Anda di halaman 1dari 90

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN JOKO WIDODO

TERHADAP PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS


DI MYANMAR PERIODE 2014-2019

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)

Oleh:

Alamanda Putri Jelita


11181130000032

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1414 H./2022 M
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME

Skripsi yang berjudul:

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN JOKO WIDODO TERHADAP


PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS DI MYANMAR PERIODE 2014-2019

1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkansesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti karya saya ini bukan hasil karya asli saya
ataumerupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 16 Desember 2022

Alamanda Putri Jelita

ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Alamanda Putri Jelita


NIM 11181130000032
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN JOKO WIDODO TERHADAP


PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS DI MYANMAR PERIODE 2014-2019

dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.

Ciputat, 16 Desember 2022

Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Program Studi Pembimbing

Rahmi Fitriyani, M.Si.


NIP: 19770914 201101 2 004

iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

iv
ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis bagaimana kebijakan Indonesia dalam


menyikapi konflik etnis yang terjadi antara etnis Buddha Rakhine dan etnis
muslim Rohingya. Dalam skripsi ini akan lebih berfokus meneliti kebijakan-
kebijakan yang diambil pada masa pemerintahan Jokowi dodo pada periode
2014-2019.
Pada penelitian ini, menghasilkan temuan diskriminasi terhadap suku
Rohingya di Rakhine muncul akibat adanya konflik antaretnis sehingga memicu
adanya eksodus pengungsi secara besar-besaran. Untuk mengatasi diskriminasi
dan konflik yang terjadi, pemerintah Indonesia pada era Joko Widodo mengambil
berbagai langkah untuk menyelesaikan konflik antaretnis yang terjadi di
Myanmar pada periode 2014-2019.
Dengan metode penelitian kualitatif yang menganalisa secara deskriptif
serta dengan menggunakan Metode pengumpulan data melalui studi kepustakaan
yang bersumber dari data sekunder skripsi ini akan menjabarkan kebijakan yang
diambil Indonesia yang menggunakan teori kebijakan luar negeri, teori refugee
serta teori konflik.

Kata Kunci: Kebijakan Luar Negeri Indonesia, HAM, Konflik Etnis, Pengungsi

v
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang maha esa, Allah SWT.
Atas izin serta atas karunia badan sehat dan rezeki dari Nya, saya dapat
menyelesaikan penulisan karya tulis ini, Terimakasih Allah maha baik. Selanjutnya
tidak lupa sholawat serta salam selalu saya limpahkan kepada junjungan besar Nabi
Muhammad SAW.
Semoga karya tulis yang setiap katanya saya tulis dengan hati dapat
tersampaikan uga kepada hati para pembacanya serta dapat bermanfaat bagi setiap
orang yang membacanya.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana
Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional di Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Penyusunan skripsi ini menjadi tanggung jawab penulissepenuhnya. Dalam
penyusunan sendiri tentunya melibatkan banyak pihak. Alhamdulillah berkat doa
dan dukungan dari banyak pihak, skripsi ini dapat terselesaikan. Dalam kata
pengantar ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ali Munhanif, M.A. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta seluruh stafdan Jajarannya.
2. Faisal Nurdin Idris, M.Sc., Ph.D., selaku Ketua Program Studi IlmuHubungan
Internasional serta Dr. Rahmi Fitriyanti, M.Si., selaku Sekretaris Program Studi
Ilmu Hubungan Internasional FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Rahmi Fitriyanti, M.Si., selaku Dosen Pembimbing yang sangat baik dan
pengertian, terimakasih Ibu. Terimakasih telah dengan sabar dan tanpa henti
memberikan arahan serta nasehat kepada saya sampai skripsi ini selesai, tanpa
ibu karya ini tidak akan pernah tercipta. Semoga ibu selalu diberikan kesehatan
oleh Allah SWT. Aamiin.
4. Kepada Dr. Agus Nilmada Azmi, M.Si. serta Dr. Saifuddin Asrori, M.Si. penguji
sidang, terimakasih banyak karena Ibu dan Bapak sudah menguji saya dengan
sabar, semoga Ibu dan Bapak selalu diberikan kemudahan dalam setiap urusan
oleh Allah SWT. Aamiin.
5. Orangtua penulis, Mamah (Lina Liliana) dan Uti (Enok Sukmayati).
Terimakasih Mamah sudah selalu mendukung penulis dalam keadaan sulit

vi
sekalipun, baik secara moral ataupun materil. Terimakasih atas rasa percaya
Mamah. Uti selaku nenek bagi penulis, yang sangat penulis cintai, terimakasih
untuk selalu mencurahkan tenaga serta cinta yang amat besar untuk penulis.
Selalu sehat dan bahagia, ya Mah, Ti.
6. Kakak dan Adik Penulis, Cece Alysa, Aa Ical, Lala, Vina Terimakasih untuk
selalu saling menguatkan, semoga kita bisa terus berkolaborasi untuk saling
membahagiakan terutama membahagiakan Mamah dan Uti.
7. Orangtua Penulis, Papah (Alamsyah) terimakasih atas doa dan kasih sayang
yang selalu diberikan.
8. Ismail Amin, selaku teman dekat penulis, terimakasih atas waktu yang selalu
diberikan kepada penulis, terimakasih untuk selalu berusaha membangun
semangat dan berusaha membuat suasana hati penulis bagus, agar penulisan
skripsi ini dapat terus berjalan.
9. Sahabat-sahabat penulis dalam kelompok belajar "Supranatural" yang selalu
menemani penulis dikelas, membantu penulis saat kesulitan di masa perkuliahan
dan selalu ada untuk penulis dalam menghadapi sulitnya masa perkuliahan, Alm
Aisy, Bicha, Njay, Cicit, Rayhan, Fitra, Ariq. Terimakasih atas semangat dan
sukacita yang diberikan.
10. Sahabat-sahabat Penulis yang baru penulis temui di akhir masa perkuliahan,
Bagus Farhansyah, Raynaldi Kasel, Syahrizal Ahmad, terimakasih sudah banyak
memberikan keceriaan, dan menjadi tempat menumpahkan segala kesedihan
tanpa rasa pamrih. Penulis sangat senang bias berteman dan dekat dengan kalian,
semoga pertemanan ini akan selalu abadi.
11. Sahabat-sahabat penulis, Zahra Azkiya Ahmad, Siva Maulia, Sarah Aisyatul,
yang selalu mendengarkan keluh kesah penulis selama skripsi ini ditulis, yang
selalu menjadi penenang ketika penulis sedih, Banyak membantu penulis dan
selalu memberikan motivasi kepada penulis, Terimakasih.
12. Teman-teman satu angkatan Prodi Hubungan Internasional 2018 khususnya
Rani Hafsari Alam, Salsa Mutiarani, Vivi Yunia Ifada, serta sahabat-sahabat di
prodi Hubungan Internasional yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Semoga kita semua selalu diberikan berkah kesehatan serta umur panjang agar
dapat bertemu kembali dengan kesuksesan masing-masing di masa depan.

vii
DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME........................................................ ii


PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI....................................................... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .................................................... iv
ABSTRAK ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1


A. Pernyataan Masalah ..................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian .................................................................. 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 7
D. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 8
E. Kerangka Teoritis ........................................................................ 12
E.1 Kebijakan Luar Negeri.......................................................... 12
E.2 Konsep Refugee ..................................................................... 14
E.3 Konsep Konflik Etnis............................................................ 15
F. Metode Penelitian ........................................................................ 16
G. Sistematika Penulisan .................................................................. 20

BAB II KEBIJAKAN PRESIDEN JOKO WIDODO TERHADAP KONFLIK


ETNIS DI MYANMAR ...................................................................... 22
A. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Merespons Konflik Etnis di
Myanmar ...................................................................................... 22
B. Keterlibatan Indonesia dalam Proses Penyelesaian Konflik di
Myanmar ...................................................................................... 25

BAB III PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS DI MYANMAR .................. 30

viii
A. Latar Belakang Terjadinya Konflik Etnis di Myanmar ............. 30
B. Faktor Penyebab Konflik Di Rakhine ........................................ 35
C. Tindakan Pelanggaran yang Dilakukan Terhadap Etnis Rohingya
....................................................................................................... 38
D. Dinamika Penyelesaian Konflik Etnis Di Rakhine Tahun 2014-
2019 .............................................................................................. 40
E. Hambatan Penyelesaian Konflik Etnis di Myanmar 2014-2019
....................................................................................................... 43

BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAHAN JOKO WIDODO TERHADAP


PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS DI MYANMAR PERIODE
2014-2019 ............................................................................................ 48
A. Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo terhadap Konflik Etnis di
Myanmar Periode Periode 2014-2019........................................ 48
A.1 Orientasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Konflik
Etnis di Myanmar Periode 2014-2019 .............................. 48
A.2 Komitmen Indonesia terhadap Penyelesaian Konflik Etnis di
Myanmar Periode 2014-2019 ............................................ 51
A.3 Sikap Pemerintah Joko Widodo terhadap Konflik Etnis di
Myanmar Periode 2014-2019 .............................................. 52
A.3.1 Hubungan Resmi dengan Pemerintah Myanmar .... 52
A.3.2 Pengiriman Bantuan Humaniter bagi Pengungsi
Rohingya................................................................... 55
A.3.3 Pengangkatan Isu Konflik Antaretnis Myanmar dalam
Forum Regional dan Internasional.......................... 57
A.4 Dinamika Konflik Etnis Myanmar Periode 2014-2019 ... 59
A.5 Kondisi Pengungsi Etnis Rohingya di Indonesia Periode
2014-2019 ........................................................................... 63
A.6 Hambatan Indonesia dalam Upaya Penyelesaian Konflik
Etnis di Myanmar Periode 2014-2019 .............................. 68

ix
BAB V PENUTUP ........................................................................................... 70
A. Kesimpulan .................................................................................. 70
B. Saran ............................................................................................. 72

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 73

x
DAFTAR GAMBAR

1. Gambar VI.1 Jumlah Pengungsi Rohingya di Indonesia Tahun 2012-2019 (

Yang Tercatat Melalui UNHCR)

xi
DAFTAR SINGKATAN

HAM Hak Asasi Manusia

ASEAN Association of Southeast Asian Nation

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

UN-PKO United Nations Peacekeeping Operation

IOM Internasional Organisation for Migration

UNHCR United Nations High Commissioner for Refugees

OKI Organisasi Konfrensi Islam

RUDENIM Rumah Detensi Imigrasi

FRC Foreign Registration Card

SLORC State Law and Restoration Council

ARSA Arakan Rohingya Salvation Army

UNGA United Nations General Assembly

AICHR Asean Intergovernmental Comission of Human Rights

OIC Organization of Islamic Cooperation

IDB Isamic Development Bank

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Konflik etnis antara komunitas agama Buddha dan Islam telah lama terjadi

di Myanmar. Namun, konflik tersebut mulai membesar sejak kekerasan yang

pertama terjadi di Rakhine pada tahun 2012. Bahkan, petinggi ataupun masyarakat

Myanmar secara keseluruhan juga menunjukkan ketidaksukaannya kepada etnis

Rohingya. Misalnya pada tahun 2015, terdapat kampanye “kill and bury” yang

ditujukan kepada etnis Rohingya, dimana kampanye tersebut didukung dan diikuti

oleh publik.1 Di samping itu, banyak pula kampanye yang dilakukan untuk

menyebarkan pandangan kebencian bahwa muslim merupakan ancaman bagi

komunitas Buddha sehingga eksistensinya perlu dihapuskan dari Myanmar.2

Konflik pun tereskalasi pada tahun 2016 ketika terjadi pembunuhan

terhadap sembilan petugas kepolisian di wilayah perbatasan Bangladesh yang,

menurut pernyataan pemerintah Myanmar, dilakukan oleh teroris Islam. 3 Hal itu

mendorong terjadinya retaliasi terhadap komunitas muslim yang menelan korban

1
Mirco Kreibich, Johanna Goetz, dan Alice M. Murage, “Myanmar’s Religious and Ethnic
Conflicts: no end in sight”, Heinrich Boll Stiftung: The Green Political Foundation, 24 Mei 2017,
diakses 11 Desember 2022, https://www.boell.de/en/2017/05/24/myanmars-religious-and-ethnic-
conflicts-no-end-sight#_ftn20.
2
Human Rights Council, Situation of human rights of Rohingya Muslims and other
minorities in Myanmar: Report of the United Nations High Commissioner for Human Rights
(Jenewa: Human Rights Council, 2016), https://www.refworld.org/pdfid/5768f0e94.pdf.
3
Radio Free Asia, Myanmar Says Islamic Terrorist Organization Behind Deadly Border
Raids in Rakhine State, 14 Oktober 2016, diakses 11 Desember 2022,
https://www.rfa.org/english/news/myanmar/myanmar-says-islamic-terrorist-organization-behind-

deadly-border-raids-in-rakhine-state-10142016164041.html.

1
hingga 130 orang 4 dan 1.500 bangunan rusak akibat terbakar. 5 Pada saat itu, PBB

menyatakan bahwa Myanmar telah melakukan tindak kriminal terhadap

kemanusiaan, dibuktikan dengan adanya tindakan pembunuhan, penculikan,

penyiksaan, perkosaan, dan berbagai aktivitas perusakan properti. Namun,

pemerintah Myanmar menyangkal dan menyatakan bahwa pernyataan PBB

tersebut merupakan propaganda yang ditujukan kepada pemerintah Myanmar.6

Pada tahun 2017, setidaknya terdapat lebih dari satu juta penduduk

Rohingya di Myanmar, dengan mayoritas di antara mereka tinggal di wilayah

Rakhine. Namun, Myanmar memandang etnis Rohingya sebagai imigran ilegal dan

menolak untuk memberikan kewarganegaraan resmi bagi etnis Rohingya. Dengan

tujuan untuk menghapuskan populasi Rohingya di Myanmar, pasukan militer

Myanmar, yang disebut sebagai Tatmadaw, melakukan ‘operasi pembersihan’ yang

dimulai sejak 25 Agustus 2017. Operasi tersebut sebagian besar dilakukan dengan

cara pembunuhan, perkosaan, hingga pembakaran penduduk hidup-hidup.7 Bahkan,

kekerasan seksual pun tidak hanya dilakukan terhadap perempuan, melainkan juga

pada anak, laki-laki, dan transgender. Bagi komunitas transgender, mereka

4
BBC, Hundreds of Rohingya try to escape Myanmar crackdown, 16 November 2016,
diakses 11 Desember 2022, https://www.bbc.com/news/world-asia-38008151.
5
Human Rights Watch, Burma: Military Burned Villages in Rakhine State, 13 Desember
2016, diakses 11 Desember 2022, https://www.hrw.org/news/2016/12/14/burma-military-burned-
villages-rakhine-state.
6
Charlotte England, “Burmese government denies ongoing genocide of Rohingya
Muslims”, Independent, 4 Januari 2017, diakses 11 Desember 2022,
https://www.independent.co.uk/news/world/asia/burma-government-rohingya-muslims-aung-san-
suu-kyi-genocide-massacre-rape-minority-myanmar-a7508761.html.
7
BBC, Myanmar Rohingya: UN condemns human rights abuses, 28 Desember 2019,
diakses 11 Desember 2022, https://www.bbc.com/news/world-asia-50931565.

2
menghadapi kekerasan dua kali lipat lebih parah karena mereka merupakan etnis

Rohingya dan transgender.8

Operasi militer tersebut menyebabkan krisis pengungsi terbesar yang pernah

ada dalam dunia modern, dimana jumlah penduduk Rohingya yang mengungsi ke

Bangladesh saja mencapai lebih dari 830.000 orang. Di samping itu, jumlah korban

jiwa dalam operasi militer tersebut berkisar antara 9.000 hingga 13.000 orang dari

etnis Rohingya. Akibatnya, Myanmar pun mendapatkan kecaman dari komunitas

internasional yang selanjutnya justru memperburuk tensi yang terjadi di negara

tersebut.9

Tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar

tersebut termasuk ke dalam tindakan kriminal di bawah hukum internasional.

Namun, hingga saat ini, pemerintah Myanmar dinilai gagal dalam mencegah dan

menindaklanjuti konflik yang terjadi di Rakhine. Bahkan, anggota pasukan militer

Myanmar yang ditangkap karena membunuh penduduk Rohingya pun dibebaskan

dengan cepat sebelum masa hukuman penjara habis. Pemerintah Myanmar pun

menyatakan bahwa tindakan Tatmadaw bukan merupakan tindak kejahatan karena

operasi militer ditujukan untuk menyerang militan Rohingya.10 Untuk itu,

diperlukan adanya intervensi dari aktor eksternal untuk menyelesaikan konflik yang

8
OHCHR, UN Fact-Finding Mission on Myanmar Calls for Justice for Victims of Sexual
and Gender-based Violence, 22 Agustus 2019, diakses 11 Desember 2022,
https://www.ohchr.org/en/press-releases/2019/08/un-fact-finding-mission-myanmar-calls-justice-
victims-sexual-and-gender?LangID=E&NewsID=24907.
9
Anthony Ware dan Costas Laoutides, “Myanmar’s ‘Rohingya’ Conflict: Misconceptions
and Complexity”, Asian Affairs (2019), 2. https://doi.org/10.1080/03068374.2019.1567102.
10
BBC, Myanmar Rohingya: UN condemns human rights abuses, 28 Desember 2019,
diakses 11 Desember 2022, https://www.bbc.com/news/world-asia-50931565.

3
terjadi di Myanmar karena Myanmar dinilai menghambat upaya penyelesaian

konflik tersebut.

Amnesty Internasional juga melihat apa yang terjadi pada etnis rohingya

merupakan usaha untuk mengusir dan membersihkan etnis tersebut, Sebelum

genosida Rohingya oleh militer Burma pada tahun 2017, sekitar 1,1 juta populasi

dari mereka tinggal di Myanmar.11

Kepala pemerintahan de facto Aung San Suu Kyi secara khusus telah dikritik

karena tidak bertindak dan diam atas masalah ini dan melakukan sedikit tindakan

untuk mencegah pelanggaran militer hal tersebut membuat Myanmar tersudutakibat

datangnya banyak kecaman dari dunia internasional, seperti Perserikatan bangsa-

bangsa, ASEAN, Amnesty Internasional, dan juga negara-negara di dunia,terlebih

Pemerintah Indonesia. Pemerintah Myanmar dianggap lalai dan ingkar terhadap

komitmen untuk mengakhiri ketidakadilan yang terjadi terhadap etnis muslim

rohingya, sebagai etnik minoritas disana.12

Dampak yang diakibatkan dari konflik tersebut adalah terjadi mobilisasi etnis

Rohingnya yang mengungsi ke negara lain terutama di kawasan Asia Tenggara.

Tragedi ini diperkeruh dengan isu kekerasan diakibatkan karena isu keagamaan

yang melibatkan dua kepercayaan yakni muslim dan Buddha. Etnis rohingya

11
Al-Jazeera, "Who are the Rohingya?" Heritage destruction in Myanmar’s Rakhine state
legal and illegal iconoclasm.pdf diakses pada 27 Oktober 2021
12
Ronan Lee & José Antonio González Zarandona (2019): Heritage destruction in
Myanmar’s Rakhine state: legal and illegal iconoclasm, International Journal of Heritage Studies,
DOI: 10.1080/13527258.2019.1666294

4
menjadi minoritas akibatnya penindasan, kekerasan, intimidasi adalah bukan hal

yang tabu antara mayoritas dan minoritas.

Hal ini sejalan dengan dampak dari sistem pemerintahan suatu negara yang

tidak demokratis akan menentukan proses pengambilan kebijakan yang akan

dilakukan. Faktanya adalah ketika suatu negara mempersenjatai angkatanmiliternya

dan tidak terkontrol maka secara tidak langsung akan menyebabkan angkatan

militer tersebut justru akan menjadi instrumen negara dalam menstabilisasi politik

domestiknya. Indonesia terkenal dengan politik bebas aktif dan menjunjung tinggi

keadilan, serta Indonesia sangat dipandang di dalam ASEAN sebagai negara yang

paling besar diantara negara ASEAN dan maumenjalin hubungan dengan negara

lain secara terbuka.

Sehingga Indonesia merupakan aktor yang paling tepat dalam menghadapi

situasi seperti saat ini, Sudah menjadi komitmen Indonesia untuk ikut aktif

berpartisipasi dalam melaksanakan ketertiban dunia yang didasari oleh Pembukaan

Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dengan alinea IV

menjadikan Indonesia berkontribusi dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB

(UN Peacekeeping Operation/UN PKO). Di dalam konteks internasional

keterlibatan suatu negara dalam menjaga perdamaian dan keamanan dunia

sangatlah penting Karena pada dasarnya Operasi Pemeliharaan Perdamaian PBB ini

merupakan salah satu mekanisme untuk memelihara perdamaian internasional yang

diwujudkan dalam Misi Pengamat (Observer) dan Pasukan Pemelihara

5
Perdamaian (UN Peacekeeping Force) yang keduanya menggunakan kekuatan

militer dari berbagai negara yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB.13

Indonesia diketahui memiliki kedekatan dengan pemerintahan Myanmar

dilihat dari berbagai kerjasama yang telah dilakukan oleh kedua negara sehingga

hal ini dapat dijadikan media persuasif untuk mengatasi kasus Rohingya dengan

adil dan damai. Dalam prinsip Politik Luar Negeri Indonesia yakni “bebas aktif”,

bebas diartikan bahwa Indonesia tidak memihak pada satu blok manapun baik barat

maupun timur. Sedangkan aktif berkaitan dengan cita-cita UUD 1945 seperti aktif

menjaga ketertiban dunia. Artinya bebas di sini bukan lagi berarti tidak berpihak

pada blok ideologi tertentu, tetapi memiliki restorasi makna misalnya bebas dalam

arti menjalin kerja sama dengan negara manapun atas nama kepentingan negara.

Politik Luar Negeri adalah identitas suatu negara yang menjadi ciri khas atau

keunikan negara tersebut dalam hubungan eksternalnya atau abstraksi dari negara

tersebut yang diambil dari nilai-nilai dan budaya negara itu. Dalam makna lainya

Politik Luar Negeri adalah refleksi kebutuhan dari negara yang bersangkutan yang

akan dipengaruhi oleh kebutuhan domestik yang sejalan dengan kebutuhan

eksternal. Di sisi lainya kebijakan luar negeri adalah strategi yang harus dicapai

atau legitimasi dan cara untuk mewujudkan Politik Luar Negeri itu. Dengan

13
Samekto, Mengkaji Peran Operasi Pemeliharaan Perdamaian PBB Sebagai Bagian
Upaya Menciptakan Perdamaian Dunia, Jurnal Hukum & Pembangunan. Vol. 21, (1991): 25, Doi:
10.21143/jhp.vol21.no1.395.

6
demikian, bukan sesuatu yang tabu apabila kebijakan luar negeri setiap pemimpin

negara berbeda-beda.14

Dengan komitmen Indonesia untuk terlibat dalam menjaga perdamaian dunia

salah satunya pada kasus konflik etnis di Myanmar, maka penelitian ini akan

berfokus untuk menganalisis model kebijakan luar negeri yang ditetapkan

Indonesia dalam menangani pengungsi dari Etnis Rohingya yang berada di kawasan

Indonesia. Pendekatan ini akan menjadi pendekatan dalam menganaslisis

implementasi kebijakan luar negeri Indonesia. Sehingga akan ada korelasi dalam

analisis teori kebijakan luar negeri Indonesia dengan bagaimana kebijakan tersebut

mempengaruhi sikap yang diambil Indonesia dalam menangani refugee etnis

Rohingya yang berada di Negara ini.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis mengangkat pertanyaan

penelitian: "Bagaimana Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo Terhadap

Konflik Etnis di Myanmar Periode 2014-2019?"

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tulisan ini bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis mengenai respon

Indonesia melalui kebijakan luar negeri nya terhadap Refugee (pengungsi) etnis

Rohingya yang ada di Indonesia melalui kerangka teoritis kebijakan luar negeri,

konsep Refugee dan Konsep Konflik Etnis.

14
James N. Rosenau, Gavin Boyd, Kenneth W. Thompson. 1976. World Politics: An
Introduction. New York: The Free Press, hal. 18.
7
Sebagai negara yang menganut system politik bebas dan aktif selama masa

pemerintahan Presiden Jokowidodo, sehingga dapat ditemukan hal-hal yang

bersifat informative yang dapat memberikan solusi konkrit bagi penyelesaian

konflik dan berakhirnya konflik antar etis Buddha Rakhine dan Etnis muslim

Rohingya yang terjadi di Myanmar.

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai

Konflik yang terjadi antara Etnis Muslim dan etnis budha Rakhine di

Rakhine Myanmar.

b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai langkah-

langkah yang dilakukan Indonesia dalam membantu penyelesaian konflik

etnis yang terjadi di Myanmar.

c. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya literature serta berkontribusi

terhadap ilmu pengetahuan khususnya disiplin ilmu hubungan

internasional.

D. Tinjauan Pustaka

Dalam Jurnal yang berjudul International society: the social dimensions of

Indonesia's foreign policy, secara keseluruhan penelitian ini membahas mengenai

pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia jika dilihat melalui berbagai

perspektif seperti Realis, English School dan Konstrutivis.15 Dalam penelitian

15
I. Gede Wahyu Wicaksana, “International Society: The Social Dimensions of Indonesia’s
Foreign Policy,” Pacific Review 29, no. 5 (2016): 741–59,
https://doi.org/10.1080/09512748.2015.1047467.

8
tersebut dijelaskan bagaimana pengambilan keputusan kebijakan Politik luar negeri

Indonesia yang dinyatakan bebas aktif. Politik luar negeri yang mandiri dan aktif

lahir ketika pemerintah Indonesia yang baru lahir dihadapkan pada tantangan

internasional dan domestik. Di depan internasional, Indonesia harus mengatasi

kurangnya simpati negara-negara besar terhadap kemerdekaannya.

Pada posisi yang tidak memihak saat perang dunia ke II, Indonesia kemudian

memproyeksikan dirinya menjadi anggota lembaga masyarakat internasional

dengan visi keteraturan. Pemerintah Indonesia mengembangkan hubungan luar

negeri dengan mengutamakan diplomasi dan hukum internasional sebagai dua

lembaga utama masyarakat internasional. Saat menghadiri Konferensi Hubungan

Asia pertama di New Delhi pada Maret 1947, Perdana Menteri Indonesia Soetan

Sjahrir mengimbau para pemimpin Asia dengan mengatakan bahwa tujuan

kebijakan luar negeri negaranya adalah untuk membangun harmoni di tengah

sistem persaingan blok internasional yang tegang.

Pendekatan teoritis kebijakan luar negeri dilihat dapat membantu

membuka pemahaman baru tentang gagasan dan proses diplomasi yang

terabaikan di Indonesia. Fenomena yang digali di sini tentang pembentukan

masyarakat internasional dalam Konferensi Asia Afrika dan ASEAN dapat

ditindaklanjuti dengan wilayah penyelidikan lebih lanjut yang pada

gilirannya akan memperkaya topik penelitian tentang pelaksanaan

diplomasi Indonesia.

9
Sebelumnya, penerapan perspektif teoritis dominan realisme telah

menghasilkan fokus tunggal pada keunggulan kepentingan nasional sebagai

pendorong utama kebijakan luar negeri Indonesia. Sementara itu, dimensi sosial

dari wacana kebijakan negara telah diremehkan. Parameter ilmiah yang diacu

oleh sebagian besar Indonesianis menunjukkan generalisasi yang berlebihan

terhadap perilaku internasional negara. Sebaliknya, orientasi kebijakan luar

negeri terhadap gagasan dan praktik sosial lebih diakomodasi dengan

memanfaatkan kerangka analitis alternatif seperti konsep masyarakat

internasional Sekolah Inggris. Kasus keanggotaan Indonesia dalam masyarakat

internasional negara-negara Asia Afrika dan ASEAN mencontohkan peran

pandangan dunia Indonesia dalam mendirikan diplomasi multilateral.

Pada jurnal tersebut memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan

penulis dimana keduanya sama-sama membahas mengenai kebijakan luar

negeri Indonesia dan praktiknya dalam dunia Internasional dan pelaksanaan

diplomasi yang dilakukan Indonesia. Adapun perbedaannya terdapat pada

konsep serta subjek yang digunakan.

Penelitian selanjutnya berjudul Why states do not impose sanctions: regional

norms and Indonesia’s diplomatic approach towards Myanmar on the Rohingya

issue16 membahas mengenai kebijakan luar negeri Indonesia terhadap Myanmar

terkait dengan persekusi terhadap orang-orang Rohingya yang tidak memiliki

16
Mohamad Rosyidin and Andi Akhmad Basith Dir, “Why States Do Not Impose
Sanctions: Regional Norms and Indonesia’s Diplomatic Approach towards Myanmar on the
Rohingya Issue,” International Politics 58, no. 5 (2021): 738–56, https://doi.org/10.1057/s41311-
020-00264-2.

10
kewarganegaraan, Menggunakan pendekatan konstruktivis. Dalam menyikapi

krisis kemanusiaan di Myanmar, Indonesia menerapkan dua pendekatan: politik dan

kemanusiaan. Sementara pendekatan politik berfokus pada dialog baik secara

bilateral maupun multilateral, pendekatan kemanusiaan ditempuh melalui platform

bantuan kemanusiaan. Pemerintah Indonesia memandang kombinasi kedua

pendekatan ini sebagai alat yang efektif untuk membujuk pemerintah Myanmar

menghentikan pelanggaran hak asasi manusia serta memberikan perhatian kepada

para korban dengan memberikan bantuan kemanusiaan.

Pada tahun 2012 selama arus pengungsi Rohingya besar-besaran ke negara-

negara tetangga, pemerintahan Yudhoyono di Indonesia menggunakan tiga

kebijakan dalam menangani Myanmar: pemberian bantuan kemanusiaan, dialog

terbuka dengan pemerintah Myanmar, dan multilateralisme diplomatik di tingkat

regional dan global.

Persamaan jurnal diatas dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu

berupa objek yang diambil, yaitu sama-sama mengangkat isu konflik etnis yang

terjadi di Myanmar adapun perbedaannya terdapat pada periode yang diambil.

Sejalan dengan penelitian diatas, Peneltian yang berjudul Indonesian foreign

policy under President Jokowi.17 membahas mengenai kebijakan luar negeri

Indonesia, Dari sisi politik, Indonesia telah melakukan hubungan bilateral dengan

pemerintah Myanmar. Yudhoyono mengirim surat kepada Presiden Thein Sein

meminta izin untuk memberikan organisasi internasional seperti OKI, PBB, dan

17
Laura Schwartz, “Indonesian Foreign Policy under Jokowi,” The National Bureau of
Asian Research, 2015, http://nbr.org/research/activity.aspx?id=510.

11
ASEAN untuk mengumpulkan informasi tangan pertama langsung dari Myanmar.

Indonesia menawarkan bantuan penyelesaian konflik berdasarkan pengalaman

domestiknya di Poso, Ambon, dan Aceh.

Ketika Jokowi berkuasa pada 2014, kebijakan luar negeri Indonesia terhadap

Myanmar tidak berubah. Seperti pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Jokowi

secara konsisten mendukung orang-orang Rohingya melalui advokasi diplomatik

dan bantuan kemanusiaan akan tetapi pada masa pemerintahan Joko widodo

Indonesia memperluas kontribusinya dalam menyelesaikan krisis kemanusiaan di

Myanmar dengan menawarkan solusi yang komprehensif.

Persamaan dalam penulisan ini dengan jurnal diatas ialah keduanya

membahas mengenai kebijakan luar negeri yang diambil Pemerintah Indonesia

terhadap isu konflik Etnis di Myanmar adapun perbedaannya penulis akan lebih

membahas secara signifikan dan terperinci kebijakan yang diambil pada masa

Pemerintahan Joko Widodo periode 2014-2019

E. Kerangka Teoritis

E.1 Kebijakan Luar Negeri

Kebijakan luar negeri merupakan hal yang kompleks sehingga sulit untuk

menemukan konseptualisasi yang seragam terkait kebijakan luar negeri. Dalam

penelitian ini, digunakan konsepsi kebijakan luar negeri oleh James N. Rosenau.

Rosenau mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai tindakan resmi yang

dilakukan oleh pemerintah yang bertujuan untuk mencapai atau mempertahankan

12
aspek tertentu di lingkungan internasional atau untuk menghilangkan dan

mengendalikan aspek yang tidak diinginkan.18

Kebijakan tersebut memiliki konsekuensi yang berpengaruh besar terhadap

jenis adaptasi yang dilakukan oleh negara dalam kurun waktu tertentu.

Rosenau selanjutnya menjabarkan tiga bagian penting dalam kebijakan luar

negeri, yaitu orientation, commitments and plans of action, dan behaviour.19

Sebagai sekumpulan orientasi, kebijakan luar negeri merujuk pada sikap, sudut

pandang, dan nilai yang berasal dari pengalaman sejarah dan kondisi strategis

negara yang kemudian memengaruhi posisi negara dalam memandang politikdunia.

Selanjutnya, komitmen dan rencana aksi merupakan perpanjangan dariorientasi,

yang mana pembuat kebijakan menerjemahkan orientasi yang dimiliki oleh negara

ke dalam kebijakan tertentu terkait lingkungan eksternal. Sedangkan sebagai bentuk

perilaku, kebijakan luar negeri merupakan perwujudan konkret dariorientasi dalam

bentuk aktivitas tertentu. Berdasarkan hal tersebut, kebijakan luar negeri dapat

dilihat sebagai perilaku eksternal dari suatu negara.

Berdasarkan teori kebijakan luar negeri menurut pemaparan di atas, kebijakan

luar negeri yang dikeluarkan oleh Indonesia merupakan sebuah reaksi dan tindakan

atas konflik yang terjadi antara etnis muslim Rohingya dan etnis Budhha Rakhine.

18
James N. Rosenau, Comparing Foreign Policies, Theories, Findings, and Methods (New
York: John Wiley & Sons, 1974), 6.
19
James N. Rosenau, World Politics: An Introduction (New York: Free Press, 1976), 16-
17.

13
E.2 Konsep Refugee

Kunz menjabarkan pengungsi ke dalam tiga kategori berdasarkan sikap

pengungsi terhadap perpindahan yang mereka lakukan. 20 Pertama adalah majority

identified refugees, yakni pengungsi yang secara sadar mengungsi karena menolak

isu politik ataupun sosial yang terjadi di wilayah asalnya. Kedua adalah events

related refugees, yaitu pengungsi yang meninggalkan wilayah asalnya karena

adanya diskriminasi terhadap komunitas tempat mereka berasal.

Umumnya, pengungsi dalam kategori ini tidak lagi peduli pada situasi yang

terjadi di wilayah asal karena merasa teralienisasi dari komunitas masyarakat

lainnya. Ketiga adalah self-alienated refugees, yakni pengungsi yang mengungsi

atas alasan pribadi, biasanya karena mereka merasa teralienisasi oleh komunitas

akibat perbedaan prinsip pribadi.

Pada penelitian ini, pengungsi Rohingya termasuk ke dalam kategori events

related refugees karena mereka mengalami tindak diskriminasi dan kekerasan dari

pemerintah ataupun masyarakat komunitas lain di Myanmar sehingga mereka

memilih untuk mengungsi ke negara lain.

Dalam memilih wilayah tujuan pengungsian, Kunz menjelaskan beberapa

faktor yang mendorong pengungsi untuk memilih tempat tertentu.21 Pertama,

adanya kemiripan budaya, seperti bahasa, nilai, tradisi, pandangan politik, dan lain-

lain. Dengan adanya kesamaan tersebut, pengungsi akan lebih cepat berintegrasi

20
Egon F. Kunz, “Exile and Resettlement: Refugee Theory”, The International Migration
Review, Vol. 15, No. ½ (1981), 42-43.
21
Egon F. Kunz, “Exile and Resettlement: Refugee Theory”, The International Migration
Review, Vol. 15, No. ½ (1981), 46-48.

14
dengan komunitas lokal dan menghindari perasaan terisolasi di wilayah baru.

Kedua, kebijakan populasi di negara tuan rumah, misalnya negara dengan

pertumbuhan penduduk yang rendah umumnya memiliki kebijakan untuk

meningkatkan populasi melalui imigrasi sehingga negara menerima pengungsi

dalam jumlah besar. Ketiga, tingkat penerimaan sosial di lingkungan masyarakat

negara tuan rumah sehingga mempermudah asimilasi pengungsi dengan penduduk

lokal.

E.3 Konsep Konflik Etnis

Dalam mendefinisikan konsep konflik etnis, terdapat tiga teori utama,

yakni primordialisme, konstruktivisme, dan instrumentalisme. Primordialisme

menekankan pada fakta bahwa masing-masing individu tergolong ke dalam satu

kelompok etnis tertentu yang kemudian membedakannya dengan kelompok lain

sehingga adalah hal yang alami jika terjadi konflik antaretnis karena adanya

perbedaan tersebut. Konstruktivisme memandang bahwa etnis pada dasarnya

bukan merupakan konsep yang konfliktual, tetapi konflik etnis dapat muncul

karena adanya situasi security dilemma, baik karena kondisi politik ataupun

perebutan sumber daya. Di sisi lain, instrumentalisme 22. melihat konflik etnis

umumnya terjadi ketika kelompok etnis yang berbeda bersaing untuk

mendapatkan sumber daya yang langka. Dalam penelitian ini, penulis

menggunakan konsep konflik etnisdari sudut pandang primordialisme.

22
Laura Yeghiazaryan, “Which of the three main ethnic conflic theories best explains the
Ethnic violence in the post-soviet states of Azerbaijan, Georgia, and Moldova?”, Undergraduate
Journal of Political Science, Vol. 3, No. 1 (2018), 50.

15
Primordialisme memandang bahwa etnis merupakan hal alami yang bersifat

turun-menurun. Masing-masing individu termasuk ke dalam satu kelompok etnis

khusus yang, begitu didapatkan secara turun-menurun, akan bertahan seumurhidup.

Individu yang termasuk ke dalam kelompok etnis memiliki kesadaran kelompok

yang berasal dari bahasa, budaya, tradisi, dan histori yang kemudian berpengaruh

terhadap bagaimana mereka memandang identitas etnisnya 23. Dari sudut pandang

primordialisme, konflik etnis merupakan fenomena alami yang muncul sebagai

akibat dari perbedaan budaya. Primordialisme memandang bahwa etnis merupakan

konsep relasional, dimana ketika terdapat in-group, artinya terdapat pula out-group,

sehingga wajar bagi dua kelompok etnis yang berbeda untuk berkonflik demi

mencapai tujuan masing-masing24. Oleh karena itu, tindak kekerasan antaretnis pun

menjadi sulit untuk dihindari.

F. Metode Penelitian

Penelitian yg dilakukan pada penulisan skripsi ini memakai pendekatan

kualitatif. Creswell menyebutkan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang

memakai istilah-istilah pada upaya serta makna individu atau grup yang berkaitan

menggunakan perkara sosial atau manusia.25 Penjelasan mengenai jenis penelitian

23
Laura Yeghiazaryan, “Which of the three main ethnic conflic theories best explains the
Ethnic violence in the post-soviet states of Azerbaijan, Georgia, and Moldova?”, Undergraduate
Journal of Political Science, Vol. 3, No. 1 (2018), 47.
24
Neal G. Jesse dan Kristen P. Williams, Ethnic Conflict: A Systematic Approach To Cases
of Conflict (Washington: CQ Press, 2011).
25
John W. Creswell. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Approaches –
4 th ed. (Singapore : Sage Publication, 2014)

16
kualitatif juga dipaparkan oleh Michael Quinn, dimana dijelaskan bahwa penelitian

kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menggunakan kata-kata dalam

mendeskripsikan objek penelitian.26

Penelitian kualitatif ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menjelaskan

mengenai kasus yang akan dibahas dalam penelitian dan bertujuan mendapatkan

deskripsi terhadap variabel dalam pokok masalah melalui interpretasi yang tepat,

yaitu interpretasi berdasarkan konsep dan teori.27 Seperti yang dikatakan oleh

Creswell bahwa penelitian kualitatif mengandalkan data teks dan gambar. 28 Data

yang diambil menggunakan teknik studi pustaka yang berbentuk teks serta data

angka, data pustaka bersifat siap pakai, merupakan data sekunder, serta kondisi data

di perpustakaan tidak dibagi oleh ruang dan waktu.29

Dalam penelitian kualitatif, Creswell menjelaskan beberapa prosedur

penelitian yang perlu dipenuhi baik dari prosedur pengumpulan data maupun

prosedur pengolahan data. Dalam menghimpun data yang akan dijadikan sumber

penelitian, Creswell membatasi sumber tersebut menjadi empat jenis yaitu

observasi, wawancara, dokumen, dan material suara maupun gambar.30

26
Patton Michael Quinn. A Guide To Using Qualitative Research Methodology. (Medecins
Sans Fronteres. 2002) 2
27
H. Abdurrahman & Soejono. Metode Penelitian : Suatu Pemikiran dan Penerapan.
(Jakarta: Rineka Cipta, 2005). 21
28
John W. Creswell. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Approaches –
4 th ed. (Singapore : Sage Publication, 2014)
29
Mestika Zed. Metode Penelitian Kepustakaan. Cetakan Pertama. (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2004) 4-5
30
John W. Creswell. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Approaches –
4 th ed. (Singapore : Sage Publication, 2014) 239-240

17
Dalam penelitian ini, setidaknya menggunakan tiga jenis sumber data yaitu

sumber dokumen yang bersumber dari buku, jurnal, berita, dan laporan resmi yang

dikeluarkan oleh beberapa lembaga. Kemudian, sumber material suara dan gambar

dihimpun dari berita yang tersebar di jejaring internet, dan dokumen-dokumen

resmi.

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui telaah

pustaka (library research). Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan

menggunakan beberapa literatur baik bersumber dari buku, artikel, jurnal, laporan

resmi negara khususnya Indonesia, dan beberapa penelitian terdahulu yang

memiliki relevansi dengan penelitian ini. Literatur yang dimaksud adalah website

Kementrian Luar Negeri Indonesia, Amnesty Internasional, Al-Jazeera dan laporan

resmi Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights

(ohchr.org), selain itu beberapa jurnal, seperti: Journal of Immigrant, Journal of

Human Rights & The Pacific Review serta dokumen-dokumen terkait masalah yang

akan diteliti.

Creswell menjabarkan tahapan apa saja yang dilakukan dalam melakukan

penelitian kualitatif dalam prosedur pengolahan data yang harus dilakukan, dimulai

dari proses menghimpun data-data yang diperlukan, kemudian data-data tersebut

akan dijadikan bahan baca guna memahami permasalahan yang akan diteliti.Setelah

itu, penelitian berlanjut pada proses coding atau penggabungan data-data

18
yang dianggap kuat dan relevan sebagai bahan dalam proses penelitian. Proses

coding didukung proses analisa dan deskripsi permasalahan yang diteliti.31

Prosedur selanjutnya adalah proses akhir yaitu interpretasi sebagai hasil

penelitian dan penarikan kesimpulan dari permasalahan yang diteliti. Hasil dari

interpretasi tersebut dapat menghasilkan jawaban dari permasalahan penelitian,

pesan dari permasalahan yang dibahas, maupun pertanyaan baru terkait

permasalahan yang diteliti.32

Dengan demikian hasil penelitian ini berupa analisa yang didapatkan dengan

melakukan pengoperasian data dengan kerangka teoritis yang menghasilkan analisa

mengenai bagaimana Pemerintahan Joko Widodo mengatasi pengungsi korban

konflik di Rohingya yang ada di Indonesia. Penelitian ini melakukan pembatasan

periode dengan menggunakan periode pertama pada masa pemerintahan

Jokowidodo, Periode tersebut dipilih karena diantara tahun 2014 hingga 2017

terjadi penderitaan besar yang dirasakan oleh Rohingya. Misalnya ditahun 2012-

2014 terjadi konflik komunal antar masyarakat Rakhine beragama Budha dengan

Rohingya, sedangkan ditahun 2016 lalu terjadi peristiwa “Clearance Operation”

atau operasi pembalasan pihak militer Myanmar terhadap serangan kantor polisi

dan sebuah pangkalan militer yang telah diserang oleh kelompok bersenjata

Rohingya yang dianggap sebagai teroris.

Operasi pembalasan militer Myanmar dianggap telah melakukan pelanggaran

terhadap isu kemanusiaan karena adanya aksi pemerkosaan, penyiksaan,

31
John W. Creswell. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Approaches – 4 th.248
32
John W. Creswell. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Approaches – 4 th. 249

19
pembunuhan, dan pembakaran desa sebanyak 1500 rumah. Operasi pembalasan

militer Myanmar kemudian menjadi munculnya kritikan yang kemudian menjadi

sebuah isu internasional saat ini. Pembatasan penelitian dilakukan untuk

menghindari adanya pelebaran pokok masalah agar penelitian ini lebih terarah dan

memudahkan pembatasan sehingga tujuan penelitian akan tercapai.

Skripsi ini akan berfokus pada kebijakan luar negeri Indonesia pada

pengungsi etnis Rohingya yang ada di Indonesia, lalu bagaimana Indonesia

melakukan pendekatan melalui cara negosiasi dan mediasi kepada para pihak yang

terlibat. Skripsi ini juga akan menjelaskan tentang mengapa Indonesia dapat

menerima pengungsi dari Rohingya walaupun Indonesia tidak meratifikasi

perjanjian Internasional tentang pengungsi. Skripsi ini di harapkan dapat

menjelaskan tentang apa saja upaya yang di lakukan Indonesia dalam penyelesaian

Konflik serta kebijakan apa yang dikeluarkan Jokowi dodo sebagai pemerintah

Indonesia pada tahun 2014-2019 dan bagaimana hasilnya.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, yaitu sebagai

berikut: BAB 1: PENDAHULUAN Bab ini berisi pernyataan masalah yang

berkaitan dengan sejarah masalah dan yang menjadi latar belakang kebijakan yang

diambil Indonesia pada penyelesaian konflik etnis Rohingya. Bab ini dimaksudkan

untuk memperjelas penelitian dengan memasukkan pertanyaan penelitian, tujuan

dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metodologi penelitian, dan

sistematika penulisan dengan tujuan untuk memperjelas aspek penelitian dan tujuan

penelitian ini.

20
BAB II: Konflik yang terjadi Antar Etnis di Myanmar. Pada bab ini membahas

tentang sejarah bagaimana terjadinya Konflik antar etnis di Myanmar secara

mendalam, lalu faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya konflik antar etnis

tersebut serta bab ini juga membahas pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia

apa saja yang dilakukan oleh Myanmar terhadap etnis muslim Rohingya.

BAB III: Keterlibatan Indonesia pada konflik etnis di Myanmar pada pemerintahan

sebelumnya. Pada bab ini dijelaskan bagaimana respon pemerintahan Indonesia

sebelumnya yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dalam penyelesaian konflik antar

etnis di Myanmar dan dipaparkan kebijakan-kebijakan luar negeri apa saja yang

diambil oleh beliau, serta Keterlibatan Indonesia dalam Proses Penyelesaian

Konflik di Myanmar.

BAB IV: KEBIJAKAN PEMERINTAHAN JOKO WIDODO TERHADAP


PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS
DI MYANMAR PERIODE 2014-2019, Pada bab ini akan mencoba menjawab
pertanyaan penelitian "Bagaimana Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo
Terhadap Konflik Etnis di Myanmar Periode 2014-2019?" Penulis
menguraikan secara lengkap langkah-langkah yang dilakukan oleh Indonesia untuk
mengatasi refugee dari etnis muslim Rohingya yang berada di Indonesia melalui
kebijakan luar negerinya pada periode 2014-2019.

BAB V: PENUTUP Pada bagian ini, penelitian ini akan memberikan kesimpulan
berupa kesimpulan dari pembahasan bab-bab sebelumnya, serta gagasan tentang
kesimpulan dari keseluruhan penelitian ini menghasilkan saran untuk pembaca dan
peneliti selanjutnya.

21
BAB II

KEBIJAKAN PRESIDEN JOKO WIDODO TERHADAP KONFLIK ETNIS

DI MYANMAR

A. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Merespons Konflik Etnis di

Myanmar

Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di Dunia memiliki

perhatian khusus terhadap kejadian yang menimpa etnis Rohingya yang mayoritas

beragama Islam. Di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),

Indonesia menyatakan sikapnya dan mengeluarkan berbagai kebijakan dalam

merespons konflik antar etnis di Myanmar. Salah satu fokus kebijakan Indonesia

dalam menanggapi konflik etnis di Myanmar adalah upaya dalam menangani

pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh. Permasalahan pengungsi Rohingya di Aceh

merupakan isu yang serius, yang mana pengungsi asal Rohingya pada dasarnya

termasuk ke dalam imigran ilegal, tetapi di sisi lain, pengungsi Rohingya juga harus

mendapatkan perlakuan yang layak di host country setelah mengalami diskriminasi

di negara asalnya.33

33
Hardi Alunaza & M. Kholit Juani, “Kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Sekuritisasi
Migrasi Pengungsi Rohingya di Aceh tahun 2012-2015”, Indonesian Perspective, Vol. 2, No. 1
(2017).

22
Selain itu, Indonesia juga hanya berstatus sebagai negara pengamat dalam

Internasional Organization for Migration (IOM) dan belum meratifikasi perjanjian

terkait pengungsi sehingga tidak bertindak sepenuhnya dalam menangani perihal

pengungsi Rohingya.34

Melihat situasi tersebut, pemerintah Indonesia menyesuaikan peraturanyang

ada terkait dengan pengungsi dalam menyikapi pengungsi Rohingya yang ada di

Aceh. Indonesia memperbaharui Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2013 pada

pasal 206, 221, dan 223, yang mana mengatur tentang pendetensian pengungsiyang

berstatus imigran ilegal dengan jangka waktu hingga 10 tahun. Peraturan tersebut

mengatur bahwa pendetensian pengungsi dapat dikeluarkan dengan melaksanakan

wajib lapor selama dua kali dalam setahun dan membuat laporan kekantor imigrasi

atas status maupun pekerjaan imigran setelah melewati jangka waktu 10 tahun.35

Selain itu, pemerintah Indonesia menyediakan penampungan sementara bagi

pengungsi Rohingya dalam menyesuaikan peraturan yang adaterkait pengungsi.36

Kebijakan lain yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia di masa

kepemimpinan SBY adalah melalui kerja sama yang dilakukan dengan organisasi

internasional untuk memberikan bantuan dan menangani pengungsi Rohingya di

Aceh.37 Indonesia bekerja sama dengan UNHCR dan IOM dalam menangani

pendataan sekaligus penyaluran bantuan bagi pengungsi Rohingya. Selain itu,

34
Karina & Maidah Purwanti, “Kebijakan Nasional Indonesia terhadap Migrasi
Internasional”, Journal of Law and Border Protection, Vol. 3, No. 1 (2021).
35
Alunaza & Juani, “Kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Sekuritisasi Migrasi”.
36
Karina & Purwanti, “Kebijakan Nasional Indonesia terhadap Migrasi Internasional”.
37
Alunaza & Juani, “Kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Sekuritisasi Migrasi”.

23
pemerintah Indonesia juga bekerja sama dengan Organisasi Kerjasama Islam (OKI)

untuk turut serta menyalurkan bantuan terhadap pengungsi dan menawarkan

langkah resolusi konflik terhadap pemerintah Myanmar. 38 Dapat dilihat bahwa di

era kepemimpinan SBY, Indonesia mengajak organisasi internasional untuk

berkolaborasi dalam menangani konflik etnis di Myanmar sekaligus membantu

pengungsi yang berada di Aceh.

Langkah lain yang dilakukan oleh Indonesia di bawah kepemimpinan SBY

adalah dengan mengeluarkan kebijakan dalam upaya penyelesaian konflik di

Myanmar. SBY melakukan pertemuan bilateral dengan presiden Myanmar pada

saat itu, Thein Sein untuk mengupayakan resolusi konflik antar etnis yang terjadi

di Myanmar.39

Pertemuan tersebut menghasilkan mekanisme-mekanisme penyelesaian

konflik yang dapat dilakukan melalui tataran nasional atau kerja sama bilateral.

Tidak hanya itu, Pemerintah Indonesia juga mengirim perwakilannya melalui

Kementerian Luar Negeri untuk mengawasi komitmen dan kinerja pemerintahan

Myanmar dalam menangani isu kekerasan terhadap etnis Rohingya, yang mana

perwakilan Indonesia juga memberikan asistensi sekaligus konsultasi terkait isu

tersebut.40

38
Fatma A. Ardani, Fendy E. Wahyudi, & Hermini Susetianingsih, “Kebijakan Indonesia
dalam Membantu Penyelesaian Konflik antara Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di Myanmar (Studi
Karakter Kepribadian Susilo Bambang Yudhoyono), Journal International Relations Universitas
Diponegoro, Vol. 1, No. 2 (2015).
39
Fatma A. Ardani, Fendy E. Wahyudi, & Hermini Susetianingsih, “Kebijakan Indonesia
dalam Membantu Penyelesaian Konflik antara Etnis Rohingya dan Etnis Rakhine di Myanmar (Studi
Karakter Kepribadian Susilo Bambang Yudhoyono).
40
Alunaza & Juani, “Kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Sekuritisasi Migrasi”.

24
Selain itu, pemerintah Indonesia melalui SBY menyatakan sikapnya atas isu

konflik etnis di Myanmar dengan menyebutkan bahwa pemerintah Indonesia

berkomitmen dalam melaksanakan berbagai upaya baik melalui diplomasi maupun

langkah lain untuk menyelesaikan isu kemanusiaan yang dialami oleh etnis

Rohingya.41

Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa Indonesia juga menggunakan jalur

diplomasi untuk menyelesaikan konflik antar etnis dan diskriminasi yang dialami

oleh Rohingya di Myanmar.

B. Keterlibatan Indonesia dalam Proses Penyelesaian Konflik di Myanmar

Sebagai salah satu negara besar di ASEAN, Indonesia memiliki keinginan

untuk menjaga stabilitas regional Asia Tenggara dari adanya ancaman-ancaman

yang ada. Selain itu, Indonesia juga bertekad untuk menjaga keamanan nasional

yang dapat berdampak positif bagi masyarakatnya. Salah satu upaya Indonesia

dalam menjaga keamanan regional adalah melalui keterlibatannya dalam upaya

penyelesaian konflik antar etnis di Myanmar.

Indonesia melibatkan negara-negara anggota ASEAN dan komunitas

internasional agar mengangkat isu yang terjadi di Myanmar. Hal ini dibuktikan

dengan posisi Indonesia yang mendorong ASEAN untuk mengadakan forum yang

berfokus dalam membahas konflik antar etnis di Myanmar dan pengungsi

Rohingya. Langkah tersebut dilakukan agar demi menjaga stabilitas keamanan

41
Ardani, Wahyudi, & Susetianingsih, “Kebijakan Indonesia dalam Membantu
Penyelesaian”.
25
nasional dari ancaman keamanan kawasan sekaligus mendorong kerja sama yang

efektif dalam menyelesaikan konflik.42

Indonesia di bawah pemerintahan SBY menggunakan tiga jalur diplomasi

yang ditempuh untuk mengupayakan penyelesaian konflik antar etnis di Myanmar.

Jalur pertama adalah melalui pemerintah sebagai aktor pencipta dan penjaga

perdamaian. Melalui jalur tersebut, pemerintah Indonesia melakukan diplomasi

dengan pemerintah Myanmar dalam menyelesaikan konflik antar etnis yang terjadi

di Rakhine.43 Langkah diplomasi melalui jalur pemerintah dibuktikan dengan surat

terbuka yang dikirimkan oleh SBY terhadap Thein Sein yang menyatakan bahwa

Indonesia menerima pengungsi Rohingya di Aceh dan memberikan bantuan

kemanusiaan. Tidak hanya itu, Indonesia juga menawarkan asistensi bagi

pemerintah Myanmar untuk menangani isu pengungsi Rohingya.44 Pemerintah

Indonesia juga mendorong keterlibatan aktif Kementerian Luar Negeri untuk

bekerja sama dengan Kementerian Luar Negeri Myanmar dalam berkolaborasi

menangani isu konflik antar etnis di Myanmar. 45 Dapat dilihat bahwa pemerintah

Indonesia di bawah SBY telah mengupayakan pendekatan government-to-

government untuk menangani isu konflik antar etnis di Myanmar.

Jalur diplomasi kedua yang digunakan pemerintah Indonesia dalam

menyelesaikan konflik antar etnis yang terjadi di Myanmar adalah melalui aktor

42
Alunaza & Juani, “Kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Sekuritisasi Migrasi”.
43
Rio Sundari, Rendi Prayuda, & Dian V. Sary, “Upaya Diplomasi Pemerintah Indonesia
dalam Mediasi Konflik Kemanusiaan di Myanmar”, Jurnal Niara, Vol. 14, No. 1 (2021).
44
Inda M. Permata, Nadya Hijrah D., & Anita A. Sinulingga, “Humanitarian Diplomacy:
Indonesia’s Response Toward Rohingya Humanitarian Crisis”, Journal of Diplomacy and
International Studies, Vol. 2, No. 1 (2019).
45
Ardani, Wahyudi, & Susetianingsih, “Kebijakan Indonesia dalam Membantu
Penyelesaian”.

26
non-negara atau organisasi sebagai pencipta perdamaian. Aktor non-negara

dianggap dapat membantu upaya resolusi konflik dengan meningkatkan kolaborasi

antar aktor dengan mengeksplor solusi secara netral.46 Melalui jalur tersebut,

pemerintah Indonesia mendorong keterlibatan organisasi internasional dalam

membantu upaya resolusi konflik antar etnis di Myanmar.

Pada dasarnya, Indonesia mengajak OKI untuk memberikan bantuan

kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya di Aceh sekaligus membantu penyelesaian

konflik.47 Di tahun 2012 OKI melakukan kunjungan ke Myanmar dan memberikan

bantuan tempat tinggal sebanyak 800 unit untuk masyarakat etnis Rohingya yang

terdampak konflik.48

Pemerintah Indonesia juga mendorong ASEAN untuk bersikap serius dalam

menyelesaikan permasalahan yang terjadi di Myanmar. Dorongan dari pemerintah

Indonesia terhadap ASEAN membuahkan hasil, yang mana pada Konferensi

Tingkat Tinggi ASEAN Ke-14 pada tahun 2009, negara anggota ASEAN

mengangkat isu Rohingya dalam konferensi tersebut. Pembahasan yang terjadi di

dalam konferensi tersebut menghasilkan kesepakatan bahwa isu pengungsi

Rohingya ditangani melalui mekanisme yang disebut sebagai “Bali Process” yang

melibatkan negara asal pengungsi, negara tujuan pengungsi, dan negara transit. 49

Hal ini menunjukkan besarnya peran Indonesia yang dominan dalam menangani

krisis kemanusiaan terhadap etnis Rohingya di Myanmar.

46
Sundari, Prayuda, & Sary, “Upaya Diplomasi Pemerintah Indonesia”.
47
Ardani, Wahyudi, & Susetianingsih, “Kebijakan Indonesia dalam Membantu
Penyelesaian”
48
Permata, Hijrah, & Sinulingga, “Humanitarian Diplomacy”.
49
Alunaza & Juani, “Kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Sekuritisasi Migrasi”.

27
Tindakan lain yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah melalui

diplomasi kemanusiaan. Pemerintah Indonesia di era kepemimpinan SBY

mendirikan Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) yang menjadi penampungan

sementara bagi pengungsi Rohingya di Aceh hingga mereka kembali ke negara asal

atau berlayar ke negara tujuannya. Melalui Rudenim, pemerintah Indonesia dapat

memberikan tempat penampungan dengan fasilitas yang lebih baik melalui sarana

dan prasarana, ditambah dengan adanya akses pendidikan maupun kesehatan bagi

pengungsi. Tidak hanya itu, pengungsi juga mendapatkan jatah makan tiga kali

sehari. Sementara itu bagi pengungsi yang sudah berkeluarga diberikan kamar

untuk menjaga privasinya selama berada di penampungan.50

Dapat dilihat bahwa walaupun Indonesia belum meratifikasi perjanjian terkait

dengan imigran, tetapi pemerintah memberikan fasilitas yang layak bagi pengungsi.

Bab ini menjelaskan bahwa Indonesia telah terlibat secara aktif dalam upaya

penyelesaian konflik etnis di Myanmar sejak lama, misalnya pada pemerintahan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pada periode tersebut, keterlibatan

Indonesia dapat dilihat dari fokus Indonesia dalam menangani isu pengungsi

Rohingya yang masuk ke Indonesia, salah satunya melalui pembaruan peraturan

pemerintah Indonesia terkait pengungsi. Dalam peraturan tersebut, Indonesia

berkomitmen untuk membantu pengungsi dengan menyediakan barak

penampungan pengungsi, selama pengungsi yang masuk berstatus sebagai

pengungsi legal. Indonesia juga aktif memberikan bantuan humaniter kepada etnis

Rohingya di Myanmar melalui kerja sama dengan organisasi internasional.

50
Alunaza & Juani, “Kebijakan Pemerintah Indonesia melalui Sekuritisasi Migrasi”.

28
Tidak hanya bantuan humaniter, Indonesia juga menawarkan bantuan kepada

pemerintah Myanmar untuk menyelesaikan konflik etnis yang terjadi di negara

tersebut.

29
BAB III

PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS DI MYANMAR

Myanmar sebagai negara yang kental dengan kebudayaan dan kepercayaan agama

Buddha memiliki sejarah panjang sebagai salah satu jajahan pemerintahan kolonialInggris

yang kemudian hingga saat ini berada di bawah rezim junta militer. 51 Panjangnya sejarah

yang dialami oleh Myanmar juga diwarnai dengan krisis dan konflik antar etnis yang

terjadi di Myanmar. Konflik yang terjadi di Myanmar dipicu oleh perselisihan antara etnis

mayoritas bersama pemerintah yang berkuasa melawan etnis minoritas seperti Rohingya.

Besarnya konflik yang terjadi memberikan kerugian besar bagi masyarakat yang

terdampak baik secara materiil dan imateriil. Tidak hanya itu, konflik antar etnis yang

terjadi di Rohingya juga menimbulkan besarnya korban jiwa selama beberapa dekade

terakhir. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui konflik antar etnis yang terjadi di

Myanmar baik darisejarah, faktor, dan pelanggaran yang terjadi dalam konflik tersebut.

A. Latar Belakang Terjadinya Konflik Etnis di Myanmar

Konflik antar etnis yang terjadi di Myanmar memiliki sejarah panjang

sebelumnya. Hal ini memiliki keterkaitan dengan aneksasi Myanmar atau yang

dikenal dengan nama Burma pada saat itu di bawah pemerintahan kolonial Inggris

di abad ke-19. Sebelum memahami sejarah konflik antar etnis yang terjadi di

Myanmar, perlu diketahui sejarah terkait bangsa Rohingya. Etnis Rohingya

51
Jobair Alam, “The current Rohingya Crisis in Myanmar in historical perspective”,
Journal of Muslim Minority Affairs, Vol. 39, No. 1 (2019).
https://doi.org/10.1080/13602004.2019.1575560.

30
bermukim di wilayah utara negara bagian Rakhine dan termasuk sebagai minoritas

diantara 140 etnis lainnya di Myanmar.52 Asal-usul etnis Rohingya di Myanmar

sendiri memiliki berbagai versi. Ada kepercayaan yang menyebutkan bahwa etnis

Rohingya berasal dari pedagang Arab yang terdampar di pulau Ramree dan

diberikan tempat tinggal oleh raja setempat.53 Selain itu, sumber lain menyatakan

bahwa etnis Rohingya berasal dari pedagang Arab yang bermigrasi ke wilayah

Rakhine pada abad ke-8, disusul dengan perdagangan budak yang terjadi di wilayah

tersebut sejak abad ke-15 oleh pedagang Portugis.

Besarnya perdagangan budak di wilayah Burma menyebabkan imigran dan

korban perbudakan yang beragama Islam membuat komunitas diaspora di wilayah

Arakan, ditambah dengan kedatangan bangsa Mogul yang mengungsi ke wilayah

tersebut.54

Kedatangan bangsa Inggris yang menjajah Burma pada tahun 1824 hingga

1885 membuat Inggris mendirikan pemerintahan kolonial di wilayah tersebut.

Pemerintah kolonial Inggris mengeluarkan beberapa kebijakan yang memiliki

dampak jangka panjang terhadap Myanmar. 55 Tidak sedikit yang menyebutkan

bahwa berdirinya pemerintah kolonial Inggris ikut menyebabkan munculnya

konflik antar etnis di Myanmar.56 Beberapa kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintah kolonial Inggris salah satunya adalah membagi wilayah Myanmar yang

52
Md. Salman Sohel, “The Rohingya Crisis in Myanmar: Origin and emergence”, Saudi
Journal of Humanities and Social Sciences, Vol. 2, No. 11 (2017).
https://doi.org/10.21276/sjhss.2017.2.11.1.
53
Haradhan K. Mohajan, “History of Rakhine State and the origin of the Rohingya
Muslims”, The Indonesian Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 2, No. 1 (2018).
54
Sohel, “The Rohingya Crisis in Myanmar”.
55
Alam, “The current Rohingya Crisis in Myanmar”.
56
Rey Ty, “The Rohingya Refugee Crisis: Contexts, problems, and solutions”, SUR 29,
Vol. 16, No. 29 (2019).

31
memperbesar perbedaan antar etnis. Selain itu, Inggris juga membagi wilayah

administratif di Myanmar menjadi dua, yaitu wilayah mayoritas yang berada

langsung di bawah kekuasaan Inggris dan wilayah minoritas pinggiran. Kondisi

tersebut ditambah dengan langkah pemerintah kolonial Inggris yang juga

mengeluarkan kebijakan untuk memindahkan penduduk etnis Bengali termasuk

Rohingya ke wilayah Arakan untuk menjadi buruh tani. Langkah yang diambil oleh

pemerintah kolonial Inggris ini dinilai memicu munculnya klasifikasi rasial di

wilayah Arakan.57

Berakhirnya pendudukan Inggris di Myanmar pada tahun 1948

meninggalkan pembagian peta Burma yang memicu konflik. Peta wilayah Burma

yang digambar oleh pemerintah kolonial Inggris menyebabkan perpecahan di

beberapa negara bagian di Burma, termasuk etnis Rohingya.58

Berdirinya The Union of Burma atau Persatuan Burma sebagai

pemerintahan berdaulat di wilayah Burma hingga tahun 1962 menyebabkan

ketidakpuasan dari beberapa kelompok etnis yang dipicu oleh hilangnya kekuasaan

yang dimiliki oleh kelompok-kelompok tersebut atas wilayah mereka. Hal ini

memicu tindakan diskriminatif dari etnis mayoritas terhadap etnis minoritas.59

Salah satu kebijakan diskriminatif yang dikeluarkan oleh Persatuan Burma adalah

Undang-Undang Kewarganegaraan Persatuan 1948. Peraturan ini mengatur bahwa

beberapa kelompok etnis dapat memiliki kewarganegaraan Persatuan Burma, tetapi

57
Alam, “The current Rohingya Crisis in Myanmar”.
58
Ty, “The Rohingya Refugee Crisis”.
59
Alam, “The current Rohingya Crisis in Myanmar”.

32
tidak mengikutsertakan etnis Rohingya di dalamnya kecuali yang keluarganya

sudah menetap selama dua generasi di wilayah tersebut.60

Berdirinya Republik Sosialis Myanmar pada tahun 1962 setelah kudeta

militer di tahun yang sama menyebabkan adanya upaya penyatuan besar-besaran

untuk kelompok etnis di Myanmar menjadi satu identitas nasional.61

Kebijakan ini memaksa adanya asimilasi bagi seluruh kelompok etnis di

Myanmar, tetapi Rohingya kembali diasingkan dan hanya mendapatkan status

kewarganegaraan asing di Myanmar dengan berstatus menjadi Foreign

Registration Card (FRC). Selain itu, rezim Myanmar di bawah Ne Win juga

mengeluarkan berbagai langkah diskriminatif terhadap etnis minoritas termasuk

Rohingya, salah satunya adalah mencabut beberapa hak politik yang dimiliki oleh

kelompok minoritas.

Etnis Rohingya sendiri juga tidak luput dari berbagai kebijakan

diskriminatif Republik Sosialis Myanmar dengan adanya peraturan yang

mempersulit warga dari Rohingya untuk menjadi pegawai negeri sipil, sementara

yang sudah menjadi pegawai negeri sipil akan dimutasi sehingga tidak tinggal

berdekatan dengan keluarganya. Hal ini diperparah dengan ketentuan bahwa etnis

Rohingya tidak akan diperkenankan untuk masuk ke militer.62

Diskriminasi terkait kewarganegaraan etnis Rohingya kembali terjadi di

dekade 1980-an, yang mana pada tahun 1982, pemerintah junta militer Myanmar

mengeluarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Burma 1982.63 Peraturan ini

60
Ty, “The Rohingya Refugee Crisis”.
61
Sohel, “The Rohingya Crisis in Myanmar”.
62
Alam, “The current Rohingya Crisis in Myanmar”.
63
Alam, “The current Rohingya Crisis in Myanmar”.

33
menyatakan bahwa status kewarganegaraan diberikan bagi mereka yang dapat

membuktikan bahwa keturunannya sudah bermukim di wilayah Burma sebelum

tahun 1823. Hal ini menyulitkan masyarakat etnis Rohingya yang asal muasalnya

sulit ditelusuri karena kurangnya dokumentasi yang membuktikan bahwa keturunan

mereka sudah tinggal di Burma sebeluh tahun 1823.64 Oleh karena itu, peraturan ini

membuat banyak masyarakat etnis Rohingya kehilangan status

kewarganegaraannya dan dinyatakan sebagai imigran ilegal karena tidak diakui

sebagai salah satu kelompok etnis resmi di Myanmar.65 Hilangnya status

kewarganegaraan etnis Rohingya memicu meningkatnya diskriminasi dari etnis

mayoritas dan rezim terhadap warga Rohingya yang melanggar hak asasi manusia.

Selanjutnya pada tahun 1988, dengan berkuasanya State Law and Order

Restoration Council (SLORC) di Myanmar tidak membuat masyarakat Rohingya

diakui. Hingga tahun 1992 sendiri, setidaknya 300 ribu masyarakat etnis Rohingya

mengungsi ke Bangladesh akibat tindakan yang dilakukan oleh militer Myanmar

terhadap mereka atas dasar menumpas pemberontakan dan mencegah pertumbuhan

muslim di negara tersebut.66 Selain itu, di tahun 1990-an, pemerintah Myanmar

mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan masyarakat di negara bagian Rakhine

untuk memiliki ijin sebelum menikah dengan menanggalkan identitas etnis

minoritas seperti Rohingya. Hal ini disebabkan karena pemerintah menganggap

bahwa pertumbuhan penduduk Rohingya terlalu cepat dibandingkan standar yang

64
Sohel, “The Rohingya Crisis in Myanmar”.
65
Mohajan, “History of Rakhine State and the origin of the Rohingya Muslims”.
66
Alam, “The current Rohingya Crisis in Myanmar”.

34
ditetapkan.67 Kondisi tersebut diperparah dengan banyaknya serangan terhadap

masjid dan sekolah etnis Rohingya di awal dekade 2000-an yang memicu eksodus

besar-besaran etnis Rohingya.68

Di era reformasi politik Myanmar, kondisi etnis Rohingya tidak mengalami

perubahan positif. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya angka kekerasan

terhadap etnis Rohingya di Rakhine yang dilakukan oleh kelompok Buddha. Tidak

hanya itu, etnis Rohingya juga menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan

sehingga memicu pengungsian secara besar-besaran. Kondisi ini diperparah dengan

kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Myanmar pada tahun 2015 yang memaksa

etnis Rohingya untuk menikah dengan masyarakat Buddha di Rakhine. Di sisi lain,

pelanggaran hak asasi manusia bagi etnis Rohingya menjadi lebih parah setelah

pihak militer Myanmar melakukan genosida terhadap etnis Rohingya sebagai

balasan atas tindakan yang dilakukan oleh Arakan Rohingya Salvation Army

(ARSA).69

Oleh karena itu, ratusan ribu masyarakat Rohingya memilih untuk

mengungsi ke negara lain.

B. Faktor Penyebab Konflik Di Rakhine

Melihat sejarah konflik etnis yang terjadi di Rakhine dan diskriminasi yang

dialami oleh warga Rohingya, ada beberapa hal yang memicu konflik tersebut tetap

ada hingga saat ini. Salah satu penyebab utama dari diskriminasi dan kekerasan

yang dialami oleh etnis Rohingya adalah kekhawatiran dari kelompok etnis

67
Mohajan, “History of Rakhine State and the origin of the Rohingya Muslims”.
68
Alam, “The current Rohingya Crisis in Myanmar”.
69
Alam, “The current Rohingya Crisis in Myanmar”.

35
beragama Buddha akan penyebaran Islam di Myanmar. Myanmar sebagai negara

yang mayoritas beragama Buddha memiliki keterikatan budaya dengan

kepercayaan tersebut. Oleh karena itu, raja-raja yang berkuasa di wilayah Burma

mayoritas beragama Buddha sebelum dijajah oleh Inggris. 70 Selain itu, pedagang

Arab yang bermukim di Rakhine juga bertindak menjadi misionaris sehingga

menikahi masyarakat lokal sekaligus membuat mereka masuk ke agama Islam. Hal

ini memicu adanya gesekan antar etnis.71

Dari fakta tersebut, dapat dilihat bahwa perkembangan Islam di Rakhine

menjadi salah satu pemicu utama atas konflik yang terjadi di Myanmar, karena

kelompok ekstrimis Buddha menganggap kehadiran imigran-imigran etnis

Rohingya merupakan salah satu faktor yang dapat mengganggu pemeluk agama

Buddha di negara tersebut.

Faktor lain yang menyebabkan konflik etnis yang terjadi di Myanmar adalah

gerakan ultranasionalis di negara tersebut. Gerakan ultranasionalis menjadi salah

satu penggerak aksi diskriminasi terhadap etnis Rohingya. Pada dasarnya, tidak

sedikit kelompok masyarakat di Rohingya yang memiliki angkatan bersenjatanya

sendiri karena mereka menganggap bahwa etnis mereka merupakan entitas yang

berdiri sendiri.

Hal tersebut juga yang memicu besarnya diskriminasi terhadap etnis

Rohingya karena kelompok ultranasionalis Buddha memiliki sentimen yang

mengakar sejak turun temurun dan khawatir akan eksistensi etnis Rohingya yang

70
Sohel, “The Rohingya Crisis in Myanmar”.
71
Ty, “The Rohingya Refugee Crisis”.

36
dapat mengancam etnis lainnya di Myanmar.72 Tidak hanya itu, militer dan

pemerintah Myanmar juga mendukung gerakan ultranasionalis Buddha yang

melakukan diskriminasi terhadap etnis Rohingya. Dukungan tersebut dilakukan

sebagai bentuk upaya pemerintah Myanmar yang menginginkan adanya satu

identitas nasional di negara tersebut.73

Munculnya Gerakan 969 di Myanmar adalah salah satu bukti dari

menguatnya gerakan ultranasionalis yang memicu konflik antar etnis. Kelompok

ini merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk menjaga nilai-nilai tradisional

Buddha di Myanmar. Gerakan ekstrimis ini menyebar di penjuru Myanmar dan

mampu menarik simpati masyarakat. Ashin Wirathu selaku pendiri gerakan ini

percaya bahwa pertumbuhan etnis Rohingya dapat mengancam populasi pemeluk

agama Buddha di Myanmar sehingga Gerakan 969 perlu mencegah pertumbuhan

tersebut.74

Pengaruh kolonialisme juga menjadi salah satu faktor yang memicu

tumbuhnya konflik antar etnis di Myanmar. Pemerintah kolonial Inggris setelah

menguasai Burma membuat peta wilayah Myanmar tanpa melihat sejarah dan etnis

yang bermukim di area tersebut. Pada awalnya, etnis Rohingya tidak setuju bahwa

mereka termasuk sebagai bagian dari Myanmar dan ingin menyatukan diri dengan

Bangladesh. Tidak hanya itu, pada awal kemerdekaan Myanmar juga dapat dilihat

bahwa sebagian masyarakat etnis Rohingya berpikir bahwa mereka adalah negara

independen karena tidak memiliki keterikatan dengan etnis mayoritas Burma.75

72
Mohajan, “History of Rakhine State and the origin of the Rohingya Muslims”.
73
Sohel, “The Rohingya Crisis in Myanmar”.
74
Mohajan, “History of Rakhine State and the origin of the Rohingya Muslims”.
75
Ty, “The Rohingya Refugee Crisis”.

37
Selain itu pada masa Perang Dunia II, etnis-etnis yang berada di wilayah Burma

terpecah menjadi dua kubu. Etnis mayoritas Burma memihak terhadap Jepang yang

mulai datang ke wilayah tersebut, sementara etnis minoritas seperti Rohingya,

Karen, dan Kachin memihak pihak Inggris. Perpecahan tersebut juga diakibatkan

oleh pemaksaan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Inggris yang memisahkan

etnis Burma dengan etnis lainnya.76

Di era modern, konflik etnis di Myanmar dipicu oleh tindakan ARSA yang

menyerang kantor polisi pada tahun 2017 sehingga menyebabkan jatuhnya korban

jiwa bagi angkatan bersenjata dan polisi di wilayah Rakhine. Tindakan tersebut

memicu amarah dari angkatan bersenjata Myanmar sehingga mereka melakukan

serangan balasan dengan menyerang pemukiman warga Rohingya dan melakukan

pembunuhan massal. Hal ini diperparah dengan dukungan dari kelompok

ultranasionalis yang turut serta membalas serangan ARSA dengan melakukan

diskriminasi terhadap etnis Rohingya sehingga menyebabkan jatuhnya korban jiwa

dan ratusan ribu orang harus mengungsi dari tempat tinggalnya.77

Oleh karena itu, konflik yang terjadi di Myanmar selalu terjadi karena

berbagai hal ditambah dukungan dari pemerintah dan kelompok masyarakat

mayoritas atas diskriminasi terhadap Rohingya.

C. Tindakan Pelanggaran yang Dilakukan Terhadap Etnis Rohingya

Sejarah panjang atas konflik yang terjadi di Myanmar menimbulkan

berbagai dampak akibat berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh pihak

76
Mohajan, “History of Rakhine State and the origin of the Rohingya Muslims”.
77
Ty, “The Rohingya Refugee Crisis”.

38
pemerintah Myanmar maupun kelompok etnis mayoritas terhadap Rohingya. PBB

mencatat bahwa di tahun 2012, setidaknya sekitar 32 ribu masyarakat etnis

Rohingya mengungsi di pengungsian Cox’s Bazaar di Bangladesh, sementara itu

sekitar 300 hingga 500 ribu pengungsi tidak terdaftar mengungsi di berbagai

wilayah lainnya dengan kondisi yang kurang layak.78

Di tahun 2017 sendiri, setidaknya 55 pemukiman etnis Rohingya

dihancurkan untuk menghilangkan bukti kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah

Myanmar, menyebabkan sekitar 500 ribu masyarakat Rohingya mengungsi akibat

konflik antara ARSA dengan militer Myanmar.79 Angka tersebut menambah jumlah

pengungsi Rohingya yang mencapai lebih dari 5,8 juta hingga tahun 2017.80

Pelanggaran lain terhadap etnis Rohingya adalah penyiksaan yangdilakukan

oleh militer Myanmar dan kelompok ultranasionalis. Militer Myanmar sejak tahun

1962 telah melakukan operasi pembersihan ras dan genosida terhadap etnis

Rohingya, yang mana terjadi beberapa kali seperti hingga tahun 2017. Tindakan

genosida tersebut menyebabkan jutaan masyarakat etnis Rohingya meninggal dan

ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi.81

Tidak hanya itu, militer Myanmar dan kelompok ultranasionalis juga

menyebarkan ujaran kebencian terhadap masyarakat Rohingya yang beragama

muslim untuk menghancurkan mata pencaharian mereka. Hal ini diperparah dengan

tindakan pemerkosaan terhadap perempuan Rohingya dan penyiksaan anak oleh

78
Sohel, “The Rohingya Crisis in Myanmar”.
79
Ty, “The Rohingya Refugee Crisis”.
80
Sohel, “The Rohingya Crisis in Myanmar”.
81
Sohel, “The Rohingya Crisis in Myanmar”.

39
militer Myanmar.82 Pemerintah Myanmar juga melakukan blokade dan

menghalangi bantuan kemanusiaan yang dikirim kepada masyarakat Rohingya

sehingga mereka tidak mendapatkan akses kehidupan yang layak. 83 Dapat dilihat

bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah beserta militer Myanmar bersama

kelompok ultranasionalis telah melanggar hak asasi manusia warga Rohingya.

D. Dinamika Penyelesaian Konflik Etnis Di Rakhine Tahun 2014-2019


ASEAN sebagai organisasi regional di Asia Tenggara tidak banyak

berkontribusi dalam upaya penyelesaian konflik etnis di Myanmar karena prinsip

non-intervensi yang dianut oleh ASEAN. ASEAN tidak pernah mengadakan

pertemuan resmi yang secara khusus membahas tentang isu Rohingya.

Pertemuan resmi ASEAN terkait etnis Rohingya hanya terbatas pada

bagaimana menangani gelombang pengungsi dari Rohingya yang memasuki

wilayah Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Myanmar

sendiri juga tidak pernah menginisiasi dialog terkait konflik etnis yang terjadi di

Rakhine, menunjukkan posisi politiknya dalam isu tersebut, yakni mendukung

diskriminasi etnis yang terjadi terhadap etnis Rohingya. 84

Walaupun tidak ada respons dari ASEAN secara institusional, tetapi

beberapa negara mengimplementasikan kebijakan unilateral terkait konflik etnis

yang terjadi di Myanmar. Misalnya Malaysia, yang secara keras mengecam sikap

diskriminatif pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya. Perdana Menteri

82
Ty, “The Rohingya Refugee Crisis”.
83
Mohajan, “History of Rakhine State and the origin of the Rohingya Muslims”.
84
Irawan Jati, “Comparative Study of the Roles of ASEAN and the Organization of Islamic
Cooperation in Responding to the Rohingya Crisis”, IKAT: The International Journal of Southeast
Asian Studies, Vol. 1, No. 1 (2017), 22.

40
Najib Razak, dalam kampanyenya pada tahun 2016, menyatakan bahwa kasus

kekerasan yang terjadi terhadap etnis Rohingya merupakan tanggung jawab

regional sehingga Malaysia meminta ASEAN untuk terlibat dalam upaya

penyelesaian konflik dan ikut memberikan bantuan humaniter bagi penduduk

Rakhine yang terdampak oleh konflik etnis tersebut.

Adanya tekanan regional dan internasional selanjutnya mendorong

Myanmar untuk mengurangi tensi yang ada, salah satunya dengan mengadakan

pertemuan tidak resmi bagi negara-negara anggota ASEAN di Yangon pada

Desember 2016 untuk membahas kekhawatiran internasional terkait konflik etnis

di Rakhine.85

Pada Desember 2019, UN General Assembly (UNGA) menyetujui resolusi

yang mengecam tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan terhadap

komunitas muslim Rohingya dan kelompok minoritas lainnya di Myanmar. Dalam

resolusi tersebut, UNGA juga menuntut Myanmar untuk menghentikan segala

tindak kebencian terhadap komunitas tertentu dan beralih untuk melindungi semua

komunitas yang ada tanpa terkecuali.

Walaupun resolusi tersebut tidak mengikat secara hukum, disetujuinya

resolusi tersebut oleh 134 dari 193 negara PBB menunjukkan ketidaksetujuan

sebagian besar negara terhadap aksi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh

Myanmar. 86

85
Richa Shivakoti, “ASEAN’s role in the Rohingya refugee crisis”, Forced Migration
Review (2017),
https://www.fmreview.org/sites/fmr/files/FMRdownloads/en/latinamerica-caribbean/shivakoti.pdf.
86
BBC, Myanmar Rohingya: UN condemns human rights abuses, 28 Desember 2019,
diakses 11 Desember 2022, https://www.bbc.com/news/world-asia-50931565.

41
Menanggapi resolusi tersebut, pemerintah Myanmar melalui Duta Besarnya

untuk PBB Hao Do Suan menyatakan bahwa resolusi itu merupakan standar ganda

yang ditujukan untuk memberikan tekanan politik terhadap Myanmar dan tidak

memberikan solusi apapun terhadap konflik yang benar-benar terjadi di Rakhine.

Kanselir Aung San Suu Kyi juga memberikan pendapat yang senada dengan

menolak resolusi yang dikeluarkan oleh PBB, menyatakan bahwa tindakan

Myanmar terhadap Rohingya ditujukan untuk mengatasi kelompok pemberontak

yang mengganggu keamanan domestik sehingga pemerintah mengerahkan pasukan

militer di wilayah-wilayah tertentu. Lebih lanjut, Aung San Suu Kyi juga

menyatakan bahwa Myanmar melarang adanya penggunaan kekerasan yang

berlebihan dan pelaku kekerasan akan ditindaklanjuti dengan serius.87

Tidak hanya dalam lingkup institusi, beberapa negara juga memiliki

kebijakan unilateral terkait Myanmar. Misalnya Amerika Serikat yang memberikan

sanksi ekonomi terhadap Myanmar dan mengecam aktivitas pelanggaran HAM

yang dilakukan oleh negara tersebut. Amerika Serikat menjadi salah satu negara

yang paling vokal menyuarakan penentangannya terhadap tindak kekerasan yang

terjadi terhadap etnis Rohingya.

Di samping itu, Amerika Serikat juga mengajak negara-negara mitranya

untuk menerapkan kebijakan yang serupa dengan tujuan untuk mempertahankan

demokrasi di Myanmar.88

87
BBC, Myanmar Rohingya: UN condemns human rights abuses, 28 Desember 2019,
diakses 11 Desember 2022, https://www.bbc.com/news/world-asia-50931565.
88
Vy Nguyen, The Rohingya Crisis in Myanmar: Rethinking International Engagement
Toward Better Humanitarian Protection (Austin: University of Texas, 2018), 58.

42
Walaupun demikian, di sisi lain, negara-negara Eropa mengambil kebijakan

yang seimbang, yang mana negara tetap melanjutkan kerja sama perdagangan,

tetapi membatasi kerja sama tersebut dalam lingkup ekonomi. Sebagai contoh,

Inggris menyatakan akan meneruskan kerja sama perdagangan yang berdampak

positif bagi pembangunan di Myanmar. Akan tetapi, kebijakan tersebut dinilai

terlalu riskan, karena sulit untuk menentukan apakah perdagangan yang terjadi

menguntungkan bagi pembangunan masyarakat sipil atau justru bagi kelanjutan

rezim Myanmar yang represif.89

E. Hambatan Penyelesaian Konflik Etnis di Myanmar 2014-2019

Dalam upaya penyelesaian konflik etnis di Myanmar, salah satu hambatan

utama muncul dari Myanmar, dimana Myanmar memandang konsep HAM dengan

kacamata yang berbeda dengan konsep HAM yang dimiliki oleh Barat. Secara

historis, pemerintahan di Myanmar dipimpin oleh raja yang wewenangnya

dianggap sebagai wewenang istimewa yang berkaitan dengan Tuhan, dimana

legitimasi pemimpinnya diperoleh dari agama Buddha dibanding dari masyarakat

yang dipimpinnya.

Konsepsi tersebut berpengaruh terhadap bagaimana Myanmar

mengimplementasikan hukum negaranya, dimana topik-topik terkait kesehatan,

pendidikan, dan pertahanan hidup tidak termasuk ke dalam sistem keadilan yang

89
Vy Nguyen, The Rohingya Crisis in Myanmar: Rethinking International Engagement
Toward Better Humanitarian Protection (Austin: University of Texas, 2018), 58.

43
ada di Myanmar. Akibatnya, Myanmar pun memiliki konsep keadilan dan HAM

yang cenderung terbatas dan berbeda dengan negara lain.90

Berkaitan dengan sudut pandang yang berbeda tentang konsep HAM dan

keadilan, masyarakat internasional juga gagal dalam memandang bagaimana

Myanmar mendefinisikan hukum dalam isu lainnya, misalnya penerapan kebijakan

yang tegas dan otoriter untuk menjaga keamanan nasional. Sebagai contoh, pada

kasus terjadinya kekerasan akibat konflik etnis, Presiden Thein Sein memberikan

izin kepada pasukan militer Myanmar untuk melakukan hal apapun demi menjaga

perdamaian, yang dalam hal ini berarti menghilangkan faktor yang dinilai sebagai

sumber konflik, termasuk di antaranya adalah perbedaan etnis. 91

Selain itu, dalam hukum Myanmar, perlindungan hukum dan militer hanya

diberikan kepada warga negara Myanmar, sedangkan etnis Rohingya tidak

terlegitimasi posisinya secara politik di Myanmar. Hal itu membuat etnis Rohingya

tidak mendapatkan perlindungan dari pemerintah Myanmar. Dengan kata lain,

hukum di Myanmar justru menekankan pada pemisahan antara siapa yang berhak

dan tidak berhak untuk mendapatkan perlindungan dibandingkan dengan

membicarakan tentang HAM itu sendiri dalam kasus hubungan antaretnis.92

Di sisi lain, komunitas internasional tidak mempertimbangkan variabel

karakter politik internal Myanmar dalam membahas tentang konflik etnis di

90
Vy Nguyen, The Rohingya Crisis in Myanmar: Rethinking International Engagement
Toward Better Humanitarian Protection (Austin: University of Texas, 2018), 72.
91
Nick Cheesman, “What does the rule of law have to do with democratization (in
Myanmar)?”, South East Asia Research, Vol. 22, No. 2 (2014), 228.
92
Vy Nguyen, The Rohingya Crisis in Myanmar: Rethinking International Engagement
Toward Better Humanitarian Protection (Austin: University of Texas, 2018), 73.

44
Rakhine. Mereka terlalu fokus pada upaya repatriasi pengungsi dan meminta

pertanggungjawaban dari pasukan militer yang terlibat dalam tindak kekerasan

terhadap etnis Rohingya, dibanding dengan memanndang permasalahan

institusional yang ada di Myanmar.93

Hal itu membuat komunitas internasional tidak bisa melakukan intervensi

apapun selama Myanmar menyatakan bahwa tindakan represif tersebut dilakukan

dengan tujuan untuk memaksimalkan hukum nasional sehingga kedaulatan

Myanmar harus tetap dihormati. Dengan kata lain, campur tangan internasional

dinilai tidak perlu untuk dilakukan dari sudut pandang Myanmar.

Hambatan juga muncul dari ASEAN dengan prinsip non-intervensi yang

dianutnya. Prinsip tersebut digunakan dalam struktur institusional yang selanjutnya

membatasi wewenang ASEAN untuk memberikan hukuman bagi negara

anggotanya. Dengan demikian, penggunaan tindakan koersif atau kebijakan lain

yang dinilai mengintervensi permasalahan domestik negara lain cenderung tidak

dilakukan. Hal tersebut pula yang dilakukan terhadap Myanmar, dimana ASEAN

tidak memiliki posisi yang tegas terhadap Myanmar dan memilih untuk terlibat

dalam penyelesaian konflik melalui dialog dan negosiasi.94

Upaya penyelesaian konflik etnis di Myanmar mendapatkan hambatan dari

beberapa negara yang memiliki kepentingan geopolitik di kawasan tersebut.

Sebagai contoh adalah Tiongkok yang dianggap sebagai kontributor utama dalam

93
Vy Nguyen, The Rohingya Crisis in Myanmar: Rethinking International Engagement
Toward Better Humanitarian Protection (Austin: University of Texas, 2018), 74.
94
Vy Nguyen, The Rohingya Crisis in Myanmar: Rethinking International Engagement
Toward Better Humanitarian Protection (Austin: University of Texas, 2018), 77.

45
bertahannya rezim Myanmar saat ini melalui pemberian bantuan militer ataupun

ekonomi. Tiongkok telah memberikan investasi dalam jumlah besar ke Myanmar

di bidang perdagangan, khususnya perdagangan persenjataan ke Tatmadaw.

Tiongkok juga mendapatkan akses militer ke pelabuhan di Myanmar yang terkait

dengan kepentingan Tiongkok di Samudra Hindia. Karena itu, Tiongkok kerap

mengambil kebijakan yang mendukung posisi pemerintah Myanmar, termasuk

dalam tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Myanmar. 95

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dilihat bahwa konflik antara etnis

Myanmar dengan etnis Rohingya telah terjadi sejak dibentuknya Republik Sosialis

Myanmar pada tahun 1962 yang menuntut adanya pembentukan satu identitas

nasional di Myanmar. Namun, identitas nasional tersebut dinilai hanya merangkul

etnis asli Myanmar, yang selanjutnya membuat kelompok etnis Rohingya

termarjinalkan, mulai dari tidak adanya pengakuan terhadap status

kewarganegaraan Rohingya di Myanmar hingga tindakan diskriminatif dalam

berbagai aspek kehidupan. Diskriminasi terhadap etnis Rohingya diperkirakan

terjadi karena etnis Rohingya memiliki latar belakang agama Islam, sedangkan

Myanmar merupakan negara yang didominasi oleh agama Buddha.

Perbedaan tersebut membuat komunitas Buddha khawatir jika terjadi

penyebaran agama Islam di Myanmar. Hal itu diperburuk dengan gerakan

ultranasionalis dalam komunitas etnis Rohingya yang dikhawatirkan akan

mengancam keamanan etnis lain. Kondisi itu mendorong pemerintah Myanmar

95
Michael Green dan Derek Mitchell, “Asia’s Forgotten Crisis: A New Approach to Burma”,
Foreign Affairs, Vol. 86, No. 6 (2007), 152-154.

46
untuk melakukan tindakan represif terhadap etnis Rohingya, dimana tindakan

tersebut kadang termasuk ke dalam pelanggaran HAM tingkat berat, seperti

genosida.

Kasus pelanggaran HAM terhadap etnis Rohingya di Myanmar mendorong

berbagai pihak untuk ikut membantu dalam penyelesaian konflik etnis di Myanmar

tersebut. Umumnya, penyelesaian konflik dilakukan melalui kebijakan-kebijakan

PBB sebagai institusi internasional, karena ASEAN sebagai organisasi regional

dinilai tidak efektif dalam penyelesaian permasalahan tersebut. Selain itu, beberapa

negara secara unilateral juga ikut terlibat melalui pemberian sanksi terhadap

Myanmar yang diharapkan dapat mendorong pemerintah untuk menghentikan

tindak represifnya terhadap etnis Rohingya.

Sayangnya, berbagai upaya penyelesaian tersebut mengalami hambatan yang

berasal dari internal Myanmar sendiri, ataupun dari faktor eksternal. Faktor internal

berkaitan dengan adanya perbedaan dalam bagaimana Myanmar memandang HAM

dan keadilan yang selanjutnya seolah menjustifikasi sikap represif Myanmar

terhadap Rohingya. Hal itu diperburuk dengan status kewarganegaraan Rohingya

yang tidak jelas di Myanmar, membuat mereka tidak mendapatkan perlindungan

hukum dan militer dari pemerintah. Dari segi faktor eksternal, hambatan muncul

dari negara-negara yang memiliki kepentingan strategis di Myanmar sehingga

mereka memberikan bantuan kepada pemerintah Myanmar. Bantuan tersebut secara

tidak langsung ikut berkontribusi dalam bertahannya pemerintahan Myanmar yang

diskriminatif. Akibatnya, upaya penyelesaian konflik etnis di Myanmar pun sulit

untuk mencapai solusi yang efektif.

47
BAB IV

KEBIJAKAN PEMERINTAHAN JOKO WIDODO TERHADAP

PENYELESAIAN KONFLIK ETNIS DI MYANMAR PERIODE 2014-2019

Pada bab pembahasan ini akan menganalisis Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo

terhadap Pengungsi Etnis Rohingya Korban Konflik di Myanmar Periode2014-2019 yang

merujuk pada kerangka teoritis yang digunakan yaitu: Teori Kebijakan Luar Negeri,

Konsep Konflik Etnis, dan Konsep Refugee.

A. Kebijakan Pemerintahan Joko Widodo terhadap Konflik Etnis di

Myanmar Periode Periode 2014-2019

A.1 Orientasi Kebijakan Luar Negeri Indonesia terhadap Konflik Etnis di

Myanmar Periode 2014-2019

Orientasi kebijakan luar negeri Indonesia bersumber dari kepentingan

nasional Indonesia pula. Kepentingan nasional Indonesia berperan besar dalam

keputusan Indonesia untuk terlibat dalam upaya penyelesaian konflik etnis

Rohingya. Presiden Indonesia Joko Widodo menyatakan bahwa keterlibatan

Indonesia dalam isu Rohingya didasari oleh keinginan untuk mencapai stabilitas

dan perdamaian di Rakhine sehingga semua orang, termasuk muslim, dapat hidup

dengan tenang. Untuk itu, Presiden Joko Widodo menunjukkan komitmennya untuk

terus membantu pemerintah Myanmar dalam menyelesaikan krisis humaniter

Rohingya. Di samping itu, Indonesia juga berkomitmen untuk membantu proses

repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar.96

96
Marguerite Afra Sapiie, “Indonesia wants end to Rohingya crisis, Jokowi tells Myint”,
The Jakarta Post, 28 April 2018, diakses 26 Oktober 2022,

48
Di sisi lain, Indonesia juga menekankan pada prinsip bebas-aktif yang selama

ini digunakan dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Dalam konsep ‘bebas’,

kebijakan luar negeri Indonesia tidak terbatas pada keberpihakan kepada satu sisi,

tetapi kenetralan Indonesia dalam memandang suatu isu sehingga dalam kasus ini

Indonesia dapat bekerja sama dengan Myanmar dengan tetap mempertimbangkan

hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh etnis Rohingya. Dalam konsep ‘aktif’,

Indonesia ingin menunjukkan peran aktifnya dalam sistem internasional dengan

tetap mempertahankan perdamaian dunia.

Indonesia ingin menunjukkan perannya sebagai pemimpin regional yang

diakui oleh masyarakat internasional, terlebih jika Indonesia berhasil menengahi

permasalahan antara pemerintah Myanmar dengan etnis Rohingya.97 Di samping

itu, Indonesia juga memainkan perannya sebagai pemimpin regional melalui

keberhasilan Indonesia dalam mengangkat isu Rohingnya di forum ASEAN.

Dengan munculnya isu Rohingnya di pertemuan resmi ASEAN, Indonesia dapat

mengajak negara untuk ikut terlibat dalam upaya penyelesaian konflik antaretnis di

Myanmar.98

Dalam lingkup regional, upaya pemerintahan Joko Widodo dalam membantu

penyelesaian konflik antaretnis di Myanmar berpengaruh positif terhadap posisi

Indonesia di Asia Tenggara. Pengaruh Indonesia yang semula dianggap memudar,

kembali muncul salah satunya setelah keterlibatan Indonesia dalam isu Rohingya.

Hal itu karena Indonesia menjadi salah satu negara yang diterima oleh pemerintah

https://www.thejakartapost.com/news/2018/04/28/indonesia-wants-end-to-rohingya-crisis-jokowi-
tells-myint.html.
97
Suwandari & Sugito, “The Strategy of Indonesian Diplomacy Efforts”, 138.
98
Purnama, Dermawan, & Akmaluddin, “Indonesia’s Role towards Myanmar”, 216.

49
Myanmar untuk memberikan bantuan humaniter, padahal Myanmar dianggap

sebagai negara yang cukup tertutup.

Kondisi tersebut berdampak positif pada citra Indonesia, tidak hanya sebagai

negara yang dinilai berpengaruh dalam lingkup regional, tetapi juga sebagai negara

yang dermawan karena mengirimkan banyak bantuan humaniter bagi penduduk

Rakhine. Indonesia juga mampu menunjukkan citranya sebagai negara yang peduli

terhadap perdamaian regional.

Di samping itu, Indonesia juga mampu menciptakan citra positif sebagai

negara yang berhasil dalam membantu penyelesaian isu terkait perbedaan latar

belakang budaya dan agama, terlebih karena Indonesia memiliki karakter budaya

yang beragam.99

Selain terkait prinsip, Indonesia juga memiliki kepentingan di bidang

keamanan. Berlangsungnya konflik antaretnis di Rohingya turut mengganggu

stabilitas Myanmar, yang selanjutnya berdampak pada ketidakstabilan kawasan.

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya pengungsi Rohingya yang bermigrasi ke

negara-negara lain di Asia Tenggara untuk mencari suaka. Masuknya pengungsi

dalam jumlah besar memberikan dampak negatif bagi negara, mulai dari adanya

konflik dengan penduduk lokal hingga besarnya anggaran yang harus disiapkan

oleh negara untuk membantu pengungsi.100 Oleh karena itu, kebijakan luar negeri

Indonesia untuk membantu penyelesaian konflik di Rakhine menjadi salah satu

99
Setiawan dan Hamka, “Role of Indonesian Humanitarian Diplomacy”.
100
Suwandari & Sugito, “The Strategy of Indonesian Diplomacy Efforts”, 139.

50
kepentingan nasional Indonesia untuk mempertahankan stabilitas dari Indonesia

sendiri.

Orientasi merupakan salah satu bagian penting yang terdapat dalam kebijakan

luar negeri menurut James N. Rosenau. Sebagai sekumpulan orientasi, kebijakan

luar negeri Indonesia dalam penyelesaian konflik antaretnis di Myanmar didasari

oleh nilai bebas-aktif yang sejak lama diimplementasikan dalam politik luar negeri

Indonesia. Dalam konsep ‘bebas’, Indonesia berupaya untuk bersikap netral dalam

memandang konflik antaretnis yang terjadi di Myanmar, dimana Indonesia tetap

menghormati posisi pemerintah Myanmar, tetapi juga memperhatikan hak-hak

yang seharusnya didapatkan oleh suku Rohingya di Myanmar. Sedangkan dalam

konsep ‘aktif’, Indonesia berupaya untuk menunjukkan peran aktifnya dalam

perpolitikan kawasan sehingga Indonesia dapat maju sebagai pemimpin regional.

A.2 Komitmen Indonesia terhadap Penyelesaian Konflik Etnis di Myanmar

Periode 2014-2019

Orientasi kebijakan luar negeri yang dimiliki oleh Indonesia selanjutnya

diterjemahkan menjadi komitmen Indonesia dalam menyelesaikan konflik

antaretnis di Myanmar. Hal itu diwujudkan ke dalam berbagai aktivitas luar negeri

yang bertujuan untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan orientasi yang dimiliki

oleh Indonesia, misalnya dengan melakukan negosiasi langsung dengan pemerintah

Myanmar, ataupun memberikan bantuan humaniter kepada etnis Rohingya. Di

samping itu, Indonesia juga berkomitmen untuk menerima pengungsi Rohingya

yang masuk ke wilayah Indonesia.

51
Pada akhir tahun 2016, pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan

Presiden Nomor 125 terkait Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri. Dalam

peraturan tersebut, pemerintah Indonesia menetapkan berbagai prosedur yang perlu

dilakukan untuk membantu dan mengelola pengungsi dari luar negeri dalam tingkat

nasional. Namun, peraturan tersebut dinilai belum mencakup seluruh permasalahan

yang muncul dalam isu penerimaan pengungsi. Pasalnya, peraturan tersebut hanya

menjelaskan tentang prosedur darurat yang perlu dilakukan oleh pemerintah ketika

menerima pengungsi dari luar negeri, tetapi tidak membahas tentang isu

transmigrasi pengungsi dalam cakupan yang lebih luas.

Komitmen merupakan bagian kedua dalam kebijakan luar negeri yang

merupakan perpanjangan dari orientasi yang dimiliki oleh Indonesia. Komitmen

menunjukkan keinginan Indonesia untuk terlibat dalam upaya penyelesaian konflik

etnis di Myanmar. Komitmen tersebut diwujudkan dengan berbagai aktivitas luar

negeri serta peraturan perundang-undangan yang membahas tentang pengungsi,

sehingga tidak hanya mengarah kepada penyelesaian permasalahan secara langsung

di Myanmar, tetapi juga menyelesaikan permasalahan pengungsi Rohingya yang

masuk ke wilayah negara-negara ASEAN. Komitmen selanjutnya diterjemahkan ke

dalam kebijakan nyata Indonesia, kaitannya dengan penyelesaian konflik etnis di

Myanmar.

A.3 Sikap Pemerintah Joko Widodo terhadap Konflik Etnis di Myanmar

Periode 2014-2019

A.3.1 Hubungan Resmi dengan Pemerintah Myanmar

Hubungan diplomatik antarnegara merupakan salah satu kebijakan luar negeri

yang paling utama untuk dilakukan dalam menghadapi isu tertentu. Begitu pula
52
yang dilakukan oleh Indonesia terhadap Myanmar dalam konflik antaretnis di

Myanmar. Diplomasi resmi Indonesia terhadap pemerintah Myanmar dilihat

sebagai langkah yang penting dalam upaya penyelesaian konflik Rohingya. Hal

tersebut karena Indonesia memiliki hubungan bilateral yang cukup baik dengan

Myanmar sebagai dampak dari dukungan Indonesia terhadap rezim otoriter

Myanmar sebelumnya.101

Selain itu, Indonesia selalu fokus pada kapasitas Myanmar untuk

menyelesaikan permasalahan domestiknya sendiri dibandingkan dengan melakukan

intervensi. Indonesia juga membuka dialog tentang bagaimana pendapat Myanmar

tentang isu yang ada sehingga pemerintah Myanmar dapat lebih memahami solusi

apa yang dapat diambil untuk penyelesaian krisis tersebut.102

Sikap Indonesia terhadap Myanmar membuka kesempatan bagi negosiasi

antara kedua negara tersebut terkait isu Rohingya. Dibandingkan dengan negara

lain yang merespons isu tersebut melalui tekanan, seperti memberikan sanksi atau

kecaman yang seolah menghakimi pemerintah Myanmar, Indonesia justru

menggunakan diplomasi dengan membangun komunikasi, baik melalui

pembicaraan resmi dengan pemerintah Myanmar ataupun melalui pengiriman

bantuan humaniter, sehingga memunculkan Indonesia sebagai negara yang dapat

dipercaya.103

101
Hana Dwi Suwandari & Sugito, “The Strategy of Indonesian Diplomacy Efforts and
National Political Interests in the Ethnic Rohingya Refugee Conflict”, Indonesian Journal of
Economics, Social, and Humanities, 137. https://doi.org/10.31258/ijesh.3.2.131-143.
102
Chandra Purnama, Windy Dermawan, & Ghiyats Akmaluddin, “Indonesia’s Role
towards Myanmar in Assisting to Resolve the Humanitarian Crisis in Rohingya (2014-2018)”,
Central European Journal of International and Security Studies, Vol. 13, No. 4 (2019), 217.
103
Suwandari & Sugito, “The Strategy of Indonesian Diplomacy Efforts”, 137.

53
Kondisi itu membuat Myanmar memiliki kepercayaan terhadap Indonesia

untuk menyelesaikan permasalahan etnis Rohingnya. Ditambah, Myanmar sendiri

tidak percaya terhadap keterlibatan komunitas internasional dalam konflik tersebut.

Oleh karena itu, diplomasi Indonesia terhadap Myanmar dinilai berdampak positif

pada bagaimana Myanmar memposisikan diri dalam isu etnis Rohingya. 104

Hal itu dibuktikan dengan diterimanya Menteri Luar Negeri Indonesia Retno

Marsudi dalam kunjungannya ke Myanmar untuk menemui Aung San Suu Kyi.

Melalui pertemuan tersebut, pemerintah Indonesia secara langsung mengajukan

mekanisme kerja sama terkait wilayah Rakhine kepada pemerintah Myanmar yang

disebut sebagai Formula 4+1. Melalui formulasi tersebut, Indonesia mengajukan

empat kemungkinan solusi yang dapat diambil oleh Myanmar untuk menyelesaikan

konflik antaretnis di Rakhine. Solusi tersebut yakni (1) mengembalikan stabilitas

dan keamanan; (2) memberikan batasan pada aktivitas pemerintah dan

menghilangkan penggunaan kekerasan; (3) melindungi seluruh penduduk Rakhine

terlepas dari latar belakang etnis dan agama; serta (4) memahami pentingnya

keterbukaan negara terhadap bantuan humaniter.105

Berdasarkan salah satu poin tersebut, Retno Marsudi juga melakukan

negosiasi terkait bantuan humaniter yang dapat diberikan oleh Indonesia kepada

penduduk Rakhine. Bantuan tersebut ditujukan untuk membantu korban yang

terdampak oleh konflik dan meringankan beban pemerintah Myanmar sebagai

penanggung jawab terhadap keamanan masyarakatnya.

104
Suwandari & Sugito, “The Strategy of Indonesian Diplomacy Efforts”,
105
Asep Setiawan dan Hamka, “Role of Indonesian Humanitarian Diplomacy toward
Rohingya Crisis in Myanmar”, ICSS 2019, Jakarta, 5-6 November 2019,
https://eudl.eu/pdf/10.4108/eai.5-11-2019.2292481.

54
A.3.2 Pengiriman Bantuan Humaniter bagi Pengungsi Rohingya

Pertemuan resmi antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Myanmar

memicu terjadinya kerja sama melalui pengiriman bantuan humaniter bagi etnis

Rohingya oleh Indonesia. Pada 20 September 2017, pemerintah Indonesia

mengirimkan bantuan dalam bentuk makanan, tenda, selimut, dan tangki air.

Kementerian Kesehatan turut pula mengirimkan bantuan dalam bentuk satu ton

obat-obatan untuk pengungsi.106

Sebelumnya, pemerintah Indonesia juga telah mengirimkan bantuan

humaniter kepada penduduk Rakhine yang terdampak dan mengungsi ke perbatasan

Bangladesh-Myanmar. Bantuan tersebut terdiri dari tenda, beras, gula, dan

perlengkapan sanitasi yang kemudian dikirim menggunakan empat pesawat

Hercules. Selain bantuan berbentuk barang, pemerintah Indonesia juga

mengirimkan 18 sukarelawan dari Indonesia untuk membantu aktivitas di pusat

pengungsian di Cox Bazaar, Bangladesh.107 Hingga 18 September 2017,pemerintah

Indonesia setidaknya telah mengirimkan 74 ton bantuan humaniter ke kelompok

pengungsi Rohingya di Bangladesh.108

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Luar Negeri, juga bekerja sama

dengan organisasi-organisasi Islam untuk memberikan bantuan bagi pengungsi

Rohingya, terlebih karena latar belakang agama yang sama, yakni Islam. Menteri

Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi berharap bahwa bantuan yang diberikan oleh

106
Cabinet Secretary of the Republic of Indonesia, "Indonesian Gov’t Continues to Send
Humanitarian Aid for Rohingya, 21 September 2017, diakses 20 Oktober 2022,
https://setkab.go.id/en/indonesian-govt-continues-to-send-humanitarian-aid-for-rohingya/.
107
The Jakarta Post, Jokowi dispatches aid to Rohingya refugees, 13 September 2017,
diakses 20 Oktober 2022, https://www.thejakartapost.com/news/2017/09/13/jokowi-dispatches-aid- to-
rohingya-refugees.html.
108
Cabinet Secretary of the Republic of Indonesia, “Indonesian Gov’t Continues”.

55
organisasi Islam di Indonesia dapat dilihat sebagai inisiatif yang dilakukan oleh

seluruh masyarakat Indonesia. Selanjutnya, pada 31 Agustus 2017, dibentuklah

program Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) yang bertujuan

untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan peningkatan keamanan di wilayah

Rakhine.109

Program tersebut kemudian dilaksanakan oleh sebelas organisasi yang mulai

beroperasi secara resmi sejak pertengahan tahun 2017. Diperkirakan, program

AKIM berlangsung selama dua tahun dan mampu mengumpulkan dana hingga

USD 2 juta. Bantuan kemudian diberikan dalam bentuk persediaan kebutuhan

darurat, seperti makanan instan, makanan bayi, dan sarung.110

Retno Marsudi juga menyatakan adanya peningkatan kerja sama antara

Indonesia dan Myanmar melalui rencana pembangunan rumah sakit di Rakhine.

Diperkirakan rumah sakit tersebut dibangun pada Oktober 2017 dengan melibatkan

penduduk lokal Rakhine itu sendiri. Hal tiu ditujukan selain untuk memberikan

bantuan kesehatan, juga untuk mendukung pertumbuhan ekonomi penduduk

lokal.111

109
Sheany, “Foreign Affairs Ministry Launches Humanitarian Program in Myanmar”,
Jakarta Globe, 31 Agustus 2017, diakses 20 Oktober 2022, https://jakartaglobe.id/news/foreign-
affairs-ministry-launches-humanitarian-program-myanmar/.
110
Oxford Department of International Development, Indonesian aid to Rakhine State,
Myanmar: Islamic humanitarianism, soft diplomacy, and the question of inclusive aid, diakses 20
Oktober 2022, https://www.qeh.ox.ac.uk/content/indonesian-aid-rakhine-state-myanmar-islamic-
humanitarianism-soft-diplomacy-and-question.
111
Sheany, “Foreign Affairs Ministry Launches Humanitarian Program in Myanmar”.

56
A.3.3 Pengangkatan Isu Konflik Antaretnis Myanmar dalam Forum

Regional dan Internasional

Dalam upaya penyelesaian konflik antaretnis di Myanmar, Indonesia

menjalankan perannya sebagai pemimpin regional dan mitra yang dekat dengan

Myanmar melalui pembahasan tentang isu tersebut dalam forum internasional.

Indonesia mengangkat isu Rohingya ke forum ASEAN Intergovernmental

Commission on Human Rights (AICHR) melalui pembahasan tentang

demokratisasi di Myanmar.112

Namun, pada mulanya, tidak ada negara ASEAN yang setuju untuk

membahas isu negara dalam tingkat regional karena adanya prinsip non-interferensi

dan anggapan bahwa isu tersebut merupakan isu yang tabu. Pada tahun 2018,

Indonesia berhasil memasukkan isu Rohingya ke dalam pertemuan AICHR, yang

kemudian berdampak pada dibahasnya permasalahan tersebut dalam pertemuan

AICHR setiap tahunnya. Bahkan, Indonesia memainkan perannya sebagai

pemimpin regional dalam isu tersebut dengan memobilisasi seluruh upaya

penyelesaian krisis Rohingya di lingkup ASEAN.

Selain ASEAN, Indonesia juga membahas tentang isu Rohingya di pertemuan

resmi Organization of Islamic Cooperation (OIC) pada tahun 2017. Dalam

pertemuan tersebut, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi meminta OIC

untuk mengembangkan pendekatan dan solusi untuk menangani krisis Rohingnya

dengan memberikan bantuan humaniter kepada penduduk Rakhine, melakukan

dialog dengan pemerintah Myanmar, serta bekerja sama dengan ASEAN dan

112
Purnama, Dermawan, & Akmaluddin, “Indonesia’s Role towards Myanmar”, 216.

57
Islamic Development Bank (IDB).113 Upaya Indonesia tersebut dinilai sukses

dengan adanya bantuan dana dari IDB kepada komunitas Rohingnya, yang

kemudian menunjukkan peran Indonesia dalam menjembatani OIC dan

Myanmar.114

Sebaliknya, kondisi tersebut juga membuka kesempatan bagi Myanmar untuk

bekerja sama dengan negara lain. Sebelumnya, Myanmar memiliki keinginan untuk

menyelesaikan krisis secara pribadi dan menolak bantuan dari pihak lain. Namun,

berkat keaktifan Indonesia, Myanmar kemudian berkenan untuk melibatkan aktor

lain, seperti AHA Center, Organization of Islamic Cooperation (OIC), dan Palang

Merah Internasional.115 Tidak hanya berpengaruh positif bagi Myanmar, tetapi

kondisi itu juga memberi dampak yang signifikan bagi posisi Indonesia di mata

komunitas internasional, dimana Indonesia tampak sebagai negara yang mampu

berkontribusi dalam perdamaian dan stabilitas bagi muslim di Rakhine.

Sikap merupakan perwujudan dari orientasi dan komitmen dalam kebijakan

luar negeri. Sikap Indonesia dalam kebijakan luar negeri terkait Myanmar dapat

dilihat dari beberapa hal, seperti negosiasi langsung antara pemerintah Indonesia

dan pemerintah Myanmar untuk meminimalisir konflik antaretnis yang sedang

terjadi. Di samping itu, Indonesia juga melakukan negosiasi untuk memberikan

bantuan humaniter kepada suku Rohingya di wilayah Rakhine, yang selanjutnya

113
Claire Q. Smith & Susannah G. Williams, “Why Indonesia Adopted ‘Quiet Diplomacy’
over R2P in the Rohingya Crisis: The Roles of Islamic Humanitarianism, Civil-Military Relations,
and ASEAN”, Global Responsibility to Protect (2021), 13. https://doi.org/10.1163/1875-984X-
13020004.
114
TEMPO, Indonesia Criticizes OIC on Rohingya, 19 Oktober 2018, diakses 26 Oktober
2022, https://en.tempo.co/read/516760/indonesia-criticizes-oic-on-rohingya.
115
Purnama, Dermawan, & Akmaluddin, “Indonesia’s Role towards Myanmar”, 218.

58
diimplementasikan melalui pengiriman berbagai bantuan bagi penduduk yang

terdampak oleh konflik. Indonesia juga mengangkat isu konflik antaretnis

Myanmar dalam forum regional dan internasional, membuat isu tersebut

mendapatkan perhatian lebih sehingga negara dan aktor lain pun turut terlibat dalam

pembahasan terkait konflik Myanmar dan dampaknya terhadap suku Rohingya.

A.4 Dinamika Konflik Etnis Myanmar Periode 2014-2019

Konflik etnis antara komunitas agama Buddha dan Islam telah lama terjadi di

Myanmar. Namun, konflik tersebut mulai membesar sejak kekerasan yang pertama

terjadi di Rakhine pada tahun 2012. Bahkan, petinggi ataupun masyarakat

Myanmar secara keseluruhan juga menunjukkan ketidaksukaannya kepada etnis

Rohingya. Misalnya pada tahun 2015, terdapat kampanye “kill and bury” yang

ditujukan kepada etnis Rohingya, dimana kampanye tersebut didukung dan diikuti

oleh publik.116 Di samping itu, banyak pula kampanye yang dilakukan untuk

menyebarkan pandangan kebencian bahwa muslim merupakan ancaman bagi

komunitas Buddha sehingga eksistensinya perlu dihapuskan dari Myanmar.117

Konflik pun tereskalasi pada tahun 2016 ketika terjadi pembunuhan terhadap

sembilan petugas kepolisian di wilayah perbatasan Bangladesh yang, menurut

pernyataan pemerintah Myanmar, dilakukan oleh teroris Islam.118 Hal itu

116
Mirco Kreibich, Johanna Goetz, dan Alice M. Murage, “Myanmar’s Religious and
Ethnic Conflicts: no end in sight”, Heinrich Boll Stiftung: The Green Political Foundation, 24 Mei
2017, diakses 11 Desember 2022, https://www.boell.de/en/2017/05/24/myanmars-religious-and-
ethnic-conflicts-no-end-sight#_ftn20.
117
Human Rights Council, Situation of human rights of Rohingya Muslims and other
minorities in Myanmar: Report of the United Nations High Commissioner for Human Rights
(Jenewa: Human Rights Council, 2016), https://www.refworld.org/pdfid/5768f0e94.pdf.
118
Radio Free Asia, Myanmar Says Islamic Terrorist Organization Behind Deadly Border
Raids in Rakhine State, 14 Oktober 2016, diakses 11 Desember 2022,
https://www.rfa.org/english/news/myanmar/myanmar-says-islamic-terrorist-organization-behind-
deadly-border-raids-in-rakhine-state-10142016164041.html.

59
mendorong terjadinya retaliasi terhadap komunitas muslim yang menelan korban

hingga 130 orang119 dan 1.500 bangunan rusak akibat terbakar.120 Pada saat itu,

PBB menyatakan bahwa Myanmar telah melakukan tindak kriminal terhadap

kemanusiaan, dibuktikan dengan adanya tindakan pembunuhan, penculikan,

penyiksaan, perkosaan, dan berbagai aktivitas perusakan properti. Namun,

pemerintah Myanmar menyangkal dan menyatakan bahwa pernyataan PBB

tersebut merupakan propaganda yang ditujukan kepada pemerintah Myanmar.121

Pada tahun 2017, setidaknya terdapat lebih dari satu juta penduduk Rohingya

di Myanmar, dengan mayoritas di antara mereka tinggal di wilayah Rakhine.

Namun, Myanmar memandang etnis Rohingya sebagai imigran ilegal dan menolak

untuk memberikan kewarganegaraan resmi bagi etnis Rohingya. Dengan tujuan

untuk menghapuskan populasi Rohingya di Myanmar, pasukan militer Myanmar,

yang disebut sebagai Tatmadaw, melakukan ‘operasi pembersihan’ yang dimulai

sejak 25 Agustus 2017. Operasi tersebut sebagian besar dilakukan dengan cara

pembunuhan, perkosaan, hingga pembakaran penduduk hidup-hidup.122 Bahkan,

kekerasan seksual pun tidak hanya dilakukan terhadap perempuan, melainkan juga

pada anak, laki-laki, dan transgender. Bagi komunitas transgender, mereka

119
BBC, Hundreds of Rohingya try to escape Myanmar crackdown, 16 November 2016,
diakses 11 Desember 2022, https://www.bbc.com/news/world-asia-38008151.
120
Human Rights Watch, Burma: Military Burned Villages in Rakhine State, 13 Desember
2016, diakses 11 Desember 2022, https://www.hrw.org/news/2016/12/14/burma-military-burned-
villages-rakhine-state.
121
Charlotte England, “Burmese government denies ongoing genocide of Rohingya
Muslims”, Independent, 4 Januari 2017, diakses 11 Desember 2022,
https://www.independent.co.uk/news/world/asia/burma-government-rohingya-muslims-aung-san-
suu-kyi-genocide-massacre-rape-minority-myanmar-a7508761.html.
122
BBC, Myanmar Rohingya: UN condemns human rights abuses, 28 Desember 2019,
diakses 11 Desember 2022, https://www.bbc.com/news/world-asia-50931565.

60
menghadapi kekerasan dua kali lipat lebih parah karena mereka merupakan etnis

Rohingya dan transgender.123

Operasi militer tersebut menyebabkan krisis pengungsi terbesar yang pernah

ada dalam dunia modern, dimana jumlah penduduk Rohingya yang mengungsi ke

Bangladesh saja mencapai lebih dari 830.000 orang. Di samping itu, jumlah korban

jiwa dalam operasi militer tersebut berkisar antara 9.000 hingga 13.000 orang dari

etnis Rohingya. Akibatnya, Myanmar pun mendapatkan kecaman dari komunitas

internasional yang selanjutnya justru memperburuk tensi yang terjadi di negara

tersebut.124

Tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar

tersebut termasuk ke dalam tindakan kriminal di bawah hukum internasional.

Namun, hingga saat ini, pemerintah Myanmar dinilai gagal dalam mencegah dan

menindaklanjuti konflik yang terjadi di Rakhine. Bahkan, anggota pasukan militer

Myanmar yang ditangkap karena membunuh penduduk Rohingya pun dibebaskan

dengan cepat sebelum masa hukuman penjara habis. Pemerintah Myanmar pun

menyatakan bahwa tindakan Tatmadaw bukan merupakan tindak kejahatan karena

operasi militer ditujukan untuk menyerang militan Rohingya.125 Untuk itu,

diperlukan adanya intervensi dari aktor eksternal untuk menyelesaikan konflik yang

123
OHCHR, UN Fact-Finding Mission on Myanmar Calls for Justice for Victims of Sexual
and Gender-based Violence, 22 Agustus 2019, diakses 11 Desember 2022,
https://www.ohchr.org/en/press-releases/2019/08/un-fact-finding-mission-myanmar-calls-justice-
victims-sexual-and-gender?LangID=E&NewsID=24907.
124
Anthony Ware dan Costas Laoutides, “Myanmar’s ‘Rohingya’ Conflict:
Misconceptions and Complexity”, Asian Affairs (2019), 2.
https://doi.org/10.1080/03068374.2019.1567102.
125
BBC, “Myanmar Rohingya”.

61
terjadi di Myanmar karena Myanmar dinilai menghambat upaya penyelesaian

konflik tersebut.

Berdasarkan penjelasan di atas, konflik etnis yang terjadi di Myanmar

selanjutnya dianalisis menggunakan konsep konflik etnis. Konflik etnis dari sudut

pandang primordialisme menyatakan bahwa konfllik etnis merupakan hal yang

wajar terjadi karena adanya perbedaan identitas etnis antara satu kelompok dengan

kelompok lain. Dalam hubungan relasional, terdapat in group dan out group.

Pada permasalahan konflik etnis di Myanmar, masyarakat agama Buddha di

Myanmar dapat dilihat sebagai in group, sedangkan etnis Rohingya dapat dilihat

sebagai out group karena memiliki agama yang berbeda, yaitu Islam. Adanya

perbedaan latar belakang relijius antara kedua kelompok tersebut membuat konflik

di antara keduanya menjadi wajar terjadi, karena masing-masing kelompok

berupaya untuk mencapai tujuannya.

Bagi masyarakat dan pemerintah Myanmar, eksistensi etnis Rohingya yang

beragama Islam dianggap sebagai ancaman karena perkembangan Islam yang

dinilai pesat sehingga dikhawatirkan akan memunculkan ancaman politik di

lingkup domestik. Selain itu, stereotip yang buruk terkait Islam juga berpengaruh

terhadap bagaimana Myanmar secara keseluruhan memandang etnis Rohingya.

Dikhawatirkan, adanya muslim dapat memberikan ancaman bagi keamanan

nasional di Myanmar. Di sisi lain, etnis Rohingya memiliki tujuan untuk diakui

secara politik dan hukum sebagai warga negara Myanmar. Hal tersebut tidak

mereka dapatkan sejak awal hanya karena Rohingya memiliki latar belakang etnis

dan relijius yang berbeda. Pertentangan tersebut selanjutnya memunculkan konflik

62
di antara kedua kelompok yang berujung pada kekerasan skala besar yang

dilakukan oleh pemerintah terhadap etnis Rohingya.

A.5 Kondisi Pengungsi Etnis Rohingya di Indonesia Periode 2014-2019

Konflik antaretnis di Myanmar didasari oleh adanya diskriminasi sistemik

yang ditujukan kepada etnis Rohingya di Rakhine. Kondisi itu mendorong sebagian

besar penduduk Rakhine untuk menyelamatkan diri. Pada tahun 2017, gelombang

pengungsi Rohingya merupakan yang terbesar dibanding tahun-tahun sebelumnya,

dimana sebanyak 773.000 etnis Rohingnya melarikan diri ke Bangladesh. 126 Tidak

hanya Bangladesh, etnis Rohingya juga melarikan diri ke negara-negara Asia

Tenggara lainnya, seperti Indonesia, Malaysia, dan Thailand.

Indonesia sendiri secara resmi menerima pengungsi Rohingya sejak tahun

2015. Padahal, faktanya Indonesia bukan termasuk negara yang meratifikasi

Konvensi Pengungsi PBB sehingga pada dasarnya Indonesia tidak memiliki

kewajiban untuk menerima pengungsi Rohingya di wilayahnya. Namun, walaupun

Indonesia pada awalnya bersikeras untuk menolak pengungsi Rohingya yang

masuk ke wilayah perairan Indonesia, pada akhirnya Indonesia mengubah posisinya

kemudian setuju untuk menampung pengungsi Rohingya.

126
UNOCHA, Rohingya Refugee Crisis, diakses 26 Oktober 2022,
https://www.unocha.org/rohingya-refugee-crisis.

63
Gambar VI. 1 Jumlah Pengungsi Rohingya di Indonesia Tahun 2012-2019 (yang
tercatat melalui UNHCR)

1000
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019

Sumber: UNHCR (diolah oleh penulis)127

Pada Mei 2015, diperkirakan sebanyak 6.000-8.000 pengungsi dari Myanmar

terjebak di perairan Asia Tenggara, sedangkan 2.000 lainnya berhasil mencapai

Indonesia dan Malaysia.128

Menanggapi kondisi tersebut, pemerintah Indonesia menyatakan akan

mengirimkan kembali pengungsi Rohingya yang berhasil mendarat di Aceh. Di

samping itu, pemerintah Indonesia juga mengimbau penduduk lokal Aceh untuk

tidak memberikan bantuan, baik dalam bentuk makanan, air bersih, maupun bahan

bakar. Akan tetapi, penduduk lokal Aceh justru memberikan bantuan dalam jumlah

besar, mulai dari bahan makanan, pakaian, hingga tempat tinggal.129

127
UNHCR, Refugee Data Finder, diakses 26 Oktober 2022,
https://www.unhcr.org/refugee-statistics/download/?url=kxfM9p.
128
Aljazeera, Indonesia to ‘turn back Rohingya’ boats, 12 Mei 2015, diakses 20 Oktober
2022, https://www.aljazeera.com/news/2015/5/12/indonesia-to-turn-back-rohingya-boats.
129
Middle East Institute, Rohingya Refugees in Aceh, Indonesia: Hostile Hospitality, 2 Juni 2016,
diakses 20 Oktober 2022, https://www.mei.edu/publications/rohingya-refugees-aceh-indonesia-
hostile-hospitality.

64
Respon baik dari penduduk lokal Aceh mendorong pemerintah Indonesia

untuk menerapkan kebijakan yang lebih terbuka terhadap pengungsi Rohingya,

walaupun Indonesia sebelumnya tidak menandatangani International Refugee

Convention tahun 1951 yang membahas tentang pengungsi internasional. Selain itu,

tekanan internasional juga memaksa pemerintah Indonesia untuk menerima dan

membiarkan pengungsi untuk tinggal di wilayah Indonesia hingga UNHCR

menyelesaikan proses perpindahan pengungsi.130 Dalam hal ini, Indonesia

membangun empat barak pengungsian bagi pengungsi Rohingya di Aceh Utara dan

Timur.131

Walaupun demikian, pemerintah Indonesia memberikan batas waktu selama

satu tahun bagi pengungsi untuk meninggalkan barak sembari pemerintah

menunggu respons dari UNHCR. Pada April 2016, sebagian besar pengungsi yang

semula tinggal di barak pengungsian di Aceh pun berpindah ke Malaysia, sementara

281 lainnya menetap di barak.132 Pemerintah lokal selanjutnya membangun barak

baru yang dinilai lebih layak bagi pengungsi yang masih tinggal di Aceh. Di

samping itu, pemerintah lokal juga memberikan izin bagi anak-anak Rohingya

untuk mengikuti pendidikan bersama dengan penduduk lokal.133

Banyaknya pengungsi Rohingya yang masuk ke wilayah Indonesia

memberikan dampak negatif bagi pemerintah Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah

130
Randy Wirasta Nandyatama, “The Rohingya crisis: what could Indonesia do better?”,
Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas Gadjah Mada, 5 Oktober 2017,
diakses 20 Oktober 2022, https://hi.fisipol.ugm.ac.id/en/riset-iis/the-rohingya-crisis-what-could-
indonesia-do-better/.
131
Middle East Institute, “Rohingya Refugees in Aceh”.
132
Middle East Institute, “Rohingya Refugees in Aceh”.
133
Asrul, “Bocah Rohingya di Langsa Mulai Bersekolah”, Aceh Journal National Network,
29 Maret 2016, diakses 20 Oktober 2022, https://www.ajnn.net/news/bocah-rohingya-di-langsa-
mulai-bersekolah/index.html.

65
Indonesia harus menyiapkan anggaran akomodasi dalam jumlah besar, yakni

mencapai Rp2,3 miliar untuk membantu persiapan kebutuhan sehari-hari bagi

pengungsi Rohingya, seperti matras, selimut, pakaian, dan tenda. Buruknya,

anggaran tersebut diperkirakan hanya cukup untuk membantu kurang lebih 2.000

pengungsi, sedangkan jumlah pengungsi Rohingya yang masuk ke wilayah

Indonesia jauh lebih besar dibandingkan angka tersebut.134

Walaupun dinilai memicu pengeluaran yang signifikan, sikap Indonesia

dalam membantu pengungsi Rohingya berpengaruh pada citra Indonesia, salah

satunya dengan adanya tanggapan positif dari PBB dan negara-negara lainnya.

Melalui hal tersebut, Indonesia juga mengajak negara-negara lain untuk

berpartisipasi dalam pemberian bantuan humaniter kepada pengungsi Rohingya,

khususnya yang masih terjebak di wilayah Rakhine.135

Berdasarkan definisi pengungsi yang dijabarkan oleh Egon Kunz, pengungsi

Rohingya termasuk ke dalam events-alienated refugees. Hal tersebut karena

gelombang pengungsi Rohingya terjadi karena adanya penolakan dari masyarakat

mayoritas dan pemerintah Myanmar yang kemudian mendorong terjadinya konflik

antaretnis di negara tersebut. Padahal, Rohingya memiliki keinginan untuk

diidentifikasi sebagai bagian dari negara asal mereka, yaitu Myanmar, tetapi juga

menyadari bahwa gelombang pengungsi yang ada merupakan dampak dari

penolakan negara terhadap komunitas suku Rohingya.

134
Anton Aprianto, “Indonesia Siapkan Rp 2,3 Miliar untuk Pengungsi Rohingya”,
TEMPO, 25 Mei 2015, diakses 26 Oktober 2022, https://nasional.tempo.co/read/669267/indonesia-
siapkan-rp-23-miliar-untuk-pengungsi-rohingya.
135
Suwandari & Sugito, “The Strategy of Indonesian Diplomacy Efforts”, 138.

66
Lebih lanjut, Kunz menjelaskan bahwa pengungsi dalam kategori tersebut

umumnya merupakan kelompok minoritas agama ataupun ras, seperti Rohingya

yang merupakan kelompok minoritas muslim di Myanmar. 136 Menjadi komunitas

minoritas membuat Rohingya memiliki posisi yang termarjinalkan di Myanmar,

yang dinilai semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir karena adanya

tindakan represi dan kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap

suku Rohingya. Hal itu menciptakan kondisi dimana suku Rohingya tidak memiliki

pilihan lain selain mengungsi.137

Berdasarkan faktor pendorong terpilihnya suatu negara menjadi negara tuan

rumah dari pengungsi, masuknya pengungsi Rohingya di Indonesia diperkirakan

terjadi karena tingkat penerimaan sosial yang tinggi dari masyarakat Aceh terhadap

pengungsi Rohingya yang berlabuh di perairan Aceh.

Di samping itu, pemerintah lokal pun membangun barak yang lebih layak

bagi pengungsi dan memberikan izin bagi anak-anak Rohingya untuk mengikuti

pendidikan bersama dengan penduduk lokal. Bantuan yang diterima oleh pengungsi

Rohingya pun tidak sedikit, sehingga pengungsi dapat merasa diterima oleh

masyarakat lokal.

Dengan adanya respons positif dari masyarakat lokal, asimilasi antara

pengungsi Rohingya terhadap penduduk lokal pun dapat berjalan dengan lebih

136
Egon F. Kunz, “Exile and Resettlement: Refugee Theory”, The International Migration
Review, Vol. 15, No. ½ (1981), 43.
137
Laura E. Booher, From Burma to Dallas: The Experience of Resettled Emerging Adult
Karen Refugees (Ohio: Bowling Green State University, 2013).
https://etd.ohiolink.edu/apexprod/rws_etd/send_file/send?accession=bgsu1363190792&disposition
=inline.

67
lancar, yang selanjutnya mendorong gelombang pengungsi dari Rakhine ke wilayah

Indonesia, khususnya Aceh.

A.6 Hambatan Indonesia dalam Upaya Penyelesaian Konflik Etnis di

Myanmar Periode 2014-2019

Keterlibatan Indonesia dalam upaya menyelesaikan konflik etnis di Myanmar

menghadapi hambatan dari prinsip ASEAN sendiri sebagai institusi regional.

Hambatan tersebut berasal dari konsep non-intervensi yang diadopsi oleh ASEAN.

Dalam hal ini, Myanmar dan Indonesia merupakan negara anggota dari ASEAN

yang juga menerapkan prinsip non-intervensi, sehingga kebijakan luar negeri

Indonesia terkait penyelesaian konflik etnis di Myanmar tidak dapat berjalandengan

efektif.

Berdasarkan laporan yang dipublikasikan oleh PBB, kepemimpinan oleh

ASEAN merupakan hal terpenting untuk membantu penyelesaian konflik etnis di

Myanmar dengan menjunjung nilai-nilai HAM dan membantu proses penyelesaian

di tingkat internasional.138 Namun, konsep non-intervensi membuat ASEAN tidak

mengimplementasikan aksi nyata dalam menanggapi kondisi pelanggaran HAM

tingkat berat terhadap etnis Rohingya. ASEAN justru hanya aktif melakukan

negosiasi non-formal yang dinilai tidak efektif dalam mencegah pelanggaran HAM

di Myanmar dan memberikan perlindungan bagi etnis Rohingya. Kondisi itu

memberi kesempatan bagi pemerintah Myanmar untuk terus-menerus melakukan

penindasan terhadap etnis Rohingya. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara anggota

Asia Centre, ASEAN’s non-interference policy hinders Rohingya justice, diakses 13


138

Desember 2022, https://asiacentre.org/asean-non-interference-policy-hinders-rohingya-justice/.

68
ASEAN pun ikut terhambat dalam melakukan intervensi sehingga keterlibatan

Indonesia dalam upaya penyelesaian konflik etnis di Myanmar pun hanya dapat

dilakukan melalui negosiasi ataupun kebijakan non-formal lainnya.

Konsep non-intervensi membuat ASEAN menjadi organisasi normatif yang

tidak bisa ikut campur dalam permasalahan domestik untuk menyelesaikan akar

dari permasalahan tersebut. Konsep tersebut juga menghambat ASEAN untuk

mengangkat isu Rohingya dalam forum diskusi umum sehingga solusi terhadap

permasalahan tersebut pun tidak tercapai. Selain itu, konflik etnis yang tidak

terbahas dalam forum formal ikut menghambat negara dalam mengkritik kebijakan

dari pemerintah Myanmar. Secara garis besar, ASEAN pun tidak berhak untuk

membentuk kebijakan khusus yang melarang negara anggotanya untuk melakukan

tindakan yang melanggar HAM dari masyarakatnya 139.

Kasus pelanggaran HAM yang terjadi terhadap etnis Rohingya di Myanmar

membutuhkan adanya intervensi humaniter agar permasalahan dapat segera

diselesaikan. Namun, ‘intervensi’ itu sendiri merupakan konsep yang tabu bagi

ASEAN karena adanya konsep non-intervensi. Akibatnya, ASEAN bahkan tidak

bisa melakukan intervensi humaniter untuk melindungi etnis Rohingya di

Myanmar. Hal tersebut diperburuk dengan fakta bahwa negara-negara ASEAN

masih mengadopsi definisi tradisional dari ‘kedaulatan’ yang mencegah negara

untuk melakukan intervensi karena menghindari gangguan terhadap kedaulatan

negara lain.140

139
Dio H. Tobing, “The Limits and Possibilities of the ASEAN Way: The Case of Rohingya
as Humanitarian Issue in Southeast Asia”, The 1st ICSEAS 2016, 10.18502/kss.v3i5.2331.
140
Tobing, “The Limits and Possibilities of the ASEAN Way”.

69
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada penelitian ini, menghasilkan temuan diskriminasi terhadap suku

Rohingya di Rakhine muncul akibat adanya konflik antaretnis sehingga memicu

adanya eksodus pengungsi secara besar-besaran. Untuk mengatasi diskriminasi dan

konflik yang terjadi, pemerintah Indonesia pada era Joko Widodo mengambil

berbagai langkah untuk menyelesaikan konflik antaretnis yang terjadi di Myanmar

pada periode 2014-2019. Kebijakan pertama yang dikeluarkan oleh pemerintahan

Joko Widodo atas isu konflik antaretnis di Myanmar adalah melalui hubungan

diplomatik antara Indonesia dengan Myanmar. Langkah tersebut dipilih karena

pemerintah Indonesia tidak menekankan langkah intervensi politik maupun militer,

70
tetapi dengan membuka dialog terkait konflik antaretnis di Myanmar. Upaya

pemerintah Indonesia melalui jalur diplomatik dinilai penting karena dapat

meningkatkan kepercayaan Myanmar terhadap Indonesia karena tidak ada tekanan

yang diberikan sehingga dapat berdampak positif.

Pemerintah Indonesia juga meningkatkan upaya diplomasinya dengan

mengeluarkan kebijakan untuk menyelesaikan konflik antaretnis di Myanmar

melalui forum internasional. Melalui pengangkatan isu ke AICHR dan OIC,

Indonesia dapat mendorong kerja sama penyelesaian konflik antara Myanmar

dengan aktor lainnya. Upaya tersebut ditambah dengan kolaborasi antara

pemerintah Indonesia dengan Myanmar untuk menyalurkan bantuan terhadap para

pengungsi Rohingya.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa pengungsi Rohingya memilih Aceh sebagai

tempat untuk mengungsi dikarenakan adanya penerimaan dari masyarakat maupun

pemerintah setempat. Hal ini karena di Myanmar sendiri, suku Rohingya

mendapatkan diskriminasi dari kaum mayoritas akibat perbedaaan etnis dan agama.

Selain itu, penulis juga menarik kesimpulan bahwa pemerintah Indonesia di era

Joko Widodo menggunakan kebijakan luar negerinya untuk menyelesaikan konflik

antaretnis di Myanmar sebagai upaya untuk menunjukkan perannya sebagai

pemimpin Asia Tenggara yang fokus terhadap isu kemanusiaan di Myanmar.

Tidak hanya itu, pemerintahan Joko Widodo pada periode 2014 hingga 2019

juga lebih berfokus pada stabilitas regional dalam menyelesaikan konflik antaretnis

Myanmar, dilihat dari minimnya upaya intervensi maupun tekanan terhadap

pemerintah Myanmar. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa kebijakan luar

71
negeri pemerintah Indonesia pada masa pemerintahan Joko Widodo periode 2014-

2019 dalam menyelesaikan konflik antaretnis di Myanmar menunjukkan besarnya

peran yang diambil oleh Indonesia di Asia Tenggara.

B. Saran

Berdasarkan analisis yang dilakukan terdapat, beberapa saran baik terhadap

penelitian selanjutnya yang berfokus terhadap konflik antaretnis di Myanmar dan

upaya penyelesaian konflik oleh pemerintah Indonesia:

a. Bagi peneliti selanjutnya agar berfokus terhadap keberlanjutan

kebijakan luar negeri pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan

konflik antaretnis di Myanmar

b. Dalam penelitian selanjutnya untuk membahas dampak maupun

perkembangan positif di Myanmar setelah upaya yang dilakukan

pemerintah Indonesia.

72
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Brighi, E., & Hill, C. (2016). 8. Implementation and behaviour. In Foreign


Policy: Theories, Actors, Cases. Oxford: Oxford University Press. Retrieved
8 Dec. 2021, from
https://www.oxfordpoliticstrove.com/view/10.1093/hepl/9780198708902.00
1.0001/hepl-9780198708902-chapter-8.

Booher, Laura E. From Burma to Dallas: The Experience of Resettled Emerging


Adult Karen Refugees (Ohio: Bowling Green State University, 2013).
https://etd.ohiolink.edu/apexprod/rws_etd/send_file/send?accession=bgsu13
63190792&disposition=inline.

Pedersen, Morten B. Promoting Human Rights in Burma: A Critique of Western


Sanctions Policy. Washington, DC: Rowman & Littlefield, 2007.

Prasse-Freeman, Elliott. “Conceptions of Justice and the Rule of Law”. Dalam D.


I. Steinberg, Myanmar: The Dynamics of an Evolving Polity. Boulder,
Colorado: Lynne Rienner Publishers, 2014.
Richard C. Snyder, H.W. Bruck, and Burton Sapin, eds., Foreign Policy Decision-
Making: An Analytical perspective to the Study of International Politics, New
York, The Free Press, 1962 ; Valerie M. Hudson, Derek H. Chollet, and James
M. Goldgeier, (2002). Foreign Policy Decision-Making (Revisited). New
York, Palgrave Macmillan.
Rosenau, James N. Comparing Foreign Policies, Theories, Findings, and Methods
(New York: John Wiley & Sons, 1974).
Rosenau, James N. World Politics: An Introduction (New York: Free Press, 1976).
Rosyidin, M. (2015). The Power of Ideas: Konstruktivis dalam Studi Hubungan
Internasional,.Yogyakarta: Tiara Wacana.
Snyder et.al. dalam Rosenau, James N. (1969). International Politics and Foreign

73
Policy: A Reader in Research and Theory. New York: The Free Press, hal.
199-205.
Tayfur, Fatih. (1994). Main Approaches to The Study of Foreign Policy: A Review,
Department of International Relations, Middle East Technical University,
Turkey, hal.113-141

Artikel Jurnal

Alam, J. (2019). The current Rohingya Crisis in Myanmar in historical perspective.


Journal of Muslim Minority Affairs, 39(1), 1-25.
doi:Https://doi.org/10.1080/13602004.2019.1575560

Alunaza, H., & Juani, M. K. (2017). Kebijakan Pemerintah Indonesia melalui


sekuritisasi migrasi pengungsi Rohingya di Aceh tahun 2012-2015.
Indonesian Perspective,, 2(1), 1-17.

Anwary, Afroza. “Sexual Violence against Women as a Weapon of Rohingya


Genocide in Myanmar.” International Journal of Human Rights 0, no. 0
(2021): 1–20. https://doi.org/10.1080/13642987.2021.1931136.
Ardani, F. A. (2015). Kebijakan Indonesia dalam membantu penyelesaian konflik
antara etnis Rohingya dan etnis Rakhine di Myanmar (Studi Karakter
Kepribadian Susilo Bambang Yudhoyono). Journal of International
Relations, 2(22-28), 1
Charles, Kegley W. Jr and Wittkopf Eugene R, (2001). World Politics:Trend and
Transformation, 6 th ed., New York: St.Martin’s Press, hal.55

Cheesman, Nick. “What does the rule of law have to do with democratization (in
Myanmar)?”. South East Asia Research, Vol. 22, No. 2 (2014).

Jati, Irawan. “Comparative Study of the Roles of ASEAN and the Organization of
Islamic Cooperation in Responding to the Rohingya Crisis”. IKAT: The
International Journal of Southeast Asian Studies, Vol. 1, No. 1 (2017).

Green, Michael, & Derek Mitchell. “Asia’s Forgotten Crisis: A New Approach to
Burma”. Foreign Affairs, Vol. 86, No. 6 (2007).

Jesse, Neal G., & Kristen P. Williams, Ethnic Conflict: A Systematic Approach To
Cases of Conflict. Washington: CQ Press, 2011.

Mohajan, H. K. (2018). History of Rakhine State and the origin of the Rohingya
Muslims. The Indonesian Journal of Southeast Asian Studies, 2(1), 19-46.

Nandyatama, Randy Wirasta. “The Rohingya crisis: what could Indonesia do


better?”. Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL Universitas

74
Gadjah Mada, 5 Oktober 2017. Diakses 20 Oktober 2022.
https://hi.fisipol.ugm.ac.id/en/riset-iis/the-rohingya-crisis-what-could-
indonesia-do-better/.

Nguyen, Vy. The Rohingya Crisis in Myanmar: Rethinking International


Engagement Toward Better Humanitarian Protection. Austin: University of
Texas, 2018.

Permata, I. M., Dessanta, N. H., & Sinulingga, A. A. (2019). Humanitarian


diplomacy: Indonesia's response toward Rohingya humanitarian crisis.
Journal of Diplomacy and International Studies, 2(1), 1-12.
Purnama, Chandra, Windy Dermawan, & Ghiyats Akmaluddin. “Indonesia’s Role
towards Myanmar in Assisting to Resolve the Humanitarian Crisis in
Rohingya (2014-2018)”. Central European Journal of International and
Security Studies, Vol. 13, No. 4 (2019).

Purwanti, M. (2021). Kebijakan nasional Indonesia terhadap migrasi internasional.


Journal of Law and Border Protection, 3(1), 115-125.

Kunz, Egon F. “Exile and Resettlement: Refugee Theory”. The International


Migration Review, Vol. 15, No. ½ (1981).

Rosyidin, Mohamad, and Andi Akhmad Basith Dir. “Why States Do Not Impose
Sanctions: Regional Norms and Indonesia’s Diplomatic Approach towards
Myanmar on the Rohingya Issue.” International Politics 58, no. 5 (2021): 738–
56. https://doi.org/10.1057/s41311-020-00264-2.
Samekto, Mengkaji Peran Operasi Pemeliharaan Perdamaian PBB Sebagai Bagian
Upaya Menciptakan Perdamaian Dunia, Jurnal Hukum & Pembangunan. Vol.
21, (1991): 25, Doi: 10.21143/jhp.vol21.no1.395.
Shivakoti, Richa. “ASEAN’s role in the Rohingya refugee crisis”. Forced
Migration Review (2017).
https://www.fmreview.org/sites/fmr/files/FMRdownloads/en/latinamerica-
caribbean/shivakoti.pdf.Smith, Claire Q., & Susannah G. Williams. “Why
Indonesia Adopted ‘Quiet Diplomacy’ over R2P in the Rohingya Crisis: The
Roles of Islamic Humanitarianism, Civil-Military Relations, and ASEAN”.
Global Responsibility to Protect (2021). https://doi.org/10.1163/1875-984X-
13020004.
Sohel, M. S. (2017). The Rohingya Crisis in Myanmar: Origin and emergence.
Saudi Journal of Humanities and Social Sciences, 2(11), 1007-1018.
doi:10.21276/sjhss.2017.2.11.1

Sundari, R., Prayuda, R., & Sary, D. V. (2021). Upaya diplomasi pemerintah
Indonesia dalam mediasi konflik kemanusiaan di Myanmar. Jurnal Niara,
14(1), 177-187.

75
Suwandari, Hana Dwi, & Sugito. “The Strategy of Indonesian Diplomacy Efforts
and National Political Interests in the Ethnic Rohingya Refugee Conflict”.
Indonesian Journal of Economics, Social, and Humanities.
https://doi.org/10.31258/ijesh.3.2.131-143.

Ty, R. (2019). The Rohingya Refugee Crisis: Contexts, problems, and solutions.
SUR 29, 16(29), 49-62.
Ware, Anthony, & Costas Laoutides. “Myanmar’s ‘Rohingya’ Conflict:
Misconceptions and Complexity”. Asian Affairs (2019).
https://doi.org/10.1080/03068374.2019.1567102.
Wendt, A. (1992). , Anarchy is What State Make of It: The Social Construction of
Power Politict, International Organization. Vol. 46, hal.425
Wicaksana, I. Gede Wahyu. “International Society: The Social Dimensions of
Indonesia’s Foreign Policy.” Pacific Review 29, no. 5 (2016): 741–59.
https://doi.org/10.1080/09512748.2015.1047467.
Yeghiazaryan, Laura. “Which of the three main ethnic conflic theories best explains
the Ethnic violence in the post-soviet states of Azerbaijan, Georgia, and
Moldova?”. Undergraduate Journal of Political Science, Vol. 3, No. 1 (2018).

Artikel Online

Al-Jazeera, "Who are the Rohingya?" Heritage destruction in Myanmar’s Rakhine


state legal and illegal iconoclasm.pdf.
Aljazeera. Indonesia to ‘turn back Rohingya’ boats. 12 Mei 2015. Diakses 20
Oktober 2022. https://www.aljazeera.com/news/2015/5/12/indonesia-to-
turn-back-rohingya-boats.

Aprianto, Anton. “Indonesia Siapkan Rp 2,3 Miliar untuk Pengungsi Rohingya”.


TEMPO, 25 Mei 2015. Diakses 26 Oktober 2022.
https://nasional.tempo.co/read/669267/indonesia-siapkan-rp-23-miliar-
untuk-pengungsi-rohingya.

Asrul. “Bocah Rohingya di Langsa Mulai Bersekolah”. Aceh Journal National


Network, 29 Maret 2016. Diakses 20 Oktober 2022.
https://www.ajnn.net/news/bocah-rohingya-di-langsa-mulai-
bersekolah/index.html.

BBC. Hundreds of Rohingya try to escape Myanmar crackdown, 16 November


2016. Diakses 11 Desember 2022. https://www.bbc.com/news/world-asia-
38008151.

76
BBC. Myanmar Rohingya: UN condemns human rights abuses, 28 Desember 2019.
Diakses 11 Desember 2022. https://www.bbc.com/news/world-asia-
50931565.

Cabinet Secretary of the Republic of Indonesia. Indonesian Gov’t Continues to Send


Humanitarian Aid for Rohingya. 21 September 2017. Diakses 20 Oktober
2022. https://setkab.go.id/en/indonesian-govt-continues-to-send-
humanitarian-aid-for-rohingya/.

England, Charlotte. “Burmese government denies ongoing genocide of Rohingya


Muslims”. Independent, 4 Januari 2017. Diakses 11 Desember 2022.
https://www.independent.co.uk/news/world/asia/burma-government-
rohingya-muslims-aung-san-suu-kyi-genocide-massacre-rape-minority-
myanmar-a7508761.html.

Human Rights Council. Situation of human rights of Rohingya Muslims and other
minorities in Myanmar: Report of the United Nations High Commissioner for
Human Rights. Jenewa: Human Rights Council, 2016.
https://www.refworld.org/pdfid/5768f0e94.pdf.

Human Rights Watch. Burma: Military Burned Villages in Rakhine State, 13


Desember 2016. Diakses 11 Desember 2022.
https://www.hrw.org/news/2016/12/14/burma-military-burned-villages-
rakhine-state.

Kreibich, Mirco, Johanna Goetz, & Alice M. Murage. “Myanmar’s Religious and
Ethnic Conflicts: no end in sight”. Heinrich Boll Stiftung: The Green Political
Foundation, 24 Mei 2017. Diakses 11 Desember 2022.
https://www.boell.de/en/2017/05/24/myanmars-religious-and-ethnic-
conflicts-no-end-sight#_ftn20.

Middle East Institute. Rohingya Refugees in Aceh, Indonesia: Hostile Hospitality.


2 Juni 2016. Diakses 20 Oktober 2022.
https://www.mei.edu/publications/rohingya-refugees-aceh-indonesia-
hostile-hospitality.

Ministry of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia. (2016). Menlu Retno


bahas isu Rakhine State dengan Dauw Aung San Suu Kyi di Naypyidaw,
Myanmar. http:// www.kemlu.go.id/id/berita/Pages/menlu-retno-bahas-
rakhine-state-myanmar.aspx.

OHCHR. UN Fact-Finding Mission on Myanmar Calls for Justice for Victims of


Sexual and Gender-based Violence, 22 Agustus 2019. Diakses 11 Desember
2022. https://www.ohchr.org/en/press-releases/2019/08/un-fact-finding-
mission-myanmar-calls-justice-victims-sexual-and-
gender?LangID=E&NewsID=24907.

77
Oxford Department of International Development. Indonesian aid to Rakhine State,
Myanmar: Islamic humanitarianism, soft diplomacy, and the question of
inclusive aid. Diakses 20 Oktober 2022.
https://www.qeh.ox.ac.uk/content/indonesian-aid-rakhine-state-myanmar-
islamic-humanitarianism-soft-diplomacy-and-question.

Radio Free Asia. Myanmar Says Islamic Terrorist Organization Behind Deadly
Border Raids in Rakhine State, 14 Oktober 2016. Diakses 11 Desember
2022. https://www.rfa.org/english/news/myanmar/myanmar-says-islamic-
terrorist-organization-behind-deadly-border-raids-in-rakhine-state-
10142016164041.html.
Sapiie, Marguerite Afra. “Indonesia wants end to Rohingya crisis, Jokowi tells
Myint”. The Jakarta Post, 28 April 2018. Diakses 26 Oktober 2022.
htt://www.thejakartapost.com/news/2018/04/28/indonesia-wants-end-to-
rohingya-crisis-jokowi-tells-myint.html.
Schwartz, Laura. “Indonesian Foreign Policy under Jokowi.” The National Bureau
of Asian Research, 2015. http://nbr.org/research/activity.aspx?id=510.
Setiawan, Asep, & Hamka. “Role of Indonesian Humanitarian Diplomacy toward
Rohingya Crisis in Myanmar”. ICSS 2019, Jakarta, 5-6 November 2019,
https://eudl.eu/pdf/10.4108/eai.5-11-2019.2292481.
Sheany. “Foreign Affairs Ministry Launches Humanitarian Program in Myanmar”.
Jakarta Globe, 31 Agustus 2017. Diakses 20 Oktober 2022.
https://jakartaglobe.id/news/foreign-affairs-ministry-launches-humanitarian-
program-myanmar/.
TEMPO. Indonesia Criticizes OIC on Rohingya. 19 Oktober 2018. Diakses 26
Oktober 2022. https://en.tempo.co/read/516760/indonesia-criticizes-oic-on-
rohingya.
The Jakarta Post. Jokowi dispatches aid to Rohingya refugees. 13 September 2017.
Diakses 20 Oktober 2022.
https://www.thejakartapost.com/news/2017/09/13/jokowi-dispatches-aid-to-
rohingya-refugees.html.
UNHCR. Refugee Data Finder. Diakses 26 Oktober 2022.
https://www.unhcr.org/refugee-statistics/download/?url=kxfM9p.
UNOCHA. Rohingya Refugee Crisis. Diakses 26 Oktober 2022.
https://www.unocha.org/rohingya-refugee-crisis.
UN Doc. file:///C:/Users/up7526pw/ AppData/Local/Temp/A_47_666_S_24809-
EN.pdf, Diakses pada 27 Oktober 2021

78

Anda mungkin juga menyukai