Anda di halaman 1dari 19

SEX EDUCATION

Dosen pengampu : Ns.Herlina,M.Kep,SP.Kep.An

Disusun oleh :

Riska Hidayattullah 1710711044

Refany Salsabila 1710711146

Fakultas Ilmu Ilmu Kesehatan

S1 Keperawatan

Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Jakarta

2019

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh


Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan
sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik itu
berupa sehar fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan pembuatan
makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah Keperawatan Anak 1 dengan judul “Sex Education”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Jakarta , 1 Mei 2019

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR. .............................................................................................................2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN. .......................................................................................................4

1.1 Latar Belakang. ........................................................................................................4


1.2 Rumusan Masalah. ...................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan ......................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN. ........................................................................................................6

2.1 pengertian pendidikan seks?....................................................................................6

2.2 Apa saja tujuan dari pendidikan seks? .....................................................................6

2.3. Sasaran tahapan pada pendidikan seks ...................................................................7

2.4. Mengapa pendidikan seks sangat penting .............................................................11

2.5 Cara Mengajarkan Seks Pada Anak………………………………………………15

2.6. Cara untuk menyelesaikan masalah berhubungan dengan seks ............................16

BAB V PENUTUP..................................................................................................................18

3.1 Kesimpulan . ............................................................................................................17

3.2 Saran. .......................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA. ............................................................................................................19

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Di Indonesia, ternyata banyak orang yang tidak ingin benar-benar membicarakan
seks. “Tetapi ketika mereka muda dan tumbuh dan masalah ini muncul pada keluarga
mereka, semua orang menjadi tegang.” Apa yang harus dikatakan dan kapan

Sex education/pendidikan seks sebenarnya berarti pendidikan seksualitas yaitu suatu


pendidikan mengenai seksualitas dalam arti luas. Seksualitas meliputi berbagai aspek yang
berkaitan dengan seks, yaitu aspek biologik, orientasi, nilai sosiokultur dan moral, serta
perilaku.

Sesuai dengan kelompok usia berdasarkan perkembangan hidup manusia, maka pendidikan
sex dapat dibagi menjadi pendidikan seks untuk anak prasekolah dan sekolah, pendidikan
seks untuk remaja, untuk dewasa pranikah serta menikah.

Sex education untuk anak-anak bertujuan agar anak mengerti identitas dirinya dan
terlindung dari masalah seksual yang dapat berakibat buruk bagi anak. Pendidikan seks
untuk anak pra sekolah lebih bersifat pemberian informasi berdasarkan komunikasi yang
benar antara orangtua dan anak.

Sex education untuk remaja bertujuan melindungi remaja dari berbagai akibat buruk karena
persepsi dan perilaku seksual yang keliru. Sementara pendidikan sex untuk dewasa
bertujuan agar dapat membina kehidupan sexual yang harmonis sebagai pasangan suami
istri.

Pendidikan seksual selain menerangkan tentang aspek-aspek anatomis dan biologis juga
menerangkan tentang aspek-aspek psikologis dan moral. Pendidikan seksual yang benar
harus memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia. Juga nilai-nilai kultur dan agama
diikutsertakan sehingga akan merupakan pendidikan akhlak dan moral juga.

Ketika kita mendengar kata seks apa yang terpikir di benak kita? Pornografi, vulgar,
menjijikkan dll. Memang sebagian besar masyarakat menganggap membicarakan seks itu
adalah sesuatu hal yang tabu dan tak layak dibicarakan. Ketika anak kita bertanya soal
seksualitasnya pasti kita dengan cepat akan mengalihkannya dan akan mengatakan
“Hus…ga baik ngomong gitu, masih kecil nanti kalo sudah besar kan tau sendiri”. Sikap
seperti itulah yang salah, karena anak memiliki rasa ingin tahu tentang banyak hal, bila kita
sebagai orang tua tidak bisa mengarahkan dengan baik, tidak bisa memberikan informasi

4
yang jelas cenderung mereka akan mencari informasi dari orang lain dan teman-temannya,
informasi tersebut belum tentulah informasi yang baik.

Sedikit sekali masyarakat terutama orang tua yang peduli akan pendidikan seks dan
menempatkan bahwa seks adalah sesuatu yang penting. Bahkan banyak orang tua yang
tidak memberikan pendidikan seks pada anak, dengan alasan anak akan tabu dengan
sendirinya. Selama ini seks identik dengan orang dewasa saja. "Pendidikan seks tidak
selalu mengenai hubungan pasangan suami istri, tapi juga mencakup hal-hal lain seperti
pemberian pemahaman tentang perkembangan fisik dan hormonal seorang anak serta
memahami berbagai batasan sosial yang ada di masyarakat," ujar Dra Dini Oktaufik dari
yayasan ISADD (Intervention Service for Autism and Developmental Delay).

Membahas masalah seks pada anak memang tidak mudah. Namun, mengajarkan
pendidikan seks pada anak harus diberikan agar anak tidak salah melangkah dalam
hidupnya. Pendidikan seks wajib diberikan orangtua pada anaknya sedini mungkin.
Tepatnya dimulai saat anak usia 3-4 tahun, karena pada usia ini anak sudah bisa melakukan
komunikasi dua arah dan dapat mengerti mengenai organ tubuh mereka dan dapat pula
dilanjutkan pengenalan organ tubuh internal.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian pendidikan seks?


2. Apa saja tujuan dari pendidikan seks?
3. Siapa saja sasaran tahapan pada pendidikan seks ?
4. Mengapa pendidikan seks sangat penting?
5. Bagaimana cara untuk menyelesaikan masalah berhubungan dengan seks ?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk memperoleh informasi mengenai pendidikan seks


2. Untuk memberi wawasan terhadap pembaca

5
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pendidikan Seks


Pengertian seks dalam kamus bahasa Indonesia adalah jenis kelamin. Dalam Kamus
Oxford, seks adalah menyatakan tentang laki-laki atau perempuan dan seksual adalah hal-
hal yang berhubungan dengan bagianbagian atau organ tubuh pada laki-laki atau
perempuan ataupun perbedaan dan karakteristik laki-laki dan perempuan. Sedangkan
masalah seksual adalam permasalahan yang menyangkut berbagai elemen tentang seksual
seperti: pemahaman alat kelamin (alat reproduksi) secara biologis dan fisiologis, fungsi
hormonal, pemahaman gender dan seksualitas, pemahaman hasrat seksual, pemahaman
sumber rangsangan seksualitas, pemahaman seksualitas pada anak, remaja, dan usia lanjut,
pemahaman industry seks, pemahaman penyimpangan seks, pemahaman unsur genetis,
dan lain-lain sebagainya.

Pendidikan seks adalah upaya pengajaran, penyadaran, dan pemberian informasi


tentang masalah seksual. Informasi yang diberikan di antaranya adalah pengetahuan
tentang fungsi organ, reproduksi dengan menanamkan moral, etika, komitmen, dan agama,
agar tidak terjadi penyalahgunaan organ reproduksi tersebut. Karena itu pendidikan seks
dapat dikataka sebagai cikal bakal pendidikan kehidupan berkeluarga yang memiliki
makna sangat penting. Para ahli psikologi menganjurkan agar pendidikan seks mulai
dikenalkan pada anak sejak usia dini, sesuai dengan tahap perkembangan kedewasaannya.
Informasi tentang seks bisa diberikan sejak anak sudah bisa melakukan komunikasi dua
arah. Orang tua saat ini perlu dibekali pengetahuan mengenai seks, karena tidak jarang juga
anak-anak yang bertanya tentang masalah seks. Mencari informasi tentang seks, selain
untuk menjawab pertanyaan anak, juga untuk mendidik anak sehingga dia mengetahui
informasi yang tepat dan berguna. Kurangnya pembekalan tentang seks membuat anak
menjadi bingung dan bisa mencari informasi yang salah, sebab didapat dari narasumber
yang tidak layak. Hasil akhirnya tentu tidak sesuai dengan harapan dan manfaat. Berikut
ini akan di uraikan beberapa permasalahan seksual, di antaranya: perbedaan organ tubuh
laki-laki dan perempuan, pemahaman alat kelamin dan hormon, pemahaman gender dan
seksualitas, pemahaman hasrat dan sumber rangsangan seksualitas, penyimpangan seks,
kekerasan seksual, dan masturbasi.

2.2 Tujuan dari pendidikan seks

Pendidikan seks penting untuk anak agar anak tidak kekurangan informasi tentang
seks. Dengan sifat keingintahuannya seorang anak akan selalu mencari tahu segala sesuatu
yang didengarnya dari pergaulannya seharihari. Masih untung sebetulnya jika si anak
menanyakan hal tersebut kepada orang tuanya, daripada dapat pengajaran sebagian-

6
sebagian dari orang lain yang mungkin tidak punya pengetahuan tentang itu. Apalagi
masalah seks, orang cenderung membayangkannya sebagai masalah hubungan intim.
Alangkah disayangkan kalau anak mendapat pengetahuannya dari orangorang yang tidak
bertanggung jawab. Karena itu pendidikan seks diperlukan agar anak mengetahui fungsi
organ seks, tanggung jawab yang ada padanya, halal haram berkaitan dengan organ seks
dan panduan menghindari penyimpangan dalam perilaku seksual mereka sejak dini.
Menurut Sofyan Sauri pendidikan seks itu penting terutama bagi remaja karena beberapa
hal. Pertama, anak akan tumbuh menjadi remaja dan mereka belum paham tentang seks,
sementara orang tua menganggap kalau membicarakan seks adalah hal yang tabu. Karena
ketidakpahaman itu para remaja merasa tidak bertanggung jawab dengan seks atau
kesehatan anatomi reproduksinya. Kedua, dari ketidakpahaman remaja tentang seks dan
kesehatan anatomi reproduksinya, di lingkungan seosial masyarakat, hal lain ditawarkan
hanya sebatas komoditi, seperti media-media yang menyajikan hal-hal yang bersifat
pornografi, antara lain seperti VCD, majalah, internet, bahkan tayangan televisipun sudah
mengarah ke hal-hal yang seperti itu. Dampak dari ketidakpahaman remaja tentang seks,
banyak hal-hal negatif yang terjadi, seperti hubungan seks di luar nikah, kehamilan yang
tidak diinginkan, penularan virus HIV, dan lain sebagainya.
Tujuan pendidikan seks berbeda-beda sesuai usia perkembangan. Seperti pada usia
balita, tujuannya adalah untuk memperkenalkan organ seks yang dimiliki, seperti
menjelaskan anggota tubuh lainnya, termasuk menjelaskan fungsi serta cara
melindunginya. Untuk usia sekolah mulai 6–10 tahun bertujuan memahami perbedaan
jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), menginformasikan asal-usul manusia,
membersihkan alat genital dengan benar agar terhindar dari kuman dan penyakit. Pada usia
menjelang remaja, pendidikan seks bertujuan untuk menerangkan masa pubertas dan
karakteristiknya, serta menerima perubahan dari bentuk tubuh. Berbeda halnya dengan
pendidikan seks yang diberikan pada anak usia remaja, pendidikan seks berguna untuk
memberi penjelasan mengenai perilaku seks yang merugikan (seperti seks bebas),
menanamkan moral dan prinsip ”say no” untuk seks pranikah serta membangun
penerimaan terhadap diri sendiri. Bahkan, pendidikan seks juga penting diberikan pada
anak di usia pranikah untuk pembekalan pada pasangan yang ingin menikah tentang
hubungan seks yang sehat dan tepat. Dan usia setelah menikah, pendidikan seks penting
diberikan untuk memelihara pernikahan melalui hubungan seks yang berkualitas dan
berguna untuk melepas ketegangan.

2.3 Sasaran Tahapan pada pendidikan Seks

Usia 0-5 tahun

 Bantu anak agar merasa nyaman dengan tubuhnya


 Beri sentuhan dan pelukan kepada anak agar mereka merasakan kasih sàyang dari
orangtuanya secara tulus.

7
 Bantu anak memahami perbedaan perilaku yang boleh dan tidak boleh dilakukan
di depan umum. Contohnya, saat anak selesai mandi harus mengenakan baju di
dalam kamar mandi atau di kamarnya. Orangtua harus menanamkan bahwa tidak
diperkenankan berlarian usai mandi tanpa busana. Anak harus tahu bahwa ada hal-
hal pribadi dari tubuhnya yang tidak sèmua orang boleh lihat apalagi
menyentuhnya.
 Ajari anak untuk mengetahui perbedaan anatomi tubuh pria dan wanita. Jelaskan
proses tubuh seperti hamil dan melahirkan dalam kalimat sederhana. Dari sini bisa
dijelaskan bagaimana bayi bisa berada dalam kandungan ibu. Tentu saja harus
dilihat perkembangan kognitif anak. Yang penting orangtua tidak membohongi
anak misalnya dengan mengatakan kalau adik datang dari langit atau dibawa
burung. Cobalah memosisikan diri Anda sebagai anak pada usia tersebut. Cukup
beritahu hal-hal yang ingin diketahuinya. Jelaskan dengan contoh yang terjadi pada
binatang.
 Hindari perasaan malu dan bersalah atas bentuk serta fungsi tubuhnya.
 Ajarkan anak untuk mengetahui nama yang benar setiap bagian tubuh dan
fungsinya. Katakan vagina untuk alat kelamin wanita dan penis untuk alat kelamin
pria ketimbang mengatakan burung atau yang lainnya.
 Bantu anak memahami konsep pribadi dan ajarkan mereka kalau pembicaraan soal
seks adalah pribadi.
 Beri dukungan dan suasana kondusif agar anak mau datang kepada orangtua untuk
bertanya soal seks

Usia 6-9 tahun

 Tetap menginformasikan masalah seks kepada anak, meski tidak ditanya.


 Jelaskan bahwa setiap keluarga mempunyai nilai-nilai sendiri yang patut dihargai.
Seperti nilai untuk menjaga diri sebagai perempuan atau laki-laki serta menghargai
lawan jenisnya.
 Berikan informasi mendasar tentang permasalahan seksual
 Beritahukan kepada anak perubahan yang akan terjadi saat mereka menginjak masa
pubertas.

Usia 10-12 tahun

 Bantu anak memahami masa pubertas. Berikan penjelasan soal menstruasi bagi
anak perempuan serta mimpi basah bagi anak laki-laki sebelum mereka
mengalaminya. Dengan begitu anak sudah diberi persiapan tentang perubahan yang
bakal terjadi pada dirinya.
 Hargai privasi anak. Dukung anak untuk melakukan komunikasi terbuka.

8
 Tekankan kepada anak bahwa proses kematangan seksual setiap individu itu
berbeda-beda.
 Bantu anak untuk memahami bahwa meskipun secara fisik ia sudah dewasa, aspek
kognitif dan emosionalnya belum dewasa untuk berhubungan intim.
 Beri pemahaman kepada anak bahwa banyak cara untuk mengekspresikan cinta dan
kasih sayang tanpa perlu berhubungan intim.
 Diskusi terbuka dengan anak tentang alat kontrasepsi. Katakan bahwa alat
kontrasepsi berguna bagi pasangan suami istri untuk mengatur atau menjarangkan
kelahiran.
 Diskusikan tentang perasaan emosional dan seksual.

Usia 15 Tahun ke Atas

 Diharapkan sudah benar-benar memiliki pengetahuan seks yang utuh, lengkap dan
benar serta memahami sesuai norma yang dianut keluarga.
 Pengajaran seksual pada anak usia ini dilakukan dengan diskusi tertutup
berdasarkan kesamaan jender demi menghindar perasaan rikuh dan malu pada anak.
 Diskusi dilakukan dengan obrolan santai sambil mendiskusikan relasi laki-laki dan
perempuan, aspek percintaan lawan jenis, kesepakatan tentang pacaran,
kebijaksanaan keluarga menanggapi hubungan seks pranikah, seluk beluk peting,
persenggamaan, kontrasepsi, pornografi, penyimpangan seks, dan penyakit
menular seksual.
 Dorong anak memegang teguh prinsip dan standar moral yang dimilikinya
meskipun itu bertentangan dengan prinsip teman-temannya.

 Metode pengajaran seks kepada anak meliputi 3 aspek, yaitu:

1. pertama, Eliminasi Bahasa, Adalah cara menyampaikan informasi dengan


menggunakan kata kata secukupnya. Dalam hal ini, kita harus pandai dalam
mengubah kata yang kurang senonoh menjadi kata yang mudah didengar. Ini akan
menyebabkan anak lebih mudah menerimanya dan mencernanya dengan
pemikiran mereka sendiri. Penggunaan kata seperti “penis” mungkinbisa diganti
dengan “burung” karena kata ini lebih mudah dimengerti maknannya oleh anak
anak. Pertama kita harus mempermudah anak dalam mengerti dan memahami
makna dari tiap kata yang berhubungan dengan seks. Tapi yang sering menjadi
fatal, pendidik pasti ingin menjadi orang intelek yang mengajarkan seks kepada
anak dengan takaran dari anak remaja. Hal itu sangatlah tidak dibenarkan, karena
hal itu hanya akan menimbulka rasa penasaran dan dapat mengarahkan ke hal yang
tak diinginkan.metode ini hanya akan efektif pada anak usia 5 – 12 tahun karena
mereka masih dalam tahap pencarian dan pemahaman. Hal itu bukan merupakan
suatu acuan tetap, karena perkembangan pemikiran seorang anak juga dipengaruhi

9
oleh factor lingkungan dan faktor gaya belajar anak dapat mempercepat pemikiran
anak.

2. Kedua, Toleransi dalam seks, kita harus dapat menjadikan seks sebagai sebuah
pandangan tentang gaya pendidikan. Yang perlu diubah pertama adalah anggapan
dari pendidik bahwa seks itu memang bagian dari pendidikan wajib bagi anak.
Pendidikan merupakan awal dari pendidikan yang akan terjadi, jadi pendidik harus
mampu enyampaikan kebenaran tentang seks pada anak didiknya. Toleransi seks
juga harus mengajarkan tentang saling menghargai perbedaan antara gender.
Dalam hal ini, laki laki juga akan mempelajari system seks perrempuan dan
begitupun sebaliknya. Menurut saya cara ini akan menjadi sangat efektif ketika
pengajar mampu menyajikan seks dalm bentuk yang menarik. Mungkin guru bisa
menggunakan alat peraga guna memperjelas gambarang anak tentang alat kelamin
lawan jenis mereka. Cara ini dapat mengurangi rasa penasaran dari peserta didik
karena mereka sudah mengetahui bagaimana bentuknya. Toleransi seks juga harus
mengajarkan tentang perbedaan adatdan kebudayaan dengan keperluan
pendidikan. Contoh sederhana adalah dengan menimbulkan anggapan pada anak
bahwa pakaian adat daerah papua itu merupakan warisan berharga bagi bangsa ini
dan bukan salah satu bentuk dari penyelewengan seks. Ketika anak mampu
melakukan toleransi seks tidak menutup kemungkinan kalo dia akan menganggap
seks itu sebagai pendidikan wajib dan bukan suatu hal yang tabu.

3. Ketiga, Penumbuhan pengetahuan tentang seks, ini adalah apa yang kita bahas
sejauh ini. Ketika muncul pertanyaan “bagaimana”, maka akan timbul jawaban
“lakukanlah”. Lakukan disini bermakna untuk menyuruh agar mengajarkannya.
Pengajar harus lebih dulu belajar tentang seks sebelum mengajarkannya. Ketika
pengajar lebih mendalami materi maka peserta didik akan merasa lebih nyaman
dan menjadi yakin akan apa yang disampaikan oleh guru. Dengan adanya metode
ini maka diharapkan jika pendidikan seks menjadi materi wajib yang harus
dikuasai oleh setiap guru di Negara ini. Pendidikan seks menjadi sangat sacral
ketika kita menengok kebelakang dan melihat fakta tentang kejahatan seksual di
Indonesia. Rendahnya latar belakang pendidikan seks hanya akan mengakibatkan
tingginya angka kejahatan seksual. “Ketika sesorang mendapat ilmu secara kurang
mendalam, secara akan secara alami mencari, menggali, atau mungkin
mengembangkan sendiri ilmu itu.” , seperti halnya anak anak yang masih terdapat
dalam masa perkembangan. Berkembangnya anak adalah sesuatu yang sangat
krusial, perlu dampingan orang dewasa guna mengarahkan kehal yang positif dan
bermanfaat bagi apa yang ia perlukan bagi dia kedepannya. Pendidikan seks sangat
bermanfaat bagi masa depannya maka dari itu pendidikan seks menjadi sesuatu
yang penting bagi anak anak.

10
2.4 Pentingnya Pendididkan Seks

Berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih timbul pro


kontra di masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan seks adalah
hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk berhubungan
seks. Sebagian besar masyarakat masih beranggapan pendidikan seks sebagai suatu
hal yang vulgar. Selama ini, jika kita berbicara mengenai seks, maka yang terbersit
dalam benak sebagian besar orang adalah hubungan seks. Padahal, seks itu artinya
jenis kelamin yang membedakan laki-laki dan perempuan secara biologis.
Seksualitas menyangkut be berapa hal antara lain dimensi biologis, yaitu berkaitan
dengan organ reproduksi, cara merawat kebersihan dan kesehatan; dimensi
psikologis, seksualitas berkaitan dengan identitas peran jenis, perasaan terhadap
seksualitas dan bagaimana menjalankan fungsinya sebagai makhluk seksual,
dimensi sosial, berkaitan dengan bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar
manusia serta bagaimana lingkungan berpengaruh dalam pembentukan pandangan
mengenai seksualitas dan pilihan perilaku seks, dan dimensi kultural, menunjukkan
bahwa perilaku seks itu merupakan bagian dari budaya yang ada di masyarakat.
Ada dua faktor mengapa pendidikan seks sangat penting bagi remaja.
Faktor pertama adalah ketika anak-anak tumbuh menjadi remaja, mereka belum
paham dengan pendidikan seks—sebab orang tua masih menganggap bahwa
membicarakan mengenai seks adalah hal yang tabu. Sehingga dari ketidakpahaman
tersebut para remaja merasa tidak bertanggungjawab dengan seks atau kesehatan
anatomi reproduksinya. Faktor kedua, dari ketidak pahaman remaja tentang seks
dan kesehatan anatomi reproduksi, mereka kemudian mencaricari informasi yang
dapat menjawab pertanyaan mereka. Di lingkungan sosial masyarakat konten
mengenai seksualitas dan reproduksi ditawarkan dalam beragam media. Sejumlah
sarana seperti VCD, majalah, internet, bahkan tayangan televisi pun saat ini
memuat konten pornografi yang mengarah kepada hal yang tidak layak untuk di
konsumsi oleh remaja. Dalam mengakses beragam media tersebut, banyak remaja
yang belum mampu memilih apa yang layak dikonsumsi pada usianya dan apa yang
tidak. Sehingga apa yang diperagakan dalam media tersebut dianggap sebagai hal
biasa. Pendidikan seksualitas yang efektif harus disesuaikan dengan umur remaja,
bu daya dalam konteks kehidupan remaja, serta memberikan informasi yang akurat.
Hal tersebut mencakup kesempatan bagi remaja untuk mengeksplorasi sikap dan
nilai, serta kemampuan pengambilan keputusan ataupun keterampilan hidup
lainnya yang dibutuhkan remaja untuk dapat membuat keputusan terkait dengan
kehidupan seksualnya. Persoalan di atas masih membayangbayangi kita
(pemerintah dan LSM) karena target Millenium Developmen Goals (MDGs) 5A
dan 6A untuk penurunan Angka Kematian Ibu dan penurunan preva lensi

11
penyebaran HIV dan AIDS bisa dikatakan sangat sulit dicapai. Pada intinya,
kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan kedua isu ini tidak menghubungkan
dua hal penting: remaja dan SRHR (Sexuality and Reproductive Health and Rights
atau Hak Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas). Remaja masih dianggap anak
kecil yang tidak perlu dipenuhi hak-haknya dan SRHR masih dianggap tabu.
Selama SRHR tidak dianggap sebagai hak setiap orang (padahal pemerintah sudah
menandatangani Pro gram of Action ICPD tahun 1994), dan orang muda tidak
dilibatkan dalam proses pe rumusan kebijakan terkait masalah di atas. Di samping
itu pengetahuan remaja tentang kesehatan reproduksi remaja relatif masih rendah
sebagaimana ditunjukkan oleh hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja
Indonesia tahun 2007. Sebanyak 13% remaja perempuan tidak tahu tentang
perubahan fi siknya dan hampir separuhnya (47,9%) tidak mengetahui kapan masa
subur seorang perempuan. Adapun yang memprihatinkan kita semua adalah,
pengetahuan remaja tentang cara paling penting untuk menghindari infeksi HIV
masih terbatas. Hanya 14% remaja perempuan dan 95% remaja laki-laki
menyebutkan pantang ber hubungan seks, 18% remaja perempuan dan 25% remaja
laki-laki menyebutkan meng gunakan kondom serta 11% remaja perempuan dan
8% remaja laki-laki menyebutkan membatasi jumlah pasangan (jangan berganti-
ganti pasangan seksual) sebagai cara menghindar dari HIV/AIDS. Sementara itu,
data dari Kemenkes tahun 2010 menunjukkan bahwa hampir separuh (47,8%)
kasus AIDS berdasarkan usia juga diduduki oleh kelompok usia muda (20-29
tahun). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku seks berisiko terjadi pada usia remaja.
Oleh karena itu, rendahnya pengetahuan tersebut menjadikan pendidikan kesehatan
reproduksi dan seksual penting untuk diberikan. Berdasarkan suatu penelitian
terdahulu mengenai pendidikan seksualitas di sekolah, Utomo, Donald, & Hull
(2012) menunjukkan bahwa pendidikan seksualitas meskipun tidak diberikan
dalam mata pelajaran khusus, namun telah diberikan secara terintegrasi dalam mata
pelajaran pendidikan jasmani, kesehatan, dan olahraga (Penjaskesor), Biologi, Ilmu
Penge tahuan Sosial, dan Pendidikan Agama. Meskipun demikian, Holzner dan
Oetomo (2004) menyoroti kelemahan pendidikan seksualitas yang selama ini
menggunakan wacana seks bagi kaum muda tidak sehat dan berbahaya. Dalam
survei yang dilakukan oleh Holzner dan Oetomo (2004) di Karawang, Sukabumi
dan Tasikmalaya juga menunjukkan bahwa 60% responden perempuan usia 15–24
tahun telah menerima pendidikan kesehatan reproduksi, namun mayoritas dari
mereka (70%) menyatakan materi yang diberikan adalah bahaya dari seks.
Pendidikan seksualitas semacam ini tidak memberdayakan kaum muda untuk
memahami seksualitasnya dan menghindari perilaku seks yang berisiko bagi
kesehatan reproduksi dan seksualnya. Wacana pendidikan seksualitas yang
ditujukan untuk mencegah ‘seks bebas’ ini sejalan dengan temuan Holzner dan
Oetomo (2004), pendidikan seksualitas yang selama ini menggunakan wacana

12
larang an (discourse of prohibition). Konstruksi seksualitas remaja dalam kebijakan
terkait yaitu Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009, meskipun tidak
menye butkan pencegahan terhadap seks pranikah, namun menyebutkan bahwa
peme liharaan kesehatan remaja ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang
dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi (pasal 136 ayat 1),
dan dilakukan agar remaja terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat
menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat (ayat 2).
Hal ini diinterpretasikan oleh para pemangku kebijakan sebagai upaya pencegahan
remaja melakukan seks ‘bebas’. Sejalan dengan mandat kebijakan tersebut,
program BKKBN memiliki program GenRe (Generasi Berencana) di sekolah yaitu
GenRe Goes to School yang berupa sosialisasi untuk pen cegahan remaja
melakukan perilaku seks berisiko, mengkonsumsi napza (nar kotika, psikotropika,
dan zat adiktif), aborsi, dan HIV/AIDS. Program ini mengkonstruksikan seks bagi
kaum muda merupakan hal yang tidak berbahaya. Penelitian ini memandang bahwa
discourse of prohibition dan mengkonstruksikan seksualitas remaja sebagai hal
yang negatif tidaklah cukup untuk memberdayakan remaja. Akan tetapi, perlu
disadari bahwa pendidikan kesehatanreproduksi dan seksual merupakan topik
sensitif yang membutuhkan advokasi pada otoritas terkait dan pendidikan publik
mengenai pentingnya pen didikan seks pada remaja. Untuk itu, penting untuk
memahami norma budaya seputar seksualitas agar pendidikan kesehatan reproduksi
dan seksual dapat diterima. Oleh karena itu, pendidikan seksualitas dan kesehatan
reproduksi perlu memandang seksualitas secara komprehensif, yaitu meng akui
berbagai dimensi mengenai seksualitas yang dihadapi remaja yang dapat
mempengaruhi keputusan remaja menjalani seks berisiko atau tidak. Adanya
dorongan seksual, kenikmatan seksual serta di sisi lain relasi gender, ajaran agama
dan norma budaya, resiko kesehatan seksual dan reproduksi, dan risiko sosial perlu
didiskusikan pada remaja berdasarkan pengalaman yang mereka jalani.
Pendidikan kesehatan reproduksi harus dianggap sebagai bagian dari proses
pendidikan yang mempunyai tujuan untuk mem perkuat dasar-dasar pengetahuan
dan pengembangan kepribadian. Melalui pendidikan kesehatan reproduksi
merupakan upaya bagi remaja untuk meningkatkan pemahaman, pengetahuan,
sikap, dan perilaku positif tentang kesehatan reproduksi dan seksualnya, serta
meningkatkan derajat reproduksinya.
Kapankah pendidikan kesehatan reproduksi diberikan? Sangat
dimungkinkan pen didikan kesehatan reproduksi diberikan sejak usia dini, secara
tidak langsung. Menurut Nurohmah (2013) tahapan usia dalam memberikan
pendidikan kesehatan re produksi sejak usia dini, yaitu: Balita (1-5 tahun). Pada
usia ini penanaman pendidikan kesehatan reprodukjsi cukup mudah dilakukan yaitu
mulai mengenalkan kepada anak tentang organ reproduksi yang dimilikinya secara
singkat. Dapat dilakukan ketika memandikan si anak dengan memberitahu organ

13
yang dimilikinya, misalnya rambut, kepala, tangan, kaki, perut, penis dan vagina.
Terangkan juga perbedaan alat kelamin dari lawan jenisnya. Tandaskan juga bahwa
alat kelamin tersebut tidak boleh dipertontonkan dengan sembarangan. Pada usia
ini juga perlu ditandaskan tentang sikap asertif yaitu berani berkata tidak kepada
orang lain yang akan berlaku tidak senonoh. Dengan demikian dapat melindungi
diri anak terhadap maraknya kasus kekerasan seksual dan pelecehan sek sual. Usia
3–10 tahun, Pada usia ini, anak biasanya mulai aktif bertanya tentang seks.
Misalnya anak akan bertanya dari mana ia berasal. Atau pertanyaan umum
mengenai asal-usul bayi. Jawaban-jawaban yang sederhana dan terus terang
biasanya efektif. Usia menjelang remaja, Pada saat ini, anak semakin berkembang,
mulai saatnya diterangkan mengenai menstruasi (haid), mimpi basah, dan juga
perubahanper ubahan fi sik yang terjadi pada seseorang remaja. Orang tua bisa
menerangkan bahwa si gadis kecil akan mengalami perubahan bentuk payudara,
atau terangkan akan ada nya tumbuh bulu-bulu di sekitar alat kelaminnya. Pada saat
usia remaja, seorang remaja akan mengalami banyak perubahan secara seksual.
Orang tua perlu lebih intensif menanamkan nilai moral yang baik kepadanya.
Berikan penjelasan mengenai kerugian seks bebas seperti penyakit yang ditularkan
dan akibat-akibat secara emosi. Adanya remaja yang telah aktif secara seksual dan
faktor gender yang bermain dalam perilaku seks pranikah, belum banyak
didiskusikan dalam pendidikan seksualitas di sekolah selama ini. Sementara itu,
berbagai hasil penelitian juga menunjukkan bahwa remaja di Indonesia semakin
cenderung untuk aktif secara seksual dibandingkan generasi-generasi sebelumnya
(lih. Bennett, 2005 atau SmithHefner, 2006). Hal lain yang perlu dilihat dari data
peng alaman remaja dalam penelitian yang di lakukan oleh Higgins dan Hirsch
(2007) adalah melihat keterkaitan antara seksualitas dan kesehatan reproduksi yaitu
aspek kenikmatan seksual (termasuk mencari kenikmatan seksual) dan
keterkaitannya dengan risiko seksual. Seperti menurut Higgins dan Hirsch (2007)
aspek ke nikmatan seksual (sexual pleasure dan sexual pleasure-seeking) dan
dampaknya terhadap risiko seksual merupakan hal yang masih sulit untuk dipahami
dalam program kesehatan reproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa aspek sexual
pleasure-seeking dilakukan dan memiliki dampak yang berbeda berdasarkan
gender, namun masih belum di sadari dalam pemberian pendidikan seksualitas dan
kesehatan reproduksi.
Program pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi di Indonesia
belum komprehensif karena cenderung fokus pada aspek biologis dan pencegahan
penyakit menular (misalnya HIV dan AIDS). Pendidikan semacam ini tidak hanya
terjadi di Indonesia, berdasarkan penelitian Allen (2011), pendidikan seksualitas
banyak dikritik dibeberapa negara ka rena gagal menyediakan pemahaman yang
kom prehensif, tidak berdasarkan ke butuhan remaja, dan melupakan aspek
ketimpangan gender dan ketidakadilan sosial yang lebih luas

14
2.5 Cara Mengajarkan Seks Pada Anak

Pada prinsipnya, mengajarkan seks pada anak sama seperti memberikan


imunisasi. Pengajaran ini akan merangsang tumbuhnya kekebalan tubuh anak
terhadap kontaminasi seks yang tidak benar. Anak yang telah mendapatkan
imunisasi seks dengan lengkap diharapkan akan memiliki kekebalan dan
kontrol diri yang tinggi terhadap serangan virus seks yang jahat, misalnya
pornografi, penyimpangan, atau penyalahgunaan seks. Sehingga nantinya
tidak mudah terinfeksi perilaku seks yang tidak bertanggung jawab.
Pendidikan seks pada anak tidak bisa dilakukan secara instan, melalui
tahap demi tahap sejak dini. Diajarkan mulai dari hal yang paling sederhana,
dan jadikan sebagai satu kebiasaan sehari-hari. Tetapi sebelumnya yang harus
dipersiapkan oleh orang tua adalah sikap mental orang tua, yaitu mengikis
terlebih dahulu perasaan risih yang menetap di pikiran. Kemudian dilanjutkan
dengan membangun komunikasi yang suportif (dimana orang tua membiasakan
diri mendengar dan memahami anak tanpa memaksanya masuk ke dalam
kerangka berfikir orang tua). Komunikasi suportif penting agar terjadi
keterbukaan emosional anak kepada orang tua, menumbuhkan kepercayaan diri
anak terhadap orang tua, juga diharapkan terciptanya dialog yang harmonis dan
jujur di dalam keluarga, dan tentunya akan terjadi kedekatan dan solid antara
anggota keluarga.
Ada beberapa hal yang harus dilakukan ketika mengajarkan seks pada
anak17 yaitu;
1) Bersikap jujur dan terbuka, artinya orang tua memberikan
imformasi yang benar dan apa adanya. Karena ketidakjujuran atau menjawab
asal-asalan hanya akan mengacaukan logika sehat si anak;
2) Step by step,
pastikan mengajari anak selangkah demi selangkah, sejalan dengan pertanyaan
yang mereka ajukan. Sesuaikan penyampaian dengan tingkat pemahaman si
anak;
3) Belajar untuk santai, wajar dan bersikap biasa-biasa saja. Jangan
membesar-besarkan masalah, lantas menganggap seks topic yang berat,
usahakan rileks, dan jaga intonasi ketika menjawab cecaran pertanyaan anak.
Hindarkan perasaan risih, jengah dan takut. Anggap saja ini sama dengan
menjelaskan soal hujan, soal bulan, bintang, atau soal memasak dan lain-lain.
Disarankan orang tua terlebih dahulu melepaskan diri dari semua persepsi seks
dewasa yang erotis dan mesum;
4) Hindari kemarahan yang negatif,

15
yaknimarah dan menolak pertanyaan anak melalui hardikan dan umpatan kata-kata
kasar, hindari juga perkataan bahwa seks itu kotor, dosa, dan tak pantas untuk
dibicarakan, karena ini hanya akan memicu persepsi negatif tentang seks pada anak
yang akhirnya akan menjadikan pemahaman yang keliru tentang seks

2.6 Cara untuk menyelesaikan masalah Seks


Menurut C. G. Wrenn, konseling adalah relasi pribadi yang dinamik antara dua
orang yang berusaha memecahkan masalah dengan mempertimbangkannya
bersama – sama. (Wrenn, 1951:59)
Jadi bisa disimpulkan bawha adanya konseling seks merupakan proses
diskusi yang akan menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan seks. Anak usia
dini membutuhkan ini karena ini akan berguna bagi perkembangan psikologinya
ketika memasuki masa remaja. Ketika anak tidak mendapatkan konseling ini, maka
anak akan mengeksplorasinya sendiri dengan cara mereka. Bisa dibayangkan, anak
akan mencari menggunakan media yang sekiranya dapat menyajikan informasi
tentang seks.
 Langkah – langkah dalam melakukan konseling yaitu:
(1)Analisis, dalam tahap ini kita harus menemukan suatu rumusan dari
masalah itu dan pengumpulan data. Dalm tahap ini akan diketahui asal usul masalah
dan harus dengan cepat menentukan hipotesis dalm masalah tersebut.
(2) Sintesis, merupakan langkah merangkum atau mngurutkan data data
dari proses Analisis tadi. Data yang dirangkum haruslah mempermudah
pemahaman dan bukan mempersulit proses. Langkah ini penting karena merupakan
langkah awal dari proses konseling itu sendiri.
(3) Diagnosis, ini merupakan langkah utama. Dalm langkah ini
pembahasan akan lebih menjorok pada permasalahan, sebab-akibat, dan hasil
analisa. Dalam langkah ini akan kita dapatkan metode yang dapat kita gunakan
dalm proses konseling nantinya. Pemilihan metode penyuluhan akan sangat penting
mengingat latar belakang psikologis dari tiap orang itu berbeda beda.
(4) Konseling, ini adalah proses dimana kita harus menyampaikan solusi
atau arahan yang telah didapatkan lewat proses sebelumnya. Langkah ini
merupakan tindakan nyata yang berupa sosialisasi. Konseling dapat dikatakan
sukses apa bila sudah tidak ada pertentangan dalam suatu pemikiran.
(5) Tindak Lanjut, ini hanyalah langkah optional yang akan ditempuh oleh
pengajar ketika peserta didik belum mengerti mengenai pentingnya pendidikan
seks. Mengingat bahwa target pendidikan ini adalah anak SD, maka guru pasti akan
melakukan langka ini (Muhammad Surya, 1998).

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

17
Pendidikan seks bukanlah tentang mendukung anak untuk melakukan hubungan
seksual, tapi menjelaskan fungsi alami seks sebagai bagian diri mereka serta
konsekuensinya jika disalahgunakan. Orang tua merupakan aktor utama dalam hal
pendidikan anak. Orang tua sebagai wahana belajar utama bagi anak, karena orang tua lah
yang paling tepat untuk memberikan pendidikan seks pada usia dini. Orang tua tidak perlu
ragu lagi akan pentingnya pendidikan seks sejak dini. Hilangkan rasa canggung yang ada
dan mulailah membangun kepekaan akan kebutuhan pendidikan seks pada anak.
Kurangnya pembekalan tentang seks dan apabila tidak dimulai sejak dini maka akan lebih
membahayakan apabila anak beranjak remaja. Para remaja bisa mencari informasi yang
berhubungan dengan seks melalui berbagai sumber seperti buku, majalah, film, internet
dengan mudah membuat anak menjadi bingung dan bias sebab didapat dari narasumber
yang tidak layak. Padahal, informasi yang didapat belum tentu benar dan bahkan mungkin
bisa menjerumuskan atau menyesatkan. Hasil akhirnya pun tentu tidak sesuai dengan
harapan dan manfaat.

B. Saran
1. Bagi orangtua perlu adanya bimbingan dan perhtian supaya anak tidak melakukan hal
hal yang tidak diinginkan
2. Bagi Sekolah Perlu adanya sex education ( pendidikan sex ) bagi para siswa. Adapun
bentuknya seperti penyuluhan kesehatan reproduksi uang bekerja sama antara pihak
sekolah dengan dinas kesehatan setempat.

DAFTAR PUSTAKA

18
Miswanto. 2014. Pentingnya Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas pada
Remaja. JURNAL STUDI PEMUDA. Vol 3(2) : Hal 117-121

Nurlaili. Pendidikan Seks Pada Anak. Hal 3-5

Ratnasari, Risa Fitri dan Alias M.2016.prntingnya pendidikan seks untuk anak usia dini.
Jurnal Tarbawi Khatulistiwa. Vol 2: Hal 57-5

19

Anda mungkin juga menyukai