Anda di halaman 1dari 39

MAKALAH POLITIK KESEHATAN

WOMEN, DISCRIMINATION AND THE PROMOTION OF HEALTH

Dosen Pengampu: Ira Nurmala, SKM, MPH, Ph.D

Disusun Oleh : Kelompok 1


Alfi Makrifatul Azizah (102014153010)
Eni Purwaningsih (102014153016)

UNIVERSITAS AIRLANGGA
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
SURABAYA
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Politik Kesehatan dengan judul “Women,
Discrimination and the Promotion of Health” ini tepat waktu. Pada kesempatan ini, penulis
ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu Ira Nurmala, SKM, MPH, Ph.D selaku Dosen
Pengampu mata kuliah Politik Kesehatan yang telah membimbing dan memberikan tambahan
pengetahuan selama perkuliahan. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman
yang telah membantu sehingga tugas ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, apabila
ada kritik dan saran dari pembaca akan penulis terima, demi perbaikan tugas ini. Semoga tugas
ini dapat memberi manfaat bagi pembaca maupun penulis.

Penulis

Surabaya, 1 November 2021

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................................i

KATA PENGANTAR.........................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.......................................................................................................1

1.2 Tujuan Makalah.........................................................................................................2

1.3. Manfaat Makalah......................................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................4

2.1 Pengertian Kesenjangan, Diskriminasi, Kesetaraan, dan Keadilan Gender...........4

2.2 Perempuan dan Diskriminasi.................................................................................9

2.3 Gender dan Promosi Kesehatan: Pendekatan Kebijakan Multisektoral...............15

2.3.1....Mengapa Harus Promosi Kesehatan dan Kebijakan Pencegahan Penyakit dan


Intervensi Perhatikan Gender ?..........................................................................16

2.3.2....Jalan ke depan: respon kebijakan multisektoral terhadap ketimpangan gender


dalam kesehatan melalui promosi kesehatan dan pencegahan penyakit............21

2.4 Kesetaraan Gender dan Kesehatan Global: Tantangan Politik yang Saling
Bersilangan............................................................................................................29

BAB III PENUTUP..........................................................................................................32

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................32

3.2 Saran.....................................................................................................................32

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................33

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Berbicara soal peran perempuan sepertinya tidak akan pernah ada habisnya, sosok
perempuan selalu menjadi daya tarik bagi isu gender di negara berkembang terutama masalah
pendidikan tinggi bagi wanita dan perannya dalam ikut andil untuk pembanguann bangsa.
Sehingga memang sangat perlu untuk menjadi bahan kajian yang dalam mengenai histori dan
keberadaan sosok perempuan berpendidikan tinggi yang ingin memajukan pembangunan bangsa
terutama dibidang kesehatan masyarakat.

Kebanyakan sosok perempuan yang memiliki pendidikan tinggi dan berpotensi untuk
memajukan bangsa terkhususnya upaya untuk pembanguan kesehatan dibidang kesehatan
seringkali mendapatkan tantangan dari masyarakatnya setempat. Mengutip perkataan dari Najwa
Shihab bahwa “Ada pandangan perempuan suskes tidak disukai karena akan dianggap wah dia
ambisius sementara kalau laki-laki sukses dianggap hebat, jadi korelasi positif laki-laki yang
sukses sementara perempuan korelasinya negatif. Jadi ada kecenderungan perempuan untuk tidak
menunjukkan kemampuanya, karena kalo ngetop artinya gue sukses, padahal saya percaya
sukses dan popularitas itu 2 hal yang berbeda, ada banyak sekali orang yang tidak di spotlite tapi
melakukan hal yang luar biasa dan itu memberi dampak”.

Perempuan seringkali mendapat kritik pedas untuk tidak perlu sekolah yang tinggi lebih
baik segera menikah dan memiliki anak berbeda dengan laki-laki yang justru semakin tinggi
pendidikannya akan semakin tinggi pula nilai pandangnya di masyarakat. Menurut mayoritas
masyarakat perempuan tidak perlu berpendidikan tinggi karena ditakutkan tidak akan ada yang
mau menikahi. Selain itu, kodrat perempuan adalah mengurus rumah tangga sehingga tidak perlu
mengejar pendidikan yang tinggi. Label yang kurang baik dari masyarakat tersebut membuat
perempuan yang sebenarnya memiliki potensi bagi pembangunan bangsa terutama bidang
kesehatan seringkali hanya sebatas mimpi belaka. Sehingga, seringkali ditemukan perempuan
yang memiliki pendidikan rendah dan masalah kesehatan yang sukar untuk ditangani seperti
masalah stunting.

1
Salah satu faktor terjadinya stunting adalah pendidikan ibu yang rendah dan
pemahamannya terhadap kesehatan yang kurang baik terhadap pemilihan gizi sebelum hamil,
selama hamil, dan setelah melahirkan. Masalah stunting merupakan masalah yang krusial di
negara berkembang seperti Indonesia. Ibu yang memiliki anak stunting akan menghadapi
kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang dewasa yang kurang pendidikan,
miskin, kurang sehat dan lebih terhadap penyakit menular. Oleh karena itu, anak yang menderita
stunting merupakan predikator buruknya kualitas sumber daya manusia yang diterima secara
luas, yang selanjutnya menurunkan kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan
datang.

Berdasarkan hal tersebutlah sesungguhnya peran perempuan sangat penting dan


berpotensi untuk membantu upaya pembangunan bangsa termasuk di bidang kesehatan yang
seharusnya perlu mendapat apresiasi setingi-tingginya oleh seluruh rakyat Indonesia, bahwa
perempuan adalah bagian penting dalam kemajuan bangsa dan sebagai sumbangsih ide dan
kreatifitasnya untuk memajukan negara yang kita cintai dan peran aktif dari sosok perempuan
tidak menyimpang dari kodrat yang seringkali dilabelkan oleh masyarakat. Peran perempuan
dalam pembangunan kesehatan sebenarnya cukup terasa, mulai dari turut serta dalam
pembangunan sumber daya manusia, PKK dalam pemberdayaan keluarga, dan lain sebagainya.
Hanya permasalahannya yang ada seringkali perempuan tidak layak berpendidikan tinggi apalagi
berkarier di sebuah institusi atau menjadi pemimpin yang menduduki jabatan dan ikut andil
merumuskan kebijakan-kebijakan kesehatan bagi bangsa.
Sesuai pemaparan diatas, maka pada kesempatan kali ini penulis berkeinginan untuk
mengkaji lebih dalam tentang perempuan, diskriminasi dan promosi keseahatan kedalam sebuah
tulisan berupa makalah. Sebab isu gender masih menjadi isu tren di negara berkembang seperti
Indonesia yang berdampak pada hal negatif bagi pembangunan bangsa. Dengan kajian ini
diharapkan dapat memberikan pemahaman dan manfaat bagi penulis serta pembaca sekalian.

1.2 Tujuan Makalah

1. Mengetahui pengertian kesenjangan, diskriminasi, kesetaraan, dan keadilan gender


2. Mengetahui perempuan dan diskriminasi
3. Mengetahui gender dan promosi kesehatan: pendekatan kebijakan multisektoral

2
4. Mengetahui kesetaraan gender dan kesehatan global: tantangan politik yang saling
bersilangan

1.3. Manfaat Makalah

1. Dapat digunakan untuk menambah informasi mengenai perempuan, diskirimansi dan


promosi kesehatan.
2. Dapat digunakan sebagai acuan oleh instansi kesehatan dalam menjalankan politik kesehatan
tentang isu kesetaraan gender.
3. Dapat digunakan sebagai referensi kesehatan untuk menganalisis masalah kesetaraan gender.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kesenjangan, Diskriminasi, Kesetaraan, dan Keadilan Gender
Pada KBBI I (1988) perempuan diartikan sebagai 1. wanita 2. Istri; bini. Perubahan mulai
terjadi pada KBBI II sampai V yang diterbitkan tahun 2016; perempuan diartikan sebagai 1.
orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan
menyusui, wanita 2. Istri; bini 3. Betina (khusus pada hewan). Jika pada KBBI I terdapat tujuh
kata gabungan di bawah kata perempuan yang terdiri dari –geladak (pelacur), -jahat (perempuan
yang buruk kelakuannya), -jalang (pelacur), -jangak (perempuan cabul), -lecah (pelacur), -nakal
(perempuan tuna susila), maka pada KBBI II (1991) edisi selanjutnya terdapat tambahan -lacur
(pelacur), dan –simpanan (istri gelap) di KBBI III-V (2001-2016).

4
KBBI I-V selalu mencantumkan kata gabungan yang bersifat negatif dan peyoratif untuk
perempuan. Ini bertolak belakang jika kita membandingkan dengan kata gabungan yang
menyertai lema “laki-laki”. KBBI mencatat hanya ada satu kata gabungan –jemputan. Ajaibnya,
arti yang disematkan untuk kata gabungan tersebut adalah laki-laki yang dipilih dan diambil
menjadi menantu. Tidak kata gabungan yang bersifat negatif sama sekali. Tidak berhenti sampai
di situ, kata gabungan negatif yang disematkan jumlahnya kian banyak dalam setiap versi baru.

Mengacu pada Hipotesis Sapir dan Worf bahwa bahasa memiliki kelindan yang kuat
dengan budaya, naga-naganya kita sampai pada kesimpulan bahwa cara pandang kita terhadap
perempuan memang masih menggunakan perspektif patriarki, bahkan misoginis.

Studi kecil saya tentang adanya adjektiva seksis – seperti pemberian contoh terhadap
beberapa kata yang diidentikkan dengan gender tertentu – juga memperpanjang daftar lema
misoginis tersebut. Misalnya kata cerewet yang diartikan oleh KBBI dengan “suka mencela
(mengomel, mengata-ngatai, dsb); banyak mulut; nyinyir; bawel” dengan contoh pemakaian
“pembantu rumah tangga biasanya tidak suka bekerja pada nyonya rumah yang–”. Lema
“ceriwis” diartikan dengan suka “bercakap-cakap; banyak omong” dengan contoh pemakaian
_sudah umum setiap gadis itu (https://theconversation.com).

Gender adalah pembedaan peran, atribut, sifat, sikap dan perilaku yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Dan peran gender terbagi menjadi peran produktif, peran
reproduksi serta peran sosial kemasyarakatan.

Kata gender dapat diartikan sebagai peran yang dibentuk oleh masyarakat serta perilaku
yang tertanam lewat proses sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin perempuan dan
laki-laki. Ada perbedaan secara biologis antara perempuan dan laki-laki-namun kebudayaan
menafsirkan perbedaan biologis ini menjadi seperangkat tuntutan sosial tentang kepantasan
dalam berperilaku, dan pada gilirannya hak-hak, sumber daya, dan kuasa. Kendati tuntutan ini
bervariasi di setiap masyarakat, tapi terdapat beberapa kemiripan yang mencolok. Misalnya,
hampir semua kelompok masyarakat menyerahkan tanggung jawab perawatan anak pada
perempuan, sedangkan tugas kemiliteran diberikan pada laki-laki. Sebagaimana halnya ras, etnik,
dan kelas, gender adalah sebuah kategori sosial yang sangat menentukan jalan hidup seseorang
dan partisipasinya dalam masyarakat dan ekonomi. Tidak semua masyarakat mengalami
diskriminasi berdasarkan ras atau etnis, namun semua masyarakat mengalami diskriminasi
berdasarkan gender-dalam bentuk kesenjangan dan perbedaan-dalam tingkatan yang berbeda-

5
beda. Seringkali dibutuhkan waktu cukup lama untuk mengubah ketidakadilan ini. Suasana
ketidakadilan ini terkadang bisa berubah secara drastis karena kebijakan dan perubahan sosial-
ekonomi (http://sdgs.bappenas.go.id).

Kesenjangan gender adalah perbedaan kondisi dan capaian pada aspek-aspek hak-hak
dasar warga negara seperti kesehatan, pendidikan, perekonomian dan politik. Kesenjangan
gender disebabkan oleh bias gender, yaitu perlakuan yang tidak sama dalam memperoleh
kesempatan, partisipasi, pengambilan keputusan berdasarkan jenis kelamin dan peran gender
seseorang.

Diskriminasi gender adalah perlakuan berbeda karena gender pada kesempatan,


keterlibatan atau partisipasi yang sama yang menimbulkan kerugian dan ketidakadilan bagi salah
satu pihak, baik kepada pihak laki-laki atau pihak perempuan. Oleh sebab itu, negara harus
memiliki kebijakan dalam upaya menghilangkan kesenjangan gender, sehingga tercapai keadilan
dan kesetaraan gender.

Kesetaraan gender adalah perlakuan yang sama bagi laki-laki dan perempuan dalam
kondisi yang sama di dalam memperoleh kesempatan, keterlibatan atau partisipasi dan
pengambilan keputusan serta keterjangkauan manfaat pembangunan dan kesejahteraan.
Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh
kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut (INPRES No.9 Tahun 2000).

Dalam budaya patriarki di Indonesia secara eksplisit terungkap bahwa perempuan


mempunyai kedudukan sebagai “milik‟ kaum laki-laki, pelayan / asisten ( melayani/membantu)
memenuhi kebutuhan kaum laki-laki dan penghasil keturunan. Sangat tergambar dengan jelas
bahwa perempuan tidak mempunyai kemandirian dan hidup hanya tergantung dari kaum laki-
laki. Hal ini terjadi secara turun temurun dan juga didukung karena tidak adanya kemampuan /
daya saing seorang perempuan untuk bisa menunjukkan eksistensi dirinya.

Berlakunya budaya patriarki (menurut Bhasin ( dalam Retnowulandari, 2012) sekarang


istilah patriarki digunakan secara lebih umum untuk menyebut kekuasaan laki-laki) yang sampai
sekarang masih dianut oleh masyarakat Indonesia membuat sebagian kaum perempuan atas nama

6
kesetaraan gender menjadi tidak nyaman dengan posisi sebagai warga “kelas dua”. Pandangan
yang sempit dalam budaya patriarki mendukung kaum laki-laki melegalkan tindakan semena-
mena terhadap kaum perempuan. sehingga muncul macam-macam gerakan kaum feminis yang
menentang anggapan bahwa kaum perempuan hanya berperan dalam urusan domestik lokal
hingga yang beranggapan bahwa pernikahan sebagai “ladang subur” praktik patriarki yang
tentunya bisa menghambat eksistensi seorang perempuan.

Nilai– nilai patriarki secara tersirat telah mengisyaratkan bahwa perempuan adalah
makhluk yang feminim dan emosional sedangkan laki-laki adalah makhluk yang maskulin dan
rasional. Ada juga pembagian peran dalam masyarakat, misalnya bahwa laki-laki bekerja
disektor publik sedangkan perempuan berada di sektor domestic. Patriarki memilah secara kaku
peran sosial laki-laki dan perempuan ke dalam wilayah publik dan domestik. lingkup domestik
diidentikkan dengan perempuan dan tanggung jawabnya dalam pengasuhan anak. Warisan
budaya yang dipelihara dalam masyarakat Jawa sering memposisikan perempuan sebagai
pelengkap, sehingga membuat mereka takut untuk menyuarakan hak-hak yang sepatutnya
didapatkan oleh perempuan. selain itu Pemikiran-pemikiran dangkal seperti itulah yang
menyebabkan patriarki tumbuh subur di tanah Jawa (Irma, 2017).

Budaya Patriarki ini dapat berdampak pada kesehatan wanita terutama kesehatan
mentalnya karena dapat menimbulkan masalah sosial seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga
(KDRT), pelecehan seksual, angka pernikahan dini, dan stigma mengenai perceraian. Seperti
yang dilansir dari kompasiana.com, Komnas Perempuan mendokumentasikan 259.150 kasus
kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang tahun 2016, dengan rincian sebanyak 245.548
kasus diperoleh dari 358 Pengadilan Agama dan 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga
mitra pengadaan layanan.Data ini tersebar ke 34 provinsi di Indonesia.

Berbagai kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak lepas dari masih ajegnya budaya
patriarki yang masih melekat sebagai pola pikir hingga menjadi faktor penyebab. Termasuk juga
memberi legitimasi pada tindakan kekerasan yang dilakukan laki-laki kepada pasangannya.
Budaya patriarki yang memberikan pengaruh bahwa laki-laki itu lebih kuat dan berkuasa
daripada perempuan, sehingga istri memiliki keterbatasan dalam menentukan pilihan atau
keinginan dan memiliki kecenderungan untuk menuruti semua keinginan suami, bahkan
keinginan yang buruk sekalipun. Terdapat sebuah realitas sosial yang kerap terjadi di masyarakat

7
apabila kekerasan “Boleh Saja” dilakukan oleh laki-laki /suami apabila istri tidak mau menuruti
keinginan suami.

Komnas Perempuan mengeluarkan Catatan Tahunan (Catahu) tahun 2016 dengan temuan
terdapat 16.217 kasus pelecehan seksual yang berhasil didokumentasikan. Masyarakat seperti
membiarkan jika ada laki- laki bersiul dan menggoda kaum perempuan yang melintas di jalan,
tindakan mereka seolah-olah menjadi hal yang lumrah dan wajar sebab sebagai laki-laki, mereka
harus berani menghadapi perempuan, laki-laki dianggap sebagai kaum penggoda sementara
kaum hawa adalah objek atau makhluk yang pantas digoda dan tubuh perempuan dijadikan sebab
dari tindakan kekerasan itu sendiri. Terdapat pula yang disebut dengan victimblaming, atau suatu
kondisi dimana pihak korban yang justru menjadi objek atau sasaran kesalahan dari sebuah
kejadian. Pada kasus pelecehan seksual, perempuan justru menjadi pihak yang disalahkan, entah
itu berkaitan dengan cara berpakaian, tingkah laku, waktu kejadian pelecehan, atau justifikasi
yang tidak menempatkan laki-laki sebagai pelaku. Pada kasus pelecehan seksual, perempuan
justru menjadi pihak yang disalahkan, entah itu berkaitan dengan cara berpakaian, tingkah laku,
waktu kejadian pelecehan, atau justifikasi yang tidak menempatkan laki-laki sebagai pelakuf.
Dasar dari justifikasi tersebut adalah merupakan sesuatu yang normal untuk laki- laki melakukan
pelecehan seksual karena mereka memiliki libido atau syahwat yang tinggi, letak
permasalahannya justru terdapat di perempuan yang menurut moral masyarakat tidak dapat
menjaga dirinya dengan baik atau terhormat. Para korban pun akhirnya diberi label oleh
lingkungan sosial dengan label yang jelek atau bahkan hina.

Menurut data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun
2015, angka pernikahan dini di Indonesia peringkat kedua di kawasan Asia Tenggara. Menurut
data penelitian Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia tahun 2015, angka
pernikahan dini di Indonesia peringkat kedua di kawasan Asia Tenggara. Ada sekitar 2 juta dari
7,3 perempuan Indonesia di bawah umur 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah ini
diperkirakan akan meningkat menjadi 3 juta orang di tahun 2030. Dari banyak kasus yang
berhasil dihimpun oleh Komnas Perempuan, hampir 50% pernikahan dini dilakukan antara
perempuan berusia dibawah 18 tahun dengan laki-laki berusia diatas 30 tahun dan terjadi
dibawah tekanan atau paksaan.

8
Terdapat pengaruh dari budaya patriarki dan konstruksi sosial yang dibentuk oleh
masyarakat mengenai pernikahan dini, seperti perempuan adalah penerima nafkah dan hanya
berkecimpung berkecimpung di sektor domestik. Implikasinya adalah kebebasan mereka benar-
benar dibatasi dengan status seorang istri, seperti misalnya mereka tidak diberi kesempatan untuk
meneruskan pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi atau mengembangkan bakat serta
kemampuan yang mereka miliki. Sebagian besar dari mereka berstatus sebagai ibu rumah tangga
dan cenderung tidak produktif sama sekali. Pekerjaan mereka hanya berkutat di mencuci,
memasak, menyapu, dan membersihkan rumah. Di buku Dinamika Gender dan Pengelolaan
Kekayaan Alam karangan E.Linda Yuliani dijelaskan bahwa budaya patriarki yang masih terjadi
di masyarakat membuat posisi perempuan menjadi terpojok dalam kasus pernikahan dini.
Mereka tidak memiliki kebebasan untuk melakukan penolakan karena di beberapa adat,
perempuan yang menolak untuk dinikahi adalah perempuan yang hina dan tidak tahu diri. Maka,
meskipun realitas sosial yang terjadi bahwa banyak dari mereka yang belum siap secara mental
untuk menikah, namun sayangnya fakta tersebut masih diabaikan.

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tiga tahun merilis
data bahwa angka perceraian di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia Pasifik dengan jumlah
terlapor sebanyak 212.400 kasus perceraian dan 75% pihak penggugat datang dari pihak
perempuan. Perceraian merupakan hal paling tidak diimpikan oleh setiap pasangan suami-istri,
terlebih bagi kaum perempuan. Budaya patriarki memberi kesan negatif kepada janda daripada
duda. Kaum janda seringkali ditempatkan sebagai wanita pada posisi yang rendah, lemah, tidak
berdaya dan membutuhkan belas kasih, sehingga dalam kondisisosial budaya seringkali terjadi
ketidakadilan dan diskriminasi, termasuk pada stigma. Perempuan menjadi objek yang
disalahkan atas terjadinya sebuah perceraian (Sakina and A., 2017).

Keadilan gender adalah suatu proses untuk mendapat posisi, peran atau kedudukan yang
adil bagi laki-laki dan perempuan. Untuk mencapai keadilan gender itu dilakukan dengan
perlakuan yang sama atau perlakuan berbeda kepada laki-laki dan perempuan berdasarkan
kebutuhan masing-masing. Keadilan gender adalah suatu proses untuk menjadi adil terhadap
laki-laki dan perempuan (INPRESNo.9 Tahun 2000).

Gender diperbincangkan di Indonesia karena gender dikaitkan dengan masalah hak dan
kewajiban laki-laki dan perempuan sebagai warga negara yang dijamin oleh konstitusi UUD

9
1945 seperti hak mendapatkan perlindungan keamanan, hak hidup, hak pendidikan, hak politik,
hak ekonomi dan hak-hak lainnya (Azisah et al., 2016).
2.2 Perempuan dan Diskriminasi

Diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi pada seluruh aspek kehidupan, di


seluruh dunia. Ini adalah fakta meskipun ada kemajuan yang cukup pesat dalam
kesetaraan gender dewasa ini. Sifat dan tingkat diskriminasi sangat bervariasi di berbagai
negara atau wilayah. Tidak ada satu wilayah pun di negara dunia ketiga di mana
perempuan telah menikmati kesetaraan dalam hak-hak hukum, sosial dan ekonomi.
Kesenjangan gender dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi,
kekuasaan, dan partisipasi politik terjadi di mana-mana. Perempuan dan anak perempuan
menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya
ketidaksetaraan itu merugikan semua orang. Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan
persoalan pokok suatu tujuan pembangunan yang memiliki nilai tersendiri.

Kesetaraan gender akan memperkuat kemampuan negara untuk berkembang,


mengurangi kemiskinan, dan memerintah secara efektif. Dengan demikian
mempromosikan kesetaraan gender adalah bagian utama dari strategi pembangunan dalam
rangka untuk memberdayakan masyarakat (semua orang)-perempuan dan laki-laki-untuk
mengentaskan diri dari kemiskinan dan meningkatkan taraf hidup mereka. Pembangunan
ekonomi membuka banyak jalan untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam jangka
panjang .

Tujuan kelima pada Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB)/ Sustainable


Development Goals (SDGs) adalah Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan
Perempuan. Gender merupakan isu yang multidimensi dan tercantum di hampir seluruh
TPB. Dalam mengevaluasi hasil pembangunan yang berperspektif gender digunakan
beberapa indikator diantaranya Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks
Pemberdayaan Gender (IDG) (Dini Iklilah M, et al, 2020).

IPG merupakan perbandingan antara Indeks Pembangunan Manusia (IPM) laki-laki


dan IPM perempuan dilihat dari kualitas dimensi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.
Dimensi pendidikan menggunakan harapan lama sekolah dan rata-rata lama sekolah,

10
dimensi kesehatan menggunakan umur harapan hidup, serta dimensi ekonomi
menggunakan pengeluaran per kapita disesuaikan. Angka IPG yang mendekati 100
menunjukkan bahwa pencapaian pembangunan perempuan hampir sama dengan laki-laki.
Namun, kita perlu perhatikan level pencapaian IPM laki-laki dan perempuan di suatu
wilayah yaitu apakah sama-sama tinggi atau sama-sama rendah (Dini Iklilah M, et al,
2020).

Selanjutnya, Selanjutnya, IDG digunakan untuk mengukur partisipasi aktif perempuan di


bidang ekonomi, politik dan manajerial. Tiga indikator yang digunakan yaitu persentase
sumbangan perempuan dalam pendapatan kerja, keterlibatan perempuan di parlemen, dan
keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan melalui indikator perempuan sebagai
tenaga manajerial, professional, administrasi, dan teknisi. Pada tahun 2019, masih terdapat 19
provinsi dengan capaian IPG di bawah rata-rata nasional. Sedangkan untuk IDG hanya ada 5
provinsi yang pencapaiannya berada di atas rata-rata nasional. Hal ini menunjukkan masih ada
kesenjangan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat antara laki-laki dan perempuan dalam
pembangunan di banyak daerah (Dini Iklilah M, et al, 2020).

Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan memiliki makna yang penting karena


setelah diadopsi maka akan dijadikan acuan secara global dan nasional sehingga agenda
pembangunan menjadi lebih fokus. Setiap butir tujuan tersebut menjunjung tinggi Hak
Asasi Manusia (HAM) dan untuk mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan, baik tua maupun muda.

Tujuan dari kesetaran gender dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan adalah sebagai
berikut:

1. Mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap kaum perempuan dimanapun.


2. Menghapuskan segala bentuk kekerasan terhadap kaum perempuan di ruang publik dan
pribadi, termasuk perdagangan orang dan eksploitasi seksual, serta berbagai jenis eksploitasi
lainnya.
3. Menghapuskan semua praktik berbahaya, seperti perkawinan usia anak, perkawinan dini dan
paksa, serta sunat perempuan.

11
4. Mengenali dan menghargai pekerjaan mengasuh dan pekerjaan rumah tangga yang tidak
dibayar melalui penyediaan pelayanan publik, infrastruktur dan kebijakan perlindungan
sosial, dan peningkatan tanggung jawab bersama dalam rumah tangga dan keluarga yang
tepat secara nasional.
5. Menjamin partisipasi penuh dan efektif, dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk
memimpin di semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan politik, ekonomi, dan
masyarakat.
6. Menjamin akses universal terhadap kesehatan seksual dan reproduksi, dan hak reproduksi
seperti yang telah disepakati sesuai dengan Programme of Action of the International
Conference on Population andDevelopment and the Beijing Platform serta dokumen-
dokumen hasil reviu dari konferensi-konferensi tersebut.
7. Melakukan reformasi untuk memberi hak yang sama kepada perempuan terhadap sumber
daya ekonomi, serta akses terhadap kepemilikan dan kontrol atas tanah dan bentuk
kepemilikan lain, jasa keuangan, warisan dan sumber daya alam, sesuai dengan hukum
nasional.
8. Meningkatkan penggunaan teknologi yang memampukan, khususnya teknologi informasi
dan komunikasi untuk meningkatkan pemberdayaan perempuan.
9. Mengadopsi dan memperkuat kebijakan yang baik dan perundang-undangan yang berlaku
untuk peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan kaum perempuan di semua
tingkatan (Bappenas, 2021).
Dalam memastikan kesetaraan gender terintegrasi dalam pembangunan di
Indonesia, pemerintah menyadari adanya sejumlah tantangan dalam pembangunan SDM.
Secara khusus, dalam bidang kesetaraan gender, RPJMN menyebutkan adanya sejumlah
tantangan yang diidentifikasi, yaitu:
1. Tantangan dalam pembangunan kesehatan dan gizi masyarakat adalah meningkatkan
upaya promotif dan preventif; meningkatkan pelayanan kesehatan ibu anak, perbaikan
gizi (spesifik dan sensitif), mengendalikan penyakit menular maupun tidak menular,
meningkatkan pengawasan obat dan makanan, serta meningkatkan akses dan mutu
pelayanan kesehatan.
2. Tantangan dalam pembangunan pendidikan adalah mempercepat peningkatan taraf
pendidikan seluruh masyarakat untuk memenuhi hak seluruh penduduk usia sekolah

12
dalam memperoleh layanan pendidikan dasar yang berkualitas, dan meningkatkan
akses pendidikan pada jenjang pendidikan menengah dan tinggi; menurunkan
kesenjangan partisipasi pendidikan antarkelompok sosial-ekonomi, antar wilayah dan
antarjenis kelamin, dengan memberikan pemihakan bagi seluruh anak dari keluarga
kurang mampu; serta meningkatkan pembelajaran sepanjang hayat.
3. Tantangan dalam mempercepat peningkatan kesetaraan gender dan peranan
perempuan dalam pembangunan adalah meningkatkan pemahaman, komitmen, dan
kemampuan para pengambil kebijakan dan pelaku pembangunan akan pentingnya
pengintegrasian perspektif gender di semua bidang dan tahapan pembangunan,
penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender termasuk perencanaan dan
penganggaran yang responsif gender di pusat dan di daerah; dan
4. Tantangan dalam peningkatan perlindungan perempuan dan anak dari tindak
kekerasan dan perlakuan salah lainnya adalah merubah sikap permisif masyarakat dan
praktek budaya yang toleran terhadap kekerasan dan perlakuan salah lainnya, serta
melaksanakan sistem perlindungan perempuan dan anak secara terkoordinasi dan
menyeluruh mulai dari upaya pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi (Dini Iklilah
M, et al, 2020).
Salah satu contoh praktek budaya yang tidak melindungi perempuan terutama
yang sedang bersalin di Indonesia adalah budaya pengasingan pada wanita di suku Muyu
saat melahirkan. Wanita yang sedang haid/ mentruasi dan yang bersalin pantang untuk
melahirkan dirumah. Mereka akan diasingkan di sebuah gubuk yang letaknya bisa
ditengah ladang atau hutan. Keyakinan masyarakat Suku Muyu pada hawa kotor darah
persalinan dan menstruasi sangat kuat. Hawa kotor ini diyakini bisa melemahkan, bahkan
menghilangkan kesaktian laki-laki Muyu. Hal ini mendorong masyarakat untuk meng-
asingkan setiap perempuan Muyu yang hendak bersalin. Hal ini dikuatkan dengan
pemberlakuan denda adat bagi yang melanggar. Tentunya hal ini sangat tidak adil dan
bahkan semena- mena pada wanita yang sedang dalam kondisi lemah (maternal).
Keyakinan masyarakat Muyu tentang ìptèm persalinan yang membentuk faham “asal
persalinan tidak di dalam rumah” sebagai peluang yang dapat dimanfaatkan untuk
menggeser pola persalinan “asal tidak di rumah” ke persalinan oleh tenaga kesehatan di
fasilitas kesehatan (Laksono Agung Dwi, Soerachman Rachmalina, 2016)

13
Realitas pembangunan manusia di Indonesia masih terus diperjuangkan untuk
mencapai harapan terbaiknya. Pemenuhan hak dasar manusia, terutama di bidang
pendidikan, kesehatan dan ekonomi masih terus menjadi prioritas utama. Kesenjangan
capaian pada perempuan dan laki-laki yang masih dijumpai menjadi landasan arah
pembangunan manusia ke depan. Tantangan pembangunan manusia di Indonesia masih
dihadapkan pada persoalan struktural dan kultural. Secara struktural, keberpihakan pada
pembangunan yang berkesetaraan gender masih perlu diperkuat melalui penguatan sistem,
perspektif, dan analisis gender para pengambil kebijakan dan pelaksana program. Secara
kultural konstruksi gender yang masih merugikan salah satu kelompok jenis kelamin,
terutama pada perempuan masih kuat mengakar. Budaya patriarki masih terlihat dalam
praktik kehidupan masyarakat yang berdampak pada hasil-hasil pembangunan. Stereotip
yang terus dikonstruksi berakibat pada posisi perempuan yang secara budaya diposisikan
lebih rendah sehingga pengambilan keputusan masih belum sepenuhnya
mempertimbangkan kebutuhan dan kepentingan terbaik perempuan. Situasi ini
berpengaruh pada proses pembangunan, dan pada akhirnya berdampak pada capaian
pembangunan manusia Indonesia.

Pembangunan manusia di bidang kesehatan masih perlu diperjuangkan. Angka


Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih jauh dari harapan target SDG’s untuk sampai
pada angka 70 kematian per 100.000 kelahiran hidup di tahun 2030. Meskipun persentase
persalinan perempuan yang telah ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih di tahun 2019
telah mencapai 94,71 persen, namun data BPS menunjukkan perkawinan pertama pada
perempuan usia di bawah 19 tahun masih sangat tinggi, yaitu usia 17-18 tahun sebesar
20,74 persen dan usia kurang dari 16 tahun sebanyak 15,48 persen (Kemen. PPPA,
2020a). Kepedulian terhadap kesehatan reproduksi perempuan masih sangat diperlukan
karena kesenjangan antara laki-laki dan perempuan yang sangat tinggi, hal ini
ditunjukkan dengan banyaknya praktik perkawinan usia anak pada perempuan, kehamilan
yang tidak diinginkan, dan masih sangat rendahnya jumlah pengguna alat kontrasepsi
pada laki-laki. Pada ibu hamil dan anak usia dibawah usia dua tahun, akses mendapatkan
layanan kesehatan dasar juga sangat sulit, hal ini dapat meningkatkan kerentanan resiko
pertumbuhan janin/bayi stunting (Dini Iklilah M, et al, 2020).

14
Dalam dunia kerja, pemerintah Indonesia memiliki UU Ketenaga kerjaan yang
memberikan perlindungan hak bagi pekerja perempuan yaitu Undang-undang
Ketenagakerjaan pasal 82 yang harus ditaati pengusaha/pemberi kerja. Berikut bunyi
ketentuan yang tidak berubah dalam UU Cipta Kerja:
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu
setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak
memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kandungan atau bidan.
Hak pekerja saat sedang datang bulan tercantum dalam pasal 93 ayat dua butir b.
Ketentuan juga menyatakan, pengusaha wajib membayar penuh upah pekerja. Berikut
bunyi ketentuan yang tidak diubah dalam UU Cipta Kerja Omnibus Law:
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa
haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
Pemerintah telah mengesahkan UU Cipta Kerja Omnibus Law yang mengatur hak
dan kewajiban pekerja. Aturan hak salah satunya terkait cuti dan istirahat yang bisa
digunakan para buruh.
Hak cuti yang menjadi sorotan adalah hamil, melahirkan, dan haid yang
dikhawatirkan berubah. Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah menjelaskan, UU
Cipta Kerja Omnibus Law tidak mengubah ketentuan dalam hal tersebut.
"Hak tidak masuk kerja karena sakit akibat haid, istilah di UU 13 tahun 2003
'istirahat' bukan cuti, dan istirahat melahirkan, bukan cuti hamil, serta hak lainnya atas
cuti dan istirahat, tetap masih berlaku," (https://apps.detik.com/detik/).
Hari Perempuan Internasional pertama kali diresmikan pada 1911, menyusul
keputusan Konferensi Internasional Perempuan Pekerja yang diadakan di Kopenhagen
setahun sebelumnya. Kini, setelah 100 tahun, keseteraan dalam dunia kerja masih terus
diperjuangkan meski sudah mengalami kemajuan. Berbagai organisasi maupun instansi di
seluruh dunia serentak memeringati Hari Perempuan Internasional setiap 8 Maret.
Peringatan ini menitikberatkan pesan yang kembali digaungkan yakni penghapusan
diskriminasi terhadap kaum Hawa. Pesan yang disuarakan mendunia ini mengerucut pada

15
salah satu isu krusial, yakni peran perempuan dalam dunia kerja, baik kesetaraan dalam
karier dan pekerjaan, maupun perlindungan terhadap tenaga kerja perempuan.
Terlepas dari sejarah Hari Perempuan Internasional, Indonesia juga memiliki
berbagai tokoh perempuan yang juga mengukir sejarah perkembangan peran serta hak-hak
perempuan dalam hidupnya. Inilah yang menjadi inspirasi perempuan – perempuan yang
ada di Tanah air untuk tetap berprestasi, yakni Raden Ajang Kartini yang kita kenal
dengan tulisannya yang berjudul ‘Habislah Gelap Terbitlah Terang’. Sampai saat
sekarang, ini merupakan motivasi bagi kaum perempuan untuk bekerja, belajar dan
berwirausaha seperti laki-laki tanpa melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan.

Undang-undang Tenaga Kerja Yang Berkaitan Dengan Perempuan di Indonesia

Kesetaraan gender merujuk pada kesamaan hak, tanggungjawab, kesempatan,


perlakuan, dan penilaian bagi laki-laki maupun perempuan. Sampai saat ini cukup banyak
ketentuan yang mengatur mengenai perlindungan bagi pekerja perempuan, baik dalam
konvensi internasional maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia, antara lain.

1. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan konvensi mengenai penghapusan


segala bentuk diskriminatif terhadap wanita.

2. ILO Convention No. 183 Year 2000 (Konvensi ILO mengenai Perlindungan
Maternitas) seperti Penghapusan segala bentuk kerja paksa dan kerja wajib,
Penghapusan kerja anak, Penghapusan diskriminasi dalam hal pekerjaan dan
jabatan serta Kebebasan berserikat dan pengakuan akan hak atas perundingan
bersama.

3. UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan).

4. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM)

5. UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan)

(https://www.jhonlinmagz.com/peran-perempuan-dalam-dunia-kerja/)

16
2.3 Gender dan Promosi Kesehatan: Pendekatan Kebijakan Multisektoral

Perempuan dan laki-laki berbeda dalam hal biologi mereka, peran dan tanggung jawab
yang diberikan masyarakat kepada mereka dan posisi mereka dalam keluarga dan masyarakat.
Faktor-faktor ini memiliki pengaruh besar pada penyebab, konsekuensi dan pengelolaan penyakit
dan kesehatan yang buruk dan pada kemanjuran kebijakan dan program promosi kesehatan. Hal
ini dikonfirmasi oleh bukti perbedaan pria-wanita dalam penyebab kematian dan morbiditas
spesifik dan paparan faktor risiko. Intervensi promosi kesehatan yang bertujuan untuk
memastikan lingkungan yang aman dan mendukung, kondisi hidup dan gaya hidup yang sehat,
keterlibatan dan partisipasi masyarakat, akses ke fasilitas penting dan layanan sosial dan
kesehatan perlu mengatasi perbedaan antara perempuan dan laki-laki, anak laki-laki dan
perempuan secara adil dalam agar efektif.

Kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender dalam pembangunan manusia telah


terlihat dalam berbagai kebijakan dan regulasi di Indonesia. Selain melakukan ratifikasi terhadap
sejumlah konvensi internasional seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan/Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against
Women (CEDAW) dan Beijing Declaration and Platform for Action (BDPA), pemerintah
Indonesia juga telah mengesahkan sejumlah kebijakan dan undang-undang untuk penghapusan
berbagai diskriminasi gender dan pembangunan manusia berbasis gender. Dokumen perencanaan
pembangunan disusun dengan mempertimbangkan dan memperhitungkan kesenjangan dan
diskriminasi gender. Upaya ini menunjukkan komitmen pemerintah Indonesia dalam rangka
memastikan pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang setara dan adil gender (Dini
Iklilah M, et al, 2020).

. Negara memiliki tanggung jawab besar dalam menghapuskan diskriminasi terhadap


perempuan. Tumbuh kembangnya praktek diskriminasi terhadap perempuan sangat terkait erat
dengan berbagai persoalan yang banyak terjadi di sekeliling seperti kemiskinan serta pembatasan
hak-hak perempuan dalam politik maupun untuk berkiprah di ruang publik atau dalam bekerja.
Bahkan salah satu prinsip dalam pandangan Feminisme Barat menegaskan bahwa setiap
perempuan berhak untuk bekerja di luar rumah sebagaimana laki-laki asalkan tidak melupakan
kodratnya sebagai seorang perempuan (https://www.jhonlinmagz.com).

17
2.3.1 Mengapa Promosi Kesehatan dan Kebijakan Pencegahan Penyakit dan Intervensi
Harus Memperhatikan Gender?
Keberhasilan pembangunan sangat bergantung pada sejauh mana keseimbangan
partisipasi perempuan dan laki-laki terus didorong secara maksimal di semua aspek kehidupan.
Dalam meningkatkan partisipasi laki-laki dan perempuan, keterbukaan akses yang setara dan
kontrol yang seimbang menjadi prasyarat, sehingga manfaat dapat diperoleh secara adil dan
merata. Untuk tujuan tersebut, urgensi kesetaraan gender semakin nyata di semua bidang
pembangunan, baik di bidang kesehatan, ekonomi, pendidikan, sosial, dan politik (Dini Iklilah
M, et al, 2020) .

Konstitusi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menyatakan bahwa, “semua


manusia, tanpa memandang ras, kepercayaan atau jenis kelamin,memiliki hak untuk mengejar
kesejahteraan material maupun pengembangan spiritual secara bebas dan bermartabat, dengan
jaminan ekonomi serta kesempatan yang sama.”. Prinsip-prinsip ini diartikulasikan sebagai
hak-hak dasar setiap manusia. Apa yang benar bagi seorang individu manusia adalah benar pula
bagi masyarakat, dan juga baik bagi ekonomi maupun bangsa.

Tidak ada masyarakat yang bebas dari diskriminasi, dan praktik-praktik diskriminatif
merasuki semua aspek kehidupan, termasuk aspek politik dan publik (misalnya partisipasi dalam
penyusunan dan tata kelola kebijakan publik) pendidikan (misalnya akses terhadap pendidikan
berkualitas), perawatan kesehatan (misalnya akses terhadap rumah sakit yang terjangkau) budaya
(misalnya akses terhadap ekspresi kebudayaan dalam bahasa ibu) (Kemenakertrans, 2012).

Ada banyak bukti dari semua bidang penelitian kesehatan bahwa perempuan dan laki-laki
berbeda dalam hal biologi (perbedaan jenis kelamin), akses mereka ke dan kontrol atas sumber
daya dan kekuatan pengambilan keputusan mereka dalam keluarga dan masyarakat, serta peran
dan tanggung jawab yang diberikan masyarakat kepada mereka (perbedaan gender). Bersama-
sama gender dan jenis kelamin, seringkali dalam interaksi dengan keadaan sosial ekonomi,
mempengaruhi paparan terhadap risiko kesehatan, akses ke informasi dan layanan kesehatan,
hasil kesehatan dan konsekuensi sosial dan ekonomi dari kesehatan yang buruk. Oleh karena itu,
mengenali akar penyebab ketidaksetaraan gender dalam kesehatan sangat penting ketika
merancang respons sistem kesehatan.

18
Promosi kesehatan serta pencegahan penyakit perlu mengatasi perbedaan antara
perempuan dan laki-laki, Saat ini, ada pengakuan yang berkembang, di antara para profesional
kesehatan, peneliti, dan pembuat kebijakan, tentang pemahaman yang luas dan mendalam
implikasi dari ketidakadilan berbasis gender dalam kesehatan. Ada juga bukti yang muncul
bahwa mengintegrasikan pertimbangan gender ke dalam intervensi memiliki efek positif pada
hasil kesehatan di berbagai domain. Meskipun pengetahuan tentang perbedaan gender dalam
kesehatan semakin tersedia, hal itu tidak selalu diterjemahkan dengan mudah ke dalam realitas
perencanaan dan pelaksanaan program kesehatan. Bidang promosi kesehatan tidak terkecuali:
kurangnya penerjemahan pengetahuan tentang ketidaksetaraan gender dalam kesehatan ke dalam
intervensi promosi kesehatan menyebabkan sumber daya yang salah alokasi dan potensi
keberhasilan yang melemah. Misalnya, kekerasan terhadap perempuan, yang bisa dibilang
sebagai fenomena paling ekstrem dari ketidaksetaraan gender, mempengaruhi jutaan perempuan.
Sampai saat ini, besarnya dan konsekuensi kesehatan dari kekerasan dalam rumah tangga
terhadap perempuan telah diabaikan baik dalam penelitian maupun kebijakan.

Bukti yang jelas (WHO/ WHD, 1996; WHO/WPRO, 1998; Astbury dan Cabral, 2000;
WHO, 2002; ARROW, 2005; WHO, 2005) bahwa kekerasan berbasis gender menyebabkan
kerugian fisik dan psikologis. Selain itu, merusak kesejahteraan sosial, ekonomi, spiritual dan
emosional dari korban, pelaku dan masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga membahayakan
hubungan kepercayaan antara laki-laki dan perempuan. Kerugian sosial, ekonomi, psikologis,
fisik, emosional dan hubungan individu dari kekerasan berbasis gender merupakan masalah
kesehatan utama yang membutuhkan tanggapan kreatif dan imajinatif dari kebanyakan pembuat
kebijakan dan lembaga intervensi yang berhubungan dengan promosi kesehatan dan pencegahan
kekerasan. Secara khusus, kurangnya perhatian pada hasil emosional tersembunyi dari kekerasan
berbasis gender, hilangnya kepercayaan, hilangnya martabat dan harga diri yang sangat rendah
perlu ditangani bersama perumahan, dukungan ekonomi.

a. Buta jenis kelamin

Ketika merencanakan dan menerapkan strategi promosi kesehatan dan pencegahan


penyakit, gender merupakan isu yang sering diabaikan. Secara umum, tampaknya ada asumsi
bahwa intervensi akan sama efektifnya bagi laki-laki dan perempuan. Banyak program promosi
kesehatan yang buta gender dan didasarkan pada penelitian di mana jenis kelamin peserta

19
penelitian tidak dibuat eksplisit. Ekspresi netral gender, seperti 'penyedia layanan kesehatan',
'anak-anak', 'remaja' atau 'karyawan', sering digunakan dalam deskripsi dan laporan program.
Akibatnya, pengumpulan, analisis, dan penyajian data seringkali tidak dipilah berdasarkan jenis
kelamin dan tidak ada analisis gender yang dilakukan.

Menurut sebuah penelitian dari Thailand, meskipun 'program kondom 100%' nasional
untuk mencegah infeksi HIV telah menyebabkan penurunan infeksi di antara pria, wanita muda
yang terlibat dalam seks komersial belum terlindungi dari infeksi pada tingkat yang sama seperti
laki-laki. Jelas, ada kebutuhan akan kebijakan yang mengakui dan mengatasi perbedaan gender
dalam status dan kekuasaan yang menyusun hubungan seksual dan melawan kurangnya
ketegasan perempuan untuk menuntut penggunaan kondom. Sekali lagi masalah kepercayaan
dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan faktor kunci untuk program promosi
kesehatan untuk diperhitungkan.

b. Gender' sebagai proxy untuk 'perempuan'

Promosi kesehatan melibatkan agen promosi dan penerima manfaat. Dalam konteks ini,
konstruksi sosial peran gender ikut berperan karena banyak tindakan promosi dilakukan oleh
perempuan sebagai penjamin perawatan setiap individu dalam rumah tangga. Akibatnya, pesan
promosi kesehatan sering menargetkan perempuan dalam peran mereka sebagai pengasuh dalam
keluarga. Karena kemampuan perempuan untuk membuat keputusan tentang penerapan langkah-
langkah promosi kesehatan seringkali terbatas di banyak negara karena status mereka yang lebih
rendah dalam rumah tangga, efek kesehatan positif dari langkah-langkah promosi mungkin
kurang dari yang diharapkan. Ketika kampanye promosi kesehatan ditujukan kepada keluarga
secara keseluruhan dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dari segala usia, program
kesehatan dapat ditingkatkan secara signifikan. Di Gan, misalnya, informasi tentang pentingnya
imunisasi anak diarahkan baik kepada ayah maupun ibu. Akibatnya, laki-laki telah mengambil
tanggung jawab yang lebih besar untuk kesehatan anak-anak mereka, yang mengarah pada
peningkatan tingkat vaksinasi dan imunisasi sebelumnya. Di Laos, program promosi kesehatan
yang dilampirkan di Rumah Tunggu Bersalin Distrik Bolikhan menargetkan pria di 11 desa
terpencil Hmong dan Laos untuk mendorong mereka berperan aktif dalam kesehatan reproduksi.
Sesi interaktif membahas anatomi dan fungsi pria dan wanita, pembuahan, fisiologi kehamilan,
jarak kelahiran termasuk tanggung jawab pria, infeksi menular seksual dan pencegahan HIV,

20
pentingnya perawatan antenatal dan postnatal, nutrisi dan relaksasi selama kehamilan. Tingkat
kehadiran lebih dari 80% laki-laki di setiap desa. Sebelum program, hanya 18% peserta yang
mengatakan memiliki pengetahuan yang sangat baik tentang masalah kesehatan reproduksi. Di
akhir program, 72% peserta melaporkan pengetahuannya sangat baik.

c. Fokus pada perubahan perilaku

Banyak strategi promosi kesehatan bertujuan untuk mengurangi perilaku berisiko, seperti
merokok, sementara mengabaikan kondisi materi, sosial dan psikologis di mana perilaku yang
ditargetkan tertanam. Misalnya, di banyak negara terdapat hubungan yang kuat antara kesulitan
materi, status sosial yang rendah, pekerjaan atau peristiwa hidup yang penuh tekanan, dan
prevalensi merokok. Kritikus berpendapat bahwa peran gender dan perilaku yang berhubungan
dengan kesehatan terkait dengan peran tersebut dalam banyak program promosi kesehatan telah
menyebabkan fokus pada perubahan perilaku di tingkat individu, bukan pada perubahan
kebijakan di tingkat masyarakat. Misalnya, strategi pencegahan untuk mengurangi stres
berbahaya di kalangan wanita pekerja sering kali mencakup langkah-langkah di mana tanggung
jawab diletakkan pada wanita untuk mengembangkan strategi mengatasi stres pribadi mereka
sendiri untuk menyeimbangkan peran gender yang bersaing. Perempuan sasaran sering merasa
dituduh tidak mampu mengatasi berbagai tekanan yang timbul dari tanggung jawab mereka
sebagai ibu, istri, pembantu rumah tangga, dan pekerja. Untuk menghindari hal ini, langkah-
langkah pelengkap untuk memudahkan beban perempuan, seperti penyediaan universal pusat
penitipan anak yang dapat diakses dan terjangkau untuk anak-anak dan pengenalan jam kerja
yang lebih fleksibel, juga harus diperkenalkan.

Demikian pula, banyak pria mungkin mengalami tekanan luar biasa dari pengangguran
dan kesulitan materi, yang membatasi mereka untuk memenuhi peran gender yang ditugaskan
sebagai 'pencari nafkah'. Mereka yang mencoba mengatasi stres melalui perilaku, seperti
merokok, minum minuman keras atau penyalahgunaan obat-obatan, dituduh mempertaruhkan
kesehatan mereka dengan pilihan pribadi mereka sendiri. Strategi yang bertujuan untuk
mengubah gaya hidup para pria ini mungkin akan lebih efektif jika dipadukan dengan langkah-
langkah untuk mengubah lingkungan sosial di mana gaya hidup yang merusak kesehatan
tertanam.

d. Kurangnya pendekatan multisektoral

21
Secara tradisional, bidang kesehatan sebagian besar merupakan domain profesional medis
dan sektor perawatan kesehatan, di mana fokus utamanya adalah pada kesehatan individu dan
faktor risiko individu. Oleh karena itu, strategi promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
dalam sektor perawatan kesehatan seringkali terbatas pada nasihat kesehatan individu, misalnya
tentang berhenti merokok. Salah satu batasannya adalah bahwa kelompok masyarakat tertentu,
seperti masyarakat miskin yang tidak mampu membayar iuran atau perempuan yang tidak dapat
tanpa izin dari suaminya mengunjungi klinik kesehatan, akan dikecualikan dari nasihat dan
informasi kesehatan. Keterbatasan lain adalah bahwa langkah-langkah promosi dalam sektor
perawatan kesehatan tidak mampu mengatasi akar penyebab kesenjangan kesehatan. Banyak
faktor penentu kesehatan perlu ditangani oleh kebijakan di sektor-sektor di mana kesehatan
diciptakan, sistem, perumahan, perlindungan lingkungan, air dan sanitasi, transportasi,
keselamatan dan keamanan jalan. Kebijakan ini memiliki dampak kesehatan langsung dan tidak
langsung, yang mungkin berbeda antara pria dan wanita. Pemahaman bahwa kesehatan
perempuan dan lakilaki bergantung pada beberapa sektor sosial sangat penting untuk kebijakan
dan intervensi promosi kesehatan multisektoral. Inisiatif semacam itu harus mempertimbangkan
keterlibatan pemangku kepentingan utama dalam masyarakat dan perlu dapat diterima di tingkat
individu, rumah tangga, dan juga masyarakat. Di banyak komunitas tradisional, kepala adat, atau
pemimpin desa, bertindak sebagai penjaga gerbang dalam semua kegiatan pendidikan dan
berbasis masyarakat, jadi penting untuk memasukkan pemangku kepentingan utama ini dalam
kebijakan dan intervensi promosi kesehatan yang dirancang untuk mengurangi ketidaksetaraan
gender.

e. Pendekatan atas ke bawah

Pendekatan kesehatan masyarakat tradisional adalah top-down daripada bottom-up,


dengan para ahli mengidentifikasi masalah dan merumuskan intervensi sementara masalah dan
solusi seperti yang dirasakan oleh mereka yang berisiko tertentu jarang menjadi dasar tindakan.
Kekuatan perubahan kemudian didefinisikan terutama dalam istilah politik dan profesional tanpa
kemungkinan orang yang ditargetkan untuk mempengaruhi dan mengendalikan berbagai
determinan kesehatan. Karena ketidakseimbangan kekuasaan dan karena rendahnya keterwakilan
perempuan dalam badan pengambil keputusan, perempuan jarang dapat membuat suara mereka
didengar. Akibatnya, program promosi kesehatan yang dirancang secara top-down belum tentu
sesuai dengan kebutuhan kesehatan perempuan. Kebijakan dan kegiatan promosi kesehatan

22
paling bermakna ketika komunitas dan kelompok sasaran terlibat dalam semua aspek
pengembangan, implementasi, dan evaluasi kebijakan dan program. Misalnya, 'Proyek
Kesehatan Nil Biru' di Sudan dengan tujuan untuk mengendalikan penyakit yang berhubungan
dengan air dianggap sangat berhasil, berkat penekanan khusus dalam program pada aspek-aspek
terkait gender yang mendefinisikan peran dan partisipasi perempuan. Studi ini mendesak
perencana kesehatan untuk membujuk komunitas perempuan yang tersubordinasi di banyak
negara Afrika, seperti Sudan, untuk memainkan peran yang lebih aktif dalam program kesehatan.
2.3.2 Jalan ke depan: respon kebijakan multisektoral terhadap ketimpangan gender
dalam kesehatan melalui promosi kesehatan dan pencegahan penyakit
Berdasarkan pengalaman masa lalu dari strategi promosi kesehatan yang berhasil dan
kurang berhasil dari perspektif kesetaraan gender, berikut ini kami bahas beberapa persyaratan
minimum untuk kebijakan dan program promosi kesehatan dan pencegahan penyakit yang peka
gender.

a. Komitmen bersama

Melalui kesepakatan internasional, seperti Piagam Ottawa untuk Promosi Kesehatan dan
Strategi Kesehatan Untuk Semua WHO (Organisasi Kesehatan Dunia, 1981), banyak negara
telah berkomitmen untuk promosi kesehatan. Demikian juga, sebagian besar negara di dunia
telah berkomitmen untuk mempromosikan kesetaraan gender. Kesepakatan-kesepakatan ini
menyatakan bahwa semua perempuan dan laki-laki memiliki hak untuk hidup tanpa diskriminasi
di semua bidang kehidupan, termasuk akses ke perawatan kesehatan, pendidikan dan
pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama. Piagam Bangkok untuk Promosi Kesehatan
yang baru-baru ini diadopsi menyatakan bahwa promosi kesehatan berkontribusi, antara lain,
untuk mengurangi ketidaksetaraan kesehatan dan gender.

Beberapa pencapaian besar dalam bekerja menuju kesetaraan gender terlihat jelas.
Sebagai contoh, Studi Multi-negara tentang Kesehatan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
terhadap Perempuan mengakui 'upaya gabungan dari akar rumput dan organisasi perempuan
internasional, pakar internasional dan pemerintah yang berkomitmen' dalam menghasilkan
'transformasi yang mendalam dari kesadaran publik' (WHO, 2005: 1) tentang kekerasan berbasis
gender. Sejak Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia (1993), Konferensi Internasional tentang
Kependudukan dan Pembangunan (1994) dan Konferensi Dunia Keempat tentang Perempuan

23
(1995), persepsi tentang kekerasan berbasis gender sebagai masalah kesejahteraan dan keadilan
murni.

Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Ekonomi, Sosial dan


Budaya, Pasal 12 dan Kovenan Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Sipil dan
Politik, Pasal 2.1 dan Pasal 3. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya Perserikatan Bangsa-Bangsa,
Pasal 2.2, Pasal 3, Pasal 7(a)(i ), Pasal 12.2(d) dan Pasal 13. telah berubah secara signifikan ke
titik di mana kekerasan terhadap perempuan 'sekarang diakui secara luas sebagai pelanggaran
hak asasi manusia yang serius' serta 'masalah kesehatan masyarakat yang penting yang
menyangkut semua sektor' (WHO, 2005:1). Namun, seperti yang telah disoroti oleh tinjauan 10
tahun dari Rencana Aksi ICPD dan Platform Aksi Beijing (ARROW, 2005; WHO, 2005), semua
negara masih memiliki jalan panjang untuk mencapai kesetaraan gender di semua bidang
kesehatan. dan kesejahteraan. Menetapkan tujuan internasional, nasional dan lokal untuk
kesetaraan gender dalam kesehatan adalah langkah pertama dalam membangun komitmen
bersama. Tujuan ini perlu diukur dan diterjemahkan ke dalam kebijakan dan tindakan.

b. Penilaian dan analisis ketidaksetaraan gender dalam kesehatan

Untuk memaksimalkan penggunaan sumber daya yang efisien, strategi dan tindakan
promosi kesehatan, secara umum, perlu didasarkan pada penilaian ukuran, sifat dan akar
penyebab ketidaksetaraan gender dalam kesehatan. Lebih khusus lagi, promosi kesehatan yang
berkaitan dengan isu-isu tertentu, misalnya kekerasan berbasis gender, HIV/AIDS, malaria, gizi
atau merokok, perlu dirancang dengan pemahaman tentang bagaimana perempuan dan laki-laki
berbeda dalam kaitannya dengan penyebab masalah, manifestasi dan konsekuensi. Pengumpulan,
analisis, dan pelaporan data yang dipilah menurut jenis kelamin, usia, status sosial ekonomi,
pendidikan, etnis, dan lokasi geografis harus dilakukan secara sistematis oleh proyek penelitian
individu atau melalui sistem data yang lebih besar. Promosi penelitian peka gender untuk
menginformasikan pengembangan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan
program promosi kesehatan juga diinginkan.

Rekomendasi promosi kesehatan yang muncul dari Laporan ARROW 2005 menyarankan
pemikiran ulang yang besar tentang intervensi untuk menghadapi tantangan utama. Tantangan-
tantangan ini meliputi: patriarki yang tertanam kuat, pernikahan dini dan paritas pertama dini,
penurunan komitmen penyedia layanan, kurangnya kemauan dan stabilitas politik, ketidakadilan

24
sosial, fundamentalisme agama di beberapa bidang, tren privatisasi, liberalisasi dan globalisasi,
dan tingkat melek huruf yang rendah. di antara wanita dan anak perempuan. Rekomendasi utama
untuk promosi kesehatan mencakup perencanaan khusus oleh pemerintah, daripada penggunaan
program promosi kesehatan 'satu ukuran untuk semua' yang seragam, untuk menjalankan
kampanye untuk mempromosikan literasi dan pendidikan perempuan.

c. Tindakan yang diperlukan untuk mengatasi determinan sosial dan lingkungan utama
dari ketidaksetaraan gender dalam kesehatan

Penentu utama ketidaksetaraan gender dalam kesehatan adalah kerugian sosial dan
ekonomi yang terkait dengan faktor-faktor seperti kekuatan pengambilan keputusan, pendapatan,
pekerjaan, lingkungan kerja, pendidikan, perumahan, nutrisi, dan perilaku individu. Seperti
disebutkan sebelumnya, perempuan dan laki-laki terpapar berbagai faktor risiko dengan derajat
yang berbeda karena perbedaan peran gender dan kondisi hidup dan kerja. Perbedaan-perbedaan
ini sangat penting untuk dikenali, diperkirakan, dan dipantau ketika merancang intervensi,
program, dan strategi pengurangan risiko di seluruh populasi. Banyak faktor penentu
ketidaksetaraan gender dalam kesehatan dapat dipengaruhi oleh langkah-langkah promosi
kesehatan dan strategi pengurangan risiko mulai dari tingkat kebijakan publik mikro hingga
makro. Keleher (2004) menekankan perlunya strategi hulu berkelanjutan yang mengatasi
hambatan ekonomi, sosial dan budaya yang menghalangi perempuan untuk memenuhi potensi
mereka. Dia berpendapat bahwa strategi seperti itu jauh lebih mungkin untuk membawa
perubahan yang berkelanjutan daripada ketergantungan terus-menerus pada strategi midstream
dan downstream.

d. Tindakan untuk memperkuat individu

Banyak intervensi promosi kesehatan dengan perspektif gender telah difokuskan terutama
pada penguatan kapasitas perempuan dan anak perempuan untuk lebih merespon, dan
mengendalikan faktor-faktor penentu, kesehatan di lingkungan fisik dan sosial. Mereka termasuk
mendapatkan akses ke modal ekonomi serta modal sosial dan budaya. Intervensi yang paling
efektif adalah intervensi yang berfokus pada pemberdayaan. Mereka bertujuan untuk membantu
perempuan untuk: memperoleh pengetahuan tentang, dan akses ke, hak-hak mereka; mengakses
kredit mikro untuk memulai bisnis mereka sendiri; meningkatkan akses mereka ke layanan
penting; mengatasi kekurangan yang dirasakan dalam pengetahuan mereka (termasuk keaksaraan

25
dan pendidikan menengah); memperoleh keterampilan pribadi dan dengan demikian
meningkatkan kesehatan mereka. Inisiatif pemberdayaan bertujuan untuk mendorong kedua jenis
kelamin untuk menantang stereotip gender. Tindakan tersebut dapat mencakup, misalnya,
melatih anak laki-laki dan laki-laki untuk mengurangi bias gender dengan mempromosikan
perilaku sensitif gender dan mengurangi kekerasan. Contoh lain dari inisiatif semacam itu adalah
meningkatkan kesadaran di antara gadis-gadis muda dan keluarga mereka tentang diskriminasi
yang tidak adil terhadap anak perempuan dan dengan demikian mempromosikan status dan nilai
anak perempuan. Proyek Anak Perempuan di Pakistan, misalnya, telah membuat anak
perempuan sadar bahwa alokasi makanan yang tidak setara dalam keluarga adalah salah.

Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-


Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah disahkan pada tahun 2019. Dalam
undang-undang tersebut telah mencantumkan perubahan usia minimal perkawinan dari 16 tahun
bagi perempuan menjadi 19 tahun. Hal ini telah mengakomodasi prinsip kesetaraan dan juga
bentuk afirmasi yang progresif.

Perkawinan bukanlah sekadar romantisme belaka, namun terkait keniscayaan untuk


membangun peradaban bangsa yang tanggung jawabnya tidak mungkin diletakkan pada anak
yang masih harus diasuh dan dilindungi tumbuh kembangnya. Namun faktanya, walaupun
berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019 terjadi penurunan proporsi perempuan
umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun, yakni pada 2018 angka nasional
perkawinan anak sebesar 11,21 persen, dan turun menjadi 10,82 persen pada 2019, pada 2019
masih terdapat 22 provinsi dengan angka perkawinan anak yang lebih tinggi dari angka nasional.
Oleh karenanya, kita semua wajib memerdekakan anak-anak Indonesia dari jeratan praktik
perkawinan anak.

Untuk mempercepat penurunan perkawinan anak, sejak 2018 Kemen PPPA telah
melakukan beberapa upaya, dan dikuatkan kembali pada 2020. Upaya tersebut diantaranya
Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPPA) yang keanggotaannya
melibatkan 17 kementerian/lembaga dan 65 lembaga masyarakat. Selain itu, 20 provinsi dengan
angka perkawinan anak tertinggi (tahun 2018) juga telah membuat Pakta Integritas yang
melibatkan dunia usaha, para tokoh agama dari 6 (enam) lintas agama, Forum Anak, dan Jurnalis
Kawan Anak.

26
Jika perkawinan anak kita biarkan. Ada 3 (tiga) dampak yang paling tampak dan mudah
diukur, yakni dampak terhadap pendidikan, kesehatan, dan ekonomi.

Pertama, pendidikan. Sebagian besar perkawinan anak menyebabkan anak putus sekolah,
sehingga menghambat capaian Wajib Belajar 12 Tahun.

Kedua, kesehatan. Hal ini terkait kondisi kesehatan reproduksi seorang anak jika
memiliki anak, pemenuhan gizinya ketika mereka juga harus mengasuh anak mereka, bahkan hal
terburuk adalah risiko kematian ibu dan anak.

Ketiga, ekonomi. Seorang anak yang menikah pada usia anak susah untuk mendapatkan
pekerjaan yang layak untuk menafkahi keluarganya, mendapatkan upah yang rendah, lalu
akhirnya memunculkan kemiskinan dan masalah pekerja anak. Pendidikan, kesehatan, dan
ekonomi adalah 3 variabel yang digunakan untuk menghitung Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), sehingga tingginya perkawinan anak akan berpengaruh terhadap rendahnya IPM.

Sementara itu, di tingkat daerah, Bupati Bogor, Ade Yasin mengungkapkan bahwa
berdasarkan Sensus BPS 2018 karakteristik seseorang yang menikah di bawah umur adalah anak
perempuan pada rumah tangga dengan pengeluaran lebih rendah, anak perempuan di daerah
pedesaan, dan anak perempuan berpendidikan rendah. Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor tradisi,
budaya, dan ekonomi. Ade menambahkan, Pemerintah Kab. Bogor telah melakukan beberapa
upaya dalam menekan angka perkawinan anak.

“Upaya yang kami lakukan untuk mencegah perkawinan anak diantaranya menyediakan
akses ke pendidikan formal (Program Bogor Cerdas), mendidik kaum muda tentang kesehatan
reproduksi dan hak-hak anak, serta melakukan sosialisasi kesetaraan gender hingga tingkat akar
rumput. Kami bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) juga menggerakkan
pariwisata berbasis desa. Ternyata, banyak anak perempuan yang terlibat pada pariwisata
berbasis desa tersebut, sehingga mereka fokus untuk mendorong desanya agar lebih maju,
terutama secara ekonomi. Hal ini akhirnya membuat mereka lupa untuk melakukan perkawinan
anak. Kami terus melakukan pemantauan terkait perkawinan anak di wilayah kami, namun kami
masih sulit untuk memantau pernikahan yang dilakukan secara siri,” tutur Ade Yasin.

27
Di tingkat desa, Kasubdit Kesejahteraan Masyarakat Ditjen Pembangunan dan
Pemberdayaan Masyarakat Desa Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi (Kemendes-PDTT), Ibrahim Ben Bella Bouty menjelaskan bahwa upaya
pencegahan perkawinan anak yang dilakukan oleh Kemendes-PDTT adalah melalui fasilitasi
Desa Inklusif dengan menggunakan pendekatan Desa Inklusif yang Ramah Anak.

“Desa Inklusif adalah kondisi kehidupan di desa yang setiap warganya bersedia secara
sukarela untuk membuka ruang kehidupan dan penghidupan bagi semua warga desa. Upaya
pencegahan perkawinan anak di Desa Inklusif menggunakan pendekatan pemberdayaan
masyarakat dalam mengelola pelaksanaan Desa Inklusif yang Ramah Anak. Melalui Desa
Inklusif, kami berusaha untuk membangun kesadaran masyarakat desa melalui pelatihan-
pelatihan dan kampanye tentang pencegahan perkawinan anak, dan menggerakkan mereka untuk
berpartisipasi aktif secara sukarela dalam pencegahan perkawinan anak
(https://www.kemenpppa.go.id).

e. Tindakan untuk memperkuat komunitas

Penguatan masyarakat dapat mencakup spektrum yang luas dari strategi yang bertujuan
untuk memperkuat cara masyarakat yang kekurangan berfungsi secara kolektif untuk saling
mendukung dan menguntungkan. Mulai dari membantu menciptakan tempat dan fasilitas
pertemuan untuk interaksi sosial hingga mendukung pertahanan masyarakat terhadap bahaya
kesehatan, seperti penyalahgunaan zat, kejahatan dan kekerasan atau pencemaran lingkungan.
Sebagai contoh, beberapa inisiatif tingkat komunitas yang inovatif dan peka gender telah muncul
di Afrika selama dekade terakhir sebagai tanggapan terhadap dampak buruk dari epidemi AIDS
di wilayah tersebut. Salah satu inisiatif tersebut adalah Community Life Project di Lagos,
Nigeria, yang merupakan contoh unik bagaimana kemitraan sinergis antara aktivis, organisasi
masyarakat dan keagamaan, lembaga lokal, melibatkan laki-laki, perempuan dan anak-anak
secara bersamaan, dapat membantu secara efektif memecah kesunyian tentang isu-isu
seksualitas. Proyek ini bekerja dengan 23 kelompok masyarakat untuk meningkatkan dan
mempertahankan kesadaran HIV/AIDS di masyarakat; menangani HIV/AIDS dalam kerangka
kesehatan seksual dan reproduksi yang lebih luas melalui sesi pendidikan seksualitas; dan
meningkatkan kepemilikan dan partisipasi masyarakat dengan melatih perwakilan kelompok

28
sebagai sukarelawan dan pendidik kehidupan keluarga. Dengan demikian, inisiatif ini
menempatkan pendidikan seksualitas dalam agenda komunitas, sehingga menciptakan
lingkungan yang mendukung untuk memajukan kesehatan reproduksi dan seksual perempuan.

f. Tindakan untuk mempromosikan kesetaraan gender dalam akses ke fasilitas dan


layanan penting

Baik di negara industri maupun negara berkembang, perbaikan kondisi hidup dan kerja
serta akses ke layanan telah terbukti membawa peningkatan kesehatan yang substansial bagi
populasi. Inisiatif kesehatan masyarakat yang mempengaruhi kondisi hidup dan kerja termasuk
langkah-langkah untuk meningkatkan akses ke air bersih, nutrisi dan perumahan yang memadai,
sanitasi, tempat kerja yang lebih aman dan layanan kesehatan dan kesejahteraan lainnya.
Kebijakan-kebijakan dalam bidang-bidang ini biasanya merupakan tanggung jawab sektor-sektor
yang terpisah dan mereka perlu bekerja sama untuk meningkatkan kesehatan penduduk.
Kebijakan dan intervensi promosi kesehatan yang ditujukan untuk meningkatkan kondisi hidup
dan kerja serta akses ke layanan perlu sangat peka gender karena fakta bahwa perempuan dan
laki-laki menghadapi risiko kesehatan yang berbeda di lingkungan hidup dan kerja mereka dan
memiliki kebutuhan kesehatan yang berbeda. Misalnya, banyak negara berkembang menderita
karena lemahnya layanan kesehatan, infrastruktur dan layanan yang tidak terjangkau, situasi
yang secara tidak proporsional mempengaruhi perempuan karena mereka membutuhkan layanan
kesehatan reproduksi yang lebih preventif. Ketidakmampuan dan kurangnya keterjangkauan
pelayanan kesehatan diperparah oleh hambatan fisik dan budaya untuk perawatan.

Di tingkat nasional, beberapa upaya telah dilakukan untuk mengatasi hambatan biaya dan
keterjangkauan dalam pelayanan kesehatan bagi perempuan. Sebagai contoh, Afrika Selatan dan
Sri Lanka menyediakan layanan kesehatan ibu dan bayi gratis. Di beberapa budaya, wanita
enggan berkonsultasi dengan dokter pria. Kurangnya tenaga medis wanita merupakan hambatan
penting dalam pemanfaatan layanan kesehatan bagi banyak wanita. Untuk mengatasi hambatan
ini, Proyek Kesehatan Wanita di Pakistan bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk
meningkatkan kesehatan wanita, anak perempuan dan bayi di 20 kabupaten yang didominasi
pedesaan di empat provinsi melalui langkah-langkah, seperti perluasan layanan kesehatan
berbasis masyarakat dan keluarga berencana melalui perekrutan dan pelatihan ribuan perempuan
desa sebagai Pekerja Kesehatan Wanita, kampanye 'persalinan yang aman', dan promosi

29
kesehatan dan kebutuhan gizi perempuan dan keluarga berencana. Proyek ini mengasumsikan
bahwa penyedia layanan kesehatan wanita dapat lebih memahami masalah wanita lain.

g. Tindakan untuk mendorong perubahan kebijakan sosial dan ekonomi

Kebijakan di tingkat struktural mencakup kebijakan ekonomi dan sosial yang mencakup
sektor seperti pasar tenaga kerja, lingkungan perdagangan dan upaya yang lebih umum untuk
meningkatkan status perempuan. Kebijakan-kebijakan tersebut berpotensi besar untuk
mengurangi atau memperburuk ketidaksetaraan gender, termasuk ketidakadilan dalam kesehatan.
Oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi stratifikasi sosial menjadi kunci bagi
peningkatan posisi sosial perempuan dibandingkan laki-laki. Kebijakan yang ditujukan untuk
meningkatkan pendidikan perempuan, meningkatkan kemungkinan mereka untuk mendapatkan
penghasilan di pasar tenaga kerja, memberikan perempuan akses ke kredit mikro untuk memulai
usaha kecil dan kebijakan kesejahteraan keluarga adalah semua langkah untuk meningkatkan
status sosial perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Peningkatan status sosial bagi
perempuan relatif terhadap laki-laki dapat meningkatkan kontrol perempuan atas sumber daya
rumah tangga dan kehidupan mereka sendiri.

Pekerjaan dan penyediaan lebih banyak tempat di sekolah untuk anak perempuan dari
keluarga miskin, yang berhasil meningkatkan status perempuan termiskin. Kebijakan
berorientasi kesetaraan dalam konteks sosial di mana perempuan memiliki hak matrilineal
tradisional atas properti dan anak perempuan dihargai sama seperti anak laki-laki telah
menghasilkan keuntungan kesehatan yang cukup besar di Kerala, India. Perempuan dapat
memperoleh manfaat dari perbaikan dalam penyediaan perawatan kesehatan dan mencapai
tingkat melek huruf yang tinggi. Kerala adalah satu-satunya negara bagian di India yang rasio
jenis kelaminnya menguntungkan perempuan sepanjang abad ke-20, dan tidak diganggu oleh
masalah 'perempuan yang hilang'. Meningkatkan partisipasi perempuan dalam proses
pengambilan keputusan politik dan lainnya, di tingkat rumah tangga, komunitas, dan nasional,
serta memastikan bahwa undang-undang dan implementasinya tidak mendiskriminasi perempuan
adalah langkah-langkah yang memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesetaraan gender dan
kesetaraan kesehatan. Contoh-contoh yang disajikan sebelumnya menunjukkan bahwa intervensi
yang paling berhasil adalah intervensi yang menggabungkan berbagai pendekatan lintas sektoral
dan hulu serta intervensi hilir untuk mengatasi masalah. Misalnya, intervensi di tingkat individu

30
untuk memberdayakan perempuan menghadapi ancaman terhadap kesehatan mental dan fisik
mereka dari kekerasan adalah penting. Namun, intervensi juga diperlukan di tingkat struktural, di
mana pemerintah memiliki peran sentral dalam kebijakan dan legislasi dan dalam
mengamanatkan perubahan organisasi untuk memastikan bahwa perempuan berada dalam posisi
untuk diberdayakan. Pembentukan kebebasan masyarakat dari diskriminasi dan kekerasan harus
sejalan dengan upaya lain untuk meningkatkan akses perempuan ke sumber daya ekonomi dan
inklusi sosial.

h. Mendokumentasikan dan menyebarluaskan intervensi kebijakan yang efektif dan peka


gender untuk mempromosikan kesehatan

Ada kekurangan informasi tentang strategi dan intervensi promosi kesehatan yang hemat
biaya dan sensitif gender yang telah berhasil mengatasi determinan sosial kesehatan, dan sedikit
panduan konkret yang tersedia bagi pembuat kebijakan. Mengembangkan internasional sistem
pelaporan untuk mengumpulkan informasi tersebut dalam rangka meningkatkan aksesibilitas
bagi pembuat kebijakan untuk informasi yang relevan perlu didorong. Pemantauan dan evaluasi
strategi dan intervensi juga penting untuk menginformasikan proses masa depan dan melacak
kemajuan menuju kesetaraan gender. Indikator dan metode harus segera dikembangkan untuk
integrasi sistematis dimensi gender dalam penilaian dampak kesehatan yang menilai tidak hanya
dampak kebijakan pada tingkat agregat, tetapi pada kelompok populasi yang berbeda, termasuk
yang terpinggirkan dan rentan; penilaian semacam itu harus dapat diterapkan tidak hanya untuk
kebijakan sistem kesehatan, tetapi juga untuk kebijakan di sektor (Ostlin et al., 2006).
2.4 Kesetaraan Gender dan Kesehatan Global: Tantangan Politik yang Saling
Bersilangan

Pembuat kebijakan dan praktisi kesehatan mungkin memiliki perspektif yang berbeda
tentang apa itu gender dan bagaimana hal itu mempengaruhi kesehatan masyarakat baik pria
maupun wanita. Dua pemahaman yang berbeda tentang gender saat ini ada dalam literatur yang
relevan. Yang pertama melihat gender sebagai identitas psikologis, perasaan internal seseorang
tentang diri sendiri sebagai pria, wanita, transgender atau minoritas gender; Contoh kasusnya
adalah, misalnya, seseorang yang lahir dalam tubuh perempuan yang merasa dirinya bukan
perempuan. Dalam pengertian kedua, gender adalah sistem harapan dan kewajiban yang
dilekatkan masyarakat kepada individu tersebut karena jenis kelaminnya. Dalam pemahaman ini,

31
misalnya, perempuan diharapkan memakai riasan dan laki-laki memakai dasi pada acara bisnis
penting bukan karena jenis kelamin mereka (tidak ada alasan biologis mengapa mereka harus
berpakaian seperti itu), tetapi karena jenis kelamin mereka. Dalam konseptualisasi ini, gender
adalah sistem yang memberikan harapan, peran, kekuasaan, dan pada akhirnya akses yang
berbeda terhadap sumber daya menurut apakah seseorang dianggap sebagai pria, wanita, atau
lainnya. “Sistem gender” ini tertanam dalam keluarga dan struktur sosial dengan cara yang
sangat mempengaruhi kehidupan pria dan wanita, termasuk kesehatan.

Cara sistem gender (mulai sekarang, hanya gender) mempengaruhi kesehatan masyarakat
sangat banyak, dengan beberapa contoh dalam literatur, terutama, hasil negatif. Gender
mempengaruhi perawatan perinatal; dalam konteks tertentu, misalnya, itu mempengaruhi
keputusan orang tua untuk menghentikan kehamilan ketika mereka percaya anak perempuan
menjadi beban ekonomi yang lebih tinggi daripada anak laki-laki. Ini mempengaruhi penggunaan
zat; peminum berat, misalnya, sering dianggap sebagai tanda menjadi pria 'sejati'. Ini
mempengaruhi pengalaman dan perbuatan kekerasan: hal itu dapat berkontribusi untuk
membentuk keyakinan bahwa seorang wanita tidak dapat menolak untuk berhubungan seks
dengan suaminya dan bahwa suaminya memiliki hak untuk memaksanya jika dia menolak.
Gender tidak hanya memengaruhi hasil terkait kesehatan, tetapi juga dapat memengaruhi
perilaku kesehatan preventif. Secara global, pria cenderung mencari perawatan kesehatan yang
lebih sedikit daripada wanita dan perawatan yang jauh lebih sedikit daripada wanita dalam hal
mengakses, khususnya, layanan kesehatan mental, sebagian karena mereka diajari bahwa mereka
harus kuat. Sebaliknya, dalam konteks atau keluarga tertentu, gender dapat membatasi kekuasaan
perempuan dalam mengambil keputusan untuk pergi atau membawa anaknya ke rumah sakit,
misalnya karena keterbatasan mobilitas perempuan di luar rumah tangga jika tidak didampingi
oleh suaminya.

Ketika pembuat kebijakan mengidentifikasi kemungkinan kelemahan gender terkait


kesehatan yang perlu ditangani, keputusan mereka perlu keluar dari ruang kebijakan teknis yang
netral nilai untuk memasuki ruang keadilan sosial yang sangat politis. Ambil contoh kasus
trakoma. Di sini, disparitas f:m sebagian terkait dengan fakta bahwa perempuan secara
tradisional diberi peran sebagai pengasuh anak. Pembuat kebijakan perlu memutuskan apakah
mereka ingin menggunakan bukti ini, misalnya, untuk meningkatkan kesadaran di kalangan

32
perempuan tentang risiko yang terkait dengan trakoma, atau untuk menyeimbangkan kembali
distribusi tenaga kerja di antara laki-laki dan perempuan (mungkin dengan menggabungkan
inisiatif yang mencakup kedua strategi). Ada empat pesan utama yang ditawarkan kepada
pembuat kebijakan kesehatan global. Yang pertama adalah:Ini bukan hanya tentang biologi.
Seks dan sistem gender bekerja untuk mempengaruhi kesehatan masyarakat, akses terhadap
pengobatan dan perilaku pencegahan. Metode analisis sederhana untuk mengidentifikasi hasil
kesehatan yang berpotensi dipengaruhi oleh faktor-faktor terkait gender yang layak untuk
dipelajari lebih lanjut untuk peningkatan yang efektif dari hasil tersebut. Pesan kunci kedua
adalah:Ini bukan hanya tentang wanita. Kata gender secara tradisional diasosiasikan dengan
perempuan dan anak perempuan, sehingga kebutuhan kesehatan terkait gender laki-laki relatif
kurang dipelajari. Gender mempengaruhi baik pria maupun wanita, dengan cara yang protektif
serta berisiko dan berbahaya. Kebijakan yang efektif dapat membantu orang mewujudkan gender
mereka dengan cara yang memungkinkan mereka untuk merawat diri sendiri dan orang lain
dengan lebih baik. Pesan kunci ketiga adalah:Ini bukan hanya tentang jenis kelamin. Seperti
yang disarankan dalam dua studi kasus, gender bersinggungan dengan kategori sosial lain yang
perlu dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan dalam pekerjaan mereka. Seorang wanita paruh
baya kulit putih kelas atas mungkin memiliki (dan mungkin memiliki) akses yang lebih baik ke
perawatan kesehatan daripada pria tua kelas pekerja kulit hitam. Pesan kunci terakhir
adalah:Bukan hanya tentang pencegahan dan pengobatan. Ketika pembuat kebijakan mulai
bekerja untuk mengatasi kesenjangan kesehatan, yang mendasar bagi pencapaian Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan, tindakan mereka memasuki ranah moral keputusan politik dan etis
dengan cara yang menempatkan keadilan sosial di pusat pekerjaan mereka (Cislaghi et al., 2020).

33
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Berdasarkan kajian yang ada maka dapat disimpulkan pembahasan makalah ini sebagai
berikut:

1. Kesenjangan gender adalah perbedaan hak-hak dasar warga negara seperti kesehatan,
pendidikan, perekonomian dan politik. Diskriminasi gender adalah perlakuan berbeda antara
pihak laki-laki atau perempuan. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki
dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia. Keadilan
gender adalah suatu proses untuk mendapat posisi, peran atau kedudukan yang adil bagi laki-
laki dan perempuan.
2. Perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat
ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan
semua orang.
3. Perempuan dan laki-laki berbeda dalam hal biologi (perbedaan jenis kelamin), akses mereka
ke dan kontrol atas sumber daya dan kekuatan pengambilan keputusan. Penyebab
ketidaksetaraan gender dalam kesehatan sangat penting ketika merancang respons sistem
kesehatan.
4. Pembutan kebijakan politik kesehatan global untuk kesetaraan gender harus
mempertimbangkan 4 hal sebagai berikut: 1) Ini bukan hanya tentang biologi, 2) Ini bukan
hanya tentang wanita; 3) Ini bukan hanya tentang jenis kelamin dan; 4) Bukan hanya tentang
pencegahan dan pengobatan.
3.2 Saran
Mengingat bahwa masalah isu kesetaraan gender masih sangat kompleks untuk diatasi di
dunia dan Indonesia, sehingga perlu adanya kajian-kajian ulang yang bermanfaat untuk

34
menambah pengetahuan tentang hal tersebut seperti kajian tentang diskriminasi perempuan.
Studi mengenai perempuan, diskriminasi, dan promosi keehatan masih sangat perlu ditingkatkan
untuk menjadi referensi solusi pemecahan seputar masalah isu gender yang ada. Penulis
mengetahui bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga memerlukan kritik dan
saran yang membangun dari pembaca semua.

DAFTAR PUSTAKA

Azisah, S., Mustari, A., Himayah., & Ambo Masse,. (2016) KONTEKSTUALISASI GENDER,
ISLAM DAN BUDAYA. Makassar: UIN Alauddin.

Bappenas (2021) 5. Kesetaraan Gender Mencapai Kesetaraan Gender dan Memberdayakan


Kaum Perempuan. Available at: http://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-5/ (Accessed: 29
October 2021).

Dini Iklilah M, Fajriyah, Mahdiah Yuliana, Fahmadia Eva, L. I. (2020) PEMBANGUNAN


MANUSIA BERBASIS GENDER 2020. Edited by L. I. Dini Iklilah M, Fajriyah, Angraini
Sylvianti. jakarta: Kemen PPPA. Available at:
https://www.kemenpppa.go.id/lib/uploads/list/50a46-pembangunan-manusia-berbasis-
gender-2020.pdf.

Kemenakertrans (2012) Kesetaraan dan non diskriminasi di tempat kerja di Indonesia. Jakarta.
Available at: https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-
jakarta/documents/publication/wcms_203503.pdf.
Cislaghi, B., Weber, A.M., Gupta, G.R., & Darmstadt, G.L,. (2020) ‘Gender equality and global

health: intersecting political challenges’, Journal of Global Health, 10(1), p. 010701.


doi:10.7189/jogh.10.010701.

Irma, S. (2017) Eksistensi Perempuan Dalam Budaya Patriarki pada Masyarakat Jawa di Desa
Wonorejo Kecamatan Mangkutana Kabupaten Luwu Timur. Available at:
https://digilibadmin.unismuh.ac.id/upload/6717-Full_Text.pdf.

Laksono Agung Dwi, Soerachman Rachmalina, A. T. J. (2016) ‘Studi Kasus Kesehatan Maternal
Suku Muyu Didistrik Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel’, Jurnal Kesehatan
Reproduksi, 7(3), pp. 145–155.

Ostlin, P. Elizabeth, E., Mishra, U.S., Nkowane, M., & Wallstam, E,. (2006) ‘Gender and health

35
promotion: a multisectoral policy approach’, Health Promotion International, 21 Suppl 1,
pp. 25–35. doi:10.1093/heapro/dal048.

Sakina, A. I. and A., D. H. S. (2017) ‘Menyoroti Budaya Patriarki Di Indonesia’, Share : Social
Work Journal, 7(1), p. 71. doi: 10.24198/share.v7i1.13820.

https://www.jhonlinmagz.com/peran-perempuan-dalam-dunia-kerja/

https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5248441/aturan-cuti-melahirkan-haid-dan-istirahat-
buruh-di-uu-cipta-kerja.

https://theconversation.com/definisi-perempuan-patriarki-dan-misogini-dalam-bahasa-indonesia-
154858

http://sdgs.bappenas.go.id/tujuan-5/
https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/29/2822/menteri-pppa-perkawinan-anak-
harus-dihentikan

36

Anda mungkin juga menyukai