2. Syock anafilaktik
a. Pengertian
Anaphylaxis (Yunani, Ana = jauh dari dan phylaxis = perlindungan).
Anafilaksis berarti Menghilangkan perlindungan. Anafilaksis adalah reaksi
alergi umum dengan efek pada beberapa sistem organ terutama kardiovaskular,
respirasi, kutan dan gastro intestinal yang merupakan reaksi imunologis yang
didahului dengan terpaparnya alergen yang sebelumnya sudah tersensitisasi.
Syok anafilaktik(= shock anafilactic ) adalah reaksi anafilaksis yang disertai
hipotensi dengan atau tanpa penurunan kesadaran. Reaksi Anafilaktoid adalah
suatu reaksi anafilaksis yang terjadi tanpa melibatkan antigen-antibodi
kompleks. Karena kemiripan gejala dan tanda biasanya diterapi sebagai
anafilaksis.
Syock anafilaktik disebabkan oleh reaksi alergi ketika pasien yang
sebelumnya sudah membentuk anti bodi terhadap benda asing (anti gen)
mengalami reaksi anti gen- anti bodi sistemik
b. Patofisiologi
Oleh Coomb dan Gell (1963), anafilaksis dikelompokkan dalam
hipersensitivitas tipe 1 atau reaksi tipesegera (Immediate type reaction).
Mekanisme anafilaksis melalui beberapa fase :
a) Fase Sensitisasi Yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E
sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan
basofil. Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran
makan di tangkap oleh Makrofag.
Makrofag segera mempresen-tasikan antigen tersebut kepada Limfosit T,
dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL-4, IL-13) yang menginduksi
Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit).
Sel plasma memproduksi Immunoglobulin E (Ig E) spesifik untuk antigen
tersebut. Ig E ini kemudian terikat pada receptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil.
b) Fase Aktivasi Yaitu waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan
antigen yang sama. Mastosit dan Basofil melepaskan isinya yang berupa
granula yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang . Pada kesempatan
lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi
akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu
pelepasan mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan
beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di sebut dengan istilah
Preformed mediators.
B. Manifestasi Klinis
1. Tekanan darah sistemik dan takikardi; puncak tekanan darah sistolik <100mmHg
atau lebih dari 10% di bawah tekanan darah yang telah diketahui.
2. Hipoperfusi perifer, vasokonstriksi; kulit dingin, lembab, dan sianosis.
3. Status mental terganggu; kebingungan, agitasi, koma.
4. Oliguria atau anuria; <0,5 ml/kgBB/jam.
5. Asidosis metabolik.
Pemantauan hemodinamik :
1. Tekanan darah arteri
2. Tekanan vena sentral
3. Tekanan arteri pulmonal, dimonitor dengan kateter Swan-Ganz untuk
pengukuran Pulmonary Catheter Wedge Presure (PCWP).
4. Pengukuran tambahan. Pemantauan sensorium, jumlah urine, dan suhu kulit.
Pemberian Cairan :
a. Jangan memberikan minum kepada penderita yang tidak sadar, mual-mual, muntah,
kejang, akan dioperasi/dibius dan yang akan mendapat trauma pada perut serta kepala
(otak) karena bahaya terjadinya aspirasi cairan ke dalam paru.
b. Penderita hanya boleh minum bila penderita sadar betul dan tidak ada indikasi kontra.
c. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama dalam
melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume
interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk
meningkatkan tekanan onkotik intravaskuler.
d. Pada syok hipovolemik, jumlah cairan yang diberikan harus seimbang dengan jumlah
cairan yang hilang. Sedapat mungkin diberikan jenis cairan yang sama dengan cairan
yang hilang, darah pada perdarahan, plasma pada luka bakar. Kehilangan air harus
diganti dengan larutan hipotonik. Kehilangan cairan berupa air dan elektrolit harus
diganti dengan larutan isotonik. Penggantian volume intra vaskuler dengan cairan
kristaloid memerlukan volume 3-4 kali volume perdarahan yang hilang, sedang bila
menggunakan larutan koloid memerlukan jumlah yang sama dengan jumlah
perdarahan yang hilang. Telah diketahui bahwa transfusi eritrosit konsentrat yang
dikombinasi dengan larutan ringer laktat sama efektifnya dengan darah lengkap.
e. Pemantauan tekanan vena sentral penting untuk mencegah pemberian cairan yang
berlebihan.
f. Pada penanggulangan syok kardiogenik harus dicegah pemberian cairan berlebihan
yang akan membebani jantung. Harus diperhatikan oksigenasi darah dan tindakan
untuk menghilangkan nyeri.
g. Pemberian cairan pada syok septik harus dalam pemantauan ketat, mengingat pada
syok septik biasanya terdapat gangguan organ majemuk (Multiple Organ
Disfunction). Diperlukan pemantauan alat canggih berupa pemasangan CVP, "Swan
Ganz" kateter, dan pemeriksaan analisa gas darah
D. KOMPLIKASI
1. Syok Neurogenik
Syok neurogenik dapat menyebabkan kerusakan permanen pada organ atau jaringan tubuh yang
tidak mendapat cukup pasokan darah. Hal ini bisa terjadi secara bersamaan pada seluruh organ
sehingga dapat menyebabkan kematian.
2. Syok Anafilaktik
syok anafilaktik merupakan kondis kegawat daruratan yang mesti segera ditandai. Gejala syok
anafilaktik bisa berkembang sangat cepat, sehingga menyebabkan detak jantung atau pernapasan
terhenti. Di samping itu, komplikasi syok anafilaktif juga bisa memicu aritmia, serangan jantung,
gagal ginjal, hingga kerusakan otak.
3. Syok Septik
Syok septik bisa mengakibatkan berbagai komplikasi yang sangat berbahaya dan mengancam
nyawa, yang bisa berakibat fatal. Kemungkinan komplikasi syok septik yaitu meliputi:
Gagal ginjal.
Stroke.
Gagal hati.
Gagal jantung.
Gagal napas.
Komplikasi yang mungkin akan dialami, dan hasil dari kondisi ini, tergantung pada faktor-faktor
tertentu, seperti:
Usia.
1. Syok Neurogenik
Perawatan perawat bertujuan untuk menstabilkan kondisi syok dan mencegah cedera atau
komplikasi lain yang fatal seperti kerusakan organ secara permanen. Sebagai berikut :
2. Syok Anafilaktik
b. Terapi supportif:
Pemberian oksigen: jika laring atau brokospasme menyebabkan hipoksia pemberian
oksigen 8-12 liter/menit harus dilakukan. Pada keadaan yang amat ekstrim tindakan
trakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan.
Posisi trendelenburg: berbaring dengan kedua tungkai diangkat (diganjal dengan kursi)
akan membantu menaikan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat.
Pemasangan infus: cairan plasma expander (Dextran) adalah pilihan utama guna dapat
mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, RL atau NaCl
fisiologis dapat dipakai sebaga cairan pengganti.
c. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP): seandainya terjadi henti jantung (cardiac arrest).
3. Syok septik
Perawat yang profesional harus dapat mengetahui secara teliti bagaimana cara penularan
sebuah infeksi. Perawat juga harus melakukan pencegahan infeksi dengan cara melakukan
teknik aseptik dalam setiap melakukan tindakan keperawatan, melakukan asepsis terhadap
permukaan dan peralatan, dan melakukan cuci tangan setiap sebelum dan sesudah melakukan
prosedur apapun(6). Perawat juga harus mengambil peran dalam mempromosikan suatu
program pencegahan infeksi di rumah sakit untuk memberitahu antara tindakan kesehatan
yang profesional dan masyarakat juga bisa berkontribusi untuk melakukan peningkatan
keselamatan dan pencegahan tindakan(6).
Selain itu peran perawat pada pasien sepsis yaitu melakukan pemantauan cairan atau resusitasi
cairan awal yang sangat penting untuk stabilisasi hipoperfusi jaringan sepsis atau syok
septik(9). Mengingat keadaan darurat medis ini, resusitasi cairan awal harus dimulai segera
setelah mengenali pasien dengan sepsis dan atau hipotensi dan peningkatan laktat, dan selesai
dalam 3 jam dari awal diagnosis
a. Gelisah, ansietas, tekanan darah menurun
b. Tekanan darah sistolik < 90 mmHg (hipotensi)
c. Tekanan ventrikel kiri peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kir,
peningkatan tekanan atrium kiri, peningkatan tekanan baji arteri pulmonal (PCWP)
d. Curah jantung 2,2 l/mnt, penurunan fraksi ejeksi, penurunan indeks jantung
e. Peningkatan tekanan vena sentral 1600 dyne/dtk/cm
f. Peningkatan tekanan pengisian ventrikel kanan adanya distensi vena jugularis,
peningkatan CVP (tekanan > 15 cm H2O, refleks hepatojugular meningkat
g. Takikardia nadi radialis halus, nadi perifer tidak ada atau berkurang
h. Terdengar bunyi gallop S3, S4 atau murmur
i. Distress pernafasan takipnea, ortopnea, hipoksia
j. Perubahan tingkat kesadaran apatis, letargi, semicoma, coma
k. Perubahan kulit pucat, dingin, lembab, sianosis
l. Perubahan suhu tubuh subnormal, meningkat
m. Sangat kehausan
n. Mual, muntah
o. Status ginjal haluaran urine di bawah 20 ml/jam, kreatinin serum
meningkat,nitrogen urea serum meningkat
p. Perubahan EKG perubahan iskemi, disritmia, fibrilasi ventrikel
q. Kenyamanan nyeri dada, nyeri abdominal
1. Pengkajian Primer
Selalu menggunakan pendekatan ABCDE.
Airway
Yakinkan kepatenan jalan napas
Berikan alat bantu napas jika perlu
Jika terjadi penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi dan
bawa segera mungkin ke ICU
Breathing
Kaji jumlah pernapasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala yang
signifikan
Kaji saturasi oksigen
Periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan
kemungkinan asidosis
Berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask
auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di dada
Periksa foto thorak
Circulation
Kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda signifikan
Monitoring tekanan darah
Periksa waktu pengisian kapiler
Pasang infus dengan menggunakan canul yang besar
Berikan cairan koloid – gelofusin atau haemaccel
Pasang kateter
Lakukan pemeriksaan darah lengkap
Catat temperature, kemungkinan pasien pyreksia atau temperature kurang
dari 360C
Siapkan pemeriksaan urin dan sputum
Berikan antibiotic spectrum luas sesuai kebijakan setempat.
Disability
Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien sepsis padahal
sebelumnya tidak ada masalah (sehat dan baik). Kaji tingkat kesadaran dengan
menggunakan AVPU.
Exposure
Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat
suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya.
2. Pengkajian Sekunder
a. Aktivitas dan istirahat
Subyektif : Menurunnya tenaga/kelelahan dan insomnia
b. Sirkulasi
- Subyektif : Riwayat pembedahan jantung/ bypass cardiopulmonary,
fenomena embolik (darah, udara, lemak)
- Obyektif : Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya
hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock)
- Heart rate : takikardi biasa terjadi
- Bunyi jantung : normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic) dapat
terjadi disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan normal
- Kulit dan membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa terjadi
(stadium lanjut)
c. Integritas Ego
- Subyektif : Keprihatinan/ketakutan, perasaan dekat dengan kematian
- Obyektif : Restlessness, agitasi, gemetar, iritabel, perubahan mental.
d. Makanan/Cairan
- Subyektif : Kehilangan selera makan, nausea
- Obyektif : Formasi edema/perubahan berat badan, hilang/melemahnya
bowel sounds
e. Neurosensori
- Subyektif atau Obyektif : Gejala truma kepala, kelambatan mental, disfungsi
motorik
f. Respirasi
- Subyektif : Riwayat aspirasi, merokok/inhalasi gas, infeksi pulmolal diffuse,
kesulitan bernafas akut atau khronis, “air hunger”
- Obyektif : Respirasi : rapid, swallow, grunting
g. Rasa Aman
- Subyektif : Adanya riwayat trauma tulang/fraktur, sepsis, transfusi darah,
episode anaplastik
h. Seksualitas
- Subyektif atau obyektif : Riwayat kehamilan dengan komplikasi eklampsia
B. Diagnosa keperawatan
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan O2 , edema paru.
2) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload dan preload.
3) Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
4) Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan cardiac output yang
tidak mencukupi.
5) Intoleransi aktivitas berhubungan ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen.
6) Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
C. Intervensi
1) Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan Ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan O2 edema paru.