Anda di halaman 1dari 33

Lab/ SMF Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal KARYA TULIS ILMIAH

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

GAMBARAN KASUS KEKERASAN SEKSUAL DI RUMAH


SAKIT ABDOEL WAHAB SJAHRANIE TAHUN 2022

Disusun oleh :
Rizki Pratama Nurbi D. 2210017028
Irma Novalin Wandik 2210017001
Natiara Khalid 2210017046

Dosen Pembimbing

dr. Kristina Uli Gultom, Sp. FM


NIP. 19780418 200904 2 004

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Lab/ SMF Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
Februari 2023

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah tentang
“Gambaran Kasus Kekerasan Seksual di Rumah Sakit Abdoel Wahab
Sjahranie Tahun 2022”. Karya tulis ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan
klinik di Laboratorium Ilmu Kedokteran Forensik & Medikolegal Fakultas
Kedokteran Universitas Mulawarman.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dr. Kristina Uli Gultom, Sp.FM
selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan masukan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini. Penulis
menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan karya tulis
ilmiah ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi menyempurnakan
karya tulis ilmiah ini. Semoga karya tulis ilmiah ini dapat berguna bagi para
pembaca.

Samarinda, 8 Februari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

JUDUL
KATA PENGANTAR..................................................................................II
DAFTAR ISI..................................................................................................III
BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................1
1.1 Latar Belakang...................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................2
1.3 Tujuan................................................................................................2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...................................................................3


2.1 Dasar Hukum dalam kasus persetubuhan…………………………..4
2.2 Klasifikasi Kekerasan Seksual……………………………………...5
2.3 Peran Dokter dalam kasus kekerasan seksual………………………5
2.4 Pemeriksaan kasus kekerasan seksual...............................................6
2.5 Pemeriksaan Fisik..............................................................................8
2.6 Pemerikaan laboratorium...................................................................13
BAB 3 METODE PENELITIAN................................................................19
3.1 Desain Penelitian.................................................................................19

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian.............................................................19

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian..........................................................19

3.4 Cara Pengumpulan Data......................................................................20

3.Pengolahan dan Pengajian Data.............................................................20

3.6 Analisis Data.......................................................................................20

BAB 4 HASIL...............................................................................................21

iii
4.1 Karakteristik Usia..............................................................................21

4.2 Karakteristik Jenis Kelamin.......................................................................22

4.3 Karakteristik Hubunga Pelaku dengan Korban.........................................22

4.4 Karakteristik Jenis Kejerasan Yang Dilakukan........................................23

BAB 5 PEMBAHASAN...............................................................................24
5.1 Interpretasi dan Hasil Diskusi..................................................................24
BAB 6 PENUTUP.......................................................................................27
6.1 Kesimpulan...................................................................................................27
6.2 Saran........................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kejahatan seksual merupakan suatu problematika yang pada kenyataannya
terjadi dalam kehidupan masyarakat. Kejahatan seksual itu sendiri mencakup
perzinahan, pemerkosaan, pencabulan maupun pelecehan seksual. Di Indonesia,
kasus kejahatan seksual merupakan kasus yang terus meningkat setiap tahunnya.
Dan yang menjadi korbannya pun bukanlah hanya orang dewasa melainkan
remaja, dan anak-anak yang masih sangat membutuhkan kasih sayang dan
perhatian yang cukup besar dari keluarga maupun masyarakat.
Kasus kejahatan seksual seirng disandingkan dengan Kekerasan seksual.
Kekerasan seksual sendiri adalah salah satu bentuk dari kekerasan tubuh yang
merugikan kesehatan dan nyawa manusia. Kekerasan seksual mencakup
pemerkosaan, perbudakan seksual, dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual
seperti penyiksaan seksual, penghinaan seksual di depan umum, dan pelecehan
seksual. Kekerasan seksual merupakan kejahatan yang universal. Kejahatan ini
dapat ditemukan di seluruh dunia, pada tiap tingkatan masyarakat, tidak
memandang usia maupun jenis kelamin. Besarnya insiden yang dilaporkan di
setiap Negara berbeda-beda. Sebuah penelitian di Amerika Serikat pada tahun
2006 (National Violence against Women Survey/NVAWS) melaporkan bahwa
17,6% dari responden wanita dan 3% dari responden pria pernah mengalami
kekerasan seksual (Betz dkk dalam Ningsih 2018).
Kebanyakan korban kekerasan seksual pada anak berusia sekitar 5-11
tahun. Bagi pelaku jenis kelamin tidak berpengaruh dalam melakukan kekerasan
seksual yang penting bagi pelaku hasrat seksual mereka dapat tersalurkan. Modus
pelaku dalam mendekati korban sangatlah bervariasi misalnya mendekati korban
dan mengajak ngobrol, membujuk korban, merayu dan memaksa korbanya. Serta
modus yang lebih canggih yakni pelaku menggunakan jejaring social dengan
berkenalan dengan korban, mengajak bertemu dan memperkosa atau melakukan
kekerasan seksual (Christin, 2014).

1
Berdasarkan uraian di atas tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian pada kasus kekerasan seksual. Pada karya tulis ilmiah ini akan penulis
jelaskan juga tentang kekerasan seksual dan pemeriksaannya.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimana gambaran dari kasus korban kekerasan seksual berdasarkan
usia, jenis kelamin, hubungan pelaku dengan korban, dan jenis kekerasan yang
diderita korban?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan dalam penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk menambah ilmu dan
wawasan secara umum mengenai kekerasan seksual di Bagian Forensik dan
Medikolegal RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda sehingga dapat menjadi
bahan rujukan dalam penerapan ilmu.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui gambaran umur korban kekerasan seksual RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda tahun 2022
2. Mengetahui gambaran besaran persentase jenis kelamin korban
kekerasan seksual RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda tahun
2022
3. Mengetahui gambaran hubungan pelaku dengan korban kekerasan
seksual RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda tahun 2022
4. Mengetahui gambaran jenis kekerasan yang diderita korban kekerasan
seksual RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda tahun 2022

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

Kekerasan seksual adalah salah satu bentuk dari kekerasan tubuh yang
merugikan kesehatan dan nyawa manusia. Kekerasan seksual mencakup
pemerkosaan, perbudakan seksual, dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual
seperti penyiksaan seksual, penghinaan seksual di depan umum, dan pelecehan
seksual. Secara umum tujuan pemeriksaan korban kekerasan seksual adalah
untuk: (Susiana, 2019).
a. Melakukan identifikasi, termasuk memperkirakan usia korban
b. Menentukan adanya tanda-tanda persetubuhan, dan waktu terjadinya, bila
mungkin
c. Menentukan adanya tanda-tanda kekerasan, termasuk tanda intoksikasi
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza)
d. Menentukan pantas/tidaknya korban utk dikawin, termasuk tingkat
perkembangan seksual
e. Membantu identifikasi pelaku

2.1 Dasar Hukum dalam Kasus Persetubuhan

Pasal 284 KUHP

(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:


1a. Seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (padahal diketahui
bahwa pasal 27 BW (Burgerlyk Wetboek beriaku baginya.
1b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal
diketahui bahwa pasal 27 BW (Burgertyk Wetboek) beriaku baginya.
2a. seorang pria yang furut serta melakukan perbuatan itu padahal
diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin:
2b. seorang wanita yang belum kawin yang turut serta melakukan perbuatan
itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan
pasal 27 Bw beraku baginya.

3
(2) Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan-suami/istri yang
tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang
waktu tiga bulan dlikuti dengan permintaan untuk bercerai atau pisah-meja
dan ranjang karena alasan itu juga.
(3) Terhadap pengaduanini tidak berlaku pasal 72. 73.dan75
(4) Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang
pengadilan belum dimulai.
(5) Jika bagi suami-istritu berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak dindahkan
selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan
yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

BW pasal 27

Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang
perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang lakisebagai
suaminya.

Pasal 285 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita
bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 286 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal


diketahui bahwa wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 287 KUHP

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurya belum lima
belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk
dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita Belum

4
sampai dua belas ahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan
pasal 294.

2.2 Klasifikasi
Kekerasan Seksual Ringan
a. Pelecehan seksual
b. Gurauan porno
c. Siulan, ejekan dan julukan
d. Tulisan/gambar
e. Ekspresi wajah
f. Gerakan tubuh
g. Perbuatan menyita perhatian seksual tak dikehendaki korban, melecehkan
dan atau menghina korban
h. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam
jenis kekerasan seksual berat

Kekerasan Seksual Berat


a. Pelecehan, kontak fisik: raba, sentuh organ seksual, cium paksa, rangkul,
perbuatan yang rasa jijik, terteror, terhina
b. Pemaksaan hubungan seksual
c. Hubungan seksual dgn cara tidak disukai, merendahkan dan atau
menyakitkan
d. Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain, pelacuran tertentu
e. Hubungan seksual memanfaatkan posisi ketergantungan atau lemahnya
korban
f. Tindakan seksual dan kekerasan fisik, dengan atau tanpa bantuan alat yang
menimbulkan sakit, luka, atau cedera
2.3 Peran Dokter
a. Attending doctor: Peran dokter klinis yang umum, yaitu bertujuan
mendiagnosis, mengobati atau dapat menyembuhkan pasien.
b. Assessing doctor: Peran dokter untuk membantu pencarian bukti tindak
pidana, khususnya dengan membuat visum et repertum.

5
2.4 Pemeriksaan
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pemeriksaan korban
kekerasan seksual: (Dewi, 2017)
a. Lakukan pemeriksaan sedini mungkin setelah kejadian, jangan dibiarkan
menunggu terlalu lama. Hal ini penting untuk mencegah rusak atau
berubah atau hilangnya barang bukti yang terdapat di tubuh korban, serta
10 untuk menenangkan korban dan mencegah terjadinya trauma psikis
yang lebih berat.
b. Pada saat pemeriksaan, dokter harus didampingi perawat yang sama jenis
kelaminnya dengan korban (biasanya wanita) atau bidan. Tujuannya
adalah untuk mengurangi rasa malu korban dan sebagai saksi terhadap
prosedur pemeriksaan dan pengambilan sampel. Selain itu, hal ini juga
perlu demi menjaga keamanan dokter pemeriksa terhadap tuduhan palsu
bahwa dokter melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap korban saat
pemeriksaan.
c. Pemeriksaan harus dilakukan secara sistematis dan menyeluruh terhadap
seluruh bagian tubuh korban, tidak hanya terhadap daerah kelamin saja.
d. Catat dan dokumentasikan semua temuan, termasuk temuan negatif.

2.5 Anamnesis
Pada korban kekerasan seksual, anamnesis harus dilakukan dengan
bahasa awam yang mudah dimengerti oleh korban. Gunakan bahasa dan
istilah-istilah yang sesuai tingkat pendidikan dan sosio-ekonomi korban,
sekalipun mungkin terdengar vulgar. Anamnesis dapat dibagi menjadi
anamnesis umum dan khusus. Hal-hal yang harus ditanyakan pada anamnesis
umum mencakup, antara lain: (Dewi,2017).
a. Umur atau tanggal lahir
b. Status pernikahan
c. Riwayat paritas atau abortus
d. Riwayat haid (menarche, hari pertama haid terakhir, siklus haid)
e. Riwayat koitus (sudah pernah atau belum, riwayat koitus sebelum atau
setelah kejadian kekerasan seksual, dengan siapa, penggunaan kondom
atau alat kontrasepsi lainnya)

6
f. Penggunaan obat-obatan (termasuk NAPZA)
g. Riwayat penyakit (sekarang dan dahulu)
h. Keluhan atau gejala yang dirasakan pada saat pemeriksaan
Sedangkan anamnesis khusus mencakup keterangan yang terkait kejadian
kekerasan seksual yang dilaporkan dan dapat menuntun pemeriksaan fisik,
seperti:
A. What & How:
a. Jenis tindakan (pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, dan
sebagainya)
b. Adanya kekerasan dan/atau ancaman kekerasan, serta jenisnya
c. Adanya upaya perlawanan
d. Apakah korban sadar atau tidak pada saat atau setelah kejadian
e. Adanya pemberian minuman, makanan, atau obat oleh pelaku sebelum
atau setelah kejadian
f. Adanya penetrasi dan sampai mana (parsial atau komplit)
g. Apakah ada nyeri di daerah kemaluan
h. Apakah ada nyeri saat buang air kecil/besar
i. Adanya perdarahan dari daerah kemaluan
j. Adanya ejakulasi dan apakah terjadi di luar atau di dalam vagina
k. penggunaan kondom
l. Tindakan yang dilakukan korban setelah kejadian, misalnya apakah
korban sudah buang air, tindakan membasuh/douching, mandi, ganti
baju, dan sebagainya
B. When:
a. Tanggal dan jam kejadian, bandingkan dengan tanggal dan jam
melapor
b. Apakah tindakan tersebut baru satu kali terjadi atau sudah berulang.
C. Where:
a. Tempat kejadian
b. Jenis tempat kejadian (untuk mencari kemungkinan trace evidence
dari tempat kejadian yang melekat pada tubuh dan/atau pakaian
korban)

7
D. Who:
a. Apakah pelaku dikenal oleh korban atau tidak
b. Jumlah pelaku
c. Usia pelaku
d. Hubungan antara pelaku dengan korban
Anamnesis pada anak dilakukan dengan autoanamnesis atau
alloanamnesis.
a. Gunakan alat bantu untuk menjalin hubungan akrab dengan korban,
seperti: boneka, alat tulis atau gambar.
b. Perhatikan sikap korban dan pengantar (apakah korban terlihat
dikontrol atau ditekan dalam memberikan jawaban)
c. Melengkapi rekam medis dan identitas dokter pemeriksa, pengantar,
tanggal, tempat dan waktu pemeriksaan serta identitas korban.
Menanyakan perkembangan seks dan hubungan seks terakhir, siklus
haid terakhir dan apakah masih haid saat kejadian
d. Kronologis urutan kejadian
e. Gali informasi tentang: Adakah perubahan perilaku anak setelah
mengalami trauma, seperti: mimpi buruk, susah tidur, murung, agresif
dan suka menyendiri, Keadaan kesehatan setelah trauma, Adakah
riwayat seperti ini sebelumnya, Adakah riwayat penyakit dan masalah
perilaku sebelumnya, Apabila ditemukan amnesia, lakukan konseling
atau rujuk bila memerlukan intervensi dari psikiatri

2.6 Pemeriksaan Fisik


Saat melakukan pemeriksaan fisik, gunakan prinsip “head to toe”.
Artinya, pemeriksaan fisik harus dilakukan secara sistematis dari ujung
kepala sampai ke ujung kaki. Pelaksanaan pemeriksaan fisik juga harus
memperhatikan keadaan umum korban. Apabila korban tidak sadar atau
keadaan umumnya buruk, maka pemeriksaan untuk pembuatan visum dapat
ditunda dan dokter fokus untuk “life saving” terlebih dahulu. Selain itu,
dalam melakukan pemeriksaan fisik, perhatikan kesesuaian dengan
keterangan korban yang didapat saat anamnesis. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan dapat dibagi menjadi pemeriksaan umum dan khusus. Pemeriksaan

8
fisik umum mencakup: (Dewi,2017).
a. tingkat kesadaran
b. keadaan umum
c. tanda vital
d. penampilan (rapih atau tidak, dandan, dan lain-lain)
e. afek (keadaan emosi, apakah tampak sedih, takut, dan sebagainya)
f. pakaian (apakah ada kotoran, robekan, atau kancing yang terlepas)
g. status generalis
h. tinggi badan dan berat badan
i. rambut (tercabut/rontok)
j. gigi dan mulut (terutama pertumbuhan gigi molar kedua dan ketiga)
k. kuku (apakah ada kotoran atau darah di bawahnya, apakah ada kuku yang
tercabut atau patah)
l. tanda-tanda perkembangan seksual sekunder
m. tanda-tanda intoksikasi NAPZA
n. status lokalis dari luka-luka yang terdapat pada bagian tubuh selain daerah
kemaluan.
Pemeriksaan fisik khusus bertujuan mencari bukti-bukti fisik yang terkait
dengan tindakan kekerasan seksual yang diakui korban dan mencakup
pemeriksaan:
a. daerah pubis (kemaluan bagian luar) yaitu adanya perlukaan pada jaringan
lunak atau bercak cairan mani
b. penyisiran rambut pubis (rambut kemaluan) yaitu apakah adanya rambut
pubis yang terlepas yang mungkin berasal dari pelaku, penggumpalan atau
perlengketan rambut pubis akibat cairan mani
c. daerah vulva dan kulit sekitar vulva/paha bagian dalam (adanya perlukaan
pada jaringan lunak, bercak cairan mani)
d. labia mayora dan minora (bibir kemaluan besar dan kecil), apakah ada
perlukaan pada jaringan lunak atau bercak cairan mani
e. vestibulum dan fourchette posterior (pertemuan bibir kemaluan bagian
bawah), apakah ada perlukaan

9
f. hymen (selaput dara), catat bentuk, diameter ostium, elastisitas atau
ketebalan, adanya perlukaan seperti robekan, memar, lecet, atau hiperemi).
Apabila ditemukan robekan hymen, catat jumlah robekan, lokasi dan arah
robekan (sesuai arah pada jarum jam, dengan korban dalam posisi
litotomi), apakah robekan mencapai dasar (insersio) atau tidak, dan adanya
perdarahan atau tanda penyembuhan pada tepi robekan
g. vagina (liang senggama), cari perlukaan dan adanya cairan atau lendir
h. serviks dan porsio (mulut leher rahim), cari tanda-tanda pernah melahirkan
dan adanya cairan atau lendir
i. uterus (rahim), periksa apakah ada tanda kehamilan
j. anus (lubang dubur) dan daerah perianal (apabila ada indikasi berdasarkan
anamnesis), mulut (apabila ada indikasi berdasarkan anamnesis)
k. daerah-daerah erogen (leher, payudara, paha, dan lain-lain), untuk mencari
bercak mani atau air liur dari pelaku
l. tanda-tanda kehamilan pada payudara dan perut.

Kesulitan utama yang umumnya dihadapi oleh dokter pemeriksa adalah


pemeriksaan selaput dara. Bentuk dan karakteristik selaput dara sangat
bervariasi. Pada jenis-jenis selaput dara tertentu, adanya lipatan-lipatan dapat
menyerupai robekan. Karena itu, pemeriksaan selaput dara dilakukan dengan
traksi lateral dari labia minora secara perlahan, yang diikuti dengan
penelusuran tepi selaput dara dengan lidi kapas yang kecil untuk
membedakan lipatan dengan robekan. Pada penelusuran tersebut, umunya
lipatan akan menghilang, sedangkan robekan tetap tampak dengan tepi yang
tajam
Penetrasi penis ke dalam vagina dapat mengakibatkan robekan selaput
dara atau bila dilakukan dengan kasar dapat merusak selaput lendir daerah
vulva dan vagina ataupun laserasi, terutama daerah posterior fourchette.
Robekan selaput dara akan bermakna jika masih baru, masih menunjukan
adanya tanda kemerahan disekitar robekan. Pada beberapa korban ada yang
memiliki selaput dara yang elastis sehingga tidak mudah robek. Pembuktian
persetubuhan akan menghadapi kendala jika : korban dengan selaput dara
yang sebelumnya telah robek lama, korban diperiksa sudah lama, korban

10
yang memiliki selaput dara elastis, penetrasi yang tidak lengkap. Saat
melakukan pemeriksaan fisik, dokumentasi yang baik sangat penting.Selain
melakukan pencatatan dalam rekam medis, perlu dilakukan pemotretan bukti-
bukti fisik yang ditemukan. Foto-foto dapat membantu dokter membuat
visum et repertum. Dengan pemotretan, korban juga tidak perlu diperiksa
terlalu lama karena foto-foto tersebut dapat membantu dokter mendeskripsi
temuan secara detil setelah pemeriksaan selesai. Menentukan ada tidaknya
persetubuhan:
A. Tanda langsung
a. Adanya robekan selaput dara
b. Luka lecet atau memar di liang senggama
c. Ditemukan sperma
B. Tanda tidak langsung
a. Kehamilan
b. Penyakit hubungan seksual
2.5.1 Pemeriksaan Korban
A. Pemeriksaan Tubuh
Pemeriksaan dilakukan pada selaput dara, apakah ada ruptur atau tidak.
Bila ada, tentukan ruptur baru atau lama dan catat lokasi ruptur tersebut, teliti
apakah sampai ke insertio atau tidak. Tentukan besar orifisium, sebesar ujung
jari kelingking, jari telunjuk, atau dua jari. Sebagai gantinya dapat juga
ditentukan ukuran lingkaran orifisium, dengan cara ujung kelingking atau
telunjuk dimasukkan dengan hati-hati ke dalam orifisium sampai terasa tepi
selaput dara menjepit ujung jari, beri tanda pada sarung tangan dan lingkaran
pada titik itu diukur. Ukuran pada seorang perawan kira-kira 2,5 cm.
Lingkaran yang memungkinkan persetubuhan dapat terjadi menurut Voight
adalah minimal 9 cm.
Harus diingat bahwa tidak terdapatnya robekan pada selaput dara, tidak
dapat dipastikan bahwa pada wanita tidak terjadi penetrasi; sebaliknya adanya
robekan pada selaput dara hanya merupakan pertanda adanya suatu benda
(penis atau benda lain yang masuk ke dalam vagina. Apabila pada
persetubuhan tersebut disertai dengan ejakulasi dan ejakulat tersebut

11
mengandung sperma, maka adanya sperma di dalam liang vagina merupakan
tanda pasti adanya persetubuhan. Apabila ejakulat tidak mengandung sperma,
maka pembuktian adanya persetubuhan dapat diketahui dengan melakukan
pemeriksaan terhadap ejakulat tersebut.
Komponen yang terdapat di dalam ejakulat dan dapat diperiksa adalah:
enzim asam fosfatase, kolin dan spermin. Baik enzim asam fosfatase, kolin
maapun spermin bila dibandingkan dengan sperma nilai pembuktiannya lebih
rendah oleh karena ketiga komponen tersebut tidak spesifik. Walaupun
demikian enzim fosfatase masih dapat diandalkan, karena kadar asam
fosfatase yang terdapat dalam vagina (berasal dari wanita itu sendiri),
kadarnya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan asam fosfatase yang
berasal dari kelenjar fosfat.
Dengan demikian apabila pada kejahatan seksual yang disertai dengan
persetubuhan itu tidak sampai berakhir dengan ejakulasi, dengan sendirinya
pembuktian adanya persetubuhan secara kedokteran forensik tidak mungkin
dapat dilakukan secara pasti. Sebagai konsekuensinya, dokter tidak dapat
secara pasti pula menentukan bahwa pada seorang wanita tidak terjadi
persetubuhan; maksimal dokter harus mengatakan bahwa pada diri wanita
yang diperiksanya itu tidak ditemukan tanda-tanda persetubuhan, yang
mencakup dua kemungkinan: pertama, memang tidak ada persetubuhan dan
yang kedua persetubuhan ada tapi tanda-tandanya tidak dapat ditemukan.
Apabila persetubuhan telah dapat dibuktikan secara pasti maka perkiraan
saat terjadinya persetubuhan harus ditentukan; hal ini menyangkut masalah
alibi yang sangat penting di dalam proses penyidikan. Dalam waktu 4-5 jam
postkoital sperma di dalam liang vagina masih dapat bergerak; sperma masih
dapat ditemukan namun tidak bergerak sampai sekitar 24-36 jam postkoital,
dan masih dapat ditemukan sampai 7-8 hari bila wanita yang menjadi korban
meninggal. Perkiraan saat terjadinya persetubuhan juga dapat ditentukan dari
proses penyembuhan selaput dara yang robek. Pada umumnya penyembuhan
tersebut dicapai dalam waktu 7-10 hari postkoital (Dewi,2017).
B. Pemeriksaan Pakaian
Dalam hal pembuktian adanya persetubuhan, pemeriksaan dapat

12
dilakukan pada pakaian korban untuk menentukan adanya bercak ejakulat.
Dari bercak tersebut dapat dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk
memastikan bahwa bercak yang telah ditemukan adalah air mani serta dapat
menentukan adanya sperma.

2.5.2 Pemeriksaan Pelaku


A. Pemeriksaan tubuh
Untuk mengetahui apakah seorang pria baru melakukan persetubuhan,
dapat dilakukan pemeriksaan ada tidaknya sel epitel vagina pada glans penis.
Perlu juga dilakukan pemeriksaan sekret uretra untuk menentukan adanya
penyakit kelamin.
B. Pemeriksaan pakaian
Pada pemeriksaan pakaian, catat adanya bercak semen, darah, dan
sebagainya. Bercak semen tidak mempunyai arti dalam pembuktian sehingga
tidak perlu ditentukan. Darah mempunyai nilai karena kemungkinan berasal
dari darah deflorasi. Di sini penentuan golongan darah penting untuk
dilakukan. Trace evidence pada pakaian yang dipakai ketika terjadi
persetubuhan harus diperiksa. Bila fasilitas untuk pemeriksaan tidak ada,
kirim ke laboratorium forensik di kepolisian atau bagian Ilmu Kedokteran
Forensik, dibungkus, segel, serta dibuat berita acara pembungkusan dan
penyegelan.

2.6 Pemeriksaan Laboratorium


Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan penunjang
sesuai indikasi untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada tubuh korban.
Pembuktian persetubuhan yang lain adalah dengan memeriksa cairan mani di
dalam liang vagina korban. Dari pemeriksaan cairan mani akan diperiksa sel
spermatozoa dan cairan mani sendiri (Dewi,2017).
A. Menentukan cairan mani
Untuk menentukan adanya cairan mani dalam secret vagina perlu
dideteksi adanya zat-zat yang banyak terdapat dalam cairan mani,
beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membuktikan hal
tersebut adalah :

13
1. Reaksi Fosfatase Asam
Fosfatase asam adalah enzim yang dikeluarkan oleh kelenjar prostat di
dalam cairan semen/mani dan didapatkan pada konsentrasi tertinggi di
atas 400 kali dalam mani dibandingkan yang mengalir dalam tubuh
lain. Dengan menentukan secara kuantitatif aktifitas fosfatase asam
per 2 cm2 bercak, dapat ditentukan apakah bercak tersebut mani atau
bukan. Aktifitas 25 U.K.A per 1cc ekstrak yang diperoleh 1 cm2
bercak dianggap spesifik sebagai bercak mani
2. Reaksi Berberio
Prinsip reaksi ini adalah menentukan adanya spermin dalam semen.
Spermin yang terkandung pada cairan mani akan beraksi dengan
larutan asam pikrat jenuh membentuk kristal spermin pikrat. Bercak
diekstraksi dengan sedikit aquades. Ekstrak diletakkan pada kaca
objek, biarkan mengering, tutup dengan kaca penutup. Reagen
diteteskan dengan pipet di bawah kaca penutup. Interpretasi : hasil
positif memperlihatkan adanya kristal spermin pikrat yang kekuning-
kuningan atau coklat berbentuk jarum dengan ujung tumpul.
3. Reaksi Florence
Dasar reaksi adalah untuk menemukan adanya kholin. Bila terdapat
bercak mani, tampak kristal kholin-peryodida berwarna coklat,
berbentuk jarum dengan ujung terbelah.
B. Pemeriksaan Spermatozoa
1. Tanpa pewarnaan / pemeriksaan langsung
Pemeriksaan ini berguna untuk melihat apakah terdapat spermatozoa
yang bergerak. Pemeriksaan motilitas spermatozoa ini paling
bermakna untuk memperkirakan saat terjadinya
persetubuhan.Umumnya disepakati bahwa dalam 2-3 jam setelah
persetubuhan, masih dapat ditemukan spermatozoa yang bergerak
dalam vagina.Bila tidak ditemukan lagi, belum tentu dalam vagina
tidak ada ejakulat.

14
Gambar 1. Sperma pada pemeriksaan langsung
2. Dengan pewarnaan (pulasan Malachite green 1 %)
Interpretasi : pada pengamatan di bawah mikroskop akan terlihat
gambaran sperma dengan kepala sperma tampak berwarna ungu
menyala dan lehernya merah muda, sedangkan ekornya berwarna
hijau.

15
Gambar 2. Sperma dengan pewarnaan Malachite Green
3. Pewarnaan Baecchi
Prinsip kerjanya yaitu asam fukhsin dan metilen biru merupakan zat
warna dasar dengan kromogen bermuatan positif. Asam nukleat pada
kepala spermatozoa dan komponen sel tertentu pada ekor membawa
muatan negatif, maka akan berikatan secara kuat dengan kromogen
kationik tadi. Sehingga terjadi pewarnaan pada kepala spermatozoa.
Interpretasi : Kepala spermatozoa berwarna merah, ekor merah muda,
menempel pada serabut benang.
C. Pemeriksaan Pria Tersangka
1. Pemeriksaan golongan darah
2. Menentukan adanya sel epitel vagina pada glans penis,
menggunakan larutan lugol
3. Pemeriksaan sekret uretra
4. Dalam populasi 85% - golongan sekretor yang dalam cairan tubuh
(cairan mani, keringat,liur) mengandung golongan darah. Jika
bersetubuh dan ejakulasi maka golongan darah ada pada tubuh
korban
5. Dalam kepala sel sperma terdapat DNA inti (c-DNA) dan dalam
leher sel sperma ada DNA mitochondria (mt-DNA). Ketika ejakulasi
yang mengandung sel sperma,akan meninggalkan jejak DNA pelaku.
Dengan pemeriksaan DNA akan diketahui siapa dan berapa orang
pelaku.
D. Pembuktian Adanya Kekerasan
1. Luka-luka lecet bekas kuku, gigitan (bite marks), luka-luka memar
2. Lokasi : Muka, leher, buah dada, bagian dalam paha dan sekitar alat
kelamin
E. Perkiraan Umur
1. Dasar berat badan, tinggi badan, bentuk tubuh, gigi, ciri-ciri kelamin
sekunder
2. Pemeriksaan sinar X : standar waktu penyatuan tulang
F. Penentuan Sudah atau Belum Waktunya Dikawin

16
1. Pertimbangan kesiapan biologis : menstruasi,
2. Wanita sudah ovulasi / belum : vaginal smear
3. Berdasar umur apakah berusia > 16 th
G. Pemeriksaan terhadap Pelaku
1. Upaya pengenalan persetubuhan
2. Bercak sperma, darah, tanah dan pakaian, robekan.
3. Bentuk tubuh : memungkinkan tindakan kekerasan.
4. Tanda cedera : adakah tanda perlawanan korban
5. Rambut terlepas.
6. Pemeriksaan menyeluruh alat kelamin
7. Tanda infeksi gonokokus
8. Sekret
9. Smegma
H. Pemeriksaan Penentuan Golongan Darah
1. Serologis air mani (antigen ABO) pada orang yang “sekretor”
2. Di cocokkan dengan golongan darah (pelaku / korban)

Pada kasus kekerasan seksual, perlu dilakukan pemeriksaan


penunjang sesuai indikasi untuk mencari bukti-bukti yang terdapat pada
tubuh korban. Sampel untuk pemeriksaan penunjang dapat diperoleh dari,
antara lain (Susiana,2019).
a. pakaian yang dipakai korban saat kejadian; diperiksa lapis demi lapis
untuk mencari adanya trace evidence yang mungkin berasal dari pelaku,
seperti darah dan bercak mani, atau dari tempat kejadian, misalnya
bercak tanah atau daun-daun kering
b. rambut pubis; yaitu dengan menggunting rambut pubis yang
menggumpal atau mengambil rambut pubis yang terlepas pada
penyisiran
c. kerokan kuku; apabila korban melakukan perlawanan dengan mencakar
pelaku maka mungkin terdapat sel epitel atau darah pelaku di bawah
kuku korban
d. swab; dapat diambil dari bercak yang diduga bercak mani atau air liur
dari kulit sekitar vulva, vulva, vestibulum, vagina, forniks posterior,

17
kulit bekas gigitan atau ciuman, rongga mulut (pada seks oral), atau
lipatan-lipatan anus (pada sodomi), atau untuk pemeriksaan penyakit
menular seksual
e. darah; sebagai sampel pembanding untuk identifi kasi dan untuk
mencari tanda-tanda intoksikasi NAPZA
f. urin; untuk mencari tanda kehamilan dan intoksikasi NAPZA.
Hal yang harus diperhatikan pada tahap ini adalah keutuhan rantai barang
bukti dari sampel yang diambil (chain of custody). Semua pengambilan,
pengemasan, dan pengiriman sampel harus disertai dengan pembuatan berita
acara sesuai ketentuan yang berlaku. Hal ini lebih penting apabila sampel
akan dikirim ke laboratorium dan tidak diperiksa oleh dokter sendiri.

18
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif retrospektif untuk
mengetahui gambaran karakteristik korban kekerasan seksual di Kota Samarinda
periode 2022.

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

3.2.1 Tempat Penelitian

Instalasi Forensik RSUD Abdul Wahab Sjahranie.


3.2.2 Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 23 Januari – 11 Februari


2023.

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi Penelitian

Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh korban


kekerasan seksual yang datang di RSUD Abdul Wahab Sjahranie.
3.3.2 Sampel Penelitian

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh korban


kekerasan seksual yang datang di RSUD Abdul Wahab Sjahranie pada tahun 2022
3.3.3 Cara Pengambilan Sampel Penelitian

Pengambilan sampel dilakukan dengan total sampling.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel yang akan diteliti adalah sebagai berikut:


1. Usia

2. Jenis kelamin

19
3. Hubungan dengan korban

4. Jenis kejahatan yang di lakukan

3.5 Cara Pengumpulan Data

Cara pengambilan data dengan menggunakan data sekunder. Data sekunder


ini, diambil dari data Visum et Repertum seksual tahun 2022.

3.6 Pengolahan dan Penyajian Data

3.6.1 Pengolahan Data

Pengolahan data dilakukan setelah data dikumpulkan. Data yang terkumpul


disusun, lalu diolah dengan menggunakan komputer program Microsoft Excel
2010.
3.6.2 Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel dan narasi. Data diolah dalam
bentuk jumlah dan persentase.

3.7 Analisa Data

Analisis data secara analisis univariat, yaitu mendeskripsikan setiap variabel


dalam penelitian dengan gambaran distribusi frekuensi dan persentase.

20
BAB 4
HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada korban kekerasan seksual yang melakukan


visum di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda yang di ambil pada tahun
2022.
Berdasarkan data yang telah dikumpulkan selama periode Januari –
desember 2022 diambil dari data visum didapatkan sebanyak 56 kasus korban
kekerasan seksual.

4.1 Karakteristik Usia Pasien Kekerasan seksual

Tabel 4.1 Distribusi korban kekerasan seksual berdasarkan Usia


Usia (tahun) (n) (%)
0−5 (Balita) 6 11
6 – 11(Kanak-kanak) 3 5
12 – 16(Remaja awal) 34 61
17 – 25(Remaja akhir) 11 20
26−35(Dewasa awal) 1 2
36 – 45(Dewasa akhir) 1 2
Total 56 100

Berdasarkan Tabel 4.1, diketahui bahwa jumlah korban kekerasan seksual


yang datang ke RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda pada periode januari-
desember tahun 2022 berdasarkan usia korban adalah korban dengan usia balita
(0-5 tahun) adalah sebanyak 6 orang atau sebesar 11%, usia kanak-kanak (6-11
tahun) adalah sebanyak 3 orang atau sebesar 5%, usia remaja awal (12-16 tahun)
adalah sebanyak 34 orang atau sebesar 61%, usia remaja akhir (17-25) adalah
sebanyak 11 orang atau sebesar 20%, usia dewasa awal (26-35 tahun) adalah
sebanyak 1 orang atau sebesar 2% dan usia dewasa akhir (36-45 tahun) adalah
sebanyak 1 orang atau sebesar 2%. Distribusi usia paling banyak pada korban
kekerasan seksual adalah pada usia remaja awal (26-25 tahun).

21
4.2 Karakteristik Jenis Kelamin Korban Kekerasan Seksual

Berdasarkan hasil penelitian diketahui dari 56 korban kekerasan seksual


yang datang ke RSUD Abdul Wahab Sjahranie pada periode januari-desember
2022, dari 56 korban terdapat 1 orang pasien laki-laki dan 55 orang pasien
perempuan.

Jenis Kelamin (n) (%)


Laki-Laki 1 2
Perempuan 55 98%
Total 56 100

Gambar 4.2 Distribusi Korban kekerasan seksual berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan Gambar 4.2, diketahui bahwa persentase jumlah korban


kekerasan seksual yang datang ke RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samrinda
berdasarkan karakteristik jenis kelamin adalah laki-laki sebesar 2% dan
perempuan 98%.

4.3 Karakteristik Hubungan Pelaku dengan Korban pada Kasus


Kekerasan Seksual

Tabel 4.3 Distribusi Hubungan Pelaku dengan Korban pada Kasus Kekerasan Seksual
Hubungan (n) (%)
Keluarga 17 27%
Pertemanan 14 23%
Kekasih 19 31%
Profesional/pekerjaan 1 2%
Tidak dikenal 11 18%
Total 56 100

Tabel 4.3 menunjukkan distribusi hubungan pelaku dengan korban


kekerasan seksual yang paling banyak adalah kekasih yaitu sebanyak 19 kasus
atau sebesar 31%, Kemudian diikuti keluarga yaitu sebanyak 17 kasus atau

22
sebesar 27%, lalu pertemanan sebanyak 14 kasus atau sebesar 23%, tidak dikenal
sebanyak 11 kasus atau sebesar 18%, dan hubungan professional/pekerjaan
sebanyak 1 kasus atau sebesar 2%.

4.4 Karakteristik Jenis Kekerasan Seksual yang dilakukan

Tabel 4.4 Distribusi Jenis Kekerasan Sekasual yang di lakukan


Kekerasan Seksual (n) (%)
Penetrasi 42 48
Sodomi 4 5
Fellatio 3 3
Memegang/Memasukkan
24 28
jari ke vagina
Pencabulan lainnya 11 13
Melibatkan Kekerasan 3 3
Total 87 100

Tabel 4.4 menunjukkan distribusi jenis kekerasan seksual yang dilakukan


pada korban. Jenis kekerasan seksual yang paling banyak adalah penetrasi dari
penis ke vagina adalah sebanyak 42 kasus atau sebesar 48%, diikuti dengan
memegang/memasukkan jari ke vagina yaitu sebanyak 24 kasus atau sebesar 28%,
pencabulan lainnya sebanyak sebanyak 11% atau sebesar 13%, sodomi sebanyak
4 kasus atau sebesar 5%, fellatio sebanyak 3 kasus atau sebesar 3% dan yang
melibatkan kekerasan sebanyak 3 kasus atau sebesar 3%.

23
BAB 5
PEMBAHASAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan terutama


bertujuan untuk mengetahui gambaran karakteristik korban kekerasan seksual
yang datang ke RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda pada periode Januari-
desember 2022, yang meliputi gambaran karakteristik usia korban, jenis kelamin,
hubungan korban dengan pelaku, dan jenis kekerasan seksual yang dilakukan.

5.1 Interpretasi dan Hasil Diskusi

5.1.1 Gambaran Karakteristik Usia pada Korba Kekerasan Seksual

Dari data visum yang di dapatkan di RSUD Abdul Wahab Sjahrani pada
periode januari-desember 2022. Dari 56 korban kekerasan seksual frekuensi usia
korban terbanyak ditemukan pada usia remaja awal (12-16 tahun) atau sebesar
61%. Penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Windasari, Syukrani, & Tanzilah (2020) di jawa barat dan sumatera utara yang
menyatakan bahwa Usia korban kekerasan seksual di Jawa Barat dan Sumatera
Barat lebih banyak dialami oleh anak-anak dan remaja, yakni pada terutama
kelompok usia 10-19 tahun. Hal ini juga menggambarkan karakteristik. korban
kekerasan seksual di Dumai yaitu usia 0-18 tahun) dan di Aceh yaitu pada usia 5-
15 tahun diikuti kelompok usia 15-24 tahun.
Kecenderungan korban kekerasan seksual masih berusia sangat muda
dikaitkan dengan kerentanan mental korban yang lebih mudah diberikan ancaman,
paksaan maupun bujuk rayu. Anak-anak sering kali tidak memiliki keberanian
untuk menolak, terutama ketika pelaku adalah orang yang dikenalnya. Hal ini
menyebabkan potensi kekerasan seksual lebih besar terjadi pada kelompok usia
anak-anak dibandingkan usia dewasa.
Kebanyakan korban dari kekerasan seksual ini merupakan soerang remaja,
karena remaja merupakan masa-masa pubertas, dan masa ini merupakan masa
keemasan bagi seorang perempuan. Maka dari itu tidak banyak dari para lelaki

24
sering melakukan kekerasan terhadap remaja baik itu tindak pelecehan,
pemerkosaan, maupun sebagainya. Yang lebih parahnya lagi mereka
menggunakan ancaman dan paksaan apabila tidak melakukan tersebut mereka
akan mengancam korbannya dan akan melancarkan niat nya dengan cara apapun.
(Septiani,2021)

5.1.2 Gambaran Karakteristik Jenis Kelamin pada Kekerasan Seksual

Korban kekerasan seksual yang datang ke RSUD Abdul Wahab Sjahranie


periode januari-desember 2022 dengan jenis kelamin perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki. Dari 56 pasien, sebanyak 1 pasien adalah laki-laki dengan
persentase 2% dan perempuan sebanyak 55 korban dengan persentase 98%.
Sesuai dengan penelitian sebelumnya jenis kelamin anak perempuan lebih rentan
tujuh kali dibandingkan laki-laki menjadi korban kekerasan seksual. Kekerasan
seksual terhadap perempuan di Jawa Barat menempati urutan kedua tertinggi.
Hampir bisa dipastikan saat terjadi kekerasan seksual, maka kekerasan fisik dan
psikis pun sebenarnya terjadi. Sehingga data yang bisa dicatat seperti fenomena
gunung es yang terlihat hanya permukaannya saja. Artinya jumlah perempuan dan
anak korban kekerasan sebenarnya jauh lebih banyak dari yang dilaporkan.
Kekerasan yang terjadi pada seorang perempuan dikarenakan sistem tata nilai
yang mendudukan perempuan sebagai makhluk yang lemah dan lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Masih banyak masyarakat yang memandang perempuan
sebagai kaum yang marginal, dikuasai, dieksploitasi dan diperbudak oleh kaum
laki-laki. Kekerasan pada dasarnya merupakan sebuah realita yang ada dalam
masyarakat saat ini, yang menyatakan kekerasan terhadap perempuan masih
terbilang cukup banyak dan sering kali terjadi kapan pun dan dimana pun.

5.1.3 Gambaran Karakteristik hubungan korban dengan pelaku kejahatan


seksual pada Pasien HIV/AIDS

Hasil dari analisis data, diketahui hubungan pelaku dengan korban


kekerasan seksual yang paling banyak adalah kekasih yaitu sebanyak 19
kasus atau sebesar 31%, Kemudian diikuti keluarga yaitu sebanyak 17 kasus
atau sebesar 27%, Hal ini serupa dengan hasil penelitian Herlianto (2019)

25
dimana didapatkan bahwa pelaku kekerasan seksual 84% merupakan orang
yang dikenal oleh korban baik itu teman, kenalan ataupun hubungan
keluarga. Hal ini dapat terjadi oleh karena salah satu faktor terjadinya
kekerasan seksual pada anak adalah terdapat ikatan emosional dan
kesesuaian pada anak.
Data dari komisi Nasional Anti Perempuan (Komnas Perempuan)
juga menyebutkan bahwa pelaku kekerasan seksual terbanyak adalah
orang yang dikenal korban, misalnya pacar, ayah kandung/tiri/angkat, dan
tetangga

5.1.4 Gambaran Karakteristik Jenis Kejahatan Seksual

Hasil dari data yang di dapatkan berdasarkan distribusi jenis


kejahatan yang di lakukan pada korban kekerasan seksual di RSUD Abdul
Wahab Sjahranie Samarinda periode januari-desember 2022 menunjukkan
bahwa jenis kejahatan seksual yang paling banyak di lakukan adalah
penetrasi dari penis ke vagina adalah sebanyak 42 kasus atau sebesar 48%,
diikuti dengan memegang/memasukkan jari ke vagina yaitu sebanyak 24
kasus atau sebesar 28%, pencabulan lainnya sebanyak sebanyak 11% atau
sebesar 13%, sodomi sebanyak 4 kasus atau sebesar 5%, fellatio sebanyak
3 kasus atau sebesar 3% dan yang melibatkan kekerasan sebanyak 3 kasus
atau sebesar 3%. hal ini serupa dengan hasil penelitian Herlianto (2019)
dimana jenis kekerasan seksual yang dialami korban sebagian besar adalah
mengalami penetrasi organ intim (67%), dan penelitian di RSUP Dr.
Hasan Sadikin dan RSUP Dr. M. Djamil yang juga menunjukkan bahwa
ada korban yang juga mengalami penetrasi anus dan oral. Selain itu,
sebagian kecil korban juga mengalami kekerasan pada bagian tubuh
lainnya. (Windasari, 2020). Kekerasan seksual dengan atau tanpa penetrasi
memberikan dampak yang sama terhadap psikologi dari korban kekerasan
seksual.Keadaan ini dapat terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat
akan kekerasan seksual ataupun sebagian besar masyarakat tidak
melaporkan kekerasan seksual tersebut karena stigma dalam masyarakat,
kecuali untuk kasus yang berat (terjadi penetrasi). (Goldman,2000)

26
BAB 6

PENUTUP

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan pembahasan yang telah


diuraikan di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Usia terbanyak korban kekerasan seksual ialah rentang usia 12-16 tahun
(remaja awal) sebesar 61%, diikuti dengan rentang usia 17-25 tahun
(remaja akhir) sebesar 20%, sedangkan usia 0-5 tahun (balita) sebesar
11%, diikutti usia 6-11 tanun (kanak-kanak) sebesar 6%, dilanjutkan
dengan rentang usia yang paling sedikit ialah 26-35 ( dewasa awal) dan
36-45 tahun (dewasa akhir) sebanyak 2 %.
2. Jenis kelamin terbanyak korban kekerasan seksual ialah perempuan
dengan persentase sebesar 98% sedangkan jenis kelamin lak-laki sebanyak
2%.
3. Dalam kaitan hubungan korban dengan pelakuu kekerasan seksual
kekasih sebanyak 31%, keluarga sebanyak27%, pertemanan sebanyak
23%, tidak dikenal sebanyak 18%, dan yang paling sedikit ialah pekerjaan
sebanyak 2 %.
4. Bentuk kekerasan seksual terbanyak yang dialami korban ialah penetrasi
penis ke vagina sebanyak 48% diikuti dengan memegang/memasukan jari
ke vagina sebanyak 28%, pencabulan lainnya seperti dicium, payudara di
remes sebanyak 13%, sodomi 5% dan yang paling sedikit ialah fellatio dan
melibatkan kekerasan seeperti sambil dipukul dan dicekek sebanyak 3%.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran yang diajukan alah sebagai


berikut:

Memberikan edukasi seksual sedini mungkin, entah itu dari pihak keluarga,
sekolah, komunitas terdekat, dan agama untuk meminimalkan kasus kekerasan
seksual. Terutama untuk korban usia muda.

Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk memperluas variabel lainnya,


misalnya meneliti hubungan atau korelasi antar variabel.

27
DAFTAR PUSTAKA

Christin, 2014. Pesan Direktur-Wahana Visi Indonesia.


Dewi, Ratna . 2017. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik dan Aspek Medikolegal
Kekerasan Seksual Pada Anak dan Remaja. Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
Goldman JDG, Padayachi UK. Some methodological problems in estimating
incidence and prevalnece in child sexual abuse research. The journal of sex
research 2000;37(4):305-14.
Herlianto, B., Adnyana, I.G.A.N.S., Windiani, I.G.A.T., Alit, I.B.P.,
Soetjiningsih. 2019. Karakteristik kekerasan seksual pada anak di RSUP
Sanglah Denpasar. Medicina 50(1): 205-209.
DOI:10.15562/Medicina.v50i1.467
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Catatan kekerasan
terhadap perempuan tahun 2019: kekerasan meningkat - kebijakan
penghapusan kekerasan seksual untuk membangun ruang aman bagi
perempuan dan anak perempuan. Jakarta: Komisi Nasional Anti Kekerasan
terhadap Perempuan; 2020.
Ningsih dan Hennyati, 2018. Kekerasan Seksual Pada Anak Di Kabupaten
Karawang. Jurnal Bidan.
Susiana, Sali. 2019. Kekerasan Seksual Pada Era Digital. Pusat Penelitian Badan
Keahlian DPR RI : Jakarta
Septiani RD. Pentingnya Komunikasi Keluarga dalam Pencegahan Kasus
Kekerasan Seks pada Anak Usia Dini. Jurnal Pendidikan Anak.
2021;10(1):50-58
Wijaya, C. K., Henky, & Alit, I. B. P. (2017). Gambaran Bukti Medis Kasus
Kejahatan Seksual yang Diperiksa di Bagian Ilmu Kedokteran Forensik
RSUP Sanglah Periode Januari 2009 – Desember 2013. E-Journal Medika,
6(9), 1–6.

28
29

Anda mungkin juga menyukai