?
20. Apakah anda pernah diberikan
hukuman atau sanksi karena
melanggar aturan tersebut?
21. Apakah hukuman yang diberikan
orang tua sama dengan hukuman
yang diberikan kepada saudara
anda yang lain?
22. Apakah orang tua pernah
melakukan kekerasan karena
anda tidak mematuhi aturannya?
23. Bagaimana jika anda patuh
dengan aturan tersebut? Apakah

xxvii
ada imbalan spesifik yang
diberikan oleh orang tua?
24. Apakah imbalan yang anda
terima sama dengan imbalan
yang diberikan kepada saudara
anda yang lain?
25. Apakah sosialisasi yang telah
diberikan oleh orang tua terkait
penggunaan internet sejauh ini
sudah cukup bagi anda?

xxviii
Lampiran 2 : Transkrip Wawancara

Profil Informan (Agen Sosialisasi 1)

Nama : Bapak D (Inisial Informan)


Hari/Tanggal Wawancara : Selasa, 19 Juli 2022
Lokasi Wawancara : Rumah kediaman informan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 51 Tahun
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan Terakhir : SLTA

Peneliti : Izin bertanya pak, pemasukan bapak dalam sebulan itu berapa?
Informan : Kisaran 4 mbak.
Peneliti : Kalau hp yang saat ini digunakan anak itu milik bersama atau sendiri pak?
Informan : Sendiri.
Peneliti : Alasan bapak memberikan hp kenapa pak?
Informan : Karena tuntuan ya dan alhamdulillah ada rezeki. Dan untuk belajar juga
apalagi waktu kemarin covid itu dituntut membutuhkan internet, jadi mau
gamau memberikan fasilitas.
Peneliti : Di rumah anak disediakan wifi atau pakai kuota sendiri pak?
Informan : Tidak menyediakan wifi tapi kita beliin kuota, cuma ya dibatesin kuotanya.
Dalam sebulan ada batasannya berapa gb gitu, mau abis atau ga habis
pokoknya tetap segitu.
Peneliti : Menurut pandangan bapak, internet itu penting ga?
Informan : Penting mbak, sangat penting. Kalau dulu sebelum ada internet itu serba
terbatas, sekarang kan alhamdulillahnya jadi serba cepat dan mudah. Untuk
komunikasi juga kan sekarang apa-apa internet gitu ya, kayak anak saya
pun semenjak pandemi ini kan pembelajarannya terbantu karena adanya
internet. Ya walaupun memang, ga selamanya hal yang di internet itu
positif ya.
Peneliti : Oh begitu. Tapi bapak netapin aturan tegas terkait batasan penggunaan hp
atau larangan menggunakan internet ga?

xxix
Informan : Aturan tegas sih gaada, cuma pengawasan. Saya sesekali juga hpnya saya
kontrol. Kalau ada yang dikunci-kunci atau disandi, berarti kan sudah ada
hal yang ga benar disitu. Wa atau apapun saya buka. Supaya tidak
disalahgunakan.
Peneliti : Biasa yang ngecekin hp anak siapa pak?
Informan : Saya.
Peneliti : Alasannya kenapa tuh bapak yang ngecek?
Informan : Karena kalau istri kan sudah ada kesibukan juga dan biasanya kalau ibunya
kurang disegani lah sama anak. Kalau sama ibunya kan nurutnya, nurut
sayang. Terus juga kalau ibunya kadang suka ga tega, kalau saya suka
omelin dan lebih tegas.
Peneliti : Mulai melakukan pengecekan itu dari kapan pak?
Informan : Semenjak dibelikan hp, pas awal-awal pandemi, karena kan dulunya kita
ga kasih.
Peneliti : Ohiya pak dalam pembuatan aturan, anak dilibatkan juga gak pak?
Informan : Iya mbak, saya libatkan karena ini menyangkut dia juga ya dan untung
anaknya paham jadi terima terima aja.
Peneliti : Semua anak bapak dilibatkan juga pak?
Informan : Kalau itu engga sih mbak, anak saya cowok yang remajanya aja. Yang
kecil, cewek, dibilangin masih suka belum paham, kalau ke anak yang
cowok kan dia dibilangin apa apa cepet nyampenya.
Peneliti : Oh begitu. Tapi bapak netapin ga kayak perhari anak cuma boleh main
internet berapa jam gitu?
Informan : Kalau itu engga. Tapi kalau misalkan malam, jam sekian masih main hp,
“tak sita nanti hp nya”. Selalu kita tegasin begitu.
Peneliti : Batas paling lama kalau malem itu jam berapa pak?
Informan : Jam 9 atau 10 sudah ga boleh, apalagi sekarang sudah aktif masuk sekolah,
jam 9 udah harus berhenti main hp. Kecuali kalau lagi libur atau ada tugas.
Peneliti : Tapi bapak membatasi konten tertentu yang boleh dan tidak boleh dilihat
oleh anak ketika bermain internet ga?
Informan : Sebenarnya gaada sih. Alhamdulillah dari dia sendiri kan dari segi
agamanya, dapet pendidikan juga, tau lah batasannya sendiri. Kita tinggal
mengarahkan saja. Kalau yang ditonton kira-kira hal-hal itu aja misalkan
banyak main game atau nonton yang tidak bermanfaat, kita arahkan lah

xxx
misalkan nonton kajian agama ceramah di youtube atau dengerin ngaji.
Selain itu, kita pun mencontohkan, kita sendiri buka itu, nanti kan mereka
ikut dengerin juga. Terutama memang kadang pengawasan orang tua itu
kan paling berapa persen ya, alhamdulillah dari lingkungan sendiri disini
udah bagus dan positif. Saya sendiri memberi anak kebebasan, tapi juga
memberikan batasan. Terus yang paling penting, kadang dia main apa itu,
kita kembalikan lagi ke dia. Kamu main hp ini udah berapa jam, katakanlah
misal satu atau dua jam, nah kamu sudah sholat belum? Itu kita balikin lagi
ke dia gitu loh, selalu begitu. Kamu sholat 10 menit aja kan kadang berat
banget terus kayaknya buru-buru dan kita sebagai orang tua gak bosen
untuk ingetin itu ke anak. Sambil dewasa nanti kan dia tau dan sadar sendiri
juga.
Peneliti : Berarti agama membawa pengaruh dalam penetapan aturan itu pak?
Informan : Iya. Selain itu, kita lihat di informasi kayak game itu negatif lah. Terlalu
berlebihan juga ga baik kayak di whatsapp juga suka saya unjukin kayak
akibat ini begitu. Terus di TV tontonan, kita panggil gitu, tuh berita
dengerin tuh, jadi lansung mereka ngerti. Terlalu keras banget juga engga,
yang penting pengertian aja.
Peneliti : Kalau budaya berpengaruh juga ga pak?
Informan : Sangat pengaruh. Saya inget betul ya nasihat orang tua dulu dan kita baru
merasakannya sekarang. Misalkan kalau orang tua dulu kan belum ada
ginian ya larangan. Paling makan jangan sambil jalan, buang air panas
harus dikasih air dingin dulu dan manfaatnya baru berasa sekarang gitu
loh. Ini pun nanti kedepannya begitu, mungkin sekarang anak kesel kalau
diingetin, tapi nanti suatu saat dia akan merasakan.
Peneliti : Model pengawasan seperti apa yang bapak lakukan?
Informan : Pengawasan dengan mengecek langsung hp anak aja mbak.
Peneliti : Pengawasan lewat asisten rumah tangga gitu ada ga pak?
Informan : Engga sih kalau itu, karena kebetulan istri saya juga ibu rumah tangga,
masih sering di rumah.
Peneliti : Ohiya bapak turut melakukan pendampingan juga atau engga saat anak
menggunakan internet?
Informan : Engga mbak, hanya mengecek hp anak aja. Saya juga ga terlalu khawatir
karena lingkungannya tadi, pergaulannya, kan kelihatan ya sifat orangnya

xxxi
itu. Kayak misal yang tadinya sholat tepat waktu, kok lama-lama jadi
berubah, itu kita tau dan pantaunya lewat perilaku juga ketauan. Anak pun
perlu kebebasan juga, tapi kebebasan yang terarah. Sosialisasinya masih
berdasarkan keinginan anak, tapi kita sebagai orang tua mengarahkan, ga
terlalu yang mendikte anak. Untuk situasi sekarang, kebutuhan anak
sekarang, kita kan ketinggalan gitu loh. Tapi untuk hal baik, hal benar kan,
bagaimanapun orang tua lebih tau yakan, gitu aja. Tapi untuk kebutuhan
anak ini, kita harus punya aplikasi ini lah, untuk ini, aplikasi ini untuk ini,
itu malah kita kadang banyakan suka sharing kan, masalah peduli lindungi
terus masalah apa apa itu kan hal-hal baru suka diskusi. Saya sendiri
dengan adanya itu sebagai orang tua juga kan merasakan manfaatkan gitu
kan, jadi saya sendiri ga terlalu melarang juga toh manfaatnya untuk kerja
saya juga ada, untuk penambahan ilmu mungkin yang saya gatau tinggal
nanya dia kadang, jadi saling sharing. Tapi kalau hal-hal yang negatif itu
ya kita langsung, tau lah dari perubahan perilaku.
Peneliti : Tapi sejauh ini anak selalu patuh pak?
Informan : Iya, alhamdulillah.
Peneliti : Semisal ga patuh, diberikan sanksi atau hukuman ga pak?
Informan : Engga sih, paling kita hanya kasih peringatan aja, istilahnya hanya
gertakan-gertakan tapi keras gitu. Cuma ancaman-ancaman aja sih tapi
gaada isi datanya.
Peneliti : Itu kasih peringatannya ke salah satu anak aja atau keduanya pak?
Informan : Keduanya kalau itu mbak, sama-sama saya kasih peringatan kalau udah
berlebihan.
Peneliti : Ga sengaja cubit atau jewer anak gitu pernah pak?
Informan : Engga, jangan. Main fisik itu kalau bisa dihindarkan dan seumur-umur kita
itu belum pernah ya namanya sampai main fisik. Kalau omongan ya
memang keras, itu pun hanya suara. Terus kalau gaada perubahan ya, tapi
selama ini belum sampe. Untungnya dia udah tau lah.
Peneliti : Siapa yang selalu mengontrol anak pak?
Informan : Saya. Kalau mamanya juga pernah ngomel, tapi baliknya ke saya lagi.
Peneliti : Bapak pernah memberikan imbalan ga kalau anak patuh?

xxxii
Informan : Engga sih selama ini, paling hanya pujian omongan aja, istilahnya
sanjungan gitu lah dia kan positif main internetnya. Kita lebih ke senang,
gitu aja.
Peneliti : Kalau uang jajan dilebihin pak?
Informan : Engga, saya ga membiasakan untuk itu lah, jangan.
Peneliti : Alasan bapak memberikan pujian kepada anak kenapa tuh?
Informan : Saya nuntut ini jangan dibiasakan apa-apa materi. Nanti takutnya larinya
malah kebiasaan kayak mau lakuin apa-apa karena sebatas materi misal
saya mau sholat ah biar dapet uang jajan lebih kan jatohnya bukan semata-
mata untuk beribadah. Tapi ya syukur-syukur karena kesadaran sendiri.
Pujiannya ya pengganti imbalan itu dan hanya sebatas apresiasi aja.
Peneliti : Bapak memberikan perbedaan sosialisasi gak berdasarkan jenis kelamin
anak?
Informan : Sama, ke dua duanya sama. Terus untuk ini sendiri aja kan, tingkat
pemakaiannya itu kan yang kecondongan untuk anak-anak sekarang itu
kan yang lebih kecil ya yang justru harus malah lebih- pengawasannya
karena condongnya game ya walaupun gamenya juga ga terlalu negatif kan
ya. Tapi kalau yang gede kan tinggal arahin aja lah, ga terlalu ini lah,
karena ya itu tadi dari pergaulan nampak, dari kesehariannya perilaku
nampak, jadi masih tenang lah kita. Tapi untuk yang kecil ini kita ekstra
karena game atau apapun, kita harus bener-bener tegas gitu loh. Apalagi
kalau sampe kecanduan, repot, repot nantinya kan.
Peneliti : Bapak sering berdiskusi soal penggunaan internet ga dengan anak? Atau
diskusi terkait dampak positif dan negatif kepada anak?
Informan : Iyaa, sering. Pokoknya kalau berita yang ini pun kita harus crosscheck,
jangan main share. Itu pun kita beri contoh ya, misalkan ada isu apa,
langsung kita bilangin.
Peneliti : Terakhir kapan pak?
Informan : Lupa kasus apa pokoknya kurang lebih 2 minggu yang lalu. Kebanyakan
kan kita agama ya yang ada hoaks-hoaks, misal habib ini ini, ya kurang
lebih 2 minggu yang lalu. Jangankan hanya hoaks aja ya, kalau ada hal
yang menyedihkan kayak kecelakaan atau apa saya pun juga melarang
anak untuk menyebarluaskan. Saya tekankan kita itu harus simpati harus
empati.

xxxiii
Peneliti : Bapak pernah memberikan pemahaman yang baik dan benar ga dalam
penggunaan internet?
Informan : Ya kita arahin aja karena itu tuntutan. Saya sendiri menganjurkan karena
ya harus bisa internet tuh di jaman sekarang dan bermain internet ya yang
baik-baik aja, jangan berbuat jahat.
Peneliti : Bapak biasanya memberikan sosialisasi kepada anak itu dimana?
Informan : Paling kita seringnya di rumah ya, sambil makan aja juga kadang pernah
kok. Misalkan dia tek ada ini, “saya bilang nanti dulu lagi makan kok
sambil mainan hp, makan dulu”, kita nasehatin dulu.
Peneliti : Kalau diskusi mengenai permasalahan internet dengan anak pak?
Informan : Selama ini jarang, soalnya kan mohon maaf banget lebih paham dan lebih
ngerti dia. Selain itu kan memang dia apa ya kita liatnya positif, walaupun
kita tau cara menginput ini, tapi ya kita tetep minta tolong lah dan ternyata
dia tau.
Peneliti : Gimana cara bapak membangun komunikasi dengan anak?
Informan : Yang jelas kita sering komunikasi ya, itu satu. Yang kedua penghargaan
itu kalau saya pribadi, untuk di keluarga saya itu, jangan dibiasakan materi.
Terus kita merasa penghargaan apresiasi itu harus disampaikan. Hal-hal
yang negatif atau apa harus kita terangkan juga dan diarahin.
Peneliti : Bagaimana sih cara bapak membuka interaksi dengan anak?
Informan : Saya sih kalau di rumah lagi senggang terus anak juga lagi ga ngapa-
ngapain, biasanya suka nanyain mbak tadi dia ngapain aja, ketemu siapa
aja, ingetin udah makan sama sholat apa belum. Sekedar itu aja sih mbak,
terus obrolannya nanti ngalir sendiri.
Peneliti : Bapak punya kekhawatiran tersendiri ga akan bahaya dari internet yang
dapat menjerumuskan anak?
Informan : Tentu iya, tetap ada makanya ada pengawasan. Kita khawatirnya itu ya
kalau pengawasannya lengah kan anak jadi negatif. Negatif itu kan
condong cepet ya, kembangnya ke anak lebih cepet negatif daripada yang
positif.
Peneliti : Strategi bapak kalau misalnya anak mengalami dampak negatif?
Informan : Misalkan nanti, ya langkah kita harus ditegasin lagi, ditekanin kalau negatif
gitu ya.
Peneliti : Bapak memberikan proteksi situs-situs internet gak kepada anak?

xxxiv
Informan : Ya kita ga ini ya-mohon maaf banget pemahaman ini seperti apa yaa. Yang
jelas nomor satu memang agama, jadi tanpa kita ini pun, dia sudah tau yaa.
Peneliti : Ohiya pak, yang bapak ketahui soal literasi digital itu apa?
Informan : Disesuaikan dengan kebutuhannya gitu.
Peneliti : Menurut bapak literasi digital penting untuk dipahami anak remaja ga pak?
Informan : Sangat penting ya karena tuntuan zaman ini. Kita kan apa-apa emang serba
digital, dia harus paham, harus ngerti, bahkan kalau bisa harus lebih paham
dari orang tuanya hahaha.
Peneliti : Menurut bapak orang tua punya peran penting dalam memberikan
pemahaman literasi digital ga pak?
Informan : Iyaa, soalnya contoh lah kita ini kan termasuk sudah ketinggalan jadi ya
hanya sebatas aware aja. Malah justru anak sendiri yang harus kita arahkan,
yaudah ga masalah kalau dia mau main internet atau belajar ini yang
penting positif terus kalau membutuhkan pendukung ya kita support
dengan memberikan fasilitas. Misalkan perlu alatnya kita dukung, tapi
tetep kita tanya dulu kepentingannya.
Peneliti : Tapi di lingkungan setempat pernah diadakan sosialisasi terkait literasi
digital keluarga ga pak?
Informan : Belum ada sih, cuma pernah denger rumor-rumornya aja. Mungkin dalam
waktu dekat akan direalisasiin ya.
Peneliti : Bapak suka mencari tahu informasi terkait literasi digital ga pak?
Informan : Oh iyaa sering.
Peneliti : Biasanya cari tahu melalui sumber informasi apa pak?
Informan : Macem-macem mbak, kadang dari TV atau baca berita-berita aja.
Peneliti : Kalau memberikan sosialisasi khusus terkait literasi digital pernah ga pak?
Informan : Oh iya itu juga, walaupun hanya secara garis besarnya saja.
Peneliti : Bisa diceritakan pak sosialisasinya seperti apa?
Informan : Ya seperti di internet itu kan suka banyak iklan-iklan yang gajelas ya mbak,
saya juga suka ingetin ke anak lah kalau ada iklan-iklan yang muncul
gausah di klik karena takutnya mengandung serangan siber malware atau
apa sih itu istilahnya ee virus komputer yang bahaya buat komputer,
soalnya di rumah kan ada komputer juga. Terus kalau mau download
aplikasi atau file apa itu di situs yang terpercaya aja, jangan di link yang
tidak dipercaya ya kurang lebih begitu mbak. Sama jaman sekarang kan

xxxv
lagi banyak phising ya mbak, saya jelasin itu ke anak kalau dapet link-link
dari orang ga dikenal yang harus masukin password lah, apa lah, nomor
rekening lah, itu gausah diikutin langsung apus aja saya bilang.
Peneliti : Biasanya cari tahu melalui sumber informasi apa pak?
Informan : Sumber dari tv sih seringnya atau engga dari youtube.
Peneliti : Apakah bapak pernah mendorong anak untuk mengikuti seminar atau
pengetahuan mengenai literasi digital?
Informan : Untuk ini belum ya, karena saya sendiri gatau ya tempat informasi ini dan
belum kepikiran haha. Tapi kalau misalkan anak masih di luar terus mau
ikutin seminar tentang ini, misal di sekolah atau di lingkungan, ya saya
bakal mendukung banget.
Peneliti : Oke pak, sudah cukup. Terima kasih banyak ya pak atas waktunya dan
ketersediaannya untuk saya wawancarakan.
Informan : Iya, sama-sama. Semoga lancar dan sukses ya.

xxxvi
Profil Informan (Agen Sosialisasi 2)

Nama : Ibu J (Inisial Informan)


Hari/Tanggal Wawancara : Selasa, 19 Juli 2022
Lokasi Wawancara : Rumah kediaman informan
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 46 Tahun
Pekerjaan : Asisten Rumah Tangga (Agen Sosialisasi)
Pendidikan Terakhir : SMP

Peneliti : Izin bertanya bu, pemasukan ibu dalam sebulan itu berapa?
Informan : Kisaran 900.000 – 1 juta mbak.
Peneliti : Ibu memberikan fasilitas hp kepada anak atau engga bu?
Informan : Semua saya fasilitasin hp, kecuali yang masih kecil yang sekarang ini
masih sd, hpnya masih bareng sama saya. Kalau yang anak pertama sama
yang kedua memang saya fasilitasi hp karena itu perlu untuk mereka. Yang
pertama, dia alhamdulillah sudah bekerja jadi saya pegangi hp untuk
urusan komunikasi dengan keluarga, komunikasi dengan pekerjaannya.
Lalu yang kedua kan pelajar dia kan sudah tingkat sma ya jadi sangat perlu
hp.
Peneliti : Kalau di rumah anak disediakan wifi atau pakai kuota sendiri bu?
Alasannya?
Informan : Engga, saya tidak menyediakan wifi. Ya terus terang satu, saya itu kan
termasuk keluarga yang kurang mampu lah istilahnya jadi untuk
menerapkan fasilitas itu saya belum bisa. Jadi semampunya saya hanya
membelikan anak saya itu beli kuota aja.
Peneliti : Berarti perbulan rutin beliin kuota untuk anak bu?
Informan : Iya, tapi dengan syarat untuk keperluan sekolah aja.
Peneliti : Menurut pandangan ibu, internet itu penting ga?
Informan : Sangat penting ya bagi saya, saya dan keluarga saya merasa terbantu
dengan adanya internet ini. Mau ngapain pun serba praktis, jadi kan
memudahkan gitu ya.
Peneliti : Di keluarga ibu ada aturan tegas terkait batasan penggunaan hp atau
larangan menggunakan internet ga?

xxxvii
Informan : Iya ada, saya membatasi anak main hp tuh. Satu, untuk anak main games
ya. Kalau untuk keperluan yang lain misalnya untuk keperluan pendidikan
saya membolehkan, hanya itu yang saya terapkan ke anak-anak saya.
Pokoknya untuk permainan saya batasi, ga boleh lebih dari 1 jam lah.
Peneliti : Aturannya tertulis atau engga bu?
Informan : Engga, ya istilahnya berdasarkan omongan aja.
Peneliti : Yang melatarbelakangi ibu dalam menetapkan aturan tersebut apa?
Informan : Saya takut anak saya terganggu dalam pendidikannya karena kalau
keseringan main hp itu kan bisa istilahnya mengganggu pikiran lah jadi ga
konsentrasi dengan pelajaran atau dengan pekerjaan lain lah.
Peneliti : Aturan itu orang tua yang menetapkan sendiri atau turut melibatkan anak
juga bu?
Informan : Semua saya libatkan. Terutama ya saya sebagai seorang ibu wajib
mengarahkan anaknya. Bapaknya juga saya bilangin tuh, misal anak udah
melampaui batas jangan dikasih duit, nanti duitnya buat beli pulsa. Ya
banyak batasannya lah. Boleh beli pulsa asal untuk yang positif, asal untuk
pelajaran, untuk hubungan dengan teman-teman-nya.
Peneliti : Dalam membuat aturan itu ibu juga mengajak anak untuk berdiskusi?
Informan : Iya, semua anak saya juga diajak bicara.
Peneliti : Bagaimana bu tanggapan anak?
Informan : Ya alhamdulillah. Satu, ada yang langsung merespon. Yang satu
perempuan karena masih kecil, jadi agak susah, asik aja main game. Jadi
masih agak susah saya ngasih taunya. Kalau yang gede sudah mengerti lah.
Peneliti : Dalam membuat aturan, agama membawa pengaruh ga bu?
Informan : Iya, sangat membawa. Karena kan alhamdulillah dari kecil kita sudah
dibiasakan atau didik moral gitu ya, mana yang baik mana yang buruk,
mana yang boleh mana yang engga dari ajaran agama.
Peneliti : Menurut ibu budaya membawa pengaruh juga ga?
Informan : Oh, iya sangat membantu. Jaman dulu kan orang tua menerapkan
utamanya moral ya. Kita gaboleh yang istilahnya menjurus ke pornografi
lah gitu, tidak diijinkan ya gitu, kebawa sampe sekarang saya punya anak.
Peneliti : Ibu punya sosok inspirasi yang jadi panutan ibu dalam menetapkan aturan
tersebut ga?

xxxviii
Informan : Oh iya, saya punya sosok ispirasi itu dulu kakek. Kakek saya itu seorang
pendidik yang keras. Keras ke anak-anak-nya dan saya sebagai cucunya
melihat itu contoh dari kakek saya tuh ternyata banyak benernya. Oh
ternyata kakek saya keras ke anak itu maksudnya baik. Dengan sikap yang
tegas dan keras, akhirnya anak tuh bisa jadi manusia yang bermanfaat dan
berguna. Saya menginspirasi kakek saya.
Peneliti : Kalau aturan di keluarga ibu sendiri itu udah ada sejak kapan bu?
Informan : Sejak saya- itu kan suatu inspirasi ya jadi sudah saya tanamkan ke diri saya
aduh saya besok kalau punya anak saya pengen seperti kakek saya sosok
pendidik yang keras, pekerja keras, dalam mengatur anak-anak nya tuh
bisa. Itu sudah tertanam sejak saya mengandung dan punya anak tapi baru
diterapin di usia dia yang udah menginjak remaja.
Peneliti : Oh iya bu, ibu membatasi konten tertentu yang boleh dan tidak boleh
dilihat oleh anak ketika bermain internet ga?
Informan : Ada yang saya ijinkan karena itu kan perlu ya kayak konten-konten
edukatif sama yang positif aja. Anak juga harus tau dunia luar tuh seperti
apa, tapi ada juga terbatas yang kira-kira sifatnya negatif saya ga ijinkan.
Misalnya ada berita-berita viral ini ini, saya membiarkan aja mereka
mengikuti itu asal tidak melampaui batas, sekedar untuk pengetahuan dia
ya untuk istilahnya apa sih penilaian dia tentang apa yang dilihat.
Peneliti : Konten usia dewasa juga termasuk yang tidak boleh bu?
Informan : Oh iya, saya tidak ijinkan yang berbau porno terus yang khusus orang
dewasa yang belum waktunya mereka lihat, itu saya tidak ijinkan.
Peneliti : Kalau konten atau situs edukatifnya seperti apa bu?
Informan : Ya kayak dari youtube lah atau instagram lah, disana kan banyak juga orang
yang suka share info yang mengedukasi ya.
Peneliti : Oh oke bu. Kalau sosialisasi penggunaan internet itu udah berlangsung dari
kapan bu?
Informan : Sudah lumayan lama, pokoknya dari dia udah diberikan hp dan aktif main
internet sudah saya ingatkan terus.
Peneliti : Bagaimana cara ibu membuka interaksi dengan anak?
Informan : Saya biasanya liat dulu anaknya lagi ngapain mbak. Misal anaknya lagi
main game terus, nah itu cara saya buka topik nanya dulu itu dia main game
apa, lagi main sama siapa, sholatnya udah atau belum, tugasnya udah

xxxix
dikerjain apa belum. Kadang soalnya kalo udah main hp lah atau internet
lah, anak tuh suka lupa waktu sampe tugas di ntar-ntarin. Terus misal kalo
anak mukanya keliatan lagi seneng, itu saya suka tanya abis ngapain
seneng kayak gitu, terus nanti anaknya cerita sendiri. Tapi saya ke anak
mah kalo masalah pribadi ga yang ikut campur ya. Kalau dia mau cerita
ya, saya tanggepin, kalau engga ya udah. Yang penting saya udah ingetin
dia harus gini gini.
Peneliti : Apakah ibu memberikan pengawasan ketika anak bermain internet?
Informan : Iya, saya suka mengawasi itu. Tapi ga sering ya.
Peneliti : Biasanya siapa yang paling dominan dalam pengawasan tersebut?
Informan : Saya, ibunya. Alesannya karena bapaknya kan sibuk, karena kalau udah
capek dengan pekerjaannya ya ga berpikir kesitu lah istilahnya urusan anak
urusan emaknya.
Peneliti : Ibu turut dampingin juga atau engga?
Informan : Saya terus terang agak awam untuk permasalahan ini. Tapi saya hanya bisa
membatasi soal waktu di rumah aja. Untuk pengawasan secara luas, misal
anak ada dimana terus saya cek di hp saya terus terang aja gabisa, engga
saya lakukan. Pengecekan hp dalam hal anak buka apa aja juga tidak saya
lakukan.
Peneliti : Oh begitu. Tapi aturan itu masih berlaku ga bu sampai saat ini?
Informan : Iya, saya masih terapkan sampai sekarang.
Peneliti : Bagaimana upaya yang ibu lakukan sejauh ini dalam menerapkan aturan
tersebut? nilai-nilai sosialisasi seperti apa yang ibu tekankan pada anak?
Informan : Pokoknya kalau kita mau menghadapi misalnya sekolah atau semesteran,
saya larang anak saya sering memakai hp dan menggunaan internet dalam
artian bermain, agak di kurangi lah. Saya lebih menekankan fokus untuk
ke pelajaran, pelajaran tolong dibaca dan dipelajari, hp itu sangat
membantu kalau kita tidak paham dengan suatu pertanyaan atau pelajaran.
Saya juga mengijinkan anak saya istilahnya menggunakan hp dengan
secara luas tapi dengan syarat untuk hal yang bermanfaat semisalnya
sekolah kan ada yang gabisa apa ini apa ini, bertanya kepada saya, saya
tidak bisa menjelaskan, tolong lah cari jika di buku tidak ada ya apa
salahnya cari di internet. Saya juga udah himbau anak kalau main internet

xl
kata-katanya dijaga dan manfaatin kegunaannya, jangan malah
disalahgunakan untuk yang engga-engga.
Peneliti : Ibu memberikan perlakuan yang berbeda ga berdasarkan jenis kelamin
dalam mensosialisasikan aturan itu?
Informan : Saya ke anak kecil beda, anak saya yang kecil itu perempuan. Saya larang
menggunakan hp terlalu jauh, takutnya dia buka-buka yang ga bener,
paling yang dewasa sudah paham, paling saya minta tolong awasin lah
penggunaan hp adeknya.
Peneliti : Anak sejauh ini selalu patuh atau pernah melanggar bu?
Informan : Yang saya rasakan sih masih aman-aman aja, masih patuh. Tapi saya terus
terang untuk yang dewasa, saya agak kurang tapi selalu kalau pulang
jangan terlalu ini ini ini. Saya paham lah, yang penting kita memberikan
nasihat dan rem jangan sampe kebawa dengan arus internet yang terlalu
menyesatkan.
Peneliti : Bagaimana tanggapan ibu jika anak ga patuh dengan aturan?
Informan : Saya tegur, terkadang ya saya tegur aja. Tapi kan dunia sekarang kan
penerimaannya macem-macem, ada yang respon dengan baik, ada yang
dianggapnya ah itu kan mama saya jaman dulu begini, sekarang kan begini.
Yang penting yang saya tekankan anak itu tau mana yang baik mana yang
engga.
Peneliti : Tapi ibu beri sanksi juga atau engga?
Informan : Kalau kebanyakan main, saya ambil hpnya. Terus ga saya beliin pulsa
hahaha. Ga dibeliin kuota.
Peneliti : Tapi menurut ibu dengan adanya sanksi akan membuat anak jadi patuh ga?
Informan : Iya, alhamdulillah bikin. Kalau ga kayak gini, saya butuh buat ini kemana
nanti kalau ga ke orang tuanya.
Peneliti : Pernah nyampe cubit atau jewer anak ga bu kalau melanggar aturan?
Informan : Saya kalau udah kesel, sudah melampaui batas, ya cubit yang anak remaja
sama yang kecil. Kalau yang dewasa, cowok, saya ga berani haha.
Peneliti : Yang cubit itu ibu?
Informan : Saya terus terang aja lebih galak. Anak lebih takut sama saya.
Peneliti : Kapan bu terakhir kali cubit anak kalau udah ngeyel?
Informan : Udah lama sih, saya udah lama ga nyubitin anak. Ada sebulan yang lalu
kayaknya.

xli
Peneliti : Tapi gimana bu kalau anak diem-diem melanggar aturan yang udah
disepakati terus ibu tau dari orang lain?
Informan : Pastinya saya marah dan saya tegur anak saya.
Peneliti : Kalau anaknya patuh, bagaimana respon ibu?
Informan : Saya suka. Jadi kalau dia butuh apa ya saya mudahkan. Dalam artian, misal
“ma kuota abis”, saya belikan. Selama pandemi kan banyak sekali kegiatan
di rumah, keperluannya kan otomatis pake hp. Ya saya utamakan itu untuk
kepentingan sekolah.
Peneliti : Imbalannya berarti dengan kuota ya bu?
Informan : Heem, kalo nurut.
Peneliti : Pernah ga bu anak beli kuota sendiri?
Informan : Iya pernah. Mereka mungkin menyisihkan uang jajan juga kalau orang tua
lagi gaada duit atau apa ya beli sendiri.
Peneliti : Kalau peluk anak sebagai bentuk imbalan pernah ga bu?
Informan : Pernah juga, sering lah.
Peneliti : Menurut ibu dengan pemberian imbalan mempengaruhi anak ga bu untuk
selalu patuh?
Informan : Ada, mempengaruhi. Kalau kita memperlakukan anak dengan afeksi itu
anak jadi nyaman “oh mama saya ternyata perhatian, oh mama sayang
sama saya, marah karena tadi tuh saya salah jadi dimarahin.”
Peneliti : Kalau untuk pemberian imbalan antara anak satu sama yang kedua sama
ga?
Informan : Sebenernya sama. Tapi bedanya ya saya lebih mengutamakan anak kedua
ini yang remaja. Karena yang sangat butuh kuota ini, anak yang kedua ini
ya untuk keperluan dengan sekolahnya dan temannya. Malah terkadang
anak yang kedua ini suka membagi kuota juga ke adeknya yang masih sd
jadi kerja sama lah. Saya terus terang ga ke semua anak beliin kuota.
Intinya lebih besar ke anak kedua, kalau yang ketiga itu kan masih anak sd
lah belum begitu urgent banget.
Peneliti : Bagaimana cara ibu memberikan pemahaman yang benar ke anak terkait
penggunaan internet itu gimana?
Informan : Pokoknya yang saya tekankan boleh menggunakan internet hanya untuk
keperluan yang manfaat. Contohnya untuk pendidikan, untuk sosial dalam

xlii
artian kita kan penegn tau berita, ketiga pengetahuan, misal memasak,
obat. Kalau kita gatau kan, bisa dicari disitu.
Peneliti : Apakah ibu pernah berdiskusi sama anak terkait permasalahan internet?
Informan : Paling kalau masalah kita gatau misalkan saya nanya ke anak kedua, “pa,
coba cari deh obat ini fungsinya untuk apa”, terus cari di internet. Ya
pokoknya saya berdiskusi tentang hal yang bermanfaat, yang kita gatau
tapi bisa dicari di internet.
Peneliti : Bagaimana cara ibu menjalin interaksi dengan anak?
Informan : Terus terang aja, orang tua jaman sekarang kan tertinggal ya terutama saya,
ga ikutin banget update hp. Jadi saya suka nanya-nanya ke anak, ini apa,
ada berita apa. Jarang saya mencari sendiri, saya terus terang aja kalau hp
itu cuman untuk keperluan telfon atau berita yang bermanfaat. Sejauh itu,
saya ga ikutin makanya saya suka tanya ke anak saya ini apa sih, ada ini
apa.
Peneliti : Tapi ibu pernah ga berdiskusi dengan anak terkait dampak positif dan
negatif dalam berinternet?
Informan : Iya, misalnya ada hal-hal yang – jaman sekarang kan banyak ya berita yang
bagus yang bener yang engga, ya suka cerita. Saya menimpalinya dengan
yang ada disitu.
Peneliti : Strategi yang ibu lakukan misal anak mengalami dampak negatif dalam
berinternet gimana?
Informan : Ya, jalan satunya disita, jangan dikasih hp, paling gitu, dinasehatin, ditegur.
Peneliti : Ibu memberikan proteksi situs-situs internet tertentu ga kepada anak?
Informan : Iya, saya bilang tadi untuk hal-hal yang pornografi, gausalah diliat-liat.
Peneliti : Yang ibu ketahui tentang literasi digital itu apa?
Informan : Pemahaman digital itu ya satu alat ini membantu, membantu dalam artian
komunikasi secara luas ya. Kita bisa tau dunia luar atau internasional, kita
bisa tau semua. Namun dampak buruknya ya ada yang menyesatkan, misal
berita-berita yang sebenarnya tidak sesuai misalkan ya maap-maap kita
ngomong soal agama, kalau kita ga hati-hati ada yang menyesatkan. Ya
itu, kita ngasih pemahamannya yang baik-baik aja. Boleh kita gunakan
internet untuk bermanfaat. Kalau kita gabisa menggunakannya, bisa sangat
menyesatkan.
Peneliti : Menurut ibu literasi digital penting ga dipahami usia remaja?

xliii
Informan : Penting, sangat penting. Karena ini kan dunia luas macem-macem ya dunia
digital. Dan ini harus dipahami banget sama anak-anak remaja sekarang.
Jangan sampe mereka salah persepsi, untuk pengetahuan mereka juga
jangan sampe tercemar dengan berita-berita yang ga bener.
Peneliti : Orang tua punya peran yang penting ga bu dalam pemahaman literasi
digital anak?
Informan : Sangat penting untuk membimbing anak yaa.
Peneliti : Di lingkungan setempat pernah ga bu diadakan sosialisasi terkait panduan
literasi digital keluarga?
Informan : Waktu itu sih rumornya pernah ada, tapi belum ada agendanya.
Peneliti : Oh gitu, tapi ibu pernah mencari informasi terkait literasi digital ga?
Informan : Saya belum pernah.
Peneliti : Tapi ibu punya kekhawatiran tersendiri ga terkait bahaya dari internet yang
dapat menjerumuskan anak?
Informan : Iya saya takut. Karena ya itu tadi, berita itu kan ada yang bener ada yang
tidak, kalau saya tidak teliti dalam hal pengawasan digital itu dapet
menyesatkan anak. Makanya peran org tua dan lingkungan itu sangat
penting. Alhamdulillah anak-anak saya ikut kegiatan rohani seperti ikut
pengajian jadi ada pemasukan dari dasar agama yang mudah-mudahan
mereka paham jadi nilai-nilai yang ditanamkan orang tua dan agama
terutama gurunya dipake. Intinya itu aja jadi insha allah mereka bisa mau
pegang teguh itu tidak akan tersesat.
Peneliti : Ga melakukan pengecekan hp anak?
Informan : Saya kurang paham, jadi saya ga ngecekin. Dampingin juga engga.
Peneliti : Biasanya yang diliat anak kalau main internet itu apa bu?
Informan : Saya terus terang aja yang saya lihat itu berita. Anak-anak suka buka sosial
media, ya saya ikutin sama anak saya apa yang lagi trending. Hanya
sekedar itu aja.
Peneliti : Pernah ga bu beri sosialisasi khusus terkait literasi digital ke anak?
Informan : Iya. Saya bilang hati-hati dengan dunia digital karena itu tadi sangat
membantu dan bisa sangat menyesatkan. Karena sekarang kan banyak
penipuan ya melaui digital seperti online lah. Kalau kita ga jeli, gabisa
teliti, memilih berita atau semacem kayak iklan atau penawaran-penawaran
apa lah, itu kita bisa terjerumus. Gausah ikut-ikutan kalau ada berita ini,

xliv
ada suprise selamat atau apa lah gitu yang biasanya suka ada di sms-sms,
gausah dipercaya dan lebih baik dihapus lah karena spam juga kan. Saya
juga suka ingetin, aplikasi di hp tuh jangan download dari situs yang ga
resmi karna bisa nimbulin virus di hp. Terus juga saya suka ingetin jangan
suka menghina atau merendahkan orang baik langsung atau di internet,
hargain aja kalau ada perbedaan-perbedaan, gausah diusik, begitu lah.
Peneliti : Biasanya ibu memberikan sosialisasi kepada anak itu dimana?
Informan : Di rumah, misalkan saya abis denger kabar ada orang ketipu gini gini, entah
bisnis online atau arisan online, saya bilang jangan ikut-ikutan lah hal-hal
seperti itu. Karena kita ga yakin lah dengan kegiatan seperti ini. Makanya
saya menekankan ke anak saya untuk hal yang berguna dan bermanfaat ya
urusan sekolah aja. Yang penting-penting aja.
Peneliti : Apakah ibu pernah mendorong anak untuk mengikuti seminar atau
pengetahuan mengenai literasi digital?
Informan : Kalau ada saya dukung, tapi sejauh ini kan belum ada ya kayaknya.
Peneliti : Oke bu, sudah cukup. Terima kasih banyak ibu atas ketersediaannya.
Informan : Iya, sama-sama. Mudah-mudahan bermanfaat.

xlv
Profil Informan (Agen Sosialisasi 3)

Informan : Ibu C (Inisial Informan)


Peneliti : Syifa
Hari/Tanggal Wawancara : Kamis, 21 Juli 2022
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 40 Tahun
Pekerjaan : PNS
Pendidikan Terakhir : S1

Peneliti : Izin bertanya bu, pemasukan ibu dalam sebulan itu berapa?
Informan : Kurang lebih sekitar 4.300.000.
Peneliti : Ibu memberikan fasilitas hp kepada anak atau engga bu?
Informan : Oh itu iya. Pertama kali memberi kepercayaan kepada anak untuk
menggunakan hp itu semenjak pandemi atau sekolah yang selama pandemi
senantiasa online karena disitu kan mau gamau kita harus pake aplikasi
zoom, google meet, terus ya macem-macem lah yang diminta dari pihak
sekolah. Cuma dalam kita kasih kepercayaan dan fasilitasin, kita beri
batasan. Kalau tidak diberi batasan juga nanti dia jadi lose. Jadi dia nanti
jadi lupa, kalau misalnya emang hpnya itu emang dipergunakan hanya
untuk media dia belajar. Selebihnya untuk penggunaan aplikasi di luar itu
harus dengan bimbingan dan juga izin dari orang tua. Karena disitu kan
kita gatau ya, yang dibuka itu apa.
Peneliti : Menurut pandangan ibu, internet itu penting ga?
Informan : Sangat penting sih yaa, adanya internet ini kan bisa memudahkan kita
dalam komunikasi, ga Cuma komunikasi tapi hal apapun juga bisa
didapetin dari internet. Misal, kita mau beli makanan atau barang ini ah,
tapi kita lagi males keluar karena capek, kan jadi terbantu dengan adanya
internet karena praktisnya itu. Malah sekarang kalau gaada internet
kayaknya bakal hampa aja gitu, karena dengan jangkauan internet yang
udah berkembang ke berbagai daerah ini kan bisa mempersatukan kita, dari
yang tadinya jauh bisa jadi dekat lagi. Soal apapun yang ga kita ngerti, bisa
kita cari tau dari internet.

xlvi
Peneliti : Boleh diceritakan bu aturan batas penggunaan hp atau internetnya seperti
apa atau biasanya dalam perhari batasannya berapa jam?
Informan : Kalau batasan perhari itu gabisa diitung ya karena memang pertama C
(inisial informan) juga ga stand by di rumah, terus yang kedua paling kita
komunikasi-komunikasi aja untuk intinya mengingatkan aja, kalaupun dia
lagi have fun sama temennya, kita tanya lagi ngapain? ini liat youtube atau
nonton, atau dia lagi ya ngechat atau nonton sama temennya, paling C
(inisial informan) cuma bilang oke gapapa tapi inget jangan sampe tidur
malem terus inget ini udah dari jam berapa udah, dibatasi. Lebih baik
dikerjain yang lain atau ada tugas gak gitu atau lebih baik ngerjain tugas
dulu jangan sampe besok, nanti lupa. Jadi kalau batasannya dari jam sekian
sampe jam sekian, engga sih. Lebih ke kita memberi kepercayaan tapi
terbatas dan ada toleransi, tapi kita arahin juga. Supaya dia ada tanggung
jawab dan ya biar bisa atur diri dia sendiri. Jadi ada batasan tapi terarah.
Peneliti : Aturannya tertulis atau engga bu?
Informan : Tidak, lebih ke lisan.
Peneliti : Alasan yang melatarbelakangi ibu dalam menetapkan aturan tersebut apa?
Informan : Sekarang gini, kita gatau yang namanya media sosial itu kan udah kemana-
mana. Dan jaringannya itu, udah apapun bisa kita lihat ya. Tapi untuk
segala umur, kadang disitu tidak tertulis ini untuk umur berapa, itu untuk
berapa. Dan anak-anak sekarang kalau diliat itu lebih pintar dalam
mengakses gadget gitu kan, jadi dalam membukanya, dalam mendownload
semua-semua aplikasi mungkin kita gatau lebih apa, tapi mereka lebih tau
dari kita. Kayak update gitu haha jadi sebagai orang tua kita tetep perlu
untuk mengarahkan yang terbaik buat anak.
Peneliti : Aturan itu orang tua yang menetapkan sendiri atau turut melibatkan anak
juga bu?
Informan : Pastinya melibatkan anak, kita ajak diskusi. Karena kesini kan kita hidup
ga kita sendiri ya, alhamdulillah ada bapaknya dan juga mungkin kita pasti
menetapkan-apa namanya-peringatan itu kita harus melihat ini anaknya
seperti apa karena kan dari segi psikisnya, dari segi dia-apa-untuk
menerimanya seperti apa gitu kan dilihat dari cara kita berbicaranya juga.
Kalau anaknya tipikal yang moody kayak model anak saya, terus kalau
yang patuh harus seperti ini, itu kan ada lah masukan-masukan seperti kita

xlvii
baca dari psikolog-psikolog atau sosiolog-sosiolog yang lain. Tapi kalau
memang dasarnya, basicnya banget, parenting itu dari ibu dari bapak. Itu
tuh untuk C (inisial informan) yang empat bersaudara ini ya berhasil kalau
dibilang dan insha allah untuk penerapan ke anak-anak dan cucu-cucunya
yang lain bisa jadi lebih terarah dan ya jadi anak-anak, cucu-cucu yang
berakhlak baik hehehe dan beradab.
Peneliti : Bagaimana bu tanggapan anak?
Informan : Syukur anak-anak mau dan terima keputusan itu kalau main internet ada
batasannya. Walaupun sempet agak sulit ya awal-awal karena masa-masa
remaja rasa ingin tahunya kan tinggi, pasti waktu dikasih hp pengennya
internetan terus, cuma ya itu saya udah wanti-wanti tetep ada batasannya.
Peneliti : Aturan itu sudah berlaku dari kapan bu?
Informan : Dari semenjak anak dikasih gadget. Karena kan ga mungkin apalagi
dengan C (inisial informan) gitu kan sama mimi yang di rumah masing-
masing punya gitu kan, pasti kalau pake itu-itu terus pasti kan kita butuh
juga, apalagi dengan dulu pake wfh, kita kan mesti absen dari ini dari hp,
sementara dia kan harus sekolah. Akhirnya ya bukan mau gamau, tapi
harus mau, gitu. Beli gadget untuk dia, tapi ya kita fasilitasi ini untuk ini.
Jadi untuk yang di luar-luar itu coba harus dikontrol. C (inisial informan)
juga ya minta tolong sama mimi, sama unchu dan adek-adek, semua-
semua, membantu untuk mengawasi. Karena kan pengawasan tuh juga
perlu.
Peneliti : Berarti memberikan pengawasan juga ya bu?
Informan : Iya, tapi untuk 24 jam sih engga ya emang. Karena sadar diri ga selamanya
disamping anak gitu kan hahaha. Tapi kalau untuk memantau dan melihat
ya alhamdulillah lah.
Peneliti : Tapi ibu membatasi konten tertentu yang boleh dan tidak boleh dilihat oleh
anak ketika bermain internet ga?
Informan : Kalau konten itu pasti ada plus minus ya dan juga ga semuanya itu pasti
kayak misalnya maaf disebutkan tiktok gitu kontennya buruk semua, engga
juga. Kadang disitu ada pesan-pesan agama religi yang bisa kita liat disitu
atau nasihat segala macam, ya it’s okay kalau sejauh itu yang positif,
gapapa. Yang penting dia liat aja, ini istilahnya udah keluar dari line saya
gitu loh dan udah –ee- istilahnya diatas ambang usia saya, stop jangan

xlviii
digunakan. Kalau konten sih istilahnya kalau masih untuk seusia dia dan
ga yang vulgar atau membuat dia menjadi lebih yang gimana, gapapa.
Peneliti : Seperti apa bu situs, aplikasi atau website yang ibu arahkan kepada anak?
Informan : Aplikasi medsos kayak tiktok atau instagram sih C (inisial informan)
membolehkan ya, emang sih di dalem aplikasi itu beragam. Tapi kan apa
yang kita liat yang kita cari nantinya akan jadi preference kita. Jadi yang
terus saya ingetin, selama pemakaian kita untuk hal yang berguna, pasti
algoritma media sosialnya pun mengikuti. Terus kemaren-kemaren C juga
nyaranin website semacem grammarly tuh, karena anaknya katanya
pengen belajar bahasa inggris juga jadi C kasih tau. Itu kan bermanfaat
juga buat yang niat untuk berkembang.
Peneliti : Dalam membuat aturan, agama membawa pengaruh ga bu?
Informan : Agama? Iya dong.
Peneliti : Pengaruhnya apa bu?
Informan : Karena ya sekarang ini kan eranya itu lebih global ya terus juga kita gatau
kadang batasan-batasan anak kadang beragama tapi perlakuannya itu
agama di depannya aja gitu loh jadi otomatis paling ngga anak itu harus
sopan baik di rumah, di sekolah, di luar rumah, atau di dunia virtual atau
di internet pun juga harus seperti itu. kita ingetin juga ya jangan sampe lah
dia keluar dari arahan-arahan ajaran agama.
Peneliti : Kalau budaya membawa pengaruh juga ga bu?
Informan : Iya, ada heeh. Pastilah kita sematkan itu karena kan kalau dibilang budaya
itu semakin kesini, ga semuanya kita pake. Karena semakin kesini, ada
batasan-batasan yang memang kita arahkan, kita kasih, tapi ada juga yang
memang dibilang untuk dipake sekarang terlalu strange gitu. Jadi selama
dia nyaman terus selama itu juga masih dengan apa namanya adab-adab
yang -ee apa- yang baik dan masih sopan santun dalam apa namanya dalam
menggunakan gadget itu ga masalah sih. Kadang kan kita juga perlu tuh
anak yang jangan sampe ini ini, terlalu di-apa- di push untuk tidak ini tidak
ini tidak ini, nanti dia ga berkembang. Maksudnya ini dalam artian, dia
berkembang tapi untuk yang seperti ini, orang tua saya tidak
memperbolehkan gitu loh. Jadi dia harus tau aturan-aturan mainnya, gitu
aja. Jadi untuk mendewasakan dia juga dan supaya dia lebih mandiri dan
jaga diri sendiri. Supaya dia bisa lebih percaya terhadap kita nih kasih

xlix
bukan perarturan ya tapi peringatan, warning, harus seperti ini, coba di –
apa-namanya- diterapkan, coba untuk dipatuhi, coba untuk diamalkan gitu,
yang penting jangan keluar dari norma agama dan budaya, gitu aja.
Peneliti : Adakah sosok yang menginspirasi ibu dalam menerapkan aturan tersebut?
Informan : Sosok? Oh jelas ada. Orang tua saya sendiri.
Peneliti : Siapa yang paling berperan atau dominan dalam pengawasan aturan
tersebut?
Informan : Kayaknya sih.. boleh jawab yang lain ga? Hahaha. Soalnya jujur sih yang
lebih dominan itu mimi (nenek), karena kan keluarga kita masih tinggal
bareng mimi dan saya sama suami itu lebih banyak waktu di luar rumah
karena kerja, jadi kan anak saya lebih banyak waktu sama mimi, jadi
alhamdulillah ya mimi membantu juga untuk mengingatkan, memberi
arahan, terus juga ya dari segi agama juga selalu diingatkan gitu kan untuk
melakuin kewajibannya. Kalau misal dari C (inisial informan) sama suami
yaa sama lah kita, kadang kita gantian, kalau C (inisial informan) lagi sibuk
dan suami di rumah, suami yang kontrol, gitu juga sebaliknya. Atau ga
misal dua-duanya lagi di rumah, yaudah kita ajak anak main keluar, gitu
aja.
Peneliti : Aturan itu masih konsisten diterapkan sampai sekarang ga bu?
Informan : Masih sih, soalnya anak memang masih butuh pengawasan.
Peneliti : Bagaimana upaya yang ibu lakukan sejauh ini dalam menerapkan aturan
tersebut? nilai-nilai sosialisasi seperti apa yang ibu tekankan pada anak?
Informan : Kalau sosialisasiin anak, otomatis kita sebagai orang tua, kita memahami
walaupun tidak semengerti anak-anak dalam penggunaan aplikasinya. Tapi
kita kan paham tentang berita-berita di luar sana ya, ada yang hanya karena
melalui gadget terus dia dilecehkan atau apa gitu, nah itu disampaikan.
Jangan sampai nanti dia bertemu atau berkenalan via medsos atau virtual
dengan orang yang ga dikenal, ya naudzubillah mindzalik, jangan sampe
terperangah atau seperti di hipnotis seperti itu, ya kita kan jaga. Terutama
sekarang banyak penipuan-penipuan ataupun banyak pelecehan seperti itu
dari orang-orang ga bertanggung jawab, jadi itu aja selalu dikasih tau. Dan
kalau ada yang memang apa-kasus atau apa diberi tahu supaya ya anak tuh
ngerti oiyaya kayak gini yang kejadian sekarang-sekarang ini, tapi kalau

l
untuk komunikasi sejauh sama teman kayak mereka tanya-tanya kabar atau
membahas pelajaran sih, ga masalah ya.
Peneliti : Bagaimana cara ibu membangun interaksi dengan anak?
Informan : Terus terang aja ya karena caca orangnya ga bisa stand by di rumah terus,
jadi kadang merasa kurang deket juga sama anak. Paling bisa quality time
kalau lagi libur aja sabtu minggu. Makanya rara tuh lebih deket sama
neneknya, karena kalau caca kerja kan, dia di rumah sama neneknya. Tapi
walaupun ga bisa yang sering interaksi sama anak, caca selalu tetep
perhatiin dia dari jauh. Kayak misalnya kalau udah jam 2 itu kan rara udah
pulang sekolah, caca suka tanya lewat chat wa udah di rumah atau belum,
rara hari ini mau kemana, di rumah ada siapa aja, di rumah ada makanan
apa, rara lagi pengen apa, tuh pasti kadang suka caca tanya. Ayahnya juga
sama, perlakuin rara kayak gitu. Biar anak tuh walaupun jarang ketemu
orang tuanya tapi tetep bisa ngerasa kasih sayangnya dan dia ga merasa itu
jadi kekurangan. Kayak soal internet atau media sosial juga sama, caca
suka tanya tuh kalau misal dia waktu lagi main hp keliatan senyam senyum
terus, caca tanyain lagi chatan sama siapa terus dia jawab temen, pas
dikasih liat emang bener temennya. Terus kadang dia cerita juga temennya
ngirimin video lucu ke dia, terus videonya ditunjukkin ke caca. Dia pun ke
caca sikapnya santai, kadang anaknya juga suka cerita. Kayak misal di
medsos lagi rame apa, terus dia suka nunjukkin ke caca dan ceritain tentang
yang lagi viral.
Peneliti : Tapi RR (inisial anak informan) suka tiba-tiba cerita gitu ga ke C (inisial
informan) kayak misal dia di internet ngapain aja gitu?
Informan : Oh itu iya. Kalau hari sabtu minggu pas C (inisial informan) libur, dia
kadang suka cerita. Kayak kemaren tuh pas dia ulang tahun ceritam temen-
temennya banyak yang upload foto dia di insta story, terus dia seneng
karena jadi banyak yang ucapin. Di wa juga temen-temennya katanya
banyak yang pasang muka RR (inisial anak informan) di status buat ucapin,
di grup chat juga sama. Waktu hari ibu dia juga cerita katanya sempet buat
video untuk C (inisial informan) terus dia post di status, abis itu temen-
temennya banyak yang komen, katanya wih RR (inisial anak informan)
mamanya masih muda ya hahaha. Pernah juga waktu itu dia cerita abis
review soal film di insta story, terus temennya bales nyaranin film yang

li
seru juga ke RR (inisial anak informan). Abis itu, RR (inisial anak
informan) nya malah yang ngajakin C (inisial informan) nonton film yang
disaranin temennya itu ke bioskop. Emang dasarnya si RR (inisial anak
informan) ini cerewet sih yaa suka cerita dan terbuka. Tapi yaa C (inisial
informan) juga sejauh ini bersikap untuk dengerin dan selalu ada aja buat
dia. Paling anaknya diem ga berani cerita kalo masalah cowok aja, karena
C (inisial informan) dan ayahnya pun ga ngebolehin dia buat pacaran.
Peneliti : Menurut Ibu keterbukaan itu penting ga?
Informan : Penting, penting banget. Kalau orang tua sama anak sama-sama terbuka,
justru kan bakal saling ngebantu. Adanya keterbukaan ini kan bikin
anggota keluarga jadi bisa saling percaya dan ga nimbulin rasa curiga. Jadi
bisa dibilang kuncinya itu. Terbuka itu bukan soal di dalam percintaan aja,
tapi juga dalam keluarga sangat dibutuhkan.
Peneliti : Apakah ibu memberikan perlakuan yang berbeda berdasarkan jenis
kelamin anak dalam mensosialisasikan hal tersebut?
Informan : Kalau berdasarkan jenis kelamin sih engga ya, karena mau ke anak
perempuan atau laki ya sama aja, aturan atau sosialisasi seperti itu penting
dilakukan orang tua. Tapi kondisinya kan anak saya ada yang masih remaja
dan ada yang sudah dewasa, untuk ke anak yang udah dewasa saya rasa dia
udah paham. Tapi untuk yang anak remajanya ini, mereka memang masih
butuh bimbingan dari saya.
Peneliti : Tapi sejauh ini anak selalu patuh atau pernah melanggar kesepakatan bu?
Informan : Kalau dibilang selalu patuh mah, impossible ya haha. Ada lah pasti dia
bergejolak pengen apa gitu, cuma ya balik lagi kita kasih tau, yaudah
sekarang begini, jalan tengahnya seperti ini gitu kan, solusinya seperti ini,
jadi sama-sama ini aja kita rembuk gitu kan, nanti bikin berdiri diri sendiri
nah darisitu ya terus-terusan kalau masih main hp tengah malem sampe
lupa waktu, nanti bagaimana sekolahnya terus kalau akun-akun ini tuh
yang lagi banyak dibicarakan kalau ga penting banget ya di close dulu lah
karena banyak kasusnya yang begini, ya diarahin aja paling untuk ngaji
atau pertemanan-pertemenan aja sama teman-temannya gitu aja dah, sama
pendidikan.
Peneliti : Tapi ibu beri sanksi juga atau engga?

lii
Informan : Sanski ada, kalau sanksi paling nyita hp anak. Jadi ga boleh nonton kek apa
kek, terus kalau melarang ya kita mah harus. Kayak yang udah-udah itu
diluar batas atau menuju kesitu. Jadi sanski mah ada, cuma ya
penekanannya atau ngelaksanainnya itu ya neneknya.
Peneliti : Kalau beri potongan uang jajan termasuk ga?
Informan : Kalau itu sih engga ya, bukan masuk kesitu karena emang dianya bisa
nabung sendiri hahaha. Jadi bukan dari uang gitu.
Peneliti : Pernah nyampe cubit atau jewer anak ga bu kalau udah melanggar aturan?
Informan : Udah gede sih ya, jadi kalau untuk cubit juga udah ga pernah. Mungkin
kalau dulu kecil mah iya haha. Paling kita penekanannya lebih itu-tegas
kali ya, ini mau diteruskan hpnya atau ya itu diambil hpnya sebagai
sanksinya.
Peneliti : Apakah terdapat perbedaan dalam pemberian hukuman antara anak yang
satu dan yang lain?
Informan : Kalau ini sih engga ya, sanksi atau hukuman kedua-duanya itu sama.
Mereka salah, ya hukumannya tetap sama.
Peneliti : Menurut ibu dengan adanya sanksi, akan membuat anak jadi lebih patuh
dengan orang tua atau engga?
Informan : Menurut saya iya, karena darisitu nanti anak akan berpikir untuk lebih
nurut sama orang tua dan kapok untuk mengulangi hal yang serupa karena
udah merasakan gimana kalau kena sanksi.
Peneliti : Kalau anaknya patuh, bagaimana respon ibu?
Informan : Yang jelas saya seneng dan beri reward.
Peneliti : Imbalannya seperti apa bu?
Informan : Ya kita tanya dia mau apa, gitu. Kalau dia mau jalan, oke ayo. Atau mau
jajan apa, ayo. Jadi ya, kan selama ini kita juga jarang gitu kumpul, ya balik
lagi kalau disitu ada suami saya, nanti dia ditanya mau apa, nah nanti kita
kasih reward buat dia.
Peneliti : Alasan ibu memberikan reward kenapa? Apa dengan memberikan reward,
anak akan menjadi patuh dengan aturan tersebut?
Informan : Pertama, pertama sekali anak jangan terlalu ee boring ya, bosen gitu penuh
dengan penekanan-penekanan atau apa gitu. Terus juga usia-usia segitu
kan, istilahnya usia kita harus rajin bertanya tentang dia. Dalam artian, kita
gatau kalau nanti dia lebih sering curhat sama orang di luar, kan itu

liii
berbahaya. Nah jadi alangkah baiknya, kalau dibilang bukan apa ya-baik-
baikin, engga, kita memang harus baik, wajib lah sebagai orang tua itu kan
tanggung jawab kita. Tapi disitu kita harus ee ini anak saya alhamdulillah
apa yang kita kasih gitu kan, ni ni batasan ini, dia patuhi, dia ga langgar,
kan alangkah baiknya kita kasih reward supaya dia nanti “oh iya saya
begini saya bisa, saya mau deh besok-besok mematuhi lagi”, untuk
memotivasi dan ya dia teringat itu-itu terus dan melupakan untuk
melakukan pelanggaran.
Peneliti : Apakah terdapat perbedaan dalam pemberian imbalan antara anak yang
satu dan yang lain?
Informan : Engga, sama aja ini mah. Paling yang beda hanya kebutuhannya aja, kadang
kan kita tanya dulu lagi butuhnya apa, baru kita berikan kalau memang
bisa.
Peneliti : Apakah ibu pernah memberikan pemahaman yang benar kepada anak
terkait penggunaan internet?
Informan : Kalau pemahaman yang baik, C (inisial informan) juga kan termasuk orang
yang kudet ya ga begitu paham banget soal internet karena disini kalau
dibilang banyak banget kan. Paling secara garis besar aja, kita kasih tau
kalau dunia maya itu semuanya bisa kita liat dari sisi mana aja, mau yang
mana aja, mau yang berita aja. Disitu aja kita kasih rambu-rambu, kalau
pemahaman yaang baik dan benar karena kita kan ga begitu tau tentang IT,
ya tentang parenting-parenting modern sekarang, itu aja yang kita kasih
sebagai rambu-rambu dia. Dan diberitahukannya dengan penjelasan-
penjelasan yang sesuai dengan umurnya, jadi dia lebih paham, tidak
merasa ditekan, dan juga dia mengerti resikonya nanti gimana, kedepan
saya akan menjadi seperti apa. Semuanya itu ga hadir dengan positif aja,
pasti ada juga negatifnya. Kalau kita tau kebenarannya seperti apa, kita kan
juga tau nanti kejelekannya seperti apa ya.
Peneliti : Bagaimana cara ibu menjalin interaksi yang baik dengan anak?
Informan : Lebih sering bahasa tubuh sih, kayaknya lebih worth it banget hahaha.
Lebih jadi obat bahasa tubuh.
Peneliti : Lalu bagaimana strategi yang ibu lakukan ketika melihat anak mengalami
dampak negatif dalam berinternet?

liv
Informan : Intinya, jangan kita membebankan dia lagi. Karena dia pas saat itu kan
pikirannya lagi kisruh ya, menenangkan aja dan pelan-pelan, ya supaya dia
move on sama bangkit dari pengaruh negatif itu gitu kan, kita cari solusi
yang terbaik, itu aja. Dan kalo bisa, tinggalkan yang bikin dia jadi yang
negatif, itu yang terbaik, itu aja.
Peneliti : Pernah ga bu melakukan pengecekan hp anak?
Informan : Iya pernah, kadang memang dicek walaupun kita ada sedikit-sedikit ga
ngerti. Paling kita nanya, ini apaan sih? Ini maksudnya gimana? Engga ma,
orang ini cuma chatan sama teman. Untuk berteman sama banyak orang
sih ga masalah ya, yang penting ya ditanyain juga dari komunikasinya
jangan terlalu yang gimana-gimana, harus yaa teman aja, just friends, no
more yang berlebihan.
Peneliti : Ibu memberikan proteksi situs-situs internet tertentu ga kepada anak?
Informan : Situs tertentu? Kalau izin engga ya. Paling kita bilang aja, intinya yang
tidak untuk usia dia atau yang istilahnya film-film dewasa atau film yang
bikin dia takut atau ga tenang, gausah deh ditonton atau gimana. Soalnya
kan ini dampaknya bisa ke adek-adek sepupunya atau bagaimana, nanti
ikut-ikutan, nanti dia tanpa sadar bahasanya jadi ikut, jadi kebawa.
Peneliti : Sejauh ini apa yang biasa dilihat anak ketika sedang bermain internet?
Informan : Sejauh ini kalau sering liat dia ngechat sama temennya, nonton terus
kadang ada-apa-konten tapi konten yang tentang dia pengen nih, bisa
bahasa kayak korea, segala macem. Ya itu kalau liat dari sifat positifnya
kan, wah dia ada keinginan untuk memahami bahasa asing. Itu kan bagus
ya fine-fine aja dan apalagi cita-citanya pengen jadi dubes. C (inisial
informan) mah arahkan aja dan mendukung yang penting suka, terus yang
penting dia-ee-apa namanya saya udah memilih itu gitu, saya maunya yang
itu. Oke kita arahin sejauh dia apa namanya ee bener-bener berusaha untuk
kesitu jadi gaada pemaksaan.
Peneliti : Tapi yang ibu ketahui tentang literasi digital itu apa?
Informan : Literasi digital itu apa ya sesuatu yang memang sedang dioptimalkan sama
pihak pemerintah untuk mengedukasi masyarakat biar mereka tuh punya
kemampuan dalam mengakses informasi atau internet. Karena yang
namanya digital semua bisa kita akses, bisa kita liat dari situ, baik dari
segala macam umur dan juga dari segi pendidikan kah, untuk agama kah,

lv
untuk kerja, pokoknya semuanya bisa kita gunakan dan akses dengan
aplikasi-aplikasi tapi harus diimbangi sama kemampuannya, nah
kemampuannya ini literasi digital.
Peneliti : Menurut itu literasi digital saat ini penting untuk dipahami oleh anak usia
remaja ga?
Informan : Kalau pentingnya iya, harus. Karena sekarang gini, kalau kita liat kan
banyak ada yang kita gatau nih apalagi kalau orang kayak C (inisial
informan) ya, yang ga paham tentang apa tuh website atau link segala
macem, terus tiba-tiba mereka ngeretas akun kita yakan terus dia pake akun
kita untuk segala macem yang tidak senonoh kadang atau yang merugikan
diri kita sampe terjerembab ke dalam hukum yakan, jadi harus. Jadi
kalaupun nanti kita ga paham, anak kita paham, kita bisa bertanya gitu dan
kalaupun dia memahami itu, itukan nanti misalnya dia paham, dia bagi-
bagi ilmu itu kan jadi sodaqoh zariyah buat dia juga hahaha itu aja sih. Dan
sekarang aja kalau mau cari kerja atau cari sekolah, itu pake link, website,
segala macem, udah serba digital. Intinya, yang penting ya itu, bebas,
terarah dan lurus.
Peneliti : Orang tua punya peran penting dalam pemahaman literasi digital anak ga?
Informan : Harus. Istilahnya orang tua itu kan jadi kemudi, ni anakku mau dibawa
kemana, anakku nanti bakal jadi apa. Itu kan istilahnya, anak ini yang jadi
mesinnya, dia yang bergerak. Dia harus bilang sama kemudinya, aku mau
kesini mah gitu, kapalnya mau kesono. Nah otomatis pengemudinya harus
melihat kalau disitu ada bahaya, kita coba untuk arahkan, jangan lewat sini,
agak minggir kesini. Jadi harus tetep kita bimbing, bagaimanapun, seusia
apapun, kalau yang namanya anak tuh harus dibimbing.
Peneliti : Di lingkungan setempat pernah ga bu diadakan sosialisasi terkait panduan
literasi digital keluarga?
Informan : Kalau di lingkungan rumah sini, sejauh ini gaada sih.
Peneliti : Tapi ibu pernah mencari tahu informasi terkait literasi digital ga?
Informan : Kalau cari tau pernah, karena memang pernah tertipu hahaha. Pernah,
pernah itu. Ya itu balik lagi, kita gabisa nanya orang, nah mau gamau nyari-
nyari sendiri via yutub yakan. Nah darisitu kita paham. Walaupun ga se
spesifik atau detail banget pahaminnya ya, karena ada bahasa-bahasa
kayaknya apa ya di telinga kita gabisa artiin. Cari tau jadinya untuk lebih

lvi
berhati-hati lagi deh, kalau di dunia maya itu. Mungkin dia baik atau dia
pajang foto yang setampan atau secantik mungkin, tapi belum tentu
orangnya seperti itu haha. Iya itu aja.
Peneliti : Biasanya cari tahu melalui sumber informasi apa bu?
Informan : Seringnya sih dari berita atau youtube aja.
Peneliti : Tapi ibu memberi tahu hal-hal seputar literasi digital ke anak ga?
Informan : Oiya, di kasih tau. Karena kan, apa ya mungkin dari waktu-waktu kemaren
semenjak pandemi itu kan dia kan banyak ga ketemu orang ya, jadi paham
lah lubuk hatinya itu pengen punya teman, pengen bersosialisasi, pengen
untuk apa namanya komunikasi sama seumurannya, dia bosen kan pasti di
rumah terus. Jadi ya itu cara lainnya via whatsapp video call, itu juga sama
orang-orang yang dikenal. Nah kalau yang lain-lain, ya ada dengan teman
twitter atau instagram, kayak gitu gitu, nah darisitu dia punya banyak
teman yang kadang suka ketawa-ketawa sendiri. Saya tanya kenapa, engga
temen RR (inisial nama anak), bener temen, iya ma, coba diliat, oiya bener
temennya kita kenal hahaha.
Peneliti : Biasanya ibu melakukan sosialisasi dimana?
Informan : Di rumah. Alhamdulillahnya RR (inisial nama anak) ini sama teman-teman
bestfriend-nya ini seringnya nginep di rumah atau ga kebalikannya, nanti
ke rumahnnya mereka, mereka invite, kayak gitu gitu. Jadi kita ya saling
ingetin ortu temennya, ortunya ingetin ke kita, saling ngingetin aja gitu,
jadi gampang dipantau terus. Ya mudah-mudahan jangan inilah jangan
salah, jangan menyimpang.
Peneliti : Apakah ibu pernah mendorong anak untuk mengikuti seminar atau
pengetahuan mengenai literasi digital?
Informan : Pernah dan sebenernya C (inisial informan) tuh pengen, pengen banget.
Cuman, ya itu balik lagi C (inisial informan)-nya gaada waktu terus untuk
nemenin dia disana siapa, itu kepikiran, kepikiran banget. Karena kalau
dari ahli yang menyampaikan itu kan pasti dia dalam penyampaiannya itu
beda, terus dia lebih paham, terus untuk seusia anak-anak begini loh, ini
ininya. Kan mungkin lebih nyangkut ya dibanding kita, yang hanya kalau
ngasih tau seperti aja tanpa ada tambahan-tambahan ilmunya. Pengen
banget si, seandainya aja ada sosialisasi yang kayak gitu, pengen banget.

lvii
Peneliti : Oke bu, sudah cukup. Terima kasih banyak ibu atas waktunya dan
ketersediaannya untuk saya wawancarakan.
Informan : Iya, sama-sama.

lviii
Profil Informan (Agen Sosialisasi 4)

Informan : Ibu RN (Inisial Informan)


Peneliti : Syifa
Hari/Tanggal Wawancara : Sabtu, 23 Juli 2022
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 50 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan Terakhir : SMA

Peneliti : Izin bertanya bu, pemasukan keluarga ibu dalam sebulan itu berapa?
Informan : Kalau pendapatan ga nentu sih mba, karena saya kan juga ga kerja dan
kalau dibilang suami saya guru tapi kan ga netap penghasilannya dan kena
phk, jadi gabisa saya patokin.
Peneliti : Oh begitu, baik bu.
Peneliti : Ibu memberikan fasilitas hp kepada anak atau engga bu? Alasannya?
Informan : Oh iya. Alasannya karena sekarang kan dia belajarnya emang pake hp aja
dan butuh internet. Otomatis saya berikan fasilitas hp, kalau ga gitu nanti
gabisa belajar dan dari sekolahnya juga emang fasilitasnya harus pake
semua anak-anaknya.
Peneliti : Milik sendiri itu bu?
Informan : Iya, milik sendiri.
Peneliti : Di rumah anak disediakan wifi atau pakai kuota sendiri bu? Alasannya?
Informan : Ohiya kita sediakan memang buat belajar anak-anak. Waktu itu sih sebelum
punya wifi ya allah boros banget dikit-dikit beli kuota, pengeluaran jadi
lebih banyak. Aturan buat belanja malah beli kuota terus, kebobolan
banget.
Peneliti : Menurut pandangan ibu, internet itu penting ga?
Informan : Bagi saya jelas penting. Buat pendidikan anak, buat komunikasi, dengan
adanya internet kan jadi memudahkan tuh. Kita gatau tentang ape nih, kan
bisa dicari dari internet. Tapi kalau untuk ke anak sih bagi saya tetep perlu
pengawasan ya, jangan dilepas gitu aja takutnya kan dia buka internet buat
hal yang ga bener gitu.

lix
Peneliti : Di keluarga ibu ada aturan tegas terkait batasan penggunaan hp atau
larangan menggunakan internet ga?
Informan : Ohiya, kalau di keluarga saya emang saya batasi dia, sekarang kan kalau
ini hpnya saya suka buka-buka ada gambar-gambar istilah kate yang kaga
sopan apa gimana, saya suka apus-apusin, gitu.
Peneliti : Ibu sering melakukan pengecekan hp juga ya?
Informan : Iya, takutnya kan tau sendiri anak-anak sekarang suka kadang-kadang
dikirim gambar-gambar yang gimana ya kan sebagai orang tua kita takut
juga ya, was-was juga.
Peneliti : Melakukan pengecekannya tiap hari bu?
Informan : Kadang-kadang aja, tanpa sepengetahuan dia ini kan hpnya kadang ga di
password sama dia ya, dia kan suka tidur tuh, hpnya suka nyala sendiri,
saya iniin- saya suka liat-liat hpnya ada apaan, kalau ada apa-apa saya
apus-apus aje yang ga bermanfaat tanpa sepengetahuan anaknya.
Peneliti : Terakhir melakukan pengecekan kapan tuh bu?
Informan : Ooh, terakir kalau ga salah seminggu lalu. Sekarang saya belum cek lagi
ini hpnya haha.
Peneliti : Ohiya bu itu aturannya tertulis atau engga?
Informan : Bukan, bukan. Sekedar lisan aja, kadang-kadang sih gini seumpama ini
anak saya perhatiin banyak main hp ya kadang-kadang hpnya suka saya
ambil, saya umpetin.
Peneliti : Terus respon anak gimana bu?
Informan : Nurut-nurut aja anak mah, cuma kadang ya ada aja berontak-berontaknya
neng haha. Kadang ga tega juga sih, tapi ini kan demi kebaikan anak juga
biar kaga salah dalam penggunaan internet jadi mau gamau saya tetep
harus tegas.
Peneliti : Apa yang melatarbelakangi ibu dalam menerapkan aturan tersebut?
Informan : Eumm, gini kadang-kadang kalau udah main hp itu dia ogah-ogah dan
mogok belajar terus sering apa ee gamau belajar terus juga satu lagi terus
kalau disuruh apa-apa suka susah, kadang tidur juga sampe malem karena
sering main hp itu. Dan terpenting ya kontrol itu perlu supaya dia tetep
terarah ke jalan yang lurus.
Peneliti : Tapi ibu membatasi konten tertentu yang boleh dan tidak boleh dilihat oleh
anak ketika bermain internet ga?

lx
Informan : Ohh iya iyaa, kalau itu pasti pasti, pasti banget.
Peneliti : Boleh diceritakan bu konten yang dibolehkan seperti apa?
Informan : Kalau konten-konten kayak tiktok si boleh. Boleh sih main game, tapi saya
pantau main gamenya yang kayak gimana, youtube juga boleh. Yang
penting selama positif saya mengizinkan.
Peneliti : Kalau yang tidak boleh seperti apa bu?
Informan : Yang masalah pornografi tuh biasanya, yang masalah gitu saya juga
sebagai orang tua sama ayahnya suka “mama tolong ma cek hp anaknya
ada gambar ini ga ada gambar ini ga”, gitu.
Peneliti : Siapa yang dominan dalam melakukan pengawasan bu?
Informan : Ooh, kalau pengawasan itu ayahnya. Ayahnya suka rewel banget, tau-tau
“ma dicekin hp anaknya tuh, tar takutnya temennya ngirimin gambar-
gambar begini terus ada yang video-video kayak begini”, begitu. Ayahnya
banget sih. Cuma memang yang melakukan pengecekan itu saya karena
kalau ayahnya kan jarang di rumah. Kalau ibunya kan emang tiap hari
ketemu sama anaknya dan anaknya itu kan lebih deket sama ibunya, jadi
kita tahu anaknya itu gimana.
Peneliti : Dalam membuat aturan itu ibu turut melibatkan anak ga?
Informan : Ooh iya, saya ga masalah sih kalau libatin anak. Pernah suatu saat tuh saya
buka hpnya, ada gambar begitu, anak itu saya kasih peringatan terus
kadang-kadang saya bilang bahwa gambar ini ga baik buat kamu, bilang
gitu. Kamu istilah kata belom masanya kamu liat gambar-gambar kayak
gitu, bilang gitu. Terus saya bilang lagi, kalau temen kamu ada yang ngasih
gambar begitu saya suruh block aja nomornya. Saya bilang gitu sama die,
bener sih die sekarang lakuin kayak gitu.
Peneliti : Ohiya bu dalam membuat aturan itu agama ikut membawa pengaruh ga?
Informan : Ooh iya, ngaruh banget, bener dah. Malah kadang-kadang saya suka takut
dah kadang-kadang kalau liat-liat gambar begitu, bener-bener dah. Agama
juga ga ngebolehin, pokoknya saya kasih pengarahan kayak gitu.
Peneliti : Kalau menurut ibu, budaya membawa pengaruh juga atau engga?
Informan : Oh iya iya. Kalau saya daridulu gitu, saya dulu nih istilah kata orang tua
saya suka keras ya ngajar saya kayak gini. Kamu nih istilah kata gini,
waktunya belum pulang belum plang, orang tua saya marah. Anak saya
juga begitu juga, kalau emang waktunya tapi belum pulang, kamu mesti

lxi
pulang. Soalnya dulu mama diterapin saat itu sama ayah ee sama orang tua
mama begitu, sampe sekarang kedua anak saya juga saya terapin kayak
begitu. Kalau udah ditargetin pulang tapi belum pulang, saya suka marah
sama dia. Terus kalau udah malem tapi dia masih main internet, suka saya
omelin juga. Pokoknya ga boleh main internet sampe diatas jam 10 malem,
karena keseringan main internet kan kaga baik juga buat kesehatan. Ga
sama kakaknya juga, sama adeknya juga begitu.
Peneliti : Ibu punya sosok inspirasi yang jadi panutan ibu dalam menetapkan aturan
tersebut ga?
Informan : Ooh orang tua saya, saya soalnya dulu kayak gitu. Dari waktu saya gadis,
orang tua saya kayak begitu, jadi saya terapin parenting ke anak saya juga
begitu.
Peneliti : Bagaimana cara Ibu membuka interaksi dengan anak?
Informan : Hal yang biasa saya lakuin kalau mau mulai interaksi sama anak itu basa
basi dulu tanyain kondisi dia. Kalau anak baru pulang sekolah, udah ganti
baju, terus lagi istirahat duduk di sofa, saya suka tanyain tadi di sekolah
gimana aja, gurunya gimana, temen-temennya gimana, biar anak tuh peka
sama perasaannya juga. Jadi karena udah dibiasain begitu, anak jadi suka
cerita ke saya. Tentang a lah b lah c lah.
Peneliti : Tentang a b c kayak apa aja tuh Bu?
Informan : Macem-macem. Kadang anak cerita soal temennya yang nyebelin, soal
dirinya yang lagi kesel lah, cerita hal yang buat dia sedih, apa aja lah
pokoknya.
Peneliti : Menurut ibu keterbukaan anak kepada orang tua atau sebaliknya itu perlu
engga?
Informan : Perlu dong yang pasti. Kan kalo ada keterbukaan kejujuran, kedepannya
jadinya enak. Kita sama-sama bisa saling ngertiin dan kunci keharmonisan
keluarga juga begitu.
Peneliti : Soal media sosial atau media digital gitu pernah gak Bu?
Informan : Kalau masalah internet, saya biasanya mah yang suka nanya ke anak,
kayak cara mau apusin ini gimana, cara bikin huruf bold di wa gimana.
Cuma biar kata soal begituan kurang paham, saya kan tau negatifnya
internet begimana. Jadi saya suka bilangin ke dia tuh, kalau ngerasa
kenapa-kenapa di internet bilang, ada orang ga dikenal jahatin dia bilang.

lxii
Pernah waktu itu dia dikirim link-link dewasa sama temennya terus cerita
ke saya, terus saya langsung suruh hapus, anaknya nurut. Karena saya udah
bilang dari awal, jangan kecewain orang tua ya walaupun saya gatau juga
dia di belakang saya gimana, tapi sejauh ini sih dia anaknya masih nurut
kalau dibilangin dan terbuka. Terus waktu itu pernah cerita juga dia
katanya pernah dapet chat yang ngaku dari bank terus dibilangin katanya
harus transfer kalo engga nanti biayanya naik 2x lipat, saya langsung
bilangin itu, itu mah penipuan kamu jangan percaya, apus aja chatnya. Jadi
ya walaupun cowok, masih terbuka dia sama emaknya.
Peneliti : Oh gitu. Tapi bagaimana respon ibu kalau anak melanggar aturan?
Informan : Saya? Kalau saya, kadang-kadang saya suka marahin. Terus kalau bagi
yang kecil itu saya kadang suka kasih sanksi. Kalau si kakak nih, kalau dia
melanggar saya sekedar bilangin aja bahwa yang kamu lakuin itu ga pantes
begini begini.
Peneliti : Sanksinya berupa apa bu?
Informan : Paling kalau aturan itu dilanggar hpnya saya ambil, saya umpetin.
Peneliti : Pernah nyampe cubit atau jewer anak ga bu kalau udah melanggar aturan?
Informan : Kalau ini sih engga, kalau nyampe jewer atau cubit-cubit engga.
Peneliti : Kalau uang jajan dipotong gimana bu?
Informan : Uang jajan juga engga sih, kita kan disini pake internet jadi istilah kata dia
ga pernah beli kuota sih jadi istilah kata emang kuotanya dibeliin juga sih
sama orang tua.
Peneliti : Yang beri sanksi siapa biasanya siapa bu?
Informan : Ayahnya, ayahnya lebih keras soalnya. Kalau sama saya, kadang saya suka
ga tega yaa. Kalau udah sama ayahnya udah ga berani jiwa nego anak
hahaha.
Peneliti : Kapan tuh bu terakhir kali anak kena sanksi?
Informan : Kemarin belom lama tuh waktu hari apa ya pokoknya belom ada seminggu
dah. Pas udah mendekati masuk sekolah, baru saya kasih hpnya haha.
Belom lama.
Peneliti : Sanksinya antara anak yang satu dan yang lain berbeda ya bu?
Informan : Iya beda. Kalau ke kakaknya karena udah gede ya saya mah ingetin-ingetin
aje, kalau adeknya ini kan masih remaja, masih labil ya kalau dibilang jadi
masih perlu lah diarahin yang bener walaupun agak keras terus ee apalagi

lxiii
dia laki kan pergaulannya biasanya lebih parah dari cewek, jadi masih
perlu banget saya awasin itu.
Peneliti : Aturannya udah berlaku sejak kapan di keluarga ibu?
Informan : Sejak anak-anak saya kecil. Saya disiplinin kayak gitu, kalau waktu-waktu
kecil gini kan saya dulu gini ya kalo batas dia udah jam 9 ke atas, ga boleh
keluar, mesti ada di rumah. Kecuali dia ada yang tugasnya gabisa diinin,
baru masih saya maklumin. Tapi kalau masih remaja, saya apa sih istilah
kata mesti diawasin. Dalam penggunaan internet juga, biar dia ga kemakan
dampak negatifnya. Sampe sekarang, saya ke dua-duanya nerapin kayak
begitu.
Peneliti : Model pengawasannya seperti apa bu?
Informan : Kalau saya sih selama dia masih istilah kata ee apa masih konten-konten
bagus gitu, saya kasih. Tapi kalau konten-konten berbau pornografi,
gimana ya saya pengen marahin aja hahaha.
Peneliti : Aturan itu masih konsisten diterapkan sampai saat ini bu?
Informan : Iya, masih sampe sekarang alhamdulillah konsisten. Ke kakaknya juga
begitu, dulu pas masih smp juga suka saya cekin, tapi kalau sekarang udah
dewasa sih engga ya, saya kasih kepercayaan haha.
Peneliti : Tapi ibu memberikan perlakuan atau standar yang berbeda ga dalam
mensosialisasikan penggunaan internet itu?
Informan : Kalau saya, gaada perbedaan sosialisasi sama anak. Mau laki laki sama
perempuan sama aja. Paling ya beda dalam beri hukuman sama imbalannya
aja. Karena keduanya kan perlu dibimbing itu, walaupun ibarat kata saya
kaga paham-paham banget sama internet, tapi dalam hal yang baik dan
buruk mah saya masih ngerti diki-dikit.
Peneliti : Tanggapan ibu kalau anak diem-diem melanggar kesepakatan dan taunya
dari orang lain?
Informan : Saya gatau dari orang, soalnya saya juga kan istilah kata ngerasain kalau
hidup gaada tanpa hp tuh gimana gitu yaa.
Peneliti : Tapi menurut ibu dengan pemberian sanksi, akan membuat anak semakin
patuh ga?
Informan : Karena dia takut kali sama anaknya karena kan di keluarga kita yang
dominan ditakutin itu ayahnya. Jadi kalau misalnya kita buat salah terus ee
ditegor nih, nah terus kita nurut nih, nah kalau misalnya kita nurut ya

lxiv
besok-besok kayak biar ga dilakuin kesalahan yang sama lagi gitu loh.
Terus disita kan dan dimaafin dan besok-besok takut lagi, takut hp disita,
kayak gitu nurutnya.
Peneliti : Tapi bagaimana respon ibu kalau anak patuh, diberi imbalan ga?
Informan : Oh, engga kita engga pernah kalau ada apaan gitu, ga pernah ngasih
imbalan. Cuma kesadaran aja. Meluk atau muji juga engga.
Peneliti : Kenapa bu ga melakukan itu?
Informan : Gimana yaa, kata saya itu ga terlalu apa istilah kata keras atau begimana
juga engga.
Peneliti : Takut terbiasa ya bu?
Informan : Iya iya bener.
Peneliti : Bagaimana cara ibu memberikan pemahaman yang baik dan benar terkait
penggunaan internet ke anak?
Informan : Oh iya, pokoknya anak dua ini saya kasih edukasi pengarahan dari awal
kecil, kamu tuh boleh main-main hp tapi kalau ada orang kayak di
facebook kan suka ada yang ngajak kenalan terus saya kasih arahan jangan
terlalu percaya. Saya bilang gitu, kamu ni masi remaja belum boleh liat-
liat yang begitu.
Peneliti : Ibu pernah berdiskusi mengenai permasalahan dalam internet ga dengan
anak?
Informan : Engga sih kalau itu, soalnya perasaan pinteran dia daripada kita dah hahaha.
Anak jaman sekarang pinter-pinter dibanding orang tuanya.
Peneliti : Bagaimana cara ibu menjalin interaksi yang baik dengan anak?
Informan : Kalau kita tuh di keluarga tuh istilahnye saling terbuka jadi si anak nih
kalau ada masalah di rumah, “ma ini dosen-dosennya begini, ma ini belajar
gurunya begini” gitu, kite jadi saling sharing aja kalo di rumah.
Peneliti : Pernah berdiskusi mengenai dampak negatif dan positif dalam berinternet
sama anak ga bu?
Informan : Engga sih, kalau itu mereka udah pada paham sih.
Peneliti : Bagaimana strategi yang ibu lakukan ketika anak mengalami dampak
negatif dalam berinternet?
Informan : Hmm gimana yaa, ya gitu, hpnya aja kita ambil kalau udah mengalami
hahaha.
Peneliti : Ibu memberikan proteksi situs-situs internet tertentu ga kepada anak?

lxv
Informan : Oh engga paling kita istilah kasih tau tentang google-google aja sih. Jadi
cuman ya sebutuhnya aja gitu buat belajar, misalnya nih nemuin anak
ketauan buka ini buka itu, itu negornya cuma disita, dikasih hp buat belajar.
Jadi besok-besok, “oh udah gua gamau ngelakuin gitu lagi deh” kayak
kapok.
Peneliti : Sebelumnya ibu pernah mendengar istilah literasi digital belum?
Informan : Oh ga pernah tuh neng.
Peneliti : Kalau mencari tau informasi terkait literasi digital pernah ga bu?
Informan : Oh engga pernah juga itu hahaha.
Peneliti : Tapi sepemahaman ibu literasi digital itu penting dipahami oleh anak usia
remaja ga?
Informan : Karena saya gatau, jadi gatau nih penting atau engganya haha.
Peneliti : Berarti ibu belum pernah memberikan sosialisasi khusus mengenai literasi
digital ke anak ya bu?
Informan : Iya kalau secara eksplisit ke arah sana sih belum neng. Karena saya sendiri
juga kurang paham banget dah sama teknologi, paling sekedar ingetin
kayak yang tadi aja.
Peneliti : Oalah. Tapi di lingkungan setempat pernah diadakan sosialisasi mengenai
literasi digital ga bu?
Informan : Kayaknya ga pernah neng.
Peneliti : Biasanya yang diliat anak kalau main internet itu apa bu?
Informan : Paling tentang hiburan si terus game, tiktokan, kalau kakaknya makeup.
Kalau kayak saya ibu-ibu paling liatnya masak-masakan atau makanan,
gitu gitu aja hahaha.
Peneliti : Kalau mendorong anak untuk mengikuti seminar atau pengetahuan
mengenai literasi digital pernah ga bu?
Informan : Kalau ada sih, saya suruh. Karena disini ga pernah ada di tempat saya, jadi
gimana kalau saya suruh-suruh begitu. Karena anak masih kecil juga dan
belom ngerti soal seminar-seminar, kalau diumuran segitu biasanya anak
jenuh dan males juga sih kalau disuruh ikut webinar atau seminar. Jadi
mungkin kalau ada yang berupa pembelajaran-pembelajaran lewat seni
terkait literasi digital tuh boleh. Kan anak-anak seumuran remaja kalo
seminar tuh bawaannya jenuh, bosen, soalnya cuma ada teori doang kan.
Mungkin kalau praktek kan yaudah ikut aja sono. Sebenernya udah

lxvi
waktunya cuman anak yang kayak begitu belum pas aja gitu dengerin
webinar atau seminar, mungkin kalau mahasiswa udah melek soal seminar
dan kalau anak-anak kayak remaja kurang tertarik sama sekali.
Peneliti : Oke bu, sudah cukup. Terima kasih banyak ibu atas waktunya dan
ketersediaannya untuk saya wawancarakan.
Informan : Iya, sama-sama.

lxvii
Profil Informan (Agen Sosialisasi 5)

Informan : Ibu PH (Inisial Informan)


Peneliti : Syifa
Hari/Tanggal Wawancara : Senin, 1 Agustus 2022
Lokasi Wawancara : Via Zoom
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 36 Tahun
Pendidikan Terakhir : S2
Pekerjaan : Dosen

Peneliti : Izin bertanya bu, pemasukan ibu dalam sebulan itu berapa?
Informan : Penghasilan sebulan diatas 10 hehehe.
Peneliti : Anak saat ini masih menggunakan hp bersama atau udah milik sendiri bu?
Informan : Milik sendiri, tapi 1 untuk bertiga gitu. Jadi ada satu hp tapi untuk bertiga.
Awalnya hanya untuk PJJ, karena kan mereka kan awalnya dulu online
ya, jadi harus ada satu yang pake hp. Karena kan ga mungkin pake laptop
saja. Jadi, ada yang pake zoom, ada yang kemudian apa namanya tugas itu
diberikan lewat whatsapp terus harus dikirim lagi lewat whatsapp atau
dikirim lewat google classroom. Nah kalau untuk google classroom kan
bisa pake laptop, tapi kan untuk yang harus pake apa namanya whatsapp
terus itu kan kendala ya kalau misalnya hanya di laptop saja, jadi itu dikasih
satu hp. Disamping laptop, jadi waktu itu memang ada laptop untuk K
(inisial nama anak) dan laptop untuk abang U (inisial nama anak) dan satu
hp. Jadi berawal karena kebutuhan, tapi akhirnya untuk kebutuhan tersier
lainnya hahaha.
Peneliti : Kalau di rumah anak disediakan wifi atau pakai kuota sendiri pak?
Informan : Menyediakan wifi, alasannya karena ee yang menggunakan kan banyak
apalagi ada yang PJJ, terus ayah bundanya juga butuh internet yaa. Jadi
lebih ekonomis itu pake wifi, dibandingkan paket data.
Peneliti : Menurut pandangan ibu, internet itu penting ga?
Informan : Tentu itu penting. Satu, adanya internet kan memudahkan kita entah untuk
berkomunikasi, memudahkan dalam mencari transportasi secara cepat,
memudahkan untuk membeli kebutuhan utama tanpa harus kita pergi ke

lxviii
luar, gitu kan. Kedua, kenapa penting karena adanya internet juga kan jadi
membuat pengetahuan jadi semakin luas dan mudah untuk kita cari tau
sendiri. Kalau dulu itu internet masih terbatas, ponsel juga belum
secanggih sekarang kan, kita mau cari tau apapun harus pergi ke
perpustakaan dulu, atau ke warnet kan. Dan ketiga, adanya internet bikin
orang jadi ketergantungan juga kan. Kayak influencer seperti itu kan dia
menjadikan internet melalui media sosialnya sebagai mata
pencahariannya. Kayak untuk anak-anak, adanya internet memudahkan
untuk abang U (inisial nama anak) dalam mengumpulkan tugas atau cari
tau apa yang belum dimengerti. Jadi ya bagi Kak PH (inisial informan) itu
penting.
Peneliti : Tapi di rumah, ibu menetapkan aturan tegas terkait batasan penggunaan hp
atau larangan menggunakan internet ga?
Informan : Jadi, dulu tuh sebenernya ada. Tapi memang akhirnya ee yah seperti itu.
Jadi sudah dibikin aturan, tapi anaknya masih nyuri-nyuri gitu kan.
Peneliti : Alasan yang melatarbelakangi ibu dalam menetapkan aturan tersebut apa?
Informan : Netapin aturan itu karena ya dulu kan abang (anaknya yang remaja) udah
janji hanya sabtu minggu supaya sudah selesai pjj gitu kan, nah akhirnya
kan justru excuse akibat ada PJJ itu diberikan hp, akhirnya anak-anaknya
main hp gitu kan.
Peneliti : Aturannya tertulis atau tidak tertulis bu?
Informan : Tidak tertulis, jadi dulu tuh udah deal dengan semua anak-anak deal hanya
sabtu minggu boleh main hp, tapi in the middle dalam perjalanannya gitu,
ya akhirnya anaknya nyuri-nyuri. Jadi kalau ada kesempatan main hp, hp,
main internet.
Peneliti : Ibu membatasi konten tertentu yang boleh dan tidak boleh dilihat oleh anak
ketika bermain internet ga?
Informan : Jadi, kalau misalnya ini berusaha ya.. jadi ada usaha untuk ke arah sana.
Cuman tetap saja kalau menurut kak PH (inisial informan) sih anak
sekarang kan juga lebih kreatif, lebih bisa ngerti segala macem. Jadi kalau
tidak dari anaknya yang kemudian menyadari gitu kan, hanya dari orang
tua saja itu tidak berhasil, gitu. Jadi memang harus ditekankan yang
pertama ee dari materi games kalau misalnya dia make games apa yang
boleh dan apa yang ga boleh. Terus kalau misalnya pake youtube juga

lxix
sudah ditekankan yang dibolehkan youtube yang apa saja, terus kak PH
(inisial informan) juga suka ngecek misalnya dari history terus gamenya
yang di download apa aja.
Peneliti : Ibu melakukan pengecekan hp juga ya?
Informan : Iya, biasanya yang ngecekin itu saya bundanya. Jadi kalau ayahnya itu
cenderung main game sama anak, sedangkan kalau bundanya itu yang ini
tiba tiba hp. Bunda minjem hpnya yaa, terus bunda liat historynya, terus
kadang-kadang nanya ini game apa itu apa.
Peneliti : Games yang dibolehkan itu games yang seperti apa aja bu?
Informan : Games yang sekiranya itu ga mengandung kekerasan ya atau perjudian.
Kayak games UNO atau poker gitu, kak PH (inisial informan) sudah
mewanti-wanti untuk jangan di download gitu.
Peneliti : Kalau Youtube Bu?
Informan : Sama youtube juga. Kalau bisa jangan nonton konten kekerasan dan konten
dewasa. Kalau kayak nontonin informasi kayak tutorial-tutorial atau
pengetahuan misalnya abang U (inisial anak informan) mau cari tau
tentang sejarah atau fakta yang mengedukasi buat nambah wawasan dia
gapapa gitu.
Peneliti : Ohiya bu sebelumnya, dalam membuat aturan tersebut menurut ibu agama
membawa pengaruh ga?
Informan : Ya jelas lah, maksudnya gini kan kita tuh dalam hal.. yang pertama, boleh
main hp tapi jangan sampe itu kemudian ga sholat. Jadi abang U (inisial
nama anak) alhamdulillah abang U (inisial nama anak) sholatnya udah di
masjid. Jadi dia kalau waktu sholat langsung ke masjid jadi gaada tuh dia
udah adzan masih main hp. Tapi yang bisa kayak gitu abang U (inisial
nama anak), karena abang U (inisial nama anak) sudah bisa di-apa
namanya mengerti kenapa aturannya seperti itu. Tapi kalau misalnya di M
(inisial nama anak), di K (inisial nama anak) itu kan pendekatannya gabisa
dengan pemahaman, jadi boleh atau tidak boleh.
Peneliti : Kalau budaya membawa pengaruh juga atau engga bu?
Informan : Kalo orang tua dahulu kan gaada hp, jadi kan ibaratnya kalau diliat dari
zamannya kak PH (inisial informan) dulu sama jaman sekarang udah jauh
beda. Kalau seusia U (inisial nama anak) itu pulang ngaji jam 3an abis itu
sholat ashar. Terus kalau jam jam segini masih main hp, nah jadi dulu itu

lxx
perjanjiannya sabtu minggu tapi ternyata kalau ga ke kontrol jadi hp, terus
yaudalah. Karena mungkin dia udah capek juga kan karena sekolah, tapi
abis maghrib kalau bisa jangan main hp.
Informan : Aturan itu orang tua yang menetapkan sendiri atau turut melibatkan anak
juga bu?
Informan : Kalau di kita, anak dilibatin dan udah pada deal, udah pada janji yaa. Waktu
itu perjanjiannya dengan ini loh deal-dealan, waktu pas sebulan yang lalu.
Jadi tuh udah sering banget deal deal, janji janji, kalau ga nanti bakal bunda
sita, ntar berubah lagi. Terus nanti ada suatu ini lagi dikumpulin lagi, ini
hasil evaluasi bunda begini. Terus akhirnya mulai sekarang sabtu minggu
aja ya, kalau melanggar lagi nanti bunda sita, udah diganti tuh passwordnya
sama bundanya. Tapi ternyata, begitu lagi jadi passwordnya udah ketauan
lagi. Yang tahu passwordnya itu M (inisial nama anak) terus dia kasih tau
ke abangnya. Terus akhirnya dia susah kan anak segitu tuh, tau tau dia
ambil hp terus ngumpet.
Peneliti : Oh begitu bu. Ohiya bu, adakah sosok yang menginspirasi ibu dalam
menerapkan aturan tersebut?
Informan : Hmm, kalau kak PH (inisial informan) sih gaada sosok yang menginspirasi
sih. Kalau maunya sih anaknya ga di kasih hp dulu, itu maunya gitu kan.
Cuma maksudnya itu akan susah sebenernya. Karena apa? karena faktor
lingkungan, terus kemudian dia juga udah terlanjur terpapar gitu kan. jadi
pas dulu pjj, pas covid, ka PH (inisial informan)-nya masih masuk,
merekanya belajar sendiri terus buka hp, ga ke kontrol gitu kan. Suami juga
masih tetep masuk, kak PH (inisial informan) juga masuk, jadi pas pjj
kemaren itu jadi kayak apa ya- untuk pengasuhan anak tuh jadi berantakan
waktu itu. Kemudian ketika kita memperbaiki sekarang, kan kalau
misalnya sekarang mereka udah masuk kan udah offline, terus dia kan
tidak perlu lagi hp dan laptop tersebut. Cuma masalahnya adalah habit itu
sudah terbentuk gitu kan dan kalau misalnya kita mau memperbaiki itu
harus pelan-pelan. Jadi kembali lagi, bagaimana mereset ulang lagi, gabisa
kemudian kita tiba-tiba bilang udah gaboleh dan gausah main hp, internet,
segala macem, itu gabisa karena ya tadi itu merubah habit. Terus yang
kedua, kita lingkungannya, tetangganya, semuanya apa-apa pake hp juga.
Jadi memang harus- ya kita formulanya gabisa oh ga boleh hp sama sekali,

lxxi
gabisa juga gitu. Nah bayangan kalau di kita juga sebagai orang tua, kalau
misalnya- idealnya kan orang tua kan kalau misalnya di rumah ga boleh
main hp, fokus ke anak. Tapi pada kenyataannya, pekerjaan kak PH (inisial
informan) itu menuntut kak PH (inisial informan) harus stand by hp dan
internet juga selama di rumah gitu. Jadi kalau misalnya kak PH (inisial
informan) menerapkan ke anak, anak ga boleh main hp ga boleh main
internet, sama sekali. Tapi kak PH (inisial informan) sebagai orang tua
masih tetep pegang hp, berarti kan itu ada suatu ketidak-konsistenan dalam
pengasuhan. Jadi yang kak PH (inisial informan) lakukan sama abang
(suami) adalah yang pertama ngasih tau tentang batasan penggunaan, jadi
maksudnya boleh main tapi berapa jam, terus kemudian jangan sampe
meninggalkan kewajiban, dan jangan sampe dia tidak belajar. Karena nanti
malem itu kan harus udah nyiapin buku, nyiapin pakaian, nyiapin ada pr
segala macem, jangan sampe karena asik main internet terus itu semua
belum disiapkan. Terus juga tentang batasan apa saja yang boleh diakses
jadi hanya games ataupun youtube ataupun browser yang lain harus paham,
apa yang boleh dan apa yang ga boleh. Terutama ini menerapkannya ke U
(inisial nama anak), U (inisial nama anak) kan usianya udah menginjak
masa remaja yaa jadi udah harus dikasih pemahaman bahwa ada yang
namanya konten-konten pornografi dan itu ga boleh diakses, itu harus udah
dijelaskan. Kenapa kak PH (inisial informan) jelaskan itu secara
gamblang? Karena di usia segini, untuk anak di umur segini, mereka udah
tau apa itu konten pornografi dan sebagainya. Dan kak PH (inisial
informan) itu harus udah menjelaskan apa sih kalau misalnya kamu coba-
coba pornografi terus misalnya dia dapet dari temen-temennya atau apa.
Kan kita gabisa gitu. Terus kita bilang kamu jangan begini ya, dari kita
berusaha memblokade, tapi kan dia bisa dapet itu dari mana aja kalau anak
umur segini, nah jadi kita lebih menjelaskan bahwa apa efek dari
pornografi itu ke tubuh dia, ke pikiran dia, terus kemudian ke psikologis
dia. Jadi dia paham bahwa kalau misalnya ada ajakan tentang pornografi
dari temen-temennya, pasti lah umur segitu penasaran yaa, nah dia gamau
coba-coba karena dia tau oh kalau misalnya dia coba ke arah situ, akibatnya
apa, dan itu bisa sampe ke tahap kecanduan, nah itu kalau udah sampe
kecanduan bakal bahaya banget. Dan begitu juga untuk yang lain-lain,

lxxii
misalnya efek ke sosmed. Untungnya abang U (inisial nama anak)
sosmednya ga begitu aktif, tapi bagaimanapun harus tetep disampaikan.
Once kamu nanti aktif main sosmed, kamu harus paham aturannya, apa
yang harus diperhatikan, harus dilihat plus minusnya. Bahkan abang
(suaminya) ngelarang kalau ada trend apa, bang yang kayak gini jangan
ikutin trendnya. Kayak waktu itu viral trend prank sampah, itu kan
unsurnya menghina, ga sopan, dan gaada lucu-lucunya, yang kayak gitu
sih kak PH (inisial informan) sama abang (suaminya) tekenin. Yakan
abang U (inisial nama anak) ga main ig, ga main tiktok, dan abang U
(inisial nama anak) aja gatau trend itu, tapi dari ayahnya udah mikir ya
jangan sampe yang kayak gini-gini dilakukan, walaupun dia masih belum
aktif banget di sosial medianya.
Peneliti : Bagaimana cara ibu membangun interaksi dengan anak?
Informan : Cara membangun interaksi yang pasti sih Kak PH usahain dalam sehari itu
bisa nyempetin waktu sama anak-anak. Kalau anak-anak lagi pada istirahat
nonton TV, kak PH suka tanyain harinya tadi gimana, disitunya hpnya Kak
PH ambil dulu biar quality timenya enak, anak-anak gaada yang ke distract,
ke semuanya begitu sih. Kalau soal media digital, Kak PH biasanya nanya
tadi abang umar udah main game berapa lama, kalo dia mainnya udah
lama, kak ph ingetin besok mainnya Cuma boleh 1 jam aja ya. Terus nanya
tadi buka medsos apa aja, kalo dia bilang buka ig, kak ph tanya lagi, di ig
liat apa aja. Anak terbuka kalo dipancing nanya dari orang tuanya sih ya,
kalo ga kak PH tanyain dia bakal diem aja. Cuma untung anaknya lebih
sering buka wa, youtube sama main game aja, jadi kak ph masih bisa
imbangin dia dan ngawasin dia. Kadang hpnya juga suka kak ph cek dan
sejauh ini alhamdulillah anaknya nurut ga buka yang macem-macem. Kalo
ada game yang kak ph gatau, kadang tanya ini gamenya kayak gimana,
kalo gamenya bukan yang menjurus kayak judi gitu kak ph biasanya
ngebolehin. Cara tau game itu ngandung unsur judinya jadi kak ph cek dulu
tuh gamenya semacem kartu gitu apa bukan, terus sebelum main harus
booking dulu atau engga. Kalau iya harus booking, besar kemungkinannya
itu game judi. Kak ph juga sejauh ini selalu berusaha untuk tau kondisi
anak-anak, makanya kak ph selalu ingetin ke dia kalau ngerasa ada yang
ganjel atau butuh cerita, bunda selalu ada ya, jangan dipendem sendiri.

lxxiii
Peneliti : Apakah ibu memberikan perlakuan yang berbeda berdasarkan jenis
kelamin anak dalam mensosialisasikan hal tersebut?
Informan : Oh iyaa. Karena situasi kondisinya maksudnya usianya yang berbeda,
pemahaman dari masing-masing anak kan pasti berbeda ya, jadi pasti akan
beda juga. Kan kak PH (inisial informan) ga mungkin omongin konten
pornografi ke M (inisial nama anak), kalau ke K (inisial nama anak) pasti
masih bisa. Tapi caranya atau bahasanya berbeda dengan ketika ke abang
U (inisial nama anak). Karena kalau U (inisial nama anak) kan udah ngerti
dan dia harus tau gitu kan.
Peneliti : Ketika anak melanggar, ibu beri sanksi ga?
Informan : Iya, kak PH (inisial informan) berikan. Hpnya disita dan di password tapi
ya begitu lagi sih emang.
Peneliti : Menurut ibu dengan adanya sanksi, akan membuat anak jadi lebih patuh
dengan orang tua atau engga?
Informan : Perlu ditanyakan kepada anaknya sih, maksudnya kan ini udah dibikin
perjanjian terus lama-lama nanti ga ditepati. Jadi mungkin nanti butuh
suatu punishment tersendiri, kalau dibilang patuh juga ga selalu sih.
Karena kita bingung juga mau punishmentnya apa, ga diberi uang jajan,
tapi dia juga ga rutin diberi uang jajan. Jadi bingung juga sih apa, apa ga
boleh main atau nonton, apa sih yang kira-kira bikin dia jera. Ga boleh
keluar rumah kan ga mungkin juga hahaha, jadi bingung kalau dia
punishmentnya apa. Malah justru untuk hal-hal yang lain misal dia ga
ngerjain pr gitu kan, punishmentnya adalah hp disita. Jadi hp malah
punishment yang bener hahaha.
Peneliti : Pernah nyampe cubit atau jewer anak ga bu kalau udah melanggar aturan?
Informan : Pernah hahaha. Soalnya kak PH (inisial informan) itu orangnya agak
lumayan galak yaa, jadi kalau anak udah kelewatan ya kadang cubit pelan
aja hahaha.
Peneliti : Tapi bu kalau anak patuh, diberikan imbalan ga?
Informan : Hmm iya, banyak sih. Maksudnya kadang-kadang dia ga mintapun juga
dikasih gitu. Contohnya misalnya dulu dia ga pernah minta laptop, tapi kak
PH (inisial informan) kasih dia laptop, banyak deh pokoknya hal-hal yang
maksudnya itu ya dia minta gitu tapi dengan syarat begini ya gitu, terus
beli dan dikasih.

lxxiv
Peneliti : Menurut ibu dengan pemberian imbalan buat anak jadi patuh ga?
Informan : Engga sih, maksudnya bukan supaya dia jadi patuh ya. Tapi itu lebih
kepada bahwa orang tuanya menghargai usaha dia. Jadi bukan untuk
supaya oh iya kalau bunda kasih ini sebagai reward, bukan sesuatu harus
patuh. Maksudnya reward itu karna bunda menghargai perjuangan dia gitu.
Peneliti : Apakah terdapat perbedaan dalam pemberian imbalan antara anak yang
satu dan yang lain?
Informan : Kalau misalnya perbedaan dalam dominan sih engga, semuanya dikasih
porsi-porsi. Cuma memang yang diberikan juga berbeda, karena kan
masing-masing kebutuhan anak beda-beda. Misalnya ada anak yang dia
butuh ini, terus M (inisial nama anak) kan ga butuh, tapi bukan berarti
kemudian yang satu dikasih hp, semuanya dikasih hp. Terus satu dikasih
laptop, semuanya dikasih laptop, ya kita ngasih sesuatu yang sesuai dengan
porsi kebutuhannya.
Peneliti : Ibu pernah berdiskusi terkait permasalahan dalam berinternet dengan anak
ga?
Informan : Lebih ke deep talk sih sama anak, dalam setahun ada beberapa kali. Kadang
lagi bahas banyak hal terus merembet-rembet bahas internet hahaha.
Peneliti : Bagaimana cara ibu menjalin interaksi yang baik dengan anak?
Informan : Karena kak PH (inisial informan) juga bukan tipikal orang tua yang bisa
24 jam sama anak juga sih gitu, juga apa namanya- kak PH (inisial
informan) juga sibuk, anaknya juga ee punya kesibukan sendiri. Jadi kalau
misalnya, pola interaksi kita ya sebisa mungkin kalau misalnya kak PH
(inisial informan) lagi free terus liat kondisinya juga dia posisinya lagi apa,
bisa di masukin ga-maksudnya di dalam hal ibaratnya lagi bisa diomongin
dari hati ke hati, gitu aja sih.
Peneliti : Kalau berdiskusi mengenai dampak positif dan negatif berinternet pernah
ga bu?
Informan : Secara spesifik gaada, maksudnya pernah dibahasnya ketika dibahas yang
lain terus nanti ada kaitannya sama game gitu, atau tentang internet.
Peneliti : Lalu bagaimana strategi yang ibu lakukan ketika melihat anak mengalami
dampak negatif dalam berinternet?
Informan : Lagi-lagi harus ke anaknya sih, maksudnya itu harus coba diomongin.
Kamu maunya seperti apa terus kemudian kedepannya itu kamu tau ga

lxxv
misalnya efek dari itu apa terus kemudian kamu mau kedepannya mau
seperti apa. Misalnya dia mau main game, terus mau terus-terusan seperti
ini misalnya mau main terus-terusan, padahal ya ketika main, pr ga
dikerjain. Jadi ditanyakan lagi kepada dia, tujuan kamu maunya apa? Kalau
mau jadi gamers ya seriusin, gitu. Tapi kalau misalnya masih mau jadi
pelajar, harus sesuai dengan tanggung jawab sebagai mana seorang pelajar,
kecuali kalau dia mau jadi apa namanya atlet e-sports atau apa yang
kerjanya gamers, oke gapapa kalau pilihan hidupnya mau seperti itu, apa
sebagai orang tua harus komit. Jadi coba membuat anak itu memutuskan
sendiri, kita kan kadang-kadang suka anak-anak harus begini, tapi sekarang
mending dia yang mutusin yang penting tau resikonya.
Peneliti : Kalau yang ibu ketahui tentang literasi digital itu apa bu?
Informan : Jadi kalau literasi kan bagaimana kemampuan seseorang itu dalam
memahami. Jadi kalau misalnya literasi digital jadi memahami sesuatu
yang ada di internet atau sesuatu yang digital. Kalau pemahaman kak PH
(inisial informan) yaa, misalnya memilah sumber-sumber informasi dan
bagaimana kemudian kita memahami sebuah informasi itu, jadi melihat
apakah itu hoaks atau tidak, terus kemudian ya jangan serta merta
langsung-apa namanya-nelan mentah-mentah dari sebuah informasi atau
ada yang ada di internet, kalau menurut kak PH (inisial informan) tentang
literasi digital yaa.
Peneliti : Kalau aplikasi aman yang kak PH ketahui itu seperti apa?
Informan : Kalau yang aman dan tentunya bermanfaat yang kak PH tau sih misalnya
kayak canva, adobe photoshop gitu ya. Canva itu aman dan bermanfaat kan
soalnya di dalem aplikasi itu kita disediain banyak template yang menarik
yaa terus juga beberapa templatenya banyak yang gratis, lumayan lah kalau
abang U mau coba belajar untuk design, soalnya temen-temen kerja kak ph
juga kalo design foto gitu banyak pake aplikasi itu, yang tadinya pemula
gabisa ngedit apa-apa, lama-lama jadi jago ngedit. Jadi kenapa Kak PH
sebut itu karena abang U tuh akhir-akhir lagi seneng ngedit foto atau video
gitu, dia kan katanya pengen jadi youtuber game online, makanya lagi
belajar-belajar design foto video gitu dan karna itu kak ph rekomendasiin
ke anaknya juga soal aplikasi itu. Yah, kak PH sebagai ibu bakal berusaha

lxxvi
dukung kegiatan apapun yang dia senengin selama anaknya juga mau
berkembang dan giat.
Peneliti : Menurut ibu literasi digital penting ga dipahami oleh anak usia remaja?
Informan : Iya, penting. Karena apa ya namanya kan gini kalau misalnya di internet
itu ada namanya-ada sesuatu hal yang berharga gitu, kita bisa belajar
darisitu yaa. Ada ribuan tutorial, ada ribuan pembelajaran disitu, tapi ada
juga yang garbagenya, sampah-sampahnya. Tergantung kita, nah
kemampuan untuk memilah itu. Nah itu yang harus kita tanamankan. Jadi,
internet itu kan ga selamanya negatif, itu justru kalau misalnya anak-anak
bisa belajar dari internet. Jadi kadang-kadang anak-anak tuh bisa ooh ngerti
tentang ini ngerti tentang itu, itu ga dipelajari di sekolah. Tapi mereka udah
bisa dapatkan tutorial-tutorial itu dari internet, itu kan berarti adalah suatu
hal yang positif. Nah jadi anak-anak ini harus, semuanya, jadi ga cuma
remajanya aja, jadi mulai dari anak-anak sampe remaja pun harus paham.
Bagaimana kemudian memanfaatkan internet ini dengan positif, jadi
maksudnya jangan kemudian garbage in garbage out, jadi masuknya
sampah keluarnya sampah, tapi bagaimana kemudian anak-anak ini tuh ada
di posisi critical thinking lah, berpikir kritis bahwa apa yang mau diambil
dari internet.
Peneliti : Orang tua punya peran penting dalam pemahaman literasi digital anak ga?
Informan : Memahamkan iya, orang tua berperan penting. Nah tetapi harus kembali
lagi, dalam prosesnya tergantung dari usia anak juga. Jadi semakin besar
anak, maka proses pengambilan keputusannya itu tidak hanya dipengaruhi
oleh orang tua, tapi dia sudah mulai berada di masa sendiri, terus kemudian
pengaruh dari teman. Nah di usia se-U (inisial nama anak), justru peran
teman lebih impact daripada orang tua. Semakin dia berada di usia remaja,
justru peran teman lebih impact. Kalau misalnya seusia anak sd kelas 1
kelas 2 kelas 3, peran orang tua dominan. Tapi di usia dia beranjak remaja,
itu peran dari teman mungkin lebih dominan. Jadi lagi-lagi kembali,
fondasinya itu yang ditekanin, kita gabisa jaga 24 jam, tapi yang bisa kita
lakukan
Peneliti : Di lingkungan setempat pernah ga bu diadakan sosialisasi terkait panduan
literasi digital keluarga?
Informan : Hm, ga pernah. Tapi di sekolah anak pernah sih cuma yang ikutin anak.

lxxvii
Peneliti : Tapi ibu pernah mencari tahu informasi terkait literasi digital ga?
Informan : Itu mungkin karena basic kak PH (inisial informan) di ini ya basic kerjaan
kak PH (inisial informan) itu memang kita ada yang namanya critical
thinking, jadi gaada kemudian secara khusus melihat ooh ini bagaimana
membedakan hoaks atau tidak, karena hari-hari kak PH (inisial informan)
udah seperti itu, ada proses critical thinking, bagaimana kemudian liat
jurnal ini valid atau tidak, evidence basenya kuat atau tidak, terus
kemudian bisa dipake atau tidak. Tapi jadi ga secara umum tentang literasi
digital ya tapi secara bagaimana menggunakan informasi secara umum
dalam mencari jurnal dan sebagaimana. Jadi memang sudah dibentuk juga.
Peneliti : Tapi sepenglihatan ibu, apa saja yang dilihat anak ketika sedang
mengakses internet?
Informan : Yang sering kak PH (inisial informan) liat sih anak bukanya games,
youtube, atau nonton film animasi aja sih. Kalau buka sosmed semacem
instagram, tiktok, gitu gitu jarang, karena anaknya juga ga aktif aktif
banget di sosmed.
Peneliti : Apakah ibu pernah memberikan sosialisasi khusus terkait literasi digital
kepada anak?
Informan : Iya pastinya kalau itu pernah.
Peneliti : Bisa diceritakan bu sosialisasi yang ibu lakukan seperti apa?
Informan : Kalau kak PH (inisial informan) sih selalu ingetin ke abang U (inisial nama
anak) kalau data pribadi kayak nomor induk terus nomor hp, tempat
tanggal lahir, itu tetep keep in private, jangan disebarluaskan kemana-
mana, kecuali kalau itu memang dibutuhkan untuk keperluan penting ya
itu beda lagi. Kayak sebelumnya kan pernah rame tuh berita challenge di
ig yang sebutin nama panggilan tapi malah itu disalahgunakan oleh oknum
ga bertanggung jawab dan akhirnya dia malah ditipu, nah hal-hal kayak
gitu tuh yang kak PH (inisial informan) tekanin. Terus juga kak PH (inisial
informan) selalu ingetin dalam men-share berita atau upload sesuatu itu
harus di filter dulu, jangan asal sembarangan karena takutnya malah jadi
boomerang buat dia sendiri. Ucapan di internet juga harus dijaga, tetep
sopan, walaupun itu hanya virtual ya.
Peneliti : Dimana biasanya ibu melakukan sosialisasi tersebut?

lxxviii
Informan : Ga nentu sih, kadang di rumah pernah. Kalau lagi di luar, di mobil juga
pernah misal lagi rame apa di internet itu kak PH (inisial informan) suka
ingetin ke anak.
Peneliti : Pernah kah ibu mendorong anak untuk mengikuti seminar atau
pengetahuan mengenai literasi digital?
Informan : Pernah, kak PH (inisial informan) pernah nyaranin abang U (inisial nama
anak) ikutin webinar soal literasi digital. Karena menurut kak PH (inisial
informan), itu emang penting sih karena kan bisa mengasah anak juga
untuk berpikir kritis, kreatif, dan lebih bijak lagi menggunakan internet.
Peneliti : Oke bu, sudah cukup. Terima kasih banyak ibu atas waktunya dan bersedia
saya wawancarakan.
Informan : Iya, sama-sama.

lxxix
Profil Informan (Agen Sosialisasi 6)

Informan : Ibu O (Inisial Informan)


Peneliti : Syifa
Hari/Tanggal Wawancara : Sabtu, 6 Agustus 2022
Lokasi Wawancara : Via Telepon
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 51 Tahun
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga dan Guru Ngaji (Sampingan)

Peneliti : Izin bertanya bu, pemasukan ibu dalam sebulan itu berapa?
Informan : Gabisa ini mah, sedikit. Soalnya ga nentu neng kalo jadi guru mah hahaha.
Peneliti : Anak saat ini masih menggunakan hp bersama atau udah milik sendiri bu?
Informan : Iya, ada anak ibu yang remaja pake hp. Alesannya kan gimana ya semuanya
kan udah pada pake hp terus kebutuhan juga. Jadi kalau komunikasinya
kan lebih cepet gitu, lebih mudah, dibanding jaman dulu.
Peneliti : Dikasih hp dari kapan itu bu?
Informan : Dari dia smp, smp baru punya hp.
Peneliti : Kalau di rumah anak disediakan wifi atau pakai kuota sendiri pak?
Informan : Di rumah pake wifi neng. Alesannya karena mempermudah aja sih terus
biayanya juga kan ringan dan kepake semuanya sama yang lain hahaha.
Peneliti : Menurut pandangan ibu, internet itu penting ga?
Informan : Penting, sangat penting. Kalau kita butuh cari tau informasi, kan gampang
tinggal buka internet aja. Komunikasi juga terbantu banget apalagi kayak
kemaren ppkm tuh, sosialisasi kan jadi terbatas, tapi dengan adanya
internet jadi tetap terjaga.
Peneliti : Tapi di rumah ibu netapin aturan tegas terkait batasan penggunaan hp atau
larangan menggunakan internet ga?
Informan : Aturan secara resmi sih engga, aturan secara tertulis pun juga engga. Tapi
semacem peringatan lah kayak misalkan udah waktunya sholat, hp itu ga
boleh. Terus apalagi kalau menggunakan hp udah lewat tengah malem
maksudnya kan udah jam-jam tidur. Sebates itu aja, ga yang resmi gitu,
tapi lebih kepada ada aturannya tapi tidak resmi dan tidak baku, gitu.

lxxx
Peneliti : Aturannya itu udah berlaku dari kapan bu?
Informan : Dari si anak udah megang hp aja.
Peneliti : Yang melatar belakangi ibu menetapkan aturan tersebut apa bu?
Informan : Kalau menurut ibu kan gini ya, agama juga penting gitu, terus kebutuhan
kita kan ga selalu harus hp terus gitu terus maksudnya biar komunikasi ke
keluarga gitu lebih deket. Kalau hp kan suka bikin anak jadi acuh tak acuh.
Peneliti : Tapi kalau batasan durasi penggunaan internet ada ga bu?
Informan : Gaada, karena anak kan udah remaja ya jadi buat ngaturnya ribet hahaha.
Mungkin kalau masih anak-anak seperti dulu bisa.
Peneliti : Ohiya bu tadi ibu bilang agama penting dan membawa pengaruh ya,
alesannya kenapa bu?
Informan : Ya kayak misal gini di jam-jam maghrib, jam-jam sholat gini kan takutnya
jadi lalai gitu kalau main hp terus. Makanya di jam-jam sholat, anak suka
saya omelin lah kalau masih main hp.
Peneliti : Budaya membawa pengaruh juga ga bu?
Informan : Kan jaman ibu dulu belum ada hp neng, digital kan belum ada, jadi bagi
ibu sih ga terlalu bawa pengaruh ya, lebih ke agama aja.
Peneliti : Ohiya bu dalam pembuatan aturan, anak dilibatkan juga ga bu?
Informan : Iya pasti melibatkan anak neng, ga cuma dari orang tuanya aja. Karena kan
dia yang megang hp juga jadi biar komunikasinya dua arah.
Peneliti : Semua anak ibu dilibatkan juga bu?
Informan : Kalau itu sih engga, anak ibu laki yang laki engga. Sebenernya alesannya
bukan karena jenis kelaminnya ya, tapi karena kan kebetulan anak ibu yang
laki itu udah dewasa juga ya secara umurnya jadi aturan-aturan seperti itu
pasti dia udah paham sendiri lah.
Peneliti : Oh seperti itu bu. Ibu membatasi konten yang boleh dan tidak boleh dilihat
anak saat menggunakan internet ga?
Informan : Kalau membatasi engga, tapi memberitahukan tidak melewati batas iya.
Kan karena kita gabisa intens melihat anak apa yang dia liat saat main hp,
jadi lebih kepada diingatkan aja.
Peneliti : Berarti ibu pun tidak memberitahukan situs atau aplikasi yang sekiranya
aman ya?
Informan : Iya neng, tapi lebih ke mengingatkan untuk ga melewati batas itu aja udah.
Peneliti : Bagaimana cara ibu membuka interaksi dengan anak?

lxxxi
Informan : Caranya dengan kasih dia perhatian. Kadang kan orang tua ada yang cuek
sama anak, ga peduli anak mau beraktivitas apa, tapi kalo ibu mah ya
sesibuk-sibuknya masih usahain buat nanyain. Karna nanyain itu kan
bagian dari rasa perhatian ya. Cuma kalo masalah internet, jujur aja neng
ibu ga terlalu yang agresif harus tau pergaulan dia di internet. Paling ibu
Cuma sekedar tanya aja main hp terus emang udah sholat apa belum, sama
kadang ingetin hati-hati kalau main internet, soalnya banyak modus-modus
penipuan lah, pelecehan, ya gitu lah. Saya sih percaya sama anak, yang
penting dia tetep peka sama lingkungan sekitarnya aja.
Peneliti : Ohiya bu, biasanya yang diliat anak saat main internet itu apa aja?
Informan : Yang ibu liat sih dia seringnya ngobrol sama temen-temennya, sama tugas
sekolah, sosial media juga sering.
Peneliti : Ibu punya sosok inspirasi yang jadi panutan ibu dalam menetapkan aturan
tersebut ga?
Informan : Kayaknya gaada dah, ngalir aja saya mah.
Peneliti : Kalau ngecekin hp anak pernah ga bu?
Informan : Suka, pernah. Kadang kalau lagi luang.
Peneliti : Yang ngecekin siapa bu biasanya?
Informan : Saya hahaha soalnya kalau bapaknya itu cuek dan sibuk kerja, kalau saya
kan lebih banyak waktu di rumah sama anak tapi ga sering juga sih itu
ngecekinnya. Kalau alesannya ngecek sekedar pengen tahu aja, apa sih
yang dia liat dan yang dia gunakan.
Peneliti : Kalau mengawasi anak saat main internet pernah bu?
Informan : Engga.
Peneliti : Ibu memberikan pendampingan ke anak saat bermain internet ga?
Informan : Pernah tapi dulu pas anak masih kecil, masih sd. Semenjak remaja udah
jarang sih.
Peneliti : Ohiya bu, aturan itu masih berlaku sampai saat ini ga?
Informan : Masih neng, masih konsisten. Tapi tidak baku ya, cuma aturan itu memang
dipake gitu, karena sudah terbiasa dengan peraturan, jadi dijalani gitu.
Peneliti : Nilai-nilai seperti apa saja yang ibu tekankan kepada anak?
Informan : Paling tidak dia harus peka terhadap lingkungannya.
Peneliti : Kalau mengenai penggunaan internet bu?

lxxxii
Informan : Ya untuk komunikasi terutama buat keluarga, sama tugas-tugas sekolah.
Lebih mempermudah komunikasi anak aja. Dan pokoknya saya juga selalu
mengingatkan ke anak-anak, internet itu jangan sampai disalahgunakan
buat hal-hal yang ga bener.
Peneliti : Dalam sosialisasi itu ibu memberikan perlakuan yang berbeda ga bu
berdasarkan jenis kelamin anak?
Informan : Engga neng sama aja. Mau laki sama perempuan sama aja.
Peneliti : Aturannya pernah dilanggar sama anak bu?
Informan : Pernah. Misalkan waktunya sholat tapi anak masih main hp. Ya ibu
marahin, ibu ingatkan.
Peneliti : Kalau melanggar ibu memberikan sanksi ga?
Informan : Kalau sanksi sih engga, paling ibu marahin aja. Sekedar mengingatkan,
misal kayak gini kalau kamu main hp, sholatnya lalai. Akibatkan akan
seperti ini, seperti ini, gitu.
Peneliti : Hp disita atau uang jajan dipotong engga bu?
Informan : Engga, engga. Ga sampe kesitu.
Peneliti : Kalau cubit atau jewer anak gitu bu?
Informan : Engga, belum, secara fisik ga pernah.
Peneliti : Kalau aturannya selalu dipatuhin anak, tanggapan ibu gimana?
Informan : Ya ibu anggepnya baik-baik aja, karena harus seperti itu.
Peneliti : Memberi imbalan ga bu kalau anak udah patuh?
Informan : Kalau nurut mah iya. Alesannya biar dia ikutin peraturan. Imbalannya ya
sekedarnya aja misal dia ada kebutuhan ibu apa belikan, termasuk ibu puji
atau lain sebagainya.
Peneliti : Menurut ibu dengan pemberian imbalan buat anak jadi patuh ga?
Informan : Engga selamanya, tapi insha allah ibu harap seperti itu.
Peneliti : Ibu memberikan pemberian imbalan yang berbeda berdasarkan jenis
kelamin ga bu?
Informan : Engga, sama aja. Kalau dia ikutin peraturan dan dia baik-baik aja sama
aturan yang orang tua terapin kan orang tua seneng tuh, artinya dia taat
sama orang tua. Untuk imbalannya ya balik ke masing-masing anak ibu
tanyain butuhnya apa atau ya muji.
Peneliti : Kalau memberikan pemahaman yang benar dalam penggunaan internet
pernah bu?

lxxxiii
Informan : Iya, sering itu sering diingatkan.
Peneliti : Bisa diceritakan bu seperti apa?
Informan : Kan namanya anak-anak suka lalai apa gitu. Semacam internet itu kan
untuk memudahkan kita komunikasi dan lain sebagainya, tapi jangan lupa
internet juga bikin kita lalai. Lalai belajar, lalai sholat, yang ditakutin lalai
sholat itu, bablas karna main hp melulu. Terus juga soal konten yang
beredar di internet, ibu tau kalo itu belum waktunya diakses oleh anak.
Kadang misal orang ga buka situs atau nonton yang aneh-aneh kan suka
muncul tiba-tiba juga ya entah iklan lah apa lah, kalo udah begitu langsung
skip aja deh, itu di luar kendali kita kan soalnya, emang pemerintah yang
belum sanggup nutupin semua akses konten yang begitu. Terus juga ibu
suka bilangin kalo dapet chat tawaran yang menggiurkan itu jangan
langsung ditelen mentah-mentah. Kadang yang begitu tuh suka nipu,
modusnya kita bakal dapet bonus gede lah apa lah, nyatanya malah duit
kita yang di scam. Yang begitu neng yang ibu suka bilangin ke anak mah.
Peneliti : Pernah berdiskusi sama anak mengenai permasalahan dalam berinternet ga
bu?
Informan : Kalau diskusi sih engga, tapi kalau ngomong-ngomong secara pelan santai
gitu iya. Yang saya tahu sih paling kalo hp tuh usahain harus dipasang pin
atau kata sandi ya. Jadi kalo kita lagi lengah ga megang hp terus ada orang
yang tiba-tiba minjem tuh, dia ga bisa akses hp kita karna kan gatau
passwordnya.
Peneliti : Kalau berdiskusi mengenai dampak positif dan dampak negatif dalam
berinternet pernah bu?
Informan : Cuma ucapan santai aja, ini internet negatifnya ini, positifnya ini, gitu.
Peneliti : Cara ibu menjalin interaksi yang baik dengan anak gimana bu?
Informan : Peluk aja dengan kasih sayang. Tapi ada kalanya kalau dia bantah ya ibu
marah juga. Tapi sekedar marah aja, tidak yang pake kekerasan fisik dan
sebagainya. Jadi bangun komunikasinya itu apa ya-kita ga terlalu kaku
sama anak gitu, biar dia terbuka, kalau terbuka kan enak, ini menurut ibu
ya. Kalau anak terbuka, kita enak jadi tau, sebelum orang lain tau, jadi kita
tau. Oh anak kita maunya seperti ini, salahnya ini, dia gasukanya ini.
Peneliti : Ibu memberikan proteksi situs-situs internet tertentu ga bu ke anak?

lxxxiv
Informan : Itu iyaa, tapi sekedar mengingatkan aja positifnya begini, negatifnya
begini. Misalkan maap ya kadang-kadang kan suka muncul sendiri tuh
situs-situs yang porno nah itu kan istilahnya belum boleh dilihat mereka
kan ya. Takut mereka bablas karena kan keingintahuan remaja itu lebih
tinggi, jadi kita sebagai orang tua ingetin itu itu, akibatnya seperti itu.
Peneliti : Ohiya bu yang ibu ketahui tentang literasi digital itu apa?
Informan : Yang ibu tahu kurang lebih itu kecakapan seseorang dalam menggunakan
internet atau media digital dengan bijak dan tepat supaya dia bisa
memanfaatkan ketersediaan media digital itu dengan baik neng.
Peneliti : Menurut ibu, literasi digital itu penting dipahami oleh anak usia remaja ga?
Informan : Penting. Karena kan semua-muanya serba digital dan udah jadi kebutuhan
sehari-hari.
Peneliti : Orang tua punya peran penting dalam pemahaman anak mengenai literasi
digital ga?
Informan : Sangat penting menurut ibu. Alesannya biar anak paham, biar anak tau
mana yang baik mana yang buruk, gitu.
Peneliti : Di lingkungan setempat pernah diadakan sosialisasi mengenai literasi
digital ga bu?
Informan : Pernah, di kelurahan kan pernah ada waktu itu. Ibu dulu juga pernah ikutin
sekali, udah dari lama sih itu sosialisasinya, dari beberapa tahun yang lalu.
Peneliti : Tapi ibu pernah mencari informasi terkait literasi digital ga bu?
Informan : Belum pernah tuh, tapi kalau semacam ada hal-hal yang sifatnya menipu
kayak di hp kan suka ada pengiriman yang penipu. Ibu suka bilang ke anak-
anak ibu hati hati, jangan kemakan omongan-omongan seperti itu.
Peneliti : Kalau memberikan sosialisasi mengenai literasi digital ke anak pernah ga
bu?
Informan : Ga pernah.
Peneliti : Kalau mendorong anak mengikuti seminar atau pengetahuan terkait literasi
digital pernah bu?
Informan : Ga pernah juga itu.
Peneliti : Oke bu, sudah cukup. Terima kasih banyak ibu atas waktunya dan bersedia
saya wawancarakan.
Informan : Iya, sama-sama neng. Semoga lancar ya tugas akhirnya.

lxxxv
lxxxvi
Profil Informan (Target Sosialisasi 1)

Informan : ID (Inisial Informan)


Peneliti : Syifa
Hari/Tanggal Wawancara : Sabtu, 24 Desember 2022
Lokasi Wawancara : Rumah kediaman informan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 13 Tahun
Pendidikan : Kelas 1 SMP

Peneliti : Halo ID (inisial informan), aku langsung mulai aja ya pertanyaannya.


Kamu perbulan dikasih uang saku berapa sama orang tua?
Informan : Ga nentu tapi biasa 15.000 kak perhari, itu buat ongkos. Kalau
perkiraannya, dalam sebulan sekitar 300.000.
Peneliti : Kalau gadget masih bareng sama orang tua atau punya sendiri?
Informan : Sekarang sendiri kak, kalau dulu sebelum pandemi masih bareng sama
orang tua dan ikut nimbrung sama kakak soalnya sekarang kan apa-apa
serba digital ya kak.
Peneliti : Oh gitu. Kalau di rumah disediain wifi atau pakai kuota sendiri?
Informan : Gaada wifi kak di rumah, jadi pakainya kuota sendiri kak. Tapi pakai kuota
enak juga sih dan lebih efisien karna bisa digunain dimana aja.
Peneliti : Biasanya berapa lama waktu yang kamu habiskan untuk bermain internet?
Informan : Tiga jam bisa aja sih kalau di rumah. Kalau di luar rumah ga nentu kak.
Peneliti : Yang biasa dilihat kalau main internet itu emang konten-konten yang
kayak gimana?
Informan : Biasanya aku di sosmed liat berita-berita, lihat update bola di instagram,
terus video ceramah ustad abdul somad dan video komedi kak
Peneliti : Emang kamu udah aktif menggunakan internet dari kapan?
Informan : Aktifnya sih dari SD kelas 3 kak, aku udah main ig, wa, line, sama main
game.
Peneliti : Oh gitu. Di keluarga kamu ada ga sih aturan terkait batas penggunaan hp
atau larangan penggunaan internet dari orang tua?

lxxxvii
Informan : Ada kak, aturannya kayak kalau main hp jangan terlalu lama, kalau waktu
sholat lepas dulu hpnya. Terus jangan main hp sampai larut malam supaya
fokus jalanin aktifitas yang lain dan kesehatan matanya terjaga kak.
Peneliti : Itu aturannya udah berlaku dari kapan?
Informan : Dari semenjak aku udah aktif main internet itu kak.
Peneliti : Kalau yang kamu ketahui tentang literasi digital itu apa?
Informan : Yang aku tahu literasi digital itu kemampuan untuk mengetahui, berinovasi
tentang komputer dan teknologi lainnya, sama gimana cara bermedia sosial
yang baik.
Peneliti : Orang tua pernah memberikan sosialisasi terkait literasi digital ga?
Informan : Iya, pernah kak.
Peneliti : Sosialisasinya langsung atau tidak langsung?
Informan : Langsung sih kak biasanya, terakhir baru banget kemarin kak di rumah.
Peneliti : Bisa diceritain ga sosialisasinya kayak gimana?
Informan : Sosialisasi harus lebih hati hati dalam memilih berita terus diajarin juga
jangan mudah percaya sama orang lain di virtual sama pernah juga
disosialisasiin biar ga kena tipu di online gimana.
Peneliti : Itu sosialisasiinnya pas kamu kebetulan lagi main hp atau emang lagi
diskusi aja?
Informan : Lagi diskusi santai aja kak.
Peneliti : Tapi orang tua pernah dampingin kamu main internet ga?
Informan : Kalau dampingin engga sih kak soalnya pada sibuk juga kan orang tua,
cuma sering dicekin aja hp aku.
Peneliti : Biasanya mama atau ayah tuh yang ngecekin?
Informan : Biasanya bapak aku kak, protect banget selalu ngecekin. Kalau mama sih
biasa aja.
Peneliti : Alesannya ngecekin apa tuh?
Informan : Karena aku udah remaja jadi bapak khawatir kali ya kak, takut anaknya
melenceng, apalagi sekarang kan banyak kasus-kasus remaja yang salah
pergaulan tuh gara-gara main internet.
Peneliti : Tapi itu ID (inisial informan) hpnya suka dicekin gitu, tanggepannya
gimana?
Informan : Aku sih biasa aja, terima-terima aja kak kalau hp udah diambil karena
gaada apa-apa juga hahaha.

lxxxviii
Peneliti : Orang tua pernah sosialisasiin terkait konten yang boleh dan tidak boleh
dilihat ga saat main internet?
Informan : Iya kak pasti. Yang boleh itu konten-konten positif aja kak. Kalau yang ga
boleh biasanya konten-konten kayak video porno atau kejahatan lainnya.
Peneliti : Pernah ga diem-diem tanpa sepengetahuan orang tua akses konten yang
tidak bolehin sama orang tua?
Informan : Jujur pernah sih kak walaupun orang tua pernah sosialisasiin juga. Tapi itu
bukan karena aku sengaja, karena lagi scroll-scroll aja terus ga sengaja liat
konten dewasa muncul di timeline sosmed aku.
Peneliti : Jangan diulangin lagi ya. Tapi menurut kamu dampak negatif dan positif
menggunakan internet itu apa sih?
Informan : Dampak positifnya agar kita mempunyai banyak teman, memudahkan
dalam berkomunikasi dan mendapatkan informasi. Negatifnya kalau
terlalu lama bisa merusak otak, fokus dan bikin candu kak.
Peneliti : Ohiya soal aturan penggunaan internet itu, orang tua memberikan sanksi
ga kalau anaknya melanggar aturan?
Informan : Iya kak, mama ayah udah aware dari awal kalau anaknya ngelanggar,
hpnya disita.
Peneliti : Sanksi yang diberikan oleh orang tua kalau melanggar itu sama kayak
saudara kamu yang lain?
Informan : Iya kak sama aja kalau sanksi, gaada yang dibeda-bedain.
Peneliti : Terus kamu pernah ga melanggar aturan terus hpnya disita?
Informan : Pernah kak, disita sama bapak gara-gara aku main game terus dan pas
diminta tolong ntar-ntaran tuh.
Peneliti : Bagi kamu hukuman yang dikasih orang tua itu efektif ga?
Informan : Kalau buat aku sih iya kak cukup efektif. Soalnya ayah kan orangnya tegas
dan berpegang teguh sama omongannya ya, jadi kalau udah bilang a bakal
a. Pernah waktu itu gara-gara aku masih main internet di komputer padahal
besoknya ada ujian, orang tua bener-bener sita ponsel aku selama 5 hari
dan itu buat aku jadi jera sih.
Peneliti : Oh gitu terus kalau patuh, diberi imbalan ga sama orang tua?
Informan : Engga ada kak, paling mah cuma dipuji doang sebagai apresiasi. Imbalan
kayak dijajanin gitu ga pernah.
Peneliti : Ke saudara kamu yang lain imbalannya juga berupa dipuji aja?

lxxxix
Informan : Iya kak mau ke aku atau mau ke mas aku, soal sanksi sama imbalan mah
sama aja gaada bedanya.
Peneliti : Terus bagi kamu pujiannya itu efektif ga? Kayak misal jadi tambah
semangat atau apa gitu.
Informan : Lumayan efektif kak. Aku seneng kalo di apresiasi, merasa berharga dan
nambah semangat aja gitu. Apalagi jarang juga kan di apresiasi, jadi pas
digituin rasanya pengen terbang gitu kak haha.
Peneliti : Sejauh ini orang tua ga pernah jewer atau cubit berarti ya kalau anaknya
ada yang melanggar aturan?
Informan : Ga pernah main fisik kak, paling cuma diingetin aja sih kayak kalau udah
waktunya sholat, sholat dulu baru boleh lanjut main internet.
Peneliti : Tapi sejauh ini apa yang kamu rasain dari sosialisasi mengenai literasi
digital yang udah diberikan sama orang tua?
Informan : Aku jadi lebih positif main internetnya kak karena sering dipantau juga kan
hpnya sama bapak.
Peneliti : Berarti sosialisasinya yang diberikan orang tua sejauh ini udah cukup?
Informan : Udah cukup banget kak.

xc
Profil Informan (Target Sosialisasi 2)

Informan : N (Inisial Informan)


Peneliti : Syifa
Hari/Tanggal Wawancara : Sabtu, 24 Desember 2022
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 14 Tahun
Pekerjaan : Pelajar (Target Sosialisasi)
Pendidikan Terakhir : Kelas 2 SMP

Peneliti : Halo N (inisial informan), aku langsung mulai aja ya pertanyaannya. Kamu
perbulan atau perhari dikasih uang saku berapa sama orang tua?
Informan : Aku perhari dikasih uang jajan 15.000 kak kalau masuk sekolah. Kalau
hari libur engga.
Peneliti : Kalau gadget masih bareng sama orang tua atau punya sendiri?
Informan : Alhamdulillah milik sendiri kak, mulai diberikannya pas aku kelas 2 smp.
Peneliti : Di rumah disediain wifi atau pakai kuota sendiri?
Informan : Aku pakai kuota sendiri kak, kadang kuotanya dibeliin sama orang tua,
kadang juga aku beli sendiri.
Peneliti : Biasanya berapa lama waktu yang kamu habiskan untuk bermain internet?
Informan : Paling 2 jam, tapi ga nentu juga kak.
Peneliti : Yang biasa dilihat kalau main internet itu emang konten-konten yang kayak
gimana?
Informan : Paling kalau lagi buka ig itu liat yang lagi viral atau soal berita aja sih.
Video-video lucu juga lumayan sering buat hiburan, biar hati kita tentram
juga haha. Video masak juga suka liat tuh aku karena kebetulan seneng
masak juga jadi lumayan dapet ilmunya juga. Terus sekarang juga suka
liatin podcast.
Peneliti : Emang kamu udah aktif menggunakan internet dari kapan?
Informan : Dari aku smp kak, aku udah aktif pake internet.
Peneliti : Ohiya di keluarga kamu ada ga sih aturan terkait batasan penggunaan hp
atau larangan penggunaan internet dari orang tua?
Informan : Iya ada kak, orang tua aku batesin sehari tuh kalau main games ga boleh
lebih dari 1 jam, kalau main hp ga boleh lebih dari 3 jam. Tapi ga efisien

xci
juga sih aturannya soalnya orang tua aku kan kerja juga jadi kurang
terpantau.
Peneliti : Tapi aturannya udah berlaku dari kapan tuh?
Informan : Dari aku masuk smp kak.
Peneliti : Kalau yang kamu ketahui tentang literasi digital itu apa?
Informan : Literasi digital yang aku tau itu gimana orang bisa akses teknologi internet
dengan baik dan benar sesuai kegunaannya, itu aja sih kak yang aku tau.
Peneliti : Ohiya tadi kan kamu suka liatin konten podcast di internet, kamu pernah
dengerin podcast tentang literasi digital ga tuh?
Informan : Waktu itu sih pernah ketemu kontennya di timeline, tapi aku belum sempet
nontoninnya kak.
Peneliti : Oh gitu. Kalau orang tua pernah memberikan sosialisasi terkait literasi
digital ga? Kalau pernah, boleh diceritain sedikit ga sosialisasinya kayak
gimana?
Informan : Pernah kak. Sosialisasinya paling tentang kayak manfaat-manfaat dari
internet aja sama kalau di internet harus lebih hati-hati, jangan gampang
percaya sama apa yang ditemuin di internet dan ketikannya harus lebih
dijaga.
Peneliti : Tapi orang tua pernah dampingin kamu main internet ga?
Informan : Ga pernah sih, cuma ngasih tau hal yang kayak tadi aja. Soalnya mama
sama bapak sibuk kerja kak.
Peneliti : Kalau cekin hp pernah?
Informan : Engga juga kak.
Peneliti : Oke. Ohiya tadi kan orang tua nerapin aturan ya di rumah, pernah ga kamu
melanggar aturan yang diberikan orang tua terus diberikan sanksi?
Informan : Pernah kak waktu itu karena aku main hpnya udah lama juga terus hp aku
diambil, pernah juga sampe dicubit kak sama mama hahaha kayaknya
karena mama juga udah terlalu kesel sama aku pas itu.
Peneliti : Itu sanksi yang kamu dapetin sama ga kayak saudara kamu yang lain?
Informan : Sama kok kak.
Peneliti : Menurut kamu saksi yang diberikan orang tua itu efektif ga buat kamu?
Informan : Efektif sih buat aku. Aku kan masih ngandelin uang jajan, kuota juga masih
dibeliin sama orang tua, jadi kalau beneran ga dikasih kuota aku beneran

xcii
takut. Makanya kadang kalo lagi asik main hp terus dipanggil orang tua
buat ini buat itu yaudah aku jalanin aja daripada ntar ga dibeliin kuota.
Peneliti : Kalau diberikan imbalan sama orang tua karena udah mematuhi aturan itu
pernah ga?
Informan : Iyaa pernah kak itu.
Peneliti : Imbalannya berupa apa tuh?
Informan : Paling uang kuota aja kak.
Peneliti : Imbalan yang diberikan orang tua sama ga kayak saudara kamu yang lain?
Informan : Beda sih kak. Kalau aku porsinya lebih gede daripada adek aku, soalnya
adek aku masih kecil juga. Tapi kalo adek aku lagi butuh internet, kadang
aku suka bagi juga.
Peneliti : Kalau imbalannya itu efektif ga buat kamu?
Informan : Efektif banget. Jadi semangat buat lebih nurut lagi sama orang tua.
Peneliti : Sering berdiskusi sama orang tua ga terkait penggunaan internet?
Informan : Iya, sering. Terakhir minggu lalu diskusi mengenai hal-hal dalam
penggunaan internet. Sekarang kan banyak tuh perubahan, jadi kadang
orang tua aku juga suka ngasih tau tentang perubahan lah, sekarang kan
serba digital ya kak kayak pembayaran aja sekarang banyak yang online
terus juga sekarang banyak scam, nah orang tua waktu itu ngasih tau scam
itu apa katanya biar aku bisa lebih hati-hati.
Peneliti : Oh gitu. Tapi orang tua pernah sosialisasiin terkait konten yang boleh dan
tidak boleh dilihat ga saat main internet?
Informan : Iya, sosialisasiin kak. Kalau orang tua bolehinnya konten-konten positif
yang bermanfaat dan ada ilmunya yang bisa kita ambil. Kalau konten yang
ga dibolehin kayak konten negatif yang ada bahasa-bahasa kasar atau
dalam perilakunya. Anak jaman sekarang kan perilakunya banyak yang ga
sopan, nah yang kayak gitu suka diwanti-wanti dan dibilangin juga sama
orang tua untuk jangan ditiru.
Peneliti : Kalau diem-diem tanpa sepengatahuan orang tua akses konten yang tidak
bolehin sama orang tua pernah ga?
Informan : Alhamdulillah sih engga kak.
Peneliti : Tapi sejauh ini dampak negatif dan positif yang kamu rasain dalam
menggunakan internet itu apa?

xciii
Informan : Dampak negatifnya suka bikin otak ngeblank gitu kak dan kecanduan juga
tuh. Kalau positifnya aku jadi banyak tau informasi dari media yang ada di
internet. Oiya kak aku pernah ngalamin dampak negatifnya juga, waktu itu
aku pernah ketipu kak pas mau beli barang online gitu di instagram.
Nominalnya emang ga gede sih tapi waktu itu nyesek banget pas tau ketipu,
salah aku juga ga ngecek akunnya dulu.
Peneliti : Waduh, itu kejadiannya kapan dan orang tua kamu tau ga?
Informan : Kejadiannya tahun kemarin kak pas lagi harbolnas juga, apes banget dah.
Orang tua aku gatau kak haha aku ga berani ceritainnya juga, padahal
sebelumnya mama sama bapak pernah wanti-wanti di internet banyak
penipuan tapi aku masih aja kecolongan. Cuman sekarang karena udah
berpengalaman, aku jadi lebih hati-hati lagi kak.
Peneliti : Lebih hati-hati lagi ya, ditelusuri dulu tokonya sebelum bertransaksi. Tapi
sejauh ini apa yang kamu rasain dari sosialisasi mengenai literasi digital
yang udah diberikan sama orang tua?
Informan : Aku jadi tau istilah-istilah baru kayak scam dan tau gimana cara
hindarinnya, jadi bisa lebih bijak dalam main internet, karena pernah
ketipu sekarang jadi lebih hati-hati lagi dan tau mana yang boleh dan ga
boleh dilakukan pas lagi main internet untuk usia aku.
Peneliti : Berarti sosialisasi yang diberikan dari orang tua sejauh ini udah cukup?
Informan : Cukup sih buat aku.

xciv
Profil Informan (Target Sosialisasi 3)

Informan : RR (Inisial Informan)


Peneliti : Syifa
Hari/Tanggal Wawancara : Rabu, 20 Juli 2022
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 14 Tahun
Pekerjaan : Pelajar (Target Sosialisasi)
Pendidikan Terakhir : Kelas 3 SMP

Peneliti : Halo RR (inisial informan), aku langsung mulai aja ya pertanyaannya.


Kamu perbulan dikasih uang saku berapa sama orang tua?
Informan : RR (inisial informan) uang jajannya 5.000 ribu perhari, jadi sebulan kurang
lebih 50.000.
Peneliti : Itu udah termasuk uang untuk biaya kuota internet belum?
Informan : Engga, soalnya di rumah pake wifi. Mintanya kalau mau keluar rumah aja.
Peneliti : Alasan orang tua nyediain wifi di rumah itu untuk apa?
Informan : Apa ya kalau ga salah karena waktu pandemi itu sekolah online, jadi biar
ga harus beli kuota terus dan supaya lebih hemat juga uangnya.
Peneliti : Jadi kalau ga keluar rumah, ga dibeliin kuota gitu?
Informan : Iya, toh RR (inisial informan) juga lebih banyak waktu di rumah sih.
Peneliti : Kalau dibeliin kuota biasanya sama siapa?
Informan : Sama ayah, soalnya ayah sekalian ke luar, jadi nanti mampir ke konter.
Peneliti : Kalau gadget masih bareng sama orang tua atau punya sendiri?
Informan : Pas sd, masih bareng sama orang tua. Baru boleh dibeliin hp, pas pandemi
kemaren masih smp karena kan semenjak pandemi jadi serba online ya
terus RR (inisial informan) ga punya laptop dan mama kan kerja, ayah
kerja, mimi juga butuh hpnya kan, akhirnya dibeliin hp.
Peneliti : Biasanya berapa lama waktu yang kamu habiskan untuk bermain internet?
Informan : Dulu pas masih pandemi, lama banget sih bisa nyampe 10 jam. Tapi itu ga
yang terus-terusan ya, pisah-pisah gitu, dalam sekali main bisa 2-3 jaman.
Tapi kalau ditotal sekali main terus main lagi bisa nyampe 10 jam dalam
sehari hahaha. Padahal sebelumnya mah dalam sehari cuma 2-3 jam aja.

xcv
Peneliti : Lumayan lama juga ya. Ohiya sebelumnya kamu udah aktif menggunakan
internet dari kapan?
Informan : Dari sd kelas 4.
Peneliti : Yang biasa RR (inisial informan) lihat kalau main internet itu apa aja?
Informan : Seringnya buka media sosial aja kayak whatsapp, instagram, tiktok, ya gitu-
gitu deh. Kakak tau meme kan? Nah aku biasanya juga suka liat meme juga
yang lucu-lucu dari twitter, terus konten edukasi, konten agama, terus ada
juga trend-trend yang baru gitu aku suka ikutin.
Peneliti : Konten edukasi yang kayak gimana tuh?
Informan : Ada. Edukasi medis, edukasi akademik, non akademik, terus ada juga cari
tau yang tentang cita cita RR (inisial informan) gitu.
Peneliti : Emang apa cita-citanya RR (inisial informan)?
Informan : Diplomat, tapi gajadi haha.
Peneliti : Loh kenapa gajadi?
Informan : Soalnya kayak diplomat tuh harus sampe apa ya umur 40 tuh baru bisa jadi
diplomat, sedangkan RR (inisial informan) nanti pengen jadi ibu rumah
tangga supaya bisa ada waktu untuk keluarga.
Peneliti : Oke, tapi pernah nonton konten edukasi tentang literasi digital ga?
Informan : Ohiya pernah juga, lumayan sering juga aku liat dan cari taunya. Biasanya
nonton dari instagram sama tiktok.
Peneliti : Di keluarga kamu ada ga sih aturan terkait batas penggunaan hp atau
larangan penggunaan internet dari orang tua?
Informan : Iya, ada kak. Tapi durasi berapa lamanya ga nentu, cuma intinya kata
mama sama ayah ga boleh banyak-banyak aja. Kalau ga salah dalam sehari
sekitar 3 jaman aja.
Peneliti : Siapa yang netapin aturannya?
Informan : Yang netapin aturannya mama sama ayah, tapi mimi (nenek) sih yang lebih
berperan banyak dan sering ngontrol karena kan aku tinggal sama mimi
(nenek) juga dan lebih banyak waktu di rumah sama mimi, soalnya mama
ayah aku pagi sampe sore kerja.
Peneliti : Itu aturannya udah berlaku dari kapan?
Informan : Semenjak aku remaja kak dan udah dibeliin hp ini.
Peneliti : Kalau yang RR (inisial informan) ketahui tentang literasi digital itu apa?
Informan : Kecakapan dalam bermedia sosial yang aku tau tuh.

xcvi
Peneliti : Oh gitu. Orang tua pernah memberikan sosialisasi terkait literasi digital ga?
Kalau pernah, boleh diceritain ga kayak gimana?
Informan : Iya pernah, kayak diberi wejangan aja paling jangan cepet percaya sama
berita-berita di media sosial, pokoknya harus bisa pilah pilih dulu, apa yang
ada di media sosial jangan ditelan mentah-mentah dulu. Itu sih yang
ditanam mama sama ayah.
Peneliti : Biasanya sosialisasinya itu dimana?
Informan : Kadang langsung pas di rumah, kadang juga lewat chat di whatsapp kak
kayak mama suka share info-info gitu.
Peneliti : Tapi orang tua pernah dampingin kamu saat main internet ga?
Informan : Pernah waktu awal-awal main hp aja, makin kesini engga. Tapi paling
kadang kalau lagi quality time sama mama, mama suka ngintip-ngintip
dikit terus nanya itu siapa, kalau aku lagi chatan sama teman.
Peneliti : Dulu dampinginnya tiap hari?
Informan : Engga, kalau mama ayah lagi kosong aja. Soalnya mama ayah kan kalau
hari biasa itu sibuk kerja.
Peneliti : Pernah sampe dicekin ga hpnya?
Informan : Hahaha iya pernah dulu mah sekarang sih udah engga, dulu tuh whatsapp
sama galeri aku suka dicekin sama mama. Alesannya ngecek gitu karena
takutnya ada yang aneh-aneh.
Peneliti : Orang tua pernah sosialisasiin terkait konten yang boleh dan tidak boleh
dilihat ga saat main internet?
Informan : Iya kak, itu ada kok. Yang dibolehin itu konten-konten yang edukasi dan
ga aneh aja.
Peneliti : Kalau yang ga boleh itu konten kayak gimana?
Informan : Konten yang aneh dan konten yang bukan untuk usia RR (inisial informan).
Peneliti : Pernah ga diem-diem tanpa sepengetahuan orang tua akses konten yang
tidak bolehin sama orang tua?
Informan : Pernah, bahkan waktu itu sampe ketauan juga kak terus aku diomelin. Tapi
ga diomelin sampe main fisik gitu, cuma dinasehatin aja sih, ohiya sama
hp disita juga pas itu hahaha. Tapi setelah RR (inisial informan) cari tau
ternyata banyak loh di usia RR (inisial informan) yang diem-diem akses
kayak gitu juga di internet.
Peneliti : Jadi kalau ngelanggar aturan yang udah ditetapin, sanksinya hp disita?

xcvii
Informan : Iya kak itu, hp disita kalau melanggar sama wifi pernah dimatiin juga biar
aku ga main internet.
Peneliti : Kalau sampe nyubit atau jewer gara-gara kamu ngelanggar pernah ga?
Informan : Ga pernah kak, mama ayah ga pernah main fisik.
Peneliti : Oh gitu. Itu sanksinya yang hp disita sama wifi dimatiin sama ga kayak
saudara kamu yang lain?
Informan : Beda sih kak. Karena aku masih remaja jadi mama, ayah, sama mimi
(nenek) lebih strict sama aku, hp sampe disita. Tapi kalau ke kakak aku
mah engga, soalnya kan udah gede juga ya dia paling diingetin doang.
Peneliti : Bagi kamu hukuman yang diterapin orang tua itu efektif atau engga?
Informan : Menurutku kurang sih, soalnya mama ayah juga kan ga yang ngawasin
terus karna sibuk juga. Tapi yang bikin aku selalu inget itu ya gamau
kecewain orang tua aja. Jadi apa yang dibilangin mama ayah sama mimi
yaudah aku dengerin. Walaupun kadang ada yang ga didengerin banget
kek misal Cuma boleh main hp berapa jam, tapi diem-diem kalo mama
ayah udah tidur, aku masih main lagi, nonton youtube atau buka tiktok.
Tapi yaudah, aku masih bisa inget waktu juga.
Peneliti : Kalau RR (inisial informan) matuhin aturannya, suka diapresiasi atau diberi
imbalan ga sama orang tua?
Informan : Iya ada, kayak misalnya dipuji, sama dikasih uang lebih atau dibeliin
makanan atau barang yang RR (inisial informan) pengenin gitu.
Peneliti : Imbalan yang diberikan orang tua sama ga kayak saudara kamu yang lain?
Informan : Sama aja kok.
Peneliti : Menurut kamu imbalan yang diberikan orang tua itu efektif atau engga?
Informan : Pastinya iya kak. Apa ya karna aku anaknya seneng jalan-jalan sih, jadi
tambah seneng aja kalo ditawarin ayah mama buat pergi keluar. Terus
seneng juga kalo dibeliin sesuatu yang aku pengen, kayak tiba-tiba pengen
buat orang tua seneng lagi biar akunya tambah seneng juga hahaha.
Peneliti : Oh gitu. Kamu sering diskusi sama orang tua ga terkait penggunaan
internet?
Informan : Jarang kak kalau itu mah.
Peneliti : Sejauh ini dampak positif dan negatif yang RR (inisial informan) rasain
dalam bermain internet apa?

xcviii
Informan : Dampak negatifnya kalau udah keseringan bikin radiasi, mata suka sakit
kalau liat layar kelamaan, terus kayak jadi kurang bisa manage waktu gitu
karena udah keasikan main hp jadi kadang main sampe malem. Terus
kadang tugas dikerjainnya jadi mepet deadline, padahal gaada urusan yang
urgent banget loh cuma gara-gara udah keasikan main internet jadi nunda
nugasnya. Terus karena udah begadang keasikan main internet, jerawat
jadi numbuh. Kalau positifnya, RR (inisial informan) jadi tahu banyak hal
yang kayak ga diajarin dari sekolah, itu tahu dari instagram tiktok gitu.
Peneliti : Tapi sejauh ini apa yang kamu rasain dari sosialisasi mengenai literasi
digital yang udah diberikan sama orang tua?
Informan : Hmm apa ya, aku jadi lebih ngerti aja sih kalau di internet tuh banyak juga
konten-konten yang ga pantes dan bikin aku sadar untuk lebih hati-hati aja
dan jangan diikutin.
Peneliti : Kalau sosialisasinya sendiri udah cukup belum?
Informan : Cukup.

xcix
Profil Informan (Target Sosialisasi 4)

Informan : AB (Inisial Informan)


Peneliti : Syifa
Hari/Tanggal Wawancara : Sabtu, 23 Juli 2022
Lokasi Wawancara : Via Telepon
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 14 Tahun
Pendidikan : Kelas 2 SMP

Peneliti : Halo AB (inisial informan), aku langsung mulai aja ya pertanyaannya.


Kamu perbulan atau perhari dikasih uang saku berapa sama orang tua?
Informan : 15.000 kak sehari.
Peneliti : Kalau gadget masih bareng sama orang tua atau punya sendiri?
Informan : Milik sendiri kak karena aku butuh juga buat sekolah.
Peneliti : Di rumah disediain wifi atau pakai kuota sendiri?
Informan : Iya kak disediain wifi, biar ga boros soalnya.
Peneliti : Kalau ke luar rumah disediain juga?
Informan : Engga kak, biasanya ngebobol wifi rumah orang haha atau aku minta
tethering temen aja.
Peneliti : Ngomong-ngomong kamu udah aktif mengunakan internet dari kapan?
Informan : Dari SD kak, lumayan lama.
Peneliti : Tepatnya dari kelas berapa tuh?
Informan : Kalau ga salah kelas empat SD kak.
Peneliti : Biasanya dalam sehari berapa lama waktu yang kamu habiskan untuk
bermain internet?
Informan : Hmm, berapa ya 10 jam kayaknya bisa kak dalam sehari tapi ga non stop
juga.
Peneliti : Lumayan lama juga ya. Biasanya apa aja sih yang dilihat kalau main
internet?
Informan : Main game, liat tiktok, atau scroll-scroll sosial media aja sih kak.
Peneliti : Paling sering menggunakan internet dimana?
Informan : Di rumah atau di luar rumah sama aja sih kak lumayan sering.

c
Peneliti : Oh gitu. Orang tua nerapin aturan terkait batas penggunaan hp atau
larangan menggunakan internet ga?
Informan : Oh itu iya dibatesin kak durasinya. Main hp kalau malem cuma dibolehin
sampe jam 9 aja.
Peneliti : Aturan cuma main sampe berapa jam gitu ada ga?
Informan : Gaada kak.
Peneliti : Itu aturannya udah berlaku dari kapan?
Informan : Dari aku udah dikasih hp itu kak, udah mulai berjalan.
Peneliti : Sebelumnya kamu pernah denger istilah literasi digital belum?
Informan : Pernah kak.
Peneliti : Yang kamu ketahui tentang literasi digital itu apa sih?
Informan : Yang aku tau kecakapan seseorang dalam menggunakan media digital.
Peneliti : Orang tua pernah memberikan sosialisasi terkait literasi digital ga?
Informan : Iya, ada kok.
Peneliti : Boleh diceritain ga sosialisasinya kayak gimana?
Informan : Ga boleh main hp lama, terus ga boleh nonton konten-konten yang tidak
bermanfaat, udah sih itu aja. Ohiya mama ayah pernah sosialisasiin juga
sih kak kalau berinternet itu harus bijak, jangan berkata hate speech dan
sebar informasi yang hoaks.
Peneliti : Terus sejauh ini apa yang kamu rasain setelah diberikan sosialisasi sama
orang tua?
Informan : Aku jadi tau cara main internet yang baik gimana, jadi dapet banyak
informasi baru soal konten-konten yang bermanfaat, sama lebih terkontrol
aja main internetnya.
Peneliti : Tapi orang tua pernah dampingin kamu saat main internet ga?
Informan : Ga pernah kalau dampingin kak, soalnya akunya juga gamau didampingin
suka risih gitu, mama ayah ngerti juga sih soal ini.
Peneliti : Kalau diawasin pernah ga?
Informan : Iya, kalau ini pernah.
Peneliti : Kamu tau ga tuh alasannya kenapa?
Informan : Biar waspada mungkin ya, biar anaknya ga buka macem-macem.
Peneliti : Kalau hpnya sampe dicekin pernah juga?
Informan : Beh, sering ini mah kak. Mama aku tuh suka razia hp hahaha.
Peneliti : Terus respon kamu gimana?

ci
Informan : Yaudah kak, terima-terima aja si aku mah.
Peneliti : Kamu sering diskusi sama orang tua ga soal penggunaan internet?
Informan : Sering kak kalau itu.
Peneliti : Diskusi mengenai apa tuh biasanya?
Informan : Dulu waktu awal-awal aku main internet, aku suka nanya orang tua atau
kakak caranya bikin akun gimana, terus sharing-sharing gunanya email itu
apa.
Peneliti : Biasanya diskusinya itu dimana?
Informan : Di rumah aja kak kalau lagi pada senggang terus ngumpul.
Peneliti : Tapi orang tua pernah sosialisasiin terkait konten yang boleh dan tidak
boleh dilihat ga saat main internet?
Informan : Iya kak pasti. Yang boleh itu konten-konten positif aja kak. Kalau yang ga
boleh biasanya konten-konten kayak video porno atau kejahatan lainnya.
Peneliti : Pernah ga diem-diem tanpa sepengetahuan orang tua akses konten yang
tidak bolehin sama orang tua?
Informan : Ga pernah sih kak kalau itu.
Peneliti : Kalau sejauh ini dampak positif yang kamu rasain dalam menggunakan
internet itu apa aja?
Informan : Bisa nyontek haha, gampang nyari informasi, dan jadi bisa ngerti main hp.
Peneliti : Kalau dampak negatif yang dirasainnya?
Informan : Bawaannya jadi pengen main hp terus yang bikin jadi ketergantungan juga.
Jadi kalau ga main hp tuh gaenak. Terus ini juga kan sekarang tuh sekolah
online ya selama pandemi, nah itu dampak negatifnya bawaannya jadi
ngandelin google terus aku kak. Kayak misal besok ada ulangan tapi aku
nyantai aja, kayak “tenang aja ada google”.
Peneliti : Oh gitu. Tapi respon orang tua gimana kalau kamu ngelanggar?
Informan : Ya gitu, ada sanksi, hpnya diambil.
Peneliti : Itu sanksi yang diberikan orang tua sama ga kayak saudara kamu yang lain?
Informan : Sama aja kok kak.
Peneliti : Kalau dijewer atau dipukul gitu pernah?
Informan : Ga pernah sih alhamdulillah.
Peneliti : Menurut kamu hukuman yang diberikan orang tua itu efektif atau engga?
Informan : Efektif kak. Karena mama ayah galak, hp aku beneran pernah disita waktu
itu. Waktu disita sebenernya enak sih karna aku bisa enjoy pas main sama

cii
temen, biasanya kan kalo main suka cek hp terus, tapi pas itu engga, lepas
aja gitu mainnya. Di rumah juga jadi lebih banyak ngobrol sama kakak
sama mama. Tapi pas hpnya dibalikin, yaudah aku tetep seneng juga dan
jadi takut buat macem-macem juga.
Peneliti : Semisal kamu patuh pernah dikasih imbalan ga?
Informan : Kadang dikasih duit hahaha lumayan buat uang jajan.
Peneliti : Imbalannya sama ga antara kamu atau saudara kamu yang lain?
Informan : Engga kak beda, kalau kakak lebih tinggi. Mama ayah biasanya ngasih
uang jajan sesuai porsinya, karena kakak lebih dewasa jadi kebutuhannya
banyak terus dikasihnya lebih gede. Kalau aku karena biasanya gunain
uang untuk jajan jadi seperlunya aja dikasihnya haha, porsinya beda kak
imbalannya.
Peneliti : Menurut kamu imbalan yang diberikan orang tua itu efektif atau engga?
Informan : Biasa aja sih kak sebenernya mah. Seneng sih cuma yaudah gitu.
Peneliti : Oh gitu. Tapi menurut kamu penting ga sih tau tentang literasi digital?
Informan : Penting banget.
Peneliti : Alasannya?
Informan : Biar melek juga sama sosial media, biar tau perkembangan yang baik dan
engga. Kan sekarang tuh berita ini ya ada hoaks dan ada yang benar kak,
nah itu kan nyaru antara yang benar atau engga. Nah kadang tu berita suka
manipulasi data biar seakan-akan tuh beritanya bener gitu, nah kita tuh
perlu belajar literasi digital supaya kemungkinan bisa aware sama hal-hal
kayak gitu.
Peneliti : Kalau orang tua menurut kamu penting ga dalam memberikan sosialisasi
itu?
Informan : Penting kak, biar kita terarah. Kan kalau misalnya orang tua yang ngasih
sosialisasi kan, karena orang tua tau kan tau mana yang lebih baik dan
mana yang engga buat kita. Apalagi usia aku terbilang masih remaja rentan
kebawa arus, jadi kalau dibilang sosialisasi ya penting aja gitu untuk
diingatkan kalau ada sesuatu yang menyimpang, jadi orang tua ingetin dan
arahin. Mungkin kalau misalnya udah umurnya ngerti ya orang tua ga perlu
effort yang berat buat awasin segala macem kayak sekarang, kan kalau
umurnya udah cukup dewasa kayak kakak aku lah contohnya, nanti aku

ciii
udah bisa ngerti sendiri mana yang baik mana yang engga. Aku karena
umurnya masih muda, jadi mungkin itu perlu diketatin sama mama ayah.
Peneliti : Okedeh, segitu aja yang mau aku tanyain. Makasih banyak yaa.
Informan : Iya kak, sama-sama.

civ
Profil Informan (Target Sosialisasi 5)

Informan : U (Inisial Informan)


Peneliti : Syifa
Hari/Tanggal Wawancara : Senin, 1 Agustus 2022
Lokasi Wawancara : Via Zoom
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Usia : 13 Tahun
Pendidikan : Kelas 1 SMP

Peneliti : Halo U (inisial informan), aku langsung mulai aja ya pertanyaannya. Kamu
perbulan dikasih uang saku berapa sama orang tua?
Informan : Perhari kadang 5.000, kadang juga 7.000 kalau ga 6.000, kadang juga
gaada hahaha.
Peneliti : Ohiya sebelumnya kamu udah aktif menggunakan internet itu dari kapan
sih?
Informan : Dari 2020 kak, masih belum lama itungannya.
Peneliti : Sering main sosmed juga mar?
Informan : Sosmed jarang sih, lebih ke game aja aku mah.
Peneliti : Biasanya dalam sehari berapa lama waktu yang kamu habiskan untuk
bermain internet?
Informan : Kalau pas hari biasa sih kadang 2 jam, 3 jam, atau 4 jam biasanya. Kalau
pas hari libur ga nentu kak.
Peneliti : Emang biasanya yang kamu lihat di internet itu apa aja sih?
Informan : Ee kayak main game aja terus nonton, udah gitu doang. Nontonnya kayak
konten game gitu yang ada di youtube terus kadang juga ee tentang agama.
Peneliti : Oh gitu. Di keluarga kamu ada ga sih aturan terkait batas penggunaan hp
atau larangan penggunaan internet dari orang tua?
Informan : Hmm, ada sih. Kalau hari biasa aku ga dibolehin main internet lama-lama,
pokoknya boleh main tapi sebentar aja kayak 2-3 jam. Kalau hari libur baru
aku boleh main lama-lama selama kewajiban ga ditinggal.
Peneliti : Itu aturannya udah berlaku dari kapan?
Informan : Pokoknya dari aku udah aktif main internet itu.
Peneliti : Oiya sebelumnya kamu pernah denger kata literasi digital ga?

cv
Informan : Pernah sih.
Peneliti : Yang kamu ketahui tentang literasi digital apa?
Informan : Kalau tentangnya, yang aku tau gimana seseorang mempunyai kemampuan
dalam bermain internet atau teknologi jadi benefitnya itu ga
disalahgunakan.
Peneliti : Orang tua pernah memberikan sosialisasi terkait literasi digital ga?
Informan : Pernah kak.
Peneliti : Bisa diceritain ga sosialisasinya kayak gimana?
Informan : Sosialisasiin kayak akibat dari nonton konten dewasa bisa bikin
ketergantungan, merusak otak, terus juga dosa secara agama. Bunda ayah
juga pernah ngasih tau kalau udah main internet ketikannya harus yang
sopan dan jangan sampe nyakitin orang. Semacem itu sih kak.
Peneliti : Tapi orang tua pernah dampingin kamu main internet ga?
Informan : Pernah sih beberapa kali, kalau pas lagi ga ngapa-ngapain aja.
Peneliti : Kalau melakukan pengecekan?
Informan : Kalau pengecekan pernah juga tapi itu jarang. Kadang bisa dalam 1 bulan
sekali atau 5 bulan sekali lah.
Peneliti : Yang ngecekin biasanya siapa?
Informan : Lebih sering bunda sih. Kalau ayah mah cuma ingetin ya main game jangan
sampe lama-lama.
Peneliti : Alasan ngecekinnya kamu tau ga kenapa?
Informan : Alesannya sih biar ya itu aja sih jadi makin tau, yang boleh dibuka apa,
yang ga boleh dibuka apa, mungkin takut aku salah pergaulan juga kali ya.
Peneliti : Kalau berdiskusi dengan orang tua mengenai penggunaan internet pernah
ga?
Informan : Diskusi sih jarang, tapi pernah aja sesekali kalau lagi deep talk.
Peneliti : Orang tua pernah sosialisasiin terkait konten yang boleh dilihat saat main
internet ga?
Informan : Eeem iya kak, yang dibolehin kayak game gitu, terus pelajaran, agama.
Seputar itu aja sih.
Peneliti : Kalau yang ga dibolehin seperti apa?
Informan : Yang ga dibolehin susah ngejelasinnya, tapi yang jelas konten yang
mengandung kekerasan-kekerasan kak.

cvi
Peneliti : Pernah ga diem-diem tanpa sepengetahuan orang tua akses konten yang
tidak bolehin sama orang tua?
Informan : Engga sih, karena aku udah terlalu fokus juga sih sama game dan karena
udah tau juga bahaya-bahaya nontonin hal-hal kayak gitu dari bunda sama
ayah jadinya aku males nyari tau atau aksesnya.
Peneliti : Tapi menurut kamu apa sih dampak positif yang dirasain saat main
internet?
Informan : Positifnya sih ee kadang kayak bisa dapet temen juga sih dari games. Kalau
secara umum ya kalau agama sih ya jadi lebih tau gitu loh apa yang boleh,
apa yang engga dan jadi tau hal-hal baru dari tutorial kreatif yang ada di
internet.
Peneliti : Kalau dampak negatifnya?
Informan : Waktu jadi terbuang, itu aja sih. Kecanduan juga tuh, kecanduan game.
Peneliti : Oiya kalau kamu melanggar aturannya, diberikan sanksi ga sama orang
tua?
Informan : Iya diberikan kak.
Peneliti : Sanksinya seperti apa tuh?
Informan : Paling hp disita sama password hpnya diganti sama bunda kak hahaha.
Sama pernah juga sih dicubit.
Peneliti : Sanksi yang diberikan oleh orang tua kalau melanggar itu sama kayak
saudara kamu yang lain?
Informan : Sama aja sih, cuma karena aku lebih gede dan anak pertama juga, sanksinya
lebih tegas aja, beda kalau ke adek.
Peneliti : Menurut kamu hukuman yang diberikan orang tua itu efektif atau engga?
Informan : Efektif pas di awal, tapi makin kesini engga. Cuma ya kalo bunda sama
ayah udah tegas, aku beneran jadi takut dan kapok.
Peneliti : Oh gitu. Tapi kalau diberi imbalan karena patuh gitu pernah?
Informan : Belum ada sih kalau buat sekarang. Cuma pernah kemaren-kemaren
dibeliin sama bunda atau ayah kayak ps, terus laptop.
Peneliti : Imbalannya sama ga sama saudara kamu yang lain?
Informan : Beda kak, kalau imbalan aku porsinya lebih gede haha.
Peneliti : Menurut kamu imbalan yang diberikan orang tua itu efektif atau engga?

cvii
Informan : Banget kak. Aku jadi tambah semangat juga buat nyenengin orang tua.
Soalnya itu kan juga hal kecil ya, tapi impactnya bisa buat aku dan bunda
ayah sama-sama seneng.
Peneliti : Jadi sejauh ini apa yang kamu rasain dari sosialisasi mengenai literasi
digital yang udah diberikan sama orang tua?
Informan : Positifnya ya jadi lebih ngerti cara main internet yang baik, udah sih itu
doang.
Peneliti : Bagi kamu sosialisasi yang diberikan orang tua udah cukup belum mar?
Informan : Hmm, udah lumayan.
Peneliti : Alesannya kenapa tuh?
Informan : Karena informasi yang udah diberikan orang tua udah cukup jelas dan aku
juga udah ngerti kak.

cviii
Profil Informan (Target Sosialisasi 6)

Informan : A (Inisial Informan)


Peneliti : Syifa
Hari/Tanggal Wawancara : Senin, 1 Agustus 2022
Lokasi Wawancara : Via Zoom
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 15 Tahun
Pendidikan : Kelas 3 SMP

Peneliti : Halo A (inisial informan), aku langsung mulai aja ya pertanyaannya. Kamu
perbulan atau perhari dikasih uang saku berapa sama orang tua?
Informan : Aku uang jajannya perhari kak, perhari biasanya 15.000.
Peneliti : Kalau gadget masih bareng sama orang tua atau punya sendiri?
Informan : Sekarang sih sendiri, tapi dulu pernah bareng sama orang tua sampe aku
smp kelas 1 kak.
Peneliti : Oh gitu. Kalau di rumah disediain wifi atau pakai kuota sendiri?
Informan : Disediain wifi kak di rumah sama orang tua.
Peneliti : Sudah aktif menggunakan internet sejak kapan?
Informan : Udah dari lama kak, dari aku sd kelas 6 juga udah mulai aktif.
Peneliti : Biasanya berapa lama waktu yang kamu habiskan untuk bermain internet?
Informan : 4 jam biasanya, tapi ga nentu juga. Kalau di rumah aku sering main internet,
kalau di luar rumah jarang.
Peneliti : Emang biasanya yang kamu lihat di internet itu apa aja sih?
Informan : Biasanya liat ee itu apa sih kayak mau cari tau berita yang baru di sosmed
terus liat video-video lucu aja.
Peneliti : Oh gitu. Di keluarga kamu ada ga sih aturan terkait batas penggunaan hp
atau larangan penggunaan internet dari orang tua?
Informan : Aturannya terkait batas penggunaan hp aja kak, paling kalau malem aja
hpnya disuruh taro kalau udah jam 12 keatas sama ibu.
Peneliti : Itu aturannya udah berlaku dari kapan?
Informan : Kurang lebih semenjak aku udah dikasih hp kak, dari kelas 1 smp berarti.
Peneliti : Kalau yang kamu ketahui tentang literasi digital itu apa?

cix
Informan : Aku kurang tau definisi lengkapnya, tapi sepemahaman aku literasi digital
itu kemampuan dalam menggunakan teknologi kayak hp atau pc secara
bijak supaya orang bisa merasakan manfaatnya secara penuh.
Peneliti : Orang tua pernah memberikan sosialisisasi terkait literasi digital ga?
Informan : Ga pernah kak kalau dari orang tua, tapi aku pernah beberapa kali ikut
webinar soal literasi digital. Jadi sosialisasinya dapet dari luar kak bukan
dari orang tua.
Peneliti : Boleh diceritain ga sosialisasinya kayak gimana?
Informan : Di webinar itu aku dijelasin resiko dan bahaya internet itu apa aja kayak
banyak informasi palsu terus konten ilegal, pencurian identitas. Terus ee
apalagi ya, oh dijelasin juga pentingnya lakuin update software di hp atau
laptop secara rutin, pentingnya karena bisa memperbaiki kekurangan yang
ada di gadgetnya. Oh sama ini juga dijelasin tuh ee pentingnya buat fact
checking kalau ada informasi yang masih simpang siur.
Peneliti : Wih keren yaa. Tapi dari orang tua sendiri pernah dampingin kamu main
internet ga?
Informan : Pernah kak.
Peneliti : Itu sering?
Informan : Engga, itu pas sd aja. Sekarang jarang sih, karena orang tua udah sibuk
juga.
Peneliti : Kalau melakukan pengecekan hp?
Informan : Engga juga kak.
Peneliti : Orang tua pernah sosialisasiin terkait konten yang boleh dan tidak boleh
diakses saat main internet ga?
Informan : Ada sih. Kayak hmm apa ya yang tidak berbaur 18 ke atas pokoknya boleh
diakses. Selebihnya yang berbaur 18 ke atas ga boleh kak.
Peneliti : Pernah ga diem-diem tanpa sepengetahuan orang tua akses konten yang
tidak bolehin sama orang tua?
Informan : Ga pernah kak sampe sekarang.
Peneliti : Tapi sejauh ini dampak positif yang kamu rasain selama menggunakan
internet itu apa aja?
Informan : Aku jadi bisa tau berita terkini melalui internet sih, udah itu aja. Oh satu
lagi sama aku jadi dapet pengetahuan baru yang ga didapetin dari sekolah
dan bisa kenal sama orang baru lewat virtual.

cx
Peneliti : Kalau dampak negatifnya?
Informan : Kayak di internet tuh banyak situs-situs judi online, kayak gitu deh. Terus
bikin candu juga haha.
Peneliti : Ohiya soal aturan penggunaan internet itu, orang tua memberikan sanksi
ga kalau anaknya melanggar aturan?
Informan : Memberi sih kayaknya, tapi kurang tau juga soalnya aku ga pernah kena
sanksi juga. Kakak-kakak aku juga sama kayaknya sejauh ini ga pernah
kena. Cuma kayaknya mah ada kak.
Peneliti : Oh gitu. Kalau patuh, ada imbalan yang diberikan dari orang tua ga?
Informan : Sekedar muji atau ga ibu kasih apa yang lagi aku butuhin aja kak.
Peneliti : Ke saudara kamu yang lain imbalannya juga sama?
Informan : Iya, sama aja kok kak.
Peneliti : Menurut kamu imbalan yang diberikan orang tua itu efektif atau engga?
Informan : Ga yang berarti banget sih kak.
Peneliti : Tapi dari sosialisasi yang udah diberikan sama orang tua, ngaruh ga di
kamu?
Informan : Ngaruh sih.
Peneliti : Dampaknya?
Informan : Aku jadi ga macem-macem di sosmed, lebih jaga ketikan. Udah sih itu aja.

cxi

Anda mungkin juga menyukai