Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH PSIKOLOGI SEKSUAL

“SIKAP BERSAHABAT (RAMAH) TERHADAP ANAK


DAN REMAJA KORBAN PELECEHAN SEKSUAL”

Oleh:

Kelompok 4

Mellya Putri Humaira (17011271)

Melawati (17011165)

M. Fikri Hidayat (17011107)

Harisul Fuadi (16011083)

Dosen pengampu:
Duryati, S. Psi., M. A.

JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah swt. Atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hinayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah
ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Sikap Bersahabat
(Ramah) terhadap Anak dan Remaja Korban Pelecehan Seksual”.

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk
maupun isi makalah ini agar kedepannya dapat jauh lebih baik.

Dalam penulisan makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang kami miliki masih sangat terbatas. Oleh karena itu kami
harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Bukittinggi, Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 3
C. Tujuan Penulisan ................................................................................................ 3

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 4

A. Child Sexual Abuse (CSA) ................................................................................. 4


B. Penyedia Layanan Kesehatan Mental terhadap CSA (Child Sexual Abuse) ...... 5
C. Bentuk Sikap Bersahabat terhadap CSA (Child Sxual Abuse) .......................... 7

BAB III PENUTUP ................................................................................................... 13

A. Kesimpulan ..................................................................................................... 13
B. Saran ............................................................................................................... 13

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak yang merupakan generasi penerus bangsa, tentunya perlu mendapatkan


pendidikan yang baik agar potensi-potensi yang mereka miliki dapat berkembang
pesat, sehingga akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang memiliki
berbagai macam kemampuan serta ketrampilan yang bermanfaat bagi kehidupan.
Oleh karena itu pihak keluarga, lembaga pendidikan dan masyarakat harus ikut
berperan dan bertanggung jawab dalam memberikan berbagai bimbingan yang
tepat sehingga akan tercipta generasi yang tangguh dan berkualitas.
Namun,dewasa ini dalam dunia anak terjadi berbagai macam fenomena negatif
yang mengusik kehidupan mereka.Berbagai penyimpangan sosial yang ada dalam
masyarakat kita sekarang ini semakin banyak terjadi dan sebagian besar menimpa
anak-anak. Walaupun undang-undang tentang penyimpangan tersebut telah
diterbitkan, para pelaku penyimpangan sosial tetap saja berani untuk melakukan
aksinya dimana pun, kapan pun dan kepada siapa pun, terutama anak-anak. Salah
satunya adalah masalah kekerasan kepada anak-anak berupa kekerasan seksual.
Kekerasan seksual dewasa ini menjadi isu penting untuk dibahas. Ironisnya, rata-
rata korban dari pelecehan atau kekerasan seksual tersebut adalah anak-anak.

Masa remaja dimulai dengan perubahan fisik, kognitif, dan sosial yang
dimulai dengan masa pubertas. Orang dewasa adalah subjek yang seharusnya
mengawal dan membimbing remaja dari kompleksitas sosial komunitas mereka.
Dalam masa pubertas, perkembangan seksualitas akan membuat remaja mencari
sumber informasi untuk memenuhi rasa penasarannya. Menurut mereka berbicara
seputar seksualitas kepada orang tua, guru dan teman membuat mereka tidak
nyaman.

Child Sexual Abuse (CSA) yang sering dikatakan sebagai pelecehan seksual
pada anak merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak yang paling
umum yang secara global telah diakui sebagai krisis kesehatan masyarakat (Ige &
Fawole, dalam Mantula & Saloojee, 2016). Dengan pelakunya adalah orang-orang

1
yang lebih tua dan biasanya dikenal dan dipercaya oleh anak tersebut (World
Health Organization, dalam Mantula & Saloojee, 2016).

Pelecehan seksual pada anak dan remaja sebagian besar dilakukan oleh orang
dewasa yang dikenal akrab atau berelasi dengan korban yang mengalami
pelecehan. Anak dan remaja sebagai korban tidak mudah untuk mengungkapkan
apa yang telah terjadi pada mereka. Banyak kekhawatiran yang mereka alami
yang membuat anak atau remaja lebih memilih untuk tidak memberitahu orang
dewasa seperti orang tua atau pengasuhnya. Ketika anak memperlihatkan perilaku
yang menunjukkan bahwa mereka telah mengalami pelecehan seksual oleh orang
dewasa, orang tua atau pengasuh sebagai orang paling dekat dengan anak harus
mampu membantu anak untuk lebih terbuka dan menceritakan apa yang telah
mereka alami. Disinilah perlunya keterampilan bersikap bersahabat, hangat
(ramah) pada anak dan remaja sebagai korban pelecehan seksual. Orang dewasa
seperti orang tua, pengasuh atau penyedia layanan kesehatan mental harus dapat
memahami bagaimana menciptakan perasaan nyaman dan sikap bersahabat serta
menerima apapun yang akan anak atau remaja katakana tentang pelecehan seksual
yang mereka alami. Hal tersebut bertujuan untuk membantu anak membangun
kepercayaan dan rasa aman dari orang terdekat.

Menurut data yang dikumpulkan dan dianalisa oleh Pusat Data dan Informasi
Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPAI), tercatat 21.689.797 kasus
pelanggaran hak anak. Hampir separuh kasus merupakan kejahatan seksual
terhadap anak. Presentase setiap tahun untuk angka kekerasan seksual pada anak
pun semakin meningkat. Maraknya pelecehan seksual yang terus menerus terjadi
mengakibatkan keresahan dari masyarakat. Anak-anak yang seharusnya
dilindungi malah menjadi korban dari penyimpangan yang sangat tidak
manusiawi. Para korban dari kekerasan seksual ini adalah anak-anak yang belum
memahami apa yang terjadi, namun hal tersebut membawa dampak yang sangat
serius bagi perkembangan dan psikologis seorang anak. Anak akan menutup
dirinya dari lingkungan, orang-orang luar, takut terhadap orang-orang baru
bahkan orang yang disekitarnya. Disinilah peran orang dewasa harus digunakan,
sebagai orang yang dapat melinduungi dan menjalin hubungan yang hangat

2
kepada si anak, agar dapat membantunya untuk melewati masa-masa sulit yang
dihadapinya.

B. Rumusan Masalah
a. Apa itu Child Sexual Abuse (CSA)?
b. Bagaimana sikap penyedia layanan kesehatan mental terhadap CSA (Child
Sexual Abuse)?
c. Bagaimanakah bentuk-bentuk sikap bersahabat (ramah) pada anak atau
remaja korban pelecehan seksual?
C. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui apa itu Child Sexual Abuse (CSA)
b. Mengetahui bagaimana sikap ramah yang haru ditampilkan oleh penyedia
layanan kesehatan mental terhadap CSA
c. Untuk mengetahui bentuk-bentuk sikap bersahabat pada anak atau remaja
yang mengalami pelecehan secara seksual

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Child Sexual Abuse (CSA)

Pelecehan seksual adalah penyalahgunaan kekuasaan atas anak dan


pelanggaran hak anak untuk hidup secara normal. Menurut WHO, pelecehan
seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam aktivitas seksual yang
tidak sepenuhnya dia pahami, tidak mampu untuk memberikan persetujuan, atau
yang untuknya anak tidak dipersiapkan secara perkembangan mengenai aktivitas
seksual. Pelecehan atau Kekerasan seksual merupakan permasalahan yang serius
di hadapi peradaban modern saat ini, karena adanya tindakan kekerasan seksual
menunjukan tidak berfungsinya suatu norma pada diri seseorang (pelaku) yang
mengakibatkan dilanggarnya suatu hak asasi dan kepentingan orang lain yang
menjadi korbannya. Kekerasan seksual terhadap anak menurut End Child
Prostitution in Asia Tourism (ECPAT) merupakan hubungan atau interaksi antara
seorang anak dengan yang lebih tua atau orang dewasa seperti orang asing,
saudara sekandung atau orang tua dan anak dipergunakan sebagai objek pemuas
kebutuhan seksual pelaku. Perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan,
ancaman, suap, tipuan, bahkan tekanan. Dalam kasus pelecehan seksual anak,
sikap (nilai-nilai dan kepercayaan) dari orang sekitar dapat memiliki dampak
langsung pada penyembuhan dan pemulihan anak. Penelitian menunjukkan bahwa
anak-anak dapat dipengaruhi secara positif atau negatif berdasarkan tanggapan
orang yang membantu mereka dalam menjalani proses penyembuhan. Peran kunci
penyembuhan dan pemulihan anak, diantaranya harus memiliki dasar yang kuat
tentang sikap positif tentang anak-anak dan memberikan perawatan penuh kasih
dan bukan untuk membahayakan anak-anak korban pelecehan seksual.

Anak sering menjadi korban dari tindakan sewenang-wenang yang dilakukan


orang dewasa, baik itu orang tua atau keluarga terdekatnya. Terdapat empat tipe
utama kekerasan pada anak (child abuse) yaitu kekerasan fisik, seksual, psikis dan
penelantaran. Angka kejadian kekerasan pada anak (child abuse atau CA) sendiri
memang belum terungkap semua. Biasanya kejahatan ini tersembunyi di mana

4
ketika ayah, ibu atau anggota keluarga di rumah melakukan kekerasan dan
menganggap ini hal biasa, atau takut akan melaporkan karena dianggap membuka
aib. Terkuaknya kasus-kasus yang ada, rata-rata setelah luka pada tubuh anak
ketika dibawa berobat atau anak tersebut meninggal. Kekerasan pada anak dapat
terjadi karena berbagai faktor atau mungkin saja beragam kejadian tersebut
terakumulasi dan dengan adanya faktor pencetus sedikit saja, mereka lantas
melakukan kekerasan. Pencetus yang sering terjadi salah satunya adalah tangisan
anak yang tanpa henti dan kenakalan anak.

Di Amerika Utara, sekitar 15% sampai 25% wanita dan 5% sampai 15% pria
yang mengalami pelecehan seksual saat mereka masih anak-anak. Sebagian besar
pelaku pelecahan seksual adalah orang yang dikenal oleh korban mereka, sekitar
30% adalah keluarga dari si anak, paling sering adalah saudara laki-laki, ayah,
paman, atau sepupu; sekitar 60% adalah kenalan lainnya seperti 'teman' dari
keluarga, pengasuh, atau tetangga, orang asing adalah pelanggar sekitar 10%
dalam kasus penyalahgunaan seksual anak. Kebanyakan pelecehan seksual anak
dilakukan oleh laki-laki; studi menunjukkan bahwa perempuan melakukan 14%
sampai 40% dari pelanggaran yang dilaporkan terhadap anak laki-laki dan 6%
dari pelanggaran yang dilaporkan terhadap perempuan. Sebagian besar pelanggar
yang pelecehan seksual terhadap anak-anak sebelum masa puber adalah pedofil,
meskipun beberapa pelaku tidak memenuhi standar diagnosis klinis untuk
pedofilia (Whealin, 2007).

B. Penyedia Layanan Kesehatan Mental terhadap CSA (Child Sexual Abuse)

UNICEF (2012) dalam buku yang berjudul ‘Caring for Child Survivors of
Sexual Abuse’ menyebutkan kasus pelecehan seksual pada anak dan remaja, sikap
(nilai dan keyakinan) dari penyedia layanan atau keluarga dan lingkungan yang
terkait dapat berdampak langsung pada penyembuhan dan pemulihan anak.
Penelitian menunjukkan bahwa anak-anak dapat dipengaruhi secara positif atau
negatif berdasarkan orang yang membantu mereka. Penyedia layanan
penyembuhan harus memiliki dasar yang kuat tentang sikap positif pada anak-
anak dan penyintas pelecehan seksual pada anak guna memberikan perawatan
penuh kasih sayang dan tidak melukai.

5
Terdapat beberapa nilai-nilai yang penting bagi penyedia layanan yang
berkerja dengan anak-anak, diantaranya adalah: (a) anak-anak adalah individu
yang ulet; (b) anak-anak memiliki hak untuk perkembangan yang sehat; (c) anak-
anak memiliki hak untuk peduli, cinta, dan dudkungan; (d) anak-anak memiliki
hak untuk didengar dan dilibatkan dala keputusan yang mempengaruhi mereka;
(e) anak-anak berhak untuk hidup bebas dari kekerasan; dan (f) informasi harus
dibagikan kepada anak-anak dengan cara yang mereka pahami (UNICEF, 2012).

Sedangkan terdapat keyakinan khusus yang mutlak dimiliki penyedia layanan


yang bekerja dengan penyintas pelecehan seksual pada anak dan remaja, yaitu: (a)
anak-anak mengatakan yang sebenarnya tentang pelecehan seksual; (b) anak-anak
tidak bersalah karena dilecehkan secara seksual; (c) anak-anak tidak boleh
distigmasi, dipermalukan, atau diejek karena dilecehkan secara seksual; (d) orang
dewasa, termasuk pengasuh dan penyedia layanan, memiliki tanggung jawab
untuk membantu anak sembuh dengan memercayai mereka dan tidak
menyalahkan mereka karena pelecehan seksual (UNICEF, 2012).

UNICEF (2012) menjelskan bahwa nilai-nilai dan kepercayaan dalam


bersikap ramah atau hangat yang digunakan dalam berinteraksi dengan anak atau
remaja korban pelecehan seksual merupakan standar orang dewasa yang
berinterkasi dengan anak-anak dalam kapasitas respons. Keterampilan dan
pengetahuan tidak ada artinya jika tidak disampaikan dengan cara yang peduli dan
penuh kasih, ini bertumpu pada sikap individu

Penyedia layanan kesehatan atau psikososial pertama-tama harus menjalani


penilaian sikap sebelum bekerja langsung dengan anak-anak dan keluarga.
Pengawas dapat menggunakan penilaian sikap pribadi sebagai alat pengembangan
staf untuk memastikan bahwa staf memiliki nilai-nilai dan keyakinan yang akan
membantu anak-anak dan keluarga pulih dari pelecehan seksual. Metode yang
digunakan untuk mengevaluasi sikap pekerja pada layanan kesehatan diantaranya
adalah menggunakan skala sikap CCS untuk menilai kepercayaan dan nilai-nilai
serta secara langsung mengamati staff dan memberikan umpan balik pada contoh
praktik yang baik dan buruk selama pengawasan kasus individu dan kelompok
(UNICEF, 2012).

6
C. Bentuk Sikap Bersahabat terhadap CSA (Child Sexual Abuse)
a. Menekankan bahwa itu bukan kesalahan anak

Orang dewasa terutama keluarga perlu memahami bahwa menolak


mengungkapkan pelecehan seksual anak atau menyalahkan anak atas pelecehan
semacam itu adalah berbahaya (UNICEF, 2012). Penting untuk menjelaskan sejak
awal bahwa apa pun pelecehan yang terjadi pada anak, itu bukan kesalahan dari
mereka (Ollier & Hobday, 2004).

b. Membangun raport dengan anak

Dengan membangun raport yang baik pada anak atau remaja yang mengalami
pelecehan seksual akan membantu mereka untuk merasa nyaman dalam bercerita.
Hal ini akan mengurangi rasa takut anak terhadap trauma dan membuat anak
merasa rileks. Hubungan akan dibangun melalui pengembangan hubungan yang
peduli, saling percaya, dan membimbing. Orang dewasa seperti penyedia layanan
kesehatan, orang tua atau pengasuh perlu untuk menunjukkan bahwa kita
memiliki waktu untuk mendengarkan mereka, tertarik pada mereka sebagai
individu, kita tahu apa yang harus dikatakan dan apa yang tidak boleh dikatakan,
dan kita adalah seseorang yang tidak akan dikejutkan dengan informasi apapun
yang akan diutarakan anak atau remaja (Ollier & Hobday, 2004).

Cukup sulit membangun hubungan setelah pengalaman yang merusak terjadi


pada anak atau remaja, jadi luangkan waktu kita dan bersiaplah untuk bekerja
keras untuk mendapatkan kepercayaan yang cukup untuk mendengarkan cerita
mereka (Ollier & Hobday, 2004).

c. Memberi dukungan pada anak dan remaja

Sanderson (2004) menyebutkan bahwa penting bahwa anak-anak yang telah


dilecehkan secara seksual mendapatkan bantuan yang tepat untuk mencegah
penyalahgunaan lebih lanjut dari anak-anak. Print dan Morrison (dalam Itzin,
2000) menyebutkan bahwa remaja cenderung bergantung pada bantuan dan
dukungan orang tua atau pengasuh dan potensi mereka secara positif lebih besar
dipengaruhi oleh orang tua dibandingkan orang dewasa lainnya (Yang terbaik

7
adalah dengan memberikan anak atau remaja kekuatan sebanyak mungkin (Ollier
& Hobday, 2004). Sangat penting ketika kita memiliki kekhawatiran tentang
seorang anak yang mengalami pelecehan seksual, sehingga kita mendapatkan
bantuan terbaik bagi anak untuk memungkinkannya melewati pengalamannya
tanpa cedera. Orang tua atau pengasuh juga dapat mendukung anak dengan
menemui therapist (Sanderson, 2004).

Dampak pelecehan seksual untuk anak-anak jauh menjangkau dengan efek


buruk pada fungsi fisik, intelektual, emosional dan sosial mereka. Diakui secara
luas bahwa anak-anak dan remaja yang telah mengalami pelecehan atau
eksploitasi seksual harus memiliki akses ke dukungan psikososial. Memberikan
dukungan psikososial dapat membantu anak dan remaja mangatasi kesulitan-
kesulitan, ini dipandang sebagai strategi penting untuk mencegah viktimisasi
berulang (Radford, Allnock & Hynes, 2016).

d. Tanamkan rasa percaya

Sangat diperlukan bagi orang tua atau pengasuh untuk menanamkan rasa
percaya pada anak dan remaja. Dengan adanya rasa percaya yang diberikan
kepada anak, akan memudahkan komunikasi anak kepada orang tua ketika terjadi
CSA (child sexual abuse). Malloy, et al. (dalam Townsend, 2016) menjelaskan
bahwa banyak anak mengungkapkan kepada orang tua mereka tentang pelecehan
seksual yang mereka alami, terutama kepada Ibu mereka. Hershkowitz yang
dikutip dari sumber yang sama menambahkan bahwa kurang dari setengah anak-
anak yang pelakunya bukan anggota keluarga, menceritakan kejadian pelecehan
pada orang tua mereka.

Anak-anak yang lebih kecil cenderung akan bercerita atau curhat dan lebih
percaya pada orang tua, sementara remaja lebih cenderung bergantung pada teman
yang seumuran atau sebaya (Esposito, 2014).

e. Memberikan rasa aman atau perlindungan

Respon perlindungan bertujuan untuk mengidentifikasi anak-anak yang


berisiko dan mengambil tindakan untuk menghentikan bahaya agar tidak

8
berlanjut. Menurut Radford, Allnock & Hynes (2016) ada dua aspek
perlindungan: (1) mengambil langkah-langkah untuk membuat anak-anak dan
remaja aman (seringkali oleh pekerjaan sosial atau agen perlindungan anak atau
layanan anak) dan (2) menghentikan pelaku dari melakukan pelanggaran lebih
lanjut (seringkali sistem kepolisian atau peradilan pidana tanggapan).

f. Berikan rasa nyaman pada anak

Penyedia layanan spesialis seperti kesehatan mental harus memberikan


perasaan nyaman untuk anak-anak dan remaja yang dilaksanakan oleh staf yang
mahir dalam membangun hubungan berdasarkan kepercayaan dan pengetahuan
tentang dinamika dan dampak dari pelecehan seksual dan eksploitasi seksual
(Radford, Allnock & Hynes, 2016).

g. Memelihara, menghibur dan mendukung anak

Anak-anak yang telah mengalami pelecehan seksual kemungkinan besar akan


menarik perhatian Anda melalui pengasuh atau orang dewasa lainnya; anak-anak
yang dilecehkan jarang mencari bantuan sendiri. Anak-anak mungkin tidak
memahami apa yang terjadi pada mereka atau mereka mungkin mengalami
ketakutan, malu atau malu tentang pelecehan, yang mempengaruhi kesediaan dan
kemampuan mereka untuk berbicara dengan penyedia layanan. Reaksi awal Anda
akan memengaruhi rasa aman dan kemauan mereka untuk berbicara, serta
kesejahteraan psikologis mereka. Respons positif dan suportif akan membantu
anak-anak yang dilecehkan merasa lebih baik, sementara respons negatif (seperti
tidak memercayai anak atau marah dengan anak) dapat menyebabkan mereka
semakin terluka.

h. Yakinkan anak-anak

Anak-anak perlu diyakinkan bahwa mereka tidak bersalah atas apa yang telah
terjadi pada mereka dan bahwa mereka dipercaya. Anak-anak jarang berbohong
tentang pelecehan seksual dan penyedia layanan harus melakukan segala upaya
untuk mendorong mereka untuk berbagi pengalaman mereka. Pernyataan
penyembuhan seperti "Saya percaya Anda" dan "Itu bukan kesalahan Anda"

9
sangat penting untuk berkomunikasi pada awal pengungkapan dan selama
perawatan dan perawatan.

Penyedia layanan langsung yang berkomunikasi dengan penyintas anak perlu


menemukan kesempatan untuk memberi tahu mereka bahwa mereka berani
berbicara tentang pelecehan dan bahwa mereka tidak dapat disalahkan atas apa
yang telah mereka alami. Diperlukan bagi penyedia layanan untuk memberi tahu
anak-anak bahwa mereka tidak bertanggung jawab atas pelecehan dan untuk
menekankan bahwa mereka ada di sana untuk membantu mereka memulai proses
penyembuhan.

i. Tidak membahayakan

Berhati-hatilah untuk tidak membuat trauma anak. Penyedia layanan lebih


lanjut harus memantau setiap interaksi yang mungkin membuat marah atau trauma
lebih lanjut pada anak tersebut. Jangan menjadi marah dengan seorang anak,
memaksa anak untuk menjawab pertanyaan bahwa dia tidak siap untuk menjawab,
memaksa anak untuk berbicara tentang pelecehan seksual sebelum dia siap, atau
minta anak mengulangi ceritanya penyalahgunaan beberapa kali kepada orang
yang berbeda. Staf harus mencoba membatasi kegiatan dan komunikasi yang
menyebabkan anak tertekan.

j. Berbicaralah agar anak-anak mengerti

Setiap upaya harus dilakukan untuk berkomunikasi dengan anak-anak;


informasi harus disampaikan kepada mereka dengan cara dan bahasa yang mereka
pahami, berdasarkan usia dan tahap perkembangan mereka.

k. Bantu anak merasa aman

Cari ruang aman, yang pribadi, tenang dan jauh dari potensi bahaya. Tawarkan
kepada anak-anak pilihan untuk memiliki hadiah orang dewasa yang tepercaya,
atau tidak saat Anda berbicara dengan mereka. Jangan memaksa anak untuk
berbicara, atau di depan, seseorang yang tampaknya tidak mereka percayai.
Jangan memasukkan orang yang diduga melakukan pelecehan terhadap anak
dalam wawancara. beri tahu si anak kebenaran — bahkan ketika itu sulit secara

10
emosional. Jika Anda tidak tahu jawaban atas sebuah pertanyaan, beri tahu anak
itu, "Saya tidak tahu." Kejujuran dan keterbukaan mengembangkan kepercayaan
dan membantu anak-anak merasa aman.

l. Beri tahu anak-anak mengapa Anda berbicara dengan mereka

Setiap kali penyedia layanan duduk untuk berkomunikasi dengan anak yang
selamat, ia harus meluangkan waktu untuk menjelaskan kepada anak tujuan rapat.
Penting untuk menjelaskan kepada anak mengapa penyedia layanan ingin
berbicara dengan mereka, dan apa yang akan ditanyakan kepada anak dan
pengasuhnya. Pada setiap langkah proses, jelaskan kepada anak-anak apa yang
terjadi untuk membantu mengamankan kesejahteraan fisik dan emosional mereka.

m. Menggunakan orang yang tepat

Pada prinsipnya, hanya penyedia layanan perempuan dan juru bahasa yang
harus berbicara dengan anak perempuan tentang pelecehan seksual. Penyintas
anak laki-laki harus ditawari pilihan (jika mungkin) untuk berbicara dengan
penyedia perempuan atau laki-laki, karena beberapa anak laki-laki akan merasa
lebih nyaman dengan penyedia layanan perempuan. Praktik terbaik adalah
bertanya kepada anak apakah dia lebih suka memiliki staf terlatih pria atau
wanita.

n. Memperhatikan komunikasi non-verbal

Penting untuk memperhatikan komunikasi non-verbal anak dan Anda sendiri


selama interaksi apa pun. Anak-anak dapat menunjukkan bahwa mereka merasa
tertekan dengan menangis, gemetar atau menyembunyikan wajah mereka, atau
mengubah postur tubuh mereka. Melengkungkan bola, misalnya, merupakan
indikasi bagi orang dewasa yang bekerja dengan anak untuk beristirahat atau
menghentikan wawancara sama sekali. Sebaliknya, orang dewasa juga
berkomunikasi secara non-verbal. Jika tubuh Anda menjadi tegang atau jika Anda
tampaknya tidak tertarik dengan cerita anak itu, ia dapat menafsirkan perilaku
non-verbal Anda dengan cara negatif, sehingga memengaruhi kepercayaan dan
kemauannya untuk berbicara.

11
o. Menghormati pendapat anak, kepercayaan dan pemikiran Anak-anak

Anak-anak memiliki hak untuk mengekspresikan pendapat, keyakinan, dan


pemikiran mereka tentang apa yang telah terjadi pada mereka serta keputusan apa
pun yang dibuat atas nama mereka. Penyedia layanan bertanggung jawab untuk
berkomunikasi dengan anak-anak bahwa mereka memiliki hak untuk berbagi
(atau tidak berbagi) pemikiran dan pendapat mereka. Berdayakan anak sehingga
ia mengendalikan apa yang terjadi selama pertukaran komunikasi. Anak harus
bebas menjawab "Saya tidak tahu" atau berhenti berbicara dengan penyedia
layanan jika dia dalam kesulitan. Hak anak untuk berpartisipasi termasuk hak
untuk memilih untuk tidak berpartisipasi.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pelecehan seksual pada anak adalah keterlibatan seorang anak dalam aktivitas
seksual yang tidak sepenuhnya dia pahami, tidak mampu untuk memberikan
persetujuan, atau yang untuknya anak tidak dipersiapkan secara perkembangan
mengenai aktivitas seksual.

Peran kunci penyembuhan dan pemulihan anak, diantaranya harus memiliki


dasar yang kuat tentang sikap positif tentang anak-anak dan memberikan
perawatan penuh kasih dan bukan untuk membahayakan anak-anak korban
pelecehan seksual.

Penyedia layanan penyembuhan harus memiliki dasar yang kuat tentang sikap
positif pada anak-anak dan penyintas pelecehan seksual pada anak guna
memberikan perawatan penuh kasih sayang dan tidak melukai.

Nilai-nilai dan kepercayaan dalam bersikap ramah atau hangat yang


digunakan dalam berinteraksi dengan anak atau remaja korban pelecehan seksual
merupakan standar orang dewasa yang berinterkasi dengan anak-anak dalam
kapasitas respon (UNICEF, 2012)

Beberapa bentuk sikap ramah dan bersahabat yang dapat dilakukan oleh orang
dewasa, pengasuh, atau penyedia layanan kesehatan mental diantaranya yaitu:
menekankan bahwa itu bukan kesalahan anak, membangun raport dengan anak,
memberi dukungan pada anak dan remaja, tanamkan rasa percaya, memberikan
rasa aman atau perlindungan, berikan rasa nyaman pada anak.

B. Saran

Penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, kritik dan saran dari
pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan penulisan makalah di kemudian
hari. Semoga dengan ditulisnya makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua.

13
Dan juga dapat mengetahui tentang sikap bersahabat (ramah) terhadap anak dan
remaja yang mengalami CSA (Child Sexual Abuse).

14
DAFTAR PUSTAKA

Dube, Anda, RF., Whitfield, et al. (2005). Long-term consequences of childhood


sexual abuse by gender of victim. American Journal of Preventive
Medicine, 28(5). doi:10.1016/j.amepre.2005.01.015

Esposito, C. (2014). Child sexual abuse and disclosure: what does the research tell
us?. Australia: NSW Government.

Hussey, D.L., Strom, G., & Singer, Mark. (1992). Male victims of sexual abuse:
An analysis of adolescent psychiatric inpatients. Child and Adolescent
Social Work Journal, 9(6).

Itzin, C.(2000). Home truths about child sexual abuse, influencing policy and
practice a reader. London & New York: Routledge.

Mantula, F. & Saloojee, H. (2016). Child sexual abuse in Zimbabwe. Journal of


Child Sexual Abuse, vol. 25(8), 866-880.

Ollier, K. & Hobday, A. (2004). Creative therapy, adolescents overcoming child


sexual abuse. Australia: ACER Press.

Radford, L., Allnock, D. & Hynes, P. (2016). Preventing and responding to child
sexual abuse and exploitation: evidence review. USA: UNICEF.

Sanderson, C. (2004). The seduction of children, empowering parents and


teachers to protect children from child sexual abuse. London &
Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers.

Townsend, C. (2016). Child sexual abuse disclosure: what practitioners need to


know. Charleston: Darkness to Light.

UNICEF. (2012). Caring for Child Survivors of Sexual Abuse. New York:
International Rescue Committee.

Whealin, Julian. (2007). Child Sexual Abuse . National Center for Post Traumatic
Stress Disorder, US Department of Veterans Affairs.

15

Anda mungkin juga menyukai