Anda di halaman 1dari 28

ILMU KEDOKTERAN FORENSIK

“SEKSUAL INTERCOURSE ILLEGAL (PEMERKOSAAN)”

Dosen pengasuh : Andri Koswara, S.H,. M.H.

OLEH

KELOMPOK 2 :
1. Anggun Pratiwi (211322063)
2. Heni pronika (211322031)
3. Rizki Mei Saputra (211322016)
4. Suhaimi (211322017)
5. Hardiansyah (211322001)
6. Abdullah Agus (211322025)
7. Candra Adi Putra Birawa (211322075)
8. Diki Rizki Anugrah (211322070)
9. M. Yusril Ilham Fauzi (211322051)

Stih rahmaniyah sekayu


TAHUN AJARAN 2021/2022
KATA PENGANTAR
Pujisyukur kami panjatkankepada Allah SWT karenadengannikmatnyalah kami
kelompok 2 dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas tentang Seksual Intercourse
Illegal (pemerkosaan) yang diberikan oleh dosen pembimbing dengan mata kuliah ILMU
KEDOKTERAN FORENSIK. Makalah ini merupakan salah satu upaya dalam memberikan
pemahaman tentang ilmu kedokteran forensic terutama tentang pemerkosaan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih cukup sederhana dan untuk
kesempurnaan makalah ini, kritikdan saran akan sangat berharga untuk memperbaikan makalah
ini. Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pembimbing mata kuliah, dalam penyusunan
makalah ini. Kami berharap makalah ini dapat menjadi referensi lanjutan dan bermanfaat bagi
pembacanya.Aamiin

Sekayu, 03 Desember 2022

Kelompok 2

DAFTAR ISI
Kata pengantar ............................................................................................................................i

Daftar isi ....................................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ...............................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah ..........................................................................................................2

1.3 Tujuan ............................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................3

2.1 Pembahasan Tentang Pemerkosaan ...............................................................................3

2.1.1 Definisi ..................................................................................................................3

2.1.2 Cakupan ................................................................................................................6

2.1.3 Persetujuan (konsen)..............................................................................................6

2.1.4 Motif ......................................................................................................................9

2.1.5 Efek .....................................................................................................................11

2.2 Pemerkosaan Dan Sanksinya Dalam Hukum Pidana Indonesia ..................................12

2.3 Tujuan Hukuman Menurut Hukum Pidana Di Indonesia ............................................15

2.4 Hukuman KebiriTerhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak dan Kaitannya

dengan Hak Asasi Manusia (HAM) .............................................................................17

BAB III PENUTUP .................................................................................................................23

3.1 Kesimpulan ..................................................................................................................23

Daftar pustaka ..........................................................................................................................24


PENDAHULUAN
BAB I

1.1 Latar Belakang

Pemerkosaan didefinisikan di sebagian besar yurisdiksi sebagai hubungan seksual, atau


bentuk penetrasi seksual lainnya, yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban
tanpa persetujuan (konsensual).[16] Definisi pemerkosaan sendiri tidak konsisten antara organisasi
kesehatan pemerintah, penegak hukum, penyedia layanan kesehatan, dan profesi hukum.
 Definisi pemerkosaan bervariasi secara historis dan budaya.[16][17] Awalnya, pemerkosaan tidak
[17]

memiliki konotasi seksual dan masih digunakan dalam konteks lain dalam bahasa Inggris.
Dalam hukum Romawi, definisi pemerkosaan atau raptus diklasifikasikan sebagai bentuk
kejahatan (crimen vis) yaitu "kejahatan penyerangan".[18][19] Raptus mengacu pada penculikan
seorang wanita terhadap keinginan pria yang berada di bawah kekuasaannya, dan hubungan
seksual bukanlah elemen yang diperlukan. Definisi pemerkosaan lainnya telah berubah dari
waktu ke waktu.

Hingga 2012, Biro Investigasi Federal (FBI) menganggap pemerkosaan sebagai kejahatan


yang semata-mata dilakukan oleh pria terhadap wanita. Pada tahun 2012, mereka mengubah
definisi mereka dari "Kekuasaan fisik duniawi seorang wanita yang dilakukan secara paksa dan
bertentangan dengan keinginannya" menjadi "Penetrasi, tidak peduli seberapa kecil, vagina atau
anus dengan bagian tubuh atau objek apa pun, atau penetrasi oral oleh organ seks dari orang lain,
tanpa persetujuan korban.” Definisi sebelumnya yang tetap dan tidak berubah sejak 1927,
dianggap usang dan sempit. Definisi yang diperbarui mencakup pengenalan jenis kelamin korban
dan pelaku dan bahwa pemerkosaan dengan suatu objek bisa sama traumatisnya dengan
pemerkosaan penis/vaginal. FBI lebih lanjut menjelaskan contoh ketika korban tidak dapat
memberikan persetujuan karena ketidakmampuan mental atau fisik.FBI juga mengakui bahwa
seorang korban dapat dilumpuhkan oleh obat-obatan dan alkohol dan tidak dapat memberikan
persetujuan yang sah. Definisi tersebut tidak mengubah undang-undang pidana federal atau
negara bagian atau berdampak pada pembebanan dan penuntutan di tingkat federal, negara
bagian, atau lokal; namun hal tersebut berarti pemerkosaan akan lebih akurat ketika dijelaskan
secara nasional.[20][21]
1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pembahasan Tentang Pemerkosaan ?


2. Bagaimana Pemerkosaan Dan Sanksinya Dalam Hukum Pidana Indonesia
3. Bagaimana Tujuan Hukuman Menurut Hukum Pidana Di Indonesia ?
4. Bagaimana Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak
danKaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM) ?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui bagaimana Pembahasan Tentang Pemerkosaan.
2. Untuk mengetahui bagaimana Pemerkosaan Dan Sanksinya Dalam Hukum Pidana Indonesia.
3. Untuk mengetahui bagaimana Tujuan Hukuman Menurut Hukum Pidana Di Indonesia.
4. Untuk mengetahui bagaimana Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan
Anak danKaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pemerkosaan

2.1.1 Definisi

Pemerkosaan didefinisikan di sebagian besar yurisdiksi sebagai hubungan seksual, atau


bentuk penetrasi seksual lainnya, yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban
tanpa persetujuan (konsensual).[16] Definisi pemerkosaan sendiri tidak konsisten antara organisasi
kesehatan pemerintah, penegak hukum, penyedia layanan kesehatan, dan profesi hukum.
[17]
 Definisi pemerkosaan bervariasi secara historis dan budaya.[16][17] Awalnya, pemerkosaan tidak
memiliki konotasi seksual dan masih digunakan dalam konteks lain dalam bahasa Inggris.
Dalam hukum Romawi, definisi pemerkosaan atau raptus diklasifikasikan sebagai bentuk
kejahatan (crimen vis) yaitu "kejahatan penyerangan".[18][19] Raptus mengacu pada penculikan
seorang wanita terhadap keinginan pria yang berada di bawah kekuasaannya, dan hubungan
seksual bukanlah elemen yang diperlukan. Definisi pemerkosaan lainnya telah berubah dari
waktu ke waktu.1

Hingga 2012, Biro Investigasi Federal (FBI) menganggap pemerkosaan sebagai kejahatan yang


semata-mata dilakukan oleh pria terhadap wanita. Pada tahun 2012, mereka mengubah definisi
mereka dari "Kekuasaan fisik duniawi seorang wanita yang dilakukan secara paksa dan
bertentangan dengan keinginannya" menjadi "Penetrasi, tidak peduli seberapa kecil, vagina atau2
anus dengan bagian tubuh atau objek apa pun, atau penetrasi oral oleh organ seks dari orang lain,
tanpa persetujuan korban.” Definisi sebelumnya yang tetap dan tidak berubah sejak 1927,

116
 Smith, Merril D., ed. (2004). Encyclopedia of rape  (edisi ke-1st). Westport, Conn. [u.a.]: Greenwood Press. hlm. 169–
170. ISBN 978-0-313-32687-5.
17
Maier, S. L. (2008). ""I Have Heard Horrible Stories...": Rape Victim Advocates' Perceptions of the Revictimization of Rape Victims
by the Police and Medical System". Violence Against Women. 14 (7): 786–808. doi:10.1177/1077801208320245. ISSN 1077-
8012. PMID 18559867.
18
 Justinian, Institutiones [1]
19
^ Adolf Berger, Encyclopedic Dictionary on Roman Law, pp. 667 (raptus) and 768 (vis)
220
 "An Updated Definition of Rape (U.S. Dept of Justice, January 6, 2012)". Diarsipkan dari versi asli tanggal 13 March 2012.
Diakses tanggal 30 October 2014.
21
^ Savage, Charlie (14 April 2018). "Federal Crime Statistics to Expand Rape Definition". The New York Times – via NYTimes.com
22
Krug, Etienne G.; et al., ed. (2002). "WORLD REPORT ON VIOLENCE AND HEALTH" (PDF). World Health Organization.
hlm. 149. Diakses tanggal 5 December 2015.
dianggap usang dan sempit. Definisi yang diperbarui mencakup pengenalan jenis kelamin korban
dan pelaku dan bahwa pemerkosaan dengan suatu objek bisa sama traumatisnya dengan
pemerkosaan penis/vaginal. FBI lebih lanjut menjelaskan contoh ketika korban tidak dapat
memberikan persetujuan karena ketidakmampuan mental atau fisik. FBI juga mengakui bahwa
seorang korban dapat dilumpuhkan oleh obat-obatan dan alkohol dan tidak dapat memberikan
persetujuan yang sah. Definisi tersebut tidak mengubah undang-undang pidana federal atau
negara bagian atau berdampak pada pembebanan dan penuntutan di tingkat federal, negara
bagian, atau lokal; namun hal tersebut berarti pemerkosaan akan lebih akurat ketika dijelaskan
secara nasional.[20][21]

Organisasi kesehatan dan banyak lembaga juga telah memperluas pemerkosaan


melampaui definisi tradisional. World Health Organization (WHO) mendefinisikan pemerkosaan
sebagai bentuk kekerasan seksual,[22] Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan
sebagai "penetrasi vagina atau anus dengan menggunakan penis, anggota-anggota tubuh lain atau
suatu benda -- bahkan jika dangkal -- dengan cara pemaksaan baik fisik atau non-fisik."
sedangkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memasukkan pemerkosaan dalam
definisi serangan seksual mereka; mereka menyebut pemerkosaan merupakan suatu
bentuk kekerasan seksual. CDC mencantumkan tindakan lain selain dari aktivitas seksual yang
memaksa dan non-konsensual yang merupakan pemerkosaan maupun yang tidak merupakan
pemerkosaan, beberapa diantaranya yang termasuk pemerkosaan adalah penyerangan seksual
yang difasilitasi oleh obat, tindakan di mana seorang korban dibuat untuk mempenetrasi pelaku
kejahatan atau orang lain, kejadian keracunan di mana korban tidak dapat melakukannya
persetujuan (karena ketidakmampuan atau tidak sadar), penetrasi paksa secara fisik yang terjadi
setelah seseorang ditekan secara verbal (dengan intimidasi atau penyalahgunaan wewenang
untuk memaksa untuk menyetujui), menuntaskan atau mencoba penetrasi paksa korban melalui
kekuatan fisik yang tidak diinginkan (termasuk menggunakan senjata atau mengancam untuk
menggunakan senjata).[23][24] 3

3
 Basile, KC; Smith, SG; Breiding, MJ; Black, MC; Mahendra, RR (2014). "Sexual Violence Surveillance: Uniform
Definitions and Recommended Data Elements, Version 2.0" (PDF). National Center for Injury Prevention and Control,
Centers for Disease Control and Prevention. Diakses tanggal 6 June 2017.

2. ^ Lompat ke:          Markovchick, Vincent (2016). "Sexual Assault". Emergency medicine secrets. Philadelphia, PA:
a b c d e

Elsevier. hlm. 516–520. ISBN 9780323355162.
Veterans Health Administration (VHA) telah menerapkan skrining universal terhadap
"Trauma Seksual Militer (military sexual trauma)" (MST) dan menyediakan layanan kesehatan
medis dan mental gratis untuk ongkos pendafataran bagi veteran yang melaporkan diri ke MST.
(Title 38 United States Code 1720D; Public Law 108-422).

Beberapa negara atau yurisdiksi membedakan antara pemerkosaan dan kekerasan seksual
dengan mendefinisikan pemerkosaan sebagai melibatkan penetrasi penis vagina, atau semata-
mata penetrasi yang melibatkan penis, sementara jenis aktivitas seksual non-konsensual lainnya
disebut kekerasan seksual.[25][26] Skotlandia, misalnya, menekankan pada penetrasi penis,
mengharuskan menggunakan penis jika kekeraasan seksual tersebut memenuhi syarat sebagai
pemerkosaan.[27][28] Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda tahun 1998 merumuskan
pemerkosaan sebagai "invasi fisik berwatak seksual yang dilakukan kepada seorang manusia 4
dalam keadaan atau lingkungan yang koersif".[16] Dalam kasus lain, istilah pemerkosaan telah 5
dihapus dari penggunaan hukum demi memasukkan istilah kekerasan seksual atau perilaku
kriminal pidana seksual.[29]

Istilah pemerkosaan dapat pula digunakan dalam arti kiasan, misalnya untuk mengacu kepada
tindakan-tindakan kriminal umum seperti pembantaian, perampokan, penghancuran, dan
penangkapan tidak sah yang dilakukan kepada suatu masyarakat ketika sebuah kota atau negara
dilanda perang.6

6
 "Sexual Offences (Scotland) Act 2009". legislation.gov.uk/UK Statute Law Database. 2009. Diakses tanggal December
12, 2013.

4. ^ Tom de Castella, Jon Kelly (August 22, 2012). "Assange case: How is rape defined?". BBC News. Diakses
tanggal December 12, 2013.

5. ^ "Criminal code". Diakses tanggal 2010-12-31.


2.1.2 Cakupan

Korban pemerkosaan atau kekerasan seksual berasal dari berbagai gender, usia, orientasi


seksual, etnis, lokasi geografis, budaya, dan derajat gangguan atau difabilitas. Insiden
pemerkosaan diklasifikasikan ke dalam sejumlah kategori, dan mereka dapat menggambarkan
hubungan pelaku bagi korban dan konteks kekerasan seksual. Cakupan pemerkosaan
termasuk pemerkosaan saat pacaran, pemerkosaan berkelompok, pemerkosaan dalam
pernikahan, pemerkosaan inses, pelecehan seksual anak, pemerkosaan penjara, perkosaan
kenalan, pemerkosaan perang dan pemerkosaan statutori. Aktivitas seksual paksa dapat
dilakukan dalam jangka waktu yang lama dengan sedikit atau tidak adanya cedera fisik.[31][32][33]7

2.1.3 Persetujuan (konsen)

Kurangnya konsen adalah kunci dari definisi pemerkosaan. [34] Konsen merupakan


afirmatif "persetujuan yang diinformasikan, menunjukkan persetujuan yang diberikan secara
bebas" untuk aktivitas seksual.[23] Konsen tidak harus diungkapkan secara verbal, dan mungkin
tersirat secara terbuka dari tindakan, tetapi tidak adanya keberatan bukan berarti merupakan
konsen.[35] Kurangnya konsen dapat diakibatkan oleh pemaksaan paksa oleh pelaku atau
ketidakmampuan untuk memberikan persetujuan dari pihak korban (seperti orang yang sedang
tidur, mabuk atau gangguan mental lainnya). [36] Penentuan umur dibawah batas
konsen merupakan kewenangan bedasarkan hukum. Hubungan seksual dengan seseorang di
dengan umur dibawah batas konsen disebut sebagai pemerkosaan statutori.[37] Di India, seks
konsensual yang diberikan dengan janji palsu pernikahan merupakan pemerkosaan.[38]

7
31.  "UCSB's SexInfo". Soc.ucsb.edu. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-07. Diakses tanggal 2010-12-31.

32. ^ Rosdahl, Caroline (2012). Textbook of basic nursing. Philadelphia: Wolters Kluwer Health/Lippincott Williams &
Wilkins. ISBN 978-1-60547-772-5.

33. ^ Lompat ke:    Kelly, Gary (2011). Sexuality today. New York, NY: McGraw-Hill. ISBN 978-0-07-353199-1.
a b
Paksaan adalah situasi ketika orang tersebut diancam dengan kekuatan atau kekerasan dan dapat
mengakibatkan tidak adanya keberatan terhadap aktivitas seksual. Hal ini dapat menimbulkan
konsen yang tidak pantas.[36] Paksaan dapat berupa kekuatan atau kekerasan aktual atau ancaman
terhadap korban atau seseorang yang dekat dengan korban. Bahkan pemerasan dapat merupakan
paksaan. Penyalahgunaan kekuasaan dapat berupa paksaan. Misalnya, di Filipina, seorang pria
melakukan pemerkosaan jika dia melakukan hubungan seksual dengan seorang wanita "dengan
cara akal bulus yang menipu atau penyalahgunaan wewenang yang parah".[39]8

Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda dalam putusannya yang bersejarah pada tahun
1998 menggunakan definisi pemerkosaan yang tidak menggunakan kata 'konsen': "serbuan fisik
yang bersifat seksual yang dilakukan pada seseorang dalam keadaan yang memaksa."[40]

Pemerkosaan dalam pernikahan, atau pemerkosaan terhadap pasangan merupakan seks non-
konsensual di mana pelaku adalah pasangan korban. Pemerkosaan dalam pernikahan merupakan
bentuk pemerkosaan pasangan, kekerasan dalam rumah tangga, dan pelecehan seksual. Setelah
diterima secara luas atau diabaikan oleh hukum, pemerkosaan dalam pernikahan sekarang
dikecam oleh konvensi internasional dan pemerkosaan tersebut semakin berubah menjadi
kegiatan kriminal. Namun, di banyak negara, pemerkosaan dalam pernikahan tetap legal atau
menjadi ilegal tetapi ditoleransi secara luas dan diterima sebagai hak prerogatif suami. Pada
tahun 2006, studi mendalam yang dilakukan oleh Sekretaris Jenderal PBB tentang semua bentuk
kekerasan terhadap perempuan menyatakan bahwa (hal 113): "Perkosaan dalam perkawinan
dapat dituntut di setidaknya di 104 negara bagian. Dari jumlah tersebut, 32 telah menjadikan
perkosaan dalam pernikahan sebagai tindak pidana khusus, sementara 74 sisanya tidak

8
Tchen, C.M. (1983). "Rape Reform and a Statutory Consent Defense". Journal of Law and Criminology. 74 (4): 1518–
1555. doi:10.2307/1143064. JSTOR 1143064.

2. ^ Gruber, Aya (December 2016). "Consent Confusion". Cardozo Law Review. 38 (2): 415–458. Diarsipkan dari versi
asli tanggal 2017-03-21. Diakses tanggal March 20, 2017.

3. ^ Lompat ke:    Rape and sexual violence: Human rights law and standards in the International Criminal Court. Amnesty
a b

International 2011

4. ^ Koon-Magnin, Sarah; Ruback, R. Barry (September 2013). "The perceived legitimacy of statutory rape laws: the effects
of victim age, perpetrator age, and age span: The perceived legitimacy of statutory rape laws". Journal of Applied Social
Psychology. 43 (9): 1918–1930. doi:10.1111/jasp.12131.

5. ^ Correspondent, Legal (2019-04-13). "Sex on false promise of marriage is rape: Supreme Court". The


Hindu. ISSN 0971-751X. Diakses tanggal 2019-04-14.

6. ^ REPUBLIC ACT NO. 8353. Philippine Law. Approved: September 30, 1997
mengecualikan pemerkosaan dalam pernikahan dari ketentuan pemerkosaan umum.
Pemerkosaan dalam perkawinan bukan merupakan pelanggaran yang dapat dituntut di setidaknya
53 Negara Bagian. Empat Negara mengkriminalkan perkosaan dalam perkawinan hanya ketika
pasangan berpisah secara hukum. Empat Negara sedang mempertimbangkan undang-undang
yang mengizinkan pemerkosaan dalam pernikahan untuk dituntut."[41] Sejak tahun 2006,
beberapa negara bagian lain telah tidak memperbolehkan pemerkosaan dalam pernikahan
(misalnya Thailand pada tahun 2007[42]).

Di Amerika Serikat, mengkriminalkan pemerkosaan dalam pernikahan dimulai pada pertengahan


1970-an, dan North Carolina pada tahun 1993 menjadi negara bagian terakhir yang membuat
pemerkosaan dalam pernikahan menjadi tindakan yang illegal. Di banyak negara, tidak jelas
apakah perkosaan dalam perkawinan dapat dituntut atau tidak dituntut di bawah undang-undang
perkosaan yang umumnya.[43] Dengan tidak adanya undang-undang pemerkosaan dalam
perkawinan, dimungkinkan untuk menuntut tindakan hubungan seksual paksa di dalam
perkawinan dengan menuntut melalui penggunaan tindak pidana lain (seperti tindak pidana
penyerangan), tindakan kekerasan atau ancaman pidana yang digunakan untuk memperoleh
kepatuhan.[44]

Konsen mungkin diperumit oleh hukum, bahasa, konteks, budaya dan orientasi seksual.
 Penelitian telah menunjukkan bahwa pria secara konsisten menganggap aksi wanita lebih
[45]

seksual daripada yang mereka maksudkan. Selain itu, kata 'tidak' untuk seks dapat diartikan
sebagai 'terus mencoba', atau bahkan 'ya' oleh pelaku.[46] Beberapa orang mungkin percaya bahwa
ketika perasan luka tidak terlihat, wanita itu pasti telah menyetujuinya. Jika seorang pria
meminta seks dari pria lain, yang mengejar dianggap macho.[45] Sehingga kata 'tidak' menjadi
sulit untuk diterjemahkan oleh pelaku pemerkosaan.9

9
"Asia-Pacific | Thailand passes marital rape bill". BBC News. 2007-06-21. Diakses tanggal 2014-02-
12.

8. ^ "The Daily Gazette — Google News Archive Search". Diakses tanggal 30 October 2014.

9. ^ "Rape & Sexual Assault | AWARE Singapore". Aware.org.sg. 2011-03-14. Diakses tanggal 2014-02-
12.

10. ^ Lompat ke:a b Kulick, Don (2003). "No". Language & Communication. 23 (2): 139–


151. doi:10.1016/S0271-5309(02)00043-5. ISSN 0271-5309.
2.1.4 Motif

WHO menyatakan bahwa faktor-faktor utama yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual
terhadap perempuan, termasuk pemerkosaan, adalah:[47]

 keyakinan akan kehormatan keluarga dan kemurnian seksual;


 sikap hak seksual laki-laki;
 sanksi hukum yang lemah untuk kekerasan seksual.

Tidak ada satu aspek pun yang menjelaskan motivasi pemerkosaan; motif yang mendasari
pemerkosa bisa beragam. Beberapa faktor telah diusulkan: kemarahan,[48] kekuasaan,
[49]
 penyimpangan sadisme seksual, gratifikasi seksual, atau kecenderungan evolusioner.[50]
[51]
 Namun, beberapa faktor memiliki bukti kausal yang signifikan yang mendukungnya. Psikolog
klinis Amerika David Lisak, penulis bersama di studi tahun 2002 tentang pemerkosa yang tidak
terdeteksi,[52] mengatakan bahwa dibandingkan dengan non-pemerkosa, baik pemerkosa yang
tidak terdeteksi maupun yang dihukum secara mencolok lebih marah pada wanita dan lebih
termotivasi oleh keinginan untuk mendominasi dan mengendalikan mereka, lebih impulsif,
pemalu, antisosial, hipermaskulin, dan kurang empatik.[53]10

10
 WHO (23 November 2012). "Violence against women". who.int. World Health Organization. Diakses tanggal 3
February 2013.

12. ^ Oliva, Janet R. Sexually Motivated Crimes: Understanding the Profile of the Sex Offender and Applying Theory to
Practice. Boca Raton, FL: CRC Press, 2013.Pg 72

13. ^ Oliva, Janet R. Sexually Motivated Crimes: Understanding the Profile of the Sex Offender and Applying Theory to
Practice. Boca Raton, FL: CRC Press, 2013.Pg 72
Agresi seksual sering dianggap sebagai ciri identitas maskulin kejantanan di beberapa kelompok
pria dan secara signifikan berkorelasi dengan keinginan untuk dihargai lebih tinggi di antara
teman sebaya pria.[54] Perilaku agresif seksual di antara laki-laki muda telah berkorelasi dengan
geng atau keanggotaan kelompok serta memiliki rekan-rekan nakal lainnya.[55][56]11

Pemerkosaan berkelompok sering dianggap oleh pelaku laki-laki sebagai metode yang
dibenarkan untuk mengecilkan hati atau menghukum apa yang mereka anggap sebagai perilaku
tidak bermoral di kalangan perempuan, misalnya mengenakan rok pendek atau mengunjungi bar.
Di beberapa daerah di Papua Nugini, perempuan dapat dihukum dengan pemerkosaan massal,
biasanya dengan izin orang yang dituakan.[57][butuh pemutakhiran]

Pemerkosaan berkelompok dan pemerkosaan massal sering digunakan sebagai sarana ikatan laki-


laki. Hal ini terlihat jelas di antara para tentara, karena pemerkosaan beramai-ramai
menyumbang sekitar tiga perempat atau lebih dari pemerkosaan perang, sementara pemerkosaan
beramai-ramai menyumbang kurang dari seperempat perkosaan selama masa damai. Komandan
terkadang mendorong rekrutan untuk memperkosa, karena melakukan pemerkosaan bisa jadi
tabu dan ilegal sehingga dapat membangun loyalitas di antara mereka yang terlibat. Kelompok
pemberontak yang melakukan perekrutan paksa lebih terlibat dalam pemerkosaan jika
dibandingkan dengan perekrutan sukarelawan, karena diyakini bahwa perekrutan merupakan
aspek untuk memulai loyalitas yang lebih rendah kepada kelompok tersebut.[58] Di Papua Nugini,

14. ^ Thornhill, Randy; Palmer, Craig T. (2000). A natural history of rape biological bases of sexual coercion. Cambridge,
Massachusetts: MIT Press. ISBN 978-1-282-09687-5.

15. ^ Pinker, Steven (2003), "Chapter 19: children", dalam Pinker, Steven, The blank slate: the modern denial of human
nature, London: Penguin Group, hlm. 372–399, ISBN 978-1-101-20032-2.

16. ^ Lisak, David; Miller, Paul M. (February 2002). "Repeat rape and multiple offending among undetected rapists". Violence
& Victims. 17 (1): 73–84. doi:10.1891/vivi.17.1.73.33638. PMID 11991158. Pdf. Diarsipkan 2014-10-19 di Wayback
Machine.

17. ^ Lisak, David (March–April 2011). "Understanding the predatory nature of sexual violence". Sexual Assault
Report. 14 (4): 49–64. Diakses tanggal 10 June 2014. Pdf. Diarsipkan 2018-09-18 di Wayback Machine.
11
geng perkotaan seperti geng Raskol sering meminta pemerkosaan terhadap perempuan untuk
alasan perpeloncoaan.[59]

Pelaku perdagangan seks dan perdagangan seks dunia maya menyediakan atau melakukan


pemerkosaan[60][61][62] untuk keuntungan finansial[63] dan atau gratifikasi seksual.[64] Pornografi
pemerkosaan, termasuk pornografi anak, dibuat untuk demi kepentingan profit dan alasan
lainnya.[65] Terdapat kasus pelecehan seksual anak dan video pemerkosaan anak di Pornhub.[66]
[67]12

2.1.5 Efek

Satu metrik yang digunakan oleh WHO untuk menentukan tingkat keparahan global dari
aktivitas seksual paksaan adalah pertanyaan "Apakah Anda pernah dipaksa untuk melakukan
hubungan seksual di luar keinginan Anda?" Mengajukan pertanyaan tersebut menghasilkan
tingkat respons positif yang lebih tinggi daripada yang ditanyakan, apakah mereka pernah
dilecehkan atau diperkosa.[68]

Laporan WHO menjelaskan konsekuensi dari pelecehan seksual:

 Gangguan ginekologi
 Gangguan reproduksi
 Gangguan seksual
 infertilitas
 Penyakit radang pelvis
 Komplikasi kehamilan
 Keguguran
 Disfungsi seksual

12
 "Website selling 'real' rape and child pornography videos shut down after arrest in Netherlands, Justice
Department says". The Washington Post. March 12, 2020.

19. ^ Mohan, Megha (May 8, 2020). "Call for credit card freeze on porn sites". BBC News.

20. ^ "'I was raped at 14, and the video ended up on a porn site'". BBC News. 10 February 2020.
 Menderita penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS
 Kematian karena Cedera
 Peningkatan risiko bunuh diri
 Depresi
 Sakit kronis
 Gangguan psikosomatis
 Aborsi yang tidak aman
 Kehamilan yang tidak diinginkan (lihat Kehamilan dari pemerkosaan)[68]13

2.1 Pemerkosaan Dan Sanksinya Dalam Hukum Pidana Indonesia


Pemerkosaan merupakan suatu tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika
seorang manusia (atau lebih) memaksa manusia lain untuk melakukan hubungan seksual dalam
bentuk penetrasi vagina atau anus dengan penis, anggota tubuh lainnya seperti tangan, atau
dengan benda-benda tertentu secara paksa baik dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.
Organisasi Kesehatan Dunia mengartikan pemerkosaan sebagai penetrasi vagina atau anus
dengan menggunakan penis, anggota-anggota tubuh lain atau suatu benda bahkan jika dangkal
dengan cara pemaksaan baik fisik atau non-fisik. Mahkamah Kejahatan Internasional untuk
Rwanda tahun 1998 merumuskan pemerkosaan sebagai invasi fisik berwatak seksual yang
dilakukan kepada seorang manusia dalam keadaan atau lingkungan yang koersif.14
Pemerkosaan berasal dari kata dasar perkosa yang artinya paksa, gagah, kuat,
perkasa.Memerkosa berarti menundukkan dengan kekerasan, memaksa, melanggar dengan
kekerasan. Sedangkan pemerkosaan diartikan sebagai proses cara perbuatan memerkosa dengan
kekerasan. Dengan demikian dalam kamus Besar Bahasa Indonesia pemerkosaan memiliki
unsur-unsur pria memaksa dengan kekerasan, bersetubuh dengan seorang wanita. 15Pemerkosaan
pada dasarnya adalah bentuk kekerasan primitif yang dapat terjadi pada setiap orang.Gelaja

13
Krug (2002). Rapport mondial sur la violence et la santé . Genève: Organisation mondiale de la santé. ISBN 978-
92-4-154561-7.
14
http://www.wikipedia.com/pemerkosaan/. Terkahir di kunjungi tanggal 25 Januari 2016 jam 17.00 wib.
15
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1990)..
pemerkosaan merupakan salah satu tantangan sosial yang bukan hanya kekerasan seks semata
tetapi selalu merupakan suatu bentuk perilaku yang dipengaruhi oleh sistem kekuasaan
tertentu.16Jadi pemerkosaan menurut yuridis adalah perbuatan memaksa seseorang yang bukan
istrinya untuk bersetubuh dengan dia dengan kekerasan atau ancaman kekerasan.17
Definisi pemerkosaan18 pada sebagian besar negara memiliki pengertian adanya serangan
seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan penisnya untuk melakukan penetrasi vagina
terhadap korban.Penetrasi oleh pelaku tersebut dilakukan dengan melawan keinginan
korban.Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan
pada saat korban tidak dapat memberikan persetujuan baik secara fisik maupun secara
mental.Beberapa Negara menambahkan adanya pemaksaan hubungan seksual secara anal dan
oral ke dalam definisi pemerkosaan, bahkan beberapa negara telah menggunakan bahasa yang
sensitif gender guna memperluas penerapan hukum pemerkosaan. Pemerkosaan merupakan
nama kelompok berbagai jenis perbuatan yang melanggar kesopanan atau kesusilaan juga
termasuk perbuatan persetubuhan di luar perkawinan. 19Pada jaman dahulu pemerkosaan sering
dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Pemerkosaan adalah suatu usaha untuk
melampiaskan nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan
cara yang dinilai melanggar menurut moral dan hukum.20
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 285 menyebutkan bahwa:
barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh
dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan pemerkosaan dengan pidana
penjara paling lama dua belas tahun. Pada pasal ini pemerkosaan didefinisikan bila dilakukan
hanya di luar perkawinan. Selain itu kata bersetubuh memiliki arti bahwa secara hukum
pemerkosaan terjadi pada saat sudah terjadi penetrasi. Pada saat belum terjadi penetrasi maka
peristiwa tersebut tidak dapat dikatakan pemerkosaan akan tetapi masuk dalam kategori
pencabulan.21 Jadi, istilah pemerkosaan memiliki kandungan pengertian yang sama dengan
16
Eko Prasetyo & Supraman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Pemerkosaaan (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offest, 1997).
17
Suryono Ekotama, Abortus Provocatus Bagi Korban Pemerkosaan (Yogyakarta: Universitas Atmajaya,
2001).
18
R Warshaw, I Never Called It Rape (New York: Ms. Foundation for Education and Communication, Inc,
1994).
19
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia (Jakarta: Eresco, 1990).
20
Wignjosoebroto, Kejahatan Pemerkosaan Telaah Teoritik Dari Sudut Tinjau Ilmu-Ilmu Sosial. dalam Eko
Prasetyo & Supraman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Pemerkosaaan.
21
S Soerodibroto, KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Dengan Yurisprudensi (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994).
memaksa, yakni sama-sama bentuk tindakan, hanya hanya bedanya tindakan memaksa belum
tentu berbentuk persetubuhan (memasukan penis secara paksa ke dalam vagina atau dubur),
sedangkan memerkosa sudah pasti berbentuk persetubuhan terlepas dari persetubuhan itu
dilakukan antara orang dewasa atau antara orang dewasa dengan anak. 22 Sedangkan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Pasal 76D menyebutkan
tentang pemerkosaan yakni bahwa setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Berdasarkan unsur-unsurnya makna pemerkosaan dapat diartikan ke dalam tiga bentuk:23
1) Pemerkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa
persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan
kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.
2) Pemerkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang
wanita yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita
yang bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur-unsur yang lebih lengkap, yaitu
meliputi persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita,
dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.
3) Pemerkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria
terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika
wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi tersebut
hampir sama dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.

Sanksi pidana untuk kasus pemerkosaan sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 285
menyebutkan bahwa:
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang
wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan
pemerkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

22
Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2015).
23
G. Widiartana Ekotama, Pudjiarto, Abortus Provocatus Bagi Korban Pemerkosaan Perspektif Victimologi
Kriminologi Dan Hukum Pidana (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001).
Sedangkan sanksi pidana khusus untuk kasus pemerkosaan terhadap anak disebutkan dalam
Pasal 287 ayat (1) yang berbunyi: 24
Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang
diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup
umur 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum
masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun.

Dalam Pasal 290 ayat (3) KUHP menyatakan:


Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun barangsiapa
membujuk seseorang yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa
umurnya belum lima belas tahun atau ternyata belum kawin, untuk melakukan
atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh diluar pernikahan
dengan orang lain.

Selain dalam ketentuan KUHP, sanksi pidana terhadap pemerkosaan terdapat pula di dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 81 menyebutkan:
(1) Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima
miliar rupiah).
(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap
Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Artinya bahwa pemerintah telah memberikan payung hukum agar kejahatan pemerkosaan dapat
diminimalisir dalam masyarakat. Upaya tersebut juga dilakukan dengan memberikan sanksi yang
lebih berat berupa hukuman kebiri yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak di dalam Pasal 81 ayat (7)

24
Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Jakarta: Bumi Aksara, 2003).
yang berbunyi Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat
dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.

2.2 Tujuan Hukuman Menurut Hukum Pidana Di Indonesia


Penjatuhan pidana kepada orang yang dianggap bersalah menurut hukum pidana, secara
garis besar dapat bertolak dari perbuatan terpidana dimasa lalu dan/ atau untuk kepentingan
dimasa yang akan datang. Apabila bertolak dimasa lalu, maka tujuan pemidanaan adalah sebagai
balasan, tetapi berorientasi dimasa yang akan datang, maka tujuan pidana adalah untuk
memperbaiki kelakuan terpidana.25Menurut teori absolut atau teori pembalasan ini, maka yang
menjadi sasaran utama dari teori ini adalah balas dendam. Dengan mempertahankan teori
pembalasan yang pada prinsipnya berpegang pada pidana untuk pidana, hal itu akan
mengesampingkan nilai-nilai kemanusiaan. Artinya teori pembalasan itu tidak memikirkan
bagaimana membina si pelaku kejahatan. Teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas
pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan
terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah
diciptakan pelaku di dunia luar.26
Teori relatif atau teori tujuan, tujuan pemidanaan adalah mencegah kejahatan.27 Teori
relatif atau teori tujuan juga disebut teori utilitarian, lahir sebagai reaksi terhadap teori
absolut. Secara garis besar, tujuan pidana menurut teori relatif bukanlah sekedar pembalasan,
akan tetapi untuk mewujudkan ketertiban di dalam masyarakat. Jadi, tujuan pidana menurut
teori relatif adalah untuk mencegah agar ketertiban di dalam masyarakat tidak terganggu.
Dengan kata lain, pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan bukanlah untuk
membalas kejahatannya, melainkan untuk mempertahankan ketertiban umum.
Teori gabungan mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata
tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. 28
Groritius atau Huge de Groot menyatakan bahwa penderitaan memang sesuatu yang sewajarnya
ditanggung pelaku kejahatan, namun dalam batas apa yang layak ditanggung pelaku tersebut

25
Marcus Priyo Gunarto, “Sikap Memidana Yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan,” Jurnal Mimbar
Hukum Vol.21, no. No. 1 (2009): hlm.108.
26
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan IV. (Jakarta: Rineka Cipta, 2010).
27
Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014)..
28
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan &
Batas Berlakunya Hukum Pidana (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010).
kemanfaatan sosial akan menetapkan berat-ringannya derita yang layak dijatuhkan. Hal ini
bertolak dari adagium yang berbunyi natura ipsa dictat, ut qui malum fecit, malum ferat yang
berarti kodrat mengajarkan bahwa siapa yang berbuat kejahatan, maka akan terkena derita. Akan
tetapi, tidak hanya penderitaan semata sebagai suatu pembalasan tetapi juga ketertiban
masyarakat.29 Teori gabungan dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yakni:
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak boleh
melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapatnya dipertahankannya
tata tertib masyarakat.
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat, tetapi
penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada perbuatan yang
dilakukan terpidana.30

Dengan demikian pada hakikatnya pidana adalah merupakan perlindungan terhadap


masyarakat dan pembalasan terhadap perbuatan melanggar hukum. Di samping itu Roeslan
Saleh juga mengemukakan bahwa pidana mengandung hal-hal lain, yaitu bahwa pidana
diharapkan sebagai sesuatu yang akan membawa kerukunan dan pidana adalah suatu
proses pendidikan untuk menjadikan orang dapat diterima kembali dalam masyarakat.31

2.3 Hukuman Kebiri Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan Anak


dan Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM)
Menurut deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hak asasi manusia merupakan
tujuan (end) sekaligus sarana (means) pembangunan.Turut sertanya masyarakat dalam
pembangunan bukan sekedar aspirasi, melainkan kunci keseluruhan hak asasi atas pembangunan
itu sendiri dan menjadi tugas badan-badan pembangunan internasional maupun nasional untuk
menempatkan hak asasi manusia sebagai salah satu fokus utama pembangunan.Namun demikian
fenomena hak asasi manusia harus dicermati secara arif, sebab dalam masyarakat individualisme,
ada kecendrungan menuntut pelaksanaan hak asasi manusia secara berlebihan. Padahal hak asasi
29
Jan Remmelink, Hukum Pidana Komentar Atas Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2003).
30
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan &
Batas Berlakunya Hukum Pidana.
31
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Kebijakan Pidana (Bandung: Alumni, 1984).
manusia tidak dapat di tuntut pelaksanaannya secara mutlak, sebab penuntutan secara mutlak
berarti melanggar hak asasi yang sama yang juga dimiliki oleh orang lain.32
Hak asasi manusia adalah hak-hak dasar yang melekat pada setiap dan semua manusia
untuk diperlakukan sesuai dengan kodrat kemanusiaannya yang jika hak-hak tersebut tidak
dilaksanakan dengan seluruhnya, eksistensi manusia menjadi tidak utuh. Artinya hak asasi
manusia sebagaimana dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat
manusia.33Hak-hak dasar tersebut didasarkan pada kesetaraan dalam segala bentuk perlakuan di
hadapan hukum tanpa memandang disriminasi, ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
atau pandangan politik dan lainnya.34
Dalam mukaddimah pernyataan umum hak-hak asasi manusia di PBB mengenai hak
asasi manusia dijelaskan sebagai berikut:
Recognition of the inherent dignity and the egual and inalienable right of all
member of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in
the world. (Pengakuan atas keluhuran martabat alami manusia dan hak-hak
yang sama dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain dari semua anggota
keluarga kemanusiaan adalah dasar kemerdekaan dan kedamaian di dunia).35

Dengan demikian jelaslah bahwa hak asasi manusia bersifat universal, berlaku umum untuk
semua umat manusia tanpa memandang strata dan tingkat sosial, status ekonomi, perbedaan
agama, gender dan lain-lainnya.
Perlindungan terhadap hak asasi manusia merupakan kewajiban etis yang mendorong
manusia kearah satu tujuan, yaitu humanisasi yang berdasarkan eksistensi manusia sebagai
individu dalam kelompok masyarakat. Selain itu keberadaan manusia merupakan makhluk mulia
yang diciptakan oleh Tuhan yang harus dihormati, dijunjung tinggi, dan di lindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
32
Satjipto Rahardjo, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakatnya (Bandung: Refika Aditama, 2005).
33
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
34
Ishaq Ahmed, Konstitusionalisme, HAM Dan Reformasi Islam Dalam Rekonstruksi Shari’ah II, Kritik,
Konsep, Penjelajahan Lain (Yogyakarta: LKIS, 1996).
35
Delizar Putra, Konsepsi Al Qur’an Tentang Hak-Hak Asasi Manusia (Jakarta: Al Husna, 1987).
manusia. Walaupun pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia bersifat absolut, tetapi
dalam keadaan tertentu terdapat juga pengecualian.Contohnya adalah pemberlakuan hukuman
mati yang berarti mencabut hak asasi manusia bagi seseorang. Melalui Putusan nomor 2-3/PPU-
V/2007, Mahkamah Konstitusi berpendirian bahwa hak hidup tidak bersifat mutlak dan bahwa
pemberlakuan hukuman mati dalam Undang-Undang Narkotika Nomor 27 Tahun 1997 adalah
sah sepanjang ancaman pidana mati tersebut tidak melanggar Udang-Undang Dasar 1945.36
Hak asasi manusia dalam negara Indonesia dapat dilihat dari Ideologi
Pancasila.Pancasaila sebaagai ideologi negara Republik Indonesia berbeda dengan ideologi
Liberalisme Kapitalis yang berpaham individualistis, juga berbeda dengan ideologi sosialis
komunis yang berpaham kolektivitas komunal.Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak
individu maupun hak-hak warga masyarakat, baik di bidang ekonomi maupun politik.
Kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara dilihat dari segi struktur tata hukum Indonesia,
menempati derajat tertinggi secara hierarki yaitu norma fundamental negara
(staatfundamentalnorm) ditemukan dalam Mukadimah Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, norma dibawahnya adalah staatgrundgezetz yaitu
batang tubuh Undang-Undang Dasar Negara yang juga biasa disebut sebagai grondrecht.37
Berbagai macam pelanggaran terhadap hak-hak anak masih sering terjadi, tercermin dari
masih adanya anak-anak mengalami abuse, kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.Diantara
pelanggaran hak asasi anak berkaitan dengan pemerkosaan terhadap anak. Telah menjadi
kesepakatan berbagai bangsa, persoalan anak ditata dalam suatu wadah Unicef (United Nations
Children’s Fund). Bagi Indonesia, anak dikelompokkan sebagai kelompok yang rentan. Dalam
penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 disebutkan bahwa yang
termasuk kelompok rentan adalah orang lansia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan
penyandang cacat.38
Masalah kekerasan seksual terutama pemerkosaan di Indonesia, khususnya terhadap
anak perlu mendapat perhatian lebih intensif dan serius lagi. Hal ini sesuai dengan amanat
Undang-Undang Dasar1945 Pasal 28, beserta perubahannya Pasal 28G ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
36
Ridwan Syah Beruh, Membumikan Hukum Tuhan : Perlindungan Ham Perspektif Hukum Pidana Islam
(Bekasi: Pustaka Ilmu, 2015).
37
Nurul Qamar, Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi (Human Right in Democration
Rechtsstaat) (Jakarta: Sinar Grafika, 2014).
38
Ibid.
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta
berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Pasal 28 H ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara RI Tahun 194539 menentukan bahwa “ Setiap orang berhak mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
Selain termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak, memuat juga perlindungan terhadap hak-hak anak yang merupakan
hak asasi manusia. Undang-Undang perlindungan Anak tersebut juga menegaskan bahwa
pertanggungjawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara merupakan rangkaian
kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak.40
Untuk melindungi hak asasi anak dari korban pemerkosaan, pemerintah Indonesia
melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak pada Pasal 81 ayat (7) telah mencantumkan hukuman kebiri yang berbunyi
“Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai
tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik”. Artinya bahwa
Indonesia telah melegalkan hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual.
Kebiri sebagai salah satu bentuk hukuman (punishment) atau tindakan/perawatan
(treatment) belakangan ini menjadi salah satu gejala di beberapa negara termasuk negara-
negara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Berdasarkan World Rape Statistic atau statistik dunia
tentang pemerkosaan di berbagai Negara di dunia, saat ini ada 20 negara yang memberlakukan
hukuman kebiri yakni 9 negara-negara Eropa dan 9 negara-negara bagian Amerika, satu negara
Amerika Latin dan satu negara di Asia Tenggara. Kesembilan Negara Eropa tersebut adalah
Inggris, Polandia, Rusia, Jerman, Republik Ceko, Denmark, Swedia dan Spanyol.
Sedangkan Sembilan Negara bagian Amerika adalah California, Florida, Georgia, Iowa,
Lousiana, Montana, Oregon, Texas dan Wisconsin. Satu Negara Amerika Latin yang
memberlakukan hukuman kebiri adalah Agentina dan satu Negara di Asia Tenggara adalah
Korea Selatan.41
39
Lihat Undang-Undang Dasar 1945 serta perubahannya.
40
Satjipto Rahardjo, Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakatnya.
41
Supriyadi Widodo Eddyono dkk, Menguji Euforia Kebiri Catatan Kritis Atas Rencana Kebijakan Kebiri
(Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak Di Indonesia (Jakarta: Institute for Criminal Justice
Beberapa negara Uni Eropa telah memasukan pasal kebiri dalam hukum pidana
yang diberikan dalam bentuk suntikan kimiawi (chemical castration) kepada pelaku
kejahatan seksual. Norwegia adalah satu-satunya negara Uni Eropa yang secara terang-
terangan menyatakan di dalam hukum pidananya pada tahun 2010 bahwa kebiri
merupakan salah satu hukuman bagi pelaku kejahatan seksual. 42Polandia hanya
menerapkan chemichal castration sebagai bagian dari treatment untuk paedofilia. Australia juga
sudah memasukkan dalam hukum pidana untuk pelaku kejahatan seksual anak dan pelaku
pemerkosaan. Rusia yang sudah menerima chemical castration dalam hukum pidana
mereka untuk pelaku kejahatan seksual anak dimana korbannya berusia di 12 tahun atau
kurang dari 12 tahun. Sementara itu Turki sedang mempertimbangkan untuk memasukkan
suntikan kebiri kepada pelaku pemerkosaan.India dan Taiwan memberikan suntikan kebiri ini
khusus pada pedofilia dan residivis pelaku kejahatan seksual anak.43
Pemberian pemberatan hukuman pada pelaku kejahatan seksual anak dengan
dengan mengebirinya melalui suntikan carian kimiawi, menunjukkan cara berfikir balas
dendam yang merupakan pendekatan hukuman yang sudah lama ditinggalkan. Pendekatan
ini pun dinilai merupakan pendekatan hukuman yang dilakukan oleh masyarakat primitif
dan terkesan barbarisme. Penghukuman pemberatan hampir tidak memiliki korelasi dengan
berkurangnya kejahatan seksual pada anak. Di banyak Negara, hukuman balas dendam
kepada pelaku kejahatan sudah tidak popular lagi, bahkan menimbulkan banyak protes dari
masyarakat dan berbagai organisasi hak asasi manusia. Secara akademik hukuman ini juga tidak
memberikan efek pemulihan pada korban. Seorang ahli kriminal anak Jocelyn B.
Lammdari Yale University, mengatakan bahwa krimimalisasi tidak memberikan efek jera
sama sekali kepada pelaku tindak pidana ini, karena itu diperlukan pola-pola penuntutan
yang dapat memberikan rasa terlindungi dan rasa pemuliaan yang dihadiahkan kepada korban
kejahatan ini.44
Hukuman kebiri yang dijatuhkan terhadap pelaku pemerkosaan terhadap anak, apabila
dikaitan dengan hak asasi manusia (HAM) maka hukuman kebiri melanggar dua prinsip yang

Reform ECPAT Indonesia, 2016).


42
Zachary Edmods Oswald, “‘Off With His....’ Analyzing the Sex Disparity in Chemical Castration
Sentences”,” Michigan Journal of Gender and Law Vol. 19, no. 471 (n.d.): Hlm. 484.
43
Ibid.
44
Ahmad Sofian Kebiri’ Versus Restitusi/Kompensas, Http://BusinessLaw.Binus.Ac.Id/2015/10/27/Kebiri-
Versus-Restitusikompensasi/. Terakhir diakses tanggal 20 Agustus 2016 jam 15.00 Wib.
menjadi amanat reformasi, yaitu prinsip HAM dan demokrasi.45 Secara substansi, hukuman
kebiri akan berdampak pada hilangnya hak seseorang untuk melanjutkan keturunan dan
terpenuhi kebutuhan dasarnya yang dijamin dalam UUD 1945. Hal tersebut tentu saja
bertentangan dengan hak-hak asasi manusia sebagaimana yang terdapat di dalam Undang-
undang Dasar maupun Undang-Undang Hak Asasi Manusia (HAM).Selain itu, sampai saat ini
tidak ada kajian yang menunjukkan bahwa sanksi kebiri mampu secara efektif menekan tindakan
kekerasan seksual.Kekerasan seksual adalah hal kompleks yang tidak bisa serta merta hilang
dengan mengebiri pelaku. Disamping itu, apabila hukuman kebiri diterapkan maka akan terjadi
pertentangan dengan asas-asas yang berlaku dalam pemidanaan bagi pelaku, bertentangan juga
dengan jenis-jenis pidana yang dianut oleh KUHP, karena KUHP hanya mengenal pidana pokok
dan pidana tambahan dan di dalam dua jenis pidana tersebut tidak ada satu pun yang
menyantumkan pidana kebiri yang merupakan jenis corporal punishment atau penghukuman
terhadap badan. Mengebiri pelaku bukan jalan keluar yang adil bagi korban dan juga tidak
ada hubungan ang signifikan antara kebiri dan berkurangnya kejahatan seksual anak, tidak ada
efek yang ilmiah, korban akan pulih dengan diberikannya hukuman tambahan kebiri
kepada pelaku.

45
Fajri Nursyamsi, dalam http://www.beritasatu.com/hukum/365041-pshk-perppu-kebiri-melanggar-hak-
asasi-manusia.html. terakhir diakses tanggal 28 Agustus 2016 jam 13.15 wib.
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Tujuan diadakannya hukuman adalah untuk memperbaiki kerusakan yang bersifat
individual dan sosial (individual and social damage) yang diakibatkan oleh tindak
pidana.Hukum pidana tidak boleh hanya berorientasi pada perbuatan manusia saja
(daadstrafrecht), karena menjadi tidak manusiawi dan mengutamakan pembalasan.Hukuman
kebiri yang diterapkan bagi pelaku tindak pidana pemerkosaan terhadap anak harusnya menjadi
sebuah hukuman yang menimbulkan efek jera bagi pelaku.Namun apabila ditinjau dari tujuan
pemidanaan, hukuman kebiri belum mencerminkan rasa keadilan disebabkan hukuman kebiri
tidak selaras dengan prinsip-prinsip hak yang mengakomodir hak-hak keberlangsungan
keturunan bagi pelaku tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan &
Batas Berlakunya Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Cetakan IV. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Annisa. “Analisis Viktimisasi Struktural Terhadap Tiga Korban Perdagangan Perempuan.” Jurnal
Kriminologi Indonesia Vol. 7, no. No.III (2011): Hlm.307-319.
Delizar Putra. Konsepsi Al Qur’an Tentang Hak-Hak Asasi Manusia. Jakarta: Al Husna, 1987.
Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014.
Eko Prasetyo & Supraman Marzuki.Perempuan Dalam Wacana Pemerkosaaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar Offest, 1997.
Ekotama, Pudjiarto, G. Widiartana. Abortus Provocatus Bagi Korban Pemerkosaan Perspektif
Victimologi Kriminologi Dan Hukum Pidana. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2001.
Haryanto.Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Pemerkosaan Terhadap Wanita. Yogyakarta: Pusat
Studi Wanita Universitas Gadjah Mada, 1997.
Ishaq Ahmed. Konstitusionalisme, HAM Dan Reformasi Islam Dalam Rekonstruksi Shari’ah II, Kritik,
Konsep, Penjelajahan Lain. Yogyakarta: LKIS, 1996.
Ismantoro Dwi Yuwono. Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Anak.
Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2015.
Jan Remmelink. Hukum Pidana Komentar Atas Pasal Terpenting Dari Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Marcus Priyo Gunarto. “Sikap Memidana Yang Berorientasi Pada Tujuan Pemidanaan.”Jurnal Mimbar
Hukum Vol.21, no. No. 1 (2009): hlm.108.
Moeljatno.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara, 2003.
Muladi dan Barda Nawawi Arief.Teori-Teori Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1984.
Nurul Qamar. Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum Demokrasi (Human Right in Democration
Rechtsstaat). Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Ridwan Syah Beruh. Membumikan Hukum Tuhan : Perlindungan Ham Perspektif Hukum Pidana Islam.
Bekasi: Pustaka Ilmu, 2015.
Satjipto Rahardjo. Hak Asasi Manusia Dalam Masyarakatnya. Bandung: Refika Aditama, 2005.
Soerodibroto, S. KUHP Dan KUHAP Dilengkapi Dengan Yurisprudensi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1994.
Supriyadi Widodo Eddyono dkk.Menguji Euforia Kebiri Catatan Kritis Atas Rencana Kebijakan Kebiri
(Chemical Castration) Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Anak Di Indonesia. Jakarta: Institute for
Criminal Justice Reform ECPAT Indonesia, 2016.
Suryono Ekotama. Abortus Provocatus Bagi Korban Pemerkosaan. Yogyakarta: Universitas Atmajaya,
2001.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Warshaw, R. I Never Called It Rape. New York: Ms. Foundation for Education and Communication, Inc,
1994.
Wignjosoebroto, S. Kejahatan Pemerkosaan Telaah Teoritik Dari Sudut Tinjau Ilmu-Ilmu Sosial.
Yogyakarta: Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia, 1997.
Wirjono Prodjodikoro. Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia. Jakarta: Eresco, 1990.
Zachary Edmods Oswald. “‘Off With His....’ Analyzing the Sex Disparity in Chemical Castration
Sentences”.”Michigan Journal of Gender and Law Vol. 19, no. 471 (n.d.): Hlm. 484.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
Internet
http://www.wikipedia.com/pemerkosaan/. Terkahir di kunjungi tanggal 25 Januari 2016 jam 17.00 wib.
http://daerah.sindonews.com/read/1038479/174/gadis-sedang-haid-diperkosa-2-pemuda-pasar-rumbai-
1440855963. (Terakhir kali dikunjungi pada 8 September 2015, jam 10.15 wib)
http://daerah.sindonews.com/read/1036380/174/ayah-anak-3-perkosa-gadis-keterbelakangan-mental-
1440394121(TerakhirkalidikunjungipadaSenin,24Agustus2015,12:28wib)
www.harianterbit.com/m/megapol/read/2015/08/04/37120/29/18/sederet-kasus-pemerkosaan-
terhadap-anak. (Terakhir kali dikunjungi pada Rabu, 30 September 2015, 20:20 wib)
www.goriau.com/berita/hukrim/bejat-apak-rutiang-ini-dipergoki-warga-saat-sedang-asyik-tiduri-
anaknya-yang-masih-berusia-8-tahun.html (Terakhir dikunjngi pada Senin 12 Oktober
2015,13.32 wib)
https://id.m.wikipedia.org/wiki/kejahatan_seksual_terhadap_anak_di_Indonesia.Diakses 12 Agustus
2015.jam 15.15.am.
MZaidWahyudi.Sumber:Kompas,19Mei2014,http://rumahpengetahuan.web.id/suntik-kebirimematikan-
dorongan-seksual/

Anda mungkin juga menyukai