Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

Hukum Perwakafan

”Pengubahan dan Pengalihan Harta Wakaf”

Disusun Oleh:

Naharuddin SR (19.2100.026)
Yuliana Anwar (19.2100.021)
Muhammad Hidayat (19.2100.027)
Arhan (19.2100.026)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PARE-PARE 2020
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kehadiran ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami selaku kelompok 3 bisa menyelesaikan tugas makalah ini.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang
diberikan oleh Ibu Hj. Sunuwati, Lc, M.H.I. pada mata kuliah Fiqh Perbandingan.
Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Tarikh
Tasyri bagi pembaca dan juga bagi penulis.

Kami dari kelompok 3 mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Hj.
Sunuwati, Lc, M.H.I. yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan kami.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

PARE-PARE, 22-MARET-2021

Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI....................................................................................................ii
KATA PENGANTAR......................................................................................iii
BAB I.............................................................................................................1
PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................1
C. Tujuan................................................................................................2
BAB II............................................................................................................3
PEMBAHASAN..............................................................................................3
1. pengubahan dan pengalihan hukum perwakafan...........................1
2. Alih Fungsi Harta Wakaf memnurut UU No. 41 Tahun 2004 dan KHI4
3. Tujuan Wakaf................................................................................6
BAB III...........................................................................................................8
PENUTUP......................................................................................................8
A. Kesimpulan........................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ajaran Islam memuat dua dimensi jangkauan, yaitu kebahagiaan di


dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam bidang sosial ekonomi, Islam
mendorong pendayagunaan institusi wakaf dalam rangka peningkatan
kesejahteraan umat. Muhammad Musthafa Tsalabi telah membuat rumusan
wakaf dalam bentuk penahanan harta atas milik orang yang berwakaf dan
mendermakan manfaatnya untuk tujuan kebaikan pada masa sekarang dan
masa yang akan datang. Beberapa rumusan definisi yang dikemukakan oleh
ulama lain juga mengacu kepada maksud dan tujuan yang sama dengan
rumusan di atas. Sudut dan persepsi penekanan rumusan-rumusan tersebut
adalah menyangkut filosofis pensyari’atan wakaf yang bertujuan untuk
memberikan alternatif kehidupan sosial lebih baik kepada mauquf ‘alaih
(penerima wakaf).

Aplikasi rumusan wakaf yang dapat diamati di tengah masyarakat


bahwa pelaksanaannya kurang mengacu kepada asas manfaat sesungguhnya.
Karena dalam image masyarakat beranggapan bahwa wakaf sebagai sedekah
jariyah. Pemahaman “manfaat” atas harta wakaf hanya dipahami secara
parsial, sebatas manfaat yang melekat dengan harta tersebut. Konsekuensi
pemahaman dimaksud mengakibatkan suatu saat harta wakaf menjadi tak
berdaya guna, karena terpaku kepada manfaat yang ternyata telah
hilang.Mengantisipasi hal ini, Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum terapan
bagi umat Islam di Indonesia telah memberanikan diri untuk membuka
kemungkinan dialihfungsikannya harta wakaf yang ternyata manfaatnya tidak
dapat dirasakan lagi oleh masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah hukum npengubahan dan pengalihan harta wakaf?
2. bagaimana Alih Fungsi Harta Wakaf memnurut UU No. 41 Tahun 2004 dan KHI
?
3. apa tujuan wakaf ?
C. Tujuan Pembahasan
1. Memahami dan Mengerti Tentang hukum npengubahan dan pengalihan harta
wakaf
2. Memahami dan Mengerti bentuk Alih Fungsi Harta Wakaf memnurut UU No.
41 Tahun 2004 dan KHI
3. Memahami dan Mengerti Tujuan Wakaf
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengubahan dan Pengalihan Harta Wakaf


Pengalihan harta wakaf berarti menjual atau menukar. Mengenai hal ini
telah terjadi perbedaan pendapat dari kalangan para ulama mazhab.
Prbedaan pendapat tersebut berangkat dari adanya hadist qauly yang
disampaikan oleh Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa
Rasulullah Saw bersabda bahwa : “Tanah itu tidak boleh dijual, tidak boleh
diwariskan dan tidak pula dihibahkan”.
Dikalangan Para ulama ada yang melarang menjual atau mengalihkan
harta wakaf sama sekali, ada pula yang membolehkan dalam beberapa kasus,
ada pula yang diam. Sebelum membahas lebih banyak dalam pandangan satu
sama lain, perlu kiranya memahami dua istilah yaitu ibdal dan istibdal. Ibdal
adalah menjual barang wakaf untuk membeli barag-barang lainnya sebagai
pengganti. Sementara Istibdal adalah menjadikan barang lain sebagai
pengganti barang wakaf asli yang telah terjual.

Para ulama terdahulu membedakan jenis benda wakaf pada dua


macam, yaitu berbentuk mesjid dan bukan mesjid. Yang bukan mesjid
dibedakan lagi menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Terhadap
benda wakaf yang berbentuk mesjid, selain Ibnu Taimiyah dan sebagian
Hanabilah, sepakat melarang untuk menukar atau menjualnya. Sementara
terhadap benda wakaf yang tidak berupa mesjid, selain mazhab Syafi’iyyah
memperbolehkan untuk menukarnya, apabila tindakan demikian memang
benar-benar sangat diperlukan dan mendatangkan manfaat yang lebih besar.

Namun, mereka berbeda dalam menetukan persyaratannya. Ulama


Hanafiah memperbolehkan penukaran benda tersebut dalam tiga hal:
1) Apabila wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar benda
tersebut ketika mewakafkannya,
2) apabila benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan, dan
3) jika kegunaan benda pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih
bermanfaat.

Ulama Malikiyah juga menentukan tiga syarat, yaitu:

1) wakif ketika ikrar mensyaratkan ditukar atau dijual,

2) benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai lagi
dengan tujuan semula diwakafkannya,

3) apabila benda wakaf pengganti dibutukan untuk kepentinagn umum,


seperti pembangunan mesjid, jalan raya, dan sebagainya.

Ulama Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak membedakan apakah


benda wakaf itu berbentuk mesjid atau bukan mesjid. Ibnu Taimiyah misalnya,
mengatakan bahwa benda wakaf boleh ditukar atau dijual, apabila tindakan
ini benar-benar sangat dibutuhkan. Misalnya, suatu mesjid yang tidak dapat
lagi digunakan karena telah rusak atau terlalu sempit, dan tidak mungkin
diperluas, atau karena penduduk suatu desa berpindah tempat, sementara
ditempat yang baru mereka tidak mampu membangun mesjid yang baru.

Dasar pemikiran Ibnu Taimiyah sangat praktis dan rasional. Pertama,


tindakan menukar atau menjual benda wakaf tersebut sangat diperlukan. Ibnu
Taimiyah mengajukan contoh, seseorang mewakafkan kuda untuk tentara
yang sedang berjihad fi sabilillah,setelah berperang, kuda tersebut tidak
diperlukan lagi. Dalam kondisi seperti ini, kuda tersebut boleh dijual, dan
hasilnya dibelikan suatu benda lain yang lebih bermanfaat untuk diwakafkan.
Kedua, karena kepentingan maslahat yang lebih besar, seperti mesjid dan
tanahnya yang dianggap kurang bermanfaat, dijual untuk membangun mesjid
baru yang lebih luas dan lebih baik. Dalam hal ini, mengacu kepada tindakan
Umar bin Khattab, ketika ia memindahkan mesjid Kufah dari tempat yang lama
ke tempat yang baru. Usman kemudian melakukan tindakan yang sama
terhadap mesjid Nabawi.

Lebih jauh ia mengemukakan argumentasi, bahwa tindakan tersebut


ditempuh adalah untuk menghindari kemungkinan timbulnya perusakan atau
setidaknya penyia-nyiaaan benda wakaf itu. Ini sejalan dengan kaidah:

‫ﺩﺭﺃﺍﳌﻔﺎﺳﺪﻣﻘﺪﻡﻋﱃﺟﻠﺐﺍﳌﺼﺎﻟﺢ‬

“Menghindari kerusakan harus didahulukan dari pada mengambil


kemaslahatan.”

1. Alih Fungsi Harta Wakaf Menurut UU No. 41 Tahun 2004 dan KHI

Dalam UU No.41 tahun 2004 tentang wakaf juga mengatur mengenai


perubahan dan pengalihan harta wakaf yang sudah dianggap tidak atau
kurang berfungsi sebagaimana maksud wakaf itu sendiri. Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
setelah memperoleh izin tertulis dari menteri dan pencatatan Badan Wakaf
Indonesia (BWI). Namun, harta benda wakaf yang sudah diubah statusnya
karena ketentuan pengecualian tersebut wajib ditukar dengan harta benda
yang manfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya sama dengan harta benda
wakaf semula.

Dalam Pasal 40 dijelaskan bahwa harta benda wakaf tidak dapat


dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, dan ditukar. Pasal 41
menjelaskan perubahan status wakaf atau penukaran harta wakaf dapat
dilakukan apabila harta benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk
kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR)
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan syariah.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 tentang


pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 tentang wakaf bahwa harta benda
wakaf tidak dapat ditukarkan kecuali karena alasan rencana umum tata ruang
(RUTR), harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai ikrar wakaf, atau
pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan
mendesak. Harta benda wakaf yang telah dirubah statusnya wajib ditukar
dengan harta benda yang bermanfaat dan nilai tukar sekurang-kurangnya
sama dengan harta benda wakaf semula. Penukaran dapat dilakukan oleh
Menteri Agama RI setelah mendapat rekomendasi dari pemerintah daerah
kabupaten/kota, kantor pertanahan kabupaten/kota, Majelis Ulama Indonesia
kabupaten/kota, kantor Departemen Agama Kabupaten/kota, dan Nazhir
tanah wakaf yang bersangkutan.

Adapaun dalam pasal 225 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan:

1) Pada dasarnya terhadap benda yang telah diwakafkan tidak dapat


dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud
dalam ikrar wakaf.
2) Penyimpangan dari ketentuantersebut dalam ayat (1) hanya dapat
dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapat
persetujuan tertulis dari Kepala Kantur Urusan Agama Kecamatan
berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat
dengan alasan:
a) karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
wakif;
b) karena kepentingan umum.
2. Tujuan Wakaf

Sesungguhnya wakaf mengantarkan kepada tujuan yang sangat


penting, yaitu pengkaderan, regenerasi, dan pengembangan sumber daya
manusia, dan lain-lain. Sebab, manusia menunaikan wakaf untuk tujuan
berbuat baik, semuanya tidak keluar dari koridor maksud-maksud syariat
Islam, diantaranya:

a. Membela agama, yaitu beramal karena untuk keselamatan


hamba pada hari akhir kelak. Maka, wakafnya tersebut menjadi
sebab keselamatan, penambahan pahala, dan pengampunan
dosa.
b. Memelihara hasil capaian manusia. Manusia menggerakkan
hasratnya untuk selalu terkait dengan apa yang ia miliki,
menjaga peninggalan bapak-bapaknya, nenek moyangnya.
Maka, ia mengkhawatirkan atas kelestarian dan kelanggengan
harta benda peninggalan tersebut, ia khawatir kalau-kalau
anaknya akan melakukan pemborosan, hura-hura, foya-foya.
Maka, ia pun menahan harta-benda tersebut dan
mendayagunakannya, hasilnya bisa dinikmati oleh anak
keturunannya ataupun publik, adapun pokok hartanya tetap
lestari.
c. Menyelamatkan keadaan sang wakif. Misalnya ada seseorang
yang merasa asing, tidak nyaman dengan harta-benda yang ia
miliki, atau merasa asing dengan masyarakat yang ada di
sekelilingnya, atau ia khawatir tidak ada yang akan mengurusi
harta bendanya kelak jika ia sudah wafat, karena tidak punya
keturunan atau tidak ada sanak kerabat, maka dalam keadaan
seperti ini yang terbaik baginya adalah menjadikan harta
bendanya tersebut sebagai harta fii sabilillah sehingga ia bisa
menyalurkan manfaat/hasil dari harta bendanya tersebut ke
berbagai sarana publik.
d. Memelihara keluarga. Yaitu untuk menjaga dan memelihara
kesejahteraan orang-orang yang ada dalam nasabnya. Maka,
dalam keadaan ini, seseorang mewakafkan harta-bendanya
untuk menjamin kelangsungan hidup anak keturunannya,
sebagai cadangan disaat-saat mereka membutuhkannya.
e. Memelihara masyarakat. Bagi orang-orang yang memiliki atensi
besar terhadap kelangsungan hidup masyarakat, maka ia
kewakafkan harta-bendanya untuk tujuan itu, dengan harapan
bisa menopang berbagai tanggung jawab urusan sosial-
kemasyarakatan.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Para Ulama membedakan jenis benda wakaf pada dua macam, yaitu
berbentuk mesjid dan bukan mesjid. Yang bukan mesjid dibedakan lagi
menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Terhadap benda wakaf
yang berbentuk mesjid, selain Ibnu Taimiyah dan sebagian Hanabilah, sepakat
melarang untuk menukar atau menjualnya. Sementara terhadap benda wakaf
yang tidak berupa mesjid, selain mazhab Syafi’iyyah memperbolehkan untuk
menukarnya dengan syarat-syarat tertentu dan apabila tindakan demikian
memang benar-benar sangat diperlukan dan mendatangkan manfaat yang
lebih besar.

Sedangkan menurut Undang-undang nomor 41 tahun 2004, Pasal 40


dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2006 bahwa harta benda wakaf
tidak dapat dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, dan
ditukar, kecuali karena alasan rencana umum tata ruang (RUTR), harta benda
wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai ikrar wakaf, atau pertukaran dilakukan
untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.

Berdasarkan pendapat para fuqaha’ dan UU NKRI tentang wakaf, dapat


dianalisa bahwasanya pengalihan harta wakaf itu diperbolehkan atas
mempertimbangkan manfaatnya dengan syarat apabila telah dilakukannya
pengalihan harta wakaf, manfaatnya lebih besar untuk kemaslahatan
masyarakat daripada manfaat harta semula.

B. Saran

Demikianlah makalah yang kami presentasikan dalam mata kuliah


Hukum Perdata Islam Indonesia, kami sadari makalah kami masih jauh dari kata
sempurna, maka dari itu kami sangat mengharap kritikan serta saran yang
membangun dari semua pihak demi kesempurnaan hasil diskusi kita semua.

Daftar Pustaka
Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2013)

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997)

T.M. Hasbi Ash-Shiddiqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1978)

Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004)

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-
Quran, 1979)

Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2008)

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa adillatuhu, Jilid 10 (terj. As’ad Yasin), (Jakarta: Gema Insani, 2011)

RachmadiUsman,HukumPerwakafan di Indonesia,(Jakarta: SinarGrafika, 2009)

Anda mungkin juga menyukai