Anda di halaman 1dari 172

AKOMODASI KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA PADA

PENYESUAIAN DIRI MAHASISWA PERANTAUAN


ASAL SUMATRA DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S.Sos)

Disusun Oleh:
MAUDI MARDIYATI
NIM: 11170510000027

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
AKOMODASI KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA PADA
PENYESUAIAN DIRI MAHASISWA PERANTAUAN
ASAL SUMATRA DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana (S.Sos)

Oleh:
Maudi Mardiyati
11170510000027

Pembimbing :

Ade Rina Farida, M.Si


NIP. 1977051 320070 1 2018

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul “Akomodasi Komunikasi Antar Budaya Pada


Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta” telah diujikan dalam sidang munaqosah
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta pada Kamis 29 Juli 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi
Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta, 29 Juli 2021

SIDANG MUNAQOSAH

Ketua Sekretaris

Dr. Armawati Arbi, M.Si Dr. H. Edi Amin, S.Ag, MA


NIP. 196502071991032002 NIP. 197609082009011010

Penguji I Penguji II

Burhanuddin, MA
NIP.196902052014111002

Dosen Pembimbing

Ade Rina Farida, M.Si


NIP. 1977051 320070 1 2018
LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Maudi Mardiyati

NIM : 11170510000027

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Akomodasi


Komunikasi Antar Budaya pada penyesuaian diri Mahasiswa
Perantauan asal Sumatra di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”
adalah benar merupakan karya penulis dan tidak melakukan tindakan
plagiat dalam penyusunannya. Adapun pengutipan yang ada dalam
penyusunan karya ini telah penulis cantumkan sumber kutipannya dalam
skripsi. Penulis bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata skripsi ini
sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.

Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan semestinya.

Tangerang Selatan, 7 Juni 2021

Maudi Mardiyati
11170510000027
ABSTRAK
Maudi Mardiyati
NIM: 11170510000027
Akomodasi Komunikasi Antar Budaya Pada Penyesuaian Diri
Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
Perbedaan budaya bisa menjadi hambatan dalam berkomunikasi
dengan adanya kesalahan persepsi disetiap individu. Bagi orang-orang
yang baru keluar dari tempat nyamannya yaitu daerah asalnya, mereka
akan cukup sulit dalam menyesuaikan diri dilingkungan yang baru, hal
ini juga sering dialami mahasiswa UIN Jakarta asal Sumatra.
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka dalam penelitian ini
bermaksud menjawab sebuah pertanyaan yaitu Bagaimana Akomodasi
Komunikasi Yang Terjadi Pada Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan
Asal Sumatra Di Uin Syarif Hidayatullah Jakarta? Seperti Apa Fase-Fase
Adaptasi Budaya Yang Terjadi Pada Penyesuaian Diri Mahasiswa
Perantauan Asal Sumatra Di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang
menghasilkan data deskriptif dan tertulis, peneliti melakukan
wawancara, observasi, studi kepustakaan, dan dokumentasi. Penelitian
ini menggunakan teori akomodasi komunikasi yang mencakup tiga
tahapan adaptasi yaitu konvergensi, divergensi, akomodasi berlebihan.
Peneliti juga menggunakan teori adaptasi budaya memiliki empat fase
yaitu Honeymoon, Frustation, Readjustment, Resolution.
Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Akomodasi
komunikasi terlihat para informan cenderung memilih konvergensi
sebagai tindakan yang mereka ambil, mereka lebih berusaha
menyesuaikan dirinya di tempat mereka merantau. Sedangkan pada teori
adaptasi budaya penyesuaian diri para informan sudah menerapkan fase-
fase Honeymoon, Frustation, Readjustment, Resolution. Dalam
adaptasinya setiap perantau memiliki hasil yang berbeda, baik dalam
proses adaptasi, maupun cara adapatasi yang dipilih.

Kata Kunci: KAB, Adaptasi, Akomudasi, Perantau, Sumatra

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha


Penyayang. Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
yang telah memberikan banyak nikmat, nikmat iman, nikmat Islam, dan
kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam semoga selalu tercurahkan untuk baginda Nabi Muhammad
SAW, semoga kita termasuk umat-NYA yang mendapatkan pertolongan
di hari kiamat.

Allhamdulillahi Rabbil’alamin, berkat usaha dan do’a demi


menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Akomodasi Komunikasi
Antar Budaya Pada Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Asal
Sumatra Di U IN Syarif Hidayatullah Jakarta” dapat terselesaikan.
Penulis menyadari banyaknya bantuan, motivasi serta bimbingan dari
berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin berterimakasih kepada yang
terhormat:

1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., MA


sebagai Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Suparto, M.Ed, Ph.D sebagai Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi beserta jajaran Wakil Dekan.
3. Dr. Armawati Arbi M.Si. sebagai Ketua Jurusan Komunikasi
dan Penyiaran Islam dan Dr. H. Edi Amin M.A. sebagai
Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, beserta
staff Tata Usaha dan Perpustakaan Utama Universitas Islam

ii
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu selama
penulis melakukan studi.
4. Ade Rina Farida, M.Si. sebagai Dosen Pembimbing, yang
sudah dengan sabar membimbing penulis dan meluangkan
waktu, energi dan juga ilmu yang ibu berikan kepada saya
selama proses pengerjaan skripsi ini berlangsung.
5. Fita Fathurokhmah, M.Si sebagai Dosen Pembimbing
Akademik yang senantiasa memberikan masukkan dan nasehat
dalam bimbingan akademik.
6. Seluruh dosen Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam UIN Syarif
Hidayathullah Jakarta yang tidak dapat penulis tuliskan satu per
satu, terima kasih atas ilmu dan pengalaman yang didapat
selama perkuliahan.
7. Orang tua penulis papa dan mama yang senantiasa mendukung
dan memberikan segala doa, kasih sayang, dan motivasi kepada
penulis.
8. Teman-teman UKM Bahasa-FLAT UIN Jakarta yang sudah
menemani perjalanan penulis selama 4 tahun menuntut ilmu di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
9. Teruntuk teman-teman KPI 2017 yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu namanya yang sudah menjadi bagian dari
penulis semasa menuntut ilmu perguruan negeri.
10. Para responden yang sudah bersedia penulis wawancarai.
11. Teman-teman yang sudah sangat bersedia menjadi teman dekat
penulis yaitu Bazlin Fadilah, Nurlela, Nur Aliyah, Fakhrazade

iii
Kafabihi atas dukungan sekaligus bersabar dalam menghadapi
sikap penulis selama perkuliahan berlangsung.
12. Teruntuk kak Agung Apriliani, Nurlela dan juga Rena Aprilia
yang telah mengingatkan dan memberikan masukan serta do’a
kepada penulis sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.
Demikian ucapan terimaksih yang dapat penulis
sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu mulai
dari awal penulisan hingga skripsi ini dapat terselesaikan,
semoga Allah SWT membalas semua kebaikan mereka dan
semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis juga seluruh
pihak yang membaca Aamiin yarabbalalamin.

Jakarta, Juni 2021

(Maudi Mardiyati)

iv
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PERNYATAAN.........................................................

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ..............

ABSTRAK .................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................ v

DAFTAR TABEL ........................................................................ viii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................ 1


A. Latar Belakang ...................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................... 8
C. Pembatasan Masalah .............................................................. 9
D. Rumusan Masalah .................................................................. 9
E. Tujuan Penelitian ................................................................... 9
F. Manfaat Penelitian .................................................................. 10
G. Kajian Terdahulu .................................................................... 11
H. Metodologi Penelitian ........................................................... 14

BAB II TINJAUAN TEORITIS ................................................. 23


A. Teori Akomodasi Komunikasi ............................................... 23
B. Komunikasi Antar Budaya ..................................................... 34
C. Adaptasi Budaya ..................................................................... 41

v
BAB III GAMBARAN UMUM .................................................. 45
A. Karakteristik Masyarakat Sumatra ......................................... 45
B. Data Jumlah Mahasiswa UIN Jakarta .................................... 55
C. Deskripsi Informan Penelitian ................................................ 55

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ....................... 63


A. Akomodasi Komunikasi Yang Terjadi Pada Penyesuain
Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra ........................... 65
B. Fase-Fase Adaptasi Budaya Yang Terjadi Pada Penyesuain
Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra ........................... 76

BAB V PEMBAHASAN ............................................................. 93


A. Analisis Akomodasi Komunikasi Yang Terjadi Pada
Penyesuain Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra ........ 95
B. Analisis Fase-Fase Adaptasi Budaya Yang Terjadi Pada
Penyesuain Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra ........ 100

BAB VI PENUTUP...................................................................... 109


A. Simpulan ................................................................................. 109
B. Kritik & Saran ........................................................................ 110

DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 112


LAMPIRAN ................................................................................. 118

vi
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1.1 Mahasiswa Terdaftar UIN Jakarta 2019/2020 ............... 6

Tabel 1.2 Kajian Terdahulu ........................................................... 10

Tabel 3.1 Data Jumlah Mahasiswa asal Sumatra 2020/2021 ........ 54

Tabel 3.2 Data Singkat Informan .................................................. 61

Tabel 3.3 Data Singkat Informan Pendukung ............................... 61

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Komunikasi bukanlah sekedar percakapan antar individu, atau


pertukaran informasi semata. Banyak hal yang bisa mempengaruhi
bagaimana komunikasi itu dapat dengan mulus terjadi atau tidak,
salah satunya adalah latar belakang budaya atau suku bangsa.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. Budaya bersifat
kompleks,abstrak dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan
prilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan
meliputi banyak kegiatan sosial manusia1

Dalam komunikasi, kebudayaan menjadi salah satu faktor


yang berpengaruh dalam kelanjutan suatu hubungan. Berinteraksi
atau berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda kebudayaan
merupakan pengalaman baru yang selalu kita hadapi, latar belakang
budaya yang dimiliki seseorang menjadi pengaruh yang besar
karena didalamnya terdapat sikap dan ciri-ciri khusus yang berbeda-
beda tergantung daerahnya masing-masing.

Sebagai contoh, orang sumatera jika berkomunikasi terkenal


keras dan tegas, berbeda dengan orang jawa atau sunda yang lunak

1
Deddy Mulyana dan Jalaludin Rahmat, Komunikasi Antar Budaya,
(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2005), h. 24.

1
2

ketika berbicara. Ciri-ciri seperti itu yang kemudian menyebabkan


munculnya 'noise’ dalam komunikasi.

Proses adaptasi menjadi suatu kejadian alamiah yang pasti


dilalui oleh tiap individu dalam berinteraksi di lingkungnnya. Akan
tetapi, pada prakteknya seringkali tercipta perbedaan yang
signifikan dalam adaptasi yang terjadi sekalipun berasal dari daerah
yang sama. Sebagai contoh, dua orang mahasiswa baru asal
Sumatera yang mengalami culture shock di Jakarta, bukan tidak
mungkin salah satunya akan mengalami adaptasi yang akomodatif,
sedangkan yang lainnya menjadi resistant terhadap budaya Jakarta.

Perkembangan teknologi menjadi salah satu faktor yang


berpengaruh dalam perkembangan komunikasi antar budaya.2 Pada
umumnya, perbedaan budaya dapat memengaruhi orang yang
berkomunikasi. Dengan kata lain, perbedaan yang ada dapat
mengakibatkan berbagai macam kesulitan atas solusi pada proses
komunikasi.3 Perbedaan budaya bisa menjadi hambatan dalam
berkomunikasi dengan adanya kesalahan persepsi disetiap individu.
Bagi orang-orang yang baru keluar dari tempat nyamannya yaitu
daerah asalnya, mereka akan cukup sulit dalam menyesuaikan diri
dilingkungan yang baru, jika tidak terbiasa dengan mudah
beradaptasi dilingkungan baru.

2
Ahmad Sihabudin, Komunikasi Antar budaya: Satu Perspektif
Multidimensi, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2013), h.13.
3
Joseph A. Devito, Komunikasi Antar manusia, (Jakarta: Profesional Books,
1997). h.7.
3

Hal ini sering dialami bagi mahasiswa Sumatra yang


menempuh pendidikan di pulau Jawa, pulau Jawa menjadi pusat dari
perekonomian, pemerintahan, dan pendidikan, sehingga dapat
dengan mudah menarik minat remaja untuk menuntut ilmu di pulau
jawa. Transisi mahasiswa yang semula bertempat tinggal dengan
orang tua menghadapkan mahasiswa pada perubahan-perubahan
dan tuntutan-tuntutan baru.

Perubahan tersebut adalah lingkungan yang baru dan irama


kehidupan yang baru. Sementara tuntutan yang harus dihadapi
mahasiswa perantau adalah tuntutan dalam bidang kemandirian
tanggung jawab dan penyesuaian diri dengan lingkungan barunya.
Keseluruhan proses hidup dan kehidupan mahasiswa akan selalu
diwarnai oleh hubungan dengan orang lain, di lingkungan kampus
yaitu teman dan dosen maupun masyarakat luas.

Selain itu, interaksi serta penyesuaian diri mahasiswa Sumatra


dengan budaya dan lingkungan baru sangat dibutuhkan untuk
mendapatkan kenyamanan dalam beradaptasi agar tidak
terjadi”noise”. Sebagai mahluk sosial, para mahasiswa selalu
membutuhkan pergaulan dalam hidupnya dengan orang lain,
pengakuan dan penerimaan terhadap dirinya dari orang lain akan
memberikan warna kehidupan yang sebenarnya.

Pada penelitian yang dilakukan oleh benandra masryah


sasdana, salah satu lulusan universitas sriwijawa. Ia mengemukakan
Gambaran Umum Gejala Culture Shock Mahasiswa Perantau, yaitu
meningkatnya pengalaman diri , mandiri, interaksi sosial,
4

meningkatnya percaya diri , kangen rumah (homesick) , kesepian


dan tidur berlebih, motivasi, stres berlebih.4

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, Indonesia


memiliki sebanyak 1.340 suku dan 300 etnis. Lingkungan
Universitas sendiri memiliki peluang yang besar untuk terjadinya
komunikasi antarbudaya. Saat seseorang memilih universitas
sebagai salah satu tujuan untuk melanjutkan pendidikan, ada
beberapa hal yang dipertimbangkan seperti, akreditas universitas,
letak kota, biaya hidup, dan keamanan.5

Budaya dan lingkungan baru dapat menimbulkan gejala fisik


seperti stress, frustasi, serta susah beradaptasi dalam menerima
nilai-nilai sosial baru, yang tentunya hal ini akan memakan waktu
yang cukup lama. Pada umumnya penyesuaian diri sosial sangat
diperlukan oleh mahasiswa perantauan, karena mahasiswa
perantauan menghadapi perubahan di lingkungan baru yang berbeda
adat, norma, dan kebudayaan, sehingga penyesuaian diri yang baik
dibutuhkan.

Penelitian ini menjelaskan suatu proses adaptasi antarbudaya


dengan adanya bentuk akomodasi komunikasi. Akomodasi
komunikasi didefiniskan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan,

4
Benandra Masryah Sasdana, “Pengaruh Efektivitas Komunikasi Antar
Budaya Terhadap Adabtasi Mahasiswa (Studi Terhadap Mahasiswa Perantau Di
Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya Angkatan 2015 - 2016)”
h. 7.
5
Artikel Pendidikan Generasi Millennial | IDN Times
5

memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang dalam responnya


tehadap orang lain.6

Setiap orang tentunya ingin mencapai komunikasi yang efektif


ketika berinteraksi dengan orang lain, begitu pula pada
mahasiswa yang berasal dari Sumatra ini sebagai mahasiswa yang
merantau di Ibu Kota, yang secara latar belakang memiliki budaya
yang berbeda dengan kehidupan sehari-hari masyarakat asli
Sumatra. Kemampuan perantau berinteraksi dengan lingkupan baru
tidak selalu lancar dikarenakan perbedaan dari mulai kepribadian
dan kebudayaan, membuat mahasiswa asal Sumatra harus
beradaptasi dengan lingkungan barunya tersebut.

Ketidak pastian mengenai bagaimana hidup secara mandiri,


kecemasan mengenai apakah mampu untuk dapat berbaur dengan
lingkungan baru, serta persepsi relasi antar pribadi yang dialami
mahasiswa asal Sumatra, menjadi permasalah yang di alami
mahasiswa asal Sumatra dalam berinteraksi di lingkungan baru.
Ketidakpastian, kecemasan, juga persepsi terhadap relasi antar
pribadi tersebut, mempengaruhi proses penyesuaian diri mahasiswa
rantau. Sehingga agar komunikasi berjalan efektif, memerlukan
adanya sebuah akomodasi komunikasi.

UIN Syarif Hidayatullah merupakan lembaga pendidikan


yang berbasis islami. Banyak mahasiswanya bukan hanya lulusan
dari MAN saja, tetapi banyak dari mereka yang berasal dari SMA

6
Richard West dan Lynn H. Turner , terj Maria Natalia dan Damayantu
Maer, PengantarTeori Komunikasi (Jakarta, Salemba Humanika, 2008), h. 217.
6

atau SMK. Bahkan sebagian dari mereka ada yang berasal dari
pesantren yang memiliki ijazah sederajat dengan SMA. Disamping
itu, latar belakang ekonomi juga berbeda-beda, dari menengah
kebawah sampai menengah keatas dengan variasi profesi yang
berbeda pula.

Mahasiswa Terdaftar UIN Jakarta periode 2019/2020

Tabel 1.17

No. Jenis Kelamin Mahasiswa Terdaftar

1 LAKI-LAKI 10406

2 PEREMPUAN 15814

Jumlah 26.220

Dari tabel di atas nampak jelas bahwa mahasiswa UIN Jakarta


berasal dari komunitas yang beragam. Keberagaman ini akan
memiliki implikasi yang beragam pula terhadap kadar kebudayaan
yang baru perantau rasakan dan kadar pengaruhnya terhadap
penyesuaian diri.

Banyaknya pemuda-pemudi yang minat untuk melanjutkan


pendidikan di kampus ini, Hal ini tentu menimbulkan atmosfir

7
Website PPDIKTI-Pangkalan Data Pendidikan Tinggi
(https://pddikti.kemdikbud.go.id/data_pt/NEEwMTc4NTgtMDU5RS00NkY1LUI3Qz
EtMzY5NjUwMURGQTA0)
7

pergaulan yang sangat berbeda dari sebelumnya, yang mungkin saja


menimbulkan sebuah masalah dalam proses pembauran masyarakat
lokal dengan perantau. Oleh karena itu, UIN Jakarta menjadi lokasi
penelitian yang sangat ideal untuk melihat bagaimana adaptasi
terjadi dalam komunikasi mahasiswanya.

Pada penelitian yang dilakukan penulis, penulis menemukan


bahwa sebagian besar dari para informan terlihat merasa cemas dan
takut tidak bisa menyesuaikan diri di tempat perantauannya yaitu
dilingkungan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Adanya
perbedaan cara berbicara,interaksi sehari-hari, logat dan nada
berbicara, menjadi faktor penghambat utama para informan dalam
penyesuain dirinya dilingkungan kampus.

Adanya perbedaan di dunia ini tidak perlu dipertanyakan


mengapa manusia tidak sama dan serupa, termasuk juga budayanya.
Kemana pun kita pergi pasti menemukan perbedaan sehingga harus
diterima dengan lapang dada keberadaaanya. Perbedaan pada
dasarnya adalah desain Tuhan dengan maksud untuk saling
mengenal satu sama lain. Seperti dijelaskan dalam Surat Al- Hujurat
ayat 13 yang berbunyi:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu


dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
8

kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia


diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (QS. Hujuraat, 49; 13)8
Ayat ini menjelaskan bahwa manusia perlu menjalin
hubungan dengan sesama manusia, walaupun memiliki perbedaan,
namun sudah sepatutnya manusia satu dengan manusia lainnya
saling menghargai, saling menjaga dan menghormati satu sama lain.
Demikian yang membuat Peneliti merasa perlu untuk
meniliti fenomena ini dalam kerangka komunikasi antarbudaya,
mengingat pentingnya pengetahuan komunikasi antar budaya dalam
hal yang lebih dalam bagi individu yang masuk disebuah lingkungan
baru. Dari latar belakang di atas peneliti menarik judul “Akomodasi
Komunikasi Antar Budaya Pada Penyesuaian Diri Mahasiswa
Perantauan Asal Sumatra Di Uin Syarif Hidayatullah Jakarta”.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjelasan diatas, penulis menemukan
identifikasi masalah yaitu banyaknya Mahasiswa perantauan yang
sulit untuk berkomunikasi dengan baik ketika mulai keluar dari zona
nyamannya atau lokasi tempat tinggalnya sehingga banyak pula
pengaruh yang didapatkan baik positif maupun negatif bagi
mahasiswa perantauan terkait budaya yang berbeda dari yang ia
pelajari saat kecil. Sehingga mengakibatkan pembentukan konsep
diri bagi para perantau melalui komunikasi yang terjalin.

8
Departemen Agama RI, “Al-Qur’an dan terjemahannya”, (Bandung: CV.
Penerbit Jummatul Ali, 2005). h. 229.
9

C. Pembatasan Masalah
Agar batasan masalah lebih terarah, maka peneliti
memfokuskan penelitian pada “Mahasiswa perantauan asal Sumatra
di UIN Jakarta”. Pembatasan ini dilakukan agar penulis menjadi
fokus dan terarah dalam memproses pencarian data. Selain itu,
pembatasan masalah ini berguna untuk menghindari perluasan
pembahasan.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana Akomodasi Komunikasi Yang Terjadi Pada
Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta?
2. Seperti Apa Fase-Fase Adaptasi Budaya Yang Terjadi Pada
Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, maka dapat
dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Mengetahui Proses Akomodasi Komunikasi Terhadap
Penyesuaian Diri Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Melihat Fase-Fase Adaptasi Budaya Yang Terjadi Pada
Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10

F. Manfaat Penelitian
1. Signifikansi Praktis
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan
pemahaman mengenai bagaimana perbedaan budaya
mempengaruhi adaptasi individu lebih dari yang kita bayangkan.
Proses adaptasi bukan hanya proses penyelarasan nilai yang
dimiliki, tetapi lebih kepada pengakuan dan penerimaan nilai-
nilai asing yang dimiliki dan diterima. Adaptasi bukanlah suatu
proses yang mudah untuk dilakukan. Sehingga khalayak secara
umum serta kalangan akademisi khususnya mampu melihat
proses ini sebagai hal yang menentukan perkembangan hubungan
dalam komunikasi seseorang.
2. Signifikansi Akademis
Dengan adanya kajian dan penelitian ini, diharapkan bisa
diketahui ceruk-ceruk penting dalam komunikasi antar budaya
sehingga bisa dilakukan komunikasi yang baik. Lebih jauh, hasil
penelitian ini bisa menjadi bahan identifikasi gejala-gejala sosial
tentang komunikasi antar budaya yang berhubungan dengan pola
komunikasi, adaptasi dan komunikasi budaya.
11

G. Kajian Terdahulu

Nama Judul &


No Persamaan Perbedaan
Pengarang Tahun Terbit

1 Hajriadi Culture Shock Penelitian ini Pada


Dalam sama-sama penelitian
Komunikasi membahas, Hajriadi,
Antar Budaya proses subjeknya
(Studi perubahan diri adalah
Deskritif serta Mahasiswa
Kualitatif Pada hambatan- Musi
Ikatan Pelajar hambatan Banyuasin di
Mahasiswa yang timbul, Yogyakarta.
Musi bagi Sedangkan
Banyuasin Di mahasiswa subjek yang
Yogyakarta) yang saya teliti
merantau, adalah
2017
mahasiswa
rantau UIN
Jakarta yang
beraasal
Sumatra
12

2 Radha Penyesuaian Penelitian ini Perbedaan


Avirasari Diri sama-sama terletak pada
Abidin Mahasiswa membahas subjek
Palembang penyesuaian penelitian
Pada Budaya diri yang tidak
Solo mahasiswa sama dan juga
perantauan. penggunaan
2017
teori yang
berbeda.

3 Bingah Esa Perubahan Penelitian ini Penelitian


Nugraha Perilaku sama-sama Bingah
Konsumtif menjelaskan berfokus pada
Pada perubahan aspek dan
Mahasiswa yang terjadi pengaruh
Perantauan dan cara perilaku
(Studi Kasus mahasiswa konsumtif,
Mahasiswa rantau sedangkan
Pendidikan menyesuaikan penelitian
Ilmu dirinya di saya
Pengetahuan lingkupan memfokuskan
Sosial) baru. pada strategi
komunikasi
2019
antar budaya
13

4 Benadra Pengaruh Penelitian ini Penelitian


Marsyah Efektivitas sama-sama Benadra
Sasdana Komunikasi menggunakan menggunakan
Antar Budaya teori pengumpulan
Terhadap Komunikasi data dengan
Adabtasi Antar Budaya perhitungan
Mahasiswa statistik
(Studi (kuantitatif),
Terhadap sedangkan
Mahasiswa saya
Perantau Di menggunakan
Fakultas Ilmu kualitatif,
Sosial Dan dengan
Ilmu Politik melakukan
Universitas wawancara
Sriwijaya secara
Angkatan 2015 langsung.
- 2016)

2018
14

H. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif dengan jenis penelitiannya adalah analisis
deskriptif. Obyek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah
makna dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan
kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh
gambaran mengenai kategorisasi tertentu.9
Analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif
analitik, yaitu mendeskripsikan data yang dikumpulkan berupa
kata-kata, gambar, dan bukan angka. Data yang berasal dari
naskah, wawancara, catatan lapangan, dokuman, dan sebagainya,
kemudian dideskripsikan sehingga dapat memberikan kejelasan
terhadap kenyataan atau realitas.10
Menurut Sugiyono metode penelitian kualitatif adalah
metode penelitian yang digunakan untuk meneliti pada kondisi
objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen)
dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan)
analisis data bersifat induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih
menekankan makna dari pada generalisasi.11

9
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey,
(Jakarta: LP3ES, 1995), h. 220.
10
Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1997), h. 66.
11
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2009), h.
2.
15

Adapun alasan penggunaan metode ini adalah karena ia


lebih mampu mendekatkan peneliti dengan objek yang dikaji,
sebab peneliti langsung mengamati objek yang dikaji dengan kata
lain peneliti bertindak sebagai alat utama riset (human
instrument).12
Penyajian yang dilakukan peneliti yaitu dengan cara
mendeskripsikan hasil sebuah penelitian tentang strategi
komunikasi antar budaya bagi mahasiswa perantauan asal
Sumatra di UIN Jakarta secara sistematis, faktual dan akurat
tentang fakta-fakta bagi perantau yang mereka alami saat
menyesuakan diri, baik hambatan-hambatannya maupun langkah
apa saja yang mereka gunakan dan pelajari saat menyocokkan
dirinya dilingkungan yang baru.
Pendeskripsian penelitian ini juga dilakukan bertujuan
untuk menggambarkan realitas yang sedang terjadi. Dengan
demikian, penulis memilih metode penelitian kualitatif sebagai
metode yang tepat untuk menganalisis.
2. Paradigma Penelitian
Dalam penelitian ini penulis menggunakan paradigma
konstruktivisme. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai
analisis sistematis socially meaningful action melalui
pengamatan langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang
bersangkutan menciptakan dan mengelola dunia sosial mereka.13.

12
HB Sutopo. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan
Terapannya Dalam Penelitian. (Surakarta: UNS Press,2002). h. 35-36.
13
Dedy N. Hidayat, Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial Empirik
Klasik. (Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia, 2003), h.
3.
16

Lebih jauh, paradigma konstruktivisme ialah paradigma dimana


kebenaran suatu realitas sosial dilihat sebagai hasil konstruksi
sosial, dan kebenaran suatu realitas sosial bersifat relatif.
Paradigma ini akan sesuai digunakan pada penelitian
strategi komunikasi antar budaya yang berpengaruh pada
mahasiswa perantauan, khususnya asal Sumatra di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, sehingga permasalahan yang didapatkan
oleh subjek akan ditemukan menggunakan paradigma ini, yang
bisa menjelaskan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya
yang didasarkan pada perspektif dan pengalaman subjek yang
diteliti, terhadap penyusuain dirinya pada lingkungan baru.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data adalah proses pengumpulan data
secara sistematis untuk mempermudah peneliti dalam
memperoleh kesimpulan. Analisis data menurut Bogdan dalam
Sugiyono yaitu proses mencari dan menyusun secara sistematik
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan
bahan-bahan lain sehingga dapat mudah dipahami dan
temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.14
Setelah penulis mengumpulkan data-data yang
diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis akan mengolah dan
mengalisa data dengan menggunakan teknik analisis data yang
dipopulerkan oleh Miles dan Huberman, diantaranya adalah15:
a. Pengumpulan Data

14
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2009). h.
334.
15
Milles dan Huberman, Analisis Data Kualitatif, (Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1992), h. 16.
17

Data dikumpulkan berdasarkan teknik pengumpulan data yang


meliputi observasi dan wawancara mendalam.
b. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan
tertulis di lapangan. Peneliti akan menyeleksi atau memilih
data, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak
perlu dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian
rupa hingga kesimpulan dan verifikasi.
c. Penyajian data
Dalam penyajian data ini, seluruh data yang berupa hasil
wawancara dan dokumentasi akan dianalisis sesuai dengan
teori yang telah dipaparkan sebelumnya. Dengan demikian
seorang peneliti dapat melihat apa yang sedang terjadi, dan
menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah
terus melangkah melakukan analisis yang menurut saran yang
dikisahkan oleh penyajian sebagai sesuatu yang mungkin
berguna.
d. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan hal yang sangat penting
sebagai upaya untuk melakukan justifikasi temuan penelitian.
Justifikasi dilakukan dengan cara menarik hubungan dari latar
belakang masalah dan tujuan penelitian untuk mencari
jawaban hasil penelitian yang selanjutnya dianalisis. Dengan
demikian kesimpulan merupakan penegasan dari temuan
penelitian yang telah dianalisis.
18

4. Teknik Pengumpulan Data


Pengumpulan data kualitatif harus dilakukan sendiri oleh
peneliti dan tidak boleh diwakilkan.16 Dalam pengumpulan data,
penulis menggunakan data primer yaitu wawancara. Selain itu,
peneliti juga menggunakan data sekunder melalui reverensi buku
maupun artikel yang berkaitan tentang adaptasi dan penelitian
lapangan (field research). Untuk pengambilan data penelitian
lapangan digunakan metode sebagai berikut:
a. Observasi
Observasi atau pengamatan langsung merupakan metode
pertama yang dilakukan sebagai seorang peneliti. Teknik
Observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data
yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, dan benda, serta
17
rekaman gambar Hal yang akan diamati secara langsung
adalah proses penyesuaian diri bagi mahasiswa rantau asal
Sumatra yang memasuki wilayah baru.
b. Wawancara
Penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur yaitu
peneliti dapat menanyakan pertanyaan yang tidak ada didalam
daftar wawancara untuk lebih melengkapi informasi.
Wawancara dapat dilakukan pada waktu dan kondisi konteks
yang dianggap paling tepat. Wawancara akan dilakukan secara
bebas, tetapi tetap menggunakan pedoman wawancara agar
pertanyaan terarah.

16
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek
(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 11.
17
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2005), h. 83.
19

c. Dokumentasi
Dokumen beragam bentuknya, dari yang tertulis sederhana
sampai yang lebih lengkap, dan bahkan bisa berupa benda-
benda lain. Dalam penelitian ini dalam mengumpulkan data
yaitu dengan cara melihat kembali literatur atau dokumen
serta foto-foto dokumentasi yang relevan dengan tema yang
diangkat dalam penelitian ini.
5. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai
April 2021. Lokasi penelitian di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta dan juga tempat tinggal mahasiswa/I rantau
asal Sumatra.
6. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian adalah sumber tempat memperoleh
keterangan.18 Adapun subjek dalam penelitian ini adalah
Mahasiswa perantauan asal Sumatra yang menempuh
pendidikan di UIN Jakarta. Sedangkan objek adalah bagian dari
subjek yang ditetili secara terperinci.19 Objek penelitian merinci
fenomena yang akan diteliti sekaligus merupakan deksripsi dari
penelitian yang diangkat yaitu strategi komunikasi antar budaya
dalam penyesuaian diri mahasiswa asal Sumatra yang merantau.
Agar lebih spesifik dan mudah dalam pemilihan
informan, peneliti memberikan syarat khusus dalam pemilihan
informan dengan kriteria sebagai berikut:

18
Tatang M Arifin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: Rajawali,2003),
h.92.
19
Tatang M Arifin, Menyusun Rencana Penelitian (Jakarta: Rajawali,2003),
h.93.
20

1) Merupakan mahasiswa/i Universitas Syarif Hidayatullah,


Jakarta, dengan status mahasiswa aktif
2) Merupakan mahasiswa/i UIN Jakarta asal Sumatra
3) Aktif di organisasi dalam & luar kampus.
4) Mahasiswa/i SI regular.

I. Sistematika Penulisan
Untuk mengetahui gambaran yang jelas tentang hal-hal yang
diuraikan dalam penelitian ini, maka penulis membagi sistematika
penyusunan ke dalam enam bab. Di mana masing-masing bab dibagi
ke dalam sub-sub dengan penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
BAB I menjelaskan latar belakang masalah, batasan
masalah, dan rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan
pustaka dan sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


BAB II menjelaskan Teori Akomodasi Komunikasi :
Sejarah dan Pengertian Teori Akomodasi Komunikasi,
Asumsi Dasar, Tahap Beradaptasi, Kritik Teori. Juga
Teori komunikasi antar budaya yang terdiri dari: konsep
dasar komunikasi antar budaya, elemen-elemen dalam
komunikasi antar budaya, hambatan Komunikasi Antar
Budaya, & Adaptasi Budaya.
21

BAB III GAMBARAN UMUM


BAB III menjelaskan karakteristik masyarakat Sumatra
pada masing-masing Provinsi, detail jumlah mahasiswa
perantauan asal Sumatra & juga menjelaskan Detail
profile Informan mahasiswa UIN Jakarta yang berasal
dari Sumatra.

BAB IV TEMUAN PENELITIAN


BAB IV menjelaskan temuan-temuan hasil wawancara
terkait rumusan masalah I (Bagaimana Akomodasi
Komunikasi Yang Terjadi Pada Penyesuaian Diri
Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta?) dan rumusan masalah II (Seperti
Apa Fase-Fase Adaptasi Budaya Yang Terjadi Pada
Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta?)

BAB V PEMBAHASAN
BAB V menganalisis dan menjelaskan dari perspektif
peneliti dan hasil data-data yang sudah didapatkan,
dengan menyesuaikan rumusan masalah pada penelitian
ini, yaitu : Rumusan Masalah I (Bagaimana Akomodasi
Komunikasi Yang Terjadi Pada Penyesuaian Diri
Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di Uin Syarif
Hidayatullah Jakarta?) dan rumusan masalah II (Seperti
Apa Fase-Fase Adaptasi Budaya Yang Terjadi Pada
22

Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di


Uin Syarif Hidayatullah Jakarta?)

BAB VI PENUTUP
BAB VI menjelaskan penutup dari penelitian ini yang
berisikan kesimpulan dan saran.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Teori Akomodasi Komunikasi


1. Sejarah dan Pengertian Teori Akomodasi Komunikasi
Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk
menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang
dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya
dilakukan secara tidak sadar. Kita cenderung memiliki naskah
kognitif internal yang kita gunakan ketika kita berbicara dengan
orang lain.1 Teori ini dikemukakan oleh Howard Giles dan
koleganya, berkaitan dengan penyesuaian interpersonal dalam
interaksi komunikasi. Hal ini didasarkan pada observasi bahwa
komunikator sering kelihatan menirukan perilaku satu sama lain.
Teori akomodasi komunikasi berawal pada tahun 1973,
ketika Giles pertama kali memperkenalkan pemikiran mengenai
model ”mobilitas aksen” Yang didasarkan pada berbagai aksen
yang dapat didengar dalam situaisi wawancara. Salah satu
contohnya adalah ketika seseorang dengan latar berlakang
budaya yang berbeda sedang melakukan wawancara. Seorang
yang sedang diwawancara pastilah merasa sangat menghormati
orang dari institusi yang sedang mewawancarainya. Ketika
dalam situasi tersebut orang yang mewawancarai akan lebih

1
West Richard & Tunner Liynn H, Pengantar Teori Komunikasi, Analisis
dan Aplikasi, (Jakarta : Salemba Humnaika, 2007), h. 217.

23
24

mendominasi situasi wawancara, sementara orang yang


diwawancarai akan mencoba mengikutiya. Maka pada situasi
tersebut orang yang sedang wawancara tersebut, mencoba
melakukan akomodasi komunikasi.
Teori Akomodasi Komunikasi banyak didasari dari
prinsip Teori Identitas Sosial. Ketika anggota dari kelompok
yang berbeda sedang bersama, mereka akan membandingkan
diri mereka. Jika perbandingannya positif, maka akan muncul
identitas sosial yang positif pula. Giles memperluas pemikiran
ini dengan mengatakan bahwa hal yang sama juga terjadi pada
gaya bicara (aksen, nada, kecepatan, pola interupsi) seseorang.
Akomodasi komunikasi dilakukan untuk menyesuaikan
sikap komunikasi, karena terkadang dalam kegiatan sehari-hari
saat kita berinteraksi atau berkomunikasi terdapat perbedaan
budaya yang muncul pada seseorang yaitu seperti aksen
kecepatan berbicara, norma keteraturan berbicara, intonasi suara
dan lainnya. Inti dari teori akomodasi ini adalah adaptasi.
Bagaimana seseorang menyesuaikan komunikasi mereka
dengan orang lain. Teori ini berpijak pada premis bahwa ketika
seseorang berinteraksi, mereka menyesuaikan pembicaraan,
pola vocal, dan atau tindak tanduk mereka untuk
mengakomodasi orang lain.2

2. Asumsi Dasar
Dengan mengingat bahwa akomodasi dipengaruhi oleh

2
West Richard & Tunner Liynn H, Pengantar Teori Komunikasi, Analisis
dan Aplikasi, (Jakarta : Salemba Humnaika, 2007), h. 217.
25

beberapa keadaan personal, situasonal dan budaya, maka teori


ini terdapat beberapa asumsi berikut ini:3
a) Persamaan dan perbedaan berbicara dan berperilaku
terdapat di dalam semua percakapan.
Pengalaman-pengalaman dan latar belakang yang
bervariasi akan menentukan sejauh mana orang
mengakomodasikan orang lain. Semakin mirip perilaku
dan keyakinan kita, semakin membuat kita tertarik untuk
mengakomodasikan orang lain tersebut.
Sebuah contoh untuk mengilustrasikan asumsi ini,
seorang yang berasal dari Padang bertemu dengan teman
baru di kampus barunya yang berdarah jawa asli. Jelas
mereka berasal dari latar belakang yang berbeda dan
pengalaman hidup mereka berbeda pula.Dapat pula
dianggap mereka berasal dari latar belakang keluarga yang
berbeda dengan keyakinan dan nilai-nilai yang berbeda.
Tetapi mereka mempunyai kesamaan dalam hal hobi, yaitu
memancing.
b) Cara dimana kita memersepsikan tuturan dan perilaku
orang lain akan menentukan bagaimana kita
mengevaluasi sebuah percakapan.
Asumsi kedua menyatakan bagaimana kita
memandang cara berbicara dan berperilaku lawan bicara
akan menentukan bagaimana kita mengevaluasi

3
West Richard & Tunner Liynn H, Pengantar Teori Komunikasi, Analisis
dan Aplikasi, (Jakarta : Salemba Humnaika, 2007), h. 219.
26

percakapan.4 Asumsi ini terletak pada persepsi dan


evaluasi.Orang pertama-tama akan mempersepsikan apa
yang terjadi di dalam percakapan sebelum mereka
memutuskan bagaimana mereka akan berperilaku dalam
percakapan. Kemudian saat mempersepsikan kata-kata dan
perilaku orang lain menyebabkan evaluasi kita terhadap
orang tersebut.
c) Bahasa dan perilaku memberikan informasi mengenai
status sosial dan keanggotaan kelompok.
Asumsi ketiga menyatakan bahwa bahasa dan
perilaku seseorang memberikan informasi mengenai status
sosial dan asal kelompok memberikan pengertian
mengenai efek bahasa terhadap lawan bicara. Menurut
Giles dan John Wiemann mengemukakan bahwa dalam
situasi adanya dua bahasa, atau bahkan dua dialek dimana
masyarakat dari etnis mayoritas dan minoritas hidup
berdampingan, penggunaan bahasa yang akan digunakan
ditentukan oleh salah satu pihak.5
d) Akomodasi bervariasi dalam hal tingkat kesesuaian
dan norma mengarahkan proses akomodasi.
Asumsi ini berfokus pada norma dan isu
mengenai kepantasan sosial. Maksudnya, akomodasi dapat
bervariasi dalam hal kepantasan sosial sehingga terdapat

4
A.M, Morissan. Periklanan komunikasi pemasaran terpadu, (Jakarta :
Penerbit Kencana,2010), h. 112.
5
A.M, Morissan. Periklanan komunikasi pemasaran terpadu, (Jakarta :
Penerbit Kencana,2010), h. 113.
27

saat-saat ketika mengakomodasi tidaklah pantas. Dalam hal


ini, norma terbukti memiliki peran yang cukup penting
karena memberikan batasan dalam tingkatan yang
bervariasi terhadap perilaku akomodatif yang dipandang
sebagai hal yang diinginkan dalam sebuah komunikasi.

3. Tahap Beradaptasi
Teori akomodasi komunikasi menyatakan bahwa dalam
sebuah interaksi, seseorang memiliki pilihan. Mereka mungkin
menciptakan komunitas percakapan yang melibatkan
penggunaan bahasa atau sistem nonverbal yang sama, mereka
mungkin akan membedakan diri mereka dari orang lain, atau
mereka akan berusaha keras untuk beradaptasi. Pilihanpilihan
ini diberi label konvergensi, divergensi, dan akomodasi
berlebihan.
Dalam Teori Akomodasi Komunikasi, saat proses
komunikasi dan interaksi berlangsung satu sama lain, setiap
individu berhak memiliki pilihan bagaimana mereka
beradaptasi. Dimana strategi adapatasi atau akomodasi
komunikasi tersebut terdiri dari tiga pilihan yaitu konvergensi,
divergensi, dan akomodasi berlebihan.6
a) Konvergensi/Melebur Pandangan
Konvergensi adalah proses adaptasi gaya
komunikasi agar menjadi lebih mirip dengan gaya

6
Morrisan & Wardhany Andy Corry, Teori Komunikasi, (Jakarta: Ghalia
Indonesia , 2009), h. 135.
28

komunikasi orang lain atau kelompok.7 Seseorang yang


melakukan komunikasi konvergensi mereka akan
tergantung kepada persepsi mereka mengenai tuturan
atau perilaku orang lain, maka dari itu orang yang
melakukan akomodasi konvergensi cenderung untuk
menutupi identitas kulturalnya. Proses konvergensi tidak
berlangsung dengan tiba-tiba, biasanya dilatarbelakangi
dengan persepsi individu mengenai tuturan atau perilaku
lawan bicaranya, apakah terdapat sesuatu yang sama atau
tidak.
Selain persepsi yang dihasilkan dari komunikasi
terhadap oranng lain, konvergensi pun didasarkan pada
ketertarikan. Biasanya, para komunikator ini saling
tertarik maka mereka akan melakukan konvergensi dalam
percakapan mereka. Ketertarikan dalam istilah yang luas
dan juga mencakup beberapa karakteristik seperti
charisma, kredibilitas dsb.
Menurut Giles dan Smith (1979) ada beberapa
faktor yang mempengaruhi ketertarikan kita pada orang
lain; misal: kemungkinan adanya interaksi berikutnya
denga pendengar, kemampuan pembicara untuk
berkomunikasi, perbedaan status yang dimiliki masing-
masing komunikator. Apabila mereka memiliki
keyakinan, perilaku, kepribadian yang sama maka akan

7
Charles R. Berger, Michael E. Roloff dan David R. Roskos, , terj. Derta Sri
Widowatie,The Handbook of communication science, (Bandung: Nusa Media, 2014),
h.133.
29

menyebabkan ketertarikan dan sangat memungkinkan


untuk terjadinya sebuah konvergensi.8

b) Divergensi/Hiduplah Perbedaan
Divergensi sangat berbeda dengan konvergensi.
Alih-alih menyamakan, Divergensi malah menunjukkan
tidak adanya usaha untuk menunjukkan persamaan antara
para pembicara. Divergensi tidak bisa diartikan sebagai
tanda adanya ketidaksepakatan, hanya saja orang-orang
memutuskan untuk mendisasosiasikan diri mereka
dengan berbagai macam alasan tertentu. Kasarnya, bisa
dikatakan sebagai suatu kesengajaan untuk membedakan
diri dengan lawan bicaranya dengan alasan tertentu.
Divergensi berbeda dengan kovergensi. Apabila
konvergensi adalah strategi bagaimana dia dapat
beradaptasi dengan orang lain. Divergensi adalah ketika
dimana tidak adanya usaha dari para pembicara untuk
menunjukan persamaan diantara mereka. Atau tidak ada
kekhawatiran apabila mereka tidak mengakomodasi satu
sama lain.
Tetapi, perlu adanya perhatian bahwa, divergensi
bukanlah dalam pengertian bahwa tidak adanya
kepedulian ataupun respons terhadap komunikator lain.
Melainkan, mereka memutuskan untuk mendisosiasikan
diri mereka terhadap komunikator lain dengan alasan-

8
Dr. Suheri, M. I Kom. 2019. "Akomodasi Komunikasi" Jurnal: Network
Media Vol: 2 No. 1, Hal 43
30

alasan tertentu.
Beberapa alasan pun bervariasi, apabila dari
komunitas budaya maka mereka beralasan ingin
mempertahankan identitas sosial, kebanggaan budaya
ataupun keunikannya. Adapun yang kedua, mereka
melakukan divergensi karena alasan kekuasaan dan juga
perbedaan peranan dalam percakapan. Kemudian yang
terakhir ini adalah alasan yang jarang digunakan , ialah
apabila lawan bicara adalah orang yang tidak diinginkan
oleh komunikator. Karena dianggap ada sikap-sikap yang
tidak menyenangkan ataupun berpenampilan buruk.
Jadi, divergensi disini adalah strategi untuk
memberitahukan akan keberadaan mereka dan juga ingin
mempertahankannya, karena alasan tertentu. Tanpa
mengkhawatirkan akan akomodasi komunikasi antara
dua komunikator untuk memperbaiki percakapan.

c) Akomodasi Berlebihan
Pilihan terakhir adalah akomodasi berlebihan.
Akomodasi berlebihan adalah “label yang diberikan
kepada pembicara yang dianggap pendengar terlalu
berlebihan.9 Akomodasi berlebihan terjadi ketika
pembicara beradaptasi secara berlebih pada lawan
bicaranya yang dianggap terbatas dalam hal tertentu.

9
West, Richard dan Turner, Lynn H, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis
dan Aplikasi (Introducing Communication Theory: Analysis and Application), (Jakarta:
Salemba Humanika,2009), h. 227.
31

Akomodasi berlebihan menimbulkan miskomunikasi.


Walaupun pembicara jelas-jelas berniat menunjukan rasa
hormat, pendengar mengaggapnya sebagai hal yang
tidak menyenangkan dan tidak menghargai dirinya.
Akomodasi berlebihan biasanya menyebabkan
pendengar untuk mempersepsikan diri mereka tidak
setara. Terdapat dampak yang serius dari akomodasi
berlebihan, termasuk kehilangan motivasi untuk
mempelajari bahasa lebih jauh, menghindari percakapan,
dan membentuk sikap negative terhadap pembicara dan
juga masyarakat. Jika salah satu tujuan komunikasi
adalah mencapai makna yang dimaksudkan, akomodasi
berlebihan merupakan penghalang utama bagi tujuan
tersebut.
Konvergensi adakalanya disukai dan mendapat
apresiasi atau sebaliknya. Orang cenderung memberikan
respon positif kepada orang lain yang berusaha mengikuti
atau menirunya, tetapi orang tidak menyukai terlalu
banyak konvergensi. Khususnya jika hal itu tidak sesuai
atau tidak pantas justru akan menimbulkan masalah.
Misal, ketika seseorang berbicara lambat tetapi keras
kepada seorang buta atau seorang perawat tang berbicara
dengan pasien berusia lanjut dengan meniru suara bayi
(semacam sindiran karena orangtua lanjut dianggap
seperti bayi).
Contoh lainnya, seorang etnis Batak yang pindah
menetap di Yogyakarta. Di Yogyakarta notabenenya
32

mayoritas adalah etnis Jawa, saat berinteraksi dengan


etnis Jawa, etnis Batak berusaha untuk mengikuti bahasa
dan logat Jawa. Logat etnis Batak yang sangat khas,
terkadang dianggap bahan bercandaan, melecehkan dan
merendahkan etnis Jawa.
Orang akan cenderung menghargai konvergensi
yang dilakukan secara tepat, bermaksud baik dan sesuai
dengan situasi yang ada, namun orang tidak suka atau
bahkan tersinggung jika konvergensi itu tidak dilakukan
secara patut.10
4. Kritik Teori
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, teori ini berfokus
pada percakapan yang dilakukan dalam kehidupan dan pegaruh
yang dimiliki oleh komunikasi budaya terhadap percakapan
tersebut.Untuk memahami teori ini sebaga disiplin ilmu, teori ini
dievaluasi menggunakan kriteria heurisme dan kemungkinan
pengujian. Teori ini sangat kaya akan nilai heuristik.
Teori ini telah digunakan dalam beberapa kajian yang
berbeda. Seperti, dalam komunikasi massa, keluarga, dengan
kaum lansia, dalam pekerjaan, wawancara, bahkan dalam pesan
yag diterima dalam mesin penerima pesan telepon. Maka tak
diragukan bahwa teori ini heuristik dan memiliki nilai keilmuan
yang bertahan. Dari analisa yang dikemukakan diatas maka
fungsi teori Akomodasi Komunikasi dapat dikemukakan sebagai
berikut :

10
Morissan, Teori Komunikasi Organisasi, (Bogor: Ghalia Indonesia,2009),
H. 135.
33

a) Fungsi Menjelaskan
Teori ini menjelaskan tentang kemampuan untuk
menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku
seseorang dalam responnya terhadap orang lain.
Akomodasi biasanya dilakukan secara tidak sadar. Kita
cenderung memiliki naskah kognitif internal yang kita
gunakan ketika kita berbicara dengan orang lain.
b) Fungsi Meramalkan
Teori ini meramalkan bahwa seseorang
menyesuaikan komunikasi mereka dengan orang lain.
Teori ini berpijak pada premis bahwa ketika seseorang
berinteraksi, mereka menyesuaikan pembicaraan, pola
vocal, dan atau tindak tanduk mereka untuk
mengakomodasi orang lain.
c) Fungsi Memberikan
Pandangan Teori akomodasi komunikasi menurut
pandangan Howard Giles dan koleganya, berkaitan
dengan penyesuaian interpersonal dalam interaksi
komunikasi. Hal ini didasarkan pada observasi bahwa
komunikator sering kelihatan menirukan perilaku satu
sama lain
d) Fungsi Memberikan Strategi
Teori akomodasi komunikasi memberikan
strategi tentang konflik yang rasional meskipun
mengakui adanya konflik antara komunikator.Teori ini
telah mengabaikan kemungkinan sisi gelap dari
komunikasi.Misalnya, bagaimana ketika seseorang
34

terlibat dalam konflik dengan orang yang tidak memiliki


akal sehat, maka teori ini tidak bisa digunakan.

B. Komunikasi Antar Budaya


1. Konsep Dasar Komunikasi Antar Budaya
Secara bahasa komunikasi berasal dari bahasa Latin yaitu
communico yang berarti membagi. Membagi dalam hal ini
adalah membagi dalam hal gagasan dan ide atau pikiran antara
satu orang dengan orang lain. Selain communico, komunikasi
juga berasal dari akar kata communis dalam bahasa Latin juga
berarti menyamakan, menjadikan sama, antara satu orang dengan
orang lain. 11
Menurut Andi Faisal Bakti, bahwa komunikasi itu
kuncinya adalah pemaknaan pada negosiasi karena dengan
adanya pemaknaan dan negosiasi ini dapat menyatukan ratusan
kelompok etnis, bahasa, dan budaya, serta belasan bekas kerajaan
yang dipisahkan dengan laut besar atau pegunungan sehingga
dapat berada pada satu bendera dan satu Negara.12
Dalam setiap prosesnya komunikasi selalu melibatkan
ekspektasi, persepsi, tindakan dan penafsiran.13 Maksudnya
adalah ketika kita berkomunikasi dengan orang lain maka kita

11
Wilbur Schramm, the process and Effects of Mass Communication,
(University Of Illinois Press Urbana, 1995), h. 2.
12
Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in
Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global Development Program, h.
118.
13
Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2003), h. 7.
35

dan orang yang menjadi komunikan kita menafsirkan pesan yang


diterima baik berupa pesan verbal maupun non verbal dengan
standar penafsiran dari budayanya sendiri. Kita pun dalam
memaknai dan menyandikan tanda atau lambang yang kita
jadikan pesan menggunakan standar budaya yang kita punyai.
Pada dasarnya komunikasi antar budaya adalah komunikasi
biasa, yang menjadi perbedaannya adalah orang-orang yang
terlibat dalam komunikasi tersebut berbeda dalam hal latar
belakang budayanya. Ada banyak pengertian yang diberikan
para ahli komunikasi dalam menjelaskan komunikasi antar
budaya, di antaranya adalah :
a) Menurut Aloweri, Andrea L. Rich dab Dennis M. Ogawa
sebagaimana dikutip oleh Armawati Arbi, komunikasi
antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang
berbeda kebudayaanya. Misalnya antara suku bangsa,
etnik, ras dan kelas sosial.14
b) Stewart L. Tubbs-Sylvia Moss mendefinisikan
komunikasi antar budaya sebagai komunikasi antara
orang-orang yang berbdea budaya (baik dalam arti ras,
etnik atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).15
c) Samovar dalam buku "Intercultural communication: A
Reader" juga menyatakan bahwa komunikasi antar budaya

14
Armawati Arbi, Dakwah dan Komunikasi, (Jakarta: UIN Press, 2003), h.
182.
15
Stewart. L. Tubbs-Sylvia Moss, Human Communication konteks-konteks
komunikasi antar budaya, (Bandung: PT. Remaja Rosda karya buku ke-2, 2001), h.
182.
36

(intercultural communication) terjadi apabila sebuah pesan


(message) yang harus dimengerti, dihasilkan oleh anggota
dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya
yang lain16

Dari beberapa definisi yang penulis kutipkan tadi.


Penulis berkesimpulan bahwa komunikasi antar budaya dapat
diartikan sebagai komunikasi yang terjadi di antara orang-
orang yang memilki latar belakang budaya yang berbeda. Jadi
untuk mengatakan bahwa dua orang berkomunikasi secara efektif
maka keduanya harus meraih makna yang relatif sama dari pesan
yang dikirim dan diterima (mereka menginterpretasikan pesan
secara sama). Sedangkan komunikasi yang tidak efektif dapat
terjadi karena berbagai alasan ketika kita berkomunikasi dengan
orang lain.

Komunikasi yang berjalan dengan baik menjadi suatu


tantangan dalam berlangsungnya KAB. Ketika makna dan
pemahaman sama sekali berbeda, maka pesan yang di sampaikan
bisa saja tidak sampai atau menjadi berbeda maksudnya. Fisher
berpendapat, untuk mengatakan bahwa makna dalam komunikasi
tidak pernah secara total sama untuk semua komunikator, adalah
dengan tidak mengatakan bahwa komunikasi adalah sesuatu yang
tak mungkin atau bahkan sulit tapi karena komunikasi tidak

16
Samovar, Larry A. dan Richard Porter, Intercultural Communication. A
Reader. 7th ed, (New York: International Thomson Publ, 1994), h. 19
37

sempurna.17 Jadi untuk mengatakan bahwa dua orang


berkomunikasi secara efektif maka keduanya harus meraih
makna yang relatif sama dari pesan yang dikirim dan diterima
(mereka menginterpretasikan pesan secara sama). Sedangkan
komunikasi yang tidak efektif dapat terjadi karena berbagai
alasan ketika kita berkomunikasi dengan orang lain.

2. Elemen-elemen dalam komunikasi antar budaya


Menurut Samovar & Porter terdapat tiga elemen penting
dalam komunikasi antar budaya, ketiga elemen tersebut yaitu:18

a) Persepsi
Persepsi adalah di mana individu menyeleksi,
mengevaluasi, dan merangkai stimuli dari luar diri
individu. Adapun persepsi kultural dipengaruhi oleh
kepercayaan, nilai dan system yang mengatur individu.
b) Proses verbal
Proses verbal mengarah kepada bagaimana kita
berbicara kepada orang lain melalui kata-kata dan juga
proses berfikir dalam diri (komunikasi interpersonal)
c) Proses Non-Verbal
Proses nonverbal mengarah pada pengguna tanda-
tanda nonverbal seperti bahasa tubuh, nada suara, ekpresi
dan jarak fisik ketika berkomunikasi. Tanda-tanda
komunikasi non-verbal berbeda maknanya sesuai dengan

17
Gudykunst, W. B., & Kim, Y. Y. (2003). Communicating With Strangers.
(New York: McGraw-Hill, 2003). h 269-270.
18
Larry A. Samovar dan Richard E. Porter, Communication Between
Culture. Belmont (California: Wadsworth, 1991), h. 96.
38

budaya yang berbeda melatarbelakanginya.

3. Hambatan-hambatan Komunikasi Antar Budaya


Hambatan komunikasi atau yang juga dikenal sebagai
communication barrier adalah segala sesuatu yang menjadi
penghalang untuk terjadinya komunikasi yang efektif.19 Contoh
dari hambatan komunikasi antabudaya adalah kasus anggukan
kepala, dimana di Amerika Serikat anggukan kepala mempunyai
arti bahwa orang tersebut mengerti sedangkan di Jepang
anggukan kepala tidak berarti seseorang setuju melainkan hanya
berarti bahwa orang tersebut mendengarkan. Dengan memahami
mengenai komunikasi antar budaya maka hambatan komunikasi
(communication barrier) semacam ini dapat kita lalui.
LaRay M. Barna mengembangkan enam hambatan
komunikasi antarbudaya yang disebutnya sebagai The Six
Stumbling Blocks. Hambatan-hambatan tersebut antara lain
asumsi persamaan, perbedaan bahasa, misinterpretasi nonverbal,
stereotip dan prasangka, etnosentrisme dan kecemasan yang
tinggi :20
a) Andaian kesamaan
Kesalahpahaman dapat muncul karena kita sering
berpikir bahwa ada kesamaan di antara setiap manusia di
seluruh dunia yang dapat membuat proses berkomunikasi

19
Chaney, D. Life Style, Sebuah Pengantar Komprehensif, (Yogyakarta:
Jalasutra,2004), h. 11.
20
LaRay M. Barna, Stumbling Blocks in Intercultural Communication,
(http://archive.aacu.org/summerinstitutes/igea/documents/Allresources_000.pdf, 2 Juli
2018)
39

menjadi mudah. Padahal kenyataannya, bentuk-bentuk


adaptasi terhadap kebutuhan baik biologis maupun sosial
serta nilainilai, kepercayaan, dan sikap di sekeliling kita
adalah sangat berbeda antara budaya satu dengan yang lain.
Oleh karena tidak adanya satu tolok ukur yang dapat
digunakan sebagai acuan untuk pemahaman tersebut, maka
sebaiknya setiap pertemuan antarbudaya kita perlakukan
secara khusus dengan cara mencari tahu perihal apa saja
yang berhubung kait dengan makna-makna persepsi dan
komunikasi yang dipegang oleh kelompok budaya yang kita
hadapi.
b) Perbedaan bahasa
Permasalahan dalam penggunaan bahasa adalah apabila
seseorang hanya memperhatikan satu makna saja dari satu
kata atau frasa yang ada pada bahasa baru, tanpa
mempedulikan konotasi atau konteksnya.
c) Kesalahan interpretasi nonverbal
Orang-orang dari budaya yang berbeda mendiami realitas
sensori yang berbeda pula. Mereka melihat, mendengar, dan
merasakan hanya pada apa yang dianggap bermakna bagi
mereka.
d) Stereotip dan Prasangka
Stereotip merupakan penghalang dalam komunikasi
sebab dapat mempengaruhi cara pandang yang objektif
terhadap suatu stimulus. Stereotip muncul karena ia telah
ditanamkan dengan kuat sebagai mitos atau kebenaran sejati
oleh kebudayaan seseorang dan terkadang merasionalkan
40

prasangka.
Prasangka adalah suatu istilah yang memiliki banyak
makna. Namun dalam komunikasi antarbudaya, prasangka
mengacu pada sikap permusuhan yang ditujukan kepada
suatu kelompok lain yang berbeda budaya dengan dugaan
dasar bahwa kelompok tersebut memiliki ciri yang tidak
menyenangkan. Prasangka disebabkan karena kurangnya
dasar pengetahuan, pengalaman dan bukti terhadap orang
atau kelompok lain.21
e) Kecenderungan untuk menghakimi/menilai
Faktor penghalang lainnya untuk memahami orang-orang
yang berbeda budaya adalah kecenderungan untuk
menghakimi, untuk menerima, atau menolak pernyataan dan
tindakan dari orang atau kelompok lain, sebelum memahami
pikiran dan perasaan yang disampaikan oleh orang itu sesuai
sudut pandangnya.
f) Kecemasan tinggi
Untuk dapat disebutkan sebagai orang yang cakap atau
kompeten dalam berkomunikasi antarbudaya, seseorang
harus mampu mengatasi berbagai masalah yang ada,
termasuk rasa khawatir atau cemas ketika berinteraksi
dengan individu dari budaya yang berbeda.
Gegar budaya atau culture shock merupakan salah satu
contoh adanya kecemasan dalam komunikasi antar budaya.
Gegar budaya akan dialami oleh seseorang saat dirinya

21
Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Edisi Revisi, (Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi, 2004), h. 155-156.
41

berada di lingkungan yang bukan lingkungan asalnya atau


berada di lingkungan budaya yang memiliki nilai budaya
yang berbeda dari lingkungan asalnya. Gegar budaya terjadi
karena munculnya kecemasan akan hilangnya tanda-tanda
yang dikenal dan simbol-simbol hubungan sosial. Gegar
budaya juga terjadi jika diharuskan berkomunikasi dengan
orang dari kelompok budaya lain.22
Secara fisik, gegar budaya biasa ditandai dengan
munculnya depresi, pusing dan mual, emosi yang mudah
memuncak, memusuhi lingkungan baru, merasa kehilangan
pengaruh dan status dalam kelompok, dan masih banyak
lagi. Reaksi ini bermacam-macam dan bisa berbeda dari
masing-masing orang yang mengalami. Reaksi ini dapat
menghambat lancarnya proses komunikasi antarbudaya.
Walaupun secara garis besar gegar budaya memiliki
dampak negatif, tetapi ada dampak positif yang bisa dilihat.
Dengan mengalami gegar budaya, seseorang memiliki
kesempatan untuk mempelajari lingkungan budaya yang
baru dan mempelajari diri sendiri agar dapat beradaptasi
dengan baik.
4. Adaptasi Budaya
Ting-Toomey memaparkan secara gamblang bahwa suatu
proses adaptasi menghadirkan sebuah tantangan dan perubahan
bagi individu yang mengalami. Tantangan tersebut meliputi

22
Larry A. Samovar, Richard E. Porter dan Edwin R. McDaniel,
Intercultural Communication: A Reader, Thirteenth Edition, (Boston: Cengage
Learning, 2012), h. 88.
42

adanya suatu perbedaan keyakinan inti, nilai-nilai, dan norma-


norma antara daerah asal dengan budaya setempat (tempat baru),
kemudian terjadinya suatu kehilangan gambaran-gambaran
budaya asal serta simbol-simbol yang biasanya familiar
disaksikan menjadi hilang.23
Young Y.Kim, menguraikan dan menggambarkan langkah-
langkah dalam proses pengadaptasian sebuah budaya. Secara
umum ada empat fase. Berikut penjelasan singkat mengenai fase-
fase dalam proses pengadaptasian budaya:24
a) Fase Honeymoon
Fase ini dimana seseorang telah berada dilingkungan
baru, menyesuaikan diri dengan budaya baru dan
lingkungan. Tahap ini adalah tahap dimana seseorang masih
memiliki semangat dan rasa penasaran yang tinggi serta
menggebu-gebu dengan suasana baru yang akan dijalani.
Individu tersebut mungkin tetap akan merasa asing, kangen
rumah dan merasa sendiri namun masih terlena dengan
keramahan penduduk lokal terhadap orang asing.
b) Fase Frustation
Fase ini adalah tahap dimana rasa semangat dan
penasaran yang menggebu-gebu tersebut berubah menjadi
rasa frustasi, jengkel dan tidak mampu berbuat apa-apa
karena realita yang sebenarnya tidak sesuai dengan ekspetasi

23
Ting-Toomey, Stella. Communicating Across Culture. (New York : The
Guilford Publications, 1999), h. 233.
24
Ruben Brent D dan Lea P Stewart, Communication and Human Behavior,
(United States: Allyn and Bacon, 2006), h. 342.
43

yang di miliki pada awal tahapan.


c) Fase Readjustment
Tahap ini adalah tahap penyesuaian kembali dimana
seseorang akan mulai untuk mengembangkan berbagai
macam cara untuk bisa beradaptasi dengan keadaan yang
ada. Seseorang mulai menyelesaikan krisis yang dialami di
fase frustation. Penyelesaian ini ditandai dengan proses
penyesuaian ulang dari seseorang untuk mencari cara, seperti
mempelajari bahasa, dan budaya setempat.
d) Fase Resolution
Fase yang terakhir dari proses adaptasi budaya berupa
jalan akhir yang diambil seseorang sebagai jalan keluar dari
ketidaknyamanan yang dirasakannya. Dalam tahap ini ada
beberapa hal yang dapat dijadikan pilihan oleh orang
tersebut, seperti:
i. Flight, yaitu ketika seseorang tidak tahan dengan
lingkungannya dan merasa tidak dapat melakukan
usaha untuk beradaptasi yang lebih dari apa yang telah
dia lakukan.
ii. Fight, yaitu orang yang masuk pada lingkungan dan
kebudayaan baru dan dia sebenarnya merasa tidak
nyaman, namun dia berusaha untuk tetap bertahan dan
berusaha menghadapi segala hal yang membuat dia
merasa tidak nyaman.
iii. Accomodation, yaitu tahapan dimana seseorang
mencoba untuk menikmati apa yang ada di
lingkungannya yang baru, awalnya mungkin orang
44

tersebut merasa tidak nyaman, namun dia sadar bahwa


memasuki budaya baru memang akan menimbulkan
sedikit ketegangan, maka dia pun berusaha
berkompromi dengan keadaan, baik eksternal maupun
internal dirinya.
iv. Full participation, yaitu ketika seseorang sudah mulai
merasa nyaman dengan lingkungan dan budaya
barunya. Tidak ada lagi rasa khawatir, cemas,
ketidaknyamanan, dan bisa mengatasi rasa frustasi
yang dialami dahulu.
Ketika seseorang jauh dari rumah, jauh dari tempat yang
selama ini dianggap sebagai “rumah”, jauh dari lingkungan
tempat dia tumbuh besar, dan jauh dari kebiasaan- kebiasaan
yang selalu dia lakukan, orang tersebut mau tidak mau akan,
sadar atau tidak, akan mempelajari hal-hal yang baru untuk bisa
bertahan hidup. Ketika seseorang akan jauh dari zona nyamannya
untuk waktu yang lama, contohnya kuliah, maka akan terjadi
transfer-transfer nilai yang biasa kita sebut dengan adaptasi
budaya.25
Karena kita biasa sangat mudah dan langsung saja
beradaptasi dengan budaya kita sendiri, biasanya akan menjadi
sangat susah dan tertakan untuk menyesuaikan ulang dengan
kondisi yang lain. kondisi di sini juga bisa diartikan sebagai
situasi yang baru, misalnya baru menikah, bercerai dan lain-lain.
Begitu juga dengan penyesuaian budaya, juga sulit untuk

25
Ruben Brent D dan Lea P Stewart, Communication and Human Behavior.
(United States: Allyn and Bacon, 2006), h. 340.
45

dilakukan. Adaptasi budaya juga di sebut sebagai proses jangka


panjang untuk melakukan penyelarasan dan akhirnya merasa
nyaman dengan lingkungan baru.
BAB III

GAMBARAN UMUM

A. Pulau Sumatra

Pulau Sumatera biasa juga dikenal dengan sebutan pulau


Andalas. Dalam Bahasa Sansekerta, pulau Sumatera disebut
Suwarnadwipa yang berarti ‘Pulau Emas’. Memang tepat sekali
penamaan ini sebab Pulau Sumatera sangat kaya akan hasil alam.
Terletak di bagian barat gugusan Nusantara dengan posisi
koordinat 0°00 LU 102°00 BT. Pulau seluas 470.000 km² ini
merupakan pulau keenam terbesar di dunia.1
Mayoritas penduduk beragama Islam, Juga suku asli Pulau
Sumatera adalah Melayu. Suku Melayu memiliki keunikan
tersendiri dalam hal pernikahan, yaitu pengantin perempuan harus
‘dibeli’ oleh pengantin dan keluarga laki-laki. Besar nominalnya
tergantung pada tingkat pendidikan, strata sosial dan latar belakang
keluarga pihak perempuan.2
Pulau Sumatera terdiri atas 10 provinsi, diantaranya adalah:
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dengan ibukota
Banda Aceh, Provinsi Sumatera Utara dengan ibukota Medan,
Provinsi Sumatera Barat denganibukota Padang, Provinsi Riau
dengan ibukota Pekanbaru, Provinsi Kepulauan Riau dengan

1
Profil Pulau Sumatera. http://www.gosumatra.com/seputar-sumatera-
indonesia/ diakses pada 25Desember 2015 pukul 21:40 WIB
2
Ibid

46
47

ibukota Tanjung Pinang, Provinsi Jambi dengan ibukota Jambi,


Provinsi Sumatera Selatan dengan ibukota Palembang, Provinsi
Bangka Belitung dengan ibukota Pangkal Pinang, Provinsi
Bengkulu dengan ibukota Bengkulu, dan Provinsi Lampung
dengan ibukota Bandar Lampung. Kota Medan di Sumatera Utara
adalah kota terbesar di pulau Sumatera dengan luas 265,10 km².3
Dilihat dari banyaknya Provinsi di Pulau Sumatra, pastinya
karakteristik ataupun kebudayaannya tidak 100% sama, sehingga
setiap provinsi terkenal dengan cirikhas nya masing-masing, baik
itu diluar Sumatra, maupun di dalam Pulau Sumatra. Sehingga
muncullah beberapa cirikhas atau pandangan orang-orang terkait
karakter orang Sumatra di masing-masing Provinsi, yaitu sebagai
berikut :

1. Nanggroe Aceh Darussalam


Orang Aceh terkenal taat menjalankan agama dan
mempertahankan syariat agamanya. Orang Aceh menjunjung
tinggi kebebasan beragam ummat lainnya dan menghormati
pemeluk agama lainnya selama saling menghormati.

Selain sisi religius yang tinggi, masyarakat Aceh juga


dikenal sebagai etnis yang memiliki tingkat emosional (amarah)
yang meluap-luap. Orang Aceh walau tidak seluruhnya ya, pada
umumnya begitu sensitif dan Temperamen. Ada istilah siap
'membeli bila dijual.' Maksudnya, jika ada yang mencari ribut,
maka mereka siap meladeni. Bagi masyarakat Aceh Pidie dan
sekitarnya, karakter masyarakat Aceh dikenal sebagai sosok yang

3
Ibid
48

perhitungan, khususnya jika menyangkut tentang 'uang'. Ini


dipengaruhi oleh jiwa dagang orang Aceh yang menjadikannya
mau tidak mau bersikap demikian agar memperoleh keuntungan
dari hasil dagangannya. Banyak kalangan yang menafsirkan
watak satu ini sebagai sifat 'hemat', namun tak jarang juga
diklaim sebagai sifat 'pelit'.4

Salah satu sifat unik orang Aceh yang tak kalah menarik
adalah jiwa perantaunya yang tinggi. Sebelum merantau biasanya
dibekali dengan tiga skill khusus, diantaranya pinter memasak,
atau pandai menjahit, serta berdagang. Bila memiliki salah satu
dari skill tersebut, maka orang tersebut dipercaya dapat bertahan
baik dimasa perantauaannya.

2. Sumatera Utara
Karakter orang Sumatera Utara adalah, mereka sangat
mendominasi. Ya, mereka sangat aktif dalam sebuah grup.
Mereka jarang mau mengalah ketika dalam obrolan atau diskusi.
Namun juga paling ringan tangan dibanding yang lain. Namun di
antara semua karakter ini, yang paling dikenal dari orang
Sumatera Utara adalah kebaikan mereka. Ya, mereka dikenal
sangat baik hati dan gampang menolong. Satu lagi, persaudaraan
orang-orang Medan juga sangat kuat terutama mereka yang
berada di perantauan.5

4
https://www.fokusaceh.com/2020/06/5-sifat-umum-orang-aceh-yang-
paling.html Diakses pada 23 Juni 2020.
5
https://www.google.com/amp/kissfmmedan.com/ciri-khas-orang-
medan/%3famp Diakses pada 4 Desember 2017
49

Salah satu sifat orang Sumatra Utara terkenal dengan


wataknya yang keras sekuat baja. Bila ia sudah percaya terhadap
sesuatu, maka akan sulit digoda oleh siaapun itu. Sumatera Utara
juga terkenal dengan suku bataknya yang terkenal sebagai
pekerja keras, gigih dan ulet.
Orang Sumatera Utara memang terkenal dengan sifat
kerasnya. tidak peduli terhadap omongan orang lain. Tapi
sebenarnya itu hanyalah ciri khas dari Sumatera Utara itu sendiri
karena Sumatera Utara didominasi oleh Suku Batak dan Melayu,
di mana Batak memiliki sifat keras dan bervokal suara besar.
Kalau urusan logat dan intonasi, memang benar jika orang
Sumatera Utara berkarakteristik keras, tegas dan ceplas-ceplos.
Sehingga ketika kita melihat orang-orang Sumatera Utara
ngobrol satu sama lain terkesan mereka marah-marah, padahal
dari dulu kebiasaan mereka memang seperti itu.6

3. Sumatera Barat
Orang Sumatra barat atau sering dikenal Minang, tak
takut mendobrak zona nyamannya dan melakukan perubahan
untuk hidup yang lebih mapan. Karena itulah, mereka banyak
yang menjadi perantau, meski di kampung halamannya lebih
nyaman dan enak. Itulah sebabnya mereka tumbuh menjadi
pribadi yang berani mengambil risiko. Tentu saja dengan disertai
perhitungan yang matang.7

6
Ibid
7
Alhamdu. 2018. "Karakter Masyarakat Islam Melayu Palembang." Jurnal:
Psikologi Vol: 1 No. 1, hal 4
50

Orang sumatera barat sangat peka terhadap “Malu”, harga


diri bagi mereka adalah segalanya. Saat merantau, apa pun
kesulitan yang dihadapi, bagaimanapun buruknya keadaan yang
di jalani, pantang mengadu ke kampung halaman, selama masih
bisa kaki melangkah, takkan pernah berbalik arah.
Di perantauan, orang padang sering dikatakan pelit oleh
orang-orang sekitar. Padahal mereka bukan pelit, cuma
perhitungan. Bagi mereka setiap uang yang dikeluarkan harus
jelas tujuan dan kegunaannya, selain karena hidup di perantauan
itu keras, mereka juga mengingat petuah ayah “kulimek sabalun
abih”, yang artinya, berhati-hatilah dalam mengeluarkan uang,
agar uang tidak habis untuk hal-hal yang tidak begitu penting.8

4. Riau
Orang Riau, dalam sehari-hari harus secara bersama-
sama mengiplementasikan budaya Melayu dalam kehidupan
sehari-hari. Orang riau terkenal dengan sifat pemalunya, UU.
Hamidy mengatakan "Orang melayu riau punya penampilan
pemalu, malu dipandang sebagai harga diri, kalau malu sudah
hilang hidup bisa seperti bidlnatang" bagi mereka sifat pemalu
menghasilkan tingkah laku yang terpelihara. Tingkah laku yang
terpelihara dimiliki orang riau menunjukkan bahwa orang itu
tidak mau berbuat semena-mena.9

8
https://www.google.com/amp/s/www.kabarsumbar.com/berita/5-mitos-vs-
fakta-menarik-tentang-orang-minang/%3famp Diakses pada 14 Desember 2020 pukul
19. 36
9
UU. Hamidy, Orang melayu di riau, pekanbaru, 1995 hal 36
51

Kebiasaan orang melayu riau menghindari pertengkaran,


mereka juga memiliki prinsip tidak boleh serakah, dan
menggunakan kekayaannya untuk kemakmuran bersama. Selain
itu orang riau memiliki pola hidup sederhana, dan tidak boros.
Prinsip orang Melayu Riau adalah hidup mandiri dan saling
membantu orang lain.

5. Jambi
Pengaruh budaya Melayu sangat terasa dalam budaya
Jambi. Hal ini disebabkan latar belakang sebagian besar suku asli
Jambi berasal dari suku bangsa Melayu. Mayoritas suku bangsa
Melayu menganut agama Islam. Oleh sebab itu, pengaruh budaya
Islam sangat terlihat pada kebudayaan suku-suku bangsa di
Jambi. Ada juga pengaruh agama-agama lain seperti Hindu dan
Buddha. Pemberian sesaji, membakar kemenyan, bentuk stupa
candi, dan berbagai bentuk upacara adat yang mempercayai
adanya dewa adalah bukti pengaruh tersebut. Khusus pada
masyarakat Kerinci, kebudayaannya dipengaruhi oleh budaya
Minangkabau.

Dari berbagai unsur inilah terbentuk kebudayaan Provinsi


Jambi yang khas dan unik. Kebudayaan ini bernilai seni tinggi.
Ada yang sudah terkenal sampai di luar Provinsi Jambi. Ada juga
yang masih tersimpan di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena
itu, diperlukan kearifan tersendiri agar kebudayaan ini tidak
52

hilang tergerus budaya asing yang belum tentu baik bagi


masyarakat Provinsi Jambi.10

6. Bengkulu.
Sifat orang bengkulu biasanya mau cepat dan ringkas.
Walaupun ada sistem yang mengatur harus prosedural,
bertingkat, maka orang itu akan berusaha melakukannya dengan
cepat dan ringkas. Meskipun dalam moment tertentu, ia akan
lamban dan bermalas-malasan dalam beraktivitas.
Penduduk asli daerah Bengkulu mudah menyesuaikan
diri dalam penggunaannya bahasa Indonesia. Di daerah
Bengkulu tidak mengenal kelas bahasa seperti di pulau Jawa.
Kehalusan bahasa diketahui pada irama bahasa dan penggunaan
kata-kata antara lain kata ganti diri. Hal buruknya orang bengkulu
biasa dikenal dengan pemalas, tapi pada kenyataannya orang
bengkulu bukan malas, mereka lebih cenderung mengambil
langkah yang lebih mudah dalam mengekpresikan diri.11

7. Sumatera Selatan
Jika pada umumnya orang akan langsung membuka diri,
lebih mudah akrab dan lebih terbuka menyambut kepada orang
yang baru-baru dikenalnya, berbeda dengan karakter yang
dimiliki orang Palembang. Ia cenderung membutuhkan proses

10
https://www.senibudayaku.com/2018/05/mengenal-kebudayaan-daerah-
jambi.html?m=1# Diakses pada 12 Mei 2018
11
Drs. Hanafi dan M. lkram BA., Adat Istiadat Daerah Bengkulu, (Jakarta :
Proyek Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan, 1980), h. 45.
53

dan selalu waspada serta berhati-hati terhadap orang baru.


Umumnya yang mereka lakukan pada hubungan awal adalah
memberikan kesan kaku. Hal ini mereka lakukan untuk
meningkatkan sifat waspada pada segala sesuatu hal buruk yang
kemungkinan terjadi. Orang Sumatera Selatan mempunyai jiwa
yang besar dan bersikap dewasa untuk menanggapi omongan
yang memicu konflik.12
Orang Sumatera Selatan juga, terdengar Galak dan Kasar
namun Berhati Tulus, Kata-katanya memang kadang terkesan
ketus dan terkesan sombong, namun percayalah itu hanya gaya
bahasanya saja yang sudah terbiasa dari lingkungannya.
Ngomongnya juga kencang, namun itu tidak menjukkan
kesombongan itu. Walaupun memiliki gaya Bahasa yang seperti
itu, namun sebenarnya mereka mempunyai hati yang sangat
tulus. Orang Palembang bahkan tak segan-segan untuk
melindungi siapa saja yang mendapat kejahatan dari orang lain.
Dan kamu akan tergila-gila karena dia akan siap melindungimu
dalam keadaan apa pun.13

8. Bangka Belitung
Pada umumnya orang-orang yang tinggal di Pulau
Bangka akan memiliki kendaraan sendiri, entah itu motor
ataupun mobil. tidak adanya angkutan umum yang bisa dinaiki
dengan mudah. Bangka belitung juga memiliki banyak tempat

12
https://www.molzania.com/beberapa-ciri-khas-ini-hanya-dimiliki/
Diakses pada 15 Agustus 2017
13
Ibid
54

yang cukup aman, terhindar dari pencurian, misalnya, jika ada


orang yang meninggalkan motor bersama helmnya, tanpa cemas
adanya kemalingan, itu menjadi hal lumrah disana. 14
Pada umumnya mereka ramah (seperti orang Indonesia
lainnya), dan mereka suka becanda ketika berbicara, terutama
sesama orang Bangka. Normalnya orang-orang di Bangka akan
berbicara dengan menggunakan bahasa Bangka dan juga bahasa
Khe untuk orang-orang chinese di sana. Bahasa Bangka itu
sebenarnya bahasanya merupakan campuran bahasa Indonesia
dengan sedikit bahasa Khe, tapi yang membuat unik adalah
intonasinya. Logat orang-orang Bangka ketika berbicara itu akan
sangat sulit dimengerti oleh orang Jakarta, kecuali kalau memang
mereka memelankan cara berbicaranya, atau berusaha
membuatnya jelas.15

9. Lampung
Keberanian yang pantang mundur sudah menjadi prinsip
hidup orang Lampung. Masyarakatnya mengenal paham “mak
nyerai ki mak karai, mak nyedor ki mak bador”, apapun
tantangannya akan dihadapi dengan berani pantang menyerah
dan mundur. Orang Lampung memiliki sifat yang khas,
keberanian mumpuni dan ketekunan yang tiada tanding. Hal itu
karena mereka dididik untuk memiliki cita-cita yang besar dan
pendirian yang teguh. Harga diri juga penting untuk

14
https://www.google.com/amp/s/desmaster.wordpress.com/2015/08/03/yu
k-kita-ketahui-lebih-banyak-tentang-bangka/amp/ Diakses pada 03 Agustus 2015
15
Ibid
55

dipertahankan, jika sudah memiliki keyakinan dan pendirian,


mereka akan memegangnya dengan teguh.16
Sangat sulit membujuknya, jika ingin melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan keinginannya. Maka siap-siap dengan
debat alot yang ujung-ujungya kita yang mengalah. Namun,
mereka tidak akan melakukan itu jika tidak untuk kebaikanmu.
Lampung memiliki bahasa dan logat tersendiri, memang
saat ini tidak banyak yang menggunakannya. Sebagai gantinya,
penggunaan Bahasa Indonesia jauh lebih populer. penyebabnya
adalah Lampung banyak didatangi oleh perantau dari berbagai
daerah. Logat asli Lampung hampir mirip dengan Jakarta. Keras
dan bernada tinggi, jika kamu orang Jawa, pasti sering mengira
orang Lampung itu sedang marah-marah ketika ngobrol. Padahal,
menurutnya kata-kata yang terlontar itu biasa saja, nggak
bermaksud untuk marah.17

B. Data Jumlah Mahasiswa UIN Jakarta


Berdasarkan survei yang dilakukan peneliti pada tanggal
29 April 2021, di Pustipanda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tercatat 12.960 mahasiswa aktif diluar Jabodetabek pada tahun
ajaran 2020/2021. Kemudian jumlah mahasiswa yang berasal dari
Pulau Sumatra, tercatat 2541 mahasiswa aktif UIN Syarif

16
https://palangkanews.co.id/saat-digandeng-orang-lampung-pasti-kamu-
akan-merasakan-7-hal-ini/ Diakses pada 8 September 2020
17
Ibid
56

Hidayatullah Jakarta tahun ajaran 2020/2021. Adapun data jumlah


mahasiswa Pulau Sumatra secara spesifik, yaitu sebagai berikut :18

Tabel 3.1
Data Jumlah Mahasiswa UIN Jakarta yang berasal dari masing-
masing Provinsi Sumatra pada tahun 2020/2021
JUMLAH
NO PROVINSI
MAHASISWA
1 Nanggroe Aceh Darussalam 179
2 Sumatera Utara 491
3 Sumatera Barat 633
4 Riau 189
5 Kepulauan Riau 77
6 Jambi 169
7 Bengkulu 109
8 Sumatra Selatan 215
9 Bangka Belitung 85
10 Lampung 394
11 Jumlah 2541

C. Deskripsi Informan Penelitian


Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan
cara mendatangi dan menanyai langsung kepada tiga informan yang
masih berada di Ciputat, kemudian peneliti juga mewawancarai

18
Data hasil survei langsung di Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan
Data UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 29 April 2021
57

tujuh informan lainnya melalui video call googlemeet dan whatsapp,


mewawancarai mengenai hal-hal yang menjadi kepentingan dalam
penelitian. Dari pengumpulan data yang diperoleh penulis, informan
pada penelitian ini berjumlah 10 (sepuluh) orang mahasiswa aktif
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berasal dari Sumatra, terdiri
dari 2 (dua) orang semester 8 (delapan), 5 (lima) orang semester 6
(enam), dan 3 (tiga) orang semester 4 (empat).
Penelitian dilakukan melalui kegiatan wawancara yang
dimulai dari awal bulan Maret 2021 sampai awal bulan Juli 2021.
Penulis melakukan pendekatan terlebih dahulu pada para informan,
setelah itu penulis melakukan wawancara secara langsung dan
melalui video call pada informan. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan alat bantu penelitian yaitu perekam suara handphone
untuk mempermudah penulis dalam pengelolahan data. Adapun
deksripsi singkat terkait informan, sebagi berikut :
1. Informan 1 - Nur Fithri Qomariah Rambe (Sumatera Utara)
Nur Fithri Qomariah Rambe atau biasa dipanggil Rambe
ini lahir pada tanggal 7 Januari 2001 sekrnang berusia 20 Tahin
dan merupakan Mahasiswi yang berasal dari Sumatera Utara
tepatnya di Padang Lawas, Hutaraja Tinggi, Sumatera Utara. Ia
merupakan Mahasiswi aktif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di
Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Humaniora
yang sekarang berada di semester 4. Rambe juga aktif dalam
kegiatan berorganisasi, ia mengikuti kegiatan organisasi HMPS
BSA, HMI, dan juga BSA Mengajar. Orangtua nya sangat
mendukung dia untuk melanjutkan pendidikan di luar
Provinsinya dan juga UIN Jakarta merupakan universitas yang
58

diinginkan orangtua rambe untuk anaknya melanjutkan


pendidikan tinggi.
2. Informan 2 - Meyla Rehulina Boru Sitepu (Bangka Belitung)
Gadis yang bernama lengkap Meyla Rehulina Boru
Sitepu ini merupakan gadis yang berasal dari Provinsi Bangka
Belitung, Tanjungpandan ini lahir pada tanggal 15 September
2001 di Tanjungpandan yang sekarang berusia 19 tahun.
Sekarang dia berada di Semester 4 jurusan Kesejahteraan Sosial
Fakultus Ilmu Dakwah dan ilmu Komunikasi, ia merupakan
anggota aktif di UKM LDK Fidikom.
Saat penulis bertanya apa saja yang membuatnya kurang
nyaman selama merantau, dia berkata kalau dia harus berhati-hati
dalam menjaga barang karna trauma pernah kejadian kemalingan
handphone di masjid UIN, ia mengatakan kalau di Bangka
Belitung jarang adanya kejadian kriminal, dan kebiasaan yang di
bangka akhirnya kebawa di Jakarta sehingga setelah kejadian
tersebut, dia merasa harus sangat berhati-hati. Peremouan ini
juga mengatakan kalau pada awalnya dia sering diejek oleh
teman-teman kelasnya karena lebih sering ngomong
menggunakan bahasa melayu.
3. Informan 3 - Ilham Anugrah (Sumatra Selatan)
Ilham Anugrah merupakan Mahasiswa yang berasal dari
Palembang, ia lahir pada tanggal 12 Mei 1999 di Pagar Alam.
Mahasiswa ini sekarang berada di semester 4 dan memilih
jurusan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi sebagai ilmu yang
ingin dia perdalami. Mahasiswa ini juga merupakan anggota
tetap UKM Bahasa- FLAT UIN Jakarta. Pada awalnya iya selalu
59

diingatkan dengan temannya di kampus tentang cara berbicara


dia, teman-teman nya selalu menganggap jika dia berbicara
terlihat marah-marah atau emosi sedangkan dia merasa tidak
marah-marah, karena dominan masyarakat di Palembang cara
berbicaranya memang terlihat tegas.
4. Informan 4 – Bismiyati (Sumatra Barat)
Bismiyati yang sering dipanggil dengan sebutan Bismi
ini, Lahir di Bekasi pada tanggal 21 Juni 2000, sekarang ia
menginjak usia 21 tahun dan masih berada di semester 6, Jurusan
Manajemen Pendidikan Fakultus Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
Gadis ini merupakan orang Minang yang pernah tinggal di
Jakarta saat dia masih kecil, dia berfikir walaupun pernah hidup
kecilnnya di Jakarta kemudian pindah ke Padang saat usianya 10
tahun.
Baru kembali lagi ke Jakarta pada tahun 2018, dengan
tujuan melanjutkan pendidikan tingginya, ia tetap merasa bahwa
dirinya anak rantau karena ini merupakan, pertama kalinya dia
hidup tanpa orangtua dan juga dia ngerasa sudah berubah
lingkungan Jakarta dengan saat dia masih kecil. Pada awalnya dia
kesulitan dalam segi ekonomi sehingga dia harus bersusah payah
mencari beasiswa untuk mengatasi kendala ekonominya tersebut,
dan sekarang dia salah satu mahasiswi yang menerima Beasiswa
Generasi Baru Indonesia yang merupakan komunitas penerima
beasiswa Bank Indonesia.
5. Informan 5 - Mifta Dwi Kardo (Sumatra Selatan)
Mifta Dwi Kardo menjadi informan selanjutnya yang bisa
membantu penelitian penulis, pria ini sering dipanggil sama
60

teman-teman nya mifta. Dia berasal dari Palembang tepatnya di


Terusan Kabupaten Musi Rawas Utara, ia sekarang berusia 20
tahun dan merupakan mahasiswa angkatan 18 di jurusan
Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan.
Pria ini lahir di Terusan Palembang pada tanggal 14
Maret 2001 dan aktif dalam berorganisasi di UKM Bahasa-FLAT
UIN Jakarta dan juga IMDAR. Pria ini bercerita bahwa ini jadi
pertama kalinya dia hidup di lingkungan baru atau diluar
Palembang, dia merasa cukup sulit menyesuaikan dirinya di
Jakarta maupun di kampus sehingga dia butuh 1 tahun untuk bisa
berabdasi dengan baik di Jakarta.
6. Informan 6 - Dwi aryani (Sumatra Barat)
Dwi aryani atau sering dipanggil Ani ini, lahir pada
tanggal 06 Juli 2000. Iya bertempat tinggal di Pekan Selasa, Pauh
Duo, Sumatera Barat. Perempuan ini merupakan mahasiswa aktif
semester 6 di jurusan Komunikasi Penyiran Islam Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang sekarang berusia 1l21
tahun. Ia mengikuti Himpunan daerahnya yaitu KMM
(Komunitas Mahasiswa Minang di Ciputat). Saat di wawancarai,
ia bercerita kalau dia tidak terbiasa dan tidak suka sama temen-
temennya di kampus yang kalau ngomong itu kasar menurut dia,
tapi dianggap biasa sama temen-temen lainnya. Ia juga
mengungkapkan tidak terbiasa dengan pulang malam, kalau
ditempat tinggalnya tidak boleh ada Perempuan yang pulang
malam.
7. Informan 7 – Qothratinnada (Lampung)
61

Informan selanjutnya bernama Qothratinnada atau biasa


dipanggil nada yang sekarang berusia 21 tahun, perempuan ini
berasal dari Lampung yang lahir pada tanggal 15 Januari 2000 di
Bandar Lampung. Ia sekarang masih aktif dalam perkuliahan dan
menduduki semester 6 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
tepatnya di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan angkatan 18. Nada meruoakan
mahasiswi asrama UIN Jakarta, ia memutuskan asrama karena
orangtuanya meminta dia untuk diasrama saja.
Pada awalnya dia sangat ngerasa cemas banget, dan
sering Homesick, juga belum bisa memanage uang dengan baik
di tempat dia yang baru, tapi seiring berjalannya waktu dia sudah
mulai terbiasa dan kadang terbawa dengan budaya yang ada di
lingkupannya merantau. Perembuan ini juga mengikuti
organisasi Himpunan Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa
Inggris UIN Jakarta.
8. Informan 8 - Anisa Ulfadilla (Bengkulu)
Anisa Ulfadilla atau sering dikenal dengan sebutan saul,
lahir di Medan Jaya pada tanggal 26 Februari 1999. Ia merupakan
Mahasiswi yang berasal dari Sumatra tepatnya dari Bengkulu,
berusia 22 Tahun dan sekarang menduduki Semester 8 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia keterima di jurusan Komunikasi
Penyiran Islam Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. Anisa
merupakan salah satu teman penulis yang aktif dalam
bersosialisasi, Anisa juga aktif dalam kegiatan organisasi, ia
mengikuti Komunitas Skateboard, Himamira dan Sanggar Tari
Seni pelangi selama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
62

9. Informan 9 - Hurul Asyifa (Nanggroe Aceh Darussalam)


Hurul Asyifa atau sering dipanggil syifa, terpilih oleh
penulis sebagai informan yang berasal dari Nanggroe Aceh
Darussalam. Perempuan ini lahir di Aceh besar pada tanggal 13
Mei 1999, ia sekarang berusia 21 Tahun dan merupakan
mahasiswa akhir yaitu semester 8 di jurusan pendidikan bahasa
inggris Fakultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan angkatan 17.
Perempuan ini pertama kali merantau pada tahun 2017 dan pada
awalnya ia merasa malu saat berinteraksi dengan orang baru. Ia
juga aktif dalam kegiatan berorganisasi dengan mengikuti
organisasi PMII dan imapa.
10. Informan Pendukung – Sakbano (Lampung)
Sakbano adalah informan pendukung pada penelitian ini,
dimana bano merupakan ketua bidang infokom Himpunan
Mahasiswa Lampung 2020/2021. Bano juga merupakan salah
satu mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
mengambil jurusan PMI Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
yang berasal dari Provinsi Lampung. Pada penelitian ini Bano
menjawab pertanyaan penulis dengan sudut pandang sebagai
pengurus HML (Himpunan Mahasiswa Lampung)
63

Tabel 3.2
Data singkat informan

NO. NAMA ASAL SEMESTER


1. Nur Fithri Q.R Medan 4
2. Meyla Rehulina B.S Bangka Belitung 4
3. Ilham Anugrah Palembang 4
4. Bismiyati Padang 6
5. Mifta Dwi Kardo Palembang 6
6. Dwi aryani Padang 6
7. Qothratinnada Lampung 6
8. Anisa Ulfadilla Bengkulu 8
9. Hurul Asyifa Aceh 8

Tabel 3.3
Data singkat informan Pendukung

NO. NAMA ASAL SEMESTER


1. Sakbano Lampung 6
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Akomodasi Komunikasi Antar Budaya adalah judul dari


penelitian ini, penulis tertarik mengangkat judul ini dikarenakan
mengalami apa yang terjadi seperti apa yang dirasakan oleh beberapa
informan penelitian dalam menyikapi perbedaan dan kebiasaan di tempat
atau wilayah baru. Menyesuaikan diri di lingkungan baru adalah salah
satu hal yang mau tak mau harus kita lakukan demi kelangsungan hidup,
jika kita tidak bisa melakukannya maka berkomunikasi akan menjadi
sangat sulit, atau bahkan tidak mungkin jika dalam berinteraksi kita tidak
menciptakan simbol atau makna yang sama dengan lawan bicara,
terutama jika kita memiliki latar belakang budaya yang berbeda.
Mahasiswa Sumatera sebelumnya memiliki faktor-faktor tertentu
yang mendorong mereka melakukan perantauan, di antaranya adalah
untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi agar dapat meraih
cita-cita juga memiliki masa depan yang lebih cerah, hal ini membuat
mereka berusaha memilih kampus yang sesuai dengan minat mereka.
Seperti yang disampaikan oleh informan, sebagai berikut:

Informan 4 :
“UIN Jakarta itu kan kampus islam unggulan, yang bagus, terus favorit.
Secara kalau kampus bagus itu berarti punya fasilitas yang menunjang
perkuliahan itu bagus, soalnya pengen ngerasain juga gimanasih
fasilitas-fasilitas itu bisa digunain. Soalnya pas di MTS, sama MAN di

64
65

kampung itu fasilitasnya itu gak ada, kayak kurang memadailah kak.”1

Informan 7 :
“Persepsinya diawal itu orang-orangnya itu kayaknya berintelek semua,
karena sempat liat juga di Google, cari-cari informasi banyak juga
lulusan yang udah berhasil gitu Kayak misalnya Ustadzah Oki Setiana
Dewi terus tuh Mama Dede, jadi persepsi awalnya itu kayak Universitas
yang Wah lah gitu karena udah mencetak orang-orang hebat.”2

Informan 8 :
‘Jurusannya sesuai yang saya minati, makanya saya memilih UIN.”3

Informan 9 :
“Aku 6 tahun sekalah Madrasah waktu itu aku berpikir aku masih
pengen kuliah yang mana lingkungannya itu masih islami, pas nyari
ternyata UIN Jakarta tuh menduduki peringkat pertama, kalau UIN ya
Universitas Islam terbaik di Indonesia.”4
Melakukan perantauan bukanlah suatu hal yang mudah
dikarenakan mahasiswa Sumatera diharuskan hidup mandiri tanpa ada
keluarga yang mendampingi, apalagi perantauan dilakukan ke luar pulau

1
Wawancara bersama Bismiyati sebagai informan 4 Mahasiswi asal
Sumatera Barat, pada 19 April 2021 pukul 15.49 WIB di Yayasan Cinta Yatim dan
Dhuafa , Jl. Inpres no.50 RT 002 Rw 009, Pisangan Barat, Kec. Ciputat timur, Banten
2
Wawancara bersama Qothratinnada sebagai informan 7 Mahasiswi asal
Lampung, pada 25 April 2021 pukul 20.11 WIB via Google Meet
3
Wawancara bersama Anisa Ulfadilla sebagai informan 8 Mahasiswi asal
Bengkulu, pada 21 April 2021 pukul 10.01 WIB via WhatsApp
4
Wawancara bersama Hurul Asyifa sebagai informan 9 Mahasiswi asal
Nanggroe Aceh Darussalam, pada 23 April 2021 pukul 16.21 WIB di Saung Pojok
Jawara Ciputat
66

yang jaraknya cukup jauh.


A. Akomodasi Komunikasi Yang Terjadi Pada Penyesuaian Diri
Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk
menyesuaikan, memodifikasi, atau mengatur perilaku seseorang
dalam responnya terhadap orang lain. Akomodasi biasanya
dilakukan secara tidak sadar.5 Akomodasi komunikasi dilakukan
untuk menyesuaikan sikap komunikasi, karena terkadang dalam
kegiatan sehari-hari saat kita berinteraksi atau berkomunikasi
terdapat perbedaan budaya yang muncul pada seseorang yaitu seperti
aksen kecepatan berbicara, norma keteraturan berbicara, intonasi
suara dan lainnya. Perbedaan tersebut relevan dengan apa yang
dialami oleh informan, sebagai berikut :

Informan 1 :
“Perbedaan yang pang paling menonjol adalah bahasa. Sehingga
gaya bahasa, intonasi bicara, bahasa slank atau dialek yang dipakai
itu sangat berbeda.”6

Informan 2 :
“Orang-orang disini ternyata kalau ngomong itu suka frontal, di
bangka rata-rata orangnya gak frontal kalau ngobrol, harus hati-

5
West Richard & Tunner Liynn H, Pengantar Teori Komunikasi, Analisis
dan Aplikasi, (Jakarta : Salemba Humnaika, 2007), h. 217.
6
Wawancara bersama Nur Fithri Qomariah Rambe sebagai informan 1
Mahasiswi asal Sumatera Utara, pada 25 April 2021 pukul 14.17 WIB via Google Meet
67

hati banget kalau ngobrol biar gak ada yang tersinggung..”7

Informan 3 :

“Intonasi ya kak, soalnya temen-temen saya sering notice saya buat


kalau ngomong itu harus pelan-pelan jangan terlalu keras, padahal
saya ngomongnya ya biasa aja.”8

Informan 4 :
“Bismi cenderung ragu-ragu kalau mau berinteraksi takut salah
karna di lingkupan yang bedakan ya. Jadi suka mikir-mikir kalau
mau mulai obrolan duluan, ya lebih ke liat orangnya dulu aja sih
kak. Kalau menurut bismi tepat untuk disapa duluan bismi sapa.”9

Informan 5 :
“karena kurangnya info sih kak, kayak kalau kita mau ngomong
itukan biasanya ada topik percakapan dan biasanya biar enak
komunikasi harus saling tau terkait topik pembicaraannya kan. Nah
sedangkan orang-orang di UIN itu gak tau apa yang saya obrolin
mereka gak paham sama topik pembicaraan saya, saya juga kadang
gak paham sama percakapan mereka, akhirnya kalau ngobrol ya

7
Wawancara bersama Meyla Rehulina Boru Sitepu sebagai informan 2
Mahasiswi asal Bangka Belitung, pada 20 April 2021 pukul 07.10 WIB via Google
Meet
8
Wawancara bersama Ilham Anugrah sebagai informan 3 Mahasiswa asal
Palembang, pada 27 April 2021 pukul 08.51 WIB via Google Meet
9
Wawancara bersama Bismiyati sebagai informan 4 Mahasiswi asal
Sumatera Barat, pada 19 April 2021 pukul 15.49 WIB di Yayasan Cinta Yatim dan
Dhuafa , Jl. Inpres no.50 RT 002 Rw 009, Pisangan Barat, Kec. Ciputat timur, Banten
68

saya sering ngangguk-ngangguk aja seolah-olah ngerti sama


percakapannya.”10

Informan 8 :

“Bahasa, tradisi, pola hidup dalam aktivitas keseharian, dan


kualitas pendidikan, serta bentuk interaksi sosialnya, ini kerasa
banget menurut aku perbedaannya.”11

Pengalaman terkait miss understanding nya kosakata yang memiliki


makna yang berbeda di pulau jawa ini juga pernah dialami oleh
informan 7&9 :

Informan 7 :

“Nada pernah ke fotocopyian terus nada udah ngasih uang,


ternyata masih ada kembaliannya nada bilang 'susuknya mana
bang’ abangnya kayak shock gitu, jadi kan budaya di Lampung gitu
susuk itu kan kembalian, tapi di daerah Jawa susuk itu maksudnya
ya ada ilmu hitam. nada juga nggak ngeh gitu jadi pas abangnya
kebingungan nada juga ikut kebingungan. Emang agak sulit
sebenarnya berkomunikasi banyak Miss understanding lah

10
Wawancara bersama Mifta Dwi Kardo sebagai informan 5 Mahasiswa asal
Palembang, pada 24 April 2021 pukul 11.23 WIB via Google Meet
11
Wawancara bersama Anisa Ulfadilla sebagai informan 8 Mahasiswi asal
Bengkulu, pada 21 April 2021 pukul 10.01 WIB via WhatsApp
69

pokoknya banyak kata-kata yang agak gak sesuai sama kebiasaan


nada di Lampung.”12

Informan 9 :

“kalau di kelas tuh masih suka diejekin, karena aku panggilnya aku
atau enggak pakai nama itu tuh suka diejekin kayak dicie-ciein,
dianggapnya kalau disini pakai aku kamu tuh beberapa orang
nganggapnya nya buat seseorang yang spesial gitu, padahal di
tempat aku emang enggak gitu.”

“Sama ada satu kejadian kalo misalkan di Aceh kita nanya 'ini lucu
atau enggak?' artinya 'ini tuh aneh atau enggak', jadi teman aku
waktu itu yang orang sini pernah makai baju dan dia tuh nanya ke
aku ini lucu nggak sih karena aku mikirnya itu tuh aneh atau nggak,
jadinya aku jawabnya 'nggak lucu' jadi temen aku berkali-kali ganti
baju akhirnya aku nanya kenapa diganti terus, temen aku bilang
'kata kamu nggak lucu' terus aku bilang 'berarti bagus dong enggak
lucu, berarti enggak aneh' baru disitu kita ketawa dan Oh ternyata
emang salah paham, disini lucu itu dianggep bagus gitu bukan
aneh.”13

Dalam Teori Akomodasi Komunikasi, saat proses


komunikasi dan interaksi berlangsung satu sama lain, setiap individu

12
Wawancara bersama Qothratinnada sebagai informan 7 Mahasiswi asal
Lampung, pada 25 April 2021 pukul 20.11 WIB via Google Meet
13
Wawancara bersama Hurul Asyifa sebagai informan 9 Mahasiswi asal
Nanggroe Aceh Darussalam, pada 23 April 2021 pukul 16.21 WIB di Saung Pojok
Jawara Ciputat
70

berhak memiliki pilihan bagaimana mereka beradaptasi. Dimana


strategi adapatasi atau akomodasi komunikasi tersebut terdiri dari
tiga pilihan yaitu konvergensi, divergensi, dan akomodasi
berlebihan.14
d) Konvergensi
Konvergensi adalah proses adaptasi gaya komunikasi
agar menjadi lebih mirip dengan gaya komunikasi orang lain
atau kelompok.15 Sebagai contoh seorang etnis Batak yang
pindah merantau di Jakarta. Di Jakarta notabenenya mayoritas
adalah etnis Jawa, saat berinteraksi dengan etnis Jawa, etnis
Batak berusaha untuk mengikuti bahasa dan logat Jawa. Seperti
dari penuturan para informan yang mencoba menyesuaikan
dirinya di tempat mereka merantau dengan cara menyamakan diri
pada pergaulan tempat mereka merantau :

Informan 1 :
“Aku selalu berusaha menyesuaikan dengan lingkungan baru.
Seperti gaya bahasa, nada dan intonasi bicara, jadi karna
ditempat asalku mengggunakan Bahasa daerah, aku mencoba
belajar Bahasa Indonesia biar temanku di UIN mengerti yang
aku ucapkan. Sehingga ketika berinteraksi dan berkomunikasi

14
Morrisan & Wardhany Andy Corry, Teori Komunikasi, (Jakarta: Ghalia
Indonesia , 2009), h. 135.
15
Charles R. Berger, Michael E. Roloff dan David R. Roskos, , terj. Derta
Sri Widowatie, The Handbook of communication science, (Bandung: Nusa Media,
2014), h.133.
71

dengan yang lainnya tidak merasa kesulitan lagi. ”16

Informan 5 :
“Awal-awal saya ngikut temen, tapi lama-lama saya nyadarin
diri saya sendiri supaya gak bergantung sama temen. Ya
memberanikan diri saya sendiri kak, dari segi mulai obrolan
duluan yang biasanya saya sulit buat memulai, nyesuain diri
sama lingkupan baru, saya belajar bahasa indonesia biar gak
ada salah-salah penyebutan, saya juga harus mahamin orang-
orang lainnya juga kalau mereka gak bisa seperti apa yang saya
mau, jadi ya mengerti lah kak..”17

Informan 7 :
“Yang paling nada rasain itu, kebawa kebiasaan pulang malem
yang dulunya nada risih kalau pulang malem, sekarang kalau
ada kegiatan organisasi yang di adain malem hari jadi ngikut gitu
kak, karna ngerasanya gak enak kalau pulang duluan, terus kalau
dari segi interaksi yang tadinya aku di Lampung gak terbiasa
ngomong Bahasa gaul kayak lu gue, karna ngeliat temen-temen
disini pake Bahasa gaul jadi aku mulai ngikutin.18

16
Wawancara bersama Nur Fithri Qomariah Rambe sebagai informan 1
Mahasiswi asal Sumatera Utara, pada 25 April 2021 pukul 14.17 WIB via Google Meet
17
Wawancara bersama Mifta Dwi Kardo sebagai informan 5 Mahasiswa
asal Palembang, pada 24 April 2021 pukul 11.23 WIB via Google Meet
18
Wawancara bersama Qothratinnada sebagai informan 7 Mahasiswi asal
Lampung, pada 25 April 2021 pukul 20.11 WIB via Google Meet
72

Informan 8 :
“Kitakan orang rantau, sebisa mungkin kita harus bisa
bersosialisasi atau beradaptasi, serta meminimalisir adanya
kesenjangan sosial di masyarakat, ranah pertemanan,
kehidupann kampus maupun organisasi agar hidup kita tidak
merasa tertekan, dan terganggu dalam rantauan kita saat ini.
Kalau saya pribadi ngerasa harus nyesuaian diri dari setiap
orang yang karakternya beda-beda, saya fikir saya gak boleh
egois gak mau nyesuaian sama kebiasaan temen-temen saya yang
di lingkungan tempat rantau.”19

Informan 9 :
“Kalau di Aceh tuh kurang sopan kalau berinteraksi santai sama
yang lebih tua, tapi kalau di sini tuh B aja gitu dan aku tuh bakal
mahamin itu nggak akan mempermasalahkan, malah aku kalau
ngomong sama senior sekarang lebih nyantai gak kaku kayak pas
di Aceh karna ngeliat temen-temen disini ngobrol sama senior
santay banget.”20

e) Divergensi
Divergensi adalah ketika dimana tidak adanya usaha dari
para pembicara untuk menunjukan persamaan diantara mereka.
Atau tidak ada kekhawatiran apabila mereka tidak

19
Wawancara bersama Anisa Ulfadilla sebagai informan 8 Mahasiswi asal
Bengkulu, pada 21 April 2021 pukul 10.01 WIB via WhatsApp
20
Wawancara bersama Hurul Asyifa sebagai informan 9 Mahasiswi asal
Nanggroe Aceh Darussalam, pada 23 April 2021 pukul 16.21 WIB di Saung Pojok
Jawara Ciputat
73

mengakomodasi satu sama lain. Beberapa alasan pun bervariasi,


apabila dari komunitas budaya maka mereka beralasan ingin
mempertahankan identitas sosial, kebanggaan budaya ataupun
keunikannya. Adapun yang kedua, mereka melakukan divergensi
karena alasan kekuasaan dan juga perbedaan peranan dalam
percakapan. Kemudian yang terakhir ini adalah alasan yang
jarang digunakan , ialah apabila lawan bicara adalah orang yang
tidak diinginkan oleh komunikator. Karena dianggap ada sikap-
sikap yang tidak menyenangkan ataupun berpenampilan buruk.
Hal ini didukung dengan argumen atau yang dialami para
informan penelitian :

Informan 4 :
“Walaupun di kampus rata-rata pada pake Bahasa gaul, bismi
tetep canggung buat ngikutinnya, ya jadi berusaha ngebedain diri
sendiri dengan gak ngikut ngomong Bahasa gaul, kalau temen-
temen bismi pake lo gue, dan karna bismi nggak terbiasa
ngomong lo gue jadinya lebih sering nyebut nama aja sama
kamu.”21

Informan 6 :
“Aku rasa, aku gak terbawa arus di lingkupan kampus ya kak, aku
masih nerapin kebiasaan aku di kampung. Kalau di kampuskan
pergaulannya bebas banget ada yang sering keluar malem,

21
Wawancara bersama Bismiyati sebagai informan 4 Mahasiswi asal
Sumatera Barat, pada 19 April 2021 pukul 15.49 WIB di Yayasan Cinta Yatim dan
Dhuafa , Jl. Inpres no.50 RT 002 Rw 009, Pisangan Barat, Kec. Ciputat timur, Banten
74

terutama banyak banget temen-temen itu yang ngomong kasar


seolah-olah itu Bahasa gaul, nah hal itu gak terfikirkan sama aku
buat ngikutin kebiasaan-kebiassan mereka, aku bakal nyaman
sama kebiasaan yang aku terapin di kampung.”22

f) Akomodasi Berlebihan
Akomodasi berlebihan terjadi ketika pembicara
beradaptasi secara berlebih pada lawan bicaranya yang
dianggap terbatas dalam hal tertentu. Akomodasi berlebihan
menimbulkan miskomunikasi. Walaupun pembicara jelas-jelas
berniat menunjukan rasa hormat, pendengar mengaggapnya
sebagai hal yang tidak menyenangkan dan tidak menghargai
dirinya. Akomodasi berlebihan biasanya menyebabkan
pendengar untuk mempersepsikan diri mereka tidak setara.
Sebagai contoh, beberapa mahasiswa Sumatra ada yang
menggunakan Bahasa asli mereka atau intonasi berbicara dengan
porsi yang sangat berlebihan pada saat berkomunikasi dengan
mahasiswa lainnya. Mahasiswa yang memang berasal dari daerah
Pulau Jawa yang sama sekali tidak mengetahui Bahasa yang
dipakai hanya mampu menjawab seadanya, dengan mengira-
ngira apa yang sebenarnya dibicarakan oleh mahasiswa yang
berasal dari Sumatra tersebut.
Hal ini disebut berlebihan karena mahasiswa Sumatra
melihat respon ketidaktahuan oleh mahasiswa yang perasal dari

22
Wawancara bersama Dwi Aryani sebagai informan 6 Mahasiswi asal
Sumatera Barat, pada 26 April 2021 pukul 08.51 WIB via Google Meet
75

pulau Jawa sedari awal,namun tetap saja meneruskan


pembicaraan menggunakan Bahasa yang dipakai mahasiswa
Sumatra tersebut. Seperti yang disampaikan oleh meyla yang
masih terbiasa memakai Bahasa daerahnya saat sedang
berkomunikasi dengan temannya :

Informan 2 :
“Karena di daerah berbicaranya Bahasa daerah jadi pas disini
aku berusaha belajar Bahasa Indonesia, terus meyla itu kalau
ngomong bahasa indonesia suka terbelit-belit kak, kadang-
kadang tuh gak sengaja nyampur bahasa indonesia sama bahasa
kampung, pernah sih kejadian beberapa kali, kayak temen pada
nanya maksudnya yang aku omongin itu apa, terus meyla itu suka
ngulang ngejelasinnya. Terlebih lagi temen-temen meyla pas
awal itu pada gak ngerti sama apa yang meyla omongin,
akhirnya mereka nanya “lu pake bahasa melayu ya? Bahasa
yang kayak upin ipin gitu”, jadi pas awal suka diejek gitu. Tapi
ya meyla iya iya aja ngeresponnya, dalem hati itu ngebatin mulu.
Nah itu jadi bikin meyla mikir, takutnya tuh orang-orang gak
bakal paham maksud meyla, jadi lebih sering banyak diemnnya
kan.”23

Begitu pula yang dialami oleh informan 3, iya terbiasa membawa


intonasi berbicaranya yang tegas ke ranah teman-temannya yang
berasal dari jawa, diapun berusaha menyesuaikan dirinya dengan

23
Wawancara bersama Meyla Rehulina Boru Sitepu sebagai informan 2
Mahasiswi asal Bangka Belitung, pada 20 April 2021 pukul 07.10 WIB via Google
Meet
76

merendahkan intonasi bicaranya, tetapi tetap saja teman-


temannya menganggap dia berbicara terlalu kasar :

Informan 3 :

“Biasa saja sebenernya kak, cuman yang saya garis bawahi


orang-orang pada menganggap saya itu kalau ngomong sangat
ngegas dan temen-temen di UIN itu pasti selalu bilang kalau
ngomong jangan marah-marah. Soalnya kalau orang-orang di
daerah saya memang biasanya ngomongnya seperti itu nadanya
tegas, tapi ternyata orang di kampus berfikir saya kalau
ngomong suka marah-marah, padahal saya gak marah-marah.
Itu yang bener-bener saya rasain perbedaannya. Akhirnya ini
yang bikin saya selektif nyari temen disini. Saya ngerasa udah
menyesuaikan diri dengan semaksimal mungkin ngikutin
kemauannya temen-temen biar merekanya juga nyaman sama
saya, tapi tetep saja temen-temen itu menganggap saya kalau
ngomong suka ngegas dan kasar.”24

Terdapat dampak yang serius dari akomodasi berlebihan,


termasuk kehilangan motivasi untuk mempelajari bahasa lebih
jauh, menghindari percakapan, dan membentuk sikap negative
terhadap pembicara dan juga masyarakat.

Pada temuan ini peneliti juga menemui kesulitan Mahasiswa rantau


yang berasal dari Lampung yang dilihat dari sudut pandang pengurus
Himpunan Mahasiswa Lampung :

24
Wawancara bersama Ilham Anugrah sebagai informan 3 Mahasiswa asal
Palembang, pada 27 April 2021 pukul 08.51 WIB via Google Meet
77

“interaksi sosialnya ada yang tipenya humoris yang mudah


akrab jadi 1 2 hari sudah bisa menyesuaikan, tapi yang sulit itu
tipe yang introvert butuh waktu sampai 2 3 bulan dan itu juga
diperkuat dengan adanya event atau agenda himpunan walaupun
proses yang cukup lama.25
B. Fase-Fase Adaptasi Budaya Yang Terjadi Pada Penyesuaian
Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Adaptasi budaya proses jangka panjang yang dilakukan
oleh individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya
melalui pembelajaran dan pertukaran komunikatif hingga dirinya
merasa nyaman di lingkungan yang baru. Ketika seseorang jauh dari
rumah, jauh dari tempat yang selama ini dianggap sebagai “rumah”,
jauh dari lingkungan tempat dia tumbuh besar, dan jauh dari
kebiasaan- kebiasaan yang selalu dia lakukan, orang tersebut mau
tidak mau akan, sadar atau tidak, akan mempelajari hal-hal yang
baru untuk bisa bertahan hidup. Ketika seseorang akan jauh dari
zona nyamannya untuk waktu yang lama, contohnya kuliah, maka
akan terjadi transfer-transfer nilai yang biasa kita sebut dengan
adaptasi budaya.
Karena kita biasa sangat mudah dan langsung saja
beradaptasi dengan budaya kita sendiri, biasanya akan menjadi
sangat susah dan tertakan untuk menyesuaikan ulang dengan kondisi
yang lain. kondisi di sini juga bisa diartikan sebagai situasi yang

25
Wawancara bersama Sakbano sebagai Pengurus Himpunan Mahasiswa
Lampung, pada 13 Juli 2021 pukul 14.05 WIB di Sekret Himpunan Mahasiswa
Lampung.
78

baru, misalnya baru menikah, bercerai dan lain-lain. Pada penelitian


ini penulis mengaitkan proses adaptasi seseorang melalui fase U-
curve Model atau U-curve Theory, Secara umum ada empat fase
yaitu Fase Honeymoon, Frustation, Readjustment, dan Resolution.

a) Honeymoon
Fase honeymoon merupakan fase dimana seseorang telah
berada dilingkungan baru, menyesuaikan diri dengan budaya
baru dan lingkungan. Tahap ini adalah tahap dimana seseorang
masih memiliki semangat dan rasa penasaran yang tinggi serta
menggebu-gebu dengan suasana baru yang akan dijalani. Pada
fase honeymoon ini, mahasiswa asal Sumatra masih terlena
dengan suasana baru, seperti merasa senang berada di kawasan
ibukota Jakarta, serta mahasiswa asal Sumatra sangat antusias
dengan segala aktifitas yang akan mereka jalani. Seperti yang
diungkapkan oleh para informan :

Informan 1 :

“Aku ngerasa senang, karna bisa ketemu sama orang-orang baru


yang notabenenya berasal dari wilayah yang berbeda-beda.”26

Informan 2

“Awalnya tuh persepsi aku, Universitas yang kental banget


keagamaannya, jadi aku rasa aku akan belajar banyak hal

26
Wawancara bersama Nur Fithri Qomariah Rambe sebagai informan 1
Mahasiswi asal Sumatera Utara, pada 25 April 2021 pukul 14.17 WIB via Google Meet
79

terkait keagamaan, aku fikir pasti dari segi kedisiplinan,


pakaian, pelajaran akan sangat bagus.”27

Informan 3 :
“Lebih ngerasa senang gitu, bisa pergi dan keluar pulau yang
berbeda.”28

Informan 4 :
“Diawal bismi ngerasa seneng aja sih, ngerasanya ya bisa hidup
tanpa harus bergantung sama orangtua dari segi masak sendiri,
bersih-bersih sendiri, terus bisa nemuin kehidupan yang lebih
luas.”29

Informan 5 :
“setidaknya ngerasa seneng lebih semangat ngerantau daripada
di tempat saya, yang enaknya ya seperti itu tadi seneng bisa
keluar dari pulau, juga belajar hal-hal baru.”30

Informan 6 :

27
Wawancara bersama Meyla Rehulina Boru Sitepu sebagai informan 2
Mahasiswi asal Bangka Belitung, pada 20 April 2021 pukul 07.10 WIB via Google
Meet
28
Wawancara bersama Ilham Anugrah sebagai informan 3 Mahasiswa asal
Palembang, pada 27 April 2021 pukul 08.51 WIB via Google Meet
29
Wawancara bersama Bismiyati sebagai informan 4 Mahasiswi asal
Sumatera Barat, pada 19 April 2021 pukul 15.49 WIB di Yayasan Cinta Yatim dan
Dhuafa , Jl. Inpres no.50 RT 002 Rw 009, Pisangan Barat, Kec. Ciputat timur, Banten
30
Wawancara bersama Mifta Dwi Kardo sebagai informan 5 Mahasiswa asal
Palembang, pada 24 April 2021 pukul 11.23 WIB via Google Meet
80

“Pertama aku sempet deg-degkan, kayak mikir aduh gimana nih


hidup dilingkungan baru. Tapi karna keinginan aku sendiri buat
kuliah itu harus di Jakarta, jadi ya aku berfikir harus dibawa
nyaman hidup di tempat rantau.”

Informan 7 :
“Jadi kalau misalnya ditanya tentang presepsi itu yang pertama
deket sama kota sih jadi kayak 'oh di Jakarta, terus UIN Jakarta
wow nih kayaknya' terus ada rasa seneng jugakan karna bakal
hidup di Jakarta dan memang aku pengen ngerantau juga.”31
Informan 8 :
“Menarik, karena saya akan mempelajari hal-hal baru lagi di
lingkungan saat ini.”32

Informan 9 :
“Pastinya ada rasa cemas, khawatir, tapi juga exited karena ini
memang pilihan aku. Aku dari dulu emang selalu pengen nyari
ilmu tuh sejauh mungkin gitu kan, aku suka kata-kata Imam
Syafi'i ibaratnya kalau misalkan kamu mau bagus kamu harus
keluar dari tempat tinggalmu untuk mencari ilmu sejauh
mungkin”33

31
Wawancara bersama Qothratinnada sebagai informan 7 Mahasiswi asal
Lampung, pada 25 April 2021 pukul 20.11 WIB via Google Meet
32
Wawancara bersama Anisa Ulfadilla sebagai informan 8 Mahasiswi asal
Bengkulu, pada 21 April 2021 pukul 10.01 WIB via WhatsApp
33
Wawancara bersama Hurul Asyifa sebagai informan 9 Mahasiswi asal
Nanggroe Aceh Darussalam, pada 23 April 2021 pukul 16.21 WIB di Saung Pojok
Jawara Ciputat
81

b) Frustation
Fase ini adalah tahap dimana rasa semangat dan
penasaran yang menggebu-gebu tersebut berubah menjadi rasa
frustasi, cemas, jengkel dan bahkan permusuhan serta tidak
mampu berbuat apa-apa karena realita yang sebenarnya tidak
sesuai dengan ekspetasi yang di miliki pada awal tahapan. Pada
fase ini, mahasiswa asal Sumatra mengalami kejadian atau
pengalaman culture shock yang meliputi masalah perbedaan
sosial, budaya, bahasa, iklim, gaya hidup, sehingga merasa tidak
nyaman, trauma, marah, frustasi terhadap lingkungan baru.

Informan 1 :

“Penggunaan Bahasa gaul yang sedikit berlebihan di kampus.


Menurutku itu sedikit kasar seperti kata anjir, njir, di sana untuk
pertama kalinya aku mendengarnya. Jadi aku kaget tidak
terbiasa mendengar kata-kata kasar yang diucapkan teman
kampus.”34

Informan 2 :

“Awalnya kan aku fikir fokus banget ke agamaannya, bener-


bener ketat aturannya. Ternyata pas dateng lebih open minded
gitu orang-orangnya, terlebih dijurusan meyla. Juga masalah
berpakaian mahasiswa-mahasiswanya, meylakan jurusannya
kessos, aku fikir walaupun jurusan umum tetep gitu kak masih

34
Wawancara bersama Nur Fithri Qomariah Rambe sebagai informan 1
Mahasiswi asal Sumatera Utara, pada 25 April 2021 pukul 14.17 WIB via Google Meet
82

islami banget, ternyata nggak seislami atau nggak setertutup


yang meyla kira.”35

Meyla juga bercerita bahwa ia memiliki pengalaman kemalingan


HP saat pertama kali menjadi mahasiswa baru, berbeda dengan
tempat tinggalnya yang jarang memiliki kasus kriminal :

“Aku kaget karna pernah dikampus kehilangan HP di masjid UIN


awalnya mikir dimasjid ya pasti gak bakalan ada maling selalu
berfikir positif thinking, pas kejadian persepsi aku kenapa jahat
banget ngambil barang orang. Soalnya kalau dikampung meyla
contohnya kalaupun kita markirin motor di tepi jalan gitu kalau
misalnya gak dikunci gak bakal dicuri aman banget, kayak
bener-bener jarang ada kasus kriminal lah gitu..”36

Informan 3 :

“Cara atau gaya perbedaan bicara itu faktor penghambat


banget kak, ya saya fikir saya kalau berbicara biasa saja tapi
lagi dan lagi temen itu selalu bilang saya itu kasar, saya juga
kalau mau menyampaikan sesuatu hal yang baik tapi mereka
menganggapnya saya tetap kasar karna mereka tidak terbiasa
dengan intonasi berbicara saya, hal ini yang bikin saya selama

35
Wawancara bersama Meyla Rehulina Boru Sitepu sebagai informan 2
Mahasiswi asal Bangka Belitung, pada 20 April 2021 pukul 07.10 WIB via Google
Meet
36
Wawancara bersama Meyla Rehulina Boru Sitepu sebagai informan 2
Mahasiswi asal Bangka Belitung, pada 20 April 2021 pukul 07.10 WIB via Google
Meet
83

1 tahun lebih merasa tidak nyaman saat berkomunikasi dengan


teman-teman kampus”37

Informan 4 :

“Kalau ngalamin kesulitan dulu pas pertama kali, kalau


dikampung itu kesekolah pake motor dan pake rok ya jadi disana
kalau pake rok duduk di motornya nyamping gitu kak, cuman pas
disini ngeliat cewek-cewek yang pake rok tuh gak ada gitu duduk
yang nyamping jadi kayak gak enak aja pas awal-awal duduknya
gak nyamping pas diatas motor.“

“Kalau dari segi komunikasi, kan kalau dikampung itukan pake


bahasa daerah ya kalau ngomong, ada sih yang kasar ada yang
lembut juga. Tapi kalau disinikan ngomongnya lu gua gitukan,
jadi sampe sekarangpun aku masih kaget aja kalau orang sini
ngobrol pake lu gua ke kita, sedangkan kalau dikampung itu pake
nama. Pas di semester 1 2 sih kak bener-bener ngerasa susah
buat nyesuain diri, masih kaget aja pas ngeliat karakter temen
yang beda-beda banget”38

Informan 5 :

“Kurangnya wawasan terkait daerah rantau sih kak, jadi suka


bingung juga terkait transportasi umumnya, kadang gak
nyamannya itu kok ngerasa ribet banget gitu karna banyak jenis

37
Wawancara bersama Ilham Anugrah sebagai informan 3 Mahasiswa asal
Palembang, pada 27 April 2021 pukul 08.51 WIB via Google Meet
38
Wawancara bersama Bismiyati sebagai informan 4 Mahasiswi asal
Sumatera Barat, pada 19 April 2021 pukul 15.49 WIB di Yayasan Cinta Yatim dan
Dhuafa , Jl. Inpres no.50 RT 002 Rw 009, Pisangan Barat, Kec. Ciputat timur, Banten
84

transportasi umum, ya jadi kadang-kadang cuman ngikut temen


aja, karena pas awal saya belum berani buat ngambil langkah
sendiri kak.”39

Informan 6 :

“Di Minang itu nggak biasa cewek keluar malam. Nah di kampus
kan biasa banget cewek keluar malam. Jadi pas ngasih tahu ke
temennya susah karna aku gak suka keluar malem. Kebebasan
bergaul kadang aku kurang nyaman, cewek cowok dempet
banget sentuh-sentuhan aku gak suka banget. Sama pengucapan
kata kasar kayak binatang, mengutuk orang tua, cara aku
ngatasinnya aku ngingetin, mungkin ada yang kalo aku deket aku
ingetin, kalau nggak deket ya udah aku abaikan.”40

Informan 7 :

“sempet temen-temen nada itu tersinggung sama intonasi nada


ngomong, kayak Lampung itu ngomongnya emang tinggi tapi
bukan bermaksud itu marah tapi yang dari Jawa suka
tersinggung.

“ngerasa culture nya itu juga beda banget di Lampung kita


ketemu sama orang yang enggak kita kenal gitu masih bisa saling
sapa, tapi kalau misalnya awal di lingkungan UIN Jakarta tuh

39
Wawancara bersama Mifta Dwi Kardo sebagai informan 5 Mahasiswa asal
Palembang, pada 24 April 2021 pukul 11.23 WIB via Google Meet
40
Wawancara bersama Dwi Aryani sebagai informan 6 Mahasiswi asal
Sumatera Barat, pada 26 April 2021 pukul 08.51 WIB via Google Meet
85

kayak ragu-ragu mau kenalan atau sapa orang yang gak


dikenal”41

Informan 8 :

“Saya mulai belajar untuk bebas berpendapat atau mau


bertindak itu memperhatikan lingkungan sosial dan dihadapkan
langsung kepada kehidupan bermasyarakat itu kan jadi disitu
aktivitas pola hidup pun berubah, di kampus juga ternyata
banyak banget perbedaan persepsi diluar yang saya kira, ini
yang kadang bikin saya harus berhati-hati berargumen.”42

Informan 9 :

“Meski kita sama-sama bisa bahasa Indonesia cuman beberapa


vocabulary nya tuh cukup berbeda gitu sih, jadi ya diawal aku
sering diejek aja karna kosakata yang aku sebutin salah tangkap
artinya sama temen di kampus, yang menurut aku itu biasa aja
tapi dianggap mereka itu aneh, contohnya kayak aku manggil
temen itu pake aku kamu menurut mereka penyebutan pake aku
kamu itu spesial, padahal di Aceh ya memang sehari-harinya
pake aku kamu.”43

Pembahasan ini juga didukung dengan argumen Pengurus


Himpunan Mahasiswa Lampung, yang melihat rata-rata

41
Wawancara bersama Qothratinnada sebagai informan 7 Mahasiswi asal
Lampung, pada 25 April 2021 pukul 20.11 WIB via Google Meet
42
Wawancara bersama Anisa Ulfadilla sebagai informan 8 Mahasiswi asal
Bengkulu, pada 21 April 2021 pukul 10.01 WIB via WhatsApp
43
Wawancara bersama Hurul Asyifa sebagai informan 9 Mahasiswi asal
Nanggroe Aceh Darussalam, pada 23 April 2021 pukul 16.21 WIB di Saung Pojok
Jawara Ciputat
86

mahasiswa Lampung kesulitan menyesuaikan dirinya karna iklim


cuaca yang berbeda, sehingga saat mahasiswa asal Lampung
datang ke kampus UIN untuk pertama kalinya langsung merasa
tidak enak badan.

“Kesulitan anggota HML yang saya lihat pertama itu dari


perbedaan cuaca, kurang beradaptasi mereka dengan iklim yang
berbeda jadi ada yang pertama dateng langsung sakit.”44

c) Readjustment
Fase readjustment adalah tahap penyesuaian kembali,
dimana seseorang akan mulai untuk mengembangkan berbagai
macam cara-cara untuk bisa beradaptasi dengan keadaan yang
ada. Seseorang mulai menyelesaikan krisis yang dialami di fase
frustation. Penyelesaian ini ditandai dengan proses penyesuaian
ulang dari seseorang untuk mencari cara, seperti mempelajari
bahasa, dan budaya setempat. Mahasiswa asal Sumatra mulai
melakukan adaptasi, dan cara penyelesaian masalah yang
informan lakukan juga berbeda-beda, tergantung pada masalah
yang dialami. :

Informan 1 :
“ Aku susah berinteraksi dengan orang baru, tapi jika sudah
mengenal lingkungannya dan kenal orangnya maka sifat asliku
akan timbul dengan sendirinya sehingga berkomunikasi seperti

44
Wawancara bersama Sakbano sebagai Pengurus Himpunan Mahasiswa
Lampung, pada 13 Juli 2021 pukul 14.05 WIB di Sekret Himpunan Mahasiswa
Lampung.
87

biasa tanpa merasa ini lingkungan baru. Aku butuh proses lama
untuk menyesuaikan, tapi setelah aku bisa menyesuaikan diri
dengan teman maupun lingkungan sekitar aku akan mulai
merasa nyaman.”45

Informan 2 :
“Ngeliat dari sisi Latar belakang orangnya atau budaya
orangnya, meyla mikirnya dia seperti itu ngomongnya, cara
berbicaranya, sikapnya, karna mungkin budayanya dia memang
gitu dan meyla juga berusaha buat bilang ke diri sendiri biasa
aja jangan mudah kesinggung lagi. Harus bisa beradabtasi dan
ngenal karakter setiap temen-temen meyla..”46

Informan 3 :
“Aku harus tau siapa yang aku ajak bicara, apakah sesama
Sumatra, apa orang Jawa, orang Sunda atau orang Jakarta
sendiri. Saya selalu di notice sama orang-orang, mereka bilang
kalau saya itu ngomongnnya gak sopan. Jadi saya harus tau saya
berbicara sama orang yang berasal darimana, kalau misalnya
lawan bicara saya orang Jawa, saya akan belajar untuk
menyesuaikan cara berbicara saya dengan intonasi yang lebih

45
Wawancara bersama Nur Fithri Qomariah Rambe sebagai informan 1
Mahasiswi asal Sumatera Utara, pada 25 April 2021 pukul 14.17 WIB via Google Meet
46
Wawa ncara bersama Meyla Rehulina Boru Sitepu sebagai informan 2
Mahasiswi asal Bangka Belitung, pada 20 April 2021 pukul 07.10 WIB via Google
Meet
88

rendah, harus pelan dan jelas juga harus sopan, walaupun


mungkin bagi mereka tetap saja cara berbicara saya ngegas.”47

Informan 4 :
“Bismi itu lebih tipe pendiem dan pendengar. Jadi lebih sering
ngedenger apa yang temen bismi bilang dan nyesuain, misalnya
kayak cara ngomongnya dia oh ternyata gini. Aku juga mulai
nyesuain. Merekanya juga mencoba menyesuaikan dirinya ke
aku..“48

Informan 5 :
“Yah kemarin itu saya cari info, ya paling enaknya langsung ke
temen jadi saya tanya ketemen saya dulu kalau ngerasa bingung,
jadi solusi saya harus bisa bergaul sama temen yang bisa ngasih
informasi dan sabar ngejawab apa yang saya tanyain kak.”49

Informan 6 :
“Aku mengatasi perbedaan budaya dengan sabar, kalau emang
sesuatu harus disampaikan atau dikomunikasiin, yaudah aku
harus sabar dan harus tetap berinteraksi sama dia walaupun
lingkupan pergaulannya bebas, aku harus bertahan di situ

47
Wawancara bersama Ilham Anugrah sebagai informan 3 Mahasiswa asal
Palembang, pada 27 April 2021 pukul 08.51 WIB via Google Meet
48
Wawancara bersama Bismiyati sebagai informan 4 Mahasiswi asal
Sumatera Barat, pada 19 April 2021 pukul 15.49 WIB di Yayasan Cinta Yatim dan
Dhuafa , Jl. Inpres no.50 RT 002 Rw 009, Pisangan Barat, Kec. Ciputat timur, Banten
49
Wawancara bersama Mifta Dwi Kardo sebagai informan 5 Mahasiswa asal
Palembang, pada 24 April 2021 pukul 11.23 WIB via Google Meet
89

sampai urusannya selesai. misalnya ada perbedaan cara


berpakaian sehari-hari yang gak sesuai syariat islam atau gak
sesuai yang diterapin di kampus, yaudah mencoba memahami
aja dia mungkin tipe orang yang kurang nyaman memakai
pakaian syar’i. Mencoba memahami sabar, terus fokus pada
tujuan dari interaksi itu sendiri itu.”50

Informan 7 :
“misalnya di Lampung cara nada ngomongnya tuh emang tinggi
tapi bukan berarti marah cuman emang gayanya seperti itu, aku
mencoba untuk tidak meninggikan suara agar mahasiswa Jawa
ini tidak tersinggung dari perkataan nada. Sama cara nada
mengatasinya juga dengan mengenal karakter masing-masing
temen atau masyarakat disana kak, nadanya juga harus peka.”51

Informan 8 :
“kalo ada masalah atau hal yang dirasa saya tidak nyaman, saya
berfikir jangan menutup diri, dan memendam sendiri nanti bisa
frustrasi, dan sakit sendiri, saya harus tetap baik kepada
siapapun, meski orang lain jahat jangan dibalas jahat, tetap baik
aja tapi baiknya bukan berarti mau dibodohi, saya memastikan

50
Wawancara bersama Dwi Aryani sebagai informan 6 Mahasiswi asal
Sumatera Barat, pada 26 April 2021 pukul 08.51 WIB via Google Meet
51
Wawancara bersama Qothratinnada sebagai informan 7 Mahasiswi asal
Lampung, pada 25 April 2021 pukul 20.11 WIB via Google Meet
90

untuk bisa bijak dalam berteman dan mengendalikan


keadaan.”52

Informan 9 :
“Karena is just a different, yang aku pelajari juga di kuliah,
kebetulan aku juga ada mata kuliah cross culture understanding
tentang komunikasi di mana perbedaan budaya, memang untuk
menyelesaikan perbedaan itu kita harus maklum. Mungkin
selama itu nggak ganggu aku, ya nggak apa-apa.”53

d) Resolution

Fase yang terakhir dari proses adaptasi budaya berupa


jalan akhir yang diambil seseorang sebagai jalan keluar dari
ketidaknyamanan yang dirasakannya. Dalam tahap ini ada
beberapa hal yang dapat dijadikan pilihan oleh para informan,
seperti Flight, Fight, Accomodation, Full participation. Dari 4
tahapan diatas, 4 informan memlih Accomodation dan 5
informan memilih Full participation:
v. Accomodation, tahapan dimana seseorang mencoba untuk
menikmati apa yang ada di lingkungannya yang baru, awalnya
mungkin orang tersebut merasa tidak nyaman, namun dia
sadar bahwa memasuki budaya baru memang akan
menimbulkan sedikit ketegangan, maka dia pun berusaha

52
Wawancara bersama Anisa Ulfadilla sebagai informan 8 Mahasiswi asal
Bengkulu, pada 21 April 2021 pukul 10.01 WIB via WhatsApp
53
Wawancara bersama Hurul Asyifa sebagai informan 9 Mahasiswi asal
Nanggroe Aceh Darussalam, pada 23 April 2021 pukul 16.21 WIB di Saung Pojok
Jawara Ciputat
91

berkompromi dengan keadaan, baik eksternal maupun internal


dirinya. Seperti penuturan beberapa informan berikut :

Informan 2 :
“awal-awal oh ternyata orang ini frontal banget,
ngomongnya tuh berisik banget, jadi ngerasa risih, kok orang
ini kenapa ya kayak gitu sikapnya. Tapi abis itu, akhirnya
kayak mulai mahamin diri sendiri dulu, baru mulai ngerti mau
paham karakter orang-orang di UIN, sebenernya masih
ngerasa risih, tapi aku coba ngerti kalau karakter mereka
seperti itu.”54

Informan 4 :
“Nyesuain sih bisa, paling aku udah bisa nyesuaian diri sama
kehidupan disini, yang tadinya di padang kalau duduk di
motor nyamping sekarang nggak, terus lebih berani buat
pergi-pergi sendiri, cuman kalau dari segi interaksi aku masih
ragu, cuman ya aku jadi belajar karakter orang berbeda-
beda. Pas di semester 1 2 bener-bener ngerasa susah buat
nyesuain, masih kaget ngeliat karakter temen yang beda
banget.”55

54
Wawancara bersama Meyla Rehulina Boru Sitepu sebagai informan 2
Mahasiswi asal Bangka Belitung, pada 20 April 2021 pukul 07.10 WIB via Google
Meet
55
Wawancara bersama Bismiyati sebagai informan 4 Mahasiswi asal
Sumatera Barat, pada 19 April 2021 pukul 15.49 WIB di Yayasan Cinta Yatim dan
Dhuafa , Jl. Inpres no.50 RT 002 Rw 009, Pisangan Barat, Kec. Ciputat timur, Banten
92

Informan 5 :
“Saya ngerasa yang jadi penghambat itu kebiasan sehari-hari
saya yang berbeda, kalau di Palembang biasa mempererat
silaturahmi harus dilaksanakan, tapi di tempat rantau lu lu
gua gua. Perbedaan Bahasa juga, juga banyak yang saya gak
tau di lingkupan baru ini, jadi pas awal ngikut sama temen
aja, sama saya harus berhati-hati, dalam percakapan, saya
gak berani ceplas-ceplos takut ada yang tersinggung. Faktor
pendukungnya temen kak, ada temen saya yang ngebantu juga
buat beradaptasi di lingkungan kampus kak. ”56

Informan 6 :
“Aku suka yang biasa aja, gaul cuman masih dalam batas tau
sopan santun, tahu adab. Nah yang bikin menghambat Itu tuh
orang-orang yang melebihi batas menurut aku. Cuman ya
akunya juga belajar mengerti, kalau menurut aku memang
bener-bener dijauhi ya akan aku jauhi,tapi kalau masih batas
wajar aku maklumi.”

“terus aku membiasakan diri dengam hawa polusi sih paling,


soalnya kalau disini itu damai banyak hijau-hijau adem, kalau
di Jakarta yang menjulang tingginya bukan bukit, pohon tapi
gedung-gedung..”57
vi. Full participation, ketika seseorang sudah mulai merasa

56
Wawancara bersama Mifta Dwi Kardo sebagai informan 5 Mahasiswa asal
Palembang, pada 24 April 2021 pukul 11.23 WIB via Google Meet
57
Wawancara bersama Dwi Aryani sebagai informan 6 Mahasiswi asal
Sumatera Barat, pada 26 April 2021 pukul 08.51 WIB via Google Meet
93

nyaman dengan lingkungan dan budaya barunya. Tidak ada


lagi rasa khawatir, cemas, ketidak nyamanan, dan bisa
mengatasi rasa frustasi yang dialami dahulu. Seperti penuturan
beberapa informan, sebagai berikut :

Informan 1 :
“Alhamdulillah hanya di awal saja aku merasa kurang
nyaman pas mulai merantau kurang lebih 1 bulan, karena aku
termasuk orang yang cepat menyesuaikan diri dalam
lingkungan yang baru. Sehingga, aku dapat memposisikan
diriku di mana aku berpijak.”58

Informan 3 :
“nggak ada perbedaan yang bener-bener mempengaruhi saya
kak, saya juga lancar dalama berbahasa Indonesia walaupin
bukan bahasa ibu. Cuman dari cara intonasi berbicara agak
saya turunin sedikit, di Sumatra orang ngomongnya keras
sedangkan di pulau Jawa cara berbicaranya lebih lembut.
Jadi kalau masih ada temen saya yang nganggap saya kasar
dalam berbicara sedangkan saya merasa sudah menurunkan
nada bicara, yasudah saya masa bodokan saja, sekarang sih
lebih ngerasa nyaman aja karna saya juga pilih-pilih kalau
mau berinteraksi dengan orang-orang.”59
Informan 7 :

58
Wawancara bersama Nur Fithri Qomariah Rambe sebagai informan 1
Mahasiswi asal Sumatera Utara, pada 25 April 2021 pukul 14.17 WIB via Google Meet
59
Wawancara bersama Ilham Anugrah sebagai informan 3 Mahasiswa asal
Palembang, pada 27 April 2021 pukul 08.51 WIB via Google Meet
94

“dari segi interaksi yang tadinya aku di Lampung gak terbiasa


ngomong Bahasa gaul kayak lu gue, karna ngeliat temen-
temen disini pake Bahasa gaul jadi aku mulai ngikutin. Sama
juga kebiasaan yang dulu di Lampung takut nyebrang jalan,
sekarang jadi lebih berani buat nyebrang, karena diJakarta
orang-orang pada mau ngasih pejalan kaki buat nyebrang
kalau diLampung itu pengendaranya gak ada yang mau
ngalah, ngebut-ngebut.”60

Informan 8 :
“Kalau sulit menyesuaikan diri sih enggak terlalu, hanya saat
pertama kali ngampus saya cukup menperhatikan dan
menganalisis keadaan, karakter orang, dan rutinitas baru
yang akan saya hadapi di hari berikutnya, jadi saya tidak
begitu mengalami kesulitan.”61

Informan 9 :

“aku ngerasa orang di UIN itu lebih gampang berbaur, di


Aceh orang-orangnya lebih tertutup. Awal-awalnya aja sih
aku kalau berinteraksi itu kurang nyaman mungkin karna
faktor aku pemalu juga ya, tapi setelah beradabtasi ngerasa
interaksinya lebih mudah aja gitu..”62

60
Wawancara bersama Qothratinnada sebagai informan 7 Mahasiswi asal
Lampung, pada 25 April 2021 pukul 20.11 WIB via Google Meet
61
Wawancara bersama Anisa Ulfadilla sebagai informan 8 Mahasiswi asal
Bengkulu, pada 21 April 2021 pukul 10.01 WIB via WhatsApp
62
Wawancara bersama Hurul Asyifa sebagai informan 9 Mahasiswi asal
Nanggroe Aceh Darussalam, pada 23 April 2021 pukul 16.21 WIB di Saung Pojok
Jawara Ciputat
BAB V

PEMBAHASAN

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif


deskriptif maka dalam penelitian akan diuraikan dan dianalisis secara
rinci sesuai dengan teori yang penulis gunakan. Teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori akomodasi komunikasi, dan adaptasi
budaya. Dalam penelitian ini penulis mendapatkan data dari observasi,
wawancara mendalam, dan dokumentasi. Pembahasan ini akan dianalisis
sesuai dengan fokus penelitian agar menjawab dari rumusan masalah.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang sudah dilakukan dan
dianalisis penulis menemukan beberapa perilaku mahasiswa UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang berasal dari pulau Sumatra dalam penyesuan
dirinya di tempat rantau sesuai dengan tahap-tahap akomodasi
komunikasi dan adaptasi budaya :

1. Mencoba melakukan penyesuaian diri ditempat rantau. Seperti


yang dilakukan oleh informan 1 Nur Fithri Qomariah Rambe,
informan 5 Mifta Dwi Kardo, informan 7 Qothratinnada,
informan 8 Anisa Ulfadilla, informan 9 Hurul Asyifa. Mereka
berusaha untuk menyamakan diri mereka dilingkungan baru
supaya bisa membuat diri mereka merasa nyaman.
2. Tidak adanya usaha dari para informan untuk menunjukan
persamaan atau mengikuti kebiasaan-kebiasaan yang ada
dilingkungan perantauan. Seperti yang dilakukan oleh informan
4 Bismiyati dan informan 6 Dwi Aryani, yang merasa bahwa

95
96

mereka tidak terbiasa dengan Bahasa gaul, sehingga lebih


cenderung membawa cara berbicara yang berasal dari daerahnya,
dibanding mengikuti kebiasaan temannya di kampus
menggunakan Bahasa gaul.
3. Adanya penyesuaian diri tapi mengalami kesalahan komunikasi
karna adanya perbedaan persepsi. Hal ini dialami oleh informan
2 Meyla Rehulina Boru Sitepu, yang mencoba untuk belajar
Bahasa Indonesia lebih lancar tetapi malah dibecandakan oleh
teman-temannya karena cara berbicaranya yang berbelit-belit dan
tidak dimengerti oleh temannya. Dan juga pernah dialami oleh
informan informan 3, iya terbiasa membawa intonasi
berbicaranya yang tegas ke ranah teman-temannya yang berasal
dari jawa, diapun berusaha menyesuaikan dirinya dengan
merendahkan intonasi bicaranya, tetapi tetap saja teman-
temannya menganggap dia berbicara terlalu kasar.
4. Merasa senang berada diwilayah baru yang mencoba keluar dari
zona nyamannya. Hal ini dirasakan oleh semua informan, mereka
merasa senang karna hidup diluar pulau Sumatra dan merasa
bangga menuntut ilmu diperguruan negeri UIN Jakarta yang
terkenal dengan keunggulannya pada Universitas keIslaman.
5. Mulai adanya rasa cemas, frustasi dan khawatir karna ekspektasi
tidak sesuai realita. Semua informan sepakat bahwa pada
awalnya mereka tidak sesenang seperti apa yang difikirkan,
beberapa informan merasa sulit menyesuaikan diri karna
perbedaan Bahasa dan intonasi bicara sehingga sering terjadi
kesalah pahaman. Informan lain pula merasa kurang nyaman
dengan pergaulan bebas yang ada dilingkungan kampus, dan
97

merasa bahwa rata-rata mahasiswa/I UIN Jakarta tidak


seAgamais yang difikirkan.
6. Berusaha memahami dan mencoba terbiasa dengan rasa tidak
nyaman yang pernah dialami. Para informan mencoba
memahami perbedaan-perbedaan budaya yang sangat berbeda
antara tempat rantau dengan tempat asalnya.

A. Analisis Fase-Fase Adaptasi Budaya Yang Terjadi Pada


Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Akomodasi komunikasi dilakukan untuk menyesuaikan
sikap komunikasi, karena terkadang dalam kegiatan sehari-hari saat
kita berinteraksi atau berkomunikasi terdapat perbedaan budaya yang
muncul pada seseorang yaitu seperti aksen kecepatan berbicara,
norma keteraturan berbicara, intonasi suara dan lainnya. Inti dari teori
akomodasi ini adalah adaptasi. Bagaimana seseorang menyesuaikan
komunikasi mereka dengan orang lain. Teori ini berpijak pada premis
bahwa ketika seseorang berinteraksi, mereka menyesuaikan
pembicaraan, pola vocal, atau tindak lanjut mereka untuk
mengakomodasi orang lain.1
Dalam Teori akomodasi komunikasi mempelajari
bagaimana dan mengapa kita menyesuaikan perilaku komunikasi kita
dengan perilaku komunikasi lawan bicara kita. Asumsi dasar dari
teori ini adalah bagaimana persamaan dan perbedaan berbicara dan
berperilaku terdapat di dalam semua percakapan, cara dimana kita

1
West Richard & Tunner Liynn H, Pengantar Teori Komunikasi, Analisis
dan Aplikasi, (Jakarta : Salemba Humnaika, 2007), h. 217.
98

memersepsikan tuturan dan perilaku orang lain akan menentukan


bagaimana kita mengevaluasi sebuah percakapan, Bahasa dan
perilaku memberikan informasi mengenai status sosial dan
keanggotaan kelompok, dan Akomodasi bervariasi dalam hal tingkat
kesesuaian dan norma mengarahkan proses akomodasi.
Dalam Teori Akomodasi Komunikasi, saat proses
komunikasi dan interaksi berlangsung satu sama lain, setiap individu
berhak memiliki pilihan bagaimana mereka beradaptasi.
Sebagaimana sudah penulis paparkan sebelumnya, Dimana strategi
adapatasi atau akomodasi komunikasi tersebut terdiri dari tiga pilihan
yaitu konvergensi, divergensi, dan akomodasi berlebihan : 2
1. Analisis pembahasan konvergensi
Konvergensi adalah proses adaptasi gaya komunikasi
agar menjadi lebih mirip dengan gaya komunikasi orang lain
atau kelompok.3 Hal ini seperti yang dilakukan oleh informan 1
Nur Fithri Qomariah Rambe, pada awalnya ia tidak terlalu
lancar berbahasa Indonesia dikarenakan di tempat asalnya yaitu
Sumatera Utara cenderung masyarakatnya menggunakan
Bahasa daerah, saat merantau ia berusaha menyesuaikan dirinya
dengan mempelajari Bahasa Indonesia dan juga mempelajari
intonasi dalam berbicara sehingga bisa lebih mudah
berkomunikasi. Begitu pula yang dilakukan informan 5 Mifta

2
Morrisan & Wardhany Andy Corry, Teori Komunikasi, (Jakarta: Ghalia
Indonesia , 2009), h. 135.
3
Charles R. Berger, Michael E. Roloff dan David R. Roskos, , terj. Derta Sri
Widowatie,The Handbook of communication science, (Bandung: Nusa Media, 2014),
h.133.
99

Dwi Kardo mahasiswa asal Palembang, ia berusaha memahami


kebiasaan di wilayah kampus dan mencoba mempelajari Bahasa
Indonesia lebih dalam. Berbeda dengan informan 7
Qothratinnada mahasiswi asal Lampung pada awalnya dia tidak
nyaman pulang malam dan tidak terbiasa menggunakan Bahasa
gaul, dikarenakan lingkupan pertemanannya cenderung
menggunakan Bahasa gaul dan dia aktif keorganisasian yang
kumpul pada saat malam hari, mahasiswi ini akhirnya mencoba
untuk menyesuaikan kebiasaan tersebut dengan cara mengikuti
selama masih batas wajar. Pada informan 8 Anisa Ulfadilla
yang berasal dari Bengkulu dan informan 9 Hurul Asyifa
mahasiswi asal Aceh, mereka berpendapat bahwa mereka harus
memahami perbedaan tersebut dan tidak boleh egois untuk tidak
mau kenal karakter yang berbeda-beda di lingkupan kampus.

2. Analisis Pembahasan Divergensi


Divergensi merupakan suatu cara bagi para anggota
komunikasi budaya yang berbeda untuk mempertahankan
identitas sosial. Berdasarkan observasi yang dilakukan penulis
menemukan bahwa ada dari 9 informan penelitian ini, terdapat
2 darinya yang tidak terbawa arus mengikuti kebiasaan interaksi
teman-temannya, yaitu informan 4 Bismiyati dan informan 6
Dwi Aryani yang merupakan mahasiswi asal Sumatera Barat.
Semasa di daerah tempat tinggalnya mereka tidak terbiasa
berkomunikasi dengan teman-temannya menggunakan Bahasa
gaul, lebih menggunakan penggunaan kata formal. Sehingga
saat mereka merantau, mereka merasa tidak nyaman melihat
100

teman-teman dikampusnya menggunakan Bahasa gaul seperti


lu gue atau penggunaan Bahasa kasar, atas dasar dari
ketidaknyamanan itu dan berusaha mempertahankan
kebiasaannya di daerahnya mereka tidak mencoba mengikuti
cara berbicara teman lainnya yang menggunakan Bahasa gaul.

3. Analisis pembahasan akomodasi berlebihan


Pilihan terakhir adalah akomodasi berlebihan.
Akomodasi berlebihan adalah “label yang diberikan kepada
pembicara yang dianggap pendengar terlalu berlebihan.4
Akomodasi berlebihan menimbulkan miskomunikasi.
Walaupun pembicara jelas-jelas berniat menunjukan rasa
hormat, pendengar mengaggapnya sebagai hal yang tidak
menyenangkan dan tidak menghargai dirinya. Pada penelitian
ini penulis menemukan 2 informan yang tergolong dalam tahap
akomodasi berlebihan, pada informan 2 Meyla Rehulina Boru
Sitepu mahasiswi asal Bangka Belitung ia mahasiswi yang
sehari-seharinya menggunakan Bahasa daerah saat sebelum
merantau, ia cukup sadar memberanikan diri mempelajari
Bahasa Indonesia lebih mendalam, tetapi karna dia masih
terbiasa mencampurkan Bahasa daerah dan Indonesia sehingga
dimata teman-temannya meyla berbicara berbelit-belit yang
membuat teman-temannya tidak paham apa yang ia bicarakan,
karena keterbiasaan tersebut ia sering direndahkan oleh teman-

4
West, Richard dan Turner, Lynn H, Pengantar Teori Komunikasi: Analisis
dan Aplikasi (Introducing Communication Theory: Analysis and Application), (Jakarta:
Salemba Humanika,2009), h. 227.
101

temannya dengan mengejek Bahasa daerahnya “Bahasa upin-


ipin” hal ini membuat meyla merasa tidak nyaman sehingga ia
lebih cenderung berdiam diri saat berada dikelas.
Lain pula dengan informan 3 Ilham Anugrah mahasiswa
asal Palembang yang selalu dianggap teman-temannya jika
berbicara selalu marah dan kasar, karena di Palembang
memang masyarakatnya berbicara dengan tegas membuat ilham
terbiasa berbicara dengan intonasi yang tinggi, ia menyadari
bahwa teman-temannya tidak nyaman dengan cara berbicara dia
dan mulai mencoba merendahkan intonasinya, tetapi tetap saja
teman-temannya menggap kalau ilham masih berbicara dengan
intonasi marah-marah, menurut ilham dia sudah sangat
berusaha untuk mengikuti mau dari teman-temannya,
dikarenakan teman-temannya masih menganggapnya berbicara
dengan intonasi marah-marah, membuat ilham saat ini lebih
selektif dalam memilih teman.

Berdasarkan 3 indikator tersebut terlihat 5 informan dari 9


informan memilihi konvergensi sebagai tindakan yang mereka
ambil, mereka lebih berusaha menyesuaikan dirinya di tempat
mereka merantau terutama lingkupan kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, meskipun beberapa dari mereka pada awalnya
merasa tidak nyaman berada dilingkupan baru dikarenakan
perbedaan budaya seperti cara berbicara, penggunaan Bahasa yang
berbeda, cara berinteraksi sehari-hari, tetap saja mereka berusaha
untuk memahami perbedaan tersebut dan mulai menerapkan di
kehidupan sehari-hari supaya komunikasi dengan mahasiswa
102

lainnya berjalan dengan lancer, mereka berusaha memahami


perbedaan tersebut dan tidak mempermasalahkan perbedaan yang
ada. Kemudian 2 diantaranya memilih divergensi, dimana mereka
tetap mempertahankan kebiasaan mereka menggunakan Bahasa
formal dibanding mengikuti penggunaan Bahasa gaul yang
diterapkan oleh teman-temannya. Pada 2 informan lainnya mereka
berusaha menyesuaikan diri dengan menyamakan pergaulan yang
ada di kampus, tetapi tetap saja temannya menganggap cara
komunikasi mereka sulit untuk dipahami hal ini disebut akomodasi
berlebihan.

B. Analisis Fase-Fase Adaptasi Budaya Yang Terjadi Pada


Penyesuaian Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
Ting-Toomey memaparkan secara gamblang bahwa suatu
proses adaptasi menghadirkan sebuah tantangan dan perubahan bagi
individu yang mengalami. Tantangan tersebut meliputi adanya suatu
perbedaan keyakinan inti, nilai-nilai, dan norma-norma antara
daerah asal dengan budaya setempat (tempat baru), kemudian
terjadinya suatu kehilangan gambaran-gambaran budaya asal serta
simbol-simbol yang biasanya familiar disaksikan menjadi hilang.5
Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia tidak dapat
terlepas dari berinteraksi dimana manusia adalah makluk sosial yang
tidak bisa hidup sendiri, dengan kata lain manusia membutuhkan
orang lain untuk berkomunikasi. Berbeda latar belakang budaya

5
Ting-Toomey, Stella. Communicating Across Culture. (New York : The
Guilford Publications, 1999), h. 233.
103

itupun tidak menjadi suatu masalah untuk manusia berinteraksi dan


berkomunikasi satu sama lain. Hal ini pun terjadi pada mahasiswa
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berasal dari pulau Sumatra
yang mengalami perbedaan budaya antara tempat mereka tinggal
dan tempat merantau.
Pada penelitian ini penulis mengaitkan proses adaptasi
mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berasal dari pulau
Sumatra melalui fase U-curve Model atau U-curve Theory, Secara
umum ada empat fase yaitu Fase Honeymoon, Frustation,
Readjustment, dan Resolution.6

1. Pembahasan fase Honeymoon


Fase honeymoon merupakan fase dimana seseorang telah
berada dilingkungan baru, menyesuaikan diri dengan budaya
baru dan lingkungan. Tahap ini adalah tahap dimana seseorang
masih memiliki semangat dan rasa penasaran yang tinggi serta
menggebu-gebu dengan suasana baru yang akan dijalani.
Seseorang menyesuaikan diri dengan budaya baru yang
menyenangkan karena penuh dengan orang-orang baru, serta
lingkungan dan situasi baru. Individu tersebut mungkin tetap
akan merasa asing, kangen rumah dan merasa sendiri namun
masih terlena dengan keramahan penduduk lokal terhadap orang
asing.
Pada fase ini dimana seluruh informan penelitian yaitu
mahasiswa yang berasal dari Pulau Sumatra telah berada

6
Hamad, Ibnu. Komunikasi dan Perilaku Manusia.(Depok : PT. Raja
Grafindo Persada, 2013). h.376
104

dilingkungan baru, menyesuaikan diri dengan budaya baru dan


lingkungan yang ada di Jakarta tepatnya dilingkungan kampus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mahasiswa asal Sumatra saat
pertama kali sampai di lingkupan kampus merasa sangat senang,
dimana semua informan mengungkapkan bahwa mereka
merasakan perbedaan yang signifikan dengan daerah asalnya,
seperti cara berbicara teman-temannya yang menggunakan
Bahasa gaul, melihat lingkungan yang sangat ramai dari
masyarakat yang berbeda-beda asalnya, kemudian cara interaksi
saat mengobrol terlihat jelas sangat berbeda dan juga banyaknya
gedung-gedung serta perbedaan jenis transportasi umum yang
tidak ada di kampung halaman mereka.
Selain itu saat mahasiswa asal Sumatra merasa antusias,
optimis, serta rasa penasaran dan semangat yang tinggi terhadap
segala aktifitas yang akan mereka jalani di lingkungan baru,
sehingga hal itu membuat semua informan mulai membayangkan
dan merencanakan keseruan aktifitas baru di kampus,
mendapatkan teman baru, dan mengikuti segala sesuatu hal di
Jakarta dan juga Universitas yang dianggap keren dan menarik.
Pada fase honeymoon ini, mahasiswa asal Sumatra masih terlena
dengan suasana baru.

2. Pembahasan Fase Frustation


Pada Tahapan selanjutnya adalah fase frustration, fase ini lah
culture shock itu mulai terjadi, karena lingkungan baru mulai
berkembang. Fase ini adalah tahap dimana rasa semangat dan
penasaran yang menggebu-gebu tersebut berubah menjadi rasa
105

frustasi, cemas, jengkel dan bahkan permusuhan serta tidak


mampu berbuat apa-apa karena realita yang sebenarnya tidak
sesuai dengan ekspetasi yang di miliki pada awal tahapan.
Mahasiswa asal Sumatra mengalami berbagai
pengalaman/ kejadian culture shock di fase ini. Kesembilan
informan memiliki pengalaman culture shock yang berbeda-
beda, Informan pertama mengalami masalah pada penggunaan
Bahasa kasar yang sering diucapkan teman-teman kampusnya
seperti penyebutan nama binatang, njir, itu merupakan
pengalaman pertamanya melihat banyak orang menggunakan
Bahasa kasar, hal ini membuatnya kaget dan mulai merasa risih
mendengar perkataan yang kasar.
Pada informan 2, ia mengungkapkan bahwa apa yang dia
fikirkan tentang mahasiswa UIN Jakarta seperti cara berpakaian
yang sesuai syariat islam, kemudian kampus yang sangat kental
keagamaannya, cara berbicara mahasiswanya lebih sopan,
ternyata tidak sesuai dengan realitanya, ia melihat mahasiswa
UIN lebih berpakaian bebas masih banyak perempuan yang
menggunakan jelana jins, dan banyak mahasiswa juga yang
bahkan tidak paham dengan pelajaran Agama. Dilain hal meyla
memiliki trauma saat ia masih menjadi mahasiswa baru, dimana
ia pernah kehilangan hp di masjid dan membuatnya lebih berhati-
hati, ia mengungkapkan bahwa kalau di Bangka Belitung jarang
adanya kasus criminal seperti kemalingan.
Kemudian informan 3, mengalami kesulitan dalam
berinteraksi karna gaya berbicaranya yang dianggap kasar oleh
teman kampusnya, hal ini menjadi faktor penghambat bagi ilham,
106

disaat ilham ingin menyampaikan sesuatu hal yang baik tetap saja
teman-temannya menganggapnya ilham kasar dalam berbicara
karna temannya tidak terbiasa dengan intonasi berbicara ilham,
hal ini yang membuat ilham selama 1 tahun lebih merasa tidak
nyaman saat berkomunikasi dengan teman-teman kampusnya.
Informan ke 4 bismiyati, merasa bingung ketika melihat
perempuan yang ada di Jakarta kalau duduk diatas motor saat
menggunakan rok tidak menyamping, hal ini membuatnya
mengikuti cara duduk tersebut yang pada awalnya merasa sangat
risih. Kemudian dalam segi komunikasi hingga sekarang bismi
masih kaget saat melihat teman-temannya menggunakan lu gua
karna didaerah asalnya lebih cenderung menyebutkan nama.
Pada informan 5, ia masih kebingunan dan kesulitan
dalam mengenal transportasi umum yang ada di wilayah Jakarta,
mifta merasa aneh karna banyak jenis transportasi umum yang
ada di Jakarta dan kesulitan dalam memahami rute, hal ini
membuat mifta lebih sering bergantung pada temannya.
Informan 6, Ani mengungkapkan bahwa dia mengikuti
organisasi yang sering kumpul malam hari, hal ini membuat ani
merasa tidak nyaman saat pulang malam karena dikampung
halamannya sangat jarang perempuan diperbolehkan pulang
malam, ia kesulitan dalam meminta izin untuk pulang terlebih
dahulu karena merasa tidak enak dengan teman-temannya. Selain
itu, ani juga tidak Nyaman dengan pergaulan bebas mahasiswa
kampus antara perempuan dan laki-laki yang sangat mudah
berdempetan dan mereka merasa bukan masalah besar, ia juga
merasa risih dengan teman-temannya yang berbicara kasar.
107

Informan 7, pernah mengalami miskomunikasi dengan


temannya karena perbedaan intonasi dalam berbicara, temannya
mengganggap kalau informan sedang marah sedangkan ia tidak
merasa marah-marah sehingga membuat temannya tersinggung.
Informan juga ragu-ragu saat ingin memulai tegur sapa dengan
orang yang belum ia kenal di lingkungan kampus karena
memiliki rasa takut salah dan takut ditanggapi sebagai orang
aneh.
Informan 8, mengungkapkan bahwa informan selalu
berhati-hati dalam mengeluarkan pendapat pada mahasiswa
lainnya, dikarenakan ternyata banyak persepsi temannya yang
berbeda dengannya.
Informan 9, pada awalnya ia merasa tidak nyaman dengan
sikap teman-teman kelasnya yang mengejek informan karena
memakai aku kamu saat berbicara, informan mengatakan bahwa
temannya menganggap penggunaan aku kamu itu adalah hal
yang spesial padahal di Aceh rata-rata masyarakatnya memang
menggunakan aku kamu saat berbicara.

3. Pembahasan Fase Readjustment


Fase readjustment adalah tahap penyesuaian kembali, dimana
seseorang akan mulai untuk mengembangkan berbagai macam
cara-cara untuk bisa beradaptasi dengan keadaan yang ada.
Seseorang mulai menyelesaikan krisis yang dialami di fase
frustation. Penyelesaian ini ditandai dengan proses penyesuaian
ulang dari seseorang untuk mencari cara, seperti mempelajari
108

bahasa, dan budaya setempat. Mahasiswa asal Sumatra mulai


melakukan adaptasi, dan cara penyelesaian masalah yang
informan lakukan juga berbeda-beda, tergantung pada masalah
yang dialami.
Informan 1, cukup sulit dalam menyesuaikan diri dengan
cepat, tetapi ia mengatasi dengan cara membiasakan diri
walaupun butuh proses yang lama, setelah informan 1 bisa
menyesuaikan diri dengan teman maupun lingkungan sekitar,
informan 1 akan mulai merasa nyaman.
Informan 2, ia akan melihat dari sisi Latar belakang
budaya lawan bicaranya, dan setelah mengenal kebiasaan lawan
bicaranya dia akan berusaha memahami lawan bicaranya dan
membiasakan diri buat lebih berhati-hati dalam berbicara, juga
saat menaru barang-barang penting.
Informan 3 dan informan 7, memiliki kasus hal serupa
yaitu intonasi dalam berbicara yang dianggap kasar oleh teman
dikampungnya, informan 3 akan mencari lebih tahu suku dari
lawan bicaranya, jika itu orang jawa atau sunda dia akan
mencoba untuk menyamakan intonasi berbicaranya dengan
mereka sehingga lebih terlihat sopan, walaupun dimata lawan
bicaranya tetap berbicara dengan intonasi yang tinggi.
Sedangkan informan 7 akan mencari tahu terlebih dahulu
karakter lawan bicaranya, dan lebih terbuka dengan memahami
lawan berbicaranya.

Pada informan 4 5 6 dan 9, memiliki argumen yang sama


dalam mengatasi kesulitan penyesuaian diri mereka, informan
109

mengatakan bahwa mereka juga harus menyesuaikan diri mereka


dengan mencari info yang lebih jelas terkait kebiasaan
masyarakat Ibukota dan kunci utama penyesuaian diri mereka
dengan sabar di saat melihat perbedaan atau permasalahan yang
membuat mereka merasa tidak nyaman seperti pergaulan bebas
atau perbedaan persepsi.
Kemudian informan 8 selalu mencoba terbuka dengan
teman-teman kampusnya, jika ia memiliki masalah informan
tidak ingin menutup diri dan harus sharing dengan teman-
temannya, sehingga informan 8 berfikir pasti mereka akan lebih
terbuka juga kepada dirinya.

4. Pembahasan Fase Resolution


Setelah mahasiswa asal Sumatra menjalani tiga tahapan
sebelumnya, akhirnya mahasiswa asal Sumatra berada di tahapan
terakhir, yaitu fase resolution. Fase yang terakhir dari proses
adaptasi budaya berupa jalan akhir yang diambil seseorang
sebagai jalan keluar dari ketidaknyamanan yang dirasakannya.
Selama fase ini mungkin akan muncul beberapa macam hasil.
Pertama, banyak orang memperoleh kembali level keseimbangan
dan kenyamanan, mengembangkan hubungan yang penuh makna
dan sebuah penghargaan bagi budaya baru. Dalam tahap ini ada
beberapa hal yang dapat dijadikan pilihan oleh orang tersebut,
diantaranya Full participation, Accomodation, Fight, dan Flight.
Pada fase ini mahasiswa asal Sumatra memutuskan dan
mengambil jalan akhir dari proses adaptasi yang dilakuan, yaitu
dimana 5 informan memilih Full participation dan 4 informan
110

memilih Accomodation. Mahasiswa asal Sumatra yang


memutuskan pada pilihan full accommodation yaitu dimana
informan sudah merasa sangat nyaman dan tidak ada lagi
masalah yang dialami terhadap lingkungan maupun budaya baru.
Bahkan mahasiswa asal Sumatra merasa betah berada di Jakarta
dan sudah sepenuhnya bisa menerima keadaan apapun yang ada
di Jakarta maupun lingkupan kampus. Sedangkan mahasiswa
asal Sumatra yang memutuskan pada piihan accomodation yaitu
dimana informan belum sepenuhnya menerima linkungan baru
dan masih mengalami masalah seperti pergaulan bebas,
perbedaan persepsi, cara interaksi antar masyarakat yang sangat
berbeda di kampung halamannya, kemudian penyesuaian dengan
hawa polusi Jakarta yang berbeda degan kampong halaman
informan. Tapi disini informan dapat menemukan cara untuk
mengatasi masalah yang dialaminya. Informan sudah tahu dan
sudah menemukan cara untuk mengatasi permasalah-permasahan
yang ada, hal ini dilakukan guna untuk mencapai tujuan
menyelesaikan perkuliahan.
BAB VI
PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan uraian dari hasil penelitian dan pembahasan
tentang Akomodasi Komunikasi Antar Budaya Pada Penyesuaian
Diri Mahasiswa Perantauan Asal Sumatra Di Uin Syarif Hidayatullah
Jakarta, dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Berdasarkan akomodasi komunikasi yang terjadi pada


penyesuaian diri mahasiswa perantauan asal Sumatra di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, para informan cenderung
memilih konvergensi sebagai tindakan yang mereka ambil,
mereka lebih berusaha menyesuaikan dirinya di tempat
mereka merantau terutama lingkupan kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, meskipun beberapa dari mereka pada
awalnya merasa tidak nyaman berada dilingkupan baru
dikarenakan perbedaan budaya seperti cara berbicara,
penggunaan Bahasa yang berbeda, cara berinteraksi sehari-
hari, tetap saja mereka berusaha untuk memahami perbedaan
tersebut dan mulai menerapkan di kehidupan sehari-hari
supaya komunikasi dengan mahasiswa lainnya berjalan
dengan lancar, mereka berusaha memahami perbedaan
tersebut dan tidak mempermasalahkan perbedaan yang ada.
2. Pada Fase-Fase Adaptasi Budaya Yang dikemukakan oleh
Young K, penyesuaian diri para informan sudah menerapkan
fase-fase Honeymoon, Frustation, Readjustment, Resolution.

111
112

Dimana pada fase Honeymoon para informan pada awalnya


memiliki harapan atau ekspektasi ketika akan melakukan
perantauan serta motif untuk berkuliah dan menggapai cita-
cita, setelah berada dilingkungan baru para infoman baru
menyadari banyaknya perbedaan antara kampung halaman
dan kota perantauan sehingga memicu terjadinya penyesuaian
terhadap hal-hal yang baru di perantauan hal ini berada di fase
Frustation. Untuk mengatasi rasa tidak nyamannya saat
berada dilingkungam baru, para informan memilih
bertoleransi dengan perbedaan budaya yang ada, dengan cara
mengenal terlebih dahulu karakter lawan bicaranya, berusaha
tidak tersinggung dengan perbedaan yang ada dan juga
mempelajari kosakata Bahasa Indonesia lebih mendalam
untuk menghindari kesalahan persepsi. Pada tahap Resolutian
terlihat sebagian besar para informan sudah merasa sangat
nyaman dan tidak ada lagi masalah yang dialami terhadap
lingkungan maupun budaya baru.

B. Saran
Adapun saran yang ingin disampaikan oleh penulis adalah:
1. Untuk setiap individu yang akan merantau, sebelumnya
diharapkan mempelajari lingkungan baru tempat tinggalnya
dengan mengenal kebiasaan dan karakteristik masyarakat tepat
merantau secara umum sehingga bisa menghindari rasa ketidak
nyamanan di lingkungan baru. Selain itu, diusahakan dapat
menerima dan bersikap terbuka terhadap perbedaan-perbedaan
yang ada, karena hal tersebut merupakan suatu identitas budaya.
113

2. Komunikasi yang muncul adalah konvergensi. Konvergensi


sendiri merupakan bentuk akomodasi dimana individu berusaha
untuk menyamakan perilaku komunikasinya dengan lawan
bicaranya, yang membuat individu yang melakukan akomodasi
akan menanggalkan atribut kulturalnya selama proses
komunikasi untuk mengakomodasi lawan bicaranya. Berangkat
dari penelitian ini dapat dilakukan penelitian lanjutan untuk
mengetahui identitas kultural mana yang akan dipilih oleh
individu setelah melakukan konvergensi di lingkungan kultural
yang berbeda dengannya. Informan yang dipilih sebaiknya
individu dari kultur yang memiliki kebanggaan kultural yang
kuat.
114

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan


Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

Arifin, TM. 2003 Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Rajawali

Arbi, Armawati. 2003. Dakwah dan Komunikasi. Jakarta: UIN Press.

Charles R. Berger, Michael E. Roloff & David R. Roskos, , terj. Derta


Sri Widowatie. 2014. The Handbook of communication science.
Bandung: Nusa Media.

Chaney, D. Life Style. 2004. Sebuah Pengantar Komprehensif.


Yogyakarta: Jalasutra.

Devito, Joseph A. 1997 Komunikasi Antar manusia. Jakarta: Profesional


Books.

Departemen Agama RI. 2005 “Al-Qur’an dan terjemahannya”.


Bandung: CV. Penerbit Jummatul Ali.

Drs. Hanafi & M. lkram BA. 1980. Adat Istiadat Daerah Bengkulu.
Jakarta : Proyek Penelitian Dan Pencatatan Kebudayaan Daerah
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Gudykunst, W. B., & Kim, Y. Y. 2003. Communicating With Strangers.


New York: McGraw-Hill.

Hamad, Ibnu. 2013. Komunikasi dan Perilaku Manusia. Depok : PT.


Raja Grafindo Persada.
115

Hidayat, Dedy N. 2003. Paradigma dan Metodologi Penelitian Sosial


Empirik Klasik. Jakarta: Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Indonesia.

Larry A. Samovar & Richard E. Porter. 1991. Communication Between


Culture. Belmont. California: Wadsworth.

Larry A. Samovar, Richard E. Porter & Edwin R. McDaniel. 2012.


Intercultural Communication: A Reader, Thirteenth Edition.
Boston: Cengage Learning.

Milles & Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas


Indonesia Press.

Morrisan & Wardhany Andy Corry. 2009. Teori Komunikasi. Jakarta:


Ghalia Indonesia.

Morissan. 2009. Teori Komunikasi Organisasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mulyana, Deddy. 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung:


PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Deddy & Jalaludin Rahmat. 2005. Komunikasi Antar Budaya,


,Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Richard West & Lynn H. Turner , terj Maria Natalia dan Damayantu
Maer. 2008. Pengantar Teori Komunikasi. Jakarta, Salemba
Humanika.

Rakhmat, Jalaluddin. 2005. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung:


PT. Remaja Rosdakarya.
116

Ruben Brent D & Lea P Stewart. 2006. Communication and Human


Behavior. United States: Allyn and Bacon.

Sihabudin, Ahmad. 2013. Komunikasi Antar budaya: Satu Perspektif


Multidimensi. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Singarimbun ,Masri & Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survey.


Jakarta: LP3ES.

Stewart. L. Tubbs-Sylvia Moss. 2001. Human Communication konteks-


konteks komunikasi antar budaya. Bandung: PT. Remaja Rosda
karya buku ke-2.

Sudarto. 1997. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo


Persada.

Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta

Samovar, Larry A. & Richard Porte. 1994. Intercultural Communication


A Reader. 7th ed. 1994. New York: International Thomson Publ.

Sunarto , Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi Edisi Revisi. Jakarta:


Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi.

Sutopo, HB. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan


Terapannya Dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press.

Ting-Toomey, Stella. 1999. Communicating Across Culture. New York


: The Guilford Publications.

UU. Hamidy. 1995. Orang melayu di riau. Pekanbaru.

West Richard & Tunner Liynn H. 2007. Pengantar Teori Komunikasi,


Analisis dan Aplikasi. Jakarta : Salemba Humnaika.
117

West, Richard & Turner, Lynn H. 2009. Pengantar Teori Komunikasi:


Analisis dan Aplikasi (Introducing Communication Theory:
Analysis and Application). Jakarta: Salemba Humanika.

Jurnal

Andi Faisal Bakti, Communication and Family Planning in Islam in


Indonesia: South Sulawesi Muslim Perception of a Global
Development Program.

Alhamdu. 2018. "Karakter Masyarakat Islam Melayu Palembang."


Jurnal: Psikologi Vol: 1 No. 1.

Dr. Suheri, M. I Kom. 2019. "Akomodasi Komunikasi" Jurnal: Network


Media Vol: 2 No. 1

Wilbur Schramm, the process and Effects of Mass Communication,


(University Of Illinois Press Urbana, 1995)

Skripsi

Benandra Masryah Sasdana, “Pengaruh Efektivitas Komunikasi Antar


Budaya Terhadap Adaptasi Mahasiswa (Studi Terhadap
Mahasiswa Perantau Di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Sriwijaya Angkatan 2015 - 2016)”

Website

Artikel Pendidikan Generasi Millennial | IDN Times


118

Website PPDIKTI-Pangkalan Data Pendidikan Tinggi


(https://pddikti.kemdikbud.go.id/data_pt/)

LaRay M. Barna, Stumbling Blocks in Intercultural Communication,


(http://archive.aacu.org/summerinstitutes/igea/documents/Allres
ources_000.pdf, 2 Juli 2018)

Profil Pulau Sumatera. http://www.gosumatra.com/seputar-sumatera-


indonesia/ diakses pada 25 Desember 2015.

Sifat Umum Orang Aceh. https://www.fokusaceh.com/2020/06/5-sifat-


umum-orang-aceh-yang-paling.html Diakses pada 23 Juni 2020.

Khas Orang Medan. https://www.google.com/amp/kissfmmedan.com/


ciri-khas-orang-medan/ Diakses pada 4 Desember 2017

Mitos vs fakta menarik orang minang. https://www.google.com/amp/


s/www.kabarsumbar.com/ berita/5-mitos- vs-fakta-menarik-
tentang-orang-minang/%3famp Diakses pada 14 Desember 2020
pukul 19. 36

Mengenal kebudayaan daerah jambi. https://www.senibudayaku.com/


2018/ 05/mengenal-kebudayaan-daerah-jambi.html?m=1#
Diakses pada 12 Mei 2018

Beberapa Ciri Khas ni Hanya Dimiliki Orang Palembang, https://


www.molzania.com/beberapa-ciri-khas-ini-hanya-dimiliki/
Diakses pada 15 Agustus 2017

Yuk Kita Ketahui Lebih Banyak Tentang Bangka. https://www.


google.com/amp/s/desmaster.wordpress.com/2015/08/03/yuk-
119

kita-ketahui-lebih-banyak-tentang-bangka/amp/ Diakses pada 03


Agustus 2015

Saat digandeng orang Lampung pasti kamu akan merasakan 7 hal ini
https://palangkanews.co.id/ / Diakses pada 8 September 2020

Observasi

Data Jumlah Mahasiswa UIN Jakarta yang berasal dari masing-masing


Provinsi Sumatra pada tahun 2020/2021 Pusat Teknologi
Informasi dan Pangkalan Data UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
pada 29 April 2021
Lampiran-lampiran
Informan 1 : Nur Fithri Qomariah Rambe

Asal : Sumatera Utara

Hari/Tanggal/Pukul : Minggu, 25 April 2021 / 14.17 WIB

Tempat : via Google Meet

1. Bagaimana perasaanmu saat berada dilingkungan yg berbeda?


Aku ngerasa senang, karna bisa ketemu sama orang-orang baru
yang notabenenya berasal dari wilayah yang berbeda-beda.
2. Apakah ada kendala saat kamu pertama kali belajar di UIN?
Kendalanya berinteraksi dengan orang baru, karena untuk pertama
kalinya aku menimbah ilmu di luar pulau yang mana kehidupan di
provinsi satu dengan yang lainnya berbeda. Dari segi komunikasi,
bahasa, tingkah laku, gaya bicara apakah intonasi yang diucapkan
baik atau tidak dan sebagainya.
3. Menurut kamu, apakah kamu orang yang sulit atau mudah
dalan berinteraksi dgn orang lain?
Termasuk dalam kategori sulit, karena aku bukan tipe yang memulai
pembicaraan.
4. Perbedaan budaya apa saja yang kamu rasakan antara budaya
medan dan tempat kamu merantau ?
Perbedaan yang pang paling menonjol adalah bahasa. Sehingga
gaya bahasa, intonasi bicara, bahasa slank atau dialek yang dipakai
itu sangat berbeda.
5. Adakah hal-hal yang membuat kamu kurang nyaman saat
berinteraksi dengan mahasiswa di tempat baru?
Penggunaan Bahasa gaul yang sedikit berlebihan di kampus.
Menurutku itu sedikit kasar seperti kata anjir, njir, di sana untuk
pertama kalinya aku mendengarnya. Jadi aku kaget tidak terbiasa
mendengar kata-kata kasar yang diucapkan teman kampus.
6. Apakah pernah terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi
dengan mahasiswa lainnya? Apa saja?
Pernah, Contohnya, aku mengatakan kata ledek dengan kata ngejek.
Kali dengan banget "banyak kali sedangkan di sini banyak banget".
terus dengan baru "baru aku pergi lagi di sini trus aku pergi lagi"
dan masih banyak kata lainnya.
7. Menurut kamu apakah faktor penghambat yg kamu alami saat
berkomunikasi dgn mahasiswa lainnya?
Faktor penghambat, aku susah berinteraksi dengan orang baru, aku
akan sangat tertutup dengan mereka yang tidak aku kenal.
8. Bagaimana cara kamu mengatasi perbedaan2 yang terjadi agar
interaksi tetap berjalan dgn baik?
Aku selalu berusaha menyesuaikan dengan lingkungan yang baru.
Seperti gaya bahasa, nada dan intonasi bicara, jadi karna ditempat
asalku mengggunakan Bahasa daerah, diawal aku mencoba belajar
Bahasa Indonesia biar teman-temanku di UIN mengerti apa yang
aku ucapkan. Sehingga ketika berinteraksi dan berkomunikasi
dengan yang lainnya tidak merasa kesulitan lagi.

Nur Fithri Qomariah Rambe


Informan 2 : Meyla Rehulina Boru Sitepu

Asal : Bangka Belitung

Hari/Tanggal/Pukul : Selasa, 20 April 2021 / 07.10 WIB

Tempat : via Google Meet

1. Kenapa memilih UIN Jakarta, sebagai tempat melanjutkan


pendidikan?
UIN itu pernah sosialisasi di SMA meyla, abis itu meyla cari-cari
info tentang jurusan-jurusan yang ada di UIN terus aku tertarik
sama Kessos sama di Jakarta juga ada saudara.
2. Apa peresepsi awal kamu tentang UIN Jakarta?
Persepsi aku, Universitas yang kental banget keagamaannya, jadi
aku rasa aku akan belajar banyak hal terkait keagamaan, aku fikir
pasti dari segi kedisiplinan, pakaian, pelajaran akan sangat bagus.
3. Terus pas waktu kamu udah masuk ke UIN nya, apa yang kamu
rasain? Apakah sesuai sama persepsi kamu?
Awalnya kan aku fikir fokus banget ke agamaannya, bener-bener
ketat aturannya. Ternyata pas dateng lebih open minded gitu orang-
orangnya, terlebih dijurusan meyla. Juga masalah berpakaian
mahasiswa-mahasiswanya, meylakan jurusannya kessos, aku fikir
walaupun jurusan umum tetep gitu kak masih islami banget,
ternyata nggak seislami atau nggak setertutup yang meyla kira.
Juga sebelum masuk UIN, aku udah mikir pengen masuk asramanya
dulu. Kalau dimahadkan ada banyak keagamaan, bahkan kita itu
diwajibin pake rok, pake baju panjang terus gak boleh pacaran. Jadi
meyla ngerasa, itu bisa ngebuat meyla tetep gak keikut arus.
4. Bagaimana perasaanmu saat berada dilingkungan yg berbeda?
Ada rasa kayak takut gak bisa berbaur, waktu itu juga kayak
kenalan sama yang lain pas awal gak susah cuman dari segi
bahasanya susah dimengerti, karna awal-awal meyla juga ngomong
bahasa indonesia kayak berbelit-belit gitu. Juga sering homesick,
karna meyla baru pertama kali merantau. Ada rasa takut gak bisa
ngurus diri sendiri, cuman kebantu sama kesibukan ngerjain tugas-
tugas kuliah dan meyla harus manage waktu kapan nyuci, kapan
bebenah, jadi fokusnya itu kesitu. Dulu pas awal-awal aja ngerasa
gak nyaman, ada rasa takut gitu.
5. Apakah kamu ada kendala pas waktu belajar di UIN?
Awalnya memang susah, meyla itu orangnya agak pendiem tapi
kalau orang-orang dijurusan itu pada frontal kalau ngomong, jadi
aku mikir orang-orangnya sedikit kasar, aku kayak kaget gitu. Tapi
karna terbiasa, udh ngerasa gak kaget lagi. Kalau dari segi
kekhawatiran pasti ada, walaupun asrama aku harus tetep ngatur
kebutuhan kayak uang bulanan yang harus bener-bener teliti.

6. Berarti kamu salah satu orang yang susah berinteraksi ya?


Iya kak, meyla gak bakal ngajak ngomong duluan, tapi kalau
temennya ngomong duluan baru meyla bakal respon.
7. Kalau dari segi ekonomi sendiri ada gak kesulitannya?
Paling cuman pas mempergunakan uangnya kayak harus bener-
bener manage dengan baik gitukan.

8. Bagaimana komunikasi dan interaksi yang kamu lakukan


dengan mahasiswa lainnya?
Ada rasa canggung, malu, terus kayak ragu, soalnya meyla itu kalau
ngomong bahasa indonesia suka berbelit-belit gak sengaja nyampur
sama bahasa daerah, banyak yang gak ngert terus meyla itu suka
ngulang ngejelasinnya. Terlebih lagi temen-temen meyla pas awal
itu pada gak ngerti sama apa yang meyla omongin, akhirnya mereka
nanya lu pake bahasa melayu ya? Bahasa yang kayak upin ipin gitu,
jadi pas awal suka diejek gitu. Tapi ya meyla iya iya aja
ngeresponnya, dalem hati itu ngebatin mulu.
Temen-temen meyla kalau ngomong vocal banget jadi aku ngerasa
tertutup gitu diantara temen-temen lainnya. Jadi hampir satu
semester meyla canggung sama yang lain, dan lebih banyak
diemnya karna ragu pas pengen ngomong atau ngajak ngobrol
temen lainnya. Tapi akhirnya kayak temen-temen yang lainnya juga
mau berbaur sama meyla, mau deket dan mau memahami aku.
9. Perbedaan budaya apa saja yang kamu rasakan antara budaya
medan dan tempat kamu merantau ?
Dari segi keamanan itu paling jelas menurut meyla. Aku kaget karna
pernah dikampus kehilangan HP di masjid UIN awalnya mikir
dimasjid ya pasti gak bakalan ada maling selalu berfikir positif
thinking, pas kejadian persepsi aku kenapa jahat banget ngambil
barang orang. Soalnya kalau dikampung meyla contohnya kalaupun
kita markirin motor di tepi jalan gitu kalau misalnya gak dikunci
gak bakal dicuri aman banget, kayak bener-bener jarang ada kasus
kriminal lah gitu. Tapi sekarang karna belajar dari pengalaman ya
aku nya yang harus hati-hati banget biar gak keulang lagi.
10. Emang rasa kurang nyamannya gimana mey? cara kamu
mengatasinya sendiri itu gimana?
Orang-orang disini ternyata kalau ngomong itu suka frontal, di
bangka rata-rata orangnya gak frontal kalau ngobrol, harus hati-
hati banget kalau ngobrol biar gak ada yang tersinggung. Pas awal-
awalnya aku ngerasa gak nyaman, ngerasanya setiap ngomong
bahasa melayu aku fikir aku diejek sama mereka, jadi dulu aku gak
berani ngeluarin pendapat, tapi pas lama kelamaan memang
ternyata cara ngelucunya mereka itu kayak gitu.
Cara aku mengatasinya ngeliat dari sisi Latar belakang orangnya
atau budaya orangnya, meyla mikirnya dia seperti itu ngomongnya,
cara berbicaranya, sikapnya, karna mungkin budayanya dia
memang gitu dan meyla juga berusaha buat bilang ke diri sendiri
biasa aja jangan mudah kesinggung lagi. Harus bisa beradaptasi
dan ngenal karakter setiap temen-temen meyla.
11. Apakah pernah terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi
dengan mahasiswa lainnya? Apa saja?
Lebih ke tidak mengertian sih kak, itu sering banget meyla alamin,
meyla itu kalau ngomong suka berbelit-belit karna bahasa
indonesia nya gak bagus, kalau lagi ngobrol nih terus meyla yang
ngomong, tiba-tiba aku ngerasanya kayak hening pada diem, terus
aku mikir ini temen-temen ngerti apa nyambung gak ya sama apa
yang aku sampein.
12. Menurut kamu apakah faktor penghambat dan pendukung yg
kamu alami saat berkomunikasi dgn mahasiswa lainnya?
Faktor penghambat sih pastinya bahasa ya kak, terus
lingkungannya juga beda jadi kayak lebih beragam gitukan
pribadinya banyak karakter orang yang beda-beda banget, kalau di
kampung halaman aku rata-rata karakter orangnya sama gitu,
bukan maksudnya sama keseluruhan ya, tapi dalam lingkup
umumnya karakternya hampir sama jadi bisa saling mengerti. Terus
yang ketiga itu, dari dalam diri aku sendiri sih kak, awal-awalnya
akutuh suka insecure gitu merasa diri itu dari kota yang kecil gak
bakalan bisa berbaur sama orang-orang baru yang ditempat
rantau, tapi abis itu faktor pendukungnya itu, kayak temen-temen.
Soalnya kita kayak sering diskusi-diskusi gitu kan, jadi kayak bisa
ngedukung meyla lebih sosialisasi aktif gitu, terus juga kalau di UIN
kan banyak organisasikan, nah meyla juga ikut organisasi. Jadi
disitu ngasah skill sosial juga kak.
13. Cara kamu sendiri mengatasi perbedaan-perbedaan yang
terjadi supaya interaksinya berjalan dengan baik itu gimana?
Pertama itu meyla gak boleh baperan gak boleh over thinking,
kedua harus berinteraksi, ketiga meyla lebih belajar memahami
perbedaan budaya dan karakter. awal-awal oh ternyata orang ini
frontal banget, ngomongnya tuh berisik banget, jadi ngerasa risih,
kok orang ini kenapa ya kayak gitu sikapnya. Tapi abis itu, akhirnya
kayak mulai mahamin diri sendiri dulu, baru mulai ngerti mau
paham karakter orang-orang di UIN, sebenernya masih ngerasa
risih, tapi aku coba ngerti kalau karakter mereka seperti itu.

Meyla Rehulina Boru Sitepu


Informan 3 : Ilham Anugrah

Asal : Palembang

Hari/Tanggal/Pukul : Selasa, 27 April 2021 / 08.51 WIB

Tempat : via Google Meet

1. Apa persepsi awal kamu tentang UIN Jakarta?


Aku fikir UIN Jakarta itu kayak pesantren, cara berpakaian
mahasiswa/i lebih islami ternyata nggak juga, apalagi di fakulas
saya FST pakaiannya sangat tidak mencerminkan mahasiswa UIN.
2. Bagaimana perasaanmu saat berada dilingkungan yg berbeda?
Lebih ngerasa senang gitu, bisa pergi dan keluar pulau.
3. Menurut kamu, apakah kamu orang yang sulit atau mudah
dalan berinteraksi dgn orang lain?
Saya sebenernya sangat mudah ngobrol sama oranglain, tapi saya
orangnya agak selektif, pemilih, saya orangnya private person.
4. Bagaimana komunikasi dan interaksi yang kamu lakukan
dengan mahasiswa lainnya?
Biasa saja sebenernya kak, cuman yang saya garis bawahi orang-
orang pada menganggap saya itu kalau ngomong sangat ngegas
dan temen-temen di UIN itu pasti selalu bilang kalau ngomong
jangan marah-marah. Soalnya kalau orang-orang di daerah saya
memang biasanya ngomongnya seperti itu nadanya tegas, tapi
ternyata orang di kampus berfikir saya kalau ngomong suka marah-
marah, padahal saya gak marah-marah. Itu yang bener-bener saya
rasain perbedaannya. Akhirnya ini yang bikin saya selektif nyari
temen disini. Saya ngerasa udah menyesuaikan diri dengan
semaksimal mungkin ngikutin kemauannya temen-temen biar
merekanya juga nyaman sama saya, tapi tetep saja temen-temen itu
menganggap saya kalau ngomong suka ngegas dan kasar.
5. Diliat dari perbedaan budaya antara tempat tinggal kamu dan
tempat kamu merantau, apakah kamu pernah mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi?
Saya rasa sih nggak ada perbedaan yang bener-bener
mempengaruhi saya kak, saya juga lancar dalama berbahasa
Indonesia walaupin bukan bahasa ibu. Cuman dari cara intonasi
berbicara saya yang agak saya turunin sedikit, di Sumatra orang
ngomongnya keras sedangkan di pulau Jawa cara berbicaranya
lebih lembut. Jadi kalau masih ada temen saya yang nganggap saya
kasar dalam berbicara sedangkan saya merasa sudah menurunkan
nada bicara saya, yasudah saya masa bodokan saja, sekarang sih
lebih ngerasa nyaman aja karna saya juga pilih-pilih kalau mau
berinteraksi dengan orang-orang.
6. Apakah pernah terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi
dengan mahasiswa lainnya? Apa saja?
Intonasi ya kak, soalnya temen-temen saya sering notice saya buat
kalau ngomong itu harus pelan-pelan jangan terlalu keras, padahal
saya ngomongnya ya biasa aja.
7. Menurut kamu apakah faktor penghambat dan pendukung yg
kamu alami saat berkomunikasi dgn mahasiswa lainnya?
Cara atau gaya perbedaan bicara itu faktor penghambat banget
kak, ya saya fikir saya kalau berbicara biasa saja tapi lagi dan lagi
temen itu selalu bilang saya itu kasar, saya juga kalau mau
menyampaikan sesuatu hal yang baik tapi mereka menganggapnya
saya tetap kasar karna mereka tidak terbiasa dengan intonasi
berbicara saya, hal ini yang bikin saya selama 1 tahun lebih merasa
tidak nyaman saat berkomunikasi dengan teman-teman kampus ,
faktor pendukungnya saya cukup lancar berbisa bahasa Indonesia.
8. Bagaimana cara kamu mengatasi perbedaan2 yang terjadi agar
interaksi tetap berjalan dgn baik?
Saya harus tau saya berbicara sama orang yang berasal darimana,
kalau misalnya lawan bicara saya orang Jawa, saya akan belajar
untuk menyesuaikan cara berbicara saya dengan intonasi yang
lebih rendah, harus pelan dan jelas juga harus sopan, walaupun
mungkin bagi mereka tetap saja cara berbicara saya ngegas.
Cuman kalau merekanya juga udah tau saya dari Sumatra, mereka
bakal memaklumkan kak terutama orang Jakarta. Yang belum bisa
memaklumi saya itu kebanyakan temen-temen saya yg orang Jawa,
jadi ya kerjaannya ngingetin saya terus tapi gak semua orang jawa
kak, pasti ada orang jawa juga yang memaklumi.

Ilham Anugrah
Informan 4 : Bismiyati

Asal : Sumatera Barat

Hari/Tanggal/Pukul : Senin, 19 April 2021 / 15.49 WIB

Tempat : Yayasan Cinta Yatim dan Dhuafa, Pisangan


Barat, Kec. Ciputat timur, Banten

1. Kenapa kamu memilih UIN Jakarta untuk melanjutkan


pendidikan tinggi?
Karna katanya UIN Jakarta itu kampus islam unggulan, bagus,
terus favorit. Secara kalau kampus bagus itu berarti punya fasilitas
yang menunjang perkuliahan itu bagus, soalnya pengen ngerasain
juga gimanasih fasilitas-fasilitas itu bisa digunain. Pas di MTS,
sama MAN di kampung itu fasilitasnya kurang memadailah kak,
kayak laboratorium komputer gak ada.
2. Tapi setelah masuk ke UIN kamu ngerasa persepsi awal kamu
berubah apa nggak?
Ada yang berubah ternyata fasilitas yang ada itu gak semuanya
bagus atau bisa dipake, misalnya tempat duduk masih ada yang
patah-patah, terus kalau mau minjem tempat harus rebutan sama
organisasi lain, ribet gitu ngurusin peminjeman tempatnya.
3. Terus perasaan kamu saat berada dilingkungan baru gimana?
Diawal ngerasa seneng aja sih, ngerasanya ya bisa hidup tanpa
harus bergantung sama orangtua dari segi masak sendiri, bersih-
bersih sendiri, terus bisa nemuin kehidupan yang lebih luas. Tapi
juga ada perasaan kayak kurang percaya diri, kan punya temen
beda-beda, ada rasa takut kalau ngomong takut gak nyambung,
takut gak hisa beradaptasi. Aku juga ada rasa cemas, karna takut
kedepannya gak berjalan dengan baik seperti apa yang aku fikirin.
4. Terus kamu ada kendala gak selama kuliah di UIN?
Dari segi ekonomi iya kak, dulu bener-bener harus manage uang
gitu jadi kalau mau beli ini itu mikir dulu gak berani buat beli
barang yang mahal karna ekonomi keluarga aku terbatas,
Alhamdulilah kalau sekarang udah dapet beasiswa.
5. Terus kalau menurut kamu, kamu orang yang sulit atau mudah
dalam berinteraksi?
Sejujurnya itu lebih kesulit, soalnya kalau ketemu orang baru aku
harus ngeliat suasana dan situasinya dulu, karna bismi cenderung
rahu-ragu kalau mau berinteraksi takut salah karna di lingkupan
yang bedakan ya. Kan orangnya bermacam-macam disini, aku
susah ngedeketinnya ragulah, jadi ya bakal berinteraksi atau
ngelanjutin pertemanan lebih klop kalau menurut bismi dia cocok
sama aku. Sering kejadian, suka gak nyambung gitu kalau ngobrol
sama yang gak sefrekuensi disini. Kalau di Padang aku ngerasa
sefrekuensi mau sama siapapun, ngertilah sama yang diomongin.
6. Kamu pernah ngalamin kesulitan gak, kalau ngeliat dari
perbedaan budaya di Padang sama disini?
Kalau ngalamin kesulitan dulu pas pertama kali, kalau dikampung
itu kesekolah pake motor dan pake rok duduk di motornya nyamping
gitu kak, cuman pas disini ngeliat perempuan yang pake rok tuh gak
ada gitu duduk yang nyamping jadi kayak gak enak aja pas awal-
awal duduknya gak nyamping pas diatas motor. sekarang malah
kebiasaanya duduknya udah gak nyamping lagi kalau pake androk.
Kalau dari segi komunikasi, dikampung itukan pake bahasa daerah
kalau ngomong, ada sih yang kasar ada yang lembut. Tapi kalau
disinikan ngomongnya lu gua, jadi sampe sekarangpun aku masih
kaget aja kalau orang sini ngobrol pake lu gua ke kita, sedangkan
kalau dikampung itu pake nama. Kayak asing kak, kesannya aneh di
fikiran aku apasih bismi itu gak bisa ngomong kayak gitu.
7. Menurut kamu apa saja yang beda antara Padang sama disini?
Kalau budaya, jelas bahasa kak beda jauh banget. Karna disinikan
banyak pendatang jugakan dan bahasanya pada beda-beda jadi
itutuh udah kayak nyampur banget beda-beda pengertian. Kalau
interaksi di sekitar, akunya yang kurang bersosialisasi kak disekitar
tempat tinggal aku yang disini.
8. Pernah ada rasa gak nyaman gak saat berinteraksi sama
mahasiswa atau masyarakat?
diawal aku ngerasa aneh karna banyak yang beda ternyata,
padahalkan kalau aku fikir sumatra bagian dari Indonesia jugakan,
tapi pas dateng ke provinsi lain beda banget kebiasaannya, ntah
dari segi bahasa atau karakter orangnya. Aku ngerasa temen-temen
bismi yang memang orang sini tuh, kalau ngomong semuanya pada
blak-blakan gitu kak, jadi dulu mikirnya orang sini tuh memang
semua karakternya blak-blakan kalau ngomong.
9. Pernah ada kejadian Kesalahpahaman gak sama temen kamu?
Pernah aku salah paham kalau chattan sama temen aku, kalau
ngetik iya itu a nya dipanjanginkan sama aku, terus temen aku
bilang kok bismi ngetiknya kayak gitu, dia mikirnya bismi itu marah
sama dia kayak teriak gitu kata dia, padahal nggak kayak gitu.
10. Apa faktor penghambat dan pendukung saat berkomunikasi
dengan teman-teman yang beda kebiasaannya sama kamu?
Kalau faktor penghambat pasti dari segi bahasa, soalnya
berbedakan. Kalau penghambat lain itu, persepsi mereka itu kadang
beda gitukan apa yang kita sampein dan mereka tangkep kadang
suka beda. Terus kalau faktor pendukung, sama-sama saling
berkomunikasi aja sih kak.
11. Terus cara kamu mengatais perbedaan yang terjadi itu gimana?
Bismi itu lebih tipe pendiem dan pendengar. Jadi lebih sering
ngedenger apa yang temen bismi bilang dan nyesuain, misalnya
kayak cara ngomongnya dia oh ternyata gini. Aku juga mulai
nyesuain. Merekanya juga mencoba menyesuaikan dirinya ke aku.
12. Kalau sekarang kamu udah ngerasa bisa nyesuain diri kamu?
Nyesuain sih bisa, paling aku udah bisa nyesuaian diri sama
kehidupan disini, yang tadinya di padang kalau duduk di motor
nyamping sekarang nggak, terus lebih berani buat pergi-pergi
sendiri, cuman kalau dari segi interaksi aku masih ragu, cuman ya
aku jadi belajar karakter orang berbeda-beda. Pas di semester 1 2
bener-bener ngerasa susah buat nyesuain, masih kaget ngeliat
karakter temen yang beda banget. Soalnya kalau ditempat bismi tuh,
anak-anaknya ngomongnya pake bahasa halus padangkan, jadi pas
ngobrol nyambung, pas disini beda banget ada yang lembut kayak
orang jawa, ada yang blak-blakan banget, ada yang kasar.

Bismiyati
Informan 5 : Mifta Dwi Kardo

Asal : Palembang

Hari/Tanggal/Pukul : Sabtu, 24 April 2021 / 11.23 WIB

Tempat : via Google Meet

1. Kenapa memilih UIN Jakarta sebagai tempat menempuh


pendidikan tinggi?
Pertama, karna pengen keluar dari pulau Sumatra, pengen tau aja
rasanya hidup di luar pulau. Kedua, karna UIN Jakarta yang
keterima dari banyaknya pilihan kemarin.
2. Apa persepsi awal kamu tentang UIN Jakarta?
Persepsi awal sih, kampusnya terkenal, untuk tingkat universitas
keislaman dan juga sempet denger-denger liberal dari kampus UIN,
terus setelah itu ngak terlalu ditindak lebih lanjut sama saya.
3. Bagaimana perasaanmu saat berada dilingkungan yg berbeda?
Setidaknya ngerasa seneng lebih semangat ngerantau daripada di
tempat saya. Kurang enaknya sih, karna kekurangan info, saya dulu
bingung pas naik trans jakarta atau transportasi umum lainnya
kayak MRT, jadi saya sering kesasar. Kalau dari segi ekonomi,
kurang bisa memanage uang dengan baik sih saya, terus karna
ekonomi orangtua juga kurang mendukung jadi saya mau ikut-ikut
les susah. Orangtua itu sempet gak setuju, akhirnya di nyuruh
pindah aja ke Palembang kuliahnya,biar lebih murah gitu biaya
kuliahnya, tapi pas waktu itu saya kayak tetep ngepercayain
orangtua saya, sekaligus daftar beasiswa kak.
4. Terus kalau dari segi penyesuaian diri kamu, perasaan kamu
sendiri bagaimana?
Kalau dari berinteraksi sama temen itu rumayan sulit. Pertama dari
cara berinteraksi, kalau kita mau ngomong itukan biasanya ada
topik percakapan dan biar enak komunikasi harus saling tau terkait
topik pembicaraannya kan. Nah sedangkan orang-orang di UIN itu
gak tau apa yang saya obrolin mereka gak paham sama topik
pembicaraan saya, saya juga kadang gak paham sama percakapan
mereka, akhirnya kalau ngobrol ya saya sering ngangguk-ngangguk
aja seolah-olah ngerti sama percakapannya, banyak yang mereka
gak ngerti juga apa yang saya omongin kalau pake bahasa melayu.
5. Kamu orang yang sulit atau mudah dalam berinteraksi?
Sayakan baru ngerasa bisa mulai berinteraksi dengan baik setelah
1 tahun beradaptasi., jadi saya kategori orang yang sulit
berinteraksi, karna butuh setahun buat diri saya nyesuaian diri.
Dulu itu cuman secukupnya aja kak, jadi ya kalau bener-bener
urgent yang harus banget saya tanyain baru saya berani buat
nanya, tapi selebihnya saya gak terlalu banyak ngobrol.
6. Terus perbedayaan budaya seperti apa yang kamu rasain
antara tempat kamu ngerantau sama Palembang?
Ngerasa 180% beda banget sama tempat tinggal saya. paling
berkesaan terkait kebersihan, pas kesini pertama kali masih ngekos
bareng temen, dan ternyata lokasi disini kotor banget , sampah
banyak. Terkait interaksi sama temen-temen juga disini agak beda.
Perbedaan kosakata juga, pernah pas di UIN saya mesen di warteg
tempe orek, kalau dipalembang disebutnya tempe aja, tapi di UIN
disebutnya orek, pas waktu itu bingung mbak wartegnya tempe apa
yang saya maksud. Kemudian juga kalau di Jakarta kalau makan
gorengan yaudah makan gorengan, kalau di Palembang makan
gorengan harus sama cuka. Jadi pas makan gorengan saya ngerasa
kurang lengkap aja kalau gak ada cukanya. Sama cara pengucapan
waktu, kalau di Jakarta nyebutnya setengah 8, saya jawabnya tujuh
setengah, jadi bernah berdebat juga cuman gara-gara beda cara
pengucapan waktu. kalau di Palembang nyebut setengahnya setelah
angka, di Jakarta ternyata setengahnya duluan yang disebutin.
7. Ada gak hal-hal yang ngebuat kamu kurang nyaman selama
berada di lingkungan baru?
Ada beberapa hal yang saya kurang nyaman, kurangnya wawasan
terkait daerah rantau, jadi suka bingung juga terkait transportasi
umumnya, kadang gak nyamannya itu kok ngerasa ribet banget gitu
karna banyak jenis transportasi umum, ya jadi kadang-kadang
cuman ngikut temen aja, karena pas awal saya belum berani buat
ngambil langkah sendiri kak.
8. Pernah gak sih kamu ngalamin kesalahpahaman saat kamu
berinteraksi dengan temen kamu?
Pernah kak, pas waktu kenalan diorganisasi banyak yang ngenalin
dirinya pake nama palsu dan saya percaya aja, pas saya manggil
temen itu pake nama palsunya diketawain sama yang lainnya. Juga
kalau di Palembang itu sesama tetangga harus kenal satu sama lain,
ngobrol bareng. Di Ciputat itu nggak, buka pintu ya pas orang-
orangnya pada mau keluar aja, kurang interaksinya, jadi saya
rasanya ada orang tapi sepi, mungkin juga faktor disini banyak kos-
kossan ya kak dan rata-rata diisinya anak rantau juga. Terus saya
juga ngeliat masyarakat disini kayak takut gitu mau nyapa duluan,
jadi kayak harus kita duluan yang nyapa baru mereka ngerespon.
9. Menurut kamu apakah faktor penghambat dan pendukung yg
kamu alami saat berkomunikasi dgn mahasiswa lainnya?
Saya ngerasa yang jadi penghambat itu kebiasan sehari-hari saya
yang berbeda, kalau di Palembang biasa mempererat silaturahmi
harus dilaksanakan, tapi di tempat rantau lu lu gua gua. Perbedaan
Bahasa juga, juga banyak yang saya gak tau di lingkupan baru ini,
jadi pas awal ngikut sama temen aja, sama saya harus berhati-hati,
dalam percakapan, saya gak berani ceplas-ceplos takut ada yang
tersinggung. Faktor pendukungnya temen kak, ada temen saya yang
ngebantu juga buat beradaptasi di lingkungan kampus kak.
10. Bagaimana cara kamu mengatasi perbedaan-perbedaan yang
terjadi agar interaksi tetap berjalan dengan baik?
Awal-awal saya ngikut temen, tapi lama-lama saya nyadarin diri
saya sendiri supaya gak bergantung sama temen. Ya memberanikan
diri saya sendiri kak, dari segi mulai obrolan duluan yang biasanya
saya sulit buat memulai, nyesuain diri sama lingkupan baru, saya
belajar bahasa indonesia biar gak ada salah-salah penyebutan,
saya juga harus mahamin orang-orang lainnya juga kalau mereka
gak bisa seperti apa yang saya mau, jadi ya mengerti lah kak.

Mifta Dwi Kardo


Informan 6 : Dwi Aryani

Asal : Sumatera Barat

Hari/Tanggal/Pukul : Senin, 26 April 2021 / 08.51 WIB

Tempat : via Google Meet

1. Kemudian persepsi awal kamu tentang UIN Jakarta, itu apa ni?
Ngerasanya sih rezeky dari Allah aja dikasihnya UIN Jakarta. Aku
mikir UIN kayak pesantren, anak-anaknya alim, sopan-sopan,
bahkan aku mikirnya cowok cewek dipisah gitu, ternyata nggak.
2. Bagaimana perasaanmu saat berada dilingkungan yg berbeda?
Pertama aku sempet deg-degkan pasti ya, terus aku membiasakan
diri dengam hawa polusi sih paling, soalnya kalau disini itu damai
banyak hijau-hijau adem, kalau di Jakarta yang menjulang
tingginya bukan bukit, pohon tapi gedung-gedung.
3. Apakah kamu orang yang sulit atau mudah dalan berinteraksI?
Menurut aku, nggak sulit berinteraksi ya. Cuman aku mengamati
sejenak, gimana caranya aku biar bisa nyambung sama temen aku.
Tapi kalau dibilang mudah banget, nggak juga sih.
4. Diliat dari perbedaan budaya antara tempat tinggal kamu dan
tempat kamu merantau, kamu pernah ngalamin kesulitan?
Ngerasa cemas ditinggal ortu itu ada, aku coba ngebentuk karakter
sendiri supaya gak terdorong di kebebasan tersebut. Di Minang itu
nggak biasa cewek keluar malam. Nah di kampus kan biasa banget
cewek keluar malam. Jadi pas ngasih tahu ke temennya susah karna
aku gak suka keluar malem. Aku toleransi sama diri aku keluar
malem cuman dengan alasan tertentu aja jadi dikomunikasiin ke
temennya, kalau keluar malam penting ya udah nggak apa-apa.
5. Perbedaan budaya apa antara Minang sama tempat rantau ?
Disini yang paling jelas banget nggak ada cewek pakai hotpants
keluar, pakaian mini Itu nggak ada, rata-rata perempuan tuh
berhijab. Kalau di Jakarta cara berpakaiannya bebas banget kan.
Kalau di sini masih kental banget peduli sama orang lain, peduli
sama orang lain nya tuh pengen tau urusan orang lain juga. Tapi
kalau di Jakarta kan udah kayak lu lu gua gua gitu ya. Sama belum
ada nikah di gedung jadi pasti nikah di tempat rumah perempuan
atau nggak sebalikya. Sama kalau disini pakai bahasa Minang terus
kalau di Jakarta kan umumnya bahasa Indonesia, rata-rata hampir
nggak ada ya pakai bahasa Betawi tapi pakai Bahasa Indonesia, di
sini kadang sekolah pun pakai bahasa Minang.
6. Adakah hal-hal yang membuat kamu kurang nyaman ketika
berinteraksi dengan lingkupan tempat kamu merantau?
Kebebasan bergaul kadang aku kurang nyaman, cewek cowok
dempet banget sentuh-sentuhan aku gak suka banget. Sama
pengucapan kata kasar kayak binatang, mengutuk orang tua, cara
aku ngatasinnya aku ngingetin, mungkin ada yang kalo aku deket
aku ingetin, kalau nggak deket ya udah aku abaikan.
7. Kamu ngerasa terbawa gak sama kebiasaan di sekitar kampus?
Aku gak terbawa arus di lingkupan kampus,masih nerapin
kebiasaan aku di kampung. Kalau di kampuskan pergaulannya
bebas ada yang sering keluar malem, terus banyak banget temen-
temen itu yang ngomong kasar seolah-olah itu Bahasa gaul, nah hal
itu gak terfikirkan sama aku buat ngikutin kebiasaan mereka, aku
bakal nyaman sama kebiasaan yang aku terapin di kampung.
8. Apasih yang menjadi faktor penghambat dan pendukung kamu
saat berkomunikasi dengan mahasiswa lainnya?
Faktor penghambatnya, gak nyaman ngedenger ucapan kasar jadi
kayak males gitu loh ngomong sama dia. Aku suka yang biasa aja,
gaul cuman masih dalam batas tau sopan santun, tahu adab. Nah
yang bikin menghambat Itu tuh orang-orang yang melebihi batas
menurut aku. Pendukungnya bahasa Indonesia, teman-teman
Minang aku lainnya kadang susah ngomong bahasa Indonesianya,
nah aku gampang dari lahir bahasa ibu aku bahasa Indonesia.
9. Bagaimana cara kamu mengatasi perbedaan2 yang terjadi agar
interaksi tetap berjalan dengan baik?
Aku mengatasi perbedaan budaya dengan sabar, kalau emang
sesuatu harus disampaikan atau dikomunikasiin, yaudah aku harus
sabar dan harus tetap berinteraksi sama dia walaupun lingkupan
pergaulannya bebas, aku harus bertahan di situ sampai urusannya
selesai. misalnya ada perbedaan cara berpakaian sehari-hari yang
gak sesuai syariat islam atau gak sesuai yang diterapin di kampus,
yaudah mencoba memahami aja dia mungkin tipe orang yang
kurang nyaman memakai pakai
an syar’i. Mencoba memahami sabar, terus fokus pada tujuan dari
interaksi itu sendiri itu.

Dwi Aryani
Informan 7 : Qothratinnada

Asal : Lampung

Hari/Tanggal/Pukul : Minggu, 25 April 2021 / 20.11 WIB

Tempat : via Google Meet

1. Persepsi awal kamu tentang UIN Jakarta seperti apa nad?


Pertama deket sama kota, jadi kayak 'oh di Jakarta, terus UIN
Jakarta wow nih kayaknya' terus ada rasa seneng jugakan karna
bakal hidup di Jakarta. Persepsinya diawal itu orang-orangnya itu
kayaknya berintelek semua, karena sempat liat juga di Google, cari-
cari informasi banyak juga lulusan yang udah berhasil gitu Kayak
misalnya Ustadzah Oki Setiana Dewi terus tuh Mama Dede, jadi
persepsi awalnya itu kayak Universitas yang Wah lah gitu karena
udah mencetak orang-orang hebat.
2. Bagaimana perasaanmu saat berada dilingkungan yg berbeda?
Jujur nggak enak banget karena ini juga pertama kalinya nada itu
merantau, kalau selama merantau ini kan nggak bisa setiap minggu
pulang bahkan setiap bulan juga nggak bisa. Jadi kalau misalnya
libur aja pulangnya dan libur juga belum tentu pulang, aku juga
ngerasa culture nya itu juga beda banget di Lampung kita ketemu
sama orang yang enggak kita kenal gitu masih bisa saling sapa, tapi
kalau misalnya awal di lingkungan UIN Jakarta tuh kayak ragu-
ragu mau kenalan atau sapa orang yang gak dikenal, 'Oh ternyata
gini ya gitu keluar dari zona nyaman' enaknya kita dapat
pengalaman baru karena kan nggak mungkin kita bisa cuman stuck
di situ-situ aja, jadi banyak pengalaman dan banyak channel baru
3. Apakah ada kendala saat kamu pertama kali belajar di UIN?
Ada, pertama itu rasa kangen sama orang tua biasanya makan
makanan ibu, terus ini harus makan makanan warung. Harus ngirit-
ngirit, harus bisa mempiyoritaskan, mau beli makan misalnya
'makan nasi apa jajan ya' pasti kalau kita di rumah ngedahuluin
jajan soalnya kan di rumah udah ada makan dibuatin orangtua,
kalau misalnya di tempat rantau tuh mikir-mikir. Nada butuh
beradaptasi itu kurang lebih 1 semester, kendalanya tadi mudah
kangen sama orang tua, terus sama ekonomi karena nada belum
bisa kan ngatur uang, terus ya kebutuhan-kebutuhan kayak beli odol
beli sampo dan lain-lain bener-bener harus difikirin.
4. Apakah apakah kamu orang yang sulit atau mudah dalam
berinteraksi dengan orang lain?
Nada bisa dikategorikan orang yang mudah berinteraksi, Walaupun
itu baru pertama kali ketemu, cuman aku lihat-lihat dulu sambil
mempelajari psikologi orangnya, ngeliat orangnya jadi kalau
penglihatan aku orang tersebut susah diajak ngobrol duluan, aku
yang inisiatif ngajak ngobrol. Tergantung lawan bicaranya kayak
pas aku liat oranglain enak nih kayaknya diajak ngobrol, bener aja
gitu ketika emang diajak interaksi enak orangnya.
5. Bagaimana komunikasi dan interaksi yang kamu lakukan
dengan mahasiswa lainnya?
Saling tegur sapa, paling juga ngobrol sama temen yang menurut
nada deket, selebihnya kalau berinteraksi sama temen lainnya di
kampus itu tegur sapa aja kalau papasan di jalan, atau chattan.
6. Diliat dari perbedaan budaya antara tempat tinggal kamu dan
tempat kamu merantau, apakah kamu pernah mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi?
Iya tentu, benar-benar banyak perbedaan budaya, nada inget awal-
awal waktu maba kayak disuruh beli ini beli itu terus buat name tag,
nada kan ke fotocopyian terus nada udah ngasih uang, ternyata
masih ada kembaliannya nada bilang 'susuknya mana bang’
abangnya kayak shock gitu, jadi kan budaya di Lampung susuk itu
kembalian, tapi di daerah Jawa susuk itu maksudnya ya ada ilmu
hitam. Nah jadi di situlah sempat miskom, untung ada bapak-bapak
yang ngasih tau, bilang dek dari Sumatera ya dia nyuruh nada
bilangnya kembalian bukan susuk, nada juga nggak ngeh gitu jadi
pas abangnya kebingungan nada juga ikut kebingungan. Emang
agak sulit sebenarnya berkomunikasi banyak Miss understanding
banyak kata yang gak sesuai sama kebiasaan nada di Lampung.
7. Perbedaan budaya apa saja yg kamu rasakan antara budaya
Lampung dan tempat kamu merantau ?
Lebih ke pergaulan bebas nya, kalau di Lampung enggak terlalu
bebas masih ada aturan-aturan, gak boleh keluar maghrib kalau di
Jakartakan orang keluar maghrib kayak fine-fine aja, di Lampung
tuh biasanya jam 12 udah sepi banget, Jakarta masih rame banget
bahkan dilingkupan kampus aja kalau malem mobil motor masih
banyak yang berkeliaran. kedua bedanya itu dari bahasa, bahasa di
lingkupan kampus itu lebih sering pake bahasa gaul, disana
terbiasanya pake aku kamu atau anne ente. Sama ngerasa unik aja
disini kebanyakan kalau ngomong intonasi terakhirnya itu medok
betawi yang ditambahin k gitu, misalnya 'Eh lu mau ke mana yak'
awalnya nada nganggepnya aneh gitu cara intonasinya orang-
orang sana, sama sih Lampung juga punya ciri khas kalau ngomong
tuh pasti ada 'geh geh' nya di akhir percakapan, terus nada
kebiasaan kan pake geh gitu, temen-temen nada pada gak ngerti
maksud geh itu apa, jadi mereka nganggepnya aneh juga.
8. Adakah hal-hal yang membuat kamu kurang nyaman ketika
berinteraksi dengan mahasiswa atau masyarakat di tempat
kamu merantau?
Kurang nyamannya, kalau organisasi kalau rapat di malam harikan
biasanya, terus nada kurang suka gitu kalau pulang malem, karna
kebiasaan di Lampung itu jarang perempuan keluar malem
sendirian, jadi biasanya kalau maghrib itu rata-rata udah gak
keluar lagi perempuan, walaupun masih ada tapi gak malem banget
gitu loh, kalau disanakan sampe jam 2 atau jam 3 malem pun masih
kumpul, itu gak nyaman banget soalnya nada juga kan anak HMJ
ya, jadi sering kumpulan malem. Cara nada ngatasinnya itu dengan
izin pulang duluan, tapi ada akibatnya juga, pasti ada aja yang
bilang kenapa pulang duluan nanti aja kali, kayak ngelarang-larang
gitu buat nada pulang duluan, dianggep aneh lah, jadi ya nada
awal-awalnya tetep kekeh buat balik duluan tapi lama kelamaan
kebawa juga karna ada rasa gak enak kalau pulang duluan.
9. Menurut kamu apakah faktor penghambat dan pendukung yg
kamu alami saat berkomunikasi dgn mahasiswa lainnya?
Faktor penghambatnya itu ketidaktahuan tentang budaya mereka
jadi sering miskomunikasi, sempet temen-temen nada itu
tersinggung sama intonasi nada ngomong, kayak Lampung itu
ngomongnya emang tinggi tapi bukan bermaksud itu marah tapi
yang dari Jawa suka tersinggung. Pendukungnya harus adanya
pengetahuan tentang budaya dari masing-masing daerah antara
komunikasi mahasiswa Jawa sama siswa Lampung ataupun sama
mahasiswa rantau lainnya.
10. Bagaimana cara kamu mengatasi perbedaan2 yang terjadi agar
interaksi tetap berjalan dengan baik?
Dari segi pengetahuan ketika nada udah tahu nih oh suku Jawa ini
budayanya emang lembut gitu nggak bisa dikerasin, nah ketika nada
tahu Jawa ini nggak bisa dikerasin aku mencoba untuk menyamakan
mencoba untuk tidak meninggikan suara begitu mahasiswa Jawa ini
tidak tersinggung dari perkataan nada itu. Sama cara nada
mengatasinya juga dengan mengenal karakter masing-masing
temen atau masyarakat disana kak, nadanya juga harus peka.
11. Pernah ngerasa kalau diri kamu kebawa kebiasaan disini gak?
Kebawa kebiasaan pulang malem yang dulunya nada risih kalau
pulang malem, dari segi interaksi yang tadinya aku di Lampung gak
terbiasa ngomong Bahasa gaul kayak lu gue, karna ngeliat temen-
temen disini pake Bahasa gaul jadi aku mulai ngikutin. Sama juga
kebiasaan yang dulu di Lampung takut nyebrang jalan, sekarang
jadi lebih berani buat nyebrang, karena diJakarta orang-orang
pada mau ngasih pejalan kaki buat nyebrang kalau diLampung itu
pengendaranya gak ada yang mau ngalah, ngebut-ngebut .

Qothratinnada
Informan 8 : Anisa Ulfadilla

Asal : Bengkulu

Hari/Tanggal/Pukul : Rabu, 21 April 2021 / 10.01 WIB

Tempat : via WhatsApp

1. Apa persepsi awal kamu tentang UIN Jakarta?


Universitas islam, dan tidak beda jauh dengan pesantren saya dulu,
yang berbeda hanya saya harus beradaptasi sekelas dengan lelaki,
serta orang-orang baru lagi, kemudian harus terbiasa dengan
rutinitas baru yang cukup seru.
2. Bagaimana perasaanmu saat berada dilingkungan yg berbeda?
Menarik, karena saya akan mempelajari hal-hal baru lagi di
lingkungan saat ini.
3. Menurut kamu, apakah kamu orang yang sulit atau mudah
dalan berinteraksi dgn orang lain?
Kalau sulit menyesuaikan diri sih enggak terlalu, hanya saat
pertama kali ngampus saya cukup menperhatikan dan menganalisis
keadaan, karakter orang, dan rutinitas baru yang akan saya hadapi
di hari berikutnya, jadi saya tidak begitu mengalami kesulitan.
4. Perbedaan budaya apa saja yg kamu rasakan antara budaya
medan dan tempat kamu merantau ?
Bahasa, tradisi, pola hidup dalam aktivitas keseharian, dan kualitas
pendidikan, serta bentuk interaksi sosialnya. Kalau dari segi bahasa
seperti cara pembawaan logatnya berbeda terus juga nada
intonasinya pasti berbeda, bahasanya juga berbeda. Saya mulai
belajar untuk bebas berpendapat atau mau bertindak itu
memperhatikan lingkungan sosial dan dihadapkan langsung kepada
kehidupan bermasyarakat itu kan jadi disitu aktivitas pola hidup
pun berubah gitu, di kampus juga ternyata banyak banget
perbedaan persepsi diluar yang saya kira, ini yang kadang bikin
saya harus berhati-hati dalam ngeluarin argumen. Nah lalu
selanjutnya dengan interaksi sosial tiangnya ya contoh di Jakarta
orangnya rada tidak ramah tapi sedangkan di Bengkulu orangnya
Ramah, tentang ramah dan tidak ramah nya ini menurut saya lebih
ke orang Jakarta itu lo lo gue gue ya.
5. Apa faktor penghambat dan pendukung yang kamu alami?
Penghambatnya itu perbedaan persepsi, sedangkan faktor
pendukungnya itu Toleransi
6. Bagaimana cara kamu mengatasi perbedaan2 yang terjadi agar
interaksi tetap berjalan dgn baik?
Kalau saya pribadi ngerasa harus nyesuaian diri dari setiap orang
yang karakternya beda-beda, saya fikir saya gak boleh egois gak
mau nyesuaian sama kebiasaan temen-temen saya yang di
lingkungan tempat rantau. Saya berfikir jangan menutup diri, dan
memendam sendiri nanti bisa frustrasi, dan sakit sendiri, saya harus
tetap baik kepada siapapun, saya memastikan untuk bisa bijak
dalam berteman dan mengendalikan keadaan.

Anisa Ulfadilla
Informan 9 : Hurul Asyifa

Asal : Nanggroe Aceh Darussalam

Hari/Tanggal/Pukul : Jum’at, 23 April 2021 / 16.21 WIB

Tempat : Saung Pojok Jawara Ciputat

1. Kenapa memilih UIN Jakarta sebagai tempat melanjutkan


pendidikan tinggi?
Aku 6 tahun sekalah Madrasah waktu itu aku berpikir aku masih
pengen kuliah yang mana lingkungannya itu masih islami, pas nyari
ternyata UIN Jakarta tuh menduduki peringkat pertama, kalau UIN
ya Universitas Islam terbaik di Indonesia.
2. Apa persepsi awal kamu tentang UIN Jakarta?
Persepsi awal aku terhadap UIN pasti lingkungan Islami banget dan
aku kira bener-bener islami. Karenakan ditempat aku di aceh
jugakan ada UIN, jadi aku kira bakal sama lingkungannya.
Beberapa Eskul banyak yang masih nggak pakai kerudung pas ada
kegiatannya. Terus dari segi pakaian masih banyak yang memakai
pakaian yang menurut aku kurang mencerminkan anak UIN.
3. Bagaimana perasaanmu saat berada dilingkungan yg berbeda
Pastinya ada rasa cemas, khawatir gimana kalau misalkan aku
nggak bisa beradaptasi, gimana kalau misalkan teman-temannya
nggak cocok dan gimana kalau nanti sakit sedangkan posisi
keluarga ada di Aceh. Tapi juga exited karena ini memang pilihan
aku. Aku dari dulu emang selalu pengen nyari ilmu tuh sejauh
mungkin, ibaratnya kalau misalkan kamu mau bagus kamu harus
keluar dari tempat tinggalmu untuk mencari ilmu sejauh mungkin.
Perasaan aku sendiri pas awal-awal itu tentu aja cemas gitu,
4. Apakah ada kendala saat kamu pertama kali belajar di UIN?
Ada, misalkan orang tua aku tuh cukup khawatir aku jauh di sana
makanya dari awal aku disuruh asrama dulu buat menyesuaikan
dan orang tua aku mungkin lebih percaya ya kalau asrama tu bisa
membuat aku lebih terjaga.
5. Kamu sulit atau mudah dalan berinteraksi dgn orang lain?
Sebenarnya aku tuh cukup pemalu terhadap orang baru tetapi aku
tuh nggak susah berinteraksi gitu Meski aku pemalu nih tapi tetap
berusaha untuk ngajakin ngobrol atau kenalan dengan orang baru.
6. Diliat dari perbedaan budaya Jakarta dan Aceh, apakah kamu
pernah mengalami kesulitan dalam berkomunikasi?
Pernah, contohnya antara senior ke junior, di tempat aku kalau
bercanda sama senior itu masih kaku banget, karena itu bakal
dianggap tidak sopan kalau terlalu open ke senior. Tapi gara-gara
itu juga ketika aku terapi di sini malah aku banyak yang bilang aku
tuh kaku banget sama senior. Sama ada satu kejadian kalo misalkan
di Aceh kita nanya 'ini lucu atau enggak?' artinya 'ini tuh aneh atau
enggak', jadi teman aku waktu itu yang orang sini pernah makai
baju dan dia tuh nanya ke aku ini lucu nggak sih karena aku
mikirnya itu tuh aneh atau nggak, jadinya aku jawabnya 'nggak
lucu' jadi temen aku berkali-kali ganti baju akhirnya aku nanya
kenapa diganti terus, temen aku bilang 'kata kamu nggak lucu' terus
aku bilang 'berarti bagus dong enggak lucu, berarti enggak aneh'
baru disitu kita ketawa dan Oh ternyata emang salah paham, disini
lucu itu dianggep bagus gitu bukan aneh.
7. Perbedaan budaya apa saja yg kamu rasakan antara budaya
Aceh dan tempat kamu merantau ?
Pertama tadi sikap antara junior ke senior, terus kalau hari-hari
besar Islam di Aceh dibikin acara sampai kayak orang mau
nikahan, heboh aja. Missal 2 hari sebelum puasa, 2 hari sebelum
lebaran itu ada namanya hari meugang, menyambut Lebaran
dengan memasak daging dengan ukuran yang cukup banyak
dibagikan ke orang yang kurang mampu, acara yang besar banget
gitu dan benar-benar selalu dijalanin sih. Tapi kalau di tempat aku
ngerantau, aku gak nemuin kebiasaan kayak gitu, jadi ya kayak
biasa aja gak ada acara besar yang dilakukan masyarakat sinikan,
sekedar biasanya buka puasa bareng-bareng aja.
8. Adakah hal-hal yang membuat kamu kurang nyaman ketika
berinteraksi dengan mahasiswa lainnya?
Overall aku ngerasa orang di UIN itu lebih gampang berbaur,
enggak tertutup lebih open, di Aceh orang-orangnya lebih tertutup
atau kalau ketemu pertama kali masih malu-malu sama orang lain.
Awal-awalnya aja sih aku kalau berinteraksi itu kurang nyaman
mungkin karna faktor aku pemalu juga ya, tapi setelah beradaptasi
ngerasa interaksinya lebih mudah aja gitu.
9. Menurut kamu apakah faktor penghambat dan pendukung yg
kamu alami saat berkomunikasi dgn mahasiswa lainnya?
Pertama dari di awal banget dari yang kosakata yang kita punya
gitu, meski kita sama-sama bisa bahasa Indonesia cuman beberapa
vocabulary nya tuh cukup berbeda gitu, jadi ya diawal aku sering
diejek aja karna kosakata yang aku sebutin salah tangkap artinya
sama temen di kampus, yang menurut aku itu biasa aja tapi
dianggap mereka itu aneh, contohnya kayak aku manggil temen itu
pake aku kamu menurut mereka penyebutan pake aku kamu itu
spesial, padahal di Aceh ya memang sehari-harinya pake aku kamu.
Pendukungnya aku pribadi aku salah satu orang yang sangat cepat
beradaptasi jadi aku langsung bisa ngikutin apa itu dalam segi
vocab yang tadi menghambat komunikasi aku atau hal lainnya.
10. Bagaimana cara kamu mengatasi perbedaan2 yang terjadi agar
interaksi tetap berjalan dgn baik?
Kalau memang ada perbedaan dan itu sulit dipahami aku pasti akan
bertanya dulu kalau emang perbedaannya itu memang beda aku
pasti bakal I'll be fine, ya pasti aku akan paham akan toleransi sama
itu sih. Misalkan contoh tentang komunikasi antara senior sama
junior atau orang tua yang lebih tua daripada kita, kan emang
budayanya yang beda banget di Aceh kalau dalam hal itu, kalau di
Aceh tuh kurang sopan kalau berinteraksi santai sama yang lebih
tua, tapi kalau di sini tuh B aja gitu dan aku tuh bakal mahamin itu
nggak akan mempermasalahkan. Karena is just a different, yang aku
pelajari juga di kuliah, kebetulan aku juga ada mata kuliah cross
culture understanding tentang komunikasi di mana perbedaan
budaya, memang untuk menyelesaikan perbedaan itu kita harus
maklum. Mungkin selama itu nggak ganggu aku, ya nggak apa-apa.

Hurul Asyifa
Informan 10 : Sakbano

Asal : Lampung

Hari/Tanggal/Pukul : Sabtu, 3 Juli 2021 / 14.05 WIB

Tempat : Himpunan Mahasiswa Lampung

1. Diliat dari kacamata kamu sebagai pengurus HML sendiri,


apasih yang menjadi perbedaan antara mahasiswa UIN yang
berasal dari Lampung dengan mahasiswa lainnya?
Yang pasti kalau kita berbicara dengan organisasi kedaerahan,
persamaannya membentuk kekeluargaan, menyampaikan budaya
dari daerahnya masing-masing ke tempat mereka menempuh
pendidikan tinggi, perbedaannya yang pasti budaya yang dibawa
seperti aktivitas sosial sehari-hari, cara pembicaraan yang berciri
khas, makanannya. Yang saya lihat perbedaan yang mencolok
kedekatan dalam hal kekeluargaan, ada juga sebenernya himpunan
daerah seperti kami. cuman yang saya lihat pasti setiap anak rantau
itu punya lebih dari 1 organisasi, nah tergatang jika ada masalah
di organisasi a mereka akan terbawa ke organisasi b. Nah bedanya
kalau di HML itu tetap menjalin silaturahmi, tetap ada keakraban.
Paling mencolok dalam bahasa yang berbeda antar daerahnya.
2. Untuk kamu sendiri pernah mengalami kesulitan tidak saat
pertama kali merantau kesini?
Kesulitannya kalau dari saya sendiri, ada rasa shock gitu karna
disini bener-bener ngak ada keluarga bener-bener sendiri, mau
keluar aja takut apalagi tempat yang jauh-jauh, takutnya kesasar.
Ada rasa cemas juga takut salah, tapi pas waktu itu kebantu sama
HML karna kalau disini ada komunikais dari senior ke junior, jadi
seniornya membantu adik-adiknya menyesuaikan diri dengan cara
memberi beberapa informasi.
3. Lalu selama menjadi bagian anggota HML, kamu sebagai
pengurus pernah melihat anggota lainnya mengalami kesulitan
tidak dalam penyesuaian diri disini?
Kesulitan anggota HML yang saya lihat pertama itu dari perbedaan
cuaca, kurang beradaptasi mereka dengan iklim yang berbeda jadi
ada yang pertama dateng langsung sakit. Kedua interaksi sosialnya
ada yang tipenya humoris yang mudah akrab jadi 1 2 hari sudah bisa
menyesuaikan, tapi yang sulit itu tipe yang introvert butuh waktu
sampai 2 3 bulan dan itu juga diperkuat dengan adanya event atau
agenda himpunan walaupun proses yang cukup lama.
4. Apakah pernah anggota HML menjalin silaturahmi dengan
komunitas lainnya, misalnya menjalin acara atau berdiskusi
dengan komunitas lain?
Ada pas ulang tahun HML, pasti ngadain acara kerjasama dengan
himpunan daerah lainnya dengan cara mereka kita minta untuk
menyediakan penampilan atau sebagai tamu undangan.
5. Apa yang menjadi faktor penghambat dan pendukung kamu saat
merantau dan juga berinteraksi dengan orang-orang baru disini?
Faktor penghambat dari pengalaman saya terlihat logat berbicara
yang berbeda, jadi kalau di Lampungkan memang logatnya tinggi
nah selama kuliah saya ngerasa temen-temen itu kaget dengan logat
tinggi saya mereka menganggap saya marah-marah. Pendukungnya
sendiri dari senior-senior HML yang sering ngajak keluar misalnya
diajak silaturahmi ke organisasi lain, main keluar tempat yang saya
tidak tahu.
6. Apa yang menjadi faktor penghambat dan pendukung anggota
HML lainnya ketika saat merantau?
Kemudian yang saya lihat dari anggota HML itu ada yang mereka
kalau mengalami kesulitan ada yang berterus terang menceritakan,
ada yang susah untuk menceritakannya. Nah bagaimana sebisa
mungkin kita ini bisa membantu kedua tipe itu, paling yang sulit untuk
menceritakan itu biasanya dia hanya menyamoaikan ke satu orang
contohnya dia sakit terus dia bilang ke teman angkatannya kalau dia
sakit, nanti teman-temannya akan menyampaikan ke senior dan dari
situ kita pedulikan dengan cara merawatnya memberikan bubur,
obat, kata-kata semangat. Kalau dari interaksi sosial faktor
pendukung anggota lainnya ya kuta adakan agenda atau acara
sehingga bisa sering kumpul-kumpul supaya lebih dekat, contoh
seminggu sekali bakal ada acara makan bareng. Kalau bukan dari
event itu sebisa mungkin seniornya yang mendekatkan ke adik-adik
barunya ini.

Sakbano
Lampiran 2
Lampiran 3

Wawancara Informan 1 (Fithri) Wawancara Informan 2 (Meyla)

Wawancara Informan 3 (Ilham) Wawancara Informan 2 (Bismi)


Wawancara Informan 5 (Mifta) Wawancara Informan 2 (Ani)

Wawancara Informan 7 (Nada) Wawancara Informan 8 (Anisa)


Wawancara Informan 9 (Syifa)

Wawancara pengurus HML (Bano)

Anda mungkin juga menyukai