KESEHATAN
Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Kesetaraan Gender Dalam Hukum
Islam
Dosen Pengampu : Ibu Wiwin Siti Aminah R., SAg., M.Ag.
Disusun oleh:
1. Deni Sujani
2. Nurfadilah
3. Widayani Sumarno Putri
4. Muhamad Rifki Hamdi
5. Ricki Aril Hakiki
FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
CIAMIS – JAWA BARAT
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya, kami dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Isu-Isu Kesetaraan Gender Dalam
Bidang Kesehatan” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Kesetaraan Gender Dalam Hukum Islam. Selain itu, penulisan makalah ini juga
bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai “Isu-Isu
Kesetaraan Gender Dalam Bidang Kesehatan” khususnya bagi penulis umumnya
untuk para pembaca.
Kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Wiwin Siti Aminah R., Sag., M.Ag.
selaku Dosen Mata Kuliah Kesetaraan Gender Dalam Hukum Islam. Ucapan
terimakasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam
mengumpulkan literatur untuk penulisan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
yang ada sekarang, dunia membutuhkan 257 tahun untuk mengatasi
kesenjangan gender.
Sementara, Global Gender Gap Report 2020 dari World Economic
Forum menempatkan Indonesia pada posisi ke-85 dari 153 negara dalam hal
kesetaraan gender. Padahal, keterwakilan dan partisipasi perempuan dalam
setiap aspek pembangunan menjadi penentu dalam memastikan pemenuhan
hak-hak perempuan dan kesetaraan gender.
Dalam pembangunan kesehatan, isu gender menjadi penting karena
gender merupakan determinan kesehatan yang berinteraksi dengan faktor
lainnya dalam kesehatan, seperti kelas sosial, ras, dan etnis.
Pendekatan gender dalam kesehatan mempertimbangkan faktor sosial,
budaya, dan relasi kuasa antara perempuan dan laki-laki yang berperan
penting dalam menentukan status kesehatan dan kesejahteraan individu.
Sebagai contoh, kematian ibu di Indonesia masih di angka 305/100.000
kelahiran hidup, pun kematian pria akibat tuberkulosis, kecelakaan, dan
alkohol jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan.
Lensa gender menjadi sudut pandang yang signifikan dalam intervensi
kesehatan mengingat saat ini 70 persen tenaga kesehatan di seluruh dunia
adalah perempuan (WHO, 2019). WHO sendiri telah mengintegrasikan
posisi gender, keadilan, dan hak asasi manusia dalam satu kesatuan sebagai
cara untuk mencapai kesehatan bagi semua. Oleh sebab itu, berbagai upaya
implementasi pengarusutamaan gender melalui proses integrasi, intervensi,
dan dialog harus dilakukan tidak hanya oleh pemerintah namun berbagai
pihak untuk mencapai kesetaraan gender.
Hal-hal ini membuat kita harus memahami isu gender berkaitan dengan
kesehatan, seperti yang akan kami bahas pada makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja problem-problem kesetaraan gender di bidang kesehatan?
2. Apa faktor penyebab munculnya problem tersebut?
3. Bagaimana upaya yang perlu dan bisa dilakukan untuk menyelesaikan
problem tersebut?
2
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui problem-problem kesetaraan gender di bidang
kesehatan.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab munculnya problem tersebut.
3. Untuk mengetahui upaya yang perlu dan bisa dilakukan untuk
menyelesaikan problem tersebut.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
naik ke posisi jabatan lebih tinggi setingkat kepala bidang hingga kepala
dinas.
Penghalang utama bagi perempuan untuk mencapai posisi penting
dalam pengambilan keputusan dalam organisasi disebabkan oleh
adanya stereotip gender pada sistem kesehatan. Stereotip adalah keyakinan
tentang karakteristik sekelompok orang berdasarkan asumsi-asumsi yang
dibuat tanpa memperhatikan kondisi sebenarnya. Walau banyak perempuan
berhasil memimpin rakyat mereka di tengah wabah, nampaknya fenomena
serupa jauh untuk bisa terjadi di Indonesia. Dalam manajemen
kebencanaan, perempuan di Indonesia lebih sering digambarkan sebagai
korban, bukan sebagai pengambil kebijakan. Pandangan bahwa pekerjaan
terkait kebencanaan adalah pekerjaan laki-laki
Selain diskriminasi gender yang muncul karena adanya stereotip,
ketimpangan gender juga dialami oleh para wanita yang ingin melakukan
pemeriksaan kesehatan reproduksi mereka. Diskriminasi yang mereka alami
biasanya terjadi dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang membuat para
wanita tersebut tidak nyaman seperti “Apakah ibu sudah bersuami ?” atau “
Ibu sudah aktif berhubungan seksual padahal belum menikah?”, bahkan
terkadang beberapa fasilitas kesehatan juga menolak untuk melakukan
pemeriksaan kesehatan reproduksi bagi para wanita yang belum menikah
dan meminta jaminan suami terlebih dahulu walaupun para wanita tersebut
sudah memberikan keterangan bahwa mereka belum menikah dan aktif
secara seksual.
Kasus seperti ini dibahas juga pada salah satu artikel berjudul “
Diskriminasi Akses Kesehatan Reproduksi untuk yang Belum Menikah”
yang ditulis oleh Aditya Widya Putri pada tahun 2020. Pada artikel ini
sangat diperjelas bahwa pada saat melakukan pemeriksaan seperti ini sangat
normal untuk menanyakan status pasien aktif berhubungan seksual atau
tidak karena relevan untuk analisis dasar risiko penyakit menular seksual
(IMS). Menurut penulis, menanyakan status pernikahan dan menghambat
para pihak perempuan pada saat melakukan pemeriksaan seperti ini secara
implikatif menyatakan bahwa perempuan yang aktif secara seksual tetapi
5
belum menikah tidak berhak untuk mendapatkan layanan pemeriksaan
kesehatan reproduksi.
Artikel tersebut tidak hanya menjelaskan mengenai kerugian yang
dialami oleh wanita tetapi juga membahas mengenai kerugian yang dapat
dialami oleh negara karena dengan adanya penghambatan pemeriksaan
seperti ini akan sulit untuk mendeteksi atau mengindikasi penyakit menular
seksual sehingga akan memperlambat pemberian upaya penanganan yang
seharusnya sudah dilakukan sebelum kondisinya semakin parah.
Kesenjangan gender ternyata juga menjadi faktor penyebab dari salah satu
permasalahan kesehatan terbesar di Indonesia yaitu tingginya angka tingkat
kematian ibu dan bayi yang baru lahir.
Faktor penyebab utama dari permasalahan ini adalah adanya
pendominasian kekuasaan oleh para suami dalam segala bentuk keputusan
yang diambil di dalam rumah tangga termasuk keputusan mengenai
kelahiran yang seharusnya menjadi hak dari sang istri. Hal ini juga dikupas
tuntas di dalam sebuah karya tulis berjudul “ Memaksa Laki-laki Mencegah
kematian Ibu dan Bayi baru Lahir” yang ditulis oleh Maisuri Tadjuddin
Chalid pada tahun 2018.
Karya tulis ini membahas bahwa perempuan masih tidak mampu
menggunakan hak reproduksinya untuk memutuskan mengenai diri mereka
sendiri karena keputusan itu sangat dipengaruhi oleh suami ataupun anggota
keluarga lainnya sehingga memaksa mereka untuk bergantung pada suami.
Namun, dalam kenyataannya mayoritas dari para suami masih belum
menyadari mengenai risiko kehamilan yang sedang dihadapi oleh istri
mereka sehingga membuat mereka menunda untuk membuat keputusan pada
saat yang tepat dan menyebabkan terjadinya komplikasi kehamilan. Pada
artikel tersebut juga disebutkan bahwa pembatasan hak bagi para kaum
perempuan dalam membuat keputusan mengenai keadaan reproduksi mereka
sendiri akan menghambat mereka untuk mendapatkan pertolongan dan
layanan kesehatan ibu yang sesuai sehingga menyebabkan meningkatnya
angka kematian ibu dan bayi yang baru lahir.
6
2.2 Faktor Penyebab Munculnya Problem Tersebut
Permasalahan-permasalahan gender di bidang kesehatan ini tentunya
menyulitkan para kaum perempuan tetapi apakah hanya pihak perempuan
saja yang terpengaruhi oleh hal ini ? Jawabannya adalah tidak. Penulis
berpendapat bahwa hal ini juga tentunya memengaruhi negara Indonesia
secara langsung maupun tidak langsung khususnya pada perkembangan
tingkat kesehatannya. Sulit untuk memungkiri bahwa kaum perempuan
terpengaruh secara negatif oleh hal ini tetapi kaum perempuan di sini juga
merupakan warga negara Indonesia yang tidak kalah berharga dan penting
sehingga apapun yang merugikan mereka akan otomatis merugikan negara
Indonesia.
Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah pada masa pandemi covid-19
yang membuat semua orang kewalahan ini tetap saja terjadi diskriminasi
gender karena kurangnya partisipasi pemimpin yang berjenis kelamin
perempuan di bidang kesehatan sebab adanya stereotip bahwa perempuan
tidak dapat membuat keputusan atau kebijakan yang tepat pada saat yang
genting karena alasan yang tidak masuk akal dan tidak berdasar seperti
perempuan terlalu “emosional” atau alasan-alasan aneh lainnya.
Persoalan ini dibahas lebih dalam lagi pada salah satu artikel yang
berjudul “Di Tengah Pandemi Covid-19, Representasi Perempuan dalam
System Kesehatan Masih Rendah” yang ditulis oleh Nuzulul Kusuma Putri
pada tahun 2020. Artikel tersebut tidak hanya membahas mengenai masalah
ketidakadilan gender pada masa pandemi saja tetapi juga membahas pada
saat waktu sebelum terjadinya pandemi, bahkan penulis artikel ini
memberikan hasil penelitiannya terhadap 352 pejabat publik pada organisasi
dinas kesehatan di dua provinsi.
Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa meskipun para
pemimpin perempuan memiliki tingkat pendidikan dan keahlian yang sama,
posisi tertinggi yang dapat dicapai hanya sampai kepala seksi saja. Akan
tetapi, hal yang sama tidak berlaku untuk para pemimpin laki-laki yang
mendapatkan kesempatan lebih luas untuk meraih posisi yang lebih tinggi.
Menurut penulis, hal ini sangat disayangkan karena terdapat banyak
7
pemimpin perempuan pada bidang kesehatan yang berkualifikasi dan
memiliki potensi untuk memunculkan inovasi-inovasi baru yang sebenarnya
sangat dibutuhkan oleh negara Indonesia.
Di berbagai sektor kehidupan banyak indikator menunjukkan
perempuan tertinggal dibandingkan laki-laki dalam hal memperoleh
kesempatan, peluang serta hasil-hasil pembangunan.
Adapun faktor penyebab permasalahan diatas antara lain :
1. Pelabelan sifat-sifat tertentu (stereotipe)
Perempuan cenderung mendapat stereotipe yang merendahkan seperti:
perempuan adalah mahkluk yang lemah, emosional, cengeng, tidak
tahan banting.
2. Subordinasi
Pada salah satu jenis kelamin yaitu perlakuan menomorduakan
perempuan. Pemimpin masyarakat hanya pantas dipegang oleh lelaki,
perempuan hanya dapat menjadi pemimpin hanya sebatas pada
kaumnya (sesama perempuan). Tindak kekerasan (violence) terhadap
perempuan.
3. Budaya patriarkhi
Budaya ini menganggap bahwa kaum laki-laki secara kodrati memiliki
superioritas atas kaum perempuan dalam kehidupan pribadi,
keluarga,masyarakat dan bernegara.
2.3 Upaya yang Perlu dan Bisa Dilakukan untuk Menyelesaikan Problem
Tersebut
Dalam hal ini upaya dari penulis yaitu memberikan saran kepada
pemerintah Indonesia untuk mengutamakan penerapan kesetaraan gender
khususnya pada bidang kesehatan agar dapat meminimalkan peristiwa
ketimpangan gender yang masih marak terjadi dan mewujudkan negara
Indonesia yang lebih maju dengan mengoptimalkan sumber daya
manusianya baik yang berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki tanpa
adanya diskriminasi gender.
8
2.4 Refleksi dan Penutup
Setelah meninjau dan membahas berbagai permasalahan di bidang
kesehatan di Indonesia yang disebabkan oleh adanya ketimpangan atau
kesejangan gender, penulis dapat menyimpulkan bahwa penerapan
kesetaraan gender sangat krusial untuk dilakukan agar dapat
mengembangkan kualitas di bidang kesehatan Indonesia. Selain dapat
diterapkan untuk menghilangkan stereotip dan memberikan kesempatan bagi
para pemimpin perempuan agar dapat menduduki jabatan yang lebih tinggi,
kesetaraan gender juga dapat diterapkan untuk menekan laju dari penyakit
menular seksual dan menurunkan angka kematian dari ibu dan bayi yang
baru lahir.
9
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kesetaraan gender
dalam bidang kesehatan sangat penting pada zaman sekarang maupun pada
era berikutnya. Perempuan ataupun laki-laki memiliki hak untuk
mendapatkan fasilitas kesehatan yang sama. Baik perempuan maupun laki-
laki mempunyai hak atas dirinya sendiri untuk memilih fasilitas kesehatan
yang terbaik menurut mereka. Faktor-faktor yang menyebabkan munculnya
problem kesetaraan gender adalah diskriminasi gender yang muncul karena
adanya stereotip, ketimpangan gender juga dialami oleh para wanita yang
ingin melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi mereka. Diskriminasi
yang mereka alami biasanya terjadi dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan
yang membuat para wanita tersebut tidak nyaman seperti “Apakah ibu sudah
bersuami ?”, bahkan terkadang beberapa fasilitas kesehatan juga menolak
untuk melakukan pemeriksaan kesehatan reproduksi bagi para wanita yang
belum menikah dan meminta jaminan suami terlebih dahulu walaupun para
wanita tersebut sudah memberikan keterangan bahwa mereka belum
menikah dan aktif secara seksual.
Upaya yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan problematika
kesetaraan gender ini adalah agar pemerintah Indonesia bisa mengutamakan
penerapan kesetaraan gender khususnya pada bidang kesehatan agar dapat
meminimalkan peristiwa ketimpangan gender yang masih marak terjadi dan
mewujudkan negara Indonesia yang lebih maju dengan mengoptimalkan
sumber daya manusianya baik yang berjenis kelamin perempuan maupun
laki-laki tanpa adanya diskriminasi gender.
3.2 Saran
Dalam penulisan makalah ini tentu terdapat kekurangan dari segi
penulisan maupun dari segi literatur, untuk itu penulis mengharapkan kritik
yang membangun dari pembaca agar makalah ini lebih baik lagi
kedepannya.
10
DAFTAR PUSTAKA
11