Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

KASUS KEKERASAN PADA PEREMPUAN

”PEMERKOSAAN”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Maternitas II

Dosen Pengampu : Ns. Rany Muliany Sudirman, S.Kep.,M.Kep

Disusun Oleh :

FICKA KHOTIMAH

CKR0180091

KEPERAWATAN REGULER C

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN


Jl. Lingkar Kadugede No.2Kuningan Jawa Barat Indonesia (0232) 875 847 fax:(0232) 875 123

Website : Stikku.ac.id email : info@stikeskuningan.ac.id

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kehadirat-Nya yang
telah dilimpahkan keapada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini untuk
memenuhi tugas Keperawatan Maternitas II tentang “Kasus Kekerasan pada Perempuan
(Pemerkosaan)”

Dalam proses penyusunan makalah ini tentunya kami mengalami berbagai masalah.
Namun berkat arahan dan dukungan dari beberapa pihak akhirnya makalah ini dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.

Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata perkuliahan,
yaitu Ns. Rany Muliany Sudirman, S.Kep.,M.Kep yang membimbing kami dalam proses
penyusunan makalah ini.

Kami sebagai penyusun menyadari makalah ini masih belum sempurna, baik dari isi
maupun penjelasan dari makalah ini, maka dari itu kami meminta maaf jika makalah kami masih
banyak kekurangannya apabila ada kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah ini kami mengucapkan terima kasih.

Kuningan, 28 Juni 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Perkosaan....................................................................................................3
2.2 Macam-macam Pemerkosaan...................................................................................4
2.3 Faktor-faktor terjadinya Pemerkosaan......................................................................5
2.4 Dampak Sosial Pemerkosaan....................................................................................7
2.5 Dampak Psikologis Pemerkosaan.............................................................................8
2.6 Cara Mengatasi dan Mengurangi Pemerkosaan........................................................8
2.7 Alternatif Penyembuhan Pemerkosaan.....................................................................9
2.8 Upaya Penanggulangan Pemerkosaan......................................................................11
2.9 Hukum Mengenai Pemerkosaan...............................................................................
2.10 Jurnal Kasus Pemerkosaan......................................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................14
3.2 Saran.........................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selama beberapa tahun terakhir ini bangsa Indonesia banyak menghadapi masalah
kekerasan, baik yang bersifat masal maupun yang dilakukan secara individual. Masyarakat
mulai merasa resah dengan adanya berbagai kerusuhan yang terjadi dibeberapa daerah di
Indonesia. Kondisi seperti ini membuat perempuan dan anak-anak menjadi lebih rentan untuk
menjadi korban kekerasan. Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan
secara fisik, akan tetapi dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis,
kekerasan ekonomi, dan juga kekerasan seksual. Hal ini sesuai dengan pendapat Hayati (2000)
yang mengatakan bahwa kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal
maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap seseorang
atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik, emosional, dan
psikologis terhadap orang yang menjadi sasarannya.

Kasus perkosaan yang marak terjadi di Indonesia , menunjukkan bahwa pelaku tidak hanya
menyangkut pelanggaran hukum namun terkait pula dengan akibat yang akan dialami oleh
korban dan timbulnya rasa takut masyarakat secara luas. Akibat dari ini di Indonesia secara
normatif tidak mendapatkan perhatian selayaknya, hal ini disebabkan oleh karena hukum pidana
(KUHP) masih menempatkan kasus perkosaan ini sama dengan kejahatan konvensional lainnya,
yaitu berakhir sampai dengan dihukumnya pelaku. Kondisi ini terjadi oleh karena KUHP masih
mewarisi nilai-nilai pembalasan dalam KUHP.

Dari sudut pandang ini maka menghukum pelaku menjadi tujuan utama dalam proses
peradilan pidana, oleh karena itu semua komponen dalam proses peradilan pidanamengarahkan
perhatian dan segala kemampuannya untuk menghukum si pelaku dengan harapan bahwa
dengan dihukumnya pelaku dapat mencegah terulangnya tindak pidana tersebut dan mencegah
pelaku lain untuk tidak melakukan perbuatan yang sama ini dan masyarakat merasa tentram
karena dilindungi oleh hukum, seperti yang ada dalam KUHP pada pasal 285 yaitu “Barang
siapa yang dengan kekerasan atau dengan ancaman memaksa perempuan yang bukan istrinya
bersetubuh dengan dia, karena perkosaan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua
belas tahun”

Adapun yang dimaksud dengan tindakan perkosaan adalah tindakan yang melanggar hukum.
Tindakan perkosaan tersebut telah merugikan orang lain yaitu orang yang telah diperkosa
tersebut. Seperti yang sudah ada dalam KUHP Ancaman hukuman dalam pasal 285 ini ialah pria
yang memaksa wanita, dimana wanita tersebut bukan istrinya dan pria tersebut telah bersetubuh
dengan dia dengan ancaman atau perkosaan.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas apa yang dimaksud dengan tindak pidana perkosaan. Maka
masyarakat harus bisa berhati-hati dan lebih waspada terhadap tindak pidana perkosaan dan
kasus pemerkosaan menjadi masalah yang harus segera dibenahi di Indonesia agar tidak
merusak citra dan moral bangsa Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
a) Apa definisi perkosaan?
b) Apa saja macam-macam pemerkosaan?
c) Apa saja faktor-faktor terjadinya pemerosaan?
d) Bagaimana dampak sosial pemerkosaan?
e) Bagaimana dampak psikologis pemerkosaan?
f) Bagaimana cara mengatasi dan mengurangi pemerkosaan?
g) Bagaimana alternatif penyembuhan pemerkosaan?
h) Bagaimana upaya penanggulangan pemerkosaan
i) Bagaimana hukum mengenai pemerkosaan?
j) Bagaimana jurnal mengenai kasus pemerkosaan?

1.3 Tujuan Penulisan


a) Untuk mengetahuidefinisi perkosaan.
b) Untuk mengetahui macam-macam pemerkosaan.
c) Untuk mengetahui faktor-faktor terjadinya pemerosaan.
d) Untuk mengetahui dampak sosial pemerkosaan.
e) Untuk mengetahui dampak psikologis pemerkosaan.
f) Untuk mengetahui cara mengatasi dan mengurangi pemerkosaan.
g) Untuk mengetahui alternatif penyembuhan pemerkosaan.
h) Untuk mengetahui upaya penanggulangan pemerkosaan.
i) Untuk mengetahui hukum mengenai pemerkosaan.
j) Untuk mengetahui jurnal kasus pemerkosaan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Perkosaan

Perkosaan (rape) berasal dari bahasa latin rapere yang berarti mencuri, memaksa,
merampas, atau membawa pergi (Haryanto, 1997). Pada jaman dahulu perkosaan sering
dilakukan untuk memperoleh seorang istri. Perkosaan adalah suatu usaha untuk melampiaskan
nafsu seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap perempuan dengan cara yang
dinilai melanggar menurut moral dan hukum (Wignjosoebroto dalam Prasetyo, 1997). Pendapat
ini senada dengan definisi perkosaan menurut Rifka Annisa Women‟s Crisis Center, bahwa
yang disebut dengan perkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual.

Bentuk perkosaan tidak selalu persetubuhan, akan tetapi segala bentuk serangan atau
pemaksaan yang melibatkan alat kelamin. Oral seks, anal seks (sodomi), perusakan alat kelamin
perempuan dengan benda adalah juga perkosaan. Perkosaan juga dapat terjadi dalam sebuah
pernikahan (Idrus, 1999). Menurut Warshaw (1994) definisi perkosaan pada sebagian besar
negara memiliki pengertian adanya serangan seksual dari pihak laki-laki dengan menggunakan
penisnya untuk melakukan penetrasi vagina terhadap korban. Penetrasi oleh pelaku tersebut
dilakukan dengan melawan keinginan korban. Tindakan tersebut dilakukan dengan adanya
pemaksaan ataupun menunjukkan kekuasaan pada saat korban tidak dapat memberikan
persetujuan baik secara fisik maupun secara mental. Beberapa negara menambahkan adanya
pemaksaan hubungan seksual secara anal dan oral ke dalam definisi perkosaan, bahkan beberapa
negara telah menggunakan bahasa yang sensitif gender guna memperluas penerapan hukum
perkosaan. Di dalam Pasal 285 KUHP disebutkan bahwa: “barangsiapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan,
diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.

Berdasarkan unsur-unsur yang terkandung dalam definisi perkosaan Black‟s Law


Dictionary (dalam Ekotama, Pudjiarto, dan Widiartana 2001), makna perkosaan dapat diartikan
ke dalam tiga bentuk:

1. Perkosaan adalah suatu hubungan yang dilarang dengan seorang wanita tanpa
persetujuannya. Berdasarkan kalimat ini ada unsur yang dominan, yaitu: hubungan
kelamin yang dilarang dengan seorang wanita dan tanpa persetujuan wanita tersebut.
2. Perkosaan adalah persetubuhan yang tidak sah oleh seorang pria terhadap seorang wanita
yang dilakukan dengan paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita yang
bersangkutan. Pada kalimat ini terdapat unsur- unsur yang lebih lengkap, yaitu meliputi
persetubuhan yang tidak sah, seorang pria, terhadap seorang wanita, dilakukan dengan
paksaan dan bertentangan dengan kehendak wanita tersebut.
3. Perkosaan adalah perbuatan hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria
terhadap seorang wanita bukan istrinya dan tanpa persetujuannya, dilakukan ketika
wanita tersebut ketakutan atau di bawah kondisi ancaman lainnya. Definisi hampir sama
dengan yang tertera pada KUHP pasal 285.
Pada kasus perkosaan seringkali disebutkan bahwa korban perkosaan adalah perempuan.
Secara umum memang perempuan yang banyak menjadi korban perkosaan. Mereka dapat
dipaksa untuk melakukan hubungan seksual meskipun tidak menghendaki hal tersebut.

Apabila mengacu pada KUHP, maka laki- laki tidak dapat menjadi korban perkosaan karena
pada saat laki-laki dapat melakukan hubungan seksual berarti ia dapat merasakan rangsangan
yang diterima oleh tub uhnya dan direspon oleh alat kelaminnya (Koesnadi, 1992). Akan tetapi
pada kenyataannya ada pula laki- laki yang menjadi korban perkosaan baik secara oral maupun
anal.

2.2 Macam-macam pemerkosaan

a. Pemerkosaan saat berkencan

Pemerkosaan saat berkencan adalah hubungan seksual secara paksa tanpa persetujuan antara
orang-orang yang sudah kenal satu sama lain, misalnya teman, anggota keluarga, atau pacar.
Kebanyakan pemerkosaan dilakukan oleh orang yang mengenal korban.

b. Pemerkosaan dengan obat

Banyak obat-obatan digunakan oleh pemerkosa untuk membuat korbannya tidak sadar atau
kehilangan ingatan.

c. Pemerkosaan wanita

Walaupun jumlah tepat korban pemerkosaan wanita tidak diketahui, diperkirakan 1 dari 6
wanita di AS adalah korban serangan seksual. Banyak wanita yang takut dipermalukan atau
disalahkan, sehingga tidak melaporkan pemerkosaan. Pemerkosaan terjadi karena si pelaku tidak
bisa menahan hasrat seksualnya melihat tubuh wanita

d. Pemerkosaan massal

Pemerkosaan massal terjadi bila sekelompok orang menyerang satu korban. Antara 10% sampai
20% pemerkosaan melibatkan lebih dari 1 penyerang. Di beberapa negara, pemerkosaan massal
diganjar lebih berat daripada pemerkosaan oleh satu orang.

e. Pemerkosaan terhadap laki-laki

Diperkirakan 1 dari 33 laki-laki adalah korban pelecehan seksual. Di banyak negara, hal ini
tidak diakui sebagai suatu kemungkinan. Misalnya, di Thailand hanya laki-laki yang dapat
dituduh memperkosa.

f. Pemerkosaan anak-anak

Jenis pemerkosaan ini adalah dianggap hubungan sumbang bila dilakukan oleh kerabat dekat,
misalnya orangtua, paman, bibi, kakek, atau nenek. Diperkirakan 40 juta orang dewasa di AS, di
antaranya 15 juta laki-laki, adalah korban pelecehan seksual saat masih anak-anak.
g. Pemerkosaan dalam perang

Dalam perang, pemerkosaan sering digunakan untuk mempermalukan musuh dan menurunkan
semangat juang mereka. Pemerkosaan dalam perang biasanya dilakukan secara sistematis, dan
pemimpin militer biasanya menyuruh tentaranya untuk memperkosa orang sipil.

h. Pemerkosaan oleh suami/istri

Pemerkosaan ini dilakukan dalam pasangan yang menikah. Di banyak negara hal ini dianggap
tidak mungkin terjadi karena dua orang yang menikah dapat berhubungan seks kapan saja.
Dalam kenyataannya banyak suami yang memaksa istrinya untuk berhubungan seks. Dalam
hukum islam, seorang istri dilarang menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual, karena
hal ini telah diterangkan di hadits nabi shalallahu „alaihi wasallam. Akan tetapi suami dilarang
berhubungan seksual dengan istri lewat dubur dan ketika istri sedang haids.

2.3 Faktor-faktor terjadinya pemerkosaan

Berikut faktor-faktor terjadinya permasalahan pemerkosaan adalah sebagai berikut :

1. Faktor intern yaitu:


a. Keluarga
b. Ekonomi keluarga
c. Tingkat pendidikan
d. Agama/moral

2. Faktor ekstern,meliputi :
a. Lingkungan sosial
b. Perkembangan ipteks
c. Kesempatan

2.4 Dampak Sosial

Korban perkosaan dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun
secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain:

1. kerusakan organ tubuh seperti robeknya selaput dara, pingsan, meninggal;


2. korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS);
3. kehamilan tidak dikehendaki.

Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik
secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang
menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya
berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan
yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan
gangguan pada perilaku seksual (Koesnadi, 1992). Sementara itu, korban perkosaan berpotensi
untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan
suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat
perkosaan maupun sesudahnya.Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik
(Taslim, 1995). Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek
maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang
mengalami peristiwa traumatis (Hayati, 2000). Korban perkosaan dapat menjadi murung,
menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya

2.5 Dampak Psikologis

Upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka
sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk,
korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada
pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan
disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban
perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan
merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri.

Korban perkosaan memiliki kemungkinan mengalami stres paska perkosaan yang dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu stres yang langsung terjadi dan stres jangka panjang. Stres yang
langsung terjadi merupakan reaksi paska perkosaan seperti kesakitan secara fisik, rasa bersalah,
takut, cemas, malu, marah, dan tidak berdaya. Stres jangka panjang merupakan gejala psikologis
tertentu yang dirasakan korban sebagai suatu trauma yang menyebabkan korban memiliki rasa
percaya diri, konsep diri yang negatif, menutup diri dari pergaulan, dan juga reaksi somatik
seperti jantung berdebar dan keringat berlebihan. Stres jangka panjang yang berlangsung lebih
dari 30 hari juga dikenal dengan istilah PTSD atau Post Traumatic Stress Disorder (Rifka
Annisa dalam Prasetyo, 1997).

Menurut Salev (dalam Nutt, 2001) tingkat simptom PTSD pada masing-masing individu
terkadang naik turun atau labil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus
menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang
dialaminya Menurut Shalev (dalam Nutt, 2000) PTSD merupakan suatu gangguan kecemasan
yang didefinisikan berdasarkan tiga kelompok simptom, yaitu experiencing, avoidance, dan
hyperarousal, yang terjadi minimal selama satu bulan pada korban yang mengalami kejadian
traumatik. Diagnosis bagi PTSD merupakan faktor yang khusus yaitu melibatkan peristiwa
traumatis. Diagnosis PTSD melibatkan observasi tentang simptom yang sedang terjadi dan
atribut dari simptom yang merupakan peristiwa khusus ataupun rangkaian peristiwa. Selanjutnya
definisi PTSD ini berkembang lebih dari hanya sekedar teringat kepada peristiwa traumatis
yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi juga disertai dengan ketegangan secara
terus-menerus, tidak dapat tidur atau istirahat, dan mudah marah. PTSD yang dialami oleh tiap
individu terkadang tidak stabil. Hal ini disebabkan karena adanya tekanan kehidupan yang terus
menerus dan adanya hal-hal yang mengingatkan korban kepada peristiwa traumatis yang
dialaminya. Para korban perkosaan ini mungkin akan mengalami trauma yang parah karena
peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang mengejutkan bagi korban. Secara umum
peristiwa tersebut bisa menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya
merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis (Hayati,
2000). Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diambil kesilmpulan bahwa PTSD adalah
gangguan kecemasan yang dialami oleh korban selama lebih dari 30 hari akibat peristiwa
traumatis yang dialaminya.

Dampak jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari setelah kejadian.
Dampak jangka pendek ini termasuk segi fisik si korban, seperti misalnya ada gangguan pada
organ reproduksi (infeksi, kerusakan selaput dara, dan pendarahan akibat robeknya dinding
vagina) dan luka-luka pada bagian tubuh akibat perlawanan atau penganiayaan fisik. Dari segi
psikologis biasanya korban merasa sangat marah, jengkel, merasa bersalah, malu, dan terhina.
Gangguan emosi ini biasanya menyebabkan terjadinya kesulitan tidur (insomnia), kehilangan
nafsu makan, depresi, stres, dan ketakutan. Bila dampak ini berkepanjangan hingga lebih dari
30 hari dan diikuti dengan berbagai gejala yang akut seperti mengalami mimpi buruk, ingatan-
ingatan terhadap peristiwa tiba-tiba muncul, berarti korban mengalami Post Traumatic Stress
Disorder (PTSD) atau dalam bahasa Indonesianya dikenal sebagai stres paska trauma (Hayati,
2000). Bukan tidak mungkin korban merasa ingin bunuh diri sebagai pelarian dari masalah yang
dihadapinya. Menurut Freud (dalam Suryabrata, 1995), hal ini terjadi karena manusia memiliki
insting insting mati. Selain itu kecemasan yang dirasakan oleh korban merupakan kecemasan
yang neurotis sebagai akibat dari rasa bersalah karena melakukan perbuatan seksual yang tidak
sesuai dengan norma masyarakat.

Terkadang korban merasa bahwa hidup mereka sudah berakhir dengan adanya peristiwa
perkosaan yang dialami tersebut. Dalam kondisi seperti ini perasaan korban sangat labil dan
merasakan kesedihan yang berlarut-larut. Mereka akan merasa bahwa nasib yang mereka alami
sangat buruk. Selain itu ada kemungkinan bahwa mereka menyalahkan diri mereka sendiri atas
terjadinya perkosaan yang mereka alami. Pada kasus-kasus seperti ini maka gangguan yang
mungkin terjadi atau dialami oleh korban akan semakin kompleks.

Tanda-tanda PTSD tersebut hampir sama dengan tanda dan simptom yang ada pada depresi
menurut kriteria dari American Psychiatric Association (dalam Davison dan Neala, 1990).
Tanda-tanda tersebut adalah:

1. sedih, suasana hati depres;


2. kurangnya nafsu makan dan berat badan berkurang, atau meningkatnya nafsu makan
dan bertambahnya berat badan;
3. kesukaran tidur (insomnia): tidak dapat segera tidur, tidak dapat kembali tidur sesudah
terbangun pada tengah malam, dan pagi-pagi sesudah terbangun; atau adanya keinginan
untuk tidur terus-menerus;
4. perubahan tingkat aktivitas;
5. hilangnya minat dan kesenanga n dalam aktivtas yang biasa dilakukan;
6. kehilangan energi dan merasa sangat lelah;
7. konsep diri negatif; menyalahkan diri sendiri, merasa tidak berguna dan bersalah;
8. sukar berkonsentrasi, seperti lamban dalam berpikir dan tidak mampu memutuskan
sesuatu;
9. sering berpikir tentang bunuh diri atau mati. Menurut Georgette (dalam Warshaw, 1994)
sindrom tersebut dialami oleh korban, baik korban perkosaan dengan pelaku yang
dikenal maupun pelaku adalah orang asing.

Hal tersebut akan termanifestasikan ke dalam rentang emosi dan perilaku yang luas. Korban
dapat menunjukkan reaksi yang terbuka terhadap pengalamannya atau dapat juga mengontrol
responnya, bertindak secara kalem dan tenang. Bagaimanapun juga korban akan mengalami
perasaan takut secara umum ataupun perasaan takut yang khusus seperti perasaan takut akan
kematian, marah, perasaan bersalah, depresi, takut pada laki- laki, cemas, merasa terhina,
merasa malu, ataupun menyalahkan diri sendiri. Korban dapat merasakan hal tersebut secara
bersama-sama dalam waktu dan intensitas yang berbeda beda.

Korban dapat juga memiliki keinginan untuk bunuh diri. Sesaat setelah korban terlepas dari
perkosaan mungkin ia akan merasakan suatu kelegaan untuk sesaat karena sudah terlepas dari
suatu peristiwa yang sangat mengancam. Akan tetapi setelah peristiwa tersebut maka korban
akan mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi ataupun memfokuskan pemikirannya untuk
menampilkan tugas yang sederhana. Korban akan merasa gugup, gelisah, mudah terganggu,
mengalami goncangan, menggigil, nadi berdebar secara kencang, dan badan terasa panas dingin.
Korban juga dapat mengalami kesulitan tidur, kehilangan nafsu makan, mengalami gangguan
secara medis, diantaranya mungkin berhubungan langsung dengan penyerangan yang
dialaminya.

2.6 Cara Mengatasi dan Mengurangi Pemerkosaan

Berikut ini adalah cara mencegah dan mengurangi resiko diperkosa :

a) Tidak berdandan dan berpakaian yang mengundang nafsu orang lain


b) Tidak keluyuran di malam hari termasuk tempat clubbing dan hiburan malam lain
c) Langsung pulang ke rumah setelah sekolah atau kegiatan lain
d) Tidak melewati jalan sepi dan rawan kejahatan
e) Tinggal di tempat yang lingkungannya aman dan tentram
f) Tidak memberi kesempatan orang yang baru dikenal untuk macam-macam
g) Hindari diajak ke hotel, tempat sepi, rumah kosong, rumah, dll oleh laki-laki maupun
wanita
h) Hindari pencari tenaga kerja wanita agar tidak diperdagangkan sebagai pelacur
i) Memakai pakaian yang sulit untuk dibuka oleh pemerkosa
j) Membawa senjata ringan seperti semprotan merica, pembius, sengat listrik, dsb
k) Hindari teman yang gaul tapi kelakuan bejat, pilih teman yang standar baik-baik saja
l) Curigai semua orang yang baru dikenal walaupun berwajah baby face
m) Belajar bela diri untuk menjaga diri
n) Tidak tebar pesona sembarangan ke orang lain
o) Selalu kabur diam-diam jika merasa ada sesuatu yang tidak beres
p) Melawan ketika terjadi pelecehan dan minta bantuan orang lain serta lapor ke polisi
q) Tidak makan dan minum sembarangan untuk menghindari pembiusan
r) Waspada semua orang di tempat bilyar, diskotik, karaoke, panti pijat, salon plus, dsb.
s) Memberi pembekalan pada anak agar tidak menjadi target perkosaan
t) Waspadai orang dekat yang memberikan perhatian atau kebaikan lebih

Pelecehan seksual merupakan segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual
yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran, sehingga
menimbulkan reaksi negatif seperti: rasa malu, tersinggung, marah, dan sebagainya pada diri
orang yang menjadi korban.

Kita tentunya tidak ingin mengalami hal tersebut. Ada cara mengatasinya, antara lain:

 Membuat catatan tentang identitas pelaku, lokasi, tempat, saksi, perilaku atau ucapan
yang dianggap melecehkan.
 Bicarakan dengan orang lain tentang pelecehan seksual yang terjadi. Bisa dengan teman
atau orang lain yang kita percaya. Ungkapkan perasaan kita tentang kejadian itu. Bisa
juga dengan memberitahukan perasaan kita pada orang yang ada di tempat kejadian.
 Memberi pelajaran pada si pelaku dengan memberitahukan langsung kepada pelakunya
bahwa kita tidak suka dengan tindakannya atau isyarat tubuh.

Segera melaporkan tindakan pelecehan seksual setelah kejadian, karena pelecehan seksual
adalah tindakan yang melanggar hukum:

a. Pencabulan (Pasal 289296 KUHP)


b. Penghubungan pencabulan (Pasal 295298, 506 KUHP)
c. Tindak Pidana terhadap kesopanan (Pasal 281283,283 bis Pasal 532533 KUHP)
d. Persetubuhan dengan wanita di bawah umur (Pasal 286288 KUHP)

Apa yang harus dilakukan bila terjadi pemerkosaan?

Segera laporkan ke polisi. Di kepolisian korban akan diantar ke dokter untuk mendapatkan
visum et repertum.

Atau kalau terpaksa korban bisa datang ke rumah sakit terlebih dahulu agar dokter bisa
memberikan surat keterangan. Mintalah bantuan pihak rumah sakit atau dokter untuk
menghubungi polisi, jangan membersihkan diri atau mandi karena sperma, serpihan kulit,
ataupun rambut pelaku yang bisa dijadikan barang bukti akan hilang. Sperma hanya hidup dalam
waktu 2 x 24 jam. Simpan pakaian barang-barang lain yang kita pakai, ataupun kancing atau
robekan baju pelaku karena barang-barang tersebut bisa dijadikan barang bukti. Serahkan
barang-barang tersebut kepada polisi dalam keadaan asli (jangan dicuci atau diubah bentuknya).
Apabila korban takut pergi sendiri ke kantor polisi ajaklah orangtua, saudara, atau teman untuk
menemani.

Yakinkan diri bahwa korban pemerkosaan bukanlah orang yang bersalah. Pelaku
pemerkosaanlah yang harus dihukum. Korban berhak untuk melaporkan pelaku adihukum sesuai
dengan kejahatan yang dilakukannya.
Kita bisa menghubungi salah satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli terhadap
masalah-masalah cewek. Mereka siap membantu korban yang baru saja mengalami
pemerkosaan. Dengan beberapa staf konselor yang terlatih, mereka akan memberikan dukungan
psikologis dan penanganan medis. Mereka juga akan memberikan informasi tentang hak hukum
korban, cara, dan prosedur pelaporan kepada polisi dan akan mendampingi dalam proses
peradilan jika memang dikehendaki.

2.7 Alternatif Penyembuhan

Proses penyembuhan korban dari trauma perkosaan ini membutuhkan dukungan dari
berbagai pihak. Dukungan ini diperlukan untuk membangkitkan semangat korban dan membuat
korban mampu menerima kejadian yang telah menimpanya sebagai bagian dari pengalaman
hidup yang harus ia jalani (Hayati, 2000). Korban perkosaan memerlukan kawan bicara, baik
teman, orang tua, saudara, pekerja sosial, atau siapa saja yang dapat mendengarkan keluhan
mereka.

2.8 Upaya Penanggulangan Pemerkosaan

Upaya-upaya yang harus dilakukan untuk menanggulangi masalah pemerkosaan adalah


sebagai berikut :

a. Melakukan razia dan memberikan penyuluhan kepada masyarakat serta membrantas


peredaran VCD ,majalah, poster, internet yang mengandung pornografi dan pornoaksi.
b. Melakukan pembinaan mental spritual yang mengarah pada pembentukan moral baik
bagi pelaku, korban maupun masyarakat, secara langsung dan melalui mass media.
c. Pemerintah , LSM, masyarakat pers, memberikan pelayanan terpadu khususnya bagi
korban, pelaku maupun saksi serta mengoptimalkan rumah aman.
d. Menanamkan sikap dan perilaku kehidupan keluarga dan lingkungan masyarakat yang
sesuai dengan nilai-nilai moral, budaya, adat istiadat dan ajaran agama masing-masing.
e. Memberikan perhatian khusus bagi peningkatan sumber daya manusia (SDM)
perempuan melalui sektor penididikan, sehingga mereka memiliki ketahanan diri,
mandiri dan mampu mengatasi setiap persoalan kehidupan.
f. Masyarakat bersama pihak terkait lainnya harus pula melakukan kontrol dan
membendung maraknya pornografi dan pornoaksi melalui media massa.
g. Pemerintah, Organisasi Kewanitaan, Organisasi Kepemudaan, LSM, Penegak Hukum,
Legislatif dan lainnya, memberikan pemahaman dan sadar hukum, khususnya yang
berhubungan dengan tindak asusila kepada semua lapisan masyarakat yang
ditindaklanjuti dengan penegakan hukum sesuai ketentuan peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku.
2.9 Hukum mengenai pemerkosaan

Dalam sistem hukum di Britania Raya dan di Amerika Serikat , yang dimaksudkan dengan
"pemerkosaan" biasanya adalah apabila seorang laki-laki memaksa seorang perempuan
melakukan hubungan seksual dengannya. Hingga akhir abad ke-20 , hubungan seksual yang
dipaksakan oleh seorang suami terhadap istrinya tidak dianggap sebagai "pemerkosaan", karena
seorang perempuan (dengan maksud tertentu) tidak dianggap mempunyai hak untuk
menolaknya. Kadang-kadang juga ada anggapan bahwa hubungan pernikahan merupakan
pernyataan tersirat di muka untuk suatu hubungan seksual seumur hidup. Namun demikian,
hukum pidana modern di kebanyakan negara barat kini telah mengesahkan hukum yang
menolak pandangan demikian. Kini pemerkosaan juga diartikan sebagai hubungan paksa oleh
pasangan , seperti hubungan seksual vaginal, dan tindak kekerasan seperti hubungan seksual
anal yang biasanya dilarang dengan undang-undang sodomi . Hingga kini di Skotlandia hanya
perempuan saja yang dapat dikategorikan mengalami pemerkosaan.

Istilah "pemerkosaan" kadang-kadang diartikan dengan sangat luas, hingga mencakup pula
segala bentuk serangan seksual.

Hukum Inggris

Di bawah Undang-undang Pelanggaran Seksual 2003, yang mulai diberlakukan sejak April
2004, pemerkosaan di Inggris dan Wales telah diperluas artinya dari hubungan vaginal atau anal
tanpa persetujuan pihak yang lain kini menjadi penetrasi penis ke dalam vagina, anus ataupun
mulut orang lain tanpa persetujuan orang tersebut. Perubahan ini juga mencakup masa
hukumannya, sehingga kini ancaman hukuman untuk kasus pemerkosaan maksimum adalah
hukuman seumur hidup .

Di dalam hukum Inggris, walaupun seorang perempuan yang memaksa seorang laki-laki untuk
melakukan hubungan seksual tidak dapat dituntut telah melakukan pemerkosaan, bila ternyata ia
membantu seorang laki-laki dalam melakukan pemerkosaan, ia pun dapat dituntut atas kejahatan
itu. Seorang perempuan juga dapat dituntut apabila terbukti ia telah menyebabkan seorang laki-
laki melakukan hubungan seksual tanpa kehendak laki-laki itu sendiri; ini adalah sebuah
kejahatan yang juga diancam dengan hukuman seumur hidup bila hal ini melibatkan penetrasi
terhadap mulut, anus, atau vagina. Peraturan ini juga mencakup sebuah kejahatan seksual baru
yang disebut "serangan melalui penetrasi", yang juga diancam hukuman yang sama seperti
pemerkosaan, dan dilakukan apabila seseorang melakukanpenetrasi terhadap anus atau vagina
secara seksual dengan bagian dari tubuhnya, atau dengan sebuah benda tertentu, tanpa
persetujuan orang itu sendiri.

Hukum di Amerika Serikat

Laporan kejahatan di Amerika Serikat menggunakan "pemerkosaan dengan paksa", hanya untuk
menggambarkan kasus-kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.
Namun demikian, masing-masing negara bagian Amerika Serikat memperluas definisi ini secara
independen. Pemerkosaan oleh laki-laki terhadap sejenisnya biasanya diakui sama seperti
pemerkosaan terhadap perempuan.
2.10 Jurnal Kasus Pemerkosaan

KEJAHATAN KEKERASAN SEKSUAL (PERKOSAAN) DITINJAU


DARI PERSPEKTIF KRIMINOLOGI
Oleh :
Ni Made Dwi Kristiani1

ABSTRACT
This study aims to describe and analyze in depth abaout sexual violence (rape) from persepektive of
criminology. The methods that are in the form of normative research approach conceptually, with the
study of documents as well as primary and secondary legal materials. Arrangements regarding
crimes of sexual violence (rape) subject to the provisions of Article 285 of the Penal Code which has
elements that must be met, one of which is the absence of violence. Any element of violence is an
element that distinguishes the crime of rape with another morality set forth in Penal Code. In the
perspective of criminology that really is not an element of violence that will be the main point, but the
element of consent. Elements of consent is a decisive and qualify an act as rape or not. In addition,it
also examined the factors causing crimes of sexual violence (rape) and mitigation efforts.

Keywords: Violent of Crime, Rape, Criminology

1
Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Alamat :Jalan Gunung Andakasa
Gang Sedap Malam No. 2 Denpasar, e-mail:bonzaiez@gmail.com
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
Seiring makin majunya perkembang- an Dalam arti luas, kejahatan tidak hanya
jaman, makin sarat pula beban sosial dan ditentukan oleh perundang-undangan dalam
beban kriminalitas dalam masyarakat. hukum pidana saja, melainkan pula perbuatan-
Perkembangan ini membawa dampak pada perbuatan yang mengakibatkan adanya nestapa
kehidupan sosial dari masyarakatnya, dilain dan kerugian.4
pihak pada tingkat kemajuan yang sedang Kejahatan kekerasan merupakan salah satu
dialami, juga membawa dampak timbulnya
bentuk kejahatan dalam masyarakat yang
berbagai bentuk kejahatan. perkembangannya semakin beragam baik
Bentuk kejahatan dalam hukum pidana sebagai motif, sifat, bentuk, intensitas maupun modus
tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang operandinya. Sebagai suatu kenyataan sosial
dilarang oleh peraturan hukum pidana dan masalah kriminalitas ini tidak dapat dihindari
disertai dengan adanya sanksi pidana untuk
dan memang selalu ada, sehingga
2
yang melanggarnya. Perbuatan pidana selalu menimbulkan keresahan karena kriminalitas
menuju kepada sifat perbuatan yang dilarang dianggap sebagai suatu gangguan terhadap
oleh peraturan hukum dan kesejahteraan masyarakat serta lingkungan-
pertanggungjawaban pidana menuju pada nya.
orang yang melanggar dan dapat dijatuhi Kekerasan, pelecehan, dan eksploitasi seksual
pidana, sehingga yang dilarang oleh aturan yang merupakan salah satu bentuk kejahatan
hukum adalah perbuatannya. kekerasan, bukan hanya menimpa perempuan
Kejahatan dalam hukum pidana adalah dewasa, namun juga perempuan yang
perbuatan pidana yangdiatur dalam Buku ke-II tergolong di bawah umur (anak-anak).

KUHP dan dalam aturan-aturan lain di luar Kejahatan kekerasan seksual ini juga tidak
hanya berlangsung dilingkungan perusahaan,
KUHP. Perbuatan pidana itu juga meliputi
perkantoran, atau ditempat-tempat tertentu
tindakan pelanggaran-pelanggaran.3
yang memberikan peluang manusia berlainan
jenis dapat saling berkomunikasi, namun juga
dapat terjadi di lingkungan keluarga.
2
Bambang Poernomo, 1988, Asas-Asas Hukum Diantara kasus-kasus yang melibatkan
Pidana,
3
Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 18
Roeslan Saleh, 1983, Perbuatan Pidana dan (mengorbankan) anak-anak perempuan di
Pertanggungjawaban Pidana Dua Pengertian Dasar
Dalam Hukum Pidana Cet-III, Aksara Baru, Jakarta, bawah umur, salah satu modus
hal.17

4
Arif Gosita, 1983, Masalah Korban Kejahatan
Kumpulan Karangan Edisi Pertama, Akademika
Pressindo, Jakarta, hal.77
operandinya yang digunakan adalah penipuan.
1.2. Permasalahan
Diantara mereka adakalanya yang tidak Berdasarkan latar belakang yang telah
mengetahui kalau dirinya akan dijadikan obyek dipaparkan di atas, maka didapat suatu
perkosaan, dicabuli, dan kemudian permasalahan yaitu kajian mengenai kekerasan
diperdagangkan. Kasus perdagangan seksual seksual (perkosaan) dalam tinjauan hukum
anak-anak wanita di bawah umur itu pidana Indonesia dengan perspektif
menunjukkan bahwa hak asasi perempuan kriminologi.
sudah dilanggar sejak usia dini (di bawah
umur). Tidak sedikit anak-anak di bawah umur 1.3. Tujuan Penelitian
dan perempuan dewasa yang menjadi korban Penelitian mengenai kekerasan seksual
kejahatan kekerasan seksual. (perkosaan) dari perspektif kriminologi
Istilah kekerasan seksual adalah perbuatan mempunyai tujuan umum dan tujuan khusus.
yang dapat dikategorikan hubungan dan 1. Tujuan Umum: untuk mengetahui
tingkah laku seksual yang tidak wajar, pengaturan dan kebijakan dalam lapangan
sehingga menimbulkan kerugian dan akibat hukum pidana khususnya mengenai
5
yang serius bagi para korban. Kekerasan kekerasan seksual (perkosaan) terhadap
seksual (perkosaan) membawa dampak pada persoalan-persoalan hukum yang meliputi
fisik dan psikis yang permanen dan berjangka legitimasi hukum, arah perubahan tujuan
panjang. Kekerasan seksual yang akan lebih hukum (displacement of goal), efektivitas
dibahas disini adalah khususnya kejahatan hukum, penegakan hukum (law
seksual pemerkosaan, maka sangat penting enforcement) dan pengembangan teori,
ditelusuri pula faktor-faktor penyebab
konsep, asas-asas, doktrin hukum pidana
timbulnya kejahatan tersebut, khususnya
pada umumnya.
kejahatan kekerasan seksual pemerkosaan.
2. Tujuan Khusus: Tujuan khusus penelitian
Kejahatan kekerasan seksual (perkosaan) yang
ini berkaitan dengan mendeskripsikan
tidak surut oleh perkembangan jaman,
dan menganalisis secara mendalam
kemajuan teknologi, dan kemajuan pola pikir
tentang kekerasan seksual (perkosaan)
manusia, menjadi salah satu kejahatan yang
dari perspektif kriminologi, yang meliputi
sangat meresahkan masyarakat di tengah-
teori-teori, faktor penyebab dan upaya
tengah perkembangan-perkembangan
penanggulangannya karena terdapat
tersebut.
berbagai macam dan ragamnya kejahatan

5
kekerasan seksual yang semakin tidak
Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001,
Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
Advokasi atas Hak Asasi Perempuan, PT. Refika
Aditama, Bandung, hal.32
terkendali, mengkhawatirkan kelangsung- an kejahatan ini jelas-jelas merupakan bentuk
hidup berbangsa dan bernegara. perilaku yang tidak bermoral dan keji yang
selain melanggar HAM, juga mengakibatkan
II. METODE PENELITIAN derita fisik, sosial, maupun psikologis bagi
Metode yang dilakukan adalah merupakan kaum perempuan.Perkosaan dan penanganan-
penelitian normatif. Dalam upaya pemecahan nya selama ini menjadi salah satu indikasi dan
masalah maka pendekatan dilakukan secara bukti lemahnya perlindungan (pengayoman)
konseptual, dengan studi dokumen terhadap hak asasi manusia, khususnya perempuan dari
perundang-undangan yang sedang berlaku di tindakan kekerasan seksual yang tergolong
Indonesia. Pendekatan masalah dalam pada kekerasan terberat. Perlindungan terhadap
penelitian ini bersifat konseptual yang perempuan telah dinyatakan pula oleh
bertujuan memberi gambaran struktur hukum Konvensi PBB yang telah menjangkau
secara vertikal.6 perlindungan perempuan sampai ke dalam
Bahan hukum yang digunakan adalah bahan urusan rumah tangga, tidak sebatas hak
hukum primer dan sekunder. Bahan hukum perempuan di luar rumah atau sektor publik.
primer adalah UUDNRI 1945 dan KUHP. Hal itu dapat dijadikan tolok ukur mengenai
Sedangkan bahan hukum sekunder berupa peningkatan kepedulian terhadap HAM
pandangan-pandangan para sarjana dalam khususnya perempuan, meskipun KUHP kita
buku-buku literatur maupun artikel yang belum mengatur mengenai perkosaan oleh
menunjang pemahaman bahan hukum primer, suami kepada istri.Perkosaan ditempatkan
dibantu dengan informasi melalui internet. sebagai contoh perbuatan kriminalitas yang
melanggar HAM perempuan karena lebih
III. HASIL DAN PEMBAHASAN memposisikan keunggulan diskriminasi
3.1. Kekerasan Seksual (Perkosaan) dalam gender.
Tinjauan Hukum Pidana Indonesia dengan Perkosaan menjadi salah satu tolok ukur
Perspektif Kriminologi pelanggaran HAM yang cukup parah terhadap
Perkosaan tidak bisa dipandang sebagai perempuan. Apa yang diperbuat pelaku
kejahatan yang hanya menjadi urusan privat merupakan bukti kesewenang- wenangan dan
(individu korban), namun harus dijadikan kekejian yang bertentangan dengan watak diri
sebagai problem publik karena manusia yang seharusnya menghormati dan
6
Bruggink.J.J, 1998, Refleksi Tentang melindungi hak-hak sesamanya, apalagi
Hukum:Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, Alih
Bahasa ArifSidharta, PT. Citra Aditya Bhakti, terhadap perempuan. Mengenai kejahatan
Bandung, hal.3
kekerasan seksual
(perkosaan) ini, berakibat pingsan 1. Pasal 285 dicantumkannya
tidak hanya dan tidak berdaya. diatur unsur memaksa
merenggut Dengan mengenai dalam rumusan
kehormatan seorang berkembangnya tindak pidana pasalnya, maka
perempuan, namun jaman, pemahaman perkosaan jelas bahwa
juga merenggut kekerasan dapat untuk perkosaan
hak-hak asasinya. dilakukan dengan bersetubuh merupakan
Dari perspektif ancaman 2. Pasal 289 perbuatan yang
yuridis, yang (psikologis) dan mengatur
dilakukan dengan
merujuk pada tindakan nyata mengenai
sengaja. Dapat
ketentuan KUHP (fisik). tindak pidana
dikatakannya
tidak ditemukan Kejahatan perkosaan
tindakan perkosaan
defnisi secara jelas kekerasan seksual untuk berbuat
apabila telah terjadi
mengenai kejahatan (perkosaan) jika cabul.
persetubuhan antara
kekerasan, akan dikaji berdasarkan Dalam Pasal 285
pelaku dan korban.
tetapi pada perspektif KUHP tidak
Apabila tidak
hanyadisebutkan kriminologi, ditegaskan apa yang
sampai terjadi
dalam Pasal 89 menunjuk pada menjadi unsur
persetubuhan maka
:membuat orang motif dan perilaku, kesalahan, baik itu
perbuatan
pingsan atau tidak dimana hal tersebut sengaja atau alpa.
dimaksud dapat
berdaya disamakan memiliki motif Namun dengan
dikualifikasikan
dengan pemuasan nafsu dengan tindak
menggunakan seksual. pidana percobaan
kekerasan. Dari Pengaturan perkosaan untuk
rumusan pasal mengenai kejahatan bersetubuh (Pasal
tersebut dapat di Indonesia diatur 285 Jo. Pasal 53
dikatakan bahwa dalam peraturan KUHP) dan tindak
kekerasan yang telah pidana perkosaan
merupakan dikodifikasi yaitu untuk berbuat cabul
kejahatan yang KUHP. Terdapat (Pasal 289 KUHP).
dilakukan dan dua jenis tindak Dari ketentuan-
disertai dengan pidana perkosaan ketentuan mengenai
menggunakan dalam KUHP, yaitu tindak pidana
kekuatan fisik yang : perkosaan tersebut,
dirumuskan pula sangat terbatas
suatu sanksi pidana keterkaitannya dan
yang diberikan pengaruhnya.
bagi pelaku Hukum pidana
kejahatan. Dalam memusatkan
ketentuan Pasal perhatian kepada
285 KUHP faktor- faktor
dinyatakan bahwa penyebab
ancaman pidana terjadinya
maksimum yang kejahatan.
diterima oleh Kriminologi telah
pelaku adalah ditunjukkan untuk
duabelas tahun mengungkapkan
penjara. Sanksi motif pelaku
minimalnya tidak kejahatan
ada, sehingga
memungkinkan
pelaku dijerat
dengan hukuman
yang lebih ringan
jauh dari efek yang
ditimbulkan dari
perbuatan yang
dilakukannya
terhadap korban
kejahatan
kekerasan seksual
(perkosaan).
Keterkaitan antara
hukum pidana dan
kriminologi dapat
dikaitkan secara
teoritik, namun
secara praktik
sedangkan hukum pidana kepada hubungan seriousness.9
antara perbuatan dan akibat (hukum sebab Dalam ketentuan Pasal 285 KUHP yang secara
akibat).7 Faktor motif dapat ditelusuri dengan yuridis mengatur kejahatan perkosaan, terdapat
bukti-bukti yang memperkuat adanya niat unsur-unsur yang harus dipenuhi, yaitu salah
melakukan kejahatan. Dari uraian ini satunya adalah adanya kekerasan. Adanya
keterkaitan tersebut berperan dalam proses unsur kekerasan tersebut merupakan unsur
penyidikan atas terjadinya suatu kejahatan. yang membedakan pemerkosaan dengan
Dalam perspektif teori kriminologi, terdapat kejahatan kesusilaan yang lain yang diatur
tiga perspektif dalam melakukan analisis dalam KUHP. Berbeda halnya dengan
terhadap masalah kejahatan, yaitu : perspektif yuridis, dari perspektif kriminologi
1. macrotheories, adalah teori-teori yang yang dijadikan tolak ukur adalah persetujuan
menjelaskan kejahatan dipandang dari bukanlah kekerasan yang menjadi hal
segi struktur sosial dan dampaknya. pokok.Unsur persetujuan tersebut yang
2. microtheories, adalah teori-teori yang menentukan dan mengkualifikasi suatu
menjelaskan alasan melakukan kejahatan perbuatan sebagai perkosaan.10 Menurut Steven
dipandang dari segi psikologi, sosiologis Box dan J.E. Sahetapy pengertian perkosaan
atau biologis. secara kriminologis didasarkan atas tidak
3. bridging theories adalah teori-teori yang adanya consent dari pihak wanita.11
menjelaskan struktur sosial dan juga
3.2 Faktor-Faktor Penyebab Kejahatan
menjelaskan bagaimana seseorang atau
Kekerasan Seksual (Perkosaan)
sekelompok orang menjadi penjahat.8
Kemajuan ilmu dan teknologi, perkembangan
Menganalisis model kejahatan dengan
kependudukan dan struktur masyarakat serta
kekerasan di Indonesia dapat menggunakan
perubahan nilai-nilai sosial dan budaya ikut
salah satu perspektif teori kriminologi, yaitu
mempengaruhi dan memberikan dampak yang
teori yang dikembangkan oleh Hoefnagels.
tersendiri kepada motif, sifat, bentuk,
Diungkapkan bahwa para ahli kriminologi
frekuensi, intensitas, maupun modus operandi
pada umumnya sering bertumpu pada teori
kejahatan kekerasan. Banyak faktor secara
kuasa kejahatan dan pelakunya, namun kurang
langsung atau tidak langsung ikut memberi
memperhatikan aspek stigma dan
warna dan dampak
8
Ibid, hal.71-72
7
Romli Atmasasmita,
1992, Teori dan
Kapita Selekta
Kriminologi, Refika
Aditama, Bandung,
hal.5
Raja Grafindo (negatif), sehingga
9
Ibid, hal. 75 Persada, Jakarta,  Faktor agama,
10
Made Darma Weda, hal.70 cenderung untuk
1996, Kriminologi, 11
Ibid, hal. 71
seseorang
melakukan
tersendiri terhadap gambaran tentang yang kurang
kejahatan. Mental mendapat
timbulnya latar belakang orang
kepribadian ini siraman rohani
kejahatan melakukan
terbentuk dari sehingga
kekerasan. kejahatan menurut
beberapa faktor kurang terbina
Menurut hasil
antara lain : mentalnya dan
Abdulsyani, pengamatannya
moralnya.
terdapat dua sumber dalam praktek
12
Abdulsyani, 1987,  Faktor
penyebab terutama apabila
Sosiologi Krimina-
pendidikan,
terjadinyatindakan ditinjau dari segi litas, CV. Remadja
Karya, Bandung, hal. seseorang
kriminal, yaitu pemasyarakatan 44-45
13
J.E. Sahetapy, 1983, yang kurang
sumber pertama bahwa orang yang Kejahatan Kekerasan
Suatu Pendekatan mendapatkan
adalah faktor intern melakukan Interdisipliner, Sinar
Wijaya, Surabaya, hal. pendidikan
seperti sakit jiwa, kejahatan adalah
82.
dalam
daya emosional, pengaruh dari luar
melakukan
rendahnya mental, dirinya. Seseorang
sesuatu tidak
anomi, umur, sex, itu selalu diwarnai
mau berfikir
kedudukan individu oleh keadaan
panjang,
dalam masyarakat, keluarganya,
sehingga ia
pendidikan lingkungan, dan
cenderung
individu, masalah masyarakat
melakukan
hiburan individu. pergaulannya.13
perbuatan
Sedangkan faktor Seseorang
yang
kedua adalah faktor melakukan
menyimpang
ekstern, yaitu kejahatan kekerasan
atau tindakan
bersumber dari luar dilihat dari faktor
kejahatan.
diri individu seperti intern, yaitu
 Faktor
faktor ekonomi, disebabkan oleh
pergaulan
agama, bacaan dan mental kepribadian
yang salah
film.12 seseorang atau
dapat
J. E. Sahetapy, individu yang
membentuk
memberikan kurang baik
mental
kepribadian yang jelek mencolok,
yang kurang sehingga membawa
baik. melakukan barang-
 Faktor perbuatan
lingkungan yang
yang kurang menyimpang
baik, atau
sehingga kejahatan.
mental Sedangkan faktor-
kepribadiann faktor penyebab
ya pun jelek. seseorang
 Faktor melakukan
ekonomi, kejahatan
seseorang kekerasan dari
yang faktor eksternal
kesulitan antara lain :
ekonomi  Faktor
tidak mampu korban,
mencukupi korban
keperluan berperanan
hidup, terhadap
terutama para timbulnya
pendatang kejahatan.
(transmigran Korban
ataupun biasanya
urbanisasi) sebagian besar
yang tidak dinilai
mempunyai mempunyai
keterampilan nilai lebih dari
untuk bekerja, orang-orang
dapat pula disekitarnya,
membentuk seperti
mental berpenampila
kepribadian n mewah dan
barang mewah dan umumnya lengah, tersebut karena telah mengetahui lebih dalam
sehingga ada niat atau kesempatan bagi pihak korban.
pelaku kejahatan tersebut untuk melakukan Kejahatan perkosaan juga tidak terlepas dari
aksinya, terutama kejahatan pencurian faktor keadaan kejiwaan pelaku.Kejiwaan
dengan kekerasan. seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh
 Faktor perekonomian makro yaitu terjadi lingkungannya, tetapi juga oleh pengalaman
krisis ekonomi dan harga barang-barang masa lalu.Seperti halnya pelaku pernah merasa
atau kebutuhan pokok meningkat, sakit hati dan depresi karena pernah
banyaknya pengangguran membuat mengalami suatu kejadian secara langsung
seseorang yang dalam kondisi demikian maupun tidak langsung kejahatan kekerasan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seksual yang membuatnya berinisiatif untuk
dengan jalan yang tidak benar atau melampias- kannya kepada seseorang bahkan
melakukan kejahatan. bisa hingga beberapa orang korban.
 Faktor penggunaan narkotika, seseorang Selain itu dapat pula faktor pemicu timbulnya
yang telah kecanduan obat-obatan pemerkosaan yang dirangsang oleh pengaruh
terlarang dia akan melakukan apa saja lingkungan di sekitar pelaku, seperti halnya
dengan jalan yang tidak benar bahkan pelaku setelah melihat atau menyaksikan hal-
sampai melakukan kejahatan kekerasan hal yang berkaitan dengan pornoaksi dan
untuk mendapatkan sesuatu yang pornografi dan timbul hasrat seksual pelaku.
diinginkannya. Sehingga pelaku ingin melampiaskan
Perkosaan merupakan kejahatan kekerasan hasratnya tersebut dengan berbagai cara, salah
yang berkaitan dengan kesusilaan. Berbagai satunya adalah perkosaan.
macam faktor-faktor penyebab terjadinya Dari setiap tindak kejahatan pemerkosaan
kejahatan tersebut, salah satunya adalah terdapat keterkaitan antara pihak pelaku, pihak
didukung oleh situasi dan kondisi lingkungan korban, dan situasi serta kondisi lingkungan
serta posisi korban berada, yang dapat memicu yang memegang peranan masing-masing
niat pelaku untuk melakukan kejahatan seksual sebagai pemicu adanya suatu kejahatan
(perkosaan) tersebut.Tidak jarang pula kekerasan seksual, yaitu perkosaan.14
kejahatan tersebut dipengaruhi oleh faktor
14
Eko Prasetyo dan Suparman Marzuki, 1995,
memanfaatkan hubungan antara pelaku dan Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, hal.180
korban, seperti hubungan darah, saudara,
Terhadap terjadinya individuyang
kerabat, dan lain-lain. Sehingga pelaku lebih
pemerkosaan pelaku menyalurkan hasrat
mudah melakukan perkosaan
merupakan faktor seksualnya secara
tidak wajar. Pihak tindak pidana bertentangan masyarakat, maka
korban (dalam perkosaan. Victim dengan hukum, dari itu perlu
kasus-kasus precipitation ini serta merugikan adanya upaya
tertentu) merupakan dapat berupa penanggulangannya

faktor kriminogen, pakaian yang 15


Ibid .
16
Made Darma Weda,
yang secara digunakan korban, Op.Cit, hal.77 Penanggulangan

langsung maupun tempat korban kejahatan

tidak langsung sedang berada mencakup tindakan

mendorong dilingkungan dan preventif dan

timbulnya posisi yang sepi, represif terhadap

kejahatan dan korban dalam kejahatan. Tindakan

perkosaan. keadaan seorang pencegahan atau

Lingkungan diri.16 preventif yaitu

merupakan faktor usaha yang


3.3 Upaya menunjukkan
pendukung bagi
Penanggulang pembinaan,
posisi pelaku dan
an Kejahatan pendidikan dan
korban dalam
Kekerasan penyadaran
melakukan tindak
Seksual terhadap
pidana perkosaan.15
(Perkosaan) masyarakat umum
Mengenai faktor
Masalah kejahatan sebelum terjadi
kriminogen
yang selalu gejolak perbuatan
tersebut, Made
mengganggu kejahatan.
Darma Weda
keamanan dan Sedangkan tindakan
mempunyai
kenyamanan sosial represif yaitu usaha
pendapat, bahwa
adalah merupakan yang menunjukkan
terdapat “victim
suatu masalah yang upaya
precipitation”, yaitu
besar bagi umat pemberantasan
peranan korban
manusia diseluruh terhadap tindakan
baik dari segi posisi
dunia. Kejahatan kejahatan yang
dan perilaku korban
dapat dikatakan sedang terjadi.17
yang dengan
sebagai suatu Dalam lingkungan
sengaja maupun
perilaku manusia masyarakat, dapat
tidak sengaja
yang menyimpang, diupayakan upaya
mendorong adanya
penanggulangan anggota Sanksi hukum upaya
melalui pendidikan masyarakat yang pidana merupakan penanggulangan
hukum (law belum pernah reaksi sebaiknya terus
education) yang berbuat kejahatan (jawaban/solusi) dilakukan dengan
dapat diajarkan perkosaan adalah terhadap terjadinya mencontoh negara-
sejak dini. Manusia dikendalikan dan suatu delik negara lain.
dididik untuk dididik agar tidak (pelanggaran/kejaha Misalnya dengan
menghormati dan terjerumus dalam tan). Pembinaan memberi
melindungi hak- perbuatan jahat bagi pelaku penerangan (lampu)
hak asasi tersebut yang merupakan tujuan pada tempat-tempat
sesamanya, dengan merugikan diri dan utama dalam upaya yang sepi dan gelap.
cara mencegah diri orang lain, represif dalam Selain itu pemberian
dan perbuatannya sedangkan secara menanggulangi penyuluhan secara
yang cenderung represif adalah
kejahatan kekerasan khusus pada
dapat merugikan, mendidik pelaku
seksual masyarakat juga
merampas, dan kejahatan tersebut
(pemerkosaan). merupakan upaya
memperkosa hak- agar tidak
Upaya mencegah penanggulangan
hak manusia mengulangi
terjadinya yang dapat
lainnya. kejahatan yang
pemerkosaan dilakukan sejak
Pendidikan hukum sudah pernah
dengan cara dini.18
itu mengandung dilakukannya.
mengetahui
aspek preventif Sehingga muncul
penyebab terjadinya
perasaan 18
Made Darma Weda,
dan represif, pemerkosaan dan Op.Cit, hal 80
dimana bagi 17
Abdulsyani, Op.Cit., kemudian berikhtiar
hal 135 menghilangkan
segan dan tidak sanksi yang bersifat faktor- faktor yang
berani mengulangi ultimum remedium, menjadi penyebab
tindakan serupa. yang artinya setelah tidaklah mudah. Hal
Upaya lainnya sanksi lain tidak ini disebabkan
dapat dilihat dari cukup ampuh banyaknya faktor
segi hukum pidana, diterapkan dapat yang dapat menjadi
yaitu sanksi hukum dijadikan upaya penyebab terjadinya
pidana yang penanggulangan pemerkosaan.
idealnya merupakan secara represif. Meskipun demikian,
19
Dalam rangka pelaksanaan pidana Barda Nawawi Diponegoro,
Arief, 1996, Semarang, hal. 3
menanggulangi dan oleh aparat Kebijakan legislatif 20
Munir Fuady, 2007,
Dalam Dinamika Teori
kejahatan pelaksana pidana.19 Penanggulangan Hukum, Cetakan
Kejahatan Dengan Pertama, Penerbit:
kekerasan seksual Dengan adanya Pidana Penjara, Ghalia Indonesia,
(perkosaan), suatu kebijakan Badan Penerbit Bogor, hal 25
Universitas
pemerintah perlu pengaturan tersebut
IV. PENUTUP pengkualifikasian
melakukan diharapkan tujuan
4.1. Simpulan suatu perbuatan
penataan kembali hukum berupa
Secara yuridis sebagai perkosaan
dan “kemanfaatan”
pengaturan atau tidak.
memperbaharui dapat tercapai,
mengenai kejahatan Mengenai faktor-
kebijakan dan yang oleh Jeremy
kekerasan seksual faktor penyebab
sistem hukum Bentham lebih
(perkosaan) diatur seseorang
terlebih dahulu dikonkritkan
dalam ketentuan melakukan
yang dengan teori
Pasal 285 KUHP kejahatan kekerasan
diperuntukkan agar Utilitarian.Jeremy
yang memiliki seksual
dapat mencegah Bentham
unsur-unsur yang pemerkosaan terdiri
tindak pidana dan menyatakan, “Baik
harus dipenuhi, dari 3 (tiga) faktor
dapat bekerja tidaknya hukum
salah satunya adalah penting, yaitu
secara diukur melalui
adanya kekerasan. personal pelaku,
berkesinambungan manfaat dari
Adanya unsur korban, dan
dalam memerangi hukum tersebut
kekerasan tersebut situasi.Upaya
kejahatan seksual kepada umat
merupakan unsur penanggulangan
tersebut. manusia, yakni
yang membedakan yang dapat
Barda Nawawi apakah hukum
pemerkosaan dilakukan oleh
Arief memberikan yang bersangkutan
dengan kejahatan masyarakat serta
berpendapat yaitu membawa manfaat
kesusilaan yang lain aparat penegak
dengan yang paling besar
yang diatur dalam hukum dalam
merumuskan garis kepada sebanyak
KUHP. Dari menanggulangi
kebijakan sistem mungkin manusia,
perspektif kejahatan tersebut
hukum yang juga (the greatest
kriminologi unsur antara lain : Dalam
digunakan sebagai happiness of the
consent dijadikan lingkungan
20
acuan dan tolak greatest people).”
acuan dan kunci masyarakat, dapat
ukur dalam
penting dalam diupayakan upaya
penerapan dan
penentuan dan penanggulangan
melalui pendidikan terhadap
pembaharuan
hukum (law sistem hukum dan perkembangan P
education) yang kebijakan dalam jaman dan
dapat diajarkan teknologi. Selain U
hukum pidana.
sejak dini.Upaya 4.2. Saran itu pendidikan
lainnya berdasarkan moral dan agama S
Terjadinya kasus
hukum pidana, perkosaan di tetap menjadi
yaitu sanksi hukum prioritas, dengan T
Indonesia yang
pidana yang cenderung memegang teguh
A
bersifat ultimum mengalami nilai Pancasila.
remedium, yang peningkatan, Untuk
K
artinya setelah diharapkan agar memaksimalkan
sanksi lain tidak pemerintah upaya
A
cukup ampuh Indonesia penanggulangan
diterapkan dapat memperbaharui diharapkan
dijadikan upaya produk perundang- partisipasi
penanggulangan undangan masyarakat dan
B
secara represif serta mengenai konsistensi dari
perlu diikuti dengan kejahatan seksual aparat penegak
U
adanya penataan khususnya hukum.
kembali dan perkosaan itu K
dengan D

memperhatikan U
A Abdulsyani, 1987,
dan
mengoptimalkan Sosiologi
F Kriminalitas, CV.
sanksi pidana yang
bersifat lebih Remadja Karya,
T
memberatkan agar Bandung
timbul efek jera. Arief, Barda
A Nawawi, 1996,
Disamping itu Kebijakan legislatif
masyarakat Dalam
R Penanggulangan
diharapkan lebih Kejahatan Dengan
meningkatkan Pidana Penjara,
Badan Penerbit
kewaspadaan Universitas
Diponegoro, Kapita Selekta
Semarang Kriminologi, Saleh,Roeslan,
Refika Aditama, 1983, Perbuatan
Atmasasmita,Roml Bandung Pidana dan
i 1992, Teori dan
Pertanggungjawa
Fuady, Munir, Pendekatan ban Pidana Dua
2007, Dinamika Interdisipliner, Pengertian Dasar
Teori Hukum, Sinar Wijaya, Dalam Hukum
Cetakan Pertama, Surabaya Pidana Cet-III,
Penerbit: Ghalia Aksara Baru,
Indonesia, Bogor Jakarta, hal.17

Gosita,Arif, 1983, Wahid,Abdul dan


Masalah Korban Muhammad Irfan,
Kejahatan 2001,
Kumpulan Perlindungan
Karangan Edisi Terhadap Korban
Pertama, Kekerasan
Akademika Seksual Advokasi
Pressindo, Jakarta, atas Hak Asasi
hal.77 Perempuan, PT.
Refika Aditama,
J.,Bruggink.J., Bandung
1998, Refleksi
Tentang Weda, Made
Hukum:Pengertian Darma 1996,
Dasar Dalam Kriminologi, Raja
Teori Hukum, Alih Grafindo Persada,
Bahasa Jakarta
ArifSidharta, PT.
Citra Aditya
Bhakti, Bandung, PERUNDANG-
UNDANGAN
Poernomo,Bamban
g 1988, Asas-Asas Undang-Undang
Hukum Pidana, Dasar Negara
Ghalia Indonesia, Republik
Jakarta Indonesia Tahun
1945
Prasetyo, Eko dan
Suparman Kitab Undang-
Marzuki, 1995, Undang Hukum
Pelecehan Seksual, Pidana
Fakultas Hukum
Universitas Islam
Indonesia,
Yogyakarta

Sahetapy, J.E.,
1983, Kejahatan
Kekerasan Suatu
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan
baik secara halus maupun kasar. Pemerkosaan terjadi tidak semata-mata karena ada
kesempatan, namun pemerkosaan dapat terjadi karena pakaian yang dikenakan korban
menimbulkan hasrat pada sipelaku untuk melakukan tindakan pemerkosaan, serta
pemerkosaan bisa juga disebabkan karena rendahnya rasa nilai, moral, asusila dan nilai
kesadaran beragama yang rendah yang dimiliki pelaku pemerkosaan. Hal ini akan
menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut.

Bentuk kekerasan terhadap perempuan bukan hanya kekerasan secara fisik, akan tetapi
dapat juga meliputi kekerasan terhadap perasaan atau psikologis, kekerasan ekonomi, dan
juga kekerasan seksual. Kekerasan pada dasarnya adalah semua bentuk perilaku, baik verbal
maupun non-verbal, yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, terhadap
seseorang atau sekelompok orang lainnya, sehingga menyebabkan efek negatif secara fisik,
emosional, dan psikologis

3.2 Saran

Pemerkosaan di Indonesia termasuk masalah yang harus segera di benahi oleh kita semua
karena sebagaimana kita ketahui bahwa tindak pemerkosaan dapat merusak citra dan moral
bangsa.Maka dari itu pemerintah dan masyarakat harus bekerja keras dalam menaggulangi
tindak pidana pemerkosaan salah satunya dengan menanamkan sikap dan perilaku kehidupan
keluarga dan lingkungan masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai moral, budaya, adat
istiadat dan ajaran agama masing-masing serta menindaklanjuti dengan penegakan hukum
sesuai ketentuan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA

Abar, A. Z & Tulus Subardjono. 1998. Perkosaan dalam Wacana Pers National,
kerjasama PPK & Ford Foundation. Yogyakarta.

Davison, G. C, and Neale, J. M. 1990. Abnormal Psychology. New York: John


Wiley & Sons.

Harkrisnowo, H. 2000. Hukum Pidana Dan Perspektif Kekerasan Terhadap


Perempuan Indonesia. Jurnal Studi Indonesia Volume 10 (2) Agustus 2000.

Haryanto. 1997. Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap


Wanita. Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada.

https://www.scribd.com/doc/248526022/Makalah-Pemerkosaan

Anda mungkin juga menyukai