Anda di halaman 1dari 16

PENGALIHAN BENDA WAKAF

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok


Mata Kuliah: Hukum Zakat dan Wakaf
Dosen Pengampu: Alif Akbar Musaddad, S.H., M.H.

Disusun oleh:
Deni Sujani (2002002025)
Muhammad Rifki Hamdi
Nashla Adhila Zennaty

Oleh :
Deni Sujani ( 20020022025)
Muhammad Rifki Hamdi (2002002033)
Nashla Adilla Zennaty (20020020 )

PRODI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM (IAID) CIAMIS
JAWA BARAT
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang mana telah memberikan nikmat kepada kita
semua terutamanya nikmat iman dan nikmat islam, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tepat pada waktunya. Sholawat serta salam selalu tercurah
limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Alif Akbar Musaddad,
S.H., M.H. selaku dosen Mata Kuliah Hukum Zakat dan Wakaf yang telah memberikan
tugas kepada kami.
Adapun tujuan penulisan makalah untuk memenuhi tugas pada Mata Kuliah
Hukum Zakat dan Wakaf. Selain itu juga dapat menambah ilmu dan wawasan tentang
pengalihan benda wakaf.
Dalam penulisan makalah ini, kami menyadari masih terdapat banyak
kekurangan, kesalahan dan kekeliruan, baik pembahasan maupun yang berkenaan
dengan etika penulisan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun akan kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Ciamis, 06 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ............................................................................. 1
1.3 Tujuan ................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Hal-hal Yang Mempengaruhi Pengalihan Wakaf ............................. 3


2.2 Pengalihan Benda Wakaf Persfektif Madzhab ................................ 4
2.3 Pendayagunaan Benda Wakaf .......................................................... 7
2.4 Penunjangan Dan Pengawasan Nadzir.............................................. 8

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ....................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 13

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Dalam hukum Islam wakaf dikategorikan sebagai ibadah kemasyarakatan
berbentuk shodaqoh yaitu penyerahan suatu benda untuk kepentingan
masyarakat yang pahalanya akan tetap mengalir terus menerus kepada yang
bersedekah (wakif). “Walaupun yang bersedekah (wakif) telah meninggal
asalkan benda yang diserahkan itu masih berfungsi ia akan tetap dapat pahala”.
Kata wakaf berasal dari bahasa arab waqafa- yaqifu-waqfan) yang berarti
berhenti, persamaannya adalah (habasa-yahbisu-habsan), pada zaman Nabi saw
dikenal istilah habs, tasbil, atau tahrim, belakangan baru dikenal waqf. Baik al-
habsu maupun al-waqf sama-sama mengandung makna al-imsak (menahan), al-
man’u (mencegah atau melarang) dan at-tamakkust (diam). Disebut menahan
karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan dan semua tindakan yang tidak
sesuai dengan tujuan wakaf. Dikatakan menahan, juga karena manfaat dan
hasilnya ditahan dan dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang yang
termasuk berhak atas wakaf tersebut.
Wakaf bukan hanya untuk kepentingan tempat ibadah atau masjid,
melainkan juga untuk segala keperluan masyarakat seperti untuk sekolah, balai
desa, membuat jalan, pasar, sumur bagi pertanian, wakaf gedung atau bangunan
dan lain-lain, tujuannya untuk kemanfaatan kehidupan dan kesejahteraanya
masyarakat. Jika tidak dikelola dengan baik akan banyak menimbulkan
permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya tanah wakaf dapat digunakan
untuk kepentingan umat disalahgunakan oleh orang-orang yang menginginkan
tanah tersebut untuk memperkaya diri sendiri.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis disini akan membahas

1
tentang “ Pengalihan Benda Wakaf “.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa saja hal-hal yang mempengaruhi pengalihan wakaf ?


2. Bagaimana pengalihan benda wakaf persfektif madzhab ?
3. Bagaimana pendayagunaan benda wakaf ?
4. Bagaimana penunjangan dan pengawasan nadzir ?

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui tentang hal-hal yang mempengaruhi pengalihan wakaf


2. Untuk mengetahui tentang pengalihan benda wakaf persfektif madzhab
3. Untuk mengetahui tentang pendayagunaan wakaf
4. Untuk mengetahui tentang penunjangan dan pengawasan nadzir

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Hal-hal Yang Mempengaruhi Pengalihan Wakaf


Pengalihfungsian wakaf diperbolehkan dalam makna-makna yang positif
meskipun menjadi perdebatan di kalangan fuqaha. Adanya perbedaan
persyaratan yang ketat yang ditetapkan oleh masing-masing fuqaha dalam
peralihan fungsi wakaf, secara esensi tidak menafikan bolehnya mengalihkan
fungsi kegunaan wakaf dalam makna yang positif. Dalam artian peralihan fungsi
wakaf tersebut haruslah mendatangkan manfaat yang lebih besar dari fungsi
penggunaan wakaf sebelumnya.
Dinamika peralihan fungsi wakaf oleh penerima wakaf masih menjadi
perdebatan oleh para fuqaha. Ulama klasik membedakan wakaf wakaf dalam dua
bentuk yaitu: sarana ibadah (masjid) dan bukan sarana ibadah (ia membedakan
benda bergerak dan tidak bergerak). Adapun benda wakaf yang berbentuk Masjid
menurut mazhab Hanafi melarang menukar atau menjualnya, namun
diperbolehkan alih fungsi untuk yang wakaf yang ukan sarana ibadah. Selain
madzhab Syafi’i membolehkan menukarnya, apabila tindakan tersebut
benarbenar sangat diperlukan. Ini dilakukan dengan persyaratan yang yang
berbeda-beda.
Menurut mazhab Maliki, untuk bisa dialihfungsikan suatu hari nanti, ketika
mewakafkan disyaratkan bahwa wakif menyatakan kebolehkan penukaran atau
pengalihfungsian ketika akad. Di samping itu, harus ada pertimbangan bahwa
benda wakaf harus berupa benda bergerak yang kondisinya tidak sesuai lagi
dengan tujuan semula ketika diwakafkannya. Apabila benda wakaf pengganti
dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan masjid, jalan raya,
dan sebagainya. Sementara itu, Mazhab Hanafi membolehkan alih fungsi wakaf

3
dalam tiga hal. Pertama, wakif memberi isyarat kebolehan menukarnya ketika ia
mewakafkannya. Kedua, benda wakaf itu tidak mungkin lagi dipertahankan.
Ketiga, pengganti wakaf itu lebih besar kegunaan dan manfaatnya dibanding
harta semula.
Mazhab Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak membedakan apakah
benda wakaf itu berbentuk Masjid atau bukan Masjid. Bahkan, Ibnu Taimiyah
menegaskan bahwa benda wakaf boleh ditukar atau dijual ketika benar-benar
sangat dibutuhkan. Misalnya, suatu Masjid tidak dapat lagi digunakan karena
telah rusak atau tidak mampu lagi menampung jamaah seluruhnya, tetapi
bangunannya tidak mungkin diperluas karena terhalang oleh bangunan di
sekitarnya berupa rumah atau gedung, atau ketika penduduk desa tersebut
bertransmigrasi ke tempat lain, sedangkan di tempat barunya belum ada masjid
(Rofiq, 2000, p. 519).
2.2 Pengalihan Benda Wakaf Perspektif Madzhab
Para Ulama berbeda pendapat dalam mensikapi boleh atau tidaknya alih
fungsi benda wakaf. Di antara pendapat ulama yang membolehkan
pengalihfungsian harta benda wakaf, yaitu:
a. Imam Abu Hanifah
Menurut Imam Abu Hanifah alih fungsi benda wakaf boleh dengan
alasan beliau adalah untuk menghindari kemungkinan timbulnya
kerusakan atau setidaknya penyia-nyiaan benda wakaf itu, serta untuk
mempertahankan tujuan hakiki disyari’atkannya wakaf, yaitu untuk
kepentingan orang banyak dan berkesinambungan. Ulama Hanafiyah
membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga syarat:
a) Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika
ikrar.
b) Apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan
c) Jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan bermanfaat.
b. Imam Ahmad bin Hanbal
Imam Ahmad membolehkan berhujjah bahwa Umar bin Khattab RA.

4
Memindahkan mesjid Kuffah yang lama ke tempat yang lain, dan tempat
yang lama digunakan sebagai pasar bagi para pedagang korma. Ini
merupakan penggantian terhadap area mesjid. Dan Umar juga melakukan
terkait penamahan serta perluasan bangunan mesjid Nabawi, ini dilakukan
ketika Umar RA, menjawab sebagai khalifah sampai kepada masa khalifah
Usman juga melakukan hal yang demikian. Begitu juga pada masjidil
haram.
Dalam Ash-Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda
kepada Aisyah. Dengan demikian, boleh merubah wakaf dari satu bentuk
ke bentuk lain demi kemashlahatan yang besar. Adapun mengganti area
wakaf dengan area lain, maka ini telah ditetapkan oleh Ahmad dan lainnya
bahwa itu boleh dilakukan mengikuti ketentuan yang diterapkan para
sahabat Rasulullah SAW. yaitu ketika Umar RA. melakukan pengalihan
dan penambahan semacam itu dan kejadiannya diketahui secara luas
namun tidak ada yang memungkiri.
Hanabilah (Hanbali) dipandang sebagai madzhab yang banyak
memberikan kelonggaran dan kemudahan terhadap Istibdal (pengalihan)
wakaf, meskipun pada dasarnya tidak berbeda jauh dari tiga madzhab yang
lain (Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafi’iyah), yaitu sedapat mungkin
mempertahankan (istibqa’) keberadaan barang wakaf tetap seperti semula,
mengikuti prinsip dasar wakaf yakni “habsul ashli“. Namun apabila terjadi
perubahan kondisi barang wakaf itu seperti hilangnya kedayagunaan dan
kemanfaatannya, atau ada situasi darurat yang menimpa barang waqaf
seperti dipergunakan untuk perluasan masjid atau pelebaran jalan, maka
sikap madzhab-madzhab tersebut berbeda satu sama lain, dan madzhab
Hanabilah dipandang sebagai mazahab yang paling banyak memberikan
kemudahan, terutama dalam melakukan penukaran dan penjualan barang
waqaf, dan pada khusunya masalah penukaran, penambahan, perluasan dan
penjualan masjid serta barang-barang yang berkaitan dengan masjid.
Ulama Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak membedakan apakah

5
benda wakaf itu berbetuk masjid atau bukan masjid. Menurut Hambali
wakaf yang sudah hilang mafaatnya boleh dijual dan uangnya dibelikan
yang sepertinya. Golongan Hanabilah membolehkan menjual masjid
apalagi benda wakaf lain selain masjid, dan ditukar dengan benda lain
sebagai wakaf, apabila didapati sebab-sebab yang membolehkan”.
Umpamanya tikar yang diwakafkan di masjid, apabila telah usang atau
tidak dapat dimanfaatkan lagi, boleh dijual dan hasil penjualannya
dibelikan lagi untuk kepentingan bersama.
c. Ibnu Qudamah
Menurut Ibnu Qudamah sebagai salah satu penerus Imam Ahmad
bin hambal, memperbolehkan adanya alih fungsi benda wakaf. Dalam
kitabnya “al- Mughni” menyatakan bahwa apabila harta wakaf mengalami
rusak sehingga tidak dapat memberi manfaat sesuai dengan tujuannya,
hendaklah dijual saja, kemudian harga penjualanya dibelikan barang lain
yang akan mendatangkkan manfaat sesuai dengan tujuan wakaf dan barang
yang dibeli itu berkedudukan sebagai harta wakaf seperti semula.
d. Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun penggantian sesuatu yang
dinazarkan dan diwakafkan dengan yang lebih baik darinya, sebagaimana
terkait penggantian hewan korban, dan ini terbagi dalam dua macam:
Pertama, penggantian itu memang diperlukan. Misalnya akan hilang
fungsinya maka ia dijual lantas uang hasil penjualannya digunakan untuk
membeli penggantinya. Seperti kuda yang diwakafkan untuk perang, jika
tidak dapat dimanfaatkan dalam peperangan, maka kuda itu boleh dijual
dan uang hasil penjualannya digunakan untuk membeli penggantinya. Jika
mesjid mengalami kerusakan diberbagai sisinya, maka dapat dipindahkan
ke tempat lain atau dijual lantas uang hasil penjualannya digunakan untuk
membeli penggantinya. Jika barang yang diwakafkan tidak dapat
digunakan pada tujuan yang dikehendaki pewakaf, maka ia dapat dijual dan
uang hasil penjualannya digunakan untuk membeli penggantinya. Jika area

6
yang diwakafkan mengalami kerusakan dan tidak dapat digunakan untuk
mendirikan bangunan, maka area itu dapat dijual dan uang hasil
penjualannya digunakan untuk membeli penggantinya. Ini semua
dibolehkan, sebab pada dasarnya jika tujuan dari perwakafan itu tidak
tercapai dengan pengalokasiannya, maka dapat diwujudkan dengan
penggantinya.
Kedua, penggantian lantaran kemashlahatan yang lebih
dipentingkan. Misalnya hewan kurban diganti dengan yang lebih baik
darinya. Dan seperti mesjid jika mesjid lain dibangun untuk
menggantikannya lantaran lebih dapat memenuhi kemashlahatan penduduk
setempat dari pada mesjid yang pertama dan mesjid yang pertama ini
dijual. Pengalokasian ini dan semacamnya dibolehkan menurut Ahmad dan
ulama lainnya.
e. Abu Tsaur, Abu Ubaid bin Harbawaih
Apabila yang diwakafkan untuk mendapatkan penghasilan jika diganti
dengan yang lebih baik darinya, seperti mewakafkan rumah, pertokoan,
kebun, atau perkampungan yang penghasilannya sedikit, lantas diganti
dengan yang lebih bermanfaat bagi wakaf, maka ini dibolehkan menurut
Abu Tsaur dan ulama lainnya, seperti Abu Ubaid bin Harbawaih, hakim
Mesir yang menetapkan hal itu. Maka demi keberlangsungannya dari
manfaat benda wakaf, maka benda wakaf harus dijual dan digantikan
dengan barang yang baru, sehingga manfaat dari benda wakaf masih bisa
dirasakan di masa mendatang.
2.3 Pendayagunaan Benda Wakaf

Pendayagunaan harta, sebagaimana biasanya, akan menemui dua hal,


keuntungan atau kerugian. Karena harta wakaf adalah termasuk harta umat yang
memiliki fungsi sosial umum, bahkan fuqaha (ulama ahli fiqih) tidak
membolehkan mem-posting harta wakaf dalam program pendayagunaan dalam
sektor usaha jika hasilnya kecil atau tidak sebanding dengan nilai harta wakaf itu
sendiri. Karena harta wakaf harus bertahan lama, dan manfaatnya dapat dinikmati

7
oleh penerima secara terus menerus. Atas dasar ini, para ahli fiqih mensyaratkan
pendayagunaan harta wakaf dengan syarat sebagai berikut :
1. Memilih jenis usaha yang aman dan tingkat resikonya paling kecil, atau
melengkapinya dengan system penjaminannya secara syariah. Dan
penjaminan seperti ini dibenarkan menurut Majma Al-Fiqhiy Al-Islamy
(Lembaga Fiqih Internasional). Penjaminan ini biasa didapatkan dari pihak
ketiga terhadap saham-saham sektor bisnis. Atau penjamin biasanya dari
pihak pemerintah.
2. Usaha tersebut dikelola oleh para profesional dan ahli sehingga menutup
kemungkinan terjadinya kerugian, setidaknya, kerugian dapat diantisipasi
sedini mungkin.
3. Melalui planning atau perencanaan, antisipasi, supervisi, dan kontrol atau
audit internal terhadap kegiatan bisnis tersebut.
4. Memperhatikan Fiqh Aulawiyat (fiqih prioritas), dimana usaha yang
dijalankan memberi manfaat secara luas kepada penerima wakaf. Beberapa
jenis usaha yang mungkin dikelola dari dana wakaf yang masuk katagori
beresiko kecil :
(1) Bisnis sewa gedung
(2) Bisnis mini market yang menjual kebutuhan sehari-hari.
(3) Bisnis jasa, baik dibidang event organizer, catering, pendidikan,
layanan jenazah, layanan kesehatan, lapak, percetakan dll.
Pengelolaan keuntungan dari investasi dana wakaf dikelola oleh Nazhir dan
dimanfaatkan oleh para penerima wakaf. Misalnya : Pertama, Dari sewa gedung
digunakan untuk operasional masjid, kafalah da’i dan para ustadz. Pembangunan
masjid, fasilitas umum,
2.4 Penunjangan dan Pengawasan Nadzir

Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak
agama Islam masuk di Indonesia. Sebagai suatu lembaga Islam, wakaf telah
menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam. Sebagian besar
tanah wakaf di Indonesia digunakan untuk rumah ibadah, perguruan tinggi Islam

8
dan lembaga-lembaga keagamaan Islam lainnya. Undang-Undang Nomor 41
Tahun 2004 Pasal 11, menyatakan bahwa:
“Nadzir mempunyai tugas melakukan pengadministrasian harta benda
wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan,
fungsi dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf,
melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia”. Dalam Pasal 1
dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 disebutkan bahwa
tujuan perwakafan tanah milik adalah untuk kepentingan peribadatan atau
kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Untuk kepentingan
peribadatan berarti untuk hak-hak yang berhubungan langsung dengan Allah
SWT secara vertikal, misalnya untuk masjid, mushalla atau sarana-sarana
peribadatan berarti untuk kepentingan kemasyarakatan pada umumnya, misalnya
untuk rumah sakit, lembaga pendidikan, perkantoran, lapangan olahraga dan
sebagainya. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 Pasal 1 ayat (4)
menjelaskan bahwa nadzir adalah pihak yang menerima benda wakaf baik
perorangan maupun badan hukum yang diberi tugas untuk mengelola dan
mengembangkan sesuai dengan peruntukannya. Nadzir merupakan unsur penting
dalam sistem perwakafan, karena nadzir adalah ujung tombak perwakafan tanpa
adanya nadzir peruntukan dan tujuan wakaf tidak akan tercapai. Dalam usaha
untuk melestarikan dan mengembangkan objek wakaf, nadzir harus mengelola
dan memelihara harta wakaf serta melaksanakan syarat dari wakif.
Adapun potret kepemimpinan manajemen yang baik dalam lembaga
kenadziran dapat dilihat dari tiga aspek sebagai berikut:
1) Transparansi, dalam kepemimpinan manajemen professional, transparansi
menjadi ciri utama yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Ketika
aspek transparansi sudah ditinggalkan maka kepemimpinan tidak akan
berjalan dengan baik, bahkan membuka terjadinya penyelewengan yang
tak terkendali.
2) Public Accountability (pertanggung jawaban umum), pertanggungjawaban
umum merupakan wujud dari pelaksanaan sifat amanah (dapat dipercaya)

9
dan shiddiq (jujur). Karena keduanya harus dipertanggung jawabkan baik
di dunia maupun di akhirat.
3) Aspiratif (mau mendengar dan mengakomodasi seluruh lembaga
kenadziran), seorang nadzir yang dipercaya mengelola harta milik umum
harus mendorong terjadinya sistem sosial yang melibatkan partisipasi
banyak kalangan. Hal ini dilakukan untuk menghindari terjadinya pola
pengambilan keputusan yang sepihak oleh kalangan elit kepemimpinan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka aparat pelaksana dan
pengelola wakaf (nadzir) hendaknya mempunyai pendidikan yang memadai dan
moralitas yang bagus serta mempunyai ketrampilan yang memadai. Sehingga
benda wakaf tersebut dapat dikelola secara optimal dan faktor-faktor penghambat
ada bisa terkurangi. Selain itu dipandang perlu adanya peningkatan etos kerja
yang lebih efektif dan efisien untuk menertibkan tanah-tanah wakaf dengan
langkah-langkah yang positif terutama tentang kewajiban-kewajiban nadzir atas
tanah wakaf. Atas dasar itu perlu diadakan penyuluhan ataupun sosialisasi
kepada masyarakat bahwa harta wakaf merupakan tanggung jawab bersama
seluruh umat Islam, Sehingga minimnya pemahaman masyarakat baik mengenai
wakaf ataupun kewajiban nadzir atas tanah wakaf dapat terkurangi.

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pengalihfungsian wakaf diperbolehkan dalam makna-makna yang positif
meskipun menjadi perdebatan di kalangan fuqaha. Adanya perbedaan
persyaratan yang ketat yang ditetapkan oleh masing-masing fuqaha dalam
peralihan fungsi wakaf, secara esensi tidak menafikan bolehnya mengalihkan
fungsi kegunaan wakaf dalam makna yang positif. Dalam artian peralihan fungsi
wakaf tersebut haruslah mendatangkan manfaat yang lebih besar dari fungsi
penggunaan wakaf sebelumnya. Menuurut Mazhab Hanafi membolehkan alih
fungsi wakaf dalam tiga hal. Pertama, wakif memberi isyarat kebolehan
menukarnya ketika ia mewakafkannya. Kedua, benda wakaf itu tidak mungkin
lagi dipertahankan. Ketiga, pengganti wakaf itu lebih besar kegunaan dan
manfaatnya dibanding harta semula.
Para Ulama berbeda pendapat dalam mensikapi boleh atau tidaknya alih
fungsi benda wakaf. Di antara pendapat ulama yang membolehkan
pengalihfungsian harta benda wakaf, yaitu: Menurut Imam Abu Hanifah alih
fungsi benda wakaf boleh dengan alasan beliau adalah untuk menghindari
kemungkinan timbulnya kerusakan atau setidaknya penyia-nyiaan benda wakaf
itu, serta untuk mempertahankan tujuan hakiki disyari’atkannya wakaf, yaitu
untuk kepentingan orang banyak dan berkesinambungan. Imam Ahmad
membolehkan berhujjah bahwa Umar bin Khattab RA. Memindahkan mesjid
Kuffah yang lama ke tempat yang lain, dan tempat yang lama digunakan sebagai
pasar bagi para pedagang korma. Ulama Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak
membedakan apakah benda wakaf itu berbetuk masjid atau bukan masjid.
Menurut Hambali wakaf yang sudah hilang mafaatnya boleh dijual dan uangnya
dibelikan yang sepertinya.
Para ahli fiqih mensyaratkan pendayagunaan harta wakaf dengan syarat

11
sebagai berikut : Memilih jenis usaha yang aman dan tingkat resikonya paling
kecil, atau melengkapinya dengan system penjaminannya secara syariah. Dan
penjaminan seperti ini dibenarkan menurut Majma Al-Fiqhiy Al-Islamy
(Lembaga Fiqih Internasional). Penjaminan ini biasa didapatkan dari pihak ketiga
terhadap saham-saham sektor bisnis. Atau penjamin biasanya dari pihak
pemerintah. Usaha tersebut dikelola oleh para profesional dan ahli sehingga
menutup kemungkinan terjadinya kerugian, setidaknya, kerugian dapat
diantisipasi sedini mungkin. Melalui planning atau perencanaan, antisipasi,
supervisi, dan kontrol atau audit internal terhadap kegiatan bisnis tersebut.
Memperhatikan Fiqh Aulawiyat (fiqih prioritas), dimana usaha yang dijalankan
memberi manfaat secara luas kepada penerima wakaf. Beberapa jenis usaha yang
mungkin dikelola dari dana wakaf yang masuk katagori beresiko kecil : Bisnis
sewa gedung, Bisnis mini market yang menjual kebutuhan sehari-hari. Bisnis
jasa, baik dibidang event organizer, catering, pendidikan, layanan jenazah,
layanan kesehatan, lapak, percetakan dll.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Pasal 11, menyatakan bahwa:
“Nadzir mempunyai tugas melakukan pengadministrasian harta benda wakaf,
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi
dan peruntukannya, mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, melaporkan
pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia”. Dalam Pasal 1 dan Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 disebutkan bahwa tujuan
perwakafan tanah milik adalah untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan
umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Djunaedi et.al, Paradigma Wakaf Baru di Indonesia, Jakarta: Direktorat


Pemberdayaan Wakaf, 2007.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998),
Cet.3, hal. 519. 90 | Jurnal Syarah Vol. 10 No. 1 Tahun 2021.
Departemen Agama RI. Fiqih Wakaf. Jakarta: Proyek Peningkatan Pemberdayaan
Wakaf, 2014.
Ibnu Qudamah, Al -Mughni, (Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-‘Alamiyah, t.th.), hal.
242.
Neliti.com. 2017. Sistem Pendayagunaan Wakaf Tunai Dalam Tinjauan Ilmu Fiqih.
Diakses pada 10 Juni 2022, dari
https://media.neliti.com/media/publications/280492-sistem-
pendayagunaan-wakaf-tunai-dalam-t-8eb2443d.pdf
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Jilid 3, (Beirut: Daar Al-Fikr, t.th.), hal. 382. Jurnal
Syarah Vol. 10 No. 1 Tahun 2021. |

13

Anda mungkin juga menyukai