Anda di halaman 1dari 127

PERBEDAAN PENERIMAAN DIRI TENTANG PUBERTAS

ANTARA REMAJA PRIA DAN WANITA

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Menyelesaikan Pendidikan


Program Studi Diploma IV Kebidanan
Politeknik Kesehatan Kendari

Oleh :
FITRIANI YUSUF
P00312016019

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


PROGRAM STUDI D IV KEBIDANAN
POLITEKNIK KESEHATAN
KENDARI
2020

i
ii
iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertandatangan dibawah ini :

Nama : Fitriani Yusuf

NIM : P00312016019

Institusi : Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes

Pendidikan Kendari

Judul Literatur : Perbedaan Penerimaan Diri Tentang

Review Pubertas Antara Remaja Pria dan Wanita

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa TugasAkhir yang saya


tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai
tulisan atau pikiran saya sendiri.

Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini


adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.

Kendari, Juni 2020


Yang Membuat Pernyataan,

Fitriani Yusuf

iv
RIWAYAT HIDUP

I. INDENTITAS

1. Nama Lengkap : Fitriani Yusuf

2. Tempat/ Tanggal Lahir : Punggaluku, 25 Januari 1999

3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Agama : Islam

5. Suku/ Kebangsaan : Tolaki/Indonesia

6. Alamat : JL.Ahmad Yani, Kota Kendari

7. No. Telp/ Hp 085243525330

II. PENDIDIKAN

1. SDN 3Kendari 2003-2009

2. MTsN 1 Kendari 2009-2012

3. SMAN 4Kendari 2012-2015

4. Poltekkes Kemenkes Kendari 2016 - 2020

v
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan Alhamdulillah segala puji dan syukur penulis

panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmatnya,

penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Perbedaa Penerimaan

Diri Tentang Pubertas Antara Remaja Pria dan Wanita”.Skripsi ini

diselesaikan guna memenuhi salah satu persyaratan dalam

menyelesaikan pendidikan pada Jurusan DIV Kebidanan Poltekkes

Kemenkes Kendari.Perjalanan panjang telah penulis lalui dalam rangka

perampungan penulisan Literature ini. Oleh karna itu, dengan penuh

kerendahan hati, pada kesempatan ini patutlah kiranya penulis

menyampaikan ucapan terimakasih kepada:

1. Ibu Askrening, SKM. M.Kes selaku Direktur Poltekkes Kendari

2. Ibu Sultina Sarita, SKM. M.Kes, Selaku Ketua Jurusan

Kebidanan Poltekkes Kendari yang selalu memberikan

bimbingan, arahan, dan motivasi kepada penulis selama

menempuh pendidikan.

3. Ibu Hj. Halijah, SKM,M.Kes dan Ibu Nasrawati, S.Si.T, MPH

selaku pembimbing satudan dua yang telah banyak memberikan

saya masukan, wawasan, inspirasi, dan semangat serta

membimbing saya dengan sabar.

4. Ibu Askrening, SKM. M.Kes selaku penguji I, Hj. Nurnasari P,

SKM, M.Kes selaku penguji II, dan Fitriyanti, SST, M.Keb selaku

vi
penguji III yang telah memeberikan masukan dalam pembuatan

skripsi ini

5. Seluruh Dosen dan Staf Pengajar Politeknik Kesehatan Kendari

Jurusan Kebidanan yang telah yang telah memberikan

bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang

bermanfaat

6. Teristimewa Ayahanda Yusuf Basamoa dan Ibunda Risnawati,

kedua orangtuaku tercinta dan terbaik sepanjang masa,

terimakasih atas semua doa-doa, kasih sayang, kepercayaan,

nasehat serta motivasi yang tidak pernah ada habisnya dan

selalu sabar menunggu kesuksesan anak tersayang kalian.

7. Seluruh Teman-teman Jurusan D.IV Kebidanan Poltekkes

Kendari yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

8. Sahabat seperjuangan Ayu, Lisda, Elva, Vita, Liyan, Septi, Hani,

Pani, Ama, Ati, dan Isra. Terimakasih atas semua bantuan, kerja

sama dan semangat yang selalu menemani selama perkuliahan

hingga penyelesaian skripsi ini akhirnya kita sah menjadi

S.Tr.Keb.

Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah membantu.Semoga Tugas Akhir ini

membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.Penulis Menyadari bahwa

skripsi ini masih jauh dari sempurna.Oleh karena itu kritik dan saran yang

vii
bersifat membangun diperlukan dalam penyempurnaan skripsi ini serta

sebagai bahan pembelajaran dalam penyusunan skripsi selanjutnya.

Kendari, Juni 2020

Penulis

viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iii
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN ............................. iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .............................................................. v
KATA PENGANTAR .......................................................................... vi
DAFTAR ISI ...................................................................................... ix
ABSTRAK ......................................................................................... xi
ABSTARCT ...................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................... 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ........................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ......................................................... 6
E. Keaslian Penelitian ........................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka ................................................................ 8
B. Landasan teori ................................................................ 31
C. Kerangka teori ............................................................... 33
D. Kerangka konsep ........................................................... 34
E. Hipotesis Penelitian ........................................................34
BAB III METODE PENELITIAN
A. Strategi Pencarian Literatur ........................................... 35
B. Kriteria Inklusi dan Ekslusi ............................................. 37
C. Seleksi Studi dan Penilaian Kualitas .............................. 37
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil penelitian .............................................................. 46
B. Pembahasan .................................................................. 50
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan .................................................................... 56

ix
B. Saran .............................................................................56
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................... 57
LAMPIRAN

x
ABSTRAK

PERBEDAAN PENERIMAAN DIRI TERHADAP PUBERTAS


ANTARA REMAJA PRIA DAN WANITA

Fitriani Yusuf1, Halijah2, Nasrawati2

Latar Belakang:Pada umumnya remaja sudah memasuki masa pubertas, yaitu


payudara yang mulai membesar, panggul yang mulai membesar pada remaja
perempuan dan ada remaja yang minta izin pulang sebelum pembelajaran selesai
dengan alasan bahwa remaja sakit perut karena menstruasi, darah yang keluar saat
menstruasi sangat banyak sehingga membekas pada rok yang dipakai. Suara
remaja laki-laki juga sudah berubah.Tujuan:Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui perbedaan penerimaan diri pada masa pubertas antara remaja pria dan
wanita. Metode:Penelitian ini merupakan penelitian sekunder berjenis literature
review. Kesimpulan: Remaja pria yang kedewasaannya lebih awal ataupun
terlambat dibandingkan dengan remaja normal pada usia mereka dilaporkan
tingkat kenakalan yang lebih tinggi, khususnya pada perilaku dan kejahatan
oposisi sekolah. Perbedaan jenis kelamin, usia, dan efek usia gender dan budaya
dapat secara signifikan mempengaruhi dalam besarnya perbedaan harga diri.
Penyesuaian diri remaja (siswa) terhadap perubahan fisik dan psikologis pada
masa pubertas berada pada kategori kurang baik.Secara umum remaja memiliki
penerimaan diri yang baik dalam menghadapi masa puber. Remaja putri pada
masa pubertas memiliki penerimaan diri yang positif terhadap perubahan
fisiknya.

Kata Kunci: Penerimaan Diri, Masa Pubertas, Remaja


Daftar Pustaka :18 ( 2000 – 2020 )

1. Mahasiswi DIV Jurusan Kebidanan Poltekkes Kendari.


2. DosenJurusan Kebidanan Poltekkes Kendari.

xi
ABSTRACT

SELF-ACCEPTANCE DIFFERENCES TOWARD PUBERTAS


BETWEEN ADOLESCENT MEN AND WOMEN

Fitriani Yusuf1, Halijah2, Nasrawati2

Background:In general, adolescents have entered puberty, namely breasts that


begin to enlarge, the pelvis begins to enlarge in adolescent girls and there are
teenagers who ask permission to go home before the lesson is over on the grounds
that adolescents have abdominal pain due to menstruation, the blood that comes
out during menstruation is so much that it makes an impression on them. the skirt
is worn. Boys' voices have also changed.Aim:This study aims to determine
differences in self-acceptance at puberty between male and female
adolescents.Method:This research is a secondary research type of literature
review.Conclusion:Male adolescents maturing earlier or later than normal
adolescents at their age reported higher rates of anger, particularly in school
opposition behavior and crime. Differences in gender, age, and gender and
cultural age effects can significantly influence the magnitude of differences in
self-esteem. Adolescent (students) self-adjustment to physical and psychological
changes at puberty is in the poor category. In general, adolescents have good self-
acceptance in facing puberty. Teenage girls at puberty have a positive self-
acceptance of their physical changes.

Keywords: Accepting yourself, Puberty, Youth


Bibliography :18 ( 2020 – 2020 )

1. Student of DIV Midwifery Department, Kendari Health Polytechnic.


2. Lecturer in the Department of Midwifery, Kendari Health Polytechnic.

xii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia akan mengalami perkembangan, sejak masa bayi,

periode kanak- kanak, masa pubertas atau masa remaja yang kemudian

berkembang menjadi manusia dewasa. Kehidupan sebagai remaja

merupakan salah satu periode dalam rentang kehidupan manusia.Menurut

John W. Santrock (2003) bahwa “remaja diartikan sebagai masa

perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang

mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial emosional”.Senada

dengan itu, Sarlito Wirawan Sarwono (2001) menyatakan bahwa masa

remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya

dalam artian psikologis tetapi juga fisik.

Selama masa remaja seluruh tubuh mengalami perubahan, baik

dibagian luar maupun dibagian dalam tubuh, baik dalam struktur tubuh

maupun fungsinya.Remaja pada tingkat Sekolah Menengah Pertama

berada pada tingkat perkembangan yang disebut “Masa Remaja atau

Pubertas”. Menurut Djahwat Dahlan (2001) bahwa “remaja yang sedang

mengalami proses transisi atau pubertas memiliki ciri-ciri dalam

pertumbuhan fisik, psikis dan sosialnya”. Pada umumnya remaja

mengalami berbagai kesulitan dan masalah dalam melakukan

penyesuaian diri terhadap dirinya dan lingkungan pada masa pubertas.

Perubahan-perubahan fisik menyebabkan kecanggungan bagi remaja

1
2

karena ia harus menyesuaikan diri dengan perubahanperubahan yang

terjadi pada dirinya (Sarlito Wirawan Sarwono, 2001).

Remaja akan mengalami berbagai kondisi selama masa puber.

Menurut Elizabeth B Hurlock (1980) bahwa perubahan-perubahan pesat

yang terjadi selama masa puber menimbulkan keraguan, perasaan tidak

mampu dan tidak aman dan mengakibatkan perilaku yang kurang

baik.Remaja seharusnya mampu menyesuaikan diri dengan perubahan

yang terjadi pada pada masa puber sehingga remaja mencapai kepuasan

terhadap diri dan lingkungan.Menurut Havighurst (dalam Elida Prayitno,

2006) bahwa salah satu tugas perkembangan yang seharusnya dicapai

pada periode remaja adalah menerima keadaan fisik dan

mempergunakannya secara efektif. Remaja dapat melakukan

penyesuaian diri terhadap perubahan tubuh dengan menyesuaikan

penampilannya, seperti memilih baju yang sesuai dengan ukuran tubuh

dan menjaga kebersihan tubuh. Menurut Mohammad Ali dan Mohammad

Asrori (2011) bahwa pertumbuhan fisik remaja yang amat pesat seringkali

menimbulkan gangguan regulasi, tingkah laku dan keterasingan dengan

diri sendiri untuk itu perlu adanya kegiatan olahraga untuk menyalurkan

energi lebih yang dimiliki sehingga tidak tersalurkan kepada perilaku

negatif.

Pada umumnya remaja sudah memasuki masa pubertas, yaitu

payudara yang mulai membesar, panggul yang mulai membesar pada

remaja perempuan dan ada remaja yang minta izin pulang sebelum
3

pembelajaran selesai dengan alasan bahwa remaja sakit perut karena

menstruasi, darah yang keluar saat menstruasi sangat banyak sehingga

membekas pada rok yang dipakai. Suara remaja laki-laki juga sudah

berubah.

Masa pubertas dikenal dengan masa strom and stress dimana

terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang

pesat dan pertumbuhan secara psikis yang bervariasi. Perubahan fisik

dan psikis yang terjadi selama masa puber akan mempengaruhi tingkat

perilaku seseorang 2 sehingga mudah untuk dipengaruhi atau di provokasi

baik dari segi yang positif maupun yang negatif. Selain itu akibat dari

perubahan fisik yang menyebabkan perubahan psikologis pada masa

pubertas terhadap perubahan sikap dan perilaku antara lain: 1) ingin

menyendiri, 2) kebosanan, 3) perubahan emosi, 4) antagonis sosial, 5)

hilangnya kepercayaan diri, 6) pola sikap sederhana.

Penerimaan diri merupakan sikap memandang diri sendiri

sebagaimana adanya dan memperlakukannya secara baik disertai rasa

senang serta bangga sambil terus mengusahakan

kemajuannya.Selanjutnya, dijelaskan bahwa penerimaan diri sendiri perlu

kesadaran dan kemauan melihat fakta yang ada pada diri, baik fisik

maupun psikis, sekaligus kekurangan dan ketidaksempurnaan, tanpa ada

kekecewaan.Tujuannya untuk merubah diri lebih baik.

Calhoun dan Acocella menjelaskan bahwa penerimaan diri

berhubungan dengan konsep diri yang positif, dimana dengan konsep diri
4

yang positif, seseorang dapat menerima dan memahami fakta-fakta yang

begitu berbeda dengan dirinya. Bahwa penerimaan diri merupakan sikap

positif terhadap diri sendiri, dapat menerima keadaan dirinya secara

tenang, serta memiliki kesadaran penuh terhadap siapa dan apa diri

mereka, sehingga dapat menerima keadaan emosionalnya (depresi,

marah, sedih, cemas, dan lain-lain) tanpa mengganggu orang lain.

Masa remaja dimulai pada saat anak perempuan mengalami

menstruasi yang pertama alau menarche, sedangkan pada anak laki-laki

yaitu pada saat keluarnya cairan semen. Waktu terjadi proses

kematangan seksual pada laki-laki dan perempuan berbeda. Remaja

adalah mereka yang berusia 10-20 tahun, dan ditandai dengan perubahan

dalam bentuk dan ukuran tubuh, fungsi tubuh, psikologi dan aspek

fungsional. WHO memberikan definisi masa remaja mulaii usia 10-24

tahun.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan dua orang guru

pembimbing di salah satu SMP di Kota Kendari, terungkap bahwa remaja

perempuan sulit menyesuaikan diri ketika mengalami menstruasi sehingga

remaja sering tidak masuk sekolah dan minta izin pulang sebelum

pembelajaran selesai ketika mengalami menstruasi.Remaja malu dengan

jerawat di wajah sehingga membuatnya tidak percaya diri. Wawancara

juga dilakukan peneliti terhadap beberapa orang remaja wanita dan

remaja pria, terungkap bahwa remaja perempuan merasa tidak puas

dengan penampilan fisiknya karena panggulnya yang berubah menjadi


5

lebar, keringat yang banyak, payudara yang mulai membesar membuat

remaja merasa malu dan pakaian yang sering dipakai oleh remaja menjadi

sempit. Sedangkan remaja pria rata-rata merasa tidak nyaman dengan

tanggung jawab yang harus mereka tempuh dalam pertumbuhan mereka

menuju dewasa.Menurut data WHO yang diambil pada tahun 2018,

penerimaan diri pada remaja wanita lebih sedikit dari penerimaan diri pada

remaja pria, yaitu sebesar 46%.Sedangkan penerimaan dir pada remaja

pria sebesar 54%. Walaupun tidak ada perbedaan yang signifikan, akan

tetapi dapat dikatakan bahwa remaja wanita mengalami kesulitan dalam

menerima diri perubahan dalam diri mereka jika dibandingkan dengan

remaja pria.

Sakit perut ketika menstruasi juga dirasakan oleh remaja

perempuan sehingga membuat remaja tidak bisa mengikuti pembelajaran

di sekolah dan pekerjaan rumah juga tidak dapat diselesaikan dengan

baik.Remaja juga merasakan perubahan emosi, yaitu mudah marah dan

tersinggung dengan perkataan teman, guru dan orangtua.Perasaan malu

juga dirasakan oleh remaja perempuan kepada teman-teman dan

orangtuanya pada saat mengalami menstrusi pertama.Remaja laki-laki

merasakan kulitnya berubah menjadi kasar, timbulnya jerawat membuat

remaja merasa malu, canggung dan tidak percaya diri terutama kepada

remaja perempuan.Keringat yang banyak membuat remaja sering

menjauh dari temannya karena remaja merasa keringatnya menyebabkan

bau badan.Rambut di kepala yang mudah berminyak membuat remaja


6

gatal-gatal dan tidak nyaman sehingga konsentrasi belajar menjadi

terganggu.Fenomena tersebut menunjukkan bahwa remaja kurang

mampu menyesuaiakan diri pada masa pubertas.

Berdasarkan masalah remaja yang ditemukan berdasarkan hasil

wawancara tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Perbedaan Penerimaan Diri pada Masa Pubertas Antara

Remaja Pria dan Wanita”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah

dalam penelitian ini adalah “Apakah perbedaan penerimaan diri pada

masa pubertas antara remaja pria dan wanita?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini untuk mengetahui perbedaan

penerimaan diri pada masa pubertas antara remaja pria dan wanita.

D. ManfaatPenelitian

1. Bagi Peneliti

Merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti

dalam mengaplikasikan ilmunya dan hasil penelitian ini diharapkan

dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya.

2. Bagi Tempat Penelitian

Diharapkan dapan dijadikan sebagai bahan pustaka atau

informasi tambahan untuk pengembangan tentang pubertas


7

E. Keaslian Penelitian

1. Penelitian (Ifil dkk, 2017) tentang Hubungan Body Image dengan

Kepercayaan Diri Remaja Putri. Perbedaan penelitian adalah variabel

dependen penelitian. Variabel dependen penelitian ini adalah

Hubungan Body Image, sedangkan variabel dependen penelitian (Ifil

dkk, 2017) adalah Perbedaan Penerimaan Diri.

2. Penelitian (Indarsita dkk, 2014) tentang Perilaku Remaja dalam Hal

Perubahan Fisiologis Pada Masa Pubertas Di SMP Yayasan

Pendidikan Shafiyyatul Amaliyyah Medan Tahun 2013. Perbedaan

penelitian adalah variabel dependen penelitian. Variabel dependen

penelitian ini adalah Penerimaan Diri pada Masa Pubertas, variabel

dependen penelitian (Indarsita dkk, 2014) Perubahan Fisiologis Pada

Masa Pubertas.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Telaah Pustaka

1. Penerimaan Diri

1) Definisi Penerimaan Diri

Penerimaan diri adalah suatu tingkatan kesadaran individu

tentang karakteristik pribadinya dan adanya kemauan untuk hidup

dengan keadaan tersebut (Pannes dalam Sari & Nuryoto,

2008).Individu dengan penerimaan diri merasa bahwa karakteristik

tertentu yang dimiliki adalah bagian dari yang tidak terpisahkan,

yang selanjutnya dihayati sebagai anugerah. Segala apa yang ada

pada dirinya dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan,

sehingga individu tersebut memiliki keinginan untuk terus dapat

menikmati kehidupan.

Sebelum individu melakukan penerimaan terhadap diri,

baik kelebihan maupun kekurangannya, diperlukan pengenalan

diri terlebih dahulu, karena kalau seseorang bisa mengenal diri

mereka dengan baik, maka lebih mudah pula untuk menerima diri

mereka secara utuh dan apa adanya. Oleh karena itu pengenalan

diri yang memadai menuntut pemahaman tentang hubungan atau

perbedaan antara gambaran tentang diri yang dimiliki seseorang

dengan dirinya menurut keadaan yang sesungguhnya.Orang yang

8
9

telah mencapai suatu tingkatan pengetahuan diri yang tinggi,

mereka mengetahui diri yang tinggi, mereka mengetahui diri

mereka baik pada tingkat sadar maupun pada tingkat tak sadar,

bersamaan dengan pengetahuan diri muncullah

penerimaan.Penerimaan diri merupakan suatu sikap yang dimiliki

seseorang dalam menerima kemampuan dan kelemahan yang

dimiliki.Mereka menerima kodrat mereka sendiri, kekuatan dan

kelemahan (Jung, dalam Schultz 1993).

Orang yang memiliki kesadaran dan penerimaan penuh

terhadap diri mereka dan menyadari potensi-potensi mereka

sebagai manusia.Mereka mengetahui bahwa mereka memiliki

kemampuan untuk melakukan dan untuk menjadi (Perls, dalam

Schultz, 1993).Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh

Atosokhi, dkk (dalam Muryantinah, 2013) penerimaan diri adalah

suatu sikap memandang diri sendiri sebagaimana adanya dan

memperlakukannya secara baik disertai rasa senang serta bangga

sambil terus menerus mengusahakan kemajuannya.

Orang yang memiliki kesadaran dan penerimaan penuh

terhadap diri mereka dan menyadari potensi-potensi mereka

sebagai manusia.Mereka mengetahui bahwa mereka memiliki

kemampuan untuk melakukan dan untuk menjadi (Perls, dalam

Schultz, 1993).Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh

Atosokhi, dkk (dalam Muryantinah, 2013) penerimaan diri adalah


10

suatu sikap memandang diri sendiri sebagaimana adanya dan

memperlakukannya secara baik disertai rasa senang serta bangga

sambil terus menerus mengusahakan kemajuannya.

Rubin (dalam Yulianti, 2007) mengemukakan bahwa

penerimaan diri merupakan sikap yang mencerminkan perasaan

senang sehubungan dengan kenyataan yang ada pada dirinya

dan membuat individu memiliki emosi yang spontan, fleksibel dan

kebebasan dalam menyadari perasaanya.Penerimaan diri adalah

sikap individu untuk menerima kenyataan pada dirinya berupa

kekurangan atau kelebihannya, serta mampu mengaktualisasikan

kehidupannya di masyarakat dan berusaha untuk melakukan hal-

hal yang terbaik untuk dirinya (Cronbach, 1963).

Allport (dalam Sculthz, 1993) mengemukakan bahwa

penerimaan diri adalah menerima semua segi dari ada mereka,

termasuk kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan

tanpa menyerah secara pasif pada kelemahan-kelemahan dan

kekurangan-kekurangan tersebut. Usaha untuk mengetahui diri

secara objektif mulai dari awal kehidupan dan tidak akan pernah

berhenti tetapi ada kemungkinan mencapai suatu tingkat

pemahaman diri (self-objectification) tertentu yang berguna dalam

setiap usia.

Menurut Sheerer (dalam Cronbach, 1963) penerimaan diri

adalah sejauh mana individu dapat manyadari dan mengakui


11

karakteristik pribadi danmenggunakannya dalam menjalani

kelangsungan hidupnya. Sikap penerimaan diri ditunjukkan oleh

pengakuan seseorang terhadap kelebihan-kelebihannya sekaligus

menerima kelemahan-kelemahannya tanpa menyalahkan orang

lain dan mempunyai keinginan yang terus-menerus untuk

mengembangkan diri.

Dengan penerimaan diri individu memiliki toleransi

terhadap frustasi atau kejadian-kejadian yang menjengkelkan, dan

toleransi terhadap kelemahankelemahan dirinya tanpa harus

menjadi sedih atau marah.Individu ini dapat menerima dirinya

tanpa harus menjadi sedih atau marah.Individu dapat menerima

dirinya sebagai seorang manusia yang memiliki kelebihan dan

kelemahan.Jadi individu yang mampu menerima dirinya adalah

individu yang dapat menerima kekurangan dirinya sebagai mana

dirinya mampu menerima kelebihannya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa penerimaan diri adalah

sikap individu untuk menerima kenyataan pada dirinya berupa

kekurangan atau kelebihannya serta mampu mengaktualisaikan

kehidupannya dimasyarakat dan berusaha untuk melakukan hal-

hal yang terbaik untuk dirinya.

2) Ciri-Ciri Penerimaan Diri

Menurut Shereer (dalam Cronbach, 1963) individu yang

memiliki penerimaan diri memiliki karakteristik:


12

a. Mempunyai keyakinan akan kemampuan dalam menghadapi

kehidupan. Individu mempunyai rasa percaya diri dan lebih

memusatkan perhatian kepada keberhasilan akan kemampuan

dirinya dalam menyelesaikan masalah.

b. Menganggap dirinya berharga sebagai manusia yang sederajat

dengan orang lain. Individu dalam golongan ini memiliki

keyakinan bahwa ia dapat berarti atau berguna bagi orang lain

yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

c. Tidak merasa ditolak orang lain dengan keadaan yang berbeda

dari orang lain. Individu tersebut tidak merasa sebagai orang

yang menyimpang dan berbeda dari orang lain, sehingga

mampu menyesuaikan dirinya dengan baik dan tidak merasa

berbeda dari orang lain. Menyadari dan tidak merasa malu

tentang keadaan dirinya.

d. Percaya diri.

Memiliki keyakinan terhadap diri sendiri akan kelebihan dan

kekurangan yang dimiliki oleh individu. Tidak malu terhadap

kekurangan yang dimiliki.

e. Berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.

Setiap melakukuan sesuatu perbuatan, individu tersebut tidak

akan lepas dari aturan yang ada dan bertanggung jawab atas

semua yang individu lakukan.


13

f. Perilaku lebih berdasarkan nilai-nilai dan standar yang ada pada

dirinya dari pada didasari oleh tekanan-tekanan dari luar dirinya.

Mempercayai prinsip-prinsip atau standar hidupnya tanpa harus

diperbudak oleh individu-individu lain

g. Menerima kritikan terhadap diri secara objektif.

Pujian yang diterima dan celaan yang didapat dijadikan sebagai

motivasi dan merubahn keadaan uang buruk menjadi baik.

h. Tidak menyalahkan dirinya akan keterbatasan yang dimiliki

ataupun mengingkari kelebihannya.

Mengerti dan paham atas kelemahan yang dimilikinya.Tidak

menyalahkan diri sendiri terhadap kekurangan yang dimiliki dan

tidak merasa sombong terhadap kelebihan.

i. Tidak mengingkari dorongan hati dan emosi.

Individu selalu bersikap tenang dalam menghadapi suatu

masalah.Apabila memiliki suatu permasalahan diselesaikan

dengan tenang.

Ciri-ciri tersebut tidak dapat dipisahkan karena merupakan

suatu kesatuan sistem dari penerimaan diri individu.Ciri-ciri

penerimaan diri ini diukur dari seberapa baik individu dalam

melakukan penerimaan diri.

3) Faktor-Faktor Pendukung Penerimaan Diri

Individu berbeda-beda dalam menerima dirinya

dikarenakan masing-masing individu memiliki ideal self yang


14

lebih tinggi dibandingkan real self yang dimilikinya. Apabila ideal

self itu tidak bersifat realistis dan sulit untuk diraih dalam

kehidupan yang nyata, maka hal itu akan menyebabkan frustasi

dan perasaan kecewa (Hurlock, 1979).

Lebih lanjut Hurlock (1979) menjelaskan beberapa

kondisi yang mendukung terbentuknya penerimaan diri, yaitu:

a. Pemahaman Diri (Self-Understanding)

Pemahaman diri adalah persepsi tentang dirinya sendiri yang

dibuat secara jujur, tidak berpura-pura dan bersifat realistis.

Persepsi atas diri yang ditandai dengan keaslian

(genuineness), tidak berpura-pura tetapi apa adanya, tidak

berkhayal tetapi nyata (benar adanya), tidak berbohong tetapi

jujur, dan tidak menyimpang. Pemahaman diri bukan hanya

terpaku pada mengenal atau mengakui fakta tetapi juga

merasakan pentingnya fakta-fakta.

b. Harapan yang Realistis (Realistic Expectations)

Harapan yang realistis muncul jika individu menentukan

sendiri harapannya yang disesuaikan dengan pemahaman

mengenai kemampuan dirinya, bukan harapan yang

ditentukan oleh orang lain. Hal tersebut dikatakan realistis jika

individu memahami segala kelebihan dan kekurangan dirinya

dalam mencapai harapan dan tujuannya.


15

c. Tidak adanya Hambatan Lingkungan (Absence of

Environmental Obstacle)

Ketidakmampuan untuk meraih harapan realistis mungkin

disebabkan oleh adanya berbagai hambatan dari lingkungan.

Bila lingkungan sekitar tidak memberikan kesempatan atau

bahkan malah menghambat individu untuk dapat

mengekspresikan dirinya, maka penerimaan diri akan sulit

untuk dicapai. Namun jika lingkungan, dan significant others

turut memberikan dukungan, maka kondisi ini dapat

mempermudah penerimaan diri seorang individu.

d. Sikap Sosial yang Menyenangkan (Favorable Social Attitudes)

Tiga kondisi utama yang menghasilkan evaluasi positif

terhadap diri seseorang antara lain, tidak adanya prasangka

terhadap seseorang, adanya penghargaan terhadap

kemampuan-kemampuan sosial, dan kesediaan individu

mengikuti tradisi suatu kelompok sosial. Individu yang memiliki

hal tersebut diharapkan mampu menerima dirinya.

e. Tidak Adanya Stress Emosional (Absence of Severe

Emotional Stress)

Ketiadaan gangguan stress yang berat akan membuat

individu dapat bekerja sebaik mungkin, merasa bahagia,

rileks, dan tidak bersikap negatif terhadap dirinya. Kondisi

positif ini diharapkan membuat individu mampu melakukan


16

evaluasi diri sehingga penerimaan diri yang memuaskan

dapat tercapai.

f. Jumlah Keberhasilan (Preponderance of Successes)

Saat individu berhasil ataupun gagal, ia akan memperoleh

penilaian sosial dari lingkungannya. Ketika seseorang memiliki

aspirasi tinggi, maka ia tidak akan mudah terpengaruh oleh

penilaian sosial tentang kesuksesan maupun kegagalan. Dia

kemudian akan menjadi lebih mudah dalam menerima dirinya

sendiri terkait dengan kondisi dimana ia telah terpuaskan

dengan keberhasilan yang telah dicapainya tanpa memikirkan

pendapat lingkungan sosial.

g. Identifikasi dengan orang yang memiliki penyesuaian diri yang

baik (Identification with Well-Adjusted People)

Saat individu dapat mengidentifikasikan diri dengan orang

yang memiliki penyesuaian diri yang baik, maka hal itu dapat

membantu individu untuk mengembangkan sikap positif dan

menumbuhkan penilaian diri yang baik. Lingkungan rumah

dengan model identifikasi yang baik akan membentuk

kepribadian sehat pada seseorang sehingga ia mampu

memiliki penerimanaan diri yang baik pula.

h. Perspektif diri (Self-Persperctive)

Individu yang mampu melihat dirinya sebagaimana perspektif

orang lain memandang dirinya, akan membuat individu


17

tersebut menerima dirinya dengan baik. Dimana hal ini

diperoleh melalui pengalaman dan belajar.Usia dan tingkat

pendidikan seseorang juga berpengaruh untuk dapat

mengembangkan perspektif dirinya.Sebuah perspektif diri

yang baik memudahkan akses terhadap penerimaan diri.

i. Pola Asuh Masa Kecil Yang Baik (Good Childhood Training)

Meskipun penyesuaian diri pada seseorang dapat berubah

secara radikal karena adanya peningkatan dan perubahan

dalam hidupnya, hal tersebut dianggap dapat menentukan

apakah penyesuaiannya dikatakan baik jika diarahkan oleh

masa kecilnya. Konsep diri mulai terbentuk sejak masa kanak-

kanak sehingga pengaruhnya terhadap penerimaan diri

seseorang tetap ada walaupun usia individu terus bertambah.

Dengan demikian, pola asuh juga turut mempengaruhi

bagaimana seseorang dapat mewujudkan penghayatan

penerimaan diri.

j. Konsep Diri yang Stabil (Stable Self-concept)

Individu dianggap memiliki konsep diri yang stabil, jika dalam

setiap waktu ia mampu melihat kondisinya dalam keadaan

yang sama. Jika seseorang ingin mengembangkan kebiasaan

penerimaan diri, ia harus melihat dirinya sendiri dalam suatu

cara yang menyenangkan untuk menguatkan konsep dirinya,


18

sehingga sikap penerimaan diri itu akan menjadi suatu

kebiasaan.

4) Peran Penerimaan Diri terhadap Kondisi Psikologis

Menurut Atosokhi, dkk. (2002) ada individu yang dengan

mudah menerima diri sendiri, dan ada pula individu yang agak

susah bahkan tidak berhasil menerima dirinya sendiri. Hal ini

disebabkan bila individu mengalami ketidakpuasan dan

kekecewaan terhadap dirinya sendiri.

Menurut Atosoki, dkk (2002) manfaat yang diperoleh

individu apabila berhasil menerima dirinya adalah individu

menerima diri apa adanya, akan merasa senang terhadap diri

sendiri, merasa lebih sehat, lebih semangat dan tidak banyak

masalah. Dengan menerima diri, individu merasa diri berharga,

atau sekurangkurangnya sama dan sejajar dengan orang lain,

karena menyadari bahwa disamping kekurangan juga memiliki

kelebihan. Menerima diri berarti menerima kelebihan dan

kekurangan, namun kekurangan tersebut bukanlah merupakan

halangan untuk maju akan tetapi memungkinkan individu tetap

bertanggung jawab untuk memperbaikinya. Individu yang

berhasil menerima dirinya dengan baik akan mampu

melaksanakan pekerjaan sebaik orang lain karena ada

kepercayaan dalam dirinya. Dengan berhasil menerima diri


19

sendiri berarti individu telah membangun sikap positif terhadap

diri sendiri.

Individu yang memiliki kesadaran dan penerimaan penuh

terhadap diri mereka siapa dan apa. Mereka memahami dan

menerima kekuatan dan kelemahan mereka dan menyadari

potensi-potensi mereka sebagai manusia.Merekamengetahui

bahwa mereka memiliki kemampuan untuk melakukan dan untuk

menjadi (Perls, dalam Sculthz, 1993).

Dari penelitian Nurpatmingsih (2016), individu yang

memiliki penerimaan diri yang baik, maka kecemasan yang

dialaminya akan berkurang dalam menghadapi menopause yang

akan mereka alami. Mereka akan bisa menerima dirinya dengan

perubahan yang mereka alami. Dengan adanya penerimaan diri

tersebut individu yang mengalami menopause akan mampu

melaksanakan pekerjaan sebaik mungkin dan mereka

mempunyai kepercayaan yang lebih.

2. Masa Pubertas

Pubertas adalah proses kematangan dan pertumbuhan yang

terjadi ketika organ-organ reproduksi mulai berfungsi dan

karakteristik seks sekunder mulai muncul (Wong, et al. 2009).

Masa puber merupakan masa transisi dan tumpang

tindih.Dikatakan transisi karena pubertas berada dalam peralihan

antara masa kanak-kanak dengan masa remajadan dikatakan


20

tumpang tindih karena beberapa ciri biologis-psikologis kanak-kanak

masih dimilikinya, sementara beberapa ciri remaja juga

dimilikinya.Jadi masa puber meliputi tahun-tahun akhir masa kanak-

kanak dan awal masa remaja. Menjelang anak matang secara

seksual, ia masih disebut “anak puber”, begitu matang secara

seksual ia disebut “remaja” atau “remaja muda” (Al Mighwar, 2006).

Masa pubertas disebut sebagai masa bangkitnya

kepribadian ketika minatnya lebih ditujukan kepada perkembangan

pribadi sendiri.Pribadi itulah yang menjadi pusat pikirannya (Zulkifli,

2005).

Al-Mighwar (2006) menjelaskan masa puber terjadi secara

bertahap, yaitu:

1) Tahap Prapubertas

Tahap ini disebut juga tahap pematangan yaitu pada satu atau

dua terakhir masa kanak-kanak. Pada masa ini anak dianggap

sebagai ”prapuber”, sehingga ia tidak disebut seorang anak dan

tidak pula seorang remaja. Pada tahap ini, ciri-ciri seks sekunder

mulai tampak, namun organ-organ reproduksinya belum

berkembang secara sempurna.

2) Tahap Puber

Tahap ini disebut juga tahap matang, yaitu terjadi pada garis

antara masa kanak - kanak dan masa remaja.Pada tahap ini,

kriteria kematangan seksual mulai muncul.Pada anak perempuan


21

terjadi haid pertama dan pada anak laki - laki terjadi mimpi basah

pertama kali.Disertai pula mulai berkembang ciri - ciri seks

sekunder dan sel - sel diproduksi dalam organ - organ seks.

3) Tahap Pascapuber

Pada tahap ini menyatu dengan tahun pertama dan kedua masa

remaja.Pada tahap ini ciri -ciri seks sekunder sudah berkembang

dengan baik dan organ-organ seks juga berfungsi secara matang.

Wong, et al (2009) mengatakan bahwa pubertas dibagi atas tiga

tahap yaitu:

a. Prapubertas

Prapubertas yaitu periode sekitar 2 tahun sebelum pubertas

ketika anak pertama kali mengalami perubahan fisik yang

menandakan kematangan seksual.

b. Pubertas

Pubertas merupakan titik pencapaian kematangan seksual,

ditandai dengan keluarnya darah menstruasi pertama kali pada

remaja putri sedangkan pada remaja putra indikasi

seksualitasnya kurang jelas.

c. Pascapubertas

Pascapubertas merupakan periode 1 sampai 2 tahun setelah

pubertas, ketika pertumbuhan tulang telah lengkap dan fungsi

reproduksinya terbentuk dengan cukup baik.


22

3. Remaja

1) Definisi Remaja dan Batasan Usia Masa Remaja

Istilah adolescene atau remaja berasal dari kata latin

(adolescere) (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja)

yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh mnejadi dewasa”. Bangsa

primitive demikian pula orangorang zaman purbakala memandang

masa puber dan masa remaja tidak berbeda dengan periode-

periode lain dalam rentang kehidupan, anak dianggap sudah

dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi (Hurlock,

1979).

Istilah adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini,

mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan mental,

emosional, sosial, dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh

Piaget (dalam Hurlock, 1979) secara psikologis, masa remaja

adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat

dewasa, usia dimana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat

orang-rang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang

sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi dalam

masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek efektif, kurang

lebih berhubungan dengan masa puber, termasuk juga perubahan

intelektual yang mencolok, trasformasi intelektual yang khas dari

cara berpikir remaja ini memungkinkannya untuk mencapai

integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa, yang


23

kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode

perkembangan ini.

Biasanya masa remaja dianggap mulai pada saat anak

secara seksual menjadi matang dan berakhir saat ia mencapai

usia matang secara hukum. Namun, penelitian tentang perubahan

perilaku, sikap, dan nilai-nilai sepanjang masa remaja tidak hanya

menunjukkan bahwa setiap perubahan terjadi lebih cepat pada

awal masa remaja daripada tahap akhir masa remaja, tetapi juga

menunjukkan bahwa perilaku, sikap, nilai-nilai pada awal masa

remaja berbeda dengan masa akhir masa remaja. Sehingga,

dengan demikian secara umum masa remaja dibagi menjadi dua

bagian, yaitu awal masa dan akhir masa remaja (Hurlock, 1979).

Menurut Mappiare (dalam Panuju & Ida, 1999) batasan

usia remaja yaitu dimulai saaat individu berusia 15-21 tahun.

Jersild (dalam Panuju, 1999) tidak memberikaan batasan pasti

rentangan usia masa remaja. Jersild membicarakan remaja dalam

rentang usia 11 tahun sampai usia 20 awal. Ditulis antara lain

bahwa masa remaja mencakup periode atau masa bertumbuhnya

seseorang dalam masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa

dewasa.

Hurlock (dalam Panuju, 1999) memaparkan bahwa jika

dibagi berdasarkan bentuk-bentuk perkembangan dan pola-pola

perilaku yang tampak khas bagi usia-usia tertentu, maka batasan


24

untuk usia remaja yaitu pubertas (preadolescence) usia 10/12

tahun – 13/14 tahun. Kemudian, masa remaja awal 13/14 tahun –

17 tahun. Remaja akhir usia 17 tahun – 21 tahun. Para ahli

Indonesia juga memberikan batasan usia remaja, Gunarso (dalam

Panuju, 1999) walaupun awalnya menyatakan bahwa ada

beberapa kesulitan menetukan batasan usia masa remaja di

Indonesia, akhirnya menetapkan bahwa usia 12-22 tahun sebagai

masa remaja. Selanjutnya Susilowindradini (dalam Panuju, 1999)

untuk menghindari salah paham, berpatokan pada literatur

Amerika dalam menentukan masa pubertas (12-15/16

tahun).Kemudian menguraikan tentang batasan pada masa

remaja awal atau Early Adolescene (13-17 tahun) dan masa

remaja akhir atau Late Adolescene (17-21 tahun).

Berdasarkan teori yang dipaparkan oleh para ahli diatas,

dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan tahap

perkembangan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju

masa dewasa, dimana masa remaja ini, individu belajar menjadi

individu dewasa bukan hanya dilihat dari kemampuan

mengadakan reproduksi, melainkan juga arti yang lebih luas,

mencakup kematangan mental, emosioanl, sosial, dan fisik.

Batasan usia remaja di mulai saat usia 13-21 tahun, yang terbagi

menjadi masa dewasa awal (13-17 tahun) dan masa remaja akhir

(17-21 tahun).
25

2) Ciri-ciri Masa Remaja

Seperti halnya dengan semua periode yang penting

selama rentang kehidupan, masa remaja mempunyai ciri-ciri

tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan

sesudahnya. Ciri-ciri masa remaja menurut Hurlock (1979) adalah

sebagai berikut:

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Kendatipun semua periode dalam rentang kehidupan adalah

penting. Namun kadar kepentingannya berbeda-beda. Ada

beberapa periode yang lebih penting daripada beberapa

periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap

sikap dan perilaku, dan ada lagi yang penting karena akibat-

akibat jangka panjangnya.Pada periode remaja, baik akibat

langsung maupun akibat jangka panjang tetap penting.Ada

periode yang penting Karena akibat fisik dan ada lagi karena

akibat psikologis.Pada periode remaja keduanya sama-sama

penting.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Dalam setiap periode peralihan, status individu tidaklah jelas

dan terdapat keraguan akan peran yang harus dilakukan. Pada

masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan juga bukan

orang dewasa. Jika remaja berperilaku seperti anak-anak,

remaja akan diajari untuk bertindak sesuai umurnya. Kalau


26

remaja berusaha berperilaku seperti orang dewasa, seringkali

dimarahi karena mencoba bertindak seperti orang dewasa. Di

lain pihak, status remaja yang tidak jelas ini menguntungkan

karena status memberi waktu kepadanya untuk mencoba gaya

hidup yang berbeda dan menentukan pola perilaku, nilai dan

sifat yang paling sesuai dengan dirinya.

c. Masa remaja sebagai periode perubahan

Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa

remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik.Selama awal

masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat,

perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat.Kalau

perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku

juga menurun.

d. Masa remaja sebagai usia bermasalah

Karena ketidakmampuan mereka untuk mengatasi sendiri

masalahnya menurut cara yang mereka yakini, banyak remaja

akhirnya menemukan bahwa penyelesainnya tidak selalu

sesuai dengan harapan mereka. Seperti yang dijelaskan Anna

Freud (dalam Hurlock, 1979) banyak kegagalan, yang

seringkali disertai akibat tragis, bukan karena ketidakmampuan

individu tetapi karena kenyataan bahwa tuntutan yang diajukan

kepadanya justru pada saat semua tenaganya telah dihabiskan


27

untuk mencoba mengatasi masalah pokok yang disebabkan

oleh pertumbuhan dan perkembangan seksual yang normal.

e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas

Erikson (dalam Hurlock, 1979) menjelaskan identirtas diri yang

dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya,

apa perannya dalam masyarakat. Apakah individu tersebut

seorang anak atau seorang dewasa, apakah nantinya individu

dapat menjadi seorang suami atau ayah, apakah individu

mampu percaya diri sekalipun latar belakang ras atau agama

atau nasionalnya membuat beberapa orang merendahkannya,

secara keseluruhan apakah individu akan berhasil atau gagal.

f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak

yang tidak rapi, tidak dapat dipercaya, dan cenderung merusak

dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang

harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja.Stereotip

ini mempengaruhi konsep diri dan sikap remaja sehingga

membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit.

g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistic

Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca

berwarna merah jambu. Remja melihat dirinya sendiri dan

orang lain sebagaimana yang remaja inginkan dan bukan

sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita.


28

h. Masa remaja sebagai Ambang Masa Dewasa

Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah,

para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip

belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka

sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang

dewasa ternyata belumlah cukup.Oleh karena itu, remaja mulai

memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan denagn

status dwasa seperti merokok, minum-minuman keras,

menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks.

4. Penerimaan Diri Remaja

Remaja yang dapat menerima dirinya akan mudah dalam

menjalani kehidupannya sebagai remaja. Karena dengan

penerimaan diri yang dimiliki akan akan menunjang penerimaan

sosial. Teman-temannya akan suka ketika berada di sekitarnya dan

itu akan menambah perasaan senang terhadap dirinya. Dengan

begitu akan menunjang pribadi dan penyesuaian diri di setiap

kondisi.

Remaja akan cenderung suka jika mendapatkan kasih

sayang dari orang disekitarnya. Banyaknya kasih sayang dan

perhatian yang diterima maka akan membentuk penerimaan diri

yang baik. Namun berbeda jika remaja tidak memiliki penerimaan

diri, dia akan kesulitan dalam penyesuaian diri.


29

Penerimaan diri dapat terbentuk mulai dari pengalaman yang

diterima semenjak kecil, dengan membentuk

pengalamanpengalaman yang baik bagi anak sehingga akan mudah

bagi individu untuk menyukai dan menerima dirinya dengan

banyaknya kasih sayang yang diterima. Namun ketika mendapatkan

kecaman, bentakan, bahkan sampai pukulan maka menjadikan kasih

sayang yang seharusnya didapatkan menjadi ketakutan dan

penolakan terhadap diri.

Kebanyakan seseorang yang masuk pada masa remaja

menolak dirinya daripada menerima dirinya (Hurlock, 1980).Karena

terdapat banyak sekali perbedaan antara harapan dan kenyataan

yang diterima pada masa remaja.Akan mendapat kesulitan yang

lebih jika remaja mengalami penolakan terhadap dirinya atau tidak

menyukai dirinya.Penolakan diri seseorang adalah ketika seseorang

membenci dirinya sendiri. Mereka akan cenderung menghina diri

mereka sendiri dan mengira bahwa orang lain memusuhi dan

menghina mereka. Mereka tidak percaya akan perasaan serta sikap

mereka sehingga memiliki harga diri yang mudah goyah. Faktor yang

mempengaruhi penolakan itu karena adanya tingginya harapan yang

tidak sesuai dengan kenyataan. Sehingga akan sulit untuk menerima

kenyataan yang ada.

Penerimaan dan penolakan remaja terhadap dirinya

dipengaruhi juga oleh lingkungan seperti seseorang mendapatkan


30

diskriminasi dalam waktu yang panjang.Selain itu pola asuh orang

tua juga memiliki peran dalam mempengaruhi penerimaan diri.

Perilaku orang lain memberikan dampak terhadap penerimaan diri

remaja. Karena ketika banyak orang lain yang menyukai mereka

maka mereka cenderung untuk menerima diri mereka, dan juga

sebaliknya.

Penerimaan yang buruk pada remaja bisa disebabkan oleh

konsep diri yang buruk.Konsep diri yang buruk menyulitkan

penyesuaian terhadap lingkungan. Karena konsep diri yang buruk

menjadikan penerimaan diri menjadi buruk pula sehingga akan

menyulitkan untuk melakukan penyesuaian terhadap lingkungan.

Ketika anak-anak sudah mulai mengembangkan konsep diri yang

tidak menguntungkan, orang terdekat memiliki kewajiban untuk

membimbing agar konsep diri yang tidak menguntungkan tersebut

tidak berkembang. Karena ketika anak memiliki konsep diri yang

tidak menguntungkan maka akan cenderung menjadi lebih buruk

penerimaan dirinya dengan bertambahnya usia.

Membentuk penerimaan diri pada individu ketika masih pada

masa anak-anak lebih mudah jika dibandingkan pada masa remaja.

Namun masih ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk

meningkatkan penerimaan diri pada remaja. Seperti yang

dikemukakan oleh Hurlock (1979) sebagai berikut:


31

1) Meyakinkan remaja bahwa mereka tidak akan tumbuh seperti

yang tidak mereka inginkan.

2) Membantu remaja dalam menambah wawasan dirinya sehingga

remaja bisa dengan mudah mengerti akan kekuatan dan

kelemahannya.

3) Dengan perkembangan sosial remaja yang baik, remaja akan

berperilaku sesuai dengan apa yang dia rasa benar, tidak sesuai

dengan apa yang mereka harapkan.

4) Membentuk konsep diri yang baik serta stabil pada remaja,

dengan diberikan bimbingan untuk mengenali dirinya sendiri.

Penerimaan diri pada masa remaja memang mengalami

pasang surut dan juga akan sedikit sulit untuk memodifikasi bisa

tidak ada upaya pelurusan sejak dini. Namun tetap pada fase remaja

seharusnya memiliki penerimaan diri yang baik sehingga remaja bisa

menjalani kehidupannya dengan baik. Dengan penerimaan diri yang

baik pada remaja maka penyesuaian terhadap lingkungan dan

kondisi menjadi mudah bagi remaja, sehingga remaja terhindar dari

perasaan cemas dan juga ketakutan akan masalah yang

dihadapinya.

B. Landasan Teori

Remaja yang menerima dirinya, menerima dirinya sebagaimana

mereka menerima sebagai teman orang lain yang disukai. Bila remaja

cukup menyukai dirinya, mereka menunjang penerimaan social.


32

Semakin banyak orang yang menyukai dan menerima mereka, semakin

senang remaja dengan dirinya dan semakin kuat menerima dirinya.

Hal tersebut menunjang pribadi dan penyesuaian diri yang baik.

Salah satu kebutuhan penting bagi remaja adalah untuk

disayangi, remaja selalu ingin untuk diperhatikan. Sementara itu factor

untuk menjadi disayangi tersebut diantaranya adalah diterima dan juga

memiliki, poin paling penting dalam masa remaja adalah untuk

diterima, dan merka juga harus mengembangkan bakat memiliki secar

mendalam, baik dalam memiliki penerimaan dari keluarga, kelompok,

maupun komunitas (Schneiders, 1964).


33

C. Kerangka Teori
Masa Remaja sebagai:
1. Periode yang penting
Remaja 2. Periode peralihan
3. Periode perubahan
Tahapan: 4. Masa mencari identitas
1. Tahap Prapubertas 5. Usia yang menimbulkan ketakutan
2. Tahap Puber Masa Pubertas 6. Masa yang tidak realistik
3. Tahap Pasca Puber 7. Ambang masa dewasa
Al-Mighwar (2006) Hurlock (1979)

Perbedaan Penerimaan
Diri Remaja

Remaja Remaja
Pria Wanita

(Friedman & Schustack, 2006)


Gambar 1. Kerangka Teori
34

D. Kerangka Konsep

Penerimaan Diri Remaja Pria


pada Masa dan Remaja
Pubertas Wanita

Variabel bebas : Penerimaan Diri pada Masa Pubertas

Variabel terikat : Remaja Pria dan Remaja Wanita

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini yaitu:

H0 : Tidak ada perbedaan penerimaan diri pada masa pubertas antara

remaja pria dan wanita

Ha : Ada perbedaan penerimaan diri pada masa pubertas antara

remaja priadan wanita


BAB III

METODE PENELITIAN

A. Strategi Pencarian Literatur

Penelitian ini merupakan penelitian sekunder berjenis literature

review yang berarti analisis berupa kritik (membangun/menjatuhkan)

dari penelitian yang telah dilakukan terhadap suatu topik khusus atau

pertanyaan terhadap suatu bagian dari keilmuan tertentu (Agusta,

2008). Design penelitian yang masuk dalam literatur review ini

menggunakan desain quasi eksperiment. Jenis metode penelitian ini

merupakan metode terbaik dalam menjawab pertanyaan klinis di

lapangan. Tipe study yang direview adalah semua jenis penelitian yang

membahas Perbedaan Penerimaan Diri pada Masa Pubertas Antara

Remaja Pria dan Wanita.

1. Framework

Framework atau rancangan dalam peneltian adalah

menggunakan PICO. PICO adalah metode pencarian informasi -

klinis yang merupakan akronim dari 4 komponen yaitu:

P (patient, population, problem) Kata-kata ini mewakili pasien,

populasi, dan masalah yang diangkat dalam karya ilmiah yang

ditulis.Dalam penelitian ini, masalah yang diangkat adalah

perbedaan penerimaan diri terhadap pubertas antara remaja pria dan

remaja wanita mengingat kurangnya rasa percaya diri remaja

35
36

menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada diri mereka

pada saat pubertas. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja dan

yang akan menjadi sampelnya adalah remaja awal yang sedang

mengalami masa pubertas;

I (intervention, prognostic factor, exposure) Kata ini mewakili

intervensi, faktor prognostik atau paparan yang akan diangkat dalam

karya ilmiah. Intervensi yang diberikan adalah pendidikan kesehatan

tentang penerimaan diri remaja terhadap perubahan yang terjadi

pada saat pubertas;

C (comparison, control) Kata ini mewakili perbandingan atau

interpensi yang ingin dibandingkan dengan intervensi atau pararan

pada karya ilmiah yang akan ditulis. Intervensi pembanding atau

kelompok kontrol adalah penerimaan diri remaja wanita saja atau

penerimaan diri remaja pria saja.dan;

O (outcome) Kata ini mewakili target apa yang ingin dicapai dari

suatu penelitian misalnya pengaruh atau perbaikan dari suatu kondisi

atau penyakit tertentu. Hasil yang ingin dicapai adalah mengetahui

bagaimana penerimaan diri remaja terhadap perubahan yang terjadi

pada saat pubertas.

2. Kata kunci yang digunakan

Strategi pencarian artikel penelitian menggunakan Bahasa

Indonesia untuk artikel nasional dan menggunakan Bahasa Inggris

untuk artikel internasional, dimana bahasa yang digunakan yang


37

relevan dengan topik penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

kata kunci: “Penerimaan Diri”, “Self Acceptance”, “Masa Pubertas”,

“Puberty”, “Remaja”, “Teenagers”, “Penerimaan Diri Remaja” dan

“Teenagers Self Acceptance”.

3. Database atau aplikasi yang digunakan

Database yang digunakan dalam pencarian literatur adalah Google

Scholar.

B. Kriteria Inklusi dan Eksklusi

1. Kriteria inklusi

Pencarian literatur dalam skripsi ini berdasarkan kriteria

inklusi sebagai berikut:

a) Artikel dengan yang membahas tentang perbedaan penerimaan

diri remaja pada masa pubertas.

b) Populasi remaja yang sedang dalam masa pubertas.

c) Jurnal dari tahun 2015 – 2020

2. Kriteria eksklusi

Semua artikel yang tidak memenuhi kriteria inklusi.

C. Seleksi Studi dan Penilaian Kualitas

1. Hasil pencarian dan seleksi studi

Setelah dilakukan penelusuran dengan menggunakan

database Google Scholar didapatkan jumlah artikel sebagai berikut:


38

Gambar 3. Artikel Berdasarkan Kriteria Inklusi dan Ekslusi

Dilakukan pencarian menggunakan kata


kunci sesuai perbedaan penerimaan diri 620 Hasil
remaja pada masa pubertas

Dispesifikan dalam 5 tahun terakhir 120 Hasil


(2015 – 2020)

Hasil dengan kriteria Inklusi 25 Hasil

Hasil artikel Literature untuk dianalisis 5 Hasil

Berdasarkan hasil pencarian menggunakan database

google scholar didapatkan artikel yang masuk dalam kriterian inklusi

sebanyak 25 artikel. Berdasarakan panduan penulisan literature

review Politeknik Kesehatan Kendari jurnal yang digunakan minimal

5 jurnal yang terdiri dari jurnal internasional dan jurnal nasional.

Sehingga dalam literature review ini menggunakan 5 artikel untuk

dianalisis, yaitu 3 jurnal nasional, 2 jurnal internasional.

2. Daftar artikel hasil pencarian

a) Susi Fitri, Meithy Intan Rukia Luawo dan Ranchia Noor. (2017).

Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Laki-Laki Di

SMA Negeri Se-DKI Jakarta.

b) Bella Kartini Rochmania. (2015). Sikap Remaja Putri dalam

Menghadapi Perubahan Fisik Masa Pubertas.


39

c) La Ode Alifariki. (2018). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Kecemasan Menghadapi Masa Pubertas Remaja di SMPN 20

Kendari.

d) Jane Mendle, Adriene M. Beltz and Rona Carter dan Lorah D.

Dorn. (2019). Understanding Puberty and Its Measurement: Ideas

for Research in a New Generation.

e) Lindsay T. Hoyt, Li Niu, Mark C. Pachucki dan Natasha Chaku

(2020). Timing of Puberty in Boys and Girls: Implications For

Population Health.
40

Tabel 1. Sintesis/Ekstraksi Data Hasil Penelitian

TEMPAT JUMLAH JENIS KATEGORI METODE PENELITIAN/


NO STUDI/AUTHOR OUTCOME
PENELITIAN SAMPEL KELAMIN REMAJA ALAT UKUR

1. Berdasarkan analisa data, dapat


disimpulkan bahwa sebagian responden
Gambaran
berada pada kategori sedang dengan
Kesejahteraan
persentase sebesar 54,45%. Hal ini
Psikologis pada
menunjukkan bahwa kesejahteraan
Remaja Laki-Laki Di
Penelitian ini menggunakan psikologis pada remaja di SMA Negeri
1 SMA Negeri Se-DKI Jakarta 303 Pria Awal
metode quasi eksperiment. se-DKI Jakarta cukup baik. Jika dilihat
Jakarta
per aspek, persentase tertinggi ada pada
Susi Fitri, Meithy Intan
aspek penerimaan diri. Sedangkan jika
Rukia Luawo dan
dilihat per kelas tingkat kesejahteraan
Ranchia Noor. (2017).
psikologis pada remaja laki-laki pada
kelas XII memiliki persantase tertinggi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
mayoritas responden mempersepsikan
tipe pola asuh orang tuanya demokratis
yaitu sejumlah 59 siswi (64,1%).
Mayoritas responden (64,1%) bersikap
Sikap Remaja Putri
negatif (unfaforable) dalam menghadapi
dalam Menghadapi
Penelitian ini menggunakan perubahan fisik masa pubertas, dan siswi
2 Perubahan Fisik Masa Malang 120 Wanita Awal
metode quasi eksperiment. yang mempersepsikan tipe pola asuh
Pubertas. Bella Kartini
orang tuanya demokratis lebih banyak
Rochmania. (2015).
bersikap negative dalam menghadapi
perubahan fi sik masa pubertas.
Kemudian didapatkan nilai x2 hitung
3,895 lebih kecil dari x2 tabel (5,991)
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak
41

ada hubungan antara persepsi pola asuh


orang tua dengan sikap menghadapi
perubahan fi sik masa pubertas.
Faktor-Faktor yang Ada hubungan antara penerimaan diri,
Berhubungan dengan dukungan orang tua, dukungan teman
Jenis penelitian ini adalah
Kecemasan sebaya, pengetahuan siswi dengan
penelitian observasional dengan
Menghadapi Masa Pria dan kecemasan menghadapi masa pubertas
3 Kendari 432 Awal pendekatan cross sectional study.
Pubertas Remaja di Wanita remaja di SMPN 20 Kendari.
Penelitian ini menggunakan
SMPN 20 Kendari.
metode quasi eksperiment.
La Ode Alifariki.
(2018).
Remaja saat ini berbeda dengan remaja
pada masa lalu dalam hal waktu
permulaan pubertas, durasi transisi,
pengaruh sosial yang mereka hadapi,
dan susunan demografis serta keadaan
ekonomi negara tempat mereka tinggal.
Understanding Bagaimanapun, pubertas sebagai topik
Puberty and Its penelitian akan terus menginspirasi dan
Measurement: Ideas membingungkan para developmentalists,
for Research in a New karena alasan sederhana bahwa transisi
Pria dan Penelitian ini menggunakan
4 Generation. Inggris 256 Awal dari masa kanak-kanak ke remaja kaya
Wanita metode quasi eksperiment.
Jane Mendle, Adriene dengan signifikansi pribadi, biologis, dan
M. Beltz and Rona sosial. Memasukkan aspek pubertas
Carter dan Lorah D. yang belum dipelajari yang disoroti dalam
Dorn. (2019). ulasan ini, khususnya hal ini berkenaan
dengan keragaman dan konteks, sangat
penting untuk meningkatkan literatur
tentang pubertas. Harapan kami adalah
artikel ini memotivasi dan memandu para
peneliti untuk mengatasi jendela
perkembangan yang sangat penting ini.
42

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa,


secara keseluruhan, waktu pubertas
yang lebih awal (yaitu, waktu
kedewasaan dan waktu kerabat sebaya)
menempatkan anak perempuan dan laki-
laki pada risiko selama masa remaja,
sementara waktu kemudian bersifat
protektif. Namun, model longitudinal
menunjukkan hasil yang beragam.
Timing of Puberty in
Misalnya, waktu pematangan dini
Boys and Girls:
dikaitkan dengan BMI dewasa muda
Implications For
Awal, yang lebih tinggi (anak perempuan: β ¼
Population Health. Amerika Pria dan Penelitian ini menggunakan
5 14.545 Tengah dan 0.139, p <.01; anak laki-laki: β ¼ 0.107, p
Lindsay T. Hoyt, Li Serikat Wanita metode quasi eksperiment.
Akhir <.01), tetapi waktu yang lebih lama untuk
Niu, Mark C. Pachucki
anak laki-laki dikaitkan dengan keduanya
dan Natasha Chaku
berisiko (misalnya, lebih banyak waktu
(2020)
layar; β ¼ 0,125, p <.05) dan perilaku
yang meningkatkan kesehatan (misalnya,
lebih banyak tidur; β 6 .296, p <.01).
Analisis rangkaian hasil holistik ini
dengan mempertimbangkan perbedaan
jenis kelamin memungkinkan
dilakukannya rekomendasi berbasis bukti
yang lebih cermat untuk promosi
kesehatan remaja.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Didapatkan 5 jenis artikel, metode penelitian dari semua artikel

yang dianalisis sama, metode penelitian tersebut adalah quasi

eksperiment. Tempat penelitian dari artikel dilakukan di tempat yang

berbeda, Artikel pertama pengambilan data dilakukan di Jakarta, artikel

kedua di Malang, artikel ketiga di Kendari, artikel kempat di Inggris dan

artikel kelima di Amerika Serikat. Kelima artikel ini menunjukkan bahwa

ada perbedaan terhadap penerimaan diri pada masa pubertas antara

remaja pria dan wanita.

Jurnal pertama berjudul Gambaran Kesejahteraan Psikologis

pada Remaja Laki-Laki Di SMA Negeri Se-DKI Jakarta oleh Susi Fitri,

Meithy Intan Rukia Luawo dan Ranchia Noor, tahun 2017. Penelitian ini

berfokus pada perubahan diri dan penerimaan diri yang terjadi pada

remaja pria. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan

analisa data, dapat disimpulkan bahwa sebagian responden berada

pada kategori sedang dengan persentase sebesar 54,45%. Hal ini

menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis pada remaja pria di SMA

Negeri se-DKI Jakarta cukup baik.Jika dilihat per aspek, persentase

tertinggi ada pada aspek penerimaan diri.Sedangkan jika dilihat per

kelas tingkat kesejahteraan psikologis pada remaja pria pada kelas XII

memiliki persantase tertinggi.Jadi, remaja pria dapat dengan baik

43
44

menerima perubahan yang terjadi pada diri mereka dan menerimanya

dengan cukup baik.

Jurnal kedua berjudul Sikap Remaja Putri dalam Menghadapi

Perubahan Fisik Masa Pubertas oleh Bella Kartini Rochmania tahun

2015.Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif

menggunakan angket penelitian yang dianalisis menggunakan teknik

regresi yang berfokus hanya pada remaja wanita. Hasil dari penelitian

ini menunjukkan bahwa responden mempersepsikan tipe pola asuh

orang tuanya demokratis yaitu sejumlah 59 siswi (64,1%). Mayoritas

responden (64,1%) bersikap negatif (unfaforable) dalam menghadapi

perubahan fisik masa pubertas, dan siswi yang mempersepsikan tipe

pola asuh orang tuanya demokratis lebih banyak bersikap negative

dalam menghadapi perubahan fisik masa pubertas. Kemudian

didapatkan nilai x2 hitung 3,895 lebih kecil dari x2 tabel (5,991) sehingga

dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara persepsi pola

asuh orang tua dengan sikap menghadapi perubahan fisik masa

pubertas. Dapat disimpulkan bahwa, remaja wanita dapat menerima

perubahan yang terjadi pada diri mereka baik fisik maupun psikis

dengan cukup baik walaupun tanpa dukungan pola asuh orang tua

yang dianggap dapat mempengaruhi.

Jurnal ketiga berjudul Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan

Kecemasan Menghadapi Masa Pubertas Remaja di SMPN 20 Kendari

oleh La Ode Alifariki tahun 2018.Penelitian ini berfokus pada factor


45

yang berhubungan dengan kecemasan baik remaja pria maupun wanita

dalam menghadapi masa puber mereka.Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa ada hubungan antara penerimaan diri, dukungan

orang tua, dukungan teman sebaya, pengetahuan siswi dengan

kecemasan menghadapi masa pubertas remaja di SMPN 20

Kendari.Oleh karena itu, penelitian ini menganggap bahwa baik remaja

pria maupun wanita dapat menerima perubahan yang terjadi selama

masa puber dengan baik asalkan ada dukungan ekstrinsik yang dapat

meningkatkan rasa percaya diri mereka dan mengurangi kecemasan

yang timbul pada diri mereka.Remaja wanita dikatakan memiliki tingkat

kecemasan yang lebih tinggi.

Jurnal keempat yang berjudul Understanding Puberty and Its

Measurement: Ideas for Research in a New Generation oleh Jane

Mendle, Adriene M. Beltz and Rona Carter dan Lorah D. Dorn tahun

2019. Fokus penelitian pada remaja saat ini yang perubahan pada

masa pubertas berbeda dengan remaja pada masa lalu dalam hal

waktu permulaan pubertas, durasi transisi, pengaruh sosial yang

mereka hadapi, dan susunan demografis serta keadaan ekonomi

negara tempat mereka tinggal. Remaja wanita dinilai lebih sulit

menerima diri mereka dikarenakan perubahan-perubahan fisik yang

terjadi, sementara remaja pria dinilai lebih berfokus pada perubahan

psikis mereka, tentang tanggung jawab yang akan ditanggung ketika

dewasa nanti. Pubertas sebagai topik penelitian akan terus


46

memberikan alasan sederhana bahwa transisi dari masa kanak-kanak

ke remaja kaya dengan signifikansi pribadi, biologis, dan sosial.

Jurnal kelima berjudul Timing of Puberty in Boys and Girls:

Implications For Population Health oleh Lindsay T. Hoyt, Li Niu, Mark C.

Pachucki dan Natasha Chaku tahun 2020. Penelitian ini berfokus pada

masa pubertas remaja pria dan remaja wanita.Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa, secara keseluruhan, waktu pubertas yang lebih

awal menempatkan anak perempuan dan laki-laki pada risiko selama

masa remaja, sementara waktu kemudian bersifat protektif. Namun,

model longitudinal menunjukkan hasil yang beragam. Misalnya, waktu

pematangan dini dikaitkan dengan BMI dewasa muda yang lebih tinggi

(anak perempuan: β ¼ 0.139, p <.01; anak laki-laki: β ¼ 0.107, p <.01),

tetapi waktu yang lebih lama untuk anak laki-laki dikaitkan dengan

keduanya berisiko (misalnya, lebih banyak waktu layar; β ¼ 0,125, p

<.05) dan perilaku yang meningkatkan kesehatan (misalnya, lebih

banyak tidur; β 6 .296, p <.01). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat

kematangan berpikir dapat mempengaruhi bagaimana remaja pria dan

remaja wanita dapat meredam kecemasan yang ada pada pikiran

mereka dan menerima perubahan-perubahan yang terjadi. Walaupun

tingkat kematangan pikiran remaja pria cendrung lebih terlambat dari

remaja wanita, tetapi remaja pria sedikit lebih bias mengontrol diri

mereka dan menerima perubahan pada masa pubertas dari pada

remaja wanita.
47

Berdasarkan 5 jurnal yang dianalisis, diketahui bahwa remaja

pria dan wanita yang menjadi sampel penelitian memiliki penerimaan

diri yang beragam dan berbeda-beda ditinjau dari aspek gender dan

karakteristik wilayah (lokasi) penelitian. Penerimaan diri tercermin

melalui sikap diri remaja dalam menghadapi perubahan fisik dan psikis

pada masa pubertas.

B. Pembahasan

Penetapan kriteria yang ketat pada metode sangat

mempengaruhi jumlah artikel yang didapat. Penentuan artikel yang

diambil awalnya dengan cara memasukan kata kunci tiap variabel yang

telah di pilih kemudian dilakukan pencarian menggunakan google

scholar. Setelah dilihat bahwa jumlah artikel yang didapatkan terbatas

kriteria pengambilan artikel selanjutnya spesifikan dalam 5 tahun

terakhir.

Hasil artikel yang didapatkan dari pencarian dengan

memasukkan kata kunci dan dispesifikan dalam 5 tahun terakhir diambil

dan dianalisa mana saja yang memenuhi kriteria inklusi dan dapat

dijadikan sebagai artikel yang akan digunakan, dengan mengacu pada

artikel yang terkait dengan perbedaan penerimaan diri pada masa

pubertas antara remaja pria dan wanita. Setelah menurunkan kriteria

berupa metode penelitian, akhirnya artikel yang didapatkan 5

artikel.Hasil yang sejalan ditunjukkan pada hasil penelitian diartikel,


48

hasil penelitian secara umum menyatakan bahwa penerimaan diri

remaja pria pada masa pubertas lebih baik dari pada remaja wanita.

Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa anak-

anak ke masa dewasa yang membuat remaja mengalami

perkembangan mencapai kematangan fisik, mental, social dan

emosional yang secara perlahan memasuki masa pubertas.Masa

pubertas adalah periode dalam rentang ketika anak-anak berubah dari

makhluk aseksual menjadi seksual. Pada masa ini anak-anak akan

mulai mengalami kematangan organ-organ reproduksinya juga

mengalami perubahan-perubahan dalam pertumbuhan fisik dan

psikologis (Hurlock, 2000).

Perubahan yang terjadi mempengaruhi remaja dalam

memandang dirinya. Konsep diri pada remaja lebih menekankan pada

penampilan; hidung, telinga yang besar, tubuh yang pendek, atau

kerangka tubuh yang besar mengakibatkan remaja menilai buruk

terhadap dirinya. Menurut Djahwat Dahlan (2001) bahwa “remaja yang

sedang mengalami proses transisi atau pubertas memiliki ciri-ciri dalam

pertumbuhan fisik, psikis dan sosialnya”.

Pada umumnya remaja mengalami berbagai kesulitan dan

masalah dalam melakukan penyesuaian diri terhadap dirinya dan

lingkungan pada masa pubertas. Perubahan-perubahan fisik

menyebabkan kecanggungan bagi remaja karena ia harus

menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada


49

dirinya (Sarlito Wirawan Sarwono, 2001). Kecemasan akan penerimaan

diri pada masa pubertas berhubungandengan perubahan-perubahan

yang terjadi selama masa pubertas, seperti perubahan fisik pada ciri-ciri

seks sekunder yang tidak berkembang dengan baik menjadi sumber

keprihatinan yang besar. Dampak kecemasan remaja akibat

menghadapi masa pubertas ini pun sering menjadi pengalaman yang

traumatis yang bisa dialami remaja pria dan wanita.

Penelitian yang dilakukan oleh Susi Fitri dkk tahun 2017

tentang Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Laki-Laki Di

SMA Negeri Se-DKI Jakarta kepada 303 siswa laki-laki SMA Negeri

yang berada di wilayah DKI Jakarta sebagian besar berada pada

kategori sedang, artinya sebagian besar remaja laki-laki memilki

penerimaan diri yang cukup baik. Hal ini sejalan dengan penelitian

Muhammad Ridha (2012) yang menunjukkan bahwa penerimaan

diri remaja laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Penerimaan

diri yang tinggi pada remaja laki-laki dipengaruhi oleh citra tubuh

remaja laki-laki yang digambarkan maskulin memilki penerimaan

diri yang lebih tinggi. Remaja laki-laki dapat menerima keadaan

dirinya pada saat ini dan menanggapi masa lalunya dengan hal

yang positif.

Penelitian yang berjudul Sikap Remaja Putri dalam Menghadapi

Perubahan Fisik Masa Pubertas oleh Bella Kartini Rochmania tahun

2015 menunjukkan bahwa remaja putri dalam menghadapi


50

perubahan fisik pubertas bersikap negatif yaitu sebanyak 53,3% dari

total responden. Hal tersebut menjelaskan bahwa sebagian besar

remaja putri belum dapat menerima perubahan fisik yang terjadi

pada masa pubertas. Data yang diperoleh dari penelitian tersebut

menjelaskan bahwa rasa takut, malu, cemas, dan mudah marah saat

menstruasi dirasakan oleh remaja putri. Sikap dipengaruhi oleh

orang yang dianggap penting. Remaja putri tampak kurang menyukai

perubahan fisik ketika beranjak remaja, khususnya mengenai

perubahan lemak tubuh (Al-mighwar, 2006). Penelitian ini didukung

oleh penelitian yang dilakukan Etik Sulistyorini dan Wahyu Fajar tahun

2010 pada bulan Desember di SMP Negeri 5 Sragen didapatkan dari

10 siswi, sebagian besar (50%) siswi mengatakan tidak

menginginkan peningkatan berat badan yang mereka alami saat

melewati masa pubertas karena kurang percaya diri tampil

didepan umum, yang mana tiga diantaranya mengalami anoreksia

dan gastritis, satu siswi menurunkan berat badan dengan minum

obat, kemudian 30% siswi mengatakan merasa takut wajahnya

tidak cantik lagi karena tubuhnya berjerawat dan semua dari

mereka menggunakan cream dokter untuk menghilangkan

jerawat tetapi satu siswa diantaranya justru mengalami iritasi pada

wajahnya, selain itu juga terdapat 20% siswi yang mengatakan

bahwa merasa lebih cantik dan menarik sehingga lebih percaya diri.
51

La Ode Alifariki dalam penelitiannya Faktor-Faktor yang

Berhubungan dengan Kecemasan Menghadapi Masa Pubertas Remaja

di SMPN 20 Kendari pada tahun 2018 menyatakan bahwa terdapat

hubungan positif yang sangat signifikan antara kematangan emosi

dengan penerimaan diri pada remaja. Semakin tinggi kematangan

emosi seseorang semakin tinggi pula penerimaan dirinya, sebaliknya

semakin rendah kematangan emosi seseorang semakin rendah pula

penerimaan dirinya.Emosi seseorang berkaitan erat dengan

penerimaan diri. Penelitian lain yang dilakukan oleh Daavidson dan

Gottlieb (Powel, 1963) ternyata ditemukan adanya perbedaan tingkat

emosi maupun intelegensi antara wanita yang belum mengalami

menarche (menstruasi) dan yang sudah mengalami menarche. Oleh

karena itu penerimaan diri wanita cendrung negative dari pada pria.

Wanita yang telah mengalami masa puber memiliki tingkat

perkembangan emosi maupun intelegesi yang lebih tinggi dengan

wanita yang belum mengalami masa puber.Hal tersebut diakibatkan

karena terjadinya perubahan hormonal tubuh yang dimilikinya.Dalam

studi lainnya dengan subjek yang berjenis kelamin laki-laki, Mussen

dan Jones (Powell, 1963) menunjukkan hasil studinya bahwa anak laki-

laki yang terlambat masak secara fisik (psychally retarded) ternyata

menunjukkan kebutuhan akansocial acceptance dan agresivitas yang

tinggi bila dibandingkan dengan anak laki-laki yang telah masak secara

tepat. Dengan kata lain, perkembangan fisik yang pesat akandiiringi


52

dengan pergolakan emosi yang bervariasidan penerimaan remaja

terhadap perkembangan fisik ini akan sangat mempengaruhi

keberhasilanya dalam kematangan emosinya

Hasil jurnal yang didapatkan dari pencarian dengan

memasukkan kata kunci dan dispesifikasikan dalam 5 tahun terakhir

diambil dan dianalisa mana saja yang memenuhi kriteria inklusi dan

dapat dijadikan sebagai jurnal atau artikel yang akan digunakan,

dengan mengacu pada artikel yang terkait dengan perbedaan

penerimaan diri pada masa pubertas antara remaja pria dan wanita

didapatkan 5 artikel. Hasil yang sejalan ditunjukkan pada hasil

penelitian dijurnal, hasil penelitian secara umum menyebutkan bahwa

penerimaan diri remaja pria lebih baik dari pada penerimaan diri remaja

wanita.Remaja Wanita lebih mencemaskan perubahan penampilan,

sedangkan pada remaja pria lebih mencemaskan perubahan-

perubahan yang bersifat maskulin.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hasil literature review ini menunjukkan bahwa bahwa

penerimaan diri remaja pria lebih baik dari pada penerimaan diri remaja

wanita. Remaja Wanita lebih mencemaskan perubahan penampilan

dan perubahan fisik mereka, sedangkan pada remaja pria lebih

mencemaskan perubahan-perubahan yang bersifat maskulin dengan

perkembangan psikis yang lebih baik, hal ini dibuktikan dari hasil review

jurnal yang telah dilakukan.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian tersebut penting bagi remaja untuk

mencari informasi tentang perubahan – perubahan fisik pada masa

remaja dari media elektronik, media cetak, teman, dan khususnya dari

keluarga.Para remaja wanita dan remaja pria diharapkan dapat

mengerti dan memahami fase ini sehingga terbentuklah konsep diri

yang lebih positif dalam menghadapi perubahan-perubahan yang

dialami selama masa pubertas.

43
44

DAFTAR PUSTAKA

Agusta, Yudi. 2008. K-Means–Penerapan, Permasalahan dan Metode


Terkait. Jurnal Sistem dan Informatika Volume.3, halaman 47-60.

Alifariki, La Ode. 2018. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Kecemasan Menghadapi Masa Pubertas Remaja di SMPN 20
Kendari. EISSN: 2443-0218. Volume 6 Nomor 1 Bulan Oktober
2018.

Al-Mighwar,M.(2006). Psikologi Remaja. Bandung: CV Pustaka Setia.

Atosokhi, Antonius dkk. 2002. Relasi dengan Diri Sendiri. Jakarta: Elex
Media Komputindo..
Fitri, dkk.2017. Gambaran Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Laki-
Laki Di SMA Negeri Se-DKI Jakarta. Insight: Jurnal Bimbingan
Konseling 6(1).

Hoyt, at all. 2020. Timing of Puberty in Boys and Girls: Implications for
Population Health. SSM - Population Health.ScienceDirect.

Hurlock, E. B. 1979. Personality Development.Second Edition. New Delhi:


Mc Graw-Hi.

Hurlock, Elizabeth.B. (2000). Psikologi Perkembangan: Suatu


Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terjemahan.
(edisi kelima). Jakarta: Erlangga.

Mendle, at all. 2019. Understanding Puberty and Its Measurement: Ideas


for Research in a New Generation. Society for Research on
Adolescence. DOI: 10.1111/jora.12371.

Muryantinah, Handayani. 2013. Identifikasi dan Penanganan Anak dengan


ADHD. Disampaikan pada Seminar dan Workshop Optimalisasi
Peran Guru dan Orangtua dalam Memahami ABK: UM Malang.

Nurpatmingsih, susanti. 2016. Hubungan antara kesiapan menopause


dengan kecemasan menghadapi menopause pada ibu pkk di desa
gentan kecamatan bendosari kabpuaten sukoharjo. Universitas
muhammadiyah surakarta.

Panuju, Panut & Ida Umami. 1999. Psikologi Remaja. Yogyakarta: Tiara
Remaja Yogya.
45

Rochmania, Bella Kartini. 2015. Sikap Remaja Putri dalam Menghadapi


Perubahan Fisik Masa Pubertas. Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2
Desember 2015: 206–217.

Sari, Endah Puspita & Nuryoto, Sartini. 2008. Penerimaan Diri pada Lanjut
Usia Ditinjau Dari Kematangan Emosi. Jurnal Psikologi.

Sarlito Wirawan Sarwono. 2012. Psikologi Remaja.Jakarta:PT. Raja


GrafindoPersada.
Wong, et al. (2009).Wong buku ajar keperawatan pediatrik. (alih bahasa:
AndryHartono, dkk). Jakarta. EGC.

Yulianti,Alma. 2007. Hubungan Penerimaan Diri dengan Stress


Menghadapi Pensiun. Jurnal An-Nafs. Vol. 02, No. 002, 79-88.

Zulkifli. 2005. Psikologi Perkembangan. Bandung : Remaja Rosdakarya.


46

LAMPIRAN
50 Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Laki-Laki di SMA Negeri Se-Dki

GAMBARAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA REMAJA


LAKI-LAKI DI SMA NEGERI SE-DKI JAKARTA

Susi Fitri1
Meithy Intan Rukia Luawo2
Ranchia Noor3
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kesejahteraan psikologis
pada remaja laki-laki di SMA Negeri se-DKI Jakarta. Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif kuantitatif. Subyek penelitian ini adalah siswa laki-laki di
SMA Negeri se-DKI Jakarta dengan sampel 15% dari populasi, dengan teknik
multistages random sampling. Sehingga sampel yang diambil sebanyak 303
responden. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrumen scale
of psychological well-being (SPWB) yang diadaptasi dari Ryff, yang telah diuji
validitas dan reliabilitasnya dan menghasilkan 60 butir pernyataan yang valid dan
24 butir pernyataan yang drop dari keseluruhan 84 butir pernyataan. Sedangkan
reliabilitasnya sebesar 0,895 yang berarti tinggi. Analisa data hasil penelitian
menggunakan teknik deskriptif persentase. Berdasarkan analisa data, dapat
disimpulkan bahwa sebagian responden berada pada kategori sedang dengan
persentase sebesar 54,45%. Hal ini menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis
pada remaja di SMA Negeri se-DKI Jakarta cukup baik. Jika dilihat per aspek,
persentase tertinggi ada pada aspek penerimaan diri. Sedangkan jika dilihat
per kelas tingkat kesejahteraan psikologis pada remaja laki-laki pada kelas XII
memiliki persantase tertinggi.
Kata kunci: Kesejahteraan psikologis, remaja laki-laki

Abstract
This study aims to reveal the psychological well-being of the adolescent boys in
Senior High Schools in DKI Jakarta. This research uses descriptive quantitative
method. The subjects of this study are male students at Senior High Schools in
DKI Jakarta with a sample of 15% of the populations, with multistages random
sampling technique. Thus, the samples taken are 303 respondents. The data
collection is done by using the instrument scale of psychological well-being
(SPWB) adapted from Ryff, which has been tested for validity and reliability and
produce a 60-point declaration is valid and a 24-point declaration of the overall
drop 84 point statement. While the reliability of 0.895, which means high. The
analysis of survey data uses descriptive techniques percentage. Based on the data
analysis, it can be concluded that the majority of respondents are in the medium
category with a percentage of 54.45%. This indicates that the psychological well-
being of the adolescent in SMA in DKI Jakarta is quite good. If viewed per aspect,
the highest percentage is in the aspect of self-acceptance. Meanwhile, if viewed
per grade level psychological well-being of the adolescent boys in class XII has
the highest percentage.
Keywords: Psychological well-being, Adolescents boy
1 Dosen Program Studi Bimbingan Konseling FIP UNJ, susi.fitri.kuliah@gmail.com
2 Dosen Program Studi Bimbingan Konseling FIP UNJ, meithy_intan@yahoo.com

3 Mahasiswa Program Studi Bimbingan Konseling FIP UNJ, ranchia.noor.kuliah@gmail.com

Insight: Jurnal Bimbingan Konseling 6(1) Juni 2017


Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Laki-Laki di SMA Negeri 51

PENDAHULUAN sehingga tidak semua orang memilki tingkat


Kesejahteraan psikologis atau kesejahteraan psikologis yang sama. Penelitian-
psychological well-being merupakan kondisi penelitian yang sudah ada menunjukkan bahwa
dimana seseorang memiliki fungsi mental tidak ada penentu tunggal dari kesejahteraan.
yang baik, merasakan kebahagian, dan dapat Beberapa kondisi tampaknya diperlukan untuk
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. mencapai kesejahteraan psikologis yang tinggi
Ryff (1995), menyatakan bahwa kesejahteraan seperti kesehatan mental dan hubungan sosial
psikologis adalah keadaan individu yang yang positif. Faktor-faktor yang mempengaruhi
dapat menerima kekuatan dan kelemahan pembentukan kesejahteraan psikologis
diri sebagaimana adanya, memilki hubungan diantaranya usia, gender, status sosial, ekonomi,
positif dengan orang lain, mampu mengarahkan pendidikan, budaya, religiusitas, kepribadian,
perilakunya sendiri, mampu menguasai dan dukungan sosial. Ryff dan Keyes (1995)
lingkungan, serta memilki tujuan dalam hidup. menemukan bahwa aspek penguasaan
lingkungan dan aspek otonomi terdapat pola
Seseorang sering merasakan bahwa yang meningkat seiiring pertambahan usia.
dirinya tidak memiliki masalah dalam
hidupnya dan merasa dalam keadaan bahagia. Hasil penelitian Cicognani (2011)
Pada kenyataannya, banyak kondisi-kondisi menunjukkan bahwa remaja yang berusia
kurang menguntungkan yang menggambarkan lebih tua memiliki tingkat kesejahteraan
bahwa kesejahteraan psikologis belum psikologis yang lebih tinggi dibandingkan
tercapai dengan baik terutama pada remaja. remaja yang berusia lebih muda, selain
Kesejahteran psikologis pada remaja yang itu hasil penelitian tersebut sekaligus juga
belum tercapai dapat dilihat dari hasil penelitian menunjukan bahwa remaja wanita memiliki
Triana Indrawati (2013) tentang kesejahteraan tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih
psikologis berdasarkan kecerdasan emosi dan tinggi dibandignkan dengan remaja pria. Tidak
dukungan sosial pada siswa SMP Terbuka, jauh berbeda, penelitian Carol Graham (2005)
dalam penelitian tersebut mengatakan bahwa menyatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat
remaja sering kali terlibat dalam kenakalan kesejahteraan psikologis gender dimana wanita
seperti tawuran dan membolos pada saat jam memilki tingkat kesejahteraan psikologis yang
pelajaran sekolah yang disebabkan kurangnya lebih tinggi dibandingkan pria.
kesejahteraan psikologis dibidang akademik.
Terdapat beberapa perbedaan dari hasil
Salah satu indikator dari kesejahteraan penelitian, peneltian Cicognani menunjukkan
psikologis menurut Hurlock (1991) adalah bahwa kesejahteraan wanita lebih tinggi
prestasi. Siswa yang kalah bersaing dalam dari pria dan serupa dengan penelitian Carol
mengejar prestasi akan berdampak pada Graham. Sedangkan penelitian Dede Hidayat
kesejahteraan psikologis yang tidak optimal. Rahmat menunjukkan pelajar laki-laki memiliki
Siswa tersebut akan merasa dirinya tidak kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dari
mampu mengembangkan potensi yang pelajar peremuan. Oleh karena itu, penting
dimilikinya. Selanjunya penerimaan diri meneliti lebih spesifik bagaimana gambaran
siswa yang berprestasi akan berbeda dengan kesejahteraan psikologis pada remaja laki-laki.
siswa yang tidak memilki prestasi sehingga
menimbulkan perasaan kecewa. Ryff (1989) Di masyarakat, anak laki-laki
mengindikasikan rendahnya prestasi, dinyatakan memilki penyesuaian diri yang baik
penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, dan apabila ia memilki sifat mandiri, agresif, dan
perasaan-perasan negatif pada siswa merupakan kuat. Standar maskulinitas di Indonesia sifatnya
rendahnya kesejahteraan psikologis. sangat kontekstual. Semakin banyak prasyarat
yang mampu dipenuhi laki-laki maka semakin
Terdapat beberapa faktor yang sempurna derajatnya di mata masyarakat,
mempengaruhi kesejahteraan psikologis, khususnya sesama laki-laki (Aditya, 2009).

Insight: Jurnal Bimbingan Konseling 6(1) Juni 2017


52 Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Laki-Laki di SMA Negeri Se-Dki

Dengan demikian, laki-laki akan melakukan hal- Namun berdasarkan beberapa hasil penelitian
hal yang dapat menunjukkan maskulinitasnya. ditemukan bahwa remaja laki-laki memiliki
Terutama pada remaja, pada tahap ini anak kesulitan untuk membuka diri terhadap orang
laki-laki masih memiliki emosi yang labil dan lain dan sering kali menunjukkan hubungan
akan melakukan hal yang dikatakan ideal oleh yang bermasalah dengan teman sebaya seperti
masyarakat. Namun sering terjadi kesalahan berkelahi, bermusuhan, hingga tawuran (Han
yang dilakukan remaja agar dapat dikatakan & Choi, 2005).
ideal oleh masyarakat. Sehingga muncul
permasalahan-permasalahan pada remaja laki- Penelitian yang menunjukkan bahwa
laki. rendahnya kesejahteraan psikologis pada
dimensi hubungan yang positif dengan orang
Joseph Pleck (Santrock, 2007) lain yaitu, penelitian Nita Septiani (2013)
mengatakan permasalahan-permasalahan tentang gambaran psychological well-being
yang muncul pada remaja laki-laki, mereka pada remaja yang tinggal di panti asuhan.
akan dianggap lebih maskulin apabila Berdasarkan hasil penelitian tersebut dimensi
pernah melakukan hubungan seks pranikah, hubungan yang positif dengan orang lain
meminum minuman beralkohol, merokok, pada remaja laki-laki memiliki skor rata-
dan memperlihatkan perilaku-perilaku yang rata yang paling rendah dari keenam dimensi
tidak sesuai dengan norma dan etika. Hal kesejahteraan psikologis. Penelitian tersebut
tersebut dapat terjadi akibat dari kurangnya sejalan dengan hasil penelitian Warger dan
pengetahuan mengenai maskulinitas yang Kleman (1986) dimana remaja laki-laki
benar dan sering terjebak dalam pergaulan yang cenderung memilki masalah dalam interaksi
salah agar dapat dikatakan maskulin. Santrock sosial dengan teman sebaya. Hal tersebut
(2007) mengatakan bahwa remaja laki-laki tentu menimbulkan pertanyaan mengenai
cenderung enggan menceritakan masalahnya kesejahteraan psikologis pada dimensi
secara terbuka karena hal itu dianggap tidak hubungan positif dengan orang lain, karena
maskulin. remaja laki-laki memiliki hubungan yang
bermasalah dengan teman sebaya.
Menurut Sarwono (2011), remaja juga
identik dengan masa coba-coba. Remaja laki- KAJIAN TEORI
laki cenderung mengikuti hal-hal yang membuat
perasaannya menjadi bahagia. Dibandingkan Definisi Pengetahuan
perempuan, laki-laki cenderung lebih terlibat
kompetisi, konflik, memperlihatkan egonya, Kesejahteraan psikologis merupakan
mengambil resiko dan menginginkan dominasi istilah yang menggunakan dua perspektif dalam
(Santrock, 2007). Oleh karena itu, penelitian pendefinisiannya, yaitu perspektif positive
ini mengambil responden remaja laki-laki. psychological functionong dan perspektif life-
span development (Ryff, 1989). Dari perspektif
Berdasarkan hasil beberapa penelitian positive psychological functioning, yang
tentang kesejahteraan psikologis pada remaja digunakan adalah konsep Maslow mengenai
laki-laki, diketahui bahwa hubungan dengan aktualisasi diri, pandangan Roger mengenai
orang tua dan teman sebaya merupakan faktor individu yang berfungsi secara penuh,
utama dalam meningkatkan kesejahteraan formulasi individuasi oleh Jung, dan konsep
psikologis. Santrock (1996) menjelaskan kematangan menurut Allport. Contohnya,
bahwa selain keberadaan orang tua, kehadiran dalam memperoleh kesejahteraan psikologis
teman sebaya dalam kehidupan remaja juga individu mengembangkan potensi secara
dirasa sangat penting. Selain itu, hubungan penuh sehingga mendapatkan aktualisasi diri.
dengan teman sebaya juga turut menentukan Perspektif kedua, yaitu perspektif life-span
kesejahteraan psikologis pada remaja development, menyatakan bahwa tantangan
(Townsend, McCracken, & Witon, 1998).

Insight: Jurnal Bimbingan Konseling 6(1) Juni 2017


Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Laki-Laki di SMA Negeri 53

yang dihadapi pada tiap fase siklus hidup lalu.


yang berbeda akan berbeda pula. Contoh dari
perspektif ini bahwa setiap fase perkembangan 2. Hubungan positif dengan orang lain
pada individu memiliki kesejahteraan (positive relations with others)
psikologis yang berbeda, semakin tinggi fase
Dimensi penting lain dari
perkembangan yang dimiliki maka semakin
psychological well-being adalah kemampuan
tinggi kesejahteraan psikologisnya.
individu untuk membina hubungan yang
hangat dengan orang lain. Allport (dalam
DIMENSI-DIMENSI Ryff, 1989) memasukkan hubungan yang
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS hangat dengan orang lain sebagai kriteria
dari kematangan, yaitu kemampuan untuk
Ryff dan Singer (2008) mengemukakan
memiliki keintiman yang luas dalam
enam dimensi dari psychological well-being,
cinta, baik dengan anggota keluarga atau
yaitu:
teman, dan menunjukkan kasih sayang,
1. Penerimaan diri (self-acceptance) penghormatan, dan harapan yang dimiliki
orang lain, serta tidak mengeksploitasi
Penerimaan diri merupakan orang lain untuk keuntungan pribadinya.
salah satu karakter dari individu yang Erikson juga memasukkan kemampuan
mengakualisasikan dirinya sehingga menjalin hubungan yang intim dengan
mereka dapat menerima dirinya apa adanya, orang lain (intimacy) sebagai salah satu
memberikan penilaian yang tinggi pada tugas perkembangan, terutama pada tahap
individualitas dan keunikan diri sendiri. dewasa muda. Kemampuan untuk menjalin
Dalam mendefinisikan dimensi ini, Ryff hubungan yang positif dengan orang lain ini
(1989) menggunakan beberapa pemikiran ditekankan berulang kali dalam teori positive
dari tokoh-tokoh terdahulu seperti Rogers, functioning, maka Ryff menetapkan hal ini
Allport, Erikson, dan Maslow. Menurut sebagai salah satu dimensi psychological
Rogers (dalam Feist & Feist, 2009), well-being.
karakteristik dari kematangan. Individu ini
akan memiliki keamanan emosional, mereka 3. Otonomi (autonomy)
tidak terpuruk dengan hal yang tidak berjalan
sesuai dengan harapan, mereka menyadari Dimensi otonomi menyangkut
bahwa frustasi dan ketidaknyamanan kemampuan untuk menentukan nasib
merupakan bagian dari kehidupan. Erikson sendiri (self-determination), bebas dan
(dalam Ryff, 1989) berpendapat bahwa hal memilki kemampuan untuk mengatur
ini juga melibatkan penerimaan akan masa perilaku sendiri. Menurut Maslow (dalam
lalu, dengan keberhasilan dan kegagalan Feist & Feist, 2009), otonomi merupakan
yang dialami individu. Begitu pula dengan salah satu syarat aktualisasi diri, dengan
Maslow, ia berpendapat bahwa penerimaan demikian inidividu bergantung pada diri
diri merupakan salah satu syarat aktualisasi sendiri untuk perkembangan dirinya.
diri. Otonomi tidak berarti antisosial atau tidak
Dari penjabaran tersebut, menurut konform, melainkan mengikuti standar
Ryff (1995) kriteria seseorang yang tingkah laku pribadi dan tidak begitu saja
memiliki skor dimensi penerimaan diri yang mengikuti aturan diri orang lain.
tinggi dideskripsikan sebagai individu yang
memilki sikap positif terhadap diri sendiri, Rogers (Ryff, 1989) pun
mengetahui dan menerima berbagai aspek berpendapat bahwa individu yang berfungsi
diri (baik kualitas baik maupun kualitas secara penuh akan memiliki lokus evaluasi
buruk) merasa positif akan kehidupan masa internal. Dengan demikian, individu akan
mengevaluasi dirinya berdasarkan standar

Insight: Jurnal Bimbingan Konseling 6(1) Juni 2017


54 Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Laki-Laki di SMA Negeri Se-Dki

pribadi, bukan standar yang dianut orang- kesempatan yang muncul di lingkungan
orang lain. Selain Maslow dan Rogers, sekitarnya. Kesimpulannya, perspektif ini
pentingnya regulasi tingkah laku dari menyatakan bahwa partisipasi aktif dan
dalam diri juga ditekankan oleh Jahoda penguasaan lingkungan merupakan hal
(Ryff, 1989). Berbeda dengan tokoh-tokoh yang penting bagi seorang individu untuk
sebelumnya, Jung lebih menekankan dapat berfungsi secara maksimal.
konsep otonomi pada pembebasan diri dari
konvensi/adat, yang berarti individu tidak Berdasarkan penjabaran tersebut,
lagi terikat dengan ketakutan bersama, kriteria yang ditetapkan untuk dimensi
kepercayaan, dan hukum yang dianut orang penguasaan lingkungan adalah memiliki
banyak. rasa penguasaan lingkungan dan kompetensi
dalam mengatur lingkungan, mengontrol
Dari penjelasan tersebut Ryff kelompok aktivitas eksternal yang
(1995) memformulasikan karakteristik kompleks, menggunakan kesempatan di
individu yang memilki otonomi adalah sekitar dengan efektif, dapat memilih atau
memiliki kepastian diri dan mandiri, dapat menciptakan konteks yang sesuai dengan
bertahan dari tekanan sosial untuk berpikir kebutuhan dan nilai pribadi (Ryff, 1995).
dan bertingkah laku dengan cara tertentu, 5. Tujuan dalam hidup (purpose in life)
meregulasi tingkah laku dari dalam diri
sendiri, serta mengevaluasi diri sendiri, Adanya tujuan hidup yang jelas
serta mengevaluasi diri berdasarkan standar merupakan bagian penting dari karakteristik
pribadi. individu yang memilki kesejateraan
psikologis. Teori-teori perkembangan life-
4. Penguasaan lingkungan (enviromental span menjelaskan proses perkembangan
mastery) sesuai dengan tujuan seseorang dalam
kehidupannya. Terdapat berbagai teori dari
Penguasaan lingkungan merupakan beberapa tokoh mengenai tujuan individu
kemampuan individu untuk memilih, dalam kehidupan. Buhler menyatakan tujuan
menciptakan dan mengelola lingkungan agar individu pada usia madya adalah mengubah
sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam dunia dengan kreatif. Erikson berpendapat
rangka mengembangkan diri. Menurut pencarian integrasi emosional merupakan
Allport (dalam Ryff, 1989) mendeskripsikan tujuan individu. Di sisi lain, Rogers
individu yang matang sebagai seseorang berpendapat bahwa tujuan individu yang
yang membangun ketertarikan yang kuat di berfungsi secara penuh adalah peningkatan
luar diri dan berpartisipasi dalam aktivitas kehidupan eksistensial, yaitu menghayati
manusia. Individu ini memiliki persepsi kehidupan pada setiap memennya. Individu
yang realistis terhadap lingkungan di yang berfungsi secara penuh memilki tujuan
sekitarnya, mereka tidak hidup di dunia yang positif, kuat, sense of directedness,
khayalan dan tidak membelokkan realita yang seluruhnya berkontribusi pada sense
untuk menyesuaikannya dengan harapan of meaningfulness dan integrasi mengenai
mereka (dalam Feist & Feist, 2009). berbagai bagian pada kehidupannya.

Dalam pembahasan penguasaan Dari penjabaran tersebut, individu


lingkungan, Buhler (Ryff, 1989) juga yang memilki tujuan hidup menurut Ryff
menyatakan bahwa manusia memilki (1995) akan memiliki tujuan dalam hidup
kecenderungan untuk mengubah dunia dan rasa kebertujuan, merasa bahwa
disekelilingnya melalui aktivitas fisik terdapat makna dari kehidupan saat ini dan
ataupun mental. Birren dan Renner juga masa lalu, berpegang pada kepercayaan
mengemukakan bahwa seseorang yang sehat yang memberikan tujuan hidup memilki
secara mental akan mengambil kesempatan-

Insight: Jurnal Bimbingan Konseling 6(1) Juni 2017


Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Laki-Laki di SMA Negeri 55

keinginan dan tujuan untuk kehidupan. cara yang merefleksikan pengetahuan diri
dengan kefektifan yang lebih baik.
6. Perkembangan pribadi (personal growth)
Dimensi ini berkaitan dengan Remaja Laki-laki
cara individu memandang dirinya dan
Remaja di definisikan sebagai suatu
harkat manusia untuk selalu tumbuh
periode perkembangan dari transisi antara
dan berkembang. Syarat perkembangan
masa anak-anak dan dewasa, yang diikuti
yang optimal tidak hanya pencapaian
oleh perubahan biologis, kognitif, dan
dimensi-dimensi yang telah dijabarkan
sosioemosional Santrock (2007). Sedangkan
sebelumnya, tetapi juga pengembangan
menurut Piaget (dalam Hurlock, 1999),
berkelanjutan dari potensi seseorang,
mengatakan bahwa secara psikologis masa
untuk terus bertumbuh dan berkembang
remaja adalah usia dimana anak tidak merasa
sebagai seorang manusia (Ryff, 1989).
di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua,
Ryff juga berpendapat bahwa keadaan
melainkan berada di dalam tingkatan yang
dunia yang selalu berubah membutuhkan
sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak.
perkembangan diri yang berkelanjutan pula.
Keinginan untuk menjadi sebuah proses Dalam perkembangan individu, orang
ini juga dinyatakan oleh Rogers sebagai tua memberikan model yang pertama dalam
karakteristik penting untuk dapat berfungsi perilaku gender. Namun tidak lama kemudian,
secara penuh. Seseorang yang berfungsi kawan sebaya juga berespons dan memberikan
secara penuh akan berkembang secara model perilaku maskulin dan feminin. Di mana
berkelanjutan, dan menjalani proses, bukan anak-anak laki saling mengajarkan perilaku-
mencapai keadaan konstan dimana seluruh perilaku maskulin terhadap satu sama lain dan
masalah telah terselesaikan. Begitu pula kemudian memperkuatnya.
menurut Maslow, usaha untuk aktualisasi
diri yang mewujudkan ideal perkembangan Menurut Maccoby (2002) remaja laki-
tertinggi bagi individu merupakan sebuah laki cenderung lebih banyak berinteraksi
proses yang berkelanjutan. dengan kelompok yang lebih besar yang
memilki struktur hierarkis, dan kelompok
Buhler juga mengemukakan mereka biasanya memilki seorang pemimpin
mengenai perkembangan berkelanjutan yang mengatakan apa yang harus dilakukan dan
individu, yaitu proses adaptasi individu atas bagaimana caranya. Remaja laki-laki cenderung
keterbatasan dirinya menjadi perkembangan lebih berpartisipasi dalam permainan dan
kreatif untuk meningkatkan ketentraman olahraga yang terorganisasi. laki-laki cenderung
dalam diri. Oleh karena itu, kualitas lebih terlibat dalam kompetisi, konflik,
perkembangan diri yang berkelanjutan memperlihatkan egonya, mengambil risiko,
dinyatakan sebagai dimensi kesejahteraan dan menginginkan dominasi. Permainan laki-
psikologis dalam model yang terintegrasi. laki memiliki pemenang dan orang yang kalah
sering kali menjadi subjek argumentasi. Laki-
Dari penjelasan sebelumnya, laki sering kali meningkatkan keterampilan
menurut Ryff (1995) individu yang mereka dan berpendapat mengenai siapa yang
optimal pada dimensi perkembangan diri terbaik dan dalam hal apa.
ini didefinisikan dengan kriteria berupa
memilki perkembangan yang berkelanjutan, Pollack (1999) berpendapat bahwa
melihat diri sebagai individu yang remaja laki-laki sangat sedikit memperlihatkan
bertumbuh dan berkembang, memiliki rasa emosi seiring dengan pertumbuhannya. Remaja
akan menyadari potensi dirinya, melihat laki-laki terlalu sering kali dididik untuk tidak
perkembangan dalam diri dan perilaku memperlihatkan perasaaan-perasaaan dan
sepanjang waktu; serta berubah alam cara- bertindak tangguh. Remaja laki-laki cenderung

Insight: Jurnal Bimbingan Konseling 6(1) Juni 2017


56 Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Laki-Laki di SMA Negeri Se-Dki

enggan menceritakan masalahnya secara bulu halus, dan sebagainya. Menurut Santrock
terbuka karena hal itu dianggap tidak maskulin. (2007) pubertas memperkuat aspek-aspek
Remaja laki-laki akan membuat dirinya seksual dari sikap dan perilaku maskulin remaja
dijuluki “pengecut” apabila mereka tidak laki-laki. Mereka akan menampilkan perilaku
mampu menangani masalah serta perasaan yang asertif, sombong, dan kuat, karena mereka
tidak aman yang dirasakannya. Pollack maupun beranggapan bahwa perilaku semacam itu dapat
banyak orang berpendapat bahwa laki-laki meningkatkan seksualitasnya. Para remaja
dapat memperoleh keuntungan apabila mereka laki-laki saling bersaing dalam menampilkan
diajarkan untuk mengekspresikan kecemasan- perilaku maskulin untuk menjalin hubungan
kecemasan dan kekuatiran-kekuatiran yang dengan remaja perempuan. Namun, terdapat
dirasakan maupun untuk meregulasikan kekuatiran khusus mengenai remaja laki-
agresinya, dibandingkan apabila mereka laki yang mengadopsi peran maskulin secara
memendamnya. kuat, karena hal ini berkaitan dengan perilaku
bermasalah.
Remaja laki-laki telah belajar mengenai
aturan laki-laki di berbagai konteks, lapangan METODOLOGI PENELITIAN
bermain, ruang kelas, perkampungan, tempat
berkumpul. Lingkungan sekolah mempunyai Penelitian ini dilakukan di SMA
peranan dalam perkembangan individu, Negeri di seluruh DKI Jakarta. Penelitian ini
terdapat kekuatiran bahwa kawan sebaya di laksanakan pada bulan maret sampai bulan
remaja laki-laki mempengaruhi perilaku yang desember 2016. Peneliti menggunakan metode
nakal di sekolah (Koch, 2003). Perilaku nakal penelitian deskriptif dalam penelitian survey.
yang terjadi oleh remaja laki-laki di sekolah Penelitian deskriptif adalah penelitian yang
adalah : Remaja laki-laki kurang mematuhi bertujuan untuk mengumpulkan informasi
aturan dan tidak disiplin, banyak memilki mengenai suatu gejala yang ada (Arikunto,
masalah dalam belajar, banyak memperoleh 2006)
kritik, dan kurangnya prestasi dalam bidang
Pada penelitian ini, yang menjadi
akademis yang berakibat pada ranking rendah
populasi penelitian adalah remaja SMA Negeri
dan tinggal kelas.
di lima wilayah DKI Jakarta, yaitu 36.529 siswa
Permasalahan kekerasan pada remaja dari 134 SMA Negeri di DKI Jakarta. Pada
laki-laki sering terlibat dalam perilaku antisosial penelitian ini, teknik sampel yang digunakan
dibandingkan remaja perempuan, meskipun adalah Gugus Bertahap Ganda (dua atau lebih)
anak perempuan lebih sering melarikan diri atau Multistages Sampling. Sehingga, dengan
dari rumah, remaja laki-laki lebih sering terlibat teknik pengambilan sampling yang digunakan
dalam perilaku kekerasan. Menurut Santrock terdapat total sampel responden sekitar 303
(2007) Remaja laki-laki yang nakal sering kali siswa yang akan mewakili DKI Jakarta.
berasal dari keluarga di mana orang tua jarang Instrumen kesejahteraan psikologis
mengawasi anaknya, kurang memberikan menggunakan adaptasi dari Scale of
dukungan, dan menerapkan disiplin yang tidak Psychological Well-Being (SPWB) yang
efektif. Faktor status sosio-ekonomi yang disusun oleh Ryff (1989). Pengukuran
rendah dapat mengakibatkan perilaku remaja kesejahteraan psikologis ini menggunakan
laki-laki menjadi nakal Memiliki kawan-kawan Skala Likert yang terdiri dari 4 pilihan jawaban.
yang nakal dapat meningkatkan individu
menjadi nakal. HASIL DAN PEMBAHASAN
Masa remaja merupakan masa Penelitian yang telah dilakukan
pubertas. Pubertas yang dialami oleh anak laki- kepada 303 siswa laki-laki SMA Negeri yang
laki ditandai dengan telah mengalami mimpi berada di wilayah DKI Jakarta sebagian besar
basah, tumbuhnya jakun, tumbuhnya bulu- berada pada kategori sedang, artinya sebagian

Insight: Jurnal Bimbingan Konseling 6(1) Juni 2017


Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Laki-Laki di SMA Negeri 57

besar remaja laki-laki memilki kesejahteraan posisi teratas pada kategorisasi sedang
psikologis yang cukup baik. Selanjutnya menunjukkan bahwa remaja laki-laki telah
kategorisasi tinggi kesejahteraan psikologis memilki sikap yang positif terhadap diri
pada remaja laki-laki berada diurutan kedua sendiri dan memiliki perasaan yang positif
setelah kategori sedang dan di atas kategori terhadap masa lalu yang cukup baik. Hal ini
rendah. Apabila diurutkan, maka kategorisasi sejalan dengan penelitian Muhammad Ridha
kesejahteraan psikologis pada remaja laki-laki (2012) yang menunjukkan bahwa penerimaan
di SMA Negeri se-DKI Jakarta yaitu kategori diri remaja laki-laki lebih tinggi dari pada
sedang, tinggi, dan kategori rendah. perempuan. Penerimaan diri yang tinggi pada
remaja laki-laki dipengaruhi oleh citra tubuh
Aspek-aspek yang terdapat dalam remaja laki-laki yang digambarkan maskulin
kesejahteraan psikologis menurut Ryff (2008) memilki penerimaan diri yang lebih tinggi.
terbagi menjadi enam dimensi, pada penelitian Remaja laki-laki dapat menerima keadaan
ini persentase kesejahteraan psikologis per dirinya pada saat ini dan menanggapi masa
aspek mayoritas berada pada kategorisasi lalunya dengan hal yang positif.
sedang. Remaja laki-laki telah memiliki
kesejahteraan psikologis per aspek dengan Posisi kedua pada kategorisasi sedang
cukup baik, dimana aspek penerimaan diri, yaitu aspek otonomi, aspek ini menunjukkan
otonomi, penguasaan lingkungan, dan aspek kemampuan laki-laki yang telah mampu
tujuan dalam hidup pada remaja laki-laki mandiri serta dapat mengatasi tekanan sosial.
berada di kategorisasi sedang dengan jumlah Tingginya persentase aspek otonomi remaja
persentase yang lebih tinggi dibandingkan laki-lakipada kategori sedang disebabkan oleh
aspek hubungan yang positif dengan orang lain adanya perbedaan sifat kemandirian pada laki-
dan aspek perkembangan pribadi. Hal ini sesuai laki dan perempuan (Hurlock, 1999). Anak
dengan dari hasil penelitian yang dilakukan laki-laki diberi lebih banyak kesempatan untuk
oleh Ryff (1995) tentang kesejahteraan berdiri sendiri dan menanggung resiko dan
psikologis pria dan wanita, dimana skor aspek banyak dituntut untuk menunjukkan inisiatif
hubungan positif dengan orang lain dan aspek dan maskulinitas. Menurut teori belajar
perkembangan pribadi pada pria lebih rendah. Kolhberg (Monks, 2002) perbedaan tingkah
laku dari jenis kelamin timbul karena pengaruh
Aspek hubungan positif dengan orang lingkungan sosial, anak laki-laki lebih memiliki
lain yang lebih rendah dari aspek lainnya sesuai kebebasan untuk bertingkah laku dibandingkan
dengan penelitian yang dilakukan Nita Septiani dengan anak perempuan. hal tersebut dapat
(2013) yang mengatakan bahwa aspek hubungan dilihat dari aspek penguasaan lingkungan yang
yang positif dengan orang lain memilki skor berada pada urutan ketiga dalam kategorisasi
rata-rata yang paling rendah. Hal tersebut sedang.
disebabkan karena remaja laki-laki memilki
kesulitan untuk membuka diri terhadap orang Aspek penguasaan lingkungan pada
lain dan sering kali menunjukkan hubungan remaja laki laki disebabkan oleh kematangan
yang bermasalah dengan teman sebaya seperti sebagai seseorang yang membangun
berkelahi, bermusuhan, dan tawuran (Han & ketertarikan yang kuat di luar dan berpartisipasi
Choi, 2005). Rendahnya persentase pada aspek dalam aktivitas manusia (Ryff, 1989). Disini
hubungan yang positif dengan orang lain dapat terlihat bahwa remaja laki-laki telah mampu
dilihat dari remaja laki-laki memiliki kesulitan mengefektifkan penggunaan peluang yang
untuk memilki hubungan yang hangat, ada disekitar serta mampu untuk mengatur
memuaskan, dan saling mempercayai orang lingkungannya.
lain serta peduli dengan kesejahteraan orang
lain. Posisi keempat pada kategorisasi
sedang yaitu aspek tujuan hidup, remaja laki-
Aspek penerimaan diri yang memiliki laki memiliki tujuan dan sasaran yang

Insight: Jurnal Bimbingan Konseling 6(1) Juni 2017


58 Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Laki-Laki di SMA Negeri Se-Dki

ingin dicapai dalam hidup dengan cukup Jumlah


Kategorisasi Rentang Persentase
baik. Penelitian Lina Ria Erfiana (2012) Siswa
menyatakan bahwa mayoritas remaja laki-laki Tinggi Di atas 248 91 30.03%
memiilki kemandirian pada kategori sedang Sedang 217 sampai 248 165 54.45%
dan memilki tujuan dalam hidup pada kategori Rendah 186 sampai 217 47 15.51%
sedang. Sehingga terdapat hubungan positif
JUMLAH 303 100%
antara tujuan dalam hidup dengan kemandirian
atau semakin tinggi tujuan dalam hidup maka
semakin tinggi kemandirian pada remaja laki-
SARAN
laki.
1. Bagi Siswa / Remaja Laki-laki. Berdasarkan
Sedangkan posisi kelima
hasil penelitian ini diharapkan para siswa
pada kategorisasi sedang adalah aspek
dapat menggunakan bantuan layanan BK
perkembangan pribadi. Menurut Ryff (1995)
disekolah dengan melakukan bimbingan
remaja laki-laki menganggap diri mereka
maupun konseling bersama Guru BK
dapat membuat kemajuan yang signifikan
agar dapat meningkatkan kesejahteraan
dan mengembangkan diri mereka untuk masa
psikologis yang lebih baik terutama dalam
depan. Dapat dilihat dari kemampuan remaja
aspek hubungan yang positif dengan orang
laki-laki untuk selalu berubah dalam konteks
lain dan aspek perkembangan pribadi.
pengembangan sikap atau perilaku baru.
2. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling.
Penelitian Ryff (1989) untuk
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
melihat perbandingan kondisi kesejahteraan
menjadi bahan pertimbangan bagi guru
psikologis pada remaja, dewasa, dan orang tua
BK dalam memberikan layanan preventif
menunjukkan bahwa kesejahteraan psikologis
dan responsif untuk meningkatkan
pada dewasa lebih tinggi dibanding remaja.
kesejahteraan psikologis pada remaja laki-
Penelitian tersebut menunjukkan semakin
laki. Salah satunya adalah memberikan
bertambah usia seseorang maka akan lebih
motivasi dan pengetahuan mengenai
tinggi tingkat kesejahteraan psikolgisnya.
kesejahteraan psikologis, baik melalui
Hasil penelitian gambaran kesejahteraan
layanan klasikal maupun layanan
psikologis pada remaja laki-laki di SMA
individual.
Negeri se-DKI Jakarta per kelas menunjukkan
kelas XII atau kelas yang paling tinggi di SMA 3. Bagi Mahasiswa / Peneliti Selanjutnya.
memilki tingkat kesejahteraan psikologis yang Hasil penelitian ini dapat digunakan
lebih tinggi dibandingkan dengan kelas XI dan sebagai bahan rujukan untuk penelitian
kelas X. Terlihat bahwa kelas yang lebih tinggi selanjutnya mengenai kesejahteraan
memilki kesejahteraan psikologis yang lebh psikologis pada remaja, dengan melihat
tinggi, dapat digambarkan bahwa usia remaja faktor-faktor kesejahteraan psikologis
laki-laki yang lebih tinggi akan berdampak yang belum dibahas didalam penelitian
pada kesejahteraan psikologis yang lebih ini. Seperti faktor perbedaan status sosial,
tinggi. dukungan sosial, pekerjaan, kesehatan
fisik, dan faktor kepribadian.

Tabel 1. Data Keseluruahan Gambaran


Kesejahteraan Psikologis pada Remaja Laki-Laki DAFTAR PUSTAKA
di SMAN se-DKI Jakarta

Insight: Jurnal Bimbingan Konseling 6(1) Juni 2017


Gambaran Kesejahteraan Psikologis Pada Remaja Laki-Laki di SMA Negeri 59

Graham, C. (2005). Gender and Well-being Ryan, R. M. & Deci, E. L. (2001). On


around the World. Jurnal of Global happiness and human potentials: a
and Development. reviewof research on hedonic and
eudaimonic well-being. Empthaty, 3
Cicognani, E. (2011). Coping Strategies 1(1), 111-121.
with Minor Stressors in Adolescence:
Relationship with Social Support, Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything,
Self-Efficacy, and Pychological Well- or is it? Explorations on the meaning
being. Journal of Applied Social of psychological well-being. Journal
Psychology, 41 (3), 559-578. of Personality and Social Psychology.

Erfiana, L.R. (2012). Hubungan antara Ryff, C. D. (1995). Psychological well-


Kebermaknaan Hidup dengan being in adult life. Jurnal Current
Kemandirian pada Remaja. Jurnal Directionsin Psychological Science.
Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
Ryff, C. D. (2008). Know thyself and
Feist, J. & Feist, G. J (2009). Theories of become what you are: a eudaimonic
personality. Singapore: McGraw- approach to psychological well-
Hill. being. Journal of Happiness Studies.

Hidayat, D.R. & Herdi. (2013). Bimbingan Santrock, John W. (1996). Adolescence
Konseling Kesehatan Mental di (2th ed.). Boston : McGraw Hill.
Sekolah. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. Santrock, John W. (2007). Remaja. Jakarta:
Erlangga.
Hurlock. (1999). Psikologi Perkembangan.
Jakarta : Erlangga. Septiani, Nita. (2013). Gambaran
Psychological Well-being pada
Indrawati, Triana. (2013). Peranan remaja yang tinggal di Panti Asuhan.
Kecerdasan Emosi dan Dukungan (Unpublished undergraduate thesis).
Sosial terhadap Kesejahteraan Universitas Indonesia, Depok.
Psikologis pada Siswa SMP
Terbuka. (Unpublished master’s Warger, C., & Kleman, D. (1986).
thesis). Universitas Gadjah Mada, Devoloping Positive Self-Concepts
Yogyakarta. in Institutionalized Children with
Severe Behavior Disorders. Journal
Maccoby, E.E. (2002). Contemporary of Child Welfare, 2. 165-177.
Research On Parenting: The Case
For Nature And Nurture. Jurnal
American Psychologist.

Ridha, Muhammad. (2012). Hubungan


antara Body Image dengan
Penerimaan Diri pada Mahasiswa.
Jurnal Psikologi Universitas Ahmad
Dahlan.

Insight: Jurnal Bimbingan Konseling 6(1) Juni 2017


SIKAP REMAJA PUTRI DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN FISIK
MASA PUBERTAS

Bella Kartini Rochmania


Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku Fakultas Kesehatan Masyarakat
Email: bella.kartini@gmail.com

Abstract: Physical changes in teenager is a principal characteristic from biologic process in puberty age.
Wrong attitude in confront of physical changes can make girl dislike moreover hate the physical changes
that she’s got, so the parent have an important role to girl’s attitude. The objective of this research is to
analyze the correlation of girls perception about parenting education type with the attitude of teenager
facing physical changes in puberty age in Student of 7th class of Junior High School 13 Malang City.
This research is using observational with cross sectional. Number of population 120 students, number
of sample 92 students, with simple random sampling technique. Data collecting applies questioner sheet
filled out by the respondent. Data is showing table type and text. The result of research is using chi-
square showing that majority of respondent are democratic type about 59 students (64,1%). Majority
of respondent (64,1%) have negative attitude (unfavorable) in confront of physical changes, and the
girls that have perception democratic type have negative attitude (unfavorable) in confront of physical
changes. Then, be obtain value x2 table (5,991), and the conclusion that there is no Corelation between
perception about Parenting Education Type with Attitude Facing Physical Changes in Puberty Age.

Keyword: girls, parenting education type, physical change

Abstrak: Perubahan fisik merupakan ciri utama dari proses biologis yang terjadi pada masa puber. Sikap
yang salah dalam menghadapi perubahan fisik yang terjadi dapat membuat remaja putri cenderung tidak
menyukai bahkan membenci perubahan fisik yang dialami. Oleh karena itu orang tua berperan penting
dalam membentuk sikap remaja. Tujuan penelitian ini menganalisis hubungan persepsi remaja putri
tentang tipe pola asuh orang tua dengan sikap menghadapi perubahan fisik masa pubertas. Penelitian
menggunakan observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian adalah siswi kelas
VII di SMPN 13 Kota Malang sebanyak 120 siswi, sampel sejumlah 92 siswi. Pengambilan sampel
menggunakan simple random sampling. Pengumpulan data menggunakan instrumen berupa kuesioner
yang diisi sendiri oleh responden. Data disajikan dalam bentuk tabel dan tekstual. Analisis data
menggunakan Chi-Square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden mempersepsikan
tipe pola asuh orang tuanya demokratis yaitu sejumlah 59 siswi (64,1%). Mayoritas responden
(64,1%) bersikap negatif (unfaforable) dalam menghadapi perubahan fisik masa pubertas, dan siswi
yang mempersepsikan tipe pola asuh orang tuanya demokratis lebih banyak bersikap negative dalam
menghadapi perubahan fisik masa pubertas. Kemudian didapatkan nilai x2 hitung 3,895 lebih kecil dari
x2 tabel (5,991) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara persepsi pola asuh orang
tua dengan sikap menghadapi perubahan fisik masa pubertas.

Kata kunci: remaja putri, tipe pola asuh, perubahan fisik

PENDAHULUAN mengalaminya. Remaja sangat penting


untuk mempelajari perubahan yang terjadi
Perubahan fisik remaja merupakan
setiap tahap kehidupannya. Remaja dapat
ciri utama dari proses biologis yang terjadi
belajar menerima kondisi fisik diri serta
pada masa pubertas. Pada masa ini terjadi
merawat dan menjaganya.
perubahan fisik secara cepat, yang tidak
Masa remaja merupakan sebuah transisi
seimbang dengan perubahan kejiwaan
dari masa anak-anak dengan masa dewasa.
(mental emosional). Perubahan fisik yang
Remaja pada masa ini masih labil dan
terjadi termasuk pertumbuhan organ-organ
tidak memiliki pegangan hidup yang pasti.
reproduksi untuk mencapai kematangan
Remaja cenderung berbuat sesuai dengan
agar mampu melangsungkan fungsi
pikiran dan nalarnya sendiri. Hal tersebut
reproduksi. Perubahan yang cukup besar
merupakan cara remaja untuk mencari
ini dapat membingungkan remaja yang

206
207 Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2 Desember 2015: 206–217

jati dirinya. Rasa ingin tahu yang tinggi, negatif pada remaja. Sikap tersebut yang
ingin mencoba hal baru membuat remaja akan membentuk karakter diri remaja saat
tidak jarang menjadi terjerumus dalam berada di lingkungan sekitarnya.
permasalahan. Permasalahan yang sering Remaja dan orang tua memiliki adanya
terjadi seperti anti sosial dan pergaulan keterkaitan yang dapat dibentuk dari adanya
bebas. Anti sosial membuat remaja kurang interaksi dan perilaku yang dimiliki oleh
terbuka terhadap lingkungannya yang dapat keduanya. Peneliti mengidentifikasi pesepsi
menjadi salah penerimaan pada informasi pola asuh orang tua. Berdasarkan literatur
yang diperoleh. yang didapat peneliti ingin mengidentifikasi
Informasi yang holistik terutama dalam sikap remaja putri terhadap perubahan fisik
menghadapi perubahan fisik masa pubertas yang dialami saat pubertas. Penelitian ini
dapat dipupuk dari unit kelompok terkecil juga mengidentifikasi adanya hubungan
yaitu keluarga. Pada dasarnya remaja persepsi remaja putri tentang pola asuh
lebih terkesan akan nilai-nilai luhur yang orang tua dengan sikap menghadapi
berasal dari keteladanan orang tua mereka perubahan fisik masa pubertas.
dari pada mendapatkan nasihat yang hanya
melalui ucapan saja. Orang tua dalam hal ini
METODE
berperan penting dalam membentuk pribadi
remaja dan cara untuk mengantarkan pada Desain penelitian yang digunakan
proses pendewasaan terutama pengenalan dalam penelitian ini adalah observasional
terhadap perubahan fisik yang dialami masa dengan pendekatan cross sectional. Populasi
pubertas. penelitian adalah seluruh siswi kelas VII di
Penelitian yang dilakukan oleh Siti SMP Negeri 13 Kota Malang, yaitu sebanyak
Inayah Rohmaniah tahun 2014 tentang 120 orang yang telah memenuhi kriteria
“Gambaran Pengetahuan dan Sikap Remaja inklusi. Kriteria inklusi yang digunakan
Putri dalam Menghadapi Perubahan adalah siswi kelas VII yang berusia 12-15
Fisik Saat Pubertas di Pondok Pesantren tahun, bersedia menjadi responden, tinggal
Al-Baqiyatussholihat“ menunjukkan bersama orang tua sejak kecil, dan sudah
bahwa remaja putri dalam menghadapi menstruasi. Kriteria ekslusi yang digunakan
perubahan fisik pubertas bersikap negatif ialah siswi yang tidak hadir saat penelitian
yaitu sebanyak 53,3% dari total responden. dan siswi yang mempersepsikan lebih dari
Hal tersebut menjelaskan bahwa sebagian satu tipe pola asuh orang tuannya.
besar remaja putri belum dapat menerima Penelitian menggunakan teknik simple
perubahan fisik yang terjadi pada masa random sampling untuk mengambil sampel
pubertas. Data yang diperoleh dari sejumlah 92 orang. Instrumen yang
penelitian tersebut menjelaskan bahwa rasa digunakan dalam penelitian ini adalah
takut, malu, cemas, dan mudah marah saat kuesioner yang diisi sendiri oleh responden
menstruasi dirasakan oleh remaja putri. penelitian. Sebelum digunakan kuesioner
Sikap dipengaruhi oleh orang yang dianggap dilakukan uji validitas dan reabilitas untuk
penting. Pada penelitian orang yang mendapatkan hasil yang berkualitas dengan
dianggap penting dapat membuat remaja melalui.
berfikiran searah dengan yang dihadapinya Setelah didapatkan data, peneliti
sehingga remaja putri menganggap orang tua melakukan pengolahan data mulai dari
merupakan salah satu orang yang dianggap editing, coding, scoring, transferring, dan
penting. tabulating yang selanjutnya dilakukan
Pola asuh orang tua banyak analisis menggunakan Chi-Square.
mempengaruhi sikap remaja sebagai orang Analisis data menggunakan Uji Chi-Square
yang dianggap penting dalam hidupnya, menghasilkan derajat kemaknaan 95%
sehingga mempengaruhi sikap remaja (taraf signifikansi = 5%). Ho diterima jika
dalam mempersiapkan dirinya menuju
tidak ada
masa pubertas, mengenali ciri fisik, maupun
perubahan masa pubertas yang akan hubungan, Ho ditolak jika
memunculkan sikap positif maupun sikap , ada hubungan.
Bella Kartini Rochmania, Sikap Remaja Putri dalam Menghadapi … 208

HASIL PENELITIAN dalam penelitian ini dijabarkan peneliti


yaitu orang tua, guru, saudara, serta tenaga
SMP Negeri 13 merupakan sekolah
kesehatan. Pada tabel 2 distribusi frekuensi
yang terletak di Jalan Sunan Ampel Nomor
sumber informasi pertama responden
11 Kota Malang dan berada dilingkungan
tentang perubahan fisik masa pubertas di
sekitar pondok pesantren dan Universitas
SMP Negeri 13 Kota Malang.
Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim
Malang. Siswa kelas VII dalam satu Tabel 1 juga menunjukkan bahwa
angkatan terdiri dari 324 orang yang terdiri responden penelitian telah mendapat
dari 189 siswi dan 135 siswi. Penelitian yang informasi tentang perubahan fisik yang
telah dilakukan menghasilkan distribusi terjadi pada masa pubertasnya. Sumber
frekuensi umur siswi kelas VII SMP Negeri informasi tersebut dapat diperoleh dari
13 Kota Malang yang menjadi responden orang tua, guru, saudara dan bahkan dari
penelitian. tenaga kesehatan. Sumber informasi untuk
pertama kalinya disampaikan oleh orang tua
Didapatkan presentase umur responden
responden sendiri yaitu sebanyak 60 siswi
yang dominan. Umur responden merupakan
(65,2%). Sedangkan sedikitnya responden
salah satu karakteristik responden penelitian
yang telah mendapat informasi tentang
ini.
perubahan fisik pubertas dari saudara dan
Berdasarkan tabel 1 dapat diketahui
tenaga kesehatan yaitu masing-masing
bahwa lebih dari setengah siswi kelas VII
sebanyak 4 siswi yaitu hanya 4,4% dari
yang menjadi responden penelitian berumur
keseluruhan responden penelitian.
13 tahun yaitu sebanyak 70 orang (76,1%),
sedangkan responden yang berumur 12 Persepsi remaja putri tentang tipe pola
tahun hanya berjumlah 9 orang (9,8%). asuh orang tua pada siswi kelas VII di SMP
Seluruh siswi kelas VII SMP Negeri 13 Kota Negeri 13 Kota Malang dengan memberikan
Malang yang menjadi responden penelitian 15 pertanyaan kepada responden. Responden
telah mendapatkan informasi pertama penelitian dapat memilih jawaban dari tiga
tentang perubahan fisik yang dialami pada pilihan jawaban pertanyaan yang berisikan
masa pubertas. persepsi pola asuh otoriter, permisif, dan
demokratis.
Informasi terkait perubahan fisik yang
Tabel 2 dapat diketahui bahwa lebih
terjadi masa pubertas diberikan pertama
kali oleh orang yang dianggap penting dari setengah siswi kelas VII menghadapi
perubahan fisik yang terjadi pada masa
responden. Orang yang dianggap penting
pubertas dengan sikap negatif yaitu
sebanyak 59 orang (64,1%) dari keseluruhan
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Umur responden penelitian, sedangkan sisanya
Responden. bersikap positif terhadap perubahan fisik
yang terjadi.
Sumber Frekuensi Pertanyaan favorable pada tabel 3
Umur
Informasi berisikan hal-hal positif mengenai sikap
n % terhadap perubahan fisik masa pubertas.
12 Guru 3 Tabel menunjukkan bahwa dari tujuh
Orang Tua 5 9,8 pertanyaan favorable kecenderungan
Saudara 1
13 Guru 17
Orang Tua 47 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden
76,1 Berdasarkan Sikap Menghadapi
Saudara 1
Perubahan Fisik Masa Pubertas.
Tenaga Kesehatan 5
14 Guru 4 Sikap Frekuensi (f) Presentase (%)
Orang Tua 7 14,1 Positif 33 35,9
Saudara 2 Negatif 59 64,1
Total 92 100 Jumlah 92 100
Sumber: data primer 2014 Sumber: data primer 2014.
209 Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2 Desember 2015: 206–217

siswi menjawab sangat setuju dan setuju. pilihan jawaban menunjukkan bahwa remaja
Namun pada pertanyaan tentang kesenangan putri memiliki sikap positif yang sedikit
mencari informasi pendidikan seksual dan terhadap perubahan fisik yang sedang
kesehatan reproduksi sebanyak 19 responden dialami pada masa pubertas. Pada tabel 3
tidak setuju dan 23 responden sangat mengenai pertanyaan unfavorable untuk
tidak setuju. Pernyataan membersihkan responden dalam menghadapi perubahan
alat kelamin setelah BAK dengan air dan fisik pubertas menunjukkan kecenderungan
mengeringkannya sebanyak 28 responden responden menjawab pernyataan dengan
tidak setuju dan 13 responden sangat tidak jawaban setuju dan sangat setuju dari pada
setuju. Pernyataan menerima pembesaran pilihan jawaban tidak setuju maupun pilihan
pinggul sebanyak 43 responden tidak jawaban sangat tidak setuju. Pertanyaan
setuju dan 20 responden sangat tidak unfavorable merupakan pernyataan sikap
setuju. Frekuensi jawaban pertanyaan yang berisi hal-hal yang negatif mengenai
favorable menunjukkan bahwa dengan sikap terhadap perubahan fisik masa
banyaknya jawaban tidak setuju pada pubertas.

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Jawaban Sikap Favoreble dan Unfavorable Remaja Putri dalam
Menghadapi Pubertas.
Pertanyaan Faforable SS S TS STS
Menstruasi menunjukkan arti dapat melanjutkan keturunan
30 44 11 7
dan siap untuk menikah
Seks bebas dapat berakibat buruk 62 15 10 5
Senang mencari informasi pendidikan seksual dan kesehatan
7 13 49 23
reproduksi
Setelah BAK membersihkan alat kelamin dengan air dan
27 24 28 13
mengeringkanya
Perubahan fisik dan biologis terjadi pada remaja putri yaitu
41 34 16 1
menstruasi
Menerima pembesaran pinggul yang terjadi 13 16 43 20
Aborsi memperburuk atau mengganggu kesehatan 55 35 2 0
Pertanyaan Unfavorable
pendidikan seksual merupakan hal sensitif 39 46 2 5
Takut gemuk dan mudah diet 30 52 4 6
Senang menggunakan celana ketat 29 43 19 1
Seksual bebas tidak dapat menyebabkan kehamilan 37 49 2 4
Pembesaran payudara membuat saya malu 39 48 4 1
Pendidikan seks untuk orang yang sudah menikah saja 39 47 2 4
Malu dengan tumbuhnya rambut pada ketiak dan sekitar
38 44 4 6
kelamin
Seksual bebas tidak selamanya menimbulkan risiko PMS 24 34 11 23
Kesehatan reproduksi lebih baik diberikan kepada orang
29 48 3 12
dewasa
Sumber: data primer 2014.

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Persepsi Remaja Putri Tentang Tipe
Pola Asuh pada Siswi Kelas VII di SMP Negeri 13 Kota Malang.
Persepsi Tipe Pola Asuh Frekuensi (f) Presentase (%)
Otoriter 14 15,2
Permisif 19 20,7
Demokratis 59 64,1
Jumlah 92 100
Sumber: data primer 2014
Bella Kartini Rochmania, Sikap Remaja Putri dalam Menghadapi … 210

Dari semua pernyataan unfavorable sikap menghadapi perubahan fisik masa


hampir semua menunjukkan sikap negatif pubertas pada siswi kelas VII di SMP Negeri
terhadap perubahan fisik yang sedang 13 Kota Malang tahun 2014.
dialami pada masa pubertas. Salah satu
pernyataan unfavorable yaitu pendidikan
PEMBAHASAN
seksual merupakan hal sensitif, menunjukkan
banyaknya responden memilih jawaban Persepsi muncul dari adanya stimulus
sangat setuju sebanyak 39 responden dan yang menghasilkan penafsiran informasi,
jawaban setuju sebanyak 46 responden. memberikan gambaran, dan pemahaman
Tabel 4 dapat diketahui bahwa lebih dari tentang lingkungan sehingga seseorang
setengah responden mempersepsikan dapat memberikan penilaian dan anggapan
pola asuh orang tuanya demokratis yaitu tentang suatu hal tersebut. Contoh persepsi
sebanyak 59 orang (64,1%). Sedangkan ialah tentang pola asuh orang
persepsi pola asuh orang tua yang sedikit Tua, yaitu yang memiliki arti bahwa
adalah pola asuh otoriter sejumlah 14 siswi anak memberikan penafsiran terhadap pola
(15,2%). Data tersebut menunjukkan total asuh yang diberikan orang tua.
asuh demokratis banyak dipersepsikan Faktor internal yang dialami individu
responden sebagai tipe pola asuh orang yaitu dapat berupa kebutuhan psikologis
tuanya. diri, latar belakang yang memiliki kesamaan,
Hasil perhitungan baik manual maupun pengalaman, kepribadian, sikap dan
komuterisasi diperoleh bahwa jumlah x2 kepercayaan umum. Faktor internal akan
hitung sebesar 3,895 sedangkan x2 tabel dikelola oleh diri individu sebagai penafsiran
sebesar 5,991 sehingga x2 hitung < x2 tabel akan suatu hal yang berpengaruh terhadap
(3,895 < 5,991) dengan demikian didapatkan dirinya maupun terhadap lingkungannya.
Ho diterima. Sedangkan faktor eksternal yang dialami
Hubungan persepsi remaja putri ialah intensitas terhadap stimulus, ukuran
tentang tipe pola asuh orang tua terhadap stimulus, kontras yang dapat mempercepat
sikap menghadapi perubahan fisik pubertas ketertarikan, ulangan, gerakan, keakraban,
berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa 59 dan sesuatu yang baru. Hal yang diulang
siswi yang mempersepsikan tipe pola asuh dapat membuat ketertarikan, namun bila
orang tuanya demokratis, sebanyak 42 orang terlalu sering juga dapat menyebabkan
(71,2%) diantaranya bersikap negatif dalam kebosanan. Gerakan merupakan cara
menghadapi perubahan fisik masa pubertas. untuk menarik perhatian, dengan adanya
Hasil penelitian menunjukkan arti bahwa gerakan seseorang akan lebih tertarik
tidak ada hubungan persepsi remaja putri dibanding sesuatu yang diam atau tidak ada
tentang tipe pola asuh orang tua dengan pergerakan.
Hasil penelitian bahwa sebagian besar
siswi mempersepsikan tipe pola asuh orang
Tabel 5. Tabulasi Silang Hubungan Persepsi tuanya demokratis yaitu sebanyak 59 siswi
Remaja Putri tentang Tipe Pola yaitu 64,1% dari total responden
Asuh Orang Tua dengan Sikap penelitian. Hal ini menunjukkan orang tua
Menghadapi Perubahan Fisik dapat membagi perhatian, komunikasi
Masa Pubertas. secara intensif pada anak. orang tua tidak
membebaskan atau membiarkan anaknya
Persepsi Sikap tanpa memperhatikan perkembangan
Jumlah
Tipe Pola Positif Negatif anaknya, namun orang tua juga tidak
Asuh
F % F % f % memaksakan kehendaknya tanpa berdiskusi
Orang Tua
memperhatikan minat dan kemampuan
Otoriter 6 42,9 8 57,1 14 100
anak. Pola asuh demokratis dapat membuat
Permisif 10 52,6 9 47,4 19 100
orang tua sebagai pemberi informasi
Demokratif 17 28,8 42 71,2 59 100 pertama sebelum orang lain terutama pada
Jumlah 33 35,9 59 64,1 92 100 anak yang tinggal serumah dengan orang
Sumber: data primer 2014. tuanya. Keluarga merupakan kelompok
211 Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2 Desember 2015: 206–217

terkecil yang didalamnya ada interaksi satu Persepsi tentang tipe pola asuh orang
sama lain antar anggotanya, dalam pola tua jika dilihat dari intensitas dan banyak
asuh demokratis orang tua memberikan atau sedikit yang diberikan oleh orang tua,
asuhan yang benar sesuai kebutuhan anak. dapat diserap dan ditangkap oleh remaja
Remaja cenderung ingin mencari jati diri putri. Penangkapan tersebut dapat berupa
dan menganggap bahwa dirinya mampu pengalaman, pedoman yang dianut, motivasi,
melewati kehidupannya lebih mandiri kepribadian, bahkan mempengaruhi
dibanding ketika masa kanak-kanak. kecerdasan. Remaja putri dapat mengambil
Pola asuh demokratis dapat membantu pengalaman yang diceritakan orang tua
remaja untuk menyelesaikan tugasnya menjadi salah satu bukti bahwa yang telah
secara bijak melalui komunikasi yang baik diceritakan oleh orang tua merupakan salah
dan diskusi yang saling menghargai. satu contoh nyata. Pedoman yang dianut
Remaja putri dapat merasa nyaman dengan dapat membawa remaja putri mengikuti atau
pola tersebut karena merasa diayomi dan mempertimbangkan pedoman orang tuanya.
dapat menjadi semangat untuk memperoleh Sedangkan motivasi menjadi dukungan
informasi lebih terkait hal yang disukainya yang besar bagi diri remaja putri, terutama
serta bersedia mendengarkan pengalaman dalam menghadapi perubahan yang terjadi
yang dimiliki orang tua. Diskusi dilakukan dalam dirinya termasuk petumbuhan dan
dalam kondisi yang baik sehingga proses perkembagan masa pubertas. Orang tua
tukar pikiran secara efektif dapat terjadi. memiliki fungsi peranan yang sangat besar.
Orang tua mengantarkan anak untuk Menurut Effendy (2004), fungsi pokok
menjalankan tugas pekembangannya sesuai orang tua adalah asih, asah dan asuh. Orang
dengan usianya. tua memberikan kasih sayang, perhatian,
Analisis tersebut didukung oleh teori rasa aman, kehangatan kepada anggota
Yusuf (2008), yang menjelaskan bahwa pada keluarga sehingga memungkinkan remaja
pola asuh demokratis, orang tua tidak hanya tumbuh kembangnya sesuai dengan usia dan
memberikan kebebasan pada anak tetapi kebutuhannya. Pada fungsi asuh orang tua
juga disertai dengan kontrol. Orang tua memberikan pemeliharaan dan perawatan
dengan pola asuh demokratis memberikan anak agar kesehatan selalu terpelihara
pengertian dasar tentang nilai-nilai yang kuat terutama pada remaja putri. Remaja identik
pada diri anak. Orang tua menyeimbangkan dengan kegiatan fisik yang banyak dan perlu
dukungan dengan memberikan kebebasan keseimbangan lingkungan dengan kesehatan
pada anaknya dalam hal memilih dan dirinya. Adanya hal tersebut diharap dapat
melakukan suatu tindakan, serta melalui menjadikan anak memperoleh kesehatan
pendekatan yang hangat. Pemilihan dalam yang holistik yaitu sehat secara fisik, mental,
melakukan tindakan menjadi hal penentu sosial, dan spiritual. Fungsi asah dari orang
terkait langkah yang akan dipilih oleh tua dapat menjadi memenuhi kebutuhan
anak. Remaja akan merasa dihargai ketika anak, sehingga siap menjadi manusia dewasa
diajak untuk berdiskusi. Orang tua dapat yang mandiri dalam mempersiapkan remaja
memberikan kepercayaan kepada anaknya putri pada masa depannya terutama dengan
agar anak memilih dengan konsekuensi yang banyak hal yang akan dipelajari dan akan
ada dari pilihan tersebut. Orang tua tentu dihadapinya.
tidak hanya berhenti sampai memberikan Metode yang dipilih oleh orang
pilihan saja, melainkan juga melakukan tua dalam metode pendidikan anak ialah
pemantauan dan tetap memberikan melalui pola asuh. Tugas perkembangan
perhatian kepada remaja. Dukungan dari yang penting pada masa remaja ialah proses
orang tua sangat diperlukan oleh remaja. bertahap mengembangkan kemampuan
Rasa tanggung jawab akan dapat tertanam yang mandiri agar dapat membuat
dan remaja menjadi percaya diri, sehingga keputusan yang kompeten. Peran orang
remaja akan berusaha semaksimal mungkin. tua penting untuk membantu remaja
Persepsi tipe pola asuh demokratis sangat dalam mencapai potensinya secara utuh
membantu dalam hal ini. yaitu cara menjadi manajer yang efektif.
Bella Kartini Rochmania, Sikap Remaja Putri dalam Menghadapi … 212

Manajer yang efektif menjadi upaya yang terhadap hal yang terjadi. Jika tinggal
penting untuk remaja. Selain itu remaja serumah maka segala sikap dan perilaku
putri dapat menemukan informasi, anak dapat langsung diperhatikan orang tua.
membuat kontak, membantu menyusun Orang tua dapat melakukan pemantauan
pilihannya dan memberikan bimbingan. terhadap perkembangan remaja putri.
Orang tua memberikan pengertian dasar Pemantauan yang dilakukan orang tua tidak
yang kuat sehingga dapat tercipta situasi hanya melihat atau memperhatikan saja,
kepemimpinan. Situasi kepemimpinan orang tua dapat menjadi teman yang baik
yang anggotanya telah diberitahu tujuan untuk diskusi dan membangun sikap yang
kelompok dan anggota diberanikan untuk baik terhadap suatu hal.
mendiskusikan serta melakukan kritik pada Sikap anak yang baik maka perilaku
setiap aktivitas kelompok menurut Kartono anak tersebut diprediksi akan baik juga
(2006). Hasil diskusi dapat menjadi bahan yaitu secara langsung anak akan berusaha
untuk menentukan tujuan selanjutnya dan menjadi pribadi yang baik, terutama untuk
dapat menjadi evaluasi dari semua pihak. orang yang dianggap penting. Tanggung
Keterbukaan diperlukan dalam proses jawab yang muncul ini membangun sikap
memberikan pola asuh agar dapat menjadi pada anak yang akan diaplikasikan melalui
teladan yang baik kepada anak, sekaligus tindakannya. Hal ini menunjukkan bahwa
mengajak remaja putri untuk lebih terbuka meskipun seluruh responden tinggal
dalam melaksanakan tugas bersama orang tua, namun tidak banyak
perkembangannya khususnya mengenai mempengaruhi agar bersikap positif dalam
pubertas yang dialaminya. menghadapi perubahan fisik yang dialami
Menurut Soetjiningsih (2004), tipe pola remaja putri pada masa pubertas. Analisis
asuh ada tiga yaitu otoriter, permisif, atau tersebut didukung pula dengan teori yang
demokratis yang berdasarkan pengalaman menyebutkan interaksi antara anak dengan
pribadi orang tua atau pengalaman teman, orang tua merupakan determinan utama
yang diketahuinya akan menghasilkan hal sikap anak. Sikap orang tua dan sikap anak
yang diinginkan untuk anaknya kelak. Pola cenderung sama atau identik. Namun bila
asuh sebagai metode yang dipilih orang tua dibandingkan dengan pengaruh teman
untuk mendidik anak yang dipengaruhi oleh sebaya, maka pengaruh sikap yang berasal
pengalaman pribadi orang tua atau orang dari orang tua jarang sekali menang (Azwar,
lain yang diketahui sehingga menghasilkan 2007).
pembentukan karakter anak. Jika dilihat dari umur responden
Hasil penelitian di SMP Negeri 13 Kota penelitian, sebanyak 76,1% siswi berumur
Malang tahun 2014 menunjukkan dari 92 13 tahun. Penyetaraan umur responden
siswi, lebih dari setengahnya yakni sebanyak sangat memungkinkan remaja putri yang
64,1% siswi memiliki sikap negatif terhadap seumuran lebih banyak kecocokan dan
perubahan fisik yang terjadi masa pubertas kecenderungan berinteraksi dengan teman
atau menentang hal-hal yang berhubungan sebaya lebih banyak. Seorang remaja dengan
dengan perubahan tersebut. remaja yang lain saling berkomunikasi
Data yang diperoleh pada remaja dan bila menemukan kesamaan, mereka
putri dalam sikap menghadapi perubahan akan membangun kelompok atau
fisik yang terjadi masa pubertas lebih dari membangun kepercayaan dalam bermain,
setengahnya yaitu 64,1% siswi memiliki bertukar pikiran, dan saling menceritakan
sikap negatif terhadap perubahan fisik yang pengalaman. Remaja membentuk kelompok
terjadi. Apabila anak tinggal bersama orang dengan adanya kesamaan antar remaja yang
tua diharapkan orang tua dapat memberikan satu dengan remaja lainnya. Orang yang
bimbingan yang baik sehingga dapat terjalin dianggap penting dalam pembentukan sikap
keterbukaan antara orang tua dan anak dapat dimungkinkan tidak hanya terfokus
sehingga dengan informasi komunikatif pada orang tua saja, terlebih siswi kelas
yang diberikan orang tua dapat membuat VII SMP Negeri 13 Kota Malang 100%
anak tidak cenderung bersikap negatif responden telah mendapat informasi pertama
213 Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2 Desember 2015: 206–217

tentang perubahan fisik masa pubertas yang 5,991) dengan demikian Ho diterima yaitu
diperoleh dari orang tua, guru, saudara, tidak ada hubungan persepsi remaja putrid
maupun tenaga kesehatan. Hal tersebut tentang tipe pola asuh orang tua pada siswi
juga didukung dengan pernyataan Azwar kelas VII di SMP Negeri 13 Kota Malang
(2007), tentang pengaruh lain yang ada tahun 2014.
seperti halnya pengalaman pribadi yang Menurut Azwar (2007), faktor yang
pernah didapatkan remaja dan membekas mempengaruhi pembentukan sikap
pada dirinya, orang yang dianggap penting, yaitu pengalaman pribadi, pengaruh dari
pengaruh kebudayaan yang ada dilingkungan orang yang dianggap penting, pengaruh
remaja putri tersebut, informasi yang didapat kebudayaan, media massa, lembaga
dari media massa, serta pengukuran sikap pendidikan dan lembaga agama, serta
yang dilakukan secara langsung dan tidak pengukuran sikap. Dalam penelitian ini
langsung. Orang. yang dapat dikendalikan oleh peneliti adalah
Orang yang dianggap penting dapat lembaga pendidikan karena responden
luas seperti tokoh yang dikagumi, orang diambil dari sekolah atau lembaga
yang dipatuhi dan dihormati, serta orang pendidikan yang sama dengan tingkat
yang dipercaya oleh remaja putri terkait hal- pendidikan yang sama yaitu pada siswi kelas
hal tertentu. Perubahan fisik masa pubertas VII.
merupakan hal baru yang dialami remaja Pengaruh orang yang dianggap penting
putri pada usia remaja awal. Remaja putri merupakan salah satu komponen sosial yang
membutuhkan orang yang dianggap penting dapat mempengaruhi sikap seseorang. Salah
dalam menyikapi perubahan fisik masa satu orang yang dapat dikategorikan menjadi
pubertas yang sedang dialami. Orang yang orang yang dianggap penting adalah orang
dianggap penting memberikan pengaruh tua (Azwar, 2007), bila dikaitkan dengan
yang dapat membentuk sikap, bila yang hasil penelitian didapat bahwa seluruh
dianggap penting ialah mampu memberikan responden 100% tinggal serumah dengan
informasi yang baik yang berpihak orang tuannya.
terhadap hal yang sedang dibahas maka Damaiyanti (2008) menyebutkan
dimungkinkan dapat membuat sikap positif. bahwa remaja merupakan masa transisi
Namun bila orang yang dianggap penting dari akhir masa kanak-kanak menuju masa
bersikap negatif maka hal yang sama dapat dewasa, didukung dengan pernyataan
juga ditularkan yaitu sikap negatif terhadap Sarwono (2011) tentang remaja awal yaitu
perubahan fisik masa pubertas. pada usia 12–15 tahun yang pada tahap ini
Pubertas merupakan hal yang akan masih heran akan perubahan yang terjadi
dihadapi oleh remaja. Perlu dukungan dari pada tubuhnya sendiri dan dorongan yang
orang-orang yang ada dilingkungan remaja menyertai perubahan tersebut. Terkait hasil
putri. Sikap menghadapi perubahan fisik penelitian 92 siswi telah mempersepsikan
masa pubertas dapat menjadi menyenangkan, tipe pola asuh orang tuanya. Persepsi tipe
remaja putri nyaman, dan tidak menjadi pola asuh terbanyak ialah demokratis
beban. Bila perubahan fisik menyebabkan sejumlah 64,1% siswi, sedangkan persepsi
sikap positif maka akan membuat pubertas tipe pola asuh yang tersedikit ialah otoriter
yang sedang dialami oleh remaja bukan sejumlah 15,2%. Dalam hal ini orang tua
menjadi hal yang mengganggu melainkan sebagai lingkungan sosial pertama remaja
yang memang terjadi secara fisiologis pada diharapkan dapat menerapkan pola asuh
remaja putri. yang mengutamakan adanya interaksi
dialog terbuka tentang perubahan fisik
Hubungan Persepsi Tipe Pola Asuh masa pubertas yang dapat disampaikan
Orang Tua dengan Sikap Menghadapi melalui pendekatan yang hangat sehingga
Perubahan Fisik Masa Pubertas di SMP remaja memiliki sikap yang benar tentang
Negeri 13 Kota Malang Tahun 2014. perubahan fisik yang terjadi pada masa
Hasil utama penelitian ini pubertas, mengingat karakteristik remaja
memperhatikan bahwa berdasarkan hasil dengan emosi yang meluap-luap dan
uji statistic x2 hitung < x2 tabel (3,895 < kebutuhan akan kasih sayang. Oleh karena
Bella Kartini Rochmania, Sikap Remaja Putri dalam Menghadapi … 214

itu, pola asuh orang tua sangat penting pribadi, hal yang diceritakan orang, dan
untung membentuk sikap remaja tentang kebutuhan emosi diri sendiri merupakan
perubahan fisik masa pubertas. determinan utama dalam terbentuknya
Pada hasil penelitian dari 92 siswi kepercayaan. Pengalaman pribadi yang
bahwa tipe pola asuh orang tua yang paling digeneralisasikan tersebut akan membentuk
banyak dipersepsikan oleh responden steriotipe. Apabila steriotipe tersebut telah
adalah demokratis 64,1% yang sebagian berakar sejak lama, maka orang kemudian
besar 71,2% memiliki sikap negatif akan mempunyai sikap yang didasarkan pada
terhadap perubahan fisik masa pubertas. objek sikap tertentu. Sikap yang didasari
Padahal orang tua dengan pola asuh oleh steriotipe (kata ini diganti anggapan
demokratis memprioritaskan kepentingan negatif) semacam ini biasanya sangat sulit
anak dan tanpa ragu dalam mengendalikan. untuk menerima perubahan (Azwar, 2007).
Orang tua selalu bersikap rasional dalam Sikap yang dihasilkan dari pengalaman
suatu pemikiran. Orang tua juga bersikap pribadi yang tidak menyenangkan akan
mendukung kemampuan anak, tidak membuat pribadi seseorang menjadi tidak
menuntut anak untuk menjadi lebih senang atau menghindari hal berkaitan
melampaui kemampuan anak. Menurut dengan pengalaman tersebut. Sedangkan
Yusuf (2008), orang tua menyeimbangkan pengalaman pribadi yang menyenangkan
dukungan dengan memberikan kebebasan dan menarik dapat membuat seseorang
kepada anak-anaknya dalam hal memilih bersikap positif terhadap hal yang
dan melakukan suatu tindakan, dan berhubungan dengan pengalaman tersebut.
pendekatannya kepada anak bersikap Pengalaman yang berkesan dapat menjadi
hangat. Begitu pula yang dibutuhkan oleh cermin steriotip dari hal yang serupa.
remaja, seperti yang dibahas Sntrock (2007), Pertumbuhan yang terjadi pada
bahwa untuk membantu remaja mencapai tubuh remaja putri saat pubertas berupa
potensi seutuhnya, salah satu peran orang tumbuhnya ciri-ciri seks sekunder dan
tua yang penting adalah menjadi manajer menarch. Perubahan seks sekunder yang
yang efektif, yang menemukan informasi, terjadi ialah pada pinggul, payudara, rambut,
membuat kontak membantu menyusun kulit, otot, dan suara. Pinggul membesar
pilihan-pilihannya dan memberikan dan bulat akibat pembesaran tulang panggul
bimbingan. serta perkembangan lemak bawah kulit.
Berdasarkan hasil penelitian didapat Payudara dan papila mamae semakin
sebanyak 64,1% responden mempersepsikan menonjol dengan berkembangnya kelenjar
tipe pola asuh orang tuanya demokratis yang susu. Perubahan yang lain yang terjadi ialah
kecenderungan orang tua tipe demokratis tumbuhnya rambut pada ketiak, kemaluan,
dapat membentuk karakteristik anak yang lengan, kaki, dan wajah. Pada kulit juga
dapat mengontrol dirinya sendiri. Namun terjadi perubahan menjadi lebih kasar,
dengan perkembangan jaman yang maju lebih tebal, agak pucat dan lubang pori-
ini, tidak mustahil remaja terjebak dalam pori bertambah besar. Perubahan pada otot
lingkungan yang apabila seorang pribadi ialah otot semakin kuat dan besar sehingga
yang mempunyai pengalaman yang buruk memberikan bentuk pada bahu, lengan dan
tentang perubahan fisik yang meninggalkan tungkai kaki. Sedangkan pada suara, remaja
kesan kuat sehingga membuat emosi akan putri akan mengalami perubahan suara dari
pengalaman menjadi lebih mendalam, hal suara kanak-kanak menjadi lebih merdu dan
tersebut akan menjadi pengalaman yang melengking.
buruk bahkan menjadi suatu hal yang tidak Faktor yang selanjutnya juga
perlu untuk didiskusikan. Ini diakibatkan membentuk sikap adalah kebudayaan.
emosi remaja yang masih labil, remaja Kebudayaan sangat mempengaruhi orang
masih belum mampu menguasai dan belum yang berada di lingkungan kebudayaan
dapat memfungsikan secara maksimal fungsi tersebut. Jika seorang remaja berada dalam
fisik maupun psikisnya. budaya lingkungan sekitar yang masih
Analisis tersebut didukung dengan menganggap bahwa membicarakan bahkan
teori yang menjelaskan bahwa pengalaman untuk mencari tahu tentang perubahan
215 Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2 Desember 2015: 206–217

fisik masa pubertas adalah suatu tindakan Tenaga kesehatan juga dapat melakukan
yang tabu dan memalukan. Budaya yang pendidikan kesehatan pada organisasi remaja
seperti itu memang mebuat remaja putri salah satunya melalui Pusat Informasi
terbiasa dengan batasan-batasan yang telah dan Konseling Reproduksi Remaja (PIK-
dipupuk dan menjadi suatu kepercayaan KRR). Kegiatan yang dilakukan selain
pada dirinya. Jika hal tersebut terjadi memberikan pendidikan kesehatan dapat
dapat membuat remaja cenderung bersikap juga dilakukan dengan melatih kader sebaya.
negatif. Mereka malu jika disinggung Tenaga kesehatan dapat menghimpun serta
tentang perubahan fisik pubertas yang memberikan pelatihan kepada remaja
terjadi. Ketika hal tersebut terjadi, akhirnya yang dapat dijadikan sebagai kader dalam
berdampak negatif terhadap perkembangan memberikan informasi dan membangun
yang dipilih remaja putri. Namun menurut jejaring agar remaja secara mandiri dapat
Yusuf (2008), fase remaja merupakan membangun sikap positif terutama terhadap
segmen perkembangan individu yang perubahan fisik yang terjadi masa pubertas
sangat penting, diawali dengan matangnya yaitu melalui konten informasi yang benar
organ-organ fisik (seksual) hingga mampu dan tepat.
bereproduksi. Seperti yang didapatkan dari Berbagai media dapat membantu remaja
penelitian, menunjukkan lebih dari setengah dalam memperoleh informasi. Media massa
responden penelitian bersikap negatif dalam sebagai salah satu sumber yang dapat cepat
menghadapi perubahan fisik masa pubertas, untuk diakses oleh remaja. Penyaringan
yaitu sebanyak 64,1% siswi. Maka dari itu informasi perlu dilakukan karena bila tidak
pada fase ini pengenalan serta pemahaman arif juga menyebabkan remaja menjadi salah
yang bijak tentang perubahan fisik masa tangkap tentang informasi yang diperoleh.
pubertas sangatlah diperlukan oleh remaja. Akses tentang hal negatif yang berhubungan
Pengenalan tentang perubahan fisik masa dengan seksualitas dapat dengan mudah
pubertas sebagai upaya agar responden diperoleh yang dapat merusak moral
dapat memahami dan menelaah bahwa remaja. Menurut Notoatmodjo (2005),
perubahan yang terjadi merupakan hal media massa membawa pesan-pesan berisi
yang biasa terjadi dan tidak perlu untuk sugesti yang dapat mengarahkan opini yaitu
dikhawatirkan. adanya informasi baru bagi terbentuknya
Kebutuhan akan informasi sebagai sikap terhadap hal tersebut. Media massa
cara membantu remaja putri untuk dapat diharapkan dapat membantu remaja
memahami pertumbuhan fisik masa pubertas putri dalam memberikan informasi yang
membuat remaja putri mencari tahu dibutuhkan sehingga informasi tersebut
melalui berbagai sumber. Pada penelitian dapat bermanfaat dan dapat digunakan
remaja putri di SMP Negeri 13 Kota sebagai penambah wawasan. Rasa ingin
Malang 100% responden telah mendapat tahu yang tinggi pada diri remaja dapat
informasi tentang perubahan fisik masa memotifasi remaja untuk mampu mencari
pubertas. Hanya sebagian kecil yaitu 4,4% dan mendapatkan informasi yang baik.
diantaranya mendapat informasi oleh tenaga Media massa dapat dijadikan tempat untuk
kesehatan. Ini disebabkan interaksi remaja belajar dan menggali informasi terutama
dengan tenaga kesehatan masih jarang. Bila yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi
diketahui peran tenaga kesehatan sangatlah mencakup informasi yang dibutuhkan
penting karena tenaga kesehatan dapat seputar reproduksi remaja. Kesehatan
memberikan informasi secara menyeluruh reproduksi remaja perlu diketahui terutama
terutama kebutuhan akan memaknai bagi remaja awal. Bila media massa dapat
dan mengerti tentang perubahan fisik memberikan informasi yang tepat dan
yang terjadi pada masa pubertas. Tenaga dapat dipahami oleh remaja putri, maka
kesehatan dapat melakukan pendidikan tidak memberikan pengukuran sikap
kesehatan reproduksi pada tingkat sekolah negatif terhadap perubahan fisik pada masa
melalui pendidikan kesehatan reproduksi pubertas. Remaja putri dapat salah dalam
yang bekerja sama dengan guru pengajar bersikap, maka dari itu diperlukan adanya
kelas serta pada kegiatan ekstrakulikuler. informasi yang dapat digunakan sebagai
Bella Kartini Rochmania, Sikap Remaja Putri dalam Menghadapi … 216

referensi memahami perubahan fisik yang dengan perbedaan yang dimiliki masing-
dialami. masing. Sikap yang timbul dari kejadian
Pengaruh kebudayaan juga mengambil tertentu membawa manusia akan mengarah
peranan penting dalam pembentukan sikap. pada sikap positif atau negatif. Agama
Suatu hal mendapat penilaian di masyarakat menjadi kontrol dalam bersikap karena
sesuai dengan kebiasaan dan norma yang dengan berpegang pada agama manusia
berkembang di lingkungan masyarakat menjalani hidup. Lembaga pendidikan
itu sendiri. Bila kebudayaan yang ada dan lembaga agama dapat dijadikan media
dilingkungan tersebut merupakan hal yang untuk menyalurkan informasi khususnya
positif maka dapat membuat sikap remaja mengenai perubahan fisik yang terjadi masa
menjadi positif pula dan sebaliknya bagi pubertas pada remaja putri. Remaja putri
hal yang dianggap negatif atau bertentangan akan mendapatkan banyak informasi dari
dengan budaya akan membuat sikap menjadi banyak pihak dan pubertas yang dialami
negatif. Penilaian terhadap suatu hal tersebut menjadi hal yang nyaman dan remaja
dapat mempengaruhi sikap seseorang yang bersikap positif menghadapinya. Remaja
terlibat atau dilingkungan, seperti yang putri dapat membawa dampak positif bagi
diungkapkan Azwar (2007) bahwa sikap lingkungannya.
sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial
yang dialami oleh individu.
SIMPULAN
Lembaga pendidikan dan lembaga
agama menurut Notoatmodjo (2005) Berdasarkan hasil penelitian yang
menanamkan dasar pengertian dan moral telah dilakukan di SMP Negeri 13 Kota
dalam diri individu sehingga dapat Malang dengan responden siswi kelas VII,
mempengaruhi pembentukan sikap individu. dapat ditarik beberapa kesimpulan yakni
Individu mendapat pelajaran dasar sebagai sebagai berikut: Sebagian besar remaja putri
pondasi menjalani kehidupan. Lembaga kelas VII di SMP Negeri 13 Kota Malang
pendidikan menjadi suatu tempat yang mempersepsikan tipe pola asuh orang tuanya
tepat dalam pembelajaran. Pengajar yang demokratis. Lebih dari setengah remaja putri
kompeten dan penjelasan yang mudah di SMP Negeri 13 Kota Malang memiliki
dipahami membuat murid atau anak didik sikap negatif terhadap perubahan fisik masa
menjadi tertarik untuk belajar. Ketertarikan pubertas. Tidak ada hubungan persepsi
akan ilmu yang diperoleh menjadi peluang remaja putri tentang tipe pola asuh orang
agar segala bentuk yang diajarkan dapat tua dengan sikap menghadapi perubahan
diingat dan diterapkan dalam keseharian. fisik masa pubertas. Remaja putri yang
Pendidikan baik formal maupun informal mempersepsikan pola asuh orang tuanya
memberi sumbangsih terbesar mengajarkan demokratis memiliki sikap negatif terhadap
pengetahuan dan pengalaman terhadap perubahan fisik masa pubertas.
suatu hal yang sedang dipelajari. Pengajar
dapat menjadi salah satu sumber pemberi
SARAN
informasi yang membentuk sepak positif
atau negatif terhadap sesuatu. Proses Setelah penelitian Hubungan Persepsi
transfer ilmu juga dilakukan dilingkungan Tipe Pola Asuh Terhadap Sikap Menghadapi
lembaga agama. Lembaga pendidikan Perubahan Fisik Pubertas dilakukan, penulis
tidak lepas juga dari peran lembaga agama. menyarankan bagi peneliti selanjutnya
Lembaga agama menanamkan nilai-nilai yang tertarik untuk penelitian sejenis
keagamaan tentang kehidupan sebagai dapat memperhatikan faktor-faktor yang
pemeluk agama dan ciptaan lain tuhan. Budi dapat mempengaruhi persepsi remaja putri
pekerti yang luhur juga dapat dibiasakan tentang tipe pola asuh dan sikap menghadapi
dan menjadi kearifan diri. Lembaga agama perubahan fisik masa pubertas dengan
mengajarkan untut selalu bersikap positif menggunakan sumber penelitian yang lebih
terhadap kondisi yang sedang dihadapi. luas.
Pada hal ini menjadikan pemeluk agama Pihak SMP Negeri 13 Kota Malang
dapat saling menghormati dan menghargai hendaknya mengembangkan penjelasan
217 Jurnal Promkes, Vol. 3, No. 2 Desember 2015: 206–217

program sekolah yang bertujuan untuk DAFTAR PUSTAKA


meningkatkan pemahaman siswi tentang
Azwar, Saiffudin. 2007. Sikap Manusia,
kesehatan reproduksi melalui kerjasama
Teori, dan Pengukurannya. Yogyakarta:
dengan tenaga kesehatan atau institusi
Pustaka Pelajar.
kesehatan sehingga diinformasi yang
Damaiyanti, Mukhripah, 2008. Komunikasi
dibutuhkan oleh remaja putri dapat
Terapeutik dalam Praktik Keperawatan.
diperoleh. Contoh dari kegiatan yang dapat
Bandung: Refika Aditama
dilakukan ialah melalui gerakan program
Effendy, N.,2004, Dasar-dasar Keperawatan
parenting class bagi orang tua tentang seks
Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Renika
edukasi. Orang tua dapat menjadi orang
Cipta.
yang dapat mengedukasi remaja putri
Notoatmodjo, Soekidjo, 2005. Metodologi
sehingga pembentukan sikap positif terhadap
Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka
perubahan fisik masa pubertas dapat menjadi
Cipta.
hal yang nyaman dan remaja putri mampu
Rochmania, Siti N.I., 2014. “Gambaran
menjalani masa pubertasnya secara arif dan
Pengetahuan dan Sikap Remaja Putri
bijaksana.
dalam Menghadapi Perubahan Fisik
Petugas kesehatan hendaknya
Saat Pubertas di Pondok Pesatren Al-
m emb er ik an p em ah am an kepada Baqiyatussholihat” Skripsi. Fakultas
masyarakat, baik orang tua maupun remaja Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.
melalui program kesehatan reproduksi Universitas Islam Negeri Syarif
remaja. Promosi kesehatan dan pendidikan Hidayatullah, Jakarta
kesehatan pada Posyandu remaja sebagai
Santrock, John W. 2007. Remaja Jilid 1 Edisi
contoh bahwa pola asuh diharapkan mampu
11. Jakarta: Erlangga.
memberikan gambaran kemungkinan
Sarwono, Sarlito W., 2011. Psikologi
perilaku yang timbul dari orang yang
Remaja. Jakarta: Rajawali Pers.
bersangkutan dan dapat mengurangi
Soetjiningsih. 2004. Buku Ajar Tumbuh
kegagalan dalam memaknai tahap
Kembang Remaja dan Permasalahannya.
perkembangan remaja khususnya remaja
Jakarta: KDT.
putri.
Yusuf. 2008. Psikologi Perkembangan
Anak dan Remaja. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Volume 6 Nomor 1 Bulan Oktober 2018 EISSN: 2443-0218

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan Menghadapi Masa


Pubertas Remaja di SMPN 20 Kendari
La Ode Alifariki
Program Studi Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo
Email: ners_riki@yahoo.com

ABSTRACT
Teenage who have experienced puberty will experience a change both in physical or psychological. The changes
that occur during puberty often cause anxiety. The purpose of this research was to know the factors related to
anxiety facing teenage puberty at SMPN 20 Kendari. The type of this research was observational analytic
research with cross sectional study approach. The research population were all students of class VIII and IX in
SMPN 20 Kendari in the period of 2017 as many as 432 people. The sample of research were 81 respondents. The
statistical test used is chi squre test. The results showed there was an association of self-acceptance with anxiety
facing teenage puberty (X2hit) = 9,194> X2tab = 3.841, φ = 0.363). There was a parent-support relationship with
anxiety facing teenage puberty (X2hit) = 5,506> X2tab = 3,841, φ = 0.287). There was a relationship of peer
support with anxiety facing teenage puberty (X2hit) = 8.952> X2tab = 3,841, φ = 0.358). There was an association
of students' knowledge with anxiety facing teenage puberty (X2hit) = 5,506> X2tab = 3,841, φ = 0,287).
Keywords: Anxiety, Self Acceptance, Parental Support, Peer Support, Student Knowledge

PENDAHULUAN dirinya. Konsep diri pada remaja lebih


Pubertas adalah periode dalam menekankan pada penampilan; hidung,
rentang ketika anak-anak berubah dari telinga yang besar, tubuh yang pendek, atau
makhluk aseksual menjadi seksual. Kata kerangka tubuh yang besar mengakibatkan
pubertas sendiri berasal dari bahasa Latin remaja menilai buruk terhadap dirinya.
yang berarti ‘usia kedewasaan’. Pada masa Perubahan-perubahan yang terjadi pada
ini anak-anak akan mulai mengalami masa pubertas seringkali menimbulkan
kematangan organ-organ reproduksinya kecemasan. Pada penelitian Nasrawati
juga mengalami perubahan-perubahan (2003) menunjukkan bahwa 58,7% anak
dalam pertumbuhan fisik dan psikologis yang sedang berada pada masa pubertas
(Hurlock, 2000). mengalami cemas sedang, 33,8%
Marheni dikutip dalam Soetjiningsih mengalami cemas ringan, sisanya 7,5%
(2004), menyatakan bahwa memasuki masa mengalami cemas berat (Syamsuddin,
remaja diawali dengan terjadinya 2011).
kematangan seksual, maka remaja akan Kecemasan masa pubertas
dihadapkan pada keadaan yang berhubungan dengan perubahan-perubahan
memerlukan penyesuaian untuk dapat yang terjadi selama masa pubertas, seperti:
menerima perubahan-perubahan yang perubahan fisik pada ciri-ciri seks sekunder
terjadi. Persoalan yang paling banyak yang tidak berkembang dengan baik
dihadapi para remaja adalah persoalan menjadi sumber keprihatinan yang besar.
kesehatan reproduksi. Kesehatan reproduksi Misalnya, sebelum payudara menjadi
itu sendiri dapat diartikan sebagai suatu lengkung dan berisi sebagai akibat
kondisi sehat yang bukan saja bebas dari perkembangan kelenjar susu dan jaringan di
penyakit atau kecacatan, namun sehat baik bawah kulit, remaja putri prihatin kalau
secara mental maupun sosial berkaitan penampilan tidak feminin dan pinggul yang
dengan sistem, fungsi dan proses besar dianggap kurang layak (Syamsuddin,
reproduksi (Ervina dkk., 2013). 2011).
Perubahan yang terjadi Sari dan Kuncoro (2006),
mempengaruhi remaja dalam memandang menjelaskan bahwa faktor-faktor yang
500
mempengaruhi kecemasan adalah keadaan METODE
pribadi individu, tingkat pendidikan, Jenis penelitian ini adalah penelitian
pengalaman tidak menyenangkan, jenis observasional dengan pendekatan cross
kelamin, penerimaan diri dan dukungan sectional study (Arikunto, 2010). Populasi
sosial baik orang tua maupun teman sebaya yang digunakan pada penelitian ini yaitu
(Dewi, 2016). seluruh siswi kelas VIII dan IX di SMPN
Dampak kecemasan remaja akibat 20 Kendari pada periode 2017 sebanyak
menghadapi masa pubertas sering menjadi 432 orang. Sedangkan sampel adalah
pengalaman yang traumatis, khususnya bila sebagian siswi kelas VIII dan IX di SMPN
diiringi muntah-muntah dan kekejangan 20 Kendari pada periode 2017 sebanyak 81
organ tubuh. Tidak sedikit anak yang cemas responden.
bahwa banyak mengeluarkan darah akan Pengumpulan data menggunakan
menyebabkan kematian. Kecemasan kuesioner yang disusun atau diolah sendiri
terhadap ciri-ciri seks sekunder, anak oleh peneliti. Data diolah dengan program
perempuan menjadi cemas jika komputerisasi dan untuk penyajian data
penampilannya tidak feminism. Remaja dalam bentuk tabel dan narasi berdasarkan
mengalami kecemasan apabila payudaranya variabel yang diteliti. Data dianalisis
tidak melengkung dan berisi sebagai akibat dengan univariat dan bivariat (Chi square
perkembangan kelenjar susu dan jaringan di dan phi test) pada batas kemaknaan α =
bawah kulit. Selain itu, tumbuhnya jerawat 0,05 (Arikunto, 2010 ).
dan bulu-bulu disekitar wajah membuatnya
merasa gelisah (Erwindasari, 2015). HASIL
Pembinaan pelayanan kesehatan Analisis Univariat
reproduksi pada siswi remaja di SMPN 20 Hasil penelitian menunjukkan bahwa
Kendari sudah berjalan, namun masih remaja siswa yang cemas sebanyak 42
banyak siswi yang dilaporkan tidak orang (51,9%) dan remaja siswa yang tidak
mengikuti kegiatan ini dengan alasan cemas sebanyak 39 orang (48,1%),
merasa malu. penerimaan diri kurang sebanyak 52 orang
Hasil survey pendahuluan ditemukan (64,2%) dan penerimaan diri baik
bahwa remaja putri siswi SMPN 20 sebanyak 29 orang (35,8%), dukungan
Kendari mengalami kecemasan saat ditanya orang tua kurang sebanyak 53 orang
tentang haid, mereka mengatakan gelisah, (65,4%) dan dukungan orang tua baik
takut, jantung terasa berdebar-debar serta sebanyak 28 orang (34,6%), dukungan
merasa cemas dari biasanya, merasa takut teman sebaya kurang sebanyak 48 orang
wajahnya tidak cantik lagi karena tubuhnya (59,3%) dan dukungan teman sebaya baik
berjerawat, siswi mengatakan tidak sebanyak 33 orang (40,7%), pengetahuan
menginginkan peningkatan berat badan kurang sebanyak 53 orang (65,4%) dan
yang mereka alami saat melewati masa pengetahuan baik sebanyak 28 orang
pubertas karena kurang percaya diri tampil (34,6%).
di depan umum, dan menurut siswi kondisi Hasil penelitian menunjukkan bahwa
ini mempengaruhi konsentrasi siswi dalam hasil analisis hubungan antara penerimaan
belajar sehingga menurunkan pretasi diri dengan kecemasan menghadapi masa
akademiknya. pubertas remaja, diperoleh bahwa dari 29
responden yang penerimaan diri baik, lebih
501
banyak tidak cemas sebanyak 21 orang menghadapi masa pubertas remaja di
(72,4%). Kemudian dari 52 responden yang SMPN 20 Kendari.
penerimaan diri kurang, lebih banyak yang Hasil analisis hubungan antara
cemas sebanyak 34 orang (65,4%). Hasil uji pengetahuan siswa dengan kecemasan
statistik menunjukkan bahwa nilai chi menghadapi masa pubertas remaja,
square hitung (X2hit) = 9,194 > X2tab = diperoleh bahwa dari 33 responden yang
3,841, dengan nilai uji keeratan (φ = 0,363), mempunyai pengetahuan siswa baik, lebih
artinya bahwa ada hubungan lemah antara banyak tidak cemas sebanyak 23 orang
penerimaan diri dengan kecemasan (69,7%). Kemudian dari 48 responden yang
menghadapi masa pubertas remaja di mempunyai pengetahuan siswa kurang,
SMPN 20 Kendari. lebih banyak yang cemas sebanyak 32
orang (66,7%). Hasil uji statistik
Analisis Bivariat menunjukkan bahwa nilai chi square hitung
Hasil analisis hubungan antara (X2hit) = 5,505 > X2tab = 3,841, dengan nilai
dukungan orang tua dengan kecemasan uji keeratan (φ = 0,287), artinya bahwa ada
menghadapi masa pubertas remaja, hubungan lemah antara pengetahuan siswa
diperoleh bahwa dari 28 responden yang dengan kecemasan menghadapi masa
mempunyai dukungan orang tua baik, lebih pubertas remaja di SMPN 20 Kendari.
banyak tidak cemas sebanyak 19 orang
(67,9%). Kemudian dari 53 responden yang
mempunyai dukungan orang tua kurang,
lebih banyak yang cemas sebanyak 20
orang (37,7%). Hasil uji statistik
menunjukkan bahwa nilai chi square hitung
(X2hit) = 5,506 > X2tab = 3,841, dengan nilai
uji keeratan (φ = 0,287), artinya bahwa ada
hubungan lemah antara dukungan orang tua
dengan kecemasan menghadapi masa
pubertas remaja di SMPN 20 Kendari.
Hasil analisis hubungan antara
dukungan teman sebaya dengan kecemasan
menghadapi masa pubertas remaja,
diperoleh bahwa dari 33 responden yang
mempunyai dukungan teman sebaya baik,
lebih banyak tidak cemas sebanyak 23
orang (69,7%). Kemudian dari 48
responden yang mempunyai dukungan
teman sebaya kurang, lebih banyak yang
cemas sebanyak 32 orang (66,7%). Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa nilai chi
square hitung (X2hit) = 8,952 > X2tab =
3,841, dengan nilai uji keeratan (φ = 0,358),
artinya bahwa ada hubungan lemah antara
dukungan teman sebaya dengan kecemasan
502
Volume 6 Nomor 1 Bulan Oktober 2018 EISSN: 2443-0218

Tabel 1. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecemasan Menghadapi Masa


Pubertas Remaja Awal di SMPN 20 Kendari
Variabel Kecemasan Nilai X2, phi
Tidak Cemas CI 95%
cemas p value
n % n % X2 Phi p value
Penerimaan Diri
Baik 21 72,4 8 27,6 9,194 0,363 0,002
Kurang 18 34,6 34 65,4
Dukungan orang tua
Baik 19 67,9 9 32,1 5506 0,287 0,019
Kurang 20 37,7 33 62,3
Dukungan teman sebaya
Baik 23 69,7 10 30,3 8952 0,358 0,003
Kurang 16 33,3 32 66,7
Pengetahuan siswa
Baik 23 69,7 10 30,3 5,506 0,287 0,019
Kurang 16 33,3 32 66,7

memahami dan menerima perubahan yang


PEMBAHASAN terjadi pada dirinya. Hal ini membuat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja lebih siap dalam menghadapi
dominan remaja putri tidak percaya diri persoalan sehingga remaja akan terhindar
ketika jerawat mulai tumbuh di wajah dari rasa cemas. Remaja yang telah
sebanyak 58% dan dominan remaja putri menerima perubahan fisik pada dirinya
tidak melakukan usaha untuk memungkinkan remaja merasa nyaman
mengendalikan perubahan pada masa terhadap penampilan fisik dan bangga akan
pubertas yakni hanya 43%. Umumnya, kemampuan yang dimiliki tubuhnya. Hal
remaja putri tampak kurang menyukai ini tentu berbeda jika remaja putri kurang
perubahan fisik ketika beranjak remaja, menerima perubahan fisik saat pubertas,
khususnya mengenai perubahan lemak remaja putri tentu akan menutup diri
tubuh. Sikap negatif remaja dalam terhadap lingkungan dan merasa malu,
menghadapi perubahan fisik ditunjukkan sehingga hal ini dapat memicu kecemasan
dengan tidak percaya diri, ragu–ragu dalam (Erwindasari, 2015).
mengambil tindakan, takut dan cemas. Kemudian dari 52 responden yang
Hasil analisis hubungan antara penerimaan diri kurang, lebih banyak yang
penerimaan diri dengan kecemasan cemas sebanyak 34 orang (65,4%). Remaja
menghadapi masa pubertas remaja, yang tidak menerima perubahan fisik saat
diperoleh bahwa dari 29 responden yang pubertas akan mengalami kecemasan, hal
penerimaan diri baik, lebih banyak tidak ini karena remaja merasa tidak nyaman
cemas sebanyak 21 orang (72,4%). terhadap perubahan berat badan,
Penerimaan perubahan fisik berhubungan kegemukan, haid, dan ciri-ciri seks
dengan kecemasan pada siswi disebabkan sekunder. Pada awal masa puber, badan
remaja yang telah menerima perubahan anak-anak sering bertambah berat, dan hal
fisik yang dialaminya akan lebih

503
ini akan membuatnya gelisah. Berbadan anak menuju remaja atau dewasa. Salah
gemuk dianggap kurang menarik. satu peranan penting orang tua adalah
Pada penelitian ini diperoleh bahwa memberikan informasi mengenai
ada 8 (27,6%) remaja siswa yang dapat pengetahuan tentang pubertas seorang anak
menerima dirinya kurang namun tidak secara benar (Hurlock, 2000).
merasa cemas, hal ini berhubungan dengan Dukungan informasional orang tua
pola koping remaja yang baik dalam sangat dibutuhkan oleh anak dalam
menghadapi rasa cemas dengan berusaha mengahadapi masa pubertas. Karena
mencari solusi terhadap masalah yang persepsi masa pubertas seorang anak yang
dihadapi, sehingga akan mengurangi salah akan berdampak pada perilaku anak
kecemasan yang diderita. dalam menghadapi perkembangan
Ada pula 18 (34,5%) remaja siswa pubertasnya. Dimana perilaku itu
yang mempunyai penerimaan diri baik dipengaruhi oleh informasi dan
namun merasa cemas. Hal ini berhubungan pengetahuan (Erwindasari, 2015).
dengan umur responden yang masih labil Hasil analisis hubungan antara
sebagai remaja yakni antara 12 sampai 14 dukungan orang tua dengan kecemasan
tahun. menghadapi masa pubertas remaja,
Hasil uji statistik menunjukkan diperoleh bahwa dari 28 responden yang
bahwa ada hubungan sedang antara mempunyai dukungan orang tua baik, lebih
penerimaan diri dengan kecemasan banyak tidak cemas sebanyak 19 orang
menghadapi masa pubertas remaja di (67,9%). Orang tua mempunyai peranan
SMPN 20 Kendari. Hasil penelitian ini yang besar dalam memberikan informasi
sejalan dengan penelitian Erwindasari tentang perkembangan pada remaja, oleh
(2015) yang menyatakan bahwa ada karena itu orang tua terutama ibu
hubungan secara bermakna penerimaan diri diharapkan dapat memberikan dukungan
masa pubertas dengan kecemasan pada emosi sehingga remaja merasa nyaman dan
siswi di SMP Negeri 5 Sragen. Adanya tidak takut untuk mengalami perkembangan
hubungan ini dapat disebabkan karena terutama pada remaja putri yaitu dengan
terjadinya perubahan fisik pada masa datangnya masa pubertas.
remaja menjelang maupun memasuki masa Kemudian dari 53 responden yang
pubertas dapat diterima oleh remaja mempunyai dukungan orang tua kurang,
sehingga tidak mempengaruhi psikologinya lebih banyak yang cemas sebanyak 33
(Erwindasari, 2015). orang (62,3%), karena kurang maksimalnya
Kurangnya dukungan orang tua saat dukungan orang tua sehingga anak kurang
anak memasuki usia remaja diketahui saat mendapatkan dukungan informasi terutama
dilakukan wawancara dengan anak remaja pemahaman yang baik tentang masa
dimana orang tua jarang membelikan pubertas sehingga mempengaruhi
majalah khusus masa puber maupun sedikit perkembangan jiwanya yakni cenderung
sekali orang tua yang mendiskusikan merasa cemas dengan perubahan fisiknya.
perubahan fisik saat remaja siswi memasuki Pada penelitian ditemukan ada 9
usia pubertas. (32,1%) responden yang mendapatkan
Hal ini sangat bertentangan dengan dukungan orang tua baik tetapi merasa
teori bahwa orang tua mempunyai peranan cemas, hal ini berhubungan dengan
yang sangat penting dalam mengantarkan kematangan psikologi anak dalam
504
menghadapi masa pubertas yang masih Darul Makmur Kecamatan Darul Makmur
kurang sehingga anak akan cenderung Kabupaten Nagan Raya (Nisfiannoor dan
mengalami cemas. Ada pula 20 (37,7%) Kartika, 2004).
responden yang mendapatkan dukungan Berdasarkan hasil penelitian dan
orang tua kurang tetapi merasa tidak cemas, teori yang ada maka peneliti berasumsi
hal ini berhubungan dengan sumber orang tua mempunyai peranan yang penting
informasi lain yang diperoleh dari sekolah dalam memberikan perhatian dan informasi
seperti guru kelasnya. Informasi yang mengenai kesehatan reproduksi khusunya
didapat remaja baik dari orang tua maupun pubertas yang bertujuan untuk menambah
para guru tentang perubahan pada saat pengetahuan agar remaja lebih mengerti
memasuki masa remaja akan dan dapat menerima perubahan fisik dan
mempengaruhi terhadap penerimaan psikologisnya pada masa pubertas.
perubahan yang ada seperti; perubahan Pada variabel diperoleh bahwa
tinggi badan, berat badan, perkembangan dukungan teman sebaya kurang sebanyak
seks sekunder dan proporsi badan. 80 orang (55,2%). Hal ini ditandai dengan
Hasil uji statistik menunjukkan teman jarang atau tidak memberi masukan
bahwa ada hubungan sedang antara kepada saya, teman kurang peduli saat saya
dukungan orang tua dengan kecemasan butuh bantuan, kecewa pada teman, merasa
menghadapi masa pubertas remaja di tidak bebas karena teman suka mengatur
SMPN 20 Kendari. Adanya pengaruh apa yang saya kenakan untuk penampilan
tersebut sesuai dengan teori yang saya.
diungkapkan oleh Setiono (2004) Nilai rata-rata tingkat dukungan
menjelaskan bahwa peranan orang tua teman sebaya yang berada dalam kategori
sangatlah besar dalam memberikan jawaban rendah menunjukkan bahwa subjek dalam
dan alternatif jawaban dari hal-hal yang penelitian ini memiliki tingkat dukungan
dipertanyakan oleh remaja, supaya remaja teman sebaya yang rendah. Siswa/siswi
bisa berfikir lebih jauh dan memilih yang yang memiliki dukungan teman sebaya
terbaik. Orang tua tidak mampu yang rendah cenderung kurang bahkan
menjelaskan pengawasan yang baik dan tidak memiliki hubungan yang akrab
penjelasan yang bijak serta bersikap kaku dengan teman sebayanya, kurang mendapat
akan membuat remaja bertambah bingung perhatian dari teman, kurang mendapat
dan salah mengartikan penjelasan tersebut dukungan/penghargaan positif pada diri,
(Mayangsari, 2015). teman kurang memberi nasihat atau saran.
Penelitian yang dilakukan oleh Kecemasan perubahan fisik
Prasetyo (2016) menyatakan bahwa ada siswa/siswi dapat dipengaruhi oleh
hubungan dukungan orang tua dengan beberapa faktor, salah satunya adalah
kesiapan anak remaja putri menghadapi dukungan teman sebaya. Siswa/siswi yang
menarche di SD Negeri Dukuh 01 memasuki masa puber merupakan masa
Mojolaban Sukoharjo. Nilai ρ-value (0,001) perkembangan yang penting karena mereka
(8). Sejalan pula dengan penelitian menerima kenyataan bahwa tubuhnya mulai
Mardilah (2014) yang menyatakan bahwa mengalami perubahan. Hanya sedikit anak
ada pengaruh dukungan orangtua terhadap puber yang mampu menerima kenyataan
pengetahuan remaja putri dalam ini, sehingga mereka tidak puas dengan
menghadapi menarche di SMP Negeri 5 penampilannya.
505
Hasil analisis hubungan antara Ada pula 16 (33,3%) remaja siswa
dukungan teman sebaya dengan kecemasan yang mempunyai dukungan teman sebaya
menghadapi masa pubertas remaja, baik namun merasa cemas, hal ini
diperoleh bahwa dari 33 responden yang berhubungan dengan pengalaman masa lalu
mempunyai dukungan teman sebaya baik, yang kurang menyenangkan sehingga
lebih banyak tidak cemas sebanyak 23 mempengaruhi psikologi remaja
orang (69,7%). Hal ini menunjukkan bahwa menghadapi masa pubertasnya.
semakin besar siswa mendapatkan Hasil uji statistik menunjukkan
dukungan teman sebaya maka remaja/siswa bahwa ada hubungan sedang antara
cenderung mempunyai rasa cemas yang dukungan teman sebaya dengan kecemasan
berkurang dan sebaliknya hal ini dapat menghadapi masa pubertas remaja di
diamati pada 48 responden yang SMPN 20 Kendari. Hubungan ini pun
mempunyai dukungan teman sebaya didukung oleh teori Taylor (2006)
kurang, lebih banyak yang cemas sebanyak mengatakan bahwa kecemasan ialah suatu
16 orang (33,3%). Akibat langsung adanya pengalaman subjektif mengenai ketegangan
penerimaan teman sebaya bagi seseorang mental yang menggelisahkan sebagai reaksi
remaja adalah adanya rasa berharga dan umum dan ketidakmampuan menghadapi
berarti serta dibutuhkan bagi/oleh masalah atau adanya rasa aman. Perasaan
kelompoknya. Hal ini akan menimbulkan yang tidak menyenangkan ini umumnya
rasa senang, gembira dan puas yang menimbulkan gejala-gejala fisiologis
selanjutnya menghasilkan rasa percaya diri (seperti gemetar, berkeringat, detak jantung
dan keberanian (Mardillah, 2014). meningkat, dan lain-lain) dan gejala-gejala
Selanjutnya adanya dukungan teman sebaya psikologis (seperti panik, tegang, bingung,
sebagai tempat berbagi informasi tentang tak dapat berkonsentrasi, dan sebagainya)
masa pubertas dan respon balik yang (Dewi, 2016). Hasil penelitian ini sejalan
diberikan teman sebaya dapat mengurangi dengan penelitian Dewi Indah Sugiarti
rasa cemas yang dialami remaja dalam (2016) yang menyatakan bahwa ada
menghadapi perubahan-perubahan fisik hubungan antara dukungan teman sebaya
pada masa pubertas. Pada umumnya dengan kecemasan perubahan fisik masa
individu membutuhkan bantuan orang lain pubertas pada siswa-siswi SMPN 23
sebagai dukungan bagi dirinya ketika palembang (Dewi, 2016).
menghadapi masalah (dalam hal ini Pengetahuan siswi tentang pubertas
perubahan fisik). Dengan adanya dukungan adalah kurang sebanyak 48 orang (59,3%).
sosial dapat mengurangi timbulnya simtom Hal ini disebabkan oleh kurangnya
fisik dan gejala psikologis, seperti informasi yang diperoleh siswa remaja.
kecemasan dan depresi (Dewi, 2016). Kurangnya informasi tentang kesehatan
Pada penelitian ini diperoleh bahwa reproduksi dikhawatirkan para remaja tidak
ada 10 (30,3%) remaja siswa yang bisa mempersiapkan mental mereka untuk
mempunyai dukungan teman sebaya rendah menghadapi pubertas. Berbagai respon
atau kurang namun tidak merasa cemas, hal negatif ditunjukkan pada saat seseorang
ini berhubungan dengan adanya dukungan mengalami pubertas dengan menyatakan
informasi dari keluarga terutama orang tua perasaan sedih, takut, malu dan bingung.
selama remaja memasuki masa pubertas. Ternyata mereka tidak dapat
mempersiapkan segala sesuatu termasuk
506
informasi yang penting tentang pubertas perhatian remaja sangat besar terhadap
dan mereka mengalami perkembangan penampilan dirinya sehingga mereka sering
seksual lebih dini akan respon negatif merisaukan bentuk tubuhnya yang kurang
(Mayangsari, 2015). proporsional tersebut. Apabila mereka
Faktor kedua yang dapat sudah dipersiapkan dan mendapatkan
menyebabkan pengetahuan kurang adalah informasi tentang perubahan tersebut maka
tingkat pendidikan. Semakin tinggi mereka tidak akan mengalami kecemasan
pendidikan responden diharapkan akan dan reaksi negatif lainnya, tetapi bila
semakin tinggi pengetahuannya dan mereka kurang memperoleh informasi,
sebaliknya semakin rendah tingkat maka akan merasakan pengalaman yang
pendidikan maka ada kecenderungan tidak negatif.
mengakses informasi tentang pubertas. Berdasarkan penelitian terhadap 33
Pada penelitian ini secara keseluruhan responden ternyata masih ada 10 responden
responden berpendidikan SMP. Kondisi ini (30,3%) yang berpengetahuan baik tetapi
tentu akan berpengaruh pada kemudahan masih mengalami kecemasan berat hal ini
menyerap informasi baik dari petugas dapat disebabkan karena faktor lingkungan
maupun media. responden itu sendiri. Perubahan seks
Berdasarkan teori bahwa pendidikan sekunder yang terjadi antara individu satu
formal sangat besar pengaruhnya terhadap dengan yang lain itu berbeda-beda,
pengetahuan seseorang, bila seseorang sehingga walaupun remaja tersebut
berpendidikan tinggi maka akan memiliki pengetahuannya baik tentang perubahan
pengetahuan yang tinggi pula sebaliknya seks sekunder tapi bisa dipengaruhi oleh
jika seseorang memiliki pendidikan rendah pengalaman teman-teman sekitarnya yang
akan memiliki pengetahuan yang rendah belum mengalami perubahan seks sekunder
dan akan mempengaruhi dalam memahami sehingga mereka cemas karena mengalami
sesuatu hal. Akan tetapi perlu ditekankan perubahan yang lebih awal dari pada teman
bahwa seseorang yang berpendidikan sekitarnya (Asiyah, 2015).
rendah tidak mutlak berpengetahuan rendah Hasil uji statistik menunjukkan
pula dinama pengetahuan ataupun bahwa ada hubungan lemah antara
informasi dapat diperoleh bukan hanya pengetahuan siswa dengan kecemasan
secara formal tetapi juga nonformal. menghadapi masa pubertas remaja di
Hasil analisis hubungan antara SMPN 20 Kendari. Hasil penelitian ini
pengetahuan siswa dengan kecemasan sejalan dengan penelitian Asiyah dkk,
menghadapi masa pubertas remaja, (2015) yang menyatakan bahwa ada
diperoleh bahwa dari 33 responden yang hubungan antara pengetahuan remaja puteri
mempunyai pengetahuan siswa baik, lebih usia 11 – 14 tahun tentang perubahan seks
banyak tidak cemas sebanyak 23 orang sekunder dengan tingkat kecemasan dalam
(69,7%). Kemudian dari 48 responden yang mengalami perubahan seks sekunder di
mempunyai pengetahuan siswa kurang, MTs Safinatul Huda Sowan Kidul Jepara
lebih banyak yang cemas sebanyak 32 Tahun 2010 (chi-square hitung adalah
orang (66,7%). Kematangan seksual dan 17,997 > chi-square tabel df : 8 taraf
terjadinya perubahan bentuk tubuh pada signifikan 5% adalah 15,507 (Asiyah dkk.,
masa pubertas sangat berpengaruh pada 2015).
kehidupan kejiwaan remaja, sementara itu
507
Oleh karena semua variabel yang Ervina, U., dan Mardiana, R.A. 2013.
diteliti secara statistik mempunyai Hubungan Dukungan Keluarga
hubungan maka diharapkan agar orang dengan Tingkat Kecemasan pada
Remaja Putri dalam Menghadapi
maupun teman sebaya memberikan
Menarche di MI Salafiyah
dukungan terutama perubahan fisik pada Simbang Kulon 02 Kabupaten
diri remaja saat memasuki masa pubertas Pekalongan. Skripsi.
sehingga remaja dalam menghadapi Erwindasari, N. 2015. Hubungan
kecemasan akibat perubahan fisik pada Penerimaan Perubahan Fisik
masa pubertas dapat berkurang. Masa Pubertas Terhadap Tingkat
Kecemasan Pada Siswi di SMP
Negeri 5 Sragen. Skripsi.
SIMPULAN
Hurlock. 2000. Psikologi Perkembangan:
Ada hubungan antara penerimaan diri, Suatu Pendekatan Sepanjang
dukungan orang tua, dukungan teman Rentang Kehidupan. Edisi 5.
sebaya, pengetahuan siswi dengan Jakarta: Erlangga.
kecemasan menghadapi masa pubertas Mardillah. 2014. Faktor-Faktor Yang
remaja di SMPN 20 Kendari. Mempengaruhi Pengetahuan
Remaja Putri Dalam Menghadapi
Menarche di SMP Negeri 5 Darul
SARAN Makmur Kecamatan Darul
Diharapkan agar orang maupun teman Makmur Kabupaten Nagan
sebaya memberikan dukungan terutama Raya.Skripsi.
perubahan fisik pada diri remaja saat Mayangsari. 2015. Hubungan Dukungan
memasuki masa pubertas, peran guru dalam Informasional Orangtua Dengan
memberikan informasi tentang kesehatan Kecemasan Anak Menghadapi
Menarche Di Dusun Rewulu
reproduksi dan masalah yang timbul saat
Wetan.
terjadi perubahan pada masa remaja. Nasrawati. 2003. Hubungan Antara Cara
Memperoleh Pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA Kesehatan Reproduksi Remaja
Dengan Tingkat Kecemasan
Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Pubertas Siswa SLTP Negeri 12
dalam Praktek Klinik. Rineka Yogyakarta. Karya Tulis Ilmiah
Cipta, Jakarta. Tidak Dipublikasikan. FK UGM.
Asiyah, N., ANdriani, K.D., Anita, Y. Yogyakarta.
2015. Hubungan Pengetahuan Nisfiannoor, M., dan Kartika, Y. 2004.
Remaja Putri Usia 11-14 Tahun Hubungan Antara Regulasi
Denga Tingkat Kecemasan Emosi Dan Penerimaan
Dalam Menghadapi Perubahan Kelompok Teman Sebaya Pada
Seks Sekunder di MTs Safinatul Remaja di SMPK X Kebon Jeruk
Huda Sowan Kidul Jepara. dan SMPK Y Duri Kepa –
Skripsi Jakarta Barat.

Dewi. 2016. Hubungan antara dukungan


teman sebaya dengan kecemasan Prasetyo. 2016. Hubungan Dukungan
perubahan fisik masa pubertas Orang Tua Dengan Kesiapan
pada siswa-siswi SMPN 23 Anak Remaja Putri Menghadapi
Palembang. Skripsi. Menarche di SD Negeri Dukuh
01 Mojolaban Sukoharjo.
508
Sari, E.V., dan Kuncoro, J. 2006.
Kecemasan dalam Menghadapi
Masa Pensiun Ditinjau dari
Dukungan Sosial pada PT.
Semen Gresik Tbk. Jurnal
Psikologi, 1(1) :1-10.
Setiono. 2004 Pengasuhan anak diera
internet. Yogjakarta: Thinfresh.
Soetjiningsih. 2004. Tumbuh Kembang
Remaja dan Permasalahanya.
Jakarta : Sagung Seto.
Syamsuddin. 2011. Hubungan Konsep Diri
Dengan Kecemasan Pada Remaja
Putri Di SMP Negeri 4 Depok.
Skripsi.
Taylor, R. 2006. Mengembangkan
Kepercayaan Diri. Jakarta:
Erlangga.

509
JOURNAL OF RESEARCH ON ADOLESCENCE, 29(1), 82–95

Understanding Puberty and Its Measurement:


Ideas for Research in a New Generation
Jane Mendle Adriene M. Beltz and Rona Carter
Cornell University University of Michigan

Lorah D. Dorn
Pennsylvania State University

The measurement of puberty is an intricate and precise task, requiring a match between participants’ developmental
age and appropriate techniques to identify and capture variations in maturation. Much of the foundational work on
puberty and its psychosocial correlates was conducted several decades ago. In this article, we review the biological
foundation of puberty; the operationalization of puberty in statistical analyses; and strategies for considering diversity
and social context in research to help researchers align measurement with meaningful conceptual questions. These
three areas are particularly important, given new statistical techniques, greater awareness of individual variations in
development, and key differences between past cohorts and youth coming of age today.

Puberty is a complex, integrative, and coordinated psychological salience of puberty was conducted in
transition, marked by change in body, brain, behav- the 1970s–1990s (e.g., Brooks-Gunn, Petersen, & Eic-
ior, cognition, and emotion. The past decade has horn, 1985; Petersen, Tobin-Richards, & Boxer, 1983;
seen a renaissance in scientific inquiry dedicated to Simmons & Blyth, 1987; Susman et al., 1985). Youth
puberty, with scholars today leveraging cutting- today differ from those cohorts in the timing, onset,
edge statistical and imaging techniques, and draw- and duration of maturation; the dialogue surround-
ing on nearly five decades of scientific scholarship to ing sexual maturation; the social awareness of
understand this pivotal transition. While this resur- human diversity; and the demographic make-up
gence is an exciting one, it is simultaneously marked and economic circumstances of the country in which
by critical challenges. These include both long- they live. As scholars, we must ensure that our
standing methodological and measurement dilem- research questions, methods, and approaches have
mas, rooted in the inherent intricacy of the pubertal been adapted to address these changes. Quite sim-
transition, as well as new and unexpected questions ply, we cannot assume that the methods and theo-
that have emerged in concert with recent research ries developed several decades ago will necessarily
findings across disciplines and levels of analysis. be applicable or appropriate for today’s youth.
The current article explores the principal issues Notably, there are already several exceptional
underlying measurement, conceptualization, and papers detailing various ways to measure puberty
operationalization of puberty in psychological across different scientific disciplines (e.g., Beren-
research. Our central goal is to provide a thorough baum, Beltz, & Corley, 2015; Dorn & Biro, 2011;
foundation in the basics of pubertal maturation, to Dorn, Dahl, Woodward, & Biro, 2006). Those
ensure scholars—particularly those who may be less papers collectively emphasize the need to match
familiar with the topic—are prepared to conduct the type of measurement with the research ques-
empirically sound research that makes a strong con- tion. We refer readers interested in specific mea-
tribution to the field. We additionally discuss surement techniques to those works. Our focus in
needed revisions to the scientific approach to study- this article is to offer new ideas, perspectives for
ing puberty. Much of the foundational work on the research, and methodological principles to help
align the measurement of puberty with meaningful
theoretical questions. We especially highlight three
Jane Mendle’s work on this article was supported by a gift main areas: the biological foundation of puberty;
from Rebecca Q. Morgan and the Program for Research on
the operationalization of puberty in statistical anal-
Youth Development and Engagement.
Requests for reprints should be sent to Jane Mendle, Depart-
ment of Human Development, Cornell University, Ithaca, NY © 2019 Society for Research on Adolescence
14853. E-mail: jem482@cornell.edu DOI: 10.1111/jora.12371
MEASUREMENT OF PUBERTY FOR RESEARCH 83

yses; and strategies for considering diversity and follicle-stimulating hormone followed by the pro-
social context in research. duction of sex steroids from the gonads. In females,
increased estrogen facilitates the development of
secondary sexual characteristics, such as breast and
UNDERSTANDING THE BASICS OF
hip growth, and eventually menstruation. In boys,
PUBERTAL DEVELOPMENT
increased testosterone results in testicular develop-
Puberty is the gateway to adult reproductive com- ment, growth of facial hair, and changes in voice.
petence, encompassing a suite of changes resulting Gonadarche is a gradual and somewhat lengthy
from maturation of the brain and neuroendocrine process, roughly 4–5 years in duration. It begins
function (Lee & Styne, 2013). These neural changes approximately one to one and half years later in
trigger numerous observable physical changes, boys than in girls. In girls, the first change result-
including changes in height and the development ing from the HPG axis typically reported is the-
of primary and secondary sexual characteristics in larche, or the onset of breast development, while
both males and females. As children develop phys- for boys the first change is typically testicular
ically, they also face changes in their social roles growth (Lee & Styne, 2013; Styne & Grumbach,
and relationships, in how they think about them- 2016). Menarche, or a girl’s first menstrual cycle, is
selves and others, and in how they process and a relatively late gonadal event, occurring between
respond to the world around them. Here, we 1.5 and 3 years after breast development begins. It
briefly review the biological foundation of puberty. may take an additional 3–5 years post-menarche
For additional information, we encourage the for menstrual cycles to stabilize and become
reader to refer to the articles in this issue on new regular.
research in puberty and structural and functional In addition to adrenarche and gonadarche, the
brain remodeling in puberty and adolescence (Ayl- growth axis is also activated in puberty. Just prior
win, Toro, Shirtcliff & Lomniczi, 2019; Goddings, to pubertal onset, growth hormone (GH) and rate
Beltz, Peper, Crone, & Braams, 2019). of growth decrease, followed by an increase at
puberty when the growth axis is stimulated by ris-
ing sex steroids and GH is secreted in a pulsatile
Biological Foundation of Puberty
fashion (Styne & Grumbach, 2016). As puberty pro-
Puberty comprises two distinct but overlapping gresses, pulses become significantly higher in
processes, adrenarche and gonadarche. Adrenarche, amplitude and duration (Veldhuis, Roemmich, &
or “awakening of the adrenal glands,” occurs at Rogoo, 2000). Insulin-like growth factor (IGF-1) also
approximately age 6–8 years (e.g., Byrne et al., increases and is correlated with secondary sexual
2016; Lee & Styne, 2013; Styne & Grumbach, 2016). characteristics as well as with concentrations of sex
Adrenarche is marked by a dramatic rise in three steroids (Korth-Schutz, Levin, & New, 1976; Sizo-
adrenal steroid hormones: androstenedione (delta- nenko & Paunier, 1975). Because the majority of
4A), dehydroepiandrosterone (DHEA), and the linear growth is complete in girls at menarche, GH
latter’s sulfate (DHEAS). These hormones continue is “turned down” to prepubertal levels at the end
to increase into the third decade of life before they of puberty (Albertsson-Wikland, Rosberg, Karlberg,
plateau, and eventually decline. Changes associated & Groth, 1994). For boys, height velocity increases
with adrenarche include increased skin oil and approximately one to two years later than girls,
acne, skeletal maturation, and pubic hair growth. and seems to peak about three-quarters of the way
Gonadarche follows adrenarche approximately through the pubertal transition (Abbassi, 1998).
1–2 years later. The hypothalamic pituitary gonadal Timing of pubertal milestones can vary substan-
(HPG) axis refers to the coordinated endocrine tially across populations, demographic groups, and
function of the hypothalamus, pituitary gland, and studies. In the United States, recent estimates sug-
gonads. The HPG axis is active in the early postna- gest that boys show early signs of gonadarche on
tal period (and up to age two in girls), but enters a average at age 10, with Latino and African Ameri-
quiescent period until puberty. At puberty, the can boys maturing approximately six months
gonadotropin-releasing hormone (GnRH) pulse ahead of European American boys (Herman-Gid-
generator in the hypothalamus is reactivated (Bor- dens et al., 2012). In girls, early signs of gona-
dini & Rosenfield, 2011; Rey, Campo, Ropelato, & darche are evident in most people at around age 9–
Bergadá, 2016; Styne & Grumbach, 2016). GnRH 10 years (Biro et al., 2013; Cabrera, Bright, Frane,
stimulates the anterior pituitary gland to create a Blethen, & Lee, 2014; Susman et al., 2010), with
pulsatile secretion of both luteinizing hormone and roughly 18% of European American and 40% of
84 MENDLE, BELTZ, CARTER, AND DORN

African American girls showing signs of breast pubic hair development in girls and testicular and
development at age eight (Biro et al., 2010). Impor- pubic hair development in boys (Marshall & Tan-
tantly, these ages are earlier than documented in ner, 1969, 1970; Tanner, 1962). Tanner Stage 1 indi-
previous generations, and convincingly suggest cates no visible signs of development in these
that puberty onset has shifted to a younger chrono- domains, while Tanner Stage 5 indicates full physi-
logical age (Lee & Styne, 2013). This earlier onset is cal maturation. Assessments of Tanner Stages can
evident in both girls and boys from Europe (Aks- be completed by nurses or medical personnel
glaede, Olsen, Sørensen, & Juul, 2008; Aksglaede, trained in a physical exam of this nature, or by
Sørensen, Petersen, Skakkebæk, & Juul, 2009) as parents or youth using photographs or pictorial
well as in the United States (Biro et al., 2013; Eul- images for guidance to obtain parent- or self-per-
ing et al., 2008), and observed in the age of growth ception of stage. Researchers, particularly those
spurt as well as in gonadal indicators (Aksglaede without access to partnerships at medical facilities,
et al., 2008). Because the age at which puberty ends have also frequently used the Pubertal Develop-
has not shifted as dramatically as the age at which ment Scale (PDS; Petersen, Crockett, Richards, &
it starts (reviewed in Lee & Styne, 2013; Mendle, Boxer, 1988; Petersen et al., 1983), comprised of five
2014), youth may be spending a longer period of items for each sex assessing perceived changes in
time in the pubertal transition than youth in previ- height, body hair, and skin (for both sexes), age at
ous generations. menstrual onset and breast development (for girls),
For researchers, these secular changes in puber- and facial hair and voice deepening (for boys). Less
tal development pose practical issues for research commonly, studies have also used hormonal assays
methods. Pubertal youth may cognitively and to reflect aspects of puberty or asked youth to
behaviorally resemble children more than adoles- report their level of development relative to peers
cents and they may have reading levels consistent (see below; for strengths and merits of each mea-
with their chronological age. There may be a need surement type, see also Berenbaum et al., 2015;
to update assumptions about the psychological Dorn et al., 2006; Dorn & Biro, 2011; Harden,
experience of puberty, self-report psychological Kretsch, Moore, & Mendle, 2014; Huang et al.,
measures, and target population age to best cap- 2012; Shirtcliff, Dahl, & Pollak, 2009).
ture and represent children’s experiences. In addi-
tion, being sensitive and well-versed in
HOW TO CAPTURE INDIVIDUAL
developmental norms regarding puberty will
DIFFERENCES IN PUBERTAL DEVELOPMENT:
enhance the quality and validity of scientific
MERGING MEASUREMENT AND METHODS
research. For example, studies that ask participants
to self-report development at an age during which Puberty is a highly individualized process. Youth
youth are not typically experiencing pubertal differ from each other not only in their psychologi-
change (i.e., girls who are too old, such as over cal responses to maturation, but also in the age at
14 years) would miss much of the pubertal process; which they physically mature (known as pubertal
any effects would likely be driven by a small num- timing); the pace of their maturation (commonly
ber of outliers with an unusually late maturation. called pubertal tempo), and the alignment of their
Likewise, knowing that girls tend to enter gona- different pubertal changes with each other (pubertal
darche earlier than boys is relevant for determining synchrony). It should be noted that these individual
enrollment criteria in a study. Because different differences often rely, conceptually and statistically,
psychological and social processes may be evident on accurate assessments and measurement of
earlier versus later in puberty, enrolling girls who pubertal status. Therefore, research that focuses on
are 1–2 years younger than boys will capture com- comparisons of pubertal status asks “what are typi-
parable stages in the pubertal process for both cal psychological changes that occur as children
sexes. enter and progress through puberty?” whereas
research that focuses on pubertal timing, tempo, or
synchrony asks “do individual differences in matu-
Common Measures of Puberty
ration contribute to different psychological experi-
Where a child is in the process of puberty is com- ences at puberty (or different experiences that may
monly referred to as pubertal status. Beginning in persist or even emerge in adulthood)?”
the 1960s, physicians and other medical personnel A recurrent question in puberty research is how
began to use a system known as Tanner Stages to to capture these significant sources of variability in
categorize pubertal status based on breast and individual maturation. This question both contrasts
MEASUREMENT OF PUBERTY FOR RESEARCH 85

and complements questions about normative devel- and clinician Tanner staging of gonadal or adrenal
opment. Historically, pubertal timing, or when a indicators. Subjective measures capture similar
youth develops with respect to same-age, same-sex information, but they are typically self- or parent-
peers, has been the most well-documented, well- reported, such as self-reported axillary hair on the
researched individual difference in pubertal devel- PDS. (Unfortunately, age at spermarche is not a
opment (Susman & Dorn, 2009). However, the past particularly good measure for boys, as discussed in
5 years have seen a growing interest in studying Dorn et al., 2006). Some subjective measures also
other individual differences at puberty (e.g., Men- target perceived pubertal timing, usually assessed
dle, 2014). This work has been fostered by, among via self-report. Rather than asking adolescents
other things, statistical advances that allow directly about specific physical changes, these mea-
researchers to transform longitudinal puberty sures ask adolescents how their development com-
assessments into increasingly nuanced representa- pares to that of their same-age peers. Is it earlier,
tions of how development unfolds for an individ- about the same, or later? Because these questions
ual over time. This section will cover the are not anchored in particular physical milestones,
measurement and operationalization of the three assessments of perceived development capture a
main sources of individual variation at puberty: confluence of biological, social, and cognitive
timing, tempo, and synchrony. The strengths and changes related to puberty (Moore, Harden, &
weaknesses of common and recent measures will Mendle, 2014), rather than pure biological change.
be noted, particularly when used in relation to psy- There is an implicit assumption that objective
chological antecedents and outcomes. measures are “better” than subjective or perceived
measures, and that micro-level biological indicators
(e.g., hormones) are “better” than macro-level ones
Pubertal Timing
(e.g., breast growth), but neither statement is neces-
Pubertal timing is a key psychological construct. It sarily true. Physician-rated Tanner Stages remain
has been related to adolescent changes in brain the “gold standard” for assessing pubertal develop-
structure and function, cognition, early life adversi- ment (Dorn & Biro, 2011; Dorn et al., 2006) in part
ties, and internalizing and externalizing behavior, because they go beyond hormone levels to reflect
including clinical diagnoses that persist into adult- endophenotypes of hormone effects on the brain
hood (Beltz & Berenbaum, 2013; Graber, 2013; and body. It should also be noted that youth are
Herting & Sowell, 2017; Mendle, Ryan, & McKone, notoriously poor at reporting some biological indi-
2016, 2017; Negriff & Susman, 2011; Ryan, Mendle, cators (e.g., skin changes; Dorn et al., 2006) but can
& Markowitz, 2015). Pubertal timing can be be more accurate at others (e.g., menarche; Casey
assessed in two ways. First, individuals can report et al., 1991). Even self-reported PDS ratings and
when they experienced particular pubertal mile- perceived timing reports can be valid and reliable
stones (such as menarche). Second, timing can be (Beltz, Corley, Bricker, Wadsworth, & Berenbaum,
statistically estimated by comparing assessments of 2014; Dubas, Graber, & Petersen, 1991; Graber,
physical development—such as Tanner Stage or Lewinsohn, Seeley, & Brooks-Gunn, 1997). Longitu-
scores on the PDS—across youth of the same dinal studies of perceived pubertal timing indicate
chronological age. Either way, a complete under- stability and continuity of perceived development
standing of pubertal timing first requires knowl- across adolescence; youth who perceive themselves
edge of the different measures of puberty, which as early developers tend to report this across multi-
vary according to whether they are (1) objective, ple time points during adolescence (Cance, Ennett,
subjective, or perceived, (2) concurrent or retro- Morgan-Lopez, & Foshee, 2012; Dubas et al., 1991).
spective, and (3) cross-sectional or longitudinal. As The bottom line is that different measures are suit-
this information has been discussed extensively in able for different research questions. If the research
other sources (e.g., Berenbaum et al., 2015; Dorn & question is about masculinization of neural reward
Biro, 2011; Dorn et al., 2006), it is only reviewed in circuitry in adolescence, then testosterone assess-
brief here. ments may be ideal. If the question is about
Objective measures of puberty capture biological changes in adult social roles that began at puberty,
changes related to a specific pubertal process (i.e., then perceived assessment of maturation could be
gonadarche, adrenarche, or growth) and are typi- optimal.
cally assessed by a health provider or research pro- Pubertal timing can be gauged either concur-
fessional. Examples include hormone assessments, rently or retrospectively. Concurrent measures
measures of height extracted from medical charts, assess ongoing pubertal development in youth who
86 MENDLE, BELTZ, CARTER, AND DORN

are currently navigating puberty, whereas retro- Implementing one of these analytic procedures
spective measures assess development after pub- for timing requires careful attention to the question
erty is complete, typically in late adolescence or under study as well as the available measures of
early adulthood. Again, there is an implicit bias puberty within the data set. Our recommendation
within the field towards concurrent measures, as is to create pubertal timing variables via residuals
youth are currently in the midst of pubertal or standardizing within age bands rather than tri-
change. However, retrospective measures also have chotomizing or using norms. Trichotimizing can
advantages, namely allowing researchers to test limit inferential analysis options to group compar-
complex longitudinal hypotheses about the role of isons (e.g., analyses of variance [ANOVAs]), reduce
puberty across time and to assess the longevity of power, and be sample-specific. Likewise, published
pubertal timing effects. In addition, although objec- norms are not updated frequently, may not always
tive retrospective measures like age at menarche have adequate populations of racially, ethnically,
have been and continue to be widely used, per- or socioeconomically diverse youth, and sometimes
ceived retrospective measures are also seeing rely on a comparatively small segment of the pop-
increased use (e.g., Beltz & Berenbaum, 2013; Car- ulation to determine what is “normal.”
ter & Williams, 2016; Moore, McKone, & Mendle, When measurement is longitudinal, researchers
2016; Zehr, Culbert, Sisk, & Kiump, 2007). Despite can consider advanced growth curve analyses in
concerns about the accuracy of retrospective addition to adapting the methods described above
reports, it has been suggested that the social com- (i.e., Ram & Grimm, 2007; Raudenbush & Bryk,
parison inherent in perceived measures likely 2002). Growth curve models inherently assess
enhances the salience and memory of pubertal pubertal timing within the model design. These
events (Beltz & Berenbaum, 2013). This may par- models have had a notable impact on the field
tially explain why perceptions of pubertal timing (e.g., Beltz et al., 2014; Castellanos-Ryan, Parent,
tend to be strong predictors of psychological out- Vitaro, Tremblay, & Seguin, 2013; Huang, Biro, &
comes even many years post-pubertally (e.g., Gra- Dorn, 2009; Marceau, Ram, Houts, Grimm, & Sus-
ber, Seeley, Brooks-Gunn, & Lewinsohn, 2004; man, 2011; Mendle, Harden, Brooks-Gunn, & Gra-
Moore et al., 2016) . ber, 2010, 2012; Negriff, Blankson, & Trickett, 2015),
but they must be applied with careful attention to
conceptual interpretation. These analyses generally
Calculating Pubertal Timing From Cross-Sectional
involve fitting mixed effects (i.e., group means and
and Longitudinal Data
their variation across individuals) models to longi-
When measurement is cross-sectional, individual tudinal measures of pubertal status separately for
differences in pubertal timing can be determined in boys and girls, and then extracting parameters
several ways. First, individuals can be compared to from the curves that represent pubertal timing (or
published norms (e.g., Biro et al., 2013; Euling et al., tempo; see below).
2008; Herman-Giddens et al., 2012). Second, Depending on the functional form of the growth
researchers have often chosen to trichotomize indi- curve (e.g., linear, quadratic, logistic) and analytic
viduals in a sample. In this case, early, on-time, and choices of the researcher, pubertal timing can be
late timing groups may be created using cutoffs that reflected by the intercept (e.g., age at the onset of
reflect the upper and lower 20–30% of a sex-based puberty or level of development at a certain age)
sample or those more than one standard deviation or by interpolating the age at midpuberty (e.g.,
from the mean in either direction (e.g., Copeland Tanner Stage 3); these pubertal timing estimates
et al., 2010; Dubas et al., 1991; Ge, Conger, & Elder, can then be related to behavior in subsequent anal-
2001; Zehr et al., 2007). Third, timing variables can yses. Linear growth curves consider pubertal
be created by regressing chronological age on development to be steadily increasing across ado-
pubertal status (and saving the residuals) or by lescence (e.g., Castellanos-Ryan et al., 2013; Mendle
standardizing pubertal status ratings within a year et al., 2010). Quadratic curves model pubertal
of chronological age and sex, so that higher scores development in a U- (or inverted U-) shape
reflect greater pubertal development relative to (Negriff et al., 2015), and logistic curves model
same-age, same-sex peers (e.g., Carter, Silverman, & pubertal development in an S-shape, with no
Jaccard, 2013; Crockett, Carlo, Wolff, & Hope, 2013; change in childhood, a sharp increase in adoles-
Dorn, Susman, & Ponirakis, 2003; Mendle, Leve, cence, and a leveling-out in adulthood (e.g., Huang
Van Ryzin, & Natsuaki, 2014; Rudolph, Troop-Gor- et al., 2009; Marceau et al., 2011). Empirical results
don, Lambert, & Natsuaki, 2014) . show that complex curves typically fit longitudinal
MEASUREMENT OF PUBERTY FOR RESEARCH 87

puberty data better than linear ones (Marceau too late or end too early can miss the development
et al., 2011; Negriff et al., 2015), but that the curves of early maturing girls and late maturing boys,
provide similar estimates of pubertal timing and respectively. Thus, it is beneficial to consider both
links to behavior (Beltz et al., 2014). timing and tempo in models whenever possible.
Finally, although there is no consensus as to how
many time points are necessary to estimate tempo,
Pubertal Tempo
conducting three or more assessments is optimal. It
Pubertal tempo is a measure of how quickly a is true that within endocrinology research tempo
youth develops. Some youth mature relatively has occasionally been assessed as a simple differ-
quickly while others have a slower, more gradual ence score of the time it takes a girl to go from
maturation process. Converging evidence of the pubertal onset to menarche (e.g., Mart´ı-Henneberg
developmental significance of pubertal tempo is & Vizmanos, 1997). It should be noted, however,
still mounting (Berenbaum et al., 2015). Because that tempo can only be gauged from two time
tempo indexes change over time, studies of puber- points when assessments span the entirety of pub-
tal tempo necessarily require more than one time erty, from onset to completion, for every participant.
point of data; optimally, researchers will have three Although it might be temptingly simple to subtract
or more assessments of puberty. participants’ level of development at Time 1 from
Like timing, tempo estimates can be extracted their level of development at Time 2, this sort of dif-
from growth curve models, with tempo reflected in ference score would be uninformative about puber-
the rate of change, or slope, of the curves. Unlike tal tempo if the assessments captured only a
pubertal timing, the meaning of tempo estimates is segment of the pubertal process, as is the case in the
highly dependent upon the functional form of the majority of psychological studies. In these circum-
trajectory over time; that is, whether it is a linear, stances, a high difference score would simply reflect
quadratic, or logistic model (Beltz et al., 2014). For participants who experience more pubertal change
example, linear models have the same slope across during the study period and a lower difference
time, so tempo reflects a constant rate of pubertal score would reflect participants experiencing less
change. Quadratic and logistic models have curves, pubertal change at the particular time the study was
and in these models, slope is typically calculated conducted. To illustrate, a person with a low differ-
where the curve changes direction (i.e., the inflec- ence score may have already experienced an unusu-
tion point), so tempo reflects instantaneous change, ally rapid tempo, and completed puberty prior to
or change in the rate of change (Beltz et al., 2014; these assessments, or alternatively may not have yet
Marceau et al., 2011; Negriff et al., 2015). It is likely begun maturing. Although even studies that include
not surprising that pubertal tempo estimates from multiple time points of data may not fully capture
different models are not consistently related to the entirety of the pubertal process, nonlinear
each other, even in the same sample; for instance, growth curve models, although complex, are cur-
tempo estimates from linear models were corre- rently the best methodological techniques available
lated .03 and .15 with estimates from logistic mod- for studying pubertal tempo.
els in two samples of adolescent girls, with neither
estimate consistently relating to behavior (Beltz
Pubertal Synchrony
et al., 2014).
This disconnect between pubertal tempo opera- Synchrony is the extent to which different pubertal
tionalizations highlights the importance of aligning processes or features develop in concert (Marshall
theory and statistical methods when studying pub- & Tanner, 1969, 1970). For instance, puberty in girls
erty. When making modeling decisions, it is benefi- typically begins with a growth spurt in height, fol-
cial to consider study questions and data, and lowed by breast budding, axillary and pubic hair
remember that growth curve models can be sensi- growth, and ends with menarche, but the initiation
tive to the timing, frequency, and spacing of mea- of these events and the extent to which they over-
surements. For instance, a linear curve can be used lap with each other varies across individuals (Mar-
if a researcher only has three measurements shall & Tanner, 1969). Although research in
assessed in the midst of puberty, because more pubertal synchrony has been limited, there has
complex curves require more than three measure- been some consideration of the correspondence
ments. Alternatively, a logistic curve (or censored between adrenal and gonadal indicators of devel-
data set) should be used if the measurements do opment (Corley, Beltz, Wadsworth, & Berenbaum,
not completely capture puberty; studies that begin 2015; Susman et al., 2010). Most notably,
88 MENDLE, BELTZ, CARTER, AND DORN

Thompson, Hammen, and Brennan (2016) reported these differences when selecting instruments,
that asynchronous pubertal development in girls constructing hypotheses, and identifying key
was associated more strongly with depression in mediators and moderators of psychological experi-
late adolescence. Synchrony will be an important ences will enhance research quality and generaliz-
avenue for future work, especially because ability.
researchers often collapse across different puberty This lack of inclusion of diversity and social con-
indicators, and the optimal statistical approaches text in research on puberty likely has many origins.
for comparing and contrasting across indicators are These may include a shortage of theoretical expla-
still unclear. It is true that reliability of measure- nations for these populations; small numbers of
ment generally increases with multiple indicators. researchers studying these issues; challenges in
However, this general rule of psychometrics only recruiting and retaining significant numbers of par-
applies if measures assess the same construct, and ticipants in these groups; and the added expense of
may not hold for aspects of puberty that have dif- effectively recruiting and retaining vulnerable pop-
ferent developmental courses or are driven by dif- ulations. In this section, we highlight the challenges
ferent hormonal processes (i.e., adrenal vs. of addressing diversity and social context in
gonadal). Future investigations of synchrony not research and discuss methodological strategies and
only have the potential to increase understanding considerations when studying racially and ethni-
of the significance of coinciding pubertal events, cally diverse youth, low-income youth, and LGBT
but may also challenge researchers to think deeply youth during the pubertal transition.
and precisely about the aspects of puberty that
matter most for developing youth for the construct
Challenges in Addressing Diversity and Social
under study.
Context
Effective research is an implicit social contract
ADDRESSING DIVERSITY AND SOCIAL
between a researcher and a participant, with partici-
CONTEXT
pants sharing details of their minds, lives, and per-
The timing of puberty varies according to race, eth- sonal histories, and researchers providing
nicity, biological sex, socioeconomic status, and compensation, respect, and interpretation of their
social history (e.g., Biro et al., 2010; Ellis, 2004). It participant’s lived experiences. The challenges of
is likely that the accompanying psychological addressing diversity and social context in puberty
changes associated with puberty are saliently influ- research fall on both sides of this contract. On the
enced by these identities and backgrounds as well. one hand, many researchers lack experience or
Unfortunately, some populations within these expertise in working with racially and ethnically
groups have been understudied in the puberty lit- diverse youth, low-income youth, and LGBT youth.
erature to date, making it difficult to gain a full As a result, they may be wary of delving into work
understanding of puberty’s impact on various psy- within these populations and fearful of misrepre-
chosocial outcomes. Particularly under represented senting their participants’ experiences. Researchers
are the experiences of racially and ethnically may also not have the expertise to recruit in areas
diverse youth, low-income youth, and lesbian, gay, where they might find more diverse samples, or
bisexual, and transgendered (LGBT) youth (see also these populations may not be found in the institu-
Deardorff, Hoyt, Carter, & Shirtcliff, 2019). From a tions or communities where researchers are easily
puberty-specific perspective, it is worth noting that able to recruit. On the other hand, sometimes the
what it means to mature and to become an adult challenge lies within the particular population of
may differ based on personal background or social interest. For example, racially and ethnically diverse
identity. In addition, early pubertal timing is dis- families may be less willing than European Ameri-
proportionately more common in African American cans to participate in developmental research
and Latino youth (e.g., Herman-Giddens et al., because of mistrust of the university or of research
2012), youth from lower socioeconomic contexts (Freimuth et al., 2001) or awareness of historical
(James-Todd, Tehranifar, Rich-Edwards, Titievsky, abuses on the part of researchers in the name of
& Terry, 2010), or youth with histories of early life science. Individuals from lower income backgrounds
adversities (e.g., Mendle, Leve, Van Ryzin, Nat- may have practical concerns that curtail participa-
suaki, & Ge, 2011). For developmental science that tion, as they may be more likely to lack adequate
adequately and appropriately represents the expe- transportation, may need childcare assistance, or
riences of a broad array of adolescents, considering may not have flexible work schedules. It may simply
MEASUREMENT OF PUBERTY FOR RESEARCH 89

be logistically more difficult for them to participate In contrast with the experiences of LGBT youth,
in research, especially during regular business hours, racially and ethnically diverse youth, youth from
without flexibility or accommodations on the part of lower socioeconomic backgrounds, or youth with
researchers (Gross, Julion, & Fogg, 2001). histories of early life stressors experience different
An additional concern is that racially and ethni- physical changes, in that they are more likely to
cally diverse, low-income, and LGBT populations have an earlier timing of puberty, and they are also
may fear the ways in which researchers may por- likely to have different psychological experiences
tray their lives. Parents may be concerned about as well. For example, early pubertal timing is asso-
privacy, their children’s readiness for a psychologi- ciated with greater depression in African American
cal project, or that research may reflect social biases boys than African American girls (Hamlat, Stange,
or stigmatizing assumptions about their back- Alloy, & Abramson, 2014), perhaps in part due to
ground. Parents are powerful in the research pro- the specific stigmas, biases, and concerns that come
cess: they play an active role in persuading or with visibly resembling an adult African American
discouraging their children’s participation, they male—including concerns of physical safety, fair-
provide consent, and they broker their children’s ness in the legal system, or potentially being per-
assent. Researchers may find it useful to meet with ceived as a threat by others. Likewise, girls with
parents prior to and during the research process to histories of childhood sexual assault are particu-
gain their trust, to correct misconceptions, and to larly likely to report depression during the puber-
ameliorate any specific concerns that parents raise. tal transition, even when compared to peers who
A particular conceptual consideration is recogniz- have experienced other forms of adversity (Mendle
ing that some youth from underrepresented back- et al., 2014; Noll et al., 2017). Having powerlessly
grounds will experience both a different timing of endured one premature sexual transition, the sexu-
puberty and have a different psychological experi- alized nature of earlier development may simply
ence, whereas other youth will not experience a dif- be more evocative or fraught for these girls.
ferent timing of puberty—but they will still have a Finally, it is worth noting that youth may also
different psychological experience. For example, hold their own specific fears or attitudes about the
from a strictly biological perspective, there is limited research process (Nilsen & Rogers, 2005). A partic-
evidence that the physical maturation of sexual ular recent concern among youth surrounds termi-
minority youth diverges substantially from that of nology. Specifically, how adolescents choose to self-
other youth: LGBT youth experience the same set of identify may differ from how others perceive them
hormonal and physical changes at the same time or how researchers may find it expedient to
and in the same sequence as their non-LGBT peers. categorize them. To illustrate, gender nonconform-
Yet the psychological experience of puberty seems ing youth are often referred to as “transgender,”
to be meaningfully different (e.g., Grossman, Foss, but this term may or may not be one that youth
& D’Augelli, 2014; Savin-Williams, 2016). In particu- themselves adopt. Increasingly, adolescents are
lar, what it means to mature sexually, to experience choosing to self-identify using terms designed to
sexual desire, to face a continually shifting set of reflect a nonbinary gender continuum—including
social roles and expectations, and to integrate bio- genderqueer, gender fluid, or gender independent
logical maturation with self-concept and self-esteem (Vance, Ehrensaft, & Rosenthal, 2014)—but these
are intensified at puberty for LGBT youth (Savin- terms are often not incorporated into questionnaire
Williams, 2016). Because pubertal hormones assessments. Sexual orientation identification may
strengthen feelings of sexual desire, puberty is often additionally be shaped by cultural values, gender
a time when boys and girls first become cognizant roles, social class, religiosity, or language (e.g.,
of same-sex attractions and consider their sexual ori- Bridges, Selvidge, & Matthews, 2003; Mays,
entation (Grossman et al., 2014). As puberty also Cochran, & Zamudio, 2004; Zea, Reisen, & Diaz,
marks a time when traditional gender roles and 2003). For example, two spirit refers to Native
expectations become more entrenched (Hill & American individuals who may engage in same-
Lynch, 1983), LGBT adolescents must also confront gender sexual behavior or follow alternate gender
and redefine masculinity or femininity for them- roles (Adams & Phillips, 2006) and down low is a
selves in a way that their peers do not. Thus, the term used to describe Latino and African American
psychological experiences of puberty among LGBT men who do not identify as gay, have sex with
youth likely stem from individual-contextual inter- both men and women, and do not disclose their
actions related to both puberty and to being a mem- sexual behavior with men to female partners
ber of a stigmatized social group. (Wolitski, Jones, Wasserman, & Smith, 2006). An
90 MENDLE, BELTZ, CARTER, AND DORN

adolescent male who identifies as gay may not related to body type and skin color, racial catego-
have the same understanding of his sexual orienta- rization, and stereotypic definitions of physical
tion as an adolescent male who identifies as down attractiveness) and how these inequalities shape
low, but researchers may not be aware of the sali- individual-context experiences. Central to this
ent differences across these identities. framework is the notion that emergent identities
arise out of coping with stressors linked to social
inequalities (Spencer, 2006). Puberty would be
Methodological Strategies to Address Diversity
expected to play an important role in this process,
and Social Context
as maturing into adulthood accentuates awareness
Although the challenges associated with addressing of social roles, opportunities, and biases. Youth
diversity and social context are substantial, they may assimilate salient puberty-related experiences
are not insurmountable. We offer several strategies into their existing self-concept and interpret these
to mitigate these challenges. First, collaboration experiences in a manner that has the potential to
with researchers who have knowledge of the popu- cultivate a positive (or negative) view of them-
lation under study is one way to improve under- selves and their futures.
standing. These collaborators can help shape the Finally, smaller methodological shifts may also
research questions asked, the frameworks that are be helpful. Researchers may want to increase their
used to inform those questions, and the interpreta- use of open-ended questions; conduct focus groups
tion of results (Banks, 1998). Another option is to to determine preferred demographic terms; or
involve members of that community in the research allow participants to write-in demographic vari-
process (also called community-based participatory ables to avoid categorizations that may not be
research). Fostering healthy relationships between meaningful for participants. Recognizing that dif-
researchers and community members is a vital step ferent dimensions of puberty may be differentially
toward remedying historical biases and mistrust of salient to particular cultures, they may also want to
the university or of the research process. assess and to analyze multiple dimensions of pub-
Consulting with individuals from underrepre- erty (i.e., menarche, voice changes, breast develop-
sented backgrounds can also help to expand the ment). Additionally, research would benefit from
depth and breadth of research topics in ways that considering within-group variation that goes
are useful to those groups. As an example, Jean, beyond between-group comparisons. For example,
Bondy, Wilkinson, and Forman (2009) conducted Carter, Caldwell, Matusko, Antonucci, and Jackson
separate focus groups for fathers, mothers, and (2011) demonstrated that African American girls,
daughters aged 6–12 years to explore family beliefs relative to Caribbean Black girls, appear to be less
and sociocultural dynamics surrounding puberty in vulnerable to emotional distress during puberty,
Mexican American girls. Their findings suggest regardless of pubertal timing. Finally, once data are
interventions addressing risk factors for early pub- collected and analyses are completed, researchers
erty, such as obesity, should focus on the entire may want to play close attention to the interpreta-
family rather than on the individual child or the tion and dissemination of their results. In interpret-
mother–daughter dyad. By eliciting information ing findings of research, it is important to consider
from fathers, mothers, and daughters, researchers the potential influences of racism, heterosexism,
gleaned new knowledge related to cultural and sexism, and other biases that may factor into how
socioeconomic dynamics of puberty in this popula- youth have responded to questionnaires, how
tion and specific guidelines for interventions to results are presented, or how findings may be sum-
address these dynamics. marized within mainstream media outlets.
A third strategy is to consider theoretical frame-
works proposed for racially and ethnically diverse
DISCUSSION
populations and to apply the utility of these expla-
nations to understand groups of youth underrepre- Puberty coincides with transformation across virtu-
sented in the puberty literature. The specific ally every domain of life. The complexity of the
content of such frameworks might vary depending transition itself is reflected in the intricacy needed
on the specific populations of focus. For example, to operationalize puberty for research purposes.
the phenomenological variant of ecological systems Measurement of puberty must capture a dynamic,
theory (Spencer, 2006; Spencer, Dupree, & Hart- biologically driven process. But it must also encom-
mann, 1997) considers the impact of social inequali- pass an essential paradox: that puberty is both uni-
ties (i.e., dealing with disseminated stereotypes versal and individualized. Puberty is a transition
MEASUREMENT OF PUBERTY FOR RESEARCH 91

that we all pass through on the way to adulthood, tempo is salient not because it is relatively new to
but there may be substantial variation in the timing the literature, nor because it can be modeled in
and onset of key milestones, the pace at which the sophisticated ways. It is intriguing because it
process unfolds, the correspondence of different reflects broader recurrent questions about humans’
pubertal indicators with each other; and the ways psychological reaction to change, and whether
in which social identities might intersect with the sudden and rapid change is more difficult than
psychological response to puberty. gradual change. Likewise, pubertal timing echoes
Underlying discussions of the measurement of long-standing developmental questions about the
puberty is the overarching question of validity of correspondence between age and stage, mind and
measurement. The age and demographic back- body, and normative versus specific experiences.
ground of participants, timing of assessments,
operationalization of statistical parameters, and
CONCLUSION
phrasing of survey questions may all influence
accuracy, generalizability, and replicability of Youth today differ from past cohorts in the timing
results. A particular consideration highlighted in of pubertal onset, the duration of the transition, the
this article has been how different methodological social influences they encounter, and the demo-
and quantitative techniques can enable researchers graphic make-up and economic circumstances of
to capture individual variation in a more valid the country in which they live. However, puberty
way, whether that variation is in physical develop- as a topic of research will continue to inspire and
ment itself (i.e., timing, tempo, or synchrony) or in to perplex developmentalists, for the simple reason
the social contexts that shape psychological reac- that transitioning from childhood to adolescence is
tions to maturation. Data techniques that prioritize rich with personal, biological, and social signifi-
person-centered and person-specific analyses may cance. Incorporating the understudied aspects of
be especially beneficial for allowing us to tap and puberty highlighted in this review, particularly
to express the lived experiences of youth. Implicit with respect to diversity and context, is essential
in these techniques is the important reminder that for enhancing the literature on puberty. Our hope
even within particular groups or social contexts, is that this article both motivates and guides
we should expect variability in psychological reac- researchers to tackle this pivotal developmental
tions to maturation. We cannot assume that youth window.
—no matter their timing, tempo, synchrony, or
contextual background—will necessarily respond REFERENCES
to this transition in the same way.
It is also worth noting that measurement is only Abbassi, V. (1998). Growth and normal puberty. Pedi-
the foundation of good science and not a substitute atrics, 102, 507–511.
for psychological theory. To move the field for- Adams, H., & Phillips, L. (2006). Experiences of two-
spirit lesbian and gay Native Americans: An argu-
ward, we need to integrate methodological preci-
ment for standpoint theory in identity research. Iden-
sion with an awareness that puberty is an essential
tity, 6, 273–291. https://doi.org/10.1207/s1532706xid
human experience, which unfolds in the lives of 0603_4
real children in the real world. Youth are sur- Aksglaede, L., Olsen, L. W., Sørensen, T. I., & Juul, A.
rounded by people whom researchers will never (2008). Forty years trends in timing of pubertal growth
meet, confronting a multitude of experiences that spurt in 157,000 Danish school children. PLoS One, 3
researchers cannot pragmatically assess. How can (7), e2728. https://doi.org/10.1371/journal.pone.
we capture the daily worlds of these children? 0002728
In recent years, as the literature has encouraged Aksglaede, L., Sørensen, K., Petersen, J. H., Skakkebæk,
scholars to go “beyond pubertal timing,” the chal- N. E., & Juul, A. (2009). Recent decline in age at breast
lenge of maintaining theoretically driven research development: The Copenhagen Puberty Study. Pedi-
has become increasingly relevant. An over-reliance atrics, 123, e932–e939. https://doi.org/10.1542/peds.
2008-2491
on puberty terminology—such as timing or tempo
Albertsson-Wikland, K., Rosberg, S., Karlberg, J., &
—runs the risk of abandoning the sort of perspec- Groth, T. (1994). Analysis of 24-hour growth hormone
tive taking and psychological insight that character- profiles in healthy boys and girls of normal stature:
izes the best theoretical science. We encourage Relation to puberty. Journal of Clinical Endocrinology
scholars to think back to the core concept of pub- and Metabolism, 78, 1195–1201.
erty—which is change—as they formulate hypothe- Aylwin, C., Toro, C., Shirtcliff, E., & Lomniczi, A. (2019).
ses and interpret their data. To illustrate, pubertal Emerging genetic and epigenetic mechanisms
92 MENDLE, BELTZ, CARTER, AND DORN

underlying pubertal maturation. Journal of Research on Carter, R., Caldwell, C. H., Matusko, N., Antonucci, T.
Adolescence 29, 54–79. https://doi.org/10.1111/jora.12385 C., & Jackson, J. S. (2011). Ethnicity, perceived pubertal
Banks, J. A. (1998). The lives and values of researchers: timing, externalizing behaviors, and depressive symp-
Implications for educating citizens in a multicultural toms among black adolescent girls. Journal of Youth and
society. Educational Researcher, 27, 4–17. https://doi. Adolescence, 40, 1394–1406. https://doi.org/10.1007/
org/10.3102/0013189X027007004 s10964-010-9611-9
Beltz, A. M., & Berenbaum, S. A. (2013). Cognitive effects Carter, R., Silverman, W. K., & Jaccard, J. (2013). Race
of variations in pubertal timing: Is puberty a period of and perceived pubertal transition effects on girls’
brain organization for human sex-typed cognition? depressive symptoms and delinquent behaviors. Jour-
Hormones and Behavior, 63, 823–828. https://doi.org/10. nal of Youth and Adolescence, 42, 1155–1168. https://doi.
1016/j.yhbeh.2013.04.002 org/10.1007/s10964-012-9885-1
Beltz, A. M., Corley, R. P., Bricker, J. B., Wadsworth, S. Carter, R., & Williams, S. (2016). Self-perceptions of
J., & Berenbaum, S. A. (2014). Modeling pubertal tim- pubertal timing and patterns of peer group activities
ing and tempo and examining links to behavior prob- and dating behavior among heterosexual adolescent
lems. Developmental Psychology, 50, 2715–2726. girls. Journal of Adolescence, 47, 71–80. https://doi.org/
https://doi.org/10.1037/a0038096 10.1016/j.adolescence.2015.12.006
Berenbaum, S. A., Beltz, A. M., & Corley, R. (2015). The Casey, V. A., Dwyer, J. T., Coleman, K. A., Krall, E. A.,
importance of puberty for adolescent development: Gardner, J., & Valadian, I. (1991). Accuracy of recall by
Conceptualization and measurement. Advances in Child middle-aged participants in a longitudinal study of
Development and Behavior, 48, 53–92. https://doi.org/ their body size and indices of maturation earlier in life.
10.1016/bs.acdb.2014.11.002 Annals of Human Biology, 8, 155–166. https://doi.org/
Biro, F. M., Galvez, M. P., Greenspan, L. C., Succop, P. A., 10.1080/03014469100001492
Vangeepuram, N., Pinney, S. M., . . . Wolff, M. S. (2010). Castellanos-Ryan, N., Parent, S., Vitaro, F., Tremblay, R.
Pubertal assessment method and baseline characteristics E., & Seguin, J. R. (2013). Pubertal development, per-
in a mixed longitudinal study of girls. Pediatrics, 126, sonality, and substance use: A 10-year longitudinal
e583–e590. https://doi.org/10.1542/peds.2009-3079 study from childhood to adolescence. Journal of Abnor-
Biro, F. M., Greenspan, L. C., Galvez, M. P., Pinney, S. mal Psychology, 122, 782–796. https://doi.org/10.1037/
M., Teitelbaum, S., Windham, G. C., ... Kushi, L. H. a0033133
(2013). Onset of breast development in a longitudinal Copeland, W., Shanahan, L., Miller, S., Costello, E. J.,
cohort. Pediatrics, 132, 1019–1027. https://doi.org/10. Angold, A., & Maughan, B. (2010). Outcomes of early
1542/peds.2012-3773 pubertal timing in young women: A prospective popu-
Bordini, B., & Rosenfield, R. L. (2011). Normal pubertal lation-based study. American Journal of Psychiatry, 167,
development. Pediatrics in Review, 32(6), 223–229. 1218–1225. https://doi.org/10.1176/appi.ajp.2010.
https://doi.org/10.1542/pir.32-6-223 09081190
Bridges, S. K., Selvidge, M. M. D., & Matthews, C. R. Corley, R. P., Beltz, A. M., Wadsworth, S. J., & Beren-
(2003). Lesbian women of color: Therapeutic issues baum, S. A. (2015). Genetic influences on pubertal
and challenges. Journal of Multicultural Counseling and development and links to behavior problems. Behavior
Development, 31, 113–130. https://doi.org/10.1002/j. Genetics, 45(3), 294–312. https://doi.org/10.1007/
2161-1912.2003.tb00537.x s10519-015-9719-5
Brooks-Gunn, J., Petersen, A. C., & Eichorn, D. (1985). Crockett, L. J., Carlo, G., Wolff, J. M., & Hope, M. (2013).
The study of maturational timing effects in adoles- The role of pubertal timing and temperamental vulner-
cence. Journal of Youth and Adolescence, 14(3), 149–161. ability in adolescents’ internalizing problems. Develop-
https://doi.org/10.1007/BF02090316 ment and Psychopathology, 25, 377–389. https://doi.org/
Byrne, M. L., Whittle, S., Vijayakumar, N., Dennison, M., 10.1017/S0954579412001125
Simmons, J. G., & Allen, N. B. (2016). A systematic Deardorff, J., Hoyt, L., Carter, R., & Shirtcliff, E. (2019). Next
review of adrenarche as a sensitive period in neurobio- steps in puberty research: Broadening the lens toward
logical development and mental health. Developmental understanding puberty. Journal of Research on Adolescence,
Cognitive Neuroscience, 25, 12–28. https://doi.org/10. 29, 133–154. https://doi.org/10.1111/jora.12402
1016/j.dcn.2016.12.004 Dorn, L. D., & Biro, F. M. (2011). Puberty and its mea-
Cabrera, S. M., Bright, G. M., Frane, J. W., Blethen, S. L., & surement: A decade in review. Journal of Research on
Lee, P. A. (2014). Age of thelarche and menarche in con- Adolescence, 21, 180–195. https://doi.org/10.1111/j.
temporary US females: A cross-sectional analysis. Journal 1532-7795.2010.00722.x
of Pediatric Endocrinology and Metabolism, 27(1–2), 47–51. Dorn, L. D., Dahl, R. E., Woodward, H. R., & Biro, F.
Cance, J. D., Ennett, S. T., Morgan-Lopez, A. A., & (2006). Defining the boundaries of early adolescence: A
Foshee, V. A. (2012). The stability of perceived puber- user’s guide to assessing pubertal status and pubertal
tal timing across adolescence. Journal of Youth and Ado- timing in research with adolescents. Applied Develop-
lescence, 41, 764–775. https://doi.org/10.1007/s10964- mental Science, 10, 30–56. https://doi.org/dx.doi.org/
011-9720-0 10.1207/s1532480xads1001_3
MEASUREMENT OF PUBERTY FOR RESEARCH 93

Dorn, L. D., Susman, E. J., & Ponirakis, A. (2003). Puber- Hamlat, E. J., Stange, J. P., Alloy, L. B., & Abramson, L.
tal timing and adolescent adjustment and behavior: Y. (2014). Early pubertal timing as a vulnerability to
Conclusions vary by rater. Journal of Youth and Adoles- depression symptoms: Differential effects of race and
cence, 32, 157–167. https://doi.org/10.1023/a: sex. Journal of Abnormal Child Psychology, 42, 527–538.
1022590818839 https://doi.org/10.1007/s10802-013-9798-9
Dubas, J. S., Graber, J. A., & Petersen, A. C. (1991). A Harden, K. P., Kretsch, N., Moore, S. R., & Mendle, J.
longitudinal investigation of adolescents’ changing (2014). Hormonal influences on risk for disordered eat-
perceptions of pubertal timing. Developmental Psychol- ing during puberty and adolescence. International Jour-
ogy, 27, 580–586. https://doi.org/10.1037/0012-1649.27. nal of Eating Disorders, Special Issue: Developmental Risk
4.580 for Eating Disorders Across the Lifespan, 47, 718–726.
Ellis, B. J. (2004). Timing of pubertal maturation in girls: https://doi.org/10.1002/eat.22317
An integrated life history approach. Psychological Bul- Herman-Giddens, M. E., Steffes, J., Harris, D., Slora, E.,
letin, 130, 920–958. https://doi.org/10.1037/0033-2909. Hussey, M., Dowshen, S. A., ... Reiter, E. O. (2012).
130.6.920 Secondary sexual characteristics in boys: Data from the
Euling, S. Y., Herman-Giddens, M. E., Lee, P. A., Selevan, pediatric research in office settings network. Pediatrics,
S. G., Juul, A., .. . Swan, S. H. (2008). Examination of 130, e1058–e1068. https://doi.org/10.1542/peds.2011-
US puberty-timing data from 1940 to 1994 for secular 3291
trends: Panel findings. Pediatrics, 121(suppl 3), S172– Herting, M. M., & Sowell, E. R. (2017). Puberty and struc-
S191. https://doi.org/10.1542/peds.2007-1813D tural brain development in humans. Frontiers in Neu-
Freimuth, V. S., Quinn, S. C., Thomas, S. B., Cole, G., roendocrinology, 44, 122–137. https://doi.org/10.1016/j.
Zook, E., & Duncan, T. (2001). African Americans’ yfrne.2016.12.003
views on research and the Tuskegee Syphilis Study. Hill, J. P., & Lynch, M. E. (1983). The intensification of
Social Science and Medicine, 52, 797–808. https://doi. gender-related role expectations during early adoles-
org/10.1016/S0277-9536(00)00178-7 cence. In J. Brooks-Gunn, & A. C. Petersen (Eds.), Girls
Ge, X. J., Conger, R. D., & Elder, G. H. (2001). Pubertal at puberty: Biological and psychosocial perspectives (pp. 201–
transition, stressful life events, and the emergence of 228). New York, NY: Plenum.
gender differences in adolescent depressive symptoms. Huang, B., Biro, F. M., & Dorn, L. D. (2009). Determina-
Developmental Psychology, 37, 404–417. https://doi.org/ tion of relative timing of pubertal maturation through
10.1037//0012-1649.37.3.404 ordinal logistic modeling: Evaluation of growth and
Goddings, A.-L., Beltz, A., Peper, J., Crone, E., & Braams, timing parameters. Journal of Adolescent Health, 45, 383–
B. (2019). Understanding the role of puberty in struc- 388. https://doi.org/10.1016/j.jadohealth.2009.02.013
tural and functional development of the adolescent Huang, B., Hillman, J., Biro, F. M., Ding, L., Dorn, L. D., &
brain. Journal of Research on Adolescence, 29, 32–53. Susman, E. J. (2012). Correspondence between gonadal
https://doi.org/10.1111/jora.12408 steroid hormone concentrations and secondary sexual
Graber, J. A. (2013). Pubertal timing and the develop- characteristics assessed by clinicians, adolescents, and
ment of psychopathology in adolescence and beyond. parents. Journal of Research on Adolescence, 22, 381–391.
Hormones and Behavior, 64(2), 262–269. https://doi.org/ https://doi.org/10.1111/j.1532-7795.2011.00773.x
10.1016/j.yhbeh.2013.04.003 James-Todd, T., Tehranifar, P., Rich-Edwards, J.,
Graber, J. A., Lewinsohn, P. M., Seeley, J. R., & Brooks- Titievsky, L., & Terry, M. B. (2010). The impact of
Gunn, J. (1997). Is psychopathology associated with the socioeconomic status across early life on age at menar-
timing of pubertal development? Journal of the American che among a racially diverse population of girls.
Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 36, 1768–1776. Annals of Epidemiology, 20, 836–842. https://doi.org/10.
https://doi.org/10.1097/00004583-199712000-00026 1016/j.annepidem.2010.08.006
Graber, J. A., Seeley, J. R., Brooks-Gunn, J., & Lewinsohn, P. Jean, R. T., Bondy, M. L., Wilkinson, A. V., & Forman,
M. (2004). Is pubertal timing associated with M. R. (2009). Pubertal development in Mexican Ameri-
psychopathology in young adulthood? Journal of the Amer- can girls: The family’s perspective. Qualitative Health
ican Academy of Child and Adolescent Psychiatry, 43, 718– Research, 19, 1210–1222. https://doi.org/10.1177/
726. https://doi.org/10.1097/01.chi.0000120022.14101.11 1049732309344326
Gross, D., Julion, W., & Fogg, L. (2001). What motivates Korth-Schutz, S., Levin, L. D., & New, M. I. (1976).
participation and dropout among low-income urban Serum androgens in normal prepubertal and pubertal
families of color in a prevention intervention? Family children and in children with precocious adrenarche.
Relations, 50, 246–254. https://doi.org/10.1111/j.1741- Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism, 42(1),
3729.2001.00246.x 117–124. https://doi.org/10.1210/jcem-42-1-117
Grossman, A. H., Foss, A. H., & D’Augelli, A. R. (2014). Lee, Y., & Styne, D. (2013). Influences on the onset and
Puberty: Maturation, timing and adjustment, and sex- tempo of puberty in human beings and implications
ual identity developmental milestones among lesbian, for adolescent psychological development. Hormones
gay, and bisexual youth. Journal of LGBT Youth, 11(2), and Behavior, 64(2), 250–261. https://doi.org/10.1016/j.
107–124. https://doi.org/10.1080/19361653.2014.846068 yhbeh.2013.03.014
94 MENDLE, BELTZ, CARTER, AND DORN

Marceau, K., Ram, N., Houts, R. M., Grimm, K. J., & Sus- Developmental Psychology, 50, 1734–1745. https://doi.
man, E. J. (2011). Individual differences in boys’ and org/10.1037/a0036027
girls’ timing and tempo of puberty: Modeling develop- Moore, S. R., McKone, K. M., & Mendle, J. (2016). Recol-
ment with nonlinear growth models. Developmental lections of puberty and disordered eating in young
Psychology, 47, 1389–1409. https://doi.org/10.1037/ women. Journal of Adolescence, 53, 180–188. https://doi.
a0023838 org/10.1016/j.adolescence.2016.10.011
Marshall, W. A., & Tanner, J. M. (1969). Variations in Negriff, S., Blankson, A. N., & Trickett, P. K. (2015).
pattern of pubertal changes in girls. Archives of Disease Pubertal timing and tempo: Associations with child-
in Childhood, 44(235), 291–303. https://doi.org/10. hood maltreatment. Journal of Research on Adolescence,
1136/adc.44.235.291 25, 201–213. https://doi.org/10.1111/jora.12128
Marshall, W. A., & Tanner, J. M. (1970). Variations in the Negriff, S., & Susman, E. J. (2011). Pubertal timing,
pattern of pubertal changes in boys. Archives of Disease depression, and externalizing problems: A framework,
in Childhood, 45(13), 13–23. https://doi.org/10.1136/ review, and examination of gender differences. Journal
adc.45.239.13 of Research on Adolescence, 21, 717–746. https://doi.org/
Mart´ı-Henneberg, C., & Vizmanos, B. (1997). The dura- 10.1111/j.1532-7795.2010.00708.x
tion of puberty in girls is related to the timing of its Nilsen, R., & Rogers, B. (2005). “That’s not a good idea,
onset. Journal of Pediatrics, 131, 618–621. https://doi. mom”: Negotiating children’s subjectivity while con-
org/10.1016/s0022-3476(97)70073-8 structing “home” as a research site. Children’s Geographies,
Mays, V. M., Cochran, S. D., & Zamudio, A. (2004). HIV 3, 345–362. https://doi.org/10.1080/14733280500353100
prevention research: Are we meeting the needs of Afri- Noll, J. G., Trickett, P. K., Long, J. D., Negriff, S., Sus-
can American men who have sex with men? Journal of man, E. J., Shalev, I., . . . Putnam, F. W. (2017). Child-
Black Psychology, 30, 78–105. https://doi.org/10.1177/ hood sexual abuse and early timing of puberty. Journal
0095798403260265 of Adolescent Health, 60, 65–71. https://doi.org/10.
Mendle, J. (2014). Beyond pubertal timing: New direc- 1016/j.jadohealth.2016.09.008
tions for studying individual differences in develop- Petersen, A. C., Crockett, L., Richards, M., & Boxer, A.
ment. Current Directions in Psychological Science, 23(3), (1988). A self-report measure of pubertal status: Relia-
215–219. https://doi.org/10.1177/0963721414530144 bility, validity, and initial norms. Journal of Youth and
Mendle, J., Harden, K. P., Brooks-Gunn, J., & Graber, J. Adolescence, 17(2), 117–133. https://doi.org/10.1007/bf
A. (2010). Development’s tortoise and hare: Pubertal 01537962
timing, pubertal tempo, and depressive symptoms in Petersen, A. C., Tobin-Richards, M., & Boxer, A. (1983).
boys and girls. Developmental Psychology, 46, 1341–1353. Puberty: Its measurement and its meaning. Journal of
https://doi.org/10.1037/a0020205 Early Adolescence, 3(1–2), 47–62. https://doi.org/10.
Mendle, J., Harden, K. P., Brooks-Gunn, J., & Graber, J. 1177/027243168331005
(2012). Peer relationships and depressive symptomatol- Ram, N., & Grimm, K. (2007). Using simple and complex
ogy in boys at puberty. Developmental Psychology, 48, growth models to articulate developmental change:
429–435. https://doi.org/10.1037/a0026425 Matching theory to method. International Journal of
Mendle, J., Leve, L. D., Van Ryzin, M., & Natsuaki, M. Behavioral Development, 31, 303–316. https://doi.org/
N. (2014). Linking childhood maltreatment with ado- 10.1177/0165025407077751
lescent internalizing symptoms: Early puberty as a tip- Raudenbush, S. W., & Bryk, A. S. (2002). Hierarchical lin-
ping point. Journal of Research on Adolescence, 24, 689– ear models: Applications and data analysis methods (2nd
702. https://doi.org/10.1111/jora.12075 ed.). Thousand Oaks, CA: Sage.
Mendle, J., Leve, L. D., Van Ryzin, M., Natsuaki, M. N., Rey, R. A., Campo, S. M., Ropelato, M. G., & Bergadá, I.
& Ge, X. (2011). Associations between early life stress, (2016). Hormonal changes in childhood and puberty.
child maltreatment, and pubertal development among In P. Kumanov & A. Agarwal (Eds.), Puberty: Physiol-
girls in foster care. Journal of Research on Adolescence, ogy and abnormalities (pp. 23–37). Cham, Switzerland:
21, 871–880. https://doi.org/10.1111/j.1532-7795.2011. Springer International. https://doi.org/10.1007/978-3-
00746.x 319-32122-6
Mendle, J., Ryan, R. M., & McKone, K. M. P.* (2017). Age Rudolph, K. D., Troop-Gordon, W., Lambert, S. F., &
at menarche, depression, and antisocial behavior in Natsuaki, M. N. (2014). Long-term consequences of
adulthood. Pediatrics. Advance online publication. pubertal timing for youth depression: Identifying per-
https://doi.org/10.1542/peds.2008-1536 sonal and contextual pathways of risk. Development and
Mendle, J., Ryan, R. M., & McKone, K. M. (2016). Early Psychopathology, 26, 1423–1444. https://doi.org/10.
childhood maltreatment and pubertal development: 1017/s0954579414001126
Replication in a population-based sample. Journal of Ryan, R. M., Mendle, J., & Markowitz, A. J. (2015). Early
Research on Adolescence, 26, 595–602. https://doi.org/ childhood maltreatment and girls’ sexual behavior:
10.1111/jora.12201 The mediating role of pubertal timing. Journal of Ado-
Moore, S. R., Harden, K. P., & Mendle, J. (2014). Pubertal lescent Health, 57, 342–347. https://doi.org/10.1016/
timing and adolescent sexual behavior in girls. j.jadohealth.2015.06.005
MEASUREMENT OF PUBERTY FOR RESEARCH 95

Savin-Williams, R. C. (2016). Becoming who I am: Young Susman, E. J., Nottelmann, E. D., Inoff-Germain, G. E.,
men on being gay. Cambridge, MA: Harvard University Dorn, L. D., Cutler, G. B., . . . Chrousos, G. P. (1985).
Press. https://doi.org/10.4159/9780674974586 The relation of relative hormonal levels and physical
Shirtcliff, E. A., Dahl, R. E., & Pollak, S. D. (2009). Pubertal development and social-emotional behavior in young
development: Correspondence between hormonal and adolescents. Journal of Youth and Adolescence, 14, 245–
physical development. Child Development, 80(2), 327– 264. https://doi.org/10.1007/BF02090322
337. https://doi.org/10.1111/j.1467-8624.2009.01263.x Tanner, J. M. (1962). Growth at adolescence (2nd ed.).
Simmons, R. G., & Blyth, D. A. (1987). Moving into adoles- Oxford, UK: Blackwell.
cence: The impact of pubertal change and school context. Thompson, S. M., Hammen, C., & Brennan, P. A. (2016).
New York, NY: Aldine de Gruyter. The impact of asynchronous pubertal development on
Sizonenko, P. D., & Paunier, L. (1975). Hormonal changes depressive symptoms in adolescence and emerging
in puberty III: Correlation of plasma bone age in nor- adulthood among females. Journal of Youth and Adoles-
mal boys and girls and in patients with Addison’s dis- cence, 45, 494–504. https://doi.org/10.1007/s10964-015-
ease or hypogonadism or with premature or late 0402-1
adrenarch. Journal of Clinical Endocrinology and Metabo- Vance, S. R., Ehrensaft, D., & Rosenthal, S. M. (2014).
lism, 41(5), 894–904. https://doi.org/10.1210/jcem-41- Psychological and medical care of gender nonconform-
5-894 ing youth. Pediatrics, 134, 1184–1192. https://doi.org/
Spencer, M. B. (2006). Phenomenology and ecological sys- 10.1542/peds.2014-0772
tems theory: Development of diverse groups. In W. Veldhuis, J. D., Roemmich, J. N., & Rogoo, A. D.
Damon & R. M. Lerner (Eds.), Handbook of child psychol- (2000). Gender and sexual maturation-dependent con-
ogy (Vol. 1, 6th ed., pp. 829–892). Hoboken, NJ: Wiley. trasts in the neuroregulation of growth hormone
Spencer, M. B., Dupree, D., & Hartmann, T. (1997). A secretion in prepubertal and late adolescent males
phenomenological variant of ecological systems and females: A general clinical research center-based
theory (PVEST): A self-organization perspective in study. Journal of Clinical Endocrinology and Metabolism,
context. Development and Psychopathology, 9, 817–833. 85, 2385–2394.
Styne, D. M., & Grumbach, M. M. (2016). Physiology and Wolitski, R. J., Jones, K. T., Wasserman, J. L., & Smith, J.
disorders of puberty. In S. Melmed, K. S. Polonsky, P. C. (2006). Self-identification as “down low” among
R. Larsen, & H. M. Kronenberg (Eds.), Williams text- men who have sex with men (MSM) from 12 US cities.
book of endocrinology (13th ed., pp. 1074–1218). Philadel- AIDS and Behavior, 10, 519–529. https://doi.org/10.
phia, PA: Elsevier. 1007/s10461-006-9095-5
Susman, E. J., & Dorn, L. D. (2009). Puberty. In R. M. Zea, M. C., Reisen, C. A., & D´ıaz, R. M. (2003). Method-
Lerner & L. Steinberg (Eds.), Handbook of adolescent psy- ological issues in research on sexual behavior with
chology (3rd ed., pp. 116–151). Hoboken, NJ: Wiley. Latino gay and bisexual men. American Journal of Com-
Susman, E. J., Houts, R. M., Steinberg, L., Belsky, J., munity Psychology, 31, 281–291. https://doi.org/10.
Cauffman, E., DeHart, G., . . . Halpern-Felsher, B. L. 1023/A:1023962805064
(2010). Longitudinal development of secondary sexual Zehr, J. L., Culbert, K. M., Sisk, C. L., & Kiump, K. L.
characteristics in girls and boys between ages 9 1/2 (2007). An association of early puberty with disordered
and 15 1/2 years. Archives of Pediatrics and Adolescent eating and anxiety in a population of undergraduate
Medicine, 164, 166–173. https://doi.org/10.1001/arch women and men. Hormones and Behavior, 52, 427–435.
pediatrics.2009.261 https://doi.org/10.1016/j.yhbeh.2007.06.005
SSM - Population Health 10 (2020) 100549

Contents lists available at ScienceDirect

SSM - Population Health

journal homepage: http://www.elsevier.com/locate/ssmph

Article

Timing of puberty in boys and girls: Implications for population health


a,*
Lindsay T. Hoyt , Li Niu a, Mark C. Pachucki b, Natasha Chaku a

a
Applied Developmental Psychology, Fordham University, Bronx, NY, USA
b
Sociology & Computational Social Science Institute, University of Massachusetts, Amherst, MA, USA

ARTICLEINFO ABSTRACT

Keywords: Puberty is marked by substantial increases and emerging sex differences in psychological disorders and risky
Puberty behaviors. However, few studies have examined these effects beyond adolescence, and the previous literature has
Gender differences been dominated by samples of White girls. The current study examines the broadest known set of health sequelae
Internalizing behaviors related to traditional pubertal markers and peer-relative pubertal timing in a representative sample of 14,545 U.
Externalizing behaviors
S. youth from the National Longitudinal Study of Adolescent to Adult Health.
BMI
Maturational timing was assessed by age at menarche for girls and physical development for boys (e.g., facial
Add health
hair, voice change), and then categorized as early (1 SD below mean), on-time, or late (1 SD above mean) within-
sex. Early and late peer-relative timing was assessed by a self-report of looking “much older” or “much younger”
than one’s peers. We examined psychological (depressive symptoms, antisocial behavior), behavioral (number of
sex partners, drug use, physical activity, screen time, sleep hours), and physical health (self-reported health, BMI)
outcomes during adolescence and young adulthood in a series of sex-stratified regression analyses using survey
weights and a comprehensive set of sociodemographic covariates.
Results indicated that, overall, earlier pubertal timing (i.e., maturational timing and peer -relative timing) put
both girls and boys at risk during adolescence, while later timing was protective. However, longitudinal models
revealed mixed results. For instance, early maturational timing was associated with higher young adult BMI
(girls: β ¼ 0.139, p < .01; boys: β ¼ 0.107, p < .01), but later timing for boys was associated with both risky (e.g.,
more screen time; β¼ 0.125, p < .05) and health promoting (e.g., more sleep; β¼ .296, p < .01) behaviors.
Analysis of this holistic set of outcomes with sex differences in mind allows for more careful evidence-based
recommendations for adolescent health promotion.

1. Introduction 1.1. Pubertal timing for girls and boys

Puberty is marked by substantial increases and emerging sex differ- The most consistent finding to emerge from the research on girls
ences in psychological disorders, physical activity patterns, and risky supports the early timing hypothesis, which posits that early maturing
behaviors, with implications for health and health disparities. However, girls find pubertal adjustment especially challenging and are more likely
few studies have examined these effects beyond adolescence, and the to experience adverse outcomes (Caspi & Moffitt, 1991). Research from
previous literature has been dominated by samples of White girls, with developmental science suggests that early puberty in girls is associated
limited research on pubertal processes in ethnic/racial minority youth with more risk-taking behaviors, earlier sexual activity, increased use of
and boys (Marceau, Hottle, & Yatcilla, 2019). The current study in- tobacco and alcohol, and heightened prevalence and intensity of
vestigates the broadest known set of social, behavioral, and physical depression and anxiety, relative to on-time or late development (for a
health sequelae related to pubertal timing in the National Longitudinal review, see Mendle, Turkheimer, and Emery (2007)). However, these
Study of Adolescent to Adult Health (Add Health), the most compre- studies are often limited in sample size and generalizability and few
hensive nationally representative sample of adolescent development in have examined long-term outcomes into adulthood. There is also a large
the United States (U.S.). body of epidemiological research that has uncovered links between
early menarche and risk of obesity and cardiovascular disease (Adair,
2008; Lakshman et al., 2009; Prentice & Viner, 2012), reproductive

* Corresponding author. 441 East Fordham Rd, Dealy Hall 216, Bronx, NY, 10458-9993, USA.
E-mail address: lhoyt1@fordham.edu (L.T. Hoyt).

https://doi.org/10.1016/j.ssmph.2020.100549
Received 15 October 2019; Received in revised form 19 January 2020; Accepted 30 January 2020
Available online 4 February 2020
2352-8273/© 2020 The Authors. Published by Elsevier Ltd. This is an open access article under the CC BY-NC-ND license
(http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).
L.T. Hoyt et al. SSM - Population Health 10 (2020) 100549

cancers (Ahlgren, Melbye, Wohlfahrt, & Sorensen, 2004; Jordan, Webb, adolescence but not in young adulthood. On the other hand, some life-
& Green, 2005), and all-cause mortality (Jacobsen, Oda, Knutsen, & course models suggest that childhood experiences may not affect out-
Fraser, 2009; Tamakoshi, Yatsuya, Tamakoshi, & Group, 2011). How- comes until later in life, owing to a latency period (Berkman, 2009).
ever, these studies often rely on a single, retrospectively reported marker Therefore, we may observe links between early or off-time maturation in
of pubertal timing and typically do not account for child- adulthood that were not detectable in adolescence. Other life-course
hood/adolescent health, body weight, or activity behaviors (e.g., phys- health theories focus on cumulative exposure (Johnson, Crosnoe, &
ical activity, sleep), which may confound the relationship between Elder, 2011; Kuh, Ben-Shlomo, Lynch, Hallqvist, & Power, 2003): using
pubertal timing and long-term health outcomes (Hoyt & Falconi, 2015). this lens, youth who develop early or off-time may be set on a risk tra-
From a demographic perspective, researchers often situate pubertal jectory, and accumulating risks may exacerbate negative health trajec-
development through the lens of a modern global decline in fertility (Lee tories into adulthood (i.e., we may observe increasing effects from
& Mason, 2014; Wachter, 2008; Wachter & Bulatao, 2003), as well as in adolescence to young adulthood). Finally, given research that early
terms of social norms surrounding family formation (Berrington & pubertal timing may promote some advantage in the short-term,
Pattaro, 2014; Hakim, 2003; Hayford, 2009). However, this de- particularly for boys (Chaku & Hoyt, 2019; Taga, Markey, & Fried-
mographic and family research has generally not been concerned with man, 2006), we may observe more nuanced developmental trajectories
short or long-term health behavior sequelae of pubertal timing. than previously hypothesized. For instance, there could be an initial
The off-time hypothesis (Caspi & Moffitt, 1991; Petersen & Taylor, advantage for early maturing boys, particularly in their psychosocial
1980) suggests that girls who develop either early or late might be at risk well-being, yet other health risks could accumulate over time if these
for poor health outcomes, yet, this is not often tested given that age of youth also experience more stress in their social relationships or suffer
menarche is typically measured as a continuous, linear variable from long-term consequences of affiliating with older peers.
(assuming early timing is risky and later timing is protective) or on-time Only a few puberty studies have used assessments with multiple
and late development are combined in analyses (and compared to early outcomes to examine the contribution of pubertal timing to health both
timing). Conceptually, this theory is based on the idea that events that concurrently and over time to test these competing hypotheses and they
occur at appropriate or expected ages allow youth to anticipate, prepare, have had mixed results. One study included 167 youth followed over
and learn how to cope with their changing situation, whereas events that four years and found that early maturation predicted stable high
catch youth off-time (in either direction) may be associated with inse- depression in girls while early maturing boys showed low initial levels of
curity and heightened stress. One study that examined nonlinear effects depression, but increased risk over time (Rudolph, Troop-Gordon,
of pubertal timing on depressive symptoms between ages of 12 and 23 Lambert, & Natsuaki, 2014). Research from Add Health found that
years in Add Health, found that both early and late maturing girls (and early menarche was associated with depressive symptoms and antisocial
boys) were at risk of experiencing elevated depressive symptoms during behaviors during adolescence with enduring (but not increasing) effects
early adolescence (Natsuaki, Biehl, & Ge, 2009). Another study exam- into young adulthood (Mendle, Ryan, & McKone, 2018). An earlier Add
ined perceived timing relative to peers, and found that girls (and boys) Health study found that both early and late timing predicted depressed
who perceived themselves to be late relative to peers were at risk for mood during early adolescence – but effects dissipated over time from
body dissatisfaction (de Guzman & Nishina, 2014). adolescence to young adulthood (Natsuaki et al., 2009). Additionally, a
The developmental sequelae of pubertal timing are substantially less meta-analysis of epidemiological studies found that earlier pubertal
well understood in boys than girls. One culprit is that studies of adult timing was predictive of higher adult BMI and greater risk of obesity,
health and disease among men lack a discrete, measurable pubertal however, of the 48 papers analyzed, only eight papers included data on
event (like menarche in girls) that can be accurately and retrospectively childhood BMI (Prentice & Viner, 2013). It is well-known that childhood
reported in large epidemiological studies. Historically, in the adolescent BMI is a robust predictor of pubertal timing (Biro, Khoury, & Morrison,
development literature, there was a prevailing view that early matura- 2006; Kaplowitz, Slora, Wasserman, Pedlow, & Herman-Giddens, 2001).
tion had psychosocial benefits for boys, such as higher self-esteem Therefore, without baseline data from childhood, it is unclear whether
(Blyth, 1981; Simmons, Blyth, Van Cleave, & Bush, 1979)and positive early puberty is a risk factor for adult obesity, or a risk marker of
body image (Crockett & Petersen, 1987), while late maturation was childhood obesity (e.g., elevated childhood BMI contributes to an earlier
associated with greater feelings of inadequacy and social rejection age of menarche, which in turn leads to a higher adult BMI). This body of
(Clausen, 1975). However, the majority of psychology studies in the past research is further limited by small (nonrepresentative) sample sizes, a
few decades suggest that early maturation in boys is a primary risk for specific focus on White girls, and/or lack of key adolescent covariates
internalizing symptoms, including depression and anxiety, and exter- known to be associated with both pubertal timing and health (e.g., BMI,
nalizing symptoms such as attention deficit disorder, conduct disorder, father absence, social support). Furthermore, although previous
aggression, delinquency, and risk-taking behavior (Ge, Conger, & Elder, research on childhood SES and pubertal timing is mixed (Buttke, Sircar,
2001; Huddleston & Ge, 2003; Mendle & Ferrero, 2012). There is also & Martin, 2012; James-Todd, Tehranifar, Rich-Edwards, Titievsky, &
some evidence that late timing is associated with depressive symptoms Terry, 2010; Yermachenko & Dvornyk, 2014), it is important to account
in boys (Conley & Rudolph, 2009)(Graber, Lewinsohn, Seeley, & for how baseline SES predicts long-term health outcomes.
Brooks-Gunn, 1998) or that both very early and very late (i.e., off-time)
puberty are associated with worse mental health (Weichold, Silbereisen, 1.3. The current study
& Schmitt-Rodermund, 2003).
To address these gaps in the literature, the current study aimed to
1.2. Life course perspective on pubertal timing examine the contribution of pubertal timing to adolescent health and
emerging adult health outcomes approximately 13 years later using a
Overall, most research supporting the link between pubertal timing nationally representative sample of adolescents in the U.S. Further, we
and health has been examined in small, short-term studies, limiting our compare two different measures of pubertal timing for both girls and
knowledge about the enduring effects of early or off-time maturation. boys: intra-individual maturational timing (i.e., a personal marker of
Importantly, concurrent effects (i.e., adolescent outcomes) and long- development irrespective of one’s social context) and peer-relative
term effects (i.e., young adult outcomes) of pubertal timing could perceived pubertal timing (i.e., a subjective evaluation of one’s physical
vary. For instance, early maturing youth may experience initial chal- maturity based specifically on peer comparison). This latter measure has
lenges, yet adverse effects could dissipate over time as other youth catch important developmental significance given that youth compare them-
up in physical development. In this case, we might expect that early or selves to others (e.g., friends, schoolmates, siblings, media personalities)
off-time maturation is associated with increased health risk in in order to make sense of who they are and develop a self-concept

2
L.T. Hoyt et al. SSM - Population Health 10 (2020) 100549

(Blanton, 2001; Festinger, 1954). Although previous research using Add Peer-relative pubertal timing was assessed by the question, “How
Health shows that these self-reported measures are moderately corre- advanced is your physical development compared to other boys/girls
lated for boys and slightly correlated for girls (Kretsch, Mendle, Cance, & your age?” Responses could range from “I look younger than most” (1) to
Harden, 2016), no research to date have used both constructs in the “I look older than most” (5). We defined early peer-relative timing as
same study in order to discern potential mechanisms through which physical development older than most, and late as younger than most.
pubertal timing influences population health. For instance, biological The distributions of early/on-time/late peer-relative timing roughly
explanations for the association between pubertal timing and health match that of maturational timing in both females and males (see
may be better aligned with findings that link physical changes (e.g., Table 1).
menarche) to long-term health, while many psychosocial perspectives
on the negative sequelae of early/off-time pubertal development may
rely on subjective perceptions of peer comparison. Overall, we hy-
Table 1
pothesize that early pubertal timing (peer-relative timing, in particular)
Descriptive statistics for the analytic sample (n ¼ 14, 545).
will be associated with poor mental, behavioral, and physical health for
girls, both in adolescence and young adulthood, while off-time puberty Female (n ¼ 7,728) Male (n ¼ 6,817)

(either early or late timing) may increase health risk for boys. M (SD) /% M (SD) /%

Maturational Timing
2. Methods Early Timing 9.4% 15.8%
On-Time 76.1% 68.4%
2.1. Participants and procedure Late Timing 14.4% 15.8%
Peer-Relative Timing
Younger Than Most 8.5% 11.3%
The data are drawn from Add Health, a nationally representative On-Time 77.7% 74.8%
sample of adolescents in grades 7 through 12 (aged 12–19 years) in the Older Than Most 13.8% 13.8%
United States in the 1994–1995 school year (Harris, 2013). The Wave I Adolescent Outcomes (Wave I)
Psychosocial Well-Being
sample included 20,745 youth who were followed up in 1996 (Wave II),
Depressive Symptoms 7.01 (4.92) 5.27 (3.89)
2001–2002 (Wave III), and 2008 (Wave IV), at which time respondents Antisocial Behavior 2.75 (3.40) 3.34 (4.16)
were between the ages of 24 and 32; thus, the young adult follow-up Health Behaviors
from adolescence is approximately 13 years from Wave 1 to Wave 4. Number of Sex Partners 1.04 (3.13) 1.68 (5.10)
Of the longitudinal sample, 14,798 participants had valid sampling Drug Use 0.61 (0.98) 0.68 (1.04)
Physical Activity 3.25 (2.00) 4.13 (2.22)
weights. We further excluded 253 participants who were missing pu-
Screen Time 19.90 (19.20) 25.48 (23.39)
bertal timing data. The final analytic sample for the current study Sleep Hours 7.78 (1.42) 7.87 (1.41)
included 7,728 female respondents and 6,817 male respondents. Pro- Physical Health
cedures for data access and analysis were implemented as approved by Self-Reported Good Health 3.80 (0.91) 3.95 (0.90)
Body Mass Index 22.31 (4.42) 22.73 (4.67)
the Institutional Review Boards at Fordham University and University of
Young Adult Outcomes (Wave IV)
Massachusetts, and in agreement with the sensitive data security plan Psychosocial Well-Being
approved by Add Health data managers. Depressive Symptoms 6.51 (4.95) 5.70 (4.43)
Antisocial Behavior 0.19 (0.86) 0.43 1.29)
2.2. Measures Health Behaviors
Number of Sex Partners 8.61 (9.56) 12.13 (13.52)
Drug Use 0.81 (1.03) 1.22 (1.15)
Independent variables (i.e., pubertal timing measures), dependent Physical Activity 3.23 (2.75) 4.05 (3.32)
variables (i.e., psychosocial well-being, health behaviors, physical Screen Time 19.77 (18.54) 24.90 (23.32)
health in adolescence and adulthood), and baseline covariates are Sleep Hours 7.99 (1.26) 7.58 (1.36)
Physical Health
described in detail below.
Self-Reported Good Health 3.63 (0.92) 3.69 (0.92)
Body Mass Index 29.16 (8.17) 29.01 (6.86)
2.2.1. Pubertal timing Baseline Covariates (Wave I)
Two self-reported measures of pubertal timing were assessed: intra- Age (in Wave I) 15.92 (1.80) 16.08 (1.84)
individual development (i.e., maturational timing) and inter-individual Parent Education 12.86 (2.61) 12.96 (2.60)
Race/Ethnicity
development (i.e., peer-relative pubertal timing). Self-reported age at
White 67.7% 67.4%
menarche served as a proxy for maturational timing for girls. Although Black 16.0% 15.6%
this event occurs later in the pubertal process, it is commonly used as a Hispanic 11.8% 11.8%
marker of pubertal timing for girls and facilitates the comparison of Asian 2.7% 3.30%
Other 1.4% 1.8%
findings across studies. Age of menarche was measured in whole years at
Receipt of Public Aid 7.9% 6.9%
Wave I, Wave II, and Wave III. Of the female respondents, 89.63% re-
Parental Marital Status
ported their age at menarche at Wave I; if a respondent had not had Single, Never Married 5.4% 4.6%
menarche or did not report it at Wave I, we used the next available Married 71.9% 72.4%
report at Wave II (5.38%) or Wave III (3.42%). Boys’ maturational Windowed 3.1% 3.0%
timing was derived from selected questions about bodily changes that Divorced 14.6% 15.8%
Separated 5.0% 4.2%
become evident in mid-to-late puberty (i.e., facial hair, body hair, and
Father Absence
voice change) on a continuous scale that ranged from “least developed” Never Absent 63.4% 65.5%
(1) to “most developed” (5). Responses on the three items were averaged Father Left (6–13 years) 11.2% 11.5%
and then standardized within each whole number age group so that a Father Left (0–15 years) 11.3% 10.6%
higher value represents more advanced development among same-aged Always Absent 14.0% 12.4%
Urbanicity
boys (i.e., earlier maturation). For both sexes, early/late maturational Urban 26.1% 26.2%
timing was defined as one standard deviation below/above the mean. Suburban 58.3% 58.4%
These cut-offs have been used in previous research with the Add Health Rural 15.5% 15.4%

sample and others (e.g., (Foster, Hagan, & Brooks-Gunn, 2008)Ge et al., Notes. All descriptive statistics are drawn from the final imputed dataset and
2001). weighted using Add Health survey weights.

3
L.T. Hoyt et al. SSM - Population Health 10 (2020) 100549

2.2.2. Psychosocial well-being 2.2.4. Physical health


In Waves I and IV, participants completed the Center for Epidemio- Self-reported good health was assessed by the same, single question
logical Studies Depression Scale (CES-D), which is a short, self-report in Waves I and IV: “In general, how is your health?” (0 ¼ poor; 1¼ fair;
scale designed to measure depressive symptomatology in the general 2 ¼ good; 3 ¼ very good; 4 ¼ excellent). Self-reported height and weight
population, and is also valid for use in adolescent populations (Perreira, were used to calculate baseline adolescent BMI because objective mea-
Deeb-Sossa, Harris, & Bollen, 2005; Radloff, 1991). Sample items sures were not available at Wave I. Height and weight, measured by
include: felt blue; bothered by things that don’t usually bother you; did trained interviewers at Wave IV, were used to calculate adult BMI (i.e.,
not enjoy life (0 ¼ never; 1 ¼ sometimes; 2 ¼ a lot of the time; 3 ¼ the ratio of weight in kilograms over height in meters squared).
most/all of the time). The full version was administered at Wave I; a
10-item abbreviated version was administered at Wave IV. To keep 2.2.5. Baseline covariates
measurement consistent across waves, we used the abbreviated version. All baseline covariates were measured at Wave I. Demographic data
Participants’ responses were summed to form the depressive symptoms included age in years and race/ethnicity (coded as Non-Hispanic White,
scale (ranging from 0 – 30) at Waves I (α¼.80) and IV (α ¼ .84). Black/African American, Hispanic/Latino, Asian, or other). Measures of
Antisocial behaviors were assessed by self-reported frequency of the family environment included family socioeconomic status (SES) –
antisocial behaviors over the past 12 months (0 ¼ never; 1 ¼ 1 or 2 measured by approximate years of parents’ education and whether or
times; 2 ¼3 or 4 times; 3 5¼or more times). Five items were asked at not their family received public aid – as well as parental marital status
both Waves I and IV, including property damage, stealing something (married, single parent, widowed, divorced, separated) and father
worth <$50, stealing something worth >$50, selling drugs, and absence (father present, father left when participant was 0–5 years, fa-
breaking into a building. Wave I included five additional items: running ther left when aged 6–13 years). The environment was addressed by
away from home, lying to parents, driving a car without the owner’s urbanicity (urban, suburban, or rural.
permission, shoplifting, and being loud and rowdy in public. Wave IV
included three additional items: deliberately writing a bad check, using 2.3. Analytic strategy
others’ debit card without permission, and buying or selling stolen
property. Participants’ responses were summed at Waves I (α¼.78) and The general analytic strategy was to investigate a series of ordinary
IV (α¼.62). least-squares regression models to assess the association between pu-
bertal timing and adolescent (Wave I) outcomes, and separately, young
2.2.3. Health behaviors adult (Wave IV) outcomes. Given that pubertal timing is associated with
We assessed five key health behaviors: sexual risk-taking, drug use, adolescent health outcomes, longitudinal analyses could obfuscate ef-
physical activity, screen time, and sleep. Sexual risk-taking was fects over time such that it would be hard to detect significant differ-
conceptualized as the total number of sexual partners. Responses of 50 ences in adult outcomes when adolescent health is controlled for.
partners or more were winsorized (i.e., top coded) at 50 (0.23% of all Therefore we ran two sets of longitudinal models. First, we tested the
responses in Wave I and 1.48% in Wave IV) to reduce skewness. direct association of pubertal timing on adult health without including
At Waves I and IV, participants reported the number of days they adolescent symptoms or behaviors; then we added the full set of
smoked cigarettes, the number of times they used marijuana and illicit adolescent covariates, to estimate whether early pubertal timing was
drugs (e.g., cocaine, inhalants) in the last 30 days, and the number of related to adult health outcomes (above and beyond what might be
days they drank five or more alcoholic drinks in a row over the past 12 predicted by adolescent levels), an approach used in previous research
months. These four variables were dichotomized as whether a partici- with Add Health (Mendle et al., 2018). We examined nine health out-
pant used cigarettes, marijuana, or illicit drugs in the past 30 days or comes across three domains, including: psychosocial well-being (i.e.,
binge drank 3–5 days or more in the past 12 months (approximately depressive symptoms, antisocial behavior), health behaviors (i.e.,
once per month;1 ¼yes; 0 no).¼ A drug use index was created as the number of sex partners, drug use, physical activity, screen time, sleep
sum of these items (ranging from 0 to 4), based on previous research hours), and physical health (i.e., self-reported good health, BMI).
(McDade et al., 2011). Analyses were conducted in Stata Version 15 (StataCorp, 2017) using
Physical activity was assessed in Wave I by three questions about the survey procedures and Add Health longitudinal sampling weights,
frequency of skating/biking, playing an active sport, and exercising in which adjust for the complex cluster sample design, unequal probability
the past week (0 ¼ not at all; 1 ¼ 1 – 2 times; 2 ¼ 3 – 4 times; 3 ¼ 5 or of selection, and non-response. The analytic sample included all par-
more times). In Wave IV, physical activity was assessed by the frequency ticipants with pubertal timing data but not necessarily complete data on
of participation in seven activities in the past week: skating/biking, the covariates or dependent variables. Missing values on covariates were
snowboard/racquet/aerobics, team sports, individual sports, gymnas- assigned using chained multiple imputation methods. Missing covariates
tics/weights/strength training, golfing/fishing/baseball, and walking. ranged from 0.0% for race/ethnicity to 17.4% for father absence. A total
Responses to the activities were summed (Simpkins, Schaefer, Price, & of 10 imputations were used to obtain final estimates. All independent
Vest, 2013). To measure screen time, we summed the number of hours variables, strata, sampling weights, and the outcome variable were used
per week spent in three behaviors in Wave I: TV hours, video hours, and as predictors in the imputation process (Allison, 2000). In order to
screen games (Gordon-Larsen, McMurray, & Popkin, 2000) and three present results and sex differences across multiple models, puberty co-
behaviors in Wave IV: TV hours, internet hours, and screen games. efficients are graphically illustrated in Figs. 1–3. The full set of results,
In Wave I, participants were asked about how many hours of sleep including coefficients and confidence intervals (CIs) for pubertal timing
they usually get with responses in whole hours. In Wave IV, participants and all covariates, are presented in the online supplemental materials, as
were asked about weekday/weekend sleep via four items: “on days well as example code for regression models (Stata Version 15) and figure
when you go to work, school, or similar activities, what time do you generation (R Version 3.5.3).
usually wake up?”; “what time do you usually go to bed the night
before?”; “on days when you don’t have to get up at a certain time, what 3. Results
time do you usually wake up?”; “on these days, what time do you usually
go to sleep the night before?”. We calculated the hours of sleep per night 3.1. Descriptive statistics
on weekdays and weekends, and computed a weighted average (i.e.,
weighing the weekday items by 5/7 and the weekend items by 2/7) to Table 1 describes the distribution of pubertal timing, outcomes, and
assess sleep duration in a typical day during a week (Maslowsky & Ozer, health and demographic covariates in the analytic sample by gender
2014). with survey weights (so that estimates are nationally representative).

4
L.T. Hoyt et al. SSM - Population Health 10 (2020) 100549

Fig. 1. Standardized regression coefficients and 95% confidence intervals (CIs) for adolescent health outcomes controlling for sociod emographic characteristics.
Coefficients are statistically significant at p < .05 where CIs do not cross the 0 line.

The mean age of the full sample at Wave I was 16.00 years-old (SD ¼ menarche for girls was 12.19 years (SD ¼ 1.40) and mean maturational
1.82); 67.7% of the sample were non-Hispanic White, 15.8% were non- timing for boys was 2.71 (SD¼0.82). Mean peer-relative timing was
Hispanic Black and 11.8% were Hispanic. On average, parents in the between “I look about average (3)” and “I look older than some (4)” for
sample had completed 12.88 (SD¼2.61) years of education; 7.3% of the both girls (M ¼ 3.30, SD ¼ 1.10) and boys (M ¼ 3.80, SD ¼ 1.15).
participants had mothers who received public assistance and 64.4% had
a father in the household their entire childhood. The mean age of

5
L.T. Hoyt et al. SSM - Population Health 10 (2020) 100549

Fig. 2. Standardized regression coefficients and 95% CIs for young adult health outcomes controlling for baseline sociodemographic characteristics. Coefficients are
statistically significant at p < .05 where CIs do not cross the 0 line.

3.2. Pubertal timing and adolescent outcomes risk for several poor psychosocial, behavioral, and health outcomes,
while late timing was mostly protective. Earlier menarche in girls was
Standardized regression coefficients and 95% confidence intervals associated with more depressive symptoms, worse self-reported health,
(CIs) are presented in Fig. 1 (coefficients are statistically significant at p and higher BMI; later menarche was associated with fewer sex partners,
< .05 where CIs do not cross the 0 line) and Supplemental Tables A1-A2 less drug use, more physical activity, better self-reported health, and
(girls) and B1-B2 (boys). Overall, early timing put both girls and boys at lower BMI during adolescence (Fig. 1; Panel 1a). For boys, earlier

6
L.T. Hoyt et al. SSM - Population Health 10 (2020) 100549

Fig. 3. Standardized regression coefficients and 95% CIs for young adult health outcomes controlling for baseline sociodemographic characteristics as well as
adolescent levels of psychosocial well-being, health behaviors, and physical health.

maturational timing was associated with significantly higher antisocial one’s peers was a consistent risk factor, significantly associated with
behavior, more sex partners, more drug use, less sleep, and higher BMI; increased depressive symptoms, antisocial behaviors, more sexual
later timing was associated with fewer antisocial behaviors and less drug partners, drug use, worse self-reported health, and higher BMI; devel-
use, but higher depressive symptoms (Panel 1b). oping later was protective in terms of antisocial behavior, drug use, and
A similar pattern of effects was found for peer-relative pubertal BMI. One notable exception was that off-time peer-relative timing (self-
timing (Panels 1c-1d). Among girls, developing earlier than most of reporting looking older or younger than most of one’s peers) was

7
L.T. Hoyt et al. SSM - Population Health 10 (2020) 100549

associated with increased depressive symptoms. Among boys, devel- For boys (Panel 3b), earlier maturational timing was statistically
oping earlier than most of one’s peers was associated with more anti- associated with higher BMI; later timing for boys was associated with
social behaviors, more sex partners, more drug use, fewer sleep hours, fewer sex partners, less drug use and more sleep but also more screen
and higher BMI; developing later was protective in terms of BMI. time – replicating previous models showing links between later timing
and both protective and risky health behaviors. Unexpectedly, a new
3.3. Pubertal timing and young adult health outcomes statistically significant association emerged between earlier matura-
tional timing and less drug use.
In the final set of longitudinal models examining perceived pubertal
Standardized regression coefficients and CIs for the young adult
timing relative to peers on young adult health outcomes for girls (con-
health outcomes are presented in Figs. 2 and 3 (see also Supplemental
trolling for baseline health), early peer-relative timing was only signif-
Tables A3-A6 and B3-B6). Early menarche (Fig. 2; Panel 2a) was asso-
icantly associated with more sex partners; later peer-relative timing was
ciated with more depressive symptoms, less sleep, worse self-reported
associated with higher depressive symptoms, fewer sex partners and
health, and higher BMI. Later menarche was still associated with
lower BMI (Panel 3c). Finally, boys who reported looking older than
fewer sex partners, more sleep hours, better self-reported health, and
most peers (earlier peer-relative timing) had fewer antisocial behaviors
lower BMI in young adulthood. Examining health outcomes for boys
and less screen time; BMI was no longer statistically significant (Panel
(Panel 2b), earlier maturational timing was only statistically associated
3d). Table 2 provides a visual summary of statistically significant co-
with higher BMI; later timing was associated with a number of protec-
efficients across all models.
tive health behaviors including fewer sex partners, less drug use, and
more sleep – but also associated with more screen time.
4. Discussion
When examining peer-relative pubertal timing in the girls’ longitu-
dinal models (Panel 2c), developing earlier than most of one’s peers was
Although the roots of many mental and physical health disorders
still associated with a wide range of poor health outcomes across all
begin in adolescence, surprisingly few studies have examined the
domains including more depressive symptoms and antisocial behaviors;
longevity of pubertal timing effects. The current study explored the
more sex partners, drug use, and screen time; worse general health and
broadest known set of adolescent and young adult health outcomes
higher BMI. However, developing later (i.e., reporting looking younger
related to pubertal timing in both girls and boys and examined both
than most of one’s peers) was associated with both positive and negative
intra-individual development (i.e., maturational timing) and inter-
health outcomes in young adulthood – fewer sex partners and lower
individual development (i.e. peer-relative timing). Aligned with the
BMI, but more depressive symptoms. Boys (Panel 2d) who reported
early timing hypothesis, early pubertal timing was largely associated
looking older than most peers (earlier peer-relative timing) had more sex
with increased risk for poor psychosocial, behavioral, and physical
partners and higher BMI, but less screen time; those who reported
health during adolescence for both girls and boys, while later timing was
looking younger (later timing) had lower BMI.
generally protective. However, associations between pubertal timing
Next, we examined these longitudinal models controlling for base-
and young adult outcomes were more nuanced. Further, by examining
line levels of psychosocial well-being, health behaviors, and physical
boys and girls together, we found that while pubertal timing effects on
health (while still controlling for demographic characteristics, including
health were pervasive among both sexes during adolescence, the effects
SES and family context). In this most stringent test of the longitudinal
for girls were more persistent (see Table 2), with a larger impact on
associations between pubertal timing and young adult outcomes, early
young adult health outcomes for women compared to men.
menarche in girls was statistically associated with higher BMI and worse
Results from the current study suggest that girls who experience
self-reported health; later menarche was associated with lower BMI and
earlier puberty (measured by menarche or peer-relative perceptions)
more sleep (Fig. 3, Panel 3a).

Table 2
Summary of statistically significant regression coefficients across all models.

8
L.T. Hoyt et al. SSM - Population Health 10 (2020) 100549

generally continued to report poor psychological, behavioral, and factors, education level, father absence, social support), which is
physical health outcomes in young adulthood, even after accounting for consistent with a few longitudinal studies that have robustly tested the
demographic, social, and contextual predictors of poor health. However, effect of pubertal timing on BMI in females. Of particular note is a recent
in the final models (controlling for adolescent symptoms and health study that found age at menarche predicted higher BMI in a sample of
behaviors), we found limited direct associations with young adult health adult women from the UK Biobank Study, after adjusting for childhood
outcomes above and beyond what might be predicted by adolescent BMI and genetic risks for early puberty (Gill et al., 2018). The literature
levels. Overall, this pattern of results replicates previous research using is not consistent about this relationship in boys. While higher childhood
Add Health that found that girls who experienced earlier menarche were BMI contributes to earlier onset of puberty among girls, initial evidence
more prone to depressive symptoms in young adulthood than their on- suggests that it may be associated with later onset of puberty among
time or later developing peers primarily because they experienced boys (Lee et al., 2010). Despite sex differences in how pre-pubertal BMI
depression as adolescents, and that risk was sustained over time (Mendle plays a role in pubertal timing, earlier pubertal onset could increase risk
et al., 2018). We also expand on these findings in several important for higher BMI over time for both boys and girls via several psycho-
ways. logical and behavioral pathways, including disordered eating behaviors,
By examining a wide range of outcomes, we observed that links insufficient sleep, and stress associated with early body transformation.
between maturational timing and health extend to behavioral and
physical health markers including risky health behaviors, sleep, self- 4.1. Limitations and future directions
reported health, and BMI. Further, while overall peer-relative pubertal
timing in girls replicated the longitudinal links between menarche and There are many benefits to using a nationally representative dataset
health, we also identified a few key differences. Namely, girls with later such as Add Health, but there are also several challenges and limitations.
peer-relative timing (i.e., girls who reported looking younger than most While the longitudinal, multivariable models used in this study control
of their same-sex peers during adolescence) also reported more depres- for many sources of confounding variation, they do not address biases
sive symptoms. Interestingly, these results persisted in the model with associated with unmeasured characteristics that change between Wave I
the full set of baseline demographic and adolescent health controls, and Wave IV (e.g., changes in household economic status or family
suggesting that these association between later peer-relative pubertal structure), which may affect young people’s health trajectories. Another
timing and young adult depressive symptoms hold above and beyond limitation is that Wave I occurred when youth were in grades 7–12,
adolescent symptoms – and independent of risky behaviors and physical which is later than most youth begin pubertal onset (particularly for
health. This finding highlights the important role of social perceptions in girls), although inspection of initial variation provides ample grounds
adolescent development. Adults, peers, and youth themselves may for analysis.
equate visible signs of physical development with social or cognitive Additionally, our measures of physical development fail to capture
maturity, leading to different behavioral expectations or assumptions the extent and tempo of the diverse morphological changes that occur
(Carter, Mustaffa, & Leath, 2017; Mora, 2012). As a result, girls who during puberty for both boys and girls. Therefore, it is important that
look older or younger than their peers/classmates during adolescence, this work is replicated in future representative study samples that recruit
may be treated differently by teachers, parents, and other peers, with and track a younger cohort of youth. It is also possible that the ante-
implications for future mental health, as well as social, educational, and cedents of early puberty, rather than pubertal timing itself, underlie the
economic trajectories across the transition to adulthood. relationship between pubertal timing and young adult health. We
Overall, there was more evidence for the early timing hypothesis examined a number of variables known to be associated with pubertal
than the off-time hypothesis for the effects of boys’ pubertal timing on timing at Wave I (e.g., race/ethnicity, adolescent BMI, family stress), but
adolescent outcomes, with the exception of depressive symptoms (i.e., we do not have early childhood covariates to explore.
later maturational timing was associated with more depressive symp- Despite these limitations, the current study provides new insights
toms). In the longitudinal models, early maturational timing was asso- into the relationship between pubertal timing and young adult health
ciated with higher young adult BMI; later timing was associated with and suggests that we should re-examine existing theoretical models on
three positive (i.e., fewer sex partners, less drug use, and more sleep) and pubertal timing. While early-onset puberty may be a stressful experi-
only one negative (i.e., more screen time) health behavior. Boys who ence, it does not generate uniform reactions across girls and boys and
reported looking older than their peers (i.e., early peer-relative timing) may depend on social and cultural factors (Deardorff, Hoyt, Carter, &
also reported less screen time. One possible explanation is that while Shirtcliff, 2019; Morales-Chicas & Graham, 2015; Seaton & Carter,
later maturation provides some protection from socially deviant activ- 2017; White, Deardorff, & Gonzales, 2012; White, Deardorff, Liu, &
ities, boys who develop later also have an athletic disadvantage (e.g., Gonzales, 2013(White et al., 2012)(White et al., 2013)). Additionally,
smaller stature, lower muscle mass) and may turn to TV or video games particularly in more conservative settings, youth may not be adequately
for recreational activities. Interestingly, the links between pubertal prepared for the physical changes of puberty and therefore important
timing and screen time remained statistically significant even when maturational events may be accompanied by feelings of shame and the
controlling for adolescent levels of screen time, suggesting that later need to conceal it from others (Lahme, Stern, & Cooper, 2016; Stubbs,
maturing boys spend more time in front of screens as young men, in- 2008). Further, though research on SES and pubertal timing is mixed,
dependent of their screen time as adolescence. Understanding cumula- the most recent research suggests that early maturing youth from lower
tive vulnerability to this health behavior represents an important area of SES backgrounds may have worse outcomes than early developing youth
future research as technology continues to advance and change the ways from more advantageous backgrounds (Mendle & Koch, 2019). Future
in which both youth and adults interact with screens. studies would benefit from a biopsychosocial perspective in under-
Another noteworthy finding was that higher BMI was the most robust standing the complex interactions between physiological changes, cul-
risk outcome associated with earlier pubertal timing, and this risk tural and contextual factors, social norms, behaviors, and values in
extended into young adulthood. Prior observational studies have shown determining health trajectories across the transition from adolescence to
inverse links between onset of menarche and BMI in females, however, adulthood in an ethnically and racially diverse sample of youth. For
most studies did not adjust for childhood obesity and antecedents of instance, research could explore the interaction between objective pu-
early timing, making it difficult to evaluate whether pubertal timing bertal markers (e.g., Tanner stage, hormone levels) and peer-relative
increases risk for obesity, or vice versa (Biro, Greenspan, & Galvez, pubertal timing. A young person who begins puberty early and also
2012). We found that early pubertal timing effects on young adult BMI perceives him/herself as more physically advanced than their peers may
persist after adjusting for adolescent BMI (for girls but not boys) and have different psychological and behavioral outcomes than an early
situational factors that affect the onset of puberty (e.g., ethnicity, SES maturing youth who perceives their maturation as less advanced

9
L.T. Hoyt et al. SSM - Population Health 10 (2020) 100549

compared to their peers. adolescence) may be a strategic “teachable moment” for adolescents and
Finally, pubertal research has largely been deficit-focused, and po- those who support them, as young people gain increased cognitive ca-
tential benefits associated with varying pubertal trajectories are vastly pacity and autonomy to make their own health-related decisions. During
unexplored. A recent study found that pubertal maturation, controlling this time, educators, families, and health care providers could intervene
for age, was associated with increases in attention skills in both boys and to promote positive choices and behaviors that will influence long-term
girls (Chaku & Hoyt, 2019). Given research that physical development health.
accompanying pubertal onset are associated with changes in brain
development (Goddings, Burnett Heyes, Bird, Viner, & Blakemore, Ethical statement
2012), future studies should consider how cognitive and pubertal pro-
cesses interact to influence health-related outcomes, and how increases All authors (listed on the title page) have made substantial contri-
in cognitive development driven by pubertal maturation may in fact butions to the study design/analysis and writing/revising the manu-
prove protective for some youth. script and have approved the final version. My coauthors and I do not
have any conflicts of interest to disclose.
4.2. Implications for promoting population health Procedures for data access and analysis were implemented as
approved by the Institutional Review Board at the University of Mas-
The current analysis demonstrated that early pubertal timing was sachusetts, Amherst (with an IAA agreement at Fordham University),
linked to long-term health outcomes via poor psychological functioning, and in agreement with the sensitive data security plan approved by Add
risky behaviors, and higher BMI during adolescence (i.e., cumulative Health data managers.
vulnerability over time), particularly for girls. This aligns with previous
research that adolescence often contains the developmental roots of Declaration of competing interest
lifetime psychopathology and health habits (Harris, 2010). Therefore, it
is vital to address early psychosocial and behavioral functioning in None.
adolescence, utilizing limited resources from multiple sectors to reduce
the negative effects of early/off-time pubertal timing that drive poor CRediT authorship contribution statement
health outcomes, and health disparities, in the population. One impor-
tant step is to ensure high-quality puberty education for all youth early Lindsay T. Hoyt: Conceptualization, Methodology, Writing - orig-
in life. inal draft, Supervision, Funding acquisition. Li Niu: Conceptualization,
Despite secular trends in the declining age of pubertal onset shifting Methodology, Formal analysis, Software, Writing - review & editing,
into primary schools for girls (e.g., White and Asian girls usually start to Visualization. Mark C. Pachucki: Conceptualization, Software, Re-
show secondary sex characteristics by ages 9 or 10; and Black and His- sources, Data curation, Writing - review & editing, Funding acquisition.
panic girls typically start developing a year or two earlier) (Lee & Styne, Natasha Chaku: Methodology, Formal analysis, Writing - review &
2013; Parent et al., 2003), puberty education typically does not occur editing.
until middle or high school (often in combination with sexual educa-
tion), if it is taught at all (Brener et al., 2012; Herbert et al., 2017). This Acknowledgements
lack of age-appropriate puberty education targeted to younger children
may leave many youth uninformed and ill-prepared for pubertal tran- This research uses data from Add Health, a program project directed
sition, especially for those who mature earlier than their peers. This is by Kathleen Mullan Harris and designed by J. Richard Udry, Peter S.
especially important giving our findings, which highlight the important Bearman, and Kathleen Mullan Harris at the University of North Car-
role of peer-relative pubertal timing (i.e., social comparison) in pre- olina at Chapel Hill, and funded by grant P01- HD31921 from the Eunice
dicting health outcomes. Educators, clinicians, and parents could help Kennedy Shriver National Institute of Child Health and Human Devel-
normalize the pubertal process and underscore (and appreciate) indi- opment, with cooperative funding from 23 other federal agencies and
vidual differences in body shape, which become more apparent during foundations. Special acknowledgment is due to Ronald R. Rindfuss and
this developmental period. Awareness, social support, and early inter- Barbara Entwisle for assistance in the original design. Information on
vention may be especially significant for girls, who experience these how to obtain the Add Health data files is available on the Add Health
overt physical changes several years before same-aged boys. website (http://www.cpc.unc.edu/addhealth). No direct support was
The physical manifestations of puberty are observable to the devel- received from grant P01- HD31921 for this analysis. Research reported
oping adolescent, but they are also noticeable to others, and may be in this publication was supported by the National Institute of Nursing
compounded by sex or racial/ethnic stereotypes. These changes may Research under Award Number R21NR017154 to Co-PIs Mark C.
signal to adults or friends that youth are now emerging adults, despite Pachucki & Lindsay T. Hoyt. The content is solely the responsibility of
being the same chronological age as their peers and classmates (who the authors and does not necessarily represent the official views of the
have more child-like appearances). For instance, more mature youth National Institutes of Health.The authors thank Drs. Jane Mendle and
(particularly youth of color) may be perceived by others as more Rebecca M. Ryan for helpful advice on our analytic approach.
aggressive or violent, and more likely to have academic and social
problems than their same-age peers (Carter et al., 2017; Deardorff et al.,
Appendix A. Supplementary data
2019). Therefore it is imperative that adults – including parents,
teachers, and physicians – are knowledgeable about and sensitive to
Supplementary data to this article can be found online at https://doi.
individual differences in physical development and their own implicit
org/10.1016/j.ssmph.2020.100549.
biases.
Finally, theories of life course health and human development sug-
gest that humans pass through sensitive periods in which the social References
environment can have disproportionate impacts on future health
Adair, L. S. (2008). Child and adolescent obesity: Epidemiology and developmental
(Halfon & Hochstein, 2002; Hertzman & Boyce, 2010). With the onset of perspectives. Physiology & Behavior, 94(1), 8–16.
puberty, youth gain more responsibilities from parents and spend more Ahlgren, M., Melbye, M., Wohlfahrt, J., & Sorensen, T. I. (2004). Growth patterns and the
time outside the home, which has important implications for develop- risk of breast cancer in women. New England Journal of Medicine, 351(16),
1619–1626.
mental trajectories. Therefore, while pubertal timing itself is not easily Allison, P. D. (2000). Multiple imputation for missing data: A cautionary tale. Sociological
malleable at an individual level, pubertal onset (at the beginning of Methods & Research, 28(3), 301–309.

10
L.T. Hoyt et al. SSM - Population Health 10 (2020) 100549

Berkman, L. F. (2009). Social epidemiology: Social determinants of health in the United Jacobsen, B., Oda, K., Knutsen, S., & Fraser, G. (2009). Age at menarche, total mortality
States: Are we losing ground? Annual Review of Public Health, 30, 27–41. and mortality from ischaemic heart disease and stroke: The Adventist Health Study,
Berrington, A., & Pattaro, S. (2014). Educational differences in fertility desires, intentions 1976-88. International Journal of Epidemiology, 38(1), 245–252.
and behaviour: A life course perspective. Advances in Life Course Research, 21, 10–27. James-Todd, T., Tehranifar, P., Rich-Edwards, J., Titievsky, L., & Terry, M. B. (2010).
Biro, F. M., Greenspan, L. C., & Galvez, M. P. (2012). Puberty in girls of the 21st century. The impact of socioeconomic status across early life on age at menarche among a
Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology, 25(5), 289–294. https://doi.org/ racially diverse population of girls. Annals of Epidemiology, 20(11), 836–842.
10.1016/j.jpag.2012.05.009. Johnson, M. K., Crosnoe, R., & Elder, G. H. (2011). Insights on adolescence from a life
Biro, F. M., Khoury, P., & Morrison, J. A. (2006). Influence of obesity on timing of course perspective. Journal of Research on Adolescence, 21(1), 273–280.
puberty. International Journal of Andrology, 29(1), 272–277. Jordan, S. J., Webb, P. M., & Green, A. C. (2005). Height, age at menarche, and risk of
Blanton, H. (2001). Evaluating the self in the context of another: The three-selves model epithelial ovarian cancer. Cancer Epidemiology Biomarkers & Prevention, 14(8),
of social comparison assimilation and contrast. In G. B. Moskowitz (Ed.), Cognitive 2045–2048.
social psychology: The princeton symposium on the legacy and future of social cognition Kaplowitz, P. B., Slora, E. J., Wasserman, R. C., Pedlow, S. E., & Herman-Giddens, M. E.
(pp. 75–87). (2001). Earlier onset of puberty in girls: Relation to increased body mass index and
Blyth, D. A. (1981). The effects of physical development on self-image and satisfaction race. Pediatrics, 108(2), 347–353.
with body-image for early adolescent males. Research in Community & Mental Health. Kretsch, N., Mendle, J., Cance, J. D., & Harden, K. P. (2016). Peer group similarity in
Brener, N. D., Roberts, A. M., Mcmanus, T., Trott, J., Lacy, K., Ngaruro, A., … Song, W. perceptions of pubertal timing. Journal of Youth and Adolescence, 45, 1696–1710.
(2012). Results from the school health policies and practices study. Kuh, D., Ben-Shlomo, Y., Lynch, J., Hallqvist, J., & Power, C. (2003). Life course
Buttke, D. E., Sircar, K., & Martin, C. (2012). Exposures to endocrine-disrupting epidemiology. Journal of Epidemiology & Community Health, 57(10), 778.
chemicals and age of menarche in adolescent girls in NHANES (2003–2008). Lahme, A. M., Stern, R., & Cooper, D. (2016). Factors impacting on menstrual hygiene
Environmental Health Perspectives, 120(11), 1613–1618. and their implications for health promotion. In Global health promotion. e-pub ahead
Carter, R., Mustaffa, F. N., & Leath, S. (2017). Teachers’ expectations of girls’ classroom of print.
performance and behavior: Effects of girls’ race and pubertal timing. The Journal of Lakshman, R., Forouhi, N. G., Sharp, S. J., Luben, R., Bingham, S. A., Khaw, K. T., …
Early Adolescence, 1–23. https://doi.org/10.1177/0272431617699947. Ong, K. K. (2009). Early age at menarche associated with cardiovascular disease and
Caspi, A., & Moffitt, T. (1991). Individual differences are accentuated during periods of mortality. Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism, 94(12), 4953–4960.
social change: The sample case of girls at puberty. Journal of Personality and Social Lee, J. M., Kaciroti, N., Appugliese, D., Corwyn, R. F., Bradley, R. H., & Lumeng, J. C.
Psychology, 61(1), 157–168. (2010). Body mass index and timing of pubertal initiation in boys. Archives of
Chaku, N., & Hoyt, L. T. (2019). Developmental trajectories of executive functioning and Pediatrics & Adolescent Medicine, 164(2), 139–144.
puberty in boys and girls. Journal of Youth and Adolescence, 48, 1365–1378. Lee, R., & Mason, A. (2014). Is low fertility really a problem? Population aging,
Deardorff, J., Hoyt, L. T., Carter, R., & Shirtcliff, E. A. (2019). Next steps in puberty dependency, and consumption. Science, 346(6206), 229–234.
research: Broadening the lens toward understudied populations. Journal of Research Lee, Y., & Styne, D. (2013). Influences on the onset and tempo of puberty in human
on Adolescence, 29(1), 133–154. beings and implications for adolescent psychological development. Hormones and
Festinger, L. (1954). A theory of social comparison processes. Human Relations, 7(2), Behavior, 64(2), 250–261.
117–140. Marceau, K., Hottle, S., & Yatcilla, J. K. (2019). Puberty in the last 25 years: A
Foster, H., Hagan, J., & Brooks-Gunn, J. (2008). Growing up fast: Stress exposure and retrospective bibliometric analysis. Journal of Research on Adolescence, 29(1),
subjective “weathering” in emerging adulthood. Journal of health and social behavior, 96–114.
49(2), 162–177. Maslowsky, J., & Ozer, E. J. (2014). Developmental trends in sleep duration in
Ge, X., Conger, R. D., & Elder, G. H., Jr. (2001). Pubertal transition, stressful life events, adolescence and young adulthood: evidence from a national United States sample.
and the emergence of gender differences in adolescent depressive symptoms. Journal of Adolescent Health, 54(6), 691–697.
Developmental Psychology, 37(3), 404–417. McDade, T. W., Chyu, L., Duncan, G. J., Hoyt, L. T., Doane, L. D., & Adam, E. K. (2011).
Gill, D., Brewer, C. F., Fabiola Del Greco, M., Sivakumaran, P., Bowden, J., Adolescents’ expectations for the future predict health behaviors in early adulthood.
Sheehan, N. A., et al. (2018). Age at menarche and adult body mass index: A Social Science & Medicine, 73(3), 391–398.
mendelian randomization study. International Journal of Obesity, 42(9), 1574–1581. Mendle, J., & Ferrero, J. (2012). Detrimental psychological outcomes associated with
Goddings, A. L., Burnett Heyes, S., Bird, G., Viner, R. M., & Blakemore, S. J. (2012). The pubertal timing in adolescent boys. Developmental Review, 32(1), 49–66.
relationship between puberty and social emotion processing. Developmental science, Mendle, J., & Koch, M. K. (2019). The psychology of puberty: What aren’t we studying
15(6), 801–811. that we should? Child Development Perspectives, 13(3), 166–172.
Gordon-Larsen, P., McMurray, R. G., & Popkin, B. M. (2000). Determinants of adolescent Mendle, J., Ryan, R., & McKone, K. (2018). Age at menarche, depression, and antisocial
physical activity and inactivity patterns. Pediatrics, 105(6), E83. behavior in adulthood. Pediatrics, 141(1), e20171703.
Clausen, J. A. (1975). The social meaning of differential physical and sexual maturation. Mendle, J., Turkheimer, E., & Emery, R. E. (2007). Detrimental psychological outcomes
In S. E. Dragastin, & G. H. Elder (Eds.), Adolescence in the Life Cycle: Psychological associated with early pubertal timing in adolescent girls. Developmental Review, 27
Change and Social Context. New York: Halstead Press. (2), 151–171.
Conley, C. S., & Rudolph, K. D. (2009). The emerging sex difference in adolescent Mora, R. (2012). “Do it for all your pubic hairs!” Latino boys, masculinity, and puberty.
depression: Interacting contributions of puberty and peer stress. Development and Gender & Society, 26(3), 433–460.
psychopathology, 21(2), 593–620. Morales-Chicas, J., & Graham, S. (2015). Pubertal timing of latinas and school
Crockett, L. J., & Petersen, A. C. (1987). Pubertal status and psychosocial development: connectedness during the transition to middle school. Journal of Youth and
Findings from the Early Adolescence Study. In R. M. Lerner, & T. T. Foch (Eds.), Adolescence, 44(6), 1275–1287.
Biological-Psychosocial Interactions in Early Adolescence (pp. 173–188). Hillsdale, New Natsuaki, M. N., Biehl, M. C., & Ge, X. (2009). Trajectories of depressed mood from early
Jersey: Lawrence Erlbaum Associations, Publishers. adolescence to young adulthood: The effects of pubertal timing and adolescent
de Guzman, N. S., & Nishina, A. (2014). A longitudinal study of body dissatisfaction and dating. Journal of Research on Adolescence, 19(1), 47–74.
pubertal timing in an ethnically diverse adolescent sample. Body Image, 11(1), 68– Parent, A.-S., Teilmann, G., Juul, A., Skakkebaek, N. E., Toppari, J., & Bourguignon, J.-P.
71. (2003). The timing of normal puberty and the age limits of sexual precocity:
Graber, J. A., Lewinsohn, P. M., Seeley, J. R., & Brooks-Gunn, J. (1998). Is Variations around the world, secular trends, and changes after migration. Endocrine
psychopathology associated with the timing of pubertal development? Annual Reviews, 24(5), 668–693.
Progress in Child Psychiatry and Child Development, 36(12), 1768–1776. Perreira, K. M., Deeb-Sossa, N., Harris, K. M., & Bollen, K. (2005). What are we
Hakim, C. (2003). A new approach to explaining fertility patterns: Preference theory. measuring? An evaluation of the CES-D across race/ethnicity and immigrant
Population and Development Review, 29(3), 349–374. generation. Social Forces, 83(4), 1567–1601.
Halfon, N., & Hochstein, M. (2002). Life course health development: An integrated Petersen, A. C., & Taylor, B. (1980). The biological approach to adolescence: Biological
framework for developing health, policy, and research. The Milbank Quarterly, 80(3), change and psychological adaptation. In J. Adelson (Ed.), Handbook of adolescent
433–479. psychology (pp. 117–155). New York, NY: Wiley.
Harris, K. (2010). An integrative approach to health. Demography, 47(1), 1–22. Prentice, P., & Viner, R. (2012). Pubertal timing and adult obesity and cardiometabolic
Harris, K. (2013). The Add health study: Design and accomplishments. Retrieved from. risk in women and men: A systematic review and meta-analysis. International Journal
Hayford, S. R. (2009). The evolution of fertility expectations over the life course. of Obesity, 1–8.
Demography, 46(4), 765–783. Prentice, P., & Viner, R. M. (2013). Pubertal timing and adult obesity and
Herbert, A. C., Ramirez, A. M., Lee, G., North, S. J., Askari, M. S., West, R. L., et al. cardiometabolic risk in women and men: A systematic review and meta-analysis.
(2017). Puberty experiences of low-income girls in the United States: A systematic International Journal of Obesity, 37(8), 1036.
review of qualitative literature from 2000 to 2014. Journal of Adolescent Health, 60 Radloff, L. S. (1991). The use of the Center for Epidemiologic Studies Depression Scale in
(4), 363–379. adolescents and young adults. Journal of youth and adolescence, 20(2), 149–166.
Hertzman, C., & Boyce, T. (2010). How experience gets under the skin to create gradients Rudolph, K. D., Troop-Gordon, W., Lambert, S. F., & Natsuaki, M. N. (2014). Long -term
in developmental health. Annual Review of Public Health, 31, 329–347. consequences of pubertal timing for youth depression: Identifying personal and
Hoyt, L. T., & Falconi, A. M. (2015). Puberty and perimenopause: Reproductive contextual pathways of risk. Development and Psychopathology, 26(4pt2), 1423–1444.
transitions and their implications for women’s health. Social Science & Medicine, 132, Seaton, E. K., & Carter, R. (2017). Pubertal timing, racial identity, neighborhood, and
103–112. school context among black adolescent females. Cultural Diversity and Ethnic Minority
Huddleston, J., & Ge, X. (2003). Boys at puberty: Psychosocial implications. In Psychology, 24(1), 40–50.
C. Hayward (Ed.), Gender differences at puberty (pp. 113–134). Cambridge, UK: Simmons, R. G., Blyth, D. A., Van Cleave, E. F., & Bush, D. M. (1979). The emerging sex
Cambridge University Press. difference in adolescent depression: Interacting contributions of puberty and peer
stress. Development and psychopathology, 948–967.

11
L.T. Hoyt et al. SSM - Population Health 10 (2020) 100549

Simpkins, S. D., Schaefer, D. R., Price, C. D., & Vest, A. E. (2013). Adolescent friendships, Wachter, K. W., & Bulatao, R. (2003). Offspring: Human fertility behavior in biodemographic
BMI, and physical activity: untangling selection and influence through longitudinal perspective. Washington, DC, USA: National Academies Press.
social network analysis. Journal of Research on Adolescence, 23(3), 537–549. Weichold, K., Silbereisen, R. K., & Schmitt-Rodermund, E. (2003). Short-term and long-
StataCorp. (2017). Stata statistical software: Release 15. College Station, TX: StataCorp term consequences of early versus late physical maturation in adolescents. In
LLC. C. Hayward (Ed.), Gender differences at puberty (pp. 241–276). New York, NY:
Stubbs, M. L. (2008). Cultural perceptions and practices around menarche and Cambridge Univerisity Press.
adolescent menstruation in the United States. Annals of the New York Academy of White, R. M. B., Deardorff, J., & Gonzales, N. A. (2012). Contextual amplification or
Sciences, 1135, 58–66. attenuation of pubertal timing effects on depressive symptoms amon g Mexican
Taga, K. A., Markey, C. N., & Friedman, H. S. (2006). A longitudinal investigation of American girls. Journal of Adolescent Health, 50(6), 565–571. https://doi.org/
associations between boys’ pubertal timing and adult behavioral health and well- 10.1016/j.jadohealth.2011.10.006.
being. Journal of Youth and Adolescence, 35(3), 380–390. White, R. M. B., Deardorff, J., Liu, Y., & Gonzales, N. A. (2013). Contextual amplification
Tamakoshi, K., Yatsuya, H., Tamakoshi, A., & Group, J. S. (2011). Early age at menarche or attenuation of the impact of pubertal timing on Mexican-origin boys’ mental
associated with increased all-cause mortality. European Journal of Epidemiology, 26 health symptoms. Journal of Adolescent Health, 53(6), 692–698.
(10), 771–778. Yermachenko, A., & Dvornyk, V. (2014). Nongenetic determinants of age at menarche: A
Wachter, K. W. (2008). Biodemography comes of age. Demographic Research, 19(40), systematic review. BioMed Research International, 371583. 2014.
1501–1512.

12
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
BADAN PENGEMBANGAN DAN PEMBERDAYAAN
SUMBERDAYA MANUSIA KESEHATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KENDARI
JL.Jend. Nasution No. G.14 Anduonohu, Kota kendari 93232
Telp. (0401) 390492.Fax(0401) 393339 e-mail: poltekkeskendari@yahoo.com

SURAT KETERANGAN BEBAS PUSTAKA


NO: UT.04.01/1/349/2020

Yang bertanda tangan di bawah ini Kepala Unit Perpustakaan Politeknik Kesehatan
Kendari, menerangkan bahwa :

Nama : FITRIANI YUSUF


NIM : P00312016019
Tempat Tgl. Lahir : Punggaluku, 25 Januari 1999
Jurusan : D-IV Kebidanan
Alamat : Wua - Wua
Benar-benar mahasiswa yang tersebut namanya di atas sampai saat ini tidak
mempunyai sangkut paut di Perpustakaan Poltekkes Kendari baik urusan peminjaman buku
maupun urusan administrasi lainnya.
Demikian surat keterangan ini diberikan untuk digunakan sebagai syarat untuk
mengikuti ujian akhir pada Tahun 2020

Kendari, 05 Oktober 2020

Kepala Unit Perpustakaan


Politeknik Kesehatan Kendari

Irmayanti Tahir, S.I.K


NIP. 19750914199903200

Anda mungkin juga menyukai