Anda di halaman 1dari 19

KONSEP GENDER

DALAM KESEHATAN REPRODUKSI PEREMPUAN

Dosen Pengampu
Adhetya Uberty, S Tr.Keb.,M.K.M

Disusun oleh :
SABILA NURDITYA : 19995
SHELAKLY FITSA L : 19997
TEVI MARTINA : 19999
TRISDAYANTINI : 191001
UZI ERYFA : 191004
VIDYA RAHMATIANA W : 191006
YAYUK ULANSARI Y : 191008

PROGRAM STUDI KEBIDANAN


PROGRAM PENDIDIKAN DIPLOMA TIGA
AKADEMI KEBIDANAN SINGKAWANG
TAHUN AKADEMIK 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun kehadirat Allah SWT yang mana telah memberikan
penyusun semua kekuatan serta kelancaran dalam menyelesaikan makalah mata
kuliah Asuhan Kebidanan Komunitas yang berjudul “Konsep Gender Dalam
Kesehatan Reproduksi Perempuan” tepat pada waktunya. Tersusunnya makalah
ini tentunya tidak lepas dari dukungan berbagai pihak yang telah memberikan
bantuan secara materil, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena
itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Adhetya Uberty, S Tr.Keb.,M.K.M selaku dosen mata kuliah Asuhan
Kebidanan Komunitas.
2. Orang tua yang telah memberikan dukungan dan bantuan kepada
penyusun sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
3. Teman-teman yang telah membantu dan memberikan dorongan semangat
agar makalah ini dapat terselesaikan.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik
dari bentuk penyusunan maupun materinya. Kritik konstruktif dari pembaca
sangat penyusun harapkan untuk penyempurnaan makalah ini selanjutnya.

Singkawang, 2 Maret 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah................................................................................. 3

C. Tujuan ................................................................................................... 3

D. Manfaat ................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Gender Dalam Kesehatan Reproduksi Perempuan.................. 4

1. Definisi Kesehatan Reproduksi.................................................... 4

2. Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi........................................ 6

3. Prasyarat 8

4. Gender dan Seksualitas................................................................. 9

5. Strategi Kesehatan Reproduksi..................................................... 10

BAB III PENUTUPAN

A. Kesimpulann ......................................................................................... 15

B. Saran ..................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan reproduksi adalah suatu kondisi yang sempurna dari fisik,
mental dan keadaan sosial (tidak hanya bebas dari penyakit atau kelemahan/
kecacatan) dalam setiap persoalan yang berhubungan dengan sistem, fungsi
serta proses reproduksi. Konsep dan definisi lainnya yang juga disepakati dan
berkaitan dengan kesehatan reproduksi, yaitu kesehatan seksual, hak seksual,
dan hak reproduksi.
Sejak tahun 2000, kesehatan reproduksi merupakan salah satu topic
penting yang mendapat perhatian dari berbagai pihak, baik di dalam maupun di
luar negeri. Meluasnya liputan media massa sampai ke pelosok negeri yang
menyajikan fakta seputar kesehatan reproduksi, baik positif maupun negatif
mendorong pemerintah, perorangan, swasta dan lembaga swadaya masyarakat
untuk mengambil peran aktif dalam menyosialisasikan sekaligus memberikan
jalan keluar atas permasalahan kesehatan reproduksi.
Angka kematian ibu (maternal mortality rate/MMR) di Indonesia sebesar
228 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007) walaupun lebih rendah
dibandingkan dengan angka IMR sebelumnya, yakni 307 per 100.000 kelahiran
hidup (SDKI, 2002–2003), masih termasuk ke dalam kategori tinggi di antara
negara-negara di Asia Selatan dan Pasifik. Faktor penyebab yang tertinggi
adalah perdarahan, di samping faktor sosial budaya dan non-kesehatan lainnya.
Fakta ini diikuti oleh tingginya angka kematian bayi (infant mortality
rate/IMR) dengan angka 34 per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2007) serta
aborsi akibat kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di kalangan remaja
(Susilowati, N., 2008).
Hasil laporan Indonesia Human Development Report 2005 tentang angka
kematian ibu (AKI) melahirkan, yang saat ini tercatat berada di angka 307 dari
setiap 100.000 kelahiran hidup, sebagian besar adalah kematian yang
sebetulnya dapat dihindari. AKI ini menjadi indicator dari tingkat
pembangunan manusia suatu bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah
belum serius dan merata dalam pemberian pelayanan kesehatan khususnya bagi

1
2

perempuan. Angka kematian ibu ini dapat dijadikan indikator rendahnya


pelayanan kesehatan yang diterima ibu dan anak serta rendahnya akses
informasi yang dimiliki ibu dan anak. Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1995 juga mendapatkan data AKI di Indonesia adalah 373 per
100.000 kelahiran hidup. Diantara penyebab kematian ibu tersebut diantaranya
anemia, kurang gizi, perdarahan karena aborsi, dan lain-lain. Data WHO
memperkirakan 10-50 persen AKI disebabkan aborsi. Berarti, dari setiap
seratus ribu kelahiran hidup sekitar 37 sampai 186 perempuan diantaranya
meninggal sia-sia akibat komplikasi pengguguran kehamilan. Fakta mengenai
aborsi akhir-akhir ini menunjukkan jumlah yang cukup mengagetkan. Budi
Utomo dan kawan-kawan (2002) dalam penelitiannya di 10 kota besar dan 6
kabupaten, menemukan bahwa pertahun terdapat 2 juta kasus aborsi, atau 37
aborsi per 1000 perempuan usia 15-49 tahun, atau 43 aborsi per 100 kelahiran
hidup, atau 30% kehamilan. WHO memperkirakan, di Asia Tenggara 4,2 juta
aborsi dilakukan setiap tahunnya dan Indonesia berkontribusi sekitar 750.000
sampai 1.500.000 kasus. Dari jumlah tersebut 2.500 di antaranya berakhir
dengan kematian (Siswono, 2005).
Dari sisi perbandingan jumlah aborsi di kota dan desa hampir sama. Kasus
aborsi di perkotaan dilakukan secara diam-diam oleh tenaga kesehatan,
sebanyak 73 %. Sedangkan di pedesaan sebagian besar dilaku- kan secara
diam-diam oleh dukun, sebanyak 84%. Aborsi yang dilakukan secara
diamdiam inilah yang menempatkan perempuan harus menanggung resiko
tidak adanya perlindungan pemerintah cq Departemen Kesehatan, termasuk
bila terjadi kematian karena komplikasi perdarahan dan infeksi. Faktor-faktor
penentu yang mempengaruhi aborsi terdapat pada level individu,
keluarga/masyarakat dan negara. Ketiga level tersebut memiliki keterkaitan
satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan. Pengaruh dari ketiga level tersebut
berdampak pada banyaknya praktek aborsi tidak aman (unsafe abortion) yang
mengakibatkan pada tingginya AKI di Indonesia.
Selama aborsi dianggap bertentangan dengan hukum, maka tidak mungkin
diatur pelayanan aborsi yang aman. Selama tidak ada aturan mengenai
pelayanan aborsi yang aman, maka akan terus terjadi praktek aborsi secara
3

diam-diam dan cenderung tidak aman karena dilakukan tanpa prosedur maupun
standar operasional kesehatan yang jelas yang dapat dijadikan sebagai
pedoman. Dari sudut pandang moralitas, aborsi dan kematian ibu keduanya
dipermasalahkan karena sama-sama mengancam kelangsungan hidup janin dan
ibu. Namun, perlu didudukkan dalam proporsinya masing-masing, manakah
pilihan yang lebih bermanfaat dan maslahat dalam menyelesaikan problem
kesehatan reproduksi ini. Aborsi tidak harus mengorbankan kehidupan insani
bila masih dalam taraf kehidupan sel (hayati). Membiarkan praktek aborsi tidak
aman lebih berbahaya karena membiarkan nyawa perempuan yang jelas-jelas
telah hidup secara insaniyah (sebagai manusia) dan memiliki tanggung jawab
pada orang lain dikorbankan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis merumuskan masalah
penelitian ini Konsep Gender Dalam Kesehatan Reproduksi Perempuan.
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diketahui Konsep Gender Dalam Kesehatan Reproduksi Perempuan.
D. Manfaat
1. Bagi Rumah Sakit
Masukan dapat mengetahui Konsep Gender Dalam Kesehatan
Reproduksi Perempuan.
2. Bagi Pendidikan
Sumbangan ilmiah dan masukan untuk pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya tentang Konsep Gender Dalam Kesehatan
Reproduksi Perempuan..
3. Bagi Peneliti
Pengalaman berharga bagi peneliti untuk menambah wawasan,
pengetahuan dan pengalaman serta mengembangkan diri khususnya dalam
bidang penelitian keperawatan jiwa.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Gender Dalam Kesehatan Reproduksi Perempuan


Pembangunan kesehatan bertujuan untuk mempertinggi derajat kesehatan
masyarakat. Demi tercapainya derajat kesehatan yang tinggi, maka wanita
sebagai penerima kesehatan, anggota keluarga dan pemberi pelayanan
kesehatan harus berperan dalam keluarga, supaya anak tumbuh sehat sampai
dewasa sebagai generasi muda. Oleh sebab itu wanita, diberi perhatian sebab :
a. Wanita menghadapi masalah kesehatan khusus yang tidak dihadapi pria
berkaitan dengan fungsi reproduksinya
b. Kesehatan wanita secara langsung mempengaruhi kesehatan anak yang
dikandung dan dilahirkan.
c. Kesehatan wanita sering dilupakan dan ia hanya sebagai objek dengan
mengatas namakan “pembangunan” seperti program KB, dan
pengendalian jumlah penduduk.
d. Masalah kesehatan reproduksi wanita sudah menjadi agenda Intemasional
diantaranya Indonesia menyepakati hasil-hasil Konferensi mengenai
kesehatan reproduksi dan kependudukan (Beijing dan Kairo).
e. Masih adanya kebiasaaan tradisional yang merugikan baik bagi kesehatan
perempuan secara umum maupun bagi perempuan hamil.
f. Di berbagai dunia masih terjadi berbagai diskriminasi yang berdampak
negatif terhadap kesehatan dan hak reproduksi perempuan.
g. Adanyaketidaksetaraan bagi perempuan dalam akses pendidikan,
pekerjaan, pengambilan keputusan dan sumber daya yang tersedia.
h. Berdasarkan pemikiran di atas kesehatan wanita merupakan aspek paling
penting disebabkan pengaruhnya pada kesehatan anak-anak. Oleh sebab
itu pada wanita diberi kebebasan dalam menentukan hal yang paling baik
menurut dirinya sesuai dengan kebutuhannya di mana ia sendiri yang
memutuskan atas tubuhnya sendiri.
1. Defenisi Kesehatan Reproduksi
a. Menurut Drs. Syaifuddin, BAC: 1992

4
5

Suatu keadaan kesehatan dimana suatu kegiatan organ kelamin


laki-laki dan perempuan yang khususnya testis menghasilkan
spermatozoid dan ovarium menghasilkan sel kelamin perempuan.
b. Menurut Turmen, 1994
Merupakan kemampuan manusia melaksanakan kehidupan seks
yang aman, memuaskan dan bertanggungjawab dan memiliki
kemampuan bereproduksi dan kebebasan dalam memutuskan
kapan dan berapa banyak mereka bereproduksi.
c. Menurut Affandi, 1995
Seperti hubungan seksual, kehamilan, persalinan, kontrasepsi dan
aborsi berlangsung dengan aman seyogyanya bukan aktifitas
berbahaya.
d. Menurut ICPD
Keadaan sejahtera fisik, mental, sosial secara utuh tidak semata-
mata terbebas dari penyakit dan kecacatan dalam segala hal yang
berkaitan dengan sistem fungsi dan proses reproduksi.
e. Menurut Ida Bagus Gde Manuaba, 1998
Kemampuan seseorang untuk dapat memanfaatkan alat
reproduksi dengan mengukur kesuburannya dapat menjalani
kehamilannya dan persalinan serta aman mendapatkan bayi tanpa
resiko apapun (Well Health Mother Baby) dan selanjutnya
mengembalikan kesehatan dalam batas normal.
f. Menurut WHO
Suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial yang utuh bukan
hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek
yang berhubungan dengan sistem reproduksi.
g. Menurut Hausa Hasan
Suatu keadaan dimana proses reproduksi terjadi dalam kesatuan
yang lengkap meliputi fisik, mental dan sosial yang baik serta
tidak hanya adanya penyakit atau ketimpangan reproduksi.
6

h. Menurut Depkes RI, 2000


Suatu keadaan sehat secara menyeluruh mencakup fisik, mental
dan kehidupan sosial yang berkaitan dengan alat, fungsi serta
proses reproduksi yang pemikiran kesehatan reproduksi bukannya
kondisi yang bebas dari penyakit melainkan bagaimana seseorang
dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan
sebelum dan sesudah menikah.
2. Ruang lingkup kesehatan reproduksi
Ruang lingkup kesehatan reproduksi mencakup keseluruhan
kehidupan manusia sejak lahir sampai mati (life cycle approach) agar
di peroleh sasaran yang pasti dan komponen pelayanan yang jelas
serta dilaksanakan secara terpadu dan berkualitas dengan
memperhatikan hak reproduksi perorangan dan bertumpu pada
program pelayanan yang tersedia.
a. Konsepsi
Perlakuan sama antara janin laki-laki dan perempuan,
Pelayanan ANC, persalinan, nifas dan BBL yang aman.
b. Bayi dan Anak
Pemberian ASI eksklusif dan penyapihan yang layak, an
pemberian makanan dengan gizi seimbang, Imunisasi,
Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan Manajemen
Terpadu Bayi Muda (MTBM), Pencegahan dan penanggulangan
kekerasan pada anak, Pendidikan dan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan yang sama pada anak laki-laki dan anak
perempuan.
c. Remaja
Pemberian Gizi seimbang, Informasi Kesehatan Reproduksi
yang adequate, Pencegahan kekerasan sosial, Mencegah
ketergantungan NAPZA, Perkawinan usia yang wajar, Pendidikan
dan peningkatan keterampilan, Peningkatan penghargaan diri,.
Peningkatan pertahanan terhadap godaan dan ancaman.
7

d. Usia Subur
Pemeliharaan Kehamilan dan pertolongan persalinan yang
aman, Pencegahan kecacatan dan kematian pada ibu dan bayi,
Menggunakan kontrasepsi untuk mengatur jarak kelahiran dan
jumlah kehamilan, Pencegahan terhadap PMS atau HIV/AIDS,
Pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas, Pencegahan
penanggulangan masalah aborsi, Deteksi dini kanker payudara
dan leher rahim, Pencegahan dan manajemen infertilitas.
e. Usia Lanjut
Perhatian terhadap menopause/andropause, Perhatian
terhadap kemungkinan penyakit utama degeneratif termasuk
rabun, gangguan metabolisme tubuh, gangguan morbilitas dan
osteoporosis, Deteksi dini kanker rahim dan kanker prostat.
Ruang Lingkup Kesehatan Reproduksi secara “lebih luas“,
meliputi: Masalah kesehatan reproduksi remaja yaitu pada saat
pertama anak perempuan mengalami haid/menarche yang bisa
beresiko timbulnya anemia, perilaku seksual bila kurang
pengetahuan dapat terjadi kehamilan diluar nikah, abortus tidak
aman, tertular penyakit menular seksual (PMS), termasuk
HIV/AIDS. Remaja saat menginjak masa dewasa dan melakukan
perkawinan, dan ternyata belum mempunyai pengetahuan yang
cukup untuk memelihara kehamilannya maka dapat
mengakibatkan terjadinya risiko terhadap kehamilannya
(persalinan sebelum waktunya) yang akhirnya akan menimbulkan
risiko terhadap kesehatan ibu hamil dan janinnya. Dalam
kesehatan reproduksi mengimplikasikan seseorang berhak atas
kehidupan seksual yang memuaskan dan aman. Seseorang berhak
terbebas dari kemungkinan tertular penyakit infeksi menular
seksual yang bisa berpengaruh pada fungsi organ reproduksi, dan
terbebas dari paksaan. Hubungan seksual dilakukan dengan saling
memahami dan sesuai etika serta budaya yang berlaku.
8

3. Agar dapat melaksanakan fungsi reproduksi secara sehat, dalam


pengertian fisik, mental maupun sosial, diperlukan beberapa prasyarat
yaitu sebagai berikut:
a. Agar tidak ada kelainan anatomis dan fisiologis baik pada
perempuan maupun laki-laki. Antara lain seorang perempuan
harus memiliki rongga pinggul yang cukup besar untuk
mempermudah kelahiran bayinya kelak. Ia juga harus memiliki
kelenjar-kelenjar penghasil hormon yang mampu memproduksi
hormon-horman yang diperlukan untuk memfasilitasi
pertumbuhan fisik dan fungsi sistem dan organ reproduksinya.
Perkembangan-perkembangan tersebut sudah berlangsung sejak
usia yang sangat muda. Tulang pinggul berkembang sejak anak
belum menginjak remaja dan berhenti ketika anak itu mencapai
usia 18 tahun. Agar semua pertumbuhan itu berlangsung dengan
baik, ia memerlukan makanan dengan mutu gizi yang baik dan
seimbang. Hal ini juga berlaku bagi laki-laki. Seorang lakilaki
memerlukan gizi yang baik agar dapat berkembang menjadi
laki-laki dewasa yang sehat.
b. Baik laki-laki maupun perempuan memerlukan landasan psikis
yang memadai agar perkembangan emosinya berlangsung
dengan baik. Hal ini harus dimulai sejak sejak anak-anak,
bahkan sejak bayi. Sentuhan pada kulitnya melalui rabaan dan
usapan yang hangat, terutama sewaktu menyusu ibunya, akan
memberikan rasa terima kasih, tenang, aman dan kepuasan yang
tidak akan ia lupakan sampai ia besar kelak. Perasaan semacam
itu akan menjadi dasar kematangan emosinya dimasa yang akan
datang.
c. Setiap orang hendaknya terbebas darikelainan atau penyakit
yang baik langsung maupun tidak langsung mengenai organ
reproduksinya. Setiap lelainan atau penyakit pada organ
reproduksi, akan dapat pula menggangu kemampuan seseorang
dalam menjalankan tugas reproduksinya. Termasuk disini adalah
9

penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual-misalnya


AIDS dan Hepatitis B, infeksi lain pada organ reproduksi,
infeksi lain yang mempengaruhi perkembangan janin, dampak
pencemaran lingkungan, tumor atau kanker pada organ
reproduksi, dan ganguan hormonal terutama hormon seksual.
Seorang perempuan hamil memerlukan jaminan bahwa ia
akan dapat melewati masa tersebut dengan aman. Kehamilan
bukanlah penyakit atau kelainan. Kehamilan adalah sebuah
proses fisiologis. Meskipun demikian, kehamilan dapat pula
mencelakai atau mengganggu kesehatan perempuan yang
mengalaminya. Kehamilan dapat menimbulkan kenaikan
tekanan darah tinggi, pendarahan, dan bahkan kematian.
Meskipun ia menginginkan datangnya kehamilan tersebut, tetap
saja pikirannya penuh dengan kecemasan apakah kehamilan itu
akan mengubah penampilan tubuhnya dan dapat menimbulkan
perasaan bahwa dirinya tidak menarik lagi bagi suaminya. Ia
juga merasa cemas akan menghadapi rasa sakit ketika
melahirkan, dan cemas tentang apa yang terjadi pada bayinya.
Adakah bayinya akan lahir cacat, atau lahir dengan selamat atau
hidup. Perawatan kehamilan yang baik seharusnya dilengkapi
dengan konseling yang dapat menjawab berbagai kecemasan
tersebut.
4. Gender dan seksualitas
a. Gender
Gender merupakan Peran sosial dimana peran laki-laki dan
perempuan ditentukan perbedaan fungsi, perandan tanggung
jawab laki- laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial
yang dapat berubah atau diubah sesuai perubahan zaman peran
dan kedudukan sesorang yang dikonstrusikan oleh masyarakat.
dan budayanya karena sesorang lahir sebagai laki-laki atau
perempuan. (WHO 1998).
10

Gender adalah suatu konsep budaya yang berupaya untuk


membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal
peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional. Gender
adalah peran dan kedudukan seseorang yang dikonstruksikan oleh
budaya karena seseorang lahir sebagai perempuan atau lahir
sebagai laki-laki. Contoh :Sudah menjadi pemahaman bahwa laki-
laki itu akan menjadi kepala keluarga, pencari nafkah, menjadi
orang yang menentukan bagi perempuan. Seseorang yang lahir
sebagai perempuan, akan menjadi ibu rumah tangga, sebagai istri,
sebagai orang yang dilindungi, orang yang lemah, irasional, dan
emosional.
b. Seksualitas
Seksualitas/jenis kelamin adalah karakteristik biologis-
anatomis (khususnya system reproduksi dan hormonal) diikuti
dengan karakteristik fisiologis tubuh yang menentukan seseorang
adalah laki-laki atau perempuan (Depkes RI, 2002:2).
Seksualitas/Jenis Kelamin (seks) adalah perbedaan fisik
biologis yang mudah dilihat melalui cirri fisik primer dan secara
sekunder yang ada pada kaum laki-laki dan perempuan (Badan
Pemberdayaan Masyarakat, 2003)
Seksualitas/Jenis Kelamin adalah pembagian jenis kelamin
yang ditentukan secara biologis melekat pada jenis kelamin
tertentu Seks adalah karakteritik genetic/fisiologis atau biologis
seseorang yang menunjukkan apakah dia seorang perempuan atau
laki-laki (WHO, 1998)
5. Strategi kesehatan reproduksi
Strategi kesehatan reproduksi menurut komponen pelayanan
kesehatan reproduksi komprehensif dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Komponen Kesejahteraan Ibu dan Anak
Peristiwa kehamilan, persalinan dan nifas merupakan kurun
kehidupan wanita yang paling tinggi resikonya karena dapat
membawa kematian, makna kematian seorang ibu bukan hanya
11

satu anggota keluarga tetapi hilangnya kehidupan sebuah keluarga.


Peran ibu sebagai wakil pimpinan rumah tangga, ibu dari anak-
anak yang dilahirkan, istri dari suami, anak bagi seorang ibu yang
melahirkan, ataupun tulang punggung bagi sebuah keluarga,
semua sulit untuk digantikan. Tindakan untuk mengurangi
terjadinya kematian ibu karena kehamilan dan persalinan, harus
dilakukan pemantauan sejak dini agar dapat mengambil tindakan
yang cepat dan tepat sebelum berlanjut pada keadaan kebidanan
darurat. Upaya intervensi dapat berupa pelayanan ante natal,
pelayanan persalinan dan masa nifas. Upaya intervensi tersebut
merupakan dimensi pertama dari paradigma baru pendekatan
secara Continuum of Care yaitu sejak kehamilan, persalinan, nifas,
hari-hari dan tahun-tahun kehidupan perempuan. Dimensi kedua
adalah tempat yaitu menghubungkan berbagai tingkat pelayanan di
rumah, masyarakat dan kesehatan.Informasi akurat perlu
diberikan atas ketidaktahuan bahwa hubungan seks yang
dilakukan, akan mengakibatkan kehamilan, dan bahwa tanpa
menggunakan kotrasepsi kehamilan yang tidak diinginkan bisa
terjadi, bila jalan keluar yang ditempuh dengan melakukan
pengguguran maka hal ini akan mengancam jiwa ibu tersebut.
a. Komponen Keluarga Berencana
Komponen ini penting karena Indonesia menempati urutan
keempat dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia.
Indonesia diprediksi akan mendapat “bonus demografi“ yaitu
bonus yang dinikmati oleh suatu Negara sebagai akibat dari
besarnya proporsi penduduk produktif (rentang 15–64 tahun)
dalam evolusi kependudukan yang akan dialami dan
diperkirakan terjadi pada tahun 2020–2030. Untuk
mengantisipasi kemungkinan timbulnya masalah tersebut
pemerintah mempersiapkan kondisi ini dengan Program
Keluarga Berencana yang ditujukan pada upaya peningkatan
kesejahteraan ibu dan kesejahteraan keluarga. Calon suami-
12

istri agar merencanakan hidup berkeluarga atas dasar cinta


kasih, serta pertimbangan rasional tentang masa depan yang
baik bagi kehidupan suami istri dan anak-anak mereka
dikemudian hari. Keluarga berencana bukan hanya sebagai
upaya/strategi kependudukan dalam menekan pertumbuhan
penduduk agar sesuai dengan daya dukung lingkungan tetapi
juga merupakan strategi bidang kesehatan dalam upaya
meningkatan kesehatan ibu melalui pengaturan kapan ingin
mempunyai anak, mengatur jarak anak dan merencanakan
jumlah kelahiran nantinya. Sehingga seorang ibu mempunyai
kesempatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan
serta kesejahteraan dirinya. Pelayanan yang berkualitas juga
perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan pandangan
klien terhadap pelayanan kesehatan yang ada.
b. Komponen Pencegahan dan Penanganan Infeksi Saluran
Reproduksi (ISR), termasuk Penyakit Menular Seksual dan
HIV/AIDS.
Pencegahan dan penanganan infeksi ditujukan pada
penyakit dan gangguan yang berdampak pada saluran
reproduksi. Baik yang disebabkan penyakit infeksi yang non
PMS. Seperti Tuberculosis, Malaria, Filariasis, maupun
infeksi yang tergolong penyakit menular seksual, seperti
gonorhoea, sifilis, herpes genital, chlamydia, ataupun kondisi
infeksi yang mengakibatkan infeksi rongga panggul (pelvic
inflammatory diseases/PID) seperti penggunaan alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR) yang tidak steril. Semua
contoh penyakit tersebut bila tidak mendapatkan penanganan
yang baik dapat berakibat seumur hidup pada wanita maupun
pria, yaitu misalnya kemandulan, hal ini akan menurunkan
kualitas hidup wanita maupun pria.
13

c. Komponen Kesehatan Reproduksi Remaja


Upaya promosi dan pencegahan masalah kesehatan
reproduksi juga perlu diarahkan pada masa remaja, dimana
terjadi peralihan dari masa anak menjadi dewasa, dan
perubahan-perubahan dari bentuk dan fungsi tubuh terjadi
dalam waktu relatif cepat. Hal ini ditandai dengan
berkembangnya tanda seks sekunder dan berkembangnya
jasmani secara pesat, menyebabkan remaja secara fisik mampu
melakukan fungsi proses reproduksi tetapi belum dapat
mempertanggung jawabkan akibat dari proses reproduksi
tersebut.Informasi dan penyuluhan, konseling dan pelayanan
klinis perlu ditingkatkan untuk mengatasi masalah kesehatan
reproduksi remaja ini. Selain itu lingkungan keluarga dan
masyarakat harus ikut peduli dengan kondisi remaja ini
sehingga dapat membantu memberikan jalan keluar bila remaja
mengalami masalah tidak malah di salahkan, tetapi perlu
diarahkan dan dicarikan jalan keluar yang baik dengan
mengenalkan tempat–tempat pelayanan kesehatan reproduksi
remaja untuk mendapatkan konseling ataupun pelayanan klinis
sehingga remaja masih dapat melanjutkan kehidupanya.
d. Komponen Usia Lanjut
Melengkapi siklus kehidupan keluarga, komponen ini akan
mempromosikan peningkatan kualitas penduduk usia lanjut
pada saat menjelang dan setelah akhir kurun usia reproduksi
(menopouse/andropause). Upaya pencegahan dapat dilakukan
melalui skrining keganasan organ reproduksi misalnya kanker
rahim pada wanita, kanker prostat pada pria serta pencegahan
defesiensi hormonal dan akibatnya seperti kerapuhan tulang
dan lain-lain. Hasil yang diharapkan dari pelaksanaan
kesehatan reproduksi tersebut adalah peningkatan akses:
Informasi secara menyeluruh mengenai seksualitas dan
reproduksi, masalah kesehatan reproduksi, manfaat dan resiko
14

obat, alat, perawatan, tindakan intervensi, dan bagaimana


kemampuan memilih dengan tepat sangat diperlukan. Paket
pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas yang
menjawab kebutuhan wanita maupun pria. Kontrasepsi
(termasuk strerilisasi) yang aman dan efektif. Kehamilan dan
persalinan yang direncanakan dan aman. Penanganan tindakan
pengguguran kandungan tidak aman. Pencegahan dan
penanganan sebab kemandulan (ISR/PMS). Informasi secara
menyeluruh termasuk dampak terhadap otot dan tulang, libido,
dan perlunya skrining keganasan (kanker) organ reproduksi.
Pengukuran adanya perubahan yang positif terhadap hasil
akhir diatas akan menunjukkan kemajuan pencapaian tujuan
pelayanan kesehatan reproduksi yang menjawab kebutuhan
kesehatan reproduksi individu, suami-istri dan keluarga.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menciptakan kondisi yang kondusif untuk mendiskusikan secara terbuka
mengenai peranan laki-laki dan perempuan di keluarga dan masyarakat.
Meyakini kesetaraan laki-laki dan perempuan dan menolak subordinasi
perempuan, sebagai prasyarat untuk menghormati hak-hak reproduksi
B. Saran
Demi mewujudkan peran sebagai tenaga kesehatan yang professional
mahasiswa harus benar memahami dan mewujudkan ilmunya dengan penuh
tanggung jawab.

15
Daftar Pusaka

Anonemous, Bias Gender dalam Kebijakan Kesehatan Reproduksi di Indonesia.


www.duniaesai.com (Diakses 10 Maret 2010)
Biro Pusat Statistik. 1995. Statistik Kesejahteraan Rakyat 1994.
DepKes RI-Pusdakes, 1998. Profil Kesehatan Indonesia 1998, Jakarta:
Depkes RI, Pusat Data Kesehatan.
Maria, U.A. 2007. Penguatan Hak Kesehatan Reproduksi Dalam Komunitas
Islam. Laporan LK2P Fatayat NU, Tangerang.
Siswono, 2005. Hari Kartini, Kesehatan Reproduksi Perempuan, dan Amandemen
UU Kesehatan. http://www.kompas.co.id, (Diakses 10 Maret 2010)
Susanti, Z dan kartika, H. 2004. Masalah Gender dan Kesehatan. Pusat
Penelelitian Ekologi Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Jurnal Cermin Dunia Kedokteran No. 145,
2004:43.
Susilowati, N. 2008. Gender dalam Kesehatan Reproduksi, Pusat
Pelatihan
Gender dan Peningkatan Kualitas Perempuan, Jakarta: BKKBN Pusat
Sumbulah, U. 2006. Buku Gender dan Islam. UIN Press, Malang.
Utomo, Budi dkk, 2002. Angka Aborsi dan Aspek Psiko-Sosial di
Indonesia: Studi di 10 Kota Besar dan 6 Kabupaten. Jakarta: Pusat Penelitian
Kesehatan Universitas Indonesia.
WHO dalam Gulardi H Wignyosastro, 2001. Masalah Kesehatan
Perempuan Akibat Reproduksi, Makalah seminar Penguatan Hak- Hak
Reproduksi, diselenggarakan oleh Fatayat NU, Jakarta 1 September 2001.

16

Anda mungkin juga menyukai