Anda di halaman 1dari 9

“Konsepesi Fikih Wakaf Dan Undang-Undang Wakaf”

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.................................................................................................................................4
I.A. Latar Belakang................................................................................................................4
I.B. Rumusan Masalah...........................................................................................................6
I.C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................6
BAB II...................................................................................................................................................8
LANDASAN TEORI............................................................................................................................8
II.A. Wakaf Dalam Kitab-Kitab Fikih Ulama Mazhab..........................................................8
II.B. Perspektif Ulama Fikih Klasik Dalam Pengembangan Harta Wakaf..........................11
II.C. Wakaf Dan Perspektif Undang-Undang Wakaf...........................................................11
BAB III................................................................................................................................................17
PENUTUP...........................................................................................................................................17
III.A. Kesimpulan.................................................................................................................17
III.B. Saran...........................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................30
BAB I

PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang

Wakaf merupakan salah satu institusi Islam yang bertujuan meningkatkan taraf hidup
umat Islam. Allah SWT menciptakan manusia heterogen dalam berbagai aspek, termasuk
tingkat ekonominya, di antara mereka ada yang kaya dan miskin, bahkan ada yang sangat
kaya di satu sisi dan sangat miskin di sisi lainnya. Oleh karena itu, perbedaan merupakan
sunatullah yang dimaksudkan agar kehidupan berjalan dengan baik dan seimbang. Dengan
wakaf, di samping zakat, infaq, dan shadaqah, maka distribusi kekayaan bisa berjalan
sehingga kekayaan atau harta tidak hanya berputar di kalangan tertentu saja. Wakaf
merupakan salah satu akad tabarru’ yang dikenal dalamilmu fikih. Akadini memiliki peran
yang sangat besar dalam pembangunan infrastruktur pada berbagai macam fasilitas umum
dan pemberdayaan ekonomi umat.

Salah satu pembahasan yang menarik dalam wakaf ini adalah pembahasan tentang
wakaf tunai, yang sebelumnya tidak populer di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan
para sahabat, tetapi sudah mulai diperbincangkan oleh sebagian ulamapada masa setelahnya
yaitu utamanya di kalangan tabi’in. Apabila potensi masyarakat yang kaya ini dapat
dikoordinasikan dan dikelola dengan baik, hal ini akanmemberikan alternatif kontribusi
positif terhadap pengangulangan masalah kemiskinan tersebut di atas

I.B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini
adalah :

1. Bagaimana wakaf dalam kitab-kitab fikih menurut ulama mazhab?


2. Bagaimana perspektif ulama fikih klasik dalam pengembangan harta wakaf?
3. Apa itu wakaf dan perspektif undang-undang wakaf?

I.C. Tujuan Pembahasan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan tulisan ini adalah :

1. Mngetahui wakaf dalam kitab-kitab menurut ulama mazhab


2. Mengetahui perspektif dari ulama fikih dan undang undang dalam wakaf
3. Mengetahui wakaf dan perspektif undang-undang wakaf
BAB II

PEMBAHASAN

II.A.Wakaf Dalam Kitab-Kitab Fikih Ulama Mazhab

Wakaf dilihat dari sudut fiqih mengalami perbincangan yang sangat menarik,
meskipun terkadang objek perbincangannya lebih menitik-beratkan pada unsur wakaf. Wakaf
berasal dari bahasa Arab alwaqf bentuk masdar dari kata “waqafa-yaqifu-waqfan Kata al-
waqf semakna dengan al-habs bentuk masdar dari “habasa-yahbisu-habsan” artinya
menahan.1 Dalam bahasa Arab, istilah wakaf kadang-kadang bermakna objek atau benda
yang diwakafkan (almauquf bih) atau dipakai dalam pengertian wakaf sebagai institusi
seperti yang dipakai dalam perundangundangan Mesir. Di Indonesia, term wakaf dapat
bermakna objek yang diwakafkan atau institusi. Menurut istilah meskipun terdapat perbedaan
penafsiran, disepakati bahwa makna wakaf adalah menahan dzatnya benda dan
memanfaatkan hasilnya atau menahan dzatnya dan menyedekahkan manfaatnya. 24 Adapun
perbedaan pendapat para ulama fiqh dalam mendefinisikan wakaf diakibatkan cara penafsiran
dalam memandang hakikat wakaf. Perbedaan pendangan tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut 3

Menurut Abu Hanifah “Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum,
tetap miliki si wakaf dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan”.
Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif, bahkan ia
dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya. Jika si wakif wafat, harta tersebut
menjadi harta warisan buat ahli warisnya. Jadi yang timbul dari wakaf hanyalah
“menyumbangkan manfaat”. Karena itu madzhab Hanafiyah mendefinisikah “Wakaf adalah
tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang berstatus tetap sebagai hak milik,
dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu pihak kebajikan (sosial), baik sekarang
maupun akan datang”.

1
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, juz 3. Bairut: Dar al-Fikr, tt., h. 515
2
Abu Zahrah (1971). Muhadharat fi al-Waqf. (Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi), hlm. 41

3
Wahbah Zuhaili. Al-Fiqh al-Islamiy, hal. 7599-7502; Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi (2004). Hukum
Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf serta
Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, Terj. Ahrul Sani Faturrahman & Rekan KMCP. (Jakarta: Dompet Dhuafa
Republika & IIMaN), hlm. 38-60
Madzhab Maliki berpendapat bahwa wakaf itu tidak melepaskan harta yang
diwakafkan dari kepemilikan wakif, namun wakaf tersebut mencegah wakif melakukan
tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta tersebut kepada yang lain dan
wakif berkewajiban menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik hartanya untuk
digunakan oleh mustahiq (penerima wakaf), walaupun yang dimilikinya itu berbentuk upah,
atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan
dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik.
Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara kepemilikan,
tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebajikan, yaitu pemberian manfaat
benda secara wajar sedang benda itu tetap milik si wakif. Perwakafan itu berlaku untuk suatu
masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal.

Madzhab Syafi’iyah, Hanbaliyah dan sebagian Hanafiyah. Madzhab ini berpendapat


bahwa wakaf adalah mendayagunakan harta untuk diambil manfaatnya dengan
mempertahankan dzatnya benda tersebut dan memutus hak wakif untuk mendayagunakan
harta tersebut. Wakif tidak boleh melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan.
Berubahnya status kepemilikan dari milik seseorang, kemudian diwakafkan menjadi milik
Allah. Jika wakif wafat, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli waris.
Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf ‘alaih (orang yang
diberi wakaf) sebagai sedekah yang mengikat, di mana wakif tidak dapat melarang
menyalurkan sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka qadhi berhak
memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih. Karena itu madzhab ini
mendefinisikan wakaf adalah tidak melakukan suatu tindakan atas suatu benda, yang
berstatus sebagai milik Allah swt, dengan menyedekahkan manfaatnya kepada suatu
kebajikan (sosial).

II.B. Perspektif ulama fikih klasik terhadap pengembangan harta wakaf dan
pengelolaannya

Diantara pandangan tersebut adalah bahwa wakaf tunai mulai populer pada masa
Dinasti Ayyubiyah di Mesir. Pada masa Dinasti Ayyubiyah diMesir perkembangan wakaf
sangat menggembirakan.Pada masa ini,wakaf tidak hanya terbatas pada benda tidak
bergerak,tetapi juga benda bergerak semisal waka ftunai.Tahun 1178M/572H,dalam rangka
mensejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni,Salah uddinal-Ayyubi
menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib
membayar beacukai.Tidak ada penjelasan,orang Kristen yang datang dari skandar itu
membayar beacukai dalam bentuk barang tunang.Namun lazimnya beacukai dibayar dengan
menggunakan uang.Uang hasil pembayaran beacukai itu dikumpulkan dandi wakafkan
kepada paraf uqaha’(jurisIslam) dan para keturunannya.4

Pandangan Ulama Tentang Wakaf Tunai

Pada hakikatnya, mukaddimah dari perbedaan pendapat yang terjadi di antara para
ulama dalam masalah wakaf tumai adalali berangkat dari pembagian wakaf itu sendiri, yaitu
adanya waqaf manqul (yang bisa dipindahkan) dan ghairu manqul (yang tidak bisa
dipindalikan). Maka dalam hal ini, untuk bentuk pembagian yang pertama, maka mereka
sepakat akan kebolehannya, adapun bentuk yang kedua maka mereka sudah berbeda
pendapat, ada yang membolehkan dan ada yang tidak memperbolelikan. Sedangkan
pembahasan tentang wakaf tumai masuk dalam bentuk yang kedua ini yang dalam
menanggapi pembahasan tentang wakaf timai, maka para ulama pun dari berbagai macam
mazhab telali berbeda pendapat dalam menetapkan hukum, dan hal yang mendasari
perbedaan pendapat inilah adalah apakah benda yang diwakafkan harus bersifat kekal secara
hakiki selama diambil manfaatnya, atau apakali dapat ditukar dengan benda yang lain yang
nilainya sama dengan benda itu. Dalam artian, kekal secara maknawi selama masih bisa
diambil manfaatnya.

II.C. Wakaf dan Perspektif Undang-Undang Wakaf

Sejak zaman pemerintahan colonial Belanda , wakaf di Indonesia sudah diatur dalam
beberapa peraturan. Demikian juga halnya paska Indonesia merdeka. Meskipun demikian
peraturan tersebut kjurang memadai. Karena itu, dalam rangka pembaruan hukum agrarian,
persoalan perwakafan tanah dapat perhatian khusus sebagaimana terlihat dalam Undang-
Undang Pokok Agraria, yakni UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok
Agraria. Dalam Pasal 49 ayat (3) Undang-Undang No.5b Tahun 1960 disebutkan bahwqa
untuk melindungi keberlangsungan perwakafan tganah, pemerintah akan memberikan
pongaturan melalui Peraturan Pemerintah tentang Perwakafan Tanah Milik.

4
Drs.H.Sarmin, M.H (Hakim) http://pabangil.pta-surabaya.go.id/ diakses pada tanggal 1
November 2022
Di Indonesia, campur tangan pemerintah dalam perwakafan mempunyai dasar hukum
yang kuat. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 29 ayat (1) di bawah Bab Agama,
dinyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Menurut Prof. Hazarin, Guru Besar Hukum Islam dan Hukum Adat fakultas Hukum
Universitas Indonesia, norma dasar yang tersebut dalam Pasal 29 ayat (1) Penafsirfannya
antara lain bermakna bahwa negara wajib menegakkan syariat Islam bagi orang Islam; syariat
Nasrani bagi orang Nasrani; dan syariat Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali, apabila dalam
pelaksanaan syariat itu memerlukan perantaraan kekuasaan negara.

Hal ini disebabkan, syariat yang berasal dari agama yang dialami warga negara kebutuhan
hidup para pemeluknya. Di samping itu, Pasal 29 ayat(2) UUD 1945 jelas menyebutkan
bahwa negara menjamin kemerdekaan warganhya untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.

Berdasarkan Pasal 29 ayat(1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut jelas bahwa
wakaf merupakan salah satu bentuk ibadah kepada Allah, yang termasuk ibadah Maliyah,
ibadah berupa penyerahan harta yang dimiliki seseorang menurut cara-cara yang ditentukan.

Wakaf adalah ibadah yang menyangkut hak dan kepentingan orang lain,tertib
administrasi dan aspek-asoek lain dalam kehidupan masyarakat itu dapat berjalan baik,
merupakan kewajiban pemerintah mengatur masaslah wakaf dalam bentuk peraturan
perundang-undangan.

Perhatian pemerintah terhadap perwakafan tampak lebih jelas lagi dengan ditetapkannya
UU No. 7 Tahun 1989 Peradilan Agama. Da lam Pasal 49 ayat (1) disebutkan bahwa
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara di tingkat pertama antara orang-orang Islam di bidang: a. perkawinan; b. kewarisan,
wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan sedekah. Dengan
PP No. 28 Tahun 1977 dan UU No. 7 Tahun 1989 tersebut diharapkan pelaksanaan
perwakafan di Indonesia berjalan tertib dan teratur.

Untuk mengefektifkan peraturan-peraturan tersebut pada 30 Novem ber 1990 dikeluarkan


Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 4 Tahun 1990
tentang Sertifikat Tanah Wakaf. Di samping itu agar terjamin adanya kesatuan dan kepastian
hukum dalam masalah perwakafan, dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (buku III)
juga dimuat hal-hal yang berkenaan dengan hukum perwakafan.

Dengan demikian para hakim mempunyai pedoman dalam melaksa nakan tugasnya dan
diharapkan dengan adanya Kompilasi Hukum Islam tersebut tidak ada lagi perbedaan
pendapat di antara para ulama. Meski pun sudah ada beberapa peraturan perundang-undangan
yang berkenaan dengan perwakafan, kenyataan menunjukkan bahwa tertib administrasi
perwakafan di Indonesia meningkat. Sudah cukup banyak tanah wakaf yang bersertifikat.5

5
Ahmad Mujahidin. April 2021,Hukum Wakaf Di Indonesia Dan Proses Penanganan Sengketanya
BAB III

PENUTUPAN

III.1. KESIMPULAN

Setelah diuraikan secara keseluruhan melalui pengkajian al-Qur'an, hadits serta


memperhatikan pendapat para mazhab dan mempelajari Undang undang no. 41 tahun 2004
tentang wakaf, maka dapat diambil kesimpulan yang berkenaan dengan wakaf dengan wasiat
sebagai berikut:

1. Tidak sah hukumnya, apabila seseorang yang melakukan wakaf berada dibawah
pengampuan. Karena orang yang melakukan wakaf harus memiliki kecakapan hukum. Dan
seseorang bisa dikatakan memiliki kecakapan hukum jika memenuhi 4 kriteria:

 Merdeka
 Berakal sehat
 Dewasa
 Tidak berada dibawah pengampuan

Tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan
untuk sesuatu yang tidak benar dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang
lain.

2. Tujuan pembatasan harta wakaf dengan wasiat ialah untuk kesejahteraan anggota keluarga
yang ditinggalkan,

III.2. SARAN

Undang-Undang wakaf, khususnya yang berkenaan dengan wakaf wasiat inihendaknya


dioptimalkan secara profesional dan porposional. Sehingga diharapkan dengan adanya
Undang-Undang ini akan dapat menyelesaikan kemungkinan-kemungkinan terjadinya
penyelewengan dalam pengolahan harta wakaf.
DAFTAR PUSAKA

Ahmad Muhajidin,April 2021, Hukum Wakaf Di Indonesia dan Proses Penangan


Sengketanya
Sayed M.Husen,9 September 2021, Wakaf Menurut Mazhab Fikih,
http://baitulmal.acehprov.go.id/post/wakaf-menurut-mazhab-fikih diakses pada
tanggal 31 Oktober 2022
Muh. Sudirman Sesse ,Januari 2017 WAKAF DALAM PERSPEKTIF FIKHI DAN HUKUM NASIONAL
https://media.neliti.com/media/publications/285590-wakaf-dalam-perspektif-fikhi-dan-
hukum-n-c4733710.pdf

Asri, Khaerul Aqbar,Azwar Iskandar, Hukun Dan urgensi Wakaf Tunai Dalam tinjauan Fikih,
https://journal.stiba.ac.id/index.php/bustanul/article/view/132/73

Anda mungkin juga menyukai