Anda di halaman 1dari 11

MASALAH KESEHATAN REPRODUKSI

KEKERASAN DAN PELECEHAN SEKSUAL DI TEMPAT UMUM

OLEH :
MAYZA NUR AULIA 202110420311007
CAHYA DESRY EKA PUTRI TADU 202110420311008
SHAFA PUSPITA MAHARANI 202110420311055

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
2023
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga
melalui Rahmat serta hidayah-Nya lah penyusun dapat menyelesaikan makalah kami dengan tema
kekerasan pada wanita. Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah pada
Keperawatan Kesehatan Repoduksi, selama penyusunan makalah ini, penyusun banyak mendapatkan
dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan banyak ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dan mendukung dalam penyelesaian makalah ini dan
terimakasih kepada Ibu Dr. Tri Lestari Handayani, M.Kep Sp.Mat. selaku dosen mata kuliah
keperawatan Kesehatan reproduksi.
Penyusun menyadari bahwa dalam penyusunan laporan makalah ini masih banyak kekurangan.
Semoga laporan makalah kami dapat memberikan manfaat khususnya bagi penyusun dan para
pembacanya yang senantiasa tidak pernah putus dalam mengembangkan ilmu pengetahuan
khususnya dibidang kesehatan untuk menambah wawasan.

Malang, 01 Juni 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................... i


BAB 1 ........................................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................................................. 1
1.2 Tujuan Penulis ................................................................................................................................... 2
BAB 2 ........................................................................................................................................................... 3
TINJAUAN TEORI .................................................................................................................................... 3
2.1 Pengertian dan Penyebab Kekerasan Seksual ............................................................................... 3
2.2 Tanda-Tanda Mengalami Kekerasan .............................................................................................. 3
2.3 Nursing Diagnosis ............................................................................................................................. 4
2.4 Nursing Assesment ............................................................................................................................ 4
2.5 Nursing Care Plan............................................................................................................................. 4
BAB 3 ........................................................................................................................................................... 5
TINJAUAN KASUS.................................................................................................................................... 5
3.1 Contoh Kasus .................................................................................................................................... 5
3.2 Pemeriksaan fisik .............................................................................................................................. 5
BAB 4 ........................................................................................................................................................... 7
PENUTUP .................................................................................................................................................... 7
4.1 Kesimpulan ........................................................................................................................................ 7
4.2 Saran .................................................................................................................................................. 7
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. 8

ii
BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan seksual merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama dengan dampak
substansial pada kesehatan mental, kesehatan fisik, dan kesejahteraan sosial korban. Meskipun
kekerasan seksual umumnya dipahami sebagai pemerkosaan, dan didefinisikan sebagai semacam
penetrasi yang diselesaikan atau dicoba, hal tersebut sebenarnya jauh lebih luas daripada
pemerkosaan saja. Kekerasan seksual datang dalam berbagai bentuk, ada yang melibatkan kontak
fisik dan ada yang tidak. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit mendefinisikan kekerasan
seksual sebagai penyelesaian atau percobaan penetrasi nonconsensual, kontak seksual
nonpenetratif yang tidak diinginkan, atau tindakan tanpa kontak oleh pelaku.
Penting untuk definisi tersebut, kekerasan seksual terjadi ketika penyintas tidak menyetujui
aktivitas seksual, atau ketika penyintas tidak dapat menyetujui atau tidak dapat menolak. Sebagian
besar data nasional yang tersedia tentang kekerasan seksual berfokus secara khusus pada
pemerkosaan. Oleh karena itu dan karena keterbatasan ruang, tinjauan ini akan berfokus terutama
pada viktimisasi perkosaan. Untuk memudahkan membaca, kami menggunakan istilah korban dan
penyintas secara bergantian untuk menggambarkan penerima kekerasan.
Pemerkosaan mempengaruhi banyak orang, terutama orang Amerika. Survei Nasional
Kekerasan Terhadap Perempuan (NVAWS), yang dilakukan pada tahun 1995 dan 1996,
menunjukkan bahwa sekitar 1 dari 6 perempuan (17,6%) dan 1 dari 33 laki-laki telah menjadi
korban percobaan atau perkosaan yang tuntas selama hidup mereka; 0,3% wanita dan 0,1% pria
melaporkan telah menyelesaikan atau mencoba pemerkosaan dalam 12 bulan sebelumnya. Tingkat
prevalensi ini diterjemahkan menjadi sekitar 17,7 juta wanita dan 2,8 juta pria mengalami
pemerkosaan atau percobaan pemerkosaan di beberapa titik dalam hidup mereka dan diperkirakan
302.091 wanita dan 92.748 pria mengalami pemerkosaan atau percobaan pemerkosaan setiap
tahun.
Perkiraan pemerkosaan nasional yang lebih baru (tidak termasuk percobaan pemerkosaan)
dari 2nd Injury Control and Risk Survey (ICARIS-2) tahun 2001-2003 serupa dan menemukan
bahwa 10,6% wanita dan 2,1% pria mengalami seks paksa dalam hidup mereka, yang
diterjemahkan menjadi 11,7 juta wanita dan 2,1 juta pria. Penelitian juga menunjukkan bahwa
prevalensi perkosaan dalam perkawinan seumur hidup, yaitu pemerkosaan yang secara khusus
dilakukan oleh pasangan atau pasangan intim, berkisar antara 10% hingga 14% tergantung pada
penelitian.
Kekerasan terhadap perempuan dalam konteksnya identik dengan kekerasan fisik. Psikolog
Norwegia Per Isdal, pencetus tipologi kekerasan (kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan
material), bahkan menganggap kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan yang paling
merendahkan. Selain itu, statistik dari lembaga yang menangani kekerasan terhadap perempuan
menunjukkan bahwa 31% perempuan yang mencari bantuan telah mengalami pelecehan, yang
dapat dicirikan sebagai kekerasan seksual yang dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan.

1
Lebih lanjut, sebuah studi skala yang berfokus pada pemerkosaan dan penyerangan seksual dalam
perspektif seumur hidup melaporkan jumlah kejadian kekerasan seksual yang relatif tinggi yang
dilakukan oleh pasangan atau mantan pasangan.
1.2 Tujuan Penulis
Untuk mengetahui bagaimana pengkajian dan asuhan keperawatan dalam korban kasus
kekerasan seksual di tempat umum. Selain itu juga penulisan makalah ini bertujuan sebagai
analisis mengenai tanda tanda korban kekerasan, dampak, dan akibat yang ditimbulkan.

2
BAB 2

TINJAUAN TEORI
2.1 Pengertian dan Penyebab Kekerasan Seksual
Definisi dasar kekerasan seksual adalah setiap tindakan atau perilaku yang dengan sengaja
merusak moral atau kesusilaan umum ketika korban sedang dipaksa atau diancam dengan
kekerasan fisik. Karena kejadian baru yang terus-menerus terjadi di berbagai wilayah di Indonesia
yang membuat pemerintah harus bersikap tegas dalam mengatasi permasalahan ini. Pihak lain
seperti keluarga juga harus terus dilakukan pengawasan. Karena apabila struktur sosial dan
keluarga lemah, pelaku selalu memiliki akses ke korban dan dapat melecehkan atau memperkosa
mereka.
Bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya termasuk pemaksaan seksual di mana korban
ditekan untuk berhubungan seks. Pelaku dapat menggunakan berbagai jenis tekanan seperti
menggunakan pengaruh atau otoritas seseorang untuk memaksa korban melakukan hubungan seks,
mengancam untuk mengakhiri hubungan mereka, melemahkan mereka dengan terus-menerus
meminta seks, mengatakan itu adalah tugas pasangan mereka, atau menggunakan ancaman
kekerasan. Kekerasan seksual juga mencakup tindakan seperti pemerkosaan sistematis selama
masa perang, perdagangan seksual dan mutilasi alat kelamin perempuan, meskipun tinjauan saat
ini tidak akan fokus pada bentuk-bentuk kekerasan seksual ini.
Konsekuensi psikologis yang paling umum termasuk kesusahan, kemarahan, kekecewaan,
kecemasan, kesedihan, keraguan diri, ketidakamanan dan kehilangan kepercayaan diri.
Konsekuensi fisik, pada kontradiksi, termasuk cedera fisik dan nyeri yang terlihat dan tidak tampak
Memerangi kekerasan seksual bukanlah solusi yang mudah dan cepat yang begitu populer
di kalangan politisi dan spesialis pencegahan kejahatan. Alasannya kompleks tetapi akan
mencakup beberapa jika tidak semua faktor berikut. Yang pertama adalah bahwa banyak kekerasan
seksual masih tetap tersembunyi, atau tidak dikenali, dan dengan demikian tetap berada di luar
infrastruktur sosial normalisasi. Kedua, mereka yang paling rentan terhadap viktimisasi cenderung
juga berada di antara populasi di komunitas dengan sumber daya sosial paling sedikit untuk
berbuat banyak ketika mereka mengalami kekerasan seksual intim. Ketiga, kekerasan seksual
intim tetap relatif tidak terlihat dan dinormalisasi dalam hubungan sehari-hari. Keempat, banyak
harapan yang salah tempat telah diinvestasikan dalam reformasi legislatif sebagai sarana untuk
mencegah kekerasan seksual dengan bertindak sebagai pencegah bagi calon pelanggar.
2.2 Tanda-Tanda Mengalami Kekerasan
Sementara sebagian besar pelaku kejahatan seks adalah laki-laki, dan sebagian besar
korbannya adalah perempuan, tidak semua laki-laki memperkosa atau bahkan mendapat
keuntungan dari ketakutan akan pemerkosaan, dan banyak laki-laki dapat dan melakukan praktik
seksual etis berdasarkan rasa saling menghormati dan kesenangan dengan pasangan mereka
(apakah sesama jenis atau lawan jenis). Sementara untuk menerima bahwa beberapa pria jelas
mengalami kesulitan dalam membentuk praktik seksual etis, pada tingkat konseptual, gagasan
bahwa pria secara inheren adalah kelompok yang berbahaya, rentan terhadap kekerasan seksual,
mengingatkan kembali pada teori Lombrosian tentang penjahat yang dilahirkan.

3
Kekerasan seksual dipahami sebagai kejahatan biologis yang telah diprogram sebelumnya
dimana tidak ada pengaruh eksternal, sosial atau budaya. Totalisasi konsepsi maskulinitas
heteroseksual sebagai seperangkat praktik yang pada dasarnya tidak etis, menutup kemungkinan
laki-laki bertindak secara etis, dan dengan demikian menempatkan perempuan pada posisi yang
harus selalu bertanggung jawab untuk menghindari viktimisasi mereka sendiri, dan mengambil
keputusan. menyalahkan ketika mereka tidak berhasil menggagalkan kemajuan seksual yang tidak
diinginkan.
2.3 Nursing Diagnosis
Perilaku kekerasan disebabkan oleh harga diri yang rendah, hal ini dapat menyebabkan
defisit perawatan diri, yang meningkatkan risiko merugikan diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan. Menurut Damayanti (2012), ada beberapa diagnosa keperawatan yang muncul pada
pasien yang menunjukkan perilaku kekerasan, antara lain perilaku agresif, harga diri rendah,
kurangnya perawatan diri, dan risiko melukai diri sendiri atau orang lain.
Individu yang mempunyai harga diri rendah dikarenakan memiliki idealisme yang tinggi
karena tidak menerima kenyataan tentang apa yang sudah dimiliki sekarang, dalam pola fikir setiap
individu akan berbeda, dengan mengekspresikan tingkah laku baik secara langsung maupun tidak
langsung, salah satunya dari akibat tersebut cara megekspresikannya dengan akan marah, kesal
terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan sekitarnya, yang menyebabkan klien
berperilaku secara tidak konstruktif, dengan melakukan perilaku kekerasan.
2.4 Nursing Assesment
Dengan mengkaji kemampuan kognitif, emotif, dan psikomotorik klien, implementasi
dilakukan sesuai dengan perlakuan penderitaan bagi klien yang menunjukkan perilaku kekerasan.
Strategi komunikasi harus digunakan, termasuk yang berikut: merayu dengan tenang, berbicara
perlahan, menghindari berbicara dengan nada pembinaan, berbicara dengan netral dan dengan cara
yang konkret, menunjukkan rasa hormat kepada klien, menghindari kontak mata langsung yang
intens, menunjukkan kontrol situasi tanpa terlihat seperti sombong.
2.5 Nursing Care Plan
Tindakan yang dilakukan pada klien yang menunjukkan perilaku kekerasan antara lain :
1. Membangun hubungan berdasarkan rasa saling percaya,
2. Mengenali asal-usul, gejala, dan akibat dari perilaku kekerasan,
3. Menerima instruksi tentang cara mengatur perilaku kekerasan secara fisik,
4. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki,
5. Menilai kemampuan yang digunakan,
6. Menentukan aktivitas sesuai kemampuan yang dimiliki,
7. Melakukan aktivitas sesuai kondisi
8. klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada

4
BAB 3

TINJAUAN KASUS
3.1 Contoh Kasus
Laporan media baru-baru ini menyoroti bahwa insiden kekerasan seksual sering terjadi di
acara musik live. Sebuah 'Sensus Musik Langsung Inggris' baru-baru ini menemukan bahwa hanya
sepertiga dari tempat musik yang memiliki kebijakan untuk melawan perilaku tersebut. Kekerasan
seksual memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan fisik dan mental mereka yang
mengalaminya, namun kita hanya tahu sedikit tentang bagaimana dampaknya terhadap interaksi
sehari-hari dengan musik, atau tindakan apa yang mungkin diambil oleh tempat dan promotor
untuk mencegah dan menanggapi insiden.
Dari penonton konser, manajer venue, promotor, dan juru kampanye, banyak terjadi
berbagai insiden yang termasuk dalam definisi luas kekerasan seksual. Seorang penonton konser
memperkirakan bahwa pada seperempat pertunjukan dia mengalami meraba-raba, sementara yang
lain menyebut 'daftar cucian' pelecehan seksual. Ada seorang wanita yang mengalami seorang pria
tiba-tiba dan tanpa kontak sebelumnya meletakkan tangannya ke bawah celananya. Wanita lain
merasakan seorang pria meletakkan penisnya di tangannya. Ada seorang pria yang berulang kali
diraba-raba melalui pakaiannya di alat kelamin oleh seorang wanita yang tidak mau menerima
jawaban tidak. Tanggapan lain datang dari perempuan yang perannya sebagai musisi telah
dimanfaatkan oleh pendengar laki-laki yang mencoba menyentuh atau mencium mereka saat
mereka di atas panggung atau saat bertemu dan menyapa. Ada juga wanita yang diraba-raba
bokong dan payudaranya dalam beberapa kesempatan.
3.2 Pemeriksaan fisik
Saat menerima pengobatan, klien menunjukkan perasaan tegang, cemas, dan gangguan
komunikasi/singkat. Sedih dengan kondisinya saat ini, mempengaruhi; labil karena kondisi
emosinya masih berubah-ubah; Saat berbicara klien terlihat curiga pada perawat, klien mengatakan
tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama lebih dari satu bulan.
Insiden tersebut berdampak pada kemampuan korban untuk menikmati musik, merasakan
nilai-nilainya yang mendalam, transenden, dan membentuk komunitas, serta berpartisipasi dalam
kehidupan musik. Ini berdampak pada partisipasi musik dalam beberapa cara: menarik
korban/penyintas dari diri mereka sendiri sehingga mereka tidak lagi tenggelam dalam musik;
mengganggu perasaan komunitas penonton pertunjukan sehingga korban/penyintas tidak lagi
merasa nyaman; itu mengatur demografi ruang pertunjukan, mempromosikan dominasi laki-laki;
dan menyebabkan korban/penyintas membatasi aktivitas manggung mereka. Tempat dan promotor
biasanya tidak siap untuk menghadapi insiden kekerasan seksual, juga tidak kebal terhadap 'mitos
pemerkosaan' yang menginformasikan wacana umum tentang kekerasan seksual.
Dalam pemeriksaannya juga korban kekerasan seksual menghadapi berbagai tantangan
sosial dan psikologis. Dalam kasusnya korban merasa ketakutan, namun korban dan keluarganya
menahan diri untuk tidak melapor ke polisi karena pelakunya termasuk golongan elit masyarakat.

5
1. DS : Pasien malu dengan kondisinya saat ini. Pasien merasa dirinya telah dilecehkan dan
di pertontonkan di hadapan banyak orang
DO : Pasien merasa keluarga dan kerabat lainnya kurang supportif . Keluarga dari korban
hanya memberikan kewaspadaan di kemudian hari , namun tidak memberikan semangat
dalam segi psikologisnya
2. DS : Klien bahwa ia merasa terganggu jika orang lain banyak bicara, namun klien
menyatakan hal ini pernah terjadi sebelumnya.
DO : Klien tampak menunjukkan ekspresi wajah tegang, nada bicara tinggi keras, gerakan
agitasi, gelisah, mondar-mandir, tidak suka berlama lama komunikasi, afek klien labil, saat
diwawancarai

6
BAB 4

PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Inkonsistensi dalam definisi tentang apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual atau
pelecehan seksual, konsekuensi yang tidak diinginkan dari pelaporan wajib, kurangnya
inklusivitas dalam pengembangan kebijakan, prosedur, program, dan dampak iklim negara
terhadap kebijakan dan praktik adalah poin kunci untuk masa depan riset. Kekerasan seksual
berkontribusi pada ketidaksetaraan sosial di berbagai kasus dan konteks. Kekuatannya terletak di
mana-mana sebagai alat dominasi dan kemudahan yang membuatnya tidak terlihat. Inti dari proses
ini adalah kekuatan untuk menentukan tindakan mana yang merupakan kekerasan dan bagaimana
intervensi keperawatan yang dilakukn. Perebutan definisi terjadi di semua tingkatan ketika
individu berjuang untuk memahami kasus kekerasan yang dialami dan bagaimana upaya
mengatasinya.

4.2 Saran
Diharapkan bagi perawat-perawat yang membaca dapat mengatasi kekerasan apaun pada
wanita, bisa menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.

7
DAFTAR PUSTAKA
Basile KC. (2002). Prevalence of wife rape and other intimate partner sexual coercion in a
nationally representative sample of women. Violence Vict. 17:511-524.
Basile, KC. (2002). Op Cit.
National Board of Social Services (2017). Annual Statistics 2016 - Women and children in
shelters. Key figures and thematic analyzes], December 2017.
Struckman-Johnson C, Struckman-Johnson D, Anderson PB. (2003). Tactics of sexual coercion:
when men and women won’t take no for an answer. J Sex Res.40:76-86.
Webster E, Brennan M, Behr A et al. (2018) Valuing Live Music: The UK Live Music Census
2017 Report. Available at: http://uklivemusiccensus.org/wp-content/uploads/2018/03/UK-
LiveMusic-Census-2017-full-report.pdf diakses pada 7 Oktober 2021.
Itzin C, Taket A and Barter-Godfrey S (2010) Domestic and Sexual Violence and Abuse: Tackling
the Health and Mental Health Effects. London: Routledge.
Salamah, S., & Nyumirah, S. (2018). Asuhan Keperawatan Pada Tn. T Dengan Resiko Perilaku
Kekerasan. Buletin Kesehatan: Publikasi Ilmiah Bidang kesehatan, 2(2), 59-69.
Hill, R. L., Hesmondhalgh, D., & Megson, M. (2019). Sexual violence at live music events:
Experiences, responses and prevention. International Journal of Cultural Studies,

Anda mungkin juga menyukai