Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH Kesehatan Reproduksi Keluarga Berencana

“ Konsep Kependudukan Tentang Kelahiran dan Kematian"

DOSEN PEMBIMBING

Ratna Wati, SST

Oleh :

Dita Dwi Nur Shela (P07224219011)

Leni Anjarwati (P07224219023)

Salsabila Rifha Amanda (P07224219036)

PROGRAM STUDI D - III KEBIDANAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN KALIMAN


TAN TIMUR

TAHUN 2020/2021

I
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah Subhanallahu WaTa’ala, atas
segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga saya dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini sebagai tugas mata kuliah Kesehatan Reproduksi dan
Keluarga Berencana.

Dalam penyusunan makalah yang berjudul“ konsep kependudukan tentang


kelahiran dan kematian” ini, kami telah menyusun makalah ini dengan sebaik-
baiknya dan semaksimal mungkin.Namun tentunya sebagai manusia biasa tidak
luput dari kesalahan dan kekurangan. Harapan kami, semoga bisa menjadi koreksi
di masa mendatang agar lebih baik lagi dari sebelumnya.

Tak lupa ucapan terimakasih kami sampaikan kepada Ibu Ratna Wati, SST
selaku dosen Kesehatan Reproduksi Keluarga Berencana kami , atas bimbingan,
dorongan dan ilmu yang telah diberikan kepada kami. Sehingga kami dapat
menyusun dan menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan insya-Allah
sesuai yang kami harapkan.Dan kami ucapkan terima kasih Mudah-mudahan
makalah ini bisa memberikan manfaat dan pengetahuan bagi kita semuanya
Aamiin.

Samarinda, 20 juli 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

JUDUL …………………………………………………………………… . . I
KATA PENGANTAR …………………………………………………… . . II
DAFTAR ISI ……………………………………………………………… . III
BAB I PENDAHULUAN
A. LatarBelakang ………………………………………………………………1
B. RumusanMasalah……………………………………………………………2
C. Tujuan……………………………………………………………………….2
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Fertilitas ………………………………………………………………….. 3
B. Mortalitas ………………………………………………………………....18
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………..27
B. Saran………………………………………………………………….........28
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………...30
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini di negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia,
mengupayakan penurunan tingkat fertilitas. Tujuan pembangunan dari suatu
negara adalah untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Disamping
menjadi objek pembangunan, penduduk juga berperan sebagai subjek
pembangunan. Namun di sisi lain, pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali
dianggap sebagai faktor penghambat dari pembangunan. Perkembangan jumlah
penduduk tanpa disertai dengan kebijakan yang tepat dan memadai maka akan
menimbulkan masalah sosial dan ekonomi. Bertambah besarnya jumlah penduduk
memerlukan berbagai fasilitas pendukung sehingga membutuhkan investasi dalam
menciptakan sarana dan prasarana yang memadai seperti tempat tinggal, sarana
pendidikan fasilitas kesehatan dan lain sebagainya. Tanpa kebijakan pengendalian
penduduk yang tepat dan memadai, tentu saja hal tersebut akan menjadi hambatan
bagi pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan penduduknya.
Pertumbuhan penduduk di Indonesia masih cukup tinggi. Distribusi penduduk
yang tidak seimbang antara penduduk pulau Jawa dan penduduk diluar pulau
Jawa merupakan masalah, pada tahun 2000, 60% atau 122 juta dari jumlah
penduduk tinggal di pulau Jawa yang mempunyai areal tanah 6,9% dari seluruh
luas tanah di Indonesia. Keadaan tersebut akan menimbulkan masalah sosial
ekonomi, dan pengadaan lapangan kerja. Dan mengingat anak – anak merupakan
salah satu aset bangsa maka masalah kesehatan anak memerlukan prioritas
khusus. Sekitar 37,3 juta penduduk di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan,
setengah dari total rumah tangga mengkonsumsi makanan kurang dari kebutuhan
sehari-hari, lima juta balita berstatus gizi kurang, lebih dari 100 juta penduduk
beresiko terhadap berbagai masalah kurang gizi.Dalam hal kematian, Indonesia
mempunyai komitmen untuk mencapai sasaran Millenium Development Goals
(MDG’s) untuk mengurangi jumlah penduduk yang miskin dan kelaparan serta
menurunkan angka kematian balita menjadi tinggal setengah dari keadaan pada
tahun 2000 (Syarief,Hidayat.2004).
Sumber daya manusia terbukti sangat menentukan kemajuan dan keberhasilan

1
pembangunan suatu Negara. Terbentuknya sumber daya manusia yang
berkualitas, yaitu sumber daya manusia yang sehat, cerdas, dan produktif
ditentukan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang sangat penting adalah
terpenuhinya kebutuhan pangan yang bergizi. Rendahnya konsumsi pangan atau
tidak seimbangnya gizi makanan yang dikonsumsi mengakibatkan terganggunya
pertumbuhan organ dan jaringan tubuh, lemahnya daya tahan tubuh terhadap
serangan penyakit, serta menurunnya aktivitas dan produktivitas kerja.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan kelahiran dan kematian?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kelahiran dan kematian?
3. Bagaimana data kelahiran dan kematian menurut BKKB dan

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kelahiran dan kematian.
2. Untuk mengetahui dan memahami faktor yang mempengaruhi kelahiran dan
kematian.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. FERTILITAS

1. Pengertian

Definisi menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi


Kesehatan Dunia (World Health Organization-WHO), terdapat tiga konsep
mengenai kelahiran. Pertama, lahir hidup (live birth), adalah kelahiran seorang
bayi tanpa memperhitungkan lamanya di dalam kandungan, di mana si bayi
menunjukkan tanda-tanda kehidupan pada saar dilahirkan. Kedua adalah lahir
mati, kelahiran seorang bayi dari kandungan yang berumur paling sedikit 28
minggu tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan pada saat dilahirkan. Konsep
terakhir adalah aborsi, peristiwa kematian bayi dalam kandungan dengan umur
kurang dari 28 minggu baik secara sengaja maupun tidak disengaja (Adioetomo
dan Samosir, 2010:73-74). ).

Fertilitas adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam bidang demografi


untuk menggambarkan jumlah anak yang benar-benar dilahirkan hidup (Pollard,
1989). Disamping istilah fertilitas ada juga istilah fekunditas (fecundity) sebagai
petunjuk kepada kemampuan fisiologis dan biologis seorang perempuan untuk
menghasilkan anak lahir hidup (Mantra, 2006).

Fertilitas biasanya diukur sebagai frekuensi kelahiran yang terjadi di dalam


sejumlah penduduk tertentu. Disatu pihak mungkin akan lebih wajar bila fertilitas
dipandang sebagai jumlah kelahiran per orang atau per pasangan, selama masa
kesuburan (Barcla, 1984).

Menurut Kotmanda (2010) yang mengutip pendapat Hatmadji (1981),


ferttilitas merupakan kemampuan seorang wanita untuk menghasilkan kelahiran
hidup. Fertilitas merupakan hasil reproduksi nyata dari seorang atau sekelompok
wanita, sedangkan dalam pengertian demografi menyatakan banyaknya bayi yang
lahir hidup. Menurut Ali (2011) yang mengutip pendapat Pollard (1984), fertilitas
adalah suatu istilah yang dipergunakan di dalam bidang demografi untuk
menggambarkan jumlah anak yang benar- benar dilahirkan hidup. Fertilitas juga
diartikan sebagai suatu ukuran yang diterapkan untuk mengukur hasil reproduksi
wanita yang diperoleh dari statistik jumlah kelahiran hidup. Menurut Sukarno
(2010) Fertilitas merupakan jumlah dari anak yang dilahirkan hidup dengan
pengertian bahwa anak yang pernah dilahirkan dalam kondisi hidup menunjukkan
tanda-tanda kehidupan. Jika anak pada saat dilahirkan dalam kondisi hidup
kemudian meninggal pada waktu masih bayi tetap dikatakan anak lahir hidup
(ALH).

2. Fertilitas Total dan Menurut Kelompok Umur (BKKBN)

Sejak berlangsungnya Program Keluarga Berencana (KB) di Indonesia, angka


fertilitas mengalami penurunan cukup pesat, dari rata-rata 5 menjadi 2 anak per
wanita. Keberhasilan pelaksanaan program ini memperoleh penghargaan dari
dunia internasional, dan menjadi contoh bagi negara berkembang lainnya.
Seiring dengan hasil SDKI (Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia), pada
Gambar 1 tampak penurunan TFR (Total Fertility Rate) selama hampir 2 (dua)
dekade. Dari hasil SDKI 2002-2003 terlihat TFR sekitar 2,6 anak per wanita, dan
angkanya konstan sampai SDKI 2012. Penurunan TFR baru tampak pada hasil
SDKI Tahun 2017

Gambar 1. Tren Angka Kelahiran Total Menurut Daerah Tempat Tinggal,


Indonesia, 2002-2017
Periode SDKI Tahun 2007 dan 2012, TFR perdesaan, perkotaan, dan nasional
angkanya konstan. Tingkat fertilitas di daerah perkotaan lebih rendah dibanding di
perdesaan, namun TFR di perdesaan menurun dari periode 2012 ke 2017.
Sementara untuk TFR perkotaan, selama tiga kali SDKI cenderung tetap
angkanya, masih menjadi tantangan penanganan fertilitas di masa depan.
Meskipun TFR nasional sudah cukup rendah, namun TFR menurut provinsi masih
bervariasi dengan kisaran 2,1 (Jawa Timur dan Bali) sampai 3,4 anak per wanita
(Nusa Tenggara Timur). Hal ini tentunya merupakan tantangan tersendiri bagi
pemerintah, untuk melihat permasalahan sesuai kearifan lokal.
Provinsi yang masih mempunyai TFR di atas 3 anak per wanita sebagian besar
di daerah Indonesia bagian timur (dapat dilihat pada Tabel 1).
Dilihat dari angka fertilitas berdasarkan kelompok umur atau Age-specific
Fertility Rate (ASFR), terdapat sedikit pergeseran. Namun puncaknya masih sama,
yaitu umur 25-29 tahun. Dari tren ASFR pada Gambar 2, tampak bahwa tingkat
fertilitas wanita usia 15-24 tahun (hasil SDKI Tahun 2017) lebih rendah dibanding
hasil SDKI 2012.
Kondisi tersebut menunjukkan sudah adanya penurunan jumlah kelahiran,
yang dapat disebabkan meningkatnya kesadaran untuk mempunyai keluarga kecil
berkualitas. Selain itu, terjadinya penurunan tingkat kelahiran dapat terkait dengan
adanya peningkatan wanita dalam pemakaian kontrasepsi. Seperti tampak dari
hasil SDKI, terjadi peningkatan pemakaian alat kontrasepsi pada wanita umur 15-
49 tahun dari sebesar 62 persen Tahun 2012 menjadi 64 persen pada SDKI 2017.
Seiring dengan itu, terjadi penurunan persentase kebutuhan ber-KB yang tidak
terpenuhi dari 11,4 pada SDKI Tahun 2012 menjadi 10,6 persen pada SDKI Tahun
2017.
Namun untuk kelompok umur 30-34 tahun, tingkat fertilitas pada hasil SDKI
2017 justru lebih tinggi dibanding dengan hasil SDKI 2012. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat fertilitas pada usia 30-34 tahun mengalami kenaikan. Mencermati
kondisi seperti ini, diperlukan kajian lebih lanjut untuk mengetahui karakteristik
wanita yang berada di kelompok ini. Apakah wanita yang masuk dalam kelompok
ini berasal dari kalangan berpendidikan tinggi atau sebaliknya.
Pola ASFR di daerah perdesaan dan perkotaan tidak terlihat ada perbedaan
puncak kelahiran. Begitu pula dengan pola ASFR yang hampir sama pada wanita
umur 25 tahun ke atas di daerah perkotaan dan perdesaan. Perbedaan pola fertilitas
tampak pada kelompok umur wanita di bawah 25 tahun.
Tabel 1. Angka Fertilitas Total Menurut Provinsi, Indonesia, 2017

Gambar 2. Tren Angka Kelahiran Menurut Kelompok Umur, Indonesia, 2012-


2017
3. Fertilitas Total dan Menurut Kelompok Umur (KEMENKES)
Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil estimasi pada tahun 2018
sebesar 265.015.313 jiwa, terdiri atas 133.136.131 jiwa penduduk laki-laki dan
131.879.182 jiwa penduduk perempuan. Gambar 1.1 memperlihatkan penurunan
jumlah penduduk di Indonesia dari tahun 2014 hingga tahun 2018. Penurunan
jumlah pertumbuhan penduduk terbesar terjadi pada tahun 2014-2015 sebesar
9,84% dari 3,70 juta per tahun menjadi 3,34 juta per tahun (Lihat Gambar 1.1).

Berdasarkan hasil estimasi, jumlah penduduk paling banyak di Indonesia


terdapat di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk sebesar 48.683.861 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk paling sedikit terdapat di Kalimantan Utara dengan
jumlah penduduk sebesar 716.407 jiwa (Gambar 1.2).
4. Faktor Penentuan Tingkat Kelahiran
Berikut gambaran kondisi TFR dilihat dari berbagai faktor, yaitu daerah
tempat tinggal, tingkat pendidikan, dan kuintil pendapatan. Selain itu, dilihat dari
umur kelahiran pertama, dan jarak melahirkan.
1. Daerah Tempat tinggal.
Terdapat perbedaan tingkat kelahiran antara wanita yang tinggal di daerah
perdesaan dan perkotaan. Pada tiga tahun sebelum survey SDKI Tahun 2017, TFR
di daerah perdesaan 13 persen lebih tinggi dibandingkan dengan daerah perkotaan.
Namun TFR mengalami penurunan pada Tahun 2017. Sementara angka kelahiran
total di daerah perkotaan cenderung konstan sejak SDKI Tahun 2007 (selama
kurun waktu 10 tahun), yaitu sekitar 2,3 anak per wanita. Perbedaan capaian TFR
antara perdesaan dan perkotaan ini umumnya terkait dengan kondisi karakteristik
dari penduduknya, terutama wanita usia 15-49 tahun.

2. Tingkat Pendidikan.
Terdapat perbedaan tingkat kelahiran pada berbagai tingkat pendidikan wanita.
Umumnya semakin tinggi pendidikan, semakin rendah angka fertilitas totalnya.
Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa TFR terendah terdapat pada wanita dengan
tingkat pendidikan Perguruan Tinggi, yaitu sekitar 2,3 anak. Namun demikian, saat
ini terdapat kecenderungan wanita dengan pendidikan tinggi berkeinginan untuk
mempunyai anak lebih dari dua anak. Selain itu, dengan adanya kesadaran untuk
mengurus anaknya sendiri, demi meningkatkan kualitas bayi atau anaknya.
Tentunya hal ini perlu ditunjang dengan hasil empiris sebagai upaya pembuktian.
Gambar 3. Angka Kelahiran Total Menurut Tingkat Pendidikan, Indonesia, 2002-
2017
3. Kuintil Kekayaan.

Tampak kecenderungan terjadinya penurunan tingkat kelahiran dengan semakin


tingginya kuintil pendapatan. Pada kuintil pendapatan teratas, angka fertilitas
totalnya merupakan yang terendah. Dari kondisi ini dapat dikatakan bahwa pada
mereka yang mempunyai kuintil teratas, terdapat kecenderungan mempunyai anak
lebih sedikit. Atau dengan kata lain, karena jumlah anak mereka cenderung sedikit,
maka jumlah tanggungannya juga sedikit (lihat Gambar 4).
Umur Melahirkan, merupakan faktor penentu kelahiran. Semakin muda
umur melahirkan, cenderung semakin banyak peluang untuk mempunyai
anak. Seorang wanita atau ibu yang melahirkan pada umur muda, cenderung
mempunyai risiko kesehatan. Dari hasil SDKI Tahun 2012 dan 2017 tampak
bahwa median umur melahirkan pertama wanita umur 25-49 cenderung
sama, yaitu sekitar 22,4 tahun. Namun berbeda menurut tempat tinggal,
median umur melahirkan di perkotaan lebih tinggi dibandingkan di
perdesaan. Begitu juga jika dilihat menurut tingkat pendidikan dan
kekayaan, median umur melahirkan anak pertama meningkat seiring dengan
tingkat pendidikan & kuintil kekayaan.Dapat dilihat pada Gambar 5,
Gambar6, dan Gambar 7.

Gambar 4. Angka Kelahiran Total Menurut Kuintil Pendapatan, Indonesia,


2017
Gambar 5. Median Umur Melahirkan Pertama pada Wanita umur 25-49 Tahun
Menurut Tempat Tinggal, Indonesia, 2017

Gambar 6. Median Umur Melahirkan Pertama pada Wanita umur 25-49 Tahun
Menurut Tingkat Pendidikan, Indonesia, 2017

Gambar 7. Median Umur Melahirkan Pertama pada Wanita umur 25-49 Tahun
Menurut Kuintil Kekayaan, Indonesia, 2017
4. Jarak Kelahiran

perlu diperhatikan karena berdampak pada jumlah anak yang dilahirkan, juga pada
kesehatan ibu dan anak. Selain itu, jarak antar kelahiran berkaitan dengan risiko
kesakitan dan kematian pada anak. Secara umum jarak kelahiran kurang dari 24
bulan, berisiko kesehatan atau kematian lebih tinggi dibanding jarak kelahiran lebih
dari dua tahun. Jarak kelahiran yang terlalu dekat, juga berisiko pada kelahiran bayi
prematur, dan BBLR (berat bayi lahir rendah) atau kurang dari 2,5 kg. Dari hasil
SDKI 2017, median jarak antar kelahiran sebesar 64,6 bulan. Hal ini menunjukkan
median jarak kelahiran terjadi lebih dari 5 (lima) tahun setelah kelahiran
sebelumnya.

Jarak kelahiran semakin meningkat seiring dengan meningkatnya umur.


Seperti dapat dilihat dari hasil SDKI Tahun 2017, median jarak antar
kelahiran sebesar 47,5 bulan pada wanita umur 20-29, dan sebesar 70,0 bulan
pada wanita umur 30-39 tahun. Median jarak kelahiran di perkotaan (66
bulan) lebih lama dari pedesaan (63 bulan). Pada wanita dengan kuintil
kekayaan teratas, median jarak kelahirannya lebih tinggi (61 bulan) dibanding
kuintil terbawah (56 bulan).

Gambar 8. Distribusi Persentase Kelahiran Selama Lima Tahun Sebelum


Survey Menurut Jumlah Bulan Kelahiran, Indonesia, 2017

5. FertilitAS Remaja

Kelahiran saat remaja atau usia 15-19 tahun menjadi salah satu perhatian dan
tujuan khusus dari Millenium Development Goals (MDGs), yaitu tujuan 5b.
Kelompok umur ini perlu memperoleh perhatian, terkait dengan risiko kelahiran
terhadap timbulnya kesakitan dan kematian ibu dan atau anak. Oleh karena itu,
remaja wanita perlu dipersiapkan dengan matang baik fisik maupun psikisnya
untuk menjadi ibu.
Dari hasil SDKI Tahun 2017 dapat dilihat bahwa sekitar 7 persen wanita umur
15- 19 tahun sudah menjadi ibu, 5 persen sudah pernah melahirkan, dan 2
persen sedang hamil anak pertama. Jika dilihat perubahannya dari hasil SDKI
Tahun 2012 (10 persen) ke SDKI Tahun 2017 (7 persen), tampak terjadi
penurunan persentase remaja wanita yang sudah pernah melahirkan atau sedang
hamil anak pertama.
Umumnya persentase remaja wanita di perdesaan (10 persen) lebih banyak yang
sudah menjadi ibu dibandingkan dengan yang tinggal di perkotaan (5 persen).
Kondisi seperti ini umumnya terkait dengan tingkat putus sekolah, yang hanya
sampai tingkat sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP).

Gambar 9. Distribusi Persentase Remaja Wanita yang Sudah Menjadi Ibu


Menurut Daerah Tempat Tinggal, Indonesia, 2017
Seperti tampak dari hasil SDKI Tahun 2017, bahwa tingkat pendidikan remaja
wanita semakin tinggi cenderung untuk menunda menjadi ibu. Pola serupa
juga terjadi untuk kuintil kekayaan, remaja wanita pada kuintil kekayaan
terbawah (13%) cenderung lebih banyak yang sudah menjadi ibu daripada
remaja wanita pada kuintil kekayaan teratas (2%).

Gambar 10. Distribusi Persentase Remaja Wanita yang Sudah Menjadi Ibu
Menurut Tingkat Pendidikan, Indonesia, 2017

Gambar 11. Distribusi Persentase Remaja Wanita yang Sudah Menjadi Ibu
Menurut Kuintil Kekayaan, Indonesia, 2017
Remaja wanita merupakan calon ibu yang dapat berperan menjadi penentu
generasi berikutnya, tentunya perlu dipersiapkan status kesehatannya dengan
baik.

Dari beberapa literatur dapat diketahui berbagai faktor yang mempengaruhi


kesehatan dan perilaku remaja, antara lain mencakup:
1. Kemiskinan, termasuk kekurangan gizi

2. Kondisi politik yang tidak aman, termasuk penduduk yang tersingkir atau
terisolasi

3. Tekanan kelompok sebaya dan pengaruh media


4. Ketidaksetaraan gender dan eksploitasi seksual

5. Tuntutan masyarakat mengenai kehamilan dan melahirkan

Berdasarkan hasil studi, diperoleh simpulan bahwa terdapat hubungan yang


signifikan antara kejadian fertilitas remaja dengan daerah tempat tinggal,
pendidikan, status bekerja, serta tingkat kesejahteraan keluarga. Dari hasil studi
tersebut, dapat dikatakan bahwa fertilitas tinggi terjadi pada remaja wanita
dengan karakteristik sebagai berikut: tinggal di perdesaan, berpendidikan
rendah, tidak bekerja dan berstatus ekonomi rendah (Raharja, 2014).
Upaya mempersiapkan remaja menjadi manusia yang berkualitas merupkan
suatu tantangan yang cukup berat. Program yang dibuat harus komprehensif
untuk dapat memenuhi kebutuhan remaja, dan dapat meningkatkan kapasitasnya
untuk menjadi manusia mandiri.
Pemberian akses ke pendidikan formal yang lebih tinggi bagi remaja
wanita, dan pemberdayaan melalui penyediaan pelatihan usaha ekonomi kreatif
terutama pada daerah perdesaan, peningkatan pengetahuan kesehatan reproduksi
bagi remaja melalui pendidikan. Selain itu, melalui program pemberian
informasi, juga perlu ditunjang dengan pemberian pelayanan klinis yang tepat.
Tentunya pemilihan program disesuaikan dengan berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi “pilihan” remaja itu sendiri, seperti norma budaya, teman
sebaya, media massa, dan kondisi ekonomi. Program tersebut juga perlu
didukung oleh semua pemangku kepentingan baik dari unsur pemerintah, dunia
usaha, masyarakat, dan keluarga.

Faktor-Faktor yang mempengaruhi Fertilitas berdasarkan para ahli


a. Faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas menurut Kingsley Davis dan
Judith Blake dalam buku yang berjudul “The Social Structure and Fertility: An
Analytic Framework (1956)” yaitu:
1. Faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan kelamin (intercourse
variabel), antara lain umur kawin pertama, lama dalam ikatan perkawinan,
selibat permanen, abstinensi, frekuensi senggama;
2. Faktor yang mempengaruhi terjadinya pembuahan (conception variabel),
meliputi kesuburan atau kemandulan baik secara sengaja maupun tidak;
3. Variabel yang mempengaruhi terjadinya kehamilan dan kelahiran (gestation
variabel), yaitu mortalitas atau kematian janin baik secara sengaja mauptun
tidak.

b. Menurut Ida Bagus Mantra (2003:167), kelahiran (fertilitas) dapat


dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor tersebut dibagi menjadi dua bagian
yaitu faktor demografi dan faktor non demografi. Faktor demografi seperti
struktur umur, status perkawinan, usia kawin pertama, dan proporsi penduduk
yang kawin. Faktor non demografi seperti keadaan ekonomi penduduk, tingkat
pendidikan, perbaikan status wanita, urbanisasi serta industrialisasi.
Faktor-faktor tersebut diatas dapat berpengaruh secara langsung maupun
tidak langsung terhadap kelahiran. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bappenas), pertumbuhan penduduk relatif tinggi merupakan beban
dalam pembangunan nasional. Indikator utama dalam upaya pengendalian
penduduk adalah tingkat kelahiran. Pengendalian jumlah penduduk bertujuan
untuk menyeimbangkan laju pertumbuhan penduduk, dengan laju pertumbuhan
ekonomi sehingga dapat terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu upaya menurunkan laju pertumbuhan penduduk adalah melalui
peningkatan usia kawin. Rendahnya usia perkawinan pertama secara tidak
langsung akan mempengaruhi tingkat fertilitas. Jika semakin rendah usia
pernikahan pertama maka semakin panjang masa reproduksi, sehingga dapat
menaikkan tingkat fertilitas. Sebaliknya jika semakin tinggi usia pernikahan
pertama maka semakin pendek masa reproduksi, sehingga dapat menurunkan
tingkat fertilitas.

Upaya penundaan usia kawin pertama merupakan salah satu upaya


menurunkan tingkat fertilitas. Selain itu kondisi ekonomi, sosial dan budaya
juga dapat menjadi penentu tinggi rendahnya usia pernikahan pertama. Seorang
ahli filsafat dan ahli ekonomi bangsa Inggris, John Stuart Mill berpendapat
bahwa situasi tertentu manusia dapat mempengaruhi prilaku demografinya.
Apabila produktivitas manusia tinggi maka ia akan cenderung memiliki
keluarga yang kecil. Jadi, taraf hidup merupakan determinan dari fertilitas dan
tinggi rendahnya fertilitas di tentukan oleh manusia itu sendiri. Memperhatikan
bahwa tinggi rendahnya tingkat kelahiran ditentukan oleh manusia itu sendiri,
maka Mill menyarankan untuk meningkatkan tingkat golongan yang tidak
mampu dengan cara meningkatkan kualitas pendidikan (Mantra, 2000:57).

Tournemaine dan Luangaram (2012) menyampaikan bahwa fertilitas di suatu


kawasan sangat dipengaruhi oleh kebijakan sosial yang berlaku. Dukungan budaya
setempat juga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi keputusan untuk
menambah jumlah anak. Lawson dan Mace (2010) menyatakan bahwa fertilitas dapat
dikendalikan dengan cara memperhatikan faktor usia ibu saat pertama kali menikah,
usia suami, pendidikan ibu, pendapatan rumah tangga, kepemilikan rumah dan
dukungan sosial. Ijaiya (2009) yang melakukan penelitian di Afrika menunjukkan
bahwa fertilitas sangat dipengaruhi oleh alat kontrasepsi.
Sejarah mengenai upaya pengendalian penduduk melalui usaha penurunan
tingkat fertilitas di Indonesia, diawali dengan turut sertanya Pemerintah
menandatangani deklarasi PBB tentang kependudukan (United Nation
Declaration On Population) yang diikuti dengan berdirinya Lembaga Keluarga
Berencana Nasional (LKBN) pada tahun 1970 (Setiawan, 1999:23). Salah satu
masalah kependudukan di Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan
distribusi yang tidak merata. Hal tersebut diikuti dengan masalah lain yang
lebih spesifik, yaitu angka fertilitas dan angka mortalitas (kematian) yang
relatif tinggi. Kondisi ini dianggap tidak menguntungkan dari sisi
pembangunan ekonomi. Hal tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa
kualitas penduduk masih rendah sehingga penduduk lebih diposisikan sebagai
beban dari pada modal pembangunan (Munir, 1984:170)

B. MORTALITAS
1. Pengertian
Mortalitas atau kematian adalah merupakan keadaan hilangnya semua
tanda - tanda kehidupan secara permanen yang dapat terjadi setiap saat setelah
kelahiran hidup (World Health Organization). Kematian dapat menimpa siapa
saja, tua, muda, kapan saja dan dimana saja. Kasus kematian terutama dalam
jumlah banyak berkaitan dengaan masalah sosial, ekonomi, adat istiadat
maupun masalah kesehatan lingkungan. Salah satu yang termasuk dalam
komponen demografi adalah mortalitas karena dapat memepengaruhi
perubahan penduduk. Dua komponen demografi lainnya adalah fertilitas
(kelahiran) dan migrasi.

2. Konsep Mortalitas

Kematian atau mortalitas merupakan salah satu dari tiga komponen


proses demografi yang berpengaruh terhadap struktur penduduk, dua
komponen yang lainnya adalah kelahiran (fertilitas) dan mobilitas penduduk
(Mantra, 2000). Menurut Utomo (1985) kematian dapat diartikan sebagai
peristiwa hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara permanen, yang bisa
terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup.
Menurut PBB dan WHO, kematian adalah hilangnya semua
tanda-tanda kehidupan secara permanen yang bisa terjadi setiap saat setelah
kelahiran hidup. Still birth dan keguguran tidak termasuk dalam pengertian
kematian. Perubahan jumlah kematian (naik turunnya) di tiap daerah tidaklah
sama, tergantung pada berbagai macam faktor keadaan. Besar kecilnya tingkat
kematian ini dapat merupakan petunjuk atau indikator bagi tingkat kesehatan
dan tingkat kehidupan penduduk di suatu wilayah.
Konsep-konsep lain yang terkait dengan pengertian mortalitas adalah:

a. Neo-natal death adalah kematian yang terjadi pada bayi yang belum berumur
satu bulan.

b. Lahir mati (still birth) atau yang sering disebut kematian janin (fetal death)
adalah kematian sebelum dikeluarkannya secara lengkap bayi dari ibunya
pada saat dilahurkan tanpa melihat lamanya dalam kandungan.
c. Post neo-natal adalah kematian anak yang berumur antara satu bulan
sampai dengan kurang dari satu tahun.
Infant death (kematian bayi) adalah kematian anak sebelum mencapai umur
satu tahun.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kematian

A. Faktor langsung (faktor dari dalam)

1. Umur
2. Jenis kelamin

3. Penyakit

4. Kecelakaan, kekerasan, bunuh diri

B. Faktor tidak langsung (faktor dari luar)

1. Tekanan, baik psikis maupun fisik,

2. Kedudukan dalam perkawinan

3. Kedudukan sosial-ekonomi,

4. Tingkat pendidikan,

5. Pekerjaan,

6. Beban anak yang dilahirkan,

7. Tempat tinggal dan lingkungan,

8. Tingkat pencemaran lingkungan,

9. Fasilitas kesehatan dan kemampuan mencegah penyakit,

10. Politik dan bencana alam.

4. Indikator Mortalitas

Indikator mortalitas merupakan angka atau indeks, yang di pakai


sebagai dasar untuk menentukan tinggi rendahnya tingkat kematian suatu
penduduk. Ada berbagai macam ukuran kematian, mulai dari yang paling
sederhana sampai yang cukup kompleks. Namun demukian perlu di catat
bahwa keadaan kematian suatu penduduk tidaklah dapat diwakili oleh hanya
suatu angka tunggal saja. Biasanya berbagai macam ukuran kematian di pakai
sekaligus guna mencerminkan keadaan kematian penduduk secara
keseluruhan. Hampir semua ukuran kematian merupakan suatu “rate” atau
“ratio”. Rate merupakan suatu ukuran yang menunjukkan terjadinya suatu
kejadian (misalnya: kematian, kelahiran, sakit, dan sebagainya) selama
peroide waktu-waktu tertentu.

Kematian (mortalitas) adalah peristiwa hilangnya semua tanda-


tanda kehidupan secara permanen yang bisa terjadi tiap saat setelah kelahiran
hidup. (Budi Utomo, 1985). Morbiditas (penyakit/kesakitan) adalah kondisi
penyimpangan dari keadaan yang normal, yang biasanya dibatasi pada
kesehatan fisik dan mental. Pada kasus tertentu morbiditas ini terjadi secara
terus menerus (morbiditas kumulatif) yang pada akhirnya dapat menyebabkan
kematian pada penderitanya.
Ada beberapa cara pengukuran angka kematian diantaranya adalah:
A.Tingkat Kematian Kasar (Crude Death Rate)

adalah banyaknya kematian pada tahun tertentu, tiap 1000 penduduk pada
pertengahan tahun.

CDR = D/P x 100


Dimana :

D = jumlah kematian pada tahun X

Pm = jumlah penduduk pada


pertengahan tahun x k =
konstanta 1000
Tingkat kematian ini dapat digolongkan dalam
kriteria sebagai berikut: Tingkat kematian Golongan
> 18 Tinggi

14-18 Sedang

9-13 Rendah

B. Tingkat Kematian Menurut Umur ( Age Specific Death Rate )

adalah jumlah kematian penduduk pada tahun tertentu berdasarkan klasifikasi umur
tertentu.

ASDR = Di/Pmi x k
Dimana :

Di = Jumlah kematian pada kelompok umur (i)

Pmi = Jumlah penduduk pada pertengahan tahun pada


kelompok umur (i) k = Angka konstan (1000)

C. Tingkat Kematian Bayi { Infant Death Rate (IDR) /Infat Mortality


Rate (IMR)

Bayi (infant) merupakan orang yang berumur 0 (nol) tahun atau dalam kata lain
anak-anak yang masih belum sampai pada hari ulang tahunnya yang pertama. Angka
kematian bayi merupakan variable sosial ekonomis dan demografis yang sangat
penting karena data tersebut dapat menunjukan banyaknya fasilitas medis dan taraf
kehidupan penduduk
Dimana :

Do = Jumlah kematian bayi pada tahun tertentu B = Jumlah lahir hidup pada tahun
tertentu
k = bilangan konstan (1000)

Kriteria penggolongan tingkat kematian bayi:

Tingkat kematian bayi Golongan

> 125 Sangat Tinggi 75-125 Tinggi


35-75 Sedang

<35 Rendah

D. Tingkat Kematian Anak

Tingkat kematian anak didefinisikan sebagai jumlah kematian anak berumur 1


sampai 4 tahun selama 1 tahun tertentu per 1000 anak umur yang sama pada
pertengahan tahun. Dengan demikian, angka kematian anak tidak menyertakan
angka kematian bayi. Angka kematian anak lebih merefleksikan kondisi kesehatan
lingkungan yang langsung mempengaruhi tingkat kesehatan anak.
E. Angka Kematian Ibu

Adalah jumlah kematian ibu karena kehamilan, persalinan, dan nifas dalam satu
tahun dibagi dengan jumlah kelahiran hidup pada tahun yang sama dengan persen
atau permil.

Rumus:

AKI = Pf/P x 100

AKI = Jumlah kematian ibu karena kehamilan,


kelahiran dan nifas X100 P = Jumlah kelahiran
hidup pada tahun yang sama

5. Sumber Data Mortalitas


Cara mengetahui sumber data kematian dapat diperoleh dari berbagai macam sumber,
antara lain :

• Sistem registrasi vital

Apabila sistem ini bekerja dengan baik merupakan sumber data kematian yang ideal.
Di sini, kejadian kematian dilaporkan dan dicatat segera setelah peristiwa kematian
tersebut terjadi. Di Indonesia, belum ada sistem registrasi vital yang bersifat
nasional, yang ada hanya sistem registrasi vital yang bersifat bersifat lokal, dan hal
ini tidak sepenuhnya meliputi semua kejadian kematian pada kota-kota itu sendiri.
Dengan demikian di Indonesia tidak mungkin memperoleh data kematian yang baik
dari sistem registrasi vital.
• Sensus dan survei penduduk

Sensus dan survei penduduk merupakan kegiatan sesaat yang bertujuan untuk
mengumpulkan data penduduk, termasuk pula data kematian. Berbeda dengan
sistem registrasi vital, pada sensus atau survei kejadian kematian dicacat setelah
sekian lama peristiwa kejadian itu terjadi. Data ini diperoleh melalui sensus atau
survei dapat digolongkan menjadi dua bagian :
Bentuk langsung (Direct Mortality Data)

Data kematian bentuk langsung diperoleh dengan menanyakan kepada responden


tentang ada tidaknya kematian selama kurun waktu tertentu. Apabila ada tidaknya
kematian tersebut dibatasi selama satu tahun terakhir menjelang waktu sensus atau
survei dilakukan, data kematian yang diperoleh dikenal sebagai ‘Current mortality
Data’.
Bentuk tidak langsung (Indirect Mortalilty Data)

Data kematian bentuk tidak langsung diperoleh melalui pertanyaan tentang


‘Survivorship’ golongan penduduk tertentu misalnya anak, ibu, ayah dan
sebagainya. Dalam kenyatana data ini mempunyai kualitas lebih baik dibandingkan
dengan data bentuk langsung. Oleh sebab itu data kematian yang sering dipakai di
Indonesia adalah data kematian bentuk tidak langsung dan biasanya yaitu data
‘Survivorship’ anak. Selain sumber data di atas, data kematian untuk penduduk
golongan tertentu di suatu tempat, kemungkinan dapat diperoleh dari rumah sakit,
dinas pemakaman, kantor polisi lalu lintas dan sebagainya.
• Penelitian

Penelitian kematian penduduk biasanya dilakukan bersamaan dengan penelitian


kelahiran yang disebut dengan penelitian statistik vital.
• Perkiraan (estimasi)
Tingkat kematian dapat diperkirakan menggunakan pendekatan tidak langsung.
Pendekatan tidak langsung tersebut dilakukan dengan cara mengamati tahapan
kehidupan dari waktu ke waktu. Pendekatan tidak langsung ini memiliki tiga kesulitan
utama yaitu terbatasnya sumberdaya untuk memastikan data dan disertai kesalahan
pada sampling, tingkat mobilitas remaja yang tinggi menyebabkan remaja terhindar
dari sampling, dan tidak perkiraan struktur kematian yang tidak mudah (Wood dan
Nisbet, 1990).
MORTALITAS di Indonesia
Angka kematian bayi dan anak berdasarkan hasil SDKI 2017 menunjukkan
angka lebih rendah dibandingkan dengan hasil SDKI 2012. Angka kematian bayi di
bawah lima tahun (balita) juga mengalami penurunan dari 40 per 1000 kelahiran di
2012 menjadi 32 per 1000 kelahiran di 2017.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tingkat fertilitas tinggi diakui dapat berdampak terhadap berbagai bidang
pembangunan. Tentunya dengan jumlah penduduk semakin meningkat, dapat
berdampak pada berbagai kebutuhan antara lain: lahan, air, udara bersih,
lingkungan bersih, makanan, dan tempat pembuangan sampah. Oleh karena itu,
pemerintah berupaya untuk mengurangi laju pertumbuhan penduduk, yang salah
satunya melalui program KB.
Saat ini program KB sudah dinilai cukup berhasil, dengan capaian TFR 2,4
anak per wanita. Seperti dikemukakan oleh Kepala Bappenas, bahwa berdasarkan
beberapa hasil studi diperoleh simpulan bahwa investasi pada program KB
memberikan dampak positif pada dua hal pokok. Pertama, berdampak pada
peningkatan kualitas hidup perempuan, keluarga dan masyarakat. Kedua,
berdampak pada peningkatan produktivitas ekonomi yang tercermin dari
peningkatan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan.
Berbagai perdebatan muncul, apakah tingkat fertilitas melalui penggunaan
alat kontrasepsi terus digalakkan seperti periode sebelumnya atau diperlambat?
Memang penurunan tingkat fertilitas berguna untuk menghambat laju
pertumbuhan penduduk. Namun perlu juga diperhatikan, bahwa laju penurunan
fertilitas yang sangat cepat juga dapat berdampak pada peningkatan jumlah lanjut
usia (usia 60 tahun dan atau lebih) semakin meningkat. Kondisi seperti ini akan
menimbulkan tantangan baru, yaitu berkurangnya tenaga kerja muda. Seperti
halnya yang terjadi di Negara Singapura, dengan penurunan fertilitas yang sangat
cepat, sehingga kekurangan tenaga kerja muda. Tampak di beberapa bagian Kota
di Singapura, tenaga kerja seperti cleaning service dilakukan oleh tenaga lanjut
usia. Sementara tenaga kerja muda, mereka datangkan dari negara lain, seperti
Indonesia, Filipina, dan atau India.
Bagi pemerintah Indonesia, seharusnya kondisi seperti ini sudah menjadi
bahan pertimbangan. Mengingat kondisi ekonomi negara ini tidak seperti Negara
Singapura. Apalagi banyak penduduknya yang keburu tua sebelum kaya, dan
diperparah lagi dengan tidak adanya jaminan hari tua. Oleh karena itu, pemerintah
perlu menyusun strategi yang komprehensif dan terintegrasi antar bidang, dengan
menghilangkan ego sektor. Semua secara bersama ditujukan untuk mewujudkan
manusia Indonesia yang bermartabat, dan adil makmur.
Sebagai tugas utama yang harus diemban, Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) selayaknya menentukan target
penurunan fertilitas dengan melihat kondisi dan dampak yang terjadi. Tidak
sekedar menurunkan jumlah kelahiran, tetapi yang lebih penting lagi adalah untuk
mewujudkan keluarga berkualitas, untuk mewujudkan manusia Indonesia yang
berkualitas. Karena Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP) tidak hanya ditentukan
oleh tingkat fertilitas, melainan dua komponen lainnya yaitu mortalitas, dan
mobilitas.
Informasi mengenai kematian sangatlah penting, tidak hanya bagi
pemerintah melainkan juga bagi pihak swasta, yang terutama berkecimpung
dalam bidang ekonomi dan kesehatan. Data kematian sangat diperlukan antara
lain untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal meningkatkan
kesejahteraan penduduk pada umumnya, dan meningkatkan derajat kesehatan
pada khususnya. Angka harapan hidup yang rendah di suatu daerah harus diikuti
dengan program pembangunan kesehatan, dan program sosial lainnya termasuk
kesehatan lingkungan, kecukupan gizi dan kalori termasuk pemberantasan
kemiskinan.

B. Saran
Seperti halnya dikeumukakan oleh Ketua Bappenas (2017) bahwa bagi
provinsi yang sudah mempunyai angka kelahiran kurang dari dua anak, dapat
mengalami pengurangan penduduk produktif di masa depan. Pemerintah perlu
mempertimbangkan kebijakan yang dapat menjaga pertumbuhan penduduk yang
seimbang. Untuk itu, diperlukan strategi jangka panjang yang dapat dilakukan
melalui kegiatan, antara lain: pertama, pemerintah daerah perlu mengupayakan
angka kelahiran pada tingkat replacement rate. Kedua, daerah perlu meningkatkan
konektivitas dengan kota-kota satelitnya, untuk tetap mendukung produktivitas
yang tinggi dan mencegah arus perpindahan penduduk yang tidak terkendali.
Ketiga, meningkatkan partisipasi kerja lebih luas, dengan menjamin kualitas
pendidikan dan kesehatan anak, dan pengaturan waktu kerja yang fleksibel bagi
perempuan maupun laki-laki.
Terkait mobilitas, kadang sering terlupakan, dan merupakan tantangan
tersendiri karena sulit memperoleh datanya. Tidak hanya mobilitas penduduk
antar wilayah dalam suatu negara, melainkan juga mobilitas antar negara.
Tentunya ini yang sulit dikontrol, jika tidak ada keseriusan dari pemerintah untuk
menangani hal ini, apalagi di era bebas antar negara. Indonesia dengan beragam
pulaunya merupakan peluang yang menarik bagi para pendatang asing untuk
tinggal di negara yang terkenal sebagai wilayah yang gemah ripah loh jinawi.
Perlu mempersiapkan generasi muda termasuk remaja untuk lebih mengenal
negaranya, dan menumbuhkan kecintaan untuk bela negara. Dimulai dengan
pembinaan ketahanan dan pemberdayaan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Adioetomo SM dan Samosir OB. 2010. Dasar-dasar Demografi edisi 2. Jakarta:
Penerbit Salemba Empat

Biran Afandi, Kontrasepsi, Keluarga Berencana, Kebidanan, Jakarta, Yayasan


Bina Pustaka, Sarwono Prawiroharjo, 1991

BKKBN, Gerakan Keluarga Berencana Nasional , Jakarta, 1998

Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan 2019

Seminar Nasional dan PIT IGI XVIII 2015

Anda mungkin juga menyukai