Anda di halaman 1dari 28

PERKIRAAN DAN ANTISIPASI TERHADAP MASYARAKAT MASA DEPAN

Pendidikan selalu bertumpu pada suatu wawasan kesejarahan, yakni pengalaman-


pengalaman masa lampau, kenyataan dan kebutuhan mendesak masa kini, dan aspirasi serta
harapan masa depan. Melalui pendidikan setiap masyarakat akan melestarikan nilai-nilai luhur
sosial kebudayaannya yang telah terukir dengan indahnya dalam sejarah bangsa tersebut.
Serentak dengan itu, melalui pendidikan juga diharapkan dapat ditumbuhkan kemampuan untuk
menghadapi tuntutan objektif masa kini, baik tuntutan dari dalam maupun tuntutan karena
pengaruh dari luar masyarakat yang bersangkutan. Dan akhirnya, melalui pendidikan akan
ditetapkan langkahlangkah yang dipilih masa kini sebagai upaya mewujudkan aspirasi dan
harapan di masa depan.
Dalam UU RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 telah
ditetapkan antara lain bahwa ”Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan
datang." Penekanan pada bagian terakhir tersebutlah yang menyebabkan pendidikan itu
dilukiskan sebagai merumuskan masa depan. Oleh karena itu, di samping dimensi horizontal,
pendidikan haruslah memperhatikan dengan sungguh-sungguh dimensi vertikal, terutama
keterkaitan antara program pendidikan yang dilaksanakan sekarang ini dengan kehidupan peserta
didik di masa depan. Peserta didik yang sedang belajar di lembaga lembaga pendidikan,
termasuk mahasiswa yang sedang membaca paparan akan menempati kedudukannya serta
memainkan peranannya kelak pada awal abad ke-21 yang akan datang. Oleh karena itu,
keterkaitan program pendidikan dengan prognosis masyarakat masa depan perlu mendapat
perhatian dengan semestinya (Hameyer, 1979: 67-78; Sulo Lipu La Sulo, 1990: 28-29).
Setelah mempelajari Bab ini Anda diharapkan dapat:
1. Memahami beberapa kemungkinan keadaan masyarakat di masa depan, serta peranan
faktor-faktor globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi iptek), arus
komunikasi yang semakin padat dan cepat, serta kebutuhan yang meningkat dalam
layanan profesional terhadap masyarakat di masa depan tersebut.
2. Memahami berbagai upaya pendidikan untuk mengantisipasi masa depan, baik yang
berkenaan dengan penyiapan manusia maupun yang berkenaan dengan perubahan

1
sosiokultural, serta pengembangan sarana pendidikan untuk mendukung upaya-upaya
yang sedang atau akan dilaksanakan.

Bagi mahasiswa calon tenaga kependidikan, utamanya guru, kajian tentang masyarakat
masa depan tersebut berdampak ganda, yakni untuk dirinya sendiri serta pada gilirannya kelak
untuk siswa-siswanya. Pembahasain dalam Bab ini akan dimulai dengan paparan tentang
perkiraan masyarakat masa depan, dan akan diikuti dengan kajian tentang upaya pendidikan
untuk mengantisipasinya. Sebagai suatu perkiraan, paparan ini mungkin saja meleset atau
menyimpang; oleh karena itu, isi paparannya perlu dikaji dan diuji dengan kenyataan-kenyataan
yang berlaku pada saat paparan ini dibaca. Dengan demikian, segala kekurangan atau kesalan
dalam perkiraan itu dapat segera diperbaiki.

A. Perkiraan Masyarakat Masa Depan


Pendidikan selalu berlangsung dalam suatu latar kem dan kebudayaan tertentu. Demikian
pula di Indonesia, pendid dilaksanakan berdasarkan latar kemasyarakatan dan kebudaya sia.
Seperti telah dipaparkan pada Bab III, masyarakat in kebudayaan nasional merupakan landasan
Sistem Pendidik Landasan sosio-kultural merupakan salah satu dasar utama dalam arah kepada
program-program pendidikan, baik program sekolah maupun program pendidikan luar sekolah.
Dari sisi lain merupakan salah satu pilar utama dalam pelestarian dan pengembangan
kebudayaan setiap masyarakat. Di dalam penjelasan UU 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dinyatakan ban kehidupan suatu bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat
penting untuk menjamin perkembang kehidupan bangsa yang bersangkutan." Melalui upaya
pendidikan, kebudayaan dapat diwariskan dan dipelihara oleh setiap generasi bangsa. Serentak
dengan upaya pendidikan diarahkan pula untuk mengembangkan ke budayaan itu.
Demi pemahaman dan karena adanya saling pengaruh antara pendidikan dan latar sosio-
kultural, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu pengertian kebudayaan. Dalam pembahasan
ini, kebudayaan dimaksudkan dalam arti luas yakni "keseluruhan gagasan dan karya manusia,
yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”
(Koentjaraningrat, 1974: 19). Kebudayaan itu dapat:
(1) Berwujud ideal yakni ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan
sebagainya.

2
(2) Berwujud kelakuan yakni kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
(3) Berwujud fisik yakni benda-benda hasil karya manusia
(Koentjaraningrat, 1974: 15-22).
Berbagai wujud kebudayaan itu selalu mengalami perubahan dan perkembangan sesuai
dengan perubahan dan kemajuan manusia dan masyarakat pendukung kebudayaan itu.
Pengertian kebudayaan yang begitu luas tersebut seringkali dipecah lagi dalam unsur-unsurnya,
dan sering dipandang sebagai unsur-unsur universal dari kebudayaan, yakni:
(a) Sistem religi dan upacara keagamaan.
(b) Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
(c) Sistem pengetahuan.
(d) Bahasa.
(e) Kesenian.
(f) Sistem mata pencarian.
(g) Sistem teknologi dan peralatan.
Unsur-unsur tersebut diurutkan mulai dari yang umumnya sukar berubah atau kena
pengaruh dari kebudayaan lain sampai yang paling mudah atau berubah atau diganti dengan
unsur serupa dari kebudayaan lain (Koentjaraningrat, 1974: 11-13). Perlu pula dikemukakan
bahwa perubahan pada salah satu dari unsur-unsur tersebut akan mempunyai dampak pada
keseluruhan unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Perkembangan masyarakat beserta kebudayaannya sekarang ini makin mengalami
percepatan serta meliputi seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia. Percepatan
perubahan itu terutama karena percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
informasi. Sejarah telah mencatat bahwa perubahan dari masyarakat pertanian ke masyarakat
industri relatif lebih lama dibandingkan dengan perubahan masyarakat industri ke masyarakat
informasi. Bahkan Perbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, masih berada dalam masa
transisi dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri serta segera diiringi perubaan ke
masyarakat informasi (Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, 1992: 6). Perubahan yang cepat
tersebut mempunyai beberapa karakteristik umum yang dapat dijadikan petunjuk sebagai ciri
masyarakat di masa depan. Beberapa di antaranya yang dibahas selanjutnya adalah:
(1) Kecenderungan globalisasi yang makin kuat.
(2) Perkembangan iptek yang makin cepat.

3
(3) Perkembangan arus informasi yang semakin padat dan cepat.
(4) Kebutuhan/tuntutan peningkatan layanan profesional dalam berbagai segi kehidupan
manusia. Keseluruhan hal itu telah mulai tampak pengaruhnya masa kini, serta
diperkirakan akan makin penting peranannya di masa depan.
Pemahaman tentang keadaan masyarakat masa depan tersebut akan sangat penting
sebagai latar depan segala kebijakan dan upaya pendidikan masa kini dan masa yang akan
datang. Seperti yang dikemukakan Moh. Ansyar (1992: 6): "Zaman kita, yang oleh Alvin Toffler
disebut Gelombang Ketiga atau yang oleh John Naisbitt disebut Zaman PascaIndustri,
memerlukan suatu pendidikan yang berbeda dengan pendidikan pada zaman sebelumnya."
Kajian masyarakat masa depan itu semakin penting jika diingat bahwa pendidikan selalu
merupakan penyiapan peserta didik bagi peranannya di masa yang akan datang. Dengan
demikian, pendidikan seharusnya selalu mengantisipasi keadaan masyarakat masa depan.
1. Kecenderungan Globalisasi
Istilah globalisasi (asal kata: global yang berarti secara umumnya, utuhnya,
kebulatannya) bermakna bumi sebagai satu keutuhan seakan-akan tanpa tapal batas administrasi
negara, dunia menjadi amat transparan, serta saling ketergantungan antarbangsa di dunia
semakin besar; dengan
kata lain: Menjadikan dunia sebagai satu keutuhan, satu kesatuan. Suatu peristiwa yang terjadi
dalam suatu negara tertentu akan tersebar dengan cepat ke seluruh pelosok dunia, dari perkotaan
sampai pedesaan, serta akan mempunyai pengaruh terhadap manusia dan masyarakat di mana
pun di dunia ini. Dunia seakan-akan menjadi sempit dan tak menghiraukan lagi batas-batas
negara.
Gelombang globalisasi sedang menerpa seluruh aspek kehidupan dan penghidupan
manusia, menyusup ke dalam seluruh unsur kebudayaan dengan dampak yang berbeda-beda.
Menurut Emil Salim (1990; 8-9) terdapat empat bidang kekuatan gelombang globalisasi yang
paling kuat dan menonjol daya dobraknya, yakni bidang-bidang iptek, ekonomi, lingkungan
hidup, dan pendidikan. Beberapa kecenderungan globalisasi dari keempat bidang tersebut
sebagai berikut:
a. Bidang iptek yang mengalami perkembangan yang semakin dipercepat, utamanya dengan
penggunaan berbagai teknologi canggih seperti komputer dan satelit. Kekuatan pertama
gelombang globalisasi ini membuat bumi seakan-akan menjadi sempit dan transparan.

4
Dalam waktu yang singkat dapat dihimpun informasi global yang terinci dan teliti dalam
berbagai bidang, umpamanya kekayaan alam, laut, hutan, dan sebagainya melalui
pengindraan jarak jauh tanpa mengenal batas negara. Globalisasi iptek tersebut memberi
orientasi baru dalam bersikap dan berpikir serta berbicara tanpa batas negara.

b. Bidang ekonomi yang mengarah ke ekonomi regional dan atau ekonomi global tanpa
mengenal batas-batas negara. Di berbagai bagian dunia telah berkembang kelompok-
kelompok ekonomi regional, seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (untuk Eropa Barat),
Area Perdagangan Bebas Amerika Utara atau NAFTA (untuk Amerika Serikat, Kanada,
dan Meksiko), Area Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area atau AFTA
untuk ASEAN). Gejala lain adalah makin meluasnya perusahaan multinasional sebagai
perusahaan raksasa yang kakinya tertanam kuat di berbagai negara. Globalisasi ekonomi
telah menyebabkan negara hanya bertapal batas politik saja, sedang dari segi ekonomi
semakin kabur. Peristiwa ekonomi di suatu tempat pada negara tertentu akan memberi
dampak kepada hampir seluruh dunia. Globalisasi ekonomi tersebut menyebabkan
Kenichi Ohmac memberi judul "The Borderless World" (dunia tanpa tapal batas) pada
bukunya (1990, dari Dedi Supriadi, 1990: 60).
c. Bidang lingkungan hidup telah menjadi bahan pembicaraan dalam berbagai pertemuan
internasional, yang mencapai puncaknya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi, atau
nama resmina Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup dan Pembang (UNCED),
pada awal Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brasil. Kerusakan lingkungan hidup di suatu
tempat akan memberi dampak negative ke berbagai negara di sekitarnya, bahkan
mengancam keselama planet bumi. Oleh karena itu, diperlukan wawasan dan kebijak
yang tepat dalam bidang pembangunan yang menjamin kelestari dan keselamatan
lingkungan hidup, atau pembangunan yang berwawasa lingkungan. Sebagai contoh,
Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia berkewajiban menjaga kelestarian
"paru-paru dunia" itu apabila mau memanfaatkan kekayaan itu untuk kemakmuran
rakyatnya. Seperti diketahui, Indonesia telah menetapkan kebijakan pemanfaatan
sebagian kecil hutan tropis itu dengan "tebang pilih tanam Indonesia”, atau program
reboisasi dengan hutan tanaman industri. Demikian pula masalah pencemaran lingkungan

5
seperti air. udara, dan sebagainya akan membawa dampak ke daerah atau negara
sekitarnya.
d. Bidang pendidikan dalam kaitannya dengan identitas bangsa, termasuk budaya nasional
dan budaya-budaya nusantara. Di samping terpaan tentang gagasan-gagasan dalam
pendidikan, globalisasi terjadi pula secara langsung menerpa setiap individu manusia
melalui buku, radio, televisi, dan media lainnya. Sebagai contoh: Penggunaan antena
parabola memberi peluang masuknya film dan sinetron langsung ke rumah dan peristiwa
di berbagai penjuru dunia secara langsung dapat dilihat di rumah setiap orang pada saat
ataupun sesaat setelah peristiwa terjadi melalui siaran langsung televisi. Hal itu akan
mempengaruhi wawasan, pikiran, dan bahkan perilaku manusia; selanjutnya bahkan
mungkin tercipta suatu ”budaya dunia” (Refleksi, 1990: 3).

Di samping keempat bidang tersebut, kecenderungan globalisasi juga tampak dalam bidang
politik, hukum dan hak-hak asasi manusia, paham demokrasi, dan sebagainya. Suatu peristiwa
yang berkaitan dengan hal-hal tersebut akan mendapat sorotan orang dari berbagai penjuru
dunia. Sebagai contoh, pelaksanaan pemilihan umum di suatu negara akan dipantau secara
langsung oleh berbagai negara lain dengan mengirim para peninjau, baik menjelang maupun
pada saat pelaksanaan pemungutan suara. Kecenderungan globalisasi tersebut merupakan suatu
gejala yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, banyak gagasan dalam menghadapi globalisasi
itu yang menekankan perlunya berpikir dan berwawasan lobal namun harus tetap menyesuaikan
keputusan dan tindakan dengan keadaan nyata di sekitarnya. Semboyan yang semakin luas
diterima adalah "think globally but act locally" (Mochtar Buchori, 1990: Untuk latar Indonesia
yang bhinneka tunggal ika, hal itu tidak hanya mempertimbangkan aspek nasional tetapi juga
aspek lokal di daerah yang bersangkutan.

2 Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)


Perkembangan iptek yang makin cepat dalam era globalisasi merupakan salah satu ciri utama
dari masyarakat masa depan. Perkembangan iptek pada akhir abad ke-20 ini sangat
mengesankan, utamanya dalam bidang-bidang transportasi, telekomunikasi dan informatika,
genetika, biologi molekul serta bioteknologi, dan sebagainya. Dan hampir dapat dipastikan
bahwa perkembangan yang makin cepat itu masih akan berlanjut dalam abad ke-21 yang akan

6
datang, dan demikian pula dengan limpahannya akan bersifat global. Globalisasi perkembangan
iptek tersebut dapat berdampak positif ataupun negatif, tergantung pada kesiapan bangsa beserta
kondisi sosial-budayanya untuk menerima limpahan informasi/ teknologi itu. Segi positifnya
antara lain memudahkan untuk mengikuti perkembangan iptek yang terjadi di dunia, menguasai
dan menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Sedangkan segi negatif akan
timbul apabila kondisi sosial-budaya belum siap menerima limpahan itu (Pratiwi Sudarsono,
1990: 14-15).
Percepatan perkembangan iptek tersebut terkait dengan landasan ontologis, epistemologis,
dan aksiologis (Filsafat Ilmu, 1981: 9-15). Segi landasan ontologis, objek telaahan ialah berupa
pengalaman atau segenap ujud yang dijangkau lewat alat indra telah mengalami perkembangan
yang pesat karena didapatkannya peranti (device) yang membantu alat indra tersebut. Seperti
diketahui, dalam penelitian telah digunakan mulai dari nano teknologi untuk meneliti DNA
(deoxyribonucleic acid) sehubungan dengan struktur dan fungsi gen dengan peralatan yang
berukuran nanometer (Pratiwi Sudarsono, 1990: 16), sampai dengan teleskop raksasa Nouut
Polomar (diameter lensa: 200 inchi) untuk mengamati Bima Sakti yang berbintang sekitar seratus
miliar (100.000.000.000) buah. Ataupun penjelajahan angkasa luar oleh pesawat tak berawak
mampu mendekati/ mendarat di planet tata surya serta mengirimkan gambar seperti permukaan
Mars oleh Viking, cincin Yupiter oleh Voyager 1 dan 2, dan sebagainya (Soendioio
Dirdiosoemarto dan Abdurachman, 1990: 394 dan 458-464).
Demikian pula halnya dengan peranti alat indra lainnya, selain untuk mata seperti tersebut di
atas, telah/sedang dikembangkan berbagai peranti untuk membantunya. Iptek membantu
mengembangkan peranti yang dapat mengatasi berbagai kekurangan atau keterbatasan alat indra,
dan pada gilirannya, peranti itu sangat membantu mengembangkan iptek itu sendiri.
Selanjutnya, dari segi landasan epistemologis, cara yang dipakai untuk memperoleh
pengetahuan yang disebut ilmu pengetahuan tersebut telah mengalami perkembangan yang pesat.
Berabad-abad lamanya orang berpegang sepenuhnya pada metode deduksi ala Aristoteles. Pada
permulaan abad ketujuh belas, Francis Bacon memelopori metode induktif yang menekankan
bukti-bukti empiris sebagai batu uji kebenaran. Tentang hal tersebut Bertrand Russel (1953)
melukiskan secara humoris tetapi tepat sebagai berikut: "Untuk manusia modern yang terdidik,
seakan-akan suatu hal yang biasa bahwa kebenaran suatu fakta harus ditentukan oleh
pengamatan, dan tidak berdasarkan pada konsultasi dengan seorang ahli.” Walaupun begitu, hal

7
ini benar-benar adalah suatu konsepsi modern, sesuatu yang hampir tidak pernah dilakukan
sebelum abad ketujuh belas. Aristoteles bersikeras bahwa wanita mempunyai gigi yang lebih
sedikit dari laki-laki, dan meskipun dia pernah kawin dua kali, tak pernah terlintas dalam
pikirannya untuk menguji pendapatnya dengan mengamati mulut istrinya (dari Mouly, 1963: 87-
88). Meskipun pendekatan induktif merupakan loncatan penting akan tetapi belum memadai.
"Sekarang kita sadari dengan sepenuhnya betapa salahnya para ahli teori yang berpendapat
bahwa teori datang secara induktif dari pengalaman”, demikian pendapat Einstein (1936, dari
Mouly 1963: 90). Oleh karena itu, sejak Charles Darwin memelopori penggabungan metode
deduktif dan metode induktif, dan dengan pengajuan hipotesis, maka sekarang dikenal sebagai
daur hipotetiko-dedukto-verifikatif dalam metode ilmiah (Filsafat Ilmu, 1981: 15 dan 156),
ataupun Model Induktif-Hipotetiko-Deduktif dalam proses penelitian (Raka Joni, 1984: 6).
Perkembangan ilmu yang terakhir ini ialah penyusunan suatu teori atau ilmu teoretis sebagai
kerangka pemikiran yang menjelaskan gejala dan hubungan yang diperoleh dalam pengujian
empiris, dan selanjutnya dapat meramalkan dan menentukan cara mengontro hal-hal itu. "Tahap
yang maju ini kelihatannya akan lebih mampu dicapai 1963: 96). dalam ilmu-ilmu alam
dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial” (Moulyo
Dan akhirnya landasan aksiologis atau untuk apa iptek itu dipergunakan, yang
mempersoalkan tentang penggunaan iptek tersebut secara moral tertuju pada kemaslahatan
manusia. Terdapat serangkaian kegiatan pengembangan dan pemanfaatan iptek, yakni:
(1) Penelitian dasar (basic research)
(2) Penelitian terapan (applied research).
(3) Pengembangan teknologi (technological development).
(4) Penerapan teknologi.
Biasanya langkah-langkah tersebut diikuti oleh langkah evaluasi, apakah hasil iptek tersebut
dapat diterima masyarakat, umpamanya dari segi etis-politis-religius-dan sebagainya. Karena
perkembangan iptek yang makin dipercepat dan global, maka terdapat kecenderungan yang kuat
agar penilaian tersebut dimulai sedini mungkin, dimulai dengan pengarahan awal, dilanjutkan
dengan pemantauan selama rangkaian kegiatan itu berlangsung, dan akhirnya penilaian akhir
seperti tersebut di atas (Filsafat Ilmu, 1981: 15 dan 166-167). Hal tersebut sangat penting karena
masyarakat masa depan adalah masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh iptek, yang akan lebih

8
membenarkan ucapan Francis Bacon bahwa "ilmu adalah kekuasaan." Dan kalau ilmu adalah
kekuasaan maka teknologi merupakan alat kekuasaan atas:
(i) Manusia, yakni demi kemaslahatan atau sebaliknya mengeksploitasi manusia itu.
(ii) Kebudayaan, yakni memperkaya dan memperkuat kebudayaan atau melunturkan nilai-nilai
budaya yang dapat menimbulkan krisis identitas budaya.
(iii) Alam, yakni memanfaatkan sambil menjaga kelestariannya ataukah memusnahkan seluruh
kehidupan di bumi (Filsafat Ilmu, 1981: 164166). Oleh karena itu, penguasaan iptek
merupakan salah satu kunci keberhasilan masyarakat kita di masa depan.

Telah dikemukakan bahwa globalisasi perkembangan iptek yang cepat tersebut adalah
peluang dan tantangan. Terbuka peluang bagi kita untuk mengikuti perkembangan iptek tersebut
secara dini. Sebaliknya, apabila masyarakat belum siap menerimanya, maka akan berubah
menjadi tantangan. Bahkan dapat terjadi kesenjangan antara ilmuwan di satu pihak dan
masyarakat luas di lain pihak. Untuk latar negara-negara Barat, C.P. Snow dalam The Two
Cultures (1963, dari Filsafat Ilmu, 1981: 149) dua pola kebudayaan dalam masyarakatnya, yakni
masyarakat ilmuan dan masyarakat terdidik nonilmuwan (scientific and literary communities)
yang akan menghambat kemajuan baik iptek maupun masyarakat itu sendiri. Untuk
mengantisipasi keadaan tersebut dalam masyarakat masa depan maka perlu diupayakan agar
setiap anggota masyarakat melek iptek, yakni memiliki wawasan yang tepat mengetahui
terminologi beserta maksudnya yang lazim digunakan tanpa harus menjadi pakar iptek tersebut
(Makaminan Makagiansar, 1990 Bahkan "lulusan SD (sekolah dasar) harus menjadi melek huruf,
dalam arti melek teknologi dan melek pikir (thinking literacy) yang keseluruhann juga disebut
melek kebudayaan (cultural literacy)” (Conny R. Semiawan 1990: 3-4). Seiring dengan itu tentu
diperlukan pakar-pakar iptek van menguasai secara mendalam serta memiliki wawasan yang luas
dan mampu bekerja secara interdisipliner namun tetap berpijak pada kebudayaan bangsa
Indonesia.

3. Perkembangan Arus Komunikasi yang Semakin Padat dan Cepat


Salah satu perkembangan iptek yang luar biasa adalah yang berkaitan dengan informasi
dan komunikasi, utamanya satelit komunikasi, komputer, dan sebagainya. Seperti telah
dikemukakan bahwa kemajuan itu telah mendorong perubahan masyarakat dari masyarakat

9
industri ke masyarakat informasi, dan untuk Indonesia, terjadi perubahan yang hampir serentak
dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri dan masyarakat informasi. Terdapat beberapa
istilah yang dipakai dalam menjelaskan perkembangan global yang cepat pada akhir abad ke-20
ini, antara lain: Gelombang Ketiga (Alvin Toffler), Zaman Pasca-Industri (John Naisbit), Dunia
tanpa Tapal Batas (Kenichi Ohmac: The Borderless Word), Revolusi Komunikasi (Frederick
Williams: The Communications Revolution), dan sebagainya. Keseluruhan nama-nama tersebut
paling tepat melukiskan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi masa kini, terlebih-
lebih di masa depan, yang seakan-akan telah mampu mengatasi dimensi ruang dan waktu.
Sekadar beberapa contoh pemakaian satelit komunikasi komputer, dan sebagainya telah
membuka peluang surat elektronik, surat kabar elektronik, sistem cetak jarak jauh, siaran televisi
langsung dari satelit ke rumah-rumah (direct broadcast satellite atau DBS), dan lain-lain (Dirjen
Pembinaan Pers dan Grafika, 1992). Seiring dengan itu, komunikasi antarmanusia yang berbeda
dalam latar kebangsaan dan kebudayaan makin meluas karena kemajuan transportasi dan
telekomunikasi.
Pada umumnya bentuk komunikasi langsung (verbal ataupun non verbal) dikenal sebagai
komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), baik komunikasi antardua orang (dyadic
communication), maupun komunikasi dalam kelompok kecil (small group communication)
dengan ciri pokok adanya dialog di antara pihak-pihak yang berkomunikasi. Sedangkan bentuk
komunikasi yang bercirikan monolog adalah komunikasi publik, yang dibedakan atas
komunikasi pembicara-pendengar (speakeraudience communication) umpama pada suatu rapat
umum, dan komunikasi massa seperti surat kabar, radio, televisi, dan sebagainya yang
menyangkut penerima yang sangat luas (Komunikasi Pendidikan, 1982/1983: 12-14). Seperti
diketahui, proses komunikasi meliputi beberapa unsur dasar, yakni:
(1) Sumber pesan seperti harapan, gagasan, perasaan atau perilaku yang diinginkan oleh
pengirim pesan.
(2) Penyandian (encoding), yakni pengubahan/penerjemahan isi pesan ke dalam bentuk
yang serasi dengan alat pengiriman pesan.
(3) Transmisi (pengiriman) pesan.
(4) Saluran.
(5) Pembukasandian (decoding) yakni penerjemahan kembali apa yang diterima ke dalam
isi pesan oleh penerima.

10
(6) Reaksi internal penerima sesuai pemahaman pesan yang diterimanya.
(7) Gangguan/hambatan (noise) yang dapat terjadi pada semua unsur
dasar lainnya.

Pada komunikasi satu arah, proses komunikasi berlangsung dari butir (1) ke butir (6), yakni
dari pengirim ke penerima; sedangkan pada komunikasi dua arah, khususnya antarpersonal,
kedua pihak secara bergantian dapat menjadi pengirim maupun penerima (Berlo, dari
Komunikasi Pendidikan, 1982/1983: 24-25; Johnson, dari Johnson dan Johnson, 1977: 110-112).
Proses komunikasi tersebut beserta unsur-unsur dasar yang terdapat di dalamnya dilukiskan pada
Bagan 4.1
Perkembangan komunikasi dengan arus informasi yang makin padat dan akan dipercepat di
masa depan, mencakup keseluruhan unsur-unsur dalam proses komunikasi tersebut. Sumber
pesan mencakup aspek kehidupan manusia yakni keseluruhan unsur-unsur kebudayaan, mulai
dari sistem dan upacara keagamaan sampai dengan, bahkan terutama sistem teknologi dan
peralatan (Koentjaraningrat, 1974: 12). Sekadar contoh, sejak diluncurkannya Sistem
Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa pada tahun 1976, dan ditopang oleh penggunaan
antena parabola, engguna komputer dan lain-lain maka arus informasi yang padat dan cepat telah
menerpa seluruh pelosok tanah air. Telah seringkali diadakan siaran langsung dari berbagai
penjuru dunia tentang berbagai perist penting yang sedang terjadi, ataupun wawancara jarak jauh
melalui televisi. Hal itu mau tak mau telah memaksa kita mempunyai konsep baru tentang berita,
yakni bukan apa yang telah terjadi tetapi apa yang sedang terjadi. Demikian pula kekuatan
pengaruh dari gambar yang ditayangkannya, tidak sekadar menyentuh aspek kognitif tetapi juga
asna afektif (umpamanya tentang kelaparan di suatu negara). Demikian pula rekaman lagu yang
disertai gambar-gambar dalam rekaman video akan lebih menyentuh keutuhan pribadi
pemirsanya.

11
Seperti sering dikemukakan bahwa "actions speak louder than words" ataupun "one picture
is worth a thousand words” (Komunikasi Pendidikan, 1982/1983: 9), maka penggunaan
kombinasi audio dan video makin memegang peranan penting.
Meskipun teknologi komunikasi dan informasi telah mengalami perkembangan yang cepat,
namun belum merata pada semua negara. Alih teknologi ke negara berkembang berjalan relatif
sangat lambat, dan arus informasi didominasi oleh beberapa negara maju. Oleh karena
diperlukan berbagai upaya untuk merebut teknologi tersebut. Terdapat beberapa faktor yang
harus diperhatikan (Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, 1992: 18-20) dalam upaya-upaya
tersebut, seperti:
(1) Pengembangan teknologi satelit yang mutakhir.
(2) Penggunaan teknologi digital yang mampu menyalurkan sinyal yang beragam (suara, video,
dan data) menuju bentuk ISDN (integrated service digital network) yang dikelola dengan
sistem komputer (muncul kini istilah "communication”” atau ”C & C” singkatan dari
"computer and communication).
(3) Di bidang media cetak antara lain penggunaan VDT (video display terminal), surat kabar
elektronik, dan sistem cetak jarak jauh.
(4) Di bidang media elektronik antara lain penggunaan DBS (direct broadcast satelitte),
penggunaan HDTV (high definition television), dan sebagainya. Kesemuanya itu akan
mempercepat terwujudnya suatu masyarakat informasi, sebagai masyarakat masa depan.

4. Peningkatan Layanan Profesional


Salah satu ciri penting masyarakat masa depan adalah meningkatnya kebutuhan layanan
profesional dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Karena perkembangan iptek yang makin

12
cepat serta perkembangan arus informasi yang semakin padat dan cepat, maka anggota
masyarakat masa depan semakin luas wawasan dan pengetahuannya serta daya kritis yang
semakin tinggi. Oleh karena itu, manusia masa depan tersebut makin menuntut suatu kualitas
hidup yang lebih baik, termasuk berbagai layanan yang dibutuhkannya. Layanan yang diberikan
oleh pemangku profesi tertentu, atau layanan profesional, akan semakin penting untuk kebutuhan
masyarakat tersebut.
Profesi adalah suatu lapangan pekerjaan dengan persyaratan tertentu, "suatu vokasi khusus
yang mempunyai ciri-ciri:Expertise (keahlian), responsibility (tanggung jawab), corporateness
(kesejawatan)” (Huntington, 1964, dari Nugroho Notosusanto, 1984: 16). Profesi sebagai suatu
vokasi (vocation) yang memerlukan teknik dan prosedur kerja yang harus dipelajari secara
sengaja dan dalam jangka waktu tertentu untuk diabdikan sebagai layanan untuk kemaslahatan
orang lain, serta ditandai oleh ketanggapan yang bijaksana (informed responsiveness) yang
didasari oleh filosofi tentang pekerjaannya (Mc Cully, 1969, dari T. Raka Joni, 1981: 3). Robert
W. Richey (1974) dan D. Westby-Gibson (1965) mengemukakan berbagai ciri profesi (dari
Profesionalisasi Jabatan Guru, 1983 6) yaitu:
a. Lebih mengutamakan pelayanan kemanusiaan yang ideal, dan layanan itu memperoleh
pengakuan masyarakat (harus dilakukan oleh pemangku profesi tersebut).
b. Terdapat sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan dari sejumlah teknik dan
prosedur yang unik, serta diperlukan waktu yang relatif panjang untuk mempelajarinya
sebagai periode persiapan yang sengaja dan sistematis agar mampu melaksanakan
layanan itu (pendidikan/pelatihan prajabatan).
c. Terdapat suatu mekanisme saringan berdasarkan kualifikasi tertentu, sehingga hanya
yang
kompeten yang diperbolehkan melaksanakan layanan profesi itu.
d. Terdapat suatu kode etik profesi yang mengatur keanggotaan, serta tingkah laku, sikap
dan
cara kerja dari anggotanya itu.
e. Terdapat organisasi profesi yang akan berfungsi menjaga/meningkatkan layanan profesi,
dan melindungi kepentingan serta kesejahteraan anggotanya.
f. Pemangku profesi memandang profesinya sebagai suatu karier hidup
dan menjadi seorang anggota yang relatif permanen,serta mempunyai kemandirian dalam

13
melaksanakan profesinya dan untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya sendiri.

Berdasarkan paparan di atas ternyata bahwa status profesional memerlukan persyaratan


yang berat, sehingga tidak semua jenis pekerjaan dapat memperolehnya. Diperlukan suatu
perjuangan panjang yang menerus dan bertahap melalui semi profesional agar dapat diakui
sebagai profesional penuh. Howsam, et.al. (1976: 7-9) mengemukakan suatu pandangan historis
tentang profesi dengan mengemukakan lima lingkaran konsentris dari titik tengah berturut-turut:
(1) Profesi tertua yakni hukum, kesehatan, teologi, dan dosen.
(2) Profesi baru yakni arsitektur, insinyur (engineering), dan optometri
(3) Pekerjaan yang segera diakui sebagai profesi (emergent professions).
umpamanya pekerja sosial yang masih semiprofesional akan segera diakui sebagai
profesional.
(4) Semi profesional
(5) Pekerjaan biasa yang tidak berusaha memperoleh status profesional.

Berdasarkan pendapat tersebut ternyata bahwa proses profesionais terus berlangsung, dan
dalam masyarakat di masa depan hal itu semakin memegang peranan penting.
Profesionalisasi merupakan proses pemantapan profesi sehingga memperoleh status yang
melembaga sebagai profesional (Nugroho Notosusanto, 1984: 13-16), di dalamnya akan terkait
dengan permasalahan akreditasi, sertifikasi, dan izin praktek. Mc Cully (1969, dari T. Raka Joni,
1981: 5-8) mengemukakan enam tahap dalam proses profesionalisasi yakni:
a. Penetapan dan pemantapan layanan unik yang diberikan oleh suatu profesi sehingga
memperoleh pengakuan masyarakat dan pemerintah. Sekadar contoh: Layanan unik dari para
dokter, dan apabila dilakukan oleh pihak lain, akan dituduh sebagai "dokter palsu”.

b. Penyepakatan antara kelompok profesi dan lembaga pendidikan prajabatan tentang standar
kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh setiap calon profesi tersebut.

c. Akreditas, yakni pengakuan resmi tentang kelayakan suatu program pendidikan prajabatan
yang ditugasi menghasilkan calon tenaga profesi yang bersangkutan. Penilaian kelayakan itu

14
meliputi antara lain: Tujuan dan filosofi pendidikannya, isi program, fasilitas pendukung,
ketenagaan, pelaksanaan program, dan sebagainya.

d. Mekanisme sertifikasi dan pemberian izin praktek. Sertifikasi merupakan pengakuan resmi
kepada seseorang yang memiliki kompetensi yang diprasyaratkan oleh profesi tertentu.
Meskipun demikian, tenaga pemula tersebut harus dapat membuktikan kemandiriannya dalam
memberikan layanan sesuai dengan kode etik profesi sebelum memperoleh rekomendasi
organisasi profesi untuk mendapatkan izin praktek (licence). Hal terakhir itu bertujuan
melindungi masyarakat dalam upaya memperoleh layanan yang bermutu.

e. Baik secara perseorangan maupun secara kelompok, pemangku profesi bertanggung jawab
penuh terhadap segala aspek pelaksanaan tugasnya yakni kebebasan mengambil keputusan
secara profesional. Penilaian pihak lain haruslah berupa penilaian sesama ahli yang sederajat.
"Independent judgement" merupakan ciri esensial dari profesionalitas.

F. kelompok professional memiliki kode etik, yang berfungsi ganda, yakni:


(1) Perlindungan terhadap masyarakat agar memperoleh layanan yang bermutu.
(2) Perlindungan dan pedoman peningkatan kualitas anggota.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa masyarakat masa depan dengan


kecenderungan globalisasi, utamanya dalam perkembangan iptek dan arus informasi yang makin
dipercepat, akan menjadi masyarakat yang menuntut kualitas layanan profesional yang optimal.
Hal itu harus diimbangi dengan peningkatan kualitas tenaga profesional secara berencana dan
sistematis, baik pada pendidikan prajabatan maupun pendidikan dalam jabatan. Pembinaan
tersebut meliputi semua aspek ketenagaan, baik aspek wawasan maupun aspek teknis dan
prosedur kerja dari layanan tersebut. Sehubungan dengan kecenderungan permasalahan manusia
yang bersifat holistik dan memerlukan penanganan multidisiplin, maka tuntutan mutu layanan
profesional tersebut semakin tinggi pula. Hal itu menuntut suatu kerja sama antartenaga
profesional yang semakin erat. Dengan demikian, kualitas hidup dan kehidupan manusia dalam
masyarakat di masa depan akan lebih baik lagi.

15
B. Upaya Pendidikan dalam Mengantisipasi Masa Depan
Masyarakat masa depan dengan ciri globalisasi, kemajuan iptek, dan kesempatan
menerima arus informasi yang padat dan cepat, dan sebagainya, tentulah memerlukan warga
yang mau dan mampu menghadapi segala permasalahan serta siap menyesuaikan diri dengan
situasi baru tersebut. Pendidikan berkewajiban mempersiapkan generasi baru yang sanggup
menghadapi tantangan zaman baru yang akan datang. Seperti telah dikemukakan, manusia masa
depan yang harus dihasilkan oleh pendidikan antara lain manusia yang melek teknologi dan
melek pikir yang keseluruhannya disebut melek kebudayaan, yang mampu "Think globally but
act locally", dan sebagainya. Pembangunan manusia masa depan seutuhnya mempersyaratkan
upaya pembaruan pendidikan. Edgar Faure dalam surat (18 Mei 1972) yang mengantar laporan
Komisi Internasional Pengembangan Pendidikan yang diketuainya, yang dikirim kepada Direktur
Jenderal UNESCO, mengemukakan bahwa "rumusanrumusan tradisional dan perbaikan-
perbaikan sebagian, tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan yang belum pernah ada,
yang timbul dari tugas dan fungsi baru yang harus dipenuhi (Faure, et.al., 1972/1981: vii)."
Seperti diketahui, laporan komisi tersebut bergema ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang
telah mendorong upaya-upaya pembaruan pendidikan seumur hidup untuk membangun manusia
seutuhnya serta newujudkan suatu masyarakat belajar, dan sebagainya.
Pengembangan pendidikan dalam masyarakat yang sedang berubah dengan cepat
haruslah dilakukan secara menyeluruh dengan pendekatan sistematis-sistematik. Pendekatan
sistematis adalah pengembangan pendidikan dilakukan secara teratur melalui perencanaan yang
bertahap; sedang sistematik menunjuk pada pendekatan sistem dalam proses berpikir yang

16
mengaitkan secara fungsional semua aspek dalam pembaruan pendidikan tersebut (Depdikbud,
1991/1992a: 21). Penggarapan pembaruan pendidikan tersebut harus menyeluruh, mulai pada
lapis sistem/nasional, lapis institusional, sampai pada lapis individual (Charters dan Jones, 1973),
dari. Raka Joni, 1983: 24). Pada lapis sistem, secara nasional telah ditetapkan serangkaian
kebijakan yang dituangkan ke dalam sejumlah perundang-undangan, utamanya UU-RI No. 2
Tahun 1989 tentang Sisdiknas beserta serangkaian peraturan pelaksanaannya. Penggarapan pada
lapis institusional berkaitan dengan aspek kelembagaan seperti: Kurikulum, struktur dan
mekanisme pengelolaan, sarana-prasarana, dan lain-lain. Akhirnya pada lapis individual,
penggarapan upaya pembaruan terkait dengan semua personal yang terlibat dalam pendidikan,
utamanya guru dan siswa, meliputi baik pengetahuan dan keterampilan maupun wawasan serta
sikapnya. Keberhasilan pengembangan pendidikan tersebut tergantung pada keserasian
penggarapan ketiga lapisan itu; tidak cukup hanya pada tingkat pengambilan keputusan (umpama
dengan keputusan menteri) tetapi harus secara serentak dengan penyiapan kelembagaan dan
ketenagaan.
Keberhasilan antisipasi terhadap masa depan pada akhirnya ditentukan oleh kualitas
manusia yang dihasilkan oleh pendidikan. Seperti diketahui, dengan telah ditetapkannya UU RI
No. 2 Tahun 1989 beserta peraturan pelaksanaannya maka telah dimantapkan kerangka landasan
pembangunan sektor pendidikan untuk bersama-sama dengan sektor lainnya akan memberikan
dasar yang lebih kuat bagi proses tinggal landas dalam pembangunan jangka panjang kedua
(1994-2019). Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya merupakan kunci keberhasilan bangsa
dan negara Indonesia dalam abad 21 yang akan datang. Oleh karena itu, kajian selanjutnya
adalah:
(1) Tuntutan bagi manusia masa depan.
(2) Upaya mengantisipasi masa depan, utamanya yang berhubungan dengan perubahan
nilai dan sikap sebagai manusia modern, kehidupan dan kebudayaan, serta
pengembangan sarana pendidikan. Kajian itu didasarkan pada perkiraan tentang
manusia dan masyarakat di masa depan. Dengan demikian paparan ini harus dikaji
dan diuji dengan kenyataan-kenyataan va terjadi pada saat paparan ini dibaca.

1. Tuntutan bagi Manusia Masa Depan (Manusia Modern)

17
Dalam pembicaraan tentang perkiraan masyarakat masa depan secara tersirat telah pula
dibicarakan tentang tantangan-tantangan yang akan dihadapi manusia masa depan, seperti:
Kemampuan menyesuaikan diri dan memanfaatkan peluang globalisasi dalam berbagai bidang
wawasan dan pengetahuan yang memadai tentang iptek umpamanya melek teknologi tanpa harus
menjadi pakar iptek, kemampuan menyaring dan memanfaatkan arus informasi yang semakin
padat dan cepat, dan kemampuan bekerja efisien sebagai cikal bakal kemampuan profesional,
Keempat tantangan tersebut merupakan gejala konstelasi dunia masa kini dan masa depan, dan
oleh karena itu, manusia Indonesia perlu berupaya untuk menyesuaikan diri sehingga menjadi
manusia modern. Setiap upaya manusia untuk menyesuaikan diri terhadap konstelasi dunia pada
masanya (pada masa lampau, kini, ataupun datang) adalah proses modernisasi (Koentjaraningrat,
1974: 131-136). Kalau dalam abad ke-20 acuan modernisasi terutama ialah kawasan Eropa Barat
dan Amerika Serikat, dalam abad ke-21 acuan tersebut dapat bertambah dengan Jepang, Korea
Selatan, atau negara maju lainnya.
Berdasarkan acuan normatif yang berlaku (UU RI No. 2/1989 beserta peraturan
pelaksanaannya) telah ditetapkan rumusan tujuan pendidikan di Indonesia, yang dapat dianggap
sebagai profil manusia Indonesia di masa depan. Salah satu ketentuan penting dalam perundang-
undangan tersebut adalah ketetapan pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun, yakni o tahun di
sekolah dasar (penggalan pertama) dan 3 tahun di sekolan lanjutan pertama (penggalan kedua).
Menjelang PJP II telah diamo langkah persiapan kewajiban belajar 9 tahun, sebagai peningkata
kewajiban belajar yang telah berhasil dilaksanakan sebelumnya (han 6 tahun). Dengan
pendidikan dasar 9 tahun tersebut (SD dan SL diharapkan setiap manusia Indonesia akan
mempunyai bekal dasar ya ES memadai sebagai individu, warga masyarakat, warga negara, dan
bahko warga dunia. Dalam penjelasan PP RI No: 28 Tahun 1990 tentar Pendidikan Dasar (yakni
Penjelasan Pasal 3) dikemukakan rincian tujua 2 tujuan pendidikan dasar tersebut (Undang-
Undang, 1992: 79-80) sebas berikut:
a.Pengembangan kehidupan siswa sebagai pribadi sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk:
1) Memperkuat dasar keimanan dan ketakwaan;
2) Membiasakan untuk berperilaku yang baik;
3) Memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar;
4) Memelihara kesehatan jasmani dan rohani;
5) Memberikan kemampuan untuk belajar; dan

18
6) Membentuk kemampuan untuk belajar.

b. Pengembangan kehidupan peserta didik sebagai anggota masyarakat sekurang-kurangnya


mencakup upaya untuk:
1) Memperkuat kesadaran hidup beragama dalam masyarakat;
2) Menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam masyarakat; dan
3) Memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta
dalam kehidupan bermasyarakat.

c. Pengembangan kehidupan peserta didik sebagai warga negara sekurang kurangnya mencakup
upaya untuk:
1) Mengembangkan perhatian dan pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai warga
negara Republik Indonesia;
2) Menanamkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa dan negara; dan
3) Memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

d. Pengembangan kehidupan peserta didik sebagai anggota umat manusia mencakup upaya
untuk:
1) Meningkatkan harga diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat;
2) Meningkatkan kesadaran tentang hak asasi manusia;
3) Memberikan pengertian tentang ketertiban dunia; dan
4) Meningkatkan kesadaran pentingnya persahabatan antarbangsa.

e. Mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah dalam menguasai


kurikulum yang disyaratkan.

tujuan pendidikan dasar tersebut di atas, dapat dipandang sebagai profil dasar manusia
Indonesia di masa kini dan masa depan, melingkupi dua sisi utama dari setiap upaya pendidikan,
yakni pengembangan pribadi manusia dan penguasaan iptek. Menurut Fuad hassan upaya
pendidikan dalam pemantapan kesejatian diri (being) lebih penting daripada apa yang tergolong

19
sebagai milik (having) yakni aspek penguasaan iptek. Sebab segala pemilikan itu tak lain dari
"perpanjangan” dari suatu pusat yang sadar akan diri pribadinya untuk "menjadi orang
Indonesia". Selanjutnya ditegaskan bahwa membangun manusia Indonesia seutuhnya ialah
manusia Indonesia sebagai fakta apriori yang kemudian dibangun dengan bekal ilmu
pengetahuan dan teknologi serta keahlian dan kemahiran lainnya sebagai fakta aposteriori” (Fuad
Hassan 1986: 40). Untuk jenjang pendidikan dasar hal itu berarti bahwa kemampuan dasar
sebagai manusia Pancasila yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar akan siap untuk:
(i) Memasuki lapangan kerja sebagai manusia pembangunan setelah melalui orientasi
dan/atau pelatihan tambahan sesuai dengan kebutuhan.
(ii) Melanjutkan ke pendidikan menengah. Tuntutan manusia Indonesia di masa depan,
setelah kemampuan dasar tersebut di atas, terutama diarahkan kepada pembekalan
kemampuan yang sangat diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan di
masa depan tersebut. Beberapa di antaranya seperti:
(1) Ketanggapan terhadap pelbagai masalah sosial, politik, kultural, dan lingkungan.
(2) Kreativitas di dalam menemukan alternatif pemecahannya.
(3) Efisiensi dan etos kerja yang tinggi (Sekretariat Bersama, 1989: 10).

Bertolak dari tesis ketidakpastian, Makaminan Makagiansar (1990: 5-6) mengemukakan


pentingnya mengembangkan empat hal pada peserta didik, yakni:
(1) Kemampuan mengantisipasi (anticipate) perkembangan berdasarkan ilmu
pengetahuan.
(2) Kemampuan dan sikap untuk mengerti dan mengatasi situasi (cope).
(3) Kemampuan mengakomodasi (accomodate), utamanya perkembangan iptek serta
perubahan yang diakibatkannya.
(4) Kemampuan mereorientasi (reorient), utamanya kemampuan seleksi (filter)
terhadap arus informasi yang membombardirnya.
Akhirnya dikemukakan pendapat Mayjen Sajidiman (1972: 10-11) yang menekankan
kemampuan yang diperlukan manusia Indonesia berdasarkan fungsinya, yakni:
(a) Pekerja yang terampil yang menjadi bagian utama dari mekanisme produksi (dalam arti
luas) yang harus lebih efektif dan efisien.

20
(b) Pemimpin dan manajer yang efektif, yang memiliki kemampuan berpikir, mengambil
keputusan yang tepat pada waktunya serta mengendalikan pelaksanaan dengan cakap dan
berwibawa.
(c) Pemikir yang mampu menentukan/memelihara arah perjalanan dan melihat segala
kemungkinan di hari depan.

2. Upaya Mengantisipasi Masa Depan


Berdasarkan perkiraan tentang masyarakat masa depan serta profil manusia yang
diharapkan berhasil di dalam masyarakat itu maka perlu dikaji berbagai upaya masa kini yang
memungkinkan mewujudkan manusia masa depan tersebut. Meskipun upaya pendidikan selalu
berorientasi ke masa depan, namun peralihan ke abad 21 yang akan datang ini sangat penting
bagi bangsa dan negara Indonesia, karena akan memasuki PJP II sebagai era kebangkitan
nasional kedua. Seperti telah dikemukakan bahwa masyarakat Indonesia sedang beralih dari
masyarakat agraris ke masyarakat industri dan masyarakat informasi. Oleh karena itu,
mengembangkan sumber daya manusia, utamanya melalui pendidikan sebagai pilar utama, akan
sangat penting.
Dalam penjelasan UU RI No. 2 Tahun 1989 dikemukakan sebagai berikut: "Dalam
rangka pelaksanaan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila di bidang pendidikan,
maka pendidikan nasional mengusahakan: Pertama, pembentukan manusia Pancasila sebagai
manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri, dan kedua, pemberian
dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam
ketahanan nasional yang tangguh... (Undang-Undang, 1992: 24). Dari penjelasan itu ternyata
bahwa fungsi pendidikan (jalur sekolah dan luar sekolah) diarahkan bukan hanya untuk
pembangunan manusia saja tetapi juga ikut serta dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena
itu, kajian tentang upaya mengantisipasi masa depan melalui pendidikan akan diarahkan pada:
(a) Aspek yang paling berperan dalam individu untuk memberi arah antisipasi tersebut yakni
nilai dan sikap.
(b) Pengembangan budaya dan sarana kehidupan.
(c) Tentang pendidikan itu sendiri, utamanya pengembangan sarana pendidikan. Ketiga hal
tersebut merupakan titik strategi dalam mengantisipasi masa depan tersebut.

21
a. Perubahan Nilai dan Sikap
Nilai dan sikap memegang peranan penting dalam menentukan wawasan dan perilaku
manusia. Nilai merupakan norma, acuan ya seharusnya, dan atau kaidah yang akan menjadi
rujukan perilaku. Nilai nilai tersebut dapat bersumber dari berbagai hal, seperti agama, hukum
adat istiadat, moral, dan sebagainya, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Bagi bangsa
Indonesia dengan masyarakat yang majemuk terjadi variasi sistem nilai dan tata kelakuan
(sebagai wujud ideal dari kebudayaan nusantara). Meskipun bhinneka namun bangsa Indonesia
bertekad tunggal ika dengan menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar
negara Indonesia. Ketetapan MPR RI No. II/MPR/78 telah menetapkan dalam Pasal 4 sebagai
berikut: "Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan
pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warga negara
Indonesia, ...... (Ketetapan-Ketetapan, 1978: 51).” Pemasyarakatan ekaprasetia pancakarsa
tersebut semakin penting di masa depan karena makin gencarnya globalisasi, utamanya dalam
arus informasi yang makin padat dan cepat. Setiap anggota masyarakat dan warga negara
Indonesia harus mau dan mampu menggunakan nilai-nilai luhur bangsanya sebagai filter dalam
menghadapi globalisasi tersebut.
Salah satu pengaruh nilai-nilai tersebut akan tampak dalam sikap (attitude) seseorang.
Kalau nilai masih bersifat "umum”, maka sikap selalu terkait dengan objek tertentu dan disertai
dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tersebut (dapat
positif ataupun negatif). Sebagai kemampuan internal, sikap akan sangat berperan menentukan
apabila terbuka, kemungkinan berbagai alternatif untuk bertindak. Dalam sikap dapat dibedakan
tiga aspek, yakni:
(1) Aspek kognitif seperti pemahaman tentang objek sikap.
(2) Aspek afektif yang sangat dipengaruhi oleh nilai dan dapat sangat subjektif seperti setuju
atau tak setuju, suka atau benci, dan sebagainya.
(3) Aspek konatif yang mendorong untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek
tersebut. Ketiga aspek tersebut pada dasarnya terpadu dalam membentuk sikap seseorang.
Terdapat beberapa ciri dari sikap, antara lain: Sesuatu yang dibentuk/dipelajari, dapat
diubah namun prosesnya dapat berlangsung sangat lambat, selalu mempunyai segi-segi
perasaan dan motivasi, serta objeknya dapat berupa satu hal tertentu atau kumpulan dari
hal tersebut.

22
Pembentukan/pengubahan nilai dan sikap dalam diri seseorang at dilakukan dengan
berbagai cara, seperti pembiasaan, internalisasi lai dan nilai melalui ganjaran-hukuman,
keteladanan (modeling), teknik klarifikasi nilai dan sebagainya. Perlu ditekankan bahwa setiap
cara tersebut npunyai kelebihan dan kekurangan, sehingga hasil belajar berupa nilai an sikap
pada dasarnya adalah hasil akumulasi dari berbagai kegiatan belajar, baik sebagai dampak
instruksional ataupun dampak pengiring nurturant effect). Hasil belajar berupa nilai dan sikap
dapat dikategorikan dalam kawasan (ranah) afektif. Taksonomi tujuan pendidikan dalam ranah
afektif tersebut dikemukakan antara lain oleh Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964, dari Bloom,
Hastings, dan Madaus, 1971. 229) yang menekankan proses internalisasi yang kontinu dari yang
rendah sampai yang tertinggi sebagai berikut:
(1) Penerimaan (receiving, attending).
(2) Penanggapan (responding).
(3) Penilaian, peyakinan (valuing).
(4) Pengorganisasian, konseptualisasi (organization).
(5) Pewatakan, pemeranan (characterization). Sasaran akhir pembentukan/pengubahan
nilai dan sikap adalah bahwa suatu norma sebagai acuan perilaku telah terwujud
dalam
perilaku sehari-hari secara konsisten; dengan kata lain, sistem nilai telah terbentuk
dan
mewarnai pandangan hidup dan perilaku seseorang dalam hidupnya.

Perubahan nilai dan sikap dalam rangka mengantisipasi masa depan haruslah diupayakan
sedemikian rupa sehingga dapat diwujudkan keseimbangan dan keserasian antara aspek
pelestarian dan aspek pembaruan. Nilai-nilai luhur yang mendasari kepribadian dan kebudayaan
Indonesia seyogianya akan tetap dilestarikan, agar terhindar dari krisis identitas. Sebagai suatu
masyarakat pluralistik, puncak-puncak budaya nusantara seharusnya dikembangkan untuk
memantapkan dan memperkaya kebudayaan Indonesia. Dengan kata lain, muatan lokal dalam
program pendidikan haruslah dilakukan sedemikian rupa sehingga melengkapi dan memperkuat
muatan nasional dalam memilih dan memilah pengaruh global. Di sisi lain, yang harus serentak
dengannya, ialah aspek pembaruan merujuk pada upaya mengadakan penyesuaian dengan

23
tuntutan dan kebutuhan zaman yakni suatu ”budaya dunia", seperti rasional, efisiensi, efektivitas,
terbuka menerima iptek, dan sebagainya. Oleh karena itu, pendidikan harus selalu menjaga
secara seimbang pembentukan kemampuan mempertanyakan disamping kemampuan menerima
dan mempertahankan" (Raka Toni. 1983: 54). Keserasian dan keselarasan antara pelestarian da
pembaruan nilai dan sikap tersebut yang akan memberi peluan keberhasilan menjemput masa
depan itu.

b. Pengembangan Kebudayaan
Salah satu upaya penting dalam mengantisipasi masa depan adalah upaya yang berkaitan dengan
pengembangan kebudayaan dalam arti luas. termasuk hal-hal yang berkaitan dengan sarana
kehidupan manusia, Seperti telah dikemukakan, kebudayaan mencakup unsur-unsur mulai dari
sistem religi, kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencarian, sampai dengan
sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1974: 12). Unsur terakhir tersebutlah yang
paling mudah berubah dibandingkan dengan unsur lainnya; akan tetapi, perubahan masyarakat
Indonesia dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri dan masyarakat informasi telah
menyebabkan keseluruhan unsur-unsur tersebut akan mengalami pengaruh yang kuat. Oleh
karena itu, manusia Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh budaya setempat (sesuai dengan
etnis yang ada di Nusantara) dan budaya Indonesia (yang berkembang dari puncak budaya-
budaya Nusantara itu), tetapi juga menerima berbagai pengaruh "budaya dunia” (Refleksi, 1990:
3-4). Dalam menghadapi berbagai pengaruh tersebut setiap individu diharapkan dapat
menyelaraskannya dengan baik, agar dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang selalu berubah
tersebut dengan berhasil.
Saling pengaruh dalam pengembangan kebudayaan di dunia ini, merupakan hal yang
lumrah. Dalam sejarah tercatat bagaimana puncak kebudayaan pada suatu wilayah tertentu akan
mempengaruhi kebudayaan lain di dunia ini. Berkaitan dengan hal itu UNESCO telah
menetapkan konsep Dasawarsa Kebudayaan Sedunia yang menekankan bahwa pengembangan
kebudayaan dunia masa kini harus meliputi empat dimensi (Makaminan Makagiansar, 1990: 7)
yakni:
1) Afirmasi atau penegasan dimensi budaya dalam proses pembangunan, karena
pembangunan akan hampa jika tidak diilhami oleh kebudayaan masyarakat/bangsa yang
bersangkutan.

24
2) Mereafirmasi dan mengembangkan identitas budaya, dan setiap kelompok manusia
berhak diakui identitas budayanya.
3) Partisifasi, nyakni dalam pengembangan suatu bangsa dan Negara maka partisipasi yang
optimal dari masyarakat adalah mutlak perlu.
4) Memajukan kerja sama budaya antarbangsa yang merupakan tunt mutlak dalam era
globalisasi.

Bagi bangsa Indonesia yang sedang berubah secara serentak da masyarakat pertanian ke
masyarakat industri dan masyarakat informasi, ketahanan budaya akan memegang peran penting.
Pelestarian nilai-nilai luhur Pancasila sebagai inti ketahanan budaya tersebut menjadi acuan
Pokok dalam memilih dan memilah segala pengaruh yang datang aga tidak terjadi krisis identitas
bangsa Indonesia. Karena dewasa ini tidak mungkin lagi menutup diri terhadap pengaruh
kebudayaan lain. oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah memperkuat ketahanan budaya,
sehingga dapat memanfaatkan pengaruh yang positif serta menghindari memperkecil pengaruh
negatif dari kebudayaan lain tersebut. Peranan pendidikan merupakan faktor menentukan dalam
membangun dan memperkuat ketahanan budaya tersebut.

c. Pengembangan Sarana Pendidikan


Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam mengantisipasi masa depan, karena
pendidikan selalu diorientasikan pada penyiapan peserta didik untuk berperan di masa yang akan
datang. Oleh karena itu, pengembangan sarana pendidikan sebagai salah satu prasyarat utama
untuk menjemput masa depan dengan segala kesempatan dan tantangannya. Seperti telah
dikemukakan, menjelang pelaksanaan PJP II, sektor pendidikan telah meletakkan kerangka dasar
pengembangannya melalui seperangkat perundang-undangan (UU RI No. 2 Tahun 1989 beserta
peraturan pelaksanaannya). Dengan penetapan kerangka dasar tersebut maka pendidikan
mempunyai suatu acuan dalam penyesuaian dengan keadaan yang selalu berubah, utamanya
perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia di masa yang akan datang (Undang-
Undang, 1992: 27). Seperti diketahui, meskipun Menteri Dikbud yang bertanggung jawab atas
bidang pendidikan nasional, akan tetapi penyelenggaraannya tersebar di berbagai lembaga
pendidikan, baik jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, serta dikelola oleh berbagai pihak

25
(Depdikbud, Pemerintah Non-Depdik dan Masyarakat). Acuan bersama tersebut sangat penting,
utamanya dalam pengembangan sarana pendidikan baik perangkat lunak masun perangkat keras.
Salah satu kebijakan penting menjelang PJP II tersebut adalah yang berkaitan dengan
pendidikan dasar, yakni perubahan pendidikan dasar dari 6 tahun menjadi 9 tahun (6 tahun di SD
dan 3 tahun di SLTP). serta perubahan kualifikasi awal guru SD dari pendidikan menen (SPG
dan sederajat) menjadi pendidikan tinggi (diploma dua, yang kena dapat dikembangkan menjadi
sarjana).
Kebijakan itu diiringi pula dengan penetapan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun.
Kebijakan ini merupakan awal dari serangkaian kebijakan yang akan bermuara pada peningkatan
sumber daya manusia, yaitu manusia Indonesia yang menguasai iptek yang akan mampu "thin
globally but act locally" (Mochtar Buchori, 1990: 17). Peningkatan mutu pendidikan dasar itu
yang wajib diikuti oleh semua warga negara akan menjadi cikal bakal ke arah: (i) Peningkatan
mutu pendidikan menengah dan tinggi. (ii) Terbentuknya masyarakat terdidik yang mampu terus
belajar mandiri.
Secara tradisional, permasalahan pendidikan di Indonesia dengan wilayah yang luas dan
penduduk yang besar tetapi tidak merata adalah masalah-masalah kuantitas, kualitas,
pemerataan, dan relevansi. Dalam PJP I banyak hasil yang telah dicapai dalam pemecahan
masalah kuantitas beserta pemerataannya, dengan memperluas jangkauan persekolahan sampai
di daerah terpencil melalui beberapa rintisan inovasi, seperti SD Pamong, SD Kecil, Paket
Belajar A, dan sebagainya. Kebijakan ini akan dilanjutkan dan diperluas dalam PJP II sehingga
menjangkau SLTP (wajib belajar 9 tahun). Demikian pula halnya dengan kualitas dan relevansi
pendidikan dalam PJP I secara terbatas telah dilakukan berbagai upaya rintisan, baik
penyempurnaan kurikulum dan pelaksanaannya maupun yang berkaitan dengan sarana-prasarana
pendukungnya. Beberapa di antaranya yang akan makin diutamakan dalam PJP II adalah lebih
memantapkan kurikulum (baik muatan nasional maupun muatan lokal, ataupun topik inti dan
non-inti, dan lain-lain), memantapkan proses belajar-mengajar (seperti sistem pembinaan
profesional cara belajar siswa aktif atau SPP-CBSA) meningkatkan kualitas tenaga kependidikan
beserta sumber daya pendidikan lainnya.
Khusus untuk menyongsong era globalisasi yang makin tidabo terbendung, terdapat
beberapa hal yang secara khusus memerluka perhatian dalam bidang pendidikan. Santoso S.
Hamijoyo (1990: 332 mengemukakan lima strategi dasar dalam era globalisasi tersebut yakni:

26
1) Pendidikan untuk pengembangan iptek, dipilih terutama dalam bidang-bidang yang vital,
seperti manufakturing pertanian, sebagai modal utama menghadapi globalisasi.
2) Pendidikan untuk pengembangan keterampilan manajemen, termasuk bahasa-bahasa
asing yang relevan untuk hubungan perdagangan dan politik, sebagai instrumen
operasional untuk berkiprah dalam globalisasi.
3) Pendidikan untuk pengelolaan kependudukan, lingkungan, keluarga berencana, dan
kesehatan sebagai penangkal terhadap menurunnya kualitas hidup dan hancurnya sistem
pendukung kehidupan manusia.
4) 4) Pendidikan untuk pengembangan sistem nilai, termasuk filsafat, agama dan ideologi
demi ketahanan sosial-budaya termasuk persatuan dan kesatuan bangsa.
5) Pendidikan untuk mempertinggi mutu tenaga kependidikan dan kepelatihan, termasuk
pengelola sistem pendidikan formal dan nonformal, demi penggalakan peningkatan
pemerataan mutu, relevansi, dan efisiensi sumber daya manusia secara keseluruhan.

Khusus untuk pendidikan tinggi, terdapat kecenderungan berkembangnya pola


pemecahan masalah secara multidisiplin. Oleh karena itu, diperlukan suatu program pendidikan
yang kuat dalam dasar keahlian yang akan memperluas wawasan keilmuan dan membuka
peluang kerja sama dengan bidang keahlian lainnya.
Rangkuman
Pendidikan akan menyiapkan peserta didik memasuki masyarakat di masa depan. Oleh
karena itu, keputusan dan tindakan dalam bidang pendidikan seharusnya berorientasi ke
masyarakat masa depan tersebut. Ciri masyarakat masa depan itu antara lain adalah:
(1) Globalisasi, utamanya dalam iptek, ekonomi, lingkungan hidup. pendidikan, dan
sebagainya.
(2) Perkembangan iptek yang makin cepat.
(3) Arus komunikasi yang semakin padat dan cepat, yang mengubah masyarakat menjadi
masyarakat informasi.
(4) Peningkatan layanan profesional dalam berbagai segi kehidupan manusia. Khusus
yang terakhir tersebut, perlu lebih dimantapkan profesionalisasi tenaga kependidikan.

27
Berdasarkan perkiraan masyarakat di masa depan tersebut, pendidikan telah/sedang
mengambil langkah-langkah mengantisipasinya, baik pada lapis sistem maupun institusional dan
individual. Dengan demikian, pendidikan diharapkan mampu menghasilkan manusia yang dapat
menyesuaikan diri serta mampu mengembangkan masyarakat masa depannya itu. Secara khusus
dapat dikemukakan beberapa upaya antisipasi masa depan itu antara lain: Perubahan nilai dan
sikap, pengembangan kebudayaan, dan pengembangan sarana pendidikan.

28

Anda mungkin juga menyukai