Anda di halaman 1dari 60

PRA PROPOSAL TESIS

ANALISIS REGULASI PROMOSI KESEHATAN SEBAGAI UPAYA PENCEGAHAN


ADIKSI GAME ONLINE PADA REMAJA DI SMP KABUPATEN SIDOARJO

KUALITATIF

OLEH:

ENI PURWANINGSIH, S. KM.

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Teknologi internet yang semakin pesat, diiringi pula pesatnya perkembangan daripada
game online. Game online merupakan permainan modern yang kini semakin populer dan
menarik bagi banyak kalangan dari hari ke hari. Hal ini tidak hanya berlaku sesaat, tetapi
menimbulkan perilaku kompulsif bagi penikmatnya, tingkah laku ini menimbulkan adiksi atau
kecanduan (Pratiwi et al., 2012). Iklim dalam keluarga sangat penting bagi kepribadian anak,
terlebih dari intensitas komunikasi antar anggota keluarga, kurangnya sosialisasi dan interaksi
dalam keluarga dapat menyebabkan anak cenderung tertutup dengan lingkungan sekitar dan
keluarga, sehingga anak menganggap game online sebagai kebutuhan harian (Yudha, 2015).
Komunikasi dalam keluarga yang terjalin antar orang tua dan anak merupakan faktor penting
dalam menentukan perkembangan anak (Suranto, 2011).
Data Badan Pusat Satistik mencatat pemakaian internet untuk berbagai keperluan
sepanjang masa pandemi Covid 19 tahun 2020 meningkat mencapai 442%. Angka tersebut
disumbang dari kegiatan pemesanan barang/ belanja online, karyawan yang bekerja dari rumah
(work from home), dan sejumlah 68.729.037 pelajar dan mahasiswa (mengutip data Kementrian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) melakukan Pembelajaran jarak jauh (PJJ)
(kominfo.go.id). Sedangkan jumlah aktivitas pengguna internet untuk keperluan bermain game,
mengunduh video game, ataupun komputer game pada tahun 2016 berdasarkan data statistik
Kementerian Komunikasi dan Informasi, sebanyak 44,10% (Al mubarok and Soedirham, 2021).
Sedangkan dari data APJJI 2019 hasil riset menunjukkan konten internet hiburan yang paling
sering dikunjungi tertinggi kedua setelah menonton video online yaitu meng akses game online
(Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, 2020).
Berdasarkan Laporan Survei Internet APJII 2019-2020 populasi pengguna internet di dunia
2019-2020 sebesar 196.714.070,3 jiwa atau (73,7%) dari jumlah populasi dunia 266.911.900
jiwa terjadi peningkatan sebesar 8, 9 % di bandingkan tahun sebelumnya (2018) (Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, 2020). Penelitian mengenai penetrasi pengguna internet
di Indonesia tahun 2018, APJII melaporkan penetrasi pengguna internet di Indonesia adalah 64,8
% (Asosiasi Penyedia Jaringan Internet Indonesia, 2018). Sementara survey di tahun 2016
menunjukkan penetrasi pengguna internet di Indonesia adalah 46,1% (Asosiasi Penyelenggara
Jasa Internet Indonesia, 2016).
Indonesia menempati urutan ke -4 setelah China, India, dan Jepang dalam jumlah
pengguna internet dengan 88 juta pengguna internet perhari atau 34,1 % dari jumlah penduduk di
indonesia dan mengalami pertumbuhan pengguna internet sebesar 4.300% dalam kurun waktu 16
tahun terakhir. Hasil riset APJII dengan PusKaKom Universitas Indonesia tahun 2014 juga di
dapatkan bahwa Jawa Timur memiliki pengguna internet 31% dari jumlah populasi atau sekitar
12, 1 juta jiwa dimana 84 % mengakses internet setiap hari dan 37,7 % diantaranya mengakses
internet 1 jam hingga 3 jam perhari. Sebanyak 64,7 % pengguna internet adalah dengan
berpendidikan SMU/SMA/ Sederajat, 9,7 % adalah berpendidikan SMP/ MTS/sederajat dimana
dalam rentang itu pengguna internet masih di kategorikan dalam anak atau remaja. Sedangkan
dari survei APJII 2019 diperoleh bahwa data persentase pengguna internet di Jawa Timur
meningkat dari 2018 sebanyak 58,9% dari total penduduk dan 66,3% ditahun 2019 dari total
penduduk. Dari penelitian Yee, 2006 didapatkan hasil sebanyak 64,45% remaja laki-laki dan
47,85% remaja perempuan bermain game online menyatakan bahwa mereka kecanduan game
online, sebanyak 25,3% remaja laki-laki dan 19,25% remaja perempuan yang bermain game
online mencoba untuk berhenti bermain tetapi tidak bisa (Yee, 2006).

Gambar 1. 1 Persentase Pengguna Internet Dari Total Penduduk Per Provinsi Di Jawa 2019-2020
Sumber : Laporan survei internet APJII 2019-2020
Kecanduan / adiksi internet (seperti game online) memiliki efek yang merugikan pada
kehidupan remaja seperti penurunan kinerja akademis, kesehatan fisik, dan mental dan hubungan
interpersonal (Shapira et al 2000; Young 1996; Chou, Liu, Yang, Yen, & Hu, 2015). Sebab itu,
pemantauan perilaku penggunaan internet seperti permainan game online pada remaja diperlukan
untuk mendeteksi kecanduan internet sejak dini. Gangguan permainan internet (IGD) memiliki
hubungan dengan tekanan psikologis dan telah didokumentasikan. Misalnya IGD telah dikaitkan
dengan depresi, kecemasan, defisit perhatian perilaku kompulsif obsesif, hiperaktif, rendah diri,
kesepian, dan fobia sosial (Lin et al., 2021),(Andreassen et al., 2016). Sebuah penelitian di India
menyatakan bahwa deperesi adalah gangguan komorbid utama Internet addiction (IA) , harga
diri adalah sikap individu terhadap dirinya sendiri yang dapat bersifat positif atau negative dan
dipahami sebagai salah satu komponen inti dari depresi. Sehingga individu dengan asumsi
kognitif irasional tentang dirinya, memungkinkan memiliki harga diri lebih rendah dan
cenderung terlibat dalam perilaku adiktif yang membantu mereka sementara waktu melepaskan
diri dari asumsi kognitif mereka tentang diri (Anand et al., 2018).
Remaja yang bermain game online maupun offline secara berlebihan tanpa mengenal
waktu membuat mereka mengabaikan aktivitas lainnya bahkan untuk makan sehingga hal
tersebut dapat berdampak buruk pada status gizinya. Menurut psikolog Tara Adhisti de Thouars
saat media gathering lightHOUSE Indonesia di Wyl's Kitchen di Jakarta pada Jumat 24 Februari
2017 (dalam Evana Nisa’ul Ammar dan Ira Nurmala 2020) gangguan makan mempunyai
dampak yang sangat serius yaitu kematian, gangguan makan itu sendiri merupakan suatu
masalah kesehatan penyumbang angka kematian tinggi pada kasus klinis gangguan jiwa. Adanya
kondisi psikologis dan medis yang serius merupakan pemicu suatu kondisi psikiatrik seseorang
yaitu gangguan makan (Ammar and Nurmala, 2020).
Dalam penelitian (Sanditaria, 2012) di wilayah sumedang dihasilkan 62% anak termasuk
dalam kategori kecanduan game online. Sedangkan pada penelitian (Fuadi, 2016) di warnet
cross Ploso Baru, Surabaya di dapatkan remaja yang mengalami kecanduan game online sedang
41,7%, kecanduan ringan 25%, kecanduan berat 25%. Berdasarkan hasil studi pendahuluan
pengambilan data awal di Sidoarjo yang dilakukan pada bulan Juli 2020 dengan mengobservasi
dan wawancara pada beberapa remaja, peneliti menemukan dari 10 responden pengguna game
online 4 remaja (40%) mengatakan sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan orang tua, 2 remaja
(20%) mengatakan orang tua melarangnya untuk bermain game online, 4 remaja (40%)
mengatakan orang tua mengetahui bermain game online dan tidak melarang. Di dapatkan pula
60% atau 6 dari 10 responden mengatakan mereka ada permasalahan dengan orang tua terkait
dengan sering pulang malam, pacaran, model pakaian, model rambut, dan tuntutan orang tua
akan prestasi di sekolah.
Kehadiran game online setidaknya telah menyebabkan adanya dampak baik positif
maupun negatif yang saling bertolak belakang. Perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi berlangsung begitu cepat. Tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan informasi saja,
namun juga memenuhi kebutuhan hiburan. Perkembangan ini mendorong bangkitnya industri
kreatif berbasis teknologi komunikasi dan informasi, salah satunya adalah game online. Industri
ini ternyata mampu memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi, hal ini merupakan dampak
positif dari game online (Fajri, 2012). Dilansir dari cnbc indonesia, 13 dan 15 April 2019 karena
perputaran uang di industry game mencapai Rp 12 triliun maka pemerintah membangun
insfrastruktur digital untuk mendukung dan memfasilitasi para gamers.
Namun disisi lain terdapat juga muncul dampak negatif dari industry game online misalnya
saja adanya kecanduan dari para penikmat game terutama kaum remaja. Tidak jarang kita jumpai
saat jam-jam sekolah, para remaja yang seharusnya menghabiskan waktu mereka untuk menuntut
ilmu di sekolah justru memenuhi game centre yang ada di pinggir-pinggir jalan. Ditambah lagi
munculnya game online yang menjual pornografi dan kekerasan untuk mempercepat penjualan.
Untuk itu perlu kerjasama antara pengembang game online dengan pemerintah agar industri ini
berjalan dengan sehat. Pengembang game online juga harus lebih memperhatikan kualitas game
yang diproduksinya Selain itu yang lebih mencengangkan dari dampak negative game online
adalah adanya kasus-kasus kriminal dikarenakan kecanduan game online (Fajri, 2012).
Kecanduan game online ditetapkan WHO 2019 lalu (Purwaningsih and Nurmala, 2021).
hampir sama dengan kecanduan narkoba, dimana orang yang sudah kecanduan bisa
menghalalkan segala cara untuk memenuhi keinginannya tersebut. Salah satu contoh kasus
kekerasan yang dilakukan oleh gamers genre kekerasan sempat menggegerkan publik seperti
kasus yang terjadi di Amerika pada tahun 2003 lalu, seorang remaja yang masih berusia 18
bernama Devin Moore nekat merebut senjata api dari polisi yang menahannya karena kasus
pencurian kendaraan. Akibatnya tiga polisi tewas seketika, ia mengklaim dirinya terinspirasi dari
game Grand Theft Auto III. Peneliti di Amerika menyimpulkan bahwa game genre kekerasan ini
memiliki korelasi terhadap tindakan kekerasan. Saat memainkan game jenis ini pemain akan ikut
berpatisipasi dan secara mental akan memengaruhi cara berpikir (Ayu Rini, 2011). Kasus akibat
kecanduan game online akhir-akhir ini sudah banyak diberitakan di televisi maupun media cetak
ataupun online, seperti dilansir di Jawa Pos.com pada 11 Mei 2021 ada berita tentang bocah
SMP yang membakar rumah tetangga berlokasi kejadian di Kecamatan Candi, Kabupaten
Sidoarjo. Tepatnya di Perum Citra Sentosa Mandiri. Pelaku adalah remaja berusia 15 tahun dan
diduga kejadian ini sebagai bentuk pelampiasan dan kecanduan game online. Menurut psikolog,
Herliyana Isnaeni menjelaskan bahwa usia 15 tahun tergolong anak-anak dengan fase menuju
dewasa yang berada dalam siklus storm dan stress dalam masa peralihan sehingga emosinya
kurang stabil (Jawa Pos.com).
Fungsi rekreasi dari game online, game online yang berlebihan dan berkepanjangan
terbukti terkait dengan efek yang merugikan, termasuk performa akademis yang buruk,
kesejahteraan yang rendah, dan rasa kesepian yang tinggi, serta kurangnya hubungan di
kehidupan nyata. Lebih serius dan spesifik, pemain game online pada akhirnya dapat
mengembangkan IGD, yang telah diberi label sebagai syarat untuk penyelidikan lebih lanjut
dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5) dan diakui sebagai kondisi
kesehatan mental baru oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ke-11, edisi Klasifikasi
Penyakit Internasional (ICD-11). Siswa dari sekolah menengah, sekolah menengah teknik,
sekolah teknik, dan sekolah menengah pertama merupakan mayoritas (55%) dari pemain game
online China, perhatian penelitian lebih lanjut harus ditujukan untuk mengurangi risiko IGD di
sekolah (Purwaningsih and Nurmala, 2021).
Salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan Sustainable Development Goals (SDGs)
untuk 2016-2030 (WHO, 2020) nomor 3 adalah memastikan hidup sehat dan mempromosikan
kesejahteraan bagi semua segala usia. Definisi sehat dalam WHO adalah “Health is a state of
complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of disease or
infirmity”. Tujuan ini dimaksudkan untuk menjamin kehidupan masyarakat yang sehat demi
terwujudnya kesejahteraan. Tidak hanya kesehatan fisik saja, namun juga kesehatan mental dan
sosial.
Dalam penelitian D. Nungdyasti, hasil observasi dan wawancara yang didapatkan di
Sekolah Menengah Pertama 2 Sidoarjo terdapat fakta bahwa sebanyak 40% dari siswa
menggunakan permainan smartphone atau online dengan frekuensi bermain sebanyak lebih dari
3 jam sehari secara berturut-turut. Ada juga siswa yang memainkan game online pada saat proses
kegiatan belajar mengajar (KBM) sedang berlangsung dan pada saat memasuki waktu istirahat
siswa secara bersama-sama berkumpul untuk kembali memainkan permainan game. Sebagai
Guru BK telah memberikan sanksi berupa teguran, pemanggilan orang tua siswa, bahkan
terdapat sanksi hukuman skorsing yang diberikan kepada siswa. Hal ini banyak terjadi di
kalangan siswa kelas VIII (Nungdyasti, 2019).
Tumbuh kembang secara optimal dipengaruhi oleh hasil interaksi antara faktor genetis,
herediter, dan konstitusi dengan faktor lingkungan, agar faktor lingkungan memberikan pengaruh
yang positif bagi tumbuh kembang anak, maka diperlukan pemenuhan kebutuhan dasar tertentu,
kebutuhan dasar ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu asuh, asih, dan asah (Soetjiningsih,
1995, dalam (Nursalam, 2005)). Upaya pendampingan dan penerapan pola asuh orang tua
terhadap aktivitas yang dilakukan remaja sangat berpengaruh pada tingkat permasalahan yang
muncul akibat kecanduan game online (Kim, D. H, Jeong, 2010). Game online merupakan
masalah psikososial yang banyak ditemukan pada anak dan remaja (Rahmawati, 2013).
Kecanduan game online merupakan masalah psikososial yang banyak ditemukan pada anak
remaja (Rahmawati, 2013). Kecanduan game online yang dialami oleh remaja umumnya
semakin lama semakin meningkat sesuai tahapan perkembangan yang dialami. Hal ini
dikarenakan remaja merupakan kelompok yang mudah terpengaruh, masih suka bermain,
bergerak, dan menyukai permainan yang mempunyai peraturan dan bernuansa persaingan
sehingga membuat pemainnya akan bermain terus-menerus (kecanduan) tanpa mempedulikan
berapa lama waktu yang dipergunakan (Trijaya, 2009 dalam (Apriyanti, 2015)). Remaja
dikatakan kecanduan game online jika telah bermain dalam waktu lebih dari 3 jam dengan
frekuensi 3-4 kali tiap minggu (Lemmens, J. S., Valkenburg, P. M., Peter, 2009). Akibat dari
kecanduan game online dijelaskan oleh Steward (Lee, 2011) antara lain kehilangan hubungan
interpersonal, kegagalan untuk mengatasi tanggung jawab, mengalami gangguan aspek
kehidupan dan kesehatan yang buruk. Secara khusus juga dijelaskan oleh (David, B. & Wiemer-
Hasting, 2005) bahwa adiksi terhadap game online memberikan beberapa aspek negatif yang
merujuk ke arah adanya konsekuensi seperti putus sekolah, munculnya permasalahan antara
hubungan pertemanan dan permasalahan keluarga.
Sikap orang tua kepada anak, kedekatan dalam keluarga, dan paparan kekerasan dalam
rumah tangga berhubungan dengan kecanduan game online (Choi, K, & Gwak, 2009). Perilaku
yang muncul dikarenakan game online secara berlebih mendorong dibutuhkan intervensi
keluarga untuk mencegah adanya kecanduan game online (Lee, 2011). Penting bagi orang tua
agar secara intens menjalin komunikasi dengan anaknya, diharapkan orang tua dapat mengubah
cara interaksi, komunikasi serta melakukan pendampingan bagi anak (Primartantyo, 2012). Dari
hasil penelitian pendahuluan oleh peneliti didapatkan bahwa beberapa sekolah menerapkan
kebijakan/ peraturan terkait pencegahan adiksi game online dengan memberikan pemberitahuan
baik pada anak maupun orang tua anak agar dapat melarang putra-putrinya bermain game online
sampe larangan untuk tidak membawa HP kesekolah. Saat disekolah pengawasan pada anak
untuk tidak bermain game online diawasi langsung oleh sekolah/ guru, namun saat dirumah anak
diluar pantauan sekolah dapat dengan sembunyi-sembunyi untuk bermain game online tanpa
sepengetahuan orang tua. Di negara-negara maju seperti Korea, Karena hal tersebut diatas
peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai adakah regulasi terkait pencegahan adiksi game
online pada remaja di Kabupaten Sidoarjo.
1.2 Kajian Masalah
Seperti yang sudah saya jelaskan di latar belakang masalah bahwa terdapat kasus di
Kecamatan Candi, Kab. Sidoarjo yang diduga disebabkan adiksi game online pada remaja
sehingga memicu tindakan kriminalitas yang dilakukan karena tidak diberi uang untuk Top up
game online oleh orang tuanya. Seperti dilansir di Jawa Pos.com pada 11 Mei 2021 ada berita
tentang bocah SMP yang membakar rumah tetangga berlokasi kejadian di Kecamatan
Kecamatan Candi. Tepatnya di Perum Citra Sentosa Mandiri. Pelaku adalah remaja berusia 15
tahun dan diduga kejadian ini sebagai bentuk pelampiasan dan kecanduan game online. Menurut
psikolog, Herliyana Isnaeni menjelaskan bahwa usia 15 tahun tergolong anak-anak dengan fase
menuju dewasa yang berada dalam siklus storm dan stress dalam masa peralihan sehingga
emosinya kurang stabil (Jawa Pos.com).
Berdasarkan hasil pengamatan / observasi yang dilakukan di Kec. Sidoarjo, Kab. Sidoarjo
bahwa terdapat banyak anak usia remaja yang bermain game online hingga adanya turnamen.
Terdapat juga game centre di beberapa tempat di Kabupaten Sidoarjo yang banyak dikunjungi
remaja. Namun ada juga remaja yang memiliki sarana untuk bermain game online dirumah. Jika
tidak ada pengawasan dari orang tua maka dapat menyebabkan permainan yang berlebihan game
online pada anak, dimana dalam waktu panjang akan dapat menimbulkan gejala adiksi game
online.
Sedikit yang mengetahui tentang strategi atau mekanisme untuk meningkatkan
pengaturan/ pengendalian diri dalam bermain game online yang dapat dikembangkan menjadi
intervensi baru baru (Carras, Carras and Labrique, 2020). Perlu adanya terobosan melalui
mekanisme permainan, alarm atau pengaturan batas lainnya dengan tujuan aktivitas yang tepat
seputar bermain game online misalnya maksimal bermain 2 jam. Seperti yang dilansir di detik
news, Jumat 8 November 2019 bahwa pemerintah China akan menerapkan undang- undang baru
terkait pencegahan adiksi game online dan pelarangan untuk bermain game online dimalam hari
pada anak-anak. Di bawah aturan baru ini, anak-anak di bawah usia 18 tahun akan dilarang
bermain game online antara pukul 22:00 sampai 08: 00 dan waktu bermain dibatasi hanya 90
menit pada hari kerja. Pembatasan waktu bermain ini akan diperpanjang hingga tiga jam pada
akhir pekan dan hari libur dan bagi anak di bawah umur juga diterapkan pembatasan khusus
terkait durasi bermain game online. Pemerintah juga akan menerapkan sistem registrasi dengan
menggunakan nama asli serta memaksa perusahaan untuk memverifikasi usia gamer terhadap
basis data nasional dalam upaya untuk menghentikan anak-anak dari menggunakan identitas
orang tua mereka untuk mendaftarkan akun game. Selain aturan tersebut, juga terdapat aturan
pembatasan waktu bermain dan berapa banyak uang yang dapat dimasukkan kedalam akun game
(https://news.detik.com).
Di Korea juga ada pertauran yang mengatur jam bermain game online pada anak yang
dikenal sengan sebutan Cinderella Law. Cinderella Law ini melarang remaja atau anak-anak di
bawah usia 16 tahun bermain game dari pukul 00.00 hingga 06.00. Kebijakan atau hukum ini
telah diberlakukan Korea Selatan sejak tahun 2011 (medcom.id, 26 Agustus 2021). Namun
aturan tersebut direncanakan akan dihapus akhir tahun 2021. Pemerintah Korea Selatan akan
menghapus kebijakan dimana sebelumnya bertujuan guna mencegah remaja dan anak-anak
begadang atau bermain game hingga larut malam sebagai respon atas kebebasan anak-anak dan
memberikan tanggung jawab lebih pada orang tua.
Prevalensi kecanduan game online ditemukan lebih tinggi pada remaja. Hal ini
disebabkan hampir setiap remaja memiliki akses yang sangat mudah terhadap berbagai
perkembangan teknologi, terutama pada game online (Rehbein et al., 2015). Untuk itu kecanduan
game online pada remaja perlu mendapat upaya pencegahan. Pencegahan adalah istilah yang
mencakup beragam intervensi yang bertujuan menghalangi dan menghindari kondisi yang
berisiko bermasalah (O’Connell et al., 2009). Pencegahan kecanduan game online dapat
dilakukan keluarga, sekolah dan masyarakat (O’Connell et al., 2009; Rutter et al., 2017). Xu,
Turel, & Yuan (2012) mengungkapkan 6 faktor pencegahan kecanduan game online, yaitu
attention switching, dissuasion, education, parental monitoring dan perceived cost (Novrialdy
Eryzal dan Atyarizal Rozi, 2019).
Salah satu faktor pencegahan kecanduan game online yang telah disebutkan, yaitu
education atau pendidikan. Pendidikan dapat ditujukan untuk membangun kognisi yang baik
sehingga individu memiliki pemahaman tentang bahaya kecanduan game online. Selain itu,
pendidikan juga dapat mendorong pemikirian rasional sehingga mengurangi penggunaan
berlebihan yang pada akhirnya dapat mencegah kecanduan (Faggiano et al., 2008). Pencegahan
ini perlu dilakukan karena pemain game online mungkin tidak menyadari potensi konsekuensi
negatif dari game online sehingga membuatnya menjadi pecandu game online (Irmak &
Erdoğan, 2015) (Novrialdy Eryzal dan Atyarizal Rozi, 2019).
Pencegahan yang dilakukan di sekolah menjadi penting karena remaja juga memiliki
peran sebagai siswa dan waktunya banyak dihabiskan di sekolah. Upaya yang dilakukan sekolah
lebih efisien karena dapat mencakup banyak siswa (Griffin & Botvin, 2010). Selain itu,
pencegahan yang dilakukan sekolah juga efektif (Wells et al., 2003). Keberhasilan pencegahan
yang dilakukan sekolah terhadap penyalahgunaan narkoba (Faggiano et al., 2008) dan perjudian
(Dickson et al., 2004) dapat memperkuat upaya pencegahan kecanduan game online. Sekolah
sebagai sarana pendidikan dapat memberikan upaya pencegahan kecanduan game online pada
siswa (Throuvala et al., 2018). Hal ini bisa dilakukan dengan usaha meningkatkan pemahaman
siswa tentang bahaya kecanduan game online. Menurut Irmak & Erdoğan (2015) kurangnya
pengetahuan dan pemahaman tentang bahaya game online mengakibatkan siswa bisa menjadi
kecanduan. Maka upaya untuk meningkatkan pemahaman siswa tentang bahaya kecanduan game
online menjadi sangat penting untuk dilakukan. Dibutuhkan peran nyata dari tenaga pendidik di
sekolah untuk dapat membantu siswa memperoleh pemahaman tentang bahaya kecanduan game
online agar dapat terhindar dari kecanduan game online. Salah satu tenaga pendidik yang
dimaksud adalah guru BK (Novrialdy Eryzal dan Atyarizal Rozi, 2019).
Di Indonesia sendiri dalam penelitian pendahuluan peneliti melalui searching data
sekunder di Google, belum menemukan adanya regulasi baik berupa peraturan maupun undang-
undang yang dibuat oleh pemerintah terkait pencegahan terhadap adiksi game online. Maka
peneliti berminat untuk meneliti secara Bottom Up, dari tingkat bawah dulu yaitu tingkat
RT/RW, sekolah hingga tingkat pemerintah Kabupaten untuk menguak lebih dalam terkait
regulasi yang telah ada untuk pencegahan adiksi game online di Kabupaten Sidoarjo.

1.3 Rumusan Masalah


Bagaimana regulasi promosi kesehatan sebagai upaya pencegahan adiksi game online pada
remaja di smp kabupaten Sidoarjo?

1.4 Tujuan Penelitian


1.4.1 Tujuan Umum
Menganalisis regulasi promosi kesehatan sebagai upaya pencegahan adiksi
game online pada remaja di SLTP kabupaten Sidoarjo.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Menganalisis regulasi promosi kesehatan pencegahan adiksi game online remaja di
tingkat RT/RW di kecamatan Candi, kabupaten Sidoarjo.
2. Menganalisis regulasi promosi kesehatan pencegahan adiksi game online remaja di
tingkat sekolah SLTP Negri dan Swasta di Kecamatan Candi, Kab Sidoarjo.
3. Menganalisis regulasi promosi kesehatan pencegahan adiksi game online remaja di
Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Teoritis
Dari segi pengembangan ilmu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah
khasanah dan referensi ilmu kesehatan masyarakat dalam hal pencegahan adiksi game
online pada remaja melalui regulasi.

1.5.2 Praktis
1. Bagi petugas kesehatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan acuan dalam memberikan
pengetahuan yang efektif bagi petugas kesehatan di Sidoarjo terkait pencegahan
adiksi game online melalui regulasi .
2. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan untuk strategi sekolah
dalam upaya pencegahan adiksi game online pada remaja.
3. Bagi penelitian selanjutnya
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi untuk peneliti
selanjutnya dan menambah wawasan peneliti tentang pengtingnya dukungan regulasi
pencegahan adiksi game online pada remaja dan bermanfaat untuk mengembangkan
penelitian lebih lanjut mengenai upaya pencegahan adiksi game online pada remaja.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Regulasi


Regulasi adalah sesuatu yang tidak bebas nilai karena didalam proses pembuatannya pasti
terdapat tarik menarik kepentingan yang kuat antara kepentingan publik, pemilik modal dan
pemerintah (Masduki, 2007).
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, Regulasi diartikan sebagai konsep abstrak pengelolaan
sistem yang kompleks sesuai dengan seperangkat aturan dan tren. Dalam teori sistem, jenis
aturan ini ada di berbagai bidang biologi dan masyarakat, tetapi istilah ini memiliki makna yang
sedikit berbeda sesuai dengan konteksnya. Sebagai contoh:
 Dalam biologi, regulasi gen dan regulasi metabolisme memungkinkan organisme
hidup beradaptasi dengan lingkungannya dan mempertahankan homeostasis.
 Dalam pemerintahan, biasanya peraturan berarti ketentuan perundang-undangan
yang didelegasikan yang dirancang oleh para ahli masalah untuk menegakkan
peraturan utama;
 Dalam bisnis, regulasi mandiri industri terjadi melalui organisasi regulasi mandiri
dan asosiasi perdagangan yang memungkinkan industri untuk menetapkan dan
menegakkan aturan dengan keterlibatan pemerintah yang lebih sedikit; dan,
 Dalam psikologi, teori pengaturan diri (regulasi diri) adalah studi tentang
bagaimana individu mengatur pikiran dan perilaku mereka untuk mencapai tujuan.
 Dalam Pendidikan/ sekolah, peraturan sekolah yang melarang siswa membawa
Handphone ke sekolah, dll
Seberapa baik regulasi bekerja, adalah bahwa regulasi seharusnya 'berfungsi', yaitu,
regulasi seharusnya menghasilkan beberapa perbaikan dalam kondisi dunia. Perbaikan berarti
bahwa kondisi dunia dengan regulasi lebih baik daripada tanpa regulasi.
Regulasi berusaha untuk membuat perbaikan tersebut dengan mengubah perilaku
individu atau organisasi dengan cara yang menghasilkan dampak positif dalam hal pemecahan
masalah sosial dan ekonomi. Pada tingkat yang paling dasar, regulasi dirancang untuk bekerja
menurut tiga langkah utama:
1. Peraturan diimplementasikan (Regulation is implemented), yang mengarah pada
perubahan.
2. Perilaku individu (The behaviour of individuals) atau entitas yang ditargetkan atau
dipengaruhi oleh regulasi, yang pada akhirnya mengarah pada perubahan dari dalam.
3. Hasil (outcomes), seperti perbaikan dalam masalah mendasar atau perubahan lain
(semoga positif) dalam kondisi di dunia.
Untuk mengevaluasi regulasi memerlukan penyelidikan setelah regulasi diberlakukan, tentang
bagaimana regulasi itu mengubah perilaku serta pada akhirnya dampaknya terhadap kondisi di
dunia. Menanyakan seberapa baik regulasi bekerja sebenarnya menanyakan dampak regulasi,
positif dan negatif. Apa perbedaan yang dibuat oleh regulasi dalam kaitannya dengan masalah
yang konon ingin dipecahkan?, Apa perbedaannya dalam hal kondisi lain yang penting bagi
pengambil keputusan, seperti biaya, inovasi teknologi, atau pertumbuhan ekonomi (Coglianese,
2012).
2.1.1 Regulasi dan dampaknya
Bahkan peraturan individu yang terdefinisi dengan baik akan sering terdiri dari
rantai intervensi, interaksi, dan dampak yang kompleks. Seperti yang telah dicatat, pada
tingkat yang paling dasar,peraturan berusaha untuk berubah perilaku untuk menghasilkan
yang diinginkan hasil. Ketika regulasi berangkat dari upaya itikad baik untuk memajukan
kepentingan publik, hasil yang diinginkan tersebut adalah perbaikan kondisi problematik di
dunia. Sebuah peraturan 'berfungsi' ketika memecahkan, atau setidaknya mengurangi atau
memperbaiki, masalah atau masalah yang mendorong pemerintah untuk mengadopsinya di
tempat pertama (Treasury Board Canada Secretariat, 2009, hlm. 4, 19) dalam (Coglianese,
2012).
Dengan regulasi yang merespon kondisi problematik di dunia, pemahaman dan
pemetaan keadaan dunia membantu dalam memahami bagaimana sebuah regulasi dapat
mengarah pada hasil yang diinginkan. Dunia terdiri dari banyak dan kompleks hubungan
sebab akibat yang berkontribusi pada masalah sosial dan ekonomi; peraturan membidik
satu atau lebih langkah pada jalur sebab akibat yang mengarah ke masalah tersebut.
Pertimbangkan contoh sederhana dari peraturan keselamatan mobil. Kematian, cedera, dan
kerusakan properti yang terkait dengan kecelakaan mobil adalah masalah yang menjiwai
regulasi. Kecelakaan yang menimbulkan masalah ini pada gilirannya timbul dari berbagai
penyebab seperti kesalahan pengemudi, kondisi jalan, dan kegagalan mekanis. Peraturan
membidik berbagai penyebab kecelakaan ini dengan memberlakukan persyaratan untuk
pelatihan pengemudi, pengoperasian kendaraan (Coglianese, 2012).

2.2 Strategi Promosi Kesehatan


2.2.1 Definisi Promosi Kesehatan
Green dan Kreuter (2005) dalam buku Promosi Kesehatan menjelaskan bahwa promosi
kesehatan merupakan bentuk gabungan dari berbagai upaya, seperti pendidikan, kebijakan,
peraturan dan organisasi yang digunakan untuk memberikan keuntungan bagi masyarakat dalam
bentuk kondisi hidup sehat baik secara individu, kelompok maupun komunitas. Keputusan
Menteri Kesehatan No. 1114/Menkes/SK/VIII/2005 menjelaskan bahwa promosi kesehatan
merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengendalikan faktor-
faktor kesehatan melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat agar mereka
dapat menolong dirinya sendiri serta mengembangkan kegiatan yang bersumberdaya masyarakat
sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.
Pencapaian tujuan promosi kesehatan dibutuhkan suatu strategi yaitu strategi promosi kesehatan.
2.2.2 Area Promosi Kesehatan
Berdasarkan konferensi International Promosi Kesehatan di Ottawa Canada (1986) yang
menghasilkan piagam Ottawa, promosi kesehatan dikelompokkan menjadi lima area berikut:
1. Kebijakan Pembangunan Berwawasan Kesehatan (Health Public Policy).
Kegiatan ini ditujukan pada para pembuat keputusan atau penentu kebijakan. Hal ini
berarti setiap kebijakan pembangunan dalam bidang apapun harus mempertimbangkan
dampak kesehatan bagi masyarakat.
2. Mengembangkan Jaringan Kemitraan dan Lingkungan yang Mendukung (Create Patnership
and Supportive Environment).
Kegiatan ini bertujuan mengembangkan jaringan kemitraan dan suasana yang
mendukung terhadap kesehatan. Kegiatan ini ditujukan kepada pemimpin organisasi
masyarakat serta pengelola tempat-tempat umum dan diharapkan memperhatikan dampaknya
terhadap lingkungan fisik maupun lingkungan non-fisik yang mendukung atau kondusif
terhadap kesehatan masyarakat.
3. Reorientasi Pelayanan Kesehatan (Reorient Health Service)
Orientasi pelayanan kesehatan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
merupakan tanggung jawab bersama antara pemberi dan penerima pelayanan orientasi.
Pelayanan diarahkan dengan menempatkan masyarakat sebagai subjek yang dapat memelihara
dan meningkatkan kualitas kesehatannya sendiri. hal tersebut berarti pelayanan lebih
diarahkan kepada pemberdayaan masyarakat.
4. Meningkatkan ketrampilan Individu (Increase Individual Skills)
Kesehatan masyarakat adalah kesehatan yang terdiri atas kelompok, keluarga, dan
individu. Kesehatan masyarakat terwujud apabila kesehatan kelompok, keluarga, dan individu
terwujud. Oleh sebab itu, peningkatan ketrampilan anggota masyarakat atau individu sangat
penting untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat memelihara
serta meningkatkan kualitas kesehatannya.
5. Memperkuat Kegiatan Masyarakat (Strengthen Community Action)
Derajat kesehatan masyarakat akan terwujud secara efektif jika unsur-unsur yang terdapat
di masyarakat tersebut bergerak bersama. Memperkuat kegiatan masyarakat berarti
memberikan bantuan terhadap kegiatan yang sudah berjalan dimasyarakat sehingga lebih
dapat berkembang.
2.2.3 Beberapa faktor terbentuknya Perilaku
Menurut Green (th?????) dalam buku Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, perilaku
seorang terbentuk akibat dari beberapa faktor yaitu predisposing factor, enabling factor, dan
reinforcing factor.
a. Predisposing Factor
Predisposing Factor adalah faktor yang ditekankan untuk menggugah kesadaran,
memberikan kesadaran, serta menambah informasi kepada seseorang tentang
pemeliharaan dan peningkatan kesehatan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Faktor ini lebih menekankan tentang apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan
bagi mereka. Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap seorang terhadap permasalahan
kesehatan.
b. Enabling Factor
Bagian terpenting dalam enabling factor ini adalah berupa sarana prasarana dan fasilitas
kesehatan. Maka bentuk pendidikan kesehatan adalah memberdayakan masyarakat agar
mereka mampu menciptakan sendiri sarana prasarana kesehatan bagi diri mereka sendiri.
Pemberian fasilitas yang mendukung dapat mendorong masyarakat untuk mampu
berproses menjadi sehat bagi dirinya sendiri.
c. Reinforcing Factor
Faktor ini lebih menyangkut dan menekankan pada perilaku tokoh masyarakat maupun
tokoh atau tenaga kesehatan yang dijadikan panutan sebagai media pemberian sarana
kesehatan bagi mereka. Faktor ini meliputi yang mereka lakukan atau yang mereka
berikan untuk masyarakat. Perilaku atau kegiatan yang mereka lakukan akan menjadi
teladan bagi masyarakat (Green & Kreuter, 2005).
2.3 Konsep Remaja
2.3.1 Pengertian remaja
Adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin adolescenre yang berarti tumbuh atau
tumbuh untuk mencapai kematangan (Hurlock 1997) Masa remaja merupaka periode transisi
antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, merupakan waktu kematangan fisik, kognitif, sosial
dan emosional yang cepat pada laki-laki dan perempuan (Wong, Donna L 2009).
2.3.2 Batasan usia remaja
Batasan usia remaja menurut WHO (2007) adalah 12 sampai 24 tahun (Efendi 2009)
Batasan usia remaja menurut (Wong, Donna L 2009) dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
1. Remaja awal: dimulai pada usia 11 tahun sampai usia 14 tahun.
2. Remaja pertengahan: dimulai pada usia 15 tahun sampai usia 17 tahun
3. Remaja akhir: dimulai pada usia 18 tahun sampai usia 20 tahun
2.3.3 Ciri-ciri remaja
1. Masa remaja adalah masa yang penting
Penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai, dan minat baru terutama pada
masa remaja awal sangatlah penting karena perkembangan fisik dan mental yang cepat
(Hurlock 1997).
2. Masa remaja adalah masa peralihan
Masa remaja adalah masa dimana beralihnya dari tugas dan tahap perkembangan yang satu
ke tugas dan tahap perkembangan yang selanjutnya. Disini, remaja tidaklah disebut sebagai
seorang anak dan tidak disebut juga sebagai seorang dewasa. Mereka bebas memilih gaya
dan pola hidup yang diinginkan (Hurlock 1997).
3. Masa remaja adalah masa terjadi perubahan
Perubahan fisik yang pesat pada masa remaja, diikuti pula oleh perubahan sikap dan
perilaku. Perubahan emosi, minat, perilaku, dan peran adalah empat perubahan yang besar
selama masa remaja (Hurlock 1997).
4. Masa remaja adalah masa yang penuh masalah
Seiring dengan perubahan sikap dan perilaku remaja, maka banyak pula masalah yang
timbul pada diri remaja. Belum terbiasanya menyelesaikan suatu permasalahan dan tanpa
meminta bantuan orang lain dalam menyelesaikan masalah, menyebabkan remaja tidak
dapat menyelesaikan suatu masalah dengan baik (Hurlock 1997).
5. Masa remaja adalah masa pencarian identitas
Identitas yang dicari remaja adalah siapa dirinya dan apa perannya dalam masyarakat.
Terkadang ia memperlihatkan dirinya sebagai individu, terkadang juga ia mempertahankan
dirinya terhadap kelompok sebaya (Hurlock 1997).
6. Masa remaja adalah masa yang menimbulkan ketakutan
Adanya stigma yang negatif terhadap remaja membuat orang tua selalu mencurigai
remaja sehingga menimbulkan pertentangan dan adanya jarak pemisah antara orang tua dan
remaja (Hurlock 1997).
7. Masa remaja adalah masa yang tidak realistis
Remaja dalam berperilaku memandang perilakunya dari pandangannya sendiri. Mereka
melihat dirinya sendiri dan orang lain seperti yang mereka inginkan (Hurlock 1997).
8. Masa remaja adalah masa ambang dewasa
Remaja yang semakin matang dalam berkembang, berusaha memberi kesan sebagai
seseorang yang hampir dewasa. Ia akan memusatkan dirinya pada perilaku yang
dihubungkan dengan status orang dewasa, misalnya dalam berpakaian dan bertindak
(Hurlock 1997).
2.3.4 Tahap perkembangan remaja
Terdapat batasan usia pada masa remaja yang difokuskan pada upaya meninggalkan
sikap dan perilaku ke kanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan berperilaku
dewasa. Berdasarkan (Agustiani 2009) masa remaja dibagi menjadi:
1. Masa remaja awal (13-16 tahun)
Pada masa ini, individu berusaha mengembangkan diri dan mulai meninggalkan peran
sebagai anak-anak. Remaja mulai dapat berkembang pikirannya, mampu mengarahkan
dirinya sendiri meskipun pengaruh dari teman sebaya masih cukup kuat. Disamping itu,
pada masa ini hubungan dan rasa suka terhadap lawan jenis mulai muncul.
2. Masa remaja akhir (17-19 tahun)
Remaja mulai mempersiapkan dirinya untuk masuk dalam tahap perkembangan
berikutnya, yaitu memasuki peran-peran untuk menjadi matang dan diterima dalam
kelompok dewasa.
2.3.5 Tugas perkembangan remaja
Menurut (Hurlock 1997) tugas perkembangan remaja antara lain:
1. Memperluas hubungan antar pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa.
2. Memperoleh peranan sosial.
3. Menerima keadaan tubuhnya dan menggunakan secara efektif.
4. Memperoleh kebebasan secara emosional dari orang tua.
5. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan diri sendiri.
6. Memiliki dan mempersiapkan diri untuk suatu pekerjaan.
7. Mempersiapkan diri untuk perkawinan dan kehidupan berkeluarga.
8. Mengembangkan dan membentuk konsep-konsep moral.

2.4 Pola Interaksi Keluarga


2.4.1 Pengertian keluarga
Keluarga merupakan lembaga pertama dalam kehidupan anak tempat anak belajar dan
mengatakan sebagai makhluk sosial. Dalam keluarga umumnya anak melakukan interaksi yang
intim. Keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi,
kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya yang umum, meningkatkan
perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial dari tiap anggota keluarga (Duval, 1972 dalam
(Setiadi 2008)). Menurut (Slameto 2006) keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan
utama bagi anak-anaknya baik pendidikan bangsa, dunia, dan negara sehingga cara orang tua
mendidik anak-anaknya akan berpengaruh terhadap belajar. Sedangkan menurut (Mubarak 2009)
keluarga merupakan perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah,
perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu dengan yang lain
2.4.2 Fungsi Keluarga
Dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan yaitu sebagai
berikut:
1. Fungsi biologis
Menurut (Mubarak 2009), yaitu fungsi untuk meneruskan keturunan, memelihara, dan
membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan gizi keluarga.
2. Fungsi psikologis
Menurut (Mubarak 2009), yaitu fungsi memberikan kasih sayang dan rasa aman bagi
keluarga, memberikan perhatian diantara keluarga, memberikan kedewasaan kepribadian
anggota keluarga, serta memberikan identitas pada keluarga.
3. Fungsi sosialisasi
Menurut (Setiawati 2008) yaitu fungsi yang mengembagkan proses interaksi dalam keluarga
yang dimulai sejak lahir dan keluarga merupakan tempat individu untuk belajar
bersosialisasi. Sedangkan menurut (Mubarak 2009) merupakan fungsi membina sosialisasi
pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan
masing-masing dan meneruskan nilai-nilai budaya.
4. Fungsi ekonomi
Menurut (Setiawati 2008) yaitu fungsi keluarga untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota
keluarga termasuk sandang, pangan dan papan. Sedangkan menurut (Mubarak 2009)
Merupakan fungsi untuk mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan
keluarga saat ini dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga dimana yang akan
datang.
5. Fungsi pendidikan
Menurut (Mubarak 2009), yaitu menyekolahkan anak untuk memberikaan pengetahuan,
keterampilan, membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan minat yang dimilikinya,
mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi perannya
sebagai orang dewasa serta mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembanganya.
2.4.3 Peran Keluarga
Menurut (Mubarak 2009), peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan oleh
orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukanya dalam suatu sistem. Peran merujuk kepada
beberapa set perilaku yang kurang lebih bersifat homogen, yang didefinisikan dan diharapkan
secara normatif dari seseorang peran dalam situasi sosial tertentu. Menurut (Setiadi 2008), peran
keluarga adalah tingkah laku spesifik yang diharapkan oleh seseorang dalam konteks keluarga.
Jadi peran keluarga menggambarkan seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang
berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peranan individu dalam keluarga
didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok dan masyarakat.
Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing. Peran ayah yang sebagai
pemimpin keluarga yang mempunyai peran sebagai pencari nafkah, pendidik, pelindung atau
pengayom, pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga dan juga sebagai anggota
masyarakat kelompok sosial tertentu. Peran ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan
pendidik anak-anak, pelindung keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial
tertentu. Sedangkan peran anak sebagai pelau psikososial sesuai dengan perkembangan fisik,
mental, sosial dan spiritual (Setiadi 2008).
Terdapat dua peran yang mempengaruhi keluarga yaitu peran formal dan peran informal
yang disampaikan (Mubarak 2009) antara lain:
1. Peran Formal
Peran formal keluarga merupakan peran-peran keluarga terkait sejumlah perilaku yang
kurang lebih bersifat homogen. Keluarga membagi peran secara merata kepada para
anggotanya seperti cara masyarakat membagi peran-perannya menurut pentingnya
pelaksanaan peran bagi berfungsinya suatu sistem. Peran dasar yang membentuk posisi
sosial sebagai suami-ayah dan istri-ibu antara lain sebagai provider atau penyedia, pengatur
rumah tangga perawat anak baik sehat maupun sakit, sosialisasi anak, rekreasi, memelihara
hubungan keluarga paternal dan maternal, peran terpeutik (memenuhi kebutuhan afektif dari
pasangan), dan peran sosial.
2. Peran Informal kelurga
Peran-peran informal bersifat implisit, biasanya tidak tampak, hanya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan emosional individu atau untuk menjaga keseimbangan dalam
keluarga. Peran adapif diantaranya adalah:
1) Pendorong memiliki arti bahwa dalam keluarga terjadi kegiatan mendorong, memuji, dan
menerima kontribusi dari orang lain. Sehingga ia dapat merangkul orang lain dan membuat
mereka merasa bahwa pemikiran mereka penting dan bernilai untuk di dengarkan.
2) Pengharmonisan yaitu berperan menengahi perbedaan yang terdapat diantara para
anggota, penghibur, dan menyatukan kembali perbedaan pendapat.
3) Inisiator-kontributor yang mengemukakan dan mengajukan ide-ide baru atau cara-cara
mengingat masalah-masalah atau tujuan-tujuan kelompok.
4) Pendamai berarti jika terjadi konflik dalam keluarga maka konflik dapat diselesaikan
dengan jalan musyawarah atau damai.
5) Pencari nafkah yaitu peran yang dijalankan oleh orang tua dalam memenuhi kebutuhan,
baik material maupun nonmaterial anggota keluarganya.
6) Perawaatan keluarga adalah peran yang dijalankan terkait merawat anggota keluarga jika
ada yang sakit.
7) Penghubung keluarga adalah penghubung, biasanya ibu mengirim dan memonitori
kemunikasi dalam keluarga.
8) Poinir keluarga adalah membawa keluarga pindah ke satu wilayah asing mendapat
pengalaman baru.
9) Sahabat, penghibur, dan koordinator yang berarti mengorganisasi dan merencanakan
kegiatan-kegiatan keluarga yang berfungsi mengangkat keakraban dan memerangi
kepedihan.
10) Pengikut dan sanksi, kecuali dalam beberapa hal, sanksi lebih pasif. Sanksi hanya
mengamati dan tidak melibatkan dirinya.
2.4.4 Pengertian Interaksi
Keluarga merupakan lingkungan sosial pertama yang dikenalkan kepada anak. Di dalam
keluarga, orangtua mengenalkan nilai-nilai kebudayaan kepada anak dan disinilah anak
mengalami interaksi dan disiplin yang pertama. Adanya interaksi antara anggota keluarga yang
satu dengan yang lain menyebabkan seorang anak menyadari dirinya sebagai individu dan
makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, dalam keluarga anak akan belajar disiplin dan
menyesuaikan diri dengan kehidupan bersama, yaitu sikap saling tolong-menolong dan
mempelajari peraturan yang ada di dalam masyarakat. Semua hal itu akan dimiliki oleh anak,
setelah diperkenalkan oleh orangtuanya. Sehingga perkembangan anak di dalam keluarga juga
ditentukan oleh kondisi situasi keluarga dan pengalamanpengalaman yang dimiliki oleh
orangtuanya
Interaksi adalah suatu hubungan antara individu satu dengan individu yang lain,individu
satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya suatu
hubungan saling timbal balik, (Walgito 2003) Sedangkan menurut (Saleh 2013), interaksi adalah
kontak dan komunikasi yang diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi
kehidupan bersama.
Menurut (Izzaty 2005) emosi merupakan reaksi yang terorganisir terhadap suatu hal yang
berhubungan dengan kebutuhan, tujuan, dan ketertarikan, serta minat individu. Emosi dapat
terlihat dari reaksi fisiologis, perasaan dan perubahan perilaku yang nampak. Sedangkan
(Syaodih, 2005) menyampaikan emosi adalah suatu keadaan yang bergejolak pada diri individu
yang berfungsi sebagai inner adjustment (penyesuaian dari dalam) terhadap lingkungan untuk
mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu. Hampir sama dengan yang dikemukakan
diatas, menurut (Syaodih 2005), emosi adalah keadaan atau perasaan yang bergejolak pada diri
individu yang disadari dan diungkapkan melalui wajah atau tindakan.
Menurut (Izzaty 2005), terdapat dua fungsi emosi pada anak usia dini, yaitu:
1. Sebagai pendorong, emosi akan menentukan perilaku dalam melakukan sesuatu.
2. Sebagai alat komunikasi melalui reaksi emosi anak akan memperlihatkan apa yang
dirasakannya.
Pada umumnya anak kecil lebih emosional daripada orang dewasa karena pada usia ini
anak masih relatif muda dan belum dapat mengendalikan emosinya. Menurut (Hurlock 2000),
pada usia 2-5 tahun karakteristik anak muncul pada ledakan marahnya. Untuk menampilkan rasa
tidak senangnya, anak melakukan tindakan yang berlebihan, misalnya menangis, menjerit-jerit,
melemparkan benda, berguling-guling, memukul ibunya, atau aktivitas besar lainnya. Pada usia
ini anak tidak memperdulikan akibat dari perbuatannya, apakah merugikan orang lain atau tidak,
selain dari itu, pada usia ini anak lebih bersifat egosentris. Ekspresi emosi yang baik pada anak
dapat menimbulkan penilaian sosial yang menyenangkan, sedangkan ekspresi emosi yang kurang
baik seperti cemburu, marah, atau tidak dapat menimbulkan penilaian yang tidak menyenangkan
Jadi interaksi emosi adalah kontak dan komunikasi tentang perasaan yang bergejolak pada diri
individu satu yang dapat mempengaruhi individu lain atau sebaliknya, jadi terdapat hubungan
timbal balik (Artanti 2013).
2.4.5 Pola Interaksi
Menurut (Saleh 2013) bentuk-bentuk interaksi antara lain:
1. Mutualisme (kerjasama/cooperation)
Merupakan bentuk interaksi yang saling menguntungkan kedua belah pihak.
2. Parasialisme
Merupakan interaksi yang menguntungkan salah satu pihak saja
3. Persaingan (competition)
Merupakan suatu proses ketika suatu individu atau kelompok berusaha dan berebut untuk
mencapai suatu keuntungan dalam waktu bersamaan
4. Konflik/ pertentangan
Merupakan suatu proses ketika suatu individu atau kelompok berusaha memenuhi tujuannya
dengan jalan menentang pihak lawan melalui ancaman atau kekerasan.
5. Akomodasi/persesuaian
Adalah usaha-usaha suatu individu atau kelompok untuk meredakan atau menghindari suatu
pertentangan, yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan.
2.4.6 Interaksi Orangtua dan Anak
Masa transisi menjadi orang tua pada saat kelahiran anak pertama terkadang
menimbulkan masalah bagi interkasi pasangan dan di persepsikan menurunkan kualitas
perkawinan Thompson, 2006 dalam (Lestari 2012) menyampaikan bahwa anak-anak menjalani
tumbuh dan berkembang dalam suatu lingkungan dan hubungan. Pengalaman mereka sepanjang
waktu bersama orang-orang yang mengenal mereka dengan baik, serta berabagai karakteristik
dan kecenderungan yang mulai mereka pahami merupakan hal-hal pokok yang mempengruhi
perkembangan konsep dan kepribadian sosial mereka. Suatu hubungan dengan kualitas yang baik
akan berpengaruh positif bagi perkembangan, misalnya penyesuaian, kesejahteraan, perilaku
prososial dan transmisi nilai. Jadi didalam membina hubungan interaksi orang tua anak perlu
adanya komunikasi
Dalam tinjauan psikologi perkembangan, pandangan tentang interaksi orang tua-anak
pada umumnya merujuk pada teori kelekatan (attachment theory). Istilah Kelekatan (attachment)
untuk pertamakalinya dikemukakan oleh seorang psikolog dari Inggris pada tahun 1958 bernama
John Bowlby. Kemudian formulasi yang lebih lengkap dikemukakan oleh Mary Ainsworth pada
tahun 1969 dalam (Mc Cartney, K. & Dearing, E. 2002). Kelekatan merupakan suatu ikatan
emosional yang kuat yang dikembangkan anak melalui interaksinya dengan orang yang
mempunyai arti khusus dalam kehidupannya, biasanya orang tua.
Hubungan akan bertahan cukup lama dalam rentang kehidupan manusia yang diawali
dengan kelekatan anak pada ibu atau figur lain pengganti ibu (Haditono, S R 1994). Sejalan
dengan apa yang dikemukakan (Adiyanti 1985) mengenai kelekatan, tidak semua hubungan yang
bersifat emosional atau afektif dapat disebut kelekatan. Adapun ciri afektif yang menunjukkan
kelekatan adalah: hubungan bertahan cukup lama, ikatan tetap ada walaupun figur lekat tidak
tampak dalam jangkauan mata anak, bahkan jika figur digantikan oleh orang lain dan kelekatan
dengan figure lekat akan menimbulkan rasa aman.
Kualitas hubungan orang tua- anak merefleksikan tingkatan dalam hal kehangatan
(warm), rasa aman (security), kepercayaan (trust), afeksi (perasaan disukai/ dicintai) positif
(positive affect), dan ketanggapan (responsiveness) dalam hubungan mereka. Kehangatan
menjadi komponen mendasar dalam hubngan orang tua- anak yang dapat membuat anak merasa
dicintai dan mengembangkan rasa percaya diri. Mereka memiliki rasa percaya dan menikmati
kesertaan mereka dalam aktivitas bersama orang tua. Kehangatan memberi konteks bagi afeksi
positif yang akan meningkatkan mood untuk peduli dan tanggap terhadap orang lain (Lestari
2012).
2.5 Peer Group Remaja??????
2.6 Konsep Game Online
2.6.1 Pengertian game online
Menurut (Adams, E. & Rollings 2010), game online adalah permainan yang dapat
diakses oleh banyak pemain, dimana mesin-mesin yang digunakan pemain dihubungkan oleh
internet. Sedangkan menurut (Theresia 2012) game online ini dapat diakses melalui jaringan
komputer (computer network) dengan menggunakan PC atau konsol game biasa, dan biasanya
dimainkan oleh banyak pemain dalam waktu yang bersamaan dimana antar pemain bisa saling
tidak mengenal. Dikarenakan oleh kepuasan psikologis, maka semakin membuat pemain game
online ingin terus memainkannya.
2.6.2 Jenis game online
Kategori game online menurut AGI (2013), yaitu:
1. Massively Multiplayer Online First-Person Shooter Game (MMOFPS)
MMOFPS merupakan jenis game online yang menekankan pada penggunaan senjata. Permainan
ini memiliki banyak tantangan dibandingkan dengan permainan lainnya karena permainan ini
menonjolkan kekerasan sehingga permainan ini sering disebut dengan permainan pertarungan.
Contoh permainannya adalah Call of Duty, Crysis 3, Counter Strike Online, Cross Fire,
Battlefield, Point Blank, Dead Trigger. Sampai dengan saat ini game yang masih popular dari
jenis ini adalah Counter Strike Online. Dibutuhkan skill kecepatan, ketepatan menembak, dan
adrenalin yang tinggi membuat game ini sangat disukai oleh anak-anak dan remaja laki-laki
(Kusumadewi 2009).
2. Massively Multiplayer Online Real – Time Strategy Game (MMORTS)
MMORTS merupakan permainan yang menggabungkan antara Real Time Strategy dengan
banyak pemain secara bersamaan. Kegiatan pengembangan tekonologi, mendirikan gedung,
kontruksi bangunan, dan pengolahan sumber daya alam adalah karakteristik dari permainan
MMORTS ini. Game yang popular dari jenis ini adalah Command and Conqueror, Total
Annihilation, StarCraft, SimCity, Company of Heroes, Rise of Nations, Battle Realms.
(Kusumadewi 2009).

3. Massively Multiplayer Online Role-Playing Game (MMORPG)


MMORPG merupakan salah satu jenis game online yang memainakn karakter tokoh maya.
Berbagai tantangan dan kesempatan dihadapkan kepada pemain dalam permainan MMORPG ini
untuk meningkatkan kemampuan karakter atau tokoh yang dimainkannya (Kusumadewi 2009).
Permainan ini lebih menekankan pada aspek kolaborasi dan sosial, bukan kompetisi. Tersedianya
fasilitas ruang untuk chatting (mengobrol) menandakan bahwa interaksi sosial dalam permainan
jenis ini sangat diperlukan, karena pemain harus berkolaborasi dengan pemain lain untuk
mencapai tujuan yang lebih rumit dan harus bergabung dalam ‘organisasi’ atau ‘suku’ dari
pemain lain agar mengalami peningkatan dalam permainan (Wan, C.S. & Chiou 2007). Saat ini
MMORPG yang populer di dunia adalah World of Warcraft, Guild Wars, Final Fantasy,
Lineage, Torchlight II. Di Indonesia, yang popular dari jenis ini adalah Ragnarok, Perfect World,
Seal Online, Audition Ayo Dance, Chaos Rings III, Crashlands, dan saat ini yang masih popular
adalah DotA 2 (Feprinca 2015).
4. Simulation Games.
Game jenis ini bertujuan untuk memberi pengalaman melalui simulasi. Ada beberapa jenis
permainan simulasi, diantaranya life-simulation games, construction and management
simulation games, dan vehicle simulation. Pada life-simulation games, pemain bertanggung
jawab atas sebuah tokoh atau karakter dan memenuhi kebutuhan tokoh selayaknya kehidupan
nyata, namun dalam ranah virtual. Karakter memiliki kebutuhan dan kehidupan layaknya
manusia, seperti kegitan bekerja, bersosialisasi, makan, belanja, dan sebagainya. Biasanya,
karakter ini hidup dalam sebuah dunia virtual yang dipenuhi oleh karakter-karakter yang
dimainkan pemain lainnya. Contoh permainanya adalah Second Life, Euro Truck Simulator 2,
Farming Simulator 15, Tropico 5, The Sims 4, dll (Apriyanti 2015)
5. Cross-Platform Online play.
Cross-Platform Online Play merupakan game yang dapat dimainkan secara online dengan
hardware yang berbeda. Contoh game dari jenis ini salah satunya yaitu need for speed
underground dapat dimainkan secara online dari PC maupun Xbox 360 (Xbox 360 merupakan
hardware/console game yang memiliki konektivitas ke internet sehingga dapat bermain secara
online (Apriyanti 2015).
6. Massively Multiplayer Online Browser Game.
Massively Multiplayer Online Browser Game merupakan game yang dimainkan pada browser
seperti Firefox, Opera, IE. Syarat dimana sebuah browser dapat memainkan game ini adalah
browser sudah mendukung java script, php, maupun flash. Perkembangan teknologi grafik
berbasis web seperti flash dan java menghasilkan permainan yang dikenal dengan “flash games”
atau “java games” yang menjadi sangat popular. Contoh permainannya adalah Pac-Man, Jingle
Wars, Winter Frost Legacy, Sparta: War of Empires, Call of War, Star Stable, Bleach Online
(Apriyanti 2015).

2.7 Konsep Kecanduan Game Online


2.7.1 Pengertian kecanduan game online
Kecanduan adalah suatu perilaku yang tidak sehat yang berlangsung terus menerus yang
sulit diakhiri oleh individu bersangkutan (Yee 2006). Disebutkan pula terdapat 2 jenis
kecanduan, diantaranya physical addiction yaitu adiksi yang berhubungan dengan narkotika, dan
non-physical addiction adalah kecanduan tanpa melibatkan narkotika. Menurut (Freeman 2008)
adiksi game online didefinisikan sebagai gangguan kontrol pada hasrat atau keinginan untuk
mengakses internet tanpa melibatkan penggunaan obat atau zat adiktif, proses kecanduan
bermain game online di otak sama halnya dengan proses kecanduan karena narkotika, mengakses
situs porno.
Koepp (1999) dalam (Green, C & Bavelier 2004) menyebutkan tentang adiksi
menunjukkan bahwa sistem limbik di otak aktif dan mengaktifkan zat kimia dalam otak yang
dinamakan dopamin. Dopamin akan dialirkan dari sistem limbic ke PFC. Dopamin mengalir
secara berlebihan dan membanjiri PFC. Kemudian, PFC tidak aktif karena terendam dopamin.
Semakin PFC tidak aktif, fungsinya akan terganggu dan semakin mengerut. Sistem limbik akan
berkembang semakin besar karena terus mengaktifkan dopamin. Karena pada dasarnya dopamin
bersifat memberi rasa senang, penasaran, dan kecanduan, otak akan mengingat apa yang
membuat senang sehingga para pengguna game online akan terus memainkan game karena
memberikan rasa kepuasan tersendiri, sehingga ada perasaan untuk mengulangi kegiatan bermain
game online yang mengakibatkan berujung kecanduan.
2.7.2 Indikator Kecanduan Game Online
Lukas Blinka dan David Smahel mengungkapkan beberapa indikator seseorang
kecanduan pada game (Young, K. S 2011) antara lain:
1. Salience
Ketika aktivitas bermain game online dianggap lebih penting dibandingkan dengan
kehidupan pribadi.
2. Neglected,
Mengabaikan kebutuhan dasar seperti tidur, makan, kebersihan personal dalam
beraktifitas.
3. Mood modification
Rasa senang dan tenang ketika perilaku kecanduan itu muncul. Game digunakan sebagai
alat koping atau melarikan diri dari permasalahan.
4. Tolerance
Ketika bermain game menjadi selalu dan dosisnya makin tinggi, sehingga gamer merasa
selalu butuh untuk terus bermain.
5. Withdrawal symptoms
Perasaan tidak menyenangkan yang terjadi ketika aktivitas bermain game dikurangi atau
tidak dilanjutkan dan berpengaruh pada fisik seseorang. Efeknya antara lain secara fisik
(pusing, insomnia) atau psikologisnya (mudah marah atau moodiness).
6. Conflict
Ketika keluarga dan orang terdekat mengeluh karena pengguna game terlalu banyak
menghabiskan waktu dalam bermain sehingga berpengaruh terhadap penurunan kinerja.
7. Relapse
Ketika gamer memiliki kecenderungan untuk kembali pada perilaku kecanduan meskipun
telah berada pada periode control.
2.7.3 Faktor yang mempengaruhi kecanduan game online
(Imanuel 2009) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecanduan game online
antara lain:
1. Gender
Jenis kelamin sangat mempengaruhi faktor seseorang dalam bermain game online. Laki-
laki dan perempuan sama-sama tertarik oleh game online, tetapi beberapa penelitian
menyatakan bahwa laki-lakilah yang lebih banyak memainkan game daripada perempuan
dikarenakan laki-laki lebih suka berfantasi dan ingin memacu adrenalinnya.
2. Kondisi psikologis
Fantasi di dalam game menjadi salah satu keuntungan bagi pemain dan kejadian-kejadian
yang ada pada game sangat kuat, yang mana hal ini membawa alasan mereka untuk melihat
permainan itu kembali. Pemain menyatakan dirinya termotivasi bermain karena bermain
game online meyenangkan dan memberi kesempatan untuk bereksperimen. Pemain bermain
game online memberikan kesempatan untuk mengekspresikan dirinya karena merasa stres
terhadap kehidupan nyata mereka. Faktor yang mempengaruhi kecanduan game online juga
dipengaruhi oleh masalah-masalah emosional seperti depresi, dan gangguan kecemasan.
3. Jenis game
Game online merupakan bagian dari dimensi sosial yang dapat menghilangkan streotipe
rasa kesepian, ketidakmampuan bersosial bagi pemain yang kecanduan game online. Jenis
game online dapat mempengaruhi sesorang kecanduan game online. Pemain dapat menjadi
kecanduan karena sering terus-menerus memainkannya.
Dalam penelitian yang dilakukan (Efendi 2014) menyebutkan faktor yang mempengaruhi
bermain game online antara lain:
1. Komunikasi yang kurang masimal antara anak dengan anggota keluarga, khususnya
orang tua.
2. Pengawasan orang tua yang kurang kepada anak.
3. Kesalahan pola asuh dari orang tua kepada anak.
4. Kejenuhan atau merasa bosan seorang anak akan rutinitas yang monoton.
2.7.4 Dampak kecanduan game online
(Rini 2011) menyebutkan beberapa dampak dari bermain game online yaitu:
1. Dampak terhadap kesehatan
1) Kesehatan jantung, saraf mata, dan otak akan mengalami penurunan.
2) Berat badan menurun akibat lupa makan dan minum karena keasyikan bermain game
online.
3) Karena duduk dalam waktu yang lama, dapat menyebabkan cedera fisik berulang-ulang
dapat menyebabkan kecacatan, misalnya pegal dan nyeri tulang belakang. Hal tersebut bisa
membuat bentuk tulang belakang tidak proporsional. Lambung dan ginjal juga akan
mengalami kerusakan.
4) Stres
5) Kerusakan mata. Sinar biru pada layar monitor dapat menyebabkan kerusakan pada mata,
yaitu mengikis lutein pada mata sehingga mengakibatkan degenerasi makula yang
menyebabkan pandangan menjadi kabur. Oleh karena itu, biasanya seseorang yang gemar
bermain game online adalah orang yang mengenakan kacamata.
6) Gastritis. Pecandu game online sering melupakan waktu untuk makan, sehingga dalam
keadaan seperti itu memicu timbulnya penyakit gastritis.
2. Dampak terhadap kepribadian
1) Suka mencuri. Banyak kasus remaja suka mencuri ataupun mengambil uang orang tuanya
dengan alasan membeli buku, padahal uang tersebut dipergunakan untuk bermain game
online di warnet.
2) Malas. Pengguna game online akan sering lupa dengan kewajiban utamanya, yaitu
mengerjakan PR, melakukan pekerjaan rumah sehari-hari dikarenakan mereka akan merasa
penat dan capek sehingga tidak melaksanakan tugasnya.
3) Suka berbohong. Remaja dengan mudahnya berbohong sudah mengerjakan PR, padahal
ia tidak masuk sekolah karena membolos karena bermain game online di warnet
4) Kurang bergaul. Akibat terlalu sering bermain game dan sering membohongi orang tua,
hubungan dengan teman dan keluarga menjadi renggang.
3. Dampak terhadap pendidikan
1) Remaja akan melakukan berbagai cara demi bisa bermain game online, mulai dari
berbohong, mencuri, dan bolos sekolah.
2) Remaja menjadi tertutup sehingga sulit mengekspresikan diri ketika berada di lingkungan
nyata karena terbiasa berinteraksi satu arah dengan komputer.
3) Kecanduan game online akan menimbulkan sulitnya berkonsentrasi saat pelajaran di
sekolah.
4. Dampak terhadap keluarga dan masyarakat
1) Kurang memahami perasaan orang lain dan menjadi lebih agresif.
2) Suka melawan orang tua jika dilarang untuk bermain dan cepat emosi sehingga mudah
menyakiti teman sebayanya atau adiknya.
3) Malas beradaptasi dengan lingkungan karena waktunya dihabiskan berlama-lama di
depan komputer.
BAB III
KERANGKA PIKIR

3.1 Kerangka Pikir

Faktor penyebab: Strategi Promosi


Karakteristik Kesehatan:
Informan: 1. Advokasi
1. Predisposing
Factor a.Pengusulan kegiatan
a.Pendidikan b.Rembug politik Regulasi
(Pengetahuan &
terakhir c.Kebijakan sekolah
sikap) pencegahan adiksi
b. Usia 2. Enabling Factor
c. Jabatan game online
(SDM, Dana, 2. Pemberdayaan
d. Lama jabatan Fasilitas & Sarana a. Pelatihan kader
Prasarana) b. Pelatihan guru
3.Reinforcing c. Sosialisasi
Factor (Sikap
petugas & 3. Bina Suasana
regulasi) a. Kader/ duta anti
adiksi game online
b.Lomba permainan
tradisional
Environment c. Guru BK
(teori??) = tidak d.Integrasi pelajaran
diteliti
Gambar 3.1 Kerangka pikir penelitian

Keterangan: Diteliti
Tidak diteliti

3.2 Penjelasan Kerangka Pikir


Kerangka konseptual ini mengacu pada strategi promosi kesehatan menurut WHO (1984)
dimana menyebutkan terdapat 3 strategi global dalam melakukan upaya promosi kesehatan yaitu
advokasi, bina suasana dan Gerakan pemberdayaan masyarakat. Penelitian ini menggunakan 3
strategi yaitu advokasi, bina suasana, dan Gerakan pemberdayaan masyarakat yang ada pada
Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Sidoarjo.
Strategi promosi kesehatan diidentifikasi berdasarkan faktor penyebab terjadinya perilaku
Menurut Green (2005) dalam buku Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, strategi promosi
kesehatan menggunakan predisposing factor, enabling factor dan reinforcing factor sebagai
faktor yang mempengaruhi pelaksanaan strategi promosi kesehatan.
1. Predisposing Factor
Hal yang ditinjau dari predisposing factor ini adalah sikap dan pengetahuan terhadap
masalah kesehatan. Masalah kesehatan dalam penelitian ini mengarah pada permasalahan
Adiksi Game Online. Aspek yang dilihat dalam penelitian ini adalah sikap dan pengetahuan
baik informan utama maupun informan kunci di SLTP di kecamatan Candi, kabupaten
Sidoarjo tentang permasalahan adiksi game online.
2. Enabling Factor
Yang ditinjau dari enabling factor ini adalah adanya ketersediaan sumber daya. Sumber
daya yang ada diindikasi sebagai faktor dalam perubahan perilaku. Ketersediaan sumber daya
yang ditinjau ada di sekolah baik tenaga, materi, sarana dan prasarana, LSM yang mampu
mendorong upaya pelaksanaan strategi promosi kesehatan di SLTP di kecamatan Candi,
kabupaten Sidoarjo.
3. Reinforcing Factor
Hal yang ditinjau dari reinforcing factor ini adalah adanya dukungan dari sikap petugas
yang berkaitan dengan pencegahan adiksi game online. Petugas kesehatan yang dimaksud
dalam penelitian ini di sekolah adalah petugas internal (UKS, Guru BK), maupun eksternal
(Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan dan Bapekab). Selain itu hal lain yang ditinjau adalah
adanya penguat berupa peraturan di sekolah.
4. Advokasi
Hal yang ditinjau dari segi advokasi adalah upaya yang dilakukan oleh sekolah berupa
pengusulan kegiatan untuk sekolah sebagai wahana pencegahan penyalahgunaan adiksi game
online disekolah. Pengusulan kegiatan ini didukung juga oleh pengusulan anggaran yang
dapat mendukung berjalannya kegiatan yang direncanakan. Kegiatan advokasi ini berupa
kebijakan yang berfokus pada pencegahan adiksi game online.
5. Bina Suasana
Untuk menghidupkan kemauan siswa dalam upaya pencegahan adiksi game online
dibutuhkan kegiatan Bina Suasana. Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah ada kegiatan
seperti pelatihan baik pada guru, dan karyawan sekolah lainnya yang berfokus pada upaya
pencegahan adiksi game online pada siswa dan melihat prosesnya. Hal yang ditinjau adalah
adakah peer educator tentang adiksi game online atau teman sebaya yang mana berfokus pada
pencegahan adiksi game online.
6. Gerakan Pemberdayaan Masyarakat
Gerakan pemberdayaan sebagai salah satu yang dilakukan sekolah sebagai upaya
pencegahan adiksi game online adalah adanya kegiatan pemberdayaan berupa kegiatan
seperti penyuluhan yang ditujukan kepada siswa, ada dan berjalannya konseling sekolah
sebagai upaya pencegahan adiksi game online dan ada atau tidaknya lomba- lomba atau
acara yang mendukung sebagai upaya pencegahan adiksi game online serta melihat
bagaimana proses pembentukan pemberdayaannya.
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Rancangan Bangun Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dengan
pendekatan kualitatif penelitian diarahkan untuk mendeskripsikan suatu keadaan objek. Teknik
wawancara mendalam (Indepth Interview) digunakan dalam penelitian kualitatif ini. Dimana
penelitian kualitatif adalah metode untuk mengeksplorasi dan memahami makna oleh sejumlah
individu atau sekelompok orang yang dianggap dapat mendeskripsikan fakta, keadaan,
fenomena, informasi dan keadaan yang sedang terjadi saat dilakukannya penelitian. Teknis
wawancara mendalam dilakukan dengan mengajukan pertanyaan dan prosedur, mengumpulkan
data yang spesifik dari para partisipan, menganalisis data secara induktif mulai dari tema-tema
yang khusus ke tema-tema yang umum, dan menafsirkan makna data. Sehingga dalam proses
pengambilan informasi, seorang peneliti harus menuliskan secara asli sesuai realita tanpa ada
tambahan apapun dan tidak memanipulasi (Sugiono, 2012).

4.2 Informan
Pengertian informan adalah subyek penelitian yang dapat memberikan informasi
mengenai fenomena/permasalahan yang diangkat dalam penelitian. Dalam penelitian kualitatif,
informan terbagi menjadi tiga yaitu (Heryana, 2018):
1. Informan kunci
2. Informan utama
3. Informan Pendukung
Informan kunci adalah informan yang memiliki informasi secara menyeluruh tentang
permasalahan yang diangkat oleh peneliti. Informan kunci bukan hanya mengetahui tentang
kondisi/fenomena pada masyarakat secara garis besar, juga memahami informasi tentang
informan utama. Dalam pemilihan informan kunci tergantung dari unit analisis yang akan diteliti.
Misalnya pada unit sebuah organisasi, informan kuncinya adalah pimpinan organisasi tersebut.

Gambar 2. Tahap Pemilihan Informan dalam Penelitian Kualitatif Sumber: (Robinson, 2014)
Informan kunci sebaiknya orang yang bersedia berbagi konsep dan pengetahuan dengan
peneliti, dan sering dijadikan tempat bertanya oleh peneliti. Untuk itu sebaiknya dalam
pengumpulan data peneliti sebaiknya memulainya dari informan kunci untuk mendapatkan
gambaran yang utuh dan menyeluruh tentang masalah yang diamati. Dengan demikian terdapat
empat kriteria dalam menentukan informan kunci (Martha & Kresno, 2016):
a. Harus menjadi peserta aktif dalam kelompok, organisasi, atau budaya yang diteliti, atau telah
melalui tahap enkulturasi
b. Harus terlibat dalam budaya yang diteliti “saat ini”. Penekanan “saat ini” sangat penting,
karena jangan sampai informan kunci lupa dengan masalah yang akan diteliti
c. Harus memiiki waktu yang memadai. Informan kunci tidak cukup hanya memiliki kemauan,
namun dapat memberikan informasi kapan pun saat dibutuhkan
d. Harus menyampaikan informasi dengan bahasa sendiri (natural). Sebaiknya informan yang
menyampaikan informasi dengan “bahasa analitik” dihindari karena informasi yang dihasilkan
sudah tidak natural.

Informan utama dalam penelitian kualitatif mirip dengan “aktor utama” dalam sebuah
kisah atau cerita. Dengan demikian informan utama adalah orang yang mengetahui secara teknis
dan detail tentang masalah penelitian yang akan dipelajari. Misalnya pada penelitian tentang
perilaku ibu dalam memanfaatkan pelayanan Posyandu sebagai informan utama adalah ibu yang
memlilki Balita, sedangkan sebagai informan kunci adalah kader posyandu.
Informan pendukung merupakan orang yang dapat memberikan informasi tambahan
sebagai pelengkap analisis dan pembahasan dalam penelitian kualitatif. Informan tambahan
terkadang memberikan informasi yang tidak diberikan oleh informan utama atau informan kunci.
Misalnya pada penelitian tentang implementasi budaya keselamatan pada pekerja bagian
produksi di sebuah perusahaan manufaktur, sebagai informan bisa dipilih dari bagian yang tidak
terlibat langsung dalam proses produksi atau bagian yang menikmati output dari bagian produksi
misalnya bagian gudang. Sementara sebagai informan utama adalah karyawan bagian produksi
dan sebagai informan kunci adalah manajer produksi atau manajer HSE (K3).
Dalam penelitian kualitatif tidak harus terdiri dari tiga jenis informan di atas, hal ini
tergantung pada konteks permasalahan penelitian. Penggunaan ketiga jenis informan di atas
adalah untuk tujuan validitas data menggunakan metode triangulasi. Peneliti sebaiknya
mengumpulkan informasi dari informan tersebut secara berurutan mulai dari informan kunci,
informan utama, dan informan pendukung (lihat gambar 3 di bawah).
Pada beberapa penelitian kualitatif bahkan hanya memerlukan satu informan utama saja,
jika masalah tersebut memang benar-benar sebagai sesuatu yang unik pada orang tersebut.
Penentuan jumlah informan pada peneltian kualitatif dijelaskan pada sub bab berikut.
Gambar 2. Urutan Pengumpulan Data pada Informan dengan Triangulasi (Heryana, 2018)
Informan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan informan yang tahu dan paham
tentang kegiatan yang berlandaskan pada strategi Promosi Kesehatan misalnya kegiatan
advokasi, bina suasana, pemberdayaan masyarakat yang diperkuat dengan kemitraan. Strategi
yang disampaikan nantinya diarahkan pada kegiatan pencegahan adiksi game online pada remaja
yang ada di Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo.
Penelitian ini menggunakan 10 (sepuluh) informan utama yang terdiri dari 2 (dua) orang
tua siswa Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Candi, 4 (empat) guru yang berasal dari
Sekolah Menengah Pertama di Kecamatan Candi, 1 (satu) Kepala Dinas kesehatan kabupaten
Sidoarjo (atau yang mewakili), 1 (Satu) kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo (atau yang
mewakili), 1 (satu) kepala Dinas Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kab Sidoarjo (atau
yang mewakili), 1 (satu) kepala Dinas Komunikasi dan Informasi Kabupaten Sidoarjo dan
menggunakan 4 (enam) informan kunci. Informan kunci ini merupakan informan yang
mengalami secara langsung kegiatan yang diadakan di sekolah sesuai dengan yang disampaikan
informan utama. Empat informan kunci ini mencakup siswa sekolah dari kelas 1 (satu) hingga
kelas 3 (tiga) SMP di sekolah menengah pertama daerah Kecamatan Candi, Kab. Sidoarjo.

4.3 Cara Penentuan Informan


Sebelum memilih informan yang dilakukan pertama adalah menentukan sekolah yang
akan dijadikan sebagai tempat penelitian. Sekolah yang dipilih adalah sekolah menengah
Pertama yang berada di daerah Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo dengan pertimbangan
mewakili sekolah menengah pertama negri dan swasta, sekolah yang termasuk daerah perkotaan
dan pedesaan dan bersedia dijadikan sebagai tempat penelitian. Apabila ternyata ada sekolah
yang menolak tidak bersedia menjadi tempat penelitian maka akan mencari pengganti sekolah
lain dengan karakteristik sama di daerah Kecamatan Candi.
Peta dibuat dengan Aplikasi GIS

Rencana Sekolah SMP tempat Penelitian


Wilayah Kota
Negeri : SMP 1 Candi
Swasta : MTs Al Muawanah
Wilayah Desa/Pinggir
Negeri : SMPN 2 Candi
Swasta : MTs NU Candi
Sedangkan pemilihan informan orang tua dan siswa berdasarkan informasi dari guru di
sekolah tempat penelitian dimana siswa tersebut bermain game online.

4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian


4.4.1 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di wilayah Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo dengan
pertimbangan terjadinya kasus kriminal oleh bocah SMP yang dilansir di Jawa Pos.com pada 11
Mei 2021 ada berita tentang bocah SMP yang membakar rumah tetangga berlokasi kejadian di
Kecamatan Kecamatan Candi. Tepatnya di Perum Citra Sentosa Mandiri. Pelaku adalah remaja
berusia 15 tahun dan diduga kejadian ini sebagai bentuk pelampiasan dan kecanduan game
online

4.4.2 Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan mulai Oktober 2021 hingga Mei 2021 dengan kegiatan berupa
penyusunan proposal penelitian, survei pendahuluan, persiapan pengambilan data, pengambilan
data serta penyusunan hasil penelitian.
4.5 Variabel, Informasi, Cara Pengukuran
Tabel 4.1 Fokus penelitian, informasi dan cara pengukuran
No. Fokus Penelitian Informasi Cara Instrumen Sasaran
pengukuran
1. Karakteristik informan Melihat Wawancara Pedoman 1. Guru
karakteristik wawancara 2. Orang tua
informan: 3. Siswa
1. Pendidikan 4.Kepala Dinkes
terakhir 5.Kepala Dispendik
2. Usia 6.Kepala Bapekab
3. Jabatan Sidoarjo
4.Lama jabatan 7. Kepala Dinas
Kominfo Kab.
Sidoarjo
2. Predisposing factor Informasi Wawancara Pedoman 1. Guru
tentang sikap mendalam wawancara 2. Orang tua
dan pengetahuan 3. Siswa
informan 4.Kepala Dinkes
tentang regulasi/ 5.Kepala Dispendik
peraturan 6.Kepala Bapekab
pencegahan Sidoarjo
adiksi game 7. Kepala Dinas
online Kominfo Kab.
Sidoarjo
3. Enabling factor Mengidentifikasi Wawancara Pedoman 1. Guru
faktor yang mendalam wawancara 2. Orang tua
mendukung 3. Siswa
berjalannya 4.Kepala Dinkes
regulasi 5.Kepala Dispendik
pencegahan 6.Kepala Bapekab
adiksi game Sidoarjo
online dari aspek 7. Kepala Dinas
tenaga, materi, Kominfo Kab.
serta sarana Sidoarjo
prasarana dan
LSM terkait
4. Reinforcing factor Menganalisis Wawancara Pedoman 1. Guru
sikap petugas mendalam wawancara 2. Orang tua
sekolah dan luar 3. Siswa
sekolah serta 4.Kepala Dinkes
identifikasi ada 5.Kepala Dispendik
peraturan 6.Kepala Bapekab
tentang Sidoarjo
pencegahan 7. Kepala Dinas
adiksi game Kominfo Kab.
online pada Sidoarjo
remaja
5. Advokasi Informasi Wawancara Pedoman 1. Guru
tentang upaya mendalam wawancara 2. Orang tua
advokasi berupa 3. Siswa
kebijakan, 4.Kepala Dinkes
pengusulan 5.Kepala Dispendik
kegiatan dan 6.Kepala Bapekab
penganggaran Sidoarjo
7. Kepala Dinas
Kominfo Kab.
Sidoarjo
6. Gerakan Pemberdayaan Mencari Wawancara Pedoman 1. Guru
informasi mendalam wawancara 2. Orang tua
tentang Gerakan 3. Siswa
pemberdayaan 4.Kepala Dinkes
masyarakat yang 5.Kepala Dispendik
dilakukan 6.Kepala Bapekab
sekolah seperti Sidoarjo
diadakannya 7. Kepala Dinas
penyuluhan, Kominfo Kab.
lomba, seminar Sidoarjo
atau kegiatan
yang lain terkait
pencegahan
adiksi game
online pada
remaja dan
proses
pembentukan
serta
pelaksanaannya
7 Bina Suasana Informasi Wawancara Pedoman 1. Guru
tentang kegiatan mendalam wawancara 2. Orang tua
sekolah berupa 3. Siswa
konselor sebaya, 4.Kepala Dinkes
peran BK, media 5.Kepala Dispendik
dan lomba 6.Kepala Bapekab
Sidoarjo
7. Kepala Dinas
Kominfo Kab.
Sidoarjo

4.6 Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data


a. Data Primer
Data primer didapatkan dengan melakukan wawancara mendalam kepada informan. Teknik
yang dilakukan adalah dengan memberikan beberapa pertanyaan terkait dengan peraturan/
regulasi yang diterapkan di sekolah sebagai upaya promosi kesehatan pencegahan adiksi
game online pada remaja. Instrumen dalam wawancara adalah peneliti itu sendiri dan dibantu
dengan menggunakan panduan wawancara. Sebelum melakukan panduan wawancara,
informan diharapkan mendapatkan penjelasan Sebelum Persetujuan (PSP) dan pengisian
informed consent. Setelah itu peneliti sebagai pewawancara meminta izin kepada informan
untuk merekam proses wawancara menggunakan recorder/ Handphone. Kegiatan wawancara
dilakukan selama kurun waktu 30-60 menit. Pertanyaan yang diajukan selama wawancara
mencakup tentang kegiatan apa saja yang dilakukan di sekolah terkait pencegahan adiksi
game online, bagaimana prosesnya, siapa yang terlibat, kapan kegiatan tersebut dilakukan,
dan alas an adanya kegiatan tersebut. Pertanyaan wawancara dilampirkan dalam lampiran
penelitian. Selama kegiatan wawancara berlangsung, pewawancara menulis hal-hal penting
yang dapat digali secara mendalam informasi yang belum didapatkan.
b. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mencari beberapa sumber data terkait
pengunaan internet dari APJJI 2016-2020 serta jurnal-jurnal terkait yang sesuai dengan tema
penelitian. Data sekunder didapatkan melalui internet, database jurnal dan buku penunjang
lainnya.

4.7 Teknik Analisa Data


Teknik Analisa data yang digunakan adalah dengan content analysis yaitu kegiatan yang
dilakukan mulai menentukan subjek penelitian hingga mendapatkan hasil data berdasarkan
konsep penelitian kualitatif (Wibowo, 2014), Kegiatan diantaranya adalah:
1. Peneliti menentukan informan penelitian sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
Informan yang ditentukan sesuai dengan kriteria yaitu informan guru yang berada di sekolah
menengah pertama di daerah kecamatan Candi, informan yang terkait dengan pembuat
program atau kebijakan terkait regulasi promosi kesehatan pencegahan adiksi game online
pada remaja. Infroman kunci dipilih adalah siswa mulai kelas 1 (satu) sampai 3 (tiga) di
sekolah menengah pertama di kecamatan Candi. Pemilihan informan dilakukan dengan
adanya diskusi dengan pihak sekolah. Berdasarkan diskusi tersebut informan yang dipilih ini
terlibat dan dianggap tahu tentang regulasi / peraturan di sekolah terkait promosi kesehatan
pencegahan adiksi game online pada remaja.
2. Hasil wawancara dibuat transkrip serta dibaca berulang agar lebih paham. Kegiatan transkrip
rekaman ini dilakukan dengan mengulang 2 kali untuk menghindari kalimat yang kurang
jelas. Sejumlah rekaman ditranskrip dengan teliti untuk mendapatkan data yang valid.
Kegiatan mentranskrip data dilakukan ditempat yang tidak bising agar rekaman wawancara
dengan mudah didengar dan direkap ulang.
3. Kata kunci berdasarkan subjek penelitian disusun dan dibuat kategori. Setelah kegiatan
mentranskip rekaman selesai, dilakukan menandai dengan bold pada kutipan transkrip yang
menunjukkan kata kunci informasi yang diteliti. Selain itu bold dilakukan highlight warna
yang berbeda pada tiap fokus penelitianyang diteliti. Hal ini dilakukan untuk memudahkan
peneliti dalam pemindahan transkrip kedalam coding. Setelah itu dilakukan pembuatan buku
coding yang berisi keterangan informan yang telah diinisialkan. Buku coding ini juga berisi
tentang pengelompokkan tiap fokus penelitian.
4. Analisis Kategori jawaban sesuai dengan tema peneliti. Kegiatan analisis ini menggunakan
buku coding yang telah dibuat. Buku coding ini telah mengelompokkan tiap bagian fokus
penelitian. Tiap fokus penelitian ini nantinya akan dibahas dan dianalisis berdasarkan
kesesuaian dengan teori dan referensi yang digunakan.

4.8 Teknik Keabsahan Data (Triangulasi)


Triangulasi adalah suatu metode yang digunakan untuk melihat dan menguji validitas
dari hasil wawancara yang ia dapatkan. Terdapat tiga jenis triangulasi yaitu sumber, Teknik dan
waktu (Wibowo, 2014). Penelitian ini menggunakan triangulasi sumber, yakni dengan
menanyakan informasi yang didapatkan seperti kebenaran kegiatan yang dilakukan di sekolah
seperti penyuluhan, kader anti adiksi game online, sidak dan tes kecanduan game online kepada
pihak terkait yang disebutkan ketika wawancara seperti Dinas kesehatan dan Dinas pendidikan.
BAB V
HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Informan


5.2 Predisposing Factor
5.3 Enabling Factor
5.4 Reinforcing Factor
5.5 Strategi Promosi Kesehatan
5.5.1 Advokasi
DAFTAR PUSTAKA

Ammar, E. N. and Nurmala, I. (2020) ‘Analisis Faktor Sosio-Kultural terhadap Dimensi Body
Image pada Remaja’, Journal of Health Science and Prevention, 4(1), pp. 23–31. doi:
10.29080/jhsp.v4i1.255.
Anand, N. et al. (2018) ‘Internet use behaviors, internet addiction and psychological distress
among medical college students: A multi centre study from South India’, Asian Journal of
Psychiatry. Elsevier B.V., 37, pp. 71–77. doi: 10.1016/j.ajp.2018.07.020.
Andreassen, C. S. et al. (2016) ‘The relationship between addictive use of social media and
video games and symptoms of psychiatric disorders: A large-scale cross-sectional study’,
Psychology of Addictive Behaviors. Educational Publishing Foundation, 30(2), pp. 252–262.
doi: 10.1037/adb0000160.
Apriyanti, M. F. (2015) ‘Perilaku Agresif Remaja Yang Gemar Bermain Game Online (Studi
Kasus Di Kelurahan Ngagel Rejo Kecamatan Wonokromo Surabaya)’.
Asosiasi Penyedia Jaringan Internet Indonesia (2018) ‘Laporan Survei Internet APJII 2017-
2018’, Apjii. Available at: www.apjii.or.id.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2016) ‘Laporan Survei Internet APJII 2016-
2017’, Journal of Chemical Information and Modeling. Available at:
https://apjii.or.id/survei.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (2020) ‘Laporan Survei Internet APJII 2019 –
2020’, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, pp. 1–146. Available at:
https://apjii.or.id/survei.
Choi, K, & Gwak, H. (2009) ‘Internet Overuse and Excess Daytime Sleepiness in Adolecents’,
Psychiatric and Clinical Neurosciences, 63, pp. 455–462.
Carras, M. C., Carras, M. and Labrique, A. B. (2020) ‘Stakeholders’ consensus on strategies for
self-and other-regulation of video game play: A mixed methods study’, International
Journal of Environmental Research and Public Health, 17(11), pp. 1–14. doi:
10.3390/ijerph17113846.
David, B. & Wiemer-Hasting, P. (2005) ‘Addiction to the Internet and Online Gaming’, Cyber
Psychology and Behaviour, 8, pp. 110–113.
Fajri, C. (2012) ‘Tantangan Industri Kreatif-Game Online di Indonesia’, Jurnal ASPIKOM, 1(5),
p. 443. doi: 10.24329/aspikom.v1i5.47.
Fuadi, A. R. (2016) ‘Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kecanduan Game Online Pada
Remaja Di Warnet Cross Ploso Baru Surabaya’.
Heryana, A. (2018) ‘Informan dan Pemilihan Informan pada Penelitian Kualitatif’, Informan dan
Pemilihan Informan pada Penelitian Kualitatif, 25(December), pp. 1–14.
Kim, D. H, Jeong, E. U. (2010) ‘Preventive Role of Parents in Adolescent Problematic Internet
Game Use in Korea’, Korean Journal of sociology.
Lee, E. J. (2011) ‘Acase Study of Internet Game Addiction’, Journal of Addiction Nursing.
Lemmens, J. S., Valkenburg, P. M., Peter, J. (2009) ‘Development and validation of a game
addiction scale for adolescents’, Media Psychology.
Lin, C.-Y. et al. (2021) ‘Internet gaming disorder, psychological distress, and insomnia in
adolescent students and their siblings: An actor-partner interdependence model approach’,
Addictive Behaviors Reports. Elsevier Ltd, 13. doi: 10.1016/j.abrep.2020.100332.
Al mubarok, D. F. al dien and Soedirham, O. (2021) ‘Gambaran Faktor Perilaku Bermain Game
Online Pada Remaja’, Preventif : Jurnal Kesehatan Masyarakat, 12(1), pp. 87–99. doi:
10.22487/preventif.v12i1.185.
Nungdyasti, D. R. (2019) ‘Pengelolaan Diri (Self-Management) Untuk Mengurangi Kecanduan
Game Online Siswa Kelas VIII Di Smp Negeri 2 Sidoarjo’, Bimbingan Dan Konseling, pp.
45–54.
Nursalam (2005) Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta: Salemba Medika.
Pratiwi, P. C. et al. (2012) ‘Perilaku Adiksi Game-online Ditinjau dari Efikasi Diri Akademik
dan Keterampilan Sosial pada Remaja di Surakarta’, Jurnal Ilmiah Psikologi Candrajiwa,
1(2), pp. 1–15. Available at:
http://candrajiwa.psikologi.fk.uns.ac.id/index.php/candrajiwa/article/view/27/17.
Primartantyo, U. (2012) ‘Kecanduan Game Online, Anak Bisa Kriminal’, July.
Prochaska, J. O. and Velicer, W. F. (1997) ‘The transtheoretical model of health behavior
change’, American Journal of Health Promotion, 12(1), pp. 38–48. doi: 10.4278/0890-1171-
12.1.38.
Purwaningsih, E. and Nurmala, I. (2021) ‘The Impact of Online Game Addiction on Adolescent
Mental Health : A Systematic Review and Meta-analysis’, 9, pp. 260–274. doi:
https://doi.org/10.3889/oamjms.2021.6234.
Rahmawati, J. D. W. (2013) ‘Pengaruh Kompetensi Dan Independensi Terhadap Kualitas Audit’.
Sanditaria, W. (2012) ‘Adiksi Bermain Game Online Pada Anak Usia Sekolah Di Warung
Internet Penyedia Game Online Jatinangor Sumedang’.
Saputra Adhitya M. dan Sary Noni M. (2013) ‘Konseling Model Transteoritik dalam Perubahan
Perilaku Merokok pada Remaja Counseling with the Transtheoritical Model in Changing
Smoking Behavioral among Adolescents’, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8(4), pp.
152–157. Available at: https://media.neliti.com/media/publications/39540-ID-konseling-
model-transteoritik-dalam-perubahan-perilaku-merokok-pada-remaja.pdf.
Sharma Manoj and Romas John A. (2012) Book Review: Theoretical Foundations of Health
Education and Health Promotion. Second Edi, Perspectives in Public Health. Second Edi.
USA: Jones & Bartlett Learning, LLC. doi: 10.1177/1757913917722747.
Suranto, A. (2011) Komunikasi Interpersonal. Pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Yee, N. (2006) ‘The demographics, motivations, and derived experiences of users of massively
multi-user online graphical environments’, Presence: Teleoperators and Virtual
Environments, 15(3), pp. 309–329. doi: 10.1162/pres.15.3.309.
Yudha, W. (2015) ‘Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak Pecandu Game Online (Studi
Kasus Game Online Let’s Get Rich di SMA Muhammadiyah 25 Pamulang Tangerang
Selatan)’.

https://www.kominfo.go.id/content/detail/36342/meningkatkan-literasi-digital-memanfaatkan-
internet-lebih-produktif/0/artikel
https://www.jawapos.com/surabaya/11/05/2021/bocah-smp-bakar-rumah-tetangga-di-sidoarjo-
ini-kata-psikolog/
https://www.cnbcindonesia.com/tech/20190415121301-37-66756/beda-fokus-sandiaga-dan-
jokowi-kembangkan-game-online
https://news.detik.com/abc-australia/d-4776565/china-terapkan-aturan-ini-untuk-atasi-
kecanduan-game-online-pada-anak-anak
https://www.medcom.id/teknologi/game/GNG7GyjN-pemerintah-di-korea-selatan-izinkan-anak-
begadang-main-game
Adams, E. & Rollings, A., 2010. Fundamentals of game design Edisi Kedu., Barkeley, CA: New
Riders.
Adiyanti, M.G., 1985. Perkembangan Kelekatan Anak. Universitas Gajah Mada.
Agustiani, H., 2009. Psikologi Perkembangan (Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep
Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja), Bandung: PT Refika Aditama.
APJII, 2014. Profil pengguna internet indonesia 2014 P. UI, ed., Jakarta: Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Available at:
https://www.apjii.or.id/content/read/39/27/PROFIL-PENGGUNA-INTERNET-
INDONESIA-2014.
Apriyanti, M.F., 2015. Perilaku Agresif Remaja Yang Gemar Bermain Game Online (Studi
Kasus Di Kelurahan Ngagel Rejo Kecamatan Wonokromo Surabaya). Available at:
elib.unikom.ac.id/download.php?id=170958.
Arikunto, S., 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Ed Revisi., Jakarta: Rineka
Cipta.
Artanti, A., 2013. Hubungan Interaksi Ibu-Anak Dan Kedisiplinan Di Taman Kanak-Kanak
Kelurahan Mungkid, Mungkid, Magelang. Available at:
eprints.uny.ac.id/15094/1/SKRIPSI.pdf.
Choi, K, & Gwak, H., 2009. Internet Overuse and Excess Daytime Sleepiness in Adolecents.
Psychiatric and Clinical Neurosciences, 63, pp.455–462.
David, B. & Wiemer-Hasting, P., 2005. Addiction to the Internet and Online Gaming. Cyber
Psychology and Behaviour, 8, pp.110–113. Available at:
worldsofeducation.pbworks.com/f/addiction.pdf.
Efendi, F.& M., 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori dan Praktik dalam
Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika.
Efendi, N.A., 2014. Faktor Penyebab Bermain Game Online Dan Dampak Negatifnya Bagi
Pelajar.
Feprinca, D., 2015. Hubungan Motivasi Bermain Game Online pada Masa Dewasa Awal
terhadap Perilaku Kecanduan Game Online Defence of the Ancients (DotA2) (skripsi-
dipublikasikan). Malang: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya.
Freeman, C.B., 2008. Internet Gaming Addiction. Journal for Nurse Practitioners, Vol. 4,
pp.42–47.
Fuadi, A.R., 2016. Hubungan Pola Asuh Orang Tua Dengan Kecanduan Game Online Pada
Remaja Di Warnet Cross Ploso Baru Surabaya.
Green, C & Bavelier, D., 2004. The Cognitive Neuroscience of Video Game, Digital Media:
Transformations in Human Communication, Messaris & Humphreys.
Green & Kreuter. (2005). Promosi Kesehatan. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan.
Haditono, S R, D., 1994. Psikologi Perkembangan Pengantar dalam Berbagai Bagiannya,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Hurlock, E.B., 2000. Psikologi Perkembangan, Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E.B., 1997. Psikologi Perkembangan Suatu pendekatan rentang kehidupan Kelima.,
Jakarta: Erlangga.
Hurlock, E.B., 1980. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan
Kelima., Jakarta: Erlangga.
Imanuel, N., 2009. Gambaran profil kepribadian pada Remaja yang Kecanduan Game Online
dan yang Tidak Kecanduan Game Online (skripsi-dipublikasikan). Depok: Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Internetlivestats.com, 2016. internetlivestats.com. Available at:
http://www.internetlivestats.com/.
Izzaty, R.E., 2005. Mengenali Permasalahan Perkembangan Anak Usia TK, Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional.
Kim, D. H, Jeong, E.U., 2010. Preventive Role of Parents in Adolescent Problematic Internet
Game Use in Korea. Korean Journal of sociology.
Kusumadewi, T., 2009. Hubungan Kecanduan Game Online dengan Perilaku Sosial pada
Remaja (skripsi-dipublikasikan). Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Lee, E.J., 2011. Acase Study of Internet Game Addiction. Journal of Addiction Nursing.
Available at: lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20313849-S42570-Huungan kecanduan.pdf.
Lemmens, J. S., Valkenburg, P. M., Peter, J., 2009. Development and validation of a game
addiction scale for adolescents. Media Psychology. Available at:
http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/15213260802669458.
Lestari, Sri & Asyanti, S., 2009. Area Konflik Remaja Awal Dengan Orang Tua: Studi
Kuantitatif Pada Keluarga Di Surakarta. Available at:
https://publikasiilmiah.ums.ac.id/bitstream/handle/.../3. SRI LESTARI.pdf?...1.
Lestari, S., 2012. Psikologi Keluarga (Peneneman Nilai dan Penaganan Konflik Dalam
Keluarga, Jakarta: Kencana Prenada.
Mc Cartney, K. & Dearing, E., (Ed), 2002. Child Development, USA: Mc Millan Refference.
Mubarak, D., 2009. Ilmu Kesehatan Masyarakat., Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam, 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak, Jakarta: Salemba Medika.
Nursalam, 2013. Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Edisi 4. P. P. Lestari, ed., Jakarta:
Salemba Medika.
Pratiwi, P. christy, 2012. Perilaku Adiksi Game Online ditinjau dari Eikasi Diri Akademik dan
Keterampilan Sosial pada Remaja di Surakarta. Available at:
http://candrajiwa.psikologi.fk.uns.ac.id/index.php/candrajiwa/article/view/27/17.
Primartantyo, U., 2012. Kecanduan Game Online, Anak Bisa Kriminal. Available at:
https://m.tempo.co/read/news/2012/07/01/108414065/kecanduan-game-online-anak-bisa-
kriminal.
Rahmawati, J.D.W., 2013. Pengaruh Kompetensi Dan Independensi Terhadap Kualitas Audit.
Available at: http://jimfeb.ub.ac.id/index.php/jimfeb/article/view/304/0.
Rini, A., 2011. Menanggulangi Kecanduan Game On-Line pada Anak, Jakarta: Pustaka Mina.
Saleh, A., 2013. Interaksi Sektor Informal (PKL) dengan Sektor Formal di Pusat Kota
Tasikmalaya. Universitas Gajah Mada.
Sanditaria, W., 2012. Adiksi Bermain Game Online Pada Anak Usia Sekolah Di Warung Internet
Penyedia Game Online Jatinangor Sumedang.
Santrock, J.., 2003. Adolescence Perkembangan Remaja keenam. Al. W. C. Kristiadji, ed.,
Jakarta: Erlangga.
Setiadi, 2008. Keperawatan Keluarga, Jakarta: EGC.
Setiawati, 2008. Proses pembelajaran dalam pendidikan kesehatan, Jakarta: TIM.
Slameto, 2006. Belajar Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Suranto, A., 2011. Komunikasi Interpersonal Pertama., Yogyakarta: Graha Ilmu.
Syaodih, E., 2005. Bimbingan Taman Kanak-kanak, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Theresia, 2012. Hubungan Kecanduan Game Online dengan Prestasi Akademik pada Mahasiswa
(skripsi-dipublikasikan). Depok: Fakultas Keperawatan Universitas Indonesia.
Walgito, B., 2003. Psikologi Sosial, Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Wan, C.S. & Chiou, W.B., 2007. Why are Adolescents Addicted to Online Gaming, an Interview
Study in Taiwan. Cyberpsychology & behavior.
Wong, Donna L, D., 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Volume 2., Jakarta: EGC.
Yee, N., 2006. The demographics, motivations and derived experiences of users of massively-
multiuser online graphical environments 15th ed., Presence: Teleoperators and Virtual
Environtments.
Young, K. S, N. de A., 2011. Internet Addiction: A Handbook and Guide to Evaluation and
Treatment, New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Young, Kimberly S, dan Rogers, R.., 1998. The Relationship between Depression and Internet
Addiction. CyberPsychology and Behavior.
Yudha, W., 2015. Pola Komunikasi Orang Tua dengan Anak Pecandu Game Online (Studi
Kasus Game Online Let’s Get Rich di SMA Muhammadiyah 25 Pamulang Tangerang
Selatan).
https://id.wikipedia.org/wiki/Regulasi
Coglianese, C. (2012) ‘Measuring Regulatory Performance’, (1). Available at:
https://www.oecd.org/regreform/regulatory-policy/1_coglianese web.pdf.
LAMPIRAN

LAMPIRAN 1
Penjelasan Sebelum Penelitian (PSP)

1. Judul Penelitian
Analisis Regulasi Promosi Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan Adiksi Game Online Pada
Remaja Di SMP Kabupaten Sidoarjo .
2. Latar belakang penelitian
Banyaknya hasil penelitian terkait dampak adiksi game online terhadap kesehatan mental
remaja di negara-negara didunia termasuk Indonesia. Fungsi rekreasi dari game online, game
online yang berlebihan dan berkepanjangan terbukti terkait dengan efek yang merugikan seperti
tindakan kriminalitas, termasuk performa akademis yang buruk, kesejahteraan yang rendah, dan
rasa kesepian yang tinggi, serta kurangnya hubungan di kehidupan nyata. Lebih serius dan
spesifik, pemain game online pada akhirnya dapat mengembangkan IGD, yang telah diberi label
sebagai syarat untuk penyelidikan lebih lanjut dalam Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan
Mental (DSM-5) dan diakui sebagai kondisi kesehatan mental baru oleh Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) ke-11, edisi Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD-11). Siswa dari sekolah
menengah, sekolah menengah teknik, sekolah teknik, dan sekolah menengah pertama merupakan
mayoritas (55%) dari pemain game online China, perhatian penelitian lebih lanjut harus
ditujukan untuk mengurangi risiko IGD di sekolah (Purwaningsih and Nurmala, 2021). Di daerah
penelitian yaitu Kecamatan Candi telah terjadi kasus kriminalitas oleh remaja yang duduk
dibangku SMP, bocah tersebut telah membakar rumah tetangganya. Menurut penyelidikan polisi
penyebab bocah ini membakar rumah tetangga karena hendak mencuri untuk membeli top up
game online namun karena kesal tidak menemukan uang akhirnya membakar rumah tetangganya
tersebut.
3. Tujuan Penelitian
Identifikasi adanya regulasi/ peraturan terkait Promosi kesehatan pencegahan adiksi game
online pada remaja di SMP Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo
4. Perlakuan yang Diterapkan Pada Informan
Informan di SMP daerah Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo akan diberikan perlakuan
oleh peneliti berupa:
a. membrikan lembar kuesioner mengenai identitas, Penjelasan sebelum penelitian, dan
Pemberian Informed Consent.
b. Informan diwawancara terkait regulasi / peraturan promosi kesehatan pencegahan adiksi
game online pada remaja dengan waktu kurang lebih 60 menit
c. Melakukan observasi dilingkungan sekitar.
5. Manfaat untuk Informan
Setelah penelitian ini, pekerja dapat mengetahui tentang gambaran bahaya adiksi game online
secara umum serta bentuk peraturan/ regulasi terkait promosi kesehatan pencegahan adiksi
game online yang dapat diaplikasikan di sekolah sebagai upaya pencegahan adiksi game
online pada remaja.
6. Bahaya Potensial
Tidak ada bahaya yang akan dialami oleh informan karena peneliti menjamin kerahasiaan data
yang diterima dari informan. Data akan bersifat Anonim dan hanya digunakan sebagai
kebutuhan penelitian.
7. Hak Undur Diri
Selama penelitian berlangsung informan memiliki hak untuk mengundurkan diri dalam
penelitian ini jika merasa tidak berkenan mengikuti penelitian ini dan tidak akan dituntut
untuk ganti rugi dalam bentuk apapun.
8. Adanya Insentif untuk Subjek
Pekerja yang berpartisipasi dalam penelitian ini akan mendapatkan souvenir dari penelitian
berupa leaflet
9.Tindak Lanjut Setelah Penelitian
Setelah data primer diperoleh dari hasil wawancara dan observasi kemudian diolah serta
dilakukan analisis maka selanjutnya akan digunakan sebagai umpan balik bagi sekolah
tersebut.

Kontak Peneliti:
Nama : Eni Purwaningsih
Alamat : Perum Pesona Sekar Gading Blok U no 1, Sekardangan. Kec. Sidoarjo, Kab.
Sidoarjo.
No. HP : 081232840515

Demikian penjelasan yang perlu saya sampaikan dan harus dipahami sebelum menjadi responden
dalam penelitian ini. Atas perhatiannya saya ucapkan terimakasih.

Sidoarjo, 1 November 2021

Peneliti

Eni Purwaningsih
NIM. 102014153016
LAMPIRAN 2
PERSETUJUAN TERTULIS SETELAH PENJELASAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama :
Usia :
Jenis Kelamin :
Sekolah :
No. Telp/ HP :
Telah mendapatkan penjelasan secara rinci dan jelas mengenai
1. Penelitian yang berjudul Analisis Regulasi Promosi Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan
Adiksi Game Online Pada Remaja Di SMP Kabupaten Sidoarjo.
2. Latar Belakang Penelitian.
3. Tujuan Penelitian
4. Perlakuan yang diterapkan kepada subjek.
5. Manfaat untuk informan.
6. Bahaya Potensial.
7. Hak untuk mengundurkan diri.
8. Adanya insentif dan jenis insentif yang diberikan.
9. Tindak lanjut Setelah Penelitian.
Dan dengan ini saya mendapat kesempatan mengajukan pertanyaan mengenai segala sesuatu
yang berhubungan dengan penelitian tersebut. Oleh karena itu saya bersedia/ tidak bersedia *)
secara sukarela untuk menjadi subjek penelitian tersebut dengan penuh kesadaran serta tanpa
adanya keterpaksaan.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya tanpa adanya paksaan dari pihak
manapun.
Sidoarjo,...November 2021

Peneliti Responden

Eni Purwaningsih ( )

Saksi,

( )
LAMPIRAN 3
Identitas Informan

Analisis Regulasi Promosi Kesehatan Sebagai Upaya Pencegahan Adiksi Game Online Pada
Remaja Di SMP Kabupaten Sidoarjo.
Identitas Informan
No. :
Tanggal wawancara :
Nama Informan :
Jenis Kelamin :
Usia :
Divisi Pekerjaan :

Terima kasih telah mengisi identitas dengan lengkap pada lembar wawancara ini.
LAMPIRAN 5
PANDUAN WAWANCARA (Informan Utama)

1. Adakah peraturan/ regulasi terkait promosi kesehatan pencegahan adiksi game online
disekolah ini?
2. Jika ada, bagaimana bentuknya dan bagaimana Proses pembuatan kebijakan tersebut?
3. Adakah kebijakan lain selain peraturan tentang upaya pencegahan adiksi game online?
4. Jika ada,
a. Siapa pembuat kebijakan tersebut?
b. Kepada siapa kebijakan tersebut ditujukan?
c. Bagaimana proses pembuatan kebijakan tersebut?
d. Sejak kapan kebijakan tersebut dibuat?
5. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh sekolah untuk siswa sebagai pendukung upaya
pencegahan adiksi game online?
6. Kegiatan apa saja yang dilakukan oleh sekolah untuk guru atau warga sekolah lainnya sebagai
pendukung upaya pencegahan adiksi game online?
7. Bagaimana proses pelaksanaan kegiatan tersebut?
8. Bagaimana dukungan sekolah terhadap upaya pencegahan adiksi game online?
a. Tenaga
b. Materi
c. Sarana prasarana
9. Adakah dukungan pencegahan adiksi game online dari pihak luar untuk sekolah?
10. Jika ada, darimana saja dan bagaimana bentuknya?
LAMPIRAN 5
Panduan Wawancara (Informan Kunci)

1. Kegiatan apa saja yang pernah dilakukan disekolah?


2. Siapa saja yang mengadakan kegiatan tersebut?
3. Bagaimana kegiatan tersebut dilakukan?
4. Bagaimana dukungan sekolah terhadap peraturan/ regulasi terkait kegiatan promosi kesehatan
pencegahan adiksi game online?
5. Fasilitas apa saja yang diberikan sekolah?
LAMPIRAN 6
Sertifikat Etik
LAMPIRAN 7
Surat Penelitian
LAMPIRAN 8
Dokumentasi Penelitian

Anda mungkin juga menyukai