Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kemajuan teknologi yang semakin pesat dalam beberapa tahun ini

menyebabkan peningkatan dalam penggunaan internet. Penggunaan internet

menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat dan diakui sebagai

bagian penting dari kehidupan modern, hingga bulan Juni 2019, ada lebih dari

4,5 miliar pengguna internet di seluruh dunia, dan tingkat penetrasi internet

mencapai 58,8% (Internet World Stats, 2019). Mone et al., (2020)

menyatakan bahwa persentase kecanduan game online sebanyak 55,8%. Di

Indonesia, dari 82 juta orang yang menggunakan smartphone, sebanyak 52

juta orang memainkan game online. Hal tersebut menjadikan Indonesia

menempati urutan ke-17 pengguna game online di dunia dan terbanyak

berada pada usia remaja (Novrialdy, 2019).

Sejak kemunculannya, game online menjadi sangat populer dan

mudah untuk diakses. Game online dapat dimainkan di berbagai platform,

seperti komputer pribadi (PC), konsol game (alat khusus untuk bermain

game) dan smartphone. Saat ini, game online seperti Mobile Legend (ML),

Arena of Valor (AoV), Clash of Clans (CoC), Fortnite, Dota 2, Domino’s

Higgs dan Player Unknown’s Battle Ground (PUBG) merupakan kegiatan

rekreasi yang paling luas terlepas dari budaya, usia, dan jenis kelamin (Király

et al., 2014). WHO (2018) mengkategorikan kecanduan game online sebagai


golongan penyakit mental yang disebut gaming disorder yang sudah tercatat

dalam daftar International Classification of Diseases (ICD) 11th.

Seok et al., (2018) menemukan bahwa motivasi untuk bermain game

pada remaja karena meniru keluarga dan teman, sendirian dirumah, dan

adanya izin dari orang tua atau anggota keluarga lainnya. Bermain game

online dianggap sebagai hal yang menyenangkan, cara untuk menghilangkan

stres serta cara yang bagus untuk menghabiskan waktu. Seseorang yang

kecanduan game online menimbulkan dampak negatif berupa keluhan secara

fisik dan perubahan struktur serta fungsi otak. Gangguan pada bagian otak

mengakibatkan seseorang yang mengalami kecanduan kehilangan beberapa

kemampuan/fungsi otaknya, seperti fungsi atensi (kemampuan memusatkan

perhatian terhadap sesuatu), fungsi eksekusi (kemampuan merencanakan dan

melakukan tindakan), dan fungsi inhibisi (kemampuan untuk membatasi)

(Kemenkes, 2018).

Remaja yang kecanduan game online dapat mengembangkan hubungan

negatif dengan orang tua mereka di rumah, dan lebih khusus lagi, kurangnya

komunikasi dengan orang tua mereka, serta kurangnya keterikatan (kohesif)

(Jang & Ryu, 2016). Kebanyakan bermain game menyebabkan remaja

mempunyai perilaku bermain game yang tidak terkendali, lebih menunjukkan

minat pada dunia game daripada kehidupan nyata sehari-hari dimana mereka

akan menghabiskan lebih banyak waktu untuk memikirkan game (Seok et al.,

2018); penyesuaian sosial buruk (Utami, & Hodikoh, 2020); penurunan

kemampuan penyesuaian diri (Mone et al., 2020); social intelligence, love,

dan self-regulation rendah (Apriani et al., 2020); menarik diri, mengabaikan


tugas sekolah, kehilangan kendali diri, mengalami konflik keluarga dan

miskomunikasi (Seok et al., 2018).

Hasil penelitian Cheung et al., (2018) menunjukkan bahwa

kecanduan game online bisa mengakibatkan perilaku agresif. Rondo et al.,

(2019) melaporkan kecanduan game online dapat menyebabkan perilaku

agresif pada siswa akibat pengaruh aktivitas bermain game dengan konten

kekerasan seperti Free Fire, PUBG, dan Mobile Legends. Perilaku agresif

yang terjadi antara lain kekerasan fisik yaitu sering memukul teman jika

kesal. Selain agresif fisik, remaja juga menunjukan agresif verbal seperti

mengeluarkan kata-kata kotor, kata-kata kasar, dan makian. Trimawati &

Wakhid (2020) menemukan semakin tinggi kecanduan game online maka

kemungkinan terjadinya perilaku agresif juga meningkat.

Gentile menyatakan bahwa pemain game online yang menunjukkan

perilaku agresif rata-rata menghabiskan waktu 16,4 jam per minggu bagi

individu pria dan 9 jam per minggu bagi individu Wanita (Setiawati &

Gunado, 2019). Tingkat intensitas bermain yang tinggi ini dapat

mempengaruhi timbulnya perilaku agresif karena sering mengalami

kegagalan dalam mencapai tujuan permainan dan sering mengalami

kekalahan, yang pada gilirannya dapat menyebabkan rasa frustasi dan

munculnya perilaku agresif baik secara lisan maupun non-verbal dari para

pemain (Isnaini, et al., 2021). Dalam suatu studi, terungkap bahwa dari 142

remaja yang mengalami kecanduan bermain game online, terdapat 6 remaja

(4,2%) yang menunjukkan tingkat agresivitas yang tinggi, 67 remaja (45,3%)

dengan tingkat agresivitas sedang, dan 69 remaja (46,6%) dengan tingkat


agresivitas rendah (Trimawarti & Wakhid, 2020). Selain itu, dalam penelitian

tahun 2020, sebanyak 69,4% anak yang terlibat dalam permainan game online

menunjukkan perilaku agresif, di mana 52,8% dari mereka menunjukkan

perilaku agresif secara lisan (Safari & Mulya, 2020). Perilaku agresif yang

ditunjukkan oleh siswa yang kecanduan bermain game online dapat meliputi

perilaku agresif non-verbal, seperti tindakan fisik seperti memukul teman atau

terlibat dalam perkelahian, serta kurangnya kemampuan untuk

mengendalikan dorongan untuk bertindak kekerasan. Selain itu, perilaku

agresif juga dapat bersifat verbal, seperti menggunakan kata-kata kasar dalam

bahasa sehari-hari (Rondo, Wungouw, & Onibala, 2019).

Survei Entertaiment Software Association (ESA) tahun 2021

menyatakan bahwa saat ini, hampir 227 juta orang Amerika bermain video

game online, 76% dimainkan oleh anak berusia dibawah 18 tahun dan

sebagian besar dimainkan oleh anak berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak

55%. Sebanyak 80% anak usia 18- 34 tahun, dengan rentan waktu lebih dari 3

jam untuk melakukan aktivitas game online setiap minggunya.

Berdasarkan data yang dirilis Sukirno (2020) melalui Aline.id, jumlah

pemain game online tahun 2020 diprediksi naik dari 23,7 juta orang pada

tahun 2019 menjadi 28,1 juta orang pada tahun 2020. Sementara data yang

ditulis oleh Vika Azkiya Dihni (Januari 2022) melalui We Are Social, Filipina

berada pada urutan pertama di dunia dengan persentase pengguna internet

bermain video game sebesar 96,4% atau 964.000.000 orang. Indonesia

menjadi urutan ke-tiga didunia dengan peresentase pengguna internet bermain

video game sebesar 94,5% atau 263.420.981 orang. Di Indonesia remaja usia
15-18 tahun yang mengalami kecanduan game online sebesar 77,5% atau

887.003 remaja putra dan 22,5% atau 241.989 remaja putri (Gurusinga,

2021). Sementara menurut data yang diungkapkan Michael (2021) melalui

merdeka.com, dilihat dari esport (sebuah kompetisi game), sekitar 58% atau

12.876.174 orang berasal dari anak muda berusia dibawah 18 tahun.

Hasil penelitian Azwar & Mailindawati (2020) juga menemukan

bahwa bermain esport games secara terus menurus akan banyak

menghabiskan waktu dan apabila kalah, dia akan tergiur untuk terus bermain,

tingkat emosional tidak terkendali, apabila orang tua menyuruh untuk

berhenti dan mengerjakan pekerjaan rumah, dia akan terburu-buru dan mudah

emosi, apalagi bila diganggu oleh keluarga yang lain. Remaja yang

kecanduan game online, emosinya tidak terkendali, mudah marah,

tersinggung, serta emosi yang meledakledak terhadap keluarga, teman dan

sekitarnya.

Seseorang yang megalami kecanduan game online tidak bisa

menentukan prioritas dalam hidupnya, ia juga tidak bisa mengontrol

kebiasaan bermain game online yang dimilikinya. Ini berkaitan dengan

regulasi diri yang buruk. Regulasi diri atau self regulation adalah kemampuan

seseorang dalam mengendalikan emosi. Ketika perkembangan fisik, kognitif

dan pengendalian emosi serta sosialisasi seseorang baik, maka orang tersebut

dapat mengendalikan dirinya dengan baik. (Prasetiani & Setianingrum, 2020).

Kecanduan game online sendiri sudah dikategorikan sebagai gangguan

mental oleh World Health Organization dan sebagai bagian dari International

Classification of Diseases (ICD-11). (Novrialdy, 2019).


Menurut World Health Organization (2022) terdapat 300 juta orang di

seluruh dunia mengalami gangguan jiwa seperti depresi, bipolar, demensia,

termasuk 24 juta orang yang mengalami skizofrenia. Data Riskesdas (riset

kesehatan dasar) 2018 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional

yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan untuk usia 15

tahun ke atas mencapai sekitar 6,1% dari jumlah penduduk Indonesia atau

setara dengan 11 juta orang. Di Provinsi Kalimantan Selatan prevalensi

gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi

dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 7,78% dan di

Kota Banjarbaru dan sekitarnya sekitar 1,85%. Setiawati dan Gunado (2019)

menjelaskan perilaku agresif yang muncul pada remaja yang berusia 12-18

tahun yang bermain game online mencapai perilaku agresif yang

memprihatinkan.

Jadi bedasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk

melakukan suatu penelitian pada siswa/i SMAN 1 Martapura untuk

mengetahui lebih jauh adanya pengaruh bermain game online dengan mental

emosional pada remaja. Dengan judul penelitian sebagai berikut: “Pengaruh

Bermain Game Online Terhadap Mental Emosional Pada Remaja Di SMAN 1

Martapura”.

B. Rumusan Masalah

Beradasarkan masalah tersebut, maka penulis merumuskan masalah

sebagai berikut “Apakah terdapat Pengaruh Bermain Game Online Terhadap

Mental Emosional Pada Remaja Di SMAN 1 Martapura”.


C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan peneliti diatas

maka tujuan dari penelitian ini adalah bertujuan untuk mengetauhi apakah ada

Pengaruh Bermain Game Online Terhadap Mental Emosional Pada Remaja

Di SMAN 1 Martapura.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris

sebagai sumber pengetahuan ilmiah mengenai pengaruh game online.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para

pembaca khususnya remaja yang sedang kecanduan game online dan bagi

jurusan penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk

melihat pengaruh bermain game online terhadap mental emosional remaja.


BAB II

LANDASAN TEORI

A. Game Online

1. Pengertian Game Online

Game online merupakan suatu bentuk permainan elektronik

yang terhubung dengan jaringan internet dan dimainkan melalui

perangkat komputer, ponsel pintar, konsol game, laptop, dan perangkat

game lainnya serta bersifat multiplayer atau dapat dimainkan oleh banyak

pengguna diwaktu yang sama (Akbar, 2020).

Game online merupakan suatu sarana hiburan yang sering

digunakan oleh para remaja. Penggunaan yang berlebihan terhadap game

online ini dapat menyebabkan para penggunanya mengalami kecanduan

game online. Remaja yang mengalami kecanduan dalam bermain game

onlineakan menggunakan waktunya untuk bermain, sehingga mereka

melupakan aktivitas istirahat dan tidur.

Game online adalah suatu aktivitas permainan yang dilakukan

dalam dunia virtual, sebagai upaya pencapaian tujuan memperoleh

kemenangan dalam setiap misi yang akan dicapai dalam permainan

tersebut (Winarni, 2020). Khoiriyah (2018) menyatakan Game online

adalah sejenis permainan yang dapat dimainkan apabila memiliki

jaringan internet (Khoiriyah, 2018; Janttakan, 2020).


Game online menurut (Andri dkk, 2018) adalah game atau

permainan dimana banyak orang yang dapat bermain pada waktu yang

sama dengan melalui jaringan komunikasi online. Selanjutnya Winn dan

Fisher dalam Andri mengatakan multiplayer online game merupakan

pengembangan dari game yang dimainkan satu orang, dalam bagian yang

besar, menggunakan bentuk yang sama dan metode yang sama serta

melibatkan konsep umum yang sama seperti semua game lain

perbedaannya adalah bahwa untuk multiplayer game dapat dimainkan

oleh banyak orang dalam waktu yang sama. Game online didefinisikan

menurut Burhan dalam Andri sebagai game komputer yang dimainkan

oleh multi pemain melalui internet.

Menurut (Arif dkk, 2022) game online merupakan salah satu

bentuk permainan yang dihubungkan melalui jaringan internet. Game

online tidak terbatas pada perangkat yang digunakan, game

onlinebisa dimainkan melalui komputer, laptop, dan diperangkat

lainnya, asal gadget tersebut terhubung dengan jaringan internet.

Menurut pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

game online adalah sebuah permainan yang dapat dimainkan dengan

bantuan jaringan internet dan bisa dimainkan dimana saja.

2. Jenis-jenis Game Online

Game online dapat dikelompokkan berdasarkan genre

yaitu MMORPG (Massively Multiplayer Online Role Playing Game),

MMORTS (Massively Multiplayer Online Real Time Strategy),

MMOFPS (Massively Multiplayer Online First Person Shooter), dan lain


sebagainya. Berikut penjelasan dari masing-masing jenis game online

menurut (Ramadhani, 2019):

1. MMORPG (Massively Multiplayer Online Role Playing Game)

Yaitu jenis game onlineyang dimana cara bermainnya

memerankan suatu karakter fiksi dan harus berinteraksi sosial seperti

di dunia nyata yang bertujuan membangun sebuah alur cerita yang

sudah ditentukan. Biasanya setiap karakter mempunyai

kemampuan berbeda dan cara meningkatkan kemampuan tesebut

pemain harus melakukan banyak misi Contoh game online

MMORPG ialah Ragnarok Online, Final Fantasy, Assassin Creed,

Gashin Impact, dan lain-lain.

2. MMORTS (Massively Multiplayer Online Real Time Strategy)

Berbeda dengan MMORPG, game online dengan genre ini

mengharuskan para pemainnya ahli dalam bidang strategi perang.

Hal yang menonjol dari permainan ini adalah pemain diberikan

sebuah wilayah dimana mereka harus mengolah dan membangun

bangunan, memperkuat teknologi, serta pengolahan sumber daya

alam di wilayah tersebut sebaik mungkin agar dapat bertahan dari

serangan musuh. Contoh game online MMORTS adalah WarCraft,

Red Alert, Age of Empires, dan lain sebagainya.

3. MMOFPS (Massively Multiplayer Online First Person Shooter)

Game online ini mengambil perspektif atau sudut pandang

orang pertama layaknya pandangan mata kita. Jadi permaianan

ini seolah-olah kita yang ada didalam gamenya. Game online ini
mengedepankan senjata api sebagai main weaponnya, dimana para

pemainnya baik sendirian atau beregu saling membunuh pemain

lainnya untuk memenangkan misi. Oleh karena itu, para pemainnya

dituntut mempunyai skill berperang yang mumpuni, pandai

membaca strategi lawan, dan mempunyai penglihatan, pendengaran,

dan refleks yang bagus. Contohnya Point Blank, Call of Duty,

Battlefield, Counter Strike, PUBG, dan sebagainya.

3. Aspek-aspek Kecanduan Game Online

Beberapa aspek-aspek kecanduan game online menurut Young adalah

(Dina, 2018) :

1) Salience

Merupakan suatu ciri khas pecandu game online, yakni ia akan selalu

berpikir tentang bermain game online sepanjang hari dan disibukkan

oleh game online.

2) Mood Modification

Merupakan pengalaman subjektif dimana seseorang memiliki ikatan

pada game online, misalnya ia akan bermain game online dengan

tujuan untuk melarikan diri dari masalah dan ia akan merasakan buruk

jika bermain game online.

3) Tolerance

Tolerance berkenaan dengan jumlah waktu yang digunakan untuk

bermain game online. Seseorang yang mengalami kecanduan game

online akan meningkatkan waktu bermain game online hingga ia


merasa puas dan bermain game online akan menurun jika ia bermain

game online terus-menerus dalam jumlah waktu yang sama.

4) Conflicts

Merupakan suatu permasalahan yang timbul karena bermain game

online secara berlebihan, misalnya bertengkar dengan orang lain

karena bermain game online secara berlebihan dan seseorang yang

mengalami kecanduan game online akan membawa dampak negative

bagi pekerjaannya.

5) Time Restriction

Merupakan pembatasan terhadap waktu, dimana seseorang yang

mengalami kecanduan game online tidak berhasil dalam

mengendalikan atau menghentikan penggunaan game online.

B. Mental Emosional

1. Pengertian Mental Emosional

Masalah mental emosional adalah suatu keadaaan yang dapat

mengidentifikasikan individu mengalami suatu perubahan pada emosional

sehingga dapat berkembang menjadi suatu keadaan patologis apabila terus

berlanjut, sehingga perlu dilakukan antisipasi untuk Kesehatan jiwa (Yeni,

2019). Masalah mental emosional tersebut terdiri dari gejala emosional,

masalah perilaku, hiperaktivitas/inatensi, masalah hubungan dengan teman

sebaya, dan perilaku prososial (Yeni, 2019).

Gangguan mental emosional menurut (Eko, 2019) adalah keadaan

yang mengindikasikan bahwa individu mengalami suatu perubahan

emosional yang dapat berkembang menjadi keadaan patologis. Jika terus


berlanjut maka perubahan emosioanal tersebut perlu diantisipasi agar

kesehatan jiwa masyarakat tetap terjaga.

Gangguan mental emosional merupakan suatu kondisi dimana

perilaku dan emosional anak berbeda jauh dengan perilaku dan emosional

anak-anak lainnya dengan umur dan latar belakang yang sama yang

mampu menyebabkan penurunan interaksi dan hubungan sosial, perawatan

diri, serta proses belajar dan tingkah laku dikelas (Nani, 2020).

Mental emosional adalah suatu usaha untuk menyesuaikan diri

dengan lingkungan dan pengalamannya. Masalah mental emosional pada

anak merupakan masalah yang cukup serius. Berbagai faktor yang dapat

memicu masalah mental emosional anak yaitu lingkungan keluarga,

lingkungan sekolah, lingkungan tempat tinggal, lingkungan masyarakat

maupun lingkungan media sosial yang dapat mengganggu keseimbangan

mental emosional anak seperti kejadian kekerasan dalam lingkungan

keluarga, masalah dengan teman sebaya, bullying akibat adanya cacat fisik

ataupun masalah ekonomi. Fenomena-fenomena tersebut dapat

mempengaruhi proses perkembangan kognitif anak dan menjadikan

persepsi yang negatif bagi anak itu sendiri (Rizkiah, 2020).

Masalah mental emosional pada remaja yang tidak ditindak

lanjuti dan tidak diselesaikan dengan baik akan berdampak negatif

terhadap tahap perkembangan remaja kelak terutama pematangan

karakter, meningkatnya masalah perilaku dan tidak jarang memicu

terjadinya gangguan mental emosional yang dapat berupa perilaku

beresiko tinggi jika tidak dideteksi sedini mungkin akan mempengaruhi


tahap perkembangan remaja, kehidupan pribadi, keluarga, bangsa

dannegara dimasa yang akan datang (Yeni, 2020).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa mental

emosional adalah keadaaan dimana individu tidak mampu untuk

mengontrol keadaan emosionalnya yang mana bila keadaan ini terus

berlanjut dapat mengakibatkan keadaan patologis, dimana keadaan

kesehatan mental emosional harus dijaga guna menjaga kesehatan jiwa

individu tersebut, yang dapat mengakibatkan ketidak harmonisan dengan

teman sebaya dan lingkungan.

2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Masalah Mental Emosional

Faktor-faktor yang mempengaruhi masalah mental dan emosional

ialah faktor resiko yang dapat bersifat individual, konstektual (pengaruh

lingkungan), atau yang didapatkan melalui interaksi antara individu

menggunakan lingkungannya. Faktor risiko yang disertai kerentanan

psikososial, dan resilience pada seseorang remaja akan memicu terjadinya

gangguan emosi dan perilaku yang spesial di seseorang remaja. Adapun

yang termasuk faktor risiko, ialah sebagai berikut :

1) Faktor Individu Faktor genetik/konstitusional, berbagai gangguan

mental yang mempunyai latar belakang genetik yang cukup nyata,

seperti gangguan tingkah laku, gangguan kepribadian, dan gangguan

psikologik lainnya. Kurangnya kemampuan keterampilan sosial

seperti, menghadapi rasa takut, rendah diri, dan rasa tertekan.

2) Faktor Keluarga Ketidakharmonisan antara orang tua, orangtua

menggunakan penyalahgunaan zat serta gangguan mental, pola asuh


orang tua yang cenderung tidak empatik serta otoriter,

ketidakdisiplinan.

3) Faktor Sekolah Bullying / peer victimization artinya bentuk perilaku

pemaksaan atau perjuangan menyakiti secara psikologik aupun fisik

terhadap seorang/sekelompok orang yang lebih lemah oleh

seseorang/sekelompok orang yang lebih kuat. Hazing artinya kegiatan

yang umumnya dilakukan oleh anggota kelompok “senior” pada

kelompok “junior”. Bullying serta Hazing adalah suatu tekanan yang

relatif berfokus di remaja karena berdampak negatif terhadap

perkembangan remaja. Prevalensi ke 2 kondisi di atas diperkirakan

kurang lebih 21 10-26%. Dalam penelitian tersebut dijumpai peserta

didik yg mengalami bullying sebagai tidak percaya diri, takut tiba ke

sekolah, kesulitan berkonsentrai sebagai akibatnya penurunan prestasi

belajar. Bullying serta hazing yang terus menerus dapat memicu

terjadinya depresi serta usaha bunuh diri.

4) Faktor Peristiwa Hayati Kesulitan transisi sekolah,anggota keluarga

yang mati,stress berat emosional, perceraian orang tua, penyakit kronik

pada remaja.

5) Faktor Sosial, diskriminasi, isolasi, masalah sosial ekonomi

(kemiskinan, pengangguran), kurangnya akses ke pelayanan sosial.

3. Aspek - Aspek Masalah Mental Emosional

Ada beberapa jenis gangguan mental emosional, yaitu depresi,

kesedihan (grief), post traumatic stress disorder (PTSD), attention deficit

hyperactivity disorder (ADHD), dan gangguan antisosial. Gangguan-


gangguan ini memiliki etiologi, penanganan dan prognosis yang berbeda.

Ada yang memiliki prognosis baik, ada juga yang kurang baik.

Menurut Damayanti Masalah mental emosional pada remaja dibagi

menjadi dua kategori, yaitu internalisasi dan eksternalisasi. (Yulia dkk,

2018)

1) Gambaran masalah mental emosional internalisasi:

a) Reaksi menarik diri berlebihan, hal ini dapat ditunjukkan dengan

sikap sering menyendiri, pemalu, sangat sensitif dan pasif, mudah

khawatir, dan sukar mengikat hubungan interpersonal yang erat.

Kelainan ini sering didapatkan pada remaja yang dibesarkan dalam

lingkungan keluarga yang terdapat unsur kekerasan didalamnya

atau sering mendapatkan hukuman atas aktivitasnya. Sering pula

terjadi pada remaja yang mempunyai cacat jasmani atau terlalu

gemuk dan sebagainya. Dasar penarikan diri mereka adalah karena

perasaan malu dan bersalah.

b) Reaksi kecemasan berlebihan, hal ini ditandai dengan kegelisahan,

ketakutan, sukar tidur, mimpi buruk, terutama dalam menghadapi

situasi baru. Banyak diantara mereka mempunyai fantasi berlebih

dan menganggap lingkungan baru sebagai sesuatu yang

membahayakan.

c) Reaksi melarikan diri, hal ini dilakukan anak apabila berhadapan

dengan situasi yang dianggap membahayakan. Umumnya mereka

merasakan penolakan dan tidak mempunyai kawan dalam rumah.

Mereka seringkali memulai perkelahian, kejam terhadap remaja


lain dan binatang, menentang atasan, licik. Seringkali perbuatannya

dilakukan tanpa perasaan bersalah. Dasarnya adalah kekurangan

dalam pembentukan kepribadian, yaitu defek kontrol impuls (tidak

dapat menahan ketegangan dan harus mendapat kepuasan segera)

dan defek dalam pembentukan superego. Umumnya mereka

berasal dari keluarga yang orangtuanya menolak, tidak pernah

memberikan kehangatan, kasih saying, dan disiplin sehingga

remaja tersebut tidak pernah belajar bersosialisasi dengan baik.

d) Temperamen, bingung/cemas

e) Khawatir perlebihan

f) Pemikiran pesimistis Kesulitan menjalin hubungan dengan teman

sebaya.

2) Gambaran masalah mental emosioanal eksternalisasi

a) Perilaku agresif asosial adalah reaksi kelompok dimana remaja

membentuk kelompok dan bersama-sama melakukan tindakan

agresif destruktif atau asosial. Remaja merasakan sekuritas dengan

identifikasi dan sokongan dalam kelompok tersebut.

b) Gangguan perhatian dan hiperaktivitas, reaksi aktivitas berlebihan

disebabkan oleh gangguan fungsi otak dengan atau tanpa kelainan

struktur otak dan dapat disertai atau tanpa kelainan EEG. Dengan

gejala klinis gangguan tingakah laku berupa hiperaktivitas, tidak

bisa tenang, tidak bisa memusatkan perhatian pada satu hal dalam

waktu yang lama, toleransi terhadap frustasi rendah (cepat marah

apabila kemauan tidak dituruti), emosi labil. Gangguan belajar


spesifik, yaitu karena gangguan persepsi, koordinasi, daya tangkap,

orientasi, dan daya mengingat.

c) Ketidakmampuan memecahkan masalah.

d) Temperamen sulit.

e) Perilaku bertentangan (tidak suka ditegur/diberi masukan positif,

tidakmau ikut aturan).

C. Remaja

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh

atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih

luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan

fisik.Santrock-Remaja diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara

masa anak dan dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan

emosional. Pengertian remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak -

kanak dan masadewasa, yang dimulai saat terjadinya kematangan seksual,

yaitu usia 11 atau 12 tahun sampai dengan 20 tahun. Dalam Peraturan

Menteri Kesehatan RI nomor 25 tahun 2014, remaja adalah seseorang dalam

rentang usia 10-18 tahun. Sedangan menurut WHO, remaja adalah penduduk

dalam rentang usia 10-19 tahun. Tahun 1974, WHO memberikan pengertian

remaja yang lebih konseptual, hal ini mencakup tiga kriteria yaitu biologis,

psikologis, dan sosial ekonomi. Sehingga WHO menetapkan batasan usia dari

remaja adalah berkisar antara 10-20 tahun, dan membagi kurun usia tersebut

dalam dua bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun, serta remaja akhir 15-20

tahun.Selain itu, masa remaja juga ditandai dengan adanya


perkembangan fisikdan mengalami perubahan secara psikologis. (Mulyono,

2021)

Remaja digambarkan dengan sosok seseorang yang memiliki sifat

yang pemberontak, sosok yang abnormal seperti penuh konflik, suka ikut-

ikutan, menyimpang dan lain sebagainya. Dalam fase remaja ini juga jiwa

seorang individu ini dipenuhi dengan jiwa yang keberanian yang tinggi,

merasa paling kuat, sehingga dengan keadaan seperti inilah yang

menimbulkan suatu keributan, perkelahian, serta suasana yang rebut. Adapun

beberapa masalah yang mampu untuk mempengaruhi sebagian besar remaja

seperti, masalah penyalahgunaan narkoba, masalah kenakalan remaja,

masalah seksual, masalah-masalah yang berkaitan dengan sekolah (Arifin,

2022)

Amita Dianda mengemukakan bahwa remaja merupakan kategori

penduduk yang dalam rentang usia di mulai dari 10-19 tahun. Remaja

merupakan dimana masa peralihan antara masa anak-anak menuju masa yang

lebih dewasa, adapun pada masa ini remaja mengalami begitu besar pesat

perkembangannya baik dari segi fisik maupun psikis sehingga remaja di

kategorikan kepada beberapa tahap dalam proses perkembangan yaitu:

a) Pra Remaja (11-12 atau 14 tahun)

Pra remaja merupakan perubahan masa yang sangat singkat

waktunya hanya dalam jangka waktu 1 tahun saja, dimana jika pada pra

remaja laki-laki maka akan pada usia 13-14 tahun saja. Pra remaja ini

merupakan masa dimana anak akan mempunya suasana hati yang

berubah-ubah belum konsisten terhadap segala sesuatu dan sering


dikatakan fase yang negatif karena di fase inilah anak sangat sukar untuk

berkomunikasi dengan orangtua. Pada fase ini juga remaja sering

memikirkan hal-hal yang negatif jika berada dalam suatu suasana, seperti

ketika ada orang yang melihatnya maka dia akan memberikan menebak

apa pendapat orang lain tentang dirinya.

b) Remaja Awal (13 atau 14-17 tahun)

Remaja awal ini para remaja mengalami perubahan-perubahan

yang sangat pesat bahwa menuju puncak perkembangannya. Fase ini

dimana remaja mengalami perubahan pola-pola status dalam sosial,

mencari identitas yang sesungguhnya serta emosional yang tidak

seimbang juga stabil. Fase ini juga remaja merasa dia melangkah pada

masa dewasa yang berhak dalam mengambil keputusan sendiri,

pencapain kemandirian yang tinggi serta memiliki pemikiran yang logis,

abstrak serta juga idealistis namun pada masa ini remaja awal lebih suka

mengunakan waktu di luar lingkungan keluarga.

c) Remaja Lanjut/ Akhir (17-20 tahun)

Fase remaja lanjut ini lebih menonjol kepada keinginan sebagai

pusat perhatian orang namun dengan cara yang berbeda dari fase remaja

awal. Remaja lanjut ini lebih cenderung kepada rasa pembuktian akan

kemampuan yang dimiliki serta memiliki semangat yang besar dalam

setiap pencapaian yang dia inginkan (Amita, 2019)

Adristinindya (2021) mengemukakan bahwa remaja adalah

suatu masa transisi dalam rentang waktu kehidupan manusia yang

menghubungkan masa kanak-kanak dengan masa yang dewasa. Pada fase


ini terjadi perubahan-perubahan besar dan juga esensial mengenai

kematangan fungsi-fungsi rohaniah juga jasmaniah terutama pada fungsi

seksual. Lebih jelas lagi fase remaja ini ada dua hal penting yang

menyebabkan remaja melakukan suatu pengendalian diri yaitu, pertama

adalah suatu sifat yang berasal eksternal seperti adanya suatu perubahan

terhadap lingkungan. Sedangkan yang kedua dalah bersifat internal

seperti berasal dar karakteristik diri individu yang membuat remaja

memiliki rasa bergejolak disbanding dengan masa perkembangan

lainnya.

Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak

menuju dewasa. Masa remaja adalah suatu fase perkembangan yang

dinamis dan mengalami perubahan serta persoalan dalam kehidupan

seorang individu. Perubahan tersebut meliputi perubahan fisik, perilaku,

kognitif, biologis, dan emosi. Persoalan pada remaja meliputi persoalan

sosial, aspek emosional, aspek fisik dan keluarga, sekolah, dan kelompok

teman sebaya (Yeni, 2020). Perubahan dan persoalan yang terjadi dalam

kehidupan jika tidak dapat dikontrol dengan baik dapat memicu

terjadinya masalah mental emosional pada remaja.

D. Kerangka Konseptual

REMAJA

GAME ONLINE MENTAL EMOSIONAL


Menurut Young ada 5 aspek Menurut Damayanti aspek
game online yaitu: mental emosional yaitu:
- Salience - Emosional
- Mood modificadion internalisasi
- Tolerance - Emisional
- Conflicts eksternalisasi
- Time restriction
-
E. Hipotesis

Hipotesis merupakan dugaan sementara atau jawaban sementara

terhadap rumusan masalah atau pertanyaan penelitian yang masih harus diuji

kebenarannya. Menurut weisstein dan eric Ahypothesis is a proposition that is

consistent with known data, but has been neither verified nor shown to be

false (Zaki, 2021). Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan

masalah yang sifatnya menduga tetapi didasari oleh teori-teori atau temuan

terdahulu dan juga harus diuji melalui data yang didapat dengan penelitian.

Dalam penelitian ini yang menjadi stimulus dalam lingkungan adalah masalah

mental emosional remaja terhadap game online.

Berdasarkan pernyataan yang dikemukakan diatas maka dapat

dirumuskan hipotesisnya sebagai berikut:

1. Hipotesis alternatif (Ha)

Game online berpengaruh pada Mental Emosional Pada Remaja di SMAN

1 Martapura.

2. Hipotesis nol (Ho)

Game online tidak berpengaruh pada Mental Emosional Pada Remaja di

SMAN 1 Martapura.

Kaidah keputusan hipotesis:


- Jika nilai r hitung > r table, maka Ho ditolak dan Ha diterima,

artinya signifikan.

- Jika nilai r hitung < r table, maka Ho diterima dan Ha ditolak,

artinya tidak signifikan.

Anda mungkin juga menyukai